Post on 31-Dec-2014
INANG, PARASIT, DAN PATOGEN
Pendahuluan
Parasit dan pathogen berpengaruh besar terhadap kesehatan dan produksi
ternak di seluruh dunia. Oleh karena itu, sangat penting kita memahami hal
tersebut sebanyak mungkin. Sebelumnya kita harus mengetahui apa itu inang,
parasit, dan pathogen? Bahasan tersebut akan dibahas secara mendetail pada
bahasan berikut ini. Selain itu pada paper ini akan dibahas: interaksi inang pada
pathogen, interaksi inang dan parasit, cara berbagai species hewan untuk,
meningkatkan level resistensinya terhadap parasit dan pathogen, serta
pengendalian agen-agen biologi yang membawa parasit dan pathogen.
a. Inang
Inang merupakan organisme yang menampung virus, parasit, partner
mutualisme, atau partner komensalisme, yang umumnya menyediakan
makanan dan tempat berlindung. Ada dua jenis inang, yaitu inang primer dan
inang sekunder. Inang primer atau juga disebut inang definitif adalah tempat
parasit tumbuh dewasa. Sedangkan inang sekunder atau inang antara adalah
inang yang menampung parasit hanya untuk periode transisi yang hanya
sementara. Bagi tripanosoma, penyebab penyakit tidur, manusia adalah inang
primer dan lalat tsetse adalah inang sekundernya.
Gambar 1. Inang sekunder trypanosome “lalat tsetse”
b. Parasit
Parasit merupakan organism yang hidup pada permukaan atau dalam suatu
organisme yang disebut dengan inang. Parasit memperoleh makanannya
dengan cara mengabsorpsi nutrient dari tubuh inangnya sendiri, sehingga
inangnya kehilangan sebagian dari energi yang didapatkannya. Parasit
berproduksi dengan cepat lebih cepat daripada inangnya sendiri.
1
Gambar 2. Kutu merupakan parasit pada rambut anjing
c. Patogen
Patogen merupakan suatu organisme yang membuat kerusakan atau kerugian
terhadap tubuh inangnya. Sebutan lain dari patogen adalah mikroorganisme
parasit. Umumnya istilah ini diberikan untuk agen yang mengacaukan fisiologi
normal hewan atau tumbuhan multiselular. Namun, patogen dapat pula
menginfeksi organisme uniselular dari semua kerajaan biologi.
Umumnya, hanya organisme yang sangat patogen yang dapat menyebabkan
penyakit, sementara sisanya jarang menimbulkan penyakit. Patogen oportunis
adalah patogen yang jarang menyebabkan penyakit pada makhluk hidup yang
memiliki imunokompetensi (immunocompetent) namun dapat menyebabkan
penyakit/infeksi yang serius pada orang yang tidak memiliki imunokompetensi
(immunocompromised). Patogen oportunis ini umumnya adalah anggota dari
flora normal pada tubuh. Istilah oportunis sendiri merujuk kepada kemampuan
dari suatu organisme untuk mengambil kesempatan yang diberikan oleh
penurunan sistem pertahanan inang untuk menimbulkan penyakit. Patogen
diklasifikasikan menjadi virus, bakteri, fungi, protozoa dan cacing.
1. Interaksi Inang pada Pathogen
a. Myxomatosis pada Kelinci
Pada tahun 1859 seorang laki-laki Inggris yang kesepian, yang telah bosan
tidak melihat apa-apa selain kangguru di rumahnya dekat Geelong di
Australia, mengimpor beberapa kelinci dari Inggris. Dia berpikir ini akan
meningkatkan aktivitas berburu. Sedikit dia ketahui bahwa importasi ini
akan menimbulkan penyakit menular yang berjangkit dengan cepat pada
beberapa kelinci secara serius sehingga hal itu akan mengancam
kemapanan industri ternak di Australia. Hingga pada akhirnya
2
Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation
(CSIRO) melepaskan galur virus myxoma yang bersifat virulent pada
kelinci pada tahun 1950. Kelinci-kelinci tersebut akhirnya mati karena
sangat rentan terhadap virus tersebut, hingga liabilitas terhadap
myxomatosis sangat tinggi hampir 100%, kelinci yang terinfeksi menjadi
mati.
Namun hal tersebut tidak berlangsung lama, adanya seleksi alam yang
sangat kuat untuk resistensi pada inang, dan juga seleksi alam yang sangat
kuat untuk avirulent pada pathogen menyebabkan adanya variasi genetik.
Dari sekian kelinci yang mati ada beberapa kelinci yang mengalami variasi
genetik dengan heritabilitas untuk liabilitas terhadap myxomatosis sekitar
35% menjadikan kelinci tersebut mempunyai peluang besar untuk bertahan
hidup untuk bereproduksi dan oleh karena itu menurunkan gen
resistensinya kepada keuturunannya, sehingga kelici keturunannya
mempunyai resistensi tinggi terhadap myxomatosis. Demikian juga adanya
variasi genetik pada virus myxoma menyebabkan adanya kelinci yang
terinfeksi virus dengan sifat virulent yang rendah menyebabkan kelinci
tersebut bertahan hidup lebih lama dan menghasilkan keuturunan dengan
galur yang kurang virulent.
Interaksi inang dan pathogen disini terlihat pada keresistensian kelinci
terhadap virus myxoma.
Gambar 3. Kelinci yang terkena virus myxoma dan virus myxoma
b. Penyakit Prion
Ada sekelompok penyakit yang disebut spongioform encephalopathies,
yang merupakan penyakit neurologis fatal yang telah diketahui selama
beberapa tahun pada domba dan kambing (penyakit ini disebut scrapie),
dan pada manusia (disebut penyakit kuru, penyakit Creutzfeldt-Jacob, dan
3
sindrom Gerstmann-Straussler–Scheinker). Penyebab penyakit tersebut
ialah oleh bentukan modifikasi dari protein yang disandi oleh gen dalam
inang. Partikel protein tersebut dinamakan prion.
Gen inang tersebut dinamakan gen protein prion (PrP), yang adalah bagian
normal dari genom mamalia dan ayam. Produk polipeptidanya, disebut
PrPC, adalah protein yang terjadi secara alami yang menempel pada
permukaan luar neuron dan, pada limfosit dan sel-sel lain. Sumber infeksi
sebenarnya, disebut PrPSc, tampaknya merupakan bentuk termodifikasi dari
PrPC, tetapi masih mempunyai sekuen asam amino yang sama. Satu dari
teori-teori yang paling banyak diterima untuk penyebaran infeksi adalah
bahwa saat molekul PrPSc memasuki inang yang sebelumnya tidak
terinfeksi, mereka mengubah molekul PrPC yang terjadi secara alami, yang
dihasilkan oleh gen PrP inang, ke dalam partikel terinfeksi, yang pada
akhirnya menyebabkan gejala klinis pada ternak tersebut, dan yang juga
dapat menyebar ke ternak lain, baik secara horizontal (oleh infeksi)
maupun secara vertikal (melalui transmisi internal).
Pada tahun 1986 penyakit prion tersebut menular ke sapi. Ketika sapi di
Inggris memunculkan penyakit baru yang disebut bovine spongioform
encephalopathy (BSE atau penyakit sapi gila). Diduga penyebab penyakit
baru ini adalah pindahnya agen scrapie dari domba ke sapi, melalui
pemberian pakan kotoran domba kepada sapi. Meskipun agen scrapie
menyebabkan kematian pada sapi, tetapi tampaknya tidak bersifat infeksi
pada sapi, dan tidak juga mampu pindah dari sapi ke spesies lain sehingga
tidak terinfeksi.
Interaksi inang dan patogen pada penyakit ini belum diketahui pasti. Para
peneliti dan ilmuwan dokter hewan sedang mendalami kasus ini.
Gambar 4. Penyakit Prion pada Domba
4
c. African Trypanosomiasis
African trypanosomiasis adalah penyakit ternak terpenting dari semua
penyakit ternak di Afrika. Penyakit ini disebakan oleh protozoa species
trypanosome yang di perantai oleh lalat tse-tse. Infeksi tripanosoma
ditandai oleh fluktuasi jumlah tripanosoma pada inang yang terinfeksi,
yang berkisar antara nol sampai kira-kira 1.500/ml darah. Alasan fluktuasi
tersebut merupakan suatu fenomena yang disebut variasi antigen, yaitu
terjadinya sekuens varian antigen yang berbeda yang semuanya timbul dari
populasi pathogen tunggal yang awalnya memasuki inang.
Tripanosoma pada inang awalnya normal-normal saja dengan member
signal antigen dasar. Kemudian inangnya mengeluarkan respon imun
berupa antibody untuk melawan infeksi dari tripanosoma ini. Namun
ternyata sebelum antibody iang ini berhasil menghancurkan tripanosoma
ini, sebelumnya tripanosoma sudah mengeluarkan antigen-antigen baru
untuk menginfeksi inang dengan cara menggandakan dirinya, sehingga
terjadilah fluktuasi jumlah tripanosoma pada inang tersebut.
Interaksi inang dan pathogen pada kasus ini menunjukkan hasil yaitu
adanya variasi antigen yang dilakukan oleh tripanosoma tersebut. Ada tiga
point utama yang bisa dismpulkan dari kasus ini yaitu pertama variasi gen
dari tripanosoma dapat terjadi walaupun tidak adanya antibodi dari
inangnya. Kedua, tripanosoma ini akan terus mengeluarkan antigen baru
biarpun sudah berpindah tempat dari satu inang ke inang lainnya. Ketiga,
implikasinya yaitu sulit untuk menenmukan vaksin yang efektif untuk
melawan variasi antigen yang berbeda pada setiap inang.
Gambar 5. Trypanosoma yang menyerang eritrosit
5
Gambar 6. Lalat tse-tse vector pembawa tripanosoma
2. Resistensi pada Inang
a. Resistensi terhadap Penyakit Marek pada Ayam
Penyakit Marek pada ayam adalah penyakit neoplastik dimana terjadinya
pertumbuhan dari sel-sel tumor disebabkan oleh virus DNA. Ketika
diternakkan secara acak diseleksi untuk sifat resistensi terhadap penyakit
Marek, kematian akibat penyakit ini menurun secara drastis. Karena seleksi
telah menghasilkan perubahan besar dalam liabilitas terhadap penyakit
Marek. Dengan kata lain, ada variasi genetik substansial untuk resistensi
terhadap pathogen.
Gambar 7. Gambar ayam terkena penyakit marek
b. Resistensi terhadap Neonatal Scours pada BabiPenyebab utama neonatal scours pada babi adalah galur E. coli yang
mempunyai antigen pada permukaan sel yang disebut K88. Tapi tidak
semua anak babi rentan terhadap E. Coli K88. Secara khusus, hanya anak-
anak babi dengan reseptor K88 pada dinding ususnya yang menjadi rentan;
anak babi yang tidak punya reseptor akan resisten. ada tidaknya reseptor
K88 ditentukan oleh dua alel pada lokus autosom, dengan alel untuk adanya
reseptor bersifat dominan lengkap terhadap alel yang tidak ada reseptornya.
6
Jadi, resistensi terhadap scours E. Coli pada babi berada di bawah kontrol
dua alel pada lokus tunggal, dengan resistensi bersifat resesif terhadap
kerentanan.
Gambar 8. Babi di beri vaksin
c. Resistensi terhadap Cacing pada Domba
Menurut Le Jambre (1978) banyak bukti variasi antara keturunan dan
variasi genetik dalam resistensi cacing pada domba. Perbedaan genetik
dalam keturunan sangat penting karena mereka membuka jalan untuk
program seleksi yang bertujuan untuk meningkatkan perlawanan. Di
Australia domba merino ditemukan 0,35 telur cacing maksimum per grm
dalam fases dan 0,16 defleksi hematokrit. Pencegahannya dengan
melakukan vaksin.
Gambar 9. Cacing pada Domaba dan Siklus Cacing pada Domba
d. Resistensi terhadap Blowfly pada Domba
7
Blowfly (lalat) domba Australia yang disebabkan oleh Lucilia cuprina yang
menyerang bulu (wol) domba. Variasi terhadap insiden pemogokan
terutama berkaitan dengan terjadinya kerentanan domba terhadap blowfly.
kepadatan lalat domba di daerah. Perangkap tangkapan sesedikit 1-2 lalat /
jam, atau perkiraan kepadatan 7-10 lalat/ hektar yang dapat menyebabkan
penyerangan terhadap domba yang rentan. Lalat domba tidak bisa bertelur
sampai mereka telah mengkonsumsi protein. Resistensi ini menyebabkan
bulu menjadi busuk. Upaya untuk mengendalikannya adalah dengan
penyemprotan insektisida.
Gambar 10. Blofly dan Larva yang Ditinggalkan pada Hewan Ternak
e. Resistensi Kutu pada TernakTernak centang (Rhipicephalus microplus sebelumnya Boophilus microplus)
merupakan hama ekonomi yang serius dari industri ternak Northern
Territory. Produksi ternak dapat dikurangi secara signifikan jika ternak kutu
infestasi tidak dikelola secara efektif. Ternak kutu juga bertanggung jawab
untuk menularkan penyakit lain yang menyebabkan kerugian pada
organisme ternak. Ternak kutu dapat dikirimkan melalui darah organisme
demam, dan juga dapat menyebabkan penyakit dan kematian pada sapi.
Program pengendalian terhadap kutu pada ternak bertujuan meminimalis
risiko penyebaran dalam Zona Kontrol dan Zona Bebas dan juga untuk
meminimalkan penyebaran Parkhurst ternak kutu. Risiko wabah demam
kutu dan strategi yang diperlukan untuk mencegah demam kutu ditentukan
oleh distribusi kutu ternak. Parkhurst ternak kutu adalah kutu sapi yang
tahan terhadap produk kimia tertentu. Ini termasuk piretroid sintetik (SP)
8
dan organofosfat (OP) kelompok bahan kimia seperti Bayticol, Barricade S,
Blokade S dan produk Tixafly. Parkhurst ternak kutu pertama kali terdeteksi
di stasiun ternak di wilayah Darwin Wilayah di akhir 1990-an. Sebuah
survei terbaru untuk menentukan distribusi saat ini telah menunjukkan
bahwa banyak properti di Darwin Kawasan sekarang terinfeksi dengan kutu
Parkhurst. Pada tanggal 1 Mei 2011 Parkhurst Terinfeksi Zona baru
diperkenalkan untuk mencoba dan mengandung kutu Parkhurst ke area yang
terinfeksi dikenal. Gerakan pembatasan berlaku untuk saham bergerak
keluar dari Zona Terinfeksi Parkhurst.
Gambar 11. Kutu Parkhust dan Ternak yang Terinfeksi Kutu Parkhust
3. Resistensi terhadap Parasit dan Patogen
a. Resistensi terhadap Anthelmintic
Infeksi cacing nematoda saluran pencernaan banyak menyerang domba dan kambing, serta merupakan salah satu faktor penghambat peningkatan produktivitas ternak yang sering menimbulkan kematian terutama pada ternak muda. Penanggulangan yang saat ini banyak dilakukan adalah dengan pemberian antelmintik dari golongan benzimidazole. Pengobatan secara rutin dengan antelmintik mempunyai resiko terjadinya resistensi. Resistensi disebabkan oleh alel tertentu dengan efek cukup besar pada lokus tunggal.Pada kondisi tersebut kemungkinan kecil antelmintik akan memberikan efikasi 100% terhadap semua jenis parasit dan 100% efektif sepanjang waktu. Hal tersebut karena, ketika antelmintik digunakan, beberapa parasit yang tahan terhadap antelmintik akan membawa gen resisten (Waller, 1993). Situasi ini menyebabkan perlunya strategi yang berbeda saat pemberian antelmintik pada daerah yang tidak mempunyai kejadian resisten. Bagaimanapun juga frekuensi pemberian antelmintik memicu perkembangan resistensi antelmintik, meningkatkan residu obat pada produk hewan dan mempunyai efek negatif pada lingkungan.
9
Gambar 12. Cacing Nematoda yang Menyerang Usus Domba
b. Resistensi terhadap Antibiotik
Setelah ditemukannya antibiotic, ada beberapa galur yang resisten terhadap
antibiotik. Kenaikan frekuensi gen resisten, akibat dari seleksi selama
proses transmisi vertikal gen-gen tersebut dari generasi ke generasi pada
pathogen atau parasit. Pemunculan resistensi antibiotik pada bakteri secara
cepat dan meluas disebabkan terutama oleh kemampuan bakteri mentransfer
gen secara horizontal (antar individu-individu dalam generasi yang sama)
juga secara vertikal (antar generasi).
Ada tiga metode yang digunakan bakteri untuk mentransfer gen-gen secara
horizontal :
a. Transformasi (pelepasan DNA dari satu sel, dan direspon oleh sel
lain)
b. Transduksi (transfer DNA dari satu sel ke sel lainnya oleh
bakteriofag)
c. Konjugasi (transfer DNA dari satu sel ke sel lainnya, mengikuti
penggabungan perkawinan dari dua sel) metode yang paling penting
dalam pentransferan.
Pentingnya konjugasi terletak pada kenyataan bahwa banyak gen penting
untuk resistensi terhadap antibiotik terdapat pada plasmid. Plasmid yang
10
membawa satu atau lebih gen resistensi disebut faktor R. Plasmid muncul
karena transposon yang merupakan transposable genetic element (TGE)
yaitu segmen DNA yang bisa bergerak dari satu sisi ke sisi lainnya di dalam
dan di antara kromosom.
Gambar 13. Resistensi bakteri terhadap Antibiotik
c. Resistensi terhadap Insektisida pada Blowfly Domba
Blowfly domba Australia yang disebabkan oleh Lucilia cuprina yang
menyerang bulu (wol) karena larva menyerang domba. Upaya manusia
untuk mengendalikan blowfly sampai saat ini terfokus terutama pada
penyemprotan (jetting) dengan insektisida. Contoh penggunaannya adalah
dengan organo-khlorin (1955) yang disebut dieldrin pada mulanya efektif,
namun setelah dipakai 3 tahun keefektifan menurun drastis karena blowflies
menjadi resisten terhadap bahan kimia tersebut.
Alel resisten timbul dan bekerja dengan mengkode enzim sitokrom P-450
yang mampu mendetoksifikasi insektisida, atau dengan mengkode varian
enzim yang dihadapi insektisida, sehingga varian tersebut masih mampu
berfungsi dengan adanya insektisida.
Penggantian satu jenis bahan kimia dengan lainnya mungkin menyebabkan
seleksi kuat memilih alel resistensi pada lokus berbeda. Resistensi dieldrin
ditentukan oleh alel pada lokus ketiga, yang terletak pada kromosom 5.
11
Gambar 14. Inteksisida Blowfly terhadap Domba
4. Pengendalian Agen-agen Biologi yang Membawa Parasit dan Pathogen
a. Lalat screw worm
Ada dua jenis lalat screw worm: lalat Dunia lama (Chrysomya bezziana) dan
lalat Dunia Baru (Cochliomyia hominivorax). Keduanya parasit pada hewan
berdarah panas. Kerugian yang mereka sebabkan muncul dari kegemarannya
berada di luka yang terbuka pada fase larva.
Cara penanggulangannya adalah dengan penggunaan kontrol biologi yang
dikenal sebagai metode pelepasan serangga steril (Steril Insect Release
Method/SIRM). Metode ini meliputi pemeliharaan sejumlah besar larva pada
dua jenis kelamin di laboratorium, dan penyinaran radiasi dosis tinggi terhadap
pupa tahap-akhir agar lalat menjadi steril. Lalat steril ini kemudian dilepaskan
dari pesawat terbang pada luasan antara 1.600 dan 4.000 per mil-persegi per
minggu. Prinsip metode ini adalah bahwa jika lalat steril ini dilepas, sebagian
besar (dan lebih disukai semuanya) lalat liar akan kawin dengan lalat steril
daripada kawain dengan sesame lalat liar (fertil). Ini tentu saja terjadi hanya
jika lalat steril yang dilepas berjumlah banyak.
Program tersebut mempunyai implikasi genetic yaitu:
1. Adaptasi lalat yang dipelihara di laboratorium
2. SIRM mengganggu seleksi alam untuk kemampuan lalat liar mengenali dan
mengawini sesama lalat liar daripada lalat yang dipelihara di laboratorium.
3. Prosedur strelisasi tersebut dipertimbangkan sebagai proses munculnya alel
letal yang dominan.
Gambar 15. Chrysomya bezziana dan Cochliomyia hominivorax
12
b. Cacing
Pemberantasan terhadap cacing dapat dilakukan dengan teknik drenching.
Teknik drenching adalah teknik dengan pemberial oral obat cacing ke dalam
tenggorokan domba menggunakan alat yang berbetuk seperti pistol.
Gambar 16. Teknik drenching pada Domba
c. Bakteri
Pengendalian terhadap bakteri dapat dengan cara menekan penggunaan
antibiotic sebagai tambahan pada pakan ternak. Karena apabila kita
menggunakan antiobiotik akan menyebabkan resistensi bakteri.
13
DAFTAR PUSTAKA
Darwin, C. (1859). The origin of species by means of natural selection, (1st edn).
John Murray, London. Myxomatosis dan kelinci
Thompson, H. V. and King, C. M. (ed.) (1994). The European rabbit. Oxford
UniversityPress, Oxford.
Fenner, F. and Kerr, P. J. (1994). Evolution of the poxviruses, including the
coevolution of virus and host in myxomatosis. In Evolutionary Biology of
Viruses, (ed. S.S. Morse), pp. 273--92. Raven Press, New York.
Spongioform encephalopathies
Allen, I. V. (ed.) (1993). Spongiform encephalopathies. British Medical Bulletin,
49, (4), 725--1016.
Bradley, R., Wilesmith, J. W., Matthews, D., Meldrum, K. C., Will, R. G.,
Chillaud, T. et al. (1993). Bovine spongiform encephalopathy in the United
Kingdom - memorandum from a WHO meeting. Bulletin of the World
Health Organization, 71, 691--4.
Bradley, R. (ed.) (1994). Bovine spongiform encephalopathy. Livestock
Production Science, 38, 1--59.
Collinge, J. (ed.) (1994). Molecular biology of prion diseases. Philosophical
Transactions of the Royal Society of London Series B, 343, 353--463.
Goldmann, W., Hunter, N., Smith, G., Foster, J., and Hope, J. (1994). PrP
genotype and agent effects in scrapie - change in allelic interaction with
different isolates of agent in sheep, a natural host of scrapie. Journal of
General Virology, 75, 989--95.
Marsh, R. F. (1994). Symposium on risk assessment of the possible occurrence of
bovine spongiform encephalopathy in the United States - Madison,
Wisconsin September 8, 1993-- Preface. Journal of the American Veterinary
Medical Association, 204, 70--3.
Prusiner, S. B. (1993). Genetic and infectious prion diseases. Archives of
Neurology, 50, 1129--53.
Prusiner, S. B. and Dearmond, S. J. (1994). Prion diseases and neurodegeneration.
Annual Review of Neuroscience, 17, 311--39.
14
Savey, M., Belli, P., and Coudert, M. (1993). Bovine spongiform encephalopathy
in Europe-- present and future. Veterinary Research, 24, 213--25.
Straub, O. C. (1994). Report on a symposium--transmissible spongiform
encephalopathies. Tierarztliche Umschau, 49, 50--2.
Weaver, A. D. (1992). Bovine spongiform encephalopathy--its clinical features
and epidemiology in the United-Kingdom and significance for the United-
States. Compendium on Continuing Education for the Practicing
Veterinarian, 14, 1647--56.
Westaway, D., Zuliani, V., Cooper, C. M., Dacosta, M., Neuman, S., Jenny, A. L.
et al. (1994). Homozygosity for prion protein alleles encoding glutamine-
171 renders sheep susceptible to natural scrapie. Genes & Development, 8,
959---69.
Wyatt, J. M., Pearson, G. R., and Gruffydd-Jones, T. J. (1993). Feline spongiform
encephalopathy. Feline Practice, 21, 7--9. Tripanosoma
Myler, P. J. (1993). Molecular variation in trypanosomes. Acta Tropica, 53, 205-
25.
Vanderploeg, L. H. T., Gottesdiener, K., and Lee, M. G. S. (1992). Antigenic
variation in African trypanosomes. Trends in Genetics, 8, 452--7.
Variasi dalam patogen/parasit
Robertson, B. D. and Meyer, T. F. (1992). Genetic variation in pathogenic
bacteria. Trends in Genetics, 8, 422--7.
Schmidhempel, P. and Koella, J. C. (1994). Variability and its implications for
host-parasite interactions. Parasitology Today, 10, 98--102.
Resistensi pada inang
Decastro, J. J. and Newson, R. M. (1993). Host resistance in cattle tick control.
Parasitology Today, 9, 13--17.
Fivaz, B. H., Dewaal, D. T., and Lander, K. (1992). Indigenous and crossbred
cattle--a comparison of resistance to ticks and implications for their strategic
control in Zimbabwe. Tropical Animal Health and Production, 24, 81--9.
Gray, G. D. and Gill, H. S. (1993). Host genes, parasites and parasitic infections.
International Journal for Parasitology, 23, 485-94.
15
Michaels, R. D., Whipp, S. C., and Rothschild, M. F. (1994). Resistance of
Chinese Meishan, Fengjing, and Minzhu Pigs to the K88Ac(+) strain of
Escherichia coli. American Journal of Veterinary Research, 55, 333--8.
Stamm, M. and Sorg, I. (1993). [Intestinal receptors for adhesive fimbriae of
Escherichia coli in pigs - a review.] Schweizer Archiv Fur Tierheilkunde,
135, 89--95.
Wakelin, D. (1992). Genetic variation in resistance to parasitic infection:
experimental approaches and practical applications. Research in Veterinary
Science, 53, 139--47.
Wakelin, D. (1992). Immunogenetic and evolutionary influences on the host-
parasite relationship: review. Developmental and Comparative Immunology,
16, 345--53.
Wakelin, D. and Blackwell, J. M. (ed.) (1988). Genetics of resistance to bacterial
and parasitic infection. Taylor and Francis, London. Resistensi terhadap
obat, umum
Bacchi, C. J. (1993). Resistance to clinical drugs in African trypanosomes.
Parasitology Today, 9, 190--3.
Chapman, H. D. (1993). Resistance to anticoccidial drugs in fowl. Parasitology
Today, 9, 159--62.
Denholm, I. and Rowland, M. W. (1992). Tactics for managing pesticide
resistance in arthropods - theory and practice. Annual Review of
Entomology, 37, 91--112.
Hennessy, D. R. (1994). The disposition of antiparasitic drugs in relation to the
development of resistance by parasites of livestock. Acta Tropica, 56, 125--
41.
Herd, R. P. (1993). Control strategies for ruminant and equine parasites to counter
resistance, encystment, and ecotoxicity in the USA. Veterinary Parasitology,
48, 327--36.
Resistensi terhadap insektisida
Ffrenchconstant, R. H. (1994). The molecular and population genetics of
cyclodiene insecticide resistance. Insect Biochemistry and Molecular
Biology, 24, 335--45.
16
Hodgson, E., Rose, R. L., Goh, D. K. S., Rock, G. C., and Roe, R. M. (1993).
Insect cytochrome-P-450--metabolism and resistance to insecticides.
Biochemical Society Transactions, 21, 1060--5.
McKenzie, J. A. and Batterham, P. (1994). The genetic, molecular and phenotypic
consequences of selection for insecticide resistance. Trends in Ecology &
Evolution, 9, 166--9.
Roush, R.T. (1993). Occurrence, genetics and management of insecticide
resistance. Parasitology Today, 9, 174-9.
Whyard, S., Russell, R. J., and Walker, V. K. (1994). Insecticide resistance and
malathion carboxylesterase in the sheep blowfly, Lucilia cuprina.
Biochemical Genetics, 32, 9--24.
Resistensi terhadap insektisida
Barger, I. A. (1993). Control of gastrointestinal nematodes in Australia in the 21st
century. Veterinary Parasitology, 46, 23--32.
Coles, G. C., Borgsteede, F. H.M., and Geerts, S. (1994). Recommendations for
the control of anthelmintic resistant nematodes of farm animals in the EU.
Veterinary Record, 134, 205--6.
Craig, T. M. (1993). Anthelmintic resistance. Veterinary Parasitology, 46, 121--
31.
Jackson, F. (1993). Anthelmintic resistance--the state of play. British Veterinary
Journal, 149, 123--38.
Lacey, E. and Gill, J. H. (1994). Biochemistry of benzimidazole resistance. Acta
Tropica, 56, 245--62.
Lanusse, C. E. and Prichard, R. K. (1993). Relationship between pharmacological
properties and clinical efficacy of ruminant anthelmintics--invited review
paper. Veterinary Parasitology, 49, 123--58.
Le Jambre, L. F. (1993). Molecular variation in Trichostrongylid nematodes from
sheep and cattle. Acta Tropica, 53, 331--43.
Schillinger, D. and Hasslinger, M. A. (1994). Benzimidazole resistance in small
strongyles of horses--occurrence in Germany and strategies for avoiding
resistance. Revue de Medecine Veterinaire, 145, 119--24.
Shoop, W. L. (1993). Ivermectin resistance. Parasitology Today, 9, 154--9.
17
Waller, P. J. (1993). Towards sustainable nematode parasite control of
livestock. Veterinary Parasitology, 48, 295--309.
Waller, P. J. (1994). The development of anthelmintic resistance in ruminant
livestock. Acta Tropica, 56,: 233--43.
Resistensi terhadap antibiotik
Chin, G. J. and Marx, J. (ed.) (1994). Resistance to antibiotics. Science, 264, 359-
93.
Espinasse, J. (1993). Responsible use of antimicrobials in veterinary
medicine-- perspectives in France. Veterinary Microbiology, 35, 289--301.
Haesebrouck, F. and Devriese, L. (1994). Antimicrobial drug resistance and oral
antibiotic medication in farm animals. Vlaams Diergeneeskundig Tijdschrift,
63, 3--6.
Jergens, A. E. (1994). Rational use of antimicrobials for gastrointestinal disease in
small animals. Journal of the American Animal Hospital Association, 30,
123--31.
Kidd, A. R. M. (1993). European perspectives on the regulation of antimicrobial
drugs. Veterinary and Human Toxicology, 35, (Suppl. 1), 6--9.
Lens, S. (1993). The role of the pharmaceutical animal health industry in post-
marketing surveillance of resistance. Veterinary Microbiology, 35, 339-47.
Martel, J. L. and Coudert, M. (1993). Bacterial resistance monitoring in animals--
the French national experiences of surveillance schemes. Veterinary
Microbiology, 35, 321--38.
Mitsuhashi, S. (1993). Drug resistance in bacteria--history, genetics and
biochemistry. Journal of International Medical Research, 21, 1--14.
Smith, J. T. and Lewin, C. S. (1993). Mechanisms of antimicrobial resistance and
implications for epidemiology. Veterinary Microbiology, 35, 233--42.
Smith, W. J. (1993). Antibiotics in feed, with special reference to pigs--a
veterinary viewpoint. Animal Feed Science and Technology, 45, 57--64.
Wray, C., Mclaren, I. M., and Beedell, Y. E. (1993). Bacterial resistance
monitoring of Salmonellas isolated from animals: national experience of
surveillance schemes in the United-Kingdom. Veterinary Microbiology, 35,
313--9.
18
Pemberantasan lalat screw-worm
Lindquist, D. A., Abusowa, M., and Hall, M. J. R. (1992). The New World
screwworm fly in Libya--a review of its introduction and eradication.
Medical and Veterinary Entomology 6, 2--8.
Vargasteran, M., Hursey, B.S., and Cunningham, E.P. (1994). Eradication of the
screwworm from Libya using the sterile insect technique. Parasitology
Today, 10, 119--22.
Pemuliaan untuk resistensi pada inang
Albers, G. A. A. (1993). Breeding for disease resistance--fact and fiction. Archiv
Fur Geflugelkunde, 57, 56--8.
Anon. (ed.) (1994). Workshop on genetic improvement of resistance to mastitis
based on SCC. Journal of Dairy Science, 77, 616--58.
Kloosterman, A., Parmentier, H. K., and Ploeger, H. W. (1992). Breeding cattle
and sheep for resistance to gastrointestinal nematodes. Parasitology Today,
8, 330--5.
Fjalestad, K. T., Gjedrem, T., and Gjerde, B. (1993). Genetic improvement of
disease resistance in fish--an overview. Aquaculture, 111, 65--74.
Flock, D. K. (1993). Improvement of disease resistance in poultry by conventional
breeding techniques. Archiv Fur Geflugelkunde, 57, 49--55.
Ollivier, L. and Renjifo, X. (1991). Use of genetic resistance to K88 colibacillosis
in pig breeding schemes. Genetique, Selection, Evolution 23, 235--48.
Owen, J. B. and Axford, R. F. E. (ed.) (1991). Breeding for resistance in farm
animals. CAB International, Wallingford.
Shook, G. E. and Schutz, M. M. (1994). Selection on somatic cell score to
improve resistance to mastitis in the United-States. Journal of Dairy
Science, 77, 648--58.
19