Post on 19-Nov-2021
Cerrya Wuri Waheni
21 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7
ESTETIKA INTERIOR RUMAH COMPOUND DI KAWASAN
KOTAGEDE YOGYAKARTA
Cerrya Wuri Waheni
ABSTRAK
Rumah yang dikenal oleh masyarakat Indonesia pada umumnya
menjadi istilah “omah” pada masyarakat Jawa yang menunjukan suatu
bangunan yang diberi atap dan dipakai untuk tempat tinggal atau
keperluan lainnya. Unit-unit ruang pada rumah Jawa, memiliki fungsi
yang berbeda yang menentukan cara berkelakuan dan berinteraksi
manusia di dalamnya. Unit-unit ruang tersebut apabila disejajarkan
dapat digambarkan sebagai suatu kontinum dari ruang yang paling
publik (pendapa - omah ngarep) sampai ke yang paling privat (pawon
dan kulah pada bagian omah mburi). Dari ruang yang paling sakral ke
ruang yang paling profan. Dari ruang yang paling bersih, sampai ruang
yang paling kotor. Kontinum ruang yang digambarkan ini juga
menunjukkan kesinambungan dan ruang yang berfungsi untuk
memenuhi kebutuhan sosial budaya sampai ke ruang yang berfungsi
memenuhi kebutuhan emosional serta biologis. Penulis mencoba
melakukan penelitian dari sudut pandang estetika interior rumah
coumpound di kawasan kotagede Yogyakarta, dengan harapan bisa
menambah ilmu pengetahuan bahwa interior yang terdapat pada rumah
Jawa memuat unsur keindahan dan makna tersendiri sebagai
pembelajaran bagi manusia yang berada di dalamnya. Estetika interior
rumah coumpound ini harapannya juga bisa mengingatkan kembali
kepada diri penulis sendiri sebagai perempuan Jawa dan masyarakat
Jawa pada umumnya yang terkhusus perempuan di Yogyakarta, untuk
mengetahui bahwa pada zaman dahulu rumah coumpound pernah
bersaksi di dalam kehidupan perempuan Jawa. Semoga pengetahuan ini
bisa menjadi pengetahuan dalam pembentukan sikap dan perilaku
masyarakat selain masyarakat Jawa, agar dengan mudah larut dalam
pola kehidupan budaya tradisional Jawa.
Cerrya Wuri Waheni
22 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7
Kata Kunci: Omah, penelitian, estetika, interior dan coumpound.
I. PENDAHULUAN
Kotagede merupakan kawasan yang memiliki karakteristik
sebagai kota tradisional Jawa, yang memiliki faktor historis, sosial dan
kultural. Sejarah Kotagede bermula dari dibukanya Alas Mentaok oleh
Ki Ageng Pemanahan pada tahun 1575 M. Daerah yang dihadiahkan
kepadanya oleh Sultan Hadiwijaya, raja Kerajaan Pajang atas jasanya
mengalahkan Arya Penangsang, kemudian dijadikan ibukota Kerajaan
Mataram Islam di tahun 1586 M oleh anaknya, Panembahan Senapati
(Danang Sutawijaya). Akan tetapi seiring perkembangan zaman
Kotagede menjadi kota yang mewakili berbagai strata. Berbagai macam
profesi dan tingkatan kedudukan penduduknya masih ada sampai
sekarang.
Di sisi lain situs www.yogyes.com berbicara mengenai Kota
Yogyakarta, maka tidak akan terlepas dari keberadaan Kotagede, yang
disebut-sebut sebagai cikal bakalnya Kerajaan Mataram. Kotagede asli
merupakan kawasan yang memiliki karakteristik sebagai kota
tradisional Jawa. Rentang sejarah panjangnya mengukir banyak pesona
dan meninggalkan pusaka budaya yang tak ternilai. Sebagai kerajaan
Jawa, tata kota kawasan ini mengacu prinsip ’Catur Gatra Tunggal’
yang direpresentasikan dengan adanya Keraton, Alun-alun, Masjid dan
Pasar. Keraton menjadi titik orientasi arsitektur karena dianggap pusat
keseimbangan mikrokosmos dan makrokosmos (inti filosofi
Cerrya Wuri Waheni
23 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7
kebudayaan Jawa). Karena itu setiap rumah di kawasan ini menghadap
pada titik dimana pusat pemerintahan (dulu) berada.
Kotagede merupakan kawasan yang mewakili tradisi Jawa.
Kultur peninggalan Kerajaan Mataram Islam masih dapat ditelusuri
dengan melihat denah kota yang mempunyai ciri khas. Struktur
pemukiman rumah tinggal, bangunan-bangunan yang didirikan secara
tradisional dan jalan-jalan yang berpotongan membentuk bujur sangkar
di Kotagede sampai saat ini masih ada. Secara umum tata kota
Kotagede masih mencerminkan struktur asli pada waktu didirikan.
Meskipun banyak yang sudah berubah menjadi pemukiman yang padat,
bangunan keraton sudah menjadi makam dan di sekitarnya berdiri
rumah-rumah penduduk, dan pusat kota tidak lagi di keraton, karena
sudah berubah fungsi, kecuali pasar. Kepesatan perkembangan
lingkungan di sekitarnya tidak banyak mempengaruhi perkembangan
fisik lingkungan di dalam lingkup kawasan Kotagede.
Zaman modern dengan dinamika masyarakat yang cukup tinggi,
selain dilandasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, masih
juga terdapat tradisi yang hidup dan berkembang di kalangan
masyarakat dalam kurun waktu yang lama dan merupakan salah satu
akar budaya bangsa. Masyarakat Jawa dengan faham Jawanya
(kejawen) sering dianggap hidup dalam kepercayaan primitif, namun
sebenarnya dengan faham itulah mereka kemudian dikatakan
mempunyai sifat-sifat khusus. Hal-hal yang tampak khusus adalah cara
Cerrya Wuri Waheni
24 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7
mereka mempertahankan hidup selaras dan harmonis dengan
lingkungan di sekitarnya.
“Rumahmu, Wajahmu dan Jiwamu”, adalah ungkapan yang
menggambarkan bahwa rumah dalam kehidupan manusia Indonesia
mempunyai ‘arti dan makna yang dalam’ (Yudohusodo, 1991: 4).
Memahami dan mengartikan maksud dari bangunan bukan hanya
sekedar persepsi visual tetapi seyogyanya ditilik sebagai sistem
hubungan spasial. Untuk dapat memahami ruang sosial secara logika
maka lingkungan tersebut harus dideskripsikan secara fisik berdasarkan
kurun waktu ataupun lingkungan sekitar. Hal tersebut dilakukan untuk
memahami dan mengetahui hubungan antara pola yang digunakan
dengan aktivitas sosial yang berlangsung didalamnya.
Menurut Djoko Suryo (1985: 111), Yogyakarta adalah salah
satu bagian propinsi di Jawa yang masih kental dan mempertahankan
tradisi dan filosofi ini. Pengaruh kepercayaan dan mitos secara turun
temurun masih ditaati dalam sistem kehidupan bermasyarakat. Salah
satu contohnya adalah dari segi orientasi arah hadap rumah tinggal,
biasanya menghadap utara atau selatan. Secara kepercayaan arah hadap
utara adalah untuk menghormati Gunung Merapi yang dianggap
keramat. Sedangkan arah hadap selatan juga terdapat tempat keramat
yang dihormati yaitu adanya Laut Selatan yang menurut mitos Jawa
terdapat istana Nyai Rara Kidul yang merajai segala jin dan setan
(lelembut). Selain itu, susunan atau organisasi ruang, fungsi ruang,
bentuk arsitektur, memilih letak untuk membangun dan bahan
Cerrya Wuri Waheni
25 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7
bangunan pun mempunyai patokan yang mantap, serta diperhitungkan
dengan matang. Tatanan tersebut kemudian mempengaruhi semua
tingkah laku, penggunaan benda-benda yang dipakai, dibuat, mantra
dan sesaji, tempat-tempat alamiah, sikap serta gagasan-gagasannya
(Sumardjo, 309: 2014).
Menurut Wiryomartono (1995 :46), pemukiman di Kotagede
terdiri dari beberapa kelompok yang tidak didasarkan pada pola
geometris sistematis, tetapi merupakan compound yang terdiri dari
beberapa keluarga. Setiap satu compound dibangun dengan pembatas
dinding dari batu bata terbuka atau diplester, dan terdiri dari 6 hingga
10 rumah. Sedangkan Soeryanto dan Indanoe dalam Iswati (2001: 27)
menyebutkan ada lima tipe pemukiman di Kotagede, antara lain pola
dengan tatanan dari beberapa kelompok hunian dan di hubungkan oleh
jalan rukunan, pola kluster dari beberapa unit hunian yang terbentuk
dalam satu lingkungan yang dibatasi oleh dinding, pola dengan
beberapa hunian dengan tipe individual dan membentuk suatu pola
kolektif, pola kluster dalam satu lingkungan berpagar dinding dengan
jalan rukunan di depan pendopo, dan pola kluster berpagar dinding
dengan akses hanya dari samping.
Pola pemukiman dalam bentuk compound yang terdiri dari
beberapa rumah tinggal ini memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan
rumah tinggal di tempat lain. Pola compound merupakan pola kluster
yang unik, dalam satu lingkungan yang dibatasi pagar dinding yang
tinggi atau sering disebut dengan pagar bumi, didalamnya terdapat
Cerrya Wuri Waheni
26 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7
beberapa rumah tinggal yang dulunya merupakan rumah indung (rumah
persewaan dulunya milik abdi dalem jurukunci) dan rumah magersari.
Biasanya dalam satu coumpound merupakan masih dalam satu
kekerabatan atau satu kinship.
Iswati, dkk (1999: 28) mangatakan bahwa beberapa kampung di
kawasan kotagede terpisahkan oleh gang-gang yang dikelilingi tembok
tinggi dengan kampung sekitarnya. Ini merupakan ciri yang amat
menonjol dari tipe pemukiman yang ada di Kotagede. Diantara tembok-
tembok tinggi tersebut biasanya terdapat jalan penghubung/jalan
rukunan yang disediakan oleh pemilik rumah sehingga bagi warga
sekitar untuk menuju seberang gang tidak perlu mengitari gang tetapi
bisa melalui jalan pintas tersebut yang biasanya disebut jalan rukunan.
Jalan rukunan ini ada yang dibuka tiap jam 6.00 dan ditutup jam
18.00. Tetapi ada juga yang selalu ditutup dan hanya anggota keluarga
dalam satu kinship yang bisa melaluinya. Dibalik tembok-tembok
tinggi tersebut biasanya terdapat ruang tersembunyi berupa open space
yang orang tidak akan tahu apabila tidak memasuki atau melalui
tembok tersebut. Ini juga salah satu ciri yang banyak ditemui di
kampung-kampung Kotagede.
Sikap dan perilaku masyarakat Kotagede, khususnya dalam pola
pemukiman compound dengan mudah beradaptasi dalam pola
kehidupan budaya tradisional Jawa. Adaptasi yang mudah dibuktikan
dengan penyesuaian terhadap rumah tinggalnya yang rata-rata sudah
berumur ratusan tahun walaupun makna yang ada didalamnya telah
Cerrya Wuri Waheni
27 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7
berubah. Hubungan kekeluargaan dan social intercourse antara
penghuni rumah dengan publik masih sangat erat.
Menurut Haryadi & B. Setiawan (1995: 31) Berbagai kegiatan
manusia saling berkaitan dalam satu sistem kegiatan. Demikian juga
wadah-wadah berbagai kegiatan atau ruang-ruang (space) tersebut,
yang juga terkait dalam satu sistem, yang disebut dengan ‘sistem ruang’
atau ‘sistem spasial’ (spatial system). Keterkaitan ruang-ruang sebagai
wadah kegiatan inilah yang membentuk ‘tata ruang’ atau ‘pola ruang’
yang tertuang sebagai bagian dari arsitektur.
Sedangkan menurut Yulita (2005), sebagai obyek yang tampak
(visible) dan nyata (tangible), sistem hubungan spasialnya tentu dapat
dipahami secara logis. Masalah utama dalam mengkaji pola ruang
adalah bagaimana menemukan hubungan antara struktur sosial dan
struktur spasialnya. Syntax model adalah metode yang bisa digunakan
untuk menjelaskan permasalahan ruang tersebut.
Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas, peneliti tertarik
untuk mengkaji lebih dalam mengenai pola spasial pada rumah tinggal.
Obyek penelitian yang dipilih adalah rumah tinggal dalam pola
pemukiman compound di kawasan Kotagede. Dengan meneliti
estetika, maka akan diketahui lebih lanjut hubungan antar pola yang
digunakan dengan aktifitas yang berlangsung di dalamnya dari sebuah
organisasi ruang rumah tinggal. Kondisi demikian melatarbelakangi
dalam penelitian ini, yaitu untuk mengetahui tentang karakteristik
Cerrya Wuri Waheni
28 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7
secara estetik pada rumah tinggal compound di kawasan Kotagede
Yogyakarta.
A. Permasalahan dan Pembahasan
Penelitian Soeryanto dan Indanoe (1987) dalam Iswati
(2001:28) menyebutkan ada lima tipe pemukiman di Kotagede, antara
lain pola dengan tatanan dari beberapa kelompok hunian dan di
hubungkan oleh jalan rukunan, pola kluster dari beberapa unit hunian
yang terbentuk dalam satu lingkungan yang dibatasi oleh dinding, pola
dengan beberapa hunian dengan tipe individual dan membentuk suatu
pola kolektif, pola kluster dalam satu lingkungan berpagar dinding
dengan jalan rukunan di depan pendapa, dan pola kluster berpagar
dinding dengan akses hanya dari samping. Menurut Wiryomartono
(1995:46), pemukiman di Kotagede terdiri dari beberapa kelompok
yang tidak didasarkan pada pola geometris sistematis, tetapi merupakan
compound yang terdiri dari beberapa keluarga. Setiap satu coumpound
dibangun dengan pembatas dinding dari batu bata terbuka atau
diplester, dan terdiri dari 6 hingga 10 rumah.
Cerrya Wuri Waheni
29 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7
Gambar 1: Lima tipe pemukiman di Kotagede
(Sumber: Indanoe dan Soeryanto, 1987)
Keterangan:
1. Pola dengan tatanan dari beberapa kelompok hunian, baik
individual maupun kolektif, setiap kelompok dihubungkan oleh
jalan kolektif (rukunan), yang berfungsi sebagai sarana interaksi
sosial, komunikasi dan sirkulasi dalam satu kelompok hunian.
2. Tipe dengan pola kluster dari beberapa unit hunian yang
terbentuk dalam satu lingkungan yang dibatasi oleh dinding,
jalan rukunan (antara pendopo dan dalem) yang
menghubungkan antar unit rumah, dengan pengakhiran regol
pada sisi barat dan timur.
Cerrya Wuri Waheni
30 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7
3. Beberapa hunian dengan unit rumah, dengan pengakhiran regol
pada sisi barat dan timur.
4. Tipe dengan pola kluster dari bangunan hunian dalan satu
lingkungan berpagar dinding, dengan pencapaian (akses) dari
arah depan dan samping, jalan rukunan terletak di depan
pendapa.
5. Tipe dengan pola kluster dari bangunan hunian dalan satu
lingkungan berpagar dinding, dengan pencapaian (akses) dari
arah samping.
B. Pemukiman Compound di Kotagede
Menurut Kamus Inggris-Indonesia (1999:29), compound berati
campuran, majemuk, halaman. Pola pemukiman dengan bentuk
compound merupakan pemukiman berkelompok dalam satu
lingkungan. Pola pemukiman dalam bentuk compound yang terdiri dari
beberapa rumah tinggal ini memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan
rumah tinggal di tempat lain. Pola compound merupakan pola kluster
yang unik, dalam satu lingkungan yang dibatasi pagar dinding yang
tinggi atau sering disebut dengan pagar bumi, didalamnya terdapat
beberapa rumah tinggal. Biasanya dalam satu coumpound merupakan
masih dalam satu kekerabatan atau satu kinship.
Pola pemukiman compound terbentuk dari kelompok rumah
dan ruang terbuka yang memanjang. Keberadaan pola pemukiman
compound di Kotagede tidak terlepas dari adanya jalan rukunan sebagai
area sirkulasi warga.
Cerrya Wuri Waheni
31 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7
Menurut Indanoe dalam Indratoro (1995:28) ada 3 pola
pemukiman compound di Kotagede antara lain :
1. Pola compound dengan dua/lebih deretan rumah ke arah timur-
barat dengan jalan setapak yang terletak diantara pendapa dan
dalem, jalan setapak ini dihubungkan oleh jalan setapak (arah
utara selatan dengan deretan rumah sekelilingnya.
2. Pola compound dengan dua atau lebih deretan rumah ke arah
timur-barat dengan jalan setapak yang terletak diantara
bangunan pandapa dan dalem (tanpa ada jalur penghubung
dengan deretan rumah sebelahnya).
3. Pola compound dengan dua/lebih deretan rumah kearah timur-
barat dengan jalan setapak di depan bangunan pendapa.
II. TINJAUAN TENTANG RUMAH TINGGAL
A. Tinjauan tentang Rumah Tinggal
Menurut Yudohusodo (1991:4), rumah dalam arti house akan
menitikberatkan pada fungsi rumah secara fisik, yaitu melindungi
terhadap pengaruh alam. Sedangkan menurut Frick (1997) rumah
dalam arti home akan menitikberatkan pada kepentingan kejiwaan,
sosial dan budaya. Rumah tinggal tradisional di Indonesia pada
umumnya merupakan ungkapan dari hakikat penghayatan dari
kehidupan.
Menurut Soekanto (1983) dalam Ronald (1993:32), rumah
biasanya diasumsikan sebagai tempat yang digunakan untuk mewadahi
kegiatan sebuah atau beberapa rumah tangga. Rumah bagi tiap
Cerrya Wuri Waheni
32 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7
golongan masyarakat mengandung pengertian yang berbeda-beda. Bila
dikembalikan pada sosok manusianya maka tiap ekspresi manusia dapat
dibedakan antara lain karena tiap orang berada pada situasi sistem nilai
yang berbeda.
Altman dalam Sugini (1997:12), rumah tinggal tidak hanya
ditentukan olah faktor alam atau ketrampilan masyarakat, tetapi yang
lebih penting adalah faktor budaya. Menurut Kartolo dalam Sondakh
(2003:21), perubahan budaya berdampak pada beberapa
kecenderungan perubahan wujud dan makna arsitektur yang berlaku
dimasyarakat. Oleh karena itu rumah tinggal menjadi tipe bangunan
yang paling dekat kehidupan sehari-hari baik secara individu, keluarga
dan masyarakatnya. Dapat disimpulkan bahwa rumah tinggal sebagai
karya nyata manusia dan menjadi wadah paling kompleks kegiatannya
serta menjadi obyek perwujudan ide, nilai dan norma kehidupan
mereka.
Menurut Kenedy (1963:109), bangunan rumah menggambarkan
karakter khusus dari ativitas rumah tersebut. Rumah bagi sebuah
keluarga mempuyai empat fungsi, yaitu:
1. Untuk kehidupan, tidur, makan, sistem pengeluaran dan
sebagainya.
2. Untuk melindungi dan mendidik anak-anak
3. Bagi individu untuk berlindung dari tekanan kelompok
4. Sebagai simbol, latar belakang, ekspresi dan kegembiraan
Cerrya Wuri Waheni
33 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7
Rumah tinggal adalah ungkapan yang sangat sederhana. Rumah
tinggal dalam artian yang sederhana yaitu tempat lindung bagi manusia
dan keluarganya, sebagai tempat berkembang paling mendasar dan
membentuk karakter bagi para penghuninya. Banyak aktivitas terjadi,
sehingga rumah tinggal merupakan tempat paling kompleks sebagai
wadah kegiatan. Berikut ini adalah contoh rumah yang menjadi objek
penelitian penulis.
Kasus rumah tinggal
1. Nama Pemilik : Responden 1
2. Alamat : Alun-alun RT 37 RW IX, Purbayan
3. Tahun dibangun : 1850
4. Tahun Renovasi : 1938
5. Status Kepemilikan : warisan orang tua
6. Jumlah Anggota Keluarga : 4 orang
Rumah milik responden 1 adalah rumah yang mewakili dari
salah satu compound di Kotagede yang dijadikan sebagai cagar budaya
yaitu ‘between two gates’ . Rumah ini mempunyai nilai sejarah, dan
merupakan rumah warisan secara turun temurun. Hubungan
kekeluargaan dalam satu compound ternyata masih dalam satu kinship,
artinya ada dalam satu garis keturunan.
Secara fisik, orientasi hadap rumah responden 1 menghadap
selatan, merupakan rumah tradisional Jawa lengkap yang masih
mempunyai pendapa dan adanya ruang-ruang inti seperti dalem,
gandok dan senthong walaupun pada saat ini sudah banyak mengalami
Cerrya Wuri Waheni
34 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7
perubahan fungsi. Antara pendapa dan rumah induk terpisah oleh jalan
rukunan,
Fungsi pendapa pada rumah responden 1 tidak digunakan
sebagai ruang tamu sebagaimana mestinya rumah Jawa, tetapi pendapa
digunakan apabila ada acara-acara tertentu. Bagian dalem pada rumah
responden 1 digunakan sebagai ruang tamu terdapat aktivitas untuk
menerima tamu keluarga, sentong tengen dan sentong kiwa difungsikan
sebagai kamar tidur dengan aktivitas utama untuk tidur, berhias dan
berganti pakaian dan sentong tengah digunakan untuk tempat sholat.
Gandok lebih difungsikan sebagai ruang serbaguna, kerena terdapat
beberapa area, antara lain area untuk menonton tv berkumpul bersama
keluarga, area makan, area setrika dan ganti pakaian. Untuk dapur
terdapat di sebelah gandok timur, sedangakan kamar mandi dan tempat
cuci terdapat di gandok belakang yang berupa ruang terbuka sehingga
difungsikan juga untuk tempat jemuran.
Foto 1: Depan Rumah Tinggal, tampak area duduk biasanya untuk
santai
Cerrya Wuri Waheni
35 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7
Foto 2: Tampak Pendapa yang terpisah oleh jalan rukunan dengan
rumah induk digunakan sebagai ruang tamu pada acara-acara tertentu.
Foto 3: Teras rumah sebagai area duduk
Foto 4: Tampak ruang tamu untuk menerima temu keluarga
Cerrya Wuri Waheni
36 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7
Foto 5: Tampak senthong tengah difungsikan sebagai tempat solat
Foto 6 Tampak area baca pada dalem
Cerrya Wuri Waheni
37 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7
Denah dan Pembangunan Area
Gambar 2: Denah dan Pembagian Area Kasus 1
Keterangan :
A : Emper/Teras/Serambi 4h : Area simpan Perkakas
B : Dalem 10 : Area Setrika
Cerrya Wuri Waheni
38 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7
C : Gandok Timur 4g : Area simpan Sepatu/Sandal
E : Gandok Belakang 5 : Area Ibadah
F : Jalan Rukunan 7 : Area Makan
G1, G2 : Ruang Tidur 9c : Area Memasak
H : Halaman 6 : Area Menonton TV
1 : Area Duduk 11a : Area Mandi
2 : Area Tidur 11b : Area mencuci
3 : Area Berhias 12 : Area Jemur
4a : Area simpan Pakaian 13 : Area Kebun
4b : Area simpan Pajang 14 : Area Ganti Pakaian
4c : Area simpan Pecah Belah 15 : Area Parkir
4e : Area simpan File 9b : Area Meracik/Meramu
B. Makna Rumah Bagi Orang Jawa
Menurut Dakung (1981:52), rumah dalam bahasa Jawa berarti
“Omah” yang berarti tempat tinggal, mempunyai arti yang sangat
penting, yang berhubungan erat dengan kehidupan orang Jawa. Dalam
kehidupan orang Jawa, ada tiga ungkapan kata, yaitu : sandang, pangan
dan papan, yang artinya pakaian, makanan dan tempat tinggal.
Menurut Ronald (1998:71), rumah bagi keluarga Jawa
mempunyai nilai tersendiri, yaitu sebagai suatu bentuk pengakuan
umum bahwa keluarga tersebut telah mantap kehidupannya. Sikap
hidup orang Jawa yang tidak individualistik, kebiasaan hidup yang
mengutamakan kebersamaan dalam segala situasi, mengutamakan
kekerabatan mempengaruhi perilaku orang Jawa dalam mempersiapkan
pembangunan rumah dan lingkungannya. Akibatnya bangunan rumah
Cerrya Wuri Waheni
39 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7
Jawa selalu dipersiapkan tidak hanya terbatas pada kepentingan
keluarga inti saja, tetapi bilamana mungkin dapat menampung keluarga
majemuk, meskipun kenyataannya tidak setiap hari diperlukan.
Di sisi lain, Amiseno (1986:36) menyatakan bahwa rumah
(tradisional) bagi masyarakat Jawa mengandung pengertian yang lebih
jauh, mencakup cerminan perilaku, gaya hidup dan sikap
masyarakatnya.
Sebuah keluarga dapat dikatakan mapan atau tentram apabila
sudah mempunyai rumah sendiri, tanpa harus ngindung/menyewa dari
orang lain. Makna terpenting dalam sebuah rumah tinggal adalah
tempat mendidik, berkembang, dan tumbuhnya sikap/perilaku. Hidup
dengan bertoleransi, bergaul dengan yang lain merupakan ciri hidup
masyarakat Jawa.
C. Tinjauan tentang Rumah Jawa
Istilah “omah” menurut baoesastra Jawa menunjukan suatu
bangunan yang diberi atap dan dipakai untuk tempat tinggal atau
keperluan lainnya. Unit-unit ruang pada rumah Jawa, memiliki fungsi
yang berbeda yang menentukan cara berkelakuan dan berinteraksi
manusia di dalamnya. Unit-unit ruang tersebut apabila disejajarkan
dapat digambarkan sebagai suatu kontinum dari ruang yang paling
publik (pendapa - omah ngarep) sampai ke yang paling privat (pawon
dan kulah pada bagian omah mburi). Dari ruang yang paling sakral ke
ruang yang paling profan. Dari ruang yang paling bersih, sampai ruang
yang paling kotor. Kontinum ruang yang digambarkan ini juga
Cerrya Wuri Waheni
40 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7
menunjukkan kesinambungan dan ruang yang berfungsi untuk
memenuhi kebutuhan sosial budaya sampai ke ruang yang berfungsi
memenuhi kebutuhan emosional serta biologis.
Menurut Dakung (1987) dalam Iswati (2001:31), rumah Jawa
yang ideal terdiri dari paling tidak dua atau tiga unit bangunan yakni
pendapa (ruang pertemuan), pringgitan (ruang untuk pertunjukan) dan
dalem (ruang inti keluarga). Dalem dibedakan menjadi bagian luar yang
disebut emperan serta bagian dalam yang tertutup dinding, bagian
dalam terdiri atas dua bagian (depan dan belakang) ataupun tiga bagian
(depan, tengah dan belakang). Rumah dengan atap kampung atau
limasan, mempunyai dua bagian ruang, sementara rumah dengan
bentuk atap joglo mempunyai tiga bagian ruang. Bagian belakang
terdiri atas sentong kiwo, sentong tengen dan sentong tengah.
Cerrya Wuri Waheni
41 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7
Gambar 3: Unit dasar rumah tradisional Jawa. (Sumber: Tjahjono,
1989
Subroto (1995:42) menyebutkan bahwa di dalam pandangan
orang Jawa terdapat hubungan antara hirarki rasa personal dan konsep
perencanaan rumah tradisionalnya. Rumah Jawa dapat dibagi menjadi
tiga bagian. Pertama, adalah omah ngarep (rumah depan), yaitu tempat
untuk menerima tamu, dan ditandai dengan adanya pendopo. Bagian ini
merupakan bentuk dari sikap “ngarep-arep” (menanti dengan harap),
oleh karenanya pendopo diekspos dan diletakkan di bagian depan
rumah. Hal ini juga menunjukkan sikap ”ngajeni” (menghormati) oleh
pemilik rumah pada tamunya.
Cerrya Wuri Waheni
42 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7
Bagian kedua adalah omah njero (rumah dalam) yang terletak
di bagian tengah rumah, terdiri dari dalem / omah dan gandok. Omah
dibagi menjadi dua, yakni bagian dalam dan luar. Bagian dalam ini
bersuasana mistis, tertutup, dan gelap. Di sinilah aktivitas ritual pribadi
dilaksanakan. Suasana misterius ini menimbulkan rasa ajrih (takut).
Sementara emperan sebagai bagian luar omah berposisi sebagai ruang
transisi, antara pendopo sebagai ruang luar dan omah sebagai ruang
dalam, dan bisa dikatakan sebagai ruang semi privat, yang juga
mencerminkan rasa sungkan. Mengapit omah atau dalem, terdapat
gandok yang biasanya digunakan sebagai ruang makan, tidur, dan
berkumpul keluarga. Gandok ini menunjukkan sikap lingsem (malu).
Pringgitan berfungsi untuk istirahat dan pada saat-saat tertentu untuk
tempat mengadakan pertunjukkan wayang. Ruang dalem untuk istirahat
/ tidur anak-anak, sentong kanan dan sentong kiri berfungsi untuk ruang
tidur orang tua / menyimpan barang berharga, sentong tengah adalah
tempat sakral, sebagai tempat menyimpan benda pusaka.
Bagian ketiga adalah omah mburi (rumah belakang), yang
terdiri dari dapur, sumur dan kamar mandi. Bagian ini mewakili rasa
isin (sangat malu sekaligus rendah diri). Karenanya bagian ini harus
disembunyikan dan diposisikan jauh dari ruang publik.
Cerrya Wuri Waheni
43 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7
Gambar 4: Bagan Antar Hirarki Rasa Personal dengan Konsep Rumah
Jawa (Sumber: Subroto, 1995)
Di dalam perwujudannya dalam rumah tinggal, omah mburi
(datem, senthong, gandhok, pawon dan kulah) merupakan domain
wanita, sedang pendapa adalah domain laki-laki. Sementara pringgitan
merupakan batas/ruang transisi antara kedua domain di atas. Jadi
meskipun sering disebutkan bahwa semakin ke belakang, bagian rumah
Jawa akan semakin privat, tetapi peran gender dalam konteks budaya
Jawa dalam hal ini masih sangat berperan.
Pada kehidupan sehari-hari, tamu perempuan akan lebih
leluasa masuk ke dalem bahkan sampai ke dapur orang lain, sedangkan
tamu laki-laki tidak boleh begitu saja memasuki ruang-ruang belakang.
Kalau sedang ada hajat tetangga perempuan akan berkumpul untuk
memasak bersama di dapur, sedang para lelaki akan membantu bekerja
di bagian luar atau depan rumah. Bahkan di dalam keseharian pun, ada
anggapan bahwa laki-laki tidak pantas berada atau beraktivitas di dapur
Cerrya Wuri Waheni
44 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7
meskipun itu dapur rumahnya sendiri, karena dapur adalah wilayah
perempuan.
Menurut Iswati, dkk (1999:28), rumah Jawa umumnya
membagi rumahnya dalam tiga bagian yaitu profan, semi-profan dan
sakral. Biasanya profan ditunjukkan oleh adanya pendapa, dimana
setiap orang bisa memasukinya dan sifatnya publik, sedangkan
rumah/dalem merupakan bagian dari intinya terdiri dari senthong
tengah, senthong kiwa dan senthong tengen dan sifatnya privat/sakral.
Sedangkan gandhok kiwa dan gandhok tengen, gadri/pawon merupakan
ruang semi profan.
Tjahyono dalam Setyaningsih (2000:42), rumah bagi orang
Jawa merupakan manifestasi alam semesta dari jagad
cilik/mikrokosmos dalam keseluruhan jagad gede/makrokosmos. Salah
satu konsep rumah Jawa adalah konsep Mancapat (pat jupat lima
pancer) yaitu empat arah mata angin dan satu pada titik sentral sebagai
lambang dari pengejawantahan budaya Jawa yang berkaitan dengan tata
ruang makrokosmos dan mikrokosmos. Hal ini sesuai dengan penataan
bangunan keraton dengan sumbu orientasi utara-selatan dan timur-
barat.
Tjahjono (1989:71) mengemukakan konsep tentang rumah
tinggal Jawa adalah center and duality. Aktivitas yang berlangsung di
dalam rumah terbagi menjadi aktivitas rutin (kegiatan sehari-hari) dan
non-rutin (kegiatan ritual). Pembedaan gender di dalam ruang-ruang
tidak berlaku tegas dalam aktivitas rutin yang melibatkan seluruh
penghuni kecuali dapur (area wanita), sentong dan ruang tengah (area
Cerrya Wuri Waheni
45 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7
pria dan wanita), pojok selatan-barat (area wanita), pojok selatan-timur
(area pria). Biasanya dalam beraktivitas rutin penghuni menghindari
sentong tengah karena dipercaya pusat spiritual dari rumah dan kegiatan
ritual, ruang yang menghubungkan tanah dengan udara melalui api.
Tjahjono dalam Setyaningsih (2000:43), rumah bagi orang
Jawa merupakan manifestasi alam semesta dari jagad cilik /
mikrokosmos dalam keseluruhan jagad gede / makrokosmos. Salah satu
konsep rumah Jawa adalah konsep Mancapat (pat jupat lima pancer)
yaitu empat arah mata angin dan satu pada titik sentral sebagai lambang
dari pengejawantahan budaya Jawa yang berkaitan dengan tata ruang
makrokosmos dan mikrokosmos. Hal ini sesuai dengan penataan
bangunan keraton dengan sumbu orientasi utara-selatan dan timur-
barat.
D. Ciri Rumah Tinggal Kotagede
Membahas ‘Kotagede’ tidak akan lepas dari aspek ‘tradisional
Jawa’ yang melingkupi kawasan tersebut. Rumah tinggal di Kotagede
sebagian besar masih mempunyai akar rumah tinggal Jawa, terdiri dari
tiga bangunan/ruang utama yaitu pendapa, dalem terdiri dari ruang-
ruang pringgitan, dalem, sentong kanan, tengah dan kiri. Gandok terdiri
dari gandok timur dan barat. Mengenai bentuk, bahan, skala dan hiasan
(ornamen) tergantung status sosial/ekonomi penghuni rumah.
Rumah tinggal di Kotagede terutama di dalam kampung, karena
terbatasnya tanah kepadatan menjadi tinggi, jarak antar rumah menjadi
sempit sehingga ujud rumah tidak sepenuhnya sama dengan rumah
tradisional Jawa, terdiri dari bangunan dalem, pendapa, gandok
Cerrya Wuri Waheni
46 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7
belakang. Bagi yang mempunyai tanah agak luas ditambah dengan
gandok timur/barat.
Menurut Zubair (1979) dalam Iswati (1999:12) bahwa pada
masa sebelum tahun 1910, masyarakat Kotagede merupakan
masyarakat Kejawen, yaitu masyarakat yang berorientasi pada
kekuasaan Raja Mataram (Yogyakarta dan Surakarta) sebagai titik
pusatnya. Nilai-nilai budaya yang berpengaruh adalah Kejawen. Pada
periode inilah rumah-rumah atau bangunan-bangunan yang khas
Kotagede dibangun, rumah-rumah inilah yang lazim disebut rumah
tradisional Jawa.
Amiseno (1986) dalam Iswati (1999:12), mengatakan bahwa
pada rumah tinggal di Kotagede, disamping posisi pendopo yang
terpisah dengan bangunan induknya, terdapat fenomena lain, yaitu
seringnya dijumpai jalan rukunan diantara pendopo dan bangunan
induknya, atau jalan rukunan yang terletak di depan pendopo.
Menurut hasil penelitian Ikaputra (1993) dalam Iswati
(2001:37) diperoleh temuan bahwa rumah tinggal yang terdapat di
Kotagede selalu memiliki bagian inti (yaitu bagian yang selalu ada,
ditemukan pada 80% lebih dari sampel) yang terdiri dari ruang tamu,
ruang tidur dan dapur. Menurut hasil penelitian Islam (2000) dalam
Iswati (2001:37) diperoleh temuan bahwa pada rumah tinggal di lahan
terbatas selalu diprioritaskan adanya KM/WC dan ruang tidur,
kemudian prioritas kedua adalah ruang tamu.
Menurut Wikantyoso (1992) dalam Iswati (2001:37) struktur
ruang rumah Jawa di Kotagede terdiri dari ruang inti (core): dalem,
Cerrya Wuri Waheni
47 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7
sentong (kiwa, tengah dan tengen), pringgitan dan pendopo, ruang
pelengkap (peripheral): gandok (kiwa, tengen), omah mburi, pekiwan,
rukunan.
Menurut Iswati (2001:29-31), rumah tinggal Kotagede adalah
rumah yang memiliki elemen-elemen denah seperti pada rumah
tradisional Jawa dengan fungsi untuk rumah tinggal yang spesifik.
Gambar. 4; Rumah tipe lengkap Kotagede (Sumber: Iswati, 2001)
Cerrya Wuri Waheni
48 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7
Pada umumnya terdapat pemisahan yang tegas antara bagian
luar dan bagian dalam rumah. Adanya tiga bagian utama dari rumah,
yaitu bagian luar : pendapa, bagian antara: pringgitan / emper, dan
bagian dalam: dalem (yang terdiri dari dalem ageng dan sentong).
Dalam rumah Jawa tipe lengkap terdapat adanya sumbu simetri
(imaginer) yang membagi dua, rumah secara memanjang dari utara ke
selatan yaitu bagian timur dan barat. Selain itu pagar halaman dengan
dinding yang tinggi, menggunakan regol yang letaknya tidak dalam satu
garis dengan pintu dalem.
III. Kesimpulan.
Setelah melakukan olah data dan menganalisis, maka
didapatkan hasil penelitian tentang karakteristik pola spasial pada
rumah tinggal compound di kawasan Kotagede melalui metode spatial
syntax, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Aktivitas
Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa aktivitas pada
rumah tinggal compound di kawasan Kotagede Yogyakarta pada
umumnya memiliki kecenderungan:
a. Level teratas dan level non distribusi terakhir terdapat aktivitas
tidur, berhias, berganti/menyimpan pakaian, beribadah (sholat).
b. Level 3 terdapat dalem, dengan aktivitas di dalamnya cenderung
tidur, menyimpan, kerja.
c. Level 2 terdapat emper, dengan aktivitas di dalamnya
cenderung menerima tamu, duduk santai dan kerja. Selain itu
Cerrya Wuri Waheni
49 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7
cenderung terdapat gandok, dengan aktivitas di dalamnya
menonton tv, makan, menyimpan, menyetrika.
d. Level non distribusi terakhir terdapat juga pada kamar mandi,
biasanya terletak pada level 2.
e. Level terendah/ level 1 terdapat jalan rukunan, dimana aktivitas
di dalamnya adalah mengobrol, bermain anak, menjemur.
Selain itu terdapat gandok belakang, aktivitas di dalamnya
cenderung pada memasak, mencuci, makan, menyimpan
makanan, barang pecah belah dan perkakas rumah tangga.
f. Aktifitas harian (basic need) antara lain : makan, memasak,
mencuci, membersihkan, menyimpan dan menonton tv, rata-
rata terjadi pada waktu, situasi dan kondisi yang hampir
bersamaan dalam kesehariannya.
g. Aktivitas/ ritual harian yaitu sholat.
h. Aktivitas yang memerlukan privasi yang tinggi yaitu tidur dan
mandi.
i. Aktivitas yang berhubungan social intercourse yaitu pada saat
menerima tamu atau hubungan dengan tetangga, terjadi pada
area menerima tamu, jalan rukunan, dan emper.
j. Aktivitas yang membedakan gender/ position of women dalam
kesehariannya sudah tidak berlaku. Kecuali pada saat Ritual
Ceremonial (pernikahan, melahirkan, kematian), aktivitas laki-
laki berada di area depan (pendapa, pringgitan/emper) dan
perempuan cenderung di belakang (dapur).
Cerrya Wuri Waheni
50 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7
k. Ritual Ceremonial (pernikahan dan kematian), dalam rumah
tinggal compound, aktivitas memasak dan menerima tamu
masih melibatkan rumah tinggal disekitarnya.
2. Hirarki
Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa
hirarki/kedalaman ruang pada rumah tinggal compound di kawasan
Kotagede Yogyakarta yang dianalisis menurut pola hubungan non
distribusi dan simetris/asimetris pada umumnya memiliki
kecenderungan:
Area tidur, berhias dan menyimpan pakaian terletak pada level
teratas dan salalu terletak pada garis non distribusi terakhir. Area
ibadah/tempat sholat terletak pada level 4, kamar mandi dan area cuci
terletak pada level 4 merupakan non distribusi terakhir. Emper yang
pada umumnya digunakan untuk menerima tamu terletak pada level 2.
Dalem yang pada umumya digunakan untuk bekerja, menyimpan dan
terkadang juga sebagai ruang tidur terletak pada level 3. Area random
pada level 2,3,4 non distribusikan area tidur, area berhias, area
menyimpan pakaian, area ibadah/tempat sholat, kamar mandi dan area
cuci dengan jalan rukunan dan luar compound.
Ditinjau dari garis hirarki dan pola hubungan non distribusi,
area tidur, berhias, berganti/menyimpan pakaian , area ibadah/Sholat,
kamar mandi, area cuci merupakan non distribusi terakhir menempati
hirarki/kedalaman ruang terdalam, sehingga aktivitas di dalamnya
sangat membutuhkan tingkat privasi yang tinggi. Rata-rata rumah
Cerrya Wuri Waheni
51 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7
tinggal compound di kawasan Kotagede memiliki pola hubungan non
distribusi dengan 4 garis hirarki, kecuali apabila memiliki ruang
tambahan dengan adanya lantai 2.
3. Pola Hubungan Ruang
Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa pola hubungan
ruang pada rumah tinggal compound di kawasan Kotagede Yogyakarta
melalui analisis pola hubungan distribusi/ring/cincin memiliki
kecenderungan:
Jalan rukunan, digunakan untuk kepentingan bersama pada
compound yang bersangkutan, selain itu untuk kepentingan pribadi
antar lain untuk menjemur pakaian, mengobrol dan bermain anak.
Emper dengan aktivitas didalamnya secara umum adalah bersantai,
menerima tamu dan untuk beberapa kasus untuk kerja menjahit.
Ditinjau dari pola hubungan ruang/distribusi secara umum maka Emper
menduduki pola hubungan ruang yang paling tinggi karena untuk
mencapai Emper baik dari depan maupun belakang harus melalui dua
tahap (dua area sirkulasi). Sedangkan Dalem dengan aktivitas
didalamnya secara umum adalah tidur, menyimpan, kerja dan untuk
beberapa kasus untuk area sholat/ibadah memiliki hubungan ruang
dengan Emper dengan hirarki lebih tinggi.
Emper dan Dalem merupakan interaksi internal penghuni
rumah, sedangkan jalan rukunan dan luar compound merupakan
interaksi eksternal (keterbukaan/kebutuhan sosial) antara panghuni
dengan tetangga/publik, sedangkan Longkangan merupakan area
Cerrya Wuri Waheni
52 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7
sirkulasi penghubung antara internal dan eksternal. Hal tersebut
membuktikan bahwa rumah dalam compound di Kawasan Kotagede
Yogyakarta, kerukunan/interaksi antar warga masih sangat kuat.
Dari semua kasus yang diteliti, selain terbentuk karakteristik
tersebut, terbentuk pula keragaman. Faktor-faktor yang melatar
belakangi munculnya karakteristik pada rumah tinggal compound di
kawasan Kotagede Yogyakarta adalah kesamaan kondisi sosial budaya
yang membentuk kesamaan kognisi mengenai rumah tinggal dan histori
zaman dahulu sebagai rumah warisan turun temurun. Sementara faktor-
faktor yang melatar belakangi munculnya keseragaman adalah kondisi
sosial ekonomi dan budaya yang berkaitan dengan tuntutan kebutuhan
dan kemampuan ekonomi, perilaku budaya dan tingkat religi.
Tuntutan gaya hidup/kebutuhan keluarga, tuntutan ekonomi,
tuntutan akibat kebutuhan kerja, tuntutan akibat perluasan bangunan,
tuntutan akibat kebutuhan akan privasi yang lebih tinggi, tuntutan akan
luas ruang dan tuntutan kenyamanan fisik mengakibatkan perubahan
aktivitas di dalamnya tidak lagi sesuai dengan konsep rumah tinggal
Jawa. Tetapi masih ada ruang-ruang yang tetap dipertahankan dengan
aktivitas di dalamnya, antara lain emper, dalem dan gandok, penghuni
rumah hanya beradaptasi dan menyesuaikan.
Cerrya Wuri Waheni
53 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7
DAFTAR PUSTAKA
Alvares, E., 1996, Karakter Arsitektur kota Padang, Jurusan Tenik
Arsitektur UGM, Yogyakarta.
Amiseno, Wondo, 1986, Kotagede Between Two Gates, Department
of Architecture, Engineering Faculty Gadjah Mada University,
Yogyakarta.
Ardiyanto, A., 1996, Pola Spasial Permukiman Mlaten Semarang,
Tesis, Program Pascasarjana, Jurusan Teknik Arsitektur UGM,
Yogyakarta.
Budiharjo, Eko, 1996, Menuju Arsitektur Indonesia, Alumni, Bandung.
Collier, William L., 1981, Agricultural Evolution in Java, dalam Gary
E. Hansen, ed. Agricultural and Rural Development in
Indonesian, Boulder,Westview Press, Colorado.
Frick, H., 1997, Pola Struktur Dan Teknik Bangunan Di Indonesia;
Suatu pendekatan arsitektur Indonesia melalui patern language
secara konstruktif dengan contoh arsitektur Jawa Tengah,
Kanisius, Yogyakarta.
Habraken, NJ, 1978, General Principeles of About The Way
Environment Exist, Departement of Architecture, MT,
Massacuhussets
Hariyadi, Setiawan, B., 1995, Arsitektur Lingungan Dan Perilaku;
Suatu pengantar ke teori, metodologi dan aplikasi, Proyek
Pengembangan Pusat Studi Lingkungan; Dirjen Dikti
Depdikbud, Jakarta.
Hillier, Bill, and Hanson, Julienne, 1984, The Social Logic of Space,
Cambridge University Press, Cambridge.
Indartoro, L, 1992, Rumah Tinggal di Kotagede, Tinjauan Tipologi dan
Morphologi, Tesis Pascasarjana, Program Studi Teknik
Arsitektur UGM, Yogyakarta.
Cerrya Wuri Waheni
54 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7
Iswati, Triyuni, 2001, Perubahan Denah Rumah Tinggal di Kampung
Dalem Kotagede, Tesis, Pascasarjana, Jurusan Teknik
Arsitektur UGM, Yogyakarta.
Kennedy, Robert Woods. 1963, The House And The Art Of Its Design
: Reinhold Publishing Crporation, New York.
Listiati, Etty E, 1999, Rumah Tinggal Kampug Kauman Semarang,
Tesus S2, Program Pascasarjana, Jurusan Arsitektur UGM,
Yogyakarta.
Mulyani, Tri H., 1996, Karakter Visual Koridor Jl. Pemuda Semarang,
Tesis Program Pascasarjana, Program Studi Arsitektur, jurusan
Ilmu-Ilmu Teknik, UGM, Yogyakarta.
Mulyati, A., 1985, Pola Spasial Permukiman di Kampung Kauman
Yogyakarta, Tesis Program Pascasarjana, Program Studi
Arsitektur, jurusan Ilmu-Ilmu Teknik, UGM, Yogyakarta.
Musdari, 2004. Pola Spasial Permukiman Cina di Makasar. Tesis
Program Studi Jurusan Ilmu-Ilmu Teknik Universitas Gadjah
Mada.
Normies, A., 1992, Kamus Bahasa Indonesia, Karya Ilmu, Surabaya.
Pei, M., 1971, Encyclopedia Americana, Grolier Incorporated, New
York.
Poerwadarminta, 1972, Kamus Lengkap, Hasta, Jakarta.
Prasetyaningsih, Yulyta P. dan Nuryanto, 2005. Spatial Changes
Pattern on Chinese Houses in Lasem, Rembang. Proceedings
International Seminar on Culture Living, Department of
Architecture and Planning Gadjah Mada University.
Rapoport, A., and Altman, Irwin, 1980, Human Behavior and
Environment, Plenum Press, New York.
Cerrya Wuri Waheni
55 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7
Ronald, A., 1990, Ciri-ciri Karya Budaya di Balik Tabir Keagungan
Rumah Jawa, Uneversitas Atmajaya, Yogyakarta.
Santosa, B.Revianto dan Maharika, Ilya Fajar, 1999. Considering
Topological Entity and Level of Arrangement at The Basis of
Spatial Syntax in Vernacular Architecture in Java and Bali.
Proceedings Seminar on Vernacular Settlement : The role of
local knowledge in built environment, The Faculty of
Engineering University of Indonesia.
Setyaningsih, W, 2000, Sistem Spasial Rumah Ketib Di Kauman
Surakarta, Tesis S2 Jurusan Tenik Arsitektur UGM,
Yogyakarta.
Shirvani, H., 1985, The Urban Design Process, Van Nostrand Reinhold
Company, New York.
Sugini, 1997, Tipomorfologi Perubahan Rumah Pada Perumahan
Minomartani Yogyakarta; Tesis S2, Jurusan Teknik Arsitektur
UGM, Yogyakarta.
Sumardjo, Yakob, 2014. Estetika Paradoks, Penerbit Kelir,
Yogyakarta.
Sungguh, A., 1984, Kamus Istilah Teknik, Kurnia Esa, Jakarta.
Suryo, Djoko, dkk., 1985, Gaya Hidup Masyarakat Jawa Di Pedesaan
: Pola Kehidupan Sosial Ekonomi dan Budaya, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan,
Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara.
Titik, Y., 1995, Sistem Visual Kawasan Pusat Kota Lama, Tesis
Program Pascasarjana, Program Studi Arsitektur, jurusan Ilmu-
Ilmu Teknik, UGM, Yogyakarta.
Tjahjono, Gunawan, 1989. Cosmos, Center, and Duality in Javanese
Architectural Traditions : The Symbolic Dimensions of House
Shapes in Kotagede and Surroundings.Dissertation Doctor of
Cerrya Wuri Waheni
56 | J u r n a l W a r n a V O L . 1 , N O . 1 , J u n i 2 0 1 7
Philosophy in Architecture of the University of California at
Berkeley.
Widayati, Naniek, 1989, Karakteristik Perkampungan Laweyan di
Surakarta, Pusat Penelitian Teknologi dan Pemukiman, Univ.
Tarumanegara, Jakarta.
Wiryomartono, A. Bagoes P., 1995, Seni Bangunan dan Seni Binakota
di Indonesia, Kajian mengenai Konsep, Struktur, dan Elemen
Fisik Kota sejak Peradaban Hindu-Budha, Islam hingga
Sekarang, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Yudohusodo, Siswono, 1991 Rumah Untuk Seluruh Rakyat,
Kementrian Perumahan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta.
www.yogyes.com.