Post on 18-Mar-2019
IDDAH DAN IHDAD WANITA KARIER (Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
AHMAD FAHRU NIM : 1111044100061
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
( A H W A L S Y A K H S I Y Y A H )
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/2015 M
v
ABSTRAK Ahmad Fahru 1111044100061, Iddah Dan Ihdad Wanita Karier ( Perspektif
Hukum Islam Dan Hukum Positif ) Konsentrasi peradilan agama Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum (UIN) I Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/2015 M. x + 55 halaman.
Skripsi ini merupakan hasil penelitian yang menggambarkan tentang bagaimana penerapan hukum yang digambarkan al-Quran dan al-Hadis serta hukum KHI dalam menyikapi konsep Iddah dan Ihdad bagi wanita karier. Keadaan yang biasa ditemui, seorang wanita selain menjadi ibu rumah tangga, ia juga memiliki andil dalam keuangan keluarga dengan bekerja diluar rumah. Pembahasan dalam penelitian ini berusaha menguak semua yang berkaitan dengan kebebasan wanita dalam melakukan kegiatan diluar rumah akan tetapi ia juga mempunyai beberapa peraturan agama yang menunutut dan membatasai yang layak untuk dijadikan sebuah penelitian. permasalahan yang menjadi latar belakang penulis adalah mengapa masa berkabung istri yang kematian suaminya selama masa iddah 4 bulan 10 hari.
Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan pandangan hukum positif terhadap Iddah dan Ihdad wanita karier, dan untuk menjelaskan pandangan hukum Islam terhadap Iddah dan Ihdad wanita karier tersebut.
Penulis mempergunakan metode kepustakaan atau library research yaitu dengan cara membaca, mempelajari buku-buku yang mempunyai kaitan dengan masalah yang menjadi bahasan serta di dukung dengan wawancara di masyarakat, dengan demikian penggunaan metode pembahasan bagi suatu penulisan marupakan suatu hal yang menentukan bermutu atau tidaknya dari penulisan yang bersangkutan. Metode yang akan digunakan adalah memperoleh data yang valid dan akurat.
Berdasarkan hasil penelitian maka diperoleh suatu kesimpulan bahwa penetapan hukum Iddah dan Ihdad bagi wanita adalah sesuatu yang beralasan, baik dari segi agama maupun dari segi kebaikan bagi si perempuan. Akan tetapi beberapa larangan bagi seorang perempuan yang menjalankan iddah dan ihdad bisa dicarikan beberapa alasan untuk menjadi sebuah hukum yang sesuai disetiap zaman dan keadaan.
Kata Kunci : Wanita Karier, Iddah dan Ihdad, Hukum Islam dan Positif Pembimbing : Dr. Hj. Azizah, MA DaftarPustaka : 1979-2013
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur di panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan ini, Shalawat serta
salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, pembawa
Syariahnya yang universal bagi semua umat manusia dalam setiap waktu dan tempat
hingga akhir zaman. ini di persembahkan kepada Alm. Ayahanda Hj. Samalih dan
Ibunda Hj. Haironih yang selalu memberikan dorongan, bimbingan, kasih sayang,
serta doa tanpa mengenal lelah sedikitpun. Semoga Allah senantiasa melimpahkan
rahmat dan kasih sayang-Nya kepada mereka.
Dalam penulisan ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis
temukan, namun syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan hidayah-Nya,
kesungguhan, serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung
maupun tidak langsung segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya
sehingga pada akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, sudah
sepantasnya pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang
sedalam-dalamnya kepada :
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Ph.D Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag, dan Arif Furqon, MA, Ketua Program Studi dan
Sekretaris Program Studi Ahwal al Syakhshiyah Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
vii
3. Dr. Hj. Azizah, MA dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga,
dan pikiran selama membimbing penulis.
4. Segenap Dosen serta staf pengajar pada lingkungan Program studi Ahwal
Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada
penulis selama duduk di bangku perkuliahan.
5. Segenap jajaran staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syariah
dan Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah membantu penulis dalam
pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.
6. Doa dan harapan penulis panjatkan kepada kakanda Ahmad Fatih yang selalu
membimbing dan kepada adinda Muhammad Fahri, Wildan Anshori dan
Ahmad Hanif yang senantiasa memberikan do’a dan semangat sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi.
7. Sahabat seperjuangan penulis : Muhammad Munzir Kamil, Muhammad
Shandika Rizkiandi, Arif Maulana Thoir, Muhammad Nazir, Semua teman-
teman Peradilan Agama Angkatan 2011 yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu yang telah memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini. Beserta teman bercanda coy Chairul Amin S.Thi. yang bersedia
menemani waktu-waktu luang sebagai sebuah refresing dalam penulisan ini.
Semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang
berlipat ganda.Sungguh, hanya Allah SWT yang dapat membalas kebaikan
mereka dengan kebaikan yang berlipat ganda pula.
viii
Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis
khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun senantiasa penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini
Jakarta, 20 November 2015
Achmad Fahru
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAH DOSEN PEMBIMBING............................................ ii
LEMBAR PENGESAH DOSEN PENGUJI SIDANG...................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN................................................................................ iv
ABSTRAKSI...................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 11 A. Latar Belakang Masalah.................................................................. 11 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.............................................. 16 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian................................................... 16 D. Review Studi Terdahulu.................................................................. 17 E. Metodologi Penelitian.................................................................... 19 F. Sistematika Penulisan .................................................................... 21
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG IDDAH DAN IHDAD WANITA KARIER............................................................................................... 23
A. IDDAH........................................................................................... 23 1. Pengertian.................................................................................. 23 2. Dasar Hukum dan Macam-Macam Iddah................................. 24 3. Manfaat dan Hikmah Iddah ..................................................... 29
B. IHDAD........................................................................................... 31 1. Pengertian.................................................................................. 31 2. Syarat- Syarat............................................................................. 33 3. Dampak Hukum......................................................................... 36
BAB III GAMBARAN-GAMBARAN UMUM TENTANG WANITA KARIR............................................................................................... 39
A. Pengertian Wanita Karier............................................................... 39 B. Syarat- syarat Wanita Karier.......................................................... 41 C. Faktor-faktor Pendorong Wanita Berkarier................................... 44 D. Dampak Wanita Karier.................................................................. 45
BAB IV WANITA KARIER DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM
DAN HUKUM POSITIF................................................................... 51
A. Ketentuan Syariat Islam Tentang Iddah dan Ihdad Wanita Karier……………………………………………………………. 51
B. Ketentuan Iddah dan Ihdad dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam..................................... 52
C. Iddah dan Ihdad Wanita Karier...................................................... 56
x
BAB V PENUTUP........................................................................................... 60
A. Kesimpulan..................................................................................... 60 B. Saran-saran..................................................................................... 62
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 63
LAMPIRAN-LAMPIRAN................................................................................. 65
11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan dunia modern dewasa ini, Banyak kaum wanita
muslimah yang aktif di berbagai bidang, baik politik, sosial, budaya, ilmu
pengetahuan, olah raga, ketentaraan, maupun bidang bidang lainya. Boleh
dikata, hampir disetiap sektor kehidupan umat manusia, wanita muslimah
sudah terlibat; bukan hanya dalam pekerjaan-pekerjaan ringan, Tetapi juga
dalam pekerjaan-pekerjaan yang berat, seperti sopir taksi, Tukang parkir,
buruh bangunan, satpam, dan lain-lain. Dibidang olahraga, kaum wanita juga
tidak mau ketinggalan dari kaum pria.Bidang bidang olahraga keras yang
dulu dipandang hanya layak dilakukan oleh laki-laki, kini sudah banyak
diminati dan dilakukan oleh kaum wanita, seperti sepak bola, bina raga,
karate, bahkan tinju.
Wanita sebagai warga negara maupun sumber daya insani
mempunyai kedudukan hak dan kewajiban serta kesempatan yang sama
dengan pria untuk berperan dalam pembangunan di segala bidang. Peranan
wanita sebagai mitra sejajar pria diwujudkan melalui peningkatan
kemandirian peran aktifnya dalam pembangunan, termasuk upaya
mewujudkan keluarga beriman dan bertaqwa, sehat, serta untuk
pengembangan anak, remaja dan pemuda. Untuk itu, dalam Program
Pembangunan Nasional (2000-2004) ditentukan Program Peningkatan
Kualitas Hidup Perempuan,yang bertujuan untuk meningkatkan kedudukan
12
dan peranan perempuan sebagai individu,yaitu baik sebagai insan dan sumber
daya pembangunan, sebagai bagian dari keluarga yang merupakan basis
terbentuknya generasi sekarang dan masa mendatang, sebagai makhluk sosial
yang merupakan agen perubahan sosial di berbagai bidang kehidupan dan
pembangunan. Sasaran kinerja program ini adalah meningkatnya kualitas dan
peranan perempuan terutama di bidang hukum ekonomi, politik, pendidikan,
sosial, dan budaya.1
Islam, sebagai agama yang memberikan rahmat kepada penganut
Islam mengangkat derajat perempuan pada posisi yang tinggi. Semua
manusia dalam Islam, baik laki-laki ataupun perempuan mempunyai porsi
yang sama, dalam melakukan semua kegiatan yang bisa membuatnya lebih
beriman dan berbuat baik.
Batasan penangguhan waktu bagi seorang perempuan. Penangguhan
waktu itu bisa disebut dengan Iddah, sedangkan alasan penangguhan waktu
adalah berkabung atau yang disebut dengan Ihdad. Sebagaimana penjelasan
yang lalu, wanita diberikan porsi yang sama dalam menjalankan kehidupan
yang bertujuan untuk membuat dia lebih baik, dihadapan agama maupun
masyarakat. Salah satu dari sekian banyak kegiatan itu adalah wanita
dibolehkannya beraktifitas diluar lumah dengan izin wali atau dengan
kebutuhan mendesak, atau dengan istilah lain wanita karier.
Wanita karier adalah wanita sibuk, wanita kerja, yang waktunya diluar
rumah kadang-kadang lebih banyak dari pada di dalam rumah. Demi karier
1Artikel,MengajiHukum,Http://Supanto.Staff.Hukum.Uns.Ac.Id/2010/01/10/Perlindungan-Hukum-Wanita. Diakses (7 Mei 2015).
13
dan prestasi, tidak sedikit wanita yang bekerja siang dan malam tanpa
mengenal lelah. “waktu adalah uang” merupakan motto mereka sehingga
waktu satu detik pun sangat berharga. Persaingan yang ketat antar sesamanya
dan rekan rekan antar sesamanya dan rekan rekan seprofesinya, memacu
mereka untuk bekerja keras. Mereka, mau tidak mau, harus mencurahkan
segenap kemampuan, pemikiran, waktu dan tenaga, demi keberhasilan dalam
keadaan demikian, jika wanita kerier tersebut seorang wanita muslimah yang
tiba tiba ditinggal mati oleh suaminya, aktivitasnya dihadapkan kepada
ketentuan agama yang disebut Iddah dan Ihdad.2
Masa Iddah atau masa tunggu atau masa berkabung di dalam UU. No. 1
Tahun 1974 dituangkan dalam pasal 11, dan kemudian lebih lanjut diatur
dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. (1) waktu tunggu bagi
seorang janda sebagai maksud dalam pasal 11 ayat (2) Undang-undang
ditentukan sebagai berikut:
1. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.
2. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari
3. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.3
Masa berkabung bagi seorang isteri yang di tinggal mati suaminya,
masa tersebut adalah 4 bulan 10 hari disertai dengan larangan-larangannya,
2 Chuzaimah T. Yanggo, dan Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam
Kontemporer ( Jakarta: Pt pustaka Firdaus, 2009), h. 11. 3Himpunan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan
Agama, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, h. 169.
14
antara lain: bercelak mata, berhias diri, keluar rumah, kecuali dalam keadaan
terpaksa.”4 Sedangkan Ihdad (berkabung), menurut Ibnu Kasir berkata:”
Berkabung itu suatu ungkapan, yang intinya ialah: tidak berhias dengan
wangi-wangian dan tidak memakai pakaian dan perhiasan yang bisa menarik
laki-laki”. Dan berkabung ini wajib atas perempuan yang kematian seorang
suami.5 Kebutuhan manusia untuk bertahan hidup, dan tuntutan bagi seorang
wanita untuk mempertahankan keluarga setelah ia ditinggal wafat oleh suami.
Dengan melihat anjuran islam akan dibolehkannya wanita bekerja diluar
rumah, akan tetapi terdapatnya batasan-batasan yang sebagaian batasannya
terlihat memberatkan, sehingga seakan-akan dibutuhkan penjelasan dan
penjabaran bagaimana hubungan wanita karier dengan batasan Iddah dan
Ihdad.
Para fuqaha’ berbeda pendapat bahaw wanita yang sedng berihdad
dilarang memakai semua perhiasan yang dapat menarik perhatian laki-laki
kepadanya.seperti perhiasan, intan dan celak, kecuali hal-hal yang dianggap
bukan sebagai perhiasan. Dan dilarang pula memakai pakaian yang celup
dengan warna, kecuali warna hitam.6
4Para fuqaha berpendapat bahwa wanita yang sedang berihdad dilarang
memakai semua perhiasan yang dapat menarik perhatian laki laki kepadanya, seperti perhiasan intan dan celak, kecuali hal-hal yang dianggap bukan sebagai perhiasan dan dilarang pula memakai pakaian yang dicelup dengan warna, kecuali warna hitam. Imam Malik tidak memakruhkan memakai celak karena terpaksa (karena sakit mata, misalnya) lihat Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqih Munakahat Kajian Fiqih Nikah Lengkap ( Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 342.
5Ammal Hamidy dan Imron A. Manan, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash- Shabuni, (Surabaya Jl. Rungkut Industri,2003), h .306.
6 Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, Ed. Pertama, Cet Ke 3 ( Jakarta: Kencana, 2008), h. 304
15
Wanita yang ditinggal mati suaminya, mereka tidak menerima nafakah,
sedangkan mereka butuh nafkah untuk hidup. Sehingga harus keluar rumah di
waktu siang untuk memenuhi kebutuhannya. Selain itu, dia juga harus tinggal
di rumah yang ditempatinya saat terjadi perceraian. Jika haknya di dalam
rumah suami yang telah meninggal tidak terpenuhi atau ahli waris suami
tidak memberi haknya tersebut maka dia boleh pindah, karena ada alasan.
Tinggal di rumahnya adalah ibadah sedangkan ibadah gugur karena alasan
yang dibenarkan.7
Kenyataan yang ada adalah kepedulian sebagian masyarakat dalam
menyikapi batasan yang ditentukan oleh agama, sehinga terdorong untuk
membahas tentang hubungan Iddah dan Ihdad bagi wanita karier, karena
sebelah pihak terlihat ketidak adilan bagi seorang wanita, dengan jarak yang
begitu lama sehingga menjadi alasan untuk melanggar peraturan agama itu
sendiri.
Dari beberapa latar belakang masalah diatas, maka penulis akan
berusaha mencoba membahas permasalahan yang menjadi latar belakang
penulis adalah mengapa masa bergabung istri yang kematian suaminya
selama masa iddah 4 bulan 10 hari? yang semoga bisa membantu terutama
bagi penulis senidiri dalam menyelesaikan masa pendidikan penulis dalam
setara S1. Oleh sebab itu penulis memberikan judul untuk penelitian ini
7 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 2, Penerjemah Asep Sobari Dkk, (Jakarata: Al-I’tisom,
2008), h. 524
16
dengan judul: “IDDAH DAN IHDAD WANITA KARIER” (Persepektif
Hukum Islam Dan Hukum Positif)
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Permasalahan yang membahas tentang wanita karir ini mempunyai
ruang lingkup yang sangat luas seperti masalah pro dan kontrak iddah dan
ihdad wanita karir. Dengan melihat Apakah adanya keseimbangan iddah dan
ihdad wanita karir yang telah ditentukan dalam hukum islam dan hukum
posititf.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mempfokuskan pada studi iddah
dan ihdad wanita karir dengan harapan dapat menemukan penyelesain.
Penelitian ini diharapkan bisa dikaji dan diaplikasikan dalam realitas sosial.
2. Perumusan Masalah
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan di atas maka merumuskan permasalah
sebagai berikut:
a. Bagaimana ketentuan Iddah dan Ihdad dalam Undang-undang No.
1tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam?
b. Bagaimana elastisitas ketentuan syariat islam tentang pelaksanaan
Iddah dan Ihdad wanita karier?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
17
a. Untuk menjelaskan pandangan hukum positif terhadap Iddah dan
Ihdad wanita karier.
b. Untuk Menjelaskan pandangan hukum Islam terhadap Iddah dan Ihdad
wanita karier.
2. Kegunaan Penelitian
Bertitik tolak dari perumusan masalah-masalah di atas, maka
tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelesaikan dan mencari
jawaban atas masalah masalah tersebut dengan upaya sebagai berikut:
a. Secara Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu karya tulis
ilmiyah yang dapat menambah khazanah keilmuan khususnya di
bidang ilmu hukum Keluarga dan umumnya pada ilmu pengetahuan.
b. Secara Praktis
Memberikan pengetahuan kepada masyarakat luas khususnya
kepada masyarakat yang awam terhadap ilmu pengetahuan, dalam
bersikap dan bertindak mengenai larangan Iddah dan Ihdad bagi
wanita karier sesuai dengan hukum Islam.
D. Review Studi Terdahulu
Berdasarkan studi kepustakaan (library research) yang penulis lakukan
di Perpustakaan Fakultas dan Perpustakaan Utama, maka terdapat beberapa
literatur tesis dan skripsi yang dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan,
yaitu:
18
1. Tesis, Aida Humaira, NIM: 03.2.00.1.01.01.0016 2005. Konsep Nafkah
Dalam Hukum Islam (Analisa Atas Nafkah Keluarga Dari Isteri Karier).
Mahasiswa Pasca sarjana UIN Syarif Hidayatullah JakartacKonsentrasi
Syariah. Pada tesis ini, mengungkapkan secara mendalam pendapat atau
pandangan para ulama muslim tentang hukum nafkah dari wanita karir
dan mengetengahkan pendapat-pendapat yang objektif menegnai wanita
karir dari sudut pandangan syariat islam untuk menghindari interpensi
yang kaku terhadap teks-teks keagamaan serta mengetahui implikasi-
implikasi sosial yang muncul akibat pemberian nafkah dari wanita karir.
2. Skripsi, Arofatul Inayah, NIM: 102044124993 2006. “ Problematika
Pernikahan Wanita Karier Dan Pengaruh Terhadap Pembentukan
Keluarga Sakinah”. Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum, Program
Studi Peradilan Agama. Berdasarkan hasil penelitian, skripsi ini
menyatakan bahwa pada umumnya wanita yang memilih untuk
berkerja/berkarir adalah karena adanya alasan-alasan tertentu, antara lain
yang menjadi faktor adalah masalah ekonomi. Selama wanita tersebut
dapat/sanggup untuk menjalankan fungsi ganda (sebagai ibu dan karirnya)
maka kerukunan rumah tangganya akan dapat dipertahankan. Sebaliknya
jika dia tidak sanggup untuk melaksanakan fungsi gandanya, maka tentu
akan ber akiabat tidak baik bagi kelangsungan rumah tangganya.
3. Skripsi, Heni “Dilema Peraktek Ihdad( Studi Sosiologi Hukum Pada
Masyarakat Kebayoran Lama)”, Nim: 106043201334, 2010. Mahasiswa
Fakultas Syariah dan Hukum, Program Studi Peradilan Agama. Penelitian
19
ini, mendasarkan bagaimana tanggapan masyarakat tehadap hukum ihdad
dari segi pesikologi. Bangaimana masyarakat menanggapi semua
ketentuan-ketentuan yang ada dalam ihdad, terutama pada masyarakat
kebayoran lama. Dari pada itu, penelitian ini memberikan titik fukos pada
tanggapan masyarakat terhadap diadakannya hukum ihdad di masyarakat
kebayoran lama.
Menurut penulis, kajian-kajian diatas (tesis dan skripsi) hanya
membahas tentang hakikat wanita karir, nafkah wanita karir, pernikahan
wanita karir, serta dilema praktik ihdad pada masyarakat. Kajian skripsi ini
berusaha melengkapi kajian-kajian yang telah ada dan membahas sisi-sisi
lainnya yang belum disentuh dengan mengupas secara menyeluruh mengenai
ihdad wanita karir yang terdapat dalam hukum islam, baik ihdad yang
ditinggal mati suaminya maupun ihdad wanita hamil.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara yang akan ditempuh oleh penyusun untuk
menjawab permasalahan penelitian atau rumusan masalah.8Untuk
memperoleh bahan yang di perlukan di dalam penulisan skripsi ini, penulis
mempergunakan metode kepustakaan atau library research yaitu dengan cara
membaca, mempelajari buku-buku yang mempunyai kaitan dengan masalah
yang menjadi bahasan serta di dukung dengan wawancara di masyarakat,
dengan demikian penggunaan metode pembahasan bagi suatu penulisan
8Samiaji Sarosa, Penelitian Kualitatif Dasar-Dasar, Cet-1 (Jakarta: Permata
Puti Media, 2012), h. 3.
20
marupakan suatu hal yang menentukan bermutu atau tidaknya dari penulisan
yang bersangkutan. Metode yang akan digunakan adalah memperoleh data
yang valid dan akurat. Penelitian ini meliputi beberapa hal
1. Sumber Data
Untuk sumber data, penulis menggunakan data yang diambil dari bahan-
bahan pustaka yang diperoleh buku-buku, kitab-kitab yang berhubungan
dengan permasalahan ini.
2. Teknik Pengumpulan Data
Dalam rangka menyusun dan mengumpul bahan bagi skripsi ini,
penulis menggunakan satu macam teknis pengumpulan data yaitu melalui
penelitian kepustakaan (Library Research). (Library Research) Penulis
menggunakan buku-buku yang relevan, yang sesuai degan judul skripsi
ini.
3. Analisa Data
Setelah semua data terkumpul dan mengidentasikan semua data,
penulis mulai mengolah data yang ada dimana semua data yang
terkumpul dianalisis dan menghasilkan pemaparan serta gambaran yang
bersifat pengamatan awal hingga akhir.
4. Metode Penulisan
Sedangkan dalam teknik penulisan, penulis berpandukan pada
buku pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terbitan tahun 2012.
21
F. Sistimatika Penulisan
Untuk mempermudah proses penelitian ini, penulis menguraikan beberapa
hal sitimatika penulisan sebagai berikut:
BAB I : Dalam hal ini penulis mengetengahkan gambaran
pendahuluan yang berisi tentang Latar Belakang Masalah,
Pembatasan dan Perumusan, Tujuan dan Kegunaan, Review
studi terdahulu, Metodologi Penelitian dan Sistematika
penulisan.
BAB II : Bab ini dapat dilihat sekilas pandang tentang, pengertian
Iddah dan Ihdad, syarat-syarat Iddah dan Ihdad, dan
dampak hukum Iddah dan Ihdad.
BAB III : Pada bab seterusnya penulis menguraikan pembahasan
umum mengenai pengertian wanita karier, syarat-syarat
wanita karier, faktor-faktor pendorong wanita berkarier,
dan dampak wanita karier
BAB IV : Manakala dalam bab ini penulis menerangkan
problematika Iddah dan Ihdad Wanita Karier Dalam
Pandangan Hukum Islam Dan Hukum Positif, Ketentuan
syariat Islam tentang iddah Wanita Karier, Analisis Iddah
dan Ihdad wanita karier dalam hukum Islam dan hukum
positif
22
BAB V : Pada Bab yang terakhir ini merupakan bagian dari
penutup yang berisikan kesimpulan dan saran-saran yang
menyangkut jawaban dari perumusan masalah.
23
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG
IDDAH DAN IHDAD WANITA KARIER
A. Tinjaun Umum Tentang Iddah
1. Pengertian Iddah
Menurut bahasa kata Iddah berasal dari kata al-‘adad. Sedangkan
kata al-‘adad merupakan bentuk masdar dari kata kerja‘adda-ya uddu yang
berarti menghitung. Kata al-‘adad memiliki arti ukuran dari sesuatu yang
dihitung dan jumlahnya. Adapun bentuk jama dari kata al-‘adad adalah al-
a’dad begitu pula bentuk jama dari kata ‘Iddah adalah al-‘idad. Secara
(etimologi) berarti:“menghitung” atau “hitungan”. Kata ini digunakan untuk
maksud Iddah karena masa itu si perempuan yang beriddah menunggu
berlakunya waktu.9
Pengertian Iddah secara istilah, para ulama banyak memberikan
pengertian yang beragam, seperti Muhammad al-Jaziri memberikan
pengertian bahwa iddah merupakan masa tunggu seorang perempuan yang
tidak hanya didasarkan pada masa haid atau sucinya tetapi kadang-kadang
juga didasarkan pada bilangan bulan atau dengan melahirkan dan selama
masa tersebut seorang perempuan dilarang untuk menikah dengan laki-laki.10
Pengertian yang tidak terlalu berbeda, juga diungkapkan oleh Sayyid Sabiq
9Amir Syarifuddin, HukumPerkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h.
303. 10Abd ar-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh,(Mesir: Maktabah at-Tijariyah al-Kubra,1969),
jilid 4, h. 513.
24
bahwa ‘Iddah merupakan sebuah nama bagi masa lamanya perempuan (isteri)
menunggu dan tidak boleh kawin setelah kematian suaminya atau setelah
pisah dari suaminya. Kedua pengertian ulama ini sedikit beriringan yang
menekankan pada masa menunggu dan ketentuan untuk menikah dalam masa
tunggu tersebut.11 Selain kedua pendapat diatas juga ada sebuah pendapat
bahwa Iddah merupakan Abu Yahya Zakariyya al-Ansari memberikan
definisi ‘Iddah sebagai masa tunggu seorang perempuan untuk mengetahui
kesucian rahim atau untuk ta’abbud (beribadah) atau untuk tafajju’ (bela
sungkawa) terhadap suaminya.12
Dari definisi diatas, bisa diambil kesimpulan bahwa pada masa
tunggu yang ditetapkan bagi perempuan setelah kematian suami atau putus
perkawinan baik berdasarkan masa haid atau suci, bilangan bulan atau dengan
melahirkan untuk mengetahui kesucian rahim, beribadah (ta’abbud) maupun
bela sungkawa atas suaminya, Selama masa tersebut perempuan (isteri)
dilarang menikah dengan laki- laki lain.
2. Dasar hukum dan macam-macam Iddah
Secara umum, pembagian iddah sebagai berikut:
a. ‘Iddah seorang isteri yang masih mengalami haid yaitu dengan tiga kali
Haid
b. Iddah seorang isteri yang sudah tidak haid (menopause) yaitu tiga bulan:
11As-Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, II (Jakarta:PT Pena Pundi Aksara), h. 196. 12Abu Yahya Zakariyya al-Ansari, Fath al-Wahhab, cet. II, (Semarang : Toha Putra,
1998), h. 103.
25
1) Iddah seorang isteri yang ditinggal mati oleh suaminya adalah empat
bulan sepuluh hari jika ia tidak dalam keadaan hamil.
2) Iddah seorang isteri yang hamil yaitu sampai melahirkan Dari
keempat bagian itu jika diperincikan terbagi menjadi:
a) Iddah berdasarkan haid
Apabila terjadi putus perkawinan disebabkan karena talaq,
baik raj’i maupun ba’in, baik ba’in sughra maupun kubra atau
karena fasakh seperti murtadnya suami atau khiyar bulug dari
perempuan sedangkan isteri masih mengalami haid maka
‘Iddahnya dengan tiga kali haid. Sekalipun ketentuan ini harus
memenuhi syarat.13 Selain itu ada pula ketentuan bahwa iddah
berdasarkan haid juga berkaitan dengan isteri yang ditinggal
mati oleh suaminya dan ia tidak dalam keadaan hamil dalam
dua keadaan. Pertama, apabila ia dicampuri secara syubhat dan
sebelum putus perkawinannya suaminya meninggal maka ia
wajib beriddah berdasarkan haid. Kedua, apabila akadnya fasid
dan suaminya meninggal maka ia ber’iddah dengan
berdasarkan haid tidak dengan empat bulan sepuluh hari yang
13 Syarat yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut: a. Isteri yang merdeka, sedangkan bagi isteri yang hamba sahaya ‘iddahnya selesai dengan
dua kali haid. b. Isteri tersebut dalam keadaan tidak hamil. Sedangkan apabila ia hamil ‘iddahnya selesai
sampai ia melahirkan. c. Isteri tersebut telah dicampuri secara hakiki berdasarkan akad yang shahih. Ulama
Hanafiyyah, Hanabilah, dan Khulafa ar-Rasyidun berpendapat bahwa khalwat berdasarkan akad yang sahih dianggap dukhul yang mewajibkan ‘iddah. Sedangkan ulama Syafi iyyah dalam mazhab yang baru (qaul al-jadid) berpendapat bahwa khalwat tidak mewajibkan ‘iddah. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat di As-Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, II (Jakarta:PT Pena Pundi Aksara), h. 278.
26
merupakan ‘Iddah atas kematian suami karena hikmah ‘Iddah
di sini adalah untuk mengetahui kebersihan rahim dan tidak
untuk berduka terhadap suami karena dalam hal mencampuri
secara syubhat tidak ada suami dan dalam akad yang fasid
tidak ada suami secara syar i maka tidak wajib berduka atas
suami.
b) Iddah berdasarkan bilangan bulan
Apabila perempuan (istri) merdeka dalam keadaan tidak hamil
dan telah dicampuri baik secara hakiki atau hukmi dalam
bentuk perkawinan sahih dan dia tidak mengalami haid karena
sebab apapun baik karena dia masih belum dewasa atau sudah
dewasa tetapi telah menopause yaitu sekitar umur 55 tahun
atau telah mencapai umur 15 tahun dan belum haid kemudian
putus perkawinan antara dia dengan suaminya karena talak,
atau fasakh atau berdasarkan sebab-sebab yang lain maka
‘Iddahnya adalah tiga bulan penuh berdasarkan firman Allah
dalam Surat at-Talaq (65): 4.
Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu
27
iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”. (Q.S. At-thalak: 4).
Dalam hal ini bagi perempuan yang ditinggal mati oleh
suaminya dan ia tidak dalam keadaan hamil dan masih
mengalami haid Iddahnya empat bulan sepuluh hari berdasarkan
firman Allah dalam Surat al-Baqarah (2) : 234.
Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka[147] menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”. (Q.S.Al-Baqarah: 234)
c) Iddah berdasarkan meninggalnya suami
Dalam poin ini, terbagi menjadi dua bagian, diantaranya;
Pertama, isteri yang tidak dalam keadaan hamil ‘Iddahnya
adalah empat bulan sepuluh hari berdasarkan Surat al-Baqarah
(2) : 234.
28
Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka[147] menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”. (Q.S.Al-Baqarah: 234)
Dalam hal ini tidak ada perbedaan baik isteri masih kecil
atau sudah dewasa, muslim atau kitabiyah begitu pula apakah
sudah melakukan hubungan atau belum karena ‘Iddah dalam
kondisi seperti ini adalah untuk menunjukkan kesedihan dan
rasa belas kasih atas kematian suami sehingga disyaratkan
bahwa akadnya sahih, jika akadnya fasid maka ‘Iddahnya
dengan haid karena untuk mengetahui kebersihan rahim.
Semua ketentuan ini adalah bagi isteri yang merdeka
sementara jika isteri adalah hamba sahaya dan hamil maka
„Iddahnya sama dengan isteri yang merdeka yaitu sampai
melahirkan dan jika tidak hamil dan masih mengalami haid
‘Iddahnya adalah dua kali haid. Kedua, apabila isteri dalam
keadaan hamil ‘Iddahnya sampai melahirkan
d) Iddah bagi perempuan yang belum di dukhul
Adapun jika putusnya perkawinan terjadi sebelum dukhul
(hubungan seks) apabila disebabkan oleh kematian suami
maka wajib bagi isteri untuk beriddah sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya. Dan jika putusnya perkawinan
29
disebabkan karena talaq atau fasakh maka tidak ada kewajiban
‘Iddah bagi isteri. Jika nikahnya berdasarkan akad sahih tidak
disyaratkan adanya hubungan seks (dukhul) hakiki akan tetapi
adanya khalwat shahih sudah mewajibkan untuk ber’iddah
sebaliknya jika berdasarkan akad fasid maka tidak wajib
ber’Iddah kecuali telah terjadi dukhul hakiki (hubungan seks).
Dan tidak ada kewaj iban ‘iddah bagi isteri yang dicerai
sebelum dicampuri (qabla ad-dukhul) berdasarkan firman
Allah dalam Surat al-Ahzab (33) : 49
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya”. (Q.S al-Ahzab (33) : 49)
3. Manfaat dan Hikmah Iddah
Dalam pensyari'atan Iddah ada beberapa hikmah, yaitu untuk:
a. mengetahui kekosongan rahim dari janin untuk menghindari
percampuran dua sperma dari dua lelaki atau lebih di dalam satu rahim
yang akan berakibat percampuran nasab dan mengacaukannya, dampak
demikian termasuk kerusakan yang tidak dikehendaki oleh syari'at
maupun oleh hikmah itu sendiri dan harus dicegah.
30
b. mengagungkan nilai akad nikah serta mengangkat derajatnya dan
menampakkan kemuliaannya,
c. memperpanjang waktu rujuk bagi suami yang mentalaknya, karena
boleh jadi suaminya menyesal dan ingin kembali kepadanya, karena
itulah disediakan waktu yang cukup memungkinkan bagi suami untuk
rujuk,
d. memenuhi hak suami dan menampakkan pengaruh kesendiriaannya
tanpa didampingi suami yaitu berupa larangan bagi si istri untuk
bersolek, karena itulah disyari'atkan berkabung atas kematian suami
lebih lama dari berkabung atas kematian orangtua maupun anaknya,
e. bersikap hati-hati untuk menjaga hak suami, kemaslahatan istri itu
sendiri, hak anak dan hak Allah, karena dalam beriddah itu ada 4
macam hak.Allah swt mendudukkan status kematian itu sebagai :
1) batas akhir pemenuhan suatu perjanjian yakni akad nikah yang
batas akhirnya adalah wafat
2) batas akhir penyempurnaan mahar yang terhutang,
3) batas akhir keharaman anak tiri menurut pendapat sebagian
shahabat dan tabi'in seperti Zaid bin Tsabit dan Imam Ahmad bin
Hanbal dalam salah satu dari dua riwayatnya, karena maksud
beriddah itu tidak semata-mata kekosongan rahim dari janin, tetapi
kekosongan rahim itu sendiri merupakan bagian dari maksud serta
hikmah pensyari'atan iddah.
31
Menurut pendapat Imam Nawawi, hikmah bisa dilihat dari kata
Iddah yang bentuk jamaknya adalah 'adad biasanya berarti
penghitungan masa suci/haidl atau penghitungan bulan. Iddah dalam
pengertian syara' adalah suatu nama untuk waktu tunggu bagi seorang
janda untuk mengetahui kekosongan rahimnya dari janin atau untuk
semata-mata melaksanakan kegiatan ibadah yang diperintahkan oleh
Allah s.w.t. atau untuk berdukacita atas kematian suaminya, Istilah
iddah itu bersumber dari ayat AlQuran dan Hadits Nabi, kemudian
menjadi Ijma' Ulama. Iddah disyari'atkan untuk:
a. menjaga & memelihara keturunan dari kekacauan nasab,
b. menjaga hak suami-istri, anak serta calon suami berikutnya.
Maksud utama dalam beriddah adalah semata-mata faktor
'ubudiyahnya berdasarkan dalil bahwa janda itu tidak berakhir
iddahnya dengan 1x quru' walau rahimnya telah bersih dari janin
dengan 1x quru' tersebut.
B. Tinjaun Umum Tentang Ihdad
1. Pengertian Ihdad
` Menurut Abu Yahya Zakaria al-Anshary, Ihdad berasal dari kata
ahadda, dan kadang-kadang bisa juga disebut al-Hidad yang diambil dari kata
hadda. Secara etimologis (lughawi) ihdad berartial-Man’u(cegahan atau
larangan). Berdeda dengan Abdul Mujieb yang menjelaskan dengan gamblang
bahwa Ihdad adalah masa berkabung bagi seorang isteri yang ditinggal mati
suaminya. Masa tersebut adalah empat bulan sepuluh hari disertai dengan
32
larangan-larangannya, antara lain: bercelak mata, berhias diri, keluar rumah,
kecuali dalam keadaan terpaksa.14
Jika dilacak menggunakan pendapat para ulama yang terdapat pada
karya-karya mereka Ihdad adalah menampakkan kesedihan. Adapun Ihdad
secara terminologi adalah antisipasi seorang perempuan dari berhias dan
termasuk di dalam pengertian tersebut adalah masa tertentu atau khusus dalam
kondisi tertentu, dan yang demikian adalah Ihdad atau tercegahnya seorang
perempuan untuk tinggal pada suatu tempat kecuali tempat tinggalnya sendiri.
Para ulama banyak meberikan penjelasan tentang ihdad. Sayyid Abu
Bakar al-Dimyati, definisi Ihdad adalah:”Menahan diri dari bersolek/berhias
pada badan. Dengan ungkapan yang berbeda, Wahbah al-Zuhaili memberikan
definisi tentang makna ihdad: ”Ihdad ialah meninggalkan harum haruman,
perhiasan, celak mata dan minyak, baik minyak yang mengharumkan maupun
yang tidak”.15Lebih mendalam Abdul Rahman Ghozali menjelaskan bahwa
Masatersebutadalah 4 bulan 10 hari, denganlarangan-larangannya, antara lain:
bercelakmata, berhiasdiri, keluar rumah kecuali dengan keadaan terpaksa”.16
Dari kedua pendapat diatas jika dilihat dengan teliti mendekati
pengertian yang diungkapkan oleh Ali al-Salusi, bahwa ihdad secara etimologi
adalah mencegah, dan diantara pencegahan tersebut adalah pencegahan
seorang perempuan dari bersolek, dan termasuk dalam kategori makna Ihdad
secara bahasa adalah menjelaskan kesedihan, adapun Ihdad menurut
14Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h. 342.
15Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h. 343.
16Abdul Rahman Ghozali, Fiqih munakahat. ( jakarta: kencana, 2008), h. 302
33
terminologi adalah pencegahan atau menjaganya seorang perempuan dari
bersolek dan termasuk dalam makna ihdad adalah suatu masa tertentu di antara
masa-masa yang di khususkan, begitu juga di antara makna Ihdad adalah
mencegahnya seorang perempuan dari tempat tinggalnya yang bukan tempat
tinggalnya.17
2. Syarat Ihdad
Mengenai pembahasan tentang syarat Ihdad adalah membicarakan
tentang siapa saja yang diberikan kewajiban untuk melakukan Ihdad. Dalam
masalah ini landasan para ulama adalah: Hadits Nabi S.A.W:
عن حمید بن نافع قال سمعت زینب بنت حدثنا محمد بن المثنى حدثنا محمد بن جعفر حدثنا شعبة أصنع ھذا لأني أم سلمة قالت توفي حمیم لأم حبیبة فدعت بصفرة فمسحتھ بذراعیھا وقالت إنما
وسلم یقول لا یحل لامرأة تؤمن باللھ والیوم الآخر أن تحد فوق سمعت رسول اللھ صلى اللھ علیھي صلى اللھ ثلاث إلا على زوج أربعة أشھر وعشرا وحدثتھ زینب عن أمھا وعن زینب زوج النب
وسلم أو عن امرأة من بعض أزواج النبي صلى اللھ علیھ وسلمعلیھ
Artinya: “Menceritakan padaku Muhammad bin al-Mutsanna menceritakan padaku Ja’far, menceritakan padaku Syu’bah dari Humaid bin Nafi’ berkata aku mendengarkan Zainab binti Umm Salamah berkata Hamim (saudara laki-lakinya) meninggalkan Ummi Habibah, kemudian Umi Habibah memakai wangi-wangian berwarna kuning, kemudian mengusapnya dengan dua tangannya, dan Ummi Habibah berkata sesungguhnya aku memakai wangi-wangian ini karena aku mendengarkan Rasulullah S.A.W bersabda “Tidak boleh seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung untuk orang mati kecuali untuk suaminya selama empat bulan sepuluh hari. Dan Ummi Habibah memberitahukan tentang ibunya dan tentang Zainab isteri Rasulullah, yang menjadi bagian isteri Rasul”.18
Para ulama Madzhab sepakat atas wajibnya perempuan yang
ditinggal mati suaminya untuk melakukan Ihdad (berkabung), baik
17Ali al-Salusi (guru besar kulliyyah al-Syari’ah wa al-Ushul Universitas Qatar),
Mausu’ah alqadzaya al-Fiqhiyyah al-Mu’asharah, al-Maktabah al-Syamilah, (Maktabah Dar al-Qur’an Qatar, Cet 7, Juz II, 2002), h. 72.
18Muslim bin Hajjaj, h. 202-203.
34
perempuan itu sudah lanjut usia maupun masih kecil, muslimah maupun
non-muslimah, kecuali Hanafi. Madzhab ini mengatakan bahwa, perempuan
dzimmi, dan yang masih kecil tidak harus menjalani Ihdad. Sebab mereka
berdua adalah orang-orang yang tidak dikenai kewajiban (ghair mukallaf).19
Pada kesempatan lain, Imam Syafi’i di dalam kitabnyaal-Umm
mengatakan: “Allah Swt. Memang tidak menyebutkan Ihdad di dalam al-
Qur’an, namun ketika Rasullah Saw memerintahkan wanita yang ditingal
mati oleh suaminya untuk berihdad, maka hukum tersebut sama dengan
kewajiban yang ditetapkan oleh Allah Swt. Di dalam kitabnya, dengan kata
lain, kekuatan hukum yang ditetapkan berdasar hadits Rasullah Saw sama
dengan kekuatan hukum yang ditetapkan berdasar al-Qur’an. Pendapat
diatas diikuti atau dikutip oleh Chuzaimah.20 Pengkajian hukum Islam
semakin berkembang, dengan buktinya adanya pembahasan yang
mengatakan bahwa ihdad juga hendaknya dilakukan oleh seorang suami
yang telah ditinggal meninggal oleh istrinya. Kajian demikian adalah
berupa kajian yang mengusung kesetaraan tentang sikap dan persamaan.
Indonesia adalah salah satu negara yang memberikan perhatian khusus
dengan ditemukannya peraturan tersebut; diantaranya:
a. Isteri yang ditinggal mati oleh suami, wajib melaksanakan masa
berkabung selama masa Iddah sebagai tanda turut berduka cita, dan
sekaligus menjaga timbulnya fitnah. Artinya, masa berkabung yang
19 Muhammad Jawwad Muhgniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2007), h.
471. 20 Chuzaimah T. Yanggo, dan Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam Kontemporer
(Jakarta: Pt Pustaka Firdaus, 2009), h. 12.
35
dimaksudkan KHI dalam Pasal 170, adalah sebagai masa tunggu, di
mana seorang perempuan dalam konteks ini adalah isteri, boleh
menikah lagi atau dalam bahasa hukum Islam biasa disebut dengan
Iddah yang memiliki konsekuensi untuk melakukan Ihdad, yakni masa
menunggu di mana seorang tidak diperbolehkan berhias dengan tujuan
untuk menghindari fitnah dan pernyataan KHI tersebut terdapat pada
ayat Al-Qur’an serta hadits Nabi yang menyatakan masa empat bulan
sepuluh hari sebagai masa berkabung dan berikut pernyataan KHI
dalam Pasal 170, Bab XIX, 102 dalam poin berikutnya:
b. Suami yang ditinggal mati oleh istrinya, melakukan masa berkabung
menurut kepatutan. Dari teksini pula, dapat dipahami bahwa antara
laki-laki dan perempuan memiliki nilai atau porsi yang sama di mata
hukum. Pernyataan tersebut sekaligus menunjukkan keumuman
disyari’atkannya melakukan masa berkabung dan bukan hanya
perempuan yang harus melakukan masa ber-Ihdad atau dengan istilah
masa berkabung. Adapun masa Iddah tidak dinyatakan sama dengan
Ihdad dalam hal keumumannya, karena berbeda dengan Ihdad, Iddah
dalam pensyari’atanya dimaksudkan untuk mengetahui kebersihan
sedangkan Ihdad adalah sebagai penghormatan seorang terhadap
pasangannya yang telah meninggal, dan sebagai pencegah dari fitnah.
Dua poin diatas, menggambarkan bahwa seorang laki-laki juga
dianjurkan untuk melakukan hal yang sama seperti perempuan ketika
36
suaminya meninggal. Akan tetapi penulis tidak akan panjang lebar tentang
ihdad bagi laki-laki, karena pada intinya ihdad diberikan kepada perempuan
yang dengan itu bisa memberikan imbas positif bagi perempuan itu sendiri,
karena tidak bisa dipungkiri bahwa penetapan Hukum Islam adalah
memberikan kemaslahatan bagi penerima hukum itu sendiri. Kesimpulan ini
penulis ambil dari berbagai pendapat para ulamadiantaranya, SayyidSabiq,21
Sayyid Abu Bakar al- Dimyathy,22 dan Dr. Wahbah al-Zuhaili.
3. Dampak Hukum
Para fuqaha berpendapat bahwa perempuan yang sedang ber-Ihdad
dilarang memakai semua perhiasan, sebagaimana hadis Nabi:
كنا ننھى أن نحد حدثني أبو الربیع الزھراني حدثنا حماد حدثنا أیوب عن حفصة عن أم عطیة قالت
وج أربعة أشھر وعشرا ولا نكتحل ولا نتطیب ولا نلبس ثوبا مصبوغا على میت فوق ثلاث إلا على ز
وقد رخص للمرأة في طھرھا إذا اغتسلت إحدانا من محیضھا في نبذة من قسط وأظفار
Artinya: “Kami melarang wanita yg melakukan ihdad karena kematian seseorang lebih dari tiga hari kecuali karena kematian suaminya yaitu empat bulan sepuluh hari, & kami melarangnya untuk bercelak, memakai minyak wangi, memakai pakaian berwarna warni, & diperbolehkan bagi seorang wanita memakai qusth & adzfar jika telah bersuci dari masa haidlnya.” [HR. Muslim No.2740].
21 Beliau mengungkapkan Sayyid Sabiq juga tegas mengatakan, wanita yang ditinggal mati
oleh suaminya wajib berihdad selama masa iddah, yaitu empat bulan sepuluh hari. Dalil yang digunakan oleh Sayyid Sabiq ialah hadits riwayat jamaah selain Turmudzi, dari IbnuAthiyah. Nabi Muhammad Saw. Bersadda:“Seorang wanita tidak boleh berihdad karena kematian lebih dari tiga hari kecuali karena kematian suami, maka ia berihdad selama empat bulan sepuluh hari. Janganlah wanita itu memakai pakaian berwarna, kecuali baju lurik, jangan menggunakan celak mata dan memakai harum-haruman, jangan memakai inai.”
22 Beliau mengungkapkan sebuah dalil; Tidak dibolehkan bagi seorang wanita yang beriman kepada allah dan hari kemudian berihdad karena kematian lebih dari tiga hari, kecuali karena kematian suaminya. (maka ia berihdad) yaitu empat bulan sepuluh hari
37
yang dapat menarik perhatian laki-laki kepadanya, seperti
perhiasan intan dan celak, kecuali hal-hal yangdianggap bukan sebagai
perhiasan dan dilarang pula memakai pakaianyang dicelup warna, kecuali
warna hitam. Imam Malik tidak memakruhkan memakai celak karena
terpaksa (karena sakit, misalnya).23
ة إلى رسول قالت زینب وسمعت أمي أم سلمة زوج النبي صلى اللھ علیھ وسلم تقول جاءت امرأ
ھا زوجھا وقد اشتكت عینیھا اللھ صلى اللھ علیھ وسلم فقالت یا رسول اللھ إن ابنتي توفي عن
لا ثم قال إنما ھي أفتكحلھما فقال رسول اللھ صلى اللھ علیھ وسلم لا مرتین أو ثلاثا كل ذلك یقول
اكن في الجاھلیة ترمي بالبعرة على رأس الحول قال حمید وقد كانت إحد} أربعة أشھر وعشرا {
ذا توفي عنھا بن نافع فقلت لزینب وما ترمي بالبعرة على رأس الحول فقالت زینب كانت المرأة إ
شا ولبست شر ثیابھا ولم تمس طیبا ولا شیئا حتى تمر بھا سنة ثم تؤتى بدابة زوجھا دخلت حف
بھا ثم فترميحمار أو شاة أو طیر فتفتض بھ فقلما تفتض بشيء إلا مات ثم تخرج فتعطى بعرة
جلدھا تراجع بعد ما شاءت من طیب أو غیره قال مالك والحفش البیت الرديء وتفتض تمسح بھ
كالنشرة
(Masih dari jalur periwayatan yang sama dengan hadits sebelumnya), [Zainab] berkata; " [Ummu Salamah], isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata, "Ada seorang wanita datang menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu bertanya: 'Wahai Rasulullah, suami anak perempuanku meninggal dunia hingga kedua matanya sakit (karena banyak nangis), apakah dia boleh memakai celak? ' Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Jangan, " -dua atau tiga kali-, dan setiap ditanya beliau menjawab: "Jangan." Kemudian beliau bersabda: "Berkabung itu hanya selama empat bulan sepuluh hari. Sungguh, pada masa Jahilliyah dahulu salaj seorang dari kalian melempar kotoran unta di awal tahun." Humaid bin Nafi' berkata; "Aku lalu bertanya kepada Zainab, 'Apa maksud 'melempar kotoran unta pada awal tahun?" Zainab menjawab; "Dahulu jika seorang wanita ditinggal mati oleh suaminya, ia masuk ke rumah jelek dan mengenakan seburuk-
23Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta:
RajawaliPress, 2009), h. 345.
38
buruk pakaian serta tidak menyentuh wewangian selama setahun. Setelah itu akan didatangkan kepadanya seekor keledai, atau kambing, atau burung, lalu ia menyentuh kulitnya sebagai bentuk terapi, dan tidak ada yang ia sentuh kecuali akan mati. Kemudian ia keluar dan diberikan kepadanya kotoran unta, ia lalu melemparkan kotoran tersebut sebagai tanda habisnya masa penantian. Kemudian ia kembali menjalani kehidupan seperti biasa, memakai wewangia dan selainnya." Malik berkata; "Al Hifsy ialah rumah kecil yang jelek atau gubug reot, dan taftadldlu ialah mengusap kulitnya semacam jampi."
Pendapat para fuqaha mengenai hal-hal yang harus dijauhi
olehperempuan yang ber-Ihdad adalah saling berdekatan. Pada prinsipnya,
adalah semua perkara yang dapat menarik perhatian kaum laki-laki
kepadanya.
39
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG WANITA KARIER
Pada bab ini, penulis ingin menjelaskan pengertian yang bisa dijadikan
rujukan dalam penelitian ini, menjelaskan hal-hal apa saja yang berkaitan dengan
wanita karir yang pada akhinya memberikan kemudahan untuk membedakan
wanita karir dengan yang tidak wanita karir, dan penjelasan ini akan disesuaikan
dengan sub-sub yang telah disetujui pada pembuatan otline.
A. Pengertian Wanita Karier
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, karir berasal dari kata karier
dari bahasa Belanda, yang artinya sebagai berikut; Pertama, Perkembangan,
kemajuan dalam kehidupan, pekerjaan dan jabatan.Kedua, Pekerjaan yang
memberikan harapan maju sedangkan menurut Kamus Dewan, wanita berarti
orang perempuan dan karier berarti kerja atau profesi yang menjadi kegiatan
seseorang dalam hidupnya. Secara umum, definisi wanita karier mencakup
karier wanita sebagai suri rumah sepenuh masa dan juga wanita yang
mempunyai pekerjaan atau profesi tertentu di luar rumah.
Ray Sitoresmin Prabuningrat, menjelaskan tentang bagaimana peran
wanita yang disematkan dengan sebutatn karier, menurutnya wanita karier
adalah bagian peran yang dimainkan dan cara bertingkah laku wanita di
dalam pekerjaan untuk memajukan dirinya sendiri. Wanita karier mempunyai
peran rangkap, yaitu peran yang melekat pada kodrat dirinya yang berkaitan
dengan rumah tangga dan hakikat keibuan serta pekerjaannya di luar rumah.
40
Dengan demikian seorang wanita karier harus memenuhi berbagai
persyaratan dan tidak mungkin dimiliki oleh setiap wanita.24
Lebih lanjut Muhammad Al-Jauhari berpendapat bahwa bagi seorang
wanita Karier sangat diperlukan agar ia biasa mewujudkan jati diri serta
membangun kepribadiannya. Sebab dalam hal ini wanita tetap bisa
mewujudkan jati dirinya secara sempurna dengan berprofesi sebagai ibu
rumah tangga, sambil berpartisipasi aktif dalam kegiatan sosial atau politik.25
Akan tetapi, wanita harus lebih berhati-hati karena Endang Widyastuti,
dalam penelitiannya bahwa seringadanya pandangan negatif dari masyarakat
terhadap wanita karir jika keberhasilannya mengakibatkan rumah tangganya
tidak harmonis ikut menyumbang kemunculan ketakutan sukses pada
wanita.26
Pengertian wanita karier sebagaimana dirumuskan di atas nampaknya
tidak identik dengan “wanita pekerja” atau “wanita bekerja” menurut Prof.
Dr. Tapi Omas Ihromi, ialah mereka yang hasil karyanya akan dapat
menghasilkan imbalan keuangan”, meskipun imbalan uang tersebut tidak
mesti secara langsung diterimanya. Bisa saja keberadaan imbalan itu hanya
dalam perhitungan, bukan dalam realitas: misalnya, wanita yang bekerja di
ladang pertanian untuk keluarganya dalam kedudukan sebagai pembantu ayah
atau saudaranya. Selesai bekerja. Iya tidak memperoleh hasil atau imbalan
24Ray Sitoresmin Prabuningrat, Sosok Wanita Muslimah Pandangan Seorang Artis,
(Yogyakarta, Tiara Wacana: 1993), h. 56. 25Mahmud Muhammad al-Jauhari dan Muhammad Abdul Hakim Khayyal, Membangun
Keluarga Qur ani: Panduan Untuk Wanita Muslimah, (Jakarta, Amzah: 2005), h. 91. 26Endang Widyastuti, Ketakutan Sukses Pada Wanita Karir Ditinjau Dari Konflik Peran
Ganda, sebuah artikel di Universitas Setia Budi dan Universitas Gadjah Mada, 2014, h. 5.
41
keuangan dari ayah atau saudaranya, namun setelah panen dan hasil pertanian
di keluarga ini memperoleh uang. Wanita ini dinamakan pula wanita bekerja.
Hal ini berbeda dengan wanita yang berjam-jam mengurus rumah tangganya,
terkadang hampir tidak ada waktu istirahat di dalam rumah karena banyaknya
pekerjaan yang harus diselesaikan, namun pekerjaaan seperti ini tidak
menghasilkan uang, langsung atau tidak langsung. Wanita semacam ini tidak
termasuk dalam kategori “wanita bekerja.27
Dari beberapa penjelasan ahli diatas, yang disebut dengan wanita
karier adalah wanita yang telah sukses melakukan tugas pokoknya dengan
kemampuannya ia bisa melakukan tugas-tugas dan tanggung jawab yang lain
tanpa mengganggu aktifitas kegiatan pokoknya. Dan mengenai bagaimana
persyaratan yang diberikan akan dijelaskan pada tema selanjutnya.
B. Syarat-Syarat Wanita Karier
Setelah mengetahui tentang bagaimana yang dinamakan wanita karir,
maka untuk memastikannya adalah dengan mengetahui bagaimana
persyaratan yang harus dipenuhi. Persyaratan tersebut adalah sebagai berikut;
1. Memiliki kesiapan mental
a. Wawasan yang memadai tentang bidang yang digelutinya beserta
kaitannya dengan pihak-pihak lain.
b. Keberanian memikul tanggung jawab dan tidak bergantung pada
orang lain.
2. Kesiapan jasmani
27 Chuzaimah T. Yanggo, dan Hafiz Anshariy, Problematika Hukum Islam Kontemporer(
Jakarta: PT. pustaka Firdaus, 2009), h. 21.
42
3. Kesiapan sosial
a. Mampu mengembangkan dan menjalankan keharmonisan hubungan
antara karir dan rumah tangga.
b. Mampu menumbuhkan saling pengertian antara keluarga dekat dengan
tentangga dalam menyikapi karier yang dia lakukan atau jalankan.
c. Mampu beradaptasi dengan lingkungan terkait.
4. Memiliki kemampuan untuk selalu meningkatkan prestasi kerja demi
kelangsungan karier di masa depan
5. Menggunakan peluang dan kesempatan dengan baik
6. Mempunyai pendamping yang selalu mendukung untuk mengungkapkan
gagasan baru.
Menurut Resti Yuni yang telah telah melakukan penelitian yang sama
tentang wanita karier dalam al-Qur’an, ia mengungkapkan bagaimana pendapat
as-sya’rawi dalam memberikan persyaratan dibolehkannya wanita berkarier
diantaranya:
1. Mendapat izin dari walinya, yaitu ayah atau suaminya untuk sebuah
pekerjaan yang halal seperti menjadi pendidik para siswi, atau menjadi
perawat khusus bagi pasien wanita
2. Tidak bercampur dengan kaum laki-laki atau melakukan khalwat dengan
lelaki lain.
43
3. Tidak berlaku tabarruj28 dan menampakan perhiasan yang dapat
mengundang fitnah.
Dari persyaratan yang telah diungkapkan oleh Resti Yuni diatas, ada beberapa
poin tambahan dari beberapa ulama, diantaranya;
1. Menjauhi segala sumber fitnah
a. Dalam bekerja wanita tidak dibolehkan mengenakan pakaian yang
melanggar syara’.
b. Berkata-kata baik dan merendahkan suaranya sesuai dengan suara
wanita.
c. Tidak mengenakan wangi yang berlebihan yang pada akhirnya
menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan oleh agama.
d. Mampu menahan pandangan.
Seorang ulama besar Kairo al-Azhar, menjelaskan beberapa persyaratan
yang harus ditempuh oleh wanita karier, yaitu:
a. Karena kondisi keluarga yang mendesak
b. Keluar bersama mahramnya
c. Tidak berdesak-desakan dengan laki-laki dan bercampur baur dengan
mereka
d. Pekerjaaan tersebut sesuai degan tugas seorang perempuan.29
28 Tabarruj adalah salah satu perbuatan yang diharamkan oleh Allah SubhaanaHu wa
Ta’aalaa. 29 Syaikh Mutawalli As-Sya’rawi, Fiqih Perempuan.( Bandung: Hamzah. 2005), h. 141.
44
C. Faktor-Faktor Pendorong Wanita Berkarier
Setelah mengetahui bagaimana wanita bisa disebut dengan wanita karier,
maka bisa ditemukan beberapa faktor yang mempengaruhi, diantaranya:
1. Terpaksa oleh keadaan atau kondisi karena keadaan ekonomi yang tidak
menentu dan pendapatan suami tidak memadai atau dikarenakan wanita
telah menjadi janda yang harus melanjutkan hidup bersama anak-anaknya
2. Kehendak ingin tidak merepotkan suami, walaupun suami telah
memenuhi semua kebutuhan yang ia butuhkan.
3. Mencari harta yang sebanyak-banyaknya.
4. Untuk mengisi waktu kosong
5. Untuk mencari hiburan jika pekerjaan yang dilakukan adalah hal yang
menjadi hobi
6. Selain hobi, pekerjaan yang dilakukan adalah hal yang bisa
mengembangkan bakat yang wanita tersebut miliki.
Selain faktor-faktor diatas, Chuzaimah memberikan beberapa poin
penting yang menjadikan faktor pendukung bagi wanita untuk menjadi wanita
karier, diantaranya:
1. Pendidikan. Pendidikan dapat melahirkan perempuan karier dalam
berbagai lapangan kerja.
2. Untuk alasan ekonomis, agar tidak tergantung kepada suami, walaupun
suami mampu memenuhi segala kebutuhan rumah tangga, kerena sifat
perempuan adalah selagi ada kemampuan sendiri, tidak ingin selalu
meminta kepada suami.
45
3. Untuk mencari kekayaan sebanyak-banyaknya, ini biasanya dilakukan
oleh perempuan yang menganggap bahwa uang di atas segalanya, dimana
yang paling penting dalam hidupnya adalah menumpuk kekayaan.
4. Untuk mengisi waktu yang lowong. Di antara perempuan ada yang
merasa bosan diam di rumah karena tidak mempunyai kesibukan dengan
urusan rumah tangganya, oleh sebab itu, untuk menghilangkan rasa bosan
tersebut, ia ingin mencari kegiatan di bidang usaha, dan sebagainya.
5. Untuk mencari ketenangan dan hiburan. Seorang perempuan mungkin
mempunyai kemelut yang berkepanjangan dalam keluarganya yang sudah
diatasi, oleh sebab itu ia mencari jalan keluar dengan menyibukkan diri di
luar rumah.
6. Untuk mengembangkan bakat. Bakat dapat melahirkan perempuan karier.
Seorang bukan sarjana, namun berbakat dalam bidang tertentu, akan lebih
berhasil dalam kariernya dibanding seorang sarjana dari fakultas tertentu
yang tidak berbakat. Dengan munculnya faktor-faktor tersebut, maka
semakin terbuka kesempatan bagi perempuan untuk terjun ke dunia
karier.30
D. Dampak Dari Wanita Berkarier
Berkarier bagi wanita di satu sisi mempunyai nilai negatif. Namun di
sisi lain, pekerjaan dan karier mempunyai nilai positif bagi wanita. Nilai-nilai
positif bagi wanita dapat dilihat dari berbagai perspektif, menurut Resti Yuni
dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa:
30 Huzaimah Tahido Yanggo, dan Nasaruddin Umar, Fiqih Perempuan Kontemporer.(
Bogor: Pt: Ghalia Indonesia, 2010), h. 63.
46
1. Ekonomi
Berkarier berarti menekuni suatu pekerjaan yang menghasilkan
insentif ekonomi dalam bentuk upah atau gaji. Dengan hasil itu, wanita
dapat membantu mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Bagi pria atau
suami yang penghasilannya minimal atau bahkan kurang untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi keluarganya sehari-hari, kerja atau karier wanita tidak
hanya diharapkan tetapi juga dibutuhkan. Telah dimaklumi bersama,
bahwa tidak sedikit keluarga yang meskipun sang ayah atau suami telah
mempunyai pekerjaan, tetapi penghasilannya tidak memadai untuk
mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
2. Psikologi
Bekerja atau berkarier umumnya diasosiasikan dengan kebutuhan
ekonomis-produktif. Namun sebenarnya ada kebutuhan lain bagi setiap
individu, termasuk wanita yang dipenuhi dengan bekerja. Di antara
kebutuhan itu adalah kebutuhan akan pengakuan, penghargaan, dan
aktualisasi diri. Di saat kesulitan ekonomi menghimpit lapangan kerja
semakin sempit, banyak kalangan perempuan memporoleh pekerjaan dan
sukses berkarier merupakan prestasi tersendiri. Dengan prestasi ini,
wanita menjadi lebih percaya diri.
3. Sosiologis
Seringkali dapat dijumpai di perusahaan, adanya pegawai atau
karyawan yang menolak dipindahkan atau diberhentikan bukan karena
khawatir kehilangan upah atau fasilitas tertentu, tetapi karena tidak ingin
47
berpisah dengan teman kerjanya. Bahkan ia rela tetap dibayar rendah,
sedang di tempat yang baru gajinya lebih tinggi. Ini menunjukkan bahwa
motif ekonomi bukan satu satunya faktor yang melatarbelakangi
seseorang bekerja dan menekuni karier. Dengan bekerja, wanita dapat
menjalin ikatan dalam pola interelasi kemanusiaan. Interelasi yang
merupakan salah satu pengejawantahan fungsi sosial dan status sosial
tersebut merupakan unsur penting bagi kesejahteraan lahir batin manusia.
4. Religius
Pekerjaan dan karier bagi wanita dapat bernilai religius; sebagai
wujud ibadah atau amal shaleh. Jika karena suatu alasan tertentu, suami
tidak dapat mencari nafkah secara memadai, sedang kebutuhan ekonomi
rumah tangga tidak terelakkan maka kerja istri dalam rangka memenuhi
kebutuhan ini dapat bernilai ibadah. Jika wanita itu bekerja untuk
mencukupi kebutuhan hidup anaknya dan keluarganya, melakukannya
dengan penuh ketulusan, dan menghindari dari hal-hal yang dilarang oleh
agama, maka ia telah melakukan kebijakan
Selain dampak positif, tidak bisa dipungkiri bahwa ada pula
dampak negatif yang bisa dirasakan oleh wanita karier. Membawa
dampak negatif, baik secara sosiologis maupun agamis.
1. Terhadap anak-anak. Perempuan yang hanya mengutamakan
keriernya akan pengaruh kepada pembinaan dan pendidikan anak-
anak, maka tidak aneh kalau banyak terjadi hal-hal yang tidak di
harapkan, seperti perkalihan antara remaja dan antar-sekolah,
48
penyalahgunaan obat-obat terlarang, minuman keras, pencurian,
pemerkosaan, dan sebagainya, apabila hal ini tidak diatasi dengan
segera, maka akan merugikan anak-anak dan masyarakat. Hal ini
harus diakui, sekalipun tidak bersifat menyeluruh bagi setiap individu
yang berkarier. Akibat dari kurangnya komunikasi antara ibu dan
anak-anaknya bisa menyebabkan keretakan sosial. Anak-anak merasa
tidak diperhatikan oleh orang tuanya, sopan santun mereka terhadap
orang tuanya akan memudar, bahkan sama sekali tidak mau
mendengar nasihat orang tuanya. Pada umumnya, hal ini disebabkan
karena si anak merasa tidak ada kesejukan dan kenyamanan dalam
hidupnya sehingga jiwanya berontak. Sebagai pelepas kegersangan
hatinya, akhirnya mereka berbuat dan bertindak seenaknya, tanpa
memperhatikan norma-norma yang ada di lingkungan masyarakat.
2. Terhadap suami. Di balik kebanggaan suami yang mempunyai isteri
perempuan karier yang maju, aktif dan kreatif, pandai dan dibutuhkan
masyarakat, tidak mustahil menemui persoalan-persoalan dengan
isterinya. Isteri yang bekerja di luar rumah setelah pulang dari
kerjaanya tentu ia merasa capek, dengan demikian kemungkinan ia
tidak bisa melayani suaminya dengan baik sehingga suami merasa
kurang hak-haknya sebagai suami. Waktu yang disisihkan isterinya
kepadanya tidak dapat memenuhi kebutuhannya, akibatnya si suami
mencari kepuasan di luar rumah tangganya, misalnya seorang suami
menemukan problem di tempat kerjanya, ia berharap masalah ini bisa
49
diselesaikan dengan isterinya, tetapi tidak terselesaikan kerena isteri
pun mengalami masalah di tempat kerjanya. Untuk mengatasi
masalahnya, si suami mencari penyelesaian dan kepuasan di luar
rumah.
3. Terhadap rumah tangga. Kadang-kadang rumah tangga berantakan
disebabkan oleh kesibukan ibu rumah tangga sebagai perempuan
karier, yang waktunya banyak tersita oleh pekerjaannya di luar rumah
sehingga ia tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai isteri dan ibu
rumah tangga. Hal ini dapat menimbulkan pertengkaran, bahkan
perceraian kalau tidak ada pengertian dari suami.
4. Terhadap kaum laki-laki. Laki-laki banyak yang menganggur akibat
adanya perempuan karier, kaum laki-laki tidak memperoleh
kesempatan untuk bekerja, karena jatahnya telah direnggut atau
dirampas oleh kaum perempuan.
5. Terhadap masyarakat. Perempuan karier yang kurang mempedulikan
segi-segi normatif dalam pergaulan dengan lain jenis dalam
lingkungan pekerjaan atau dalam kehidupan sehari-hari akan
menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan suatu masyarakat.
Perempuan lajang yang mementingkan kariernya kadang-kadang bisa
menimbulkan budaya”nyeleneh” nyaris meninggalkan kodratnya
50
sebagai kaum hawa, yang pada akhirnya mencuat budaya”lesbi dan
kumpul kebo”.31
31 Huzaimah Tahido Yanggo, dan Nasarudin Umar, Fiqih Perempuan Kontemporer, (
Bogor: Pt. Ghalia Indonesia, 2010), h. 63.
51
BAB IV
IDDAH DAN IHDAD WANITA KARIER DALAM PANDANGAN HUKUM
ISLAM DAN HUKUM POSITIF
A. Ketentuan Syari’at Islam tentang Iddah dan Ihdad Wanita Karier
Setelah melakukan penelitian mengenai hal yang berkaitan dengan
Iddah dan Ihdad, konsekuensi dari pada keduanya adalah:32
1. Tidak boleh menerima pinangan laki-laki lain, baik secara terang-
terangan maupun sindiran. Bagi perempuan yang menajalani ‘Iddah
wafat, pinangan dapat dilakukan secara sindiran,
2. Tidak boleh nikah atau dinikahi
Artinya:”Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu[148] dengan sindiran[149] atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf[150]. dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”.( Qs. Al-Baqoroh:235)
32Huzaimah Tahido Yanggo, dan Nasarudin Umar, Fiqih Perempuan Konteporer, (
Bogor: Pt. Ghalia Indonesia, 2010), h. 87.
52
Artinya:” Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), Maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(Qs. Al-Baqoroh:240)
B. Ketentuan Iddah dan Ihdad dalam Undang-Undang N0. 1 tahun 1974
dan Kompilasi Hukum Islam
1. Dalam Undang-Undang No. 1/1974 pasal 11 Jis. Peraturan Pemerintah
No. 9/1975 pasal 39 dan Kompilasi Hukum Islam1 pasal 153. Dalam
Undang-undang No 1 Tahun 1974 disebutkan dalam pasal 11 :
a. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu
tunggu.
b. Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur
dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut.
Penjelasan dari pasal 11 tersebut diatas baik ayat (1) maupun ayat (2)
tertulis cukup jelas. Dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pasal 39
disebutkan:
1) Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam Pasal 11
ayat (2) Undang-undang ditentukan sebagai berikut :
53
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu
ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari
b. apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi
yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan
sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak
berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.
c. apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan
hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan;
2) Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena
perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum
pernah terjadi hubungan kelamin;
3) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu
dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena
kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.
Penjelasan dari pasal 39 tersebut diatas selain ayat (2) cukup jelas,
sedangkan ayat (2) dijelaskan sebagai berikut:
(2) Bagi wanita yang kawin kemudian bercerai, sedangkan antara wanita itu
dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin maka
bagi wanita tersebut tidak ada waktu tunggu, ia dapat melangsungkan
perkawinan setiap saat setelah perceraian itu.
54
2. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 153 disebutkan:
1) Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu
atau iddah, kecuali qabladdukhul dan perkawinannya putus bukan
karena kematian suami.
2) Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:
a. Apabila perkawinan putus karena kematian walaupun
qabladdukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh)
hari;
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi
yang masih haidl ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-
kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haidl
ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari;
c. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda
tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai
melahirkan;
d. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda
tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai
melahirkan.
3) Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena
perceraian sedang janda tersebut dengan bekas suaminya qabl al-
dukhul .
55
4) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu
tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang
mempunyai kekuatan hukum tetap, sedangkan bagi perkawinan yang
putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak
kematian suami.
5) Waktu tunggu bagi istri yang pernah haidl sedang pada waktu
menjalani Iddah tidak haidl karena menyusui, maka iddahnya tiga kali
waktu suci.
6) Dalam haidl keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka
Iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun
tersebut ia berhaidl kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu
suci
Selain dari pada pasal 153, Kompilasi Hukum Islam, pada pasal
selanjutnya juga membicarakan tentang hal yang sangat bekrkaitan berupa:
1. Pasal 154 : Apabila istri tertalak raj'i kemudian dalam waktu iddah
menjalani sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b, ayat (5)
dan ayat (6) Pasal 153, ditinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya
berubah menjadi empat bulan sepuluh hari terhitung saat matinya
bekas suaminya.
2. Pasal 155 : Waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya
karena khulu', fasakh dan li'an berlaku iddah talak.
56
Penjelasan dari pasal 153 sampai dengan pasal 155 tersebut diatas
seluruhnya dikatakan cukup jelas.Pasal pasal mengenai masa iddah janda
karena bercerai di Pengadilan Agama, baik cerai gugat atau cerai talak,
semuanya sesuai dengan makna yang tercantum dalam ayat-ayat Al Quran
Surat ke 2 Al Baqarah ayat 228, 234, Surat ke 33 Az- Zumar ayat 49, Surat
ke 65 Al Thalak ayat 4, dan Hadits yang dijadikan rujukan utama para ahli
hukum Islam baik salaf maupun khalaf, namun timbul paradigma baru
yang mempertanyakan apakah masih diperlukan lagi waktu tunggu
tersebut kalau ternyata dalam rahim janda itu benar-benar tidak ada janin
atau bahkan rahimnya sudah diangkat/dikeluarkan dari perutnya.
C. IDDAH DAN IHDAD WANITA KARIER
Menanggapi semua permasalahan yang ditemukan, banyaknya keadaan
seorang wanita yang sedang menjalankan iddah dan ihdad, akan tetapi tidak
mengetahui apa yang yang ditanggungkan kepadanya. Maka setelah
menganalisis penelitian yang telah penulis lakukan dari bab-bab sebelumnya,
wanita karier yang diperbolehkan menurut ulama adalah:
Pendapat as-Sya’rawi dalam memberikan persyaratan dibolehkannya
wanita berkarier diantaranya:33
1. Mendapat izin dari walinya, yaitu ayah atau suaminya untuk sebuah
pekerjaan yang halal seperti menjadi pendidik para siswi, atau menjadi
perawat khusus bagi pasien wanita
33Syaikh Mutawalli As-Sya’rawi, Fiqih Perempuan.( Bandung: Hamzah. 2005), h. 141.
57
2. Tidak bercampur dengan kaum laki-laki atau melakukan khalwat dengan
lelaki lain.
3. Tidak berlaku tabaruj dan menampakan perhiasan yang dapat
mengundang fitnah.
Dalam pandangan hukum positif, menjelaskan apa yang tergambar
dalam agama, yaitu:
Pasal 154 : Apabila istri tertalak raj'i kemudian dalam waktu iddah
menjalani sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b, ayat (5) dan
ayat (6) Pasal 153, ditinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah
menjadi empat bulan sepuluh hari terhitung saat matinya bekas
suaminya.
Dari pasal ini, tergambar waktu menunggu bagi seorang perempuan
dalam ditinggalnya meninggal, adalah sesuai dengan hukum agama
empat bulan sepuluh hari. akan tetapi pembatasan tentang hukum positif
yang menyangkut dalam ihdad yaitu masa berkabungnya seorang istri
sama dengan hukum waktu menunggu dikarenakan agar tidak terjadi
percampuran dua jenis seperma yang walaupun sudah diketahui tidak
hamil, akan tetapi menurut penelitian kedokteran bahwa menempelnya
seperma itu akan hilang selama jangka waktu tersebut. Dan jika tidak
maka akan berakibat fatal bagi seorang perempuan. Penjelasan hukum
58
menahan dari semua yang berkaitan dengan wangi-wanginan adalah
seperangkat peraturan yang bisa menyempurnakan hukum aslinya.34
Penelitian penulis, berdasarkan penelitian yang digunakan oleh para ahli
sebagaimana yang telah penulis cantumkan.
Kedudukan wanita karier dalam melakukan Iddah dan Ihdad adalah
sesuai dengan semua yang tidak dilarang oleh pendapat yang rajih(kuat)
akan tetapi ada beberapa alternatif, antara lain:
4. Berdandan sesuai dengan kebiasaan jika dianggap tidak mempengaruhi
pandangan orang lain untuk meminangnya. Sebagaimana kaidah usul
fiqih bahwa :
الحكم یدور مع العلة وجودا و عدما
“Hukum bergulir berdasarkan ditemukannya illat dan tidak”.
Ilat dari masalah berdandan adalah dengan berdandan bisa
menyebabkan ketertarikan dari laki-laki untuk meminang yang pada
akhirnya membuat masa Iddahnya terganggu. Jika hal itu bisa dihindanri
dan berdandan hanya dengan menjaga kebersihan diri maka itu
dibolehkan.
Kebolehan itu juga dikuatkan oleh kaidah yang lain bahwa
“kebiasaan adalah sebuah hukum”. Jika seseorang yang berada ditempat
yang biasa disekelilingnya banyak menggunakan alat-alat berdandan dan
semua itu dianggap biasa maka hal itu bisa mengurangi kekerasan dari
hukum berdandan dari larangan pada orang yang beriddah.
34Abdul Halim Hakim, Mabadi’ Awwaliyyah, (Jakarta; Maktabah as-Sa’adiyah Putra,
2010), h. 7.
59
5. Keluar rumah untuk bekerja.
Larangan ini adalah ditujukan untuk berkabung dengan
meninggalnya suami, Akan tetapi jika masalah yang dihadapi adalah
ketidak mampuan dan tidak adanya sisa warisan yang ditinggalkan oleh
suami, maka akan mendesak bagi seorang perempuan untuk
mempertahankan kehidupannya dan anak-anaknya. Jika hal ini dikaitkan
dengan kaidah ususl fiqih bahwa : menghindari kerusakan besar lebih baik
daripada mendahulukan kebaikan yang sedikit.
Dari kedua alternatif bisa dilakukan menurut penulis jika memang
keadaan yang terjadi sangatlah genting dan berkesuaian. Jika tidak maka
hukum para ahli yang didahulukan untuk menegakan semua ketentuan
bagi seorang wanita yang sedang menjalankan Iddah dan Ihdad.
60
BAB V
PENUTUP
Pada bab ini, penulis akan memjabarkan dan menjawab semua
permasalahan yang telah penulis pilih pada rumusan masalah. Selain itu, pada
bagian ini, akan diadakan kolom saran dan kesan. Untuk memberikan peluang
bagi para peneliti selanjutnya, agar bisa menjadi kesinambungan dalam penelitian.
A. Kesimpulan
1. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 153 disebutkan bahwa;Pertama,
Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau
Iddah, kecuali qabladdukhul dan perkawinannya putus bukan karena
kematian suami. Kedua, Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan
sebagai berikut: Apabila perkawinan putus karena kematian walaupun
qabladdukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari;.
2. Dari ketentuan hukum diatas, memberikan gambaran bahwa masa
menunggu atau yang disebut dengan iddah dan masa berkabung yang
disebut dengan ihdad adalah sebuah keharusan bagi seorang perempuan.
Akan tetapi masalah hal-hal yang dilarang adalah berkesesuaian dengan
bagaimana si istri menjalani kehidupannya. Konsep ini diambil karena
pengambilan hukum dalam KHI harus mengambil pesan dasar agama.
Sehingga masa menunggu dan masa berkabung adalah sebuah keharusan
akan tetapi larangan yang menyertainya harus berkesesuaian dengan
keadaan seorang perempuan itu sendiri.
61
3. Ketentuan mengenai Iddah dan Ihdad bagi perempuan menurut hukum
Islam bahwa kepatutan seorang perempuan dalam masa berkabung adalah
menunjukkan kondisi di mana isteri harus menahan diri atau berkabung
selama empat bulan sepuluh hari. Dan selama masa itu, isteri hendaknya
melakukan masa berkabung dengan tidak berhias, tidak bercelak mata dan
tidak boleh keluar rumah. Larangan itu lebih sebagai cara untuk
menghindari fitnah dan sekaligus bertujuan untuk menghormati kematian
suami.
Ketentuan hukum Iddah dan Ihdad jika dikaitkan dengan wanita
karier bisa berlaku dengan beberapa alasan. Jika keadaan yang memang
mendesak dan diharuskan untuk keluar rumah maka, hal ini bisa menjadi
sebuah alasan untuk melakukan wanita karier, asalkan ia tetap menjalani
Iddah dan Ihdad tentang larang menikah sebelum selesai masa Iddah
tersebut.
Alasan diharuskannya melakukan Iddah dan Ihdad bukan hanya
saja alasan hukum akan tetapi semua hal di atas menggambarkan bahwa
hukum Islam tidak kaku, jadi sifatnya elastis dan fleksibel sebagai sebuah
kepatuhan seorang perempuan akan hukum Allah SWT. dan kebaikan bagi
dirinya sendiri, sesuai dalam kaidah di sebutkan.
الحكم یتغیر بتغیر األمنة و االمكنة و األحوال
“Hukum itu menyesuaikan dengan perubahan zaman tempat dan
keadaan”.
62
B. Saran-Saran
Pada bagian ini, penulis akan menyarankan kepada para peneliti yang
selanjutnya adalah dengan memperdalam penelitian iddah dan ihdad pada:
a. Fungsi kesehatan menuurut para ahli kedoktran akan manfaat
dilakukannnya Iddah dan Ihdad
b. Dianjurkannya untuk melakukan penelitian berdasarkan tempat dan
masyarakat tertentu, agar bisa menyempurnakan hukum. Sebuah
daerah akan berbeda situasi dan kondisinya jika dihadapkan dengan
sebuah hukum.
c. Agar masyarakat memahami konsep Iddah dan Ihdad dalam
pandangan hukum Islam sehingga tidak picik dan sempit dalam
memahami elastisitas dan fleksibelitas hukum Islam
63
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009.
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, Jakarta, Kencana, 2003.
Abi Abdillah, Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim al-Bukhory, Shahih al-Bukhary,Jilid Tiga Juz Enam, Beirut, Lebanon, Dar Al-Fikr, 1981 M/1401 H.
Abu Dawud Sulaiman bin al-Ays’ad as-Sajtaini, Kitab Sunan Abi Dawud, Juz I, Beirut, Lebanon, Dar-al-Fikr, 2003M/1424H.
Abidin, Slamet. Aminuddin, Fiqih Munakahat II, Pustaka Setia, Bandung, 1999.
Abu Ishak Syairazi, Al-Muhazzab Fi Fiq Imam Syafi’I, Semarang, Putera Semarang, tth, juz 2
Abu Yasid, Fiqh Realitas, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005.
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushul-Fiqh), Jakarta, Rajawali Pers, 1985.
Hasan, Terjemah Bulughul Maram, Bandung, Diponogoro, 2009.
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta, PT Raja Garfindo Persada. 200.Ahmad Sunarto, Terjemah Hadist Shahih Muslim, Bandung, Husaini, 2002.
Chuzaimah T. Yanggo, dan Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam Kontemporer Jakarta: Pt pustaka Firdaus, 2009.
Himpunan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, Direktorat
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI,
Tihami dan Sohari sahrani, Fiqih Munakahat Kajian Fiqih Nikah Lengkap Jakarta: Rajawali Pers, 2013
Samiaji Sarosa, Penelitian Kualitatif Dasar-Dasar, Cet-1 Jakarta: Permata Puti Media, 2012
Ammal Hamidy dan Imron A. Manan, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash- Shabuni, Surabaya Jl. Rungkut Industri,2003
64
Monique Soesman, Kongres Perempuan Pertama/Tinjauan Ulang Oleh Susan Blakckburn Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,2007
Iin Tri Rahayu, Tristiadi Ardi Ardani, Observasi dan Wawancara Ed-1,Cet-1, Malang: Bayu Media Publishing, 2004
Artikel, Menjadi Wanita Karir Jangan Lupakan 3 Hal Ini, Https://Www.Islampos.Com/Menjadi-Wanita-Karir-Jangan-Lupakan-3-Hal-Ini-146073. Diakses (8 Mei 2015)
Artikel, Mengaji Hukum, Http://Supanto.Staff.Hukum.Uns.Ac.Id/2010/01/10/Per indunganHukum-Wanita. Diakses (7 Mei 2015)