Post on 16-Oct-2021
i
SARI PUSTAKA
Fraktur Suprakondiler Humerus Pada Anak-Anak
Oleh:
dr. I Gusti Kadek Satrio Adiwardhana
Pembimbing :
Prof.Dr.dr. I Ketut Siki Kawiyana SpB.SpOT(K)
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU BEDAH
BAGIAN/SMFILMU BEDAH FK UNUD/RSUP SANGLAH
DENPASAR
2015
ii
LEMBAR PENGESAHAN
Sari Pustaka ini telah disetujui
pada ..................................................
Pembimbing
Prof.Dr.dr. I Ketut Siki Kawiyana SpB.SpOT(K)
NIP : 19480909 197903 1 002
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Bedah
FK Unud/RSUP Sanglah
Dr.I Ketut Wiargitha Sp.B(K)Trauma
NIP: 19600621 198710 1 001
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena rahmat-Nya, penulis dapat
menyelesaikan sari pustaka sebagai salah satu tugas dalam Program Pendidikan Dokter
Spesialis Bedah FK Unud/RSUP Sanglah Denpasar. Sari Pustaka ini mengambil judul
tentang Fraktur Suprakondiler Humerus Pada Anak-Anak
Adapun tujuan penulisan sari pustaka ini adalah untuk memperdalam wawasan
tentang fraktur suprakondiler humerus pada anak-anak serta melatih kemampuan membuat
tulisan ilmiah dan prasyarat dalam mengikuti pendidikan bedah dasar di Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana – Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar
Penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. DR.Dr. Sri Maliawan, SpBS., sebagai Kepala Bagian Ilmu Bedah FK
Unud/RSUP Sanglah yang telah memberikan izin demi terlaksananya Sari Pustaka
ini.
2. Dr. I.B Darma Putra SpB.(K)BD., sebagai Kepala SMF Ilmu Bedah FK Unud/RSUP
Sanglah yang telah menyediakan fasilitas ilmiah di SMF Bedah.
3. Dr. I Ketut Wiargitha, SpB.,sebagai Ketua Program StudiIlmu Bedah FK Unud/RSUP
Sanglah yang telah memberikan motivasinya.
4. Prof.Dr.dr. I Ketut Siki Kawiyana, SpB.SpOT(K)., sebagai pembimbing yang telah
memberikan saran dan masukan terbaiknya.
Penulis menyadari masih ada kekurangan dalam Sari Pustaka ini karena itu dengan
segala kerendahan hati penulis menerima saran dan kritik dari siapapun demi perbaikan.
Denpasar, September 2015
Penulis
3
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan ……………………………………………………………………..
Kata Pengantar …………………………………………………………………………. ii
Daftar Isi ………………………………………………………………………………… iii
Daftar Gambar........................................................................................................................... v
BAB I : PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang ……………………………………………………………… 1
1.2.Tujuan ………………………………………………………………………. 2
1.3.Manfaat …………………………………………………………………….. 2
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Definisi ……………………………………………………………………... 3
2.2.Epidemiologi ………………………………………………………………... 3
2.3.Anatomi ....................................................……………………….………......... 3
2.4.Mekanisme Cidera……………………………………………………….... 6
2.5.Klasifikasi.........…………………………………………………………….. 7
2.5.1 Tipe I.......................................................................................................... 7
2.5.2 Tipe II......................................................................................................... 8
2.5.3 Tipe III........................................................................................................ 8
2.5.4 Tipe IV....................................................................................................... 8
2.6.Evaluasi Klinis.................................................................................................... 9
2.7.Pemeriksaan Radiologi....................................................................................... 10
2.8.Penatalaksanaan................................................................................................. 13
2.8.1 Manajemen awal....................................................................................... 13
2.8.2 Penanganan dengan traksi........................................................................ 14
2.8.3 Reduksi tertutup dan fiksasi pinning....................................................... 14
2.8.4 Reduksi terbuka.......................................................................................... 16
2.8.5 Penanganan berdasarkan tipe fraktur.................................................... 18
2.8.5.1 Fraktur tipe I.................................................................................. 18
2.8.5.2 Fraktur tipe II................................................................................. 18
2.8.5.3 Fraktur tipe III............................................................................. 20
2.8.5.4 Fraktur tipe IV.............................................................................. 21
4
2.9.Komplikasi........................................................................................................... 22
2.9.1 Cidera Saraf................................................................................................ 22
2.9.2 Cidera Pembuluh Darah........................................................................... 23
2.9.3 Deformitas................................................................................................... 24
2.9.4 Kekakuan dan Myositis Ossificans........................................................ 26
2.9.5 Sindrom Kompartemen............................................................................. 26
2.9.6 Infeksi Pin Track......................................................................................... 27
BAB III : PENUTUP.............................................................................................................. 28
3.1.Kesimpulan........................................................................................................... 28
Daftar Pustaka......................................................................................................................... 29
5
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 2.1Gambaran Anterior Dan Posterior Dari Tulang Humerus Distal............. 2
2. Gambar 2.2 Aliran darah intraoseus bagian dorsal dari tulang humerus distal kiri... 2
3. Gambar 2.3 Hubungan Struktur Anatomis Pada Ekstrimitas Atas.............................. 3
4. Gambar 2.4 Tampak Posterior Fokus Pada Humerus Terhadap Sendi Siku.............. 4
5. Gambar 2.5 Baumann’s Angle............................................................................................. 9
6. Gambar 2.6 Humeral Ulnar Angle dan Metaphyseal Diaphyseal Angle..................... 10
7. Gambar 2.7 Teardrop, Sudut diafisis condylar, Garis anterior humeral,
Garis coronoid................................................................................................ 11
8. Gambar 2.8 Fat Pad Sign.................................................................................................... 11
9. Gambar 2.9 Langkah-Langkah Reduksi Tertutup......................................................... 14
10. Gambar 2.10 Posisi Pronasi Pasien Saat Dilakukan Pinning Perkutan............................. 15
6
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Tatalaksana fraktur humerus distal masih menjadi tantangan hingga saat ini terutama dalam
kelompok umur tertentu. Beberapa variabel yang penting sebagai penentu keberhasilan
penatalaksanaan fraktur humerus distal meliputi artikulasi yang baik, fiksasi tulang yang
kokoh, penyembuhan tulang, gerakan fungsional yang normal, dan menghindari terjadinya
komplikasi. Pengertian yang baik sangat diperlukan, mengenai anatomi, morfologi fraktur,
pendekatan operatif, hingga implan yang akan digunakan, sebagai dasar untuk mengobati
fraktur jenis ini sehingga akurasi penatalaksanaan menjadi lebih baik.
Fraktur suprakondiler humerus terjadi di siku, di bagian distal humerus, tepat diatas
dari epikondilus humerus. Fraktur ini paling sering terjadi pada anak-anak, terutama pada
kelompok umur 5-7 tahun. Prevalensi sekitar 55% - 75% dari semua fraktur siku pada anak-
anak. Fraktur lebih sering terjadi pada tangan kiri atau tangan yang non dominan. Beberapa
penelitian terakhir menunjukkan bahwa angka insiden kejadian fraktur suprakondiler humerus
adalah sama antara pria dan wanita. Terdapat 2 macam berdasarkan mekanisme cidera, yakni
fraktur jenis ekstensi dan fleksi, dimana fraktur jenis ekstensi lebih sering terjadi (98%).
Penatalaksanaan fraktur suprakondiler humerus pada anak-anak telah menjadi subjek
diskusi dan penelitian selama bertahun-tahun. Dahulu, fraktur ini dikaitkan dengan
komplikasi yang berujung pada hasil yang kurang maksimal baik dari segi kosmetik maupun
fungsional. Namun, berkat teknik operasi dan perkembangan teknologi yang semakin modern,
komplikasi ini dapat menurun.
Penatalaksanaan fraktur suprakondiler humerus fraktur pada anak-anak secara umum
dapat dibagi menjadi 2, non operatif dan operatif. Penanganan non operatif pada anak-anak
7
merupakan pilihan yang utama, karena masih memiliki periosteum yang lebih aktif dan
kemampuan remodeling yang baik. Beberapa jenis deformitas yang terjadi pada anak-anak
juga masih memungkinkan untuk terjadinya koreksi yang spontan, seperti yang disebutkan
oleh Blount’s Law. Namun, tidak semua fraktur pada anak dapat ditangani secara non
operatif. Beberapa penelitian telah menunjukan bahwa fraktur suprakondiler humerus pada
anak-anak memiliki hasil yang lebih baik bila ditangani secara operatif.
1.2 Tujuan
1. Menjelaskan tentang definisi, epidemiologi, dan klasifikasi fraktur suprakondiler
humerus pada anak-anak.
2. Menjelaskan tentang prinsip penanganan fraktur suprakondiler humerus pada anak-
anak
3. Menjelaskan tentang komplikasi fraktur suprakondiler humerus pada anak-anak
1.3 Manfaat
1. Untuk akademisi: meningkatkan pengetahuan tentang fraktur suprakondiler humerus
pada anak-anak dan sebagai acuan kepustakaan ilmiah.
2. Untuk praktisi:meningkatkan pengetahuan tentang fraktur suprakondiler humerus pada
anak dan ketrampilan penanganannya.
8
BAB II
FRAKTUR SUPRAKONDILER HUMERUS PADA ANAK-ANAK
2.1 DEFINISI
Fraktur Suprakondiler Humerus adalah fraktur yang terjadi di siku, di bagian distal humerus,
tepat diatas dari epikondilus humerus. Fraktur ini dihubungkan dengan terjadinya beberapa
komplikasi yaitu Volksmann iskemia, malunion, atau gangguan neurovaskuler. 1
2.2 EPIDEMIOLOGI
Fraktur suprakondiler humerus adalah fraktur yang sering ditemukan pada siku, sekitar 55% -
75% dari semua fraktur siku. Fraktur suprakondiler humerus lebih sering ditemukan pada
anak-anak dibandingkan dewasa. Tingkat rata-rata pertahun penderita fraktur suprakondiler
humerus pada anak-anak diperkirakan 177,3 / 100.000. Rentang usia puncak terjadinya
fraktur suprakondiler humerus yaitu diantara usia 5– 8 tahun, dengan perbandingan pria dan
wanita adalah 3 : 2, yang mana paling sering ditemukan pada siku kiri atau sisi yang tidak
dominan.2,3
2.3 ANATOMI
Humerus distal tampak seperti segitiga apabila dilihat dari sisi anterior atau posterior (gambar
2.1) Diafisis humerus terbagi menjadi dua yakni medial dan lateral. Troklea terbungkus oleh
tulang rawan artikuler di bagian anterior, posterior, dan inferior yang kemudian membentuk
lengkungan kira-kira sebesar 2700.4
9
Gambar 2.1 A dan B. Gambaran Anterior Dan Posterior Dari Tulang Humerus Distal
Gambar 2.2 A dan B. Aliran darah intraoseus bagian dorsal dari tulang humerus distal kiri.
10
Bagian posterior kolum lateralis dari humerus distal dilindungi oleh origo distal dari
medial head otot Triceps dan bagian distal oleh origo Anconeus. Brachioradialis dan
Ekstensor Carpi Radialis Longus berasal dari ridgesuprakondiler lateral.Common Extensor
mass terdiri dari Extensor Carpi Radialis Brevis, Extensor Digitorum Communis, dan
Extensor Carpi Ulnaris, dan bagian cephal otot anconeus yang berasal dari lateral epikondilus
lateralis, posterior terhadap lateral kolateral ligamen kompleks.4
Pendekatan posterior paling banyak dilakukan dalam pembedahan distal humerus,
karena aman untuk saraf radialis dan ulnaris (Gambar 2.3). Pada bagian lateral dari tulang
humerus, saraf radialis bercabang menjadi tiga, yaitu medial head triceps,lower lateral
brachial cutaneous nerve, dansambungan saraf radialis di lengan bawah (posterior
interosseous nervedansuperficial cutaneous nerve). Setelah bercabang,posterior interosseous
nerve menembus septum intermuskularis lateralis (Gambar 2.4)4
Gambar 2.3 Hubungan Struktur Anatomis Pada Ekstrimitas Atas
11
Gambar 2.4 Tampak Posterior Fokus Pada Humerus Terhadap Sendi Siku
Pada tingkat perlekatan distal daripada korakobrachialis terhadap humerus, saraf ulnaris
berjalan dari kompartemen anterior menuju kompartemen posterior dari lengan atas dengan
menembus septa intermuskularis medial. Saraf berjalan sepanjang batas anteromedial dari
medial head of triceps sepanjang septa intermuskular medialis
2.4 MEKANISME CIDERA
Kemampuan hiperekstensi sendi siku umum terjadi pada masa kanak-kanak, hal ini
dikarenakan kelemahan ligamen yang bersifat fisiologis. Kemudian, kolum bagian medial dan
lateral dari humerus distal dihubungkan oleh segmen tipis dari tulang antara olecranon pada
bagian posterior dan coronoid pada fosa anterior, yang menyebabkan tingginya resiko
terjadinya fraktur pada daerah tersebut.5
12
Fraktur suprakondiler humerus sering terjadi akibat hiperekstensi siku (95%). Jatuh
dalam keadaan tangan terentang membentuk hiperekstensi dari siku, dengan olecranon
bertindak sebagai fulcrum pada fossa.5Bagian anterior dari kapsul secara simultan
memberikan gaya regang pada humerus bagian distal terhadap insersinya. Tekanan ekstensi
yang kontinyu akan mengakibatkan segmen posterior humerus terdesak ke distal dan
terpluntir ke anterior, yang dapat mengakibatkan kerusakan segmen anterior neurovaskular.
Mekanisme ini mengakibatkan kerusakan periosteum anterior, namun periosteum bagian
posterior tetap intak. Arah pergeseran pada suatu bidang koronal mengindikasikan risiko
terhadap struktur jaringan otot halus. Jika patahan mengarah ke sisi medial, saraf radialis akan
berisiko sedangkan jika mengarah ke sisi lateral, akan menjepit arteri brachialis dan saraf
medianus.6
Tipe yang jarang terjadi (5%) yakni fraktur suprakondiler tipe fleksi, Yang
diakibatkan jatuh dengan posisi siku fleksi. Patahan jenis ini, sangat menantang untuk
direduksi mengingat resiko kerusakan saraf ulnaris. 5
2.5 KLASIFIKASI
Klasifikasi yang dipakai adalah klasifikasi Gartland. Terdiri atas:
2.5.1 Tipe I
Gartland tipe I dari merupakan fraktur suprakondiler yang tidak bergeser atau minimal
displaced (<2 mm) dan disertai dengan garis anterior humeral yang utuh dengan atau tanpa
adanya bukti cedera pada tulang. Posterior fat pad sign merupakan satu-satunya bukti adanya
fraktur. Fraktur tipe ini sangat stabil karena periosteum sirkumferensial masih utuh.
13
2.5.2 Tipe II
Gartland tipe II merupakan fraktur suprakondiler disertai pergeseran (> 2 mm), dan korteks
bagian posterior kemungkinan masih utuh dan berfungsi sebagai engsel. Pada gambaran foto
rontgen elbow true lateral, garis anterior humeral tidak melewati 1/3 tengah dari capitelum.
Secara umum, tidak tampak deformitas rotasional pada posisi foto rontgen AP karena
posterior hinge masih utuh.
2.5.3 Tipe III
Gartland tipe III merupakan fraktur suprakondiler, dengan tanpa adanya kontak pada korteks
yang cukup. Biasanya disertai dengan ekstensi pada bidangsagital dan rotasi pada frontal
dan/atau bidangtransversal. Periosteum mengalami robekan yang luas, sering disertai dengan
kerusakan pada jaringan lunak dan neurovaskular. Keterlibatan dari kolum medialis
menyebabkan malrotasi menjadi lebih signifikan pada bidang frontal dan diklasifikasikan
sebagai tipe III. Adanya deformitas rotasional yang tampak pada gambaran foto rontgen posisi
AP digolongkan pula sebagai fraktur tipe III
Modifikasi Klasifikasi Gartland yang dibuat oleh Wilkin, pada fraktur suprakondiler
humerus merupakan jenis klasifikasi yang paling diterima dan paling banyak digunakan.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Barton dkk, Nilai Kappa terhadap variabilitas
intraobserver dan interobserver dari klasifikasi ini merupakan yang tertinggi dibanding
klasifikasi yang digunakan sebelumnya11,13
. Adapun tambahannya, yakni:
2.5.4 Tipe IV
Gartland tipe IV ditandai dengan adanya instabilitas multidireksional. Hal ini disebabkan
terjadinya inkompetensi sirkumferensial dari periosteal hinge dan terjadinya instabilitas pada
fleksi dan ekstensi. Instabilitas multidireksional ini ditentukan pada saat pasien dalam kondisi
teranestesi saat dilakukan operasi. Instabilitas ini dapat disebabkan oleh cedera yang terjadi,
14
atau bisa juga disebabkan secara iatrogenik, yaitu pada saat kita mencoba melakukan
reduksi.12
2.6 EVALUASI KLINIS
Penderita anak-anak yang datang dengan fraktur suprakondiler mengeluh nyeri di sekitar bahu
setelah jatuh. Keluhan lainnya adalah bengkak di daerah bahu atau gerakan aktif bahu yang
terbatas atau deformitas yang mungkin nampak.2,9
Ekstrimitas yang cidera harus diperiksa meliputi pemeriksaan pembengkakan jaringan
lunak, laserasi, abrasi ataupun kerutan pada kulit, dan penilaian ada atau tidaknya patah pada
ekstrimitas tersebut. Kerutan pada kulit disebabkan karena fragmen proximal daripada fraktur
menusuk otot brachialis dan menyebabkan tertariknya dermis bagian dalam. Hal ini
menandakan terjadinya kerusakan jaringan lunak. Adanya perdarahan pada luka di daerah
terjadinya fraktur, merupakan salah satu indikasi terjadinya suatu fraktur terbuka.14,15
Penting untuk menilai fungsi neurovaskuler setelah dilakukan inspeksi.Analisis terkini
dari sejumlah penelitian menunjukkan bahwa cidera saraf terjadi sebanyak 11,3% pada pasien
dengan fraktur suprakondiler. Pemeriksaan motorik dan sensorik seharusnya dilakukan pada
kasus ini. Pemeriksaan motorik meliputi jari-jari, pergelangan tangan, dan ekstensi ibu jari
(saraf radialis), fleksi index distal interphalangeal dan fleksi thumb interphalangeal (AIN),
thenar strength (medianus), interossei (saraf ulnaris). Pemeriksaan sensorik meliputi area
sensorik saraf radialis (dorsal first web space), saraf medianus (palmar finger index), saraf
ulnaris (palmar little finger). Apabila diketahui lebih awal, maka defisit neurologi tersebut
bersifat sementara dan akan membaik dalam 6-12 minggu.
Penilaian status vaskuler juga merupakan hal yang penting. Indikator klinis adanya
perfusi yang cukup di distal meliputi pengisian kapiler yang normal, suhu, dan warna kulit
(pink). Status vaskular dapat dikategorikan menjadi 3 kategori: kategori I mengindikasikan
15
bahwa tangan mengalami perfusi yang baik, dan a. radialis teraba, kategori II
mengindikasikan bahwa tangan memiliki perfusi yang baik, namun a.radialis tidak teraba, dan
kategori III menunjukan bahwa tangan mengalami perfusi yang sangat buruk dan tidak
terabanya a. radialis.Prevalensi terjadinya vascular compromise pada fraktur suprakondiler
humerus yang mengalami pergeseran disebutkan mencapai 20 % dari studi yang dilakukan
oleh Pirone dkk, 12 % pada studi yang dilakukan oleh Shaw dkk, dan 19 % pada studi yang
dilakukan oleh Campbell dkk.
Selesai pemeriksaan, siku yang cidera sebaiknya distabilisasi menggunakan backslab
denga posisi fleksi 20-300 untuk mencegah pergeseranfraktur, mengurangi rasa nyeri, dan
mencapai kualitas radiologi yang baik. Ekstrimitas diposisikan dengan posisi yang nyaman.
2.7 PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Pemeriksaan radiologi pada siku harus meliputi proyeksi anteroposterior (AP) dan Lateral.
Pada proyeksi true AP, sebaiknya diambil humerus distal daripada siku, karena lebih akurat
dalam mengevaluasi humerus distal dan meminimalisir kesalahan dalam menentukan angulasi
malalignmentpada humerus distal. Pada proyeksi AP, Sudut Baumann atau disebut juga
humeral capitellar angle adalah penanda penting dalam menilai fraktur suprakondiler
(gambar 2.5). Sudut ini dibentuk oleh perpotongan antara garis pada sumbu humerus dengan
garis yang digambarkan sepanjang lempeng pertumbuhan kondilus lateral dari siku.
Sebaiknya, sudut Baumann pada siku kontralateral juga diambil sebagai perbandingan.
Fragmen distal biasanya berotasi medial atau internal dan deviasi varus. Kisaran normal sudut
ini antara 9-26o. Penurunan sudut Baumann adalah penanda jika fraktur dalam keadaan varus.
Beberapa penulis tidak mengadvokasi penggunaan sudut Bauman karena kesulitan dalam
mengidentifikasi lempeng pertumbuhan capitellum. Sudut Baumann merupakan salah satu
indikator keberhasilan reduksi yang telah dikerjakan dan berhubungan dengan carrying
16
angleyang mungkin terjadi. tidak mengalami perubahan yang signifikan sejak saat awal
dilakukan reduksi sampai hasil akhir, dan tidak dipengaruhi oleh pronasi maupun fleksi dari
siku. Formula yang umum digunakan adalah perubahan 5 derajat dari sudut Baumann
berhubungan dengan perubahan carrying angle sebanyak 2 derajat2,3,5
Gambar 2.5Baumann’s Angle
Sudut humeral ulnar adalah sudut yang dibentuk oleh perpotongan diafisis humerus
dan ulna. Sudut ini berguna untuk menentukan carrying angle
Medial epicondylar epiphyseal angle, adalah alternatif dalam pemeriksaan AP selain
sudut Baumann. Sudut ini dibentuk oleh perpotongan sumbu humerus dengan garis sepanjang
medial epicondylar epiphyseal plate. Baik sudut Baumann dan medial epicondylar epiphyseal
angleberguna untuk menentukan kecukupan reduksi fraktur suprakondiler.
Web & Shermann menyatakan bahwa tingkat akurasi sudut Baumann dalam
hubungannya dengan carrying angle akan menurun pada anak yang lebih muda dan pada
remaja, sehingga sudut dari Baumann hanya digunakan jika dibandingkan dengan siku yang
normal saja. Oppenheim berpendapat bahwa humeral – ulnar – wrist angle lebih konsisten dan
akurat dalam menentukan carrying angle. Sedangkan O’brien berpendapat bahwa
metaphyseal – diaphyseal angle lebih akurat jika dibandingkan dengan sudut dari Baumann.
17
Gambar 2.6 (kiri) Humeral Ulnar Angle; (kanan) Metaphyseal Diaphyseal Angle
Pada proyeksi lateral, sebaiknya humerus diambil sesuai posisi anatomis dan tidak
eksternal rotasi. Pada proyeksi ini, dapat dilihat anterior humeral lineyaitugaris yang
memotong pusat osifikasi capitellum dengan bagian anterior humerus. Pada fraktur
suprakondiler tipe ekstensi, capitellum terletak posterior dari garis ini. Fat-pad sign, sebagai
suatu tanda adanya efusi intraartikuler dapat juga terlihat dalam proyeksi lateral (gambar
2.8)2,3,5
Pada proyeksi lateral juga ditemukan teardrop atau bayangan radiografis yang
dibentuk oleh batas posterior fossa coronoid pada bagian depan, batas anterior fossa olecranon
pada bagian belakang, dan batas superior pusat osifikasi capitellar pada bagian bawah. Selain
itu ditemukan pula garis coronoid dan sudut diafisis-condylar. Garis coronoid adalah garis
yang bersinggungan antara anterior prosesus coronoid dengan anterior kondilus lateralis.
Sedangkan nilai normal sudut diafisis condylar adalah 30-45o(gambar 2.7)
18
Gambar 2.7 (kiri-kanan): Teardrop, Sudut diafisis condylar, Garis anterior humeral, Garis
coronoid
Gambar 2.8Fat Pad Sign
Hasil proyeksi oblique mungkin berguna untuk melihat pergeseran fraktur yang
minimalis. Dapat pula membantu membedakan fraktur suprakondiler dengan kondilus yang
tersembunyi, yang tidak dapat terlihat pada proyeksi AP dan lateral. Proyeksi oblique tidak
rutin dilakukan dalam pemeriksaan cidera siku.
2.8 PENATALAKSANAAN
2.8.1 Manajemen awal
Fraktur suprakondiler yang mengalami pergeseran memerlukan penanganan awal berupa
pemasangan splint, dengan siku berada dalam posisi yang nyaman, yaitu 20° sampai 40°
dalam posisi fleksi dan hindaripemasangan splint yang terlalu ketat.2,5
Fleksi dan ekstensi
yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya gangguan pada aliran vaskular dan
19
menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan kompartemen. Namun, perlu dievaluasi lebih
lanjut oleh karena sering terjadi kekakuan sendi bahu dan kerusakan physis. Adapun
pertimbangan penatalaksaan fraktur suprakondiler adalah bagaimana mencegah kerusakan
seperti sindrom kompartemen dan mengurangi komplikasi seperti cubitus varus dan
kekakuan.10
Dameron mencatat, berdasarkan jenis fraktur, terdapat 4 macam penanganan yakni:
(1) side-arm skin traction, (2) overhead skeletal traction, (3) closed reduction and casting
with or without percutaneous pinning, dan (4) open reduction and internal fixation.5
2.8.2 Penanganan dengan Traksi
Traksi sebagaiterapi definitif bagi fraktur suprakondiler merupakan salah satu pilihan terapi
yang sudah lama digunakan. Kelebihan traksi, baik skin maupun skeletal traksi diantaranya
aman karena jarang terjadi iskemik Volkmann, hasil yang baik karena jarang terjadi
deformitas varus dan valgus, dapat diaplikasikan untuk fraktur yang baru terjadi maupun yang
sudah beberapa hari, baik stabil maupun tidak stabil.10
Namun, kelemahan penanganan ini
adalah lamanya masa perawatan di rumah sakit yang berkisar antar 14 sampai 20 hari.
Pada penelitian uji klinis acak yang dilakukan oleh Kuzma, yang membandingkan
antara skin traction dengan skeletal traction dalam menangani fraktur supracondylar humerus,
bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan dalam hal gambaran klinis, mobilitas bahu, dan
prevalensi terjadinya deformitas cubitus varus. Namun, skin traction memiliki kelebihan
yakni mudah dan tidak mempersiapkan peralatan seperti ruang operasi ataupun bius.19
Penelitian yang dilakukan oleh Gadgil dkk, bahwa skin traction efektif dan aman untuk
dilakukan pada anak dengan umur kurang dari 10 tahun.20
20
2.8.3Reduksi Tertutup Dengan Penggunaan Casting Dengan atau Tanpa Fiksasi Pinning
Perkutan
Penggunaan casting digunakan untuk patah tulang dengan pergeseran minimal. Awalnya,
reduksi tertutup dan penggunaan casting merupakan pilihan untuk fraktur yang mengalami
pergeseran, karena didapatkan hasil yang baik pada 90% pasien dan tidak ditemukan masalah
vaskularisasi atau malunion. 10
Apabila ditemukan pergeseran fraktur yang sedang disertai
adanya hematom yang terfixir dengan fascia antecubital yang intak, fleksi siku cenderung
akan mengakibatkan iskemik Volkmann. Menurut Rang, fiksasi casting adalah metode
lampau merujuk pada dua kasus kontraktur Volkmann komplit tipe lambat.10
Reduksi tertutup dan fiksasi pinning merupakan pilihan terapi fraktur suprakondiler
yang paling banyak digunakan. AAOS menyarankan reduksi tertutup dan fiksasi pinning pada
pasien dengan fraktur suprakondiler humerus tertutup yang mengalami pergeseran (Gartland
tipe II dan III, dan fleksi displaced) dengan kekuatan rekomendasi sedang. Beberapa
penelitian yang menyokong rekomendasi tersebutmenyebutkan bahwa secara
statistik,penanganan dengan fiksasi pinning lebih baik dibanding penanganan non operatif
dalam hal mencegah cubitus varus dan kehilangan gerakan, namun lebih berisiko
menimbulkan infeksi. Penelitian yang dilakukan oleh Kumar, bahwa kriteria Flynn (kriteria
yang dipakai untuk menilai hasil post reduksi pada fraktur suprakondiler humerus, yakni
kosmetik dan fungsional pada penggunaan reduksi tertutupdan pinning perkutan pada fraktur
suprakondiler humerus yang mengalami pergeseran adalah sangat baik sebanyak 202 kasus,
baik 68 kasus, cukup 5 kasus dan kurang sejumlah 2 kasus. Kesimpulannya, teknik closed
reduction and percutaneous pinningefektif untuk menangani fraktur suprakondiler humerus
yang mengalami pergeseran. 21
Pasien dalam pengaruh anestesi umum, dengan posisi supinasi, palpasi batas,
kemudian cek arah pergeseran tulang. Lakukan traksi dengan fleksi lengan atas sebesar 100
21
koreksi pergeseran lateral. Dorong olecranon ke arah anterior untuk mengoreksi pergeseran
posterior, kemudian fleksi siku sebesar 400 hingga olecranon berada anterior terhadap
epikondilus. Rotasi eksternal pada kedua lengan atas untuk mengoreksi deformitas rotasi
internal. Kedua lengan atas semestinya rotasi dalam besaran yang sama. Apabila pergeseran
ke arah medial, pronasi lengan bawah untuk mengunci patahan, begitu pula sebaliknya. Tahan
posisi patahan yang telah tereduksi atau cek dengan menggunakan C-Arm (Gambar 2.8).
Masukkan 2 buah K-Wire 1,4mm menggunakan teknik Judet, dimana satu pin dimasukkan
menuju kondilus lateralis sedangkan pin kedua menuju korteks medialis.10
Selain dalam posisi
supinasi, reduksi tertutup dapat dilakukan dalam posisi pronasi (gambar 2.9). Gaya gravitasi
cenderung mempertahankan posisi pada saat pin dimasukkan. Kriteria reduksi yang dapat
diterima adalah restorasi dari sudut Baumann (> 10°) pada foto rontgen posisi AP, gambaran
kolummedial dan lateral yang utuh pada foto rontgen posisi oblique, dan garis anterior
humeral melewati 1/3 tengah dari capitelum pada foto rontgen posisi lateral. Malalignment
rotasional dapat mengganggu stabilitas fraktur, jadi bila terdapat malrotasi, harus dilakukan
pemeriksaan stabilitas reduksi dan kemungkinan penggunaan fiksasi ketiga dengan pinning.
Reduksi dari fraktur diperoleh dengan penggunaan dua atau tiga Kirschner wire. Dilakukan
imobilisasi dengan posisi fleksi 40° sampai 60°, tergantung dari besarnya pembengkakan dan
status vaskular. Jika terdapat celah pada lokasi fraktur atau bila fraktur tidak bisa direduksi,
dan terasa seperti karet saat melakukan reduksi, kemungkinan terjadi penjepitan pada nervus
medianus dan atau arteri brachialis pada lokasi fraktur dan harus dilakukan reduksi terbuka.
Gambar 2.9 Langkah-Langkah Reduksi Tertutup
22
Gambar 2.10. Posisi Pronasi Pasien Saat Dilakukan Pinning Perkutan
Penelitian yang dilakukan oleh Swenson, Casiano, dan Flynndengan menggunakan dua pin
menyilang. Penelitian Arino dkk merekomendasikan penggunaan duapin lateral. Penelitian
Foster dan Paterson menggunakan dua pin lateral divergen. Sementara itu, penelitian yang
dilakukan oleh Skaggs dkk,menggunakan tigapin lateraljika frakturmasih tidak stabil dengan
dua lateral pin. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Haddad dkk dan Shim dkk,
menggunakan dua pin lateraldan satu pin medial. Hal ini juga diperkuat oleh penelitian hewan
yang dilakukan oleh Herzenberg dkk, yang menemukan bahwa fiksasi pin medial dan lateral
lebih stabil dibanding dengan hanya fiksasi lateral saja, namun tidak direkomendasikan jika
terdapat edema atau cidera pada saraf ulnaris. Hal ini ditunjukkan oleh penelitian yang
dilakukan oleh Skaggs dkk, yang menemukan bahwa terdapat 4% ulnar nerve palsydengan
penggunaan pin medial. Untuk mencegah komplikasi tersebut, penelitian yang dilakukan oleh
Royce dkk, merekomendasikan fiksasi menggunakan dua lateral pin jika fraktur stabil setelah
dilakukan reduksi tertutup. Untuk jenis kominutif atau fraktur yang tidak stabil, bisa
digunakan pin medial dan lateral. Untuk mencegah komplikasi cidera saraf pada saat
menggunakan pin medial, dilakukan insisi kecil pada epikondilus medial, pin di angulasikan
kira-kira 400kearah superiordan 10
0kearah posterior. Pin harus diteruskan hingga mencapai
korteks agar fiksasinya solid.
23
Penelitian pada fraktur suprakondiler humerus tertutup tipe fleksi yang bergeser, yang
dilakukan oleh Fowles dan Kassab, mencatat bahwa umum jika terdapat lesi saraf ulnaris.
Sulit pula untuk dilakukan reduksi dan hasilnya lebih buruk dibanding tipe ekstensi.5
2.8.4 Reduksi Terbuka
Indikasi dilakukannya tatalaksana reduksi terbuka adalah pada fraktur terbuka, gagal setelah
reduksi tertutup, dan fraktur yang berhubungan dengan gangguan vaskularisasi. Pada masa
lalu, reduksi terbuka dikhawatirkan menyebabkan terjadinya kekakuan sendi, myositis
osifikan, jaringan parut yang mengganggu kosmetik dan cedera neurovaskular iatrogenik.
Tetapi, beberapa penelitian menunjukkan rendahnya komplikasi yang disebabkan oleh reduksi
terbuka. Penelitian yang dilakukan oleh Weiland dkk, melaporkan bahwa 52 fraktur yang
mengalami pergeseran, yang telah direduksi terbuka melalui pendekatan lateral, 10%
mengalami gangguan pergerakan sendi tingkat sedang, namun tidak ada infeksi, nonunion,
atau myositis osifikan. 2,5
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Fleuriau-Chateau dkk. melaporkan, 34
kasus fraktur yang ditangani dengan reduksi terbuka melalui pendekatan anterior, 6% (2)
mengalami gangguan pergerakan sendi yang signifikan, namun tidak ada yang mengalami
infeksi, myositis osifikan, malunion atau Volkmann kontraktur.22
Penelitian yang dilakukan
oleh Reitman dkk. melaporkan 78% (51) dari 65 kasus yang dilakukan reduksi terbuka (baik
melalui lateral atau medial) mengalami hasil yang memuaskan berdasarkan kriteria yang
dibuat oleh Flynn. Gangguan pergerakan sendi dilaporkan dialami oleh 4 pasien. Pada studi
kontrol acak prospektif terhadap 28 anak-anak, Kaewpornsawan membandingkan reduksi
tertutup dan fiksasi dengan percutaneus pinning (melalui pendekatan lateral), didapatkan hasil
pada pasien yang dilakukan fiksasi dengan percutaneus pinning menunjukan tidak ada
24
perbedaan terhadap cubitus varus, cedera neurovaskular, range of motion, union rate, atau
terhadap kriteria Flynn.2,5
Pendekatan anterior memiliki keuntungan, terutama jika berkaitan dengan
neurovaskular, yakni memberikan visualisasi langsung tidak hanya fragmen fraktur namun
juga arteri branchialis dan saraf medianus. Insisi kecil (5cm) sehingga baik secara kosmetik
dibandingkan pendekatan lateral, dan kontraksi jaringan parut tidak membatasi ekstensi bahu.
Apabila terdapat hematom yang biasanya terbentuk di daerah cubital, dapat dihilangkan
melalui dekompresi anterior. Keuntungan lainnya, baik epikondilus medialis atau lateralis
dapat dipalpasi sehingga dapat meminimalisir terjadinya malposisi atau malrotasi. Pendekatan
anterior menunjukkan tingkat kekakuan dan komplikasi yang rendah, mirip dengan
penatalaksanaan tertutup. Cubitus varus terjadi sebanyak 33%, kebanyakan terjadi oleh karena
reduksi yang tidak adekuat. Jika reduksi baik, maka angka insiden terjadinya cubitus varus
rendah.2,13,18,24
Pendekatan posterior berhubungan dengan tingginya loss of range motiondan
osteonekrosis yang disebabkan oleh karena kerusakan suplai arteri posterior menuju trochlea
humerus, sehingga tidak direkomendasikan untuk dilakukan untuk anak kecil. 2,18
Pendekatan medial memiliki keuntungan yakni saraf ulnaris dan kolum medialis dapat
terlihat dengan jelas dan secara kosmetik jaringan parut akan samar oleh karena terletak di
bagian dalam daripada lengan. Namun, kekurangannya kolum lateralis akan sulit terlihat
setelah reduksi.13
2.8.5 Penanganan Berdasarkan Tipe Fraktur
2.8.5.1 Fraktur Tipe I
Fraktur suprakondiler yang nondisplaced atau minimal displaced ( < 2 mm ) dapat
dipasanglong arm cast disertai posisi siku berada dalam posisi fleksi 60 ° sampai 90 ° selama
25
kurang lebih tiga minggu. Adanya impaksi di tulang metafisis medial menandakan bahwa
diperlukan reduksi. Sudut Baumann atau sudut epifisis epikondilus medialis harus diperiksa
bilateral. Jika lebih dari 100maka diperlukan Reduksi tertutup and Percutaneous Pinning
(CRPP).9Pemeriksaan foto rontgen lanjutan dikerjakan pada minggu pertama dan kedua untuk
menilai adanya pergeseran fragmen fraktur
2.8.5.2 Fraktur Tipe II
Penanganan yang optimal dari fraktur tipe II telah mengalami pergeseran dari yang
sebelumnya menggunakan cast untuk imobilisasi dibanding saat ini yang lebih banyak
menggunakan intervensi operasi. Fraktur suprakondiler humerus tipe II biasanya merupakan
akibat cidera ekstensi, dengan korteks posterior tetap intak atau nondisplaced. Setelah
dilakukan reduksi tertutup dan casting dengan bahu dalam keadaan fleksi 90-1000 . Jika
reduksi tertutup fleksi lebih dari 1000maka perlu percutaneous pinning, dengan imobilisasi
fleksi kurang dari 900
Persentase Humerus bagian distal dalam proses pertumbuhan tulang adalah sebesar 20
% dan memiliki kemampuan remodeling yang kecil. Extremitas atas mengalami pertumbuhan
kira-kira sebesar 10 cm selama tahun pertama kehidupannya, 6 cm pada tahun kedua, 5 cm
pada tahun ketiganya, 3,5 cm pada tahun keempat dan 3 cm pada tahun kelimanya. Bayi
kurang dari 3 tahunmemiliki kemampuan remodeling yang sangat baik sehingga ahli bedah
masih dapat menerima fraktur tipe II yang nonoperatif dimana capitelum berada pada bagian
depan anterior humeral line namun tidak melewatinya. Namun, anak dengan usia 8-10 tahun
masih memiliki pertumbuhan sebesar 10 % pada bagian distal humerus, sehingga reduksi
yang adekuat diperlukan untuk mencegah terjadinya malunion.2,9
Beberapa penelitian telah membuktikan bahawa penanganan awal fraktur tipe II
dengan menggunakan teknik reduksi tertutup dan casting dapat memberikan hasil yang baik.
Penelitian yang dilakukan Hadlow dkk terhadap 48 pasien dengan fraktur tipe II yang
26
dilakukan fiksasi dengan pinning, 77% ( 34 pasien ) tidak memerlukan penanganan operasi
lanjutan. Namun 23% ( 11 pasien ) dari 48 pasien tersebut mengalami loss reduction setelah
dilakukan reduksi tertutup dan menjalani operasi lanjutan. 2 dari 14 pasien yang dilakukan
follow up, memiliki hasil yang tidak memuaskan ( sesuai kriteria Flynn dkk ). Pada penelitian
retrospektif terhadap 25 pasien dengan cedera pada siku yang dilakukan reduksi tertutup dan
pemasangan casting. Parikh dkk, melaporkan bahwa 28% (7 pasien) mengalami loss
reduction, 20% (5 pasien) mengalami pembedahan lanjutan dan 8% ( 2 pasien ) mendapatkan
hasil yang tidak memuaskan (sesuai kriteria Flynn dkk.)2,5
Sebaliknya, pada penelitian terhadap 69 pasien anak-anak dengan fraktur tipe II yang
dilakukan reduksi tertutup dan fiksasi dengan pinning, tidak terjadi loss reduction, baik pada
secara klinis maupun secara radiologis. Penelitian tersebut juga menyatakan bahwa tidak
terjadi cubitus varus, hiperextension, loss of motion, iatrogenic nerve palsy dan tidak
memerlukan operasi lanjutan. Pada penelitian terhadap 191 pasien denga fraktur tipe II yang
dilakukan reduksi tertutup dengan fiksasi dengan pinning, ditemukan 4 pasien (2%)
mengalami pin track infection, 3 diantara 4 pasien tersebut berhasil ditangani dengan
pemberian antibiotik dan pencabutan pin. 1 dari 4 pasien tersebut dilakukan operasi untuk
irigasi dan debridemen. Pada semua kasus tersebut, tidak ditemukan adanya cedera pada
pembuluh darah dan saraf, loss reduction, delayed union ataupun malunion.2,5,9
Alasan lain mengapa tindakan operasi dihindari pada cedera seperti ini adalah karena
hiperfleksi yang diperlukan untuk menjaga reduksi pada fraktur tipe II tanpa fiksasi dengan
pin akan dapat memicu terjadinya peningkatan tekanan compartmen. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Mapes dan Hennrikus dengan menggunakan pemeriksaan Doppler, posisi
pronasi dan hiperfleksi ternyata menyebabkan terjadinya penurunan aliran darah pada arteri
brachialis. Penulis merekomendasikan posisi fleksi dan pronasi untuk keamanan vaskuler.
Konsep dasar penanganannya adalah, pada pasien yang memerlukan fleksi siku yang lebih
27
dari 90° untuk mempertahankan reduksi, reduksi sebaiknya dipertahankan dengan pinning
dan siku diimobilisasi dengan posisi siku dalam posisi yang tidak terlalu tajam (biasanya 45°
sampai 70°)
2.8.5.3 Fraktur Tipe III
Fraktur suprakondilertipe III adalah jenis fraktur yang bergeser secara komplit.
Penatalaksanaan dimulai dengan penilaian fungsi perfusi dan saraf. Masalah neurovaskular
sering terjadi dan mengakibatkan perubahan tatalaksana fraktur. Jika anak dengan fraktur
pada siku datang ke Unit Gawat Darurat dengan posisi siku fleksi atau ekstensi yang ekstrem,
posisi lengan harus dikoreksi dan dilakukan fleksi 30° untuk meminimalisasi gangguan pada
vaskular dan tekanan kompartemen. Jika tidak terdapat masalah dalam neurovascular, fraktur
tipe displaced dapat dibidai sementara menunggu penanganan lebih lanjut. Closed Reduction
Percutaneous Pinning (CRPP) merupakan pilihan penatalaksanaan untuk fraktur tipe III.
Fraktur displaced suprakondiler yang dilakukan reduksi tertutup dan casting memiliki insiden
terjadinya deformitas lebih tinggi ketimbang reduksi dan pinning. Sama halnya dengan angka
insiden terjadinya iskemik Volkmann, yang lebih tinggi pada reduksi dan casting dibanding
reduksi dan pinning.
Khusus pada fraktur kominutif kolum medial yang mungkin tidak mengalami
pergeseran yang dramatis pada fraktur tipe III, tapi pada fraktur ini memerlukan reduksi
terbuka karena kolaps yang terjadi pada kolum medial akan menyebabkan terjadinya
deformitas berupa varus pada lengan disertai terjadinya pergeseran yang minimal pada
suprakondiler. De Boeck dkk, merekomendasikan reduksi tertutup pinning perkutaneous bila
fraktur disertai kominutif pada bagian medialnya, walaupun dengan displaced yang minimal,
hal inibertujuan untuk mencegah terjadinya cubitus varus. Pada penelitian retrospektif yang
dilakukan oleh De Boeck dkk, pada 13 pasien dengan kominutif medial, cubitus varus tidak
28
terjadi pada 6 pasien yang mengalami fraktur kominutif yang dikerjakan reduksi terbuka dan
fiksasi dengan pinning, sedangkan pada 4 dari tujuh pasien yang tidak dilakukan reduksi
terbuka dan fiksasi dengan pinning, terjadi cubitus varus.2,5
2.8.5.4 Fraktur Tipe IV
Fraktur tipe IV merupakan fraktur yang tidak stabil dan biasanya memerlukan penanganan
operatif, namun Leitch dkk menyatakan protokol penanganan yang menggunakan reduksi
tertutup dalam menangani 9 pasien dengan fraktur tipe IV. Teknik yang mereka
rekomendasikan adalah dengan menggunakan Kirschner wire yang ditempatkan pada bagian
distal fragmen. Kemudian fraktur direduksi pada bidang anteroposterior dan dipastikan
dengan pemeriksaan imaging. Pada saat melakukan pemeriksaan imaging bagian lateral,
jangan melakukan rotasi pada lengan, tapi alat fluoroskopinya yang diputar pada bagian
lateral. Kemudian dilakukan reduksi pada bidang sagital, dan Kirschner wire didorong
melampaui fragmen fraktur. Pada 9 pasien yang mereka lakukan dengan teknik tersebut, tidak
ada diantara pasien tersebut yang mengalami cubitus varus, malunion ataupun loss of motion,
dan tidak memerlukan adanya operasi lanjutan. Karena masih jarangnya terjadi fraktur dengan
tipe tesebut, perlunya tindakan reduksi terbuka maupun kemungkinan komplikasi yang terjadi
belum dapat diprediksi.2
2.9 KOMPLIKASI
2.9.1 Cidera Saraf
Cidera saraf adalah komplikasi yang sering muncul berkaitan dengan fraktur displaced
suprakondiler, dengan prevalensi berkisar antara 5-19%. Pada tahun 1995, Campbell dkk,
menemukan kerusakan saraf medianus dalam 52% kasus dan kerusakan saraf radialis
sebanyak 28%, namun penelitian yang dilakukan oleh Spinner dan Schreiber melaporkan
29
bahwa yang paling sering mengalami cedera pada fraktur suprakondiler humerus tipe
ekstension adalah saraf interosseusanterioryang ditandai dengan paralisisfleksor longus ibu
jari dan jari telunjuk tanpa disertai perubahan sensorik.2,5
Kerusakan pada saraf medianus
berkaitan dengan pergeseran fragmen distal ke arah posteromedial yang ditandai dengan
sensoric losspada distribusi persarafan nervus medianus, disertai dengan motoric loss pada
otot-otot yang mendapat inervasi dari saraf medianus. Penyembuhan fungsi sensorik hingga 6
bulan sedangkan fungsi motorik membaik dalam waktu 7-12 minggu. Indikasi eksplorasi
adalah fungsi saraf terganggu oleh karena fraktur terbuka, setelah dilakukan reduksi tertutup
pinning perkutan. Penelitian retrospektif yang dilakukan oleh Royce dkk, bahwa dari 143
pasien dengan fraktur suprakondiler, dilaporkan sejumlah 4 kasus dengan kerusakan saraf
setelah fiksasi menggunakan pinning. Sedangkan Lyon dkk melakukan penelitian terhadap 17
pasien yang diduga mengalami cedera pada nervus ulnaris yang dicurigai disebabkan oleh
pemasangan pin pada daerah medial. Hasilnya, semua pasien tersebut mengalami pemulihan
komplit dari fungsi sarafnya, walaupun banyak diantara pasien tersebut yang baru mengalami
penyembuhan setelah 4 bulan. Hanya 4 dari 17 pasien yang dilakukan pencabutan dari pinnya.
Penelitian ini menunjukan bahwa penyembuhan dari cedera pada saraf ulnar dapat terjadi
tanpa perlu melakukan pencabutan pada pin tersebut.Namun, Karakurt dkk melalui studi
ultrasonografi, dengan menghilangkan penyebab terjadinya penekanan tersebut, yaitu dengan
cara mencabut pin yang terletak di bagian medial lebih awal akan menyebabkan terjadinya
penyembuhan yang lebih awal terhadap sarafyang mengalami cedera tersebut.2,5
2.9.2 Cidera Pembuluh Darah
Prevalensi terjadinya insufiensi pembuluh darah berkaitan dengan fraktur suprakondiler
dilaporkan berkisar antara 5-12%. Hilangnya pulsasi arteri radialisterjadi pada pasien dengan
fraktur suprakondiler tipe III sekitar 10% - 20%. Hilangnya pulsasi arteri radialis bukan
30
merupakan suatu kegawatdaruratan, melainkan urgensi.Hal ini dikarenakan, sirkulasi kolateral
masih dapat memberikan perfusi yang memadai bagi extremitas tersebut.
Bila ada pasien yang datang ke unit gawat darurat dengan fraktur suprakondiler yang
disertai dengan pergeseran yang berat disertai gangguan vaskular, dilakukan splinting pada
siku dengan posisi siku fleksi 20° - 40°.Shaw dkk, merekomendasikan stabilisasi fraktur
sesegera mungkin dengan reduksi tertutup dan K-wire, apabila terdapat cidera pada pembuluh
darah. Protokol penatalaksanaan ini telah mengembalikan denyutan sebanyak 13 pasien dari
total 17 pasien fraktur suprakondiler dengan cidera pembuluh darah (12% dari 143 fraktur tipe
III).2,5
Sabharwal dkk menyatakan bahwa repair awal yang dilakukan pada arteri
dihubungkan dengan tingginya angka kejadian reoklusi simptomatis dan stenosis residual, dan
mereka merekomendasikan untuk dilakukan periode observasi dan pemeriksaan
neurovaskular secara berkala sebelum dilakukan koreksi yang bersifat invasif. Jika pulsasi
sebelum dilakukan reduksi masih teraba, dan kemudian menghilang setelah dilakukan reduksi
dan fiksasi dengan pinning, maka reduksi terbuka harus segera dilakukan. Reduksi terbuka
melalui pendekatan anterior karena melalui pendekatan tersebut, kita dapat mengevaluasi
struktur vital yang beresiko mengalami penjeratan diantara fragmen fraktur. Jika arteri
berhasil dibebaskan dari penjeratan diantara fragmen fraktur, spasme yang terjadi pada arteri
akan dapat dikurangi, caranya dengan pemberian lidocaine, pemanasan, dan dilakukan
observasi selama 5-15 menit.2,5
Indikasi dilakukan rekonstuksi vaskuler adalah 1). denyutan tidak teraba setelah
reduksi, dengan tanda-tanda capillary refill time menurun, tekanan kompartemen meningkat,
atau pallor. 2) tidak ada denyutan pada pemeriksaan Doppler di daerah ekstrimitas
noniskemik.24,25
31
2.9.3 Deformitas
Deformitas berupa angulasi pada humerus distal sering terjadi pada pasien dengan fraktur
suprakondiler. Keterbatasan remodeling yang terjadi pada humerus distal dikarenakan physis
bagian distal hanya berkontribusi sebesar 20% terhadap pertumbuhan tulang humerus.
2,5,10Penyebab yang paling masuk akal terhadap terjadinya deformitas tersebut pada fraktur
suprakondiler adalah terjadinya malunion dibandingkan dengan terjadinya growth arrest.
Remodeling dapat terjadi pada bagian posterior, namun tidak dapat terjadi angulasi pada
bidang koronal, sehingga mengakibatkan terjadinya deformitas cubitus varus atau valgus.
Deformitas cubitus varus adalah mengenai kosmetik bukan fungsional atau kecacatan,
deformitas yang terjadi adalah ekstensi daripada siku. Pembedahan seperti tekniklateral
closing-wedge osteotomy, dome rotational osteotomy, dan step-cut lateral closing-wedge
osteotomy juga merupakan suatu indikasi kosmetik. Namun, osteotomy tersebut berkaitan
dengan tingkat komplikasi yang signifikan. Seperti yang dilaporkan oleh Labelle dkk, yang
menyebutkan bahwa 33% pasien mengalami loss of correction dan atau disertai cidera saraf.
Sedangkan deformitas cubitus valgus menyebabkan kehilangan fungsional ekstensi dan
paralisis saraf tardyulnaris.2,5
Cubitus varus dapat dicegah dengan menjaga agar garis Bauman tetap utuh saat
melakukan reduksi dan selama masa penyembuhan. Pirone dkk melaporkan terjadinya
deformitas cubitus varus pada 8 ( 8% ) dari 101 pasien yang ditangani dengan imobilisasi
dengan casting dibandingkan dengan 2 ( 2% ) dari 105 pasien yang ditangani dengan fiksasi
menggunakan pin, dengan rentang usia penderita antara 1,5 tahun sampai 14 tahun ( mean 6,4
th ). Tiga penyebab utama terjadinya deformitas berupa cubitus varus ataupun cubitus valgus
adalah (1) Ketidakmampuan untuk menginterpretasikan hasil reduksi tidak acceptable pada
gambaran radiologis, (2) Ketidakmampuan untuk menginterpretasikan hasil radiologis yang
baik karena kurangnya pengetahuan terhadap patofisiologi dari fraktur tersebut, (3) Loss of
32
reduction. Tidaklah sulit untuk menginterpretasikan hasil radiologis dari lateral view.
Interpretasi yang lebih rumit terdapat pada anterior view. Jones view merupakan pemeriksaan
radiologis dari anterior, dengan posisi siku dalam fleksi maksimal dan kaset diletakan pada
bagian posterior dari siku, dan arah sinar 90 derajat terhadap kaset.
Penanganan terhadap deformitas cubitus varus di masa lalu hanya berdasarkan pada
permasalahan kosmetik saja, namun terdapat beberapa masalah yang timbul jika cubitus
varustersebut tidak ditangani, yaitu dapat berupa meningkatnya resiko terjadinya fraktur pada
condylus lateral, nyeri, tardy posterolateral rotatory instability, dimana gejala-gejala tersebut
merupakan suatu indikasi untuk dilakukannya operasi rekonstruksi dengan cara melakukan
osteotomy pada suprakondiler humerus.
2.9.4 Kekakuan dan Myositis Ossificans
Loss of motionjarang terjadi pada pasien fraktur suprakondiler yang direduksi secara
anatomis. Kehilangan fungsi fleksi dapat terjadi dengan fragmen distal angulasi ke arah
posterior. Henrikson dkk, melaporkan kurang dari 5% pasien dengan suprakondiler berkaitan
dengan kehilangan fungsi fleksi atau ekstensi mencapai 50jika dibandingkan dengan sisi yang
tidak cidera. Walaupun manipulasi dan terapi fisik dapat memicu terjadinya myositis
ossificans, namun komplikasi tersebut sangat jarang.2,5
2.9.5 Sindrom Kompartemen
Sindrom kompartemenpada fraktur suprakondiler diperkirakan antara 0,1 % - 0,3 %. Sindrom
kompartemen forearm dapat terjadi dengan atau tanpa cidera arteri brachialis dan teraba atau
tidaknya nadi radialis. Diagnosis sindrom kompartemen berdasarkan lima tanda klasik yakni
pain, pallor, pulselessness, paresthesia, dan paralysis. Selain itu, adanya tahanan terhadap
gerakan pasif jari dan nyeri progresif setelah fraktur.Blakemore dkk menemukan bahwa
prevalensi terjadinya sindrom kompartemenpada forearm adalah 3 berbanding 33 pada kasus
fraktur suprakondiler disertai dengan fraktur pada radius. Battaglia dkk, menemukan bahwa
33
ambang posisi untuk dapat terjadinya peningkatan tekanan intrakompartement adalah posisi
fleksi elbow, antara 900– 120
0. Hal ini menentukan pentingnya untuk melakukan imobilisasi
pada siku dengan sudut fleksi kurang dari 9023
Skaggs dalam penelitian yang dilakukannya
menunjukan bahwa walaupun arteri radialis masih teraba dan capillary refill time masih
normal, namun jika disertai terjadinya echimosis dan pembengkakan yang hebat, ancaman
terhadap terjadinya suatu compartment syndrome harus tetap diwaspadai. Perhatian khusus
harus dilakukan pada fraktur suprakondiler yang disertai cedera pada nervus medianus, karena
pada pasien yang mengalami cedera pada nervus tersebut, pasien tersebut tidak dapat
merasakan terjadinya nyeri pada kompartement bagian volarnya.
2.9.6 Infeksi Pin Track
Rerata terjadinya infeksi pin track pada anak-anak yang ditangani dengan fiksasi
menggunakan percutaneus Kirschner wire memiliki rentang antara 1% - 21%. Rerata
terjadinya infeksi pin track yang berhubungan dengan terjadinya fraktur suprakondiler
humerus disebutkan antara 1% - 6,6%. Battle dan Carmichael melakukan penelitian terhadap
202 kasus fraktur, dimana 92,6% ( 187 ) kasus tersebut merupakan fraktur pada ektermitas
atas, dilaporkan rerata terjadinya infeksi sebesar 7,9% ( 16 dari 202 ). 12 dari 16 kasus yang
mengalami infeksi tersebut memerlukan antibiotik oral dan perawatan terhadap pin tracknya,
Satu pasien memerlukan antibiotik secara intravena, sedangkan 3 pasien sisanya memerlukan
tindakan operasi berupa insisi dan debridement. Gupta dkk melaporkan terjadinya 1 kasus pin
track infection dari 150 pasien, dan dapat ditangani dengan antibiotik oral dan melepas pin
tersebut. Pada penelitian yang lebih besar, Mehlmann dkk menemukan terjadinya 1 kasus pin
track infection pada 198 pasien dan berhasil ditangani dengan antibiotik oral sehingga dapat
sembuh tanpa terjadinya sequele.26
34
BAB III
RANGKUMAN
Fraktur suprakondiler humerus terjadi di siku, di bagian distal humerus, tepat diatas
dari epikondilus humerus. Fraktur ini paling sering terjadi pada anak-anak, terutama pada
kelompok umur 5-7 tahun. Prevalensi sekitar 55% - 75% dari semua fraktur siku pada anak-
anak. Fraktur lebih sering terjadi pada tangan kiri atau tangan yang non dominan. Beberapa
penelitian terakhir menunjukkan bahwa angka insiden kejadian fraktur suprakondilar humerus
adalah sama antara pria dan wanita. Terdapat 2 macam berdasarkan mekanisme cidera, yakni
fraktur jenis ekstensi dan fleksi, dimana fraktur jenis ekstensi lebih sering terjadi (98%).
Penanganan awal yang baik menjadi penting agar mencegah terjadinya gangguan
vaskular atau peningkatan tekanan kompartemen. Oleh karena itu, pada penderita fraktur
suprakondiler humerus diperlukan penangan awal berupa pemasangan splint dengan siku
diposisikan fleksi 20° - 40° . Selanjutnya penatalaksanaan fraktur suprakondiler humerus
fraktur pada anak-anak secara umum dapat dibagi menjadi 2, non operatif dan operatif.
Dameron mencatat, berdasarkan jenis fraktur, terdapat 4 macam penanganan yakni: (1) side-
arm skin traction, (2) overhead skeletal traction, (3) closed reduction and casting with or
without percutaneous pinning, dan (4) open reduction and internal fixation.
35
Komplikasi yang muncul meliputi komplikasi pada soft tissue, tulang, ataupun
komplikasi reduksi. Komplikasi soft tissue meliputi cidera saraf, cidera pembuluh
darah,kekakuanatau myositis ossificans, sindrom kompartemen, dan infeksi pin track.
Komplikasi pada tulang yakni kolumnar medialis yang pecah berkeping mengakibatkan tidak
stabilnya reduksi tulang. Komplikasi yang dapat muncul oleh karena reduksi yaknideformitas
varus ataupun valgus.
DAFTAR PUSTAKA
1. Salter RM. Spesific Fracture & Joint Injuries in Children. Textbook of Disorders &
Injuries of the Muskuloskeletal Sytem. 3rd
Edition. Lippincott Wiliams& Wilkins 1999
2. Skaggs DL, Flynn JF: Supracondylar Fracture of the Distal Humerus. In: Beaty JH,
Kasser JR, (editors) Rockwood and Wilkins Fractures in Children, 7th Edition Vol. 3.
Philadelphia, Lippincott William and Wilkins; 2010. 487-531.
3. Koval KJ, Zuckerman JD. Handbook of Fractures Third Edition. Lippincott Williams
& Wilkins. 2006
4. Barel DP, Hanel DP. Fractures of The Distal Humerus. In: Wolfe SW, Hotchkiss RN,
Pederson WC, Kozin SH. Green’s Operative Hand Surgery Sixth Edition. Churcill
Livingstone Elsevier. 2010.
5. Beaty JH, Kasser JR.Supracondylar Fracture of the Distal Humerus. In: Campbell,
11th Edition; 2007.
6. Farnsworth CL, Silva PD,Mubarak SJ. Etiology of supracondylar humerus fracture.
Journalof Pediatric Orthopaedic. 1998;18:38-42
7. Omid R, Paul D, Choi, Skaggs D. Curent concepts review. Supracondylar Humeral
Fractures in Children. Journalof Bone Joint Surgery America, 2008;90:1121-32
8. Brubacher JW, Dodds SD. Pediatric Supracondylar Fracture of The Distal Humerus.
Current Review Musculoskeletal Medicine 2008. 1:190-196
9. Price CT, Flynn JM. Management Of Fractures. In: Morrissy RT, Weinstein SL.
Lovell & Winter’s Pediatric Orthopaedics, 6th Edition. 2006. Vol.2. 33. 1449-1452
36
10. Rang, M. Supracondylar Fractures. In: Children’s Fractures 2nd Edition. Lippincott
Company. 1983. 154-169
11. Gartland JJ. Management of supracondylar fractures humerus in children. Surgery
Gynecology Obstetric. 1959;109(2):145-54
12. Barton KL, Karminsky CK, Green DW, Shean DJ, Skaggs DL. Reliability of a
modified Gartland classification of supracondylar humerus fractures. Journal of
Pediatric Orthopaedic. 2001;21:27-30.
13. Leich KK, Kay RM, Femino JD, Tolo VT,Storer SK, Skagss DL. Treatment of
multidirectionally unstable supracondylar humeral fractures in children. A modified
Gartland type – IV fracture. Journalof Bone Joint Surgery America .2006. 88. P 980-
985.
14. Murray AW, Robb J. Supracondylar Fractures Of The Humerus in Children. Elsevier.
2012. 8:119-132
15. Brubacher JW, Dodds SD. Pediatric Supracondylar Fractures of the Distal Humerus.
Current Review Musculoskeletal Medicine. 2008. 1:190-196
16. Skaggs DL. Elbow fractures in children: Diagnosis and Management. Journalof
America Academy of Orthopaedic Surgery. 1997;5(6);303-12
17. Skaggs D, Pershad J. Pediatric elbow trauma. Pediatric Emergency Care.
1997;13(6);425-34
18. Otsuka NY, Kasser JR. Supracondylar fractures of the humerus in children. Journal of
American Academy of Orthopaedic Surgery. 1997;5(1); 19-26
19. Kuzma J. A Comparison of Skin vs Skeletal Traction in the Management of Childhood
Humeral Supracondylar Fractures: Randomized Clinical Trial. The International
Journal of Orthopaedic Surgery. 2014. Vol 22. No.1
Available at https://ispub.com/IJOS/22/1/14816
20. Gadgil A, Hayhurst C, Maffulli N, Dwyer JSM. Elevated, Straight-arm traction for
supracondylar fracture of the humerus in children. Journal of bone and joint surgery.
2005. Vol 87B; 82-87.
21. Bhuyan, BK. Closed Reduction and Percutaneous Pinning in Displaced
Supracondylar Humerus Fractures in Children. Journal of Clinical Orthopaedic and
Trauma. 2012. 89-93.
22. Fleuriau-Chateau P. An Analysis of open reduction of irreducible supracondylar
fractures of the humerus in children. Canadian Journal of Surgery.1998;41:112-8
37
23. Abzug, JM and Herman, MJ. Management of Supracondylar Humerus Fractures in
Children: Current Concepts. Journal of the American of Orthopaedic Surgeons.2012.
Vol 20, No 2, 69-77
24. Bataglia TC, Armstrong DG, Schwend RM. Factor affecting forearm compartment
pressure in children with supracondylar fractures of the humerus. Journal of Pediatric
Orthopaedic 2000;22:431-9.22431 2002
25. Bae DS, Kadiyala RK, Waters PM. Acute compartment syndrome in children:
contemporary diagnosis, treatment, and outcome. Journal of Pediatric Orthopaedic
.2001;21(5);302-12
26. Mehlman CT, Strub WM, Roy DR. The effect of surgical timing on the perioperative
complication of treatment of supracondylar humeral fracture in children. Journal of
Bone and Joint Surgery American 2001;83;323-7