Post on 01-May-2021
IDENTIFIKASI TELUR CACING SOIL TRANSMITTED HELMINTHSPADA KUBIS (Brassica oleracea) DI PASARANDUONOHU
KOTA KENDARI
KARYA TULIS ILMIAH
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan PendidikanDiploma III Politeknik Kesehatan Kemenkes
Kendari Jurusan Analis Kesehatan
OLEH :
MASDHARUN JEFFRI PRATAMAP00320013120
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIAPOLITEKNIK KESEHATAN KENDARI
JURUSAN ANALIS KESEHATAN2016
RIWAYAT HIDUP
A. Identitas Diri
Nama : Masdharun Jeffri Pratama
NIM : P00320013120
Tempat, tanggal lahir : Kendari, 22 September 1996
Suku/bangsa : Jawa/Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Kec. Landono Desa Tridana Mulya
B. Pendidikan
1. SD Negeri 1 Landono, tamat tahun 2007
2. SMP Negeri 1 Landono, tamat tahun 2010
3. SMA Negeri 1 Landono, tamat tahun 2013
4. Sejak Tahun 2013 melanjutkan pendidikan di Politeknik Kesehatan
Kemenkes Kendari Jurusan Analis sampai sekarang.
MOTTO
Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan selama kita mau danberjuang untuk menyelesaikannya
Anggap semua masalah adalah proses hidup menuju kesuksesanyang sangat indah dan megah di akhirnya nanti
Sehingga kita dapat terus semangat menghadapi apa yang namanyamasalah itu sendiri.
Jangan ragu akan kemampuanmu sendiri, selalu pasangsenyum,berusaha berdoa dan mohon doa restu ke dua orang tuakita.
Jangan menyerah.
Karya tulis ini kupersembahkan kepada
Ibu dan Bapakku yang tersayang, kluargaku
yang tercinta, Almamaterku, Agama,
Bangsa dan Negaraku teman-teman dan
orang yang sangat menyayangiku
ABSTRAK
Masdharun Jeffri PratamaNIM : P00320013120,Identifikasi Telur SoilTransmitted Helminths (STH) PadaSayur Kubis (Brassica oleracea) Yang DiJual Di Pasar Anduonohu Kota Kendari.Pembimbing I Anita Rosanty,Pembimbing II Tuty Yuniarty (xiii + 30 halaman + 7 gambar + 8lampiran).Mengidentifikasi telur cacing Soil Transmitted Helminths (STH).SoilTransmitted Helminthsadalah nematoda usus yang dalam siklus hidupnyamembutuhkan tanah untuk proses pematangan. Masalah kecacingan yangberkaitan dengan infeksi cacing ini masih banyak ditemukan.Angka kontaminasiSoil Transmitted Helminthspada sayuran juga masih cukup tinggi.Prosespengolahan dan pencucian sayuran mentah siap makan yang kurangbaik,mempermudah transmisi telur cacing ke manusia.Penelitian ini bertujuanuntuk mengidentifikasi telur Soil Transmitted Helminths pada sayur kubis(Brassica oleracea).Jenis penelitian ini adalah penelitian survei yang bersifatdeskriptif dengan pendekatan laboratorik.Sampel penelitian diperoleh dari 30pedagang sayur kubis dengan teknik totally sampling.Pemeriksaan telur cacingmenggunakan metode flotasi.Pada sampel kubis yang ditemukan adanya telur SoilTransmitted Helminths,ditentukan jumlah kontaminasi telur cacing.Hasilidentifikasi telur Soil Transmitted Helminths pada sayur kubis (Brassica oleracea)menunjukkan bahwa 3,3% (2 sampel) terkontaminasi oleh telur Soil TransmittedHelminthsdan 96,3% (28 sampel)tidak terkontaminasi Soil Transmitted Helminthsdan dapat di simpulkan bahwa kubis terkontaminasi telur cacing Soil TransmittedHelminths (.Disarankan bagi institusi Poltekes Kemenkes Kendari Jurusan AnalisKesehatan diharapkan dapat meningkatkan kegiatan promosi kesehatan mengenaipenyuluhan kesehatan tentang bahaya infeksi kecacingan di sayuran.
Kata kunci: sayur kubis, soil transmitted helminths
Daftar pustaka : 12 (2006-2013)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis patjankan kehadirat ALLAH SWT yang telahmelimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikanKarya Tulis Ilmiah dengan judul ‘’ Identifikasi Telur Cacing Soil TransmittedHelminths (STH) pada sayur kubis di pasar Anduonohu Kota Kendari ‘’sebagai syarat untuk memperoleh gelar D3 Analis kesehatan di PoliteknikKesehatan Kemenkes Kendari.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan Karya TulisIlmiah ini masi banyak kekeliruan, kesalahan dan kekurangan yang disebabkankarna pengetahuan dan kemampuan penulis yang masi kurang sehingga kritik dansaran dari semua pihak sangat diharapkan oleh penulis demi kesempurnaan KaryaTulis Ilmiah.
Proses penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini telah melewati perjalananpanjang dan penulis banyak mendapatkan petunjuk dan bimbingan dari berbagaipihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menghaturkan rasa terimakasih kepada Ibu Anita Rosanty,SST.,M.Kes selaku pembimbing I dan IbuTuty Yuniarty,S.Si.M.Kes selaku pembimbing II yang telah meluangkanwaktunya dan memberikan bimbingan serta arahan selama proses penyusunanKarya Tulis Ilmiah ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik.
Pada kesempatan ini pula dengan segala kerendahan hati penulis inginmenghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Petrus, SKM., M.Kes. selaku Direktur Politeknik KesehatanKemenkes Kendari.
2. Bapak Kepala Badan Riset Provinsi Sulawesi Tenggara yang telahmengeluarkan surat izin penelitian kepada penulis.
3. Ibu Ruth Mongan BSc.,S.Pd.,M.Pd selaku ketua jurusan Analis PoltekkesKemenkes Kendari.
4. Bapak Muhaimin Saranani,S.Kp.,Ns.,M.Sc, Ibu Reni Yunus,S.Si.,M.Sc, IbuHj.Siti Nurhayani,S.Kp.,M.Kep .selaku dosen penguji yang telah memberikankritik dan saran yang sangat penulis butuhkan demi kesempurnaan KaryaTulis Ilmiah ini.
5. Para Dosen dan Staf Administrasi khususnya dilingkungan jurusan AnalisKesehantan Poltekes Kendari.
6. Pada ke 2 Orang tua saya dan keluarga saya yang sangat saya banggakan7. Serta teman –temanku Angkatan I Analis Kesehatan Kendari yang penulis
tidak bisa sebutkan satu persatu.
Akhir kata, penulis berharap semoga Karya Tulis ini bermanfaat bagipengembangan ilmu pengetahuan pada masa yang akan datang untuk adik-adik juniorku di Poltekes Kemenkes Kendari saerta mendapat Ridho dariALLAH SWT, Amin......
Kendari, Juli 2016
Peneliti
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………...………. iHALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS…………………..……. ii
HALAMAN PERSETUJUAN………………………………………….... iiiHALAMAN PERNGESHAN….....……………………………………..... iv
RIWAYAT HIDUP….................………………………………………..... vMOTTO….................................………………………………………....... viABSTRAK…............................………………………………………....... viiKATA PENGANTAR…............………………………………………..... viii
DAFTAR ISI……………………………………………………………… xDAFTAR TABEL….…..………………………………………………… xiDAFTAR LAMPIRAN…...……………………………………………… xiiBAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang……………………………………..…...….. 1B. Rumusan Masalah……………………………………....….. 3C. Tujuan Penelitian………………………………..………..... 3D. Manfaat Penelitian……………………………………..…... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Soil Transmitted helminhs.................... .. 4B. Tinjauan Tentang Kubis ...................................………....... 12C. Tinjauan Tentang Pemeriksaan Soil Transmitted
Helminhs pada sayur kubis……………………………....... 14
BAB III KERANGKA KONSEP
A. Dasar Pemikiran…………………………………..………... 16B. Kerangka konsep….......……...………………………..…… 17C. Variabel Penelitian……………………………………...….. 17D. Definisi Operasional Dan Kriteria Objektif……………...... 18
BAB IV METODE PENELITIAN
A. Disain Penelitian………………..………………………....... 19B. Waktu Dan Tempat Penelitian………………………...….... 9C. Populasi Dan Sampel…………………………………......... 19D. Prosedur Pengumpulan Data………………………..…........ 20E. Instrumen Penelitian……………………………..………..... 20F. Prosedur Kerja…………………………………………….... 20G. Jenis Data………………………………………………….... 21H. Pengolahan Data…………………………………………..... 22
I. Analisa Data……………………………………………….... 22J. Penyajian Data…………………………………………….... 23K. Etika penelitian....................................................................... 24
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian..................................... 25B. Hasil Penelitian..................................................................... 26C. Pembahasan ......................................................................... 27
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan.... ............................................................................ 30B. Saran ....................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 5.1 : lembar hasil identifikasi telur cacing Soil Transmitted Helminths
pada kubis ........................................................................... 27
Tabel 5.2 : Lembar hasil identifikasi jenis telur cacing Telur Trichiuris
Trichiura ............................................................................. 27
Tabel 5.3 : Lembar hasil identifikasi jenis telur cacing Telur Telur
Ascaris Lumbricoides ......................................................... 28
Tabel 5.4 : Lembar hasil identifikasi jenis telur cacing Telur Telur cacing
Tambang ........................................................................... 28
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Surat izin penelitian dari Poltekes kemenkes kendari
Lampiran 2 : Surat izin penelitian dari Badan Penelitian dan PengembanganDaerah Provinsi Sulawesi Tengara
Lampiran 3 : Lembar hasil penelitian
Lampiran 4 : Surat keterangan telah melakukan penelitian
Lampiran 5 : Tabulasi data
Lampiran 6 : Master tabel
Lampiran 7 : Documen penelitian
Lampiran 8 : Surat keterangan bebas pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Soil Transmitted Helminths adalah sekelompok cacing parasit (kelas
Nematoda) yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia melalui kontak
dengan telur ataupun larva parasit itu sendiri yang berkembang di tanah yang
lembab yang terdapat di negara yang beriklim tropis maupun subtropis
(Bethony,et al.2006).
Menurut Hotez (2006) jenis Soil Transmitted Helminths yang paling
sering menginfeksi adalah cacing gilig/roundworm (Ascaris lumbricoides),
cacing cambuk/whipworm (Trichuris trichiura) dan cacing
tambang/anthropophilic hookworm (Ancylostoma duodenale dan Necator
americanus) sedangkan Strongyloides stercoralis jarang ditemukan terutama
pada daerah yang beriklim dingin (Gandahusada 2006). Infeksi Soil
Transmitted Helminths (STH) masih merupakan endemik di banyak daerah di
dunia, terutama di negara yang sedang berkembang dengan sanitasi
lingkungan dan kebersihan diri yang sangat kurang.
Kecacingan adalah masalah kesehatan yang masih banyak ditemukan.
Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), lebih dari 1,5
miliar orang atau 24% dari populasi dunia terinfeksi Soil Transmitted
Helminths (STH). Infeksi tersebar luas di daerah tropis dan subtropis, dengan
jumlah terbesar terjadi di sub-Sahara Afrika, Amerika, Cina dan Asia Timur
(WHO, 2013). Di Indonesia sendiri prevalensi kecacingan di beberapa
kabupaten dan kota pada tahun 2012 menunjukkan angka diatas 20% dengan
prevalensi tertinggi di salah satu kabupaten mencapai 76,67% (Direktorat
Jenderal PP&PL Kemenkes RI, 2013).
Banyak dampak yang dapat ditimbulkan akibat infeksi cacing.
Cacingan mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan (digestif),
penyerapan (absorbsi), dan metabolisme makanan. Secara kumulatif, infeksi
cacing dapat menimbulkan kerugian zat gizi berupa kalori dan protein serta
kehilangan darah. Selain dapat menghambat perkembangan fisik, kecerdasan
dan produktifitas kerja, dapat menurunkan ketahanan tubuh sehingga mudah
terkena penyakit lainnya (Menteri Kesehatan RI, 2006).
Transmisi telur cacing ke manusia bisa terjadi dari tanah yang
mengandung telur cacing. Telur Soil Transmitted Helminths (STH)
dikeluarkan bersamaan dengan tinja orang yang terinfeksi. Di daerah yang
tidak memiliki sanitasi yang memadai, telur ini akan mengkontaminasi tanah.
Telur dapat melekat pada sayuran dan tertelan bila sayuran tidak dicuci atau
dimasak dengan hati-hati. Selain itu telur juga bisa tertelan melalui minuman
yang terkontaminasi dan pada anak-anak yang bermain di tanah tanpa mencuci
tangan sebelum makan. Tidak ada transmisi langsung dari orang ke orang,
atau infeksi dari feses segar, karena telur yang keluar bersama tinja
membutuhkan waktu sekitar tiga minggu untuk matang dalam tanah sebelum
mereka menjadi infektif (WHO, 2013).
Salah satu jenis sayuran yang sering terkontaminasi oleh Soil
Transmitted Helminths (STH) adalah kubis. Kubis (Brassica oleracea)
merupakan jenis sayuran yang umumnya dikonsumsi secara mentah, karena
dilihat dari tekstur dan organoleptik sayuran ini memungkinkan untuk
dijadikan lalapan (Purba dkk., 2012). Sayuran kubis memiliki permukaan daun
yang berlekuk-lekuk sehingga memungkinkan telur cacing menetap di
dalamnya (Setyorini, 2011). Bila dalam proses pengolahan dan pencucian
sayuran tidak baik, memungkinan bagi telur cacing masih melekat pada
sayuran dan tertelan saat sayuran dikonsumsi (CDC, 2013).
Bedasarkan penelitian yang pernah dilakukan Untuk propinsi Sulawesi
Tenggara prevalensi kecacingan hasil survey tahun 2000 adalah 40,01%,
untuk kabupaten kendari yaitu sebesar 31,12%. Berdasarkan data Dinas
Kesehatan Kota Kendari jumlah penderita penyakit kecacingan tahun 2015
berjumlah 291 orang. (Dinas Kesehatan Kota Kendari,2016)
Sementara berdasarkan data profil kesehatan kota kendari jumlah
penderita cacing tahun 2001 sebanyak 432 orang dan tahun 2002 menjadi 467,
dari data tersebut dapat diketahui bahwa terjadi pertambahan jumlah penderita
sebanyak 35 orang atau 7%.(profil kesehatan Kota Kendari 2001)
Masih tingginya prevalensi kecacingan dan kontaminasi telur Soil
Transmitted Helminths (STH) pada sayuran kubis yang dijual di pasar
tradisional maupun pasar modern serta bila diikuti dengan pengolahan dan
pencucian sayuran mentah yang kurang baik, memungkinkan terjadinya
kontaminasi pada lalapan kubis yang disajikan di warung-warung makan.
Hal ini menjadi alasan mengapa penting bagi kita untuk
mengidentifikasi telur Soil Transmitted Helminths (STH) pada lalapan kubis
(Brassica oleracea) di penjual sari laut di wilaayah anduonohu.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang diatas, permasalahan yang
diajukan pada penelitian ini adalah Apakah terdapat telur cacing Soil
Transmitted Helminths pada kubis yang di jual di pasar Anduonohu Kota
Kendari.?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengiidentifikasi telur cacing Soil Transmitted Helminths
pada sayur kubis di pasar anduonohu kota kendari.
2. Tujuan Khusus
Diketahui jenis telur cacing pada kubis di pasar anduonohu kota
kendari..
a. Jenis telurcacing Trichiuris trichiura
b. Jenis telurcacing Ascaris lumbricoides
c. Jenis telurcacing tambang
D. Manfaat Penelitian
1. Untuk peneliti
Sebagai bahan masukan dan pengalaman bagi peneliti untuk dapat lebih
memperhatikan jenis sayuran untuk dikonsumsi terutama sayuran lalapan.
2. Untuk institusi
Sebagai masukan bagi instansi terkait yaitu balai pengawasan obat dan
makanan agar lebih memperhatikan kualitas bahan makanan yang
disediakan warung lesehan (sari laut) terutama sayuran.
3. Untuk peneliti lanjut
Hasil peneliti ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmiah,
terkhusus pada. Pada pengetahuan tentang teori dan konsep penyakit
kecacingan, yang dapat dikembangkan bagi peneliti selanjutnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Soil Transmitted Helminths (STH)
Soil Transmitted Helminths (STH) adalah nematoda usus yang dalam
siklus hidupnya membutuhkan tanah untuk proses pematangan (Rusmartini,
2009). Cacing ini ditularkan melalui telur cacing yang dikeluarkan bersamaan
dengan tinja orang yang terinfeksi. Di daerah yang tidak memiliki sanitasi
yang memadai, telur ini akan mencemari tanah. Empat spesies yang paling
umum menginfeksi manusia adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides),
cacing cambuk (Trichuris trichiura), dan cacing tambang antropofilik
(Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) (Hotez et al., 2006).
1. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)
Ascaris lumbricoides merupakan nematoda terbesar (cacing
gelang) yang hidup sebagai parasit pada usus manusia. Cacing betina
berukuran lebih besar dari cacing jantan. Ukuran cacing betina dewasa
mencapai 20-35 cm dan cacing jantan dewasa 15-30 cm (CDC, 2013).
Cacing dewasa hidup di rongga usus halus. Seekor cacing betina dapat
bertelur 100.000-200.000 butir sehari (Sutanto dkk., 2008).
Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang
menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk
infektif tersebut bila tertelan manusia, menetas di usus halus. Larvanya
menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe,
lalu dialirkan ke jantung, kemudian mengikuti aliran darah menuju ke
paru. Larva di paru menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding
alveolus, masuk rongga alveolus, kemudian naik ke trakea melalui
bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva menuju faring, sehingga
menimbulkan rangsangan pada faring. Penderita batuk karena rangsangan
tersebut dan larva akan tertelan ke dalam esofagus, lalu menuju ke usus
halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur
matang tertelan sampai cacing dewasa bertelur diperlukan waktu kurang
lebih 2-3 bulan (Sutanto dkk., 2008).
Gambar 1. Daur hidup Ascaris lumbricoides (CDC, 2013)
Pada pemeriksaan tinja penderita, dapat ditemukan telur cacing.
Ada tiga bentuk telur yang mungkin ditemukan, yaitu (1) telur yang
dibuahi, berbentuk bulat atau oval dengan dinding telur yang kuat, terdiri
dari 3 lapis. (2) Telur yang mengalami dekortikasi adalah telur yang
dibuahi, akan tetapi kehilangan albuminoidnya. (3) Telur yang tidak
dibuahi, mungkin dihasilkan oleh betina yang tidak subur atau terlalu
cepat dikeluarkan oleh betina yang subur. Telur ini berdinding tipis dan
akan tenggelam dalam larutan garam jenuh (Rusmartini, 2009).
Gambar 2. Telur Ascaris lumbricoides (CDC, 2009)
Gejala klinis yang dapat ditimbulkan dipengaruhi oleh beberapa
hal. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi diantaranya beratnya infeksi,
keadaan umum penderita, daya tahan, dan kerentanan penderita terhadap
infeksi cacing. Pada infeksi biasa, penderita mengandung 10-20 ekor
cacing, sering tidak ada gejala yang dirasakan oleh hospes, baru diketahui
setelah pemerikasaan tinja rutin atau karena cacing dewasa keluar bersama
tinja (Rusmartini, 2009).
Gejala yang timbul pada penderita Ascariasis dapat disebabkan
oleh cacing dewasa dan larva. Gangguan karena larva biasanya terjadi saat
berada di paru. Pada orang yang rentan terjadi perdarahan kecil pada
dinding alveolus dan timbul gangguan pada paru yang disertai dengan
batuk, demam, eosinofilia. Pada foto toraks tampak infiltrat. Pada kasus ini
sering terjadi kekeliruan diagnosis karena mirip dengan gambaran TBC,
namun infiltrat ini menghilang dalam waktu 3 (tiga) minggu setelah
diberikan obat cacing pada penderita. Keadaan ini disebut sindrom
Loeffler. Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan.
Kadang-kadang penderita mengalami gejala gangguan usus ringan seperti
mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi (Sutanto dkk., 2008).
Metode standar untuk mendiagnosis ascariasis adalah dengan
mengidentifikasi telur Ascaris lumbricoides dalam sampel tinja
menggunakan mikroskop. Karena telur mungkin sulit ditemukan pada
infeksi ringan, maka dianjurkan untuk menggunakan prosedur konsentrasi.
Bila prosedur konsentrasi tidak tersedia, pemeriksaan sediaan langsung
pada spesimen dapat dilakukan untuk mendeteksi infeksi sedang sampai
berat. Untuk penilaian kuantitatif, berbagai metode seperti Kato-Katz
dapat digunakan. Selain itu stadium larva dapat diidentifikasi dalam dahak
atau aspirasi lambung selama fase migrasi paru (CDC, 2012).
2. Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)
Cacing cambuk (Trichuris trichiura) merupakan nematoda usus
penyebab penyakit trikuriasis. Trikuriasis adalah salah satu penyakit
cacing yang banyak tedapat pada manusia. Diperkirakan sekitar 900 juta
orang pernah terinfeksi dengan cacing ini. Penyakit ini sering dihubungkan
dengan terjadinya kolitis dan sindrom disentri pada derajat infeksi sedang
(Soedarmo dkk., 2010).
Manusia merupakan hospes definitif dari Trichuris trichiura.
Cacing ini terutama dapat ditemukan di sekum dan appendiks, tetapi juga
dapat ditemukan di kolon dan rektum dalam jumlah yang besar. Cacing
cambuk tidak membutuhkan hospes perantara untuk tumbuh menjadi
bentuk infektif (Rusmartini, 2009).
Cacing betina panjangnya kira-kira 5 cm, sedangkan cacing jantan
kira-kira 4 cm. Bagian anterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-
kira 3/5 dari panjang seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih
gemuk dan cacing betina bentuknya membulat tumpul, sedangkan pada
cacing jantan melingkar dan terdapat satu spikulum. Cacing dewasa hidup
di kolon asendens dan sekum dengan satu spikulum dengan bagian
anteriornya yang seperti cambuk masuk ke dalam mukosa usus. Seekor
cacing betina diperkirakan menghasilkan telur setiap hari antara 3.000-
20.000 butir. Telur berbentuk seperti tempayan dengan semacam
penonjolan yang jernih pada kedua kutub.
Kulit telur bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan bagian
dalamnya jernih (Sutanto dkk., 2008).
Gambar 3. Telur Trichuris trichiura (CDC, 2009)
Telur yang keluar bersama tinja merupakan telur dalam keadaan
belum matang (belum membelah) dan tidak infektif. Telur ini perlu
pematangan pada tanah selama 3-5 minggu sampai terbentuk telur infektif
yang berisi embrio di dalamnya. Manusia mendapat infeksi jika telur yang
infektif ini tertelan. Selanjutnya di bagian proksimal usus halus, telur
menetas, keluar larva, menetap selama 3-10 hari. Setelah dewasa, cacing
akan turun ke usus besar dan menetap dalam beberapa tahun. Jelas sekali
bahwa larva tidak mengalami migrasi dalam sirkulasi darah ke paru-paru
(Rusmartini, 2009).
Gambar 4. Daur hidup Trichuris trichiura (CDC, 2013)
Mekanisme pasti bagaimana cacing cambuk menimbulkan kelainan
pada manusia tidak diketahui, tetapi paling tidak ada 2 proses yang
berperan, yaitu trauma oleh cacing dan efek toksik. Trauma pada dinding
usus terjadi karena cacing ini membenamkan bagian kepalanya pada
dinding usus (Soedarmo dkk., 2010).
Pada infeksi yang ringan, kerusakan dinding mukosa usus hanya
sedikit. Infeksi cacing ini memperlihatkan adanya respons imunitas
humoral yang ditunjukkan adanya reaksi anafilaksis lokal yang dimediasi
oleh IgE, akan tetapi peran imunitas seluler tidak terlihat. Terlihat adanya
infiltrasi lokal eosinofil di submukosa dan pada infeksi berat ditemukan
edema. Pada keadaan ini mukosa akan mudah berdarah, namun cacing
tidak aktif menghisap darah (Soedarmo dkk., 2010).
Pada infeksi berat, terutama pada anak, cacing tersebar di seluruh
kolon dan rektum. Kadang-kadang terlihat di mukosa rektum yang
mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita pada waktu defekasi
(Sutanto dkk., 2008).
Infeksi Trichuris trichiura ditegakkan dengan menjumpai telur
dalam feses ataupun cacing dewasa pada feses. Pemeriksaan yang
direkomendasikan adalah pemeriksaan sampel feses dengan teknik
hapusan tebal kuantitatif Kato-Katz. Metode ini dapat mengukur intensitas
infeksi secara tidak langsung dengan menunjukkan jumlah telur per gram
feses (Lubis, 2012).
3. Cacing Tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale)
Cacing tambang merupakan nematoda yang hidup sebagai parasit
pada usus manusia. Cacing ini termasuk kelas Nematoda dan tergolong
dalam filum Nemathelmintes. Dua spesies utama cacing tambang yang
menginfeksi manusia adalah Necator americanus dan Ancylostoma
duodenale (Sehatman, 2006).
Manusia merupakan hospes definitif dari cacing tambang. Cacing
ini hidup dalam usus halus terutama di daerah jejunum. Pada infeksi berat,
cacing dapat tersebar sampai ke kolon dan duodenum. Cacing dewasa
hidup di rongga usus halus dengan mulut yang besar melekat pada mukosa
dinding usus (Rusmartini, 2009).
Ukuran Ancylostoma duodenale sedikit lebih besar dari Necator
americanus. Cacing dewasa jantan berukuran 5-11 mm x 0,3-0.45 mm dan
cacing betina 9-13 mm x 0,35-0,6 mm. Bentuk badan Necator americanus
biasanya menyerupai huruf S, sedangkan Ancylostoma duodenale
menyerupai huruf C. Rongga mulut kedua jenis cacing ini besar. Necator
americanus mempunyai benda kitin, sedangkan Ancylostoma duodenale
ada dua pasang gigi (Soedarmo dkk., 2010; Sutanto dkk., 2008).
Telur cacing tambang berbentuk oval, tidak berwarna dan
berukuran 40 x 60 mikron. Dinding luar dibatasi oleh lapisan vitelline
yang halus, di antara ovum dan dinding telur terdapat ruangan yang jelas
dan bening. Telur yang baru keluar bersama tinja mempunyai ovum yang
mengalami segmentasi 2, 4, dan 8 sel. Bentuk telur Necator americanus
tidak dapat dibedakan dari Ancylostoma duodenale. Jumlah telur per-hari
yang dihasilkan seekor cacing betina Necator americanus sekitar 9.000-
10.000, sedangkan pada Ancylostoma duodenale 10.000-20.000 butir
(Rusmartini, 2009).
Gambar 5. Telur cacing tambang (hookworm) (CDC, 2010)
Telur cacing tambang dikeluarkan bersama tinja dan berkembang
di tanah. Dalam kondisi kelembaban dan temperatur yang optimal, telur
akan menetas dalam 1-2 hari dan melepaskan larva rhabditiform yang
berukuran 250-300 μm. Setelah dua kali mengalami perubahan, akan
terbentuk larva filariform. Perkembangan dari telur ke larva filariform
adalah 5-10 hari. Kemudian larva menembus kulit manusia dan masuk ke
sirkulasi darah melalui pembuluh darah vena dan sampai di alveoli.
Setelah itu larva bermigrasi ke saluran nafas atas yaitu dari bronkhiolus ke
bronkus, trakea, faring, kemudian tertelan, turun ke esofagus dan menjadi
dewasa di usus halus (Soedarmo dkk., 2010)
Gambar 6. Daur hidup cacing tambang (hookworm) (CDC, 2013)
Kerusakan jaringan dan gejala penyakit dapat disebabkan oleh
larva maupun cacing dewasa. Larva menembus kulit dan membentuk
maculopapula dan eritem, sering disertai rasa gatal yang hebat, disebut
ground itch atau dew itch. Sewaktu larva berada dalam aliran darah dalam
jumlah banyak atau pada orang yang sensitif dapat menimbulkan bronkitis
atau bahkan pneumonitis (Rusmartini, 2009).
Gejala yang disebabkan oleh infeksi cacing tambang stadium
dewasa tergantung pada spesies, jumlah cacing, dan keadaan gizi
penderita. Tiap cacing Necator americanus menyebabkan kehilangan
darah sebanyak 0,005-0,1 cc sehari, sedangkan Ancylostoma duodenale
0,08-0,34 cc. Pada infeksi kronik atau infeksi berat terjadi anemia
hipokrom mikrositer. Disamping itu juga terdapat eosinofilia. Cacing
tambang biasanya tidak menyebabkan kematian tetapi dapat membuat
daya tahan tubuh berkurang dan prestasi kerja turun (Soedarmo dkk.,
2010).
Diagnosis dapat ditegakkan dengan mengidentifikasi telur cacing
tambang dalam sampel tinja menggunakan mikroskop. Untuk penilaian
kuantitatif, berbagai metode seperti Kato-Katz dapat digunakan. Untuk
membedakan spesies Necator americanus dan Ancylostoma duodenale
dapat dilakukan biakan dengan cara Harada-Mori (Soedarmo dkk., 2010;
CDC, 2012).
B. Kubis (Brassica oleracea)
1. Definisi
Kubis (Brassica oleracea) merupakan tanaman semusim atau dua
musim dan termasuk dalam famili Brassicaceae. Pada umumnya kubis
ditanam di daerah yang berhawa sejuk, di dataran tinggi 800-2.000 m dpl
dan bertipe iklim basah, namun terdapat pula varietas yang dapat ditanam
di dataran rendah atau 200 m dpl. Pertumbuhan optimum didapatkan pada
tanah yang banyak mengandung humus, gembur, porus, pH tanah antara 6-
7. Waktu tanam yang baik pada awal musim hujan atau awal musim
kemarau. Namun kubis dapat ditanam sepanjang tahun dengan
pemeliharaan lebih intensif (Puslitbang Hortikultura Deptan RI, 2013).
2. Taksonomi
Kedudukan kubis dalam sistemika (taksonomi) tumbuhan
diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Sub divisio : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Papavorales
Famili : Cruciverae (Brassicaceae)
Genus : Brassica
Spesies : Brassica oleracea (BBPP Lembang, 2012).
3. Morfologi
Kubis memiliki daun yang berbentuk bulat, oval, sampai lonjong,
membentuk roset akar yang besar dan tebal. Warna daun bermacam-
macam, antara lain putih (forma alba), hijau, dan merah keunguan (forma
rubra). Awalnya, daunnya yang berlapis lilin tumbuh lurus, daun-daun
berikutnya tumbuh membengkok, menutupi daun-daun muda yang terakhir
tumbuh. Pertumbuhan daun terhenti ditandai dengan terbentuknya krop
atau telur (kepala) dan krop samping pada kubis tunas (Brussel sprouts).
Selanjutnya, krop akan pecah dan keluar malai bunga yang bertangkai
panjang, bercabang-cabang, berdaun kecil-kecil, mahkota tegak, berwarna
kuning (Dinas Pertanian Kabupaten Majalengka, 2012).
Gambar 7. Kubis (Brassica oleracea) (Mayus, 2013)
Daun buah (Carpellum) yang berjumlah dua buah membentuk
bakal buah yang terletak diatas dasar bunga (receptaculum) dan dalam
perkembangan selanjutnya akan menjadi buah (Silikua) dengan dua ruang
yang terpisah oleh dinding penyekat (septum). Buah ini lebarnya antara
0,4-0,5 cm dan panjangnya kadang-kadang lebih dari 10 cm. Pada kedua
sisi dinding penyekat ruang terdapat masing-masing sederet biji yang
jumlahnya antara 3-15 butir. Panjang buah maksimal tercapai antara 3-4
minggu sejak bunga mekar. Apabila buah mulai masak, daun buah akan
terbuka mulai dari bagian pangkal ke bagian ujung buah dan biji-biji
melekat pada penyekat ruang plasentanya (Sulistiono, 2008).
Sistem perakaran kubis agak dangkal. Akar yang baru tumbuh
berukuran 0,5 mm, tetapi setelah berumur 1-2 bulan sistem perakaran
menyebar ke samping pada kedalaman antara 20-30 cm. Akar
tunggangnya segera bercabang dan memiliki banyak akar serabut
(Puslitbang Hortikultura Deptan RI, 2013).
Batang tanaman kubis umumnya pendek dan banyak mengandung
air (herbaceous). Di sekeliling batang hingga titik tumbuh terdapat helai
daun yang bertangkai pendek (Sulistiono, 2008).
4. Kubis Sebagai Lalapan
Sayuran lalapan merupakan jenis sayuran yang dikonsumsi secara
mentah. Hal ini dikarenakan tekstur dan organoleptik sayuran lalapan ini
memungkinkan untuk dikonsumsi secara mentah. Kelebihan sayuran
lalapan adalah ketika dikonsumsi zat-zat gizi yang terkandung di
dalamnya tidak mengalami perubahan (Purba dkk., 2012).
Kubis (Brassica oleracea) merupakan jenis sayuran yang
umumnya dikonsumsi secara mentah sebagai lalapan. Varietas kubis yang
tumbuh di dataran rendah pada umumnya kropnya renggang, renyah,
bobot kropnya rendah, dan rasanya lebih manis. Kubis jenis ini sangat
cocok digunakan sebagai lalapan (Nasikhun, 2011).
C. Pemeriksaan Soil Transmitted Helminths (STH) pada Sayur Kubis
Salah satu metode pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk
mengidentifikasi telur Soil Transmitted Helminths (STH) pada sayur kubis
adalah dengan metode tak langsung. Dalam metode ini telur cacing tidak
langsung dibuat sediaan tetapi sebelum dibuat sediaan sampel diperlakukan
sedemikian rupa sehingga telur cacing dapat terkumpul. Metode ini
menghasilkan sediaan yang lebih bersih daripada metode yang lain (Sehatman,
2006).
Metode tak langsung dibagi menjadi dua cara yaitu sedimentasi
(pengendapan) dan flotasi (pengapungan). Prinsip dari teknik sedimentasi
adalah memisahkan antara suspensi dan supernata dengan adanya sentrifugasi
sehingga telur cacing dapat terendap. Sedangkan prinsip dari teknik flotasi
adalah berat jenis telur cacing lebih kecil daripada berat jenis NaCl jenuh
sehingga mengakibatkan telur cacing akan mengapung di permukaan larutan
(Yudiar, 2012).
Pemeriksaan dengan teknik sedimentasi dan flotasi memiliki kelebihan
dan kekurangan. Teknik sedimentasi memerlukan waktu lama, tetapi
mempunyai keuntungan karena dapat mengendapkan telur tanpa merusak
bentuknya. Pada teknik flotasi, pemeriksaan tidak akurat bila berat jenis
larutan pengapung lebih rendah daripada berat jenis telur dan jika berat jenis
larutan pengapung ditambah maka akan menyebabkan kerusakan pada telur
(Sehatman, 2006).
BAB III
KERANGKA KONSEP
A. Dasar pemikiran
Kubis (Brassica oleracea) merupakan salah satu jenis sayuran yang
dapat terkontaminasi oleh telur Soil Transmitted Helminths (STH). Bila dalam
proses pengolahan dan pencucian sayuran tidak baik, telur cacing
kemungkinan masih melekat pada sayuran dan tertelan saat sayuran
dikonsumsi. Soil Transmitted Helminths (STH) ditularkan oleh telur yang
dikeluarkan bersamaan dengan tinja orang yang terinfeksi. Cacing dewasa
hidup di usus manusia dan menghasilkan ribuan telur setiap hari. Di daerah
yang tidak memiliki sanitasi yang memadai, telur ini akan mengkontaminasi
tanah. Transmisi ini dapat terjadi dalam beberapa cara, yaitu: telur yang
melekat pada sayuran tertelan bila sayuran tidak dimasak,dicuci atau dikupas
dengan hati-hati. Telur tertelan melalui minuman yang terkontaminasi telur
tertelan oleh anak-anak yang bermain di tanah tanpa mencuci tangan sebelum
makan atau memegang mulut pada cacing tambang, telur menetas di tanah,
melepaskan larva matang yang secara aktif dapat menembus kulit.
Soil Transmitted Helminths adalah sekelompok cacing parasit (kelas
Nematoda) yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia melalui kontak
dengan telur ataupun larva parasit itu sendiri yang berkembang di tanah yang
lembab yang terdapat di negara yang beriklim tropis maupun subtropis
(Bethony,et al.2006). Jenis Soil Transmitted Helminths yang paling sering
menginfeksi adalah cacing gilig/roundworm (Ascaris lumbricoides), cacing
cambuk/whipworm (Trichuris trichiura) dan cacing tambang/anthropophilic
hookworm (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) sedangkan
Strongyloides stercoralis jarang ditemukan terutama pada daerah yang
beriklim dingin (Gandahusada 2006)
B. Kerangka konsep
C. Variabel penelitian
Variabel yang akan diteliti pada penelitian ini adalah telur cacing Soil
Transmitted Helminths (STH) pada sayur kubis.
kubis(Brassica oleracea)
Pemeriksaan laboraturium
Ditemukan telurSoil Transmitted Helminths
Tidak ditemukan telurSoil Transmitted Helminths
Jenis telur cacing (STH)
Trichuris trichiura
Ascaris lumbricoides
Necator americanusdan
Ancylostoma duodenale
D. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif
1. Definisi Operasional
a. Kubis adalah jenis sayuran yang umumnya dikonsumsi secara mentah,
karna dilihat dari tekstur dan organoleptik sayuran ini memungkinkan
untuk dijadikan lalapan.
b. Soil Transmitted Helminths adalah cacing yang siklus hidupnya
membutuhkan tanah untuk proses pematangan yang penularannya
melalui telur cacing yang dikeluarkan bersamaan dengan tinja orang
yang terinfeksi.
2. Kriteria Objektif
a. Kubis berbentuk bulat, oval, dan lonjong.
b. Positif bila ditemukan adanya telur cacing.
1) Cacing gelang (Ascaris lumbricoides) dengan ciri-ciri berbentuk
bulat atau oval dengan dinding 3 lapis.
2) Cacing cambuk (Trichuris trichiura) dengan ciri-ciri telur
berbentuk tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih pada
kedua kutup.
3) Cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale)
dengan ciri-ciri telur cacing berbentuk oval, tidak berwarna dan
dinding telur terdapat ruangan yang jelas dan bening.
Negatif bila tidak ditemukan adanya telur cacing.
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian survei yang bersifat deskriptif
dengan pendekatan laboratorik yaitu untuk mengetahui gambaran hasil
identifikasi jenis telur cacing pada sayur kubis (Brassica oleracea) di pasar
anduonohu kota kendari.
B. Waktu dan Tempat Penelitian
1. Penelitian dilakukan pada tanggal 27-28 Juni 2016
2. Pemeriksaan telur cacing dilaksanakan di Laboratorium poltekes kendari
pada bulan juni 2016.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang
mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh
peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya
(Sugyono,2011).
Populasidalam penelitian ini adalah sayur kubis yang dijual di
pasar Anduonohu.
2. Sampel Penelitian
Sampel adalah bagian dari jumlah atau karakteristik yang dimiliki oleh
populasi tersebut (Sugyono,2011).
Sampel pada penelitian ini adalah sayur kubis yang diperoleh dari
masing-masing penjual sayur kubis di pasar Anduonohu Kota Kendari.
D. Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data pada peneitian ini di lakukan dengan tekhnik
proporsiv sampling, sayur kubis yang telah terpilih menjadi sampel penelitian
sebagai bahan pengujian di bawah ke ruang laboratorium. Metode identifikasi
telur cacing soil transmitted helminths metode flotasi telah disiapkan.
Kemudian, dilakukan penmeriksaan identifikasi telur cacing soil transmitted
helminthspada sayur kubis. Data dikumpulkan dari jurnal penelitian
sebelumnya dan buku literatur.
E. Instrument penelitian
Instrument yang digunakan yakni lembar observasi yang berisi data kubis
yang di ambil dari penjual sari laut wilayah anduonohu kota kendari yang
akan di periksa di laboraturium.
F. Cara kerja penelitian
1. Pra analitik
a. Persiapan alat dan bahan penelitian
1. Alat
a) Spatula
b) Pisau
c) Beker glass
d) Tabung reaksi
e) Cover glas
f) Obyek glas
g) Mikroskop
2. Bahan
a) NaCl jenuh
b) Aquades
c) Sampel (kubis)
b. Pengambilansampel.
1. Di Siapkan wadah yang steril.
2. Dipilihsampel yang sesuaidengan kriteria sampel.
3. Di Masukan sampel kedalam wadah tersebut.
4. Di Beri label, kemudian dibawa kelaboratorium.
5. Dilakukanpemeriksaan.
c. Pembuatan larutan NaCl jenuh
1. Masukan aquades 500 ml dalam gelas kimia
2. Masukan garam ke dalam larutan sedikit demi sedikit sampai larutan
menjadi larutan Nacl jenuh 33 %
2. Analitik
a) Potong sayuran menjadi kecil-kecil
b) Setelah sayuran dipotong kecil masukan ke beker glas
c) Tambahkan larutan NaCl jenuh sampai sampel terendam sempurna
d) Aduk hingga tercampur merata dengan spatula sampai dengan 10-15
menit.
e) Masukan kedalam tabung reaksi hingga penuh kemudian tutup dengan
cover glas, biarkan selama 1 jam
f) Setelah 1 jam, ambil cover glas kemudian tempelkan pada obyek glas
g) Kemudian periksa obyek glas dengan mikroskop perbesaran 10x40
3. Pasca analitik
Hasil positif ditandai dengan adanya telur cacing pada sampel dan hasil
negatif ditandai dengan tidak di temukan telur cacing pada sampel.
G. Jenis Data
1. Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari hasil penelitian.
2. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang berasal dari hasil survei penelitian dilokasi
pengambilan sampel kubis dan dari jurnal penelitian sebelumnya dan buku
literatur.
H. Pengolahan data
Data yang telah dikumpulkan selanjutnya akan diolah dengan langkah-langkah
sebagai berikut :
1. Editing Yaitu mengkaji dan meneliti data yang telah diperoleh
2. CodingYaitu memberikan kode pada data untuk memudahkan dalam
memasukkan ke program computer.
3. ScoringYaitu tahap pemberian skor pada lembar obsevasi dalam bentuk
angka-angka.
4. TabulatingYaitu setelah data tersebut masuk kemudian direkap dan
disusun dalam bentuk tabel agar dapat dibaca dengan mudah.
5. EntryYaitu memasukan data dalam program computer untuk analisis
lanjut.
I. Analisis data
Data yang telah terkumpul diolah kemudian dianalisa dengan
menggunakan rumus sebagai berikut :
=Keterangan :
= frekuensi variabel yang diamati
= jumlah sampel penelitian
= kostanta (100%)
= persentase hasil
J. Penyajian data
Data hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel dan dinarasi kemudian
dilakukan pembahasan yang selanjutnya didapatkan kesimpulan penelitian.
K. Etika penelitian
Dalam penelitian ini, masalah etika sangat di perlukan diperhatikan
dengan menggunakan metode :
1. Infomed concent
Merupakan cara persetujuan antara peneliti dengan pedagang.
2. Anonymity (tanpa nama)
Dilakukan dengan cara tidak memberika nama pedagang pada tabel
sampel hanya menuliskan kode pada sampel.
3. Confidentiality (kerahasiaan)
Yaitu menjamin kerahasiaan hasil penelitian baik informasi maupun
maslah-masalah lainnya. Informasi yang dikumpulkan dijamin
kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan
dilaporkan pada hasil riset.
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. GAMBARAN LOKASI PENELITIAN PASAR ANDUONOHU
a. Letak Geografis
Pasar Anduonohu terletak di Kecamatan Poasia Kota Kendari, sekitar
9 KM dari ibu Kota Propinsi serta memiliki kondisi geografis daerah
dataran rendah yang berbatasan dengan :
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Teluk Kendari
b. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Abeli
c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Moramo
d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Kambu
b. Status
Pasar Aduonohu dibangun secara bertahap pada tahun 1994-1995
dengan luas 5000 m/segi dan di huni 245 kios tertutup ,42 lapak , dan
128 penjual lesehan. Sejak tahun 1995 atau selesainya pembagunan pasar
Anduonohu ini resmi di gunakan masyarakat Anduonohu sebagai jual
beli barang hingga saat ini. Seiring berjalannya waktu pasar Anduonohu
mulai di kenal masyarakat luar Anduonohu dan pedagang-pedagang dari
luar Anduonohupun mulai ikut menjajalkan dagangan mereka di pasar ini
hingga saat ini.
Pasar Anduonohu ini sangat ramai setiap harinya, karna letaknya yang
tepat berada di tengah-tengah masyarakat Anduonohu, dan berdekatan
pula dengan kampus yang diisi oleh mahasiswa mahasiswi yang
kebayakan anak kos-kosan yang tinggal di Anduonohu itu sendiri, dan
menjadikan pasar ini adalah pusat perbelanjaan oleh masyarakat
Anduonohu dan masyarakat luar yang ingin berbelanja.Profil pasar
Anduonohu.
B. HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil dari identifikasi telur cacing Soil transmitted helminths di
laboraturium Analis Kesehatan Poltekes Kendari yang di lakukan pada tanggal 27 juni
2016 di peroleh hasil identifikasi telur cacing Soil transmitted helminths pada sayur
kubis yang dijiual di pasar Anduonohu Kota Kendari di temukan 1 telur cacing
Ascaris lumbricoides dan 1 telur Trichuris trichiura. Dari 30 sampel diperoleh hasil
positif mengandung telur cacing sebayak 2 sampel dan 28 sampel tidak terdapat telur
cacin
Tabel 1. Jumlah identifikasi jenis telur cacing Soil Transmitted Helminths pada sayurkubis yang di jual di pasar Anduonohu Kota Kendari
Tabel 2.Jumlahidentifikasi jenistelurcacingTelur
Trichiuris Trichiura pada sayur kubis yang di jual di pasar AnduonohuKota Kendari
NoTelur Trichiuris
TrichiuraFrekuensi %
1 Positif 1 4%
2 Negatif 29 96%
Jumlah 30 100%
NoTelur cacing Soil Transmitted
HelminthsFrekuensi %
1 Positif 2 7%
2 Negatif 28 93%
Jumlah 30 100%
Tabel 3. Jumlah identifikasi jenis telur cacing Telur Telur Ascaris Lumbricoides padasayur kubis yang di jual di pasar Anduonohu Kota Kendari
NoTelur AscarisLumbricoides
Frekuensi %
1 Positif 1 4%
2 Negatif 29 96%
Jumlah 30 100%
Tabel 4. Jumlah identifikasi jenis telur cacing Telur Telur cacing tambang pada sayurkubis yang di jual di pasar Anduonohu Kota Kendari
NoTelur cacing
TambangFrekuensi %
1 Positif 0 0%
2 Negatif 30 100%
Jumlah 30 100%
C. PEMBAHASAN
Manusia merupakan hospes nematoda usus yang penularannya terjadi melalui tanah
atau Soil transmited helminthes,Sebagai tempat hidup dan berkembangnya telur dan larva
cacing sebelum menular ke tubuh manusia. Penyebaran telur cacing Soil Transmitted
Helminths yaitu dengan cara melalui tanah ataupun sayuran dengan kelembaban yang
tinggi untuk berkembang biak.
Sayuran merupakan komponen yang sangat penting dari makanan sehari-hari.
khususnya sayuran daun memiliki kandungan protein, vitamin B mineral, dan serat yang
tinggi. Meski demikian, sayuran menjadi makanan yang mudah terkontaminasi oleh
parasit, terutama parasit yang berasal dari tanah. Tanah merupakan sumber penularan yang
paling utama dan terpenting untuk berbagai jenis penyakit. Penyakit-penyakit parasit yang
menular dari tanah disebut soil-borne parasitoses. Sebagian besar stadium infektif parasit
terdapat dalam tanah.
Penyakit kecacingan yang banyak menginfeksi manusia ditularkan melalui tanah
yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan cacing tambang. Dari ketiga jenis
cacing ini ternyata yang banyak mencemari sayur kubis yang dijual di pasar Anduonohu
adalah telur Ascaris lumbricoides dan telur Trichuris trichiura.
Berdasarkan pemeriksaan laboratorium Analis Kesehatan Poltekes Kendari, dengan
jumlah sampel sebanyak 30 di temukan telur cacing Trichuris trichiura dan Ascaris
lumbricoides sebanyak 2 sampel dari pasar Anduonohu. Hal ini di karenakan tempat
penyimpanan sayur di pasar Andonoho kurang bersih karena sebagian penjual sayur kubis
tidak terlalu memperhatikan kondisi penyimpanan baik dimana banyaknya debu yang
bertebaran di sekitar pasar tersebut.
Berdasarkan data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa pencemaran telur cacing
Trichuris trichiura dan Ascaris lumbricoides pada sayur kubis dikarenakan kurangnya
kesadaran pada pedagang tentang pentingnya kebersihan lingkungan. Di samping itu
penggunaan feses hewan atau manusia sebagai pupuk tanaman merupakan salah satu
faktor yang bisa menyebabkan terjadinya pencemaran tanah sehingga dapat mencemari
tanaman kubis dan dapat menginfeksi manusia. meskipun tidak menyebabkan infeksi yang
serius, tetapi orang yang terinfeksi parasit dapat menyebabkan kurangnya nafsu makan
sehingga dapat menyebabkan anak kurang gizi, sedangkan pada orang dewasa
produktivitas kerja bisa menurun.
Adanya telur cacing Soil transmited helminthes di kubis bisa dikarenakan cara
pemupukan yang menggunakan feses atau bisa juga dengan penyiraman tanaman dengan
air comberan,untuk mendapatkan sayur kubis yang baik dan tidak mengandung cacing
yaitu dengan memilih sayur yang masi baik dan membuang kulit luar kubis sebanyak
minimal 3 lapis agar terhindar dari infeksi telur cacing Soil transmited helminthes.
Dengan adanya telur cacing Trichuris trichiura dan Ascaris lumbricoides yang
diperoleh pada penelitian ini, hal ini menandakan prevalensi Ascaris lumbricoides dan
Trichuris trichiura yang tinggi, sesuai dengan beberapa survey yang dilakukan di
Indonesia (tahun1990-1994) menunjukan bahwa seringkali prevalensi Trichuris trichiura
yang tinggi disertai dengan Ascaris lumbricoides yang tinggi pula.
Untuk mengatasi masalah kecacingan ini adalah sebaiknya diadakan penyuluhan
kepada masyarakat mengenai kebersihan. pembuangan feses secara baik. Dengan cara ini
keadaan endemik sampai angka kesakitan yang tinggi dapat diatasi dengan baik.
BAB VI
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian tentang identifikasi telur cacing Soil Transmitted
Helminths pada kubis di pasar Anduonohu Kota Kendari sebanyak 30 sampel di
temukan telur cacing dan dapat di tarik kesimpulan bahwa :
Terdapatnya telur cacing Soil transmited helminthes pada sayur kubis yang di
jual di pasar Anduonohu Kota Kendari.
1. Dari 30 sampel kubis di temukan jenis telur cacing trichiuris trichiura 1 sampel
positif 29 tidak di temukan trichiuris trichiura
2. Dari 30 sampel kubis di temukan jenis telur cacing Ascaris lumbricoides 1 sampel
positif 29 tidak di temukan Ascaris lumbricoides
3. Dari 30 sampel kubis tidak di temukan jenis telur cacing Tambang
B. SARAN
1. Untuk peneliti disarankan untuk melakukan penelitian serupa di pasar-pasar lain
di Kota Kendari dan menambahkan jenis sayur yang berpotensi terkonta minasi
telur cacing Soil Transmitted Helminths (STH).
2. Untuk institusi terkait yaitu balai pengawasan obat dan makanan agar melakukan
sosialisasi kepada pedagang-pedagang dan petani agar lebih memperhatikan
kebersihan sayuran dan cara penanaman yang baik agar terhindar dari infeksi telur
cacing Soil Transmitted Helminths (STH).
3. Untuk peneliti selanjutnya agar lebih memperbanyak lokasi-lokasi penelitian agar
lebih mendapatkan hasil identifikasi yang memumpuni dan bermanfaat bagi
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Balai Besar Pelatihan Pertanian Lembang. 2012. Teknik Budidaya Kubis.
http://www.bbpp-lembang.info/index.php/en/arsip/artikel/artikel-pertanian/ 586-teknik-budidaya-kubis-brassica-oleraceae-l, diakses 5 Oktober 2013.
Centers for Disease Control and Prevention. 2009. Ascariasis. http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/ImageLibrary/A-F/Ascariasis/body_Ascariasis_il2. htm, diakses4 Oktober 2013.
Centers for Disease Control and Prevention. 2009. Trichuriasis.http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/ImageLibrary/ S-Z/Trichuriasis/body_Trichuriasis_il1.htm, diakses 4 Oktober 2013.
Centers for Disease Control and Prevention. 2010. Hookworm.http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/ HTML/ImageLibrary/G-L/Hookworm/body_Hookworm_il1.htm, diakses 4 Oktober 2013.
Centers for Disease Control and Prevention. 2012. Ascariasis. http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/html/Ascariasis.htm, diakses 4 Oktober 2013.
Centers for Disease Control and Prevention. 2013. Parasites - Ascariasis: Biology.http://www.cdc.gov/parasites/ ascariasis/biology.html., diakses 3 Oktober 2013.
Centers for Disease Control and Prevention. 2013. Parasites - Hookworm.http://www.cdc.gov/parasites/hookworm/ biology.html, diakses 3 Oktober 2013.
Direktorat Jenderal PP&PL Kemenkes RI. 2013. Profil Pengendalian Penyakit danPenyehatan Lingkungan Tahun 2012. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.Jakarta.
Lubis, Aridamuriany Dwiputri. 2012. Perbandingan Efektivitas Albendazole 5 Dan 7 HariPada Infeksi Trichuris Trichiuria. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Mayus, Syahrial. 2012. Dikenal Hanya Sebagai Lalapan, Kubis Ternyata Miliki 4 ManfaatBesar. http://jaringnews.com/hidup-sehat/alternatif/19495/dikenal-hanya-sebagai-lalapan-kubis-ternyata-miliki-manfaat-besar, diakses 6 Oktober 2013.
Menteri Kesehatan RI. 2006. Keputusan Menteri Kesehatan Rupublik Indonesia Nomor424/MENKES/SK/VI/2006 Tentang Pendoman Pengendalian Cacingan. KementrianKesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Muyassaroh, Siti, Rahayu Astuti, Wulandari Meikawati. 2012.Pengaruh Frekuensi PencucianPada Daun Kubis (Brassica oleracea var Capitata) Terhadap Jumlah Cacing Usus(Nematoda Intestinal). Universitas Muhammadiyah Semarang. Semarang.
Nasikhun, Teguh Supriyadi, Mahananto. 2011. Uji Efektifitas Daun Terhadap Pertumbuhandan Hasil Beberapa Varietas Tanaman Kubis (Brassica oleracea L.). AGRINECA, Vol.11 No. 2 Juli 2011: 196-213 hlm.
Purba , Srianna Florensi, Indra Chahaya, Irnawati Marsaulina. 2012. PemeriksaanEscherichia coli dan Larva Cacing Pada Sayuran Lalapan Kemangi (Ocimumbasilicum), Kol (Brassica oleracea L. var. capitata. L.), Selada (Lactuca sativa L.),Terong (Solanum melongena) Yang Dijual Di Pasar Tradisional, Supermarket DanRestoran Di Kota Medan Tahun 2012. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Puslitbang Hortikultura Deptan RI. 2013. Budidaya Tanaman Kubis.http://hortikultura.litbang.deptan.go.id/index.php?bawaan=berita/fullteks_berita&&id_menu=3&id_submenu=17&id=347, diakses 5 Oktober 2013.
Rusmartini, Tinni. 2009. Penyakit Oleh Nematoda Usus. 73-96 hlm dalam: ParasitologiKedokteran Ditinjau dari Organ Tubuh yang Diserang. Natadisastra, D., Agoes, R.EGC. Jakarta. 450 hlm.
Siskhawahy. 2010. Pengaruh Lama Perebusan Terhadap Keutuhan Telur AscarisLumbricoides. Universitas Muhammadiyah Semarang. Semarang.
Soedarmo, Sumarmo S. P., Herry Garna, Sri Rezeki S. Hadinegoro, Hindra Irawan Satari.2010. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Edisi Kedua. Ikatan Dokter Anak indonesia.Jakarta.
Sulistiono, Wawan Riyanto. 2008. Kajian Benzyl Amino Purine dan Jenis Pupuk OrganikTerhadap Pertumbuhan, Hasil, dan Kandungan Vitamin C Pada Kubis Putih (Brassicaoleraceae L.). Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
World Health Organization. 2013. Soil-transmitted helminth infections.http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs366/en/, diakses 1 Oktober 2013.
Yudiar, Etri. 2012. Pengaruh Waktu Perebusan Terhadap Jumlah Telur Ascaris limbricoides.Universitas Muhammadiyah Semarang. Semarang.
TABULASI DATA
Identifikasi Telur Cacing Soil Transmitted Helminths Pada
Sayur Kubis Di Pasar Anduonohu Kota Kendari
NOKODE
SAMPEL
HASIL
Ascaris Lumbricoides Trichuris Trichiura Cacing tambang(Necator americanusdan ancilustoma duodenale)
Kategori Kategori KategoriPositif Negatif Positif Negatif Positif Negatif
1 S.1 Negatif Negatif Negatif
2 S.2 Negatif Negatif Negatif
3 S.3 Negatif Negatif Negatif
4 S.4 Negatif Negatif Negatif
5 S.5 Negatif Negatif Negatif
6 S.6 Negatif Negatif Negatif
7 S.7 Negatif Negatif Negatif
8 S.8 Negatif Negatif Negatif
9 S.9 Negatif Negatif Negatif
10 S.10 Negatif Negatif Negatif
11 S.11 Positif Negatif Negatif
12 S.12 Negatif Negatif Negatif
13 S.13 Negatif Negatif Negatif
14 S.14 Negatif Negatif Negatif
15 S.15 Negatif Negatif Negatif
16 S.16 Negatif Negatif Negatif
17 S.17 Negatif Negatif Negatif
18 S.18 Negatif Negatif Negatif
19 S.19 Negatif Negatif Negatif
20 S.2O Negatif Negatif Negatif
21 S.21 Negatif Negatif Negatif
22 S.22 Negatif Negatif Negatif
23 S.23 Negatif Negatif Negatif
24 S.24 Negatif Negatif Negatif
25 S.25 Negatif Negatif Negatif
26 S.26 Negatif Negatif Negatif
27 S.27 Negatif Positif Negatif
28 S.28 Negatif Negatif Negatif
29 S.29 Negatif Negatif Negatif
30 S.30 Negatif Negatif Negatif
MASTER TABEL
Identifikasi Telur Cacing Soil Transmitted Helminths Pada
Sayur Kubis Di Pasar Anduonohu Kota Kendari
NOKODE
SAMPEL
HASIL
Ascaris lumbricoides Trichuris trichiura Cacing tambang(Necator americanusdan ancilustoma duodenale)
Kategori Kategori KategoriPositif Negatif Positif Negatif Positif Negatif
1 S.1
2 S.2
3 S.3
4 S.4
5 S.5
6 S.6
7 S.7
8 S.8
9 S.9
10 S.10
11 S.11
12 S.12
13 S.13
14 S.14
15 S.15
16 S.16
17 S.17
18 S.18
19 S.19
20 S.2O
21 S.21
22 S.22
23 S.23
24 S.24
25 S.25
26 S.26
27 S.27
28 S.28
29 S.29
30 S.30
Dokumentasi Penelitian
( Gambar. 1 Aquades steril)
(Gambar. 2 Sampel yang di diamkan dalam larutan NaCl jenuh)
( Gambar. 3 Sampel ditutup dengan cover glass)
( Gambar. 4 Preparat yang akan di periksa)
(Gambar. 5 Proses Pemeriksaan Sampel)
(Gambar. 6 Hasil pengamatan Telur cacing Trichuris trichiura)
(Gambar. 7 Hasil pengamatan telur cacing Ascaris lumbricoides)