Post on 12-Mar-2019
8
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Transmisi Moneter
Transmisi moneter adalah mekanisme bekerjanya kebijakan moneter sampai
memengaruhi sektor riil. Mishkin (2004) menjelaskan bahwa jalur mekanisme
transmisi moneter dapat terjadi melalui beberapa jalur, yaitu jalur efek suku bunga
tradisional (traditional interest rate effect), jalur efek harga asset lain (other asset
price effect) dan jalur kredit (credit view). Berikut adalah penjelasan singkat
mengenai beberapa jalur transmisi moneter :
1. Jalur Efek Suku Bunga Tradisional (Traditional Interest Rate Effect)
Ketika terjadi ekspansi kebijakan moneter dengan penurunan suku bunga yang
mana akan menurunkan harga dari modal (cost of capital) maka akan
meningkatkan investasi dan memicu agregate demand sehingga meningkatkan
output.
2. Jalur Efek Harga Asset Lain (Other Asset Price Effect)
Transmisi moneter melalui jalur harga aset lain (other asset price effect) dapat
dibedakan menjadi tiga, yaitu efek nilai tukar terhadap ekspor bersih
(Exchange Rate Effect on Net Export), Teori Q Tobin (Tobin’s Q Theory) dan
Efek Kesejahteraan (Wealth Effect).
a. Exchange Rate Effect on Net Export
Ketika terjadi ekspansi kebijakan moneter dengan penurunan suku bunga
maka akan menyebabkan aset dalam mata uang asing lebih menarik
dibandingkan dengan aset domestik dalam Rupiah. Pada akhirnya nilai dari
9
aset rupiah akan menurun sehingga rupiah terdepresiasi. Nilai rupiah yang
lebih rendah dibandingkan mata uang asing akan menyebabkan harga barang
domestik menjadi lebih murah dibandingkan harga barang asing sehingga
meningkatkan ekspor dan agregate output.
b. Tobin’s Q Theory
Teori ini dikembangkan oleh James Tobin yang menjelaskan pengaruh
kebijakan moneter terhadap penilaian ekuitas. Tobin mendefinisikan ‘q’
sebagai harga pasar untuk perusahaan yang dibagi dengan penggantian harga
modal. Ketika nilai q tinggi maka harga pasar untuk perusahaan akan relatif
tinggi dibandingkan dengan harga modalnya. Untuk itu perluasan usaha dan
harga dari peralatan relatif murah sehingga dapat meningkatkan investasi. Hal
ini terjadi karena perusahaan dapat mengeluarkan sedikit saham, tetapi dapat
dijual dengan harga yang tinggi.
Ketika terjadi ekspansi moneter maka masyarakat akan dihadapkan pada
kondisi dimana terjadi kelebihan uang dibandingkan kebutuhan yang ada
sehingga masyarakat akan menyalurkan dananya ke pasar saham. Permintaan
saham akan meningkat dan harga saham akan naik. Harga saham yang naik
akan menyebabkan q naik sehingga meningkatkan investasi dan output.
c. Wealth Effect
Asumsi yang mendasari proses transmisi moneter pada jalur ini bahwa
pengeluaran konsumsi juga dipengaruhi oleh sumber daya seumur hidup
(lifetime resources), bukan hanya didasari pada pendapatan yang didapat hari
ini. Komponen utama sumber daya seumur hidup (lifetime resources) adalah
kesejahteraan finansial, salah satunya adalah saham. Saat terjadi kontraksi
10
moneter maka harga saham akan naik, sehingga menaikan kesejahteraan dan
juga menaikan konsumsi. Konsumsi yang naik akan meningkatkan ouput.
3. Jalur Kredit (Credit View)
Transmisi moneter melalui jalur kredit dapat dibedakan menjadi lima bagian,
yaitu penyaluran bank (bank lending channel), jalur neraca (balance sheet
channel), jalur arus kas (cash flow channel), jalur tingkat harga yang tidak
diantisipasi (unanticipated price level channel), dan jalur efek likuiditas rumah
tangga (household liquidity effect).
Mekanisme transmisi moneter melalui pinjaman bank (credit view) muncul
untuk menangani masalah asimetri informasi pada pasar keuangan. Pada jalur
kredit, transmisi moneter memengaruhi penyaluran dana pada perbankan serta
neraca perusahaan dan rumah tangga. Pada jalur pertama, yaitu penyaluran dana
dari perbankan (bank lending channel) berangkat dari analisis bahwa bank
memiliki peran penting dalam sistem keuangan karena dapat menangani masalah
informasi asimetrik pada pasar kredit. Karena peran bank yang sangat penting
maka peminjam hanya dapat mengakses pasar kredit melalui bank. Dengan
asumsi tidak ada substitusi sempurna diantara bank dengan sumber dana lain
maka saat terjadi ekspansi moneter yang meningkatkan cadangan perbankan dan
deposit bank maka akan meningkatkan ketersediaan dan kuantitas pinjaman
perbankan yang tersedia. Dengan asumsi peminjam tergantung pada pinjaman
perbankan untuk membiayai aktifitasnya, maka peningkatan pinjaman pada
perbankan akan meningkatkan investasi. Secara skematik, transmisi kebijakan
moneter melaui jalur pembiayaan perbankan adalah sebagai berikut,
11
Jika dilihat dari bagan diatas maka dapat disimpulkan bahwa
kebijakan moneter melalui jalur kredit bertujuan untuk mendorong investasi dari
sisi supply yang direpresentasikan oleh bank sebagai lembaga intermediasi.
Implikasi yang penting transmisi moneter melalui jalur kredit bahwa dengan
adanya kebijakan moneter maka efek yang lebih besar akan dirasakan oleh
perusahaan kecil yang mana sangat bergantung oleh pinjaman bank. Sedangkan
perusahaan besar dapat mengantisipasinya dengan mencari sumber modal lain
selain perbankan, yaitu melalui saham atau obligasi (Miskhin, 2009).
Penyaluran dana untuk sektor UMKM dari perbankan dapat diklasifikasikan
ke jalur bank lending channel karena bank memiliki peran yang penting dalam
sistem keuangan, yaitu sebagai lembaga intermediasi sekaligus penyalur kredit
dan pembiayaan terhadap masyarakat, termasuk kepada sektor UMKM.
Dalam proses transmisinya, Bank Indonesia dapat melakukan kontraksi dan
ekspansi moneter dengan menaikan atau menurunkan suku bunga kebijakan (BI
Rate). Kebijakan ini akan mempengaruhi sisi liabilitas (kewajiban) bank yang di
dominasi oleh dana pihak ketiga (DPK) yaitu dana masyarakat yang disimpan di
perbankan. Ketika ekonomi memanas, Bank Indonesia melakukan kontraksi
moneter dengan menaikan BI Rate. Kebijakan ini akan menyebabkan jumlah uang
beredar di masyarakat akan turun sehingga mengakibatkan jumlah DPK juga ikut
menurun. Penurunan DPK akan mengakibatkan penurunan ketersediaan dana
yang siap disalurkan oleh perbankan, salah satunya dalam bentuk kredit. Untuk
Ekspansi kebijakan moneter : cadangan dan deposit bank
ketersediaan pinjaman dari bank Investasi(I)
Output (Y)
12
meningkatkan DPK perbankan akan cenderung menaikan suku bunga dana seperti
tabungan dan deposito sehingga berakibat pada kenaikan suku bunga kredit.
Permintaan terhadap kredit baru cenderung turun karena suku bunga kredit yang
meningkat dan menyebabkan investasi turun dan pertumbuhan ekonomi
melambat.
Bank Indonesia juga dapat melakukan kontraksi moneter dengan
peningkatan Giro Wajib Minimum (GWM). Peningkatan GWM akan
mempengaruhi sisi liabilitas perbankan secara langsung sehingga dana yang siap
disalurkan juga akan cenderung menurun. Hal ini juga akan meningkatkan suku
bunga kredit dan menurunkan permintaan terhadap kredit baru sehingga investasi
juga menurun. Investasi yang menurun akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.
2.2. Instrumen Moneter
Dalam menjalankan kebijakan moneter Bank Indonesia memiliki beberapa
instrumen moneter yaitu Operasi Pasar Terbuka atau Open Market Operation
(OPT), Giro Wajib Minimum (GWM), Fasilitas Diskonto, dan Intervensi Mata
Uang Asing. Berikut adalah penjelasan singkat mengenai beberapa instrumen
moneter yang digunakan oleh Bank Indonesia dalam menjalankan operasi
moneternya:
a. Operasi Pasar terbuka adalah kegiatan jual beli surat berharga oleh bank
sentral yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat suku bunga.
Operasi ini memiliki dua aktivitas didalamnya, yaitu jual dan beli surat-
surat berharga termasuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Sertifikat
Bank Indonesia Syariah (SBIS). Kedua instrumen ini digunakan sebagai
13
instrumen utama dalam kebijakan moneter antara lain karena Bank
Indonesia memiliki SBI dalam jumlah yang memadai untuk mengeksekusi
keputusan kontraksi atau ekspansi moneter yang diambil setelah
mempertimbangkan tekanan terhadap inflasi. Selain itu SBI memenuhi
tiga syarat utama likuiditas surat berharga yang dapat diperjualbelikan
dalam operasi pasar terbuka dan diterbitkan secara kontinyu serta tersedia
setiap saat (Sugiyono, 2003).
b. Giro Wajib Minimum (Reserve Requirement)
Giro Wajib Minimum adalah ketentuan bank sentral yang mewajibkan
bank-bank untuk memelihara sejumlah alat likuid sebesar presentase
tertentu dari kewajiban lancarnya. Semakin kecil presentase tersebut maka
semakin besar kemampuan bank memanfaatkan cadangannya untuk
diberikan kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman dan begitu juga
sebaliknya.
c. Fasilitas Diskonto
Fasilitas diskonto adalah kebijakan moneter bank sentral untuk
memengaruhi jumlah uang beredar melalui penetapan diskonto pinjaman
bank sentral kepada bank-bank. Dengan penetapan diskonto yang tinggi
diharapkan bank akan mengurangi permintaan kredit dari bank sentral
yang akibatnya akan mengurangi jumlah uang beredar.
d. Intervensi Mata Uang Asing
Intervensi mata uang asing adalah kebijakan bank sentral untuk
mempengaruhi jumlah uang beredar atau likuiditas di pasar uang melalui
jual beli valuta asing atau cadangan devisa. Apabila bank sentral ingin
14
mengetatkan likuiditas rupiah di pasar uang, bank sentral akan menjual
cadangan devisanya.
Peraturan Bank Indonesia nomor 4/10/PBI/2002 tentang Sertifikat Bank
Indonesia (SBI) menyatakan bahwa SBI adalah surat berharga dalam mata uang
rupiah yang diterbitkan bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu
pendek. SBI ditebitkan oleh Bank Indonesia sebagai salah satu piranti dalam
Operasi Pasar Terbuka (OPT). Sedangkan Peraturan Bank Indonesia nomor
10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah menyatakan bahwa
SBIS adalah surat berharga bedasarkan prinsip syariah berjangka waktu pendek
dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia menggunakan
Akad Jua’lah. SBIS dibuat oleh Bank Indonesia dalam rangka meningkatkan
efektifitas mekanisme moneter dengan prinsip syariah. Kedua instrumen ini
memiliki fungsi yang sama yaitu sebagai instrumen Operasi Pasar Terbuka dalam
rangka pengendalian moneter dengan tujuan akhir kestabilan nilai rupiah dan
tingkat inflasi.
Penggunaan akad Jua’alah pada Sertifikat Bank Indonesia Syariah berarti
suatu janji atau komitmen (iltizam) untuk memberi imbalan tertentu (ju’ul) atas
hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan. Dalam hal ini Bank
Indonesia bertindak sebagai pemberi pekerjaan (Ja’il), bank syariah bertindak
sebagai penerima perkerjaan (Maj’ullah) dan objek/ underlying Ju’alah (mahall
al-‘aqd) adalah partisipasi bank syariah untuk membantu tugas Bank Indonesia
dalam pengendalian moneter melalui penyerapan likuiditas dari masyarakat dan
menempatkannya di Bank Indonesia dalam jumlah dan waktu tertentu. Di dalam
prakteknya yaitu saat Bank Indonesia akan melakukan transaksi lelang SBIS maka
15
Bank Indonesia akan mengumumkan bahwa Bank Indonesia akan melakukan
kebijakan moneternya yaitu akan menyerap likuiditas yang beredar di masyarakat.
Maka bank syariah akan membeli SBIS tersebut dan mendapatkan imbalan
tertentu. Jumlah nominal Ju’ul atau imbalannya harus dibayarkan oleh Ja’il yang
ditetapkan saat terjadinya akad dan harus disepakati oleh kedua belah pihak.
Tingkat suku bunga pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan bonus
Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) nantinya akan digunakan sebagai proksi
bagi kebijakan moneter, oleh karenanya perubahan pada tingkat suku bunga SBI
diharapkan mampu memberi pengaruh pada tingkat suku bunga kredit. Dengan
kata lain tingkat suku bunga SBI dijadikan barometer untuk menentukan tingkat
suku bunga deposito, kemudian suku bunga pinjaman akan merespon perubahan
tersebut (Muslim, 2008).
Sumber: Ascarya (2011)
Gambar 2.1. Alur Penerapan Sistem Moneter Ganda di Indonesia
Dengan semakin berkembangnya perbankan syariah, transmisi kebijakan
moneter tidak hanya mempengaruhi perbankan konvensional saja, namun juga
memengaruhi perbankan syariah karena mekanisme transmisi juga dapat melewati
16
jalur syariah. Instrumen kebijakan moneter ganda juga tidak terbatas hanya
menggunakan suku bunga saja, tetapi dapat pula menggunakan bagi hasil atau
margin. Dengan demikian, dalam sistem moneter ganda, interest rate pass-
through lebih tepat disebut policy rate pass-through, dimana policy rate untuk
konvensional menggunakan suku bunga, sedangkan policy rate untuk syariah
dapat menggunakan bagi hasil atau margin (Ascarya, 2012).
Dalam sistem perbankan syariah di Indonesia terdapat hubungan antara
sistem moneter yang ada di Indonesia dengan sistem perbankan syariah, yaitu
dengan keikutsertaan perbankan syariah di dalam kebijakan moneter yang
dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai otoritas moneter utama. Bank Indonesia
menyatakan bahwa cara-cara pengendalian moneter di Indonesia bisa dilakukan
berdasarkan prinsip Syariah yang ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia
(Triandaru, 2006).
2.3. Teori Preferensi Likuiditas
Teori Preferensi Likuiditas menyatakan bahwa tingkat bunga
menyesuaikan untuk menyeimbangkan penawaran dan permintaan uang. Jika M
adalah penawaran uang dan P adalah tingkat harga maka M/P adalah penawaran
dari keseimbangan uang riil. Teori ini mengasumsikan adanya penawaran uang
riil yang tetap dan menegaskan bahwa tingkat bunga adalah sebuah determinan
dari berapa banyak uang yang ingin dipegang oleh masyarakat. Alasannya adalah
bahwa tingkat bunga adalah biaya peluang (opportunity cost) dari memegang
uang, yaitu biaya yang harus ditanggung karena memegang sebagian aset dalam
bentuk uang (yang tidak mendapatkan bunga) atau dalam deposito atau obligasi.
17
Ketika tingkat bunga naik, orang-orang ingin memegang uang dalam jumlah yang
lebih sedikit. Hal ini menunjukan bahwa fungsi bahwa permintaan uang riil
dipengaruhi oleh suku bunga (Mankiw, 2007).
Tingkat bunga akan menyesuaikan untuk menyeimbangkan pasar uang,
dimana jumlah uang riil yang diminta sama dengan jumlah penawarannya.
Penyesuaian terjadi karena ketika terjadi ketidakseimbangan pada pasar uang
maka masyarakat akan berusaha menyesuaikan aset mereka dan dalam prosesnya
mengubah suku bunga. Misalnya, apabila tingkat bunga diatas keseimbangan
maka jumlah uang riil yang ditawarkan akan melebihi jumlah yang diminta.
Oang-orang yang memegang yang kelebihan penawaran uang berusaha untuk
mengubah sebagian diantaranya menjadi deposito atau obligasi. Bank-bank dan
penerbit obligasi yang lebih suka membayar tingkat bunga yang lebih rendah
merespon kelebihan uang dengan mengurangi tingkat bunga, begitu juga
sebaliknya. Hal ini digambarkan dalam kurva berikut:
Sumber: Mankiw, 2007
Gambar 2.2. Kurva Permintaan dan Penawaran Uang
M/P
Permintaan, L(r)
Tingkat bunga, r Penawaran
Keseimbangan uang riil, M/P
Tingkat bunga
ekuilibrium
18
2.4. Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)
Usaha mikro kecil dan menengah memiliki beberapa definisi dari beberapa
lembaga dan institusi terkait yang mendefinisikannya dengan berbagai kriteria,
antara lain:
a. Berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro,
Kecil dan Menengah, pengertian UMKM adalah usaha ekonomi produktif
yang berdiri sendiri yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan
usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang
perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau menjadi bagian baik langsung
maupun tidak langsung dari usaha lain. UMKM dikelompokan menjadi
tiga usaha berdasarkan kriteria asset dan omzet yang dimiliki, kriterianya
adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1 Kriteria UMKM Menurut UU Nomor 20 Tahun 2008
No Uraian
Kriteria
Asset Omzet
1 Usaha Mikro Max 50 juta Max 300 juta
2 Usaha Kecil >50juta-500juta >300juta-2,5 Miliar
3 Usaha Menengah >500 juta-10 Miliar >2,5 Miliar -50 Miliar
Sumber: UU Nomor 20 Tahun 2008
b. Berdasarkan kriteria Bank Indonesia, UMKM di bagi berdarkan jumlah
kredit yang diterima. Usaha mikro adalah usaha yang dapat menerima
kredit hingga Rp 50 juta. Sedangkan usaha kecil adalah usaha yang dapat
menerima kredit mulai dari Rp 50 juta hingga Rp 500 juta dan usaha
19
menengah adalah usaha yang dapat menerima kredit dari Rp 500 juta
sampai Rp 5 Miliar.
c. Berdasarkan Badan Pusat Statistik, UMKM dibagi berdasarkan jumlah
tenaga kerja yang dipakai. Usaha mikro adalah usaha yang
mempekerjakan maksimal lima orang pekerja keluarga. Usaha kecil adalah
usaha yang mempekerjakan lima sampai sepuluh orang pekerja.
Sedangkan usaha menengah adalah usaha yang mempekerjakan 20 sampai
99 orang.
2.5. Teori Bank Syariah dan Bank Konvensional
Bank adalah salah satu badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau
bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Seperti
yang dipaparkan dalam undang-undang No.10 Tahun 1998 bahwa fungsi dari
perbankan adalah sebagai lembaga intermediasi atau penghubung antara sektor
keuangan dan sektor riil.
Perbankan di Indonesia dapat digolongkan menjadi dua, yaitu bank syariah
dan konvensional. Perbankan syariah adalah suatu sistem perbankan yang
dikembangkan berdasarkan syariah Islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari
olah larangan dalam agama Islam untuk memungut atau meminjam bunga yang
dikenal dengan istilah riba. Perbankan syariah juga hanya melakukan investasi
pada usaha yang dikategorikan halal. Selain itu, perbankan syariah menerapkan
prinsip bagi hasil yang saling menguntungkan antara pihak bank dan masyarakat
20
dengan menjunjung tinggi asas keadilan, etika, persaudaraan, dan menghindari
transaksi spekulatif.
Dalam beberapa hal terdapat persamaan antara bank konvensional dan
bank syariah antara lain dari teknis penerimaan uang, mekanisme transfer dan
pembuatan laporan keuangannya. Tetapi terdapat beberapa perbedaan mendasar
yang membedakan kedua perbankan ini. Perbedaan yang ada dapat di rangkum
dalam Tabel 2.2 berikut.
Tabel 2.2. Perbedaan Antara Bank Syariah dan Bank Konvensional
Pembeda Bank Konvensional Bank Syariah
Akad dan Aspek
Legalitas
Konsekuensi
duniawi
Konsekuensi duniawi dan
ukhrawi
Lembaga
penyelesaian sengketa
dengan Nasabah
Peradilan Negeri Badan Arbitrase Muamalah
Indonesia (BAMUI)
Struktur Organisasi Komisaris dan
Direksi
Terdapat Dewan Pengawas
Syariah (DPS) dan Dewan
Syariah Nasional (DSN)
Investasi Investasi yang halal
dan haram
Hanya melakukan investasi
yang halal
Hubungan dengan
Nasabah Debitur-Kreditur Kemitraan
Prinsip Bunga Bagi Hasil, Jual Beli dan Sewa
Tujuan Profit Oriented Profit dan Falah Oriented
Sumber: Antonio (1999)
Salah satu cara yang dilakukan bank konvensional dalam menyalurkan
dana terhimpun adalah dengan kredit. Kredit yang diberikan dapat berupa kredit
korporasi atau kredit UMKM, dan pihak bank akan mendapatkan bunga atas
harga uang yang telah dipinjamkan. Sedangkan pada bank syariah, istilah yang
21
digunakan dalam penyaluran dana adalah pembiayaan dan sistem yang digunakan
adalah sistem bagi hasil. Beberapa contoh pembiayaan dan produk yang biasa
dilakukan bank syariah adalah:
1. Produk dengan prinsip jual beli antara lain murabahah, salam, dan istisna.
2. Produk dengan prinsip bagi hasil antara lain musyarakah, mudharabah,
dan rahn.
3. Produk dengan prinsip sewa antara lain ijarah.
Berikut adalah penjelasan singkat mengenai beberapa definisi produk perbankan
syariah yang digunakan dalam penelitian ini:
a. Al-Musyarakah : Pembiayaan berdasarkan akad kerja sama antara dua
pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, di mana masing-masing pihak
memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan
resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
b. Al-Mudharabah : Akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak
pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak
lainnya sebagai pengelola. Dana keuntungan usaha bagi diantara mereka
sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.
c. Al-Murabahah : menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya
kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga lebih sebagai
laba (Fatwa DSN-MUI).
Menurut Wulandari (2010) pada kenyataannya sistem pada bank syariah
dan konvensional tidak terpisah karena adanya interaksi antara bank syariah dan
konvensional melalui beberapa hal. Interaksi tersebut antara lain dalam hal
memperebutkan nasabah, adanya kesamaan pola kredit atau pembiayaan dan
22
persamaan dalam tabungan. Untuk itu piranti kebijakan konvensional seperti SBI,
Giro Wajib Minimum dan intervensi rupiah tidak hanya mempengaruhi bank
kovensional, tetapi juga mempengaruhi bank syariah. Begitu juga sebaliknya,
piranti kebijakan syariah seperti SBIS/SWBI dan Giro Wajib Minimum Syariah
juga mempengaruhi bank konvensional.
2.6. Pembiayaan dan Kredit Perbankan
Berdasarkan Undang-undang Perbankan Syariah No. 21/2008,
pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu
berupa transaksi bagi hasil, sewa menyewa, jual beli atau pinjam meminjam
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank syariah dan pihak lain yang
mewajibkan pihak yang dibiayai dan atau diberi fasilitas dana tersebut untuk
mengembalikan dana tersebut dalam jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah,
tanpa imbalan atau bagi hasil.
Antonio (2001) menjelaskan bahwa pembiayaan merupakan salah satu
tugas pokok dari bank, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk
memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan deficit unit. Menurut sifat
penggunaannya, pembiayaan di bagi menjadi dua hal:
a. Pembiayaan Konsumtif, yaitu pembiayaan yang digunakan untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan untuk
memenuhi kebutuhan.
b. Pembiayaan Produktif, yaitu pembiayaan yang ditunjukan untuk
memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan
usaha, baik usaha produksi, perdagangan, maupun investasi. Menurut
23
keperluannya, pembiayaan produktif dapat dibagi menjadi dua hal, yaitu
pembiayaan modal kerja dan pembiayaan investasi.
Pada pembiayaan modal kerja, terdapat perbedaan antara sistem yang dipakai
pada bank syariah dan konvensional. Bank konvensonal memberikan kredit modal
kerja tersebut dengan cara memberikan pinjaman sejumlah uang yang dibutuhkan
untuk mendanai seluruh kebutuhan yang merupakan kombinasi dari komponen-
komponen modal kerja tersebut, baik untuk keperluan produksi maupun
perdagangan dalam waktu tertentu.
Sedangkan pada bank syariah, dalam memenuhi seluruh kebutuhan untuk
mendanai modal kerja bukan dengan meminjamkan uang, tetapi dengan menjalin
hubungan partnership dengan nasabah, dimana bank bertindak sebagai
penyandang dana (shahibul maal) dan nasabah sebagai (mudharib) atau biasa
dikenal dengan istilah mudharabah atau trust financing.
Berdasarkan Undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang perbankan
menyatakan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-
meminjam antara bank dengan pihak lain, yang mewajibkan pihak pinjam
meminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan
sejumlah bunga imbalan atau pembagian hasil keuntungan. Kredit perbankan
dapat diklasifikasikan berdasarkan berdasarkan beberapa kriteria yaitu:
a. Berdasarkan jangka waktunya, yaitu kredit jangka pendek, jangka
menengah, dan jangka panjang.
b. Berdasarkan tujuan penggunaan dananya, yaitu kredit modal kerja, kredit
investasi, dan kredit konsumsi.
24
c. Berdasarkan golongan atau segmentasinya, yaitu kredit di sektor UMKM
dan non-UMKM
2.7. Konsep Bunga dan Profit Loss Sharing
Suku bunga adalah salah satu komponen utama dalam kebijakan ekonomi
konvensional yang berarti biaya yang harus dibayarkan oleh peminjam atas
pinjaman yang diterima dan merupakan imbalan bagi pemberi pinjaman atas
investasinya. Sedangkan bagi hasil adalah komponen terpenting dalam sistem
moneter syariah dan merupakan cerminan dari kinerja sektor riil. Dengan adanya
sistem bagi hasil makan distribusi kekayaan dan pendapatan akan semakin merata
sehingga sektor riil akan tumbuh (Ayuniyyah, 2010). Terdapat beberapa
perbedaan yang sangat mendasar antara suku bunga dan bagi hasil, perbedaanya
antara lain adalah sebagai berikut:
Tabel 2.3 Perbedaan Sistem Bunga dan Bagi Hasil
Bunga Bagi Hasil
Penentuan bunga dibuat pada akad
dengan asumsi selalu untung
Penentuan besarnya rasio atau nisbah
bagi hasil dibuat pada waktu akad
dengan berpedoman pada keadaan
untung dan rugi
Besarnya presentase berdasarkan
jumlah modal yang dipinjamkan
Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan
pada jumlah keuntungan yang diperoleh
Pembayaran bunga tetap walaupun
proyek yang dijalankan nasabah
mengalami kerugian
Bagi hasil tergantung pada keuntungan,
jika rugi maka akan di tanggung
bersama
Sumber: Antonio(1999)
25
Pada bank syariah terdapat dua jenis keuntungan yang didapat dari
pembiayaan yang diberikan, yaitu margin keuntungan dan bagi hasil. Margin
keuntungan adalah persentase tertentu yang ditetapkan oleh perbankan syariah
terhadap produk pembiayaan yang berbasis Natural Certainty Contract atau akad
bisnis yang memberikan kepastian pembayaran, baik dari segi jumlah maupun
waktu seperti murabahah, ijarah, salam dan istisna. Sedangkan bagi hasil adalah
nisbah yang ditetapkan terhadap produk-produk pembiayaan yang berbasis
Natural Uncertainty Contract atau akad bisnis yang tidak memberikan kepastian
pendapatan (return), baik dari segi jumlah maupun waktunya seperti musyarakah
dan mudharabah (Karim, 2010).
2.8. Teori Keuangan Syariah
Konsep uang dalam ekonomi Islam berbeda dengan konsep uang dalam
ekonomi konvensional. Dalam ekonomi Islam, uang bukanlah capital dan uang
merupakan sesuatu yang bersifat flow concept. Hal ini sejalan dengan konsep
yang diajukan oleh Fisher, yaitu:
M V = P T
dengan M adalah jumlah uang beredar, V adalah tingkat perputaran uang, P
adalah tingkat harga barang dan T adalah jumlah uang yang diperdagangkan. Dari
persamaan di atas dapat diketahui bahwa semakin cepat perputaran uang maka
semakin besar pendapatan yang akan diperoleh.
Fungsi permintaan uang dalam Islam pada dasarnya hanya memiliki dua
motif yaitu motif transaksi dan berjaga-jaga. Perbuatan yang mengarah kepada
motif spekulasi dilarang oleh Islam sehingga instrumen moneter Islam yang ada
26
diarahkan penggunaannya terhadap uang yang memiliki tujuan yang bersifat
penting dan mendesak serta investasi yang produktif dan efisien (Karim, 2008).
Sistem keuangan Islam hadir untuk memberikan berbagai jasa keuangan
yang berkontribusi secara pantas kepada pencapaian tujuan sosio-ekonomi yang
utama yaitu kesejahteraan ekonomi, kesempatan kerja, keadilan, distribusi
pendapatan yang wajar, dan stabilitas nilai uang (Algaoud, 2001). Dari segi
perspektif Islam tujuan utama perbankan dan keuangan Islam adalah:
1. Penghapusan bunga dari semua transaksi keuangan dan pembaharuan
semua aktivitas bank agar sesuai dengan prinsip Islam.
2. Pencapaian distribusi pendapatan dan kekayaan yang wajar serta
pembangunan ekonomi yang menguntungkan semua pihak yang terlibat
2.9. Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai mekanisme transmisi moneter melalui jalur kredit atau
pinjaman sudah cukup banyak dilakukan. Salah satunya penelitian yang dilakukan
oleh Rusydiana (2009), yang menyimpulkan bahwa semakin tinggi SWBI yang
ditetapkan bank Indonesia maka akan semakin rendah pembiayaan yang
dilakukan oleh perbankan syariah. Selain itu terdapat hubungan yang negatif
antara pembiayaan syariah dan SBI. Semakin tinggi SBI akan menyebabkan
penurunan pembiayaan syariah dan sebaliknya. Hal ini disebabkan jika bank
sentral menaikan suku bunga maka akan memicu perbankan konvensional untuk
menaikan suku bunganya, baik pinjaman maupun deposito. Oleh karena itu, daya
saing perbankan syariah akan turun dan menjadi kurang kompetitif.
27
Selain itu, penelitian yang dilakukan Ayyuniah (2010) bahwa instrumen
moneter konvensional memberikan guncangan yang lebih besar terhadap
pertumbuhan sektor riil dibandingkan dengan instrumen moneter syariah karena
proporsi instrumen konvensional yang masih mendominasi sampai dengan 97
persen dari share perbankan nasional Indonesia. Akan tetapi, instrumen moneter
syariah memiliki karakteristik yang lebih stabil dibandingkan dengan variabel
moneter konvensional karena lebih cepat menemukan titik kestabilan
dibandingkan dengan instrumen moneter konvensional. Selain itu, dapat
disimpulkan bahwa kebijakan moneter baik ekspansif maupun kontraktif dengan
instrumen suku bunga SBI, tidak mampu mempengaruhi jumlah penawaran kredit
investasi perbankan umum, hal ini menjadi bukti bahwa kebijakan moneter
melalui jalur bank lending tidak berlangsung di Indonesia selama periode 2001-
2007.
Penelitian lain dilakukan oleh Muslim (2008), dari hasil pengujian
VAR/VECM terdapat hubungan negatif antara SBI terhadap penawaran kredit
investasi, selain itu suku bunga kredit berpengaruh positif terhadap penawaran
kredit. Disamping itu, penawaran kredit investasi oleh perbankan secara positif
dipengaruhi oleh tingkat permodalan. Akan tetapi, dalam jangka panjang kredit
investasi secara signifikan dipengaruhi oleh struktur keuangan perbankan itu
sendiri yang mana jika perbankan diberikan penawaran kredit sebesar satu miliar
maka penawaran kredit investasi akan meningkat sebesar 0,77 Miliar Rupiah. Hal
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wulandari (2008) yang
menyatakan bahwa penawaran kredit perbankan dipengaruhi secara signifikan dan
negatif oleh SBI sebagai instrumen moneter.
28
Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Oliver Wurzbug (2003) dengan
studi kasus di negara Jerman menyatakan bahwa pinjaman yang diberikan bank
memiliki hubungan yang positif terhadap suku bunga pinjaman dan modal, tetapi
memiliki hubungan yang negatif dengan instrumen moneter. Dengan metode IRF,
guncangan pada kebijakan moneter akan dengan cepat menurunkan pinjaman dari
perbankan karena bank akan mengalami penurunan keuntungan dan modal.
2.10. Kerangka Pemikiran Konseptual
Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran Konseptual
Hubungan antara permasalahan dan tujuan penelitian digambarkan dalam
diagram kerangka pemikiran konseptual pada Gambar 2.3. Penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis pengaruh instrumen moneter syariah dan konvensional
Penerapan
Sistem Moneter
Ganda di
Indonesia
Instrumen
Moneter Syariah
Bunga Bank
Konvensional
Profit dan Loss
Sharing Bank Syariah
Kredit Pembiayaan
Kredit UMKM Pembiayaan UMKM
Instrumen mana yang
lebih berpengaruh dalam
peyaluran dana ke sektor
UMKM
Rekomendasi
Kebijakan
Instrumen
Moneter
Konvensional
29
terhadap penyaluran dana ke sektor UMKM di Indonesia. Instrumen moneter
yang dimaksud adalah SBI dan SBIS. Sedangkan penyaluran dana digambarkan
dengan pembiayaan dari perbankan syariah dan kredit dari perbankan
konvensional. Sebagai saluran transmisinya digunakan besarnya bagi hasil dan
suku bunga kredit.
2.11. Hipotesis
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, maka hipotesis
penelitian dirumuskan sebagai berikut:
1. SBI dan SBIS berpengaruh negatif terhadap penyaluran dana ke sektor
UMKM.
2. Pembiayaan UMKM dari perbankan syariah lebih cepat stabil ketika
terjadi guncangan moneter dibandingkan dengan kredit UMKM dari
perbankan konvensional.