Post on 23-Nov-2021
GARIS BESAR
Ed. 3/21 Stagflasi Bag. 1
Masa Lalu & Masa Kini
Riset Ekonomi, Perbankan, & Industri BCA
Istilah stagflasi mendadak trending di dunia keuangan dan bisnis be-
berapa pekan terakhir (Exhibit 1), seiring tingginya inflasi dan me-
nguatnya indikasi perlambatan ekonomi AS (Exhibit 2). Kelangkaan
energi global, yang memicu lonjakan harga minyak, batu bara, dan
gas, makin menambah santer isu ini. Lantas apakah ketakutan ini
beralasan? Dan bagaimana dampaknya buat ekonomi Indonesia?
Dalam beberapa edisi Garis Kecil ke depan, kami akan mengupas isu
stagflasi ini dari beberapa sudut pandang – dimulai dari perspektif
makro global terutama tentang AS (edisi ini), dan dilanjutkan dengan
tinjauan pasar komoditas dan ekonomi domestik.
Ford v Ferrari Truman – sejarah terulang lagi?
Dari sudut pandang AS (dan negara maju pada umumnya), lonjakan
inflasi saat ini memang mengagetkan, karena inflasi nyaris tidak
pernah menembus angka 5% sejak era 1990-an. Tak heran, para
pengamat di sana terpaksa mencari reference point yang lebih jadul
(Exhibit 3) – kalau bukan era 70-an (masa Presiden Ford dan Carter),
maka yang jadi referensi adalah periode akhir 40-an dan awal 50-an
(masa Presiden Truman).
1
Masalahnya, lesson learned dari dua periode ini bertolak belakang.
Jika “teori Ford” yang benar, maka inflasi ini disebabkan oleh stimu-
lus yang berlebihan, dan obatnya adalah pengetatan moneter luar
biasa (Volcker shock). Artinya, kita harus bersiap bukan hanya untuk
tapering, tapi juga kenaikan suku bunga yang boleh jadi lebih cepat
dari the Fed.
Tapi jika “teori Truman” yang benar, maka inflasi ini adalah sesuatu
hal yang wajar terjadi setelah periode perang, ketika pemerintah
melakukan belanja besar-besaran – dan pandemi Covid-19 bisa di-
analogikan sebagai perang (melawan virus). Inflasi seperti ini tidak
perlu diobati, karena akan hilang sendiri seiring tuntasnya “perang”
tersebut.
Lantas hipotesis mana yang benar? Well, it’s complicated, dan para
ekonom dunia masih terbelah. Saat ini, inflasi berbanding terbalik
dengan pertumbuhan, mirip era 70-an. Hal ini sejatinya menyalahi
teori ekonomi ortodoks (Phillips curve), di mana inflasi biasanya
sejalan dengan pertumbuhan, dan ada tradeoff antara inflasi dan
angka pengangguran. Tapi pada prakteknya, Phillips curve bukan
formula eksak – kurvanya bisa bergerak naik atau turun. Dan jika
dilihat data beberapa bulan terakhir, kurvanya seolah sedang ber-
geser ke atas (Exhibit 4), yang lagi-lagi memperkuat “teori Ford”
tadi.
2
23
14
67
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Kekhawatiran stagflasi makin mengemuka
indeks (maks. = 100)
Popularitas pencarian di Google: ― Debt ceiling ― Tapering ― Stagflation
Sumber : Google Trends, BCA Economist
Exhibit 1
3
1.3
5.4
0
1
2
3
4
5
6
-60
-50
-40
-30
-20
-10
0
10
20
30
40
50
Jan
-19
Ma
r-19
Ma
y-1
9
Jul-
19
Se
p-1
9
No
v-19
Jan
-20
Ma
r-20
Ma
y-2
0
Jul-
20
Se
p-2
0
No
v-20
Jan
-21
Ma
r-21
Ma
y-2
1
Jul-
21
Se
p-2
1
Sinyal perlambatan ekonomi AS kian tampak
Exhibit 2
QoQ % SAAR YoY %
― GDPNow (“nowcast” PDB AS)
― Inflasi AS
Sumber : Atlanta Fed, Bloomberg, BCA Economist
4
Inflasi tinggi terjadi di awal 50-an dan 70-an
Exhibit 3
12.2
5.4
-10
-5
0
5
10
15
20
Ma
r-4
8
Ma
r-52
Ma
r-56
Ma
r-6
0
Ma
r-6
4
Ma
r-6
8
Ma
r-72
Ma
r-76
Ma
r-8
0
Ma
r-8
4
Ma
r-8
8
Ma
r-9
2
Ma
r-9
6
Ma
r-0
0
Ma
r-0
4
Ma
r-0
8
Ma
r-12
Ma
r-16
Ma
r-20
YoY %
― PDB AS ― Inflasi AS
postwar inflation
70’s stagflation
semakin tinggi inflasi, semakin cepat pertumbuhan
semakin tinggi inflasi, semakin lambat pertumbuhan
Sumber : Bloomberg, BCA Economist
5
Inflasi tinggi terjadi di awal 50-an dan 70-an
Exhibit 4
-4
-2
0
2
4
6
8
10
12
14
16
2 4 6 8 10 12 14 16
inflasi AS, YoY %
pengangguran AS, %
1948–53
1972–82
2017–21
inflasi lebih tinggi
pengangguran lebih tinggi
Feb – Aug ‘21
Sumber : Bloomberg, BCA Economist
6
Of beers & accordions (tapi bukan Oktoberfest)
Tapi penganut “teori Truman” punya poinnya sendiri. Jika inflasi AS
adalah fenomena makro akibat over-stimulus, maka kenaikan harga
mungkin akan terjadi relatif merata untuk berbagai jenis barang dan
jasa. Dalam kenyataannya, inflasi kali ini sangat heterogen – terlihat
dari dispersi inflasi yang melebar (Exhibit 5). Beberapa items seperti
BBM dan kendaraan bekas mengalami inflasi sangat tinggi, tapi be-
berapa lainnya seperti pakaian dan sewa rumah kurang terdampak.
Ini menunjukkan bahwa inflasi juga sangat dipengaruhi faktor supply,
yang unik untuk tiap jenis barang/jasa.
Hal ini pada dasarnya same old story yang sudah sering kita dengar
selama pandemi ini, di mana gangguan rantai pasok global memicu
kelangkaan barang. Tapi alih-alih membaik, disrupsi ini justru makin
parah dalam 4-5 bulan terakhir (Exhibit 6-7), di tengah permintaan
global yang mulai pulih dan gelombang Delta yang mengganggu akti-
vitas industri/logistik khususnya di Asia.
Kapan gangguan ini akan berakhir? Sulit diketahui dengan pasti,
karena hal ini belum ada presedennya, terutama di era globalized
supply chain (di masa Truman ataupun Ford, rantai pasok lebih ter-
pusat secara geografis di AS dan Eropa). Best case scenario mungkin
bisa dilihat dari harga kayu AS/Kanada, yang sempat melejit namun…
7
turun drastis di Q3-21 (Exhibit 8), seiring dilepasnya “shadow inven-
tory” oleh pelaku industri. Masalahnya, ini belum tentu berlaku buat
industri seperti semikonduktor yang lebih “lean” dan rantai pasok-
nya lebih kompleks, melibatkan banyak pemain di banyak negara.
Ekonom terbiasa mengasumsikan inflasi dari sisi supply sebagai se-
suatu yang bersifat sementara (transitory), seperti sering dikemu-
kakan Gubernur Fed Jerome Powell. Tapi pada prakteknya, gangguan
sementara pada supply chain bisa berdampak lebih lama. Ibarat
mobil di jalan raya, satu-dua mobil yang melambat bisa menimbul-
kan “gelombang kemacetan” untuk kendaraan di belakangnya, yang
bisa terus menyebar bagai akordion (“accordion effect”) walaupun
mobil di depan tadi sudah kembali melaju.
Fenomena serupa juga pernah diteliti oleh Jay Forrester, seorang
profesor di bidang supply chain management. Forrester membuat
simulasi rantai pasok bir, yang dinamakan “Beer Game”, untuk mem-
perlihatkan bagaimana riak-riak kecil di sisi demand atau logistik bisa
menimbulkan gelombang kerugian cukup besar (akibat kelangkaan
atau kelebihan barang), terutama jika para pemain dalam rantai
pasok kurang berkoordinasi. Jadi, meski shock inflasi sejak era 90-an
biasanya hanya bertahan 1-2 kuartal (per analisis Bloomberg), bukan
tidak mungkin inflasi global kali ini bisa bertahan lebih lama dari itu.
8
Dispersi lebar, inflasi didorong beberapa item
Exhibit 5
9
4.0
-75
-50
-25
0
25
50
75
100
De
c-17
Fe
b-1
8
Ap
r-18
Jun
-18
Au
g-1
8
Oct
-18
De
c-18
Fe
b-1
9
Ap
r-19
Jun
-19
Au
g-1
9
Oct
-19
De
c-19
Fe
b-2
0
Ap
r-20
Jun
-20
Au
g-2
0
Oct
-20
De
c-2
0
Fe
b-2
1
Ap
r-21
Jun
-21
Au
g-2
1
MoM % AR
― Inflasi AS, itemized: 80% items* 95% items*
* 343 item dan kategori sesuai klasifikasi BLS
Sumber : US BLS, BCA Economist
Produksi terhambat, backlog menumpuk
Exhibit 6
10
58.2
63.8
64.8
20
30
40
50
60
70
Jan-15 Jan-16 Jan-17 Jan-18 Jan-19 Jan-20 Jan-21
indeks (50 = netral)
PMI manufaktur AS: ― Produksi ― Pesanan baru ― Backlog
turun/kontraksi
Sumber : ISM, Bloomberg, BCA Economist
Delay di hulu picu kelangkaan dan inflasi di hilir
Exhibit 7
11 Sumber : ISM, Bloomberg, BCA Economist
26.6
31.7
81.2
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Jan-15 Jan-16 Jan-17 Jan-18 Jan-19 Jan-20 Jan-21
indeks (50 = netral)
PMI manufaktur AS: ― Suppliers’ delivery ― Customers’ inventory ― Harga
Delay di hulu picu kelangkaan dan inflasi di hilir
Exhibit 8
12
147.9
162.7
50
100
150
200
250
300 indeks (Jan-15 = 100)
Harga kayu: ― Kanada ― AS (termasuk plywood)
Sumber : Bloomberg, BCA Economist
Spiral staircase – upah jadi penentu
Lantas kalau inflasi belum tentu kelar di jangka pendek, apa artinya
inflasi akan terus tinggi untuk beberapa tahun ke depan? Mungkin
tidak juga. Sejak Maret lalu, ekspektasi inflasi AS untuk 5 tahun ke
depan relatif stabil di kisaran 2.5% (Exhibit 9), meski inflasi aktual
sempat menyentuh 5.4%. Memang ada kenaikan tipis ~15 bps sejak
mid-September, seiring kekhawatiran stagflasi, dan ini menjelaskan
kurang lebih separuh dari kenaikan yield Treasury belakangan ini –
separuhnya lagi, dari expected real rate, mungkin terkait rencana
tapering.
Apakah ekspektasi pasar ini selalu akurat? Tentunya tidak. Tapi riset
terbaru dari the Fed sendiri (Rudd 2021) menunjukkan bahwa
ekspektasi inflasi jangka panjang lebih relevan dalam memprediksi
inflasi ketimbang ekspektasi jangka pendek. Dengan kata lain, angka
2.5% tadi semestinya lebih bisa jadi pegangan dibandingkan kisruh
stagflasi saat ini.
13
Riset yang sama juga menunjukkan bahwa tingkat upah/gaji adalah
penentu inflasi yang sangat penting dalam jangka panjang. Kita tentu
mafhum kalau harga barang dan upah saling terkait. Semakin harga-
harga naik, semakin pekerja menuntut kenaikan upah – tapi semakin
besar belanja para pekerja tadi, semakin naik pula harga-harga.
Proses ini, yang sering disebut wage-inflation spiral, terputus di AS
sejak tahun 90-an, seiring banyaknya pekerjaan yang di-outsource ke
luar negeri dan berkurangnya kekuatan serikat buruh. Et voilà, inflasi
pun jadi lebih stabil.
Walau begitu, kita tidak bisa berasumsi bahwa pasar tenaga kerja
AS, pasca-pandemi ini, akan adem ayem seperti tiga dekade se-
belumnya. Indikasi awal menunjukkan bahwa upah pekerja AS naik
kencang beberapa bulan terakhir, dipicu salah satunya oleh banyak-
nya pekerja yang pindah tempat kerja untuk mencari upah lebih
tinggi (Exhibit 10).
Kenapa pekerja AS tiba-tiba lebih pede pindah kerja sejak pandemi?
Ada beberapa alasan yang masih diperdebatkan. Salah satu yang
mungkin memperkuat posisi tawar pekerja adalah bantuan tunai
(stimulus checks) dari pemerintah AS, sehingga mereka merasa lebih
aman untuk resign. Jika ini benar, boleh jadi kenaikan upah tadi akan
berangsur mereda setelah stimulus checks berakhir September lalu.
14
Tapi ini bukan satu-satunya alasan. Beberapa survei menunjukkan
bahwa kepuasan kerja selama WFH – dan keengganan kembali WFO
– jadi motivator sebagian pekerja untuk berpindah perusahaan. Plus,
pandemi juga membuka mata banyak warga AS (dan Indonesia, for
that matter) tentang besarnya kesempatan berbisnis online. Alhasil,
tingkat pendaftaran usaha baru di AS justru meroket selama pan-
demi (Exhibit 11), dan ini tentu jadi alternatif bagi para pekerja yang
kurang puas selama ini.
15
Ekspektasi inflasi jangka panjang masih ~2.5%
Exhibit 9
16 Sumber : Bloomberg, BCA Economist
2.98
2.63
2.46
-2
-1
0
1
2
3
4
% YoY
Breakeven inflation AS (ekspektasi inflasi): ― 1Y ― 5Y ― 10Y
Gaji mulai naik, posisi tawar pekerja menguat?
Exhibit 10
17 Sumber : Atlanta Fed, Bloomberg, BCA Economist
3.7
4.4
3.1
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
0
1
2
3
4
5
6
7
Jan
-01
Jan
-02
Jan
-03
Jan
-04
Jan
-05
Jan
-06
Jan
-07
Jan
-08
Jan
-09
Jan
-10
Jan
-11
Jan
-12
Jan
-13
Jan
-14
Jan
-15
Jan
-16
Jan
-17
Jan
-18
Jan
-19
Jan
-20
Jan
-21
% YoY %
― Kenaikan gaji AS, overall ― Khusus orang berpindah kerja ― Quit rate* AS (kanan)
* Persentase pekerja sektor swasta yang berhenti atas kemauan sendiri (bukan PHK)
Minat membuka bisnis naik selama pandemi
Exhibit 11
18 Sumber : US Census, BCA Economist
4.8
0
2
4
6
8
10
12
14
16
0
100000
200000
300000
400000
500000
600000
Jan
-05
Jan
-06
Jan
-07
Jan
-08
Jan
-09
Jan
-10
Jan
-11
Jan
-12
Jan
-13
Jan
-14
Jan
-15
Jan
-16
Jan
-17
Jan
-18
Jan
-19
Jan
-20
Jan
-21
unit bisnis baru %
― Angka pengangguran AS (kanan)
Pendaftaran usaha baru: ― High-propensity* ― Non-high-propensity
* Jenis/sektor usaha yang dinilai berpotensi menjadi besar dan menciptakan lebih banyak lapangan kerja
Implikasi – Don’t fear the reaper?
Dari pembahasan tadi, kami melihat bahwa inflasi global saat ini
belum tentu bisa selesai dalam jangka pendek, apalagi jika disrupsi
akibat pandemi masih terjadi ke depannya (entah itu dari varian
baru, atau dari negara yang menerapkan strategi “zero Covid” se-
perti Tiongkok atau Taiwan). Dan bahkan tanpa disrupsi tersebut,
“gelombang kemacetan” mirip akordion tadi masih bisa bergema di
rantai pasok global hingga setahun mendatang atau bahkan lebih –
tentunya dengan intensitas yang berbeda-beda untuk tiap industri.
Dan kenaikan supply bukan satu-satunya jalan keluar dari tekanan
inflasi ini – bukan tidak mungkin, justru demand-lah yang turun. Hal
ini mulai terlihat bukan hanya dari real-time forecast (nowcast) AS
dan permintaan industri yang mulai turun, tapi juga dari disrupsi in-
dustri manufaktur di Tiongkok akibat kelangkaan energi. Ditambah
lagi dengan crackdown dan perlambatan sektor properti di Tiongkok,
bukan tidak mungkin dunia akan memasuki double-dip recession di
akhir tahun ini.
Tapi, hipotesis bahwa kondisi saat ini adalah permulaan dari stagflasi
panjang à la 70-an (“teori Ford”) juga belum tentu benar. Meskipun
stimulus moneter luar biasa dari the Fed dan bank sentral global
lainnya tentu akan berdampak pada harga-harga, tak ada jaminan …
19
bahwa efeknya akan seragam untuk semua jenis aset, barang, dan
jasa (Cantillon effect). Malah, sejak 90-an ada indikasi bahwa stimu-
lus moneter efektif menaikkan harga aset (saham, obligasi, properti,
dst.) tapi tidak untuk barang dan jasa in general.
Wildcard-nya dalam hal ini adalah dinamika pasar tenaga kerja AS
(dan global). Jika efek kumulatif dari WFH, Zoom, dan digital entre-
preneurship memicu revolusi di pasar tenaga kerja, bukannya tidak
mungkin posisi tawar dan upah pekerja akan semakin kuat. Peng-
alaman historis seperti Black Death juga menunjukkan bahwa pan-
demi cenderung memperkuat posisi tawar pekerja vis-à-vis pemilik
modal.
All in all, belum ada argumen yang cukup kuat bahwa the Fed akan
mempercepat timeline kenaikan suku bunga dari ekspektasi saat ini
di akhir 2022 (Exhibit 12) – walaun ini bisa berubah jika kenaikan
upah terus berlanjut, sesuai view kami tentang upah sebagai wild-
card. Ini memberi ruang bagi BI untuk melakukan normalisasi ke-
bijakan secara gradual, didukung oleh selisih suku bunga riil yang
lebar antara Indonesia dan AS (Exhibit 13) dan surplus perdagangan
dari komoditas (edisi berikutnya).
20
Pertimbangan politik juga mengindikasikan bahwa the Fed belum
akan menaikkan suku bunga secara agresif. Baik Powell ataupun Lael
Brainard, dua kandidat terkuat Gubernur Fed periode 2022-26, ter-
bilang cukup dovish ketimbang kolega mereka. Baik Partai Demokrat
maupun Partai Republik (pasca-Trump) juga cenderung pro terhadap
suku bunga rendah, terlepas dari retorika politik yang terkadang
digunakan.
Last but not least, utang pemerintah AS yang makin besar pasca-
pandemi (Exhibit 14) mendukung dilakukannya financial repression,
yakni kebijakan suku bunga riil negatif (suku bunga lebih rendah dari
inflasi) guna memperingan pembayaran utang tersebut. Baik di era
Ford/Carter dan terlebih di era Truman (dengan beban utang pasca
Perang Dunia II dan Perang Korea), suku bunga cenderung lebih
rendah dari inflasi (Exhibit 15). Hal ini juga positif untuk neraca pem-
bayaran dan stabilitas Rupiah di jangka menengah.
21
Pasar expect kenaikan FFR dimulai di H2-22
Exhibit 12
22 Sumber : Bloomberg, BCA Economist
0.13
0.22
0.38
0.85
-0.25
0.00
0.25
0.50
0.75
1.00%
Fed funds futures: ― Jun-22 ― Sep-22 ― Des-22 ― Des-23
Fed diprediksi menaikkan FFR tiga kali hingga akhir 2023
Selisih suku bunga riil dukung stabilitas Rupiah
Exhibit 13
23 Sumber : Bloomberg, BCA Economist
2.9
6.4
8.4
-30
-20
-10
0
10
20
30
40
-4
-2
0
2
4
6
8
10
Jan
-11
Jul-
11
Jan
-12
Jul-
12
Jan
-13
Jul-
13
Jan
-14
Jul-
14
Jan
-15
Jul-
15
Jan
-16
Jul-
16
Jan
-17
Jul-
17
Jan
-18
Jul-
18
Jan
-19
Jul-
19
Jan
-20
Jul-
20
Jan
-21
Jul-
21
% % YoY
― Kurs IDR/USD (kanan)
Selisih suku bunga riil, ID vs. US: ― Overnight ― 10Y
Beban utang AS saat ini mirip pasca-PD II
Exhibit 14
24
98.3
8.8
-20
0
20
40
60
80
100
120
-20
0
20
40
60
80
100
120
192
1
192
5
192
9
1933
1937
194
1
194
5
194
9
1953
1957
196
1
196
5
196
9
1973
1977
198
1
198
5
198
9
199
3
199
7
200
1
200
5
200
9
2013
2017
2021
% thd PDB % YoY
― Utang federal AS* ― Pertumbuhan utang (kanan)
Sumber : US Congressional Budget Office, St. Louis Fed, BCA Economist
AS kembali ke rezim financial repression?
Exhibit 15
25 Sumber : Bloomberg, BCA Economist
0.04
-5.25
5.3
-20
-15
-10
-5
0
5
10
15
20
1934
1937
194
1
194
5
194
9
1953
1957
196
0
196
4
196
8
1972
1976
198
0
198
3
198
7
199
1
199
5
199
9
200
3
200
6
2010
2014
2018
%
― US Treasury Bill 3Mo ― Inflasi AS Suku bunga riil AS 3Mo
DISCLAIMER This report is for information only, and is not intended as an offer or solicitation with respect to the purchase or sale of a security. We
deem that the information contained in this report has been taken from sources which we deem reliable. However, we do not
guarantee their accuracy, and any such information may be incomplete or condensed. None of PT. Bank Central Asia Tbk, and/or its affiliated companies and/or their respective employees and/or agents makes any representation or warranty (express or implied) or
accepts any responsibility or liability as to, or in relation to, the accuracy or completeness of the information and opinions contained in
this report or as to any information contained in this report or any other such information or opinions remaining unchanged after the
issue thereof. The Company, or any of its related companies or any individuals connected with the group accepts no liability for any
direct, special, indirect, consequential, incidental damages or any other loss or damages of any kind arising from any use of the
information herein (including any error, omission or misstatement herein, negligent or otherwise) or further communication thereof, even
if the Company or any other person has been advised of the possibility thereof. Opinion expressed is the analysts’ current personal
views as of the date appearing on this material only, and subject to change without notice. It is intended for the use by recipient only
and may not be reproduced or copied/photocopied or duplicated or made available in any form, by any means, or redist ted to others without written permission of PT Bank Central Asia Tbk.
All opinions and estimates included in this report are based on certain assumptions. Actual results may differ materially. In considering
any investments you should make your own independent assessment and seek your own professional financial and legal advice. For
further information please contact: (62-21) 2358 8000, Ext: 20364 or fax to: (62-21) 2358 8343 or email: ahmad_rizki@bca.co.id
PT Bank Central Asia Tbk Economic, Banking & Industry Research Team
David E.Sumual
Chief Economist
david_sumual@bca.co.id
+6221 2358 8000 Ext:1051352
Agus Salim Hardjodinoto
Industry Analyst
agus_lim@bca.co.id
+6221 2358 8000 Ext: 1005314
Barra Kukuh Mamia
Economist / Analyst
barra_mamia@bca.co.id
+6221 2358 8000 Ext: 1053819
Victor George Petrus Matindas
Industry Analyst
victor_matindas@bca.co.id
+6221 2358 8000 Ext: 1058408
Gabriella Yolivia
Economist / Analyst
gabriella_yolivia@bca.co.id
+6221 2358 8000 Ext: 1063933
Derrick Gozal
Economist / Analyst
derrick_gozal@bca.co.id
+6221 2358 8000 Ext: 1066122
Livia Angelica Thamsir
Economist / Analyst
Livia_thamsir@bca.co.id
+6221 2358 8000 Ext: 1069933
Ahmad Aprilian Rizki
Research Assistant
ahmad_rizki@bca.co.id
+6221 2358 8000 Ext: 20378
Arief Darmawan
Research Assistant
arief_darmawan@bca.co.id
+6221 2358 8000 Ext: 20364