Post on 26-May-2018
1
EFEKTIFITAS PEMBERIAN LENDIR BEKICOT 100% (Achatina fulica)
DAN SEDIAAN KRIM 5% TERHADAP LAMA PENYEMBUHAN
LUKA BAKAR DERAJAT II (A) SECARA IN VIVO
Mandala Adhi Putra1)
1) Mahasiswa Program Studi S-1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta
ABSTRAK
Luka bakar merupakan salah satu trauma yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-
hari yang berupa cedera terhadap jaringan yang disebabkan oleh kontak dengan panas
kering (api), panas lembab (uap atau cairan panas), kimiawi, barang elektrik, dan
radiasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas lendir bekicot 100% dan
sediaan krim lendir bekicot 5% terhadap lama penyembuhan luka bakar derajat II (A).
Jenis penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif True Eksperimental
menggunakan design Pretest-Posttest Control Group Design yaitu penelitian dengan
Simple random sampling. Sampel yang digunakan adalah mencit sebanyak 20 ekor yang
dibagi menjadi 4 kelompok terdiri dari K1 tanpa perlakuan apapun, K2 dengan
pemberian bioplacenton, P1 dengan pemberian lendir bekicot 100% dan P2 dengan
sediaan krim lendir bekicot 5%. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata penyembuhan
luka bakar derajat II(A) pada K1 adalah 16 hari, K2 12,40 hari, P1 13,80 hari dan P2
11,40 hari. Hasil uji One-Way ANOVA didapatkan p value = 0,02 (p value <0,05) dan
nilai Fhitung (8.109) > Ftabel (5,292) disimpulkan bahwa H0 ditolak yang artinya lendir
bekicot berpengaruh terhadap lamanya penyembuhan luka. Hasil uji LSD menunjukkan
bahwa kelompok yang paling mempunyai hubungan signifikan adalah kelompok K1
dengan kelompok P2 dimana Mean Difference adalah 4.600. Hal ini dapat disimpulkan
bahwa sediaan krim lendir bekicot 5% paling efektif terhadap lama penyembuhan luka
bakar derajat II (A) yaitu 11,40 hari. Lendir bekicot 100% dan Sediaan krim lendir
bekicot 5% efektif dalam penyembuhan luka bakar derajat II (A).
Kata kunci: Lendir bekicot (Achatina fulca), sediaan krim 5%, lama penyembuhan luka,
In Vivo
ABSTRACT
Burn wound is one of the traumas that frequently happens in our daily life, that is, a
tissue injury due to the contact with dry heats (fire) and moist heats hot vapor or hot
liquid), chemicals, electronic devices, and radiations. The objective of this research is to
investigate the effectiveness of the administration of snail slime of 100% and specimen of
snail slime cream of 5% on the healing duration of Grade II (A). This research used the
true experimental research method with pretest-posttest control group design. The
samples of the research were taken by using the simple random sampling technique. They
consisted of 20 mice, and were divided into four groups, namely: K1 without any
treatment, K2 with bioplacenton treatment, P1 with the treatment of snail slime of 100%
and P2 with the treatment of specimen of snail slime cream of 5%. The average durations
for the healing of burns of Grade II(A) of K1, K2, P1, and P2 are 16 days, 12.40, 13.80,
and 11.40 days respectively. The result of the test with the one-way analysis of variance
2
shows that the value of p is 0.02 which is smaller than 0.05, and the value of F count =
8.109 is greater than that of Ftable = 5.292. Thus, H0 is rejected, meaning that the snail
slime has an effect the burn healing durations. The result of the LSD test shows that the
groups bearing the most significant correlation are K1 and P2 whose mean difference is
4.600. Therefore, it can be concluded that the specimen of snail slime cream of 5% is the
most effective for the healing of burns of Grade II (A), namely: 11.40 days. The snail
slime of 100% and the specimen of snail slime cream of 5% are effective for the healing
of burns of Grade II (A).
Keywords: Snail slime, specimen of snail slime of 5%, burn healing durations, and in
vivo
PENDAHULUAN
Luka bakar merupakan salah satu
trauma yang sering terjadi dalam
kehidupan sehari-hari yang berupa cedera
terhadap jaringan yang disebabkan oleh
kontak dengan panas kering (api), panas
lembab (uap atau cairan panas), kimiawi
(seperti, bahan-bahan korosif), barang-
barang elektrik (aliran listrik atau lampu),
atau energi elektromagnetik dan radiasi
(Ekrami and Kalantar 2007).
Menurut Michael Peck, Joseph
Molnar dan Dehran Swart dalam Bulletin
of the World Health Organization A
global plan for burn prevention and care
(2009), bahwa setiap tahun lebih dari
300.000 orang meninggal akibat luka
bakar, jutaan lebih menderita cacat tubuh
yang mempengaruhi efek pada
psikologis, sosial dan ekonomi.
Penelitian di Belanda menunjukkan 70%
kejadian luka bakar terjadi di lingkungan
rumah tangga, 25% di tempat industri,
dan kira-kira 5% akibat kecelakaan lalu
lintas (Kristanto 2005). Di Asia tercatat
sekitar 195. 000 jiwa yang meninggal
karena luka bakar (WHO 2012). Korban
meletusnya Gunung Merapi di Kabupaten
Magelang, Kabupaten Klaten dan
Kabupaten Boyolali di Provinsi Jawa
Tengah serta Kabupaten Sleman di
Provinsi D.I. Yogyakarta, berdasarkan
informasi dari Dinas Kesehatan tercatat
korban meninggal dunia sebanyak 275
orang dan sebanyak 577 orang dirawat
(Depkes 2010).
Bekicot (Achatina fulica) sebagai
salah satu bahan tradisional yang
digunakan untuk pengobatan luka (Bayu
2010). Lendir bekicot mempunyai nilai
biologis yang tinggi dalam penyembuhan
dan penghambatan proses inflamasi
(Swastini 2011). Menurut Berniyanti
(2007), bahwa lendir bekicot terdapat
peptida antimikroba yang dapat
mempengaruhi viabilitas ultrastruktur
bakteri gram negatif dan gram positif
melalui nilai biologis yang tinggi dalam
penyembuhan dan penghambatan proses
inflamasi.
Glikokonjugat utama pada lendir
bekicot yaitu glikosaminoglikan disekresi
oleh granula- granula yang terdapat di
dalam tubuh bekicot dan terletak di
permukaan luar. Lendir bekicot juga
mengikat kation divalensi seperti
tembaga (II) yang dapat mempercepat
proses angiogenesis sehingga
mempengaruhi kecepatan penyembuhan
luka (Nuringtyas 2008).
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui efektifitas pemberian lendir
bekicot 100% dan sediaan krim 5%
terhadap penyembuhan luka bakar derajat
II (A) pada mencit. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat digunakan oleh
3
masyarakat , terutama dalam penggunaan
obat tradisional untuk penanganan awal
pada luka bakar.. Penelitian ini
diharapkan dapat bermanfaat bagi
mahasiswa, tenaga kesehatan dan
masyarakat dalam penanganan jika
terjadi luka bakar serta bagi peneliti yang
telah menciptakan produk sediaan krim
lendir bekicot 5% sebagai obat topikal
pada luka bakar derajat II (A).
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di
Laboratorium IPA Terpadu STIKes
Kusuma Husada Surakarta pada tanggal
10 Maret 2014 – 3 Mei 2014. Jenis
penelitian ini adalah penelitian kuantitatif
eksperimental laboratoris True
Eksperimental menggunakan design
Pretest-Posttest Control Group Design
yaitu penelitian dengan Simple random
sampling dan memberikan perlakuan
yang berbeda terhadap kelompok sampel
serta mengontrol variabel terkontrolnya
sehingga hasil dari pengaruh lendir
bekicot terhadap lama penyembuhan luka
bakar derajat II (A) bisa maksimal.
Hipotesis yang diambil peneliti yaitu H0
artinya lendir bekicot tidak efektif
terhadap penyembuhan luka bakar derajat
II (A) dan H1 artinya lendir bekicot
efektif terhadap penyembuhan luka bakar
derajat II (A). Teknik pengumpulan data
menggunakan lembar observasi yang
dibuat oleh peneliti untuk pengamatan
proses penyembuhan luka bakar. Teknik
analisis dan interpretasi menggunakan
Software Statistical Product and Service
Solution (SPSS) versi 18 for Windows.
Uji normalitas data menggunakan uji
statistik Shapiro-Wilk dimana p value >
0,05 yang artinya data berdistribusi
normal. Homogenitas data di uji
menggunakan Levene Statistic dengan p
value > 0,05 maka data dinyatakan
homogen serta penggunaan rumus
(=FINV(0.01,df1,df2)) pada Ms. Excel
2010 untuk mengetahui Ftabel. Pengujian
hipotesis menggunakan uji Parametric
yaitu uji One-Way ANOVA (Analysis of
Varience) dimana p value < 0,05 atau
membandingkan nilai Fhitung dan Ftabel
dimana Fhitung > Ftabel yang artinya H0
ditolak. Untuk mengetahui kelompok
mana yang paling berbeda signifikan
maka perlu dilakukan uji perbandingan
berganda (Post Hoc Test) menggunakan
uji LSD (Least Significant Difference)
(Dahlan 2008).
Objek penelitian yang digunakan
adalah mencit jenis galur Balb/C
sebanyak 20 ekor dilukai dengan balok
stereofoam dengan luas 1x1cm dibalut
dengan kassa dan direndam dalam air
mendidih selama 2 menit setelah itu
ditempelkan pada kulit mencit yang
sudah dicukur selama 20 detik sehingga
mengalami luka bakar derajat II (A).
Sebanyak 20 ekor mencit
dikelompokkan menjadi 4 kelompok
dengan teknik random sampling yaitu
dengan teknik mengundi nomor dari
masing-masing kandang untuk di pilih
menjadi kelompok kontrol negatif dengan
kode (K1) tanpa perlakuan, kontrol
positif dengan kode (K2) dengan
perlakuan pemberian bioplacenton,
kelompok perlakuan dengan pemberian
lendir bekicot 100% dengan kode (P1),
kelompok perlakuan dengan pemberian
lendir bekicot yang dibuat sediaan krim
5% dengan kode (P2). Menurut WHO
dalam penelitian Purnasari Wahyu P, dkk
2012 bahwa berdasarkan ketentuan WHO
yang menyebutkan batas minimal hewan
coba yang digunakan dalam penelitian
eksperimental adalah 5 ekor tiap
kelompok perlakuan. Peneliti
menghendaki kepercayaan sampel
terhadap popluasi 99% atau tingkat
kesalahan 1% maka jumlah sampel yang
4
diambil menurut Sugiyono (2013) adalah
20 ekor sampel.
S = λ�.�.�.�
������λ�.�.�
Keterangan : λ
2 dengan dk = 1, taraf
kesalahan bisa 1%, 5%, 10%.
P = Q = 0,5 d = 0,01 N = Populasi
S = Jumlah Sampel
Penghitungan :
S = �. �.�,�.�,�
�,��� ����.�,�.�,�
S = �. �.�, �
�,���.���.�, �
S = �
�,�����, � =
�
�, �� = 19, 84
S = 20 sempel
5
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
1. Hasil Identifikasi Sample Lendir
Bekicot (Achatina fulica) 100%
a. Uji pH dan Homogenitas
Lendir Bekicot 100% (Achatina
fulica) Lendir bekicot didapatkan
lansung dari pemecahan bekicot
hidup didapatkan pada uji pH
lendir bekicot 100%
menggunakan kertas lakmus yang
didapatkan hasil 8,53 dan
homogen.
b. Hasil Pemeriksaan
Organoleptis Lendir Bekicot
(Achatina fulica) 100% Tabel 1. Pemeriksaan Lendir
Bekicot (Achatina fulica)
Kategori Hasil
Bentuk Kental
Warna Kuning Jernih
Bau Khas
Rasa Tidak berasa
Berdasarkan Tabel 1
diketahui bahwa bentuk yang
dihasilkan adalah kental,
berwarna kuning jernih, bau khas
dan tidak berwarna.
2. Sediaan Krim Lendir Bekicot 5%
a. Uji pH dan Homogenitas Krim
Lendir Bekicot 5%
Uji pH dan homogenitas
krim lendir bekicot 5% dengan
menggunakan kertas lakmus
didapatkan hasil nilai pH sediaan
lendir bekicot 5% sebesar 7,4.
Krim lendir bekicot dibuat tipe
a/m yaitu air terdispersi dalam
minyak dengan basis asam
stearat, cera alba, vaselin alba,
nipagin, triethanolamin,
propilenglikol, nipasol dan
aquadest diuji tingkat
homogenitasnya untuk
memastikan semua bahan
tercampur dengan baik. Hasil
yang diperoleh dari sediaan krim
lendir bekicot 5% adalah
homogen.
b. Uji Stabilitas Krim Lendir
Bekicot 5% Hasil uji stabilitas krim
lendir bekicot 5% dilakukan
selama 5 minggu dengan
memperhatikan homogenitas,
warna, bau dan konsistensi. Hasil
uji stabilitas dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Uji Stabilitas Krim
Lendir Bekicot 5%
Kategori Homogeitas
Minggu I Homogen
Minggu II Homogen
Minggu III Homogen
Minggu IV Homogen
Minggu V Homogen
Berdasarkan Tabel 2
diketahui bahwa selama 5 minggu
penyimpanan, krim lendir bekicot
5% tidak mengalami perubahan
warna, bau (organoleptis) dan
konsistensi. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa krim lendir
bekicot 5% stabil dalam 5 minggu
penyimpanan.
Gambar 2. Krim Lendir
Bekicot 5%
6
c. Uji Krim Lendir Bekicot 5%
Terhadap Iritasi Kulit Uji krim lendir bekicot 5%
terhadap iritasi kulit dilakukan
pada sukarelawan mahasiswa
Prodi S-1 Keperawatan STIKes
Kusuma Husada Surakarta
angkatan 2010 sebanyak 8 orang
dengan cara dioleskan langsung
pada tangan sukarelawan dengan
diameter 1 cm selama 24 jam.
Hasil pemeriksaan terhadap
sukarelawan menunjukkan tidak
terjadi reaksi iritasi (gatal, merah
dan bengkak).
d. Uji Aseptabilitas Sediaan Uji aseptabilitas sediaan
dilakukan terhadap 8 orang
sukarelawan dengan cara krim
lendir bekicot 5% di oleskan pada
kulit tangan. Hasil yang
didapatkan adalah krim mudah
dioleskan, terasa lembut dikulit,
sensasi yang ditimbulkan agak
dingin serta mudah untuk
dihilangkan dengan cara dicuci
dengan air.
4. Hasil Analisis Statistical Product
and Service Solutions (SPSS) versi
18
a. Hasil Uji Normalitas Data Tabel 3. Hasil Uji Normalitas
Data
Mencit Sig.
Hari K1 .967
K2 .492
P1 .223
P2 .814
Berdasarkan Tabel 3
diketahui nilai signifikan (p value)
untuk setiap kelompok (p value >
0.05). Hal ini menunjukan bahwa
H0 diterima yang artinya data
untuk semua tingkat
penyembuhan luka bakar derajat
II (A) berdistribusi normal.
b. Hasil Uji Homogenitas Tabel 4. Hasil Uji Homogenitas
Levene
Statistic df 1 df 2 Sig.
.254 3 16 .857
Berdasarkan Tabel 4
diketahui bahwa hasil uji
homogenitas menggunakan
Levene’s test menunjukan bahwa
varian keempat kelompok
tersebut sama yaitu didapatkan p
value = 0,857 (p value > 0,05),
sehingga uji Anova valid untuk
menguji hubungan antar
kelompok. Hasil Ftabel dengan df
1= 3 dan df 2= 16 dengan taraf
kesalahan yang diambil adalah
0,01. Maka nilai Ftabel sebesar
5,292 yang dicari menggunakan
program Ms. Excel 2010 dengan
rumus (=FINV(0.01,3,16)).
c. Hasil Uji One-Way Anova Tabel 5. Hasil Uji One-Way
Anova
F Sig.
Between Groups 8.109 .002
Berdasarkan Tabel 5
diketahui p value = 0,02, dimana
p value < 0,05 sehingga H0
ditolak, dan dapat
disimpulkan ada perbedaan yang
bermakna rata-rata lama
penyembuhan luka berdasarkan
keempat kelompok tersebut. Nilai
Fhitung adalah sebesar 8.109 dan
nilai Ftabel sebesar 2,860 dimana
Fhitung (8.109) > Ftabel (5,292)
dengan sig 0.002 dengan
demikian dapat disimpulkan
bahwa H0 ditolak, atau terdapat
perbedaan yang signifikan antara
keempat kelompok dalam
7
lamanya penyembuhan luka. Uji
One-Way Anova menunjukan
adanya perbedaan yang
bermakna, maka uji selanjutnya
adalah melihat kelompok mana
yang paling berpengaruh dengan
uji perbandingan berganda (Post
Hoc Test) menggunakan uji LSD
(Least Significant Difference).
d. Hasil Uji LSD (Least Significant
Difference) Tabel 6. Hasil Uji LSD (Least
Significant Difference)
(I)
Mencit
(J)
Mencit
Mean
Difference (I-J)
K1 K2 3.600*
P1 2.200
P2 4.600*
K2 K1 -3.600*
P1 -1.400
P2 1.000
P1 K1 -2.200
K2 1.400
P2 2.400
P2 K1 -4.600*
K2 -1.000
P1 -2.400
Berdasarkan Tabel 6
diketahui bahwa Uji Post Hoc
LSD menunjukkan bahwa
kelompok yang paling
mempunyai hubungan signifikan
adalah kelompok kontrol 1 (K1)
dengan kelompok perlakuan 2
(P2) dimana Mean Difference
yang diperoleh adalah 4.600. Hal
ini dapat diartikan bahwa krim
lendir bekicot 5% paling
berpengaruh terhadap lama
penyembuhan luka bakar derajat
II (A).
e. Hasil Rata-Rata Durasi
Penyembuhan Luka Bakar
Derajat II (A) Tabel 7. Hasil Rata- Rata Durasi
Penyembuhan Luka Bakar
Derajat II (A)
Mencit N Mean
K1 5 16.00
K2 5 12.40
P1 5 13.80
P2 5 11.40
Total 20 13.40
Berdasarkan Tabel 7 diketahui
bahwa Hasil penelitian menunjukkan
bahwa rata-rata durasi penyembuhan luka
bakar derajat II (A) pada kelompok
kontrol negatif (K1) adalah 16 hari,
kelompok kontrol positif 2 (K2) dengan
pemberian bioplacenton adalah 12,40
hari, sedangkan pada kelompok
perlakuan 1 (P1) dengan pemberian
lendir bekicot 100% adalah 13,80 hari
dan kelompok perlakuan 2 (P2) dengan
pemberian krim lendir bekicot 5% yaitu
11,40 hari. Berdasarkan hasil penelitian
tersebut, maka dapat diketahui bahwa
lendir bekicot efektif dalam
penyembuhan luka bakar derajat II (A).
8
Tabel 8. Tingkat Kesembuhan Luka Bakar Pada Kelompok
Kontrol 1 (n=5)
No Kriteria Sembuh Hari ke-
Rerata K11 K12 K13 K14 K15
1 Kondisi Kulit
a. Kering
b. Lembab
c. Basah
3
2
1
3
2
1
3
2
1
3
2
1
4
2
1
3,2
2
1
2 Warna Luka
a. Merah Segar
b. Merah Pucat
c. Coklat Merah
d. Putih
e. Kulit Normal
2
1
4
11
14
2
1
4
13
15
3
1
7
15
17
2
1
7
15
16
2
1
8
16
18
2,2
1
6
14
16
3 Eritema
< 1mm
> 1mm
2
3
2
3
2
3
2
3
2
4
2
3,2
4 Edema 1 1 1 1 1 1
5 Pus/Eksudat - - - - - -
6 Sembuh Total 14 15 17 16 18 16
Gambar 2. Perkembangan Luka Pada Kelompok Kontrol 1( Kode sampel K14)
9
Tabel 9. Tingkat Kesembuhan Luka Bakar Pada Kelompok
Kontrol 2 (n=5)
No Kriteria Sembuh Hari ke-
Rerata K21 K22 K23 K24 K25
1 Kondisi Kulit
a. Kering
b. Lembab
c. Basah
3
2
1
3
2
1
3
2
1
3
2
1
3
2
1
3
2
1
2 Warna Luka
a. Merah Segar
b. Merah Pucat
c. Coklat Merah
d. Putih
e. Kulit Normal
2
1
4
9
12
2
1
4
11
13
2
1
4
11
13
2
1
3
8
10
2
1
4
12
14
2
1
3,8
10,2
12,4
3 Eritema
< 1mm
> 1mm
2
3
2
4
2
4
2
0
2
0
2
2,2
4 Edema 1 1 1 1 1 1
5 Pus/Eksudat - - - - - -
6 Sembuh Total 12 13 13 10 14 12,4
Gambar 3. Perkembangan Luka Pada Kelompok Kontrol 2( Kode sampel K21)
10
Tabel 10. Tingkat Kesembuhan Luka Bakar Pada Kelompok
Perlakuan 1 (n=5)
No Kriteria Sembuh Hari ke-
Rerata P11 P12 P13 P14 P15
1 Kondisi Kulit
a. Kering
b. Lembab
c. Basah
3
2
1
3
2
1
3
2
1
3
2
1
3
2
1
3
2
1
2 Warna Luka
a. Merah Segar
b. Merah Pucat
c. Coklat Merah
d. Putih
e. Kulit Normal
2
1
4
10
12
2
1
3
12
13
2
1
4
12
14
2
1
4
15
17
2
1
3
12
13
2
1
3,6
12,2
13,8
3 Eritema
< 1mm
> 1mm
2
0
2
0
2
0
2
4
2
3
2
1,4
4 Edema 1 1 1 1 1 1
5 Pus/Eksudat - - - - - -
6 Sembuh Total 12 13 14 17 13 13,8
Gambar 4. Perkembangan Luka Pada Kelompok Perlakuan 1( Kode sampel P13)
11
Tabel 11. Tingkat Kesembuhan Luka Bakar Pada Kelompok
Perlakuan 2 (n=5)
No Kriteria Sembuh Hari ke-
Rerata P21 P22 P23 P24 P25
1 Kondisi Kulit
d. Kering
e. Lembab
f. Basah
3
2
1
3
2
1
3
2
1
3
2
1
3
2
1
3
2
1
2 Warna Luka
f. Merah Segar
g. Merah Pucat
h. Coklat Merah
i. Putih
j. Kulit Normal
2
1
3
10
13
2
1
3
8
10
2
1
3
8
11
2
1
3
8
11
2
1
3
9
12
2
1
3
8,6
11,4
3 Eritema
< 1mm
> 1mm
2
0
2
0
2
2
2
0
2
0
2
0
4 Edema 1 1 1 1 1 1
5 Pus/Eksudat - - - - - -
6 Sembuh Total 13 10 11 11 12 11,4
Gambar 5. Perkembangan Luka Pada Kelompok Perlakuan 2( Kode sampel P24)
Berdasarkan perbandingan hasil
observasi yang dilakukan peneliti pada
tiap-tiap kelompok membuktikan bahwa
pada kelompok perlakuan 1 (P1) dan
kelompok perlakuan 2 (P2) memiliki
tekstur kulit yang lebih sempurna
dibandingkan dengan kelompok kontrol 1
(K1) dan kelompok kontrol 2 (K2).
Perkembangan luas lukanya ditandai
dengan tahap pengeringan luka
dilanjutkan dengan pengelupasan luka
kering sedikit-demi sedikit.
12
Efektifitas lendir bekicot
dipengaruhi oleh kandungan pada lendir
bekicot yaitu zat beta aglutinin (antibodi)
didalam plasma (serum), protein achasin,
acharan sulfat dan glikokonjugat.
Aglutinin adalah zat yang digumpalkan
sedangkan aglutininogen merupakan zat
yang menggumpalkan. Zat beta aglutinin
berperan dalam proses hemostasis,
dimana proses ini terjadi penghentian
perdarahan yang bersifat fisiologis.
Proses hemostasis tergantung pada faktor
koagulasi, trombosit dan pembuluh
darah. Zat beta aglutinin ini berperan
dalam faktor koagulasi. Luka bakar yang
terjadi pada mencit menyebabkan
pembuluhan mengalami vasokontriksi,
dimana pada fase ini secara fisiologis
akan dicegah oleh sistem fibrinolitik dan
anti koagulasi. Kedua sistem ini bertugas
merusak hasil bekuan darah yang tidak
diharapkan oleh tubuh (Prihadi 2007).
Menurut Teori Howell dalam
Prihadi (2007) ada 3 tahap dalam proses
koagulasi. Tahap pertama merupakan
tahap pembentukan tromboplastin dan
tromboplastin yang terbentuk bukanlah
suatu senyawa atau bahan tetapi suatu
fungsi yang berasal dari berbagai faktor
atau bahan. Penelitian ini menggunakan
lendir bekicot yang berperan dalam
pembentukan tromboplastin karena
mengandung zat agglutinin. Tahap kedua
adalah aktivasi protrombin menjadi
thrombin dan tahap ketiga adalah
pembentukan fibrinogen sampai
terbentuknya fibrin clot.
Kandungan dalam lendir bekicot
lainnya yaitu protein achasin yang akan
menghambat pembetukan bagian-bagian
dari strain bakteri seperti lapisan
peptidoglikan dan membran sitoplasma,
dengan tidak terbentuknya dinding sel
bakteri tersebut tidak dapat bertahan
terhadap pengaruh luar dan segera mati
(Susantini 2010). Kandungan dalam
lendir bekicot selanjutnya adalah
glikokonjugat kompleks yang merupakan
pengontrol aktif fungsi sel dan berperan
pada interaksi matriks sel, proliferasi
fibroblas, spesialisasi, dan migrasi, serta
secara efektif mengontrol fenotip seluler
(Nuringtyas 2008).
Acharan sulfat yang terdapat pada
lendir bekicot merupakan proteoglikan
yang berfungsi sebagai pengikat dan
reservoir (penyimpanan) bagi faktor
pertumbuhan fibroblas dasar Basic
fibroblast growth factor (bFGF) yang
disekresikan ke dalam Extracellular
matrix (ECM). ECM dapat melepaskan
bFGF yang akan merangsang rekrutmen
sel radang, aktivasi fibroblas dan
pembentukan pembuluh darah baru setiap
cedera (Robbins 2007). Terbentuknya
jaringan granulasi yang sempurna akan
menutup permukaan luka. Pembentukan
jaringan granulasi mengakhiri fase
proliferasi proses penyembuhan luka dan
mulailah pematangan dalam fase
remodeling (Sjamsuhidajat 2007).
Berdasarkan hasil uji LSD
didapatkan bahwa kelompok perlakuan 2
(P2) yaitu perawatan luka bakar dengan
menggunakan krim lendir bekicot 5%
lebih cepat durasi penyembuhannya yaitu
rata-rata sembuh dalam 11 hari. Faktor
yang mendukung efektifitas penggunaan
krim lendir bekicot 5% adalah adanya
konsentrasi lendir bekicot yang dapat
memudahkan kulit untuk menyerap. Hal
ini dapat dibandingkan dengan kelompok
perlakuan 1 (P1) yang menggunakan
konsentrasi lendir bekicot 100%, dimana
hasilnya menunjukkan dengan
konsentrasi lendir bekicot yang semakin
tinggi akan memerlukan durasi waktu
penyembuhan lebih lama. Hasil
penelitian tersebut diatas sesuai dengan
teori bahwa semakin rendah konsentrasi
akan semakin besar defusi krimnya pada
kulit yang artinya semakin rendah
13
konsentrasinya maka kulit akan lebih
mudah untuk menyerapnya dan
sebaliknya jika konsentrasi lebih tinggi
maka kulit akan sulit untuk menyerap
(Sinko 2006).
Penelitian terdahulu dilakukan oleh
Anggraini (2011) bahwa penggunaan
formulasi krim dengan konsentrasi 4%
serbuk getah pepaya (Carica papaya L)
memberikan hasil lebih efektif sebagai
obat anti jerawat dibandingkan dengan
konsentrasi 2% dan 3%. Hal ini diketahui
pada pengamatan yang dilakukan selama
3 minggu bahwa pada konsentrasi 4%
jerawat semakin mengecil/ mengempes
sedangkan pada konsentrasi 2% dan 3%
hanya mengalami kemerahan.
Penelitian sebelumnya dilakukan
oleh Simanjutak (2008) tentang ekstraksi
dan fraksinasi komponen ekstrak daun
tumbuhan senduduk (Melastoma
malabathricum.L) serta pengujian efek
sediaan krim terhadap penyembuhan luka
bakar. Kegiatan ekstraksi dilakukan
dengan skrining fitokimia yang
menunjukkan adanya golongan senyawa
flavonoid, saponin, tanin, glikosida dan
streroida/triterpenoida. Hasil fraksinasi
ekstrak etanol menghasilkan ekstrak n-
heksan, ekstrak kloroform, dan ekstrak
etilasetat. Hasil pengujian sediaan krim
terdiri dari fraksi krim yaitu ekstrak n-
heksan, ekstrak kloroform, dan ekstrak
etilasetat dengan kadar masng-masing
5% terhadap penyembuhan luka bakar
diameter 2 cm dan menunjukkan bahwa
semua ekstrak berpengaruh sebagai obat
luka bakar. Sediaan krim yang paling
efektif adalah krim ekstrak etilasetat yang
mampu menyembuhkan luka bakar dalam
waktu 15 hari, ekstrak kloroform 19 hari
dan ekstrak n-heksan 21 hari.
Berdasarkan penelitian tersebut
diatas, maka peneliti memilih sediaan
krim dengan konsentrasi 5% karena
konsentrasi 5% menunjukkan efektif
sebagai obat luka bakar. Kelebihan
sediaan krim yaitu mudah diratakan,
praktis, mudah dioleskan, mudah
dibersihkan atau dicuci, cara kerja
sediaan krim berlangsung pada jaringan
setempat dan krim a/m menimbulkan
sensasi rasa dingin.
Formula krim lendir bekicot 5%
yang dikembangkan oleh peneliti bertipe
a/m yaitu air terdispersi dalam minyak
(cold cream) dengan basis asam stearat,
cera alba, vaselin alba, nipagin,
triethanolamin, propilenglikol, nipasol
dan aquadest dengan bahan aktif lendir
bekicot 5%. Krim lendir bekicot 5% yang
dibuat oleh peneliti menggunakan jasa
pembuatan di Universitas Setia Budi
Surakarta.
Hasil pembuatan tersebut didukung
oleh pernyataan dari Anief 1994 dalam
Nanikartinah (2012) bahwa kualitas dasar
krim yang baik yaitu stabil pada suhu
kamar, lunak atau homogen dimana
seluruh produk formula adalah halus dan
homogen, mudah dipakai atau
dihilangkan dan terdistribusi merata.
Formula krim lendir bekicot 5% yang
dibuat oleh peneliti termasuk dalam cold
cream. Menurut Nanikartinah (2012)
cold cream adalah sediaan kosmetika
yang digunakan untuk maksud
memberikan rasa dingin dan nyaman
pada kulit, sebagai krim pembersih,
berwarna putih dan bebas dari butiran.
Cold cream mengandung mineral oil
dalam jumlah besar.
Faktor yang mempengaruhi proses
penyembuhan luka yaitu faktor lokal dan
faktor sistemik. Faktor lokal merupakan
faktor yang secara langsung
mempengaruhi karakteristik abnormalitas
dari luka itu sendiri. Adapun yang
termasuk faktor lokal seperti suplai darah
dan oksigen, foreign body, ukuran, jenis
luka, radiasi ion dan edema. Sedangkan
faktor sistemik merupakan faktor yang
14
berhubungan dengan keseluruhan
kesehatan antara lain nutrisi, status
metabolik, hormon, steroid, merokok,
serta penyakit renal dan hepar (Kumar
2010).
Suplai oksigen dan nutrisi yang
dibutuhkan untuk proses penyembuhan
diperoleh dari aliran darah yang adekuat
dan berfungsi untuk membuang zat sisa,
toksin, bakteri dan debris-debris yang
terbentuk. Apabila suplai oksigen yang
tidak adekuat dapat menyebabkan
gangguan sintesis kolagen, menghalangi
migrasi fibroblas, dan meningkatkan
resiko terkena infeksi. Hal ini
dikarenakan oksigen diperlukan untuk
reaksi hidroksilasi yang membantu proses
cross-link kolagen. Kondisi kekurangan
oksigen dalam jangka waktu yang pendek
dapat menyebabkan pembentukan
kolagen yang tidak stabil (Woodruff
2011). Hasil observasi selama penelitian
yang dilakukan peneliti diketahui
terdapat pertumbuhan jaringan yang baik
ditandai dengan tidak ditemukannya
debris-debris serta pemberian nutrisi
yang dikontrol setiap hari dan diberikan
secara ad libitum.
Faktor lokal yang mempengaruhi
luka selanjutnya adalah foreign body.
Foreign body merupakan benda asing
yang terdapat pada luka yang dapat
menghambat proses penyembuhan luka.
Keberadaan foreign body menyebabkan
stimulasi kontaminasi oleh bakteri dan
dapat memperlambat proses
penyembuhan luka cotohnya seperti
potongan kayu, karat, kotoran dan benda
yang masuk dalam luka (Guo 2010).
Berdasarkan hasil observasi yang
dilakukan oleh peneliti selama 20 hari
bahwa luka bakar derajat II (A) pada
semua sampel mencit tidak terdapat
potongan kayu, karat, kotoran dan benda
lainnya. Dilihat dari kondisi tersebut
bahwa faktor foreign body tidak dijumpai
selama dilakukan penelitian yang artinya
tidak menghambat proses penyembuhan
luka bakar derajat II (A).
Lokasi dan ukuran luka juga
merupakan faktor yang penting dalam
penyembuhan luka. Luka yang terletak
pada bagian yang mendapatkan suplai
darah yang besar seperti pada muka,
umumnya akan sembuh lebih cepat
dibandingkan dengan luka yang terjadi
pada lokasi yang sedikit suplai darahnya
seperti pada kaki. Selain itu, ukuran dan
jarak antara kedua tepi luka juga
menentukan cepat atau tidaknya proses
penyembuhan luka (Port 2009). Lokasi
dan ukuran luka bakar yang dibuat
peneliti pada hewan uji mencit yaitu
dengan luka bakar derajat II (A) di bagian
perut sebelah kiri berukuran 1x1 cm.
Faktor selanjutnya adalah faktor
radiasi ion. Luka yang mendapatkan
paparan ion akan menyebabkan
abnormalitas pada proses penyembuhan
luka. Manfestasi awal dari abnormalitas
penyembuhan luka ini adalah dengan
adanya eritema, edema dan
hiperpigmentasi. Paparan radiasi ion pada
luka yang mengalami iskemik jaringan,
atropi dan fibriosis dapat menyebabkan
luka memasuki fase kronik
(Klingensmith 2008). Berdasarkan hasil
observasi yang dilakukan peneliti,
eritema muncul rata-rata pada hari ke-3
dan hilang pada hari ke-7 dan edema
hanya terjadi pada hari pertama serta
tidak dijumpai hiperpigmentasi pada
luka. Mencit penelitian dikondisikan
pada ruangan yang berada di dalam
laboratorium dengan udara yang sejuk
dan pencahayaan yang cukup.
Hasil observasi yang dilakukan
peneliti pada kelompok kontrol 1 (K1)
eritema mulai muncul di hari ke-2
berjarak <1mm dari tepi luka, berjarak >
1mm di hari ke-3 dan hilang pada hari
ke-8, kelompok kontrol 2 (K2) eritema
15
mulai muncul di hari ke-3 berjarak <
1mm dan hilang pada hari ke-5. Eritema
pada kelompok perlakuan 1 (P1) timbul
di hari ke-3 berjarak < 1mm dan dihari
ke-7 sedangkan eritema pada kelompok
perlakuan 2 (P2) timbul di hari ke-2
berjarak < 1mm dan dihari ke-5.
Berdasarkan hasil tersebut disimpulkan
bahwa eritema pada kelompok perlakuan
2 (P2) lebih cepat menghilang
dibandingkan dengan kelompok lainnya.
Faktor lainnya yang mempengaruhi
proses penyembuhan luka yaitu edema.
Terjadinya pembengkakan akut pada
daerah sekitar luka dapat menyebabkan
robeknya kulit serta hilangnya ketebalan
kulit sehingga memperlambat proses
penyembuhan luka (Woodruff 2011).
Selain edema kondisi kandang dengan
luas 17x17cm terbuat dari saringan pasir
halus beralaskan MMT yang selalu
dibersihkan dan dicuci setiap hari juga
mendukung untuk proses penyembuhan
luka.
Berdasarkan faktor lokal yang
mempengaruhi proses penyembuhan luka
diatas diketahui bahwa faktor-faktor yang
mendukung proses penyembuhan luka
bakar derajat II (A) antara lain suplai
oksigen, nutrisi yang adekuat, lokasi
luka, ukuran luka, edema, radiasi ion dan
tidak dijumpainya faktor foreign body.
SIMPULAN DAN SARAN
Hasil penelitian tentang efektifitas
pemberian lendir bekicot 100% (Achatina
fulica) dan sediaan krim 5% terhadap
lama penyembuhan luka bakar derajat II
(A) secara In Vivo membuktikan bahwa
terdapat pengaruh terhadap durasi waktu
penyembuhan luka. Diketahui hasil rata-
rata durasi penyembuhan luka bakar
derajat II (A) pada kelompok kontrol
negatif (K1) adalah 16 hari, kelompok
kontrol positif 2 (K2) dengan pemberian
bioplacenton adalah 12,40 hari,
sedangkan pada kelompok perlakuan 1
(P1) dengan pemberian lendir bekicot
100% adalah 13,80 hari dan kelompok
perlakuan 2 (P2) dengan pemberian krim
lendir bekicot 5% yaitu 11,40 hari.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut,
maka dapat diketahui bahwa lendir
bekicot efektif dalam penyembuhan luka
bakar derajat II (A). Diharapkan untuk
penelitian selanjutnya disarankan
melakukan agar meneliti menggunakan
sediaan krim dengan konsentrasi yang
berbeda sehingga dapat digunakan
sebagai obat luar pada luka bakar derajat
II (A) atau bisa dikembangkan pada luka
bakar derajat II (B) maupun derajat III.
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini Deni, Masril Malik, Maria
Susiladewi. 2011. Formulasi Krim
Serbuk Getah Buah Pepaya (Carica
papaya L) Sebagai Anti Jerawat.
Fakultas Farmasi Universitas
Andalas. Riau.
Bayu F, dkk. 2010. Aktivitas Sediaan
Gel Ekstrak Batang Pohon Pisang
Ambon dalam Proses Penyembuhan
Luka pada Mencit. Fakultas
Kedokteran Hewan Institusi
Pertanian Bogor. Jurnal Veteriner
Vol. 11 No. 70-73, ISSN: 1411-
8327.
Berniyanti. 2007. Analisis Hambatan
Achasin Bekicot Galur Jawa
Sebagai Faktor Antibakteri
Terhadap Viabilitas Eschericia coli
dan Streptococcus mutans.
Indonesian Journal of
Biotechnology Vol. 12, No. 1, pp.
943-951.
Dahlan MS. 2008. Statistik untuk
Kedokteran dan Kesehatan. Edisi 5.
Salemba Medika. Jakarta.
Depkes. 2010. Perkembangan Akibat
Letusan G. Merapi Tanggal 17
16
November 2010. <http://
penanggulangankrisis. depkes. go.
id/ article/ view/ 6/ 1022/> diakses
4 Januari 2014.
Ekrami A and Kalantar E. 2007.
Bacterial infections in burn patients
at a burn hospital in Iran. Indian
Journal Medical Research, 126:
541-544.
Guo S, Dipietro. 2010. Factor Affecting
Wound Healing. J Den Res
2010;89(3):219-229. LA.
Klingensmith ME, Chen LE, Glasgow
SC, Goers TA, Melby SJ. 2008. The
Washington Manual of Sugery.
ed.5. Lippincott Williams &
Wilkins hal. 110-111. USA.
Kristanto, H. 2005. Perbedaan Efektifitas
Perawatan Luka Bakar Derajat II
Dengan Lendir Lidah Buaya (Aloe
Vera) Dibandingkan Dengan Cairan
Fisiologis (Normal Saline 0,9%)
Dalam Mempercepat Proses
Penyembuhan. Skripsi. Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya.
Malang.
Kumar R, Abbas A, Delancey A, Malone
E. 2010. Robbins and Cotran:
Pathologic Basis of Desease. ed. 8,
Saunders El Sevier. Philadelphia.
Nanikartinah. 2012. Sediaan Krim.
diakses 21 Desember 2013.
<http://nanikartinah.wordpress.com
/2012/02/29/sediaan-krim/>.
Nuringtyas. 2012. Glikonjugat :
Proteoglican, Glikoprotein, dan
Glikolipid. <http://elisa. ugm. ac.
id/ files/ chimera73/ hEAc8NaI
Glycan,Proteoglycan,%20Glycopro
tein,% 20 glycolipid.pdf > diakses
tanggal 16 Oktober 2013.
Peck Michael, Joseph Molnar & Dehran
Swart. 2009. Bulletin of the World
Health Organization A global plan
for burn prevention and care.
<http://www.who.int/bulletin/volu
mes/87/10/08-059733/en/> diakses
4 Januari 2014.
Port C M, Matfin G. 2009.
Pathophysiology. Ed. 8, Lippincott
Williams & Wilkins hal. 235-237.
USA.
Prihadi Harsono. 2007. Pengaruh Waktu
Aktifitas Fisik Ringan Terhadap
Beda Rerata Waktu Pembekuan
Dalam Sistem Koagulasi. Artikel
lmiah Bagian Fisiologi Fakultas
Kedokteran UNDIP. Semarang.
Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi. Edisi
7 Volume 1. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
Simanjutak Megawati R. 2008. Ekstraksi
Dan Fraksi Komponen Ekstrak
Daun Tumbuhan Senduduk
(Melastoma malabathricum. L)
Serta Pengujian Efek Sediaan Krim
Terhadap Penyembuhan Luka
Bakar’. Skripsi. Fakultas Farmasi
Universitas Sumatra Utara. Medan.
Sinko, P. J. 2006. Martin’s Physical
Pharmacy and Pharmaceutical
Sciences : Physical Chemical and
Biopharmaceutical Principles in the
Pharmaceutikal Sciences . 5th
ed,
Published Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.
Sjamsuhidajat, Wim De Jong. 2007. Buku
Ajar Ilmu Bedah .Buku Kedokteran
EGC. Jakarta.
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian
Kuantitatif Kualitatif dan R&D.
Alfabeta CV. Bandung.
Susantini Uke Iluh. 2010. Daya Anti
Mikroba Berbagai Konsentrasi
Lendir Bekicot (Achatina Fulica)
Terhadap Diameter Zona Hambat
Bakteri Streptococcus Mutans
Secara in Vitro. <http://repository.
usu.ac.id/bitstream/1234589236867
89/ 20177/ 4/ Chapter% 20II. pdf>
diakses 20 Oktober 2013.
17
Swastini I Gusti Agung Ayu P. 2011.
Pemberian lendir bekicot (achatina
fulica) Secara topikal lebih cepat
menyembuhkan gingivitis grade 3
karena calculus daripada povidone
iodine 10%. Tesis. Program
Magister Studi Ilmu Biomedik,
Universitas Udayana. Denpasar.<
http:// www. pps. unud. ac. id/
thesis/ pdf_thesis/ unud-235-
1108471786kata%20pengantar.pdf
>.diakses 2 Mei 2013.
WHO. 2012. Burn. Media Centre Burn.
<http://www.who. int/ mediacentre/
factsheets/ fs365/ en />diakses4
Januari 2014.
Woodruff TM, Thundyil J, Chun S, et al.
2011. Pathophysiology, treatment,
and animal and cellular models of
human Ischemic. Mol
Neurodegener. (6) 11.