Post on 14-Aug-2015
description
1 | P a g e
SERIUS MENCETAK NEGARAWAN
[ A TRIBUTE TO UTSMANI STATEMAN ]
Oleh Yoyok Tindyo Prasetyo
“ Orang‐orang Utsmani berasal dari keturunan kabilah Turkmenia. Pada permulaan abad ke 7 Hijriah bertepatan dengan abad 13 Masehi mereka hidup di Kurdistan. Mereka berprofesi sebagai penggembala..”1
“..pada 617 H [1220 M] Sulaiman kakek dari Utsman, melakukan hijrah bersama kabilahnya dari kurdistan menuju Anatolia. Mereka berdomisili di kota Akhlath, sebuah wilayah yang sekarang berada di Turki Timur..”2
“..Komandan Pasukan Islam Seljuk memberi Ertughul [ anak Sulaiman.pen ] dan rombongannya sebidang tanah di wilayah Barat Anatolia, dekat dengan perbatasan Romawi..”3
“..Kehidupan Utsman I pendiri Daulah Utsmaniyah [ wafat 1327 M ] adalah Jihad dan Dakwah Fisabilillah. Para Ulama selalu berada di sekelilingnya. Mereka memberikan nasihat dan arahan mengenai penataan administrasi dan peaksanaan peraturan dalam kekuasaan..” 4
“..Berasarkan perintah Sultan Muhammad I [ kakek Muhammad Al fatih.pen ] [1379‐1421 M] itu lalu dibentuk tim berintikan 9 orang yang ditugaskan menjadi penyebar Islam di pulau Jawa [ 1404 M ] ..Berita ini tertulis dalam kitab Kanzul ‘Ulum ( gudang ilmu ) karya Ibnu Bathutah..Kitab Kanzul ‘Ulum masih tersimpan diperpustakaan istana Kesultanan Ottoman di Istanbul..”5
“..Diantara prestasi terpenting Sulthan Muhammad II adalah keberhasilannya menaklukkan Konstantinopel [ Selasa 20 Jumadil Ula 857 H‐29 Mei 1453 M ]. Penaklukan ini mempunyai pengaruh besar terhadap Dunia Islam maupun Dunia Eropa. Penaklukan ini mempunyai sebab‐sebab materi maupun non materi serta syarat‐syarat yang harus dipenuhi...”6
“ Orang‐orang Utsmani senantiasa berusaha menerapkan syariat Allah. Hal ini menimbulkan pengaruh duniawi maupun ukhrawi terhadap masyarakat Ustmani. Diantaranya adalah munculnya kekuasaan, kejayaan, keamanan, kestabilan, pertolongan, kemenangan dan kemuliaan, tersebarnya kebaikan, tersingkirnya keburukan, serta pengaruh‐pengaruh lainnya..”7
1 Sulthan Muhammad Al Fatih, Penakluk Konstantinopel, Dr Ali Muhammad Ash Shalabi, hal.32 2 Sulthan Muhammad Al Fatih, Penakluk Konstantinopel, Dr Ali Muhammad Ash Shalabi, hal.32 3 Sulthan Muhammad Al Fatih, Penakluk Konstantinopel, Dr Ali Muhammad Ash Shalabi, hal.285 4 Sulthan Muhammad Al Fatih, Penakluk Konstantinopel, Dr Ali Muhammad Ash Shalabi, hal.286 5 Misteri Syekh Siti Jenar, Peran Walisongo Dalam Mengislamkan Tanah Jawa, Prof Dr Hasanu Simon, hal.51 6 Sulthan Muhammad Al Fatih, Penakluk Konstantinopel, Dr Ali Muhammad Ash Shalabi, hal.289 7 Sulthan Muhammad Al Fatih, Penakluk Konstantinopel, Dr Ali Muhammad Ash Shalabi, hal.289
2 | P a g e
Allah SWT telah memberikan kemuliaan kepada Muslim Utsmani untuk mengembalikan Daulah Islamiyyah melalui tangan mereka sekaligus memberikan kemuliaan kepada mereka untuk menaklukan Konstantinopel. Menjadi sebuah pertanyaan, tidakkah kaum Muslim Nusantara berkeinginan agar Allah SWT juga memberikan kemuliaan kepada mereka dengan mengembalikan Daulah Islamiyyah melalui tangan mereka ? Sebagaimana kemuliaan yang telah diberikan kepada Muslim Utsmani ? Tidakkah Kaum Muslim Nusantara juga berkeinginan agar kemuliaan memimpin penaklukan kota Roma‐Vatikan diberikan Allah SWT kepada mereka ? Sebagaimana kemuliaan yang telah diberikan kepada Sultan Muhammad Al Fatih dan tentaranya ? Sungguh keinginan seperti itu akan menjadi daya pendorong yang sangat kuat bagi perjuangan memuliakan Islam dan umatnya.
Gabungan antara iradah/azzam yang kuat, keseriusan yang setaraf dan pertolongan Allah menjadi kata kunci bagi Muslim di Nusantara ini untuk meraih kemuliaan dari Allah SWT tersebut. Muslim di Nusantara bukanlah bangsa Arab, bangsa Utsmani juga bukan bangsa Arab. Qur’an dan Sunnah yang dahulu bersama Muslim Utsmani sekarang juga masih berada di tengah kaum muslim di Nusantara. Tinggal, bagaimana kata Dr Ash Shalabi .. sebab‐sebab materi maupun non materi serta syarat‐syarat yang harus dipenuhi...benar‐benar serius dipenuhi oleh kaum muslimin di Nusantara ataukah tidak.
A. Pertama : Adanya Maksud
Keseriusan adalah adanya maksud [ Al qashd, Purpose ], adanya usaha untuk merealisasikan maksud tersebut, disertai gambaran yang baik tentang fakta yang difikirkan8. Pertama tentang adanya maksud. Apakah kaum muslim di Nusantara benar‐benar punya maksud/tujuan untuk mengembalikan Daulah Islamiyyah melalui tangannya dan tegak diwilayahnya ataukah hanya sebatas berpartisipasi menyerukan kembalinya Daulah Islamiyyah semata. Maksud yang lahir dari pernyataan yang pertama akan memberikan pengaruh yang berbeda dengan maksud yang lahir dari pernyataan kedua. Keseriusan yang lahir dari pernyataan pertama juga akan lebih kuat dari pada yang lahir dari pernyataan kedua. Demikian Juga, apakah kaum muslimin di Nusantara ingin menjadi bagian tentara yang menaklukan Roma, ataukah sekedar mengucapkan secara berulang‐ulang hadits tentang hal tersebut?
Prof Hasan Ko Nakata9 pernah memberikan pernyataan, bahwa tegak tidaknya Daulah Islamiyyah di Nusantara tergantung pada tiga hal. Pertama tergantung kaum muslimin di Nusantara sendiri. Apakah memang mau menegakkan atau tidak ? Lalu, mau tidaknya umat menegakkan Daulah di Nusantara tergantung pada hal yang kedua, yaitu apakah para pejuang dakwah juga berkeinginan menegakkan di Nusantara ataukah tidak. Lalu, apakah para pejuang dakwah mau atau tidak tergantung pada yang ketiga yaitu apakah pemimpin para pejuang dakwah mau menegakkan di Indonesia ataukah tidak.
Iradah yang kuat, keinginan yang menggelora, merupakan modal awal bagi upaya serius untuk mewujudkan datangnya kemuliaan tersebut. Keinginan ini akan dan harus lahir dari keyakinan yang kuat terhadap berita nubuwwah sekaligus lahir dari keberanian yang besar untuk mewujudkan melalui tangannya. Keberanian yang besar untuk membangun peradaban. Iradah yang kuat ini tidak akan lahir dari rasa ketidakpercayaan diri dan rasa rendah diri. Iradah ini juga tidak akan lahir dari ketidaksadaran dan ketidakpedulian.
8 Hakekat Berfikir , Taqiyuddin An Nabhani ,hal.130 9 Dalam ceramah di Rumah Muslim, Gejayan, Yogyakarta, tidak ada catatan tanggal.
3 | P a g e
Sejarah telah memberikan gambaran bagaimana negarawan Muslim Utmani sangat yakin bahwa Konstaninopel akan takluk di masa mereka. Keyakinan tersebut diwujudkan dengan usaha yang sungguh‐sungguh dan setaraf dengan tujuan tersebut. Dan akhirnya Allah SWT pun menolong dan memuliakan mereka.
B. Kedua : Adanya usaha yang Setaraf dengan Maksud
Berfikir serius meniscayakan adanya usaha untuk merealisasikan maksud yang difikirkan dan usaha tersebut harus setaraf dengan maksudnya10. Misalnya seseorang yang tahu bahwa kepribadian ditentukan oleh pola berfikir dan pola sikapnya, dan bukan fisiknya, maka usaha setaraf yang dilakukannya adalah banyak belajar untuk meningkatkan kepasitas tsaqofah Islam dalam dirinya. Termasuk tidak setaraf apabila waktu yang digunakan lebih banyak untuk merawat bentuk badan, warna kulit atau mengkilapnya rambut.
Salah satu kelebihan Muslim Ustmani adalah banyaknya negarawan yang berada di antara mereka mulai para Sultan, para perwira, para ulama hingga orang biasa di antara mereka. Meskipun disaat itu tidak ada teori tentang bagaimana melahirkan negarawan, namun pada kenyataan mereka memiliki negarawan yang banyak. Hal tersebut karena mereka serius dalam mencetak para negarawan. Ada usaha setaraf yang dilaukan untuk itu.
Salah satu rekaman penting dari Muslim Utsmani adalah bagaimana memunculkan mentalitas negarawan pada diri Muhammad Al Fatih. Melahirkan mentalitas negarawan pada dirinya dilakukan sejak kanak‐kanak. Terdapat dua guru yang berpengaruh dalam diri al Fatih yaitu Syaikh Aaq Syamsuddin dan Mulla‐al Kirani. Hal pertama yang ditanamkan pada diri al Fatih adalah bahwa dirinyalah yang di maksud dalam hadits penaklukan Konstatinopel11. Syaikh Aaq tidak sekedar menyampaikan hadits tersebut dan menyuruh menghafal hadits tersebut, namun sampai menanamkan bahwa ‘engkau, Muhammad bin Murad II, yang dimaksud oleh hadits tersebut’. Ini adalah penanaman visi kepada anak sedini mungkin. Kemudian pemberian pendidikan yang setaraf dan sejalan dengan visi tersebut yaitu Al Qur’an, Sunnah, Fikih, Ilmu‐ilmu ke Islaman, Bahasa Arab, Bahasa Persia, Bahsa Turki, Matematika, Astronomi, Sejarah dan Seni Berperang12
Saat ini adalah masa di mana negarawan sudah berhasil diformulasikan dan kemudian bisa diupayakan dilahirkan melalui formula tersebut. Salah satunya adalah yang termuat dalam buku Pemikiran Politik Islam bab berjudul Negarawan. Di sana dijelaskan tentang kriteria negarawan adalah pemimpin politik yang kreatif dan inovatif, memiliki mentalitas leadership, mampu mengatur urusan kenegaraan, mampu menyelesaikan masalah dan mampu mengendalikan hubungan pribadi dan urusan umum13. Juga ditegaskan bahwa negarawan tidak selalu pejabat, dan tidak semua pejabat/penguasa adalah negarawan. Artinya negarawan bisa lahir dari orang biasa.
Jika kemudian ingin dicetak generasi yang memiliki kualitas sebagaimana Muslim Utsmani maka usaha yang setaraf baginya perlu diupayakan. Dan berarti setelah penanaman visi/tujuan, berikutnya adalah bagaimana upaya untuk mewujudkan tujuan. Berarti bagaimana berfikir tentang uslub dan wasilah yang diperlukan dalam mencapai tujuan atau ghayah tersebut.
1. Upaya Pertama : Membangun Ritme Hidup yang Sesuai Visi, meninggalkan ritme Kapitalisme
10 Hakekat Berfikir, Taqiyuddin An Nabhani, hal. 130 11 Bunyi tarjamah hadits tersebut “ Sungguh. Konstantinopel akan ditaklukan. Sebaik‐baik pemimpin adalah pemimpin [yang menaklukan]nya dan sebaik‐baiknya tentara adalah tentara [yang menaklukan]nya” 12 12 Sulthan Muhammad Al Fatih, Penakluk Konstantinopel, Dr Ali Muhammad Ash Shalabi, hal.186 13 Lihat Kitab Pemikiran Politik Islam hal.121
4 | P a g e
Kehidupan saat ini adalah kehidupan yang dipola oleh Kapitalisme. Ritme kehidupan manusia digerakkan oleh mesin besar materialisme. Hanya sedikit orang yang menyadari, namun lebih banyak yang terseret kepada arus besar ini. Sehingga waktu, energi, konsentrasi dan dana justru lebih dibelanjakan demi mengikuti gaya hidup ala peradaban Barat ini. Lalu, dari sedikit yang menyadari, lebih sedikit lagi yang berani melepaskan diri dari ritme ini, dengan segala konsekuensinya. Tak sedikit tantangan dan ujian bagi siapa saja yang berenang kepinggir saat arus air mengalir deras ketengah dan semua orang juga berenang ke tengah.
Kapitalisme menyeret seseorang, biasanya berawal dari kebutuhan ekonomi. Kenyataan kebutuhan individual atau hidup berkeluarga, yang bertemu dengan iming‐iming standar hidup sejahtera secara material akan mudah melenakan keteguhan visi dan idealisme seseorang. Dijelaskan dalam sebuah kitab dikatakan bahwa ketidakmauan menanggung resiko akan memalingkan dari keseriusan14. Disinilah tantangannya, apakah seseorang berani menanggung resiko‐resiko yang akan dihadapi saat dirinya memilih membangun ritme dan pola hidupnya sesuai visinya ataukah menyerah dengan keadaan sekaligus menggunakan keadaan sebagai alasan.
Sebagai sebuah ideologi kapitalisme memiliki konsep dan pemikiran. Namun konsep dan pemikirannya tidak selalu bisa disaksikan di tengah kehidupan. Sebagai langkah implementatif Kapitalisme memiliki instrumen‐instrumen teknis yang bergerak di tengah masyarakat. Ini yang lebih mudah disaksikan dan diindera. Melalui instrumen teknis ini, boleh jadi seseorang yang menolak Kapitalisme secara konseptual, tanpa disadari justru mengikatkan diri dengan instrumen teknisnya tersebut, dan dalam kasus tertentu malah terjerat dengan instrumen‐instrumen tersebut. Instrument teknis ini paling banyak bisa disaksikan dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan dan sosial budaya. Pada saat tidak berani melepaskan diri dari jeratan ritme instrumen teknis inilah, saat visi membangun peradaban Islam akan kehilangan energinya, meskipun masih eksis di benak seseorang. Saat ritme hidupnya telah terbeli oleh Kapitalisme maka hilanglah konsep bahwa dakwahlah yang seharusnya menjadi poros keputusan‐keputusan penting dalam hidupnya.
Perlu ditegaskan, bahwa bersentuhan dengan instrumen Kapitalisme, tidaklah selalu bermasalah, namun yang bermasalah apabila kemudian ritme hidup dikendalikan oleh instrumen tersebut. Tidaklah masalah apabila seseorang menggunakan ATM untuk bertransaksi, namun menjadi masalah apabila kemudian hutang ke Bank, dan akhirnya waktu dan konsentrasinya habis untuk membayar hutangnya tersebut. Tidak masalah untuk bekerja diinstitusi milik swasta ataupun negara NKRI, namun menjadi masalah bila kemudian dari shubuh sampai maghrib di kantor, setiap hari, sehingga waktu dakwah hanya tersisa di hari minggu, itupun harus berbagi dengan keluarga.
Oleh karena itu dibutuhkan sebuah keberanian. Misalnya apakah seseorang sanggup tidak berkarir di kantornya, akibat waktu lebih banyak diberikan kepada pencapaian visinya ? apakah sesorang pengusaha muslim yang sanggup merasa cukup dengan aset yang dimilikinya, akibat waktu dan dana lebih banyak dialokasikan untuk pencapaian tujuan hidupnya atau akibat tidak bersentuhan dengan riba ? apakah sesorang sanggup menahan sindiran‐sindiran dari keluarga, karena tidak cukupnya waktu dan dana untuk memiliki mobil ? Kesanggupan‐kesanggupan untuk menahan itu semua akan menentukan apakah sesorang bisa tercetak menjadi negarawan muslim ataukah tidak. Kesanggupan‐kesanggupan untuk siap hidup seadanya [tidak berlimpah finansial] inilah yang nantinya akan membuat seorang memiliki ritme hidup yang terbebas dari lifestyle Kapitalisme.
14 Lihat Kitab Hakekat Berfikir hal 134.
5 | P a g e
Dalam kitab Hakikat Berfikir di paparkan bahwa ’..yang menunjukkan seseorang berfikir serius adalah dia melakukan aktifitas fisik dan aktifitas fisiknya ini setaraf dengan apa yang difikirkan..’. Menghadapi situasi kapitalistik seperti saat diperlukan paling tidak empat aktifitas berani dan beresiko [ sebagai wujud keseriusan ]. Pertama adalah menjauhkan diri dari sikap pragmatis, kedua melakukan upaya preventif, ketiga melanjutkan upaya menjadi preventif‐solutif, keempat adalah solutif total. Pragmatis misalnya dengan menyerahkan anak dididik secara sekuleristik akibat malu dengan yang lain. Aktifitas ini harus dihindari. Preventif misalnya memasukkan pada pendidikan yang tidak sekuleristik, agar anak selamat. Ini baik, namun tidak cukup. Preventif‐solutif misalnya memasukkan anak pada pendidikan yang tidak sekuleristik namun sekaligus sesuai dengan visi membangun peradaban Islam, agar anak siap menyongsong tegaknnya peradaban tersebut. Solutif total misalnya merubah sistem pendidikan secara revolusioner.
2. Upaya Kedua : Membentuk Individu yang Sesuai Visi
Setelah melepaskan diri/mufaraqah dari Kapitalisme, berikutnya adalah membangun secara mandiri ritme dan gaya hidup sesuai visi yang diyakininya. Berarti meluangkan waktu yang banyak untuk mampu menjadi kreatif dan inovatif [termasuk kreatif inovatif dalam mencari nafkah], meluangkan waktu yang banyak untuk melatih kemampuan kepemimpinan sesusai Islam, dan meluangkan waktu yang banyak agar mampu menyelesaikan berbagai persolan umat. Semua itu harus segera dirancang dan dilaksanakan begitu lepas dari Kapitalisme dan tidak malah berdiam diri.
Salah satu yang pelajaran berharga dari Muhammad Al Fatih adalah bahwa orangtuanyalah yang berusaha mencetak al Fatih menjadi negarawan sejak masih kanak‐kanak. Langkah pertama adalah memilihkan guru yang sesuai dengan visinya. Langkah kedua memastikan materi pendidikan yang diberikan adalah materi yang menunjang terwujudnya visi dan cita‐cita besarnya.
Saat ini banyak pengemban dakwah yang telah berputra atau merawat putra saudaranya atau tetangganya. Anak‐anak yang menjadi tanggung jawab kita adalah figur berpotensi terbesar yang akan bisa dicetak menjadi negarawan Muslim. Hanya saja langkah pertamanya harus setaraf dengan maksud yang hendak dicapainya. Bila visi orang tuanya adalah mendirikan Daulah Islamiyyah, maka guru bagi putra‐putri kita tentunya juga guru yang memiliki visi ‘mendirikan Daulah Islamiyyah di negeri ini’ dan bukan guru yang visinya ‘NKRI harga mati’.
Orang tua yang visinya membangun peradaban Islam tentunya akan berbenturan dengan guru yang visinya mempertahankan peradaban sekuler. Akhirnya hanya akan membuat anak pecah kepribadiannya. Lebih parah lagi jika kemudian anak dalam dekapan guru sekulernya lebih banyak dibanding dengan orangtuanya [ akibat orang tua sibuk mengikuti ritme kapitalisme ] maka jadilah anak‐anak tersebut pengikut Kapitalisme. Apakah ini yang diinginkan ?
Langkah kedua terkait dengan materi yang dipelajari. Al Fatih mendapatkan pengetahuan yang memang didedikasikan dalam rangka untuk siap memimpin umat dengan Islam dan siap menaklukan Konstantinopel. Belajar tsaqofah Islam untuk menjalankan amanat wahyu, belajar kepemimpinan untuk bisa melakukan pelayanan terhadap umat, belajar sains untuk bisa menemukan cara menerobos benteng Konstantinopel.
Saat ini banyak pejuang dakwah yang masih dalam posisi menuntut ilmu. Terkait dengan membentuk figur negarawan dan menuntut ilmu, persoalannya bukanlah ijazah tingkat apa yang nantinya akan di bawa pulang. Tapi ilmu apa yang sekarang dipelajari dan apakah ilmu tersebut sejalan dengan visi yang dimilikinya ? Apakah menuntut ilmu agar mampu menjadi negarawan pejuang Daulah islam, ataukah sekedar mendapat selembar ijazah ? Apakah ilmu yang dipelajari
6 | P a g e
didedikasikan agar kreatif innovatif, mampu menyelesaikan umat, atau malah tidak jelas untuk apa ? Ilmu yang pertama kali harus dikuasai oleh seorang muslim adalah tsaqofah Islam [dikuasai sampai matang, kokoh dan untuk diamalkan], baru kemudian ilmu‐ilmu teknis, baru kemudian tsaqofah asing itupun untuk dikritisi.
Jangan sampai terbalik, waktu dan dana yang ada, digunakan untuk mempelajari tsaqofah asing, baru kalau sempat belajar tsaqofah Islam15. Bertahun‐tahun dan berjuta‐juta digelontorkan demi mendapatkan selembar ijazah tsaqofah sekuler, namun hanya 3 jam seminggu dan seratus ribu sebulan yang di gunakan untuk mempelajari tsaqofah Islam. Bila demikian maka yang akan tercetak bukanlah negarawan sekualitas al Fatih, namun pekerja‐pekerja pelayan Kapitalisme.
Memang benar, sebagaimana telah dijelaskan dalam kitab Hakikat Berfikir, bahwa kemalasan akan menjadi penghalang bagi keseriusan dan ketidakberanian menanggung resiko, dan malu akan memalingkan dari keseriusan. Kemalasan dan ketidakberanian menanggung resiko inilah yang nantinya akan menghambat proses mencetak negarawan dalam diri individu atau anak‐anak. Ketakutan akan ijazah dan pengakuan formal dari negara sekuler akan menjadi pengganggu dalam proses pencetakkan negarawan bagi negara Daulah Islamiyyah.
Hal lain yang bisa dijadikan pertimbangan, meskipun tidak mutlak, adalah info tentang prediksi National Intellegence Council [NIC] yang meramalkan bahwa Khilafah Islamiyyah akan tegak 2020..( sembilan tahun lagi, sebuah waktu yang pendek ). Pertanyaan berikutnya, apakah kaum Muslim di Nusantara berkeinginan agar Khilafah segera tegak [ mis 2020 ] atau memilih nanti saja tegaknya kalau sudah kaya dan sebagainya ? Kalau Allah SWT ternyata berkenan Khilafah segera tegak, sudahkah diri kita, anak‐anak kita dan masyarakat kita siap menyambutnya ? ataukah malah kebingungan akibat terlanjur terseret dan terpola dengan ritme Kapitalisme ?
C. Ketiga : Gambaran yang baik tentang fakta yang difikirkan
Siap tidaknya individu dan masyarakat menyambut tegaknya khilafah Islamiyyah, setelah adanya maksud yang kuat dan usaha yang setaraf, tergantung pada jelasnya gambaran tentang konsepsi Fikrah dan Thariqah Islam di benak mereka. Jelas bagi negarawan dan jelas pula bagi masyarakat yang hendak diajaknya untuk berubah. Fikrah Islam dapat sampai dan diyakini umat apabila disampaikan secara serius oleh negarawan pengemban dakwah. Thariqah Islam akan terpatri dalam dada mereka bisa mampu ditanamkan secara bil hikmah oleh negarawan pengemban dakwah.
Kebutuhan penggambaran tentang peradaban Islam dan solusi‐solusi Islam terkait dengan berbagai persoalan acapkali membutuhkan penjelasan yang tidak pendek dan tidak selalu global. Penajaman masalah dan pendetailan solusi menjadi sebuah tuntutan logis yang harus diberikan oleh negarawan pengemban dakwah. Dan untuk mampu mencapai kualitas yang demikian yaitu fasih, lancar, tajam dan detail, diperlukan ritme yang sesuai visi dan usaha yang setaraf. Juga dibutuhkan kreatifitas dan innovasi yang bermutu secara konseptual.
Misalnya terkait dengan gambaran problematika perekonomian Indonesia. Seorang negarawan membutuhkan pengetahuan tentang sejarah ekonomi Indonesia, data‐data ekonomi terkait, proses regulasi ekonomi di Indonesia, mana kesalahan konseptual dari ekonomi Indonesia
15 Bagaimana prioritas dalam belajar dipaparkan secara panjang lebar oleh Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam Kitab Syakhsiyyah Islamiyyah Juz 1. Bandingkan juga dengan Konsep dan Praktek Pendidikan Islam Syed Naquib Al Attas oleh Wan Mohd Noor Wan Daud.
7 | P a g e
dan mana yang teknis. Bagaimana konsep ekonomi Islam menyelesaikannya dan bagaimana solusi Islam secara implementatif dalam wujud perundang‐undangan [ dalam wadah Daulah Islamiyyah].
Negarawan adalah individu yang akan mempengaruhi masyarakat. Bagi negarawan tidak cukup kapasitas dirinya saja yang harus diarahkan sesuai visinya. Baginya, masyarakat juga harus diarah sesuai dengan visinya. Dengan berbekal pandangan hidupnya yang khas, keyakinan akan makna kebahagian yang dianutnya, dan seperangkat konsep hadlarah yang dikuasainya, maka seorang negarawan akan serius dalam merubah masyarakat dan peradaban yang di anutnya.
Keseriusannya tersebut bisa diwujudkan dengan secara serius melakukan dharbul alaqat16 di tengah‐tengah masyarakat. Dalam setiap kesempatan seorang negarawan akan selalu mengikis kepercayaan umat kepada sistem/penguasa yang ada dan sekaligus membangun kepercayaan umat kepada Islam. Baik saat ronda, saat bekerja, saat chatting di facebook, saat mengajar dan sebagainya. Secara serius mengikuti perkembangan peristiwa, secara serius mengupas berbagai peristiwa melalui pisau analisis dari sudut pandang Islam dan selalu serius dalam menyampaikan kepada umat.
Ketika melihat masih banyaknya umat yang belum tersentuh dengan mabda Islam dan dharbul alaqat membutuhkan banyak pendukung, maka seorang negarawan akan berusaha serius mengajak person‐person yang lain untuk meyakini dan ikut serta dalam merubah pola fikir, pola sikap dan pola interaksi masyarakat. Pembinaan terhadap person‐person tidak hanya sekedar menambah jumlah secara statistik, namun lebih serius dibanding itu, yaitu agar person‐person tersebut memiliki kemampuan untuk melakukan pertarungan pemikiran sekaligus fasih dalam menjelaskan solusi Islam bagi persoalan kehidupan. Pembinaan dilakukan untuk mencetak politisi negarawan bukan sekedar ritual mingguan.
Penutup
Salah satu syarat bagi adanya pengalaman politik bagi seorang politisi dan negarawan adalah informasi sejarah. Sehingga tidak salah bagi pejuang dakwah rajin melihat sejarah negarawan‐negarawan muslim di masa lalu. Bukan dalam rangka mengkultuskan atau menjadikannya sebagai dalil, namun untuk mengambil pelajaran bahwa untuk menjadi pejuang Islam dibutuhkan upaya yang serius. Sanggup untuk menderita, sanggup untuk konsisten, sanggup untuk melewati onak dan duri, sebagai buah keimanan yang mantap.
Bila di atas telah dibahas negarawan Muslim Utsmani, maka dikesempatan lain bisa dibahas pula negarawan‐negarawan Muslim Nusantara di masa lalu. Sebutlah mulai dari Nuruddin Ar Raniri, Syamsuddin Al Palembani, Abdurrauf As Singkili, Syaikh Arsyad Al Banjari, Syaikh Yusuf Al Makasari, Syaikh Mahmud At Termasi, Shah Alam Akbar Raden Fattah, Sunan Giri, Sunan Ampel, Sunan Gunung Jati, Tuanku Tambusai, Tuanku Nan Rentjeh, Sultan Agung Hanyokrokusumo, Pangeran Diponegoro, Kyai Mojo, Kasman Singodimejo, HOS Cokroaminoto, Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo, Muhammad Natsir, Buya Hamka dan sederat nama lain yang Allah SWT telah memuliakan mereka dengan amal‐amal mereka.
Tinggal kita hari ini, sanggupkah kita menauladani mereka agar Allah SWT juga memuliakan kita dengan amal‐amal kita, terutama dengan tegaknya Daulah Islam di Nusantara ? Semoga Allah SWT bersama kita.Amin.
16 Lebih lanjut tentang dharbul alaqat bisa dibaca di kitab Dukhul Mujtama