Post on 25-Jul-2015
Ketika manusia melihat atau mengalami suatu peristiwa, akan
terdorong naluri ingin tahu nya, ia pun akan bertanya: apakah ini? Dari
mana datangnya? Apa sebabnya demikian? Mengapa demikian? Manusia
yang semula tidak tahu, ia akan berusaha untuk mencari tahu kemudian
mencari tahu, hingga keingintahu nya terpenuhi. Jika keingintahuannya
terpenuhi, sementara waktu ia akan merasa puas. Namun, masih banyak
hal yang mengelilingi manusia, baik yang tampak maupun yang tidak
tampak, ada atau yang mungkin ada, yang berarti masih harus diuji
kebenarannya. Hal ini kembali mendorong naluri ingin tahu, membuat
pertanyaan lain yang yang terus bermunculan.
Terdapat dua cara manusia untuk tahu, yaitu bertanya kepada
manusia lain atau bertanya pada diri sendiri dengan melakukan
penyelidikan sendiri. Makin lanjut usia seseorang, kemampuan
menyelidiki sendiri akan semakin besar, dan akan membuat hasil tahunya
menjadi lebih banyak, lebih luas, dan lebih dalam. Semakin banyak dan
dalam yang diketahui, ia akan semakin ingin tahu. Sepanjang hidup, naluri
ingin tahu akan mendorong manusia untuk terus mencari tahu. Dengan
demikian, naluri ingin tahu dapat diartikan sebagai dorongan alamiah yang
dibawa manusia sejak lahir untuk mencari tahu tentang segala sesuatu,
termasuk hal diri sendiri, dan baru akan berhenti di akhir kesadaran
manusia pemiliknya.
Ada dua kemungkinan yang terjadi ketika manusia mencari tahu,
bahwa yang didapat adalah tahu yang benar atau tahu yang keliru.
Manusia tidak suka dengan kekeliruan, dimana semata-mata mereka ingin
mencari tahu yang benar, membuat kebenaran sangat berarti bagi setiap
manusia.
Sebelum mengetahui, manusia terlebih dahulu melihat, mendengar,
serta merasa segala yang ada di sekitarnya. Segala yang dilihat, didengar,
dan dirasa itulah yang merangsang naluri ingin tahu seseorang. Sepanjang
hidupnya, manusia akan dirangsang alam sekitarnya untuk tahu. Hal utama
yang terkena rangsang adalah panca indera, yaitu penglihatan, penciuman,
perabaan, pendengaran, serta pengecapan. Hasil persentuhan alam dengan
panca indra disebut peng-ALAM-an (pengalaman). Ketika tersentuh
rangsang, manusia akan bereaksi. Namun, pengalaman semata-mata tidak
membuat seseorang menjadi tahu. Pengalaman hanya memungkinkan
seseorang menjadi tahu. Hasil dari tahu disebut penge-TAHU-an
(pengetahuan). Pengetahuan ada jika demi pengalamannya, manusia
mampu mencetuskan pernyataan atau putusan atas objeknya. Dengan kata
lain, orang yang tidak dapat memberi pernyataan atau putusan demi
pengalamannya dikatakan tidak berpengetahuan.
Manusia yang tahu dikatakan berpengetahuan. Sebagaimana
dikatakan sebelumnya, pengetahuan adalah hasil dari tahu. Contoh, jika
seseorang tahu bahwa rambut Heryanto beruban, artinya ia mengakui hal
”uban” terhadap ”rambut Heryanto”. Ia mengakui sesuatu terhadpa
sesuatu. Ia membuat sesuatu, atau dalam filsafat disebut putusan. Jadi,
pernyataan atau putusan adalah pengakuan sesuatu terhadap sesuatu.
Orang yang tidak tahu tidak dapat membuat putusan, tidak dapat
mengakui apapun, tidak dapat memberi pernyataan, mengetahui sesuatu
atas sesuatu. Dengan kata lain, orang yang tidak dapat membuat putusan
dikatakan tidak tahu. Oleh karena itu, untuk dikatakan tahu orang harus
sadar bahwa ia tahu, dibuktikan dengan kemampuannya membuat
keputusan. Namun, keputusan tidak selamanya harus dicetuskan secara
verbal, mungkin hanya tersimpan di hati manusianya saja.
Telah dikemukakan, tahu hendak mencakup objeknya. Apabila
pengetahuan tidak sesuai dengan objeknya, maka disebut keliru.
Sebaliknya, jika sesuai dengan objek, pengetahuannya dikatakan benar.
Persesuaian antara pengetahuan dengan objeknya dinamakan kebenaran.
Ketika kita memberi putusan tentang Intan, ”Oh, saya tahu, Intan itu yang
berambut pendek, gemuk, kulitnya hitam kan?” Nyatanya, Intan tidak
berambut pendek, gemuk, dan berkulit hitam. Artinya, terdapat ketidak
sesuaian antara tahu dan objeknya. Maka, dikatakan bahwa kita keliru.
Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang sesuai dengan objek,
yaitu pengetahuan objektif: adanya persesuaian antara tahu dengan
objeknya.
Karena suatu objek memiliki banyak aspek, sulit untuk mencakup
keseluruhannya. Artinya, akan sulit untuk mencapai seluruh kebenaran.
Minimal pengetahuan yang dimiliki sesuai dengan aspek yang
diketahuinya. Jika seseorang tidak tahu tentang salah satu aspek dari suatu
objek, ia bukan keliru melainkan dikatakan bahwa pengetahuannya tidak
lengkap. Kekeliruan baru terjadi jika manusia mengira tahu tentang satu
aspek, tetapi aspek itu tidak pada objeknya. Contohnya, dinyatakan bahwa
Intan gemuk nyatanya tidak gemuk.
Sebagaimana diutarakan, terdapat dua cara manusia mendapat
pengetahuan, yaitu pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman sendiri
dan pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman orang lain yang
diberitahukan kepadanya, baik secara langsung maupun melalui medium,
misalnya sebuah buku. Contoh pengetahuan yang diperoleh dari orang lain
adalah kita bisa berkata bahwa kutub utara dingin, padahal kita belum
pernah ke sana. Kita mengetahui hal itu dari orang lain yang sudah pernah
pergi ke sana, ataupun kita mengetahuinya melalui membaca buku yang
menceritakan bahwa kutub utara dingin.
Berikut ini terdapat beberapa sikap mental di dalam menyikapi
pengetahuan yang baru didapat, baik berdasarkan pengalaman sendiri
maupun berdasarkan pengalaman orang lain. Sikap mental tersebut di
antaranya:
1. Ke-YAKIN-an (Keyakinan)
Dalam mencari pengetahuan yang benar, manusia harus bersifat kritis,
tidak cepat menyimpulkan telah mencapai kebenaran. Jika suatu ketika
seseorang merasa cukup alasan pengetahuannya benar, berarti ia telah
memiliki keyakinan. Tapi, keyakinan tidak selalu benar. Keyakinan
hanya menunjukkan sikap manusia yang tahu, ia yakin karena telah
cukup alasan bahwa pengetahuannya benar.
2. Ke-PASTI-an (Kepastian)
Bila manusia berdasarkan pengalamannya sendiri telah membuktikan
bahwa keyakinannya benar, dapat dikatakan ia telah memiliki
kepastian. Jadi, kepastian adalah keyakinan yang telah mendapat
pembuktian kebenaran berdasarkan pengalaman. Dalam kepastian,
manusia tidaka akan bersikap sangsi lagi.
3. Ke-PERCAYA-an (Kepercayaan)
Beda halnya dengan kepastian. Bila kepastian adalah sikap mental
sebagai hasil dari mencari kebenaran berdasarkan pengalaman sendiri,
dimana karena telah mengalami sendiri, seseorang meyakini kebenaran
sebagai suatu kepastian. Sedangkan apabila kebenaran pengetahuan
didapat dari pengalaman orang lain yang dipercaya, maka disebut
kepercayaan. Contohnya, ketika seorang astronomi menyatakan bahwa
akan ada gerhana, Anda akan mempercayai kebenaran pengetahuan itu
karena percaya pada kredibilitas atau otoritas orang yang menyatakan
hal tersebut. Jadi, percaya adalah menerima kebenaran karena
kredibilitas atau otoritas orang yang menyampaikan. Agama dikatakan
suatu jenis kepercayaan karena kebenarannya diterima berdasarkan
kredibilitas dan otoritas orang yang menyampaikan, yaitu para nabi
dan rasul. Syarat dari objek agama adalah tidak harus diverifikasi atau
diuji.
Pengetahuan bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari. Pengetahuan
dipergunakan dalam rumah tangga, pertanian, perikanan, dan sebagainya.
Pengetahuan yang digunakan seseorang terutama untuk kehidupan sehari-
hari tanpa mengetahui seluk beluknya disebut pengetahuan biasa atau
pengetahuan saja. Contohnya, seorang petani tahu benar berapa jumlah
pupuk yang harus disiram pada tanamannya, tapi ia tidak benar-benar tahu
mengapa jika terlalu banyak atau kekurangan pupuk maka kualitas
tanamannya menurun. Dan juga, petani itu tahu benar kapan harus mulai
menanam satu jenis tanaman dan kapan memanennya. Akan tetapi, ia tidak
benar-benar tahu mengapa tanaman itu harus ditanam pada saat itu dan
dipanen pada saat berikutnya. Ia hanya tahu bahwa demikianlah apa yang
diberitahukan kepadanya secara turun temurun, juga berdasarkan apa yang
ia dapat dari pengalamannya sendiri. Sebaliknya, pengetahuan yang
digunakan seseorang dengan harus tahu benar apa sebabnya demikian dan
mengapa demikian. Jenis pengetahuan ini disebut ilmu. Contohnya,
seorang mahasiswa pertanian yang bahkan belum pernah bercocok tanam
sendiri tahu benar berapa banyak pupuk yang harus diberikan pada jenis
tanaman tertentu. Ia tahu benar apa sebabnya demikian dan mengapa
demikian.
Karena tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu, maka terdapat
sejumlah persyaratan agar pengetahuan (knowledge) layak disebut ilmu
(science). Persyaratan ini disebut sifat ilmiah. Ada 4 syarat agar
pengetahuan dapat disebut ilmu, yaitu:
1. Sistematis, yaitu tersusun dalam sebuah rangkaian sebab akibat. Untuk
mengetahui dan menjelaskan suatu objek, ilmu harus terurai dan
terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis, sehingga
membentuk suatu sistem, yang artinya utuh menyeluruh, terpadu,
menjelaskan rangkaiansebab akibat menyangkut objeknya.
2. Metodis, yaitu cara. Dalam upaya mencapai kebenaran, selalu terdapat
kemungkinan penyimpangan. Oleh karena itu, harus diminimalisasi.
Konsekuensinya, harus terdapat cara tertentu untuk menjamin
kepastian kebenaran.
3. Objektif, yaitu sesuai dengan objeknya. Ilmu harus memiliki objek
kajian yang terdiri dari satu golongan masalah yang sama sifat
hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Objeknya
dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji
keberadaannya. Dalam mengkaji objek, yang dicari adalah kebenaran,
yaitu persesuaian tahu dengan objek, dan karena itu disebut kebenaran
objektif, bukan berdasarkan subjek peneliti atau subjek penunjang
penelitian.
4. Universal, yaitu secara keseluruhan (umum). Kebenaran yang hendak
dicapai bukan yang tertentu saja, melainkan yang bersifat umum.
Dengan kata lain, pengetahuan tentang yang khusus, yang tertentu saja
tidak diinginkan. Pola pikir yang digunakan adalah pola pikir induktif,
yaitu cara berpikir dari hal-hal khusus sampai pada kesimpulan umum.
Contohnya, Segitiga lancip, jumlah sudutnya 180 derajat. Segitiga
siku-siku, jumlah sudutnya 180 derajat. Segitiga tumpul, jumlah
sudutnya 180 derajat. Maka, ditarik kesimpulan secara umum bahwa
semua segitiga bersudut 180 derajat, apapun bentuk segitiga itu.
dengan demikian, jika pengetahuan hendak disebut ilmu, ia harus
memenuhi sifat ilmiah sebagai syarat ilmu, yaitu Sistematis, Metodis,
Objektif, Universal. Syarat dari objek ilmu adalah harus bisa diverifikasi
atau diuji.
Dalam kehidupannya, manusia memiliki pengetahuan yang
beraneka ragam. Terdapat 4 jenis pengetahuan yang dimiliki oleh manusia,
yaitu:
1. Pengetahuan biasa, yaitu pengetahuan yang kita tahu begitu saja.
2. Pengetahuan ilmu / Ilmu Pengetahuan / Ilmu
3. Pengetahuan agama / teologi, yaitu pengetahuan Ketuhanan
4. Pengetahuan filsafat
Seluruh ilmu hakikatnya berasal dari filsafat. Darinyalah seluruh
ilmu berasal, darinya pula seluruh ilmu dan pengetahuan manusia
dilahirkan. Sikap dasar selalu bertanya menjadi ciri filsafat, menurun pada
berbagai cabang ilmu yang semula berinduk padanya. Karenanya, dalam
semua ilmu terdapat kecenderungan dasar itu. Manakala ilmu mengalami
masalah yang sulit dipecahkan, ia akan kembali pada filsafat dan
memulainya dengan sikap dasar untuk bertanya. Dalam filsafat, manusia
mempertanyakan apa saja dari berbagai sudut, secara totalitas menyeluruh,
menyangkut hakikat inti, sebab dari segala sebab, mancari jauh ke akar,
hingga ke dasar.
Filsafat bermula dari pertanyaan dan berakhir pada pertanyaan.
Hakikat filsafat adalah bertanya terus-menerus, karenanya dikatakan
bahwa filsafat adalah sikap bertanya itu sendiri. Dengan bertanya, filsafat
mencari kebenaran. Namun, filsafat tidak menerima kebenaran apapun
sebagai sesuatu yang sudah selesai. Yang muncul adalah sikap kritis,
meragukan terus kebenaran yang ditemukan. Dengan bertanya, orang
menghadapi realitas kehidupan sebagai suatu masalah, sebagai sebuah
pertanyaan, tugas untuk digeluti, dicari tahu jawabannya.
Terdapat tiga karakteristik dalam berpikir filsafat, yaitu mendasar,
spekulatif, dan menyeluruh. Berdasarkan tiga karakteristik tersebut, maka
pokok permasalahan yang dikaji filsafat mencakup tiga wilayah utama,
yaitu wilayah ada, wilayah pengetahuan, dan wilayah nilai. Dan juga,
ketiga wilayah tersebut akan digunakan ketika membahas filsafat ilmu.
Filsafat ilmu merupakan bagian dari filsafat yang menjawab
beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Terdapat tiga aspek dalam
filsafat ilmu, yaitu:
1. Ontologi, yaitu berada dalam wilayah ada. Kata Ontologi berasal dari
Yunani, yaitu onto yang artinya ada dan logos yang artinya ilmu.
Dengan demikian, ontologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang
keberadaan. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain:
apakah objek yang ditelaah ilmu? Bagaimanakah hakikat dari objek
itu? Bagaimanakah hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap
manusia yang membuahkan pengetahuan dan ilmu?
2. Epistemologi, yaitu berada dalam wilayah pengetahuan. Kata
Epistemologi berasal dari Yunani, yaitu episteme yang artinya cara dan
logos yang artinya ilmu. Dengan demikian, epistemologi dapat
diartikan sebagai ilmu tentang bagaimana seorang ilmuwan akan
membangun ilmunya. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara
lain: bagaimanakah proses yang memungkinkan ditimbanya
pengetahuan menjadi ilmu? Bagaimanakah prosedurnya? Untuk hal
ini, kita akan mengarah ke cabang fisafat metodologi.
3. Aksiologi, yaitu berada dalam wilayah nilai. Kata Aksiologi berasal
dari Yunani, yaitu axion yang artinya nilai dan logos yang artinya
ilmu. Dengan demikian, aksiologi dapat diartikan sebagai ilmu tentang
nilai-nilai etika seorang ilmuwan. Pertanyaan yang menyangkut
wilayah ini antara lain: untuk apa pengetahuan ilmu itu digunakan?
Bagaimana kaitan antara cara penggunaannya dengan kaidah-kaidah
moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-
pilihan moral? Bagaimana kaitan metode ilmiah yang digunakan
dengan norma-norma moral dan profesional? Dengan begitu , kita akan
mengarah ke cabang fisafat Etika.
Sedangkan apabila ilmu komunikasi dimaknai sebagai ilmu yang
mempelajari penyampaian pesan antarmanusia, dapat dinyatakan bahwa
filsafat ilmu komunikasi mencoba mengkaji ilmu komunikasi dari segi
ciri-ciri, cara perolehan, dan pemanfaatannya. Oleh karena itu, filsafat
ilmu komunikasi mencoba untuk menjawab tiga pertanyaan pokok sebagai
berikut:
1. Ontologi. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain:
Apakah ilmu komunikasi? Apakah yang ditelaah oleh ilmu
komunikasi? Apakah objek kajiannya? Bagaimanakah hakikat
komunikasi yang menjadi objek kajiannya?
2. Epistemologi. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain:
Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan
menjadi ilmu? Bagaimanakah prosedurnya, metodologinya? Hal-hal
apa yang harus diperhatikan agar bisa mendapat pengetahuan dan ilmu
yang benar dalam hal komunikasi? Apa yang dimaksud dengan
kebenaran? Apakah kriteria kebenaran dan logika kebenaran dalam
konteks ilmu komunikasi?
3. Aksiologi. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: Untuk
apa ilmu komunikasi itu digunakan? Bagaimana kaitan antara cara
penggunaan pengetahuan dan ilmu tersebut dengan kaidah-kaidah
moral? Bagaimanakah kaitan ilmu komunikasi berdasarkan pilihan-
pilihan moral? Bagaimana kaitan antara operasionalisasi metode ilmiah
dalam upaya melahirkan dan menemukan teori-teori dan aplikasi ilmu
komunikasi dengan norma-norma moral dan profesional?
Tidak sebagaimana dengan ilmu-ilmu alam yang objeknya eksak,
misalnya dalam biologi akan mudah untuk membedakan kucing dengan
anjing, mana jantung dan mana hati, sehingga tidak memerlukan
pendefinisian secara ketat. Tidak demikian halnya dengan ilmu-ilmu
sosial yang objeknya abstrak. Ilmu komunikasi berada dalam rumpun
ilmu-ilmu sosial yang berobjek abstrak, yaitu tindakan manusia dalam
konteks sosial. Komunikasi sebagai kata yang abstrak sulit untuk
didefinisikan. Para pakar telah membuat banyak upaya untuk
mendefinisikan komunikasi. Ilmu komunikasi sebagai salah satu ilmu
sosial mutlak memberikan definisi tajam dan jernih guna menjelaskan
objeknya yang abstrak itu.
Tidak semua peristiwa merupakan objek kajian ilmu komunikasi.
Sebagaimana diutarakan, objek suatu ilmu harus terdiri dari satu golongan
masalah yang sama sifat hakikatnya. Karena objeknya yang abstrak, syarat
objek ilmu komunikasinya adalah memiliki objek yang sama, yaitu
tindakan manusia dalam konteks sosial. Artinya, peristiwa yang terjadi
antarmanusia. Contoh, Anda berkata kepada seorang teman, ”Wah, maaf,
kemarin saya lupa menelepon.” Peristiwa ini memenuhi syarat objek ilmu
komunikasi , yaitu bahwa yang dikaji adalah komunikasi antarmanusia,
bukan dengan yang lain selain makhluk manusia.
Telah diketahui ilmu komunikasi memiliki sejumlah ilmu praktika,
yaitu Hubungan Masyarakat, Periklanan, dan Jurnalistik. Misalnya, jika
ilmu komunikasi juga mempelajari penyampaian pesan kepada makhluk
selain manusia, bagaimanakah agar pesan kehumasan yang ditujukan
kepada bebatuan serta tumbuhan yang tercemar limbah perusahaan
sehingga memberi respon positif mereka? Dengan kata lain, penyampaian
pesan kepada makhluk selain manusia akan mencederai kriteria objek
keilmuannya.
Terdapat beraneka ragam definisi komunikasi, hingga pada tahun
1976 saja Dance dan Larson berhasil mengumpulkan 126 definisi
komunikasi yang berlainan. Mereka mengidentifikasi tiga dimensi
konseptual penting yang mendasari perbedaan dari ke-126 definisi
temuannya, yaitu:
1. Tingkat observasi atau derajat keabstrakannya
Yang bersifat umum, misalnya definisi yang menyatakan bahwa
komunikasi adalah proses yang menghubungkan satu bagian dengan
bagian lainnya dalam kehidupan. Yang bersifat terlalu khusus,
misalnya definisi yang menyatakan bahwa komunikasi adalah alat
untuk mengirimkan pesan militer, perintah, dan sebagainya melalui
telepon, telegraf, radio, kurir, dan sebagainya.
2. Tingkat kesengajaan
Yang mensyaratkan kesengajaan, misalnya definisi yang menyatakan
komunikasi adalah situasi-situasi yang memungkinkan suatu sumber
mentransmisikan suatu pesan kepada seorang penerima dengan
disadari untuk mempengaruhi perilaku penerima. Sementara definisi
yang mengabaikan kesengajaan, misalnya dari Gode yang menyatakan
komunikasi sebagai proses yang membuat sesuatu dari yang semula
dimiliki oleh seseorang atau monopoli seseorang menjadi dimiliki oleh
dua orang atau lebih.
3. Tingkat keberhasilan dan diterimanya pesan
Yang menekankan keberhasilan dan diterimanya pesan, misalnya
definisi yang menyatakan bahwa komunikasi adalah proses pertukaran
informasi untuk mendapatkan saling pengertian. Sedangkan yang tidak
menekankan keberhasilan, misalnya definisi yang menyatakan bahwa
komunikasi adalah proses transmisi informasi.
Dengan beragamnya definisi komunikasi, sementara definisi itu
diperlukan untuk menggambarkan objek ilmu komunikasi secara jelas dan
jernih, maka pada tahun 1990-an para teoritisi komunikasi berdebat dan
mempertanyakan apakah komunikasi harus disengaja? dan Apakah
komunikasi harus diterima (received)? Setelah beradu argumentasi, para
ahli sepakat untuk tidak sepakat dan menyatakan bahwa sekurang-
kurangnya terdapat tiga perspektif (sudut pandang) / paradigma yang
dapat diakomodir.
Paradigma adalah cara pandang seseorang terhadap diri dan
lingkungannya yang akan mempengaruhi dalam berpikir (kognitif),
bersikap (afektif), dan bertingkah laku (konatif). Karenanya, paradigma
sangat menentukan bagaimana seorang ahli memandang komunikasi yang
menjadi objek ilmunya. Berikut ini adalah uraian atas ketiga paradigma
sebagai hasil ”kesepakatan untuk tidak sepakat” dari para teoritisi
komunikasi:
1. Paradigma-1
Komunikasi harus terbatas pada pesan yang sengaja diarahkan
seseorang dan diterima oleh orang lainnya. Paradigma ini menyatakan
bahwa pesan harus disampaikan dengan sengaja, dan pesan itu harus
diterima. Artinya, untuk dapat terjadi komunikasi, syaratnya harus
terdapat komunikator pengirim, pesan itu sendiri, dan komunikan
penerima. Implikasinya, jika pesan tidak diterima, tidak ada
komunikan, karena tidak ada manusia yang menerima pesan. Jadi tidak
ada komunikasi dan proses komunikasi yang merupakan kajian
paradigma ini. Misalnya, ketika seorang teman melambai pada kita tapi
kita tidak melihat, ini bukan komunikasi yang menjadi kajiannya,
karena kita selaku komunikan tidak menerima pesan itu.
2. Paradigma-2
Komunikasi harus mencakup semua perilaku yang bermakna bagi
penerima, apakah disengaja atau tidak. Paradigma ini menyatakan
bahwa pesan tidak harus disampaikan dengan sengaja, tapi harus
diterima. Paradigma ini relatif mengenal istilah komunikan penerima.
Biasanya dalam penggambaran model, pada dua titik pelaku
komunikasi dinamai sebagai komunikator mengingat keduanya
mempunyai peluang untuk menyampaikan pesan, baik disengaja
maupun tidak, yang dimaknai oleh pihak lainnya. Atau, keduanya
disebut sebagai komunikan yang dimaknai sebagai semua manusia
pelaku komunikasi. Intinya, selama ada pemaknaan pesan pada salah
satu pihak, adalah komunikasi yang menjadi kajiannya. Maka ketika
kita dengan tidak sengaja melenggang di tepi jalan dan supir taksi
berhenti serta bertanya, ”Taksi, pak?” ini adalah komunikasi yang
menjadi kajiannya karena supir itu telah memaknai lenggangan kita
yang tidak sengaja sebagai panggilan terhadapnya, tanpa terlalu
mempersoalkan siapa pengirim dan penerima.
3. Paradigma-3
Komunikasi harus mencakup pesan-pesan yang disampaikan dengan
sengaja, namun derajat kesengajaan sulit untuk ditentukan. Paradigma
ini menyataan bahwa pesan harus disampaikan dengan sengaja, tapi
tidak mempersoalkan apakah pesan diterima atau tidak. Artinya, untuk
dapat terjadi komunikasi, syaratnya harus terdapat komunikator
pengirim, pesan, dan target komunikan penerima. Ketika seorang
teman melambaikan tangan tapi kita tidak melihat, ini merupakan
komunikasi yang menjadi kajiannya. Pertanyaannya adalah mengapa
pesan itu tidak kita terima? Gangguan apa yang sedang terjadi, apakah
pada salurannya? Atau pada alat penerima (mata kita)? Atau ada hal
lainnya?
Ketiga paradigma ini dapat digambarkan dalam tabel sebagai berikut:
Sengaja Diterima Syarat
Paradigma-1 V V Komunikator, pengirim pesan, dan
komunikan penerima.
Paradigma-2 X V Tidak mempersoalkan komunikator –
komunikasi selama ada pihak yang
menerima dan memaknai pesan.
Seluruh pelaku komunikasi disebut
komunikator atau bahkan
mendefinisikannya sebagai
komunikan, yaitu manusia pelaku
komunikasi.
Paradigma-3 V X komunikator pengirim, pesan, dan
target komunikan penerima
Tiga Paradigma Objek Kajian Ilmu Komunikasi