Post on 22-Dec-2015
description
TUGAS EPIDEMOLOGI
EPIDEMOLOGI LINGKUNGAN DAN EPIDEMOLOGI KESEHATAN KERJA
Dosen Pembimbing :
Anggota Kelompok :
1. Nabela Oviliaita 64114130312. Intan Nurfatihah 64114130343. Lisa Septiana 64114130354. Mei Devi Anjarsari 64114130465. Nahdya Putri Octaviana 6411413050
ILMU KESEHATAN MASYARAKATFAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAANUNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2014
EPIDEMOLOGI LINGKUNGAN DAN EPIDEMOLOGI KESEHATAN KERJA
Epidemiologi K3 adalah penerapan ilmu epidemiologi dalam kesehatan kerja agar
tenaga kerja dapat bekerja secara aman, nyaman, sehat dan produktif serta berusaha terhindar
dari risiko bahaya di tempat kerja. Konsep dari epidemiologi K3 masih berhubungan dengan
konsep epidemiologi secara umum. Penerapan konsep epidemiologi dalam lingkup K3 adalah
suatu upaya memahami risiko terjadinya penyakit atau cedera dalam rangka melakukan
tindakan upaya pencegahan atau pengendalian. Dalam hal ini epidemiologi kesehatan kerja
akan menentukan dan mempelajari faktor determinan dari penyakit akibat kerja terhadap
kejadian kecelakaan kerja dan distribusinya pada masyarakat pekerja.
Dapat dikatakan bahwa epidemiologi merupakan faktor penentu yang penting untuk
mengidentifikasi penyebab dari terjadinya bahaya kecelakaan kerja. Data hasil studi ilmu
epidemiologi kesehatan kerja penting untuk menunjang suatu kebijaksanaan program bidang
keselamatan dan kesehatan kerja (K3) terutama terhadap upaya penurunan risiko potensi
bahaya kecelakaan kerja / gangguan kesehatan pada tenaga kerja. Dalam hal ini untuk
mendapatkan hasil studi epidemiologi perlu adanya suatu penelitian. Penelitian epidemiologi
secara umum dilaksanakan untuk mendeskripsikan penyakit atas dasar agent, host dan
environment, meneliti mekanisme terjadinya penyakit, meneliti faktor-faktor determinan bagi
suatu penyakit, mencari teknik diagnostik yang spesifik, mencari cara pencegahan penyakit,
pengendalian dan pemberantasannya, dan mengikuti berbagai faktor sebagai agent potensial,
meneliti, lalu melakukan identifikasi apa efek potensial agent terhadap mikroorganisme dan
organisme lainnya.
Ruang lingkup atau manfaat epidemiologi kesehatan kerja diantaranya penyebab
(causation), riwayat alamiah penyakit (natural history of desease), menjelaskan status
kesehatan populasi pekerja (description of health status of population), dan melakukan
penilaian terhadap perlakuan yang diberikan (evaluasi of intervetion). Pertama, terdapat tiga
faktor penyebab terjadinya kecelakaan kerja diantaranya faktor agen, host, dan lingkungan.
Dari ketiga faktor tersebut memiliki peran dalam penentu faktor kesehatan dari para
pekerjanya. Pada faktor lingkungan dibagi lagi penjabaran lima faktor diantaranya faktor
psikologis, faktor biologis, faktor kimia, faktor kecelakaan, dan faktor fisika. Yang termasuk
faktor psikologis adalah tingkat stress, pembagian pekerjaan, serta hubungan dalam
penggajian pekerja dan lain-lain. Faktor biologis dipengaruhi oleh aktivitas organisme yang
berada pada lingkungan pekerjaan seperti bakteri, virus, dan parasit. Faktor kimia misalnya
debu, bahan kimiawi, rokok. Faktor kecelakaan diantaranya situasi bahaya dan sebagainya.
Dan faktor fisika misalnya iklim, bising, cahaya, radiasi. Kedua, riwayat penyakit
ilmiah menunjukkan peranan hubungan antar faktor-faktor tadi secara berganda. Ketiga,
mendeskripsikan status kesehatan pekerja, dengan adanya epidemiologi K3 kita dapat
mengetahui status dari kesehatan pekerja. Keempat, evaluasi yang merupakan penilaian
terhadap perlakuan yang diberikan. Dengan hasil yang telah didapatkan, kita dapat
melakukan beberapa tindakan dalam upaya mencapai kesehatan dengan mengadakan promosi
kesehatan, pelayanan kesehatan masyarakat, dan pelayanan pengobatan.
Epidemiologi kesehatan kerja merupakan bentuk kegiatan yang erat hubungannya
dengan penyusunan perencanaan kesehatan masyarakat serta penilaian hasil kegiatan usaha
pelayanan kesehatan pada penduduk tertentu. Salah satu bentuk penelitian epidemiologi
yakni penelitian observasi atau pengamatan terhadap kejadian alami dalam masyarakat untuk
mencari hubungan sebab akibat terjadinya gangguan keadaan normal dalam masyarakat
tersebut. Dalam hal ini, populasi sasaran ditentukan secara cermat serta setiap perubahan
yang timbul merupakan akibat dari perlakuan khusus oleh pihak peneliti. Model dasar
penelitian epidemiologi biasanya dilakukan di laboratorium atau lapangan dan bersifat
observasional atau eksperimen. Kemudian dilakukan penyusunan laporan didasarkan atas
hasil penelitian epidemiologi yang telah dilakukan secara analisis deskriptif.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa pemanfaatan epidemiologi K3 memiliki
peranan penting dalam analisis status kesehatan pekerja yang mana terdapat berbagai
indikator-indikator yang harus diperhatikan. Setelah diadakannya penelitian, hasil yang akan
diterima akan menjadi acuan pekerja untuk lebih memperhatikan aspek-aspek yang berkaitan
dengan melakukan pencegahan maupun pengobatan terhadap suatu penyakit atau kecelakaan
kerja.
Ilmu dan tentang distribusi dan determinan frekuensi penyakit pada manusia
Tujuan/ keterkaitan dengan K3
o Identifikasi bahaya baru
o Pengendalian bahaya yang sudah dikenal
o Penyusunan standar higiene
o Evaluasi pelayanan kesehatan
Data epidemiologi :
o Angka kematian
o Rekam angka absenteisme
o Rekam medik dokter, keluarga
o Data morbiditas dan mortalitas
o Rekam medik yang berhubungan dengan lingkungan
Kelemahan studi epidemiologi pada penyakit akibat kerja
o Masa laten pemajanan lebih lama dibandingkan dengan masa penelitian
o Kualitas data efek tidak baik
o Kualitas data pajanan tidak baik
o Pemajanan multiple
A. Lingkungan dan Kesehatan Kerja
Ilmu yang menganalisa dan mengukur efek-efek kesehatan dari faktor-faktor
lingkungan dan menilai keefektifan strategi-strategi pengawasan (WHO, 1989). Ilmu dan seni
yang mempelajari dan menilai (mengukur dan analisis) kejadian penyakit atau ganggguan
kesehatan dan potensi bahaya faktor penyebab (bahan, kekuatan, kondisi) akibat perubahan
keseimbangan lingkungan serta menilai upaya-upaya pengendaliannya (Pentaloka
Epidemiologi Lingkungan, Ciloto, 28 Oktober dan 2 November 1991).
Epidemiologi Lingkungan (Environmental Epidemiology)
Istilah epidemiologi lingkungan mengacu pada studi tentang penyakit dan kondisi
kesehatan (yang terjadi pada populasi / masyarakat ) yang dikaitkan dengan faktor-faktor
lingkungan. Definisi dari epidemiologi lingkungan adalah studi atau cabang keilmuan yang
mempelajari faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi timbulnya kejadian suatu
penyakit, dengan cara mempelajari dan mengukur dinamika hubungan interaktif antara
penduduk dengan lingkungan yang memiliki potensi bahaya pada suatu waktu dan kawasan
tertentu, untuk upaya promotif lainnya (Achmadi, 1991).
Bidang Epidemiologi Lingkungan mencakup penyelidikan faktor-faktor lingkungan
dan bagaimana mereka mempengaruhi kesehatan manusia. Epidemiologi lingkungan
mempelajari efek kesehatan pada populasi yang dihasilkan dari paparan agen fisik, kimia, dan
biologis.. Ini termasuk kontribusi sosial, ekonomi, dan faktor-faktor budaya (misalnya,
urbanisasi, transportasi, pertanian, manufaktur, produksi energi) yang terkait dengan eksposur
tersebut.
Dengan mempelajari populasi dalam keadaan keterpaparan yang berbeda,
epidemiologi lingkungan bertujuan untuk memperjelas hubungan antara agen eksogen, sosial
dan faktorfaktor budaya, dan efek kesehatan populasi manusia. Pengakuan atas bahaya
kesehatan yang ditimbulkan oleh industrialisasi berskala besar, perubahan lingkungan, dan
gangguan ekologi, seringkali melalui jalur tidak langsung, telah menambahkan dimensi ekstra
ke bidang ini.
Tujuan epidemiologi kesehatan lingkungan yaitu mengumpulkan fakta dan data
tentang berbagai masalah kesehatan yang ada dalam masyarakat berkaitan dengan pengaruh
(perubahan) kondisi lingkungan, menjelaskan sifat dan penyebab masalah kesehatan
berdasarkan fakta dan data yang diperoleh setelah dilakukan analisa, menemukan atau
merencanakan pemecahan masalah serta mengevaluasi pelaksanaannya
Level penerapan epidemiologi kesehatan lingkungan yaitu:
a. Level Pemahaman dimulai dari pengamatan yang dilakukan secara ilmiah sampai
pada penarikan kesimpulan yang mengarah pada akumulasi pengetahuan kejadian
penyakit.
b. Level Intervensi mengumpulkan informasi empiris yang dapat digunakan untuk
pengambilan keputusan kesehatan masyarakat.
Ruang lingkup Epidemiologi Lingkungan Kesehatan:
a. Kondisi Lingkungan yaitu perubahan kualilitas lingkungan berpengaruh terhadap
agent (penyebab penyakit), host (manusia).
b. Variabel Epidemiologi yaitu orang, waktu dan tempat
c. Penyakit :
- Penyakit Infeksi/menular à akibat kondisi sanitasi yang buruk.
- Penyakit menahun atau tidak menular à akibat menurunnya (perubahan) kualitas
lingkungan yang timbul sebagai dampak negatif dari aktivitas pembangunan
misalnya pencemaran yang terjadi pada air, tanah dan udara akibat limbah
industri, pertanian, pertambangan/energi, transportasi, domestik dan sebagainya.
d. Ilmu sosial dan perilaku perilaku manusia (higiene perorangan) dan hubungannya
dengan timbulnya kejadian penyakit.
e. Metoda (Design) sebagai dasar yang digunakan dalam melakukan kajian (analisa)
untuk menarik kesimpulan baik level pemahaman maupun level intervensi, misal
penggunaan Metode-metode Statistik (kajian Ilmiah) dan penggunaan konsep .
B. Efek Pekerja Sehat
Karakteristik pekerjaan seseorang dapat mencerminkan pendapatan, status sosial,
pendidikan, status sosial ekonomi, risiko cidera, atau masalah kesehatan dalam suatu
kelompok populasi. Penyakit, kondisi atau gangguan tertentu dapat terjadi dalam suatu
pekerjaan. Pekerjaan banyak ditanyakan dalam kuesioner dan digunakan untuk mengukur
status sosial ekonomi. Pekerjaan juga merupakan suatu determinan risiko dan determinan
pajanan yang khusus dalam bidang pekerjaan tertentu serta merupakan prediktor kesehatan
dan kondisi tempat suatu populasi bekerja. Pekerjaan dibagi dalam 5 klasifikasi besar yaitu :
1. Profesional
2. Menengah
3. Terampil
4. Semi terampil
5. Tidak terampil
Subklasifikasi dari 5 klasifikasi besar tersebut telah diganakan dalam berbagai laporan
epidemiologi.
Rasio Mortalitas Standar ( standard mortality ratio, SMR ) untuk pekerjaan tertentu
dikembangkan berdasarkan risiko yang mungkin berhubungan dengan pajanan fisik dan
kimia yang biasanya ditemukan dalam pekerjaan tertentu. Contoh angka kasus arteri koroner
ternyata lebih rendah pada beberapa pekerjaan yang aktif daripada pekerjaan yang lebih
banyak duduk. Mereka yang bekerja di perusahaan besar memiliki asuransi kesehatan dan
akses ke fasilitas pelayanan kesehatan dan institusi medis sehingga mendapatkan keuntungan
dari kesehatan yang lebih baik.
Hasil observasi menunjukkan bahwa status kesehatan dan mortalitas suatu populasi dapat
dipengaruhi oleh tingkatan pekerjaan didalam populasi tersebut. Istilah efek pekerja yang
sehat digunakan untuk mendeskripsikan hasil observasi. Dengan demikian populasi pekerja
cenderung memiliki angka kematian yang lebih rendah, daripada angka kematian populasi
secara keseluruhan. Pekerja berusaha lebih sehat untuk dapat bekerja dan mereka yang tidak
sehat atau memiliki kondisi yang memperpendek masa hidup kemungkinan tidak akan
dipekerjakan. Seiring perjalanan hidupnya peluang kematian pekerja meningkatdan efek kerja
akan berkurang. Pekerja yang tidak sehat cenderung berhenti bekerja atau memilih pensiun
lebih dini daripada pekerja yang sehat. Berhenti kerja secara dini dapat mengurangi risiko
pemajanan terhadap bahaya pekerjaan. Alih-alih terpajan pada faktor risiko yang
menimbulkan penyakit, penyakit juga menyebabkan mereka yang berisiko berhenti bekerja.
Ketidakhadiran akibat terserang penyakit menyebabkan tingkatan pejanan terhadap risiko
kerja menjadi lebih rendah daripada tingkat pemanjanan yang terjadi jika pekerja tetap
bekerja.
C. Penyakit Akibat Kerja
Penyakit yang diderita karyawan dalam hubungan dengan kerja baik faktor resiko karena
kondisi tempat kerja, peralatan kerja, material yang dipakai, proses produksi, cara kerja,
limbah perusahaan hasil produksi. Penyakit akibat kerja dan atau berhubungan dengan
pekerjaan yang disebabkan oleh pemajanan dilingkungan kerja. Dewasa ini terdapat
kesenjangan antara pengetahuan ilmiah tentang bagaimana bahaya-bahaya kesehatan
berperan dan usaha-usaha untuk mencegahnya.
Penyakit yang Timbul Akibat hubungan Kerja
Pnemokoniosis yang disebabkan debu mineral pembentuk jaringan parut
(silikosis, antrakosilikosis, asbestosis) dan silikotuberkulosis yang silikosisnya
merupakan faktor utama penyebab cacat atau kematian.
Penyakit paru dan saluran pernafasan (bronkhopulmoner) yang disebabkan oleh
debu logam keras.
Penyakit paru dan saluran pernapasan (bronkhopulmoner) yang disebabkan oleh
debu kapas, vlas, henep, dan sisal (bissinosis).
Asma akibat kerja yang disebabkan oleh penyebab sensitisasi dan zat perangsang
yang dikenal yang berada dalam proses pekerjaan.
Alveolitis allergika yang disebabkan oleh faktor dari luar sebagai akibat
penghirupan debu organik.
Penyakit yang disebabkan oleh berilium atau pensenyawaan yang beracun.
Penyakit yang disebabkan kadmium atau persenyaewaan yang beracun.
Penyakit yang disebabkan fosfor atau persenyawaannya yang beracun.
Penyakit yang disebabkan oleh krom atau persenyawaannya yang beracun.
Penyakit yang disebabkan oleh mangan atau persenyawaannya yang beracun.
Penyakit yang disebabkan oleh arsen atau persenyawaannya yang beracun.
Penyakit yang disebabkan oleh raksa atau persenyawaannya yang beracun.
Penyakit yang disebabkan oleh timbul atau persenyawaannya yang beracun.
Penyakit yang disebabkan oleh fluor atau persenyawannnya yag beracun.
Penyakit yang disebabkan oleh karbon disulfida.
Penyakit yang disebabkan oleh derivat halogen dari persenyawaan hidrokarbon
alifatik atau aromatik yang beracun.
Penyakit yang disebabkan oleh benzena atau homolognya yang beracun.
Penyakit yang disebabkan oleh derivat nitro dan amino dari benzena atau
homolognya yang beracun.
Penyakit yang disebabkan oleh nitrogliserin atau ester asam nitrat lainnya.
Penyakit yang disebabkan oleh alkohol, glikol, atau keton.
Penyakit yang disebabkan oleh gas atau uap penyebab asfiksa atau keracunan
seperti karbon monoksida, hidrogensianida, hidrogen sulfida, atau derivatnya yang
beracun, amoniak seng, braso dan nikel,
Kelainan pendengaran yang disebabkan oleh kebisingan.
Penyakit yang disebabkan oleh getaran mekanik (kelainan-kelainan otot, urat,
tulang persendian, pembuluh darah teri atau syaraf tepi).
Penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dalam udara yang tertekan lebih.
Penyakit yang disebabkan oleh radiasi elektro magnetik dan radiasi yang mengion.
Penyakit kulit (dermatoses) yang disebabkan oleh penyebab fisik, kimiawi atau
biologik.
Prevalensi
Insiden penyakit yang disebabkan oleh debu mineral telah menurun pada masa sekarang di
negara pascaindustri dan asma telah berkembang menjadi penyakit akibat kerja yang utama.
Epidemiologi Kesehatan Kerja
Suatu peminatan cabang ilmu epidemiologi yang berminat untuk mempelajari peyebaran
dari resiko penyakit oleh pekerjaan .Data hasil studi ilmu epidemiologi kesehatan kerja
penting untuk menunjang suatu kebijaksanaan program bidang keselamatan dan kesehatan
kerja (K3) terutama terhadap upaya penurunan resiko potensi bahaya kecelakaan kerja
/gangguan kesehatan pada tenaga tenaga kerja.Selain itu dapat diartikan sebagai bentuk
kegiatan yang erat hubungannya dengan penyusunan perencanaan kesehatan masyarakat serta
penilaian hasil kegiatan usaha pelayanan kesehatan pada penduduk tertentu.
Dewasa ini penelitian epidemiologi pada dasarnya dapat dibagi dlam dua bentuk dasar
yakni penelitian observasi atau pengamatan terhadap kejadian alami dalam masyarakat untuk
mencari hubungan sebab akibat terjadinya gangguan keadaan normal dalam masyarakat
tersebut, serta penelitian eksperimental yang merupakan penelitian yang didasarkan pada
perlakuan tertentu terhadap objek untuk dpat memperoleh jawaban tentang pengaruh
perlakuan tersebut terhadap objek yang diteliti. Dalam hal ini, populasi sasaran dientukan
secara cermat serta setiap perubahan yang timbul merupakan akibat dari perlakuan khusus
oleh pihak peneliti.
Surveillance kesehatan kerja
Usaha pengumpulan data secara sistematis dan berkelanjutan, melakukan analisis
atas data tersebut serta melakukan interpretasi dengan tujuan untuk perbaikan dari segi
kesehatan dan keselamatan kerja.
Surveilans Kesehatan Kerja, merupakan:
o Strategi/metode untuk mendeteksi/menilai secara sistematik efek merugikan
dari pekerjaan terhadap kesehatan pekerja secara dini.
o Perlu identifikasi faktor bahaya di lingkungan kerja : Kualitatif maupun
kuantitatif
o Tetapkan populasi terpajan (population at risk)
Pada dasarnya terdiri dari :
o Identifikasi faktor risiko
o Pemeriksaan Kesehatan
o Biological Monitoring
D. Dosis Respon
Sifat spesifik dan efek suatu paparan secara bersama-sama akan membentuk suatu
hubungan yang lazim disebut sebagai hubungan dosis-respon. Hubungan dosis-respon
tersebut merupakan konsep dasar dari toksikologi untuk mempelajari bahan toksik.
Penggunaan hubungan dosis-respon dalam toksikologi harus memperhatikan beberapa asumsi
dasar. Asumsi dasar tersebut adalah:
Respon bergantung pada cara masuk bahan dan respon berhubungan dengan dosis.
Adanya molekul atau reseptor pada tempat bersama bahan kimia berinteraksi dan
menghasilkan suatu respon.
Respon yang dihasilkan dan tingkat respon berhubungan dengan kadar agen pada daerah
yang reaktif.
Kadar pada tempat tersebut berhubungan dengan dosis yang masuk
Dari asumsi tersebut dapat digambarkan suatu grafik atau kurva hubungan dosis-respon
yang memberikan asumsi
o respon merupakan fungsi kadar pada tempat tersebut
o kadar pada tempat tersebut merupakan fungsi dari dosis
o dosis dan respon merupakan hubungan kausal.
Pada kurva dosis-respon nampak informasi beberapa hubungan antara jumlah zat
kimia sebagai dosis, organisme yang mendapat perlakuan dan setiap efek yang disebabkan
oleh dosis tersebut. Toksikometrik merupakan istilah teknis untuk studi dosis-respon, yang
dimaksudkan untuk mengkuantifikasi dosis-respon sebagai dasar ilmu toksikologi. Hasil
akhir yang dihasilkan dari jenis studi ini adalah nilai Lethal Dose50 (LD50) untuk zat kimia.
HUBUNGAN DOSIS-RESPON (DOSE RESPONSE RELATIONSHIP)
Penyelidikan hubungan antara dosis atau konsentrasi dan kerja suatu bahan kimia
dapat dilakukan dengan dua cara:
a. Menguji frekuensi efek yang timbul pada satu kelompok objek percobaan dengan
mengubah-ubah dosis (hubungan dosis-reaksi=dose-respons relationship)
b. Mengubah-ubah dosis, kemudian mengukur intensitas kerja pada satu objek percobaan
(hubungan dosis-kerja=dose-effect relationship).
Pada cara yang pertama, jumlah objek percobaan yang menunjukkan efek tertentu akan
bertambah sampai maksimum, sedangkan pada cara yang kedua, intensitas efek yang
bertambah.
Perilaku efek suatu bahan kimia digambarkan sebagai peningkatan dosis akan
meningkatkan efek sampai efek maksimal tercapai. Hubungan dosis-respon biasanya berciri
kuantitatif dan hal tersebut yang membedakan dengan paparan di alam dimana kita hanya
mendapatkan kemungkinan perkiraan dosis. Suatu respon dari adanya paparan dapat berupa
respon respon yang mematikan (lethal response) dan respon yang tidak mematikan (non-
lethal response). Bahan kimia dengan tingkat toksisitas rendah memerluikan dosis besar
untuk menghasilkan efek keracunan dan bahan kimia yang sangat toksik biasanya
memerlukan dosis kecil untuk menghasilkan efek keracunan.
Hubungan Dosis-Reaksi
Karakteristik paparan dan efek bersama-sama yang membentuk suatu hubungan
korelasi sering disebut sebagai hubungan dosis-respon. Hubungan dosis-respon merupakan
konsep dasar dalam toksikologi. Pengertian dosis respon dalam toksikologi adalah proporsi
dari sebuah populasi yang terpapar dengan suatu bahan dan akan mengalami respon spesifikp
ada dosis, interval waktu dan pemaparan tertentu.
Hubungan dosis reaksi menentukan berapa persen dari suatu populasi (misalnya,
sekelompok hewan percobaan) memberikan efek/reaksi tertentu terhadap dosis tertentu dari
suatu zat. Hasilnya dapat digambarkan dalam diagram antara dosis dan jumlah individu
dalam kelompok yang menunjukkan efek yang diinginkan. Banyaknya individu yang
menunjukkan efek ini dengan demikian merupakan fungsi dosis. Pada kurva dengan gambar
secara linier terhadap dosis, maka dosis yang menyebabkan 50 % individu memberikan
reaksi, digunakan sebagai besaran bagi aktivitas (ED50) atau letalitas/kematian (LD50) dari
senyawa yang diperiksa.
Hubungan Dosis-Kerja
Ciri kurva dosis-kerja biasanya dijelaskan berdasarkan interaksi antara bahan kimia
dan tempat kerja sesungguhnya yaitu reseptor. Besarnya efek tergantung pada
konsentrasi/dosis zat, juga dari tetapan kesetimbangan atau tetapan afinitas yaitu parameter
yang menentukan kecenderungan bahan kimia untuk bereaksi dengan reseptor.
Kurva dosis-kerja dapat juga ditinjau sebagai kurva dosis-reaksi untuk suatu populasi
dari satuan efektor, tiap efektor akan bereaksi menurut hukum ‘semua atau tak satupun’ (all
or none). Implikasinya adalah bahwa reaksi suatu efektor merupakan andil tertentu bagi efek
keseluruhan. Kurva dosis-kerja dengan demikian menggambarkan peranan setiap efek
tersebut secara kumulatif. Dosis, yang menyebabkan efektor memberi reaksi akan tersebar di
sekitar dosis yang menyebabkan 50% satuan efektor bereaksi. Jika 50 % dari satuan efektor
memberikan reaksi maka akan timbul efek yang merupakan 50 % efek maksimum yang
mungkin dapat dicapai oleh senyawa tersebut.
Pada kurva dosis-kerja, dapat dibedakan dua parameter: (1) afinitas, dan (2) aktivitas
instrinsik. Pada prinsipnya sebuah zat harus mempunyai afinitas terhadap resepor khas agar
dapat menimbulkan efek tertentu. Afinitas dapat ditentukan dari dosis yang dibutuhkan untuk
mencapai efek tertentu misalnya 50 % efek maksimum. Kalau dosis tinggi, berarti afinitas
rendah, kalau dosis kecil, berarti afinitas besar.
Disamping afinitas, suatu zat dapat mempunuyai kemampuan untuk menyebabkan
perubahan di dalam molekul reseptor dan melalui beberapa tingkat reaksi berikutnya baru
kemudian dicapai efek sesungguhnya. Sifat ini disebut aktivitas intrinsik senyawa
bersangkutan. Hal ini menentukan besarnya efek maksimun yang dapat dicapai oleh senyawa
tersebut.
Banyak bahan kimia memiliki afinitas terhadap reseptor khas akan tetapi tidak
mempunyai aktivitas intrinsik. Zat ini disebut antagonis kompetitif, dapat bereaksi dengan
reseptor akan tetapi tidak menimbulkan efek. Tetapi senyawa ini mampu bersama pada
tempat kerja dengan zat yang mempunyai baik afinitas maupun aktivitas instrinsik.
Hubungan Waktu-Kerja
Jika eksposisi suatu zat hanya terjadi satu kali, seperti pada keracunan akut, mula-
mula efek akan naik tergantung pada laju absorpsi dan kemudian efek akan turun tergantung
pada laju eliminasi. Di bawah konsentrasi plasma tertentu disebut konsentrasi sub-efektif atau
subtoksik, sedangkan mulai dari konsentrasi tersebut dinamakan konsentrasi efektif/toksik.
Dengan demikian pada prinsipnya ada tiga cara untuk mencegah atau menekan efek toksik,
yaitu:
a. Memperkecil absorpsi atau laju absorpsi, sehingga konsentrasi plasma tetap berada di
bawah daerah toksik. Hal ini dapat dicapai dengan penggunaan adsorbensia, misalnya
karbon aktif, dengan pembilasan lambung atau dengan mempercepat pengosongan
lambung-usus dengan laksansia garam. Hal ini akan mengubah fase eksposisi.
b. Meningkatkan eliminasi zat toksik dan/atau pembentukan suatu kompleks yang tak aktif.
Eliminasi dapat ditingkatkan dengan mengubah pH urin, misalnya dengan pembasaan urin
dan diuresis paksa pada keracunan barbiturat, sedangkan pembentukan khelat dipakai
untuk inaktivasi ion logam yang toksik. Hal ini akan mengubah fase toksokinetik.
c. Memperkecil kepekaan objek biologik terhadap efek. Dalam hal ini konsentrasi plasma tak
dipengaruhi, akan tetapi batas kritis konsentrasi toksik minimum ditinggikan. Hampir
semua bentuk penanganan keracunan secara simptomatik berdasarkan prinsip ini.
Pengertian Lethal DOSE50
Salah satu cara untuk lebih memudahkan pengertian hubungan dosis respon adalah
menggunakan LD50. Istilah LD50 pertama kali diperkenalkan sebagai indeks oleh Trevan
pada tahun 1927. Pengertian LD50 secara statistik merupakan dosis tunggal derivat suatu
bahan tertentu pada uji toksisitas yang pada kondisi tertentu pula dapat menyebabkan
kematian 50% dari populasi uji (hewan percobaan).
Sebagai contoh: ditemukan suatu senyawa kimia baru dan untuk mengetahui efek
toksiknya digunakan LD50. Jumlah hewan percobaan paling sedikit 10 ekor untuk tiap dosis
dengan rentang dosis yang masuk paling sedikit 3 (dari 0 – 100 satuan). Hubungan dosis dan
respon dituangkan dalam bentuk kurva dimana kurvanya sudah tipikal sigmoid.
Semakin banyak jumlah hewan uji dan rentang dosisnya, kurva sigmoid akan lebih teramati.
Dosis yang terendah menyebabkan kematian hewan uji sebesar 1%. Kurva sigmoid distribusi
normal seperti ini menunjukkan respon 0% pada dosis yang rendah dan respon sebesar 100%
pada dosis yang meningkat tetapi respon tersebut tidak akan melebihi rentang 0 – 100 %.
Bagaimanapun juga setiap bahan kimia mempunyai threshold dose yang tidak sama.
Threshold dose adalah suatu dosis minimal yang merupakan dosis efektif dimana dengan
dosis yang minimal tersebut individu sudah dapat memberikan atau menunjukkan responnya,
sehingga untuk tiap individu threshold dose inipun berbeda.
Lethal Dose50 (LD50)
Suatu dosis efektif untuk 50% hewan digunakan karena arah kisaran nilai pada
titik tersebut paling menyempit dibanding dengan titik-titik ekstrim dari kurva dosis-
respon. Pada kurva normal sebanyak 68% dari populasi berada dalam plus-minus nilai
50%.
Lethal Concentration50 (LC50)
Suatu variasi dari LD50 adalah LC50 yaitu konsentrasi bahan yang
menyebabkan kematian 50% organisme yang terpapar. Parameter ini sering
digunakan jika suatu organisme dipaparkan terhadap konsentrasi bahan tertentu dalam
air atau udara yang dosisnya tidak diketahui. Dalam hal ini waktu pemaparan dan
konsentrasi harus dinyatakan dengan jelas.
Aplikasi Hubungan Dosis-Respon
TD = Toxic Dose, adalah dosis tertentu yang sudah dapat menyebabkan kerusakan
jaringan tubuh. ED = Effective Dose, adalah dosis tertentu yang mempunyai efek yang ringan
namun efektif terhadap jaringan tubuh. Nilai LD50 tidaklah ekuivalen dengan toksisitas tetapi
nilai ini dapat diinterpretasikan ke dalam nilai TD da ED.
Toxic Dose (TD) adalah merupakan dosisi dari suatu bahan yang dipaparkan pada
suatu populasi dan pada tingkat dosis tertentu sudah dapat mengakibatkan kerusakan pada
jaringan tubuh hewan percobaan. Effective Dose (ED) adalah merupakan dosis dari suatu
bahan dan pada tingkat dosis tersebut sudah dapat menimbulkan efek biologis yang ringan
untuk pertama kalinya pada hewan percobaan.
Aplikasi lebih lanjut dari TD dan ED adalah untuk menentukan therapeutic index
yaitu tingkat keamanan suatu bahan/obat yang diekpresikan melalui perbandingan antara
LD50 dengan ED50.Selain itu aplikasi dari LD dan ED adalah untuk menentukan margin of
safety (MS) yaitu rasio antara LD1 dengan ED99.
Prinsip Dosis-Respon dalam Lingkungan
Dalam praktik sangat sulit untuk mengkuantifikasi dosis dan menentukan kapan saat
berhubungan dengan spesies bukan manusia, bahkan tidak mudah untuk menjelaskan efek
suatu zat toksik terhadp suatu makhluk hidup. Jika zat toksik terlepas ke dalam lingkungan,
sulit untuk dipastikan apakah hal tersebut telah mempengaruhi spesies tertentu.
Banyak proses lingkungan yang beraksi mengubah zat kimia menjadi senyawa lainnya.
Senyawa tersebut kemudian berperan menjadi zat kimia yang sebenarnya mempengaruhi
lingkungan atau organisme.
Hubungan dosis-respon sangat penting dalam terjadinya keracunan. Kerusakan pada
bagian organisme dapat dikontrol dengan cara diabsorpsinya toksikan oleh mikroorganisme,
degradasi, dan eliminasi toksikan. Semua organisme yang berada di sekitar bahan kimia
alami maupun buatan akan mengalami keracunan apabila terpapar secara berlebihan. Adalah
penting mengetahui posisi bahan kimia di udara, air, dan tanah.
NILAI AMBANG BATAS (NAB) BAHAN TOKSIK
Penetapan secara akurat nilai ambang batas dengan tanpa memberikan suatu efek,
tergantung pada beberapa faktor, yaitu:
Ukuran sampel dan replikasi (pengulangan) pengambilan sampel
Jumlah endpoint (titik akhir) yang diamati
Jumlah dosis atau konsentrasi bahan toksik
Kemampuan untuk mengukur endpoint
Keragaman intrinsik dari endpoint dalam populasi binantang percobaan
Metode statistik yang digunakan
RESEPTOR
Telah lama diamati bahwa sejumlah racun menimbulkan efek biologis yang khas. Konsep
zat “reseptor” sebagai tempat kerja zat kimia, pertama kali dikemukakan oleh John N.
Langley. Dia mengamati bahwa efek nikotin dan kurare pada otot rangka tidak berubah
setelah saraf yang mengurus otot tersebut mengalami degenerasi; hal ini menunjukkan tidak
terlibatnya ujung saraf seperti yang diyakini sebelumnya. Selain itu, kontraksi otot yang
diinduksi oleh rangsangan langsung tidak dipengaruhi oleh zat kimia tersebut.
Berdasarkan penelitian ini, disimpulkan bahwa “racun tidak berpengaruh pada protein
kontraktil dalam otot, melainkan pada zat-zat lain di otot yang dapat disebut “zat reseptor”.
Reseptor berfungsi sebagai tempat sistem biologi yang dapat mengenali berbagai zat yang
mempunyai sifat kimia khusus dan setelah berikatan dengan senyawa tertentu, memulai efek
biologi tertentu. Konsep reseptor sangat berguna dalam meningkatkan pengertian mengenai
efek biokimia, fisiologi, dan farmakologi tertentu, serta berguna untuk pembuatan obat baru.
Ada banyak contoh efek toksik zat kimia yang bekerja melalui perantaraan reseptor yang
berperan dalam fungsi fisiologis.
Jadi, suatu agonis dapat menyebabkan efek toksik karena sulit terlepas dari reseptor, dan
dengan demikian menghalangi kerja pembawa pesan. Suatu antagonis dapat bersaing dengan
pembawa pesan dalam menduduki tempat pada reseptor sehingga menghalangi kerja
pembawa pesan ini. Selain itu, suatu toksikan dapat menyebabkan toleransi terhadap
toksisitasnya dengan mengurangi jumlah reseptor.
E. Manajemen Resiko
Istilah “risiko” (risk) memiliki banyak definisi. Tetapi pengertian secara ilmiah
sampai saat ini ini masih tetap beragam. Menurut kamus bahasa Indonesia versi online dalam
buku Manajemen Risiko Bisnis (Tony Pramana, 2011), risiko adalah “akibat yang kurang
menyenangkan (merugikan, membahayakan) dari suatu perbuat atau tindakan”. Dengan kala
lain, risiko merupakan kemungkinan situasi atau keadaan yang dapat mengancam pencapaian
tujuan serta sasaran sebuah organisasi atau individu.(Pramana, 2011)
Secara ilmiah risiko didefinisikan sebagai kombinasi fungsi dari frekuensi kejadian,
probabilitas dan konsekuensi dari bahaya risiko yang terjadi. Risiko = f (frekuensi kejadian,
probabilitas, konsekuensi). Frekuensi risiko dengan tingkat pengulangan yang tinggi akan
memperbesar probabilitas atau kemungkinan kejadiannya.Frekuensi kejadian boleh tidak
dipakai seperti perumusan di atas,karena itu risiko dapat dituliskan sebagai fungsi dari
probabilitas dan konsekuensi saja, dengan asumsi frekuensi telah termasuk dalam
probabilitas. Nilai probabilitas adalah nilai dari kemungkinan risiko akan terjadi berdasarkan
pengalaman–pengalaman yang sudah ada, berdasarkan nilai kualitas dan kuantitasnya. Jika
tidak memiliki cukup pengalaman dalam menentukan probabilitas risiko, maka probabilitas
risiko harus dilakukan dengan hati–hati serta dengan langkah sistematis agar nilainya tidak
banyak menyimpang.
Nilai konsekuensi dapat diasumsikan dalam bentuk kompensasi biaya yang harus
ditanggung atau dapat berupa tindakan penanggulangan dangan cara lain dengan biaya yang
lebih rendah. Jadi, pengertian manajemen risiko adalah suatu upaya penerapan kebijakan
peraturan dan upaya-upaya praktis manajemen secara sistematis dalam menganalisa
pemakaian dan pengontrolan risiko untuk melindungi pekerja, masyarakat dan lingkungan.
(Hermawan, 2010)
Manajemen Risiko Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
Manajemen risiko K3 adalah suatu upaya mengelola risiko K3 untuk mencegah
terjadinya kecelakaan yang tidak diinginkan secara komprehensif, terencana dan terstruktur
dalam suatu kesisteman yang baik. Manajemen risiko K3 berkaitan dengan bahaya dan risiko
yang ada di tempat kerja yang dapat menimbulkan kerugian bagi peusahaan (Ramli, 2010)
Menurut AS/NZS 4360 Risk Management Standard, manajemen risiko adalah “the culture,
process, and structures that are directed towards the effective management of potential
opportunities and adserve effects”. Menurut standar AS/NZS 4360 tentang standar
manajemen risiko, proses manajemen risiko mencakup langkah sebagai berikut
a. Penetapan tujuan
Menetapkan strategi, kebijakan organisasi dan ruang lingkup manajemen risiko
yang akan dilakukan.
b. Identifikasi risiko
Mengidentifikasi apa, mengapa dan bagaimana faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya risiko untuk analisis lebih lanjut.
c. Analisis risiko
Dilakukan dengan menentukan tingkatan probabilitas dan konsekuensi yang akan
terjadi. Kemudian ditentukan tingkatan risiko yang ada dengan mengalikan kedua
variabel tersebut (probabilitas X konsekuensi).
d. Evaluasi risiko
Membandingkan tingkat risiko yang ada dengan kriteria standar. Setelah itu
tingkatan risiko yang ada untuk beberapa hazards dibuat tingkatan prioritas
manajemennya. Jika tingkat risiko ditetapkan rendah, maka risiko tersebut masuk ke
dalam kategori yang dapat diterima dan mungkin hanya memerlukan pemantauan saja
tanpa harus melakukan pengendalian.
e. Pengendalian risiko
Melakukan penurunan derajat probabilitas dan konsekuensi yang ada dengan
menggunakan berbagai alternatif metode, bisa dengan transfer risiko, dan lain-lain.