Post on 10-Apr-2019
GUBERNUR SUMATERA BARAT
PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT
NOMOR 11 TAHUN 2015
TENTANG
PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR SUMATERA BARAT,
Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan kelestarian hutan dalam
rangka mendukung keberlangsungan kehidupan
masyarakat diperlukan peran serta masyarakat dalam
perlindungan hutan;
b.
c.
d.
bahwa peran serta masyarakat di Sumatera Barat dalam
memelihara hutan dengan mengutamakan kearifan lokal
dan hukum adat belum terlaksana secara optimal;
bahwa dalam rangka memberikan kepastian dan
perlindungan hukum terhadap peran serta masyarakat
dalam perlindungan hutan, perlu adanya peraturan
mengenai peran serta masyarakat;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Daerah tentang Peran Serta
Masyarakat dalam Perlindungan Hutan;
Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 61 Tahun 1958 tentang
Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun
1957 tentang Pembentukan Daerah-daerah Swatantra
- 2 -
Tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau sebagai
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1958 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 1646);
3. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3888), sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5059);
5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5059);
6. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5495);
7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5587), sebagaimana
telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
- 3 -
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang
Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 147, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4453), sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60
Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan
Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5056);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata
Hutan dan Rencana Pengelolaan Hutan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 147, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4453),
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan
Rencana Pengelolaan Hutan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 16, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4814);
10. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 6
Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya
(Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Barat Tahun 2008
Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sumatera
Barat Nomor 6);
11. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 14
Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Daerah Provinsi Sumatera
Barat Tahun 2012 Nomor 14, Tambahan Lembaran
Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 80);
12. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 8
Tahun 2014 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
(Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 8,
- 4 -
Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Barat
Nomor 99);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
PROVINSI SUMATERA BARAT
dan
GUBERNUR SUMATERA BARAT
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PERAN SERTA
MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
1. Daerah adalah Provinsi Sumatera Barat.
2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Provinsi Sumatera Barat.
3. Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Pemerintah Kabupaten /Kota dalam
wilayah Provinsi Sumatera Barat.
4. Gubernur adalah Gubernur Provinsi Sumatera Barat.
5. Dinas adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah Provinsi Sumatera Barat yang
mempunyai tugas pokok dan fungsi di bidang kehutanan.
6. Nagari atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Nagari,
adalah Nagari, desa atau sebutan nama lain di Provinsi Sumatera Barat.
7. Pemerintah Nagari adalah pemerintah Nagari dan desa atau yang disebut
dengan nama lain di Provinsi Sumatera Barat.
8. Peran Serta Masyarakat adalah berbagai kegiatan yang dilakukan oleh
masyarakat dalam berbagai aspek dan tahapan baik yang berdampak
langsung maupun tidak langsung terhadap Perlindungan Hutan.
9. Pemberdayaan Masyarakat adalah upaya memberdayakan masyarakat yang
dilakukan dalam rangka meningkatkan Peran Serta Masyarakat dalam
- 5 -
Perlindungan Hutan.
10. Perlindungan Hutan adalah usaha untuk mencegah dan membatasi
Kerusakan Hutan, Kawasan Hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh
perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya alam, hama dan penyakit,
serta mempertahankan dan menjaga hak negara, masyarakat dan
perorangan atas hutan, Kawasan Hutan, hasil hutan, investasi serta
perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.
11. Perusakan Hutan adalah proses, cara, atau perbuatan merusak hutan
melalui kegiatan pembalakan liar, penggunaan Kawasan Hutan tanpa izin
atau penggunaan izin yang bertentangan dengan maksud dan tujuan
pemberian izin di dalam Kawasan Hutan yang telah ditetapkan, yang telah
ditunjuk, ataupun yang sedang diproses penetapannya oleh Pemerintah.
12. Kerusakan Hutan adalah perubahan langsung dan atau tidak langsung
terhadap kondisi hutan yang mengakibatkan hutan tidak dapat memenuhi
fungsinya.
13. Pencegahan Kerusakan Hutan adalah berbagai kegiatan masyarakat yang
berdampak baik langsung maupun tidak langsung terhadap Perlindungan
Hutan.
14. Pembatasan Kerusakan Hutan adalah berbagai kegiatan masyarakat yang
dimaksudkan untuk mengurangi Kerusakan Hutan baik diakibatkan oleh
perbuatan manusia maupun oleh peristiwa alam.
15. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi
sumber daya alam hayati yang didominasi jenis pepohonan dalam
persekutuan dengan lingkungannya, yang satu dengan lain tidak dapat
dipisahkan.
16. Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah
untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
17. Hutan Negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak
atas tanah.
18. Hutan Adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat Hukum
Adat.
19. Hutan Hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas
tanah.
20. Hukum Adat adalah seperangkat norma dan aturan, baik yang tertulis
- 6 -
maupun tidak tertulis, yang hidup dan berlaku untuk mengatur kehidupan
Masyarakat Hukum Adat, dan atas pelanggarannya dikenakan sanksi adat.
21. Masyarakat adalah orang seorang, kelompok orang, Lembaga Adat, lembaga
masyarakat, dan masyarakat Hukum Adat.
22. Masyarakat Hukum Adat adalah masyarakat yang secara turun temurun
bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul
leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan wilayah, serta adanya sistem
nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.
23. Kearifan Lokal adalah nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan
masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola hutan secara
lestari.
24. Lembaga Adat adalah perangkat organisasi yang tumbuh dan berkembang
secara turun temurun bersamaan dengan sejarah suatu Masyarakat Hukum
Adat yang menyelenggarakan fungsi adat istiadat sesuai dengan Hukum
Adat.
25. Lembaga Masyarakat adalah organisasi yang dibentuk oleh masyarakat
Hukum Adat di Nagari sebagai wadah untuk berperan serta dalam
Perlindungan Hutan.
26. Wilayah Adat adalah wilyah kehidupan suatu kesatuan masyarakat Hukum
Adat.
27. Tanah Ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari
suatu Masyarakat Hukum Adat.
28. Perlindungan Hutan Berbasis Nagari adalah kegiatan perlindungan hutan
yang melibatkan peran serta masyarakat melalui suatu lembaga di nagari
setempat .
29. Lembaga Masyarakat Perlindungan Hutan Berbasis Nagari yang selanjutnya
disingkat dengan LMPHBN adalah lembaga masyarakat Nagari yang peduli
dalam Perlindungan Hutan baik secara langsung maupun tidak langsung.
30. Badan Usaha adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan
kesatuan, dan melakukan usaha yang bergerak di bidang kehutanan.
31. Lembaga Swadaya Masyarakat adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang
bergerak dibidang kehutanan atau dibidang lingkungan hidup.
32. Lembaga Penelitian adalah Lembaga Penelitian yang bergerak dibidang
kehutanan atau dibidang lingkungan hidup.
- 7 -
33. Perguruan Tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan
pendidikan tinggi.
Pasal 2
Peran Serta Masyarakat dalam Perlindungan Hutan diselenggarakan
berdasarkan asas:
a. pengakuan;
b. keadilan;
c. kepastian hukum;
d. partisipatif;
e. akuntabilitas;
f. keberagaman;
g. keterbukaan; dan
h. keberlanjutan.
Pasal 3
Pengaturan tentang Peran Serta Masyarakat dalam Perlindungan Hutan
bertujuan untuk:
a. mewujudkan hutan negara, hutan adat dan hutan hak yang lestari, sehingga
mampu mendukung kehidupan manusia dan mahkluk hidup lainnya;
b. memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat yang berperan serta
dalam Perlindungan Hutan berdasarkan Kearifan Lokal dan/atau Hukum
Adat setempat;
c. memberikan kepastian hukum bagi Pemerintah Daerah untuk mendorong
dan memfasilitasi Peran Serta Masyarakat dalam Perlindungan Hutan.
Pasal 4
(1) Perlindungan Hutan merupakan bagian dari kegiatan pengelolaan hutan
(2) Perlindungan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
pada :
a. Kawasan Hutan Negara sesuai dengan kewenangan Pemerintah Daerah;
b. Hutan Adat; dan/atau
c. Hutan Hak.
(3) Perlindungan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh
Pemerintah Daerah dengan melibatkan Peran Serta Masyarakat.
- 8 -
Pasal 5
Ruang lingkup pengaturan Peran Serta Masyarakat dalam Perlindungan Hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) meliputi :
a. Peran Serta Masyarakat dalam Pencegahan Kerusakan Hutan;
b. Peran Serta Masyarakat dalam Pembatasan Kerusakan Hutan;
c. Pemberdayaan Masyarakat; dan
d. Pembinaan dan pengawasan.
BAB II
PERAN SERTA MASYARAKAT
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 6
(1) Peran Serta Masyarakat dalam Perlindungan Hutan terdiri atas :
a. Pencegahan Kerusakan Hutan; dan
b. Pembatasan Kerusakan Hutan.
(2) Selain peran serta sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masyarakat juga
dapat berperan serta dalam Perlindungan Hutan dengan melakukan kegiatan
sesuai dengan Kearifan Lokal dan/atau Hukum Adat setempat yang
berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap Perlindungan Hutan.
(3) Peran Serta Masyarakat dalam Perlindungan Hutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh :
a. orang seorang;
b. kelompok orang;
c. Lembaga Adat;
d. LMPHBN;
e. masyarakat Hukum Adat; dan/atau
f. Badan Usaha.
Pasal 7
Peran Serta Masyarakat dalam Perlindungan Hutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan,
Kearifan Lokal dan Hukum Adat setempat.
- 9 -
Pasal 8
(1) Pengaturan pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Perlindungan Hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) pada nagari dapat diatur
dalam peraturan Nagari.
(2) Peraturan Nagari sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memuat
ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan kearifan lokal masyarakat dalam
perlindungan hutan, dan pemberian penghargaan kepada masyarakat.
Bagian Kedua
Pencegahan Kerusakan Hutan
Pasal 9
(1) Peran Serta Masyarakat dalam Pencegahan Kerusakan Hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dilakukan dengan cara:
a. membantu sosialisasi dan penyuluhan peraturan perundang-undangan di
bidang Perlindungan Hutan;
b. membantu identifikasi dan inventarisasi permasalahan yang mengancam
kelestarian hutan;
c. membantu mengembangkan usaha produktif masyarakat sekitar hutan
untuk mengurangi tekanan terhadap fungsi hutan;
d. memberikan masukan terhadap penyusunan rencana program dan
kegiatan Perlindungan Hutan;
e. menerapkan Kearifan Lokal dan/atau Hukum Adat setempat dalam
Perlindungan Hutan;
f. meningkatkan kemampuan anggota masyarakat untuk berperan serta
dalam Perlindungan Hutan;
g. melakukan kerjasama dengan Badan Usaha dan/atau perorangan dalam
Perlindungan Hutan; dan/atau
h. memantau aktivitas Badan Usaha dan/atau perorangan di dalam Hutan.
(2) Selain kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Peran Serta Masyarakat
dapat dilakukan dengan membantu berbagai kegiatan Pemerintah Daerah
dalam Perlindungan Hutan.
Pasal 10
Peran Serta Masyarakat dalam membantu sosialisasi dan penyuluhan peraturan
perundang-undangan, identifikasi dan inventarisasi permasalahan yang
mengancam kelestarian hutan, dan membantu mengembangkan usaha
- 10 -
produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, huruf b dan huruf c
dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan.
Pasal 11
(1) Peran Serta Masyarakat dalam memberikan masukan terhadap penyusunan
rencana program dan kegiatan Perlindungan Hutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 huruf d, disampaikan secara :
a. langsung dalam forum perencanaan; dan/atau
b. tidak langsung dalam bentuk tertulis kepada Lembaga Adat, Lembaga
Masyarakat dan/atau Wali Nagari.
(2) Masukan masyarakat dalam bentuk tertulis sebagaimana dimaksud pada
huruf b disampaikan oleh Lembaga Adat, Lembaga Masyarakat dan/atau
Wali Nagari kepada Pemerintah Daerah.
Pasal 12
Peran Serta Masyarakat dalam menerapkan Kearifan Lokal dan/atau Hukum
Adat setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf e dilakukan dengan
memperhatikan prinsip kelestarian hutan.
Pasal 13
Peran Serta Masyarakat dalam meningkatkan kemampuan anggota masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf f dilakukan dalam bentuk
partisipasi aktif peningkatan kemampuan teknis dan kemampuan manajerial
dalam Perlindungan Hutan, yang meliputi:
a. pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan;
b. pencegahan gangguan Kerusakan Hutan;
c. manajemen organisasi; dan
d. administrasi dan keuangan.
Pasal 14
Peran Serta Masyarakat dalam melakukan kerjasama dengan Badan Usaha
dan/atau perorangan dalam Perlindungan Hutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 huruf g dilakukan menurut kesepakatan antara Nagari yang
bersangkutan dengan Badan Usaha dan/atau perorangan sepanjang tidak
bertentangan dengan prinsip kelestarian hutan.
Pasal 15
Peran Serta Masyarakat dalam memantau aktifitas Badan Usaha dan/atau
- 11 -
perorangan di dalam hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf h
dilakukan dalam bentuk mengidentifikasi, menginventarisasi, dan/atau
mendokumentasikan aktifitas.
Bagian Ketiga
Pembatasan Kerusakan Hutan
Pasal 16
Peran Serta Masyarakat dalam Pembatasan Kerusakan Hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b dilakukan dengan cara :
a. melaporkan terjadinya Perusakan dan Kerusakan Hutan kepada Dinas atau
pihak berwenang baik yang ditimbulkan oleh manusia maupun peristiwa
alam;
b. mengambil tindakan pertama yang diperlukan untuk membatasi Perusakan
dan Kerusakan Hutan baik karena perbuatan manusia maupun karena
peristiwa alam;
c. memberikan sanksi terhadap perbuatan yang merusak fungsi hutan sesuai
Hukum Adat; dan/atau
d. melindungi pelapor tindakan Perusakan hutan.
Pasal 17
(1) Peran Serta Masyarakat dalam melaporkan terjadinya Perusakan dan
Kerusakan Hutan kepada Dinas atau pihak berwenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 huruf a dilakukan oleh masyarakat yang
mengetahui adanya kejadian yang merusak hutan, baik karena perbuatan
manusia maupun oleh peristiwa alam.
(2) Untuk penerimaan laporan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Dinas menunjuk pejabat yang menangani bidang Perlindungan
Hutan.
Pasal 18
(1) Laporan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) , dapat
disampaikan secara :
a. langsung; dan/atau
b. tidak langsung.
(2) Laporan secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
disampaikan kepada pejabat yang ditunjuk oleh Dinas.
(3) Laporan secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
- 12 -
dapat dilakukan melalui :
a. kotak pengaduan;
b. kotak pos;
c. telepon pengaduan;
d. layanan pesan singkat; dan/atau
e. media elektonik.
(4) Laporan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
a. nama dan alamat lengkap pelapor;
b. tempat dan waktu kejadian; dan
c. uraian terjadinya Perusakan dan Kerusakan Hutan.
Pasal 19
Dinas setelah menerima laporan dari masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18, melakukan tindakan penanggulangan Perusakan dan Kerusakan
Hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 20
(1) Peran Serta Masyarakat dalam mengambil tindakan pertama yang diperlukan
untuk membatasi Perusakan dan Kerusakan Hutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 huruf b dilaksanakan sesuai dengan Kearifan Lokal dan/atau
Hukum Adat setempat.
(2) Tindakan pertama untuk membatasi Perusakan hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas :
a. mengidentifikasi pelaku;
b. mengidentifikasi lokasi; dan/atau
c. mengidentifikasi kegiatan Perusakan Hutan.
(3) Tindakan pertama untuk membatasi Kerusakan Hutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas :
a. mengidentifikasi lokasi;
b. mengidentifikasi penyebab;dan/atau
c. mengisolasi Kerusakan Hutan.
Pasal 21
Peran Serta Masyarakat dalam memberikan sanksi terhadap perbuatan yang
merusak fungsi hutan sesuai Hukum Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16 huruf c dilakukan oleh Nagari berpedoman kepada Hukum Adat setempat
- 13 -
dan tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 22
(1) Peran Serta Masyarakat dalam melindungi pelapor tindakan Perusakan
Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf d dilakukan dalam
bentuk melindungi pelapor tindakan Perusakan hutan dari berbagai ancaman
yang dapat membahayakan dirinya.
(2) Perlindungan pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan
dalam bentuk :
a. merahasiakan identitas pelapor;
b. melindungi pelapor dari ancaman fisik; dan/atau
c. melindungi pelapor dari ancaman psikis.
(3) Dalam hal masyarakat tidak bisa melindungi pelapor sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), maka Dinas memfasilitasi perlindungan terhadap pelapor
berkoordinasi dengan pihak berwenang sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Keempat
Perlindungan Hutan Berbasis Nagari
Pasal 23
(1) Dalam rangka mendorong pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam
Perlindungan Hutan, Pemerintah Daerah melaksanakan Perlindungan Hutan
berbasis Nagari.
(2) Perlindungan Hutan berbasis Nagari sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan membentuk LMPHBN yang menjadi mitra Pemerintah
Daerah dalam penyelenggaraan Perlindungan Hutan.
(3) Pembentukan LMPHBN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
melalui musyawarah yang melibatkan unsur pemerintahan Nagari, tokoh
adat dan tokoh masyarakat.
(4) LMPHBN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan keputusan
Wali Nagari.
(5) Keputusan Wali Nagari sebagaimana dimaksud ayat (4) disampaikan kepada :
a. Gubernur melalui Dinas; dan
b. Bupati/Walikota.
- 14 -
Pasal 24
(1) Dinas dapat melakukan fasilitasi pembentukan LMPHBN.
(2) Fasilitasi pembentukan LMPHBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas :
a. identifikasi dan inventarisasi;
b. sosialisasi;
c. fasilitasi pertemuan; dan/atau
d. koordinasi.
Pasal 25
(1) LMPHBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) melaksanakan
tugas dan fungsi yang meliputi :
a. melakukan tindakan pencegahan terhadap aktifitas masyarakat yang
merusak hutan;
b. melakukan tindakan Pembatasan terhadap Kerusakan Hutan;
c. memberikan sosialisasi kepada masyarakat tentang Hutan dan
Kehutanan; dan
d. melakukan koordinasi dengan Polisi Kehutanan dan/atau Dinas.
(2) LMPHBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat laporan kepada
Wali Nagari.
(3) Laporan LMPHBN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh
Wali Nagari kepada :
a. Gubernur melalui Dinas; dan
b. Bupati/Walikota.
Pasal 26
Ketentuan lebih lanjut mengenai LMPHBN diatur dengan Peraturan Gubernur.
BAB III
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Pasal 27
(1) Pemberdayaan Masyarakat dalam rangka meningkatkan dan mendorong
Peran Serta Masyarakat dalam Perlindungan Hutan dilakukan pada
masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar hutan.
(2) Pemberdayaan Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh Pemerintah Daerah.
- 15 -
(3) Selain oleh Pemerintah Daerah, Pemberdayaan Masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh :
a. Pemerintah Kabupaten/Kota;
b. Pemerintah Nagari;
c. Badan Usaha;
d. Lembaga Swadaya Masyarakat;
e. Lembaga Penelitian; dan/atau
f. Perguruan Tinggi.
Pasal 28
Pemberdayaan Masyarakat oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 ayat (2) dilakukan melalui kegiatan :
a. fasilitasi pemanfaatan sumberdaya hutan secara lestari sesuai dengan
fungsinya dan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan;
b. fasilitasi informasi kepada masyarakat terkait dengan berbagai jenis usaha
pemanfaatan Kawasan Hutan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan
hasil hutan dan pemungutan hasil hutan yang dapat dilakukan masyarakat;
c. fasilitasi permodalan usaha dalam mendukung perekonomian masyarakat;
d. fasilitasi pemasaran produk usaha masyarakat di bidang kehutanan;
e. fasilitasi peningkatan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan
manajerial;
f. penguatan Lembaga Adat dan LMPHBN; dan/atau
g. pemberian insentif.
Pasal 29
(1) Fasilitasi pemanfaatan sumber daya hutan secara lestari sesuai dengan
fungsinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a dalam bentuk :
a. pemanfaatan kawasan;
b. pemanfaatan jasa lingkungan;
c. pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu; dan/atau
d. pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.
(2) Pelaksanaan fasilitasi pemanfaatan sumber daya hutan secara lestari
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai ketentuan perundang-
undangan.
Pasal 30
Fasilitasi informasi kepada masyarakat terkait dengan berbagai jenis usaha
pemanfaatan Kawasan Hutan yang dapat dilakukan masyarakat sebagaimana
- 16 -
dimaksud dalam Pasal 28 huruf b dilakukan melalui media komunikasi yang
terdiri atas :
a. media cetak;
b. media elektronik; dan/atau
c. media lainnya.
Pasal 31
Fasilitasi permodalan usaha dalam mendukung perekonomian masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf c dapat dilakukan melalui :
a. penyediaan bantuan bibit; dan/atau
b. pendampingan masyarakat untuk mendapatkan kredit modal usaha.
Pasal 32
Fasilitasi pemasaran produk usaha masyarakat di bidang kehutanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf d dilakukan dalam bentuk :
a. promosi produk usaha masyarakat; dan/atau
b. pengembangan jaringan pemasaran.
Pasal 33
Fasilitasi peningkatan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan manajerial
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf e dilakukan melalui :
a. pendampingan;
b penyuluhan; dan
c. pelatihan.
Pasal 34
Penguatan Lembaga Adat dan LMPBHN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
huruf f dilakukan dalam bentuk :
a. penyediaan bantuan sarana prasarana Perlindungan Hutan;
b. pelatihan kemampuan teknis Perlindungan Hutan;
c. pelatihan kemampuan manajerial; dan/atau
d. penyediaan bantuan biaya operasional.
Pasal 35
(1) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf g dilakukan
dalam bentuk :
a. honorarium; dan/atau
b. penghargaan.
- 17 -
(2) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai
kemampuan keuangan daerah.
(3) Ketentuan mengenai pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur.
Pasal 36
Pemberdayaan Masyarakat oleh Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) huruf a dilakukan melalui:
a. fasilitasi permodalan usaha dalam mendukung perekonomian masyarakat;
b. fasilitasi pemasaran produk usaha masyarakat di bidang kehutanan;
c. fasilitasi peningkatan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan
manajerial;
d. penguatan Lembaga Adat dan LMPHBN; dan/atau
e. pemberian insentif.
Pasal 37
Pemberdayaan Masyarakat oleh pemerintah Nagari sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 ayat (3) huruf b dilakukan melalui :
a. pembentukan LMPHBN; dan
b. memberikan bantuan fasilitas kepada masyarakat dalam pencegahan dan
Pembatasan Kerusakan Hutan.
Pasal 38
Pemberdayaan Masyarakat oleh Badan Usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 ayat (3) huruf c dilakukan melalui kegiatan :
a. membangun kemitraan dengan masyarakat;
b. memberikan fasilitasi dan bimbingan teknis;
c. memfasilitasi penyusunan rencana kerja;
d. memfasilitasi kegiatan Pencegahan Kerusakan Hutan dan Pembatasan
Kerusakan Hutan; dan/atau
e. melaksanakan program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social
Renposibility) di bidang Perlindungan Hutan.
Pasal 39
Pemberdayaan Masyarakat oleh Lembaga Swadaya Masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) huruf d dilakukan melalui pendampingan :
a. kegiatan Pencegahan Kerusakan Hutan dan Pembatasan Kerusakan Hutan;
b. kegiatan penguatan Lembaga Adat dan/atau LMPHBN;
- 18 -
c. kegiatan penguatan pemerintah Nagari; dan/atau
d. pengawasan terhadap kegiatan Pencegahan Kerusakan Hutan dan
Pembatasan Kerusakan Hutan.
Pasal 40
Pemberdayaan Masyarakat oleh Lembaga Penelitian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 ayat (3) huruf e dilakukan dengan melibatkan masyarakat dalam
penelitian dan pengembangan Pencegahan Kerusakan Hutan dan Pembatasan
Kerusakan Hutan.
Pasal 41
Pemberdayaan Masyarakat oleh Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 ayat (3) huruf f dilakukan melalui fungsi pengabdian kepada
masyarakat berupa pendidikan, penelitian dan pengembangan dalam
Pencegahan Kerusakan Hutan dan Pembatasan Kerusakan Hutan.
BAB IV
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Kesatu
Pembinaan
Pasal 42
(1) Gubernur melakukan pembinaan terhadap pelaksanaan Peran Serta
Masyarakat dalam Perlindungan Hutan.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Dinas
dalam bentuk :
a. penyusunan pedoman, petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis;
b. melakukan bimbingan, supervisi dan konsultasi; dan
c. memberikan arahan dalam penyusunan rencana program dan laporan
kegiatan.
(3) Pembinaan pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Perlindungan Hutan
sebagaimana dimaksud ayat (1) dilaksanakan pada kegiatan perencanaan,
pengorganisasian dan pelaksanaan.
(4) Ketentuan mengenai penyusunan pedoman, petunjuk pelaksanaan dan
petunjuk teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diatur dengan
Peraturan Gubernur.
- 19 -
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 43
Pengawasan Peran Serta Masyarakat dalam Perlindungan Hutan bertujuan
untuk mewujudkan efektivitas dan kesesuaian dalam pelaksanaan Perlindungan
Hutan.
Pasal 44
(1) Gubernur melaksanakan pengawasan pelaksanaan Peran Serta Masyarakat
dalam Perlindungan Hutan.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Dinas
dalam bentuk :
a. pemantauan; dan
b. evaluasi.
(3) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan untuk
memperoleh data dan informasi kebijakan dan pelaksanaan kegiatan Peran
Serta Masyarakat dalam Perlindungan Hutan.
(4) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan dalam
rangka menilai keberhasilan pelaksanaan kegiatan Peran Serta Masyarakat
dalam Perlindungan Hutan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
Pasal 45
Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 digunakan oleh Dinas
untuk penyempurnaan kebijakan dan pelaksanan kegiatan Peran Serta
Masyarakat dalam Perlindungan Hutan.
BAB V
PEMBIAYAAN
Pasal 46
(1) Segala biaya yang timbul dalam pelaksanaan kegiatan Peran Serta
Masyarakat dalam Perlindungan Hutan dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi.
(2) Selain menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaksanaan kegiatan Peran Serta
Masyarakat dalam Perlindungan Hutan dapat menggunakan sumber dana
lain yang sah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
- 20 -
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 47
Pelaksanaan program dan kegiatan tentang Peran Serta Masyarakat dalam
Perlindungan Hutan yang sedang berjalan, menyesuaikan dengan Peraturan
Daerah ini paling lama 1 (satu) tahun sejak diundangkan.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 48
Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini ditetapkan paling lama 2 (dua)
tahun terhitung sejak Peraturan Daerah ini diundangkan.
Pasal 49
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Sumatera
Barat.
Ditetapkan di Padang
pada tanggal 28 Desember 2015
Pj. GUBERNUR SUMATERA BARAT,
REYDONNYZAR MOENEK
Diundangkan di Padang
pada tanggal 28 Desember 2015
SEKRETARIS DAERAH
PROVINSI SUMATERA BARAT,
ALI ASMAR
LEMBARAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2015
NOMOR 11
- 21 -