Post on 09-Apr-2019
Evaluasi/Audit KelembagaanEvaluasi/Audit KelembagaanEvaluasi/Audit KelembagaanPerpustakaan Nasional RIPerpustakaan Nasional RIPerpustakaan Nasional RI
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas Rahmat dan Nikmat
yang diberikan. Kami mengucapkan syukur Laporan Pendahuluan dalam pekerjaan
Penyusunan Evaluasi/Audit Kelembagaan Perpustakaan Nasional RI dapat kami
susun dan selesaikan.
Sebagaimana latarbelakan kegiatan ini, mengingat peran penting
perpustakaan bagi masyarakat sebagai institusi pengelola karya tulis, karya cetak,
dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi
kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi para
pemustaka. Sehingga perpustakaan dapat berfungsi sebagai wahana pendidikan,
penelitian, pelestarian, informasi dan rekreasi dalam rangka meningkatkan
kecerdasan dan keberdayaan bangsa. Dengan demikian, tujuan dari keberadaan
perpustakaan adalah untuk memberikan layanan kepada pemustaka, meningkatkan
kegemaran membaca, serta memperluas wawasan dan pengetahuan untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa dapat tercapai.
Perpusatakaan Nasional sebagai institusi yang memperoleh mandat dari
pemerintah untuk menyelenggarakan pengembangan, pembinaan, dan
pendayagunaan semua jenis perpustakaan di instansi atau lembaga pemerintah
maupun swasta dalam rangka pelestarian bahan pustaka sebagai suatu hasil budaya
serta pelayanan informasi ilmu pengetahuan, teknologi dan kebudayaan, harus
senantiasa mampu meng-update kapasitas maupun kapabilitas secara kelembagaan.
Berlatarbelakang hal tersebut, maka kajian ini dilaksanakan yang nanti akan
dijadikan landasan, meliputi: a). Mendapat gambaran arah kebijakan organisasi
Perpustakaan Nasional menuju organisasi yang tepat fungsi dan tepat ukuran; b).
Memberikan pengertian tentang tugas yang terkandung dalam suatu jabatan dan
persyaratan yang harus dipenuhi untuk jabatan tersebut sehingga memudahkan
pemegang jabatan untuk melaksanakan pekerjaannya; c). Sebagai dasar untuk
melaksanakan kegiatan-kegiatan manajemen SDM lainnya mulai dari perencanaan
sampai dengan pelaksanaan kegiatan pemeliharaannya; d). Memastikan seluruh
tugas dan fungsi di dalam organisasi terbagi habis dan tidak terjadi overlapping
maupun white-space tugas, kewenangan dan tanggung jawab.
Laporan Pendahuluan ini merupakan titik pijak untuk pelaksanaan kegiatan
selanjutnya, maka kami mengharapkan banyak masukan dan saran yang
membangun untuk penyempurnaan pada kajian ini sehingga mampu menghasilkan
kajian yang khpmprehensif. Atas nama PT.Sinergi Visi Utama kami mengucapkan
terimakasih atas kepercayaan yang diberikan Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia dalam pelaksanaan kajian ini.
Yogyakarta, September 2018
Prof. Dr. Achmad Nurmandi, M.Sc Direktur Utama
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................................. ii
DAFTAR TABEL .......................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .................................................................................................. I-1
1.2. Referensi Hukum .............................................................................................. I-6
1.3. Tujuan ............................................................................................................... I-7
1.4. Sasaran .............................................................................................................. I-7
1.5. Ruang Lingkup .................................................................................................. I-7
1.6. Lokasi Penelitian ............................................................................................... I-8
1.7. Jadwal Pelaksanaan Pekerjaan ........................................................................... I-8
BAB II KAJIAN LITERATUR
2.1. Konsep Tata Kelola Pemerintahan .................................................................... II-1
2.1.1 Reinventing Government ............................................................................... II-1
2.1.2 Effective Governance ..................................................................................... II-3
2.2 Manajemen Birokrasi Pemerintahan .................................................................. II-5
2.2.1 Reformasi Birokrasi ................................................................................... II-5
2.2.2 Tata Kelola Pemerintahan ......................................................................... II-7
2.2.3 Arah Reformasi Birokrasi Pemerintahan ................................................... II-9
2.3 Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) .............................................. II-10
2.4 Model Tata Kelola Perpustakaan ....................................................................... II-15
2.4.1 Hakikat, Fungsi, dan Prinsip-prinsip Tata Kelola Perpustakaan ................ II-15
2.4.2 Tata Kelola Perpustakaan Berbasis IT ....................................................... II-25
2.4.3 Model Pengembangan Organisasi Perpustakaan ....................................... II-26
2.4.4 Persinggungan Fungsi Perpustakaan Nasional
dengan Kementerian/Lembaga Lain ......................................................... II-26
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Metode Penelitian .............................................................................................. III-1
3.2. Unit Analisis ..................................................................................................... III-5
3.3. Jenis Data ......................................................................................................... III-5
3.4. Teknik Pengumpulan Data ............................................................................... III-6
3.5. Teknik Analisis Data ........................................................................................ III-7
iii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1. Jadwal Pelaksanaan Pekerjaan.................................................................... I-8
Tabel 2.1. Persinggungan Fungsi Perpustakaan Nasional dengan
Kementerian/Lembaga Lain ...................................................................... II-28
Tabel 2.3. Langkah Kerja Evaluasi/Audit Organisasi ................................................. III-4
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1. Soft System Methodology .......................................................................... III-2
Evaluasi/Audit Kelembagaan Perpustakaan Nasional RI Tinggi
I-1
1.1. Latar Belakang
Sebagaimana tujuan Republik ini didirikan, salah satunya adalah untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini berarti bahwa seluruh elemen masyarakat
berhak dan wajib untuk memperoleh pendidikan yang layak. Pada kenyataannya,
keterbatasan sumberdaya yang dimiliki oleh pemerintah saat ini, menyebabkan belum
semua masyarakat indonesia mampu memperoleh dan mengakses jenjang pendidikan
yang layak. Berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dikeluarkan
United Nations Development Programme (UNDP) pada 2016, Indonesia meraih
angka sebesar 0.689. Nilai tersebut menempatkan Indonesia dalam kategori
pembangunan manusia menengah, berada di peringkat 113 dari 188 negara.
Kondisi itu tentunya menghambat upaya Indonesia untuk bersaing di kancah
global. Padahal, konstitusi telah menjamin hak setiap warga negara untuk mendapat
pendidikan sebagaimana termaktub pada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal
28C. ”Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya
dan demi kesejahteraan umat manusia.”
Dalam konteks ini, peran penting perpustakaan bagi masyarakat sebagai
institusi pengelola karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam secara profesional
PENDAHULUAN
BAB SATU
Evaluasi/Audit Kelembagaan Perpustakaan Nasional RI Tinggi
I-2
dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian,
pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka. Sehingga perpustakaan dapat
berfungsi sebagai wahana pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi dan rekreasi
dalam rangka meningkatkan kecerdasan dan keberdayaan bangsa. Dengan demikian,
tujuan dari keberadaan perpustakaan adalah untuk memberikan layanan kepada
pemustaka, meningkatkan kegemaran membaca, serta memperluas wawasan dan
pengetahuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dapat tercapai.
Perpusatakaan Nasional sebagai institusi yang memperoleh mandat dari
pemerintah untuk menyelenggarakan pengembangan, pembinaan, dan
pendayagunaan semua jenis perpustakaan di instansi atau lembaga pemerintah
maupun swasta dalam rangka pelestarian bahan pustakasebagai suatu hasil budaya
serta pelayanan informasi ilmu pengetahuan, teknologi dan kebudayaan, harus
senantiasa mampu meng-update kapasitas maupun kapabilitas secara kelembagaan.
Di negara manapun, Perpustakaan Nasional diposisikan sebagai bagian dari
lembaga publik dimana perpustakaan berperan menyediakan sumber data dan
informasi bagi masyarakat sehingga masyarakat dapat memahami dan mengerti
tentang data dan informasi yang berkembang. Dalam konteks ini, perpustakaan
sebagai sarana publik untuk mendapatkan dan mengembangkan pengetahuan serta
meningkatkan keterampilan (Mostert & Mugwisi, 2018). Selain itu, perpustakaan juga
sebagai pusat pengembangan ilmu dan pusat kajian untuk menyelesaikan
permasalahan sosial yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat (Barokati, Wajdi
& Barid, 2017). Karena itu, eksistensi perpusatakaan sangat strategis dalam
mewujudkan masyarakat cerdas (smart people) dan membangun peradaban negara
(civilization government).
Mengingat pentingnya keberdaan perpusatakaan maka negara-negara maju
mencurahkan perhatiannya untuk mendesain tata kelola perpustakaan yang
mendukung dan memperkuat peradaban negara, termasuk di dalamnya membentuk
mental dan wawasan pengetahuan warga negara. Anunobi & Okoye (2008) secara
khusus meneliti tentang peran negara-negara maju dalam mendesain tata kelola
perpustakaan. Dalam hasil penelitian mereka, Anunobi & Okoye (2008)
mengungkapkan bahwa pemerintah di negara-negara maju memandang perpustakaan
harus mampu memberikan pelayanan secara maksimal bagi warga negara. Anunobi
dan Okoye (2008) menguraikan salah satu strategi pemerintah di negara-negara maju
Evaluasi/Audit Kelembagaan Perpustakaan Nasional RI Tinggi
I-3
dalam mewujudkan pelayanan perpustakaan yang efektif dan efisien adalah
melakukan pengembangan organisasi perpustakaan yang mendukung penerapan
teknologi informasi dalam tata kelola perpustakaan.
Mostert dan Mugwisi (2018) dalam hasil penelitian mereka tentang
perpustakaan nasional di Nigeria mengungkapkan bahwa pemerintah Nigeria
menempatkan perpustakaan nasional sebagai lembaga nasional yang memiliki
tanggungjawab untuk menyediakan informasi dan data yang lengkap dan mudah
diakses oleh masyarakat luas. Kementerian Pendidikan di Nigeria mendorong
lembaga perpustakaan, pemerintah federal, dan pemerintah daerah bersama-sama
membangun sistem perpustakaan yang terintegrasi sehingga akses informasi dan data
dapat dilakukan melalui satu sistem. Sistem perpustakaan nasional di Nigeria
terintegrasi dengan perpustakaan di negara-negara bagian Nigeria sehingga warga
negara dapat mengakses data dan informasi di semua perpustakaan melalui satu
sistem.
Menurut para ahli manajemen perpustakaan, kinerja lembaga perpusatakaan
publik (public library performacet) harus didukung oleh peraturan hukum, kebijakan,
sarana, anggaran, dan sumber daya manusia yang memiliki keahlian di bidang tata
kelola perpustakaan (library governance) (Kuh & Gonyea,2003; Harrison, 2018). Dalam
hal ini, pemerintah menyiapkan peraturan hukum yang memberi ruang otonomi bagi
pengelolaan perpustakaan sehingga perpustakaan dapat menyiapkan informasi dan
data yang relevan. Selain itu, pemerintah membuat kebijakan pengembangan
perpustakaan yang mendukung penerapan teknolofi informasi dalam manajemen
perpustakaan. Aspek lain yang lebih penting adalah pemerintah harus mengalokasikan
anggaran yang cukup untuk pengembangan perpustakaan, termasuk di dalamnya
penguatan kapasitas sumber daya manusia yang terampil dalam tata kelola
perpustakaan (Mostert & Mugwisi, 2018).
Mengacu pada kajian di atas, kinerja organisasi perpustakaan tidak lepas dari
bentuk peraturan perundang-undangan, penataan kebijakan, alokasi anggaran negara,
sarana, dan kapasitas sumber daya manusia yang memadai. Dalam konteks ini,
pengembangan Perpustakaan sebagai bagian dari organisasi publik perlu dilakukan
melalui kajian mendalam yang didasarkan pada perspektif governance dan reformasi
birokrasi yang mendukung terwujudnya organisasi Perpustataan Nasional yang efektif
dan efesien dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat luas. Wong, G. K. W.,
& Chan, D. L. (2018) mengungkapkan bahwa good governance library adalah tata kelola
Evaluasi/Audit Kelembagaan Perpustakaan Nasional RI Tinggi
I-4
perpustakaan dijalankan berdasarkan pada paradigma reinventing government, effective
governance, dan development organization. Pada umumnya, reinventing government
merupakan konsep yang menggambarkan penyelenggaraan pelayanan publik yang
efektif dan efesien (Field, N., & Tran, R., 2018). Sedangkan effective governance adalah
sebuah konsep tata kelola pemerintahan yang menekankan pada penguatan organisasi
yang mendukung penyelenggaraan pelayanan publik (Aasi, P., Rusu, L., Leidner, D.,
Perjons, E., & Estrada, M. C., 2018). Kemudian, Development Organization (OD) adalah
konsep yang menjelaskan tata kelola organisasi yang mendukung terwujudnya tujuan
dan target organisasi secara efektif dan efesien (Cummings, T. G., & Worley, C. G.,
2014).
Wong, G. K. W., & Chan, D. L. (2018) menjelaskan bahwa pemerintah harus
mengedepankan model kepemimpinan adaptif (adaptive leadership) guna memperkuat
lembaga perpustakaan sebagai pusat belajar masyarakat. Dalam hal ini,
kepemimpinan adaptif menggambarkan peran pemerintah dalam merubah proses
pelayanan perpustakaan yang lebih efektif dan efesien untuk membangun budaya dan
lembaga perpustakaan yang adaptif dengan tuntutan dan perkembangan teknologi
informasi. Di lain pihak, Field, N., & Tran, R. (2018) juga menekankan bahwa tata
kelola perpustakaan harus berdampak pada tercapianya public value yakni peningkatan
ekonomi masyarakat dan keadilan sosial bagi semua warga negara di dalamnya. Bagai
Field, N., & Tran, R. (2018), eksistensi perpustakaan tidak hanya sebagai sarana yang
menyediakan informasi dan data bagi warga negara namun juga sebagai lembaga yang
mendukung terwujudnya kesejahteraan dan keadilan bagi warga negara.
Sejauh ini, pemerintah Indonesia berupaya mewujudkan tata kelola
Perpustakaan Nasional sebagai pusat informasi dan data yang mendukung
pengembangan ilmu pengetahuan, terwujudnya masyarakat yang cerdas (smart people)
dan sadar literasi (literacy awareness) serta mendukung terwujudnya hak asasi warga
negara terhadap pelayanan pendidikan (Barokati, Wajdi & Barid, 2017). Pemerintah
Indonesia memiliki undang-undang nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan di
mana melalui Undang-undang ini tata kelola perpustakaan dijalankan untuk
mendukung terselenggaranya pendidikan di Indonesia secara adil, efektif, dan efesien.
Pasal 3 undang-undang tersebut menegaskan bahwa Perpustakaan berfungsi sebagai
wahana pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi untuk
meningkatkan kecerdasan dan keberdayaan bangsa. Secara eksplisit Undang-undang
nomor 43 tahun 2007 hadir untuk menjamin keadilan sosial bagi semua warga negara
Evaluasi/Audit Kelembagaan Perpustakaan Nasional RI Tinggi
I-5
Indonesia. Pasal 5 ayat 2 menegaskan bahwa “masyarakat di daerah terpencil,
terisolasi, atau terbelakang sebagai akibat faktor geografis berhak memperoleh layanan
perpustakaan secara khusus.”
Pada dasarnya, pemerintah pusat dan pemerintah daerah memiliki tugas yang
sama dalam manajemen perpustakaan di mana hal ini ditegaskan dalam undang-
undang perpustakaan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah memiliki
kewajiban membuat peraturan tentang pengembangan perpustakaan. Namun dalam
konteks ini, pemerintah pusat memiliki kewenangan menetapkan kebijakan nasional
tentang perpustakaan untuk ditaati oleh semua perpustakaan di wilayah Indonesia.
Pasal 9 Undang-undang perpustakaan menegaskan bahwa pemerintah pusat
menetapkan kebijakan nasional dalam pembinaan dan pengembangan semua jenis
perpustakaan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu,
Perpustakaan Nasional memiliki kewenangan menetapkan standard Perpustakaan
Daerah, Perguruan Tinggi, dan Sekolah. Oleh karena itu, tanggungjawab
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dalam mengendalikan dan menata
organisasi perpustkaan sangat besar.
Mengingat besarnya kewenangan dan tanggungjawab Perpustakaan Nasional.
Penguatan kinerja Perpustakaan Nasional perlu dilakukan melalui reformasi birokrasi,
penataan struktur, kebijakan, dan sumber daya manusia perpustakaan nasional.
Secara khusus, pengembangan organisasi perpustakan nasional baik pada aspek
kewenangan maupun aspek kelembagaan dapat mengacu pada undang-undang nomor
23 tahun 2014 tentang pembagian urusan pemerintah pusat dan daerah di mana
undang-undang ini menegaskan batas kewenangan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Dalam urusan perpustakaan, kewenangan pemerintah pusat
adalah menetapkan kebijakan Perpustakaan Nasional dan membina perpustakaan
daerah melalui penetapan standarisasi perpustakaan. Sedangkan kewenangan
pemerintah daerah adalah membuat kebijakan perpustakaan daerah dengan
memperhatikan kebijakan dan standar perpustakaan yang ditetapkan pemerintah
pusat melalui perpustakaan nasional.
Pada aspek kelembagaan, pengembangan organisasi perpustakaan nasional
mengacu pada Peraturan Kepala Perpustakaan Nasional Nomor 1 tahun 2012 tentang
Perubahan atas Peraturan Kepala Perpustakaan Nasional Nomor 3 tahun 2001
tentang Organisasi dan Tata Kerja Perpustakaan Nasional dimana peraturan tersebut
menjelaskan struktur dan tata kerja organisasi Perpustakaan Nasional. Kendati
Evaluasi/Audit Kelembagaan Perpustakaan Nasional RI Tinggi
I-6
peraturan kepala perpustkaan tersebut sudah jelas mengatur struktur dan tata kerja,
namun dalam perspektif OD (Organization Development) pengembangan aspek
kelembagaan organisasi perpustakaan harus terus dilakukan dengan memperhatikan
kebutuhan masyarakat, perkembangan teknologi informasi, dan perkembangan ilmu
pengetahuan sehingga tujuan besar perpustakaan nasional sebagaimana ditegaskan
dalam undang-undang nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan dapat dicapai
dengan baik.
Kajian ini dilakukan untuk memperkuat kapasitas Perpustakaan Nasional
sebagai organisasi yang berperan memberikan layanan kepada masyarakat luas,
meningkatkan kegemaran membaca, serta memperluas wawasan dan pengetahuan
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Melalui hasil kajian ini, Perpustakaan
Nasional dapat merumuskan arah kebijakan perpustakaan yang mendukung
terselenggaranya pelayanan yang efektif dan efesien (Re-inventing Government),
memperkuat struktur dan tata kerja Perpusnas yang efektif (Effective Governance), dan
memperkuat relasi antar perpustakaan melalui pengembangan organisasi dan
kewenangan (Development Organization).
1.2. Referensi Hukum
Dalam proses kajian Evaluasi/Audit Kelembagaan Perpustakaan Nasional
RI ada beberapa referensi hukum yang menjadi landasan dalam proses
pelaksanaannya, meliputi:
1. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan;
2. Undang-Undang Nomor4 Tahun 1990 tentang Serah-Simpan Karya Cetak
dan Karya Rekam;
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara;
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pembagian Urusan
Pemerintah Pusat Daerah;
5. Keputusan Presiden Nomor 67 Tahun 2000 tentang Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan;
7. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah;
8. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai
Evaluasi/Audit Kelembagaan Perpustakaan Nasional RI Tinggi
I-7
Negeri Sipil;
9. Peraturan Kepala Perpustakaan Nasional Nomor 3 Tahun 2001 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Perpustakaan Nasional;
10. Peraturan Kepala Perpustakaan Nasional Nomor 1 Tahun 2012 tentang
Perubahan atas Peraturan Kepala Perpustakaan Nasional Nomor 3 Tahun
2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Perpustakaan Nasional.
1.3. Tujuan
Berdasarkan penjelasan pada bagian latar belakang di atas, tujuan umum
kajian ini adalah untuk mengetahui kapasitas Perpustakaan Nasional secara
menyeluruh sehingga Perpustakaan Nasional dapat:
1. Memahami gambaran arah kebijakan organisasi Perpustakaan Nasional
menuju organisasi yang tepat fungsi dan tepat ukuran;
2. Pengertian tentang tugas yang terkandung dalam suatu jabatan dan
persyaratan yang harus dipenuhi untuk jabatan tersebut sehingga
memudahkan pemegang jabatan untuk melaksanakan pekerjaannya;
3. Melaksanakan kegiatan-kegiatan manajemen SDM mulai dari perencanaan
sampai dengan pelaksanaan kegiatan pemeliharaannya;
4. Memahami seluruh tugas dan fungsi di dalam organisasi terbagi habis dan
tidak terjadi overlapping maupun white-space tugas, kewenangan dan tanggung
jawab.
1.4. Sasaran
Sasaran kegiatan ini adalah terwujudnya organisasi Perpustakaan Nasional
yang proporsional dan tepat fungsi serta tepat ukuran (right size) melalui implementasi
instrumen dan pedoman penataan organisasi yang telah disusun secara efektif.
1.5. Ruang Lingkup
Ruang lingkup kegiatan ini mencakup hal utama:
a. Pembahasan proposal penataan (struktur) organisasi Perpustakaan Nasional
yang disampaikan oleh konsultan;
b. Pelaksanaan penyusunan perubahan tugas dan fungsi struktur organisasi
Perpustakaan Nasional oleh konsultan (pengumpulan bahan, desk research,
Evaluasi/Audit Kelembagaan Perpustakaan Nasional RI Tinggi
I-8
penelitian lapangan, analisa dan pelaporan);
c. Focuss Group Discussion;
d. Pembahasan hasil dan rekomendasi akhir melalui uji publik perubahan tugas
dan fungsi struktur organisasi Perpustakaan Nasional.
1.6. Lokasi Penelitian
a. Lokasi Penelitian dilaksanakan di Jakarta, Bukit Tinggi dan Blitar;
b. Lokasi Focus Group Discussion dilaksanakan di Jakarta dan sekitarnya;
c. Lokasi uji publik dilaksanakan di Jakarta dan sekitarnya.
1.7. Jadwal pelaksanaan pekerjaan
Secara keseluruhan waktu yang diperlukan dalam melaksanakan kegiatan
Evaluasi/Audit Kelembagaan Perpustakaan Nasional RI Tahun 2018 selama 120 hari
kalender/4 (empat) bulan. Jadwal pelaksanaan pekerjaan (Work Plan) yang akan
dilaksanakan pada kegiatan ini selengkapnya disajikan pada Tabel 1.1. Berikut:
Tabel. 1.1.
Jadwal Pelaksanaan Pekerjaan
No Uraian Pekerjaan Bulan 1 Bulan 2 Bulan 3 Bulan 4
Ket 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
I TAHAP PERSIAPAN
- Koordinasi dan Pemahaman KAK
- Mobilisasi Personil
- Penyiapan Metodologi Untuk Survey dan Analisis
II TAHAP PENYUSUNAN
LAPORAN PENDAHULUAN
- Penyusunan Laporan Pendahuluan
- Penyerahan Laporan Pendahuluan
- Presentasi Laporan Pendahuluan
III TAHAP PENGUMPULAN DATA
DAN INFORMASI
- Pengumpulan Data Sekunder
- Pengumpulan Data Primer
IV TAHAP PENGOLAHAN DAN
ANALISA DATA
- Pengolahan Data
- Analisa Data
VI TAHAP PENYUSUNAN
DRAF LAPORAN AKHIR
- Penyusunan Draf Laporan Akhir
- Penyerahan Draf Laporan Akhir
Evaluasi/Audit Kelembagaan Perpustakaan Nasional RI Tinggi
I-9
No Uraian Pekerjaan Bulan 1 Bulan 2 Bulan 3 Bulan 4
Ket 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
- Presentasi Draf Laporan Akhir
VII TAHAP PENYUSUNAN
LAPORAN AKHIR
- Penyempurnaan Laporan
- Penyerahan Laporan Akhir
Evaluasi/Audit KelembagaanPerpustakaan Nasional RI
II-1
2.1 Konsep Tata Kelola Pemerintahan
2.1.1 Reinventing Government
Konsep reinventing government yang digagas oleh David Osborne dan Ted
Gaebler merupakan gagasan untuk mengoptimalkan kinerja organisasi
pemerintahan dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik. Menurut
Heryanto (2014), teori reinventing government yang tergolong pada the new public
management merupakan demistifikasi atas the old public management. Gagasan
ini muncul sebagai respon atas buruknya pelayanan publik yang terjadi di
pemerintahan Amerika sehingga timbul krisis kepercayaan terhadap
pemerintah.
Oesman (2010) menyebutkan bahwareinveting government yaitu praktik
manajemen publik yang didukung oleh birokrasi dengan semangat
kewirausahaan. David Osborne dan Ted Gaebler (1992) menyebutkan
terdapat 10 prinsip konsep reinventing government. Pertama, pemerintahan
katalis yaitu mengarahkan ketimbang mengayuh. Artinya, jika pemerintahan
diibaratkan sebagai perahu, maka pemerintah dituntut berkonsentrasi pada
pembuatan kebijakan-kebijakan strategis daripada kegiatan-kegiatan yang
bersifat administratif atau pelayanan. Kedua pemerintahan milik rakyat yaitu
LITERATURE REVIEW
BAB DUA
Evaluasi/Audit KelembagaanPerpustakaan Nasional RI
II-2
memberi wewenang ketimbang melayani. Artinya, birokrasi pemerintahan
dituntut berkonsentrasi pada pemberdayaan kelompok-kelompok masyarakat
dalam rangka menciptakan iklim partisipatif rakyat untuk ikut mengontrol
jalannya pemerintahan.
Ketiga, pemerintahan yang kompetitif yaitu menyuntikkan persaingan ke
dalam pemberian pelayanan. Artinya, seluruh pelayanan tidak hanya
menyebabkan risorsis pemerintah menjadi habis terkurassehingga pemerintah
perlumendorong terciptanya kompetisi di antara masyarakat, private sector, dan
organisasi non pemerintah yang lain dalam pelayanan publik. Keempat,
pemerintahan yang digerakkan oleh misi yaitu mengubah organisasi yang
digerakkan oleh peraturan. Artinya, penyelenggaraan pemerintahan
didasarkan pada misi yang hendak dicapai dan tidak tersandera oleh
peraturan-peraturan yang menghambat misi tersebut agar lebih efektif dan
efisien.Kelima, pemerintahan yang berorientasi hasil yaitu membiayai hasil,
bukan masukan. Artinya, anggaran pemerintah lebih difokuskan untuk
meningkatkan kinerja sehingga tercipta sikap obsesif untuk meningkatkan
prestasi. Sistem penggajian dan penghargaan, misalnya, seharusnya
didasarkan atas kualitas hasil kerja bukan pada masa kerja, besar anggaran dan
tingkat otoritas
Keenam, pemerintahan berorientasi pelanggan yaitu memenuhi
kebutuhan pelanggan, bukan boirokrasi. Artinya, pemerintah dituntut
memposisikan rakyat sebagai pelanggan yang harus dipenuhi kebutuhannya.
Ketujuh, pemerintahan wirausaha yaitu menghasilkan ketimbang
membelanjakan. Artinya, pemerintah wirausaha harus berinovasi bagaimana
menjalankan program publik dengan dengan sumber daya keuangan yang
sedikit tersebut.Kedelapan, pemerintahan antisipatif yaitu mencegah daripada
mengobati. Artinya, pemerintah seharusnya memusatkan anggaran
pemerintah untuk mencegah hal-hal buruk yang kemungkinan terjadi di masa
mendatang. Misalnya, daripada mengeluarkan anggaran untuk mengatasi
kerusakan fasilitas publik akibat bajur, pemerintah seharusnya lebih banyak
mengalokasikan anggaran untuk perbaikan saluran air dan sebagainya.
Kesembilan, pemerintahan desentralisasi yaitu dari hierarki menuju
partisipasi dan tim kerja. Artinya, beban kerja pemerintah harus dibagi sesuai
Evaluasi/Audit KelembagaanPerpustakaan Nasional RI
II-3
spesifikasi kebutuhan organisasi dan tidak menunggu instruksi dari organisasi
di atasnya. Kesepuluh, pemerintahan berorientasi pasar yaitu mendongkrak
perubahan melalui pasar. Artinya, daripada beroperasi sebagai pemasok masal
barang atau jasa tertentu, pemerintahan atau organisasi publik lebih baik
berfungsi sebagai fasilitator dan pialang dan menyemai pemodal pada pasar
yang telah ada atau yang baru tumbuh.
Di satu sisi, konsep pemerintahan entrepreneur(reinventing government)
yang dicetuskan Osborn dan Gaebler yang mencoba menemukan nilai-nilai
baru (re-inventing) di bidang pemerintahan masih dianggap memiliki banyak
kelemahan. Painter (dalam Usman, 2011)mengkritisi bahwa bahwa ia terlalu
bias pada “new administrative values” yang lebih banyak menitik beratkan pada
orientasi goal governance dengan meminggirkan nilai-nilai administrasi klasik
yang sebenarnya masih potensial yang berbasis pada rule governance. Di sisi
lainnya, Keban (2000) justru menganggap bahwa konsep reinventing
governmentmerupakan alternatif dalam tata kelola organisasi pemerintahan dan
berpandangan bahwa di masa mendatang, orientasi penilaian kinerja
pemerintahan hendaknya mengikuti paradigma “reinventing government” atau
“post-bureaucratic”, yang mengutamakan pengukuran kinerja pada hasil akhir
atau tujuan serta visi organisasi, dan bukan pada kemampuan mendanai input
dan menjalankan proses.
Secara garis besar, konsep reinventing goverment memiliki orientasi
fokus pada pergeseran operasi pemerintahan dari yang sebelumnya
berorientasi ke dalam (inward looking) ke pemerintahan yang berorientasi
keluar (outward looking) yang memperhatikan kebutuhan stakeholders atau
pemangku kepentingan, khususnya pengguna jasa. Selain itu, partisipasi
masyarakat dalam mengontrol penyelenggaraan pemerintahan merupakan
saluran penting untuk memastikan pemerintahan berjalan secara efektif.
2.1.2 Effective Governance
Effective governance merupakan salah satu prinsip tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance). UNDP (dalam Fernanda, 2006)
mengemukakan bahwa kepemerintahan yang baik sebagai prasyarat bagi
keberhasilan pembangunan manusia yang berkelanjutan harus memiliki
sembilan unsur. Pertama, Partisipasi masyarakat dan hak suara yang sama
Evaluasi/Audit KelembagaanPerpustakaan Nasional RI
II-4
dalam berbagai tahapan proses pembangunan. Kedua, Supremasi Hukum (Rule
of Law). Ketiga, Transparansi kelembagaan dan aparatur Negara. Keempat,
Aparatur negara yang responsive. Kelima, Administrasi Negara yang
berorientasi Konsensus. Keenam, Keadilan dan kesetaraan kesempatan bagi
seluruh lapisan masyarakat. Ketujuh, efektivitas dan efisiensi kelembagaan
(institutional effectiveness and efficiency). Kedelapan, Akuntabilitas publik
kelembagaan dan individu pejabat publik, dunia usaha, maupun masyarakat
madani (civil society). Kesembilan, para pemimpin pemerintahan dan
masyarakat memiliki visi strategis mengenai kepemerintahan yang baik dan
pembangunan manusia yang berkelanjutan.
Berdasarkan kesembilan unsur tersebut, efektivitas dan efisiensi
kelembagaan (institutional effectiveness and efficiency) merupakan unsur penting
tata kelola pemerintahan yang baik. Istilah Effective Governancedapat diartikan
sebagai tatakelola lembaga atau organisasi pemerintahan secara efektif. Collin
(dalam Hanafie, 2016)mengemukakan sembilan langkah menuju Effective
governance. Pertama, memiliki pejabat atau pegawai yang benar. Kedua,
menetapkan dan menyetujui aturan main (adanya regulasi). Ketiga,
Mendukung pimpinan. Keempat, menyiapkan kepemimpinan yang strategis.
Kelima, membuat setiap pertemuan organisasi menjadi penting. Keenam,
konsisten dalam menegakkan aturan. Ketujuh, memiliki rencana kerja.
Kedelapan, mengadakan review (evaluasi) kinerja secara regular. Kesembilan,
menetapkan tujuan secara umum.
Secara praktis, kesembilan langkah tersebut merupakan tuntutan yang
harus dilaksanakan oleh pemerintah agar operasionalisasi organisasi
pemerintahan dapat berjalan secara efektif. Sebagaimana prinsip good
governance, effective governance mendorong penyelenggaraan pemerintahan
berjalan secara solid, efektif, dan efisien dengan melibatkan tiga aktor penting
yaitu negara, masyarakat, dan sektor swasta. Selain itu, sebagai bagian dari
prinsip good governance, partisipasi aktor-aktor nagara demi terwujudnya
effective governance secara teoritis menjadi pendukung konsep reinventing
governemnt yang pada dasarnya mendorong partisipasi aktif rakyat untuk ikut
mengawasi dan mengontrol penyelenggaraan pemerintahan agar berjalan
secara efektif dan efisien.
Evaluasi/Audit KelembagaanPerpustakaan Nasional RI
II-5
2.2 Manajemen Birokrasi Pemerintahan
2.2.1 Reformasi Birokrasi
Reformasi birokrasi merupakan salah satu tuntutan gerakan reformasi
yang digulirkan pada tahun 1998 untuk menata kembali kedudukan, sistem,
dan fungsi birokrasi di Indonesia. Kata reformasi berasal dari istilah latin yaitu
formare yang artinya membentuk berasal dari kata forma yang artinya
membentuk. Sesuai dengan kata asalnya maka istilah reformasi mempunyai
beberapa pengertian (Akhmaddhian, 2012). Pertama, suatu perubahan kearah
yang lebih baik atau suatu peningkatan. Kedua, koreksi dari kesalahan,
penyimpangan, atau pelanggaran. Ketiga, suatu tindakan untuk revolusioner.
Berdasarkan ketiga pengertian tersebut, reformasi birokrasi merupakan
evaluasi dan penataan kembali kedudukan, sistem, dan fungsi birokrasi untuk
meningkatkan kinerja birokrasi. Selain itu, Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dalam website resminya
(https://www.menpan.go.id) menjelaskan bahwa reformasi birokrasi pada
hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan
mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama
menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business
prosess) dan sumber daya manusia aparatur. Reformasi disini merupakan
proses pembaharuan yang dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan,
sehingga tidak termasuk upaya dan/atau tindakan yang bersifat radikal dan
revolusioner.Tome (2012) mengemukakan bahwa Reformasi birokrasi
merupakan sebuah upaya yang harus diwujudkan dalam kerja nyata
pemerintahan guna melahirkan sistem pemerintahan yang kuat dalam
membangun kehidupan berbangsa dan bernegara.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand
Design Reformasi Birokrasi 2010 – 2025 menyebutkan beberapa prinsip
pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia. Pertama, Outcomes oriented yaitu
seluruh program dan kegiatan yang dilaksanakan dalam kaitan dengan
reformasi birokrasi harus dapat mencapai hasil (outcomes) yang mengarah pada
peningkatan kualitas kelembagaan, tatalaksana, peraturan perundang-
undangan, manajemen SDM aparatur, pengawasan, akuntabilitas, kualitas
pelayanan publik, perubahan pola pikir (mind set) dan budaya kerja (culture
Evaluasi/Audit KelembagaanPerpustakaan Nasional RI
II-6
set)aparatur. Kondisi ini diharapkan akan meningkatkan kepercayaan
masyarakat dan membawa pemerintahan Indonesia menuju pada
pemerintahan kelas dunia.
Kedua, terukur yaitu Pelaksanaan reformasi birokrasi yang dirancang
dengan outcomes oriented harus dilakukan secara terukur dan jelas target serta
waktu pencapaiannya.Ketiga,efisien yaitu Pelaksanaan reformasi birokrasi
yang dirancang dengan outcomes oriented harus memperhatikan pemanfaatan
sumber daya yang ada secara efisien dan profesional. Keempat, Efektif yaitu
Reformasi birokrasi harus dilaksanakan secara efektif sesuai dengan target
pencapaian sasaran reformasi birokrasi. Kelima, Realistik Outputs dan
outcomes dari pelaksanaan kegiatan dan program ditentukan secara realistik
dan dapat dicapai secara optimal.
Keenam, konsisten yaitu Reformasi birokrasi harus dilaksanakan secara
konsisten dari waktu ke waktu, dan mencakup seluruh tingkatan
pemerintahan, termasuk individu pegawai. Ketujuh, Sinergi Pelaksanaan
program dan kegiatan dilakukan secara sinergi yaitu tatu tahapan kegiatan
harus memberikan dampak positif bagi tahapan kegiatan lainnya, satu
program harus memberikan dampak positif bagi program lainnya. Kegiatan
yang dilakukan satu instansi pemerintah harus memperhatikan keterkaitan
dengan kegiatan yang dilakukan oleh instansi pemerintah lainnya, dan harus
menghindari adanya tumpang tindih antarkegiatan di setiap instansi.
Kedelapan, Inovatif yaitu Reformasi birokrasi memberikan ruang gerak
yang luas bagi K/L dan Pemda untuk melakukan inovasi-inovasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan, pertukaran pengetahuan, dan best practices
untuk menghasilkan kinerja yang lebih baik. Kesembilan, Kepatuhan Reformasi
birokrasi harus dilakukan sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Kesepuluh, Dimonitor yaitu Pelaksanaan reformasi birokrasi harus dimonitor
secara melembaga untuk memastikan semua tahapan dilalui dengan baik,
target dicapai sesuai dengan rencana, dan penyimpangan segera dapat
diketahui dan dapat dilakukan perbaikan.
Berdasarakan kesepuluh prinsip tersebut, Susanto, E. H. (2017)
mengemukakan bahwa untuk mendukung keberhasilan reformasi birokrasi,
diperlukan kepemimpinan birokrasi yang mampu menangani program
Evaluasi/Audit KelembagaanPerpustakaan Nasional RI
II-7
pemerintah lebih baik.Ashari (2010) mengemukakan bahwa terselenggaranya
reformasi birokrasi mengandung maksud agar birokrasi pemerintah dapat
berlangsung dengan baik sesuai kebaikan prinsip-prinsip manajemen modern
yang semakin baik dalam pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat
yang memang merupakan tugas utama public servant. Hal ini sesuai dengan
tujuan Reformasi birokrasi yaitu untuk menciptakan birokrasi pemerintah
yang profesional dengan karakteristik adaptif, berintegritas, berkinerja tinggi,
bersih dan bebas KKN, mampu melayani publik, netral, sejahtera, berdedikasi,
dan memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur negara.
2.2.2 Tata Kelola Pemerintahan
Dalam literatur ilmu pemerintahan atau ilmu politik terdapat istilah tata
kelola pemerintahan yang baik sering pula disebut atau dipadankan dengan
istilah good governance. Sumodiningrat (1999) menyatakan good governance
adalah upaya pemerintahan yang amanah dan untuk menciptakan good
governance pemerintahan perlu didesentralisasi dan sejalan dengan kaidah
penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan
nepotisme.
Pada dasarnya konsep Good Governance memberikan rekomendasi pada
sistem pemerintahan yang demokratis yang menekankan kesetaraan antara
lembagalembaga negara baik ditingkat pusat maupun daerah, sektor swasta,
dan masyarakat. Good Governance atau tata kelola pemerintahan yang baik
berdasarkan pada pandangan ini suatu kesepakatan menyangkut pengaturan
negara yang diciptakan bersama oleh pemerintah, masyarakat dan sektor
swasta.
Menurut Kartiwa (2006),governance secara analogi dalam konteks
organisasi secara umum, baik berupa organisasi perusahaan maupun
organisasi publik atau sosial lainnya, maka dapat diartikan pula sebagai suatu
sistem dan struktur yang baik dan benar yang menciptakan kejelasan
mekanisme hubungan organisasi baik secara internal maupun eksternal. Good
governance terwujud dalam implementasi dan penegakan (enforcement) dari
sistem dan struktur yang telah tersusun dengan baik. Implementasi dan
Evaluasi/Audit KelembagaanPerpustakaan Nasional RI
II-8
penegakan tersebut bertumpu pada lima prinsip yang universal yaitu
responsibility, accountability, fairness, independency, dan transparency.
World Bank (dalam Mardiasmo, 2002) mendefinisikan good governance
sebagai suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan
bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang
efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi
baik secara politik maupun administrasi, menjalankan disiplin anggaran serta
penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha. Secara
teoritis, good governance memiliki beberapa prinsip diantaranya yaitu partisipasi
(participation), penegakan hukum (rule of law), transparansi (transparancy), daya
tanggap (responsiveness), berorientasi pada consensus (consensus orientation),
keadilan (equity), keefektifan dan efisiensi (effectivennes and efficiency),
akuntabilitas (accountability), visi strategis (strategic vision).
Laode Ida (2010), mengatakan bahwa good governance memiliki beberapa
ciri. Pertama, terwujudnya interaksi yang baik antara pemerintah, swasta, dan
masyarakat, terutama bekerja sama dalam pengaturan kehidupan sosial politik
dan sosioekonomi. Kedua, adanya jaringan multi sistem (pemerintah, swasta,
dan masyarakat) yang melakukan sinergi untuk menghasilkan output yang
berkualitas. Ketiga, proses penguatan diri sendiri (self enforcing process), di mana
ada upaya untuk mendirikan pemerintah (self governing) dalam mengatasi
kekacauan dalam kondisi lingkungan dan dinamika masyarakat yang tinggi..
Keempat, keseimbangan kekuatan (balance of forces), di mana dalam rangka
menciptakan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development), ketiga
elemen yang ada menciptakan dinamika, kesatuan dalam kompleksitas,
harmoni, dan kerjasama. Kelima, adanya ketergantungan yang dinamis antara
pemerintah, swasta, dan masyarakat melalui koordinasi.
Oleh sebab itu, berdasarkan deskripsi di atas, Taufik dan Kemala (2013)
mengemukakan bahwa diterapkannya good governance pada sektor publik,
diharapkan akan memberi arahan yang jelas pada perilaku kinerja serta etika
profesi pada organisasi sektor publik. Upaya ini dimaksudkan agar kiprah yang
dihasilkannya akan lebih aktual dan terpercaya, untuk mewujudkan kinerja
yang lebih baik dan optimal. Komitmen organisasi merupakan salah satu
karakter sangat penting dalam melaksanakan tugasnya.
Evaluasi/Audit KelembagaanPerpustakaan Nasional RI
II-9
2.2.3 Arah Reformasi Birokrasi Pemerintahan
Reformasi Birokrasi di Indonesia diarahkan untuk meningkatkan
profesionalitas birokrasi serta memastikan memiliki dampak yang positif bagi
masyarakat. Namun, upaya tersebut seringkali terhambat oleh berbagai
permasalahgan pokok organisasi pemerintahan. Gie,K.K. (2003)
mengemukakan berbagai permasalahan di bidang kelembagaan dapat
dikelompokkan ke dalam tiga hal yaitu, Pertama, masalah kondisi struktur
birokrasi yang tumpang tindih. Kedua, ketidakjelasan fungsi-fungsi yang harus
dilaksanakan pemerintah dengan yang harus menjadi bagian dari tugas
masyarakat, dan Ketiga, belum adanya proses politik yang transparan dalam
perumusan dan penetapan kebijakan publik.
Selain itu, dalam Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang
Grand Design Reformasi Birokrasi 2010 – 2025 juga dijelaskan beberapa
permasalahan birokrasi seperti persoalan organisasi yang belum tepat fungsi,
tumpang tindihnya peraturan, kualitas dan produktivitas SDM aparatur, serta
pola pikir dan budaya kerja. Oleh sebab itu, reformasi birokrasi di Indonesia
merupakan tantangan sekaligus peluang untuk menempatkan birokrasi sesuai
dengan kedudukan dan fungsinya.
Menurut Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand
Design Reformasi Birokrasi 2010 – 2025, terdapat dua arah Reformasi
Birokrasi di Indonesia untuk menjawab kompleksitas persoalan birokrasi.
Pertama, Pembangunan aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi
untuk meningkatkan profesionalisme aparatur negara dan untuk mewujudkan
tata pemerintahan yang baik, baik di pusat maupun di daerah agar mampu
mendukung keberhasilan pembangunan di bidang lainnya (UU No. 17 Tahun
2007 tentang RPJPN 2005-2025). Kedua, kebijakan pembangunan di bidang
hukum dan aparatur diarahkan pada perbaikan tata kelola pemerintahan yang
baik melalui pemantapan pelaksanaan reformasi birokrasi.
Selain itu, Rewansyah (2008) menyebutkan beberapa sasaran reformasi
birokrasi. Pertama, Birokrasi yang bersih (bebas dari praktek KKN melalui
pembenahan sistem pengelolaan anggaran, perbaikan kesejahteraan pegawai,
peningkatan pengawasan dan penegakan hokum. Kedua, birokrasi yang efisien
Evaluasi/Audit KelembagaanPerpustakaan Nasional RI
II-10
dan efektif (dilakukan melalui program penghematan penggunaan
sumberdaya, metoda dan waktu). Ketiga, Birokrasi yang transparan
(pembukaan ruang publik dan publik dapat mengakses secara luas
penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum). Keempat,
Birokrasi yang melayani (pengubahan birokrasi yang primodialisme atau
minta dilayani menjadi birokrasi yang melayani masyarakat). Kelima,
Birokrasi yang terdesentralisasi (pendelegasian kewenangan pengambilan
keputusan kepada aparatur terdepan).
Selanjutnya, menurut Perpres Nomor 81 Tahun 2010 tersebut, misi
konkret untuk mengatasi persoalan-persoalan birokrasi diantaranya yaitu,
Pertama, membentuk/menyempurnakan peraturan perundang-undangan
dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik, Kedua,
melakukan penataan dan penguatan organisasi, tatalaksana, manajemen
sumber daya manusia aparatur, pengawasan, akuntabilitas, kualitas pelayanan
publik, mindset dan culture set, Ketiga, mengembangkan mekanisme kontrol
yang efektif, dan Keempat, mengelola sengketa administratif secara efektif dan
efisien. Dengan demikian, secara konstruktif, reformasi birokrasi di Indonesia
telah memiliki payung hukum dan menjadi pedoman dalam
penyelenggaraannya.
2.3 Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK)
Berdasarkan filosofi pembentukannya, LPNK sebenarnya dibentuk
sebagai special agency yang melaksanakan tugas spesifik tertentu yang tidak
ditangani oleh Kementerian, dan peranannya yang dimainkan juga sangat
diperlukan dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas kementerian negara.
Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non
Departemen yang terakhir diubah dengan Peraturan Presiden No. 3 Tahun
2013 tentang Perubahan Ketujuh atas Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun
2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi,
dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Kementerian telah mengamanatkan
bahwa pengertian LPNK merupakan lembaga pemerintah pusat yang
melaksanakan tugas dan fungsi tertentu dari Presiden sesuai dengan peraturan
Evaluasi/Audit KelembagaanPerpustakaan Nasional RI
II-11
perundangan-undangan. Tugas dan fungsi tertentu ini belum ada penjelasan
yang lebih tegas terutama terkait dengan peran dan kedudukannya. Dengan
kata lain, pengertian tersebut sebenarnya masih bersifat umum dan luas,
sehingga dalam perkembangannya, terdapat beberapa LPNK yang dibentuk
hanya sebagai perluasan tugas dan fungsi dari suatu kementerian tertentu
bahkan dapat mengalami pembesaran pada struktur organisasinya. Sampai
saat ini memang dipahami bahwa tugas tertentu tersebut adalah mandat yang
diberikan Presiden dan bagian prerogatif Presiden.
Pada awalnya, pembentukan Lembaga Pemerintah Non-Departemen
(LPND), --istilah sebelum LPNK-- adalah sebagai lembaga yang dibentuk
untuk mempertajam tugas dari Kementerian (Thoha, 2013). Sehingga LPNK
akan memiliki peran sebagai pendukung tugas-tugas khusus yang memerlukan
adanya suatu keputusan cepat dan tepat sesuai dengan bidang tugas dan
mandate pembentukannya. Awalnya, keberadaan LPND dikoordinasikan
oleh Sekretariat Negara, hingga muncul peraturan yang menempatkannya
dalam koordinasi kementerian terkait. Terakhir posisi ini diperkuat dengan
UU No. 39 Tahun 2008.
Eksistensi LPNK tersirat dari pengaturan Pasal 25 ayat 2 UU No. 39
Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang menyatakan bahwa Lembaga
Pemerintah Non Kementerian (LPNK) berkedudukan dibawah Presiden dan
bertanggungjawab kepada Presiden melalui Menteri mengkoordinasikan.
Sebenarnya pembentukan LPNK sebagai special agency, lebih berbasis pada
kompetensi dan keahlian karena filosofi pembentukan LPNK sebenarnya
khusus untuk menangani tugas yang sifatnya sangat spesifik tertentu yang
bersifat keahlian, tidak ditangani oleh kementerian tertentu karena bukan
bagian dari salah satu pembagian dalam urusan pemerintahan. Selain itu,
LPNK seharusnya juga dibentuk karena tidak menangani fungsi yang sifatnya
regulasi publik tetapi dalam tugas dan fungsi yang dijalaninya tetap harus
bersifat lintas kementerian. Pembentukan LPNK berfokus pada fungsi yang
memberikan dukungan manajemen dan substansi pemerintahan, dimana
dalam hal ini juga termasuk melakukan pengkajian atau penelitian yang
disesuaikan dengan bidangnya.
Evaluasi/Audit KelembagaanPerpustakaan Nasional RI
II-12
Menurut kajian Lembaga Administrasi Negara, dari pembentukan tiap-
tiap LPNK terbagi menjadi empat fungsi, yaitu:
1) LPNK pendukung yang menyelenggarakan fungsi dukungan terhadap
kementerian atau lembaga dibidang manajemen pemerintahan. Seperti
LEMHANNAS, BAPPENAS, LKPP, LAN, ANRI, BKN,
PERPUSNAS, LEMSANEG, dan BPKP.
2) LPNK pendukung yang menyelenggarakan fungsi dukungan terhadap
kementerian atau lembaga dibidang substansi pemerintah tertentu. Seperti
BPS, BASARNAS, BNPT, BIN, BMKG, BNPB, BNPT, BKKBN, BSN,
BAPPETEN, BATAN, LAPAN, BAKORSURTANAL, LIPI, dan
BPPT.
3) LPNK yang masih menyelenggarakan fungsi pelayanan publik regulasi
publik, seperti BPN, BPOM, BKPM, dan BNP2TKI.
4) LPNK yang berfokus pada tugas dan fungsi pengkajian dan penelitian.
Seperti LIPI, LAN, BPPT, BATAN, dan LAPAN.
Struktur kelembagaan LPNK berdasarkan Keputusan Presiden No. 103
tahun 2001, terdiri atas unsur pimpinan, sekretaris utama (sebagai unsur
pembantu pimpinan), inspektur (sebagai unsur pengawas), deputi (sebagai
unsur pelaksana), dan pusat (sebagai unsur pendukung). Namun, dalam
perkembangannya ada beberapa LPNK yang diatur secara tersendiri, dan ini
menjadi awal menjamurnya LPNK menambah struktur baru sehingga keluar
dari jalur pola dasar sebuah LPNK yang seharusnya, seperti adanya
penambahan Unit Staf Ahli, Tenaga Ahli, Dewan Pengarah, Komite, dan lain-
lain. Sebagai tambahan, dari sisi besaran organisasi antar LPNK juga sangat
bervariasi terutama dalam besaran unsur pelaksana (Deputi), yang berjumlah
antara 3-6 deputi. Selain itu ada beberapa LPNK yang memiliki pejabat Wakil
Kepala LPNK, seperti Badan Kepegawaian Negara (BKN), dan Bappenas.
Lembaga Non Struktural (LNS)
Selain kelembagaan Kementerian dan LPNK, juga lahir lembaga baru
yang merupakan quasi dari organisasi pemerintah dan masyarakat. Lembaga
ini muncul seiring dengan era reformasi yang membuka keran demokratisasi
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Awalnya dari sisi penamaan ada
beberapa istilah yang sering digunakan untuk kelembagaan LNS, seperti:
Evaluasi/Audit KelembagaanPerpustakaan Nasional RI
II-13
lembaga mandiri, lembaga independen, lembaga ekstra struktural bahkan
adapula yang disebut sebagai lembaga negara atau lembaga negara
independen. Bentuknya juga sangat beragam mulai dari komisi, komite,
dewan, lembaga, badan, tim, dan lainnya.
Kehadiran LNS ini juga tidak lepas dari munculnya berbagai
perundang-undangan untuk memperkuat proses demokratisasi yang
mengamanatkan dibentuknya lembaga baru untuk mengawal jalannya
kebijakan yang ditetapkan. Namun berimbas kepada proliferasi kelembagaan
LNS. Bahkan banyak kritik pembentukan LNS ini adalah bagian untuk
mendistribusikan kekuasaan dari Presiden kepada para pendukungnya.
Dalam kedudukannya, terdapat LNS yang berada di bawah Presiden,
Kementerian, ataupun LPNK. Dalam sifatnya, terdapat LNS yang memang
disebut sebagai Lembaga Non Struktural, namun ada pula yang dengan
sebutan lain. Tidak ketinggalan pula pemerintah daerah dapat membentuk
LNS sesuai dengan keperluan daerahnya, yang juga tentunya didasarkan atas
peraturan dari pemerintah pusat. Pada umumnya LNS merupakan suatu
lembaga yang bersifat mandiri atau independen dalam melaksanakan tugas
dan fungsinya, serta berada di luar struktur kementerian negara, LPNK,
maupun lembaga pemerintah lainnya.
Menurut Lembaga Administrasi Negara (2013), hingga saat ini belum
ada peraturan perundangan yang mengatur tentang LNS sehingga
menimbulkan variasi yang begitu tinggi. Namun demikian dapat dilihat
beberapa pola yang ada di LNS, meliputi:
1) LNS yang anggotanya terdiri dari pejabat dari lingkungan Kementerian
atau organisasi pemerintah lainnya dan diketuai oleh Presiden. Tugas dan
fungsinya melakukan koordinasi dan pelaksanaan program tertentu antar
organisasi pemerintah yang memiliki keserumpunan.
2) LNS yang anggotanya terdiri dari masyarakat atau swasta dan unsur
pemerintah. LNS ini dibentuk untuk dapat memberikan saran dan
pertimbangan kebijakan kepada Presiden.
3) LNS yang anggotanya melibatkan pakar atau profesional yang ahli pada
bidang tertentu sehingga sangat selektif dalam proses pemilihannya. LNS
Evaluasi/Audit KelembagaanPerpustakaan Nasional RI
II-14
ini memiliki tugas dan fungsi untuk melaksanakan urusan pemerintahan
tertentu secara teknis dan urgen untuk dibentuk.
Pembentukan LNS diberbagai level pemerintahan tersebut, seringkali
dilakukan bukan dalam rangka pembagian tugas dan fungsi, tetapi karena
faktor lain (Firmansyah et al, 2005, Assidiqie 2006; Indrayana, 2005; Budiono,
2006), seperti:
1) Tiadanya kredibilitas lembaga-lembaga yang telah ada akibat asumsi (dan
bukti) mengenai korupsi yang sulit diberantas.
2) Tidak independennya suatu lembaga negara sehingga tidak imun terhadap
intervensi suatu kekuasaan negara atau kekuasaan lain.
3) Ketidakmampuan lembaga pemerintah yang telah ada untuk melakukan
tugas-tugas yang urgen dilakukan dalam masa transisi demokrasi karena
persoalan birokrasi dan korupsi, kolusi dan nepotisme.
4) Tekanan lembaga-lembaga internasional, tidak hanya sebagai prasyarat
memasuki pasar global tetapi juga demokrasi sebagai satu-satunya jalan
bagi negara-negara yang asalnya berada di bawah kekuasaan yang
otoriter.
Sedangkan Rhodes (dalam Jimly Asshiddiqie, 2006:7), menyebut hal ini
sebagai intermediate institutions yang mempunyai tiga peran utama, yakni:
1) Mengelola tugas yang diberikan pemerintah pusat dengan
mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan berbagai lembaga lain (coordinating
the activities of the various other agencies).
2) Melakukan pemantauan (monitoring) dan memfasilitasi pelaksanaan
berbagai kebijakan atau policies pemerintah pusat.
3) Mewakili kepentingan daerah dalam berhadapan dengan pusat.
Dari jenis LNS, terdapat LNS yang independen (Denny Indrayana, 2006;
Jimly Assidiqie, 2006), yang berciri:
1) Independen dalam hal ini memiliki makna bahwa pemberhentian
anggota hanya dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur
dalam undang-undang pembentukkannya, tidak seperti lembaga biasa
yang dapat diberhentikan sewaktu-waktu oleh Presiden.
2) Memiliki kepemimpinan yang kolektif,
3) Kepemimpinan tidak dikuasai mayoritas partai tertentu,
Evaluasi/Audit KelembagaanPerpustakaan Nasional RI
II-15
4) Masa jabatan komisi tidak habis bersamaan tetapi bergantian (staggered
terms).
5) LNS tersebut juga diidentifikasi sebagai lembaga yang berfungsi di luar
fungsi legislatif, yudikatif dan eksekutif atau mungkin juga campuran
dari di antara ketiganya.
Selain terdapat LNS yang Independen, terdapat pula LNS yang berada
di bawah atau bertanggungjawab di bawah Presiden sehingga merupakan LNS
negara eksekutif atau merupakan bagian dari eksekutif. Dari segi kedudukan,
LNS dapat dibedakan menjadi LNS yang termasuk dalam/sebagai lembaga
negara, LNS yang termasuk dalam/sebagai lembaga pemerintah pusat, dan
LNS yang termasuk dalam/sebagai lembaga daerah. Sedangkan dari
karakteristik tugasnya dalam pemerintahan, LNS dapat dibedakan menjadi
LNS yang termasuk dalam level primary atau yang melaksanakan tugas-tugas
pemerintahan yang bersentuhan langsung dengan pihak luar pemerintahan
(operating core), dan LNS yang termasuk dalam level auxiliary yaitu organisasi
yang bukan merupakan unit pelaksana tugas pemerintahan, dengan arti kata
pekerjaannya tidak langsung berhubungan langsung dengan masyarakat.
2.4 Model Tata Kelola Perpustakaan
2.4.1 Hakikat, Fungsi, dan Prinsip-prinsip Tata Kelola
Perpustakaan
Perpustakaan berasal dari kata pustaka, yang berarti kitab atau buku
(Saleh, 2014). Setelah ditambah awalan per dan akhiran an menjadi
perpustakaan yang artinya kumpulan buku-buku yang kini dikenal sebagai
koleksi bahan pustaka. Dalam bahasa Inggris dikenal istilah Library yang
berasal dari bahasa latin, yaitu liber atau libri yang artinya buku. Dalam Bahasa
Belanda disebut bibliothek, Jerman dikenal dengan bibliothek, Perancis disebut
bibliotheque, Spanyol dan Portugis dikenal dengan bibliotheca. Menurut Berawi
(2012), perpustakaan memiliki beberapa fungsi yaitu fungsi edukasi, sumber
informasi, penunjang riset, rekreasi, publikasi , deposit dan interpretasi
informasi
Menurut Peraturan Pemerintah Republik IndonesiaNomor 24 Tahun
2014 tentangPelaksanaan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang
Evaluasi/Audit KelembagaanPerpustakaan Nasional RI
II-16
Perpustakaan, Perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karya tulis,
karya cetak, dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang
baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian,
informasi, dan rekreasi para pemustaka. Tata Kelola Perpustakaan bergantung
pada manajemen perpustakaan.
Dalam penjelasan lebih lanjut, jenis-jenis perpustakaan terdiri dari
perpustakaan nasional, perpustakaan umum, perpustakaan khusus,
perpustakaan sekolah/madrasah dan perpustakaan perguruan tinggi. Bahkan
ada juga jenis perpustakaan keliling yang menghantarkan bahan pustaka
kepada masyarakat, sehingga mereka yang tidak memiliki akses ke
perpustakaan di sekitarnya dapat terbantu kebutuhan informasinya melalui
perpustakaan keliling tersebut. Di samping itu, masih terdapat pula taman
bacaan masyarakat yang tumbuh subur di beberapa daerah bahkan sampai ke
tingkat desa. Meskipun perpustakaan menggunakan nama berbeda-beda, jenis
koleksi berbeda-beda, dan sasaran pengguna juga berbeda-beda, namun fungsi
dan tujuannya adalah sama yaitu sebagai wahana pendidikan, penelitian,
pelestarian, informasi, dan rekreasi dalam rangka mencerdaskan bangsa.
Untuk mendefinisikan perpustakaan dalam rangka kajian ini, maka
perpustakaan yang diharapkan tidak hanya mengatur, namun justru
mendorong tumbuhnya perpustakaan masyarakat, maka batasan
perpustakaan hendaknya tidak hanya mengikuti pendapat umum saat
sekarang. Hendaknya batasan ini mengandung aspek futuristik perpustakaan
yaitu sebagai pengelola pengetahuan. Maka diusulkan batasan berikut:
Perpustakaan adalah sebuah lembaga yang mengumpulkan
pengetahuan terekam, mengelolanya dengan berdasarkan sistem
tertentu guna memenuhi kebutuhan intelektualitas para
penggunanya melalui beragam cara interaksi pengetahuan.
Berbagai fungsi, tugas dan kewenangan yang diharapkan dapat
dilaksanakan dapat dikategorikan meliputi:
(1) Fungsi Informasi dan Inspirasi
Dalam hidup keseharian masyarakat, baik bersama-sama sebagai
kesatuan bangsa, maupun masing-masing sebagai individu warga masyarakat,
terdapat berbagai macam kebutuhan informasi yang harus dipenuhi. Selain
Evaluasi/Audit KelembagaanPerpustakaan Nasional RI
II-17
itu, berkenaan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi secara
global, masyarakat memerlukan sumber-sumber informasi yang dapat
memberikan inspirasi untuk dapat memanfaatkan kemajuan tersebut.
Sebagaimana termaktup dalam Ketetapan MPR Nomor 17/1998, pasal
21, bahwa: “Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran
yang tersedia.”.
Kebutuhan informasi sesungguhnya merupakan kebutuhan untuk
mengisi kekosongan pengetahuan atau pikiran dalam diri manusia. Informasi
yang dibutuhkan sesungguhnya merupakan sesuatu yang berada di antara
sumber eksternal yang bisa berupa buku, video, suratkabar dan sebagainya
dan tempat kosong dalam pikiran manusia. Dengan kata lain, perpustakaan
harus dapat menciptakan suasana yang memungkinkan pencarian dan
pemenuhan informasi ini berjalan lancar. Hal ini mensyaratkan agar
perpustakaan dikelola sebagai suatu sistem yang menyediakan perangkat
sistemik untuk kelancaran dan keakuratan pemenuhan informasi.
Perpustakaan tidak bisa diselenggarakan secara seadanya, tanpa mengikuti
ketentuan-ketentuan teknis-sistemik yang telah dibakukan.
Di pihak lain, perpustakaan sebagai pusat sumber informasi, pasar ide-
ide, atau supermarket akademik tentunya harus memiliki koleksi bahan
perpustakaan yang lengkap, mutakhir, dan relevan dengan kebutuhan
masyarakat penggunanya. Dalam kaitan dengan fungsi memberikan inspirasi
bagi penggunanya, sesungguhnya tingkat relevansi itu baru disadari tatkala isi
bahan perpustakaan itu (pengetahuan) berhasil menjadi informasi yaitu
mampu mengisi kekosongan pikir penggunanya. Dari kegiatan menelusur
(browsing) atas berbagai jenis bahan perpustakaan, pemustaka mungkin saja
menemukan sesuatu yang memberikan inspirasi kepadanya untuk
mengerjakan atau mengusahakan sesuatu. Jenis-jenis bahan perpustakaan
yang termasuk kategori buku-buku pedoman (buku pintar) dan panduan
keterampilan, chicken soup, atau “cara membuat sendiri …” dapat menjadi
sumber inspirasi yang sangat bermanfaat bagi pemustaka yang kreatif.
Berdasarkan bahan bacaan itu, pengguna dapat memulai usaha
produktif yang dapat meningkatkan pendapatan keluarga. Dengan demikian
Evaluasi/Audit KelembagaanPerpustakaan Nasional RI
II-18
perpustakaan juga berfungsi sebagai wahana pembelajaran sosial-ekonomi
rumah tangga demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Saat ini perpustakaan telah beralih fungsi, keberadaan dan peranannya
sangat menentukan dan dibutuhkan oleh masyarakat modern. Sebagai pusat
layanan informasi perpustakaan dapat memberikan layanan lintas batas di
mana seluruh masyarakat dunia dapat mengakses informasi yang
dibutuhkannya kapan dan di mana saja mereka berada. Hal ini betul-betul
merupakan suatu terobosan besar yang sangat luar biasa di bidang jasa layanan
informasi. Telah terjadi suatu pergeseran dalam bidang perpustakaan yaitu
dari sistem tradisional menjadi sistem modern yang lebih diminati oleh para
siswa saat ini karena adanya aplikasi teknologi informasi yang mempercepat
proses pengaksesan informasi yang diperlukan serta tersedianya berbagai jenis
non-book materials yang semua itu sangat sesuai dengan selera pengguna saat
ini, terutama generasi mudanya.
(2) Fungsi Pendidikan
Kemajuan peradaban suatu bangsa sangat ditentukan oleh tingkat
kecerdasan yang dimiliki oleh bangsa tersebut. Bagi bangsa Indonesia dasar
pemikiran ini telah disadari sepenuhnya dan secara fundamental telah
dicantumkan dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945 sebagai tanggung
jawab pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Upaya
mewujudkan bangsa yang cerdas, yang mampu mewujudkan cita-cita
kemerdekaan merupakan tugas dan tanggung jawab setiap komponen bangsa.
Tugas dan tanggungjawab itu diwujudkan melalui penyelenggaraan
program pendidikan berdasarkan sistem pendidikan nasional yang telah
ditetapkan, yang dilaksanakan baik secara formal maupun nonformal. Agar
sistem pendidikan ini dapat berjalan lancar dengan hasil yang optimal, maka
diperlukan sarana dan prasarana utama dalam menyukseskan proses belajar
mengajar ini. Perpustakaan di lingkungan lembaga pendidikanmerupakan
salah satu unsur utama yang memberikan dampak secara langsung melalui
layanan informasi yang diberikan kepada seluruh peserta didik yang
membutuhkannya. Selain melalui jalur pendidikan formal, pencerdasan
kehidupan bangsa harus juga dilakukan melalui jalur nonformal dimana
kebutuhan informasi, masyarakat perlu dipenuhi secara demokratik dan
Evaluasi/Audit KelembagaanPerpustakaan Nasional RI
II-19
merata oleh pemerintah. Perpustakaan umum di tengah masyarakat
merupakan sarana pendidikan non-formal atau wahana pembelajaran
masyarakat yang menunjang upaya pencerdasan kehidupan bangsa.
Sejarah perjalanan perpustakaan di Indonesia cukup panjang, namun
keberadaan serta peranannya dalam ikut mencerdaskan kehidupan bangsa
masih dipertanyakan. Hal ini bukan disebabkan karena tidak pentingnya
perpustakaan dalam pendidikan nasional di negeri ini, tetapi lebih disebabkan
oleh kurangnya perhatian dan pemahaman para penyelenggara negara tentang
pentingnya peranan perpustakaan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa,
terutama peranan dalam menunjang pendidikan.
(3) Fungsi Penelitian
Salah satu komponen dalam proses perkembangan dan kemajuan
peradaban umat manusia adalah dilakukannya kegiatan yang disebut
penelitian dan pengembangan (research and development). Istilah penelitian
yang merupakan terjemahan dari re-search dapat diartikan sebagai upaya
untuk mencari kembali atau mencari lagi (lebih mendalam – in-depth study)
jawaban atas permasalahan yang ada. Disebut mencari kembali atau mencari
lebih mendalam, karena pada dasarnya jawaban atas permasalahan itu telah
pernah ditemukan, paling tidak untuk sebagiannya. Jawaban-jawaban yang
sudah pernah ada atas permasalahan itu, atau yang terkait dengan
permasalahan tersebut, telah terekam dalam berbagai dokumen seperti laporan
penelitian, artikel jurnal, atau juga buku teks. Dokumen-dokumen tersebut –
yang biasa disebut sebagai bahan perpustakaan – tersedia di perpustakaan.
Dengan demikian, perpustakaan mempunyai peran penting dalam proses
penelitian dan pengembangan, atau dengan kata lain, perpustakaan memiliki
fungsi penelitian. Peranan penting perpustakaan dalam proses penelitian, dan
bagaimana peran itu dilaksanakan, dijelaskan dengan baik pada hampir semua
buku teks tentang metodologi penelitian.
Bagi kebanyakan perpustakaan fungsi penelitian berkembang secara
bertahap, kecuali bagi perpustakaan di lembaga penelitian yang dari awal
dibangun memang sudah menjadi tugasnya. Karena perpustakaan merupakan
akumulasi dari semua pengetahuan terekam, termasuk pengetahuan yang
diperoleh sebagai hasil dari suatu proses penelitian, dan mengingat
Evaluasi/Audit KelembagaanPerpustakaan Nasional RI
II-20
perkembangan pengetahuan yang sangat pesat, maka akumulasi itu dapat
menjadi sangat besar jumlahnya. Keberadaan beragam pengetahuan pada satu
lokasi menjadikan perpustakaan tempat yang ideal bagi peneliti untuk
melakukan penelitian atas sesuatu subjek atau topik, dengan memanfaatkan
koleksi bahan perpustakaan tentang subyek atau topik tersebut. Di sinilah
mengapa fungsi penelitian, atau lebih tepatnya: fungsi menunjang penelitian,
sesungguhnya juga diemban oleh setiap perpustakaan.
Di pihak lain, sesungguhnya perpustakaan juga harus melakukan
kegiatan penelitian untuk memenuhi kebutuhan penggunanya. Kegiatan
penelitian yang paling sederhana dilakukan oleh setiap perpustakaan adalah
dalam rangka melayani pertanyaan pengguna atas informasi yang diperlukan.
Jawaban atas kebutuhan informasi pengguna – terutama informasi untuk
mendukung kegiatan penelitian atas sesuatu subjek atau topik – sering harus
dicari melalui upaya penelitian atau penelusuran lebih lanjut atas beragam
sumber informasi yang ada. Tidak jarang harus dilakukan dengan
menggunakan sumber informasi dari perpustakan lain, atau bahkan melalui
jaringan global internet (Bdk. Denise K. Fourie dan David R. Dowell, 2002).
Untuk dapat menggunakan semua alat penelusuran itu perpustakaan harus
mempunyai pustakawan yang mampu memahami kebutuhan pengguna.
Tidak saja memahami disiplin atau subyek yang ditanyakan, namun juga
harus tahu ke mana sumber informasi mengenai disiplin atau subyek itu harus
dicari.
Kegiatan menjawab pertanyaan atau memenuhi kebutuhan informasi
pengguna merupakan kegiatan pokok perpustakaan dalam bidang informasi.
Tugas ini memerlukan pemahaman yang luas atas materi terkait dengan
pertanyaan. Lebih kompleks lagi bahwa jenis atau konteks pertanyaan
biasanya tidak terduga sebelumnya. Untuk itu jelas bahwa pustakawan harus
belajar hal-hal baru atau mendalami lebih khusus subyek yang menjadi
keahliannya. Penelitian merupakan salah satu fase dalam proses belajar.
Dengan demikian jelas bahwa bagi seorang pustakawan, tugas penelitian juga
menjadi bagian tugas yang tidak boleh dilupakan. Khususnya penelitian
menyangkut informasi yang diperlukan oleh pengguna.
Evaluasi/Audit KelembagaanPerpustakaan Nasional RI
II-21
Jenis penelitian lain adalah penelitian tentang suatu topik, subyek, atau
disiplin ilmu tertentu. Dalam lingkup tugas perpustakaan jenis penelitian ini
sangat berpengaruh pada kegiatan pengembangan koleksi perpustakaan.
Penelitian ini sendiri biasanya dilakukan oleh peneliti di luar institusi
perpustakaan. Namun penelitian ini memerlukan dukungan penuh dari
perpustakaan, terutama dalam pengelolalan koleksi khusus. Koleksi yang
mendukung bidang penelitian ini harus dikelola dan dikembangkan secara
khusus. Merupakan ciri khusus dari koleksi ini yang berbeda dengan koleksi
perpustakan pada umumnya adalah bahwa koleksi ini lebih menekankan pada
kelestarian dan kelengkapan serta utuh. Dengan kata lain, tidak perlu
dilakukan penyiangan (penarikan) koleksi bahan perpustakaan untuk
mendukung bidang penelitian, kendati banyak bahan yang sudah tergolong tua
(out of date). Hal itu karena semakin lengkap koleksi, semakin dapat menjamin
dilaksanakan kegiatan penelitian secara komprehensif.
Pasal 10 ayat 1 Undang-undang ini menyebutkan fungsi lembaga
penunjang sebagai salah satu unsur kelembagaan dalam Sistem Nasional
Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Fungsi yang dimaksud berupa memberikan dukungan dan membentuk iklim
yang kondusif bagi penyelenggaraan kegiatan penguasaan, pemanfaatan, dan
pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sementara itu, dalam Penjelasan
atas pasal tersebut disebutkan bahwa lembaga-lembaga penunjang itu antara
lain adalah lembaga penyedia informasi ilmu pengetahuan dan teknologi, yang
dalam pasal 11 ayat 1 disebut sebagai salah satu sumber daya IPTEK. Kendati
tidak disebutkan secara tegas, namun dapat dipastikan bahwa salah satu
lembaga penyedia informasi IPTEK itu adalah perpustakaan. Fungsi
perpustakaan sebagai lembaga penyedia informasi IPTEK adalah memberikan
dukungan sumber informasi yang akurat, relevan, komprehensif, dan mutakhir
yang seharusnya dapat diketemukan di atau diperoleh melalui perpustakaan.
Oleh karena itu, Sistem Nasional Perpustakaanharus dikembangkan
guna meningkatkan secara optimal peranannya dalam mendukung program
nasional penelitian. Hal itu tidak mustahil dilakukan manakala berbagai jenis
perpustakaan yang ada di negara ini dipadukan dan disinergikan dalam suatu
jaringan atau sistem, yakni Sistem Nasional Perpustakaan.
Evaluasi/Audit KelembagaanPerpustakaan Nasional RI
II-22
(4) Fungsi Pembudayaan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka
Departemen Pendidikan, pembudayaandiartikan sebagai (1) proses,
perbuatan, cara memajukan budaya (pikiran, akal budi, adat istiadat, atau
sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sukar diubah), (2) proses dari
segala sosial budaya menjadi suatu adat atau pranata yang mantap. Analog
dari pengertian ini, maka fungsi pembudayaan perpustakaan dapat diartikan
sebagai cara dan/atau proses yang dilakukan oleh perpustakaan untuk
memajukan dan meningkatkan pikiran, akal budi, atau kebiasaan menjadi
suatu adat atau pranata yang mantap.Sebagaimana dikemukakan pada bagian
pendahuluan, perpustakaan merupakan wujud dari suatu proses budaya. Di
dalamnya dikoleksikan berbagai bentuk warisan budaya, khususnya budaya
literer, sehingga perpustakaan juga merupakan wahana pewarisan budaya.
Di pihak lain, fungsi sebagai wahana pewarisan budaya ini hanya dapat
terlaksana apabila bahan perpustakaan yang dikoleksikan dibaca oleh para
penggunanya. Dengan kata lain, proses pembudayaan nilai-nilai warisan luhur
budaya bangsa hanya bisa berlangsung apabila terbangun kebiasaan dan
kegemaran membaca. Oleh karena itu, salah satu fungsi pembudayaan yang
harus dilaksanakan oleh perpustakaan adalah program pembudayaan
kebiasaan dan kegemaran membaca. Program ini dilaksanakan melalui
pembudayaan untuk mendayagunakan jasa perpustakaan sebagai pranata
untuk membaca dan atau belajar secara efektif. Meningkat dan meluasnya
kebiasaan mendayagunakan perpustakaan sesungguhnya sangat erat
kaitannya dengan meningkat dan meluasnya kebiasaan membaca di
masyarakat.
Oleh karena itu, pembudayaan perpustakaan tidak dapat dipisahkan
dari upaya pembudayaan minat dan kebiasaan membaca. Jika kedua
pembudayaan ini dapat dilaksanakan, maka akan mempercepat terwujudnya
kehidupan masyarakat yang cerdas dan bijak, sebagaimana harapan dan cita-
cita bangsa Indonesia yang diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945. Dari pengertian ini tampak jelas bahwa perpustakaan memiliki
peran yang sangat strategis dan sebagai salah satu faktor utama dalam
Evaluasi/Audit KelembagaanPerpustakaan Nasional RI
II-23
memajukan bangsa Indonesia menghadapi/memasuki era globalisasi yang
sangat kompetitif.
Untuk menciptakan kondisi masyarakat yang memiliki kebiasaan
membaca (kapan dan dimana saja) tidaklah mudah. Banyak faktor yang harus
diperhatikan, mulai dari sejauh mana keberhasilan pendidikan menciptakan
manusia yang gemar membaca, serta bagaimana kehidupan keluarga dan
lingkungan, kondisi ekonomi, ketersediaan sarana prasarana akses bahan
bacaan, kesempatan masyarakat beraktualisasi, hingga ketersediaan sarana
komunikasi, mampu mendorong terbentuknya budaya gemar membaca.
Disadari bahwa perpustakaan tidak memiliki kewenangan dan kapasitas untuk
semua aspek ini. Namun melalui fungsi dan kewenangan yang melekat dalam
perpustakaan, misalnya yang terkait dengan ketersediaan sarana prasarana
akses bahan bacaan, serta didukung sumberdaya manusia yang profesional,
lembaga ini dapat berperan secara proaktif membina masyarakat gemar
membaca melalui jasa perpustakaan. Kegemaran membaca yang mungkin
sudah timbul sebagai hasil dari suatu proses pembelajaran di rumah atau di
sekolah, misalnya, tidak akan berkembang apabila tidak didukung oleh
ketersediaan bahan bacaan serta akses yang mudah atas koleksi bahan bacaan
tersebut. Dari gambaran singkat ini, tampak jelas perpustakaan memiliki peran
yang sangat strategis dan bahkan telah ditunggu kiprahnya oleh masyarakat
dan bangsa Indonesia.
Meskipun perpustakaan sudah banyak berdiri dan diketahui sebagian
masyarakat negara ini, bahkan sering diucapkan dalam kehidupan sehari-hari,
keberadaan dan pemanfaatan perpustakaan sebagai sarana utama pendidikan
dan fasilitasi pembinaan kebiasaan membaca (minat baca) dapat dikatakan
relatif masih rendah dan belum seperti yang diharapkan. Banyak perpustakaan
telah dibentuk dan dioperasikan, seperti perpustakaan sekolah, perpustakaan
keliling, perpustaakaan perguruan tinggi, perpustakaan umum dan
perpustakaan lembaga/khusus. Namun pada umumnya perpustakaan-
perpustakaan itu dikunjungi dan dimanfaatkan oleh masyarakat pengguna
hanya karena alasan tugas, diperintah dan atau keterpaksaan karena tidak
memperoleh informasi dari sumber lain. Keberadaan dan pemanfaatan
perpustakaan belum dipandang masyarakat sebagai kebutuhan dan pilihan
Evaluasi/Audit KelembagaanPerpustakaan Nasional RI
II-24
pertama untuk menggali pengetahuan dan tempat rekreasi ilmu. Perpustakaan
lebih terkesan sebagai pelengkap persyaratan institusi, gudang atau tempat
menyimpan buku lama, cukup ditangani oleh pegawai kelas dua, serta lokasi
dan kondisi ruangnya cukup seadanya dan kurang nyaman diakses.
(5) Fungsi Pelestarian
Hasil budaya manusia telah dituangkan ke dalam tulisan sejak beberapa
abad yang lalu. Tulisan-tulisan tersebut ditorehkan di atas lempengan tanah
liat yang banyak diketemukan di beberapa negara Timur Tengah. Tanah liat
bertuliskan huruf cuneiform yang lazim disebut tablet itu merefleksikan
peninggalan kebudayaan suatu bangsa berbentuk syair, teks keagamaan dan
hal-hal gaib. Bentuk tanah liat bertulis ini lebih tepat disebut arsip daripada
bahan perpustakaan.
Dari fungsi dan kewenangan terkait perpustakaan maka kita dapat
melihat peran penting perpustakaan dalam pengembangan masyarakat saat ini
sehingga pengelolaan perpustakaan mampu memberikan pelayanan yang baik
bagi masyarakat melalui manajemen perpustakaan yang semakin baik.
Dalam perspektif Rodiah (2009), manajemen perpustakaan artinya
mengelola agar seluruh potensi perpustakaan berfungsi secara optimal. Dalam
hal ini pimpinan beserta segenap stafnya berupaya bekerja keras
mendayagunakan sarana/prasarana yang dimiliki, serta potensi masyarakat
demi mendukung tercapainya tujuan perpustakaan.
Perpustakaan yang baik dapat diukur dari keberhasilannya dalam
menyajikan pelayanan yang bermutu kepada masyarakat (Subrata dan Kom
2009). Semakin baik pelayanannya, semakin tinggi penghargaan yang
diberikan kepada sebuah perpustakaan, lengkapnya fasilitas yang ada,
besarnya dana yang disediakan, serta banyaknya tenaga pustakawan, tidak
berarti apa-apa apabila perpustakaan tersebut tidak mampu menyediakan
pelayanan yang bermutu.Secara garis besar, perpustakaan memiliki beberapa
tugas (Saleh, 2014). Pertama, mengumpulkan, menyimpan dan menyediakan
informasi dalam bentuk tercetak ataupun dalam bentuk elektronik dan
multimedia kepada pemakai. Kedua, Menyediakan informasi yang dapat
diakses lewat internet, namun harus pula menyediakan peraturan-peraturan
yang dapat melindungi kepentingan perpustakaan dan keamanan informasi
Evaluasi/Audit KelembagaanPerpustakaan Nasional RI
II-25
tersebut.Ketiga, terus memperhatikan kemajuan zaman dan kemajuan
teknologi agar keinginan masyarakat dalam mengakses informasi dapat
terpenuhi. Keempat, harus mampu menjadi jembatan penyedia informasi pada
masa lalu, masa kini dan masa depan. Kelima, Perpustakaan harus terus
mencari jalan agar tetap tanggap secara efektif dan inovatif terhadap
lingkungan yang beragam dalam memenuhi harapan pengguna.
2.4.2 Tata Kelola Perpustakaan Berbasis IT
Mengelola perpustakaan yang baik jelas memerlukan biaya besar, baik
untuk pengadaan buku maupun benda-benda kepustakaan lainnya maupun
untuk mengelola gedung dan mendidik personalia yang diperlukan untuk
mengoperasionalkannya. Selain itu, penggunaan sistem informasi
perpustakaan merupakan tantangan dan peluang untuk meningkatkan kualitas
layanan perpustakaan.
Sistem informasi pengelolaan perpustakaan saat ini merupakan
kebutuhan mendesak dalam rangka mengoptimalisasi layanan perpustakaan.
Jogiyanto (dalam Pebrianto. 2011) menjelaskan bahwasistem informasi adalah
suatu sistem di dalam suatu organisasi yang mempertemukan kebutuhan
pengolahan data transaksi harian, mendukung operasi, bersifat manajerial,
dan kegiatan strategi dari suatu organisasi serta menyediakan pihak luar
tertentu dengan laporan-laporan yang diperlukan.
Kebutuhan akan Teknologi Informasi berkaitan erat dengan peran
perpustakaan sebagai kekuatan dalam pelestarian dan penyebaran ilmu
pengetahuan maupun informasi lintas zaman yang berkembang seiring dengan
kegiatan serta pemenuhan kebutuhan masyarakat akan informasi. Secara
umum, sistem informasi perpustakaan dimulai dari pendataan anggota,
pendataan buku, peminjaman buku, pengembalian buku, pemberian surat
bebas perpustakaan dan pembuatan laporan meliputi laporan data anggota,
laporan data buku, laporan peminjaman buku, laporan pengembalian buku
serta laporan penerimaan denda (Nugraha, 2014).
Evaluasi/Audit KelembagaanPerpustakaan Nasional RI
II-26
2.4.3 Model Pengembangan Organisasi Perpustakaan
Kinerja perpustakaan secara umum bergantung pada fasilitas dan
sumber daya manusia. Fasilitas mempunyai peranan untuk menjembatani
aktivitas dengan hasil/produktivitas yang dicapai. Widiasa (2007)
mengungkapkan bahwa fasilitas dan sumber daya perpustakaan memiliki
peran sentral dalam pengembangan organisasi perpustakaan. Fasilitas yang
lengkap, serta didukung tenaga yang profesional, maka tujuan dan fimgsi
perpustakaan sekolah dapat dicapai. Fasilitas dalam arti segenap kebutuhan
yang dipergunakan untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan dalam usaha
kerjasama manusia. Sedangkan sumber daya manusia sumber daya manusia
(SDM) sangat menentukan dalam pengelolaan perpustakaan.
Dengan demikian, pengembangan organisasi perpustakaan perlu
didukung oleh fasilitas yang memadai serta sumber daya manusia yang
mumpuni.Namun di sisi lainnya, pengembangan tata kelola organisasi
perpustakaan memiliki beberapa kendala yaitu biaya pengembangan dan
pengelolaan perpustakaan digital dan sumber daya manusia yang memiliki
kemampuan menggunakan dan memanfaatkan teknologi informasi (Adi,
Djailani, dan Ibrahim, 2015).
Selain itu, faktor kepemimpinan dalam organisasi perpustakaan
memiliki peran krusial untuk meningkatkan kualitas pelayanan perpustakaan.
Menurut Kahar (2008), untuk merencanakan dan mengimplementasikan
perubahan organisasi diperlukan kepemimpinan yang kuat melalui tindakan
pimpinan dalam mempengaruhi, mengarahkan anggota organisasi untuk
mencapai perubahan. Oleh sebab itu, pimpinan perpustakaan harus mampu
memberikan, mengembangkan dan menyebarkan visi (visioner), sebagai
komunikator, menjadi agen perubahan (change agent), sebagai pelatih (Coach)
dan menganalisa pemanfaatan teknologi informasi.
2.4.4. Perencanaan dan Desain Perpustakaan
Sejatinya perpustakaan tidak hanya sebagai tempat untuk mencari
referensi dan pustaka tapi juga sebagai ruang dan tempat berinteraksi,
komunikasi, dan rekreasi pengembangan ilmu pengetahuan. Perpustakaan
harus menyediakan fasilitas yang mendukung terwujudnya ruang dan tempat
Evaluasi/Audit KelembagaanPerpustakaan Nasional RI
II-27
tersebut. Sebagai ruang dan tempat, perpustakaan didefiniskan sebagainstitusi
yang di dalamnya terdapat serangkaian aktifitas perencanaan, tata kelola, dan
evaluasi kinerja semua pihak yang berhubungan dengan urusan perpustakaan.
Dengan demikian, perpustakaan adalah institusi dinamis yang selalu
mengedepankan inovasi dan kreatifitas guna terwujudnya perpustakaan
sebagai ruang dan tempat untuk membangun budaya akademik bagi
masyarakat luas (Williams, D. E., Nyce, J. M., & Golden, J., 2009).
Para sarjana menekankan bahwa perpustakaan sebagai ruang dan
tempat yang berhubungan dengan kinerja perpustakaan menjalankan tugas
sebagai institusi yang memberi layanan pendidikan, literasi, dan penguatan
kapasitas sumber daya manusia bagi komunitas dan masyarakat luas secara
terus menerus. Para ilmuwan perpustakan telah mencurahkan perhatiannya
melalui seminar dan workshop untuk mendiskusikan perecanaan dan desain
perpustakaan. Pada intinya, desain dan perencanaan perpustakaan diarahkan
untuk membangun perpustakaan sebagai insitusi pendidikan yang mampu
memberikan pelayanan tidak hanya pada aspek fasilitas perpustakaan seperti
literature dan teknologi, namun jauh lebih penting adalah perpustakaan hadir
untuk mendukung terciptanya budaya dan peradaban bangsa (Anttiroiko, A.
V., & Savolainen, R., 2007).
Karena itu, Bennett menekankan bahwa tata kelola perpustakaan harus
transformasi menuju institusi yang menghadirkan budaya bangsa untuk masa
depan negara yang lebih baik. Mengingat pentingnya perpustakaan, Bennett
menjelaskan bahwa perencanaan dan desain perpustakaan harus
memperhatikan lingkungan sosial, budaya, dan nilai-nilai bangsa yang ada di
dalamnya.
2.4.5 Persinggungan Fungsi Perpustakaan Nasional dengan
Kementerian/Lembaga Lain
Dalam kajian terdahulu yang dilaksanakan oleh Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (2016),
Penyelenggaraan perpustakaan merupakan kegiatan yang melibatkan berbagai
komponen bangsa, sehingga mustahil hal tersebut dapat dilaksanakan oleh
Perpustakaan Nasional sendiri. Dalam kerangka tersebut, maka didalam
melaksanakan tugasnya Perpustakaan Nasional memiliki hubungan dan
Evaluasi/Audit KelembagaanPerpustakaan Nasional RI
II-28
keterkaitan dengan berbagai kementerian/lembaga lainnya. Tabel 2.1 berikut
menunjukkan matriks bagaimana hubungan dan keterkaitan Perpustakaan
Nasional dengan kementerian/lembaga lain berdasarkan fungsi yang diemban
oleh duat kedeputian yang dimiliki Perpustakaan Nasional.
Tabel tersebut menunjukkan bagaimana peran serta
kementerian/lembaga bekerjasama dan mendukung kegiatan
penyelenggaraan perpustakaan dari fungsi pembina, rujukan, deposit,
penelitian, pelestarian, maupun jejaring perpustakaan.
Evaluasi/Audit KelembagaanPerpustakaan Nasional RI
II-29
Tabel 2.1 Persinggungan Fungsi Perpustakaan Nasional dengan Kementerian/Lembaga Lain
Kementerian/Lembaga
Fungsi Perpustakaan Nasional
(Undang-Undang No.43 Tahun 2007)
Pembina Rujukan Deposit Penelitian Pelestarian Jejaring
Perpustakaan
Kemdikbud 1. Perpustakaan
Khusus
2. Perpustakaan
Sekolah
Penyedia bahan
pustakan
penunjang
pembelajaran
Pada bidang
perbukuan
Penyedia bahan
pustaka referensi
Pelestarian film
dokumenter
Kemenristekdikti 1. Perpustakaan Khusus
2. Perpustakaan
Perguruan tinggi
Penyedia bahan pustaka
penunjang
civitas akademik
Jurnal dan buku terbitan
Penyedia bahan pustaka referensi
Kementerian Agama 1. Perpustakaan
khusus
2. Perpustakaan
Perguruan Tinggi
3. Perpustakaan Sekolah
Penyedia bahan
pustakan
penunjang
pembelajaran
Jurnal dan buku
terbitan
Penyedia bahan
pustaka referensi
Pelestarian
manuskrip dan
naskah kuno (kitab
kuning)
Kementerian Dalam Negeri 1. Perpustakaan
Umum (Propinsi,
Kab/Kota,
Desa/Kelurahan)
2. Perpustakaan
khusus
Jurnal dan buku
terbitan
Arsip Nasional RI Perpustakaan Khusus
Memiliki fungsi
pelestarian, namun
berbeda obyek dan
definisi
PDII LIPI Perpustakaan Khusus
Penyedia bahan
pustaka
penunjang
penelitian
Pengelolaan ISSN
Evaluasi/Audit Kelembagaan Perpustakaan Nasional RI Tinggi
III-1
3.1. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Soft System Methodology
(SSM). Menurut Checkland, studi sistem dibagi menjadi dua bagian yaitu (1) theory of
development of systems thinking, dan (2) problem solving application of systems thinking.
Bagian kedua lebih lanjut dibagi menjadi work in hard system dan work in soft system.
Hard system digunakan untuk menganalisis masalah yang telah terstruktur dengan
jelas, sedangkan soft system digunakan untuk menganalisis situasi masalah yang tidak
terstruktur dengan jelas.
Soft System Methodology terdiri atas tujuh sebagai tahap ideal, sebagaimana
disajikan dalam Gambar 3.1 berikut ini:
METODE PENELITIAN
BAB TIGA
Evaluasi/Audit Kelembagaan Perpustakaan Nasional RI Tinggi
III-2
Gambar 3.1.
Soft System Methodology
Berikut adalah masing-masing dari tujuh tahap sebagai tahap ideal berikut
proses tahapannya:
1. Tahap 1 dan 2: dilakukan penggambaran selengkap mungkin atas situasi
permasalahan Fungsi dari kedua tahap ini adalah untuk mengenali situasi
permasalahan tidak terstruktur dari Lembaga yang menjadi unit analisis
penelitian. Pada tahap ini diupayakan untuk menggambarkan situasi riil yang
ada (rich picture). Alat analisis yang dipergunakan adalah Strategic Assumption
Surfacing and Testing (SAST), sertapemetaan regulasi (regulatory
mapping)sekaligus dilakukan analisis tekstual.
2. Tahap 3: Setelah mengembangkan gambaran yang lengkap atas situasi
permasalahan, kemudian dilakukan perumusan definisi dasar (root definition)
yang berkaitan dengan idealisasi sistem yang seharusnya diciptakan, dibuat, dan
dikembangkan. Gambaran pada tahap ini adalah mendeskripsikan situasi
permasalahan berdasarkan what, why, who, whom, beserta batasan lingkungan
yang dihadapi. Konstruksi model yang dihasilkan adalah menggunakan
CATWOE analysis. Sebagai panduan untuk menyusun root definition, Checkland
Evaluasi/Audit Kelembagaan Perpustakaan Nasional RI Tinggi
III-3
mengajukan CATWOE yang menggambarkan 6 elemen yang harus
dimasukkan ke dalam root definition:
a. C: Customers atau konsumen sistem yang menunjuk pada kelompok-
kelompok kepentingan yang diuntungkan atau dirugikan dengan atau
tanpa sistem dan yang terpengarus aktivitas sistem.
b. A: Actors atau para aktor dalam sistem yang melaksanakan atau yang
menjadi sasaran aktivitas utama sistem.
c. T: Transformation proccess atau proses transformasi dimana input sistem
diubah menjadi output-output tertentu.
d. W: Worldview atau perspektif dari mana root definition dilihat sebagai
interpretasi dan pandangan terhadap lingkungan dimana sistem berada
e. O: Owners atau pemilik sistem yang memiliki kekuasaan paling besar yang
menyebabkan sistem tidak eksis lagi.
f. E: Environtment constraints atau hambatan-hambatan lingkungan pada
sistem yang pada tingkat tertentu harus dianggap sebagai 'takdir dan yang
sulit mempengaruhi, memberikan dampak, dan mengubah.
Selain itu, dilakukan Analytical Network Process (ANP),yang mencerminkan
pengukuran relatif dari pengaruh elemen-elemen yang saling berinteraksi
berkenaan dengan kriteria kontrol (Saaty, 2003).
3. Tahap 4: Hasil dari analisis pada tahap ketiga digunakan untuk membuat sebuah
model konseptual untuk setiap root definition. Model konseptual tersebut
merupakan set yang terstruktur dari kegiatan yang dibutuhkan dalam sistem
yang didefinisikan dalam root definition. Alat analisis yang dipergunakan dalam
tahap ini adalah Interpretive Structural Modeling (ISM).
Tahap 4a memastikan bahwa model konseptual yang dikembangkan tidak
memiliki kekurangan yang mendasar, mencocokkan model tersebut terhadap
model umum dari setiap sistem aktivitas manusia dalam model 'sistem resmi'.
Tahap 4b. menunjukkan bahwa analis dapat menggunakan konsep sistem lain
sebagai sebuah perbandingan. Dengan demikian tahap ini dimaksudkan untuk
memanfaatkan apa pun konsep yang dimiliki sistem yang nantinya
dikembangkan dalam rangka memperoleh kepastian lebih jauh bahwa model
konseptual model tersebut 'sah', atau setidaknya layak dipertahankan.
Evaluasi/Audit Kelembagaan Perpustakaan Nasional RI Tinggi
III-4
4. Tahap 5: Pada tahap 5 analis meninggalkan pemikiran sistem dan memulai
perdebatan mengenai perubahan layak dan yang diinginkan dengan
menyelenggarakan diskusi yang membandingkan model yang dibangun dalam
tahap 4 dengan situasi masalah dinyatakan dalam tahap 2. Checkland
menggambarkan perbandingan sebagai konfrontasi 'whats' dengan 'hows'.
Tujuan dari model adalah untuk menjawab pertanyaan apakah model dapat
ditemukan di dunia nyata, seberapa baik dapat diimplementasikan.
5. Tahap 6 dan 7: Melaksanakan perubahan yang layak dan diinginkan (feasible and
desirable changes).Tahap 6 dan 7 sejatinya berkaitan dengan pelaksanaan
perubahan untuk memperbaiki situasi permasalahan. Dalam prakteknya SSM
tidak selinier seperti dijelaskan di sini, sebagai sebuah tahap ideal dengan proses
tahapan. Seiring perdebatan dilakukan dalam tahap 5, sangat mungkin kembali
memberi perhatian ke analisis dan root definition awal. Namun demikian hasil
SSM harus menjadi implementasi dari perubahan-perubahan 'diinginkan' dan
'layak'. Checkland menjelaskan perubahan mungkin dalam tiga kategori:
perubahan struktur (organisasi), dalam prosedur (kegiatan), dan pada 'sikap'
termasuk misalnya perubahan pengaruh, harapan, peran, dan lain-lain.
Merujuk pada tahapan SSM, maka langkah kerja evaluasi/audit organisasi
disajikan dalam tabel berikut ini.
Tabel 3.1.
Langkah Kerja Evaluasi/Audit Organisasi
Tahap Langkah Kerja Metode
Tahap 1:
Identifikasi kondisi riil
Lembaga
Mengenali situasi permasalahan kelembagaan
yang tidak terstruktur berbasis tiga aspek: fungsi,
ukuran, dan proses.
• StudiPustaka
• In-depth Interview (IDI)
• Analisis tekstual
Tahap 2:
Permasalahankritikal
Menganalisis asumsi utama mengenai masalah
dan pilihan strategi/solusi terkait aspek: fungsi,
ukuran, dan proses.
• Focus Group Discussion
(FGD) + survei pakar
• Regulatory Mapping
• SAST
Tahap 3:
Pendefinisiansistem
implementasi
Merumuskan definisi dasar (root definition) yang
berkaitan dengan idealisasi sistem yang seharusnya
diciptakan, dibuat, dan dikembangkan, terkait
aspek: fungsi, ukuran, dan proses.
• FGD & IDI
• CATWOE
• ANP
Tahap 4:
Pengembangan
modelkelembagaan
Membuat model konseptual: pola ideal
denganmintzberg’s framework.
• ISM
Evaluasi/Audit Kelembagaan Perpustakaan Nasional RI Tinggi
III-5
Tahap Langkah Kerja Metode
Tahap 5:
Perbandingan Model
Membandingkan model yang dibuat dengan dunia
nyata, termasuk di negara lain (Best fit, right size,
right process)
• Analisis dan uji tahap 2
dan 4
Tahap 6:
Pembahasanuntukperubahan
yang diinginkan
Mengkompromikantemuandenganpola ideal
tigaaspek:fungsi, ukuran, danproses
• Panel pakar/Justifikasi
pakar
• Face validity
Tahap 7:
Konsep final
Pembahasanuntukperubahan
yang diinginkan
Run down pola ideal untuktigaaspek:
1. Tepat Fungsi
2. Tepat Ukuran
3. Tepat Proses
Perumusan rekomendasi final
Adapun unsur-unsur yang dianalisis dalam masing-masing aspek sebagai
berikut:
a) Fungsi:
• Legal frameworks mandat organisasi
• “Kompetisi” antarlembaga sejenis
b) Ukuran:
• Struktur organisasi (“overlapping”, “inkonsistensi”,
diferensiasi/kompleksitas, overload/underload)
c) Proses:
• Intra-organisasi (pengaruh “overlapping”, “inkonsistensi”)
• Inter-organisasi (pola hubungan dengan K/L lain berkaitan dengan
“positioning” mandat organisasi)
3.2. Unit Analisis
Unit analisis kajian ini adalah Perpustakaan Nasional.
3.3. Jenis Data
Data yang diperoleh peneliti dapat digolongkan menjadi data primer dan data
sekunder:
a) Data primer
Data primer diperoleh peneliti melalui studi lapangan. Studi lapangan dilakukan
melalui diskusi terfokus dan wawancara mendalam dengan beberapa informan,
Evaluasi/Audit Kelembagaan Perpustakaan Nasional RI Tinggi
III-6
baik yang berasal dari dalam Lembaga yang menjadi unit analisis, maupun dari
para pakar.
b) Data sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari dokumen yang telah ada.
Data yang digunakan dalam analisis ini adalah pemanfaatan data sekunder yang
diperoleh dari berbagai dokumen resmi yang dikeluarkan oleh lembaga/instansi
yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti, misalnya peraturan
perundang-undangan, serta jurnal, buku dan referensi lain yang relevan dengan
tema penelitian.
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Melalui pendekatan ini, peneliti akan mengumpulkan data penelitian melalui
kegiatan wawancara, observasi, dan dokumentasi.
Teknik Wawancara. Dalam tekni ini, peneliti akan melakukan serangkaian
aktifitas atau langkah-langkah yang mendukung kegiatan wawancara untuk
mendapatkan informasi dan data yang diperlukan untuk Kegiatan evaluasi/audit
kelembagaan Perpustakaan Nasional. Adapun langkah-langkah yang dimaksud
adalah sebagai berikut. Pertama, kami terlebih dahulu menyusun daftar pertanyaan
yang berhubungan langsung dengan rumusan masalah penelitian yang telah
ditentukan sebelumnya. Kedua, kami menentukan dan mengidentifikasi subyek
penelitian yang dianggap memahami daftar pertanyaan penelitian tersebut. Ketiga,
kami membangun komunikasi dengan subyek penelitian yang telah ditentukan dan
dianggap memahami isu penelitian. Keempat, kami mengajukan daftar pertanyaan
kepada subyek penelitian untuk dibaca, dipahami, dan dikoreksi oleh mereka sehingga
nantinya kami dan subyek penelitian memiliki kesamaan pandangan tentang
rangkaian penelitian ini. Kelima, kami mengadakan wawancara langsung dengan para
subyek penelitian. Keenam, kami menyimpan data wawancara yang telah didapatkan
dari subyek penelitian.
Teknik Pengamatan (observasi). Pada teknik ini, peneliti melangsungkan
serangkaian aktifitas pengamatan berupa pengamatan sempurna dan pengamatan
sebagai nonpartisipan. Dalam pengamatan sempurna, peneliti berperan aktif dalam
proses Kegiatan evaluasi/audit kelembagaan Perpustakaan Nasional. Keterlibatan
peneliti dalam rangkaian kegiatan yang diamati membantu peneliti untuk memahami
Evaluasi/Audit Kelembagaan Perpustakaan Nasional RI Tinggi
III-7
fenomena yang terjadi selama Kegiatan evaluasi/audit kelembagaan Perpustakaan
Nasional. Pada sisi lain, peneliti tidak selamanya mengambil bagian dari isu yang
diamati seperti pada tahap Kegiatan evaluasi/audit kelembagaan Perpustakaan
Nasional. Pada tahap ini, peneliti tidak bisa terlibat di dalamnya. Karena itu, peneliti
menggunkan teknik pengamatan nonpartisipan, di mana peneliti memposisikan diri
sebagai outsider dari kelompok yang sedang diteliti dan peneliti menyaksikan dan
mebuat catatan lapangan dari kejauhan.
Teknik Pendokumentasian Data. Melalui teknik ini, peneliti melakukan
pengumpulan data dokumen berupa kebijakan dan catatan lain yang berhubungan
dengan Kegiatan evaluasi/audit kelembagaan Perpustakaan Nasional. Dokumen
kebijakan dikumpulkan oleh peneliti yang nantinya dapat dijadikan sebagai data
sekunder untuk melengkapi data primer yang didapatkan melalui kegiatan wawancara
dan observasi.
3.5. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan teknik (tahap-tahap) analisis data penelitian
kualitatif yang dikemukakan oleh Creswell (2014) berikut ini:
1. Mengorganisasikan data. Peneliti mengawali analsisi data dengan
mengorganisasikan data yang didapatkan melalui kegiatan wawancara,
pengamatan, dan pendokumentasian. Data-data tersebut diarsipkan dalam
bentuk file dan dikelompokkan berdasarkan rumusan masalah penelitian yang
diajukan sebelumnya.
2. Membaca dan membuat memo (memoing). Setelah mengorganisasikan data, kami
melanjutkan proses analisis dengan mamaknai database tersebut secara
komprehensif melalui membaca ulang data-data tersebut, mendiskusikan secara
mendalam, dan mengakegorisasikan data-data tersebut dalam bentuk catatan-
catatan pendek (ringakasan). Pada bagian ini, kami memeriksa kembali data-data
yang didapatkan melalui kegiatan wawancara, pengamatan, dan
pendokumentasian.
3. Mendeskripsikan, mengklasifikasikan, dan menafsirkan data menjadi kode dan
tema. Pada bagian ini, kami mengkaji dan menganalisis lebih jauh data-data hasil
memoing sebelumnya sehingga menjadi kode dan kategori yang konkrit sesuai
rumusan masalah penelitian. Peneliti mendeskripsikan kode dan kategori tersebut
Evaluasi/Audit Kelembagaan Perpustakaan Nasional RI Tinggi
III-8
secara detail dan memberikan penafsiran menurut sudut pandang peneliti dari
perspektif yang ada dalam literatur.
4. Menafsirkan data. Peneliti melakukan penafsiran kembali terhadap data-data
(kode dan kategori) sehingga peneliti dapat memastikan bahwa data-data tersebut
merupakan kode dan kategori yang menggambarkan realitas sosial (isu penelitian)
di lapangan. Kemudian, pada tahap ini, peneliti menafsirkan kode dan kategori
tersebut berdasarkan konsep (literatur) tentang kelembagaan Perpustakaan
Nasional
5. Menyajikan dan memvisualisasikan data. Pada fase ini, peneliti menguraikan
temuan-temuan penelitian berdasarkan hasil analisis sebelumnya. Peneliti
menguraikan temuan tersebut dalam bentuk narasi, bagan, dan tabel yang saling
keterkaitan dan keterhubungan diantara mereka (narasi, tabel, dan bagan).
Kemudian, peneliti dapat membuat jastifikasi bahwa temuan tersebut adalah
temuan ilmiah yang menggambarkan fenomen yang terjadi dalam kegiatan
Kegiatan evaluasi/audit kelembagaan Perpustakaan Nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Adi, H., Djailani, A. R., & Ibrahim, S. (2015). Kualitas Pelayanan Perpustakaan Digital Pada
SMA Negeri 2 Banda Aceh. Intelektualita, 3(2).
Akhmaddhian, S. (2012). Pengaruh Reformasi Birokrasi Terhadap Perizinan Penanaman Modal di
Daerah (Studi Kasus di Pemerintahan Kota Bekasi). Jurnal Dinamika Hukum, 12(3), 464-478.
Alfarisi, A., Purnomo, M., Johar, Y. E., & Hariyanto, H. (2013). Manajemen Tata Kelola
Perpustakaan Universitas Stikubank Semarang. KKP Mahasiswa TI S1.
Anbarini, R., Susilana, R., & Silvana, H. (2017). PENGELOLAAN ARSIP PADA BADAN
PERPUSTAKAAN DAN KEARSIPAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT (Studi
Evaluasi tentang Pengelolaan Arsip yang Dilaksanakan di Bapusipda Jabar). Edulibinfo,
3(1).
Anunobi, C. V., & Okoye, I. B. (2008). The role of academic libraries in universal access to
print and electronic resources in the developing countries.
Anttiroiko, A. V., & Savolainen, R. (2007). New premises of public library strategies in the age
of globalization. In Advances in library administration and organization (pp. 61-81).
Emerald Group Publishing Limited.
Arif, S. N., Wanda, A. P., & Masudi, A. (2013). Aplikasi Administrasi Perpustakaan Berbasis Web
SMK Swasta Brigjend Katamso Medan. Jurnal Saintikom Vol, 12(1).
Ashari, E. T. (2010). Reformasi Pengelolaan SDM Aparatur, Prasyarat Tata Kelola Birokrasi Yang
Baik. Jurnal Borneo Administrator, 6(2).
Barokati, N., Wajdi, N., & Barid, M. (2017). Application Design Library With gamification
concept. Jurnal Lentera: Kajian Keagamaan, Keilmuan dan Teknologi, 3(1), 93-102.
Benawi, I. (2012). Mengenal lebih dekat perpustakaan perguruan tinggi. Iqra': Jurnal Perpustakaan
dan Informasi, 6(01), 49-61. Bertot, J., Estevez, E., & Janowski, T. (2016). Universal and contextualized public services:
Digital public service innovation framework.
Fernanda, D. (2006). Paradigma New Public Management (NPM) Sebagai Kerangka Reformasi
Birokrasi Menuju Kepemerintahan Yang Baik (Good Governance) di Indonesia. Jurnal Borneo
Administrator, 2(3).
Gie, K. K. (2003). Reformasi birokrasi dalam mengefektifkan kinerja pegawai pemerintahan. Jakarta:
Bappenas.. 2003b. Report on Corruption Abolition. Kompas, 9. Hanafie, H. (2016). Implementasi Musrenbang Perspektif Effective Governance (Studi Kasus
Musrenbang di Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan). Transparansi, 8(2), 170-184.
Heryanto, Y. (2014). Implementasi Good Governance Terhadap Peningkatan Pelayanan Publik di
Indonesia. Jurnal Logika, 12 (3), 23-40.
Kahar, I. A. (2008). Konsep kepemimpinan dalam perubahan organisasi (Organizational Change) pada perpustakaan perguruan tinggi. Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan
Informasi, 4(1).
Kanedi, I., & Wulandari, A. (2013). Tata Kelola Perpustakaan Menggunakan Bahasa Pemrograman
Visual Basic 6.0 (Studi Kasus Pada Sekolah Menengah Pertama Negeri 3 Seluma). Jurnal Media
Infotama, 9(1).
Kartiwa, H. A. (2006). Implementasi peran dan fungsi DPRD dalam rangka mewujudkan good
governance. Abstrak.
Keban, Y. T. (2000). Good Governance dan Capacity Building sebagai Indikator Utama dan Fokus
Penilaian Kinerja Pemerintahan. Jurnal Perencanaan Pembangunan, Jakarta. Lembaga
Administrasi Negara. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
https://www.menpan.-go.id/site/reformasi-birokrasi/makna-dan-tujuan. Diakses pada tanggal 02 September 2018.
Kusrini, K., & Al Fatta, H. (2014). Analisis Dan Perancangan Sistem Informasi Perpustakaan
Stkip Hamzanwadi Selong Dengan Menggunakan Togaf ADM. Data Manajemen dan
Teknologi Informasi (DASI), 15(4), 20.
La Ode Ida. 2010. Negara Mafia. Jakarta: Galang Press.
Mardiasmo, 2002. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: Andi.
Mutaki, H. (2017). Implementasi Sistem Automasi Perpustakaan Di Universitas Islam Negeri
Sunankalijaga Yogyakarta. Hanata Widya, 6(1), 12-21.
Nawawi, J. (2012). Membangun Kepercayaan Dalam Mewujudkan Good Governance. Jurnal Ilmiah
Ilmu Pemerintahan, 1(3), 19-29.
Oesman, A. W. (2010). Mewujudkan Good Governance Direktorat Jenderal Pajak Dengan Reinventing
Government. Jurnal Eksis, 1479-1485.
Osborne, David dan Gaebler, Ted. 1992. Reiventing Government (How the Enterpreneurial Spirit is
Transforming The Public Sector). New York: Addison-Wesley Publishing Company Inc.
Owusu-Ansah, E. K. (2003). Information literacy and the academic library: a critical look at a
concept and the controversies surrounding it. The Journal of Academic Librarianship,
29(4), 219-230.
Pebrianto, S. (2011). Pembangunan Sistem Informasi Perpustakaan Pada Perpustakaan Umum
Kabupaten Pacitan. Speed-Sentra Penelitian Engineering dan Edukasi, 2(2).
Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010 –
2025. Rewansyah Asmawi. 2008. Reformasi Birokrasi Ceramah Ketua LAN RI, pada Diklat Pim Tk
II Angkatan XXXIII Kelas D. Jakarta, 2008 Rodiah, S. (2009). Kegiatan Manajemen Perpustakaan Sekolah Dalam Mendukung Tujuan
Sekolah. Abstrak.
Saleh, A. R. (2014). Manajemen perpustakaan. http://repository.ut.ac.id/4138/1/PUST2229-
M1.pdf. Diakses pada 02 September 2018.
Salman, A. A., Mostert, J., & Mugwisi, T. (2018). The Governance and Management of Public
Library Services in Nigeria. Library Management, (just-accepted), 00-00.
Subrata, G., & Kom, S. (2009). Upaya pengembangan kinerja pustakawan perguruan tinggi di era globalisasi informasi. Jurnal Pustakawan Perpustakaan UM, 1-12.
Sumodiningrat, G., 1999. Pemberdayaan Masyarakat & JPS. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Susanto, E. H. (2017). Kelambanan Reformasi Birokrasi dan Pola Komunikasi Lembaga
Pemerintah. Jurnal ASPIKOM-Jurnal Ilmu Komunikasi, 1(1), 109-123.
Taufik, T., & Kemala, D. (2013). Pengaruh Pemahaman Prinsip-prinsip Good Governance,
Pengendalian Intern dan Komitmen Organisasi terhadap Kinerja Sektor Publik. Jurnal
Pendidikan Ekonomi dan Bisnis, 5(1), 51-63.
Tome, A. H. (2012). Reformasi Birokrasi Dalam Rangka Mewujudkan Good Governance Ditinjau
Dari Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 20
Tahun 2010. Jurnal Hukum Unsrat, 20(3), 132-147.
Too, E. G., & Weaver, P. (2014). The management of project management: A conceptual
framework for project governance. International Journal of Project Management, 32(8),
1382-1394.
Usman, J. (2011). Manajemen Birokrasi Profesional dalam Meningkatkan Pelayanan Publik. Otoritas:
Jurnal Ilmu Pemerintahan, 1(2).
Widiasa, I. K. (2007). Manajemen Perpustakaan Sekolah. Perpustakaan Sekolah: Kajian, Metode,
Praktik, dan Evaluasi Perpustakaan Sekolah. Tahun, 1, 8-18.
Williams, D. E., Nyce, J. M., & Golden, J. (Eds.). (2009). Advances in Library Administration and Organization. Emerald Group Publishing Limited.
pt. sinergi visi utama consultant
Jl. Retno Dumilah No. 56B Prenggan,Kotagede, YogyakartaTelp. (0274) 376683, 4438000e-Mail : svu@sinergivisiutama.com
Kerjasama antara: