Post on 05-Aug-2015
description
1
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini berturut‐turut disajikan: 1. Gambaran umum pesantren, 2. Gambaran khusus
pesantren: Unsur‐unsur sistem pendidikan pesantren, dan 3. Dinamika sistem pendidikan pesantren:
prospek bentuk pendidikan pesantren di masa depan.
1. Gambaran Umum Pesantren
Dunia pesantren ternyata tidak seragam. Masing‐masing pesantren memiliki keunikan‐keunikan
sendiri sehingga sulit dibuat satu perumusan yang dapat menampung semua pesantren. Namum,
berikut ini dicoba disajikan gambaran umum mengenai pesantren sebagai hasil temuan lapangan yang
sejauh mungkin dapat menampung semua pesantren. Makin abstrak suatu rumusan makin banyak
pesantren yang dapat ditampung, sebaliknya makin konkret suatu rumusan makin sedikit pesantren
yang dapat ditampungnya.
Pada umumnya gambaran mengenai pesantren sebagaimana diuraikan dalam BAB II TINJAUAN
PUSTAKA pada halaman di muka, telah banyak berubah sesuai dengan perubahan zamannya, meskipun
beberapa ciri‐cirinya masih dapat dilihat sampai sekarang. Dari hasil temuan lapangan dapat dilaporkan
gambaran umum pesantren sebagai berikut:
1.1. Arti Pesantren
Pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami,
menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai
pedoman perilaku sehari‐hari.
Pengertian "tradisional" dalam batasan ini menunjuk bahwa lembaga ini hidup sejak ratusan
tahun (300‐400 tahun) yang lalu dan telah menjadi bagian yang mendalam dari sistem kehidupan
sebagian besar umat Islam Indonesia, yang merupakan golongan mayoritas bangsa Indonesia, dan. telah
mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai dengan perjalanan hidup umat; bukan "tradisional"
dalam arti tetap tanpa mengalami penyesuaian.
1.2. Tujuan Pesantren
Se1ama ini belum pernah ada rumusan tertulis mengenai tujuan pendidikan pesantren. Rumusan
berikut merupakan rangkuman hasil wawancara dengan para pengasuh pesantren yang menjadi objek
penelitian.
2
Tujuan pendidikan pesantren adalah "Menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim,
yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi
masyarakat atau berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat
tetapi rasul yaitu menjadi pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad (mengikuti
sunah Nabi), mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau
menegakkan Islam dan kejayaan umat Islam di tengah‐tengah masyarakat ('izzul Islam wal Muslimin),
dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia. Idealnya pengembangan
kepribadian yang ingin dituju ialah kepribadian muhsin1, bukan sekadar muslim.
Pimpinan pesantren memandang bahwa kunci sukses dalam hidup bersama adalah moral agama,
yang dalam hal ini adalah perilaku keagamaan yang memandang semua kegiatan kehidupan sehari‐hari
sebagai ibadah kepada Tuhan. Mengamati dari dekat perilaku santri, jelas bahwa pendidikan pesantren
dipusatkan pada pendalaman dan penghayatan agama, lengkap dengan pengamalannya dalam perilaku
keseharian. Hal‐hal yang berhubungan dengan orientasi kehidupan yang bercorak keduniawian (sekular)
terasa agak tersisih. Santri cenderung berperilaku sakral dan lebih menekankan perilaku yang idealistis‐
normatif menurut rambu‐rambu hukum agama (fikih) daripada perilaku yang realistis‐materialistis dalam
relevansinya dengan pengalaman hidup keduniawian. Misalnya: "Bencinya" santri Madura terhadap
karapan sapi, karena dalam karapan sapi itu terdapat segi‐segi penyiksaan binatang, perjudian dan
perilaku menyimpang lainnya. Ketika proses aduan berlangsung, sapi dicambuk dengan cambuk yang
kadang‐kadang diberi paku‐paku kecil yang tajam agar berlari kencang. Pada setiap karapan selalu
disertai perjudian. Sebelum diadu, sapi dipelihara dan dimanjakan melebihi anak‐anaknya. Ia
dimandikan, diberi minum bir dicampuri dengan telur, dan sebagainya agar menjadi kuat. Pemilik sapi
tidak segan‐segan mengeluarkan biaya tinggi untuk memelihara sapi karapan; sedang kepentingan
rumah tangganya, dan pendidikan anak‐anaknya ditelantarkan. Sebaliknya mereka (santri) tidak melihat
kerapan sapi sebagai salah satu seni budaya bangsa yang dapat ditampilkan di forum internasional
melalui promosi pengembangan pariwisata nasional, yang di samping mengenalkan budaya bangsa, juga
mendatangkan devisa negara.
Demikian pula halnya dengan "bencinya santri‐santri Gontor terhadap kesenian reog, yang
dinilai adanya unsur‐undur perjudian, homoseksusal, dan sebagainya yang diharamkan agama. Padahal
kesenian reog juga merupakan satu seni budaya bangsa yang dapat ditampilkan dalam forum‐forum
1 Dalam numenklatur Islam dikenal istilah‐istilah mukmin, muslim dan muhsin, yang berbeda secara
gradual. Mukmin: sekedar beriman kepada Allah dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, tetapi belum tentu
mengamalkannya. Muslim: beriman, mengamalkan secara konsekuen dan selalu merasa dekat dengan Allah dan
Rasul‐Nya. Muhsin: memiliki perilaku yang lebih mendalam dari Muslim. Pengabdiannya kepada Tuhan
dilakukannya semata‐mata karena rasa cinta kepada‐Nya, tanpa ada rasa kepentingan dan takut, dan rasa cinta itu
sudah mendarah daging merupakan bagian dari biological mechanismnya. Istilah‐istilah tersebut sebanding
dengan istilah‐istilah Iman (mukmin), Islam (muslim), dan ikhsan (muhsin).
3
berskala internasional dalam rangka mengenalkan budaya bangsa dan menambah devisa. Padahal
pendidikan pesantren juga bertujuan mengembangkan kepribadian Indonesia. Hal itu tampak misalnya
pada kegiatan‐kegiatan kepramukaan, senam pagi Indonesia, ikut serta dalam peringatan hari‐hari besar
nasional, seperti apel bendera di kecamatan, kabupaten, dan sebagainya; juga adanya nama‐nama
asrama: "Indonesia satu, dua, tiga, dan empat", dan sebagainya, seperti yang terdapat pada PP Gontor.
Selanjutnya lihat butir‐butir tujuan pesantren pada lampiran 3.
Namun, Islam tidak menolak seni. Kedua hal tersebut (karapan sapi dan reog) dibenci oleh warga
pesantren karena adanya ekses‐ekses yang menympang dari akidah‐syari’ah agama Islam.
1.3. Masyarakat Pesantren
Pesantren merupakan suatu komunitas tersendiri, di mana kiai, ustaz, santri dan pengurus pesantren
hidup bersama dalam satu kampus, berlandaskan nilai‐nilai agama Islam lengkap dengan norma‐norma
dan kebiasaan‐kebiasaannya sendiri, yang secara eksklusif berbeda dengan masyarakat umum yang
mengitarinya. Ia merupakan suatu keluarga besar di bawah asuhan seorang kiai atau ulama, dibantu
oleh beberapa kiai dan ustaz. Dalam dunia pesantren, santri mempunyai dua orang tua, yakni ibu‐bapak
yang me!ahirkan dan kiai yang mengasuhnya. Ia juga mempunyai dua macam saudara, yaitu saudara
sesusuan dan saudara seperguruan (sesama santri).
Semua rambu‐rambu yang mengatur kegiatan dan batas‐batas perbuatan: halal‐haram, wajib‐
sunah, baik‐buruk, dan sebagainya dipulangkan kepada hukum agama, dan semua kegiatan dipandang
dan dilaksanakan sebagai bagian dan ibadah keagamaan, dengan kata lain semua kegiatan kehidupan
selalu dipandang dalam struktur relevansinya dengan hukum agama. Misalnya: (a) Dalam hal waktu. Jika
kita mengadakan perjanjian kerja dengan mereka, pada umumnya digunakan perjanjian waktu menurut
pembagian waktu lima kali salat wajib sehari semalam, seperti: sesudah isya, sesudah subuh, sebelum
zuhur, sesudah asar, sesudah magrib, dan sebagainya. Atau jika kegiatan tersebut menyangkut jangka
waktu bulanan atau jangka panjang lainnya, biasanya digunakan perjanjian menurut bulan‐bulan
peribadatan tertentu seperti: sesudah Ramadan, dalam bulan Haji dan sebagainya. Pendek kata semua
kegiatan diintegrasikan dengan ibadah keagamaan. Oleh karena itu tidak mengherankan jika (misalnya)
menjelang maghrib masih ada santri yang mencuci pakaian, memasak makanan di malam hari,
mengadakan perjanjian kerja pada pagi‐pagi buta sesudah subuh, dan sebagainya. Bahkan dalam bulan
Puasa kontak sering dilakukan pada jam 3‐4 pagi, sekalian membangunkan waktu makan sahur. Hal‐hal
yang demikian itu kiranya kurang wajar terjadi di masyarakat umum yang menggunakan patokan waktu
24 jam kerja dan pedoman pada nilai dan norma‐norma yang bukan agama Islam. (b) Dalam hal kebersihan
atau kesehatan. Banyak hal‐hal yang dianggap bersih dan suci oleh pesantren, karena dibolehkan oleh
hukum agama, tetapi tidak bersih atau tidak sehat menurut konsepsi ilmu kesehatan. Misalnya tentang
"air". Ada air yang bersih dan sehat menurut konsep ilmu kesehatan, tetapi tidak sah untuk mengambil
wudu karena dianggap tidak bersih atau najis. Sebaliknya ada air yang sah untuk wudu, tetapi tidak
sehat dan tidak bersih menurut ilmu kesehatan. "Debu" yang menurut konsep ilmu kesehatan
4
mengandung banyak bakteri penyakit, tetapi sah hukumnya untuk dipakai wudu, sebagai pengganti air
jika tidak ada air yang dapat ditemui untuk wudu, demikian dan seterusnya
1.4. Unsur‐unsur Pesantren
Unsur‐unsur pesantren adalah: (1) Pelaku: kiai, ustaz, santri, dan pengurus. (2) Sarana
perangkat keras: Mesjid, rumah kiai, rumah ustaz, pondok, gedung sekolah, tanah untuk berbagai
keperluan kependidikan, gedung‐gedung lain untuk keperluan‐keperluan seperti perpustakaan, aula,
kantor pengurus pesantren, kantor organisasi santri, keamanan, koperasi, perbengkelan, jahit‐menjahit,
dan keterampilan‐keterampilan lainnya, dan (3) Sarana perangkat lunak: Tujuan, kurikulum, sumber
belajar yaitu kitab, buku‐ buku dan sumber belajar lainnya, cara belajar‐mengajar (Bandongan, sorogan,
halaqah, dan menghafal) dan evaluasi belajar‐mengajar.
Di antara unsur‐unsur tersebut, kiai adalah tokoh kunci yang menentukan corak
kehidupan pesantren. Semua warga pesantren tunduk kepada kiai. Mereka berusaha keras
melaksanakan semua perintahnya dan menjauhi semua larangannya, serta menjaga agar jangan
sampai melakukan hal‐hal yang sekiranya tidak direstui kiai, sebaliknya mereka selalu berusaha
melakukan hal‐hal yang sekiranya direstui kiai. (Lihat halaman 25).
1.5. Nilai Pesantren
Nilai‐nilai yang mendasari pesantren dapat digolongkan menjadi dua kelompok: (1) Nilai‐nilai
agama yang memiliki kebenaran mutlak, yang dalam hal ini bercorak fikih‐sufistik, dan
berorientasi kepada kehidupan ukhrawi, dan (2) Nilai‐nilai agama yang memiliki kebenaran
relatif, bercorak empiris dan pragmatis untuk memecahkan berbagai masalah kehidupan sehari‐
hari menurut hukum agama. Kedua kelompok nilai ini mempunyai hubungan vertikal atau
hierarchis. Kelompok nilai pertama superior di alas kelompok nilai kedua, dan kelompok nilai
kedua tidak boleh bertentangan dengan kelompok nilai pertama. (Lihat halaman 16 dan 26).
Dalam kaitan ini, kiai menjaga nilai‐nilai agama kelompok pertama, sedang ustaz dan santri
menjaga nilai‐nilai agama kelompok kedua. inilah sebabnya mengapa kiai mempunyai kekuasaan
mutlak di pesantrennya. Ketaatan, ketundukan dan keyakinan santri terhadap kiainya sangat
besar. Mereka yakin bahwa kiainya selalu mengajarkan hal‐hal yang benar, dan mereka tidak
percaya kalau kiai dapat berbuat salah atau keliru. (Lihat Lampiran 5, Butir 13‐17). Tampaknya
pandangan santri yang demikian itu dipengaruhi oleh ajaran yang menyatakan bahwa kiai atau
ulama adalah pewaris nabi. Mereka (santri) menyamakan pengertian kiai dengan pengertian
ulama sebagaimana bunyi ajaran tersebut. Sehingga ajaran‐ajaran yang diberikan oleh kiai atau
ulama diterima sebagai memiliki kebenaran absolut. Hal ini juga merupakan akibat dipahaminya
pengertian tarekat yang lepas dari induknya seperti dikatakan di muka (halaman 31).
5
1.6. Pendekatan Pesantren
Sistem pendidikan pesantren menggunakan pendekatan holistik, artinya: para pengasuh
pesantren memandang bahwa kegiatan belajar‐mengajar merupakan kesatupaduan atau lebur
dalam totalitas kegiatan hidup sehari‐hari, Bagi warga pesantren, belajar di pesantren tidak
mengenal perhitungan waktu, kapan harus mulai dan harus selesai, dan target apa yang harus
dicapai. Bagi dunia pesantren, hanya ilmu fardu ain yang dipandang sakral, sedang ilmu fardu
kifayah dipandang tidak sakral.
Dalam pandangan mereka,semua kejadian yang terjadi dalam kehidupan berawal dari Tuhan,
berproses menurut hukum‐Nya, dan berakhir atau kembali kepada‐Nya. Setiap peristiwa yang terjadi
merupakan bagian dari keseluruhan dan selalu berhubungan satu sama lain dan akhirnya pasti bertemu
pada kebenaran Tuhan. (Lihat Lampiran 5, Butir 18,19 dan 20). Kiai yakin bahwa apa saja yang dipelajari
oleh santri adalah baik dan pada suatu saat akan mendatangkan manfaat bagi yang bersangkutan, jika
sudah tiba waktunya.
Misalnya, kalau seorang santri belajar keterampilan: menjadi tukaang kayu, bengkel motor, jahit
menjahit, membaca kitab, belajar pencak silat, dan sebagainya. Mungkin pada saat itu dan untuk
beberapa saat kemudian keterampilan‐keterampilan tersebut tampak tidak bermanfaat. Tetapi dalam
totalitas kehidupan, hal‐hal tersebut pada suatu saat akan memberikan kegunaannya, setelah bertemu
dengan kejadian‐kejadian lain. Menurut kiai, hikmah itu ada di mana‐mana, dan hal itu merupakan milik
orang Islam yang harus dicari. Oleh karena itu, bagi orang yang benar‐benar beriman, bertakwa dan
pasrah kepada Tuhan Yang Maha Esa, akan mampu menerima setiap kejadian yang amat tragis dan
menyakitkan sekalipun, karena hal itu diyakini sebagai sesuatu yang belum final dan akan berakhir pada
kebenaran Tuhan. Pada waktu menerima peristiwa itu ia belum mengerti, tetapi telah yakin bahwa
dalam setiap peristiwa pasti ada hikmah Tuhan yang tersembunyi di dalamnya. Demikian pula halnya
jika ia menerima sesuatu yang amat menyenangkan; ia tidak akan kehilangan arah atau lupa diri, sebab
itu juga akan kembali kepada‐Nya (Lihat halaman 13‐14).
Seiring dengan pendekatan yang holistich tersebut, maka tidak pernah dijumpai perumusan
tujuan pendidikan pesantren yang jelas dan standar yang berlaku umum bagi semua pesantren; juga
tidak ditemukan kurikulum, cara‐cara penilaian yang jelas dan kalkulatif, serta syarat‐syarat penerimaan
santri dan tenaga kependidikan secara jelas pula. Dalam cara penerimaan: santri boleh masuk pesantren
pada setiap saat, tinggal di pesantren selama ia mau, dan meninggalkan pesantren sewaktu‐waktu.
Dalam penerimaan tenaga kependidikan, siapa saja boleh bekerja dan membantu asal ikhlas. Kecuali
bagi program pendidikan normal, yaitu untuk masuk madrasah dan sekolah umum, serta PP Gontor yang
seluruh kegiatannya menyelenggarakan pendidikan formal.
6
1.7. Fungsi Pesantren
Ternyata pesantren tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga berfungsi sebagai
lembaga sosial dan penyiaran agama.
Sebagai lembaga pendidikan, pesantren menyelenggarakan pendidikan formal (madrasah,
sekolah umum, dan perguruan tinggi), dan pendidikan non formal yang secara khusus mengajarkan
agama yang sangat kuat dipengaruhi oleh pikiran‐pikiran ulama fikih, hadis, tafsir, tauhid dan tasawuf
yang hidup antara abad ke‐7‐13 Masehi. Kitab‐kitab yang dipelajarinya sebagaimana terlampir dalam
Lampiran 2, meliputi: Tauhid, tafsir, hadis, fikih, usul fikih, tasawuf, bahasa Arab (Nahu, saraf, balagah,
dan tajwid), mantiq, dan akhlak.
Sebagai lembaga sosial, pesantren menampung anak dari segala lapisan masyarakat muslim,
tanpa membeda‐bedakan tingkat sosial‐ekonomi orangtuanya. Biaya hidup di pesantren relative murah
daripada belajar di luar pesantren. Mereka dapat hidup dengan biaya yang sangat minim, sekitar Rp
1O.OOO‐Rp 15.000 sebulan di. luar beras, dengan jalan patungan atau masak bersama. Bahk.an
beberapa di antaranya gratis, terutama bagi anak‐anak yatim piatu. dan keluarga miskin lainnya. Pada
beberapa pesantren tertentu santri membangun pondoknya sendiri di atas tanah yang telah disediakan
oleh pesantren tanpa dipungut biaya. Beberapa di antara calon santri sengaja datang ke pesantren
untuk. mengabdikan diri kepada kiai dan pesantren. Beberapa orangtua sengaja mengirimkan anaknya
ke pesantren dan menyerahkan kepada kiai untuk diasuh. Mereka percaya penuh bahwa kiai tidak akan
menyesatkannya, bahkan sebaliknya dengan berkah kiai anak tersebut. akan menjadi orang baik. Juga
banyak anak‐anak yang nakal atau memiliki tanda‐tanda tingkah laku menyimpang, dikirimkan ke
pesantren oleh orangtuanya dengan harapan sembuh dari kenakalannya.
Sementara itu, set.iap hari pesantren menerima tamu yang datang dari masyarakat umum, baik
dari masyarakat lingkar pesantren maupun dari masyrakat Jauh meliputi radius kabupaten, propinsi,
bahkan dari propinsi‐propinsi lain
Kedatangan mereka adalah untuk bersilaturahmi, bekronsultasi, minta nasihat, nasihat, "doa‐
doa", berobat, dan minta "ijazah", yaitu semacam 'Jimat:' untuk menangkal gangguan hidup.
Meraka dating dengan membawa berbagai macam masalah kehidupan, seperti: menjodohkan
anak, kelahiran, sekolah, mencari kerja, mengurus rumah tangg, kematian, warisan, karier jabatan,
maupun masalah‐masalah yang berkaitan dengan pembangunan masyarakat dan pelayanan
kepentingan umum. Sebagi lembaga penyiaran agama, mesjid pesantren juga berfungsi sebagai mesjid
umum, yaitu sebagai tempat be1ajar agama dan ibadah bagi masyarakat umum. Mesjid pesantren
sering dipakai untuk menyelenggarakan majelis taklim (pengajian), diskusi‐diskusi keagamaan, dan
sebagainya, oleh masyarakat umum.
Sementara itu, kiai, ustaz, dan santri‐santri senior pada umumnya memiliki daerah dakwah
masing‐masing. Luas tidaknya daerah dakwah, tergantung pada besar kecilnya popularitas masing‐
masing pelaku dan pesantren yang bersangkutan. Masing‐masing kiai memiliki daerah dak.wah sendiri‐
7
sendiri, ada yang berskala nasional, ada yang berskala propinsi, kabupaten, kecamatan, dan bahkan ada
yang hanya berskala meliputi beberapa desa tertentu saja. Demikian pula halnya dengan para ustaz dan
santri‐santri senior lainnya, yang pada umumnya memiliki derah dakwah lebih sempit daripada daerah
dakwah kiai.
Sehubungan dengan ketiga fungsi pesantren tersebut, maka pesantren memiliki tingkat
integritas yang tinggi dengan masyarakat sekitarnya, dan menjadi rujukan moral bagi kehidupan
masyarakat umum. Masyarakat umum memandang pesantren sebagai komunitas khusus yang ideal
terutama dalam bidang kehidupan moral keagamaan. Masing‐masing pesantrren tampak memiliki
semacam daerah pengaruh sendiri, yaitu komunitas‐komunitas dalam masyarakat, sesuai dengan aliran
yang dibawakannya. Misalnya ada daerah‐daerah pengaruh pesantren Tebu Ireng yang terdapat pada
beberapa komunitas yang ada di dalam masyarakat di Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta, Kalimantan, dan
sebagainya. Demikian pula dengan pesantren‐pesantren lain. Pembagian daerah pengaruh ini juga erat
kaitannya dengan pengelompokan umat Islam ke dalam organisasi sosial keagamaan seperti NU
(Nahdatul Ulama), Muhammadiyah, dan sebagainya. Ada pesantren‐pesantren yang diasuh oleh kiai‐kiai
dari NU, demikian pula halnya ada pesantren‐pesantren yang diasuh kiai‐kiai dari aliran
Muhammadiyah; mereka memiliki daerah‐daerah atau komunitas‐komunitas pengaruh sendiri‐sendiri.
Meskipun di antara daerah pengaruh yang satu dan yang lain tidak dapat ditarik garis batas yang jelas,
tetapi secara sosiologis tampak jelas batas‐batas mereka. Pada umumnya pesantren menerima bantuan
dari komunitas pendukungnya berupa tanah, uang, atau barang‐barang natural lainnya, bahkan ada juga
yang berupa tenaga. Sumbangan‐sumbangan itu diberikan sebagai: wakaf, zakat, infaq sedekah, amal jariah,
dan sebagainya
Ketiga fungsi tersebut merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh.
Meskipun demikian tampak bahwa fungsinya sebagai lembaga pendidikan menjadi semacam ujung
tombaknya sedang fungsinya sebagai lembaga sosial dan penyiaran agama menjadi sayap‐sayap sebelah
kiri dan kanannya.
Erat kaitannya dengan ketiga fungsi tersebut, pesantren tampak lebih menunjukkan orientasi
kehidupannya ke masyarakat pedesaan daripada ke masyarakal perkotaan. Hal itu terlihat pada sikap
dan perilaku warga pesantren yang menghargai tinggi kebersamaan dan keharmonisan. Manusia
diperlakukan dalam kebulatan hubungan dengan kodrat alam semesta, lingkungan masyarakatnya, dan
dengan dirinya sendiri sebagai makhluk pencari kebenaran ilahiah.
1.8. Metodik‐Didaktik Pengajaran Pesantren
Metodik‐didaktik pengajarannya diberikan dalam bentuk: sorogan, bandongan, halaqah, dan hafalan.
sorogan, artinya belajar secara individual di mana seorang santri berhadapan dengan seorang guru,
terjadi interaksi saling mengenal di antara keduanya. Bandongan artinya belajar secara kelompok yang
8
diikuti oleh seluruh santri. Biasanya kiai menggunakan bahasa daerah setempat dan langsung
menerjemahkan kalimat demi kalimat dari kitab yang dipelajarinya. Halaqah, artinya diskusi untuk
memahami isi kitab, bukan untuk mempertanyakan kemungkinan benar salahnya apa‐apa yang
diajarkan oleh kitab, tetapi untuk memahami apa maksud yang diajarkan oleh kitab. Santri yakin bahwa
kiai tidak akan mengajarkan hal‐hal yang salah, dan mereka juga yakin bahwa isi kitab yang dipelajari
adalah benar. (Lihat Lampiran 5, Butir 13, 14, 16, dan 17).
Namun, untuk menumbuhkan kemampuan berpikir rasional, sejak permulaan abad ke‐20 telah
disadari perlunya pelajaran umum diberikan di pesantren, dan sejak tahun 1970‐an telah dikenalkan
berbagai kursus keterampilan ke dalam pesantren. Sebagai lembaga pendidikan non formal dengan
menggunakan pendekatan holistik seperti disebut di muka, sebenarnya kelerampilan‐keterampilan
seperti: bertani, beternak, dan pekerjaan‐pekerjaan tangan lainnya telah akrab dengan kehidupan santri
sehari‐hari. Di samping itu dengan dikenalkannya kursus keterampilan sejak tahun 1970‐an tersebut,
dimaksudkan untuk mengembangkan wawasan atau orientasi santri dari pandangan hidup yang
terlalu berat pada ukhrowi. agar menjadi seimbang dengan orientasi kehidupan duniawi. Seiring
dengan ini, sejak dua dasawarsa terakhir ini telah banyak buku‐buku agama Islam yang berisi
pembaruan pemikiran dalam Islam yang ditulis dalam hahasa Indonesia masuk ke dalam
pesantren dan dipelajari oleh santri dan kiai‐kiai muda dalam bentuk‐bentuk kegiatan belajar
kelompok (Iihat Lampiran 9). Hal ini semua membawa dampak yang luas yang menggetarkan
seluruh jaringan kehidupan pesantren, sehingga lebih terbuka dengan sistem lain di luar dirinya
1.9. Prinsip‐prinsip Sistem Pendidikan Pesantren
Sesuai dengan tujuan pendidikan dan pendekatan holistik yang digunakan, serta fungsinya
yang komprehensif sebagai lembaga pendidikan, sosial dan penyiaran agama seperti diuraikan
di muka, prinsip‐prinsip sistem pendidikan pesantren adalah:
a. Theocentric Sistem pendidikan pesantren mendasarkan filsafat pendidikannya pada filsafat
theocentric, yaitu pandangan yang menyatakan bahwa semua kejadian berasal, berproses,
dan kembali pada kebenaran Tuhan. (Lihat halaman 16). Semua aktivitas pendidikan
dipandang sebagai ibadah kepada Tuhan. Semua aktivitas pendidikan merupakan bagian
integral dari totalitas kehidupan sebagaimana disebutkan di muka, sehingga belajar di
pesantren tidak dipandang sebagai alat tetapi dipandang sebagai tujuan. Oleh karena itu
kegiatan proses belajar‐mengajar di pesantren tidak memperhitungkan waktu. Dalam
praktiknya, filsafat theocentric tersebut cenderung mengutamakan sikap dan perilaku yang
sangat kuat berorientasi kepada kehidupan ukhrawi dan berperilaku sakral dalam
kehidupan sehari‐hari. Semua perbuatan dilaksanakan dalam struktur relevansinya dengan
hukum agama dan demi kepentingan hidup ukhrawi.
9
b. Sukarela dan mengabdi Seperti disebutkan di muka, para pengasuh pesantren memandang semua kegiatan
pendidikan sebagai ibadah kepada Tuhan. Sehubungan dengan ini maka penyelenggaraan
pesantren dilaksanakan secara sukarela dan mengabdi kepada sesama dalam rangka
mengabdi kepada Tuhan. Santri merasa wajib menghormati kiai dan ustaznya serta saling
menghargai dengan sesamanya, sebagai bagian dari perintah agama. Santri yakin bahwa
dirinya tidak akan menjadi orang berilmu tanpa guru dan bantuan sesamanya. (lihat
Lampiran 5 Butir 13, 14, 15, 16, dan 17).
c. Kearifan Pesantren menekankan pentingnya kearifan dalam menyelenggarakan pendidikan
pesantren dan dalam tingkah laku sehari‐hari. Kearifan yang dimaksudkan di sini adalah
bersikap dan berperilaku sabar, rendah hati, patuh pada ketentuan hukum agama, mampu
mencapai tujuan tanpa merugikan orang lain, dan mendatangkan manfaat bagi kepentingan
bersama.
d. Kesederhanaan Pesantren menekankan pentingnya penampilan sederhana sebagai salah satu nilai luhur
pesantren dan menjadi pedoman perilaku sehari‐hari bagi seluruh warga pesantren.
Kesederhanaan yang dimaksudkan di sini tidak sama dengan kemiskinan, tetapi sebaliknya
identik dengan kemampuan bersikap dan berpikir wajar, proporsional dan tidak tinggi hati.
Kesederhanaan bukan monopoli orang miskin, bodoh, dan "kecil", tetapi juga dapat dimiliki
oleh orang kaya, pandai, dan "besar". Sebaliknya kesombongan dan ketidaksederhanaan,juga
bukan monopoli orang kaya, pandai, dan “besar”. Dalam kehidupan bersama ada orang kaya, pandai, dan
“besar” tetapi rendah hati, sederhana tutur katanya, dan wajar dalam penampilan. Sebaliknya juga terdapat orang
miskin, bodoh dan “kecil” tetapi sombong, tinggi hati dan berlebih‐lebihan. Jadi sederhana bukan dalam arti
berlebih‐lebihan atau berkurang‐kurangan, tetapi dalam arti wajar.
e. Kolektivitas Pesantren menekankan pentingnya kolektivitas atau kebersamaan lebih tinggi daripada
individualisme. Dalam dunia pesantren berlaku pendapat bahwa "dalam hal hak orang
mendahulukan kepentingan orang lain, tetapi dalarn hal kewajiban orang harus mendahulukan
kewajiban. diri sendiri sebelum orang lain". Sedang dalam hal memilih atau memutuskan
sesuatu "orang harus memelihara hal‐hal baik yang telah ada, dan mengembangkan hal‐hal
baru yang baik". Kedua nilai tersebut masih tetap berlaku. Sementara itu, kondisi fisik
pesantren yang sederhana seperti kamar tidur yang sempit kira‐kira berukuran 2 x 2 m
ditempati oleh 2 atau 3 santri. Pada umumnya kamar hanya untuk menyimpan barang‐barang,
sedang mereka banyak tidur di mesjid atau di tempat lain pada bangunan yang ada. Adanya
dapur umum tempat santri memasak, ruang makan umum, tempat mandi umum, dan
sebagainya, mendorong mereka untuk saling rnenolong untuk mengatasi berbagai kebutuhan
bersama, terutama untuk rnengatasi kebutuhan belanja jika mengalami keterlambatan kiriman
bekal dari rumah. Pada dasarnya apa yang dilukiskan oleh Djamil Suherman seperti dikutip
10
dalam BAB II TINJAUAN PUS TAKA halaman 35, masih tetap berlaku. (Lihat pula Lampiran 5;
Butir 21,22, dan 23).
f. Mengatur kegiatan bersama Seperti disebutkan di muka, pelaksanaan kelompok nilai kedua, yaitu nilai‐nilai yang bersifat
relatif, dilakukan oleh santri dengan bimbingan ustaz dan kiai. Para santri mengatur hampir
semua kegiatan proses belajar‐mengajar terutama berkenaan dengan kegiatan‐kegiatan
kokurikuler, dari sejak pembentukan organisasi santri, penyusunan program‐programnya,
sampai pelaksanaan dan pengembangannya. Mereka juga mengatur kegiatan‐kegiatan
perpustakaan, keamanan, pelaksanaan peribadatan, koperasi, olah raga, kursus‐kursus
keterampilan, penataran‐penataran, diskusi atau seminar dan sebagainya. Sepanjang kegiatan
mereka tidak menyimpang dari akidah syariah agama, dan tata tertib pesantren, mereka tetap
bebas berpikir dan bertindak.
g. Kebebasan Terpimpin Seiring dengan prinsip di atas, maka pesantren menggunakan prinsip kebebasan terpimpin
dalam menjalankan kebijaksanaan kependidikannya. Prinsip tersebut bertolak dari ajaran bahwa
semua makhluk pada akhirnya tidak dapat keluar melampaui ketentuan sunatullah,. di samping itu
juga kesadaran bahwa masing‐masing anak dilahirkan menurut fitrahnya dan masing‐masing
individu memiliki kecenderungan sendiri‐sendiri. Dalam kehidupan sosial, individu juga mengalami
keterbatasan‐keterbatasan, baik keterbatasan kultural maupun struktural. Namun demikian,
manusia juga memiliki kebebasan mengatur dirinya sendiri. Atas dasar itu pesantren
memperlakukan kebebasan dan keterikatan sebagai hal kodrati yang harus diterima dan
dimanfaatkan sebagaimana mestinya dalam kegiatan belajar‐mengajar. Hal itu antara lain tercermin
dari pandangan kiai bahwa sejak pada masa dini, sampai kira‐kira berumur 10 tahun, kepada anak
wajib ditanamkan jiwa agama, yang akan menjadi dasar kepribadiannya, tetapi kemudian sejak
menginjak usia dewasa, anak itu sendirilah yang akan memilih jalan hidupnya, apakah akan menjadi
ingkar Tuhan atau beriman dan bertakwa kepada Tuhan. Misalnya: salah seorang kiai berkeyakinan
bahwa kesan pertama yang ditanamkan kepada anak didik akan mempengaruhi secara mendalam
kepribadian selanjutnya. Untuk itu sebelum mereka memasuki tingkat belajar yang lebih tinggi,
kepada mereka paling sedikit diajarkan: kitab‐kitab awal tentang fikih, tasawuf, takrib, dan Ta'lim Muta
'alimt (adab sopan santun bagi penuntut ilmu), dan sebelum itu anak harus dibiasakan mengikuti
salat, puasa, dan sebagainya, meskipun mereka belum mengerti. Contoh lain dapat diteliti dari
kebijaksanaan salah seorang kiai yang menyatakan bahwa "santri yang belajar di pesantren itu
bagaikan orang yang sedang berbelanja di pasar. Di pasar dijual berbagai sayuran. Tergantung pada
orang yang berbelanja apa yang mereka mau beli, berapa banyak mereka mau beli, dan mau
memasak apa, dan seterusnya. Hal ini tergantung pada berapa banyak uang yang dibawanya".
Sehubungan dengan itu maka sikap pesantren dalam melaksanakan pendidikan adalah
membantu dan mengiring anak didiknya, tetapi pesantren juga keras berpegang pada tata tertib
pesantren, terutama pada hukum agama.
11
h. Mandiri Sejak awal santri sudah dilatih mandiri. Ia mengatur dan bertanggung jawab atas keperluannya
sendiri, seperti: mengatur uang belanja, memasak, mencuci pakaian, merencanakan belajar, dan
sebagainya. Bahkan banyak di antara mereka yang membiayai diri sendiri selama belajar di
pesantren. Prinsip ini tidak akan bertentangan dengan prinsip kolektivitas tersebut di muka, bahkan
sebaliknya justru menjadi sebagian dari padanya, karena mereka menghadapi nasib dan kesukaran
yang sama, maka jalan yang baik setiap individu mengatasi masalahnya ialah tolong‐menolong. Pada
umumnya terdapat semacam "acara penyambutan" bagi santri baru oleh santri‐santri lama, yaitu
semacam "perpeloncoan' untuk menghilangkan jiwa egoismenya dan melebur menjadi jiwa kolektif
Misalnya dengan cara memanjakan pendatang baru secara berlebih‐Iebihan, atau sebaliknya
sengaja milik pribadi pendatang baru tersebut dilanggar dan dipergunakan untuk kepentingan
bersama tanpa seizinnya, mengejek kesombongannya, menguji kemampuannya, dan sebagainya.
Semuanya dilaksanakan secara tidak resmi di kalangan santri sendiri, dan diakhiri dengan keakraban.
i. Pesantren adalah tempat mencari ilmu dan mengabdi Para pengasuh pesantren menganggap bahwa pesantren adalah tempat mencari ilmu dan
mengabdi. Tetapi pengertian ilmu menurut mereka tampak berbeda dengan pengertian ilmu dalam
arti science. lImu bagi pesantren dipandang suci dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
ajaran agama. Mereka selalu berpikir dalam kerangka keagamaan, artinya semua peristiwa empiris
dipandang dalam struktur re1evansinya dengan ajaran agama. Model pemikiran mereka berangkat
dari keyakinan dan berakhir pada kepastian. Mereka percaya semua kejadian berawal dan akan
bertemu, serta berakhir pada kebenaran Tuhan. (Lihat Lampiran 5, BUlir 18,19, dan 20).
Tata keyakinan dan tata pikir yang demikian itu berbeda dengan pola keyakinan dan pemikiran
scientist yang memandang setiap gejala dalam struktur relevansinya dengan kebenaran relatif dan
bersyarat. Scientist memandang ilmu sebagai instrumen untuk memecahkan masalah dan
memajukan kehidupan. Mereka berangkat dari keraguan dan berakhir pada pertanyaan. Kebenaran
yang ditemukan setiap saat dapat berubah sesuai dengan fakta baru yang dijumpai kemudian.
Scientist berpikir positif dan cenderung menolak apa saja yang tidak masuk akal dan tidak terdukung
oleh data‐data empiris. Sebaliknya, pihak pesantren sering kali memandang ilmu sebagai tidak
identik dengan kemampuan berpikir metodologis, tetapi dipandang sebagai "berkah" yang dapat
datang dengan sendirinya melalui pengabdian kepada kiai; terutama pengetahuan agama secara
keseluruhan dianggap sudah mapan kebenarannya sehingga tidak perlu dipertanyakan lagi. Mereka
(santri) percaya bahwa apa‐apa yang diajarkan kiai adalah benar, tidak perlu diperdebatkan, tetapi
perlu diamalkan.
j. Mengamalkan ajaran agama Seperti disebutkan di muka pesantren sangat mementingkan pengamalan agama dalam
kehidupan sehari‐hari. Setiap gerak kehidupannya selalu berada dalam batas rambu‐rambu hukum
agama (fihih).
12
k. Tanpa ijazah Seiring dengan prinsip‐prinsip sebelumnya, prinsip lain dari pesantren adalah bahwa pesantren
tidak memberikan ijazah sebagai tanda keberhasilan belajar. Keberhasilan bukan ditandai oleh ijazah
yang berisikan angka‐angka sebagaimana madrasah dan sekolah umum, tetapi ditandai oleh prestasi
kerja yang diakui oleh khalayak (masyarakat), kemudian direstui oleh kiai.
l. Restu kiai2 Semua perbuatan yang dilakukan oleh setiap warga pesantren sangat tergantung pada
restu kiai. Baik ustaz maupun santri selalu berusaha jangan sampai melakukan hal‐hal yang
tidak berkenan di hadapan kiai.
Prinsip‐prinsip pendidikan pesantren tersebut sebenarnya merupakan nilai‐nilai
kebenaran universal, dan pada dasarnya sama dengan nilai‐nilai luhur kehidupan masyarakat
Jawa. (Lihat buku Neils Mulder, Pribadi clan Masyarakat diJawa, dan buku Clifford Geertz, Santri,
Abangan, dan Priyayi,).
1.10. Tantangan pesantren masa depan
Tantangan yang dihadapi oleh pesantren semakin hari semakin besar, kompleks, dan
mendesak sebagai akibat semakin meningkatnya kebutuhan pembangunan dan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Tantangan ini menyebabkan terjadinya pergeseran‐pergeseran nilai
di pesantren, baik nilai yang menyangkut sumber belajar maupun nilai yang menyangkut
pengelolaan pendidikan.
Sementara itu, semakin hari pesantren semakin dalam memasuki budaya masyarakat
industri. Sifat‐sifat dari masyarakat industri antara lain adalah tata hubungan semakin rasional,
dinamis dan kompetitif. Produk barang‐barang yang dihasilkan bersifat massive dan standard,
tetapi juga terspesialisasi. Di bidang pendidikan, lulusan dari lembaga pendidikan yang sejenis dan
setingkat memiliki corak kualitas yang sama; misalnya lulusan SD, SMTP, dan sebagainya. Kerja
kependidikan akan semakin didominasi oleh kegiatan pengembangan sains dan teknologi.
Hal‐hal tersebut akan "memaksa" pesantren untuk mencari bentuk baru yang sesuai
dengan kebutuhan pembangunan dan kemajuan ilmu dan teknologi, tetapi tetap dalam
kandungan iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2 Pemakaian kata “restu” bagi kiai atau ulama mengacu kepada pemberian do’a dan kekuatan karismatik,
sedang pemakaiannya bagi pejabat atau “orang awam” lainnya, mengacu kepada pemberian izin atau legalistik
berdasarkan aturan‐aturan atau kewenangan administratif‐birokratik sebagaimana berlaku dalam hidup
keseharian.
13
Beberapa indikator pergeseran yang dialami oleh pesantren antara lain terlihat pada hal‐
hal berikut:
a. Kiai bukan lagi merupakan satu‐satunya sumber belajar. Dengan semakin beraneka ragam sumber‐sumber belajar baru, dan semakin tingginya dinamika komunikasi antara sistem pendidikan pesantren dan sistem yang lain, maka santri dapat belajar dari banyak sumber. Sejak tahun‐tahun terakhir ini, kira‐kira 10 tahun yang lalu, banyak buku‐buku pembaruan pemikiran dalam Islam yang ditulis, dalam bahasa Indonesia, baik oleh para cendekiawan muslim Indonesia maupun merupakan terjemahan dan buku‐buku yang ditulis oleh sarjana‐sarjana Islam luar negeri, memasuki dunia pesantren dan dibaca oleh santri‐santri dan ustaz. Hal ini merupakan sumber belajar baru bagi mereka. (Lihat Lampiran 9). Meskipun demikian, kedudukan kiai di pesantren masih tetap merupakan tokoh kunci dan menentukan corak pesantren, dan kiai menyadari hal yang demikian itu. Oleh karena itu, ia merestui santrinya belajar apa saja asal tetap pada akidah‐syari’ah agama, dan berpegang pada moral agama dalam hidup sehari‐hari.
b. Dewasa ini hampir seluruh pesantren menyelenggarakan jenis pendidikan formal, yaitu madrasah, sekolah umum dan perguruan tinggi. Jenis pendidikan pesantren sendiri sebagai jenis pendidikan non formal tradisional yang hanya mempelajari kitab‐kitab Islam klasik seperti disebut di muka, merupakan bagian yang sangat kecil, sekitar 1‐2%3 dari seluruh kegiatan pendidikan pesantren. Hampir seluruh santri belajar di madrasah, sekolah umum, dan perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh pesantren yang bersangkutan. Menyadari hal yang demikian ini kiai mewajibkan semua santri harus mengikuti pengajian kitab yang diseleng‐garakan oleh pesantren dan program‐program ubudiah (keagamaan) yang dibuat oleh pesantren. Kiai tetap berprinsip bahwa identitas belajar di pesantren adalah agama. Oleh karen itu santri harus pandai mengaji dan mempelajari kitab‐kitab yang diajarkan di pesantren. Mereka yang hanya mengikuti program ubudiah tidak diwajibkan merangkap belajar di madrasah, sekolah umum atau Perguruan Tinggi, tetapi sebaliknya mereka yang belajar di pendidikan formal tersebut "wajib" mengikuti program ubudiah atau program pendidikan non formal.
c. Seiring dengan pergeseran‐pergeseran tersebut, santri membutuhkan izasah dan penguasaan bidang keahlian, atau keterampilan yang jelas, yang dapat mengantarkannya untuk menguasai lapangan kehidupan tertentu. Dalam era modern tidak cukup hanya berbekal dengan moral yang baik saja, tetapi perlu dilengkapi dengan keahlian atau keterampilan yang relevan dengan kebutuhan kerja.
d. Sehubungan dengan hal tersebut, maka di kalangan santri terdapat kecenderungan yang semakin kuat untuk mempelajari sain dan teknologi pada lembaga‐lembaga pendidikan formal, baik di madrasah maupun sekolah umum, untuk memperoleh keahlian dan atau ketrampilan yang dimaksud, tetapi mereka juga ingin tetap belajar di pesantren untuk mendalami agama dalam rangka memperoleh moral agama.
3 Misalnya, di PP Guluk‐Guluk terdapat sekitar 50 orang santri yang hanya mempelajari agama dalam
pengertian dimaksud. Di PP Sukorejo, sekitar 100 orang santri, di PP Blok Agung sekitar 60 orang santri, di PP Tebu
Ireng sekitar 35 orang santri, di PP Paciran tidak ada, di PP Gontor juga tidak ada.
14
e. Belajar dengan uang sudah memasuki dunia pesantren. Saat ini rata‐rata biaya belajar di pesantren Rp 20.000,‐ perbulan per santri. Hampir semua santri menerima kiriman uang dari orangtuanya. Anggaran penyelenggaraan pesantren rata‐rata Rp 10‐15 juta per tahun.
f. Sejak awal tahun 1920‐an, dengan telah dikenalnya model madrasah dengan sistem kelas dan diajarkan ilmu pengetahuan umum ke dalam pesantren, maka sejak itu sebenamya pesantren telah memasuki sistem pendidikan umum, dan akhirnya secara resmi telah menjadi subsistem pendidikan nasional dalam pemerintahan sendiri (dalam alam kemerdekaan). Adapun posisi dan peran pesantren sebagai subsistem pendidikan nasional, terletak pada sumbangannya sebagai pendidikan moral yang merupakan "sisi sebelah mata uang" dan sistem pendidikan nasional yang menekankan pentingnya pendidikan akal atau ilmu pengetahuan. Adalah suatu kenyataan bahwa dominasi pendidikan pesantren terletak pada moral agama di atas akal, sebaliknya dominasi pendidikan nasional terletak pada akal di atas moral agama. Kecuali itu, dengan semakin berkembangnya jenis‐jenis pendidikan formal dan berbagai buku ilmu pengetahuan dan kitab kontemporer agama Islam yang masuk ke dunia pesantren, maka hal itu mempengaruhi kualitas santri sebagai calon murid untuk belajar lebih lanjut di perguruan tinggi (agama dan umum) dalam jalur Sistem Pendidikan Nasional. Jadi ada saling ketergantungan antara keduanya (pesantren dan pendidikan nasional).
2. Gambaran Khusus Pesantren Unsur‐unsur Sistem Pendidikan Pesantren
Unsur‐unsur sistem pendidikan pesantren dapat dikelompokkan menjadi 11 unsur, sebagai
berikut:
2.1. Tujuan
Rumusan tujuan pendidikan pesantren sebagaimana disebutkan pada halaman 55‐56 di muka,
merupakan rangkuman dari pendapat para kiai pengasuh pesantren objek penelitian,
sebagaimana disebutkan dalam Lampiran 3.
Dari rumusan tersebut tampak jelas bahwa pendidikan pesantren sangat menekankan
pentingnya tegaknya Islam di tengah‐tengah kehidupan sebagai sumber utama moral atau akhlak
mulia, dan akhlak mulia ini merupakan kunci rahasia keberhasilan hidup bermasyarakat. Dengan
kata lain orientasi tujuan pendidikan pesantren sesungguhnya masih lebih banyak bersifat inward
looking daripada outward looking, atau masih lebih banyak melihat ke dalam daripada ke luar.
"Pandangan ke dalam" berpendapat bahwa dengan tegak dan tersebarnya agama Islam di tengah‐
tengah kehidupan, maka kehidupan bersama dengan sendirinya akan menjadi baik, jadi semacam ada
trickling down effect, yaitu efek moral baik yang diturunkan sebagai akibat tegaknya Islam di tengah‐
tengah kehidupan. Dengan demikian, sebenarnya "pandangan ke dalam" itu berpikir alternatif dan
otomatis, yang dalam hal ini Islam sebagai alternatif atau pilihan untuk menggantikan tata nilai
kehidupan bersama,jika kita menginginkan kehidupan bersama yang lebih baik atau lebih maju.
15
Sebaliknya "pandangan ke luar" tidak berpikir alternatif dan otomatis, tetapi berpikir
melengkapi kekurangan, meluruskan yang bengkok atau memperbaiki yang salah atau rusak, dan
memberikan sesuatu yang baru yang belum ada dan diperlukan. Dengan demikian, prioritas
pertama dari "pandangan ke luar" ialah tegak dan majunya kehidupan bersama berdasarkan pada
nilai‐nilai kebudayaannya sendiri; kemudian, agama membantu, melengkapinya, dan
mengarahkannya agar nilai‐nilai dan tata nilai yang mengatur kehidupan masyarakat tersebut
tidak bertentangan dengan akidah dan syariah agama Islam.
Dalam praktik hidup sehari‐hari dapat diamati bahwa pesantren telah berhasil mendidik
santrinya menjadi orang beragama dalam arti taat menjalankan ibadah agamanya (salat, puasa, dan
sebagainya), dan mendalami ajaran agamanya sesuai dengan kitab‐kitab yang dipelajarinya, tetapi
kurang berhasil dalam pendidikan ilmu pengetahuan umum dan teknologi, dan kebudayaan nasional.
Tegaknya agama tanpa dilengkapi dengan ilmu dan teknologi untuk mengembangkan atau memajukan
masyarakat, tidak akan menghasilkan kehidupan yang baik dan sejahtera; dan kehidupan yang demikian
itu tidak mungkin terjadi tanpa berdiri di atas nilai‐nilai budaya sendiri. Santri cenderung berperilaku
ibadah atau memandang sakral berbagai peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari‐hari menurut
hukum agama. Misalnya "bencinya" santri kepada karapan sapi di Madura, reog di Ponorogo, dan
sebagainya, karena hal‐hal tersebut biasanya diiringi dengan perbuatan‐perbuatan yang tidak terpuji,
seperti: perjudian, penyiksaan pada binatang, pelacuran, minum‐minuman yang memabukkan, dan
sebagainya; tanpa melihatnya dari sisi lain, yaitu sisi seni dalam kaitannya dengan pembinaan dan
pengembangan budaya bangsa. Sesungguhnya Islam tidak menolak seni jika sekiranya hal tersebut tidak
bertentangan dengan akidah agama. Di satu segi santri menggeneralisasikan penglihatan yang berat
sebelah tersebut untuk menolak seni budaya daerah secara keseluruhan, sehingga sering terasa bahwa
dunia pesantren terlalu suci dan tidak menyentuh realitas kehidupan seperti kesenian atau budaya
daerah dalam struktur relevansinya dengan kebudayaan nasional, yang belum tentu secara mutlak
bertentangan dengan akidah syariah agama, di pihak lain juga sering salah paham bahwa agama
menolak seni, padahal yang ditolak eksesnya yang tidak sesuai dengan akidah syariah agamanya, bukan
seni dalam tolalitasnya.
Meskipun demikian, kiranya dapat disimpulkan bahwa pengalaman pesantren dalam pendidikan
moral keagamaan perlu dikaji lebih mendalam dan dikembangkan lebih lanjut dalam perspektif sistem
pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional pada hakikatnya adalah untuk mengembangkan moral
bangsa, yaitu Moral Pancasila, dan ciri khas Moral Pancasila itu ialah adanya dimensi: Ke‐Indonesia‐an
(Budaya Nasional), ke‐Inlelektual‐an (ilmu dan Teknologi) dan ke‐Iman‐an atau ke‐Beragama‐an. Dalam
hal ini sistem pendidikan pesantren telah menunjukkan keberhasilan dalam mendidik santri‐santrinya
untuk menjadi orang yang taat menjalankan agamanya.
Dengan demikian, menurut para kiai, aspek kepribadian yang sangat penting untuk
dikembangkan ialah sikap dan perilaku yang berdasarkan moral keagamaan. Sehubungan dengan ini,
maka corak kegiatan belajar‐mengajar di pesantren tampak lebih didominasi oleh model pemikiran yang
deduktif‐dogmatis agama dari pada pemikiran yang induktif‐rasional dan faktual.
16
Kehidupan dalam era modern, tidak cukup hanya berbekal dengan moral yang baik saja, tetapi
juga memerlukan bekal kemampuan teknokratik khusus sesuai dengan semakin tajamnya pembagian
kerja dan profesi yang dibutuhkan. Hal ini berarti bahwa pesantren di tuntut menyempurnakan tujuan
pendidikannya kembali, dengan kebutuhan pembangunan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi khususnya dengan kebutuhan kerja.
2.2. Filsafat dan Tata Nilai
Sebagai suatu lembaga pendidikan Islam, pesantren mendasarkan filsafat dan tata nilai
pendidikannya pada ajaran Islam. Seperti disebutkan dalam "Gambaran Umum Pesantren" di
muka, ajaran Islam yang mendasarkan pendidikan pesantren bercorak fikih‐sufzstik dan didominasi
oleh pikiran ahli fikih dan para sufi dari abad ke‐7‐13 Masehi. Dalam hal teologi, seluruh pengasuh
pesantren mengikuti teologi Asy'ariah, dalam hal fikih, hampir seluruh pengasuh pesantren
mengikuti mazhab Syafi'i, dan dalam hal tasawuf, pada umumnya mengikuti ajaran Imam al‐
Ghazali. Corak ajaran yang fikih‐sufistik tersebut bertemu dengan mistik Jawa dari mana para kiai
dibesarkan dan diasuh. (Lihat uraian selanjutnya: Butir 2.5. tentang kiai). Selama paham mistik
Jawa tersebut tidak bertentangan dengan akidah ia dijadikan alat pendekatan untuk mengajarkan
Islam kepada santrinya dan masyarakat umum4.
Seperti juga telah disebutkan dalam "Gambaran Umum Pesantren" di muka, filsafat dan
tata nilai yang mendasari pendidikan pesantren pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi dua
golongan yang mempunyai hubungan vertikal otoriter, yaitu nilai agama yang memiliki kebenaran
mutlak yang diasuh oleh kiai, dan nilai agama yang memiliki kebenaran relatif yang diasuh oleh
ustaz dan santrinya.
Kedua daerah asuhan tersebut sejak awal abad ke‐20 menghadapi tantangan nilai yang
semakin hari semakin gencar, sehingga menimbulkan pergeseran‐pergeseran penting (lihat
halaman 66‐68 di muka) dan mempengaruhi perubahan tata nilai dan tata laksana
penyelenggaraan pesantren, seperti tampak pada laporan selanjutnya (Iihat Butir 3: Dinarnika
Sistem Pendidikan Pesantren: Perspektif Bentuk Pendidikan Pesantren di Masa Depan).
Seperti disebutkan di muka (halaman 61‐62), sejak awal abad ke‐20 pelajaran umum telah
diajarkan di pesantren, pada tahun 1970‐an kursus‐kursus keterampilan kerja tangan dan akal
mengenai berbagai bidang kehidupan diberikan di pesantren, dan sejak beberapa tahun terakhir
ini telah banyak buku‐buku yang berisi pembaruan pemikiran dalam Islam yang ditulis oleh para
cendekiawan Islam, baik dalam negeri maupun luar negeri, yang diterbitkan dalam bahasa
Indonesia, memasuki dunia pesantren. Selain buku‐buku tersebut, juga majalah‐majalah, jurnal‐
jurnal penelitian mengenai Islam, pendidikan, sosial, ekonomi, seni, dan budaya, juga masuk ke
4 Lihat hasil penelitan Wolfgang Karcher, dalam Dinamika Pesantren, Manfred Oepen dan Wolfgang
Karcher (Editor), P3M, Jakarta, 1987, hlm. 257.
17
dalam pesantren. Buku‐buku tersebut tampak digemari dan dibaca oleh santri, ustaz, dan bahkan
kiai. (Lihat Lampiran 9).
Masih dalam hal tantangan nilai yang dihadapi oleh pesantren; sebagai akibat kemajuan di
bidang komunikasi informasi yang terjadi pada sistem di luar pesantren, "memaksa" pesantren,
mau tidak mau harus berhubungan atau berkomunikasi dengan berbagai sistem lain di luar
dirinya, dan mengadakan kerja sama dengan mereka, baik dengan pihak dalam negeri maupun
luar negeri. Dengan pihak dalam negeri, misalnya dengan Departemen Penerangan, Dalam Negeri,
Transmigrasi, Koperasi, dan sebagainya. Banyak bidang‐bidang pembangunan yang "dititipkan"
kepada pesantren untuk berpartisipasi dalam pelaksanaannya. Pada keenam pesantren yang menjadi
objek penelitian terdapat Pusat Informasi Pesantren yang merupakan rintisan hasil kerja sama dengan
Departemen Penerangan Republik Indonesia. Selain dengan pihak Departemen, pesantren juga
mengadakan kerja sama dengan perguruan‐perguruan tinggi negeri dan lembaga‐lembaga swasta
lainnya yang bergerak di bidang‐bidang pengembangan sumber daya manusia, sosial, pendidikan,
penelitian, dan keilmuan lainnya, seperti: ITB (Institut Teknologi Bandung), LP3ES (Lembaga Penelitian
Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial), P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan
Masyarakat), dan sebagainya.
Sedang lembaga luar negeri yang banyak bekerja sama dengan pesantren, antara lain adalah:
CIDA (Canadian Intemational Development Agency), IDEX (International Development Exchange),
UNICEF (United Nation for International Children and Education Fund), JIEC (japan International
Exchange of Culture). Kerja sama dengan luar negeri tersebut berwujud bantuan tenaga pengajar bahasa
Inggris, seperti yang diterima oleh pesantren Guluk‐Guluk dan Tebu Ireng, dan kerja sama pada berbagai
proyek pengembangan masyarakat. Sedang kerja sama dengan negara‐negara Timur Tengah, pada
umumnya mengenai bantuan pengajaran: bahasa Arab, agama, penerimaan santri dari negara‐negara
tersebut untuk belajar di pesantren, pengiriman santri untuk belajar di luar negeri pada negara‐negara
tersebut, kitab‐kitab agama dan bahasa Arab, gedung‐gedung, alat‐alal pengajaran, dan sebagainya,
sebagaimana terjadi di pesantren‐pesantren Gontor, Tebu Ireng dan Sukorejo.
Masih dalam hal tantangan yang dihadapi dunia pesantren sebagai akibat kemajuan komunikasi
informasi; melalui organisasi intern santri: Santri‐santri sering mengadakan seminar, diskusi, atau
penataran‐penataran bersama antar santri dari berbagai pesantren mengenai berbagai kegiatan,
seperti: penataran kepemimpinan, penelilian, koperasi, dan sebagainya. Sebagai salah satu contoh yang
menggambarkan betapa pesantren telah membuka diri dan bekerja sama dengan sistem‐sistem lain di
luar dirinya, baik dengan pihak dalam negeri maupun laur negeri, dapat dilihat dari Lampiran 8,
mengenai kegiatan biro pengabdian masyarakal pesantren Guluk‐Guluk. Memang tidak semua
pesantren mempunyai derajat kebutuhan dan keluasan jaringan kerja sama dengan pihak luar, hal itu
sangat tergantung kepada besar kecilnya pesantren, dan luas‐tidaknya wawasan kiai pengasuhnya.
Tetapi yang jelas dunia pesantren berada dalam kehidupan berjuang antara mempertahankan
identitasnya dan menghadapi nilai‐nilai yang datang dari luar dirinya. Dalam kaitan ini, cenderung
diperoleh kesan bahwa perubahan nilai pesantren menuju ke orientasi pemikiran yang lebih mendunia,
induktif, empiris, dan rasional, mengimbangi corak pemikiran yang deduktif‐dogmatis sebagaimana
18
selama ini mendominasi pola pemikiran pesantren. Tanda‐tanda tersebut antara lain tampak bahwa
santri memerlukan ijazah untuk melanjutkan ke sekolah formal yang lebih tinggi. Suatu kasus yang
terjadi pada salah satu santri dan pesantren Paciran: Pada suatu ketika seorang santri "tertangkap
basah" oleh kiai, karena ia melanggar tata tertib pesantren yaitu pulang malam melampaui ketentuan
waktu tata tertib pesantren, melebihi jam 21.00. Ketika kiai akan menjatuhkan sanksi dengan cukur
kepala sesuai dengan ketetapan tata tertib pesantren, santri tersebut protes dan tidak mau dicukur
gundul. Menghadapi protes santri tersebut, kiai mengatakan, 'jika kamu tidak mau dicukur,
baiklah, tetapi saya (kiai) tidak akan mendaftarkan namamu untuk ikut ujian persamaan negeri5.
Menghadapi ancaman kiai tersebut, akhirnya santri yang bersangkutan mau dicukur. Baginya
lebih baik dicukur daripada kehilangan kesempatan ikut ujian negeri. Dalam tradisi pesantren jika
ada santri berani menatap mata kiai, apalagi protes, merupakan suatu kejadian (pergeseran nilai)
yang luar biasa. Tanda‐tanda lain yang dapat diamati adanya pergeseran nilai yang terjadi di
pesantren ialah semakin membesarnya jenis pendidikan formal, yang dalam hal ini berbentuk
madrasah dan sekolah umum, serta perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh pesantren,
sehingga porsi pesantren sebagai lembaga pendidikan non formal yang khusus mengajarkan
agama menjadi amat kecil, sekitar 1‐2% dari seluruh porsi kegiatan pendidikan yang
diselenggarakan oleh pesantren. Menghadapi hal yang demikian ini, kiai As'ad Syamsul Arifin dari
pesantren Sukorejo, secara tegas mewajibkan seluruh santri yang belajar di madrasah dan
sekolah umum, serta perguruan tinggi, merangkap belajar pada jenis pendidikan pesantren
tersebut dan mengikuti semua kegiatan ubudiah, karena kiai berpendapat bahwa ciri khas
pesantren adalah mempelajari agama, maka santri harus pandai mengaji, mengetahui agama,
dan beragama. Sebaliknya kiai mewajibkan santri yang belajar khusus agama pada pendidikan
non formal pesantren merangkap belajar di madrasah, sekolah umum atau perguruan tinggi.
Meskipun kiai dari pesantren‐pesantren lain tidak secara tegas mewajibkan santri‐santrinya yang
belajar di madrasah dan sekolah umum, agar merangkap belajar agama di pesantren
sebagaimana kiai As'ad Syamsul Arifin tersebut, namun dalam kenyataannya hampir semua santri
yang belajar di madrasah, sekolah umum, atau perguruan tinggi di pesantren‐pesantren lain,
merangkap belajar agama, yaitu mempelajari kitab‐kitab kuning yang diajarkan oleh pesantren,
dan mengikuti semua program kegiatan ubudiah
Pergeseran‐pergeseran nilai tersebut menuntut kepada pesantren untuk melakukan
reorientasi tata nilai dan tata laksana penyelenggaraan pesantren untuk mencari bentuk baru
yang relevan dengan tantangan zamannya, tanpa kehilangan identitasnya sebagai lembaga
pendidikan Islam. Tampaknya pola pikir yang ideal bagi pesantren di masa depan akan mondar‐
mandir di antara: deduktif‐dogmatis yang bersumber kepada kebenaran mutlak (wahyu Tuhan)
dan induktif‐rasional berdasarkan data‐data empiris atau bersifat faktual, yang memiliki derajat
kebenaran relatif, tetapi akrab dengan kehidupan sehari‐hari.
5 Santri yang bersangkutan belajar di SMA pada PP Paciran.
19
Gambaran mengenai filsafat atau tata nilai pesantren dapat diikuti pada laporan
selanjutnya mengenai lingkungan kehidupan pesantren dalam pembahasan unsur ketiga.
2.3. Struktur Organisasi Pesantren
Pembahasan mengenai struktur organisasi dan Iingkungan kehidupan pesantren ini meliputi:
(1) Status Kelembagaan, (2) Struktur Organisasi, (3) Gaya Kepemimpinan, dan (4) Suksesi
Kepemimpinan.
1. Status Kelembagaan Status kelembagaan pesantren dapat dikelompokkan menjadi dua golongan: sebagai milik
pribadi dan milik institusi. Dari enam pesantren yang menjadi objek penelitian ini, 4 pesantren
tergolong milik pribadi, yaitu Pondok Pesantren Guluk‐Guluk, Pondok Pesantren Sukorejo,
Pondok Pesantren Blok Agung, dan Pondok Pesantren Tebu Ireng. Sedang 2 pesantren lainnya
tergolong milik institusi, yaitu Pondok Pesantren Paciran yang sejak tahun 1980 menjadi milik
yayasan yang diatur oleh Majelis Pusat Pendidikan dan Pengajaran Muhammadiyah, dan
Pondok Pesantren Gontor yang sejak tahun 1958 telah menjadi milik Badan Wakaf.
Perbedaan status kelembagaan tersebut sangat penting artinya jika dikaitkan dengan
perspektif pembinaan dan pengembangan pesantren dalam struktur relevansinya dengan
pengembangan Sistem Pendidikan Nasional. Masing‐masing status memiliki kelebihan dan
kekurangan. Kelebihan pesantren dengan status pribadi, antara lain ialah: mereka memiliki
kebebasan menentukan jalan hidupnya sendiri dan bebas merencanakan pola
pengembangannya. Tetapi mereka juga memiliki kelemahan, antara lain ialah sangat
tergantung pada kemauan dan kemampuan perorangan yang sering kali kurang berbobot dan
kurang konsisten dalam melaksanakan kebijakan, karena tidak terstruktur dalam suatu pola
yang dapat memberikan masukan‐masukan yang kaya dan beragam dalam suatu tatanan yang
sistematis dengan ukuran yang objektif, sehingga dapat dikontrol dan dievaluasi kemajuan dan
kemundurannya; di samping itu, umur pesantren dengan status milik pribadi tergantung pada
umur pemiliknya, yang biasanya lebih pendek daripada umur institusi. Sebaliknya, kelebihan
pesantren dengan status milik institusi antara lain ialah: tidak tergantung kepada perorangan,
tetapi tergantung pada institusi lengkap dengan mekanisme‐sistemnya, sehingga dapat
dikontrol dan dievaluasi kemajuan dan kemundurannya dengan menggunakan tolok ukur yang
objektif. Sedangkan kelemahannya antara lain ialah: adanya kemungkinan terbelenggu dengan
aturan‐aturan birokrasi sehingga tidak lincah dalam mengambil keputusan yang dapat
menghambat kemajuan. Namun, secara keseluruhan, baik bagi pesantren dengan status milik
pribadi maupun milik institusi, kiai tetap merupakan tokoh kunci, dan keturunannya memiliki
peluang terbesar untuk menjadi penggantinya
20
2. Struktur Organisasi Setiap pesantren memiliki struktur organisasi sendiri‐sendiri yang berbeda‐beda satu
terhadap yang lain, sesuai dengan kebutuhan masing‐masing6. Meskipun demikian,
daripadanya dapat disimpulkan adanya kesamaan‐kesamaan yang menjadi ciri‐ciri umum
struktur organisasi pesantren, dan tampak adanya kecenderungan perubahan yang sarna di
dalam menatap masa depannya, sebagai berikut:
a. Pada dasarnya struktur organisasi pesantren dapat digolongkan menjadi dua sayap sesuai dengan pembagian jenis nilai yang mendasarinya, yaitu nilai agama dengan kebenaran absolut dan nilai agama dengan kebenaran relatif. Sayap‐1 penjaga nilai kebenaran absolut, dan Sayap‐2 penjaga nilai kebenaran relatif, jadi bertanggung jawab pada pengamalan nilai kebenaran absolut, baik di dalam pesantren maupun di luar pesantren; sedang Sayap‐1 bertanggung jawab pada kebenaran atau kemurnian ajaran agama.
b. Sesuai dengan hierarkis pembagian jenis nilai sebagaimana tersebut pada halaman 16, maka Sayap‐1 mempunyai supremasi terhadap Sayap‐2, dan oleh karena itu Sayap‐2 tidak boleh bertentangan dengan Sayap‐1, apalagi kalau sampai melakukan perbuatan‐perbuatan yang melanggar akidah‐syariah agama dan sunah pondok. Sayap‐1 rnerupakan sumber informasi dan konfirmasi bagi Sayap‐2 dalam melakukan tugasnya sehari‐hari. Ajaran kiai, ustaz dan kitab‐kitab agarna yang diajarkan di pesantren diyakini sebagai memiliki kebenaran absolut oleh santri, dan oleh karena itu tidak perlu dipertanyakan lagi kebenarannya, hanya perlu dipahami maksudnya.
c. Sayap‐1 dijaga oleh kiai utama dengan dibantu oleh kiai‐kiai dan ustaz yang telah dinilai kemampuan ilmu agamanya oleh kiai utama. Para pembantu kiai utama ini adalah juga santri‐santri dari kiai utama. Sayap‐2 dijaga oleh kiai‐kiai muda, ustaz dan santri. Semua kerja Sayap‐2, bahkan semua perilaku warga pesantren, harus memperoleh restu kiai utama, atau setidak‐tidaknya diperbolehkan atau tidak dilarang oleh kiai utama. (Lihat halaman 34). Mengenai penjagaan nilai pada Sayap‐1 ini terdapat variasi kepengasuhan dari pesantren yang satu ke pesantren yang lain:
1). PP Guluk‐Guluk. Penjagaan nilai agama dilakukan oleh generasi ke‐3‐4 sesudah
pendiri, dan dilakukan secara kolektif. Mereka terdiri atas 14 kiai dan 17 nyai, dipimpin oleh
saudara tertua di antara mereka, yaitu K.H. Amir Ilyas. PP Guluk‐Guluk sebenarnya
merupakan bentuk pesantren federal, di dalamnya terdapat 4 pesantren daerah, yaitu PP
Lubangsa Raya, PP Lubangsa Selatan, PP Latee dan PP Nirmala, (Iihat Lampiran 10 pada
bagan struktur organisasi PP Guluk‐Guluk). Masing‐masing pesantren daerah tersebut, ke
dalam memiliki kedaulatan penuh, lengkap dengan kiai, ustaz, santri, pondok, musala atau
mesjid dan tata tertib sendiri‐sendiri. Tetapi ke luar mereka menggunakan satu bendera atas
nama PP Guluk‐Guluk atau PP An‐Nuqoyah. Terdapat 4 faktor yang mengikat mereka
untuk bergabung menjadi satu di bawah nama PP Guluk‐Guluk tersebut yaitu: (a)
Masing‐masing pesantren daerah dipimpin oleh saudara seketurunan dari pendiri PP
Guluk‐Guluk, (b) Hampir seluruh santri dari masing‐masing pesantren daerah tersebut
6 Antara lain sebagaimana tercermin dalam masing‐masing bagan struktur organisasi seperti terdapat
dalam lampiran 10.
21
belajar pada madrasah dan sekolah tinggi yang diseienggarakan oleh PP Guluk‐Guluk,
(c) Semua santri dari pesantren daerah manapun mengikuti program pengembangan dan
pengabdian pada masyarakat yang dikoordinasi oleh Biro Pengabdian Masyarakat (BPM) PP
Guluk‐Guluk, dan (d) Seluruh pesantren daerah berada dalam satu yayasan, yaitu badan
usaha yang bertugas mencari dana bagi PP Guluk‐Guluk. Keberadaan empat pesantren
daerah tersebut bukan karena satu pesantren induk (PP Guluk‐Guluk) dipecah menjadi
empat bagian menurut pembagian warisan di antara sesama saudara seketurunan, tetapi
hal itu merupakan perluasan dari PP GulukGuluk; yaitu setelah lahir keturunan yang dinilai
mampu mendirikan pesantren baru, maka mereka diizinkan mendirikan pesantren baru
sehingga merupakan perluasan bagi PP Guluk‐Guluk. Dengan demikian PP Guluk‐Guluk
adalah pesantren milik keluarga atau pribadi.
2). PP Sukorejo. Berbeda dengan PP Guluk‐Guluk, penjagaan nilai agama pada Sayap‐1
dilakukan oleh kiai dari generasi kedua dan dilakukan secara tunggal, yaitu K.H.R. As'ad
Syamsul Arifin. Dalam menjalankan tugasnya ia dibantu oleh tiga sekretaris pribadi, dan di
dalam memberikan tugas kepada Sayap‐2 ia mengangkat mansya, semacam perdana
menteri dan lurah pondok sebagai pendampingnya. Se1anjutnya, seperti PP Guluk‐Guluk,
pesantren Sukorejo juga milik pribadi kiai dan semuanya tergantung kepadanya (lihat
Lampiran 10, bagan struktur PP Sukorejo).
3). PP Blok Agung. Hampir sama dengan PP Sukorejo, penjagaan nilai agama pada Sayap‐1
PP Blok Agung dilakukan secara tunggal oleh pendiri, yaitu K.H. Muchtar Syafaat. Dalam
melaksanakan tugasnya ia dibantu oleh beberapa kiai yang diangkat olehnya sebagai majelis
pertimbangan, dan dalam membagi kerja pada Sayap‐2, sayap ini dibagi‐bagi menjadi tujuh
bagian kekuatan, yang dua dari tujuh ketua bagian adalah putranya, yaitu sebagai Ketua
Pembangunan Pesantren dan Ketua Pengajian Kitab (lihat Lampiran 10 pada bagan PP Blok
Agung). Kedua bagian keketuaan tersebut merupakan inti struktur organisasi PP Blok Agung.
Keketuaan pengajian kitab merupakan esensi ajaran PP Blok Agung, sedang keketuaan
bagian umum merupakan pusat manajemen yang mengatur seluruh kehidupan pesantren.
Dengan demikian, seperti pada pesantren‐pesantren terdahulu, PP Blok Agung juga milik
pribadi kiai dan oleh karena itu kehidupan dan pengembangan pesantren ini sangat
tergantung kepadanya.
4). PP. Tebu Ireng. Agak berbeda dengan ketiga pesantren terdahulu, penjagaan nilai
agama pada Sayap‐1 dilakukan oleh suatu dewan kiai, terdiri atas tiga orang kiai. Mereka
adalah para alumni senior dari PP Tebu Ireng, santri dari K.H. Hasyim Asy'ari, pendiri PP
Tebu Ireng. Tetapi pimpinan tertinggi dari PP Tebu Ireng adalah K.H. Yusuf Hasyim yang
merupakan generasi kedua dari pendiri. Pimpinan tertinggi ini memimpin baik Sayap‐1
maupun Sayap‐2, dan pimpinan tertinggi ini mirip dengan direktur yang memimpin sebuah
22
direktorat. Jadi dilihat dari segi ajaran, mekanisme penyelenggaraan pesantren tunduk
pada dewan kiai, tetapi jika dilihat dari segi organisasi penyelenggaraan pesantren
tunduk pada direktur pesantren.
Dalam kenyataannya, dewan kiai merupakan bagian dari se1uruh organisasi
pesantren, oleh karena itu dewan kiai juga berada di bawah kepemimpinan direktur
pesantren. (lihat Lampiran 10, pada bagian struktur organisasi PP Tebu Ireng). Hal ini
menarik perhatian, karena dengan demikian ada semacam isyarat pergeseran
kewenangan, di mana supremasi organisasi Sayap‐1 larut ke dalam kewenangan
Sayap‐2 (lihat uraian tentang Gaya Kepemimpinan, halaman 79).
Erat kaitannya dengan semakin berkembangnya manajerial kerja Sayap‐2 tersebut,
PP Tebu Ireng mengarahkan orientasi kerjanya dari semata‐mata mementingkan
kepuasan hubungan kemanusiaan dalam kerja (human oriented), berkembang ke arah
pentingnya penyelesaian target kerja (target oriented), dengan menggunakan alat‐alat
teknologi modern, seperti komputer, memiliki percetakan fotokopi, jasa bank, dan
sebagainya. Di tengah‐tengah PP Tebu Ireng telah berdiri Bank Rakyat Indonesia (BRI)
yang mengatur lalu lintas pembayaran biaya belajar di pesantren dan mendorong
santri untuk menjadi nasabah bank. Beroperasinya sebuah bank di tengah‐tengah
pesantren salaf seperti PP Tebu Ireng merupakan suatu kejutan, karena masalah ini
dapat menimbulkan polemik pro‐kontra mengenai bunga bank yang sebagian umat
menganggap sebagai riba yang diharamkan dalam Islam.
5). PP. Paciran. Berbeda dengan struktur organisasi pesantren terdahulu, penjagaan nilai
agama pada Sayap‐l dilakukan oleh pimpinan pesantren yang langsung dipimpin oleh K.H.
Abdurachman Syamsoeri, pendiri PP Paciran, dan penjagaan nilai agama pada Sayap‐2
dipimpin oleh pengurus pondok pesantren yang dipimpin oleh seorang ketua yang menjadi
ketua perguruan dari jenis‐jenis pendidikan yang diasuh oleh PP Paciran.
Sebenarnya PP Paciran ini lebih merupakan perguruan Muhammadiyah lengkap
dengan sekolah‐sekolah formal sebagaimana perguruan Muhammadiyah pada
umumnya, daripada bercorak pesantren sebagaimana keempat pesantren terdahulu.
Namun ia tetap diperlakukan sebagai pesantren karena di dalamnya terdapat unsur‐
unsur yang memenuhi ciri‐ciri umum pesantren, seperti adanya mesjid, pondok, kiai,
ustaz, santri, dan pengurus yang hidup dalam satu kampus, dan di dalamnya juga
diselenggarakan pengajian kitab‐kitab keagamaan Islam klasik (kitab kuning), sebagai
kegiatan ekstra kurikuler guna melengkapi pendidikan agama pada sekolah yang
diasuhnya. (lihat Lampiran 10, path bagan struktur organisasi PP Paciran).
6). PP Gontor. Berbeda dengan struktur organisasi dari kelima pesantren terdahulu,
penjagaan nilai agama pada Sayap‐l dari PP Contor berada pada badan tertinggi pesantren,
yaitu Badan Wakaf Pondok, terdiri atas lima belas orang cendekiawan muslim (kiai,
23
sarjana, militer, dan cendekiawan lainnya)7. Dalam praktiknya penjagaan Sayap‐1
dilakukan oleh Balai Pendidikan Pondok yang dipimpin oleh 3 orang dengan sebutan
trimurti, yaitu K.H. Syukri Abdullah Zarkasji MA, K.H. Drs. Hasan A. Sahal, dan K.H.
Shoiman Lukman Hakim. Sebutan ini berasal dari pendiri di mana pada periode
awalnya PP Gontor ini didirikan dan dipimpin oleh 3 orang bersaudara, yaitu K.R.H.
Ahmad Sahal, K.H. Zainuddin Fanani, dan K.R.H. Imam Zarkasyi, dengan sebutan
trimurti. Kepemimpinan PP Gontor pada saat ini merupakan generasi kedua sesudah
pendiri, tetapi sebelum pergantiannya, pimpinan generasi pertama telah
menyerahkan PP Gontor kepada lima belas orang cendekiawan dimaksud sebagai
wakaf pada tanggal 12 Oktober 1958, jadi dengan demikian sejak tanggal tersebut PP
Gontor secara resmi telah berpindah status dari milik pribadi menjadi milik institusi
yang dalam hal ini berbentuk badan wakaf, dengan salah satu ketentuan bahwa
selama para pendiri masih hidup mereka tetap memegang pimpinan pondok.
Ternyata setelah tiba saatnya pergantian pimpinan, Badan Wakaf Pondok
mengangkat pimpinan baru tetap dalam bentuk trimurti, dan dua dari pemimpin yang
baru itu adalah putra dari pendiri, sedang yang satu lagi adalah alumni dari PP Gontor
sendiri. Balai Pendidikan Pondok itulah yang menjadi badan eksekutif, sedang Badan
Wakaf sebagai lembaga legislatifnya. (Lihat Lampiran 10, pada bagan struktur
organisasi PP Gontor). Dalam melaksanakan tugasnya, Balai Pendidikan Pondok telah
mengembangkan kerja inter‐acting antarunit‐unit kerja dan memakai teknologi
modern, memiliki percetakan dan penerbitan sendiri. Seperti juga PP Tebu Ireng, PP
Gontor juga mengembangkan orientasi kerjanya tidak semata‐mata human oriented
tetapi juga target oriented. Dengan demikian penjagaan nilai agama pada Sayap‐l
dilakukan secara kolektif sebagaimana pada PP Guluk‐Guluk. Tetapi keduanya tetap
berbeda. Kalau pada PP Guluk‐Guluk hal itu berada pada kepemimpinan
kekeluargaan, sedang pada PP Gontor hal itu berada pada kepemimpinan
institusional.
d. Kiai utama merupakan pimpinan spiritual dan tokoh kunci pesantren. Kedudukan, kewenangan dan kekuasaannya amat kuat. Hubungan antar santri, dan atara santri dan pimpinan (kiai, ustaz, dan pengurus) bersifat kekeluargaan dan penuh hormat. Ketundukan dan kepatuhan santri terhadap pimpinan, terutama terhadap kiai, luar biasa. Bagi segenap warga pesantren, terutama santri, menghargai kiai adalah kewajiban moral. Ada 3 kata kunci yang melandasi hubungan mereka, yaitu (1) Berkah, (2) Ikhlas, dan (3) Ibadah.
7 Kelima belas cendekiawan muslim dimaksud adalah: (1) K.H. Idham Chalid, (2) Ali Murtadho, (3) Shoiman
BHM., (4) Ghazali Anwar, (5) Let.Kol H. Hasan Basri, (6) H. Mahfudz, (7) Kapten Irchammi, (8) Aly Syaefullah, (9)
Abdullah Syukri, (10) Hayidin Rifa’i, (11) Amsin, (12) Muhammad Tha’if, (13) Maroka Rauf, (14) Ali Muhammady
dan (15) Abdullah Mahmud.
24
Artinya: santri dan bahkan seluruh anggota pesantren memandang seluruh perbuatannya sebagai ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu hal tersebut harus dilakukannya dengan penuh keikhlasan, dan dalam rangka memperoleh berkah kiai.
e. Pembagian kerja antar unit‐unit kerja sering kali kurang tajam dan banyak terdapat kesamaan. Misalnya antara unit yang mengurusi pendidikan dan pengajaran dengan unit yang mengurusi pengajian, kehumasan, kemasyarakatan, kesejahteraan santri, dan sebagainya sering kali mempunyai tugas yang sama. Seperti sama‐sama mempunyai program mengadakan pengajian, mengerahkan santri untuk kerja bakti membersihkan pesantren, memperbaiki jalanan‐jalanan dalam kampus pesantren, membersihkan kamar mandi, dan sebagainya. Namun tidak tampak adanya pertentangan atau konflik di antara unit‐unit kerja dimaksud, karena semuanya berlandaskan pada tiga kata kunci tersebut, sehingga corak kerja dalam pesantren bersifat kekeluargaan dan lebih menekankan pada pentingnya human oriented daripada target oriented. Inisiatif kerja pada umumnya datang dari dan tergantung langsung pada pimpinan masing‐masing unit, untuk selanjutnya secara langsung tergantung pada restu kiai. Pada dasarnya masing‐masing unit bebas berinisiatif dan berbuat, sepanjang yang dilakukannya itu untuk kebaikan dan kamajuan santri, pesantren, tidak bertentangan dengan akidah‐syariah agama, tidak bertentangan dengan sunnah pondok dan dibolehkan oleh kiai. Dalam keadaan seperti itu, di mana kedudukan dan kekuasaan pemimpin sangat kuat, hubungan dengan anggota baik, pembagian kerja antarunit kurang tajam dan sangat tergantung pada pemimpin, maka gaya kepemimpinan otoriter‐kebapakan berjalan sangat efektif (lihat laporan selanjutnya tentang gaya kepemimpinan).
f. Gaya kerja dalam struktur organisasi pesantren pada umumnya masih merupakan garis lurus ke atas, artinya setiap unit kerja bergantung pada atasan langsung. Keberhasilan kerja dalam struktur organisasi pesantren secara keseluruhan merupakan penjumlahan dari hasil masing‐masing unit kerja. Hubungan kerja antarunit kerja bersifat co‐acting bukan inter‐acting (lihat Lampiran 10, bagan struktur organisasi dari enam pesantren objek studi). Hubungan kerja yang bersifat co‐acting itu sarna dengan keberhasilan kerja suatu tim bulu tangkis, di mana masing‐masing partai bekerja sendiri‐sendiri. Jika dalam satu tim terdiri atas lima partai, dan jika tiga dari lima partai telah menang, maka keseluruhan tim bulu tangkis tersebut telah menang; keberhasilan tiap partai tidak tergantung pada partai yang lain, tetapi jumlah kemenangan partai menentukan kemenangan tim secara keseluruhan. Sebaliknya hubungan kerja yang bersifat inter‐acting itu sama dengan keberhasilan kerja di bidang sepak bola, dimana keberhasilan setiap pemain sangat tergantung pada pemain yang lain, dan secara keseluruhan menentukan kemenangan kesebelasan sepak bola yang bersangkutan. Namun pada beberapa unit kerja dalam struktur organisasi beberapa pesantren, seperti pada PP Gontor dan PP Tebu Ireng, serta PP Paciran sudah mulai tampak ada hubungan kerja yang bersifat inter‐acting. Pada perkembangan mendatang, tampaknya akan terjadi perkembangan hubungan kerja dari co‐acting menjadi inter‐acting sesuai dengan tantangan kerja yang semakin kompleks dan karenanya semakin dibutuhkan hubungan kerja antarunit yang semakin saling ketergantungan satu terhadap yang lain (inter‐acting). Dan laporan mengena struktur organisasi tersebut, tampak adanya perubahan‐perubahan penting yang menggambarkan dinamika sistem pendidikan pesantren dalam menghadapi tantangan zamannya, antara lain sebagai berikut:
1. Mengiringi adanya perubahan status kelembagaan dari status milik pribadi menjadi status milik institusi sebagaimana dilaporkan pada butir (1) di muka (halaman 73), maka
25
juga terdapat perubahan dari penjagaan nilai agama dengan kebenaran absolut: dan penjagaan secara individual ke penjagaan secara kolektif. Bahkan dalam kasus PP Gontor, penjagaan nilai agama absolut pada Sayap‐I, tidak lagi oleh kiai (salaf) secara individu, tetapi oleh sekelompok cendekiawan muslim. Hal ini berarti banyak pemikiran‐pemikiran rasional dalam memahami dan mengembangkan ajaran agama sesuai dengan tantangan zamannya.
2. Perubahan hubungan kerja antarunit‐unit kerja dalam struktur organisasi pesantren dari hubungan yang bersifat co‐acting menjadi inter‐acting.
3. Terdapat kecenderungan semakin menunggalnya kerja Sayap‐l dan Sayap‐2, bahkan pada kasus PP Tebu Ireng bidang kerja Sayap‐l masuk menjadi bagan atau bidang kerja Sayap‐2 tanpa mengurangi esensial nilai ajaran agama yang harus dijaga kebenaran dan kemurniannya.
4. Semakin disadari pentingnya orientasi target, perencanaan, dan penggunaan teknologi canggih dalam mencapai tujuan, seperti pemakaian komputer, jasa bank, percetakan, penerbitan, dan sebagainya dalam penyelenggaraan pesantren.
(3) Gaya Kepemimpinan
Yang dimaksud dengan kepemimpinan dalam pembahasan berikut ini adalah “seni”
memanfaatkan seluruh daya (dana, sarana, dan tenaga) pesantren untuk mencapai tujuan
pesantren. Manifestasi yang paling menonjol di dalam "seni" memanfaatkan daya tersebut adalah
cara menggerakkan dan mengarahkan unsur pelaku pesantren untuk berbuat sesuatu sesuai
dengan kehendak pemimpin dalam rangka mencapai tujuan pesantren tersebut.
Menurut ajaran Islam, setiap orang adalah pemimpin. Setiap insan harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada sesamanya, semasa ia hidup, dan kelak kepada
Tuhan setelah ia mati. Namun demikian, yang dimaksud dengan pemimpin dalam pembahasan ini
bukan setiap individu warga pesantren, dan bukan pula pemimpin unit‐unit kerja dalam struktur
organisai pesantren, tetapi kiai‐pengasuh pesantren yang menjadi tokoh kunci atau pimpinan
spiritual pesantren, sebagaimana dimaksudkan dalam uraian mengenai struktur organisasi di
muka. Pembahasan masalah kepemimpinan ini meliputi: Gaya kepemimpinan, dan suksesi
kepemimpinan.
Seperti uraian mengenai struktur organisasi di muka, gaya kepemimpinan pesantren juga
berbeda‐beda satu dari yang lain, sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakatnya:
a. PP Guluk‐Guluk
Kedudukan dan kekuasaan pimpinan sangat kuat dan mantap. Hal ini disebabkan adanya tata
nilai dalam kehidupan mereka, bahwa: yang muda menghormati yang tua, murid menghormati
guru, dan seorang murid tidak akan menjadi orang baik dan pandai tanpa guru. Nilai kehidupan
yang demikian ini tidak hanya berlaku dalam masyarakat pesantren, tetapi telah membudaya di
kalangan masyarakat Madura, khususnya dalam komunitas muslim. Masyarakat Madura sangat
hormat kepada kiai dan menghargai lembaga pendidikan pesantren. Gambaran sikap hormat
26
masyarakat Madura terhadap kiai dan pesantren ini dapat dilihat pada laporan selanjutnya
tentang lingkungan masyarakat yang mengelilingi PP Guluk‐Guluk. Hubungan antara anggota dan
pemimpinnya, yaitu antara santri, ustaz, pengurus dan kiai sebagai satu keluarga dalam rumah
tangga, di mana kiai dan nyai sebagai guru, bapak, ibu dan pemimpin mereka. Seperti
dikemukakan di muka, hubungan kerja kepemimpinan dalam pesantren dilandasi oleh tiga kata
kunci: "ikhlas", "berkah", dan "ibadah". Tatanan kerja organisasinya kurang jelas, pembagian
tugas antarunit‐unit kerja tidak terpisahkan secara tajam. Masing‐masing pimpinan unit bebas
berinisiatif dan bekerja untuk kemajuan dan kebaikan pesantren. Selama apa yang mereka
lakukan tidak bertentangan dengan sunnah pondok, dan memperoleh restu kiai atau setidak‐
tidaknya diperbolehkan oleh kiai atau tidak dilarang oleh kiai, maka selama itu pula pekerjaan
boleh diteruskan.
Sehubungan dengan itu, maka gaya kepemimpinan di PP Guluk‐Guluk memiliki ciri‐ciri
paternalistik, dan free rein leadership (laisser faire), di mana pemimpin pasif, sebagai seorang
bapak yang memberikan kesempatan kepada anak‐anaknya untuk berkreasi, tetapi juga otoriter,
yaitu memberikan kata‐kata final untuk memutuskan apakah karya anak buah yang bersangkutan
dapat diteruskan atau harus dihentikan. Sementara itu, dari gambaran tentang sikap hormat
warga pesantren dan masyarakat terhadap kiai, juga dapat disimpulkan bahwa sumber
kewibawaan kepemimpinan PP Guluk‐Guluk adalah karismatik‐keagamaan, di mana kiai sebagai
pemimpin spiritual. Rata‐rata sekitar 15‐20 orang berkunjung kepada kiai untuk berbagai
keperluan, seperti berobat, minta do a, "ijazah", urusan menjodohkan anak, mencari kerja, dan
sebagainya.
b. PP Sukorejo
Jika kepemimpinan PP Guluk‐Guluk dilakukan secara kolektif, maka kepemimpinan dalam PP
Sukorejo dilakukan secara pribadi oleh K.H.R. As'ad Syamsoel Arifin sebagai pimpinan tunggal
pesantren.
K.H.R. As'ad Syamsoel Arifin selain sebagai pimpinan tertinggi, ia adalah Mustasyar Am NU8
(Nahdatul Ulama) seluruh Indonesia. Di kalangan warga NU pada umumnya, dan warga PP
Sukorejo pada khususnya, K.H.R. As'ad Syamsoel Arifin dianggap memiliki karamah, yaitu suatu
8 NU adalah organisasi ulama. Strutktur organisasinya dibagi dua besaran: Syuriah (penjaga nilai agama)
dan Tanfiziah (penjaga nilai non agama atau badan pelaksana Syuriah), yang mempunyai supremasi atas Tanfiziah.
Lembaga syuriah dibentuk dari tingkat pusat sampai ke ranting. Siapa pun yang menjadi anggota NU harus
bersedia mendukung ulama, tidak boleh tidak setuju apalagi berusaha mendongkelnya. (K.H. Ahmad Siddiq Rais‐
am NU atau ketua umum syuriah NU, dalam Khittah Nahdiyah, Balai Buku Surabaya, 1979: 45‐48)
27
kekuatan gaib yang diberikan oleh Tuhan hanya kepada siapa yang dikehendaki‐Nya; dan kekuatan
ini selapis lebih rendah daripada mukjizat yang hanya diberikan kepada nabi9.
Rata‐rata setiap harinya terdapat 25‐30 orang tamu yang berkunjung kepadanya, baik individu
maupun kolektif, baik pejabat maupun masyarakat biasa terutama warga NU dari berbagai daerah
cabang atau wilayah NU; untuk berbagai macam keperluan, dari yang hanya untuk kepentingan
silaturahmi sampai untuk kepentingan organisasi. Tidak jarang pimpinan teras pemerintahan dari
presiden, menteri, gubernur, dan seterusnya pernah berkunjung ke Pondok Pesantren Sukorejo.
Begitu besarnya karisma kepemimpinan kiai, sampai‐sampai mengenai masalah yang paling
mustahil dalam agama pun tidak ada orang yang berani mempersoalkannya. Misalnya: setiap hari
Jumat kiai tidak tampak salat Jumat di mesjid, padahal salat Jumat hukumnya wajib. Sebaliknya
terdapat pendapat di kalangan sebagian warga pesantren dan masyarakat, bahwa kiai salat Jumat
di Mekah. Adalah sudah menjadi adat kebiasaan bahwa tamu hanya menunggu kesempatan,
sampai kiai sendiri berkenan menanyakan keperluannya, para petugas tamu tidak berani
memberitahukan kepada kiai bahwa ia sedang ditunggu tamu, kecuali untuk tamu‐tamu tertentu,
seperti pejabat teras pemerintahan yang diatur melalui protokoler atau yang telah mengadakan
perjanjian lebih dahulu. Demikianlah, masih banyak cerita‐cerita mistis lainnya mengenai ke‐karamah‐
an kiai yang tersebar di kalangan warga pesantren dan masyarakat sekitarnya yang sangat
mencekam kehidupan mereka. Dalam riwayat hidupnya, disebutkan bahwa kiai adalah keturunan
langsung Nabi Muhammad, dari garis keturunan putri Nabi: Fatimah, dan merupakan generasi ke‐
28 dan sudah disiapkan penggantinya yaitu putranya bernama Raden Fawaid, yang akan merupakan
generasi ke‐29. Dari gambaran tersebut dapat dimengerti bahwa ketundukan dan kepercayaan anggota
terhadap pemimpinnya sangat luar biasa. Dalam keadaan seperli itu, dapat diamali bahwa jenis
kepemimpinan PP Sukorejo berciri:
Karismatik (Spiritual leader), dan otoriter‐paternalistik. Berbeda dengan gaya kepemimpinan PP
Guluk‐Guluk dengan derajat kepemimpinan laisser faire‐nya yang besar, maka derajat kebebasan dalam
kepemimpinan PP Sukorejo terasa lebih kecil jika dibandingkan dengan kebebasan dalam kepemimpinan
PP Guluk‐Guluk tersebut. Pada umumnya pembagian kerja pada unit‐unit kerja dalam struktur
organisasi PP Sukorejo lebih jelas dan resmi daripada pembagian kerja pada unit‐unit kerja dalam
struktur organisasi PP Guluk‐Guluk. Wibawa kepemimpinan PP Sukorejo terasa menyentuh kegiatan unit
kerja. Misalnya pada suatu ketika, setelah hari ketiga peneliti berada di PP Sukorejo, peneliti berbincang‐
bincang dengan dekan Fakultas Tarbiyah Universitas Ibrahimiyah, untuk minta petunjuk kepadanya
bagaimana caranya agar peneliti dapat berjumpa dengan Kiai As'ad Syamsoel Arifin; dekan tersebut
menyarankan kepada peneliti agar peneliti mengaji (baca AI quran) dimakam orangtua kiai. Dekan
9 Dalam ajaran Islam, ada 4 kekuatan gaib yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia: (a). Istidraj
diberikan kepada non muslim, sifatnya memanjakan, (b). Ma’unah diberikan kepada muslim, sifatnya untuk
kebaikan, (c). Karamah diberikan kepada muslim, sifatnya untuk kebaikan dan kekuatan, (d). Mu’jizat hanya
kepada diberikan kepada Nabi.
28
tersebut percaya bahwa kiai sudah tahu keinginan peneliti untuk bertemu kepadanya, sekalipun kiai
belum memberitahukan kepadanya. Dengan demikian setiap unit kerja merasa diawasi oleh kiai setiap
saat, sehingga proses kegiatan terasa berjalan lebih ketat daripada apa yang terjadi di PP Guluk‐Guluk.
c. PP Blok Agung
Seperti kepemimpinan PP Sukurejo, kepemimpinan PP Blok Agung juga dilakukan secara pribadi
oleh KH. Muchtar Syafaat sebagai pimpinan tunggal pesantren. KH. Muchtar Syafaat adalah Mustasyar
NU untuk seluruh daerah Blambangan dan sekitarnya. Setiap hari rata‐rata tercatat 15‐20 orang tamu
yang datang dari berbagai lapisan masyarakat, berkunjung kepadanya untuk bersilaturahmi minta:
nasihat, do'a‐do'a dan "izasah" (semacam 'Jimat’) kepada kiai. Mereka datang dengan membawa
berbagai masalah kehidupan atau "kemelut hati", dari sejak masalah kelahiran, perjodohan, sampai ke
masalah warisan. Berbeda dengan KH.R. As'ad Syamsoel Arifin tersebut di atas, K.H. Muchtar Syafaat
tampak salat di mesjid, dan para petugas tamu berani memberi tahu kiai bahwa ia sedang ditunggu
tamu dan sebagainya. Namun, kepemimpinannya yang karismatik terasa sangat mencekam dalam
kehidupan pesantren dan masyarakat sekitarnya. Berkat ajaran tasawuf yang diberikan secara intensip,
sehingga menjadi ciri khas Pondok Pesantren Blok Agung sebagai pesantren tasawuf dan tarekat, maka
banyak santri Pondok Pesantren Blok Agung yang menjalankan puasa sunah, dan kebiasaan yang
demikian itu bertentangan dengan kebiasaan yang ada di Pondok Pesantren Sukorejo yang
menganjurkan santrinya untuk tidak berpuasa sunah selama belajar, tetapi harus makan makanan yang
banyak dan bergizi.
Dengan demikian kedudukan dan kewenangan atau kekuasaan kiai sebagai pimpinan spiritual
sangat kukuh. Hubungan antara anggota dan pemimpin sangat baik; anggota menghargai dan percaya
penuh kepada kiai, tidak hanya sebagai pemimpin, tetapi juga sebagai bapak dan guru.
Sementara itu, seperti diuraikan dalam struktur organisasi Blok Agung di muka, deskripsi tugas
untuk masing‐masing unit kerja kurang jelas dan saling bersamaan. Masing‐masing unit kerja sangat
tergantung pada atasan langsung. Namun, Kiai Muchtar Syafaat memberikan kebebasan yang luas pada
pimpinan unit kerja dari Sayap‐2 untuk berkreasi dan berbuat apa saja yang dianggap baik bagi dirinya
dan bagi kemajuan pesantren, asal perbuatan‐perbuatan tersebut tidak menyimpang dari ajaran agama
dan tata tertib pesantren.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan PP Blok Agung, sebagaimana
gaya kepemimpinan pesantren‐pesantren terdahulu, adalah: paternalistik, otoriter, dan juga laisser fair
atau bebas; semuanya berada dalam struktur relevansi ajaran agama.
d. PP Tebu Ireng
Seperti disebutkan di muka, saat ini pimpinan PP Tebu Ireng dijabat oleh K.H. Yoesoef Hasyim,
salah seorang putra pendiri PP Tebu Ireng: K.H. Hasyim Asy'ari yang terkenal dengan sebutan "Kiai Tebu
Ireng".
29
Dari uraian mengenai struktur organisasi PP Tebu Ireng di muka, tampak adanya kecenderungan
kedudukan dewan kiai sebagai penjaga kemurnian nilai agama menjadi bagian atau salah satu unit kerja
dari kesatuan administrasi pengelolaan penyelenggaraan pesantren. Sementara itu, hubungan antara
anggota dan pimpinan baik dan hormat; artinya anggota menghormati pimpinan, sebagaimana layaknya
murid menghargai gurunya, atau santri menghargai kiainya. Namun juga tampak adanya perubahan
hubungan antara anggota dan pemimpin sekarang, jika dibandingkan dengan 20‐30 tahun yang lalu.
Pada masa dulu, terutama pada periode awal usia pesantren, ketundukan dan hormat anggota terhadap
pimpinan atau kiai digambarkan sebagai "luar biasa". Santri tidak berani berbicara dengan menatap
mata kiai. Tetapi sekarang hubungan seperti itu telah berubah; santri tampak sering terlibat diskusi atau
dialog dengan pimpinan pesantren mengenai berbagai masalah. Perubahan tersebut, sangat terasa
sejak diselenggarakannya sekolah‐sekolah formal, baik madrasah maupun sekolah umum yang
diselenggarakan oleh PP Tebu Ireng, serta adanya perguruan tinggi, yaitu Universilas Hasyim Asy'ari di
kampus PP Tebu Ireng. Dengan semakin banyaknya santri yang menjadi siswa‐siswa dan mahasiswa,
mereka menampakkan perilaku yang berbeda dengan perilaku santri pada masa dulu. Misalnya dari segi
cara berpakaian: dewasa ini mereka memakai celana, hem, sepatu, lepas peci, dan seragam sekolah atau
pramuka sebagaimana layaknya murid sekolah umum; demikian pula halnya ketika salat di mesjid
banyak di antara mereka yang memakai celana panjang, hem dan tanpa peci. Gambaran yang demikian
ini sangat berbeda dengan gambaran masa lalu, bahkan menurut sejarah pada awal usia pesantren ini,
belajar dengan memakai celana, sepatu, dan duduk di atas bangku dan menggunakan papan tulis,
diharamkan, karena hal itu merupakan kebiasaan kafir (Belanda) atau penjajah.
Di sisi lain,job description atau pembagian tugas di kalangan unit‐unit kerja juga cenderung
berubah menuju pembagian kerja yang lebih rinci dan spesifik, dengan menggunakan teknologi baru,
yaitu bank dan komputer yang sudah mulai dipergunakan sebagai sarana kerja. Dengan kata lain, sejak
dibukanya sekolah‐sekolah umum di kampus pesantren, sejak itu sangat terasa bahwa “pendidikan
dengan uang" sudah memasuki dunia pesantren. Gaji atau honor guru, sumbangan uang belajar,
gaji pegawai, biaya pendidikan dan pembangunan gedung‐gedung, harga alat‐alat pendidikan, dan
biaya kependidikan lainnya, sudah diperhitungkan secara rinci, teliti dan hemat; target pendidikan
yang harus dicapai juga harus dihitung dengan cermat, dan sebagainya. Semuanya ini membawa
dampak yang luas dan menggetarkan jaringan mekanisme kerja penyelenggaraan pesantren, yang
pada ujungnya menuntut penyesuaian gaya kepemimpinan yang sesuai dengannya
Dalam kondisi kehidupan pesantren seperti itu, pimpinan tertinggi PP Tebu Ireng sekarang
lebih dikenal sebagai "pemimpin" Pesantren Tebu Ireng, daripada sebagai "Kiai" Pesantren Tebu
Ireng. Kiai Yoesoef Hasyim memiliki latar belakang pengalaman lebih banyak di bidang militer
(tokoh gerilyawan di Jawa Timur) dan politik (anggota DPR RI dari tahun 1955‐1982), daripada latar
belakang pengalaman di bidang perkiaian. Hal ini dapat menyebabkan munculnya kecenderungan
gaya kepemimpinan diplomatis yang berbeda dengan gaya kepemimpinan pesantren sebagaimana
disebutkan di muka, gaya kepemimpinan diplomatik tersebut kadang‐kadang dikombinasikan
dengan gaya kepemimpinan partisipatif. Gaya kepemimpinan diplomatis mencoba mendekati
anggotanya secara persuasif dengan jalan menjual ide‐ide (a sell type leader), tetapi jika terdesak ia
30
menggunakan gaya autokratis; sedang gaya kepemimpinan partisipatif mencoba mendekati
anggotanya untuk berbuat secara terbuka. Namun tidak perlu ada kekhawatiran akan hilangnya
kewenangan dan kewibawaan dengan munculnya gaya kepemimpinan diplomatis dan partisipatif
tersebut, sebab bagaimanapun juga "modal pokok" yang menjamin kelestarian kepemimpinan
Pesantren Tebu Ireng tetap dimiliki oleh K.H. Yoesoef Hasyim sebagai ahli waris Pesantren Tebu
Ireng, sehingga hak prerogatif memimpin tetap berada pada keturunan pendiri.
e. PP Paciran
PP Paciran dipimpin oleh K.H. Abdurachman Syamsoeri, pendiri pesantren. Dari uraian
mengenai struktur organisasi PP Paciran tersebut di muka diperoleh kesan bahwa PP Paciran
banyak menunjuk corak "keperguruan" di samping corak "kepesantrenan". Meskipun demikian,
seperti disampaikan di muka, corak "kepesantrenannya" masih lebih menonjol daripada corak
"keperguruannya". Corak "keperguruan"‐nya yang cukup besar, dan cukup mewarnai kehidupan PP
Paciran, karena hampir semua kegiatan pendidikan yang diselenggarakannya adalah sekolah‐
sekolah formal sebagaimana layaknya perguruan Muhammadiyah, dan jumlah mereka yang tinggal
di kampus pesantren (santri mukim) sekitar 35 % dari seluruh santri yang belajar di PP Paciran, 65%
pulang ke rumah masing‐masing (santri kalong). Hal ini berbeda dengan keadaan di pesantren‐
pesantren lain, yang hampir seluruh santri tinggal di pesantren.
Meskipun demikian, hubungan antara anggota baik, dalam arti para santri atau pelajar
merasa membutuhkan atau tergantung pada lembaga pendidikan yang diselenggarakannya, untuk
meraih kesempatan belajar secara resmi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Kedudukan dan
kewenangan kiai sebagai pimpinan inti pesantren kuat. Meskipun status PP Paciran merupakan
salah satu bagian dari Maje1is Pendidikan Pusat Muhammadiyah, jadi berstatus milik instansi, sehingga
secara resmi status kepemimpinannya sangat tergantung pada keputusan instansi induknya, namun
kedudukan K.H. Abdurachman Syamsoeri kuat karena dalam sejarah PP Paciran ia adalah pendiri dan
pemilik pesantren, sehingga tidak mudah untuk diganti sewaktu‐waktu oleh instansi induknya. Di
samping itu, kiai sendiri memiliki karisma kepemimpinan yang kuat di kalangan warga pesantren. Ia
sangat disegani dan dihormati anak buah dan santrinya, sebagaimana layaknya pemimpin spiritual
keagamaan pada umumnya. Sementara itu, pembagian kerja atau job description dari masing‐masing unit
tampak lebih jelas dan resmi, sebagaimana layaknya pembagian kerja menurut unit sekolah formal pada
umumnya. Jadwal pengajian kitab‐kitab sebagai pengajian ekstra kurikuler juga tampak berlaku secara
teratur. Namun, sebagaimana dilaporkan dalam uraian mengenai struktur organisasi PP Paciran di atas,
masing‐masing unit kerja secara langsung tergantung pada atasan langsung.
Dalam kondisi seperti itu gaya kepemimpinan yang tampak berlaku pada PP Paciran adalah:
Kombinasi antara gaya otoriter, paternalistik, dan birokratik (sesuai dengan aturan‐aturan formal yang
ada).
31
f. PP Gontor
Seperti disebutkan dalam uraian mengenai struktur organisasi PP Gontor di muka, pimpinan harian
PP Gontor berbentuk trimurti atau tiga serangkai. Kedudukan dan kewenangan pimpinan kuat,
hubungan antara anggota dan pemimpin baik, dan pembagian tugas antarunit‐unit kerja jelas. Disiplin
dan solidaritas juga terasa amat kuat mewarnai kehidupan PP Gontor. Jaringan solidaritas mereka tidak
hanya terbatas pada kalangan keluarga dalam pesantren saja, tetapi juga menjangkau warga pesantren
yang ada di daerah‐daerah, dan luar negeri.
Kekompakan tersebut antara lain tampak pada diumumkannya berita‐berita organisasi pada
setiap salat Jumat di mesjid raya pesantren, menyangkut berita‐berita: gembira, sedih dan sebagainya.
Misalnya berita tentang keberhasilan belajar dari santri Gontor yang sedang belajar di Mesir, Pakistan,
Saudi Arabia dan sebagainya, atau berita duka, seperti sakit, meninggal dan sebagainya. Hal yang
demikian itu, di samping melalui pengumuman‐pengumuman di saat salat Jumat, juga dimuat dalam
majalah dinding, majalah pesantren dan media‐media cetak lain. Mengenai gambaran disiplin dalam
tata pergaulan di PP Gontor dapat disaksikan antara lain: ketatnya program pelajaran bahasa Arab dan
Inggris, di mana santri setiap hari wajib berbicara dengan menggunakan bahasa‐bahasa tersebut,
dilarang menggunakan bahasa daerah. Bahasa Indonesia biasanya digunakan jika melayani tamu‐tamu.
Kedisiplinan juga tampak pada acara‐acara antri: mandi, makan, berpakaian dan sebagainya (lihat uraian
selanjutnya mengenai lingkungan dalam kehidupan PP Gontor, halaman 120‐126). Begitu ketatnya
disiplin yang berlaku di PP Gontor, sehingga cenderung diperoleh kesan bahwa santri serba diatur dan
sangat sedikit kesempatan bagi santri untuk berlaku bebas di luar waktu‐waktu yang ditentukan dalam
tata tertib pondok.
Selain itu, pimpinan pondok saat ini adalah generasi kedua sete1ah pendiri, dua dari trimurti
berumur muda, sekitar 45‐50 tahun, berpendidikan universitas, salah satunya menyelesaikan
masternya di luar negeri, dan yang seorang lagi berumur sekitar 60‐70 tahun, alumni PP Gontor.
Dalam situasi seperti itu maka gaya kepemimpinan di PP Gontor adalah kombinasi antara
gaya‐gaya kepemimpinan: birokratik, diplomatik, paternalistik. Sebagai pimpinan dalam kubu
keagamaan, maka juga terkesan adanya jenis kepemimpinan yang bergaya karismatik keagamaan.
Gaya yang terakhir ini terasa dipengaruhi oleh jenis karismatik pendiri yang amat besar,
terutama karisma K.H. Imam Zarkhasyi dan K.H. Ahmad Sahal. Ajaran dan kata‐kata nasihat dari
kedua tokoh ini selalu dicetak ulang dan merupakan bacaan yang wajib dibaca dan ditaati oleh
setiap santri.
Dari uraian mengenai keenam gaya kepemimpinan pesantren tersebut, dapat diturunkan
beberapa butir pengertian sebagai berikut:
1. Jenis kepemimpinan pesantren adalah karismatik keagmnaan, yang untuk selanjutnya disebut karismatik, yang berbeda dengan kar'ismatik keilmuan, yang untuk selanjutnya disebut jenis kepemimpinan rasional.
32
2. Pada dasarnya gaya kepemimpinan pesantren adalah kombinasi dari gaya‐gaya kepemimpinan pesantren: karismatik, otoriter‐kebapakan, dan Laisser‐Faire.
3. Terdapat perbedaan gradual antara gaya kepemimpinan pesantren yang satu terhadap yang lain, dan adanya kecenderungan perubahan sebagai berikut: a. Dari jenis Karismatik menuju ke Rasional. b. Dari Otoriter‐Kebapakan menuju ke Diplomatik‐Partisipatif. c. Dari Laisser‐Faire menuju ke Birokratik. Tetapi perjalanan perubahan tersebut belum sampai memasuki daerah gaya kepemimpinan
yang baru, kecuali perubahan gaya kepemimpinan dari Laisser Faire ke Birokratik, pada beberapa
pesantren tampak ketat dengan peraturan tertulis yang telah ditetapkan, jadi jika digambarkan
dalam satu garis lurus yang kontinum, maka gambaran itu lebih kurang sebagai berikut. Misalnya
perubahan dari Karismatik ke Rasional, model perubahan tersebut belum sampai memasuki daerah
jenis kepemimpinan Rasional, masih berada dalam daerah gaya kepemimpinan Karismatik,
demikian pula halnya dengan perubahan gaya kepemimpinan Otoriter‐Paternalistik ke Diplomatik
Partisi patif.
Jika dituangkan dalam bentuk diagram perubahan, maka diagramnya lebih kurang sebagai
berikut:
(a) Diagram posisi keenam pesantren dalam perubahan jenis kepemimpinan Karismatik ke Rasional.
Keterangan :
1. Makin ke kanan posisi pesantren, makin kecil jenis kepemimpinan Karismatik, dan makin besar jenis kepemimpinan Rasionalistik.
2. Rata-rata gaya kepemimpinan adalah: - Karismatik > 50
- Rasionalistik < 50
33
3. Nomor urut nama-nama Pondok Pesantren:
(1) Sukorejo, (2) Blok Agung, (3) Guluk-Guluk, (4) Paciran, (5) Tebu Ireng, (6) Gontor.
(b) Diagram posisi keenam pesantren dalam perubahan gaya kepemimpinan dari Otoriter - Paternalistik ke Diplornatik - Partisipatif
1. Makin ke kanan posisi pesantren makin kecil gaya kepemimpinan
Otoriter - Paternalistik, makin besar gaya kepemimpinan
Diplomatik - Partisipatif.
Rata‐rata gaya kepernimpinan:
‐ Otoriter ‐ Patemalistik > 50
‐ Diplomatik ‐ Partisipatif < 50
Nomor urut nama‐nama pondok pesantren:
34
(1) Sukorejo, (2) Blok Agung, (3) Guluk‐Guluk, (4) Paciran, (5) Tebu Ireng, (6) Gontor.
(c) Diagram posisi keenam pesantren dalam perubahan gaya kepemimpinan dari Laisser Faire
ke Birokratik.
(0) 50 100
BIROKRATIK
6
5
4
3
2 1
Keterangan :
1. Makin ke kanan posisi pesantren, makin kecill Laisser Faire, dan makin besar Birokratik.
2. Rata‐rata gaya kepemimpinan:
‐ Birokratik < 50
‐ Laisser Faire > 50
3. Nama‐nama gaya kepemimpinan mereka adalah:
(1) Guluk‐Guluk, (2) Blok Agung, (3) Sukorejo, (4) Tebu Ireng, (5) Paciran, (6) Gontor.
35
(4) Suksesi Kepemimpinan
Estafet pergantian kepemimpinan pesantren, terutama pada pesantren milik pribadi adalah
dari‐ke: pendiri‐anak‐menantu‐cucu‐santri senior. Artinya: Ahli waris pertama adalah anak laki‐
Iaki, yang senior dan dianggap cocok oleh kiai dan oleh masyarakat untuk menjadi kiai, baik dari
segi kealimannya maupun dari segi kedalaman ilmu agamanya. Jika hal ini tidak mungkin,
misalnya karena pendiri tidak punya anak laki‐laki yang cocok untuk menggantikannya, maka ahli
waris kedua adalah menantu, kemudian sebagai ahli waris ketiga adalah cucu. Jika semuanya itu
tidak mungkin, maka ada kemungkinan dilanjutkan oleh bekas santri senior. Tetapi biasanya
santri lebih suka mendirikan pesantren sendiri, dan bila hal ini terjadi maka berakhirlah pesantren
yang bersangkutan karena tidak ada yang meneruskannya. Misalnya riwayat pergantian PP Tebu
Ireng: Diawali dari PP Nggedang, yang didirikan oleh kiai Usman pada pertengahan abad ke‐19.
Kemudian dilanjutkan oleh menantunya kiai Asy'ari, dengan mendirikan pondok baru di Desa Keras,
pada tahun 1876‐an, dan popularitas pondok Nggedang menjadi menurun yang akhirnya mati.
Kemudian diganti oleh putranya Muhammad Hasyim, dengan mendirikan pesantren baru, yang
kemudian terkenal dengan nama Pondok pesantren Tebu Ireng pada tahun 1899. Dengan munculnya
Pondok Pesantren Tebu Ireng di bawah pimpinan K.H. Hasyim Asy'ari, popularitas Pondok Pesantren
Keras menurun dan akhirnya mati. K.H. Hasyim Asy'ari kemudian digantikan oleh K.H.A. Wahid Hasyim
(1947‐1950). Kemudian, karena K.H A. Wahid Hasyim pindah ke Jakarta sehubungan dengan kesibukan
di Jakarta, maka diganti oleh saudaranya, yaitu K.H.A. Karim Hasyim (1950‐1951). K.H.A. Karim Hasyim
hanya sempat menduduki kepemimpinan selama 1 tahun, karena meninggal, maka diganti oleh saudara
iparnya. yaitu K.H.A. Baidhawi (1951‐1952). K.H.A. Baidhawi diganti lagi oleh keturunan pendiri, yaitu
K.H.A. Khaliq Hasyim (1952‐1965). K.H.A. Khaliq Hasyim meninggal, digantikan oleh saudaranya H.M.
Yusuf Hasyim dari tahun 1965 sampai sekarang.
Riwayat pergantian pimpinan Pondok Pesantren Sukorejo: dari pendiri pertama K.H. Raden
Syamsoel Arifin (1914‐1951) kemudian diganti oleh putranya K.H Raden As'ad Syamsoel Arifin (1951‐
sekarang), dan sekarang sudah disiapkan calon penggantinya, yaitu putranya yang saat ini baru berumur
sekitar 15 tahun.
Riwayat pergantian pemimpin Pondok Pesantren Guluk‐Guluk dari generasi pertama (K.H. Syarkawi,
1887) sampai pimpinan sekarang, merupakan generasi ketiga dan keempat dipimpin oleh K.H. Amir
Ilyas.
Pondok Pesantren Blok Agung dan Paciran sampai saat ini masih dipimpin oleh generasi pertama,
tetapi mereka juga sudah menyiapkan penggantinya, yaitu putra mereka sendiri.
Demikian dalam kenyataannya, pengganti kepemimpinan pesantren adalah keturunan dari pendiri,
paling tidak mengikuti garis estafet seperti digambarkan di atas. Hal yang demikian itu tidak hanya
berlaku bagi pesantren milik pribadi tetapi juga masih berlaku bagi pesantren milik institusi. Meskipun
sceara resmi sudah ada ketentuan bahwa ahli waris pendiri tidak dengan sendirinya menjadi pengganti.
Misalnya suksesi kepemimpinan Pondok Pesantren Gontor: saat ini dua dari tiga trimurti pimpinan
36
Pondok Pesantren Gontor adalah keturunan langsung dari pendiri. Hal ini terjadi: (a) Karena masih
dekatnya periode dari generasi pertama (pendiri) ke generasi kedua (pimpinan sekarang), jadi pengaruh
dari pendiri masih terasa sangat berpengaruh dan sekaligus sebagai pernyataan terima kasih dan hormat
kepada pendiri, dan (b) Karena dua dari tiga trimurti sekarang adalah memiliki tingkat pendidikan tinggi,
satu daripadanya adalah "Master of Arts" dari luar negeri. Jadi dengan kata lain, suksesi itu karena faktor
pendidikan dan keturunan. Tampaknya untuk masa‐masa selanjutnya, keturunan dari pendiri akan tetap
kuat menduduki jabatan kepemimpinan pesantren, karena pendidikan mereka memang tinggi, yang saat
ini sedang menyelesaikan pelajarannya di berbagai universitas di Timur Tengah: Mesir, Pakistan, Saudi
Arabia, dan sebagainya. Meskipun demikian, faktor pendidikan makin lama makin kuat dan akan
menggeser faktor keturunan. Demikian pula dengan status pemilikan pesantren; tampaknya status
milik institusi akan semakin kuat dan merupakan kebutuhan dibanding dengan status milik pribadi.
2.4. Lingkungan Kehidupan Pesantren
Konsep lingkungan kehidupan di sini meliputi lingkungan kehidupan masyarakat dalam
pesantren, baik lingkungan fisik maupun lingkungan non fisik, yang secara langsung maupun tidak
langsung mempengaruhi pembentukan dan perkembangan kepribadian anak didik atau santri.
Kepribadian individu dan kelompok dibentuk oleh lingkungan kehidupan yang mengasuhnya. Dalam
lingkungan kehidupan, perilaku individu dan kelompok diseleksi, dispesialisasi, dan distratifikasi:
apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan, apa yang wajib dilakukan dan apa
yang harus ditinggalkan, serta apa yang seyogianya dilakukan dan apa yang seyogianya
ditinggalkan. Suatu kebiasaan yang secara terus‐menerus dialami oleh seseorang dari tahun ke
tahun selama 24 jam setiap harinya, akhirnya membentuk kepribadian, dan jika hal itu te1ah
diterima menjadi nilai kehidupan bersama, maka sejak itu terbentuklah kepribadian kolektif yang
sukar sekali diubah.
Pembahasan mengenai lingkungan kehidupan dalam bab ini bertolak dari teori pengaruh
lingkungan terhadap pembentukan dan pengembangan kepribadian tersebut.
Jawa Timur merupakan daerah konsentrasi pesantren kedua sesudah Jawa Barat. Menurut hasil
pendataan Departemen Agama tahun 1984/1985. jumlah pesantren di enam kabupaten di mana
keenam pesantren objek penelitian ini berada adalah: Di Kabupaten Sumenep, tempat PP Guluk‐
Guluk, ada 129 buah pesantren, dengan jumlah santri: 29.781 orang, dan kiai atau ustaz yang
mengajar sebanyak 900 orang. Di Kabupaten Situbondo, asal daerah PP Sukorejo, ada 75
pesantren, dengan jumlah santri: 14.781 orang, dan kiai atau ustaz yang mengajar 293 orang. Di
Kabupaten Banyuwangi. daerah asal PP Blok Agung ada 99 pesantren, dengan jumlah santri: 15.922
orang, dan kiai atau ustaz yang mengajar 174 orang. Di Kabupaten Jombang ada 37 pesantren,
dengan jumlah santri 9.463 orang, dan kiai atau ustaz yang mengajar 174 orang. Di Kabupaten
Lamongan daerah asal PP Paciran, ada 46 pesantren dengan jumlah santri: 18.132 orang dan kiai
atau ustaz yang mengajar 681 orang, dan di Kabupaten Ponorogo daerah asal PP Gontor, ada 17
pesantren, dengan jumlah santri: 7.256 orang, dan kiai atau ustaz yang mengajar 76 orang.
37
Menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jawa Timur dapat digolongkan menjadi 3
wilayah budaya Islam: (a) Pesisir; meliputi: Bojonegoro, Tuban, Pasuruan. Sifatnya terbuka dan
"bergerak" atau mobile (b) Madura., meliputi: Madura, Gresik, Surabaya, dan Banyuwangi bagian Utara
dan Timur. Sifatnya: sama dengan daerah pesisir. (c) Pedalaman, meliputi: Banyuwangi Selatan dan
Barat, Jember Selatan, Lumajang, Malang Selatan. Blitar, Pacitan, Trengga1ek, Jombang, Tulung
Agung, Kediri, Nganjuk, Madiun, Ponorogo, sampai daerah perbatasan Jawa Tengah. Sifatnya:
agraris dan "diam" atau unmobile, serta bercampur dengan mistik Jawa10.
Dengan demikian, PP Guluk‐Guluk termasuk dalam wilayah budaya Pesisir dan Madura, PP Blok
Agung dalam wilayah budaya pedalaman, PP Tebu Ireng dalam wilayah budaya pedalaman, tetapi
karena cepatnya pertumbuhan kota‐kota Surabaya, jombang, Kediri dan kota‐kota di sekitarnya, maka
PP Tebu Ireng masuk dalam wilayah budaya Pedalaman‐Perkotaan, sedang PP Blok Agung tersebut
berada dalam wilayah budaya pedalaman‐Pedesaan. PP Paciran berada dalam wilayah budaya Pesisir,
dan PP Gontor berada dalam wilayah budaya Pedalaman‐Pedesaan.
a. PP Guluk‐Guluk
a.I. Lingkungan kehidupan masyarakat luar pesantren
Masyarakat Madura dikenal sebagai pemeluk agama Islam yang taat, menghormati kiai atau ulama
dan pesantren. Pulau Madura merupakan daerah konsentrasi pondok pesantren dan madrasah yang
besar11.
Pondok pesantren Guluk‐Guluk terletak di desa Guluk‐Guluk, kecamatan Guluk‐Culuk, Kabupaten
Sumenep. jarak antara pesantren dan kota Sumenep sekitar 25 km. Letak pesantren dari jalan raya yang
menghubungkan antarkota kabupaten (masuk ke dalam desa Guluk‐Guluk) sekitar 10 km. Hampir di
setiap pelosok desa terdapat kelompok‐kelompok pengajian, seperti: Tahlilan, Ya.sinan, dan majelis‐majelis
taklim lainnya. Di desa GulukGuluk sendiri terdapat 11 buah mesjid, 9 di antaranya dipergunakan salat
Jumat, dan 30 musala. Rata‐rata setiap kelompok pengajian beranggotakan 30‐10 orang dan bergerak di
bidang ubudiah yang bersifat akhirat, artinya berorientasi pada kehidupan akhirat.
10 LIPI, Nadhar (Jurnal laporan penelitian), seri 7, Juli 1987, hlm. 3.
11 Menurut data pemetaan wilayah sosial keagamaan di Madura tahun 1974 : jumlah pesantren di Madura
ada 2281 buah, sekolah umum 731 buah; 60% penduduk melek huruf Arab, 50% melek huruf Latin. Dalam tahun
1984 terdapat 6 SD negeri, dan 1 SMP, 7 Ibtidaiyah, 1 Tsanawiyah, dan 2 Aliyah. (dalam buku‐buku M. Dewan
Rahardjo, ED, Pesantren dan Pengembangan Masyarakat, LP3ES, Jakarta, 1974, hlm 27).
38
Lingkungan fisik masyarakat sekitar pesantren pada umumnya: tanahnya gersang, berbukit‐bukit,
dan bertanah kapur yang sulit diresapi air. Sebagian besar (75%) merupakan tanah tegalan yang kurang
subur ditanami tembakau dan silih berganti waktu dengan tanaman jagung yang sangat bergantung
pada musim.
Sisanya (25%) berupa tanah pekarangan dan sawah tadah hujan. Mata pencaharian penduduk:
sebagian besar bertani (65%) dengan tanah garapan rata‐rata 0,13 ha, sebagian kecil (3%) pedagang,
pegawai negeri, guru dan ABRl, sedang sebagian besar (32%) adalah penganggur, dalam arti tidak memiliki
pekerjaan tetap, termasuk di dalamnya buruh tani. Melengkapi keadaan tanah yang gersang dan sulit
air, serta kondisi sosial ekonomi dan tingkat pendidikan yang rata‐rata rendah12, keadaan kehidupan
menjadi semakin risau karena di dalam masyarakat banyak penduduk yang terllibat dengan sistem gadai
tanah dan utang dari para pelepas uang, terutama pada saat‐saat menjelang tanam tembakau.
Kondisi kehidupan yang miskin tetapi taat menjalankan agama dan menghargai kiai dan
pesantren, merupakan suatu kesempatan tersendiri bagi pondok pesantren Guluk‐Guluk untuk
melakukan pendekatan kepada masyarakat guna melaksanakan misinya menyebarkan agama dan
memperoleh dukungan masyarakat.
Gambaran hormat masyarakat Madura kepada kiai dan pesantren tersebut dapat dilukiskan
sebagai berikut: Jika mereka (penduduk desa) bertemu dengan kiai di tengah jalan, dan mereka sedang
tidak memakai peci, maka jika mereka bersalaman dengan kiai, tangan kanannya menjabat tangan kiai,
sedang tangan kirinya memegang kepalanya sendiri sebagai ganti peci Apabila mereka sedang naik
sepeda atau mengendarai sepeda motor dan bertemu atau melewati di muka kiai, maka mereka turun
dan memberikan hormat kepada kiai. Sebaliknya, jika kiai sedang berjalan melewati mereka, yang secara
kebetulan sedang duduk‐duduk dan berbincang‐bincang di pinggir‐pinggir jalan, misalnya pada sore hari
sekitar jam 17.30, maka mereka spontan berdiri dan memberi jalan serta hormat kepada kiai dengan
sikap menunduk dan tangan dilipat ke bawah atau ngapu rancang. Bagi para perantau yang merantau di
kota‐kota besar di Jawa, bila mereka sedang berkunjung pulang ke rumah (kampung halaman), mereka
mempunyai kebiasaan bersilaturahmi (berkunjung) ke kiai dan pesantren. Kecuali itu, banyak pejabat
dan rakyat biasa, yang datang menghadap kiai untuk minta doa, obat‐obatan, minta "ijazah", fatwa
keagamaan, dan berkonsultasl mengenai berbagai masalah kehidupan dari mengerjakan hal‐hal
kedinasan, sampai ke soal‐soal mencari jodoh atau mengawinkan anak, mencari sekolah sampai mencari
pekerjaan dan membahas kematian.
12 Menurut data pemetaan wilayah sosial keagamaan dari sumber yang sama: Drs. Dawam Rahardjo, Ibid;
dalam tahun 1980: desa Guluk‐Guluk yang luasnya 1.668.955 ha dihuni oleh 16.240 jiwa yang tergabung dalam
2320 KK. Dari jumlah tersebut tercatat usia sekolah 8.507 jiwa dengan perincian; 4.730 jiwa ( 55%) tidak
bersekolah, 712 jiwa (8,36%) tidak tamat SD, 3008 jiwa (35%) tamat SD, dan hanya sekitar 1% lebih sedikit tamat
sekolah lanjutan dan perguruan tinggi.
39
Memanfaatkan kondisi lingkungan seperti itu, Pondok Pesantren GulukGuluk mengembangkan
pengabdian masyarakatnya dengan membentuk Biro Pengabdian Masyarakat (BPM) sejak tahun 1979.
Dengan menggunakan pendekatan bahasa agama, Pondok Pesantren Guluk‐Guluk mengajak masya‐
rakat bangkit kembali dari "tidur akhiratnya" untuk memikirkan dan menanggulangi berbagai masalah
kehidupan yang mereka hadapi sehari‐hari secara bersama‐sama. Yang dimaksud dengan pendekatan
bahasa agama ialah pendekatan melalui kelompok‐kelompok pengajian tersebut di atas. Seusai penga‐
jian (tahlilan, membaca Yasin, zikir, dan sebagainya), diisi dengan penjelasan‐penjelasan mengenai
berbagai ajaran agama yang berkenaan dengan tugas dan tanggung jawab manusia dalam hidup
keseharian. Misalnya: Nasib manusia tidak akan berubah menjadi baik dan maju, jika manusia sendiri
tidak berusaha mengubahnya. Agama menyuruh kerja sama dan tolong‐menolong (taawun) dalam
hidup bermasyarakat; antara lain dengan melakukan kewajiban membayar zakat, menyisihkan sebagian
rezeki yang diperolehnya untuk diberikan kepada fakir miskin, karena di dalam setiap rezeki yang
diperolehnya itu ada bagian (milik) orang lain, yaitu si miskin, yang harus dibayarkan kepada yang
berhak. Penjelasan‐penjelasan semacam ini kemudian diikuti dengan perluasan kerja kelompok, dari
hanya mengurusi hal‐hal yangberkenaan dengan kepentingan ukhrawi, juga rnengenai hal‐hal konkret
yang menjadi kebutuhan setiap hari dalam kehidupan duniawi.
Mula‐mula Pondok Pesantren Guluk‐Guluk mengarahkan perhatiannya untuk mengatasi
kesulitan air, baik untuk kepentingan rumah tangga maupun untuk mengairi ladang‐pekarangan.
Kegiatan ini langsung dipimpin oleh salah seorang kiai dengan didampingi oleh santri seniornya, yang
juga menjadi salah seorang ustaz. Mereka melacak sumber mata air sampai sejauh 4 km yang terletak di
desa Rembang, suatu desa miskin yang terlelak di lereng pegunungan. Melalui kerja sama dengan
berbagai pihak, baik pemerintah maupun lembaga‐lembaga swasta, baik tingkat lokal, nasional, maupun
internasional, akhirnya mereka berhasil menemukan sumber mata air yang dicari, sehingga dapat
mengairi ladang penduduk setempat. Keberhasilan ini menggema ke desa‐desa sekitarnya sampai
menjangkau radius sejauh 11 km ke desa Pekamban Dayah, dan mengundang tokoh‐tokoh desa
tersebut untuk datang berkonsultasi dan mengajak Pondok Pesantren Guluk‐Guluk bekerja sama untuk
melakukan hal yang sama.
Sampai saat ini tidak kurang dari tujuh pompa air yang telah didirikan oleh Pondok Pesantren Guluk‐
Guluk bekerja sama dengan berbagai pihak, dan tersebar di tiga daerah kecamatan. Banyak desa‐desa
yang sudah memiliki penerangan listrik, kamar mandi, kakus, dan sebagainya. Karena hal itu sernua
maka pada tahun 1981 Pondok Pesantren Guluk‐Guluk memperoleh hadiah Kalpatmu dari pemerintah
pusat.
Kecuali pengairan, PP Guluk‐Guluk juga bergerak di bidang pengembangan masyarakat lainnya
melalui usaha pembebasan tanah rakyat kecil yang tergadaikan kepada pelepas uang, dengan jalan
membentuk koperasi simpan pinjam, pengadaan pupuk dan sebagainya, yang antara lain seperti
tersebut dalam Lampiran 8 tentang daftar kegiatan BPK PP Guluk‐Guluk lengkap dengan lembaga‐
lembaga swadaya masyarakat dan pemerintah yang mendukungnya.
40
Keberhasilan PP Guluk‐Guluk di bidang pengabdian masyarakat tersebut menyebabkan PP Guluk‐
Guluk dikenal sebagai pusat pengembangan mayarakat sekitarnya melalui dakwah bil hal, yang
kemudian menjadi ciri khasnya di kalangan dunia pesantren.
Tetapi karena BPM tersebut langsung dipimpin oleh kiai dan ustaz, maka secara edukatif santri
kurang ikut serta terlibat di dalamnya, karena mereka merasa segan sebagai akibat rasa terlalu tawaduk
mereka terhadap kiai dan ustaz. Dengan demikian, sesungguhnya keberhasilan PP Guluk‐Guluk tersebut
adalah dalam arti: yang berhasil pesantrennya sebagai lembaga, bukan proses belajar ‐ mengajar yang
dialami oleh santrinya. Menyadari hal ini maka sejak tahun 1987/1988 ini kegiatan tersebut mulai
dialihkan untuk ditangani secara langsung oleh santri melalui kegiatan intern organisasi mereka sendiri
a.2. Lingkungan kehidupan masyarakat dalam pesantren
Situasi kehidupan dalam PP Guluk‐Guluk antara lain dapat digambarkan sebagai berikut: Luas
kampus pesantren sekitar 5 ha, di atasnya berdiri sejumlah bangunan antara lain: 2 rnesjid, 6 rnusala, 42
ruang kelas, 485 pondok (kamar) santri (berupa rumah‐rumah kecil dibuat dari kayu dan bambu, terdiri
atas satu ruangan atau satu kamar dengan teras, dan dibuat sendiri oleh santri), 1 aula, 1 toko koperasi
santri, 1 ruang perpustakaan, 1 kantor, 1 ruang tamu, 1 taman kanak‐kanak, dan 1 ruang pusat informasi
pesantren.
Jenis pendidikan yang diselenggarakan adalah "Pesantren" (pendidikan non formal) dan Madrasah
(pendidikan formal) yang terdiri atas: Taman Kanak‐kanak, Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah dan Sekolah
Tinggi I1mu Syariah (Hukum Islam) dan Tarbiyah (Pendidikan Islam). Sejak Ibtidaiyah, penyelenggaraan
madrasah dilaksanakan secara terpisah antara kelas putra dan putri. Madrasah dikelompokkan menjadi
2 ke1ompok: madrasah I diselenggarakan dalam kampus pesantren dan siswanya tinggal di dalam
pesantren (santri mukim), dan madrasah II diselenggarakan di luar kampus pesantren dan santrinya
tidak tinggal di pesantren, tetapi di rumah masing‐masing (santri kalong). Kurikulum Madrasah I: 70%
agama dan 30% umum, sedang kurikulum Madrasah II: 70% umum dan 30% agama; di samping itu
murid dari Madrasah I, karena mereka tinggal di dalam kampus pesantren, mengikuti jenis pendidikan
"pesantren", yaitu mengikuti pengajian kitab kuning, dan kegiatan‐kegiatan ubudiah lainnya, seperti
salat jemaah, membaca Alquran, dan sebagainya selama 24 jam dalam kehidupan pesantren.
Seperti disebutkan di muka, PP Guluk‐Guluk merupakan pesantren federal terdiri atas 4 pesantren;
masing‐masing pesantren daerah ini memiliki program pengajian kitab‐kitab kuning, dan kegiatan‐
kegiatan ubudiah lainnya, masing‐masing pesantren memiliki programnya sendiri‐sendiri. Meskipun
demikian, santri dari pesantren yang satu bebas mengikuti pengajian‐pengajian yang diselenggarakan
oleh pesantren yang lain sesuai dengan waktu dan tingkat pengajian kitab yang dimiliki oleh santri yang
bersangkutan. Jumlah santri dari ke‐4 "pesantren daerah" tersebut adalah: (a) Pesantren Lubangsa Raya:
798 putra dan 299 putri, dengan 226 kamar, (b) Pesantren Latee: 615 putra dan 334 putri, dengan 169
kamar, (c) Pesantren Nirmala: 74 putra dan 57 putri, dengan 33 kamar dan, (d) Pesantren Lubangsa
Selatan: 100 putra dan 0 putri, dengan 30 kamar. Dengan demikian, maka jumlah santri yang ada di
41
dalam pesantren 2387 orang, terdiri atas 1597 putra dan 690 putri, dengan jumlah kamar 458; jadi
kepadatan kamar rata‐rata 4‐5 orang per kamar, sedangkan ukuran kamar rata‐rata 2x3 m, jadi
kondisinya padat sekali. Dalam kepadatan kamar seperti itu, maka fungsi kamar praktis hanya untuk
menyimpan barang‐barang seperti koper, pakaian dan sebagainya, dan untuk istirahat dalam waktu‐
waktu tertentu secara bergantian. Pada umumnya sanin belajar dan tidur di luar kamar, seperti serambi
mesjid, musala, dan sebagainya. Keadaan udara yang agak panas, menjadikan mereka nyaman tidur di
luar kamar dengan berlantaikan ubin.
Pada umumnya, santri (75%) datang dari daerah Kabupaten Sumenep dan selebihnya (25%) dari
berbagai daerah lain, seperti: Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Surabaya, Lamongan, Situbondo,
Jember, Bali, Jawa Barat, dan Kalimantan. Jumlah santri yang tinggal di pesantren ada sekitar 80% atau 1
orang yang biasanya disebut santri mukim, 20% atau 457 orang tinggal rumah masing‐masing, disebut
santri kalong. Adapun jumlah perbandingan santri jika dilihat dari jenis pendidikan yang diikuti adalah:
hanya sekitar 50 santri dari seluruh santri (tidak termasuk murid TK) yang mengikuti pendidikan
"pesantren" tanpa merangkap belajar di madrasah, jadi hanya
Sekitar 1,6%, sedang selebihnya 98,04% di samping belajar di madrasah mereka mengikuti pengajian
kitab dan program‐program ubudiah yang diselenggarakan oleh pesantren, terutama bagi mereka yang
tinggal di dalam pondok. Dengan kata lain: seluruh santri mengikuti kegiatan "pendidikan pesantren"
(mengaji kitab kuning) yang bersifat non formal, tetapi tidak semua santri mengikuti program
pendidikan formal (madrasah), dan dengan demikian dalam kegiatan proses belajar‐mengajar, tampak
adanya integrasi antara pendidikan non formal (pesantren) dan formal (madrasah): mereka saling
melengkapi satu sama lain.
Mengenai kehidupan santri sehari‐hari dalam pesantren, dapat digambarkan sebagai berikut:
para santri mengurus dirinya sendiri, dari sejak mendirikan pondok (kamar) sampai pada memenuhi
kebutuhan hidup seharihari, seperti: memasak, cuci pakaian, bahkan ada yang sambil kerja. Pada
umumnya kedatangan santri ke pesantren diantar oleh keluarganya dengan dibantu oleh sejawatnya
dari kampung membawa sarana pembangunan dan mendirikan pondok di atas lokasi yang telah
disediakan oleh pesantren. Ada juga yang datang karena dibawa teman atau saudaranya yang telah
lebih dulu menjadi santri sehingga mereka langsung dapat bergabung tempat (kamar) yang sudah ada.
Tidak ada pembatasan waktu kapan santri harus datang, pergi, dan berapa lama ia harus tinggal di
pesantren; tetapi ada batasan waktu pendaftaran dan lama belajar di madrasah. Dengan demikian
terdapat pertemuan antara cara pendidikan tradisional (pesantren) dan cara pendidikan modern
(madrasah), atau dengan kata lain: telah terjadi jenis pendidikan formal diselenggarakan dalam iklim
kehidupan pendidikan non formal.
Para kiai menyadari bahwa santrinya memerlukan ijazah negeri sebagai syarat untuk meniti karier
selanjutnya, baik untuk melanjutkan belajar maupun untuk bekerja. Tetapi mereka juga tetap pada
pendirian bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan untuk mendalami ilmu‐ilmu agama dan
mengamalkannya dalam perilaku sehari‐hari, dengan demikian kiai menghadapi masalah‐masalah:
antara mempertahankan identitas dan membuka diri untuk menerima kenyataan. Jalur Madrasah
42
(sekolah formal) merupakan jembatan yang menghubungkan dunia pesantren dengan Sistem Pendidikan
nasional, karena melalui jalur sekolah formal tersebut para santri dapat melanjutkan belajarnya ke
sekolah‐sekolah lain yang jenjangnya lebih tinggi, baik ke lAIN (Institut Agama Islam Negeri) yang sangat
menjadi dambaan mereka (karena lAIN memang merupakan jalur yang paling memungkinkan menerima
mereka dibandingkan dengan perguruan tinggi negeri lainnya), maupun ke universitas.
Jadwal kegiatan santri sehari‐hari adalah:
Jadwal hidup keseharian santri selama 24 jam,
Pondok Pesantren Guluk‐Guluk
No. J a m Kegiatan
1.
2.
3.
4.
5.
03.30-04.30
04.30-04.50
04.50-05.30
05.30-06.15
06.15-07.00
Bangun pagi, siap diri, membaca Alquran, wirid, puji-pujian, menunggu salat berjemaah subuh di mesjid
Salat subuh berjamaah.
Mengaji Alquran di bawah bimbingan ustaz menurut tingkat masing-masing, mengaji kitab kuning dengan bimbingan kiai.
Bergotong royong membersihkan lingkaungan sekitar pondok pesantren atau pekerjaan-pekerjaan lain. Sebagaian melanjutkan mengaji kitab.
Siap diri (mandi-mandi, dan sebagainya) sekolah (madrasah)
43
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
07.00-12.00
12.00-13.00
13.00-13.30
13.30-15.00
15.00-16.00
16.00-17.30
17.30-18.00
18.00-18.45
18.45-19.00
19.00-19.15
19.15-21.30
21.30-22.30
22.30-03.30
Masa belajar di Madrasah
Memasak, bersih diri, makan.
Mengaji Alquran, dilanjutkan dengan salat Zuhur berjemaah.
Istirahat, melakukan perkerjaan lain yang bermanfaat.
Bersiap diri salat Asar berjemaah.
Masuk sekolah diniyah.
Bersiap diri ke mesjid, musala, salat Magrib berjemaah.
Masuk sekolah diniyah (lanjutan).
Bersiap diri salat Isya berjemaah.
Waktu salat Isya berjemaah.
Mengaji kitab menurut tingkat masing-masing, belajar kelompok kegiatan organisasi daerah masing-masing.
Memasak, makan, belajar sendiri, siap-siap masuk tidur dan sebagainya.
Istirahat, tidur.
44
19.
03.30-04.30
Kembali seperti kegiatan hari kemarin.
Setiap salat wajib berjemaah diimami oleh kiai sendiri. Para kiai memimpin langsung
pengajian‐pengajian kitab kuning di daerah pesantren masing‐masing, dan masing‐masing kiai
membawakan kitab‐kitab tertentu sesuai dengan bidangnya masing‐masing. Pengajian diadakan di
luar jam‐jam belajar resmi di madrasah, biasanya pada waktu sesudah salat wajib, di sore hari atau
malam hari. Masing‐masing kiai sudah punya jadwal sendiri‐sendiri.
Sebelum dan sesudah salat berjemaah mereka (santri) melakukan salat sunnah, membaca puji‐
pujian, membaca Alquran, wirid atau doa‐doa lainnya. Tentu saja tidak semua salat wajib
didahului dan diakhiri dengan salat sunnah.
Hari Jumat adalah hari libur, sehingga sangat terasa kegembiraan mereka pada hari Kamis
sore, malam, danJumat pagi sampai menjelang siap‐siap diri salat Jumat, dan sore sampai malam
harinya siap‐siap menyongsong hari belajar di minggu kedua. Biasanya hari Jumat itu diisi dengan
kegiatan‐kegiatan mencuci pakaian, membersihkan kamar dan lingkungan, berbelanja, olah raga,
atau kerja bakti secara umum untuk memperbaiki kampus pesantren, halaman mesjid dan
sebagainya, sesuai dengan keperluan. Para santri pergi ke perbukitan sekitar pondok mereka
untuk mengambil batu kapur guna mengeraskan jalan kampus atau halaman mesjid tersebut.
Sangat menarik perhatian karena ribuan santri mengambil batu dengan cara membawanya yang
bermacam‐macam pula: dibungkus sarung, sajadah, handuk, dibawa dengan tangan telanjang dan
sebagainya. Dengan diambilnya batu‐batu kapur keras tersebut sekaligus berarti membuka lahan
untuk tanaman lain yang lebih bermanfaat, karena dengan demikian tanah menjadi lebih gembur
sehingga dapat ditanami jagung, atau pepohonan lain (akasia) dan sebagainya.
"Gugur gunung' seperti itu tanpa diiringi kiai atau ustaz. Mereka mengatur diri mereka sendiri.
Pimpinan atau lurah pondok hanya mengatakan pentingnya mereka mengambil batu untuk
mengeraskan jalanan atau halaman mesjid. Tetapi pada saat batu‐batu telah bertumpuk kiai
secara langsung ikut bekerja bersama mereka mengeraskan jalan atau halaman mesjid tersebut.
Dengan suasana kerja yang seperti itu santri merasa ikut serta memiliki kampus mereka.
Di samping jadwal kegiatan selama 24 jam, santri harus menaati tata tertib pesantren.
Keempat daerah pesantren di Guluk‐Guluk memiliki tata tertib sendiri‐sendiri, namun terdapat
kesamaan di antara mereka, seperti:
45
1. Santri diharuskan mengikuti salat wajib berjemaah di mesjid atau musala dan tidak meninggalkannya sebelum doa bersama.
2. Santri diharuskan bersekolah dan mengaji kitab, sekurang‐kurangnya dua kali dalam sehari semalam.
3. Santri harus mendapat izin bila hendak meninggalkan pesantren dalam waktu lebih dari satu malam dan melapor kembali bila pulang ke pesantren.
4. Santri tidak boleh membeli makanan dan minuman atau jajan dan dimakan di warung di luar pesantren, kecuali dalam jarak lebih dari 6 km.
5. Santri tidak boleh menonton atau hiburan di luar pesantren. 6. Santri tidak boleh nongkrong atau duduk‐duduk sambil ngobrol dijalan atau di pinggir jalan. 7. Santri tidak boleh berambut gondrong dan bila ke luar pesantren harus berpakaian rapi. 8. Santri tidak boleh menyetel radio, kecuali waktu berita. 9. Kalau santri mandi di tempat umum harus memakai telasan, yaitu kain sarung. 10. Santri tidak boleh memasak nasi di kamar, mereka harus memasak di dapur umum, dan tidak boleh
memasak pada waktu menjelang Magrib dan sesudah jam 23.30. 11. Santri harus membayar iuran pesantren. 12. Santri harus menjaga kebersihan dan membuang sampah di tempat yang sudah disediakan.
Dari jadwal kegiatan dan tata tertib tersebut tampak bahwa santri ditempa oleh hidup
keberagamaan dalam arti belajar dan beribadah secara ketat dari hari ke hari. Kegiatan atau kebiasaan
mereka sangat berbeda dengan kebiasaan hidup masyarakat umum di sekitar mereka, sehingga
pesantren disebut sebagai subkultur dari masyarakat lingkungannya. Kegiatan kehidupan mereka
terpaku dalam struktur waktu ibadah, yaitu lima kali sehari semalam, Suasana yang seperti itu
membawa mereka pada suatu kesepakatan bahwa hidup kolektif dan menjauhkan sifat mementingkan
diri sendiri adalah jalan terbaik untuk mengatasi masalah mereka, dengan kata lain: memupuk
kebersamaan dan menjauhi persaingan atau konflik merupakan sikap dan perilaku yang terpuji.
Dengan demikian, dari analisis mengenai lingkungan luar dan dalam dari Pondok Pesantren Guluk‐
Guluk tersebut dapat diperoleh tiga butir sistem pendidikan pesantren yang penting untuk
dikembangkan dalam perspektif sistem pendidikan pesantren, yaitu:
(1) Pendekatan melalui bahasa agama untuk mengajak rakyat menanggulangi atau memperbaiki
nasib mereka sendiri.
(2) Penciptaan "budaya" kependidikan yang mampu meng‐exposed anak didik kepada budaya yang
dianggap baik secara terus‐menerus dan kuat atau to inculcate menuju terciptanya perilaku tawakal
sebagaimana tercermin dalam skor pandangan mereka terhadap belajar di pesantren. Hal itu mereka
lakukan melalui proses kegiatan belajar‐mengajar yang bersifat self govemment, yaitu mengatur diri
sendiri dalam belajar. Tampaknya hal itu disebabkan mereka hidup dalam asrama di mana pendidik dan
terdidik hidup dalam kampus atau community di bawah keteladanan pendidik.
(3) Kesatupaduan (integrasi) antara pendidikan non formal dan formal.
46
b. PP Sukorejo
b.l. Lingkungan kehidupan masyarakat luar pesantren
Pondok Pesantren Sukorejo terletak di desa Sukorejo, Kecamatan Banyuputih, Kewedanaan
Asembagus, Kabupaten Situbondo. Jarak pesantren dari jalan raya Surabaya‐Banyuwangi sekitar 2 km.
Seperti masyarakat Madura, masyarakat Situbondo juga tergolong taat menjalankan ibadah agama,
menghormati kiai dan pesantren. Tetapi, Pondok Pesantren Sukorejo dikelilingi oleh tempat‐tempat
yang merujuk pada kegiatan budaya yang berskala nasional, yang secara langsung maupun tidak
langsung dapat mempengaruhi pesantren sehingga pandangan dan perilaku santri Pondok Pesantren
Sukorejo berbeda dengan pandangan dan perilaku santri Pondok Pesantren Guluk‐Guluk sebagaimana
tercermin dalam pandangan mereka terhadap belajar di pesantren (Lampiran 4). Tempat‐tempat yang
dimaksud adalah: (a) Pusat Pelelangan Ikan di pelabuhan Nimba, berjarak sekitar 3 km dari pesantren,
(b) Taman Wisata Nasional Baluran, berjarak sekitar 5 km, (c) Landasan tempur pusat latihan terbang di
Sedung, berjarak sekitar 5 km, (d) Dam Liwung sumber mata air di Kecamatan Banyuputih, berjarak
sekitar 3 km, dan (e) Pabrik gula dan pengupasan kapas di Asembagus, berjarak sekitar 4 km.
Budaya Madura terasa sangat mewarnai kehidupan Pondok Pesantren Sukorejo, terutama tampak
dari segi bahasa yang dipergunakan sehari‐hari. Pimpinan Pondok Pesantren Sukorejo (KH. Raden As'ad
Syamsoel Arifin) adalah keturunan bangsawan Madura dan berasal dari Pondok Pesantren Kembang
Kuning Larangan Pamekasan, suatu pesantren terkenal di Madura pada abad ke‐17‐an, dan menjadi cikal
bakal pesantren‐pesantren di Madura sampai menyeberang ke daerah Jawa Timur sepanjang pesisir
utara bagian timur. Status kebangsawanan, kekayaan, dan keutamaan pendiri dan pengurus Pondok
Pesantren Sukorejo tersebut, menyebabkan ia mempunyai kedudukan dan pengaruh yang kuat di
masyarakat sekitar pondok pesantren.
Sejarah pendirian Pondok Pesantren Sukorejo diawali dengan pembukaan hutan di sekitar desa di
kawasan Banyuputih oleh K.H. Raden Ibrahim Syamsoel Arifin pada tahun 1908, dan pada tahun 1914
memperoleh pengesahan dari Bupati Situbondo. Keadaan penduduk masa itu sangat Jarang, dan kiai
melalui kekayaan dan status sosialnya yang tinggi berhasil menguasai tanah sampai mencapai radius
sekitar 7 km2. Dengan semakin berkembangnya pesantren, semakin menarik minat penduduk untuk
membangun rumah atau bertempat tinggal di sekitar pesantren. Kiai "mengundang" dan memberi
kesempatan kepada mereka yang berminat untuk mendirikan rumah di sekitar pesantren, di atas tanah
miliknya, dengan jalan membeli dengan harga murah melalui pembayaran secara mengangsur menurut
kemampuan mereka. Sampai penelitian ini dilakukan masih dapat ditemui beberapa penduduk yang
belum melunasi angsurannya, padahal pimpinan pesantren saat ini sudah menginjak ke periode kedua
dan siap‐siap memasuki periode ketiga (pimpinan pesantren sekarang sudah berumur sekitar 90 tahun).
Menurut mereka angsuran itu (sekarang) rata‐rata Rp 25 ‐ Rp50 setiap bulan,jadi praktis sama dengan
gratis.
Informasi kesejarahan tersebut menggambarkan kedudukan kiai dalam pesantren yang sangat kuat
di tengah‐tengah kehidupan masyarakat sekitarnya. Hal tersebut lebih diperkuat lagi dengan kedudukan
47
K.H. Raden As'ad Syamsoel Arifin (pimpinan pesantren sekarang) sebagai Rais‐Am NU, dan pusat
kepemimpinan NU saat ini telah beralih dari Pondok Pesantren Tebu Ireng ke Pondok Pesantren
Sukorejo.
Kukuhnya kehadiran pesantren di tengah‐tengah masyarakat tersebut memudahkan baginya untuk
memperoleh dukungan masyarakat, dan santri bangga belajar di pesantrennya.
Lingkungan fisik masyarakat sekitar pesantren pada umumnya: berupa lahan sawah untuk tanaman
padi, sebagian untuk menanam anggur, dan sebagian lagi merupakan daerah nelayan. Oleh brena itu,
sebagian besar penduduknya (60%) bertani padi, anggur, dan nelayan, sebagian kecil (5%): pegawai
negeri, guru, ABRI dan sebagainya. Sebagian besar kedua (35%) tidak menentu: bekerja apa saja, seperti
jual jasa, buruh tani, tukang sado, jual buah, buka warung nasi atau makanan untuk melayani kebutuhan
santri, dan sebagainya. Santri‐santri Pondok Pesantren Sukorejo pada umumnya tidak memasak sendiri
dan pesantren tidak menyediakan makan bersama, Oleh karena itu, mereka membeli makanan di
warung‐warung nasi atau warung makanan yang ada di sekitar pesantren tetapi tidak boleh dimakan di
warung. harus dimakan di dalam pesantren. Dengan demikian, keadaan sekitar pesantren ramai orang
berdagang, dan dengan itu pula berarti pesantren lelah meramaikan kehidupan ekonomi masyarakat
desa sekitar.
Hubungan baik pesantren dengan masyarakat sekitar memudahkan santri bergerak di masyarakat
untuk melakukan kegiatan dakwah dan kegiatan‐kegiatan kemasyarakatan lainnya, seperti usaha
pertanian, pengairan, dan sebagainya. Namun, pimpinan pesantren membatasi dan mengontrol
hubungan santri dengan masyarakat sekitarnya, agar santri tidak terpengaruh oleh beberapa adat jelek
yang ada di masyarakat, seperti: judi, mabuk, main perempuan, atau bergadang malam yang tidak
bermanfaat, dan sebagainya
b.2. Lingkungan kehidupan dalam masyarakat Pesantren Sukorejo
Situasi kehidupan dalam Pondok Pesantren Sukorejo, antara lain dapat digambarkan
sebagai berikut: Luas kampus pesantren sekitar 8 ha, di atasnya berdiri sejumlah bangunan
antara lain: 1 mesjid, 6 musala, 9 gedung sekolah dengan kapasitas 76 ruang, 3 Kantor
dengan kapasitas 10 ruang, 3 aula, 3 gudang, 8 perumahan guru, 3 lokal wisma tamu, 3 wisma dosen,
9 lobi kamar mandi dengan kapasitas 101 kamar, 4 dapur, 3 sumur bor, 7 rumah disel, 3 balai kesehatan,
2 keamanan, 6 pertokoan, 29 lokal asrama dengan kapasitas 260 kamar, 2 garasi, 1 ruang keterampilan,
1 asrama takmir mesjid, 1 gedung perpustakaan, 1 pusat informasi pesantren, 1 Kantor organisasi santri,
2 kantor pendidikan dan pengajaran, dan 1 kandang ternak.
Jenis pendidikan yang diselenggarakan adalah "Pesantren", madrasah (dari TK‐Aliyah), sekolah
umum (dari SD‐SMA) dan Fakultas Syariah dan Tarbiyah Jumlah seluruh santri 6.186 orang, terdiri atas
4.204 putra dan 1.982 putri. Jumlah pengasuh (kiai): 1 orang, sebagai pemilik dan pimpinan tunggal,
dibantu oleh 9 ustaz, dan 300 guru: terdiri atas 251 putra dan 49 putri. Seperti Pondok Pesantren Guluk‐
48
Guluk, penyelenggaraan pendidikan di Pondok Pesantren Sukorejo dilaksanakan secara terpisah antara
anak putra dan putri.
Sebagian besar santri (98%) bertempat tinggal di dalam pesantren, sekitar 2% tinggal di luar atau
pulang ke rumahnya. Jumlah mereka yang hanya belajar di pesantren dan tidak merangkap belajar di
madrasah atau sekolah umum tersebut sangat sedikit, sekitar 1,5‐2% (sekitar 100 orang). Mereka tidak
diwajibkan merangkap belajar di madrasah atau sekolah umum, dan mereka itu pada umumnya sudah
bekerja, membantu di rumah‐rumah atau pesantren; sedang hampir seluruhnya (98%) memasuki
sekolah formal (madrasah atau sekolah umum) dan mereka ini diwajibkan mengikuti belajar agama di
"Pesantren". Ukuran kamar rata‐rata 4x6 m, dihuni sekitar 10‐15 orang sehingga keadaannya cukup
padat, dan banyak santri yang tidur di luar. Kiai selalu mengingatkan santrinya agar selama belajar
mereka banyak makan makanan yang bersih dan bergizi, serta melarang mereka berpuasa selama
sedang belajar, baik puasa sunnah, maupun mengganti puasa wajib. Sebagai pesantren salaf, peringatan
kiai tersebut merupakan "hal baru" di kalangan dunia pesantren. Meskipun kiai sendiri adalah ahli
tasawuf dan tarekat, tetapi ia melarang santrinya untuk mempraktikkannya dalam hidup sehari‐hari di
pesantren. Kiai menjelaskan kepada mereka bahwa tujuan mereka datang ke pesantren adalah untuk
belajar, mencari ilmu dan beribadah, oleh karena itu mereka sendirilah yang harus belajar, sedang
kewajiban dan tanggung jawab kiai adalah berdoa dan mengusahakan segala sesuatunya agar mereka
dapat belajar dengan baik. Bagi kiai, santri boleh belajar apa saja sesuai dengan kecenderungannya, asal
mereka tetap menekuni ilmu‐ilmu wajib, yang dalam hal ini adalah ilmu agama, dan bermoral agama
dalam hidup keseharian, sebab moral agama adalah kunci keselamatan dan keberhasilan hidup
bermasyarakat. Dalam pengalaman, banyak orang pandai yang gagal dan tidak memperoleh
penghormatan atau penghargaan dari masyarakat karena mereka tidak bermoral. Inilah sebabnya
mengapa kiai mewajibkan santrinya untuk mengikuti semua kegiatan ubudiah (keagamaan) dan
mengabdi pada kiai dan ustaz. Kiai sendiri tidak pernah mengajar ngaji, semua kegiatan belajar‐
mengajar agama diserahkan kepada para ustaz, guru‐guru, dan santri senior. Kiai merupakan pimpinan
spiritual dan memberikan keputusan akhir mengenai apa yang harus dan tidak harus, yang boleh dan
tidak boleh, dan yang sebaiknya dilakukan oleh pesantren.
Mengenai gambaran kehidupan santri sehari‐hari selama 24 jam dalam kampus adalah sebagai
berikut:
49
Jadwal hidup keseharian santri selama 24 jam,
Pondok Pesantren Sukorejo
No. J a m Kegiatan Keterangan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
04.00-05.15
05.15-06.40
06.40-07.30
07.30-11.30
11.30-13.15
13.15-15.00
15.00-15.15
15.15-17.15
Bangun pagi, siap salat subuh berjemaah di mesjid atau musala, membaca puji-pujian, Alquran dan kitab tertentu
Mandi, makan pagi
Siap masuk sekolah, absensi, membaca nazam (hafalan)
Belajar di sekolah (agama)
Istirahat, siap salat Zuhur berjemaah di masjid/musala, membaca puji-pujian, Alquran, Kitab-kitab tertentu, makan siang
Belajar di kelas (umum)
Siap-siap salat Asar berjemaah di mesjid atau musala, membca puji-pujian, Alquran dan kitab-kitab tertentu.
Belajar di kelas (umum) dan kuliah bagi mahasiswa.
Semua salat jemaah diimami oleh ustaz atau santri senior, dan selalu didahului dengan puji-pujian dan salat sunah (sebelum dan sesudah salat wajib) sesuai dengan ketentuan peribadatan salat wajib yang bersangkutan.
Pengajian-pengajian dilakukan ada waktu-waktu di luar jam belajar di madrasah atau sekolah formal. Pada umumnya sesudah salat 5 waktu diselenggarakan di mesjid atau musala
50
9.
10.
11.
12.
13.
17.15-17.45
17.45-18.45
18.45-19.15
19.15-21.30
21.30-04.00
Istirahat, makan sore
Siap salat magrib berjamaah di mesjid atau musala, membaca puji-pujian, Alquran, dan kitab-kitab tertentu.
Siap salat Isya berjemaah di mesjid atau musala, membaca puji-pujian, al Quran dan kitab-kitab tertentu.
Belajar sendiri, perkamar, membaca al Quran, kitab-kitab tertentu dan kuliah bagi mahasiswa.
Istirahat malam.
Di samping jadwal kegiatan harian, juga terdapat jadwal kegiatan mingguan dan bulanan, serta
tata tertib pesantren sebagai berikut:
51
Jadwal kegiatan mingguan
No Hari Kegiatan
1.
2.
3.
Malam Selasa
Malam Jum’at
Jum’at pagi
Membaca kitab wajib
Tahsinu qira’atil qur’an
Membaca wasiat dan barzanji
Tahsinu qira’atil qur’an
Mencuci pakaian, membersihkan kamar mandi, dan kegiatan-kegiatan lain yang sifat rekreatif.
Jadwal bulanan:
1. Setiap minggu pertama dan ketiga diadakan diskusi (pelajaran) 2. Tiap minggu kedua dan keempat diadakan bahSul masa'il, yaitu mengupamengupas berbagai
masalah kehidupan dari sudutfihih (hukum agama). Selain jadwal kegiatan tersebut, santri hams menaati tata tertib pesantren; beberapa di antara
ketentuannya adalah sebagai berikut:
1. Santri wajib melaksanakan shalat berjamaah, terutama salat jum’at. 2. Santri wajib menjaga kesopanan, kebersihan dan kerapihan 3. Santri wajib belajar dan atu mengajar di madrasah. 4. Santri wajib ber‐mu.tala'ah (mendalami materi) tarhhim (bacaan doa sebelum subuh) dan hhat‐
haligrafi, yang waktu dan pelaksanaannya diatur oleh pengasuh. 5. Santri harus membaca Alquran sebelum salat subuh dan magrib di mesjid, di surau atau di tempat
lain yang telah diatur oleh pengasuh. 6. Santri wajib mengisi air kamar mandi 7. Santri dilarang memasak 8. Santri dilarang jajan dan dimakan atau diminum di warung di luar kompleks pesantren. 9. santri dilarang berkata‐kata kotor, keji, memaki, dan menghina orang lain, serta berseteru dengan
orang lain. 10. Santri dilarang memiliki, menyimpan dan membunyikan radio, tape recorder, atau sejenisnya tanpa
seizin pengasuh. 11. Santri dilarang keluar kompleks pesantren sesudah jam 21.00. 12. Santri dilarang bergaul secara berlebih‐lebihan dengan tetangga atau orang kampung
52
Adapun sanksi atau hukuman atas penyimpangan‐penyimpangan atau pelanggaran‐pelanggaran dari
kebiasaan‐kebiasaan dan tata tertib pesantren dari yang ringan ke yang berat adalah: kerja, denda,
dicukur rambut kepalanya, disita barang‐barang bukti, dan dicabut haknya sebagai santri atau
dipulangkan ke orangtuanya.
Dari jadwal kegiatan dan tata tertib tersebut tampak bahwa mesjid dan musala menjadi pusat
kegiatan belajar dan peribadatan. Dari waktu ke waktu santri dikondisikan dalam kehidupan agama yang
fikih‐sufistik. Hal‐hal yang bersifat keduniawian terasa agak tergeser dan lebih terpusat pada agama,
misalnya dilarang membunyikan radio, dan sebagainya. Kecuali itu, dari jadwal kegiatan dan tata tertib
tersebut, juga tampak bahwa cara belajar dengan hafalan dan menguasai materi sebanyak‐banyaknya
mendominasi kegiatan belajar‐mengajar di pesantren. Cerminan dari pandangan dan perilaku mereka
(santri) sebagai hasil dari pendidikan pesantren dapat dilihat dari Lampiran 5 mengenai skor pandangan
santri terhadap belajar di pesantren.
c. PP Blok Agung
c.l. Lingkungan kehidupan masyarakat luar pesantren
Pondok Pesantren Blok Agung terletak di desa Blok Agung, Kecamatan Jajak, Kabupaten Banyuwangi.
Jarak pesantren dengan kota kecamatan, sekilar 17 km, dan kendaraan yang menghubungkan pesantren
dengan kota adalah angkutan pedesaan, dokar, atau ojek (sepeda motor). Desa Blok Agung merupakan
desa pertanian yang subur terletak di daerah kaki pegunungan dan dilingkari dengan sungai pegunungan
(Sungai Baru) yang besar dan curam berfungsi sebagai sumber air bagi masyarakat desa. Dengan
demikian PP Blok Agung berada di wilayah budaya agama "Pedalaman‐Pedesaan".
Budaya Jawa terasa sangat mempengaruhi kehidupan Pondok Pesantren Blok Agung dan masyarakat
desa sekitarnya. Hal ilu tampak dari dipergunakannya bahasa Jawa di dalam pergaulan sehari‐hari dan
dijadikan sebagai bahasa pengantar dalam mengajarkan kitab‐kilab agama (kitab‐kitab kunng oleh kiai.
Cara kiai mengajarkan kitah kuning, dalam hal ini kitab Ihya Ulumuddin karya Imam al‐Ghazali, selalu
menggunakan bahasa Jawa dan tamsil‐tamsil kejawaan yang menggambarkan konsep manusia
menurut pandangan Jawa sebagai insan yang mendambakan manunggaling kawulo Gusti yaitu
bersatunya diri dengan Penciptanya dalam rangka mencari kebenaran mutlak. Misalnya, kiai
memandang kedudukan dan peran manusia dalam tata kehidupan ini bagaikan wayang yang
sepenuhnya sangat terganlung pada Dalangnya, dan kiai melukiskan bahwa tujuan pendidikan
pesantren ialah menjadikan anak yang berkepribadian sebagai kawula tetapi rasul, artinya menjadi
pelayan kehidupan (mengabdi kepentingan bersama) sebagai rasul (Nabi Muhammad) dengan jalan
menyampaikan risalah ajaran agama, atau menjadi dai kepada manusia. Seperti diketahui, Nabi
Muhammad diutus oleh Tuhan untuk menegakkan moral agama dalam kehidupan. Dengan kata lain,
53
pesantren memusatkan tujuan pendidikannya pada pembinaan dan pengembangan moral agama
sebagai kunci keberhasilan dalam hidup bersama.
Menurut kiai, kehidupan ini merupakan satu sistem atau tatanan kosmologi yang sempurna dan
pasti terjadi. Setiap makhluk memiliki tempat dan kegunaannya masing‐masing. Mereka akan saling
bertemu dan satu sama lain akan saling membutuhkan. Misalnya, kiai mengajarkan kepada santrinya
bahwa jika ada dua orang yang bertamu ke rumah seseorang yang mempunyai seekor kambing
kesayangan, tamu yang satu datang dengan mambawa kulit pisang, sedang tamu yang satu lagi tidak
membawa apa‐apa, maka dengan sendirinya senyuman yang lebih ramah tertuju kepada tamu yang
membawa kulit pisang daripada lamu yang tidak membawa apa‐apa, karena hal itu dengan sendirinya
terkait pada kebutuhan kambingnya yang menyukai kulit pisang. Demikian pula tamsil kiai mengenai
kedudukan santri yang belajar di pesantren, diibaratkan sebagai orang yang berbelanja di pasar
(halaman 129). Semua tamsil‐tamsil tersebut menggambarkan paradigma budaya Jawa dalam
memandang kehidupan13.
Pondok Pesantren Blok Agung dikenal sebagai pesantren yang memusatkan perhatiannya pada
tasawuf dari Imam al‐Ghazali. Kitab Ihya' 'Ulumiddin diajarkan dua kali sehari yang diikuti oleh seluruh
santri. Dua kali sebulan untuk masyarakat lingkar pesantren tingkat kecamatan, dan satu kali setiap selapan
hari atau 38 hari (perhitungan Jawa) untuk masyarakat lingkar pesantren tingkat kabupaten. Pengajian
kitab Ihya' 'Ulumiddin tersebut tamat setiap 3 tahun, meskipun demikian, banyak santri yang mengulang
sampai dua atau tiga periode berikutnya dengan alasan untuk memantapkannya; pengajian diberikan
dalam bentuk bandongan, jadi secara masal. Meskipun madrasah dan sekolah umum yang
diselenggarakan oleh Pondok Pesantren Blok Agung memiliki jam resmi kapan pelajaran harus dimulai,
tetapi hal ini dapat digeser, atau diundurkan mulainya, jika jam pengajian kitab Ihya' 'Ulumiddin yang
diberikan oleh kiai belum selesai. Setiap pagi pengajian kitab ini diberikan dari sesudah subuh sampai
jam 07.00, kemudian dilanjutkan dengan siap‐siap masuk jam sekolah umum pada jam 07.30. Namun
jika pada suatu ketika jam pengajian kitab Ihya' 'Ulumiddin selesai jam 08.00, maka jam pelajaran bagi
sekolah umum tersebut harus diundurkan.
Berkat kuatnya pengajian kitab lhya' 'Ulumiddin tersebut yang diikuti oleh tidak hanya santri Pondok
Pesantren Blok Agung, tetapi juga oleh masyarakat lingkar pesantren sampai tingkat kabupaten, maka
kedudukan Pondok Pesantren Blok Agung di tengah‐tengah masyarakat sangat kuat. Tampaknya
tasawuf yang disampaikan melalui penjelasan‐penjelasan atau tamsil‐tamsil kejawaan cocok dengan
pandangan hidup masyarakat sekitarnya. Masyarakat Banyuwangi tergolong pemeluk agama yang taat
dan menghargai tinggi kiai serta pesantren. Di seluruh daerah Banyuwangi terdapat 99 pesantren dan
tiga ulama terkenal, satu di antaranya K.H. Muchtar Syafaat pimpinan Pondok Pesantren Blok Agung,
yang juga menjadi Mustasyar‐NU untuk daerah Blambangan dan sekitarnya (Jawa ujung timur).
13 Lihat: Neils Mulder, Pribadi dan Masyarakat Di Jawa, Seri Budaya No.3, Sinar Harapan Jakarta, 1985, Bab
II, halaman 34‐71.
54
Kedudukan tersebul menambah kuatnya kehadiran kiai dan Pondok Pesantren Blok Agung di tengah‐
tengah masyarakat.
Peri kehidupan masyarakat lingkar pesantren adalah petani (80%), sebagian kecil (3%) menjadi
pegawai, guru, ABRI dan sebagainya, sebagian besar kedua (17%) adalah pedagang, kerajinan rumah
tangga (membuat batu bata, perabot rumah tangga, dan sebagainya), dan tidak menentu. Pondok
Pesantren Blok Agung dikelilingi oleh keluarga‐keluarga bekas santri atau alumni Pondok Pesantren Blok
Agung, dan di antara mereka (antara pesantren dan masyarakat pesantren tersebut) terdapat pasar
santri, tempat berbelanja antara santri dan masyarakat sekitarnya, dan pasar inilah tampaknya yang
mengilhami kiai, bahwa belajar di pesantren ibaratnya orang yang sedang belanja di pasar; dengan
demikian kontak kultur antara pesantren dan masyarakat sekitarnya sangat akrab; banyak santri yang
mandi dan cuci pakaian di kali yang melingkari desa Blok Agung tersebut, dan dengan demikian juga
terjadi kontak budaya antara santri dan masyarakatnya. Dengan semakin mantapnya kehadiran
pesantren di tengah‐tengah masyarakat, maka masyarakat menjadi bertambah ramai dan
perekonomian masyarakat semakin berkembang. Harga tanah di sekitar pesantren menjadi mahal (Rp
5000 per m2), sedang harga tanah jauh dari pesantren Rp 2000 per m2.
Salah satu ciri Pondok Pesantren Blok Agung dalam kaitannya dengan masyarakat sekitarnya ialah
banyak santri, sekitar 40% dari jumlah seluruh santri (2487 orang) belajar sambil bekerja mencari nafkah.
Pekerjaan mereka bermacam‐macam, di antaranya adalah: ikut mengerjakan sawah penduduk,
membantu bekerja di rumah‐rumah penduduk, seperti membantu membersihkan pekarangan, dan
sebagainya dengan upah ala kadarnya atau ikut menumpang makan, dan sebagainya. Istilahnya "santri"
memiliki mbok∙mbokan yaitu induk semang atau semacam orangtua asuh. Pada saat penelitian ini diadakan,
ada sekitar 300 santri yang mempunyai mbok‐mbokan.
Masih mengenai soal mencari makan tersebut, penduduk desa sudah maklum dan cepat menangkap
gejala, jika mereka melihat santri sedang keluar pondok dan masuk desa untuk mencari dedaunan untuk
sayuran yang dapat dimasak. Hal itu merupakan pertanda bahwa mereka membutuhkan bantuan
makanan; sehingga banyak penduduk yang memberi: singkong, jantung pisang, dan sebagainya; atau
meminta tenaga santri untuk mengerjakan keperluan rumah tangga untuk sekadar mencari jalan
membayar upah santri. Pimpinan pesantren sendiri menyadari hal tersebut, sehingga meliburkan santri
dari kegiatan belajar‐mengajar, terutama mereka yang hanya belajar di jalur pendidikan "pesantren"
dan tidak terikat oleh belajar di madrasah alau sekolah umum, pada musim panen padi, agar mereka
dapat ikut kegiatan panen padi dan memperoleh ongkos. Bahkan kiai sering memberi surat keterangan
jalan bagi santri yang ingin boro, yaitu mencari pekerjaan atau nafkah sampai ke daerah yang jauh
seperti: Jember, Sidoarjo, Surabaya, dan sebagainya.
Gambaran tersebut menunjukkan betapa akrabnya kontak budaya antara pesantren dan
masyarakat sekitarnya, yang dipatri dengan ajaran tasawuf yang cocok dengan mistik Jawa, dan
sekaligus membuka kontak budaya masyarakat desa dengan berbagai budaya daerah atau suku‐suku
yang ada di Indonesia melalui santri.
55
Meskipun demikian, di balik keakraban tersebut, Pondok Pesantren Blok Agung mangandung
potensi yang dapat mengancam hubungan baik tersebut. Secara endogeen: dengan semakin pesatnya
perkembangan jenis pendidikan formal yang diasuh oleh pesantren (madrasah dan sekolah umum)
berarti semakin mendesak jenis pendidikan "pesantren", dan semakin sedikit santri yang hanya belajar
di "pesantren", yang berarti semakin sedikit pula santri yang mampu balajar sambil mancari nafkah,
karena waktu mereka semakin tidak longgar sebab secara struktur formal terikat dengan rencana
pelajaran di sekolah atau madrasah dan semakin banyak santri yang tergantung pada kiriman uang dari
rumahnya. Hal tersebut berarti semakin mengurangi frekuensi waktu dan kedalaman berintegrasi
dengan masyarakat sekitarnya; dan secara exogeen masyarakat desa sendiri juga semakin dituntut
menghadapi persaingan hidup yang semakin tajam dan komersial, serta semakin memerlukan tempo
yang semakin tinggi atau cepat.
Kedua hal tersebut terasa semakin menggeser kedudukan dan peran pesantren dari pro aktif,
yaitu aktif membimbing dan membina masyarakat, menjadi reaktif, yaitu mereaksi apa yang terjadi di
masyarakat dalam rangka menjaga identitasnya, antara lain dengan jalan menyeleksi pergaulan santri
dengan masyarakat sekitarnya, lebih berhati‐hati dan lebih ketat agar tidak terpengaruh oleh hal‐hal
negatif yang datang dari masyarakat sekitarnya. Sebenarnya hal seperti ini dihadapi oleh semua
pesantren dalam menghadapi tantangan kehidupan yang semakin tajam, kompleks, dan komersial
akibat dampak global dari modernisasi, dan tampaknya dunia pesantren belum siap dengan konsepsi
integrasi baru.
c.2. Lingkungan kehidupam masyarakat dalam pesantren
Situasi kehidupan dalam Pondok Pesantren Blok Agung antara lain dapat digambarkan sebagai
berikut: luas kampus pesantren ada sekitar 4,5 ha, di atasnya berdiri sejumlah bangunan: 1 mesjid, 4
musala, 5 dapur umum, 5 kantor, 19 asrama, 3 toko kelontong dan buku‐buku, 4 warung makanan, 39
wc, 1 kantor pengembangan masyarakat, 12 kamar mandi, 6 gedung madrasah, 2 gedung diesel, 1
makam, 1 perbengkelan, dan 1 ruang perpustakaan (menempati sebagian ruang dalam kantor).
Pengasuh: pimpinan tunggal: 1 orang kiai, dibantu oleh 2 orang kiai dan sejumlah ketua‐ketua
bagian: (1) pendidikan dan pengajaran, (2) kesejahteraan santri, (3) badan pengembangan amil zakat, (4)
humas, (5) keamanan dan ketertiban, (6) protokoler dan tamu, (7) pesantren putri, (8) pesantren putra,
(9) keterampilan, dan (10) pengembangan sosial dan teknologi; dan sejumlah kepala sekolah serta guru‐
guru atau ustaz, baik yang mengajar di Sekolah Umum, Madrasah atau Diniyah.Jenis‐jenis pendidikan
yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Blok Agung adalah: (a) Diniyah: khusus belajar agama, terdiri
56
atas: Awaliyah (dasar), Wusta (menengah) dan 'Ulya (atas). (b) Sekolah kurikulum14. Taman kanak‐
kanak, Sekolah Menengah Ekonomi tingkat Atas, Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah, dan (c) Takhassus:
yaitu khusus mengaji Alquran, Hadis, dan Kitab‐kitab kuning. Pada jalur pendidikan diniyah masih
diberikan pelajaran umum, sekitar 5%, sedang jalur takhassus, 100% pelajaran agama.
Jumlah seluruh santri ada 2487 orang, terdiri atas 1584 putra dan 903 putri, 150 guru, terdiri
atas 108 putra dan 42 putri.
Penyelenggaraan sekolah dilaksanakan secara terpisah antara kelas putra dan kelas putri.
Hampir semua santri tinggal di pesantren, kecuali murid TK atau shifir dan beberapa santri yang
rumahnya sangat berdekatan dengan pesantren Ukuran kamarnya sedang, sekitar 3x4 m dihuni oleh
sekitar 7‐8 orang, sehingga keadaan sangat padat. Keunikan dari sejarah pembangunan gedung‐gedung
Pondok Pesantren Blok Agung ini ialah semua gedung‐gedung dan sejak menggali tanah, membuat batu
bata, dan seterusnya sampai bangunan berdiri (selesai) dikerjakan oleh santri, kecuali hal‐hal tertentu
yang memang membutuhkan tukang ahli. Pesantren sudah mempunyai langganan tukang. tukang ahli
dari desa setempat. Para penduduk sekitar bergiliran membantu tenaga; yang tidak sempat
menyumbangkan tenaga, membantu bahan bangunan, sedang bagi yang merasa kurang mampu,
membantu makanan untuk orang‐orang yang sedang bekerja. Masyarakat berpandangan bahwa
membantu santri dan pesantren, berarti amal ibadah, karena membantu orang yang sedang berjuang
menuntut ilmu.
Dengan ikut sertanya santri dan masyarakat membangun pesantren maka mereka merasa ikut
memiliki pesantren. Mengenai situasi kehidupan santri sehari‐hari dalam pesantren adalah sebagai
berikut:
14 Mereka memakai istilah “sekolah kurikulum” untuk menyatakan jenis pendidikan formal, baik yang
berbentuk madrasah maupun sekolah umum, karena sekolah‐sekolah ini memakai kurikulum resmi.
57
Jadwal hidup keseharian santri selama 24jam
Pondok Pesantren Blok Agung
No J a m Kegiatan
1.
2.
03.30-04.30
05.00-06.00
Bangun tidur, siap menuju mesjid, salat Sunah, membaca Alquran, puji-pujian kepada Tuhan, selawat Nabi, dan sebagainya. Salat berjemaah dengan diimami oleh kiai.
Belajar secara Bandongan: Alquran, Fikih dasar, Ta'lim muta 'allim, Fathul Mu’in, Durratun nasihin, Tijan Daruri (tauhid), dan sebagainya. Dilakukan di serambi mesjid pondok masing-masing dengan bimbingan ustaz sesuai dengan program masing-masing.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
07.00-08.00
08.00-13.00
13.00-14.00
14.00-16.00
16.00-16.30
16.30-17.30
17.30-18.30
18.30-19.00
19.00-20.00
Mengaji kitab lhya' 'Ulumiddin (al-Ghazali) langsung oleh kiai, dan diikuti oleh seluruh santri. Pengajian ini tamat setiap 3 tahun sekali.
Jam belajar di madrasah dan sekolah umum, kecuali yang tidak mengikuti sekolah formal, terus mengaji sampai jama 10.00 (membaca Alquran atau kitab latin).
Siap salat Zuhur berjemaah dengan didahului dan diakhiri puji-pujian, salat
sunat dan doa-doa.
Masuk Sekolah Diniyah Ula, Wustho dan Ulya. Shifir masuk pagi. Dilanjutkan siap-siap salat Asar berjemaah di mesjid.
Salat Asar berjemaah di mesjid diimami oleh kiai.
Pengajian kitab Ihya' 'Ulumiddin (al-Ghazali) lanjutan pagi hari, oleh kiai. Bagi
anak-anak sekolah diniyah tingkat Ula, mengadakan taqrar (mengulang dan menghafal pelajaran).
Istirahat, siap-siap salat Magrib berjemaah di mesjid. Dengan membaca puji-pujian dan selawat Nabi.
Salat Magrib berjemaah, diimami oleh kiai; diakhiri wirid, doa-doa dan salat sunat.
Mengaji tafsir Alquran, dipimpin oleh anak kiai, calon pengganti kiai di masa mendatang. Bagi mereka yang tidak mengikuti (karena programnya berbeda), melakukan sorogan, mempelajari kitab tertentu sesuai dengan program masing-masing di bawah bimbingan masing-masing ustaz.
58
12.
13.
20.00-20.30
20.30-22.30
Salat isya berjemaah. Didahului dan diakhiri salat sunah, puji-pujian, salawat nabi, wirid dan do’a.
Mengadakan taqrar pelajaran masing-maasing di bawah bimbingan santri senior di serambi mesjid dan pondok pesantren masing-masing; kemudian dilanjutkan dengan sorogan atau bandongan. Bagi mereka yang sudah belajar di tingkat Ulya (dewasa) pengajian dilanjutkan sampai pukul 24.00.
Mengiringi jadwal kegiatan tersebut, berikut ini adalah tata tertib pesantren, yang antara lain
berisi butir‐butir sebagai berikut:
1. Sebelum jam 22.00 santri tidak boleh masuk kamar. Mereka harus belajar atau mengikuti program‐program kegiatan seperti tersebut di atas.
2. Setiap Senin dan Kamis malam tidak ada kegiatan seperti tersebut di atas. Tetapi diagnti dengan kegiatan blajar sendiri. Melakukan taqrar atau lalaran (mengulang dan menghafal): Imriti, alfiyah, sarf, balagah, berzanji, selawat Nabi, dan belajar praktik peribadatan lain sesuai dengan keperluan.
3. Jumat: hari libur; diisi dengan kegiatan‐kegiatan lain selain belajar. Dari jam 06.30‐08.00 melakukan kerja bakti yang disebut ro'an, misalnya melakukan kebersihan umum, melakukan perbaikan‐perbaikan, dan sebagainya yang semuanya ditujukan untuk kepentingan pesantren (bukan masing‐masing) kamar.
4. Di samping kelompok kerja ro 'an tersebut, di Pondok Pesantren Blok Agung dibentuk kelompok kerja negaran, yaitu kelompok kerja khusus dan tetap untuk memelihara kebersihan dan perbaikan gedung‐gedung, dan sarana‐sarana pesantren. Mereka ini hanya belajar agama saja (program takhasus) dan hidup mereka dijamin oleh pesantren. Tujuan mereka untuk mengaji, mengabdi kepada kiai, atau ngalap berkah kiai.
5. Setiap hari Jumat dari jam 08.00‐10.00 (sesudah kerja ro'an) diadakan kursus bahasa Arab, Inggris, dan PKK bagi santri putri. Sesudah salat Jumat mereka belajar seni baca Alquran, dan pada malam harinya belajar pidato.
6. Santri Blok Agung memasak sendiri. Bagi yang kebetulan tidak ikut program‐program pengajian tertentu, memasak untuk teman‐teman yang tidak sempat, karena mengikuti pengajian. Hal ini mereka lakukan secara bergantian.
7. Terdapat 3 larangan yang dengan keras ditekankan dalam tata tertib pesantren (a) dilarang mencuri, (b) dilarang berkelahi, (e) dilarang menghina, menertawakan atau mengolok‐olok teman yang kurang pandai,
8. Santri harus minta izin dan melapor bila meninggalkan dan kembali ke pesantren, membayar iuran dan sebagainya.
Laporan lingkungan hidup pesantren tersebut menggambarkan suasana kehidupan di pesantren
yang sangat mencekam oleh disiplin kehidupan fikih sufistik yang tinggi. Pada waktu penelitian ini
diadakan, terdapat sekitar 250 orang sedang melakukan puasa dala’il, yaitu puasa terus‐menerus selama
tahun tamat. Banyak di antara mereka yang meneruskan sampai ke periode kedua, ketiga dan
59
seterusnya, sehingga ada di antara mereka yang sudah menginjak tahun keempat, kelima dan
seterusnya.
Kecuali itu juga terdapat sekitar 20‐30 orang melakukan puasa 40 harian tamat, sekitar 25‐30 orang
melakukan puasa ngrowot, yaitu puasa tanpa batas. tetapi boleh makan makanan tertentu saja seperti
nasi putih atau buah‐buahan saja, dan hanya dua orang yang diketemukan (dalam waktu penelilian ini)
berpuasa mbisu, yaitu tidak mau berbicara pada saat berpuasa.
Bacaan yang dibaca selama puasa dala’il, dan puasa‐puasa seperti tersebut di atas adalah berisi
puji‐pujian kepada Tuhan, mohon ampunan‐Nya, dan do’a serta selawat Nabi Muhammad. Mereka yang
melakukan puasa‐puasa sunnah seperti tersebut di atas, mempunyai "guru‐guru" mistis sendiri‐sendiri
yang berada di luar kampus pesantren, yang dulu juga belajar di Pondok Pesantren Blok Agung. Dengan
demikian, suasana fikih‐sufistik tidak hanya terdapat dalam kampus pesantren, tetapi juga di masyarakat
lingkar pesantren. Program‐program nonagama seperti: olah raga, seni, dan keterampilan tampaknya
kurang berjalan lancar, kecuali pramuka dan pelajaran PKK bagi santri putri.
Suasana fikih‐sufistik di Pondok Pesantren Blok Agung tersebut di atas sangat berbeda dengan
apa yang berjalan di 2 pesantren sebelumnya (Pondok Pesantren Guluk‐Guluk dan Sukorejo), bahkan di
Pondok Pesantren Sukorejo santri dilarang puasa selama belajar, padahal pimpinan mereka datang dari
kelompok yang sama, yaitu sama‐sama pimpinan NU, mengikuti paham teologi dan mazhab yang sama,
tetapi mereka berbeda dalam pendidikan, pengalaman dan tipe budaya agama.
Dari gambaran mengenai situasi hidup keseharian selama 24 jam dari tahun ke tahun dan tata
tertib yang harus dipatuhi seperti tersebut di atas, jelas sekali bahwa cara belajar dengan menghafal,
menguasai materi belajar secara kognitif, dan sifat belajar yang mekanistis, tampak mendominasi cara
belajar di pesantren. Sebaliknya juga tampak bahwa santri secara intensif telah dikenalkan dengan
kehidupan masyarakat sekitarnya melalui cara hidup yang fikih‐sufistik, dilatih mandiri, dan ikut serta
dalam membangun pesantrennya. Meskipun demikian, seperti di dua pesantren terdahulu, hal‐hal yang
bersifat duniawi juga terasa tersisih dibandingkan dengan hal‐hal yang ukhrawi. Semuanya ini akan
melahirkan sikap hidup yang tawakal, berserah dan menyesuaikan diri dengan keadaan.
d. PP Tebu Ireng
d.l. Lingkungan kehidupan masyarakat luar pesantren
Pondok Pesantren Tebu Ireng terletak di desa Tebu Ireng, Kecamatan Diwek, Kabupaten jombang.
jarak pesantren dengan kota kabupaten sekitar 8 km. Lokasi pesantren terletak di pinggir jalan raya:
Surabaya: Jombang‐Pare‐Kediri. Dengan semakin berkembangnya daerah perkotaan jombang dan
semakin ramainya kendaraan yang menghubungkan kota‐kota tersebut, maka Pondok Pesantren Tebu
Ireng praktis berada dalam lingkungan perkotaan. Setiap saat santri dapat bergerak ke pusat‐pusat kota.
60
Dalam waktu 10 menit mereka dapat mencapai jombang, dan dalam waktu kurang dari 2 jam mereka
dapat mencapai Surabaya atau Kediri, dan sebagainya.
Meskipun demikian mata pencaharian penduduk desa Tebu Ireng: sebagian besar (70%) petani
padi, dalam waktu‐waktu tertentu sawahnya disewakan untuk tanaman tebu, karena di desa Cukir,
tetangga sebelah desa Tebu Ireng, terdapat pabrik gula. Dengan demikian selama musim tanam tebu
penduduk mengalihkan perekonomian dari tani padi ke berbagai macam kegiatan perekonomiannya:
dagang, mengolah pekarangan, dan kegiatan‐kegiatan lainnya yang tidak menentu. Sebagian kecil (5%)
menjadi pegawai negeri, guru, ABRI, dan sebagainya, dan sebagian besar kedua (25%): tidak menentu,
pedagang kecil, jual tenaga, menganggur, dan sebagainya. Dengan demikian PP Tebu Ireng sebenarnya
berada dalam wilayah budaya agama "Pedalaman‐Perkotaan", bukan "Pedalaman‐Pedesaan"
sebagaimana PP Blok Agung.
Sampai saat ini daerah Kabupaten Jombang masih tekenal sebagai pusat konsentrasi pesatnren.
Keempat pintu masuk kota Jombang dijaga oleh 4 pesantren terkenal berskala nasional, sebelah utara:
Pondok Pesantren Tambak beras, berjarak sekitar 3 km dari pusat kota Jombang; sebelah timur: Pondok
Pesantren Darul Ulum, berjarak sekitar 7 km; sebelah selatan: Pondok Pesantren Tebu Ireng, berjarak
sekitar 7 km; sebelah barat: Pondok Pesantren Denanyar, berjarak sekitar 1,5 km. keempat pesantren
ini merupakan satu aliran, tergabung dalam kelompok NU.
Pondok Pesantren Tebu Ireng sendiri juga dikelilingi pesantren‐pesantren lain yang cukup
dikenal dalam skala nasional, antara lain: Pondok Pesantren Cukir, Pondok Pesantren Seblak, Pondok
Pesantren Tahfiz Alquran, khusus untuk mendalami dan menghafal Alquran, Pondok Pesantren
Masruriyah dan Pondok Pesantren Kwaron. Kelima pondok pesantren ini sebenarnya merupakan satu
keluarga dengan Pondok Pesantren Tebu Ireng, dan pimpinan mereka mempunyai hubungan darah
(keluarga) satu dari yang lain (saudara sepupu, saudara ipar, dan sebagainya), tetapi mereka berdiri
sendiri‐sendiri secara otonom, baik dalam hal bertindak ke luar maupun ke dalam, jadi Pondok
Pesantren Tebu Ireng bukan merupakan "Pesantren Federal" sebagaimana Pondok Pesantren Guluk‐
Guluk.
Sejak beberapa tahun terakhir ini, sekitar 10‐15 tahun yang lalu, popularitas Kabupaten
Jombang sebagai daerah konsentrasi pesantren mulai berkurang. Hal ini disebabkan dinamika
masyarakat luar pesantren yang semakin menuju ke watak masyarakat industri dengan kebutuhan
model pendidikan yang semakin massive, formal, dan standard. Pertumbuhan jenis‐jenis pendidikan
formal, baik dalam bentuk madrasah maupun sekolah umum, berjalan lebih cepat daripada jenis
pendidikan model "pesantren", Di dalam pesantren sendiri: kedudukan madrasah dan sekolah umum
mendominasi pendidikan pesantren. Hal yang seperti ini sesungguhnya tidak hanya dihadapi oleh
Pondok Pesantren Tebu Ireng sendiri, tetapi oleh hampir seluruh pesantren, sehingga seperti
dikemukakan di muka, dunia pesantren dewasa ini sedang dalam dinamika antara memantapkan
identitas dan berkomunikasi secara terbuka.
61
d.2. Lingkungan kehidupan masyarakat dalam pesantren
Situasi kehidupan Pondok Pesantren Tebu Ireng dapat digambarkan sebagai berikut: luas kampus
pesantren 7 ha, letaknya agak terpencar sehubungan dengan perluasannya melalui beberapa tahap,
dengan jalan membeli tanah penduduk sekitar pesantren. Di atas tanah ini berdiri bangunan‐bangunan:
1 mesjid, l rumah kiai (pimpinan), 14 pondok atau asrama santri dengan jumlah kamar 140, berukuran
rata‐rata 4x5 m. Jumlah santri menetap di pesantren 1555 orang15, jadi kepadatannya sangat tinggi,
rata‐rata per kamar dihuni 11‐12 orang; 6 gedung madrasah dan sekolah, 1 gedung perpustakaan, 1
keamanan, 2 toko barang kebutuhan santri, 1 bank (BRI), dan 1 kompleks bangunan universitas yang
terdiri atas Fakultas: Syari’ah, Dakwah, dan Tarbiyah, dan sejumlah ruangan‐ruangan lainnya.
Adapun rumah‐rumah pengasuh para kiai dan ustaz, serta beberapa musala terletak di luar
pagar kampus, jadi berada di masyarakat sekitar. Meskipun demikian suasana masyarakat di sekitar
kampus terasa seperti uasana dalam satu kampus pesantren, di samping karena dekat dengan
pesantren, juga karena adanya pesantren‐pesantren kecil lainnya yang mengelilingi Pondok Pesantren
Tebu Ireng seperti tersebut di muka, dan banyak santri yang mondok atau kontrak rumah, serta adanya
rumah‐rumah kiai, ustaz dan karyawan, di tengah‐tengah mereka (masyarakat).
Berbeda dengan kampus‐kampus pesantren lainnya, seperti Pondok Pesantren Guluk‐Guluk,
Sukorejo dan Gontor, pada kampus Pondok Pesantren Tebu Ireng perumahan kiai, santri, dan ustaz
berada di luar pagar pesantren. Dengan letak perumahan yang demikian itu, ditambah dengan adanya
jalan raya yang menghubungkan pesantren dengan pusat‐pusat keramaian kota seperti diuraikan di
muka, di mana kondisi geografis Pondok Pesantren Tebu Ireng sangat terbuka dan mobilitas fisik sangat
tinggi, kampus pesantren membaur dalam dinamika kehidupan yang bercorak pinggiran kota.
Jenis pendidikan yang diselenggarakan oleh Pondok Pesantren Tebu lreng adalah "Pesantren",
Madrasah, dan Sekolah Umum. Pelaksanaan pendidikan diselenggarakan secara terpisah antara kelas
putra dan putri.
Pergaulan antara anak putra dan putri lebih longgar bila dibandingkan dengan pergaulan santri
putra dan putri di Pondok Pesantren Guluk‐Guluk, di mana di Pondok Pesantren Guluk‐Guluk sampai‐
sampai ada 'Jalan wanita" dalam kampus pesantren, artinya hanya boleh dilalui oleh santri putri, sedang
santri putra dilarang. Sebaliknya di dalam kampus Pondok Pesantren Tebu Ireng, anak laki‐laki lebih
mudah bertemu dengan anak perempuan dalam pergaulan hidup keseharian, sebagaimana layaknya
dalam kehidupan masyarakat kota. Tentu saja semuanya ini dalam batas‐batas tata tertib pesantren.
Santri menyiapkan kebutuhannya sendiri, seperti mengurus makan, tetapi pada umumnya
mereka tidak memasak sendiri, melainkan langganan di warung atau indekos di rumah penduduk
15 Jumlah santri pada saat penelitian ini ada 2522 orang, yang tinggal dalam pesantren (santri mukim): 1552 orang, yang 970 orang mondok atau menyewa kamar pada penduduk kampung, beberapa diantaranya pulang kerumah sendiri (santri kalong).
62
sekitar; hanya sebagian kecil yang memasak sendiri. Mereka tidak membuat pondok sendiri
sebagaimana santri dari Pondok Pesantren Guluk‐Guluk, atau tidak ikut membangun pesatrennya
sebagaimana santri dari Pondok Pesantren Blok Agung, santri Pondok Pesantren Tebu Ireng datang
mondok ke pesantren, dan jika ternyata kamar‐kamar sudah penuh mereka mencari pondokan ke
rumah‐rumah penduduk sekitar pesantren.
Pondok Pesantren Tebu Ireng diasuh oleh pimpinan pesantren yang bertindak sebagai direktur
pesantren yang sekaligus pemilik pesantren, dan didampingi oleh suatu dewan kiai (lihat halaman 75‐
76). Dewan kiai inilah yang menjadi penjaga nilai agama dan mengajar kitab‐kitab kuning pada santri.
Adapun jadwal kehidupan santri dalam keseharian adalah:
Jadwal hidup keseharian santri selama 24 jam
Pondok Pesntren Tebu Ireng
No. J a m Kegiatan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
04.30-05.00
05.00-06.30
06.30-07.00
07.00-12.30
12.30-13.00
13.00-14.00
14.00-16.00
16.00-16.30
16.30-17.30
17.30-18.00
18.00-19.00
19.00-19.30
Salat Subuh didahului dengan salat sunah, atau membaca puji-pujian kepada Tuhan dan selawat Nabi.
Mengaji kitab kuning sesuai dengan kebutuhan dan tingkat, dibimbing oleh kiai, ustaz atau santri senior, diselenggarakan di mesjid, menurut jadwal.
Siap-siap masuk sekolah formal (madrasah atau sekolah umum).
Jam belajar di sekolah formal.
Salat Zuhur berjemaah di mesjid.
Istirahat siang
Mengaji kitab kuning di mesjid, dilanjutkan dengan salat Asar (sesuai dengan jadwal)
Salat Asar
Mengjai kitab kuning sesuai dengan jadwal
Istirahat, persiapan salat Magrib
Sorogan Alquran, dibimbing oleh kiai, atau ustaz atau santri senior
Salat Isya berjemaah di mesjid
Semua santri diwajibkan mengikuti jam Mutala’ah ( menghafal
63
13.
14.
19.30-21.00
21.00
atau mengulang pelajaran)
Semua santri sudah harus berada dalam kampus. Pintu masuk pesantren ditutup dan dibuka lagi jam 04.00 untuk memberi kesempatan masyarakat luar salat subuh.
Melengkapi jadwal kegiatan tersebut, santri berkewajiban melaksanakan tata tertib
pesantrcn. antara lain:
(1). Setiap santri diwajibkan mengaji paling sedikit empat kitab.
(2). Setiap Kamis dan Senin malam: libur. Pada waktu‐waktu tertentu diadakan acara
khusus untuk mengaji kitab tertentu yang dibacakan oleh santri senior dengan bimbingan
kiai.
(3) Mengikuti kerja bakti (ra’an) setiap hari Jum’at pagi. Sanksi terberat atas suatu
pelanggaran akan dipulangkan (dikeluarkan dari pesantren) yang paling ringan
diperingatkan.
Kecuali itu santri membentuk organisasi‐organisasi daerah menurut daerahnya masing‐
masing, misalnya Ikatan Santri Madura, Organisasi Pelajar Islam Malang, Banyuwangi, Surabaya,
Kediri, Madiun, Jember, Cirebon, dan sebagainya. Kegiatan‐kegiatan mereka antara lain: belajar
pidato, memperingati hari‐hari besar Islam, menyelenggarakan berbagai kursus, Musabaqah
Tilawatil Quran, Dakwah, dan sebagainya.
Selain organisasi daerah, santri juga tergabung dalam organisasi OSIS (Organisasi Siswa
Intra Sekolah), dan Organisasi Kompleks, yaitu organisasi menurut kompleks kamar‐kamar
pondokan mereka. Di samping organisasi yang bersifat studi, santri juga membentuk
perkumpulan‐perkumpulan olah raga seperti sepak bola, bola voli, bulu tangkis, catur, dan
sebagainya.
Suasana dalam kehidupan Pesantren Tebu Ireng terasa lebih longgar dan mobile, sesuai
dengan corak kehidupan urban. Pakaian santri sehari‐hari tampak tidak jauh berbeda dengan
pakaian pelajar‐pelajar umum: pakai celana, baju lengan pendek atau panjang, sepatu, tidak
selalu pakai peci, dan sebagainya. Santri putri memakai jilbab, seperti juga jilbab yang dipakai
oleh siswi sekolah umum. Banyaknya santri yang tinggal atau mondok di luar pagar pesantren dan
banyaknya ustaz serta kiai yang juga tinggal di luar pagar pesantren, dan mudahnya mencapai
pusat‐pusat kota, menyebabkan santri‐santri pesantren lebih terbuka untuk bergerak (mobile)
dan menjalin hubungan dengan pihak lain di luar pesantren, sehingga perilaku santri dalam
64
keseharian juga tidak banyak berbeda dengan perilaku pelajar umum. Gambaran bahwa santri
tunduk secara penuh di hadapan guru sebagaimana digambarkan dalam kitab Ta'lim Muta 'allim
dan laporan‐laporan dari pesantren lain sebagaimana dilukiskan oleh Jamil Suherman (halaman
35) di muka, tidak dijumpai lagi di pesantren Tebu Ireng. Suatu hal yang menarik untuk dicatat
dalam kaitannya dengan tata kehidupan modern ialah di dalam Pondok Pesantren Tebu Ireng
terdapat Bank Rakyat Indonesia (BRI). Kelahiran lembaga perbankan di tengah‐tengah dunia
pesantren, apalagi kelompok pesantren salaf seperti Tebu Ireng ini merupakan hal baru yang
cukup menarik perhatian, sebab saat ini dipertanyakan di kalangan umat Islam: apakah bunga
bank identik dengan riba atau tidak, sedang riba dalam Islam hukumnya jelas haram. (Lihat
laporan mengenai struktur Organisasi Tebu Ireng di muka).
Apa yang dapat diperoleh dari analisis mengenai lingkungan pesantren Tebu Ireng untuk
dikembangkan dalam perspektif sistem pendidikan nasional adalah (I) adanya dewan kiai yang
berusaha mempertahankan identitas pesantren di dalam menangkis dampak negatif dari
modernisasi. Tetapi tampaknya hal ini akan mengalami kesulitan karena mereka mempergunakan
metode tradisional, yaitu hafalan dan pengajian yang diberikan secara masal. (2) "Keberanian"
Pondok Pesantren Tebu Ireng melakukan kontak terbuka dengan sistem lain di luar dirinya, yaitu
dengan memasukkan lembaga perbankan merupakan salah satu indikator tata ekonomi modern
ke dalam dunia pesantren. Hal ini perlu memperoleh elaborasi lebih mendalam karena dapat
berdampak jauh dalam rangka meletakkan sendi‐sendi pembaruan pemikiran dalam Islam, yang
pada akhirnya akan mempengaruhi pemikiran dalam merencanakan pendidikan Islam.
e. PP Paciran
e.1. Lingkungan kehidupan masyarakat luar pesantren
Pesantren ini terletak di desa Paciran, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan. Karena
nama Paciran selain sebagai nama desa juga menjadi nama kecamatan, maka desa Paciran
sesungguhnya merupakan daerah pinggiran perkotaan. Daerah pesisir umumnya merupakan
daerah konsentrasi keagamaan yang 1ebih kuat dibandingkan dengan daerah pedalaman. Di
dalam desa Paciran sendiri terdapat banyak perguruan. Empat di antaranya adalah berupa
pesantren: (1) Pondok Pesantren Muhammadiyah Karang Asem, yang dikenal sebagai Pondok
Pesantren Paciran (yang menjadi objek penelitian), (2) Pondok Pesantren Maza'aratul, (3) Pondok
Pesantren modern Muhammadiyah Paciran, dan (4) Pondok Pesantren Al‐Alamin. Letak mereka
saling berdekatan satu sama lain (terletak dalam satu gang kecil, sepanjang sekitar 1,5 km). jadi
dalam satu gang tersebut terdapat 2 pesantren Muhammadiyah. Selain itu, di desa Paciran juga
terdapat: 1 SMP Negeri, 5 SMP Swasta, 1 SMA Negeri, 4 SMA Swasta, dan 2 SD Negeri: SD Negen I
dan SD Negeri II.
Komposisi lapangan kerja penduduk adalah: 45% tani dan buruh tani 40% nelayan dan
buruh nelayan, 5% pegawai negeri, ABRI, dan sebagainya, 3% kerajinan, dan 22% lain‐lain, tidak
65
menentu. Perekonomian masyarakat sekitar pesantren (dalam radius kurang lebih 2 km dari
pesantren) miskin, pekerjaan mereka pada mumnya nelayan kecil, penambang batu Kapur bahan
membuat kaca (dhalmite), penggaduh sapi dan kambing, rata‐rata 3∙4 ekor di setiap rumah
tangga, pengangkut batu‐batu kapur, pedagang eceran dan sebagainya
Hubungan pesantren dengan masyarakat sekitar baik; antara kampus pesantren dan
masyarakat sekitar tidak dibatasi oleh suatu pagar atau tembok pembatas. jadi tidak ada garis
batas antara pesantren dan masyarakat sekitarnya. juga hubungan keempat pesantren terletak
dalam satu gang Jalan yang hanya sepanjang 1,5 km, tampak saling menghargai satu sama lain.
Berbeda dengan kelima pesantren terdahulu, status kelembagaan Pondok Pesantren
Paciran berada langsung dalam organisasi Muhammadiyah. dan secara resmi garis
kepengurusannya berada langsung di bawah kebijakan Majelis Pendidikan dan Pengajaran
Muhammadiyah Pusat. Pondok Pesantren Paciran ini merupakan salah satu tempat kelahiran
kader‐kader Muhammadiyah.
e.2. Lingkungan kehidupan masyarakat dalam pesantren
Suasana kehidupan dalam Pondok Pesantren Paciran antara lain dapat digambarkan sebagai
belikut: luas kampus pesantren 3,5 ha, di atasnya terletak sejumlah bangunan‐bangunan: 1
mesjid , 5 rumah pengasuh, 5 lokal asrama putra, 5 lokal asrama putri, 1 musala putri, 7 lokal
gedung sekolah atau ruang belajar, 1 kantor dan perpustakaan, 1 aula, 1 gedung Fakultas Syari’ah
(Hukum), cabang dari Universitas Muhammadiyah Malang, dan sejumlah bangunan lain seperti:
kamar mandi, kamar kecil, sumur, dan sebagainya
Jumlah santri saat ini ada 2442 orang, terdiri atas 1166 putra dan putri, 35% (854)
menetap di pesantren (santri mukim), 65% (1158) pulang ke rumah (santri kalong); 231 guru,
terdiri atas 197 laki‐laki dan 34 wanita. Jenis dan jenjang pendidikan yang diasuh adalah: (a)
madrasah dari tingkat Bustanul Atfal (TK) sampai Aliyah, dan Fakultas Syariah yang langsung
diurus oleh Universitas Muhammadiyah Malang dan (b) Sekolah Umum meliputi SMP dan SMA.
Sehubungan dengan statusnya sebagai pesantren Muhammadiyah, maka corak pendidikannya
mengikuti pola yang ditetapkan oleh Muhammadiyah yang berlaku menyeluruh secara nasional
dari pusat sampai ke cabang‐cabang dan ranting‐ranting Muhammadiyah.
Suasana kehidupan belajar‐mengajar di dalam kampus lebih menunjukkan corak
keperguruan (pendidikan formal) daripada kepesantrenan (pendidikan nonformal). Corak
keperguruan itu antara lain tampak pada cara‐cara berpakaian seperti seragam sekolah, dan
hubungan antara santri dan ustaz seperti hubungan antara murid dan guru pada sekolah‐sekolah
formal yang antara lain ditandai dengan situasi tanya jawab atau dialog di antara mereka, hahkan
pergaulan antara santri dan ustaz‐ustaz muda sering akab sebagai teman sepergaulan, bahkan
santri sering tampak mengajukan usul‐usul dan protes jika ia merasa tidak di perlakukan secara
66
adil. (Lihat kasus protes seorang santri pada halaman 71‐72). "Protes" seorang santri terhadap
kiai dalam dunia pesantren merupakan hal yang sangat menarik perhatian, dan sekaligus
merupakan tanda adanya gejala pergeseran nilai, yang dalam hal ini "berani" melawan kiai. Tetapi
peristiwa semacam itu terasa "tabu" di kalangan pesantren salaf (lama) dan pesantren‐pesantren
lain pada umumnya. Selain itu, peristiwa tersebut juga menunjukkan adanya suatu pergeseran
nilai kependidikan: dari nilai semata‐mata belajar, juga mebcari ijazah negeri untuk mengejar
karier selanjutnya. Suasana kegiatan belajar‐mengajar di Pondok Pesantren Paciran sehari‐hari
tercermin dalam jadwal kehidupan mereka sehari‐hari sebagai bcrikut:
Jadwal hidup keseharian santri selama 24jam
Pondok Pesantren Paciran
No Kegiatan Waktu Peserta didik Pembina
I. Pendidikan Sekolah 07.00‐12.40 SMTP‐SMTA Kepala Sekolah
13.30‐17.20 Ibtidaiyah Kepala Sekolah
Fak. Syariah Fakultas
2. Bimbingan membaca 05.00‐06.00 Santri putra Ustaz muda
Alquran dari SD ‐ SMP (Iaki‐laki)
15.00‐17.30 Santri putra Ustaz muda
Tsanawiyah (laki‐Iaki)
18.00‐19.30 Santri putri Ustaz muda
Ibtidaiyah, (putri)
Tsanawiyah, SMP
67
No Kegiatan Waktu Peserta didik Pembina
3. Tahfidzul 06.00-08.00 Santri SMTP, Kiai (penga-
Quran Fak. Syariah suh utama)
4. Tafsir Alquran 05.00-06.00 Santri putra Kiai (wakil
SMTP-SMTA pengasuh)
15.00-17.00 Santri putri Ustaz
5. Kursus Bahasa Arab 18.30-19.30 Semua santri Ustaz
(putra-putri)
6. Mengaji kitab 14.30-18.00 Santri dari Guru kelas
( Riyadussalihin/ SMTP-SMTA
Bulugul Maram) (putri)
7. Mengaji Alfiyah 12.00-13.00 SMTA (putra) Wakil pengasuh
(Nahu)
8. Bidayatu.l Mujtahid 19.30-21.30 Fak. Syariah Wakil pengasuh
9. Olah raga 15.00-17.00 Semua santri Klub masing-
masing
10. Muhadarah 18.00-20.00 Semua santri Kelompok studi
(setiap ma-
lam senin
dan Selasa)
11. Madrasah 18.00-21.00 Semua santri Kelompok
belajar
12. Pramuka Setiap Jumat Semua santri Pramuka
13. Mengaji Hadis 15.00-16.30 Santri SMTA, Kiai kil
putri Pengasuh
14. Mengaji Alfiyah 18.00-10.30 Santri putri, Kiai W kil
SMTA pengasuh
15. Kursus, PKK, Jahit 07.00- 11.00 Kelompok Kelompok
dan sebagainya peserta belajar
16. Pencak Silat I9.00-22.00 Kelompok Kelompok
peserta belajar
68
Dari jadwal kegiatan tersebut jelas tergambar bawha Pondok Pesantren Paciran lebih
menekankan kegiatan belajar‐mengajar ilmu pengetahuan agama di ruang‐ruang kelas dan
melalui kegiatan kursus‐kursus. Hal ini berbeda dengan kegiatan‐kegiatan kelima pesantren
terdahulu yang banyak memusatkan kegiatan peribadatan di mesjid.
Pada saat salat Jumat di mesjid (Pondok Pesantren Paciran), banyak penduduk sekitar
yang mengikuti salat jemaah. Seperti disebutkan di muka, dengan tidak adanya pagar pembatas
geografis yang membatasi kampus pesantren dengan masyarakat sekeliling, sangat memudahkan
penduduk setempat menuju mesjid, karena dengan tidak adanya batasan tersebut praktis
perkampungan mereka masuk ke dalam kampus pesantren. Sesungguhnya, banyaknya orang dari
masyarakat yang ikut salat di mesjid pesantren, terjadi pada semua pesantren, karena mesjid
pesantren adalah juga mesjid untuk masyarakat sekitarnya. Yang menjadi imam sering kali orang
kampung, bukan santri, kiai atau ustaz. Pada umumnya sebelum dan sesudah salat jemaah, tidak
diawali atau diakhiri dengan puji‐pujian atau mengaji Alquran, salat‐salat sunnah dan sebagainya.
Situasi yang demikian itu berbeda dengan apa yang berjalan di pesantren‐pesantren di Guluk‐
Guluk, Sukorejo, Blok Agung, Gontor, dan Tebu Ireng. Itulah antara lain hal‐hal yang menjadi
sebab mengapa suasana kehidupan dalam Pondok Pesantren Paciran lebih banyak
menggambarkan suasana keperguruan daripada kepesantrenan; di samping sebab lain, yaitu
karena yang tinggal dalam pesantren lebih sedikit daripada yang tinggal di luar pesantren.
Jadwal kegiatan tersebut sekaligus merupakan tata tertib pesantren yang wajib
dilaksanakan oleh santri. Kecuali itu dalam Pondok Pesantren Paciran terdapat seperangkat
larangan yang harus ditaati oleh santri. Santri dilarang:
I) mencuri, (2) memakai milik orang lain tanpa izin dari pemiliknya, (3) bertengkar atau
berkelahi, (4) merokok, (5) tidur di kamar orang lain, (6) bergurau atau berteriak melampaui
batas, (7) berambut gondrong, (8) keluar malam melebihi jam 22.00, (9) mengadakan hubungan
santri putra‐putri, (10) menyimpan benda tajam yang bukan pada tempatnya.
Pelanggaran atas larangan‐larangan dan kewajiban‐kewajiban dalam tata tertib tersebut
dikenakan hukuman yang sesuai dengannya, dari paling ringan, yaitu berupa penugasan‐
penugasan, baik dalam bentuk pemberian pekerjaan sekolah maupun kerja fisik, sampai ke paling
berat, yaitu dikeluarkan dari pesantren.
Butir yang dapat dipetik dari suasana kehidupan belajar‐mengajar dalam Pondok
Pesantren Paciran tersebut, untuk dikembangkan dalam sistem pcndidikan nasional adalah
penyelenggaraan kursus‐kursus keagamaan yang diselenggarakan oleh Pondok Pesantren Paciran
untuk mengimbangi pendidikan keilmuan yang diberikan melalui sekolah umum dan madrasah
dengan kurikulum pemerintah (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Departemen
Agama). Pondok Pesantrcn Paciran tidak hanya menyelenggarakan kursus‐kursus keagamaan dan
69
sa Gontor.
keterampilan‐keterampilan lain, seperti Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Pencak Silat,
dan sebagainya, tetapi juga belajar menghafal Alquran. Ternyata hal yang terakhir ini merupakan
salah satu daya pikat Pondok Pesantren Paciran.
f. Lingkungan kehidupan masyarakat PP Gontor
f.1. Lingkungan kehidupan masyarakat luar pesantren
Pesantren ini terletak di desa Gontor, Kecamatan Mlarak, Kabupaten Ponorogo, Propinsi Jawa
Timur. Daerah Madiun pada umumnya dan daerah Kabupaten Ponorogo pada khususnya bukan
daerah konsentrasi pesantren sebagaimana daerah‐daerah sebelumnya, PP Guluk‐Guluk,
Sukorejo, Blok Agung, dan Paciran. Bahkan sebaliknya dalam sejarah Indonesia, daerah Madiun
dan Ponorogo pernah menjadi daerah basis PKI (Partai Komunis Indonesia). Pemberontakan PKI
Madiun tahun 1946 sempat menyerbu dan membuat kacau balaunya PP Gontor. Konon nama
"desa Gontor" berasal dari kata panggonan kotor, artinya tempat yang kotor, dalam arti tidak
bermoral. Sampai sekarang di daerah Ponorogo dan sekitarnya, sampai ke pelosok‐pelosok desa,
terkenal kesenian reog16 dengan warok sebagai pemimpinnya, dan gemblak sebagai "istri" warok.
Warok adalah seorang jagoan yang memiliki kesaktian kanuragan atau ilmu kebal badan,
tergolong kekuatan black magic. Memperistri anak laki‐laki tersebut, berarti terjadi hubungan
homoseksual antara warok dan gemblak‐nya.
Dalam kepercayaan dunia hitam warok, jika seseorang ingin memiliki kesaktian tubuh
(kebal), maka orang tersebut harus pantang wanita. Oleh karena itu untuk menyalurkan nafsu
seksualnya, warok memelihara gemblak sebagai istrinya. Homoseksual sebenarnya sudah dikenal
lama di masyarakat Jawa, setidak‐tidaknya menurut serat Centini hal ini sudah dikenal sejak awal
abad ke‐18, dan sampai saat ini tradisi gemblak ternyata masih dapat ditemui di desa‐desa di
dalam Kabupaten Ponorogo, antara lain di desa BalKan, 17 km sebelah Tenggara kota
Ponorogo17, dan sekitar 10 km dari de
16 Reog adalah kesenian tradisional dari daerah Ponorogo. Pemain utamanya memakai topeng besar
menyerupai kepala harimau yang dihiasi bulu‐bulu ekor burung merak berwarna‐warni dan indah. Pemain utama
tersebut menari‐nari dengan berselubungkan topeng harimau tersebut, dan diatasnya duduk duduk seorang anak
laki‐laki remaja menjelang dewasa berusia 6‐17 tahun bertampang bagus. Anak inilah yang disebut gemblak yang
menjadi istri warok, yaitu pemain utama tersebut.
17 Hasil penelitian dr. Ismet Yusuf, dalam Tempo, No. 32, tahun XVII, 10‐10‐1987, hlm.30.
70
Kesenian reog lengkap dengan gemblak‐nya biasanya disertai dengan kebiasaan‐
kebiasaan jelek lainnya, seperti perjudian, minum‐minuman atau mabuk‐mabukan, dan perilaku‐
perilaku tidak terpuji lainnya.
Tetapi kini keadaan telah berubah, PP Gontor telah hadir di tengah‐tengah masyarakat
dengan kuat, banyak perguruan‐perguruan agama yang didirikan oleh alumni pesantren dan
bahkan beberapa pesantren juga telah didirikan oleh mereka. Meskipun demikian, dalam radius
sekitar 10 km, PP Gontor masih menghadapi budaya komunis, yaitu sisa‐sisa pengaruh PKI
Madiun dan budaya perdukunan, yaitu sisi negatif dari budaya reog tersebut.
Pondok Pesantren Gontor mempunyai program pembinaan masyarakat lingkar pesantren
beradius 5 km, meliputi kegiatan‐kegiatan: (1) Pembentukan pesantren‐pesantren cabang oleh
para alumni untuk menampung santri‐santri yang tidak dapat ditampung oleh PP Gontor.
Pesantren‐pesantren itu antara lain: (a) PP Ngabar, khusus untuk pesantren putri. Jumlah santri
yang diasuh saat ini ada 200 orang, (b) PP Arrisalah, khusus untuk pesantren putra. Jumlah santri
yang diasuh saat ini ada 200 orang. Kedua pesantren tersebut ada di Kecamatan Slahun, tetangga
Kecamatan Mlarak di mana desa Gontor terletak di dalamnya. (2) Sekolah‐sekolah agama, baik
yang bernaung di bawah organisasi NU maupun Muhammadiyah. Suatu hal yang menarik
perhatian ialah: terdapat guru‐guru Muhammadiyah mengajar di sekolah‐sekolah NU dan
sebaliknya, mereka merasa dapat bertemu karena mereka adalah satu alumni dari PP Gontor.
Selain pembinaan masyarakat melalui pembentukan pesantren dan sekolah‐sekolah,juga
dilakukan pembinaan melalui bidang perekonomian: (a) PP Gontor menjadi konsultan Koperasi
Unit Desa (KUD) dan pembeli terbesar beras KUD; setiap bulan pesantren membutuhkan sekitar
1.000 ton gabah. (b) Pesantren sendiri juga mengusahakan penggilingan padi bekerja sama
dengan KUD setempat. (c) Pesantren menyediakan tanah sawahnya sekitar 15 ha, disediakan
kepada buruh tani yang ingin mengolahnya. Di kalangan masyarakat lingkar pesantren tersebar
paham bahwa jika mengerjakan sawah pesantren terkandung berkah, misalnya padinya tidak
terserang hama wereng, dan sebagainya. Secara keseluruhan PP Gontor memiliki tanah pertanian
seluas 250 ha yang dapat dijadikan sumber dukungan biaya. Selain itu, pesantren ini juga memiliki
usaha percetakan dan restoran yang juga dijadikan sumber dana. (d) Pesantren juga memberi
kesempatan kepada penduduk setempat untuk membuka berbagai usaha melayani kebutuhan
santri, misalnya: menjadi binatu (tukang cuci), tukang cukur, dan sebagainya. Mereka juga
diberikan kesempatan untuk menitipkan makanan kecil atau kue‐kue di kantin pesantren. Setiap
bulan omzet penjualan meliputi sekitar Rp 90 juta. Mata pencaharian masyarakat sekitarnya
sebagian besar pertanian (70%), sebagian kecil (5%) pegawai negeri, ABRI, dan sebagainya, dan
sebagian besar kedua (25%) adalah tidak menentu: buruh tani, jual tenaga, berdagang kecil‐
kecilan seperti jual rokok, makanan, dan sebagainya termasuk pengangguran.
Usaha‐usaha pembinaan masyarakat lingkar pesantren seperti tersebut, akhirnya
menciptakan hubungan baik antara pesantren dan masyarakat sekitarnya. Saat ini PP Gontor
71
tidak hanya menjadi kebanggaan masyarakat sekitar, tetapi juga merupakan salah satu aset
nasional di bidang pendidikan.
f.2. Lingkungan kehidupan masyarakat dalam pesantren
Suasana kehidupan dalam PP Gontor antara lain dapat digambarkan sebagai berikut: luas
kampus pesantren sekitar 8,5 ha, di atasnya terletak sejumlah bangunan antara lain: 3 rumah
para pengasuh (trimurti), 2 mesjid (mesjid raya dan mesjid lama), 9 asrama, dengan jumlah
sekitar 450 kamar. Jumlah santri 2.599 orang, semuanya laki‐laki, dan jumlah guru 277 orang. Jadi
rata‐rata setiap kamar dihuni antara 4‐6 orang, ukuran kamar cukup besar 4x6 m sehingga cukup
memadai dan bersih, semua santri tidur di atas kasur. Terdapat 6 kompleks perumahan guru dan
dosen, 3 ruang tamu (wisma tamu cukup besar, bersih, dengan kamar mandi di dalam), 1
perpustakaan, 1 kantor, l balai pertemuan, 1 balai kesehatan, 2 toko koperasi santri, 2 warung
santri, 2 ruang makan dan dapur umum, 3 lokal kompleks kamar mandi, 1 kantor santri (OPPM:
Organisasi Pelajar Pondok Modern), 4 gedung sekolah, masing‐masing berlantai 4 (sebagian lantai
bawah ditempati: asrama, dan guru‐guru muda). Bangunan‐bangunan lain: gedung disel listrik,
percetakan, penggilingan padi, dan lain‐lain. Lapangan‐lapangan olah raga: seperti sepak bola, bola
basket, bola voli, dan badminton.
Secara keseluruhan keadaan lingkungan fisik: teratur, dan memadai. Para ustaz atau guru-guru yang masih bujangan menempati kamar-kamar sebagaimana santri pada umumnya dan berlokasi di tengah-tengah kamar para santri. Dengan demikian mereka (para guru) dapat bergaul dan membimbing santri setiap saat.
Jenis pendidikan yang diasuh PP Gontor hanya satu, yaitu sekolah KMI (Kuliyatul Mu 'alimin Islamiyah) selama 6 tahun, setingkat Tsanawiyah ditambah Aliyah, dan IPD (Institut Pendidikan Darussalam, hampir sama dengan IKIP).
Cara hidup keseharian santri dan guru PP Gontor dapat dilihat dari jadwal kehidupan mereka, yang sekaligus merupakan pedoman adat sopan santun atau etiket dan tata tertib yang harus mereka taati. Terdapat 3 jadwal kegiatan: (l) Jadwal harian, (2) Jadwal mingguan, (3) Jadwal bulanan/tengah tahunan.
72
Jadwal hidup keseharian santri dalam 24 jam PP Gontor
No. J a m Kegiatan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10
04.00
05.30-06.30
06.30-06.45
07.00-12.30
12.30
12.30-14.00
14.00-15.00
15.30-17.15
17.15-17.45
17.45-18.30
Bangun pagi, mandi, salat subuh, membaca Alquran, mengulangi pelajaran, makan pagi, siap masuk sekolah
Senam pagi atau berolah raga, bagi mereka yang menginginkan
Makan pagi, diteruskan menuju ke sekolah
Bersekolah
Salah Zuhur, dilanjutkan dengan makan siang
Istirahat siang diisi dengan membaca bacaan ringan, surat kabar, dan sebagainya. Mereka dilarang tidur siang
Belajar lanjutan di sekolah, atau mengikuti kursus-kursus atau pelajaran tambahan: dan dilanjutkan dengan salat Asar
Kesempatan bagi mereka berolah raga sore hari, atau mandi, jalan-jalan sore, membaca bacaan ringan, dan kegiatan santri lainnya
Semua santri sudah harus siap di mesjid untuk melakukan salat magrib berjamaah
Melakukan salat magrib, dilanjutkan membaca Alquran selama sekitar 30 menit, dan dilanjutkan dengan makan malam bersama.
73
11.
12.
13.
18.30‐19.00
19.10‐22.00
22.00‐04.00
Siap‐siap menuju mesjid untuk salat Isya berjemaah Belajar
malam: mengulang pelajaran yang baru diperoleh
danmenyiapkan pelajaran esok harinya
Istirahat atau tidur malam. Jumlah tidur santri sehari
semalamtidak boleh kurang dari 6 jam dan tidak boleh lebih dari
8 jam
Setiap salat lima waktu berjemaah di mesjid selalu diawali dan diakhiri dengan salat sunat,
menurut hukumnya, karena tidak semua salat wajib selalu diawali dan diakhiri dengan salat
sunat, membaca Alquran, puji‐pujian kepada Tuhan atau membaca Selawat Nabi; dan diimami
oleh santri sendiri. Demikian pula halnya dengan salat Jumat, semuanya dilaksanakan oleh santri
(imam dan khatib oleh santri). Khotbah‐khotbah salat Jumat diberikan dalam bahasa Arab atau
bahasa Inggris. Di dalam salat Jumat itu diberikan pengumuman‐pengumuman baik yang
mengenai organisasi santri, maupun mengenai berita‐berita duka dan gembira tentang para
alumni pesantren di mana pun mereka berada atau tentang keluarga santri yang berada di
kampung halamannya, yang perlu diberitakan. Semua pengumumanpengumuman juga diberikan
dalam bahasa Arab atau bahasa Inggris.
Dengan demikian, maka kekompakan keluarga santri dapat dijaga dan berita‐berita
mereka terus dapat dimonitor.
Jadwal Mingguan
Selain jadwal harian, mereka juga mempunyai jadwal mingguan:
1. Setiap Selasa dan Jumat pagi, dari jam 05.30‐06.00 lari pagi. 2. Minggu malam dari jam 19.20‐21.00 Muhadarah bahasa Inggris. 3. Kamis siang 11.00‐12.30 Muhadarah bahasa Arab. 4. Kamis malam 19.20‐21.00 Muhadarah bahasa Indonesia. 5. Kamis sore pramuka.
Ciri khas dari Pesantren Gontor ialah disiplinnya yang tinggi dan sehari‐harinya menggunakan
bahasa Arab atau Inggris. Bahkan dalam memberikan komentar pada siaran sepak bola juga
dilakukan dalam bahasa Arab atau bahasa Inggris. Untuk menghafal kata‐kata bahasa Arab atau
74
Inggris, di pohon‐pohon atau di tempat‐tempat tertentu ditempel daftar kata‐kata atau idiom‐
idiom yang perlu dikuasai oleh mereka. Pemakaian bahasa Arab dan Inggris sehari‐hari selalu
diawasi dan dibimbing oleh santri‐santri senior dan para ustaz. Untuk itu, para ustaz semaksimal
mungkin harus selalu bersama mereka.
Santri PP Gontor tidak memasak sendiri, mereka makan bersama dalam suatu ruang makan
umum yang sudah disiapkan oleh pesantren. Mengenai mencuci pakaian, sebagian mencuci
sendiri, sebagian yang lain mengirimkan ketukang cuci dan binatu di sekitar pesantren. Mereka
diwjibkan berpakaian rapi dan dianjurkan membeli jas dan dasi, sehingga sebagian besar dari
mereka terutama pada waktu salat berjemaah dan salat jum’at hampir semuanya memakai jas.
Dalam hidup keseharian terdapat 4 ragam berpakaian menurut kegunaannya:
(a) Pada waktu ke sekolah (celana, hem, sepatu).
(b) Pada waktu salat (sarung, ikat pinggang, kemeja, jas dan kopiah). Mereka tidak dipaksakan
membeli jas, tetapi jika ingin menambah pakaian, baju dan jas harus didahulukan.
(e) Pada waktu olah raga atau senam ( pakaian olah raga).
(d) Pada waktu istirahat (pakaian santai dengan tetap menjaga kesopanan).
Jadwal bulanan/tengah tahunan
Sewaktu‐waktu diadakan kebersihan umum untuk memperbarui semangat. Tiap‐tiap
setengah tahun diadakan perpindahan umum dari satu pondok ke pondok yang lain (tukar
asrama). Selain untuk memperbarui semangat,juga dimaksudkan agar semua merasakannya.
Melengkapi etiket pergaulan tersebut, santri dilarang berhubungan terlalu akrab dengan
orang kampung atau desa sekitarnya, maksudnya untuk menyaring pengaruh buruk yang datang
dari orang kampung. Untuk berhubungan dengan orang‐orang desa, sudah ada santri khusus
yang ditugaskan untuk berdakwah ke kampung‐kampung; santri tidak boleh melakukan
(berhubungan dengan orang kampung) sendiri‐sendiri.
Semua santri bergabung dalam 0PPM, yaitu Organisasi Pelajar Pondok Modern. Organisasi
ini merupakan kelompok terbesar dalam tubuh organisasi PP Gontor secara keseluruhan, dan
organisasi ini mengambil bagian terbesar dari seluruh kegiatan operasional belajar‐mengajar
dalam pesantren, sejak dan mengorganisasi masalah pengajaran, penerangan, kesenian, olah
raga, perpustakaan, penerimaan tamu, keamanan, koperasi, kesehatan, rayonisasi (organisasi
santri menurut kelompok asrama), konsulat (organisasi menurut asal), dan mcngatur kepulangan
santri ke rumah masing‐masing pada saat libur panjang; sedang mengenai alumni diurusi oleh
badan tcrsendiri, yaitu IKPM (Ikatan Keluarga Pondok Modern).
75
Sementara itu, ada 3 hal pelanggaran dan sanksi yang amat kuat ditekankan dalam disiplin
kehidupan santri sehari‐hari, yaitu (1) Pencurian,(2) Wanita (mengadakan hubungan dengan
wanita yang bukan muhrimnya), dan (3) Menghina anak yang taat dan rutin; seperti mengolok‐
olok dan sebagainya; termasuk berkelahi. Ketiga hal ini merupakan pelanggaran berat yang dapat
diancam dengan hukuman dikeluarkannya santri dari pesantren.
Selain etiket pergaulan santri seperti tersebut di atas, di PP Gontor juga terdapat etiket
guru, yailu tata tertib mengajar yang harus dipenuhi oleh guru:
1. Sebelum mengajar guru harus dapat membuat persiapan lahir dan batin. Persiapan lahir megenai materi pelajaran yang harus dibuat dengan tertulis, sedang persiapan batin mengenai kesiapan hati dan niat bahwa mengajar karena Allah semata dan karena itu harus dimulai dengan memanjatkan doa kepada‐Nya.
2. Guru tidak hanya mengajar dalam arti kata menyampaikan ilmu semata, tetapi ia berkewajiban mendorong berkembangnya iman, girah diniyah dan amal saleh.
3. Guru harus berdisiplin dengan waktu (jangan terlambat, dan sebagainya) dan berdisiplin mengajar (mengajar secara efektif dan efisien, serta selalu siap mengisi jam pelajaran kosong).
4. Guru harus disiplin dalam bahasa (selalu menggunakan bahasa Arab atau Inggris) dan disiplin dalam pakaian, rambut (berpakaian sopan dan tidak gondrong).
5. Guru harus disiplin dalam salat berjemaah. 6. Guru harus disiplin dalam peningkatan diri (meningkatkan ilmu, bahasa, metode
mengajar, mengunjungi perpustakaan, dan sebagainya). Etiket tersebut sesuai dengan pendidikan mereka, yaitu Kuliyatul Mualimin Islamiyah, yang
artinya sekolah guru.
Dari uraian mengenai kegiatan hidup keseharian santri dan guru seperti tersebut di atas,
tampak adanya proses kegiatan belajar‐mengajar secara self government dengan seperangkat
rambu‐rambu disiplin yang tinggi dan ketat. Dari jadwal kegiatan belajar‐mengajar tersebut di
atas juga tampak bahwa kegiatan pengajian Kitab Kuning di PP Gontor, kalah kuat dengan
pengajian Kitab‐kitab Kuning di PP Sukorejo, Blok Agung, Guluk‐Guluk, dan Tebu lreng.
Kesimpulan yang patut dipetik dari lingkungan daerah kerja Pondok Pesantren Gontor
tersebut yang perlu dikembangkan dalam perspektif Sistem Pendidikan Nasional antara lain
adalah:
(I) Disiplin yang tinggi dalam proses kegiatan belajar‐mengajar.
(2) Satunya kehidupan santri dan guru dalam proses belajar‐mengajar.
(3) Usaha dari pesantren untuk memberikan kesempatan dan fasilitas kepada guru dan
keluarga guru, sehingga mereka dapat melaksanakan tugasnya sebagai bagian ibadah kepada
Tuhan, dan bukan karena uang atau pamrih materi.
76
(4) Usaha pesantren untuk mengintegrasikan diri dengan masyarakat lingkungannya melalui
program pembinaan masyarakat sekitar.
Dari gambaran lingkungan kehidupan keenam pesantren tersebut dapat dirangkum ke
dalam suatu perumusan singkat bahwa: pada dasarnya filsafat pendidikan pesantren adalah
theocentric yang cenderung lebih menekankan pentingnya orientasi kehidupan ukhrawi daripada
duniawi. Selama 24 jam, dari tahun ke tahun anak didik di‐exposed secara intensif untuk
mendalami ajaran agama lengkap dengan pengamalannya. Mereka selalu berbuat dalam rambu‐
rambu hukum agama yang membedakan yang halal dan yang haram, menjalankan perintah‐Nya
serta menjauhi larangan‐Nya. Hormat kepada kiai dan Ustaz, serta saling menolong dan saling
menyayangi dengan sesama santri dalam tata pergaulan pesantren yang dipandangnya sebagai
kewajiban moral. Berkah kiai dipandang sebagai kunci sukses elalam belajar, dan dalam kehidupan
bermasyarakat. Kiai dan juga ustaz adalah orang‐orang saleh yang alim yang jauh dari ketidak jujuran
dan keliru. Kitab‐kitab agama yang diajarkan oleh mereka diterima sebagai suatu kebenaran. (lihat
jadwal kegiatan hidup santri di masing‐masing pesantern pada halaman 90‐126, dan gamabaran hidup di
asrama pada halaman 153)
Semuanya itu membentuk pribadi muslim yang cenderung berperilaku sakral dalam hidup
keseharian. Namun, di balik itu semua, tampak adanya gejala kehidupan yang semakin mendunia untuk
mengimbangi kehidupan ukhrawi
2.5. Kiai dan Ustaz
Yang dimaksud dengan kiai dalam laporan ini adalah kiai pengasuh pesantren yang menjaga nilai
agama sebagaimana dibhaas dalam unsur‐unsur sebelumnya. Sedang yang dikamsud dengan ustaz
adalah santri kiai yang dipercayai untuk mengajar agama kepada para santri dan disupervisi oleh kiai.
Seperti diuraikan pada pembahasan‐pembahasan di muka, banyak pandangan dan tantangan
kehidupan yang berbeda‐beda yang dihadapi oleh kiai dan ustaz, dan inilah salah satu faktor yang
menentukan keragaman pesantren.
a. PP Guluk‐Guluk
Seperti dikatakan di muka bahwa kiai atau ulama yang memimpin kelompok pengasuh PP Guluk‐
Guluk adalah K.H. Amir Ilyas. Keadaan dia pada saat ini sudah uzur dan menderita sakit mata yang
mengancam kebutaan total. Menurutnya, penyakitnya sudah ditangani oleh dokter ahli, dan dokter
mengatakan bahwa penyembuhannya memakan waktu lama. Tetapi pada waktu itu (1986‐an) ia ingin
pergi haji, dan untuk itu ia menghentikan sementara pengobatannya dari dokter ahli tersebut.
Sementara itu ia pindah ke tabib mata yang menyanggupi penyembuhannya dan tidak perlu
membatalkan niatnya untuk pergi haji. Sepulang dari haji ternyata penyakitnya bertambah berat, dan
77
untuk itu ia kembali ke dokter ahli semula. Dokter tetap berusaha menyembuhkan matanya dengan
memberikan obat‐obatan dengan dosis tinggi. Keadaan matanya pada waktu penelitian ini dilakukan
ternyata bertambah buruk dan praktis menjadi buta. Tampaknya ia menerima perjalanan nasib seperti
itu dengan baik. bagi Kiai Amir, pergi haji adalah amat penting dan mengalahkan semua acara kehidupan
yang penting sekalipun. Pandangan hidup yang demikian ini tampak diterima dan didukung oleh anggota
pengasuh yang lain. Kepergian ke Mekah adalah "segalanya" selama masih mungkin dilaksanakan, dan
tampaknya pendapat ini juga menjadi idaman bagi masyarakat muslim Madura. Nasib seseorang telah
tertulis dan berjalan menurut ketentuan‐Nya.
Dalam keadaan seperti itu maka pendapat‐pendapat yang berkapasitas mewakili pandangan
atau pendapat pesantren Guluk‐Guluk diwakili oleh K.H. Ashiem llyas, salah seorang yang paling senior
sesudah K.H. Amir Ilyas.
Menurut pimpinan PP Guluk‐Guluk, manusia pada dasarnya mencintai yang ma’ruf (kebaikan)
dan membenci yang munkar (kejahatan), tetapi dalam praktiknya manusia senang melakukan yang
munkar daripada yang ma’ruf. Hal Ini disebabkan manusia mempunyai kecenderungan mencitai
dunia. Oleh karena itu, untuk memperbaiki sikakp dan perilakunya, anak didik (santri) tidak perlu
lagi didorong‐dorong untuk mencintai dunia, karena merka tidak akan melupakan dunia.
Sebaliknya, merek perlu didorong dengan sekuat tenaga untuk mencintai kehidupan ukhrawi,
karena kehidupan ukhrawi adalah kehidupan yang kekal dan sesungguhnya, sedang kehidupan
duniawi adalah kehidupan sementara dan bukan kehidupan sesungguhnya. Selain itu, mendidik
mereka untuk mencintai kehidupan ukhrawi adalah lebih sulit daripada mendidik mereka untuk
mencintai kehidupan duniawi, karena kehidupan ukhrawi itu sifatnya abstrak dan tidak langsung
berhubungan dengan kebutuhan dan kesenangan hidup sehari‐hari. Oleh karena itu metodologi
pendidikan dan pengajaran di pesantren tidak cukup hanya dengan penalaran saja, tetapi juga
memerlukan metode doktrin, hafalan, keteladanan, dan kepemimpinan yang karismatik sebagai
sumber wibawa. Bagi PP Guluk‐Guluk, dalam hidup ini yang ada hanya kewajiban, bukan hak. Hak
adalah akibat yang diperoleh karena melaksanakan kewajiban. Sehubungan dengan itu, maka
dalam hal kewajiban orang harus mendahulukan tugasnya sebelum orang lain, tetapi dalam hal
hak orang harus mendahulukan kepentingan orang lain sebelum kepentingan diri sendiri.
Dari uraian tersebut tampak adanya orientasi hidup yang kuat pada kehidupan ukhrawi
melebihi duniawi. Sementara itu, seperti berulang kali disebutkan di muka, nilai yang mendasari
kerja sama di kalangan mereka adalah: ikhlas dan ibadah. Tetapi dengan semakin majunya
pembangunan, kemajuan ilmu dan teknologi, dan interaksi yang semakin intensif dengan sistem
lain di luar pesantren, maka para pengasuh menghadapi tantangan‐tantangan yang serius di
dalam menyelenggarakan kerja kependidikan.
Setidak‐tidaknya, kiai menghadapi 3 (tiga) krisis besar, yaitu: (l) kiai bukan lagi menjadi
satu‐satunya sumber mencari ilmu, dan moral. Namun, dalam hal moral tampaknya kiai masih
tetap menjadi benteng pertahanan pesantren yang sangat kukuh, sebagaimana dilukiskan di
muka, betapa hormatnya santri dan masyarakat Madura terhadap kiai. (2) Kiai menghadapi
78
kebutuhan ekonomi yang semakin besar. Ia dalam keadaan berjuang antara berkorban dan
bekerja untuk pendidikan, atau menjadi korban kebutuhan ekonomi rumah tangganya. Tetapi
tampaknya para kiai memiliki lapangan usaha yang baik di bidang pertanian dan perdagangan
tembakau, dan perdagangan‐perdagangan lain. Beberapa di antaranya berusaha di bidang politik
(menjadi anggota DPRD Kabupaten Sumenep), menjadi dai, dan sebagainya, sehingga rata‐rata
kehidupan mereka tampak berkecukupan. Melihat usaha‐usaha mereka di bidang keduniawian
tersebut tampaknya hal ini bertentangan dengan orientasi mereka yang kuat pada ukhrawi
sebagaimana disebutkan di muka, tetapi sebenarnya tidak demikian, mereka memandang semua
kerja duniawi tersebut dalam struktur relevansinya dengan orientasi ukhrawi. Tetapi
bagaimanapun, seperti dikatakan di muka, sistem pendidikan dengan uang sudah memasuki PP
Guluk‐Guluk. Saat ini biaya rata‐rata belajar di PP Guluk‐Guluk: Rp. 11.000 per bulan.
Analog dengan gambaran kiai tersebut, gambaran mengenai ustaznya juga mengikuti jejak
gambaran kiai. Ustaz sepenuhnya percaya dan tunduk pada kiai. Sampai saat ini masih banyak
ustaz yang bekerja tanpa menerima honor, mereka hidup mengikuti gerak kehidupan bersama‐
sama: jika ada rezeki dimakan bersama, dan beberapa di antaranya masih menerima kiriman
uang dari orangtuanya. Ada semacam anggapan yang menyatakan bahwa membantu orang yang
sedang belajar dan mengajar merupakan amal jariah. Oleh karena itu mengirim uang kepada anak
yang belajar dan mengajar agama di pesantren, berarti beramal jariah.
Tetapi seperti halnya dengan kiai, para ustaz juga mengalami krisis yang menguji keikhlasan
mereka sebagai pengajar di pesantren. Tantangan mereka berkisar pada 3 hal pula, yaitu antara
(1) mengabdi, (2) mencari nafkah dan (3) mengembangkan karier dengan cara mencari ilmu yang
lebih tinggi. Banyak di antara mereka yang melakukan pengajian atau mengajar di luar agar dapat
melanjutkan ke sekolah tinggi yang diselenggarakan oleh PP Guluk‐Guluk. Pada awalnya para
ustaz bekerja tanpa honor, pada saat ini honorarium sudah mulai eksis di pesantren meskipun
kecil. Honor mereka rata‐rata Rp. 30.000 per tahun (diberikan pada waktu tutup tahun ajaran).
Dari uraian tersebut, tampak adanya perubahan yang sedang terjadi, yaitu semakin
meningkatnya kebutuhan ilmu dan ekonomi, jelas akan membawa dampak,besar, dan oleh
karena itu pendidikan pesantren perlu ditata kembali.
b. PP Sukorejo
Seperti diuraikan di muka, pimpinan PP Sukorejo (K.H.R. As'ad Syamsoel Arifn) memiliki
karamah yang paling besar di antara kiai pengasuh kelima pesantren objek penelitian lainnya. Kiai
menekankan pentingnya sikap berani, mandiri, teguh dalam pendirian, mempunyai ide murni,
dan akhlak yang mulia dalam hidup bermasyarakat. Menurut pimpinan PP Sukorejo, banyak
orang pandai yang gagal dan tidak dihargai orang dalam hidup bersama ini, karena mereka tidak
memiliki sikap‐sikap tersebut, terutama karena mereka tidak memiliki akhlak yang mulia; dan
akhlak mulia yang dimaksud hanya dapat ditemukan dalam agama (Islam). Oleh karena itu maka
79
PP Sukorejo mewajibkan santrinya yang belajar di sekolah umum, merangkap belajar agama pada
sekolah diniyah dan mengikuti semua program ubudiah yang diselenggarakan oleh pesantren,
dan tidak mewajibkan yang sebaliknya, yaitu santri yang belajar agama tidak diwajibkan
merangkap belajar ilmu pengetahuan umum di sekolah umum. Hal ini disebabkan hakikat
pesantren menurut PP Sukerejo adalah untuk belajar agama.
Dari uraian tersebut jelas tampak adanya kesamaan orientasi dalam memandang
kehidupan dengan pengasuh PP Guluk‐Guluk tersebut; hanya di sini lebih ditekankan pada
pentingnya moral sebagai kunci sukses dalam kehidupan.
Seperti kiai PP Guluk‐Guluk, ia menghadapi tantangan yang sama. Dalam dunia yang
semakin modern semakin banyak dibutuhkan kepemimpinan rasional, dan profesional di samping
moral.
Mengenai kedudukan ustaz di hadapan kiai tidak berbeda dengan sikap hormat ustaz‐
ustaz PP Guluk‐Guluk di hadapan kiainya. Namun di sini agak berbeda dengan ustaz di PP Guluk‐
Guluk. Penampilan mereka tampak lebih formal dan profesional sebagai guru sekolah umum,
karena di PP Sukorejo memang banyak sekolah‐sekolah umum. Rata‐rata mereka menerima
honor Rp. 400.000 per tahun. Mengenai tantangan dan kebutuhan mereka pada umumnya sama
dengan apa yang dihadapi oleh rekan‐rekan mereka di PP Guluk‐Guluk, yaitu di seputar:
pengabdian, ekonomi, dan studi lebih tinggi.
c. PP Blok Agung
Pimpinan PP BJok Agung: K.H. Muchtar Syafaat memiliki tingkat karisma kedua sesudah K.H.R.
As'ad Syamsoel Arifin. Kiai memandang dunia kehidupan manusia ini sebagai panggung
pertunjukan di mana manusia sebagai wayang yang semuanya tergantung pada dalangnya
(Tuhan). Masing‐masing individu telah ditentukan tempat dan peran atau kegunaannya sendiri‐
sendiri dalam tata kehidupan, dan tata kehidupan ini merupakan suatu sistem yang sempurna
yang telah diciptakan oleh Tuhan. Masing‐masing anak dilahirkan dengan bakatnya sendiri‐sendiri
yang akan berkembang menjadi keahlian atau keterampilan masing‐masing. Masing‐masing
keahlian itu sifatnya saling membutuhkan satu dari yang lain, dan mereka pasti akan bertemu dan
saling melengkapi satu sama lain. Misalnya: "orang pandai" dan "orang bodoh". Kedua orang ini
sesungguhnya saling membutuhkan satu sarna lain. "Orang bodoh" memerlukan orang pandai"
untuk belajar daripadanya, dan "orang pandai" memerlukan "orang bodoh" untuk mengajarkan
ilmunya, agar ia sendiri menjadi lebih pandai lagi. "Ilmu" itu sebagai api yang akan menyala. Oleh
karena itu ia membutuhkan rerumputan kering yang mudah terbakar, bukan air. "Orang pandai"
harus mendatangi "orang bodoh", jangan mengharapkan "orang bodoh" mendatangi "orang
pandai", karena ia tidak tahu bagaimana mendatangi "orang pandai", sebaliknya "orang pandai"
80
tahu bagaimana cara mendatangi "orang bodoh". Demikian dan seterusnya, setiap sesuatu dalam
tata kehidupan ini selalu ada pasangannya masing‐masing, mereka saling mencari dan pada suatu
saat pasti bertemu. Oleh karena itu masing‐masing individu harus menyelesaikan tugasnya.
Bagi PP Blok Agung, anak belajar di pesantren itu bagaikan orang belanja di pasar;
terserah orang mau belanja apa saja sesuai dengan uang yang mereka miliki dan selera masakan
yang akan mereka buat. Dalam pesantren anak akan belajar sesuai dengan kecenderungan dan
kemampuannya. Kiai dan ustaz hanya membantu dan melayaninya. Meskipun demikian, ada
syarat‐syarat minimal yang harus dipenuhi, yaitu anak harus memiliki landasan moral agama yang
kukuh sebelum anak mengikuti arus kehidupan selanjutnya. Untuk itu, anak sedikitnya harus
diajarkan beberapa kitab awal keagamaan sebagaimana disebutkan dalam halaman 64 di muka.
Tantangan yang dihadapi oleh kiai pada dasarnya sama dengan tantangan yang dihadapi
kiai‐kiai terdahulu. Dalam kehidupan modern orang semakin memerlukan pemikiran‐pemikiran
positif di samping kepuasan tasawuf. Dapat dipastikan, bahwa kebutuhan tasawuf dalam
kehidupan modern tidak akan hilang, tetapi kehidupan dalam masyarakat modern tidak cukup
hanya dengan tasawuf saja. Laporan mengenai keadaan ustaz, pada dasarnya sama dengan
keadaan ustaz terdahulu, dalam arti mereka tetap tunduk dan hormat pada kiainya. Namun ada
perbedaan yang perlu dicatat, ialah predikat utaz untuk guru yang mengajar agama dengan kitab,
yaitu buku‐buku agama berbahasa Arab atau bertulisan Arab, dan predikat "guru" untuk mereka
yang mengajar sekolah umum, dengan menggunakan "buku" yang ditulis dengan bahasa
Indonesia (huruf Latin). Jadi sekalipun orangnya sama, ia mungkin mendapatkan gelar ustaz atau
guru, tergantung pada saat itu ia mengajar ilmu apa dan menggunakan kitab atau buku yang
ditulis dengan bahasa Arab atau bahasa Indonesia. Pada umumnya “ustaz” memakia sarung,
sedang “guru” memakai celana panjang, mengenai tantangan yang dihadapi mereka juga sama
dengan tantangan yang dihadapi ustaz‐ustaz di pesantren lain, yaitu antara mengabdi, mencari
nafkah dan mencari ilmu. Honor mereka rata‐rata Rp. 48.000 per tahun untuk ustaz yang
mengajar diniyah (agama) yaitu pendidikan non formal‐pesantren, dan Rp. 120.000 untuk guru
yang mengajar di sekolah umum.
d. PP Tebu Ireng
Seperti disebutkan di muka, dewan kiai yang mendampingi pimpinan pesantren saat ini
adalah para alumni Pesantren Tebu Ireng, sehubungan dengan itu pandangan dasar pengasuh PP
Tebu Ireng mengenai hal‐hal yang bersifat filosofis, berpedoman pada ajaran atau pandangan
para pendahulunya, yaitu bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk beragama, oleh karena
itu, mereka selalu, mendambakan petunjuk agama dalam kehidupannya. Mengenai akal,
pengasuh PP Tebu Ireng menyatakan bahwa akal berperan besar sekali dalam memajukan
kehidupan manusia. Oleh karena itu ia harus selalu dilatih agar kemampuannya terus meningkat
81
untuk memecahkan berbagai masalah kehidupan, yang semakin hari semakin besar dan
kompleks.
Meskipun demikian, kemampuan akal itu terbatas, dan manakala akal menemui jalan
buntu dan kebingungan sehingga tidak mampu memecahkan masalah yang sedang dihadapi,
manusia menjadi frustrasi dan "gelap". Dalam keadaan seperti itu manusia memerlukan
pertolongan agama untuk memperoleh petunjuk dari Tuhan. Agama dapat memberikan
konfirmasi, informasi, kepastian, dan harapan, sehingga hati manusia menjadi bersih kembali,
dan akal pun akan dapat bekerja kembali. Demikian seterusnya, dengan pertolongan agama akal
selalu mampu bekerja kembali.
Dengan demikian, PP. Tebu Ireng telah meletakkan dasar teknologi pendidikannya, yaitu
pendidikan agama sebagai dasar dan petunjuk bagi pendidikan akal.
Gambaran mengenai ustaz di PP Tebu Ireng: seperti pada pesantren terdahulu, predikat
"ustaz" untuk mereka yang mengajar agama dan "guru" untuk mereka yang mengajar di sekolah‐
sekolah umum. Hubungan ustaz dengan kiainya: baik sebagaimana layaknya hubungan antara
santri dengan kiainya, yaitu penuh tawaduk. Sedang hubungan antara guru dan pimpinan
sekolah, antara guru dan guru, dan antara guru dan kepala sekolah, tampak berbeda dengan
hubungan antara ustaz dan kiai, atau hubungan antar ustaz. Seperti dilaporkan pada gambaran
ustaz dari PP Paciran di muka, hubungan kerja pada kelompok guru, tampak adanya sifat‐sifat
egalitarian, resmi, dan fungsional, sedang pada kelompok "ustaz" lebih bersifat tidak resmi,
hierarkis, dan kekeluargaan, dengan didasari sikap tawaduk. Selalnjutnya seperti berlaku juga
pada ustaz‐ustaz dari pesantren‐pesantren terdahulu, ustaz dan guru‐guru di Pesantren Tebu
Ireng juga menghadapi tantangan yang sama, yaitu "dialog' antara: pengabdian, mencari nafkah,
dan mencari ilmu. Dalam hal ini tampaknya posisi ustaz dan guru dari PP Tebu Ireng tidak
berbeda jauh berbeda dengan ustaz atau guru‐guru di PP Paciran, di mana perihal "mencari
nafkah" tampak penting. Rata‐rata honor mereka Rp. 480.000 per tahun; di samping mengajar di
lingkungan perguruan dalam PP Tebu Ireng, mereka juga menjadi guru di tempat‐tempat lain,
sedang ustaz di samping mengajar agama di pesantren, pada umumnya menjadi mubalig di
masyarakat.
e. PP Paciran
Pandangan pimpinan PP Paciran mengenai pendidikan pada dasarnya tidak jauh berbeda
dengan pimpinan pesantren terdahulu. Pimpinan PP Paciran menekankan pentingnya anak didik
mencontoh kepribadian Rasul (Nabi Muhammad) sebagai pribadi yang sempurna. Seperti
pesantren‐pesantren yang lain, Pesantren Paciran juga berpendapat bahwa anak dilahirkan
dengan fitrahnya masing‐masing. Dengan adanya tenaga‐tenaga guru yang berasal dari alumni PP
Gontor, maka pandangannya terhadap anak didik dan gaya dalam melaksanakan kegiatan belajar‐
82
mengajar banyak mencontoh pengalaman PP Gontor, yang antara lain berusaha menerapkan
konsep "panca jiwa pondok" PP Gontor.
Seperti dilaporkan di muka bahwa pesantren ini banyak memiliki corak keperguruan, yang
dalam hal ini adalah perguruan Muhammadiyah, maka gambaran mengenai ustaznya juga tampak
berbeda dengan penampilan dari ustaz‐ustaz pada pesantren‐pesantren terdahulu; di sini
penampilan ustaz tidak jauh berbeda dengan penampilan guru‐guru sekolah umum: dari segi
pakaian dan hubungan antara mereka dan antara mereka dengan pimpinan pesantren lebih
bersifat egalitarian, resmi, dan fungsional, tetapi tampak "kurang tawaduk" jika dibandingkan
dengan hubungan ustaz dengan kiai pada pesantren‐pesantren terdahulu, terutama pada
Pesantren Guluk‐Guluk, Blok Agung, dan Sukorejo. Rata‐rata gaji atau honorarium yang mereka
terima Rp 480.000 per tahun; dan banyak di antara mereka menjadi guru‐guru pada sekolah
negeri, mereka mengajar di sekolah‐sekolah yang diselenggarakan pesantren sebagai tenaga
honorer.
f. PP Gontor
Seperti disebutkan di muka, pengasuh PP Gontor terdiri atas tiga kiai, dalam kesatuan trimurti,
dan dengan sangat kuatnya berpedoman pada ajaran‐ajaran atau pandangan‐pandangan yang
telah diletakkan oleh pendahulunya. Pimpinan PP Gontor menekankan pentingnya setiap individu
melaksanakan tugasnya dalam tata kehidupan bersama, sebagaimana dikatakan oleh PP Blok
Agung di atas. Untuk itu PP Gontor memberi petunjuknya kepada segenap warga pesantren yang
dituangkan dalam "panca jiwa pondok": (l) Ikhlas, yaitu mereka harus memandang semua
perbuatannya sebagai ibadah kepada Tuhan. (2) Sederhana, yaitu mereka harus memberikan
penampilan yang sederhana dan wajar, baik lahiriah maupun batiniah. Misalnya: tidak memakai
pakaian yang berlebih‐lebihan atau berkurang‐kurangan. Tidak boleh memamerkan kekayaan yang
dapat menimbulkan iri hati dan mengundang kejahatan orang lain, dan sebaliknya juga tidak boleh
menunjukkan kemiskinan yang dapat mengundang belas kasiahan orang lain. Tidak boleh
memakai gaya potongan rambut gondrong atau aneh‐aneh", dan sebagainya. Dalam hal sikap
mental, mereka harus berpikir dan berkata lugas, positif, dan optimistis. Jadi pengertian
“sederhana" di sini tidak identik dengan kemiskinan dan kebodohan. (3) Mandiri, yaitu minimal
setiap individu harus mampu menolong dirinya sendiri, dan bahkan harus berusaha menolong
orang lain yang membutuhkan. (4) Ukhuwah Islamiyah, yaitu persaudaraan sesama muslim, baik
di dalam maupun di luar pesantren. (5) Bebas berpikir, yaitu mereka harus bebas memikirkan
masa depan dan memilih jalannya sendiri, tetapi bukan bebas berpikir dalam arti tidak peduli
terhadap semua situasi dan kondisi, sebaliknya yang dimaksudkan dengan bebas berpikir di sini
ialah terikat dalam disiplin yang telah menjadi "sunnah pondok" (tata tertib pondok).
Melengkapi filsafat "pancajiwa pondok" tersebut, PP Gontor mewajibkan para warganya
untuk memandang pesantren sebagai tempat ibadah, dan mencari ilmu, bukan tempat mencari
83
kelas dan ijazah untuk menjadi pegawai negeri. Menurut istilah mereka pesantren adalah
tempat untuk: talabul‐'ilmi, bukan talabul Fasli. Oleh karena itu, maka orientasi hasil
pendidikannya adalah prestasi, bukan gengsi; dan untuk itu PP Gontor tidak memberikan ijazah,
dan oleh karena itu santrinya tidak ikut ujian negara.
Gambaran mengenai ustaz dari PP Gontor, dapat dilaporkan sebagai berikut: sehubungan
dengan jenis pendidikan yang diselenggarakannya, yaitu Kuliyatul Mualimin Islamiyah, semacam
Pendidikan Guru Agama setingkat menengah atas, 6 tahun, maka ustaz atau guru‐guru yang
mengajar di sana adalah murid‐murid yang duduk di kelas V, sekaligus untuk memberikan bekal
latihan mengajar; murid kelas VI sengaja dibebaskan dari mengajar dan berorganisasi agar dapat
menyiapkan ujian akhir. Dengan demikian maka hubungan antara guru dan kiai: baik dan tawaduk
sebagaimana layaknya hubungan santri dengan kiainya. Agak berbeda dengan posisi ustaz atau
guru‐guru dari pesantren terdahulu, ustadz di PP Gontor tidak menerima honorarium dalam
bentuk uang, tetapi sebagai gantinya mereka memperoleh fasilitas‐fasililas dan kemudahan‐
kemudahan dalam kehidupan di pesantren.
Dari pembahasan terhadap unsur kiai dan ustaz terhadap keenam pesantren tersebut, dapat
diturunkan analisis berikut:
1. Pada umumnya para kiai pengasuh pesantren memiliki orientasi kehidupan yang sama, yaitu memandang kehidupan "nanti" atau ukhrawi lebih esensial dan penting daripada kehidupan "sekarang" atau duniawi. Kehidupan ukhrawi adalah kehidupan final, sedang kehidupan duniawi adalah kehidupan sementara.
2. Terdapat perbedaan gradual di antara pengasuh pesantren dalam memandang eksistensi dan peran manusia dalam kehidupan di dunia ini. Ada kiai yang memandang manusia sebagai "wayang yang sepenuhnya tergantung pada dalangnya", artinya nasib setiap orang telah tertulis dalam "kartu nasib" oleh Tuhan, dan manusia tidak perlu merencanakannya, tetapi menyesuaikan dan menjalani hidup seperti wayang yang tergantung dalangnya. Sementara itu, ada juga kiai yang memandang bahwa manusia di samping sebagai objek kehidupan, juga sebagai subjek kehidupan; untuk itu manusia butuh ilmu untuk meningkatkan daya akalnya, namun manakala akalnya menemui jalan buntu, ia butuh agama untuk memperoleh jalan keluarnya. Pada dasarnya manusia adalah makhluk beragama dan memerlukan agama sebagai pedoman hidup.
3. Para pengasuh pesantren memusatkan pengarahaan pendidikannya untuk menyongsong kehidupan “nanti”, melalui pendalaman dan pengamalan ajaran agama, terutama pada ilmu yang tergolong fardu ain dalam kehidupan sehari‐hari: mana yang wajib mana yang bukan wajib, mana yang halal mana yang haram, dan sebagainya. Mereka cenderung mengarahkan santrinya untuk memiliki perilaku yang zuhud, yaitu semua perbuatan ditempatkan dalam strutktur relevansinya dengan ibadah kepada Tuhan.
4. Namun, sehubungan dengan kebutuahn pembangunan dan kemajuan ilmu dan teknologi, baik kiai maupun ustaz menghadapi tantangan yang serius yang dapat mengancam atau menggetarkan kedudukan tiga kata kunci yang menjadi landasan dan sekaligus ciri kependidikan pesantren yaitu: berkah, ikhlas, dan ibadah.
84
Krisis yang dihadapi oleh kiai
Pertama: Krisis kedudukan sebagai sumber tunggal mencari ilmu dan moral. Seperti
disebutkan dalam halaman 66, kedudukan kiai bukan lagi merupkan sumber tunggal untuk
memperoleh ilmu, dan juga bukan sumber tunggal untuk belajar moral. Seiring dengan kemajuan
zaman, lembaga‐lembaga pendidikan agama, seperti persantren, semakin ditutuntut untuk
membuka diri lebar‐lebar mengenai lektur keagamaan yang diajarkannya, tidak cukup hanya
dengan mengajarkan materi keagamaan yang berdasarkan aliran atau paham tertentu saja.
Sebagai akibat semakin tajamnya ilmu pengetahuan umum dan analisis keagamaan yang semakin
tajam dari berbagai sudut pandang atau aliran filsafat agama.
Kedua: krisis ekonomi
Kiai juga menghadapi krisis ekonomi yang dapat mengancam faktor keikhlasan yang selama ini
merupakan landasan kukuh dan ciri khas pendidikan pesantren. Dengan semakin tajamnya
persaingan ekonomi dalam kehidupan, maka perekonomian dengan uang semakin memasuki
setiap aspek kegiatan kehidupan termasuk dunia pendidikan, apalagi dunia pesantren yang
selama ini dianggap jauh dari uang; kini pendidikan dengan uang sudah memasuki dunia
pesantren dan semakin lama semakin mendalam. Saat ini rata‐rata biaya belajar setiap bulan di
PP Guluk‐Guluk (Rp. 11.000), PP Sukorejo (Rp. 25.000), PP Blok Agung (Rp. 20.000), PP Tebu Ireng
(Rp. 25.000), PP Paciran (Rp. 20.000), dan PP Gontor (Rp. 30.000). Sedang di satu pihak
kebutuhan ekonomi kiai menghadapi tantangan yang semakin besar dan tajam, tidak berbeda
dengan kebutuhan ekonomi rumah tangga orang awam. Dengan demikian kiai haus tetap mampu
mempertahankan kehidupan ekonomi keluarganya bebas dari kekayaan pesantren atau bebas
dari memperoleh penghasilan, karena menyelenggarakan pesantren sebagai bagian dari
idealisme atau pengabdiannya, berhadapan dengan jumlah waktu yang ia pergunakan untuk
bekerja di pesantren, sedang di sisi lain ia harus pememperoleh penghasilan untuk menghidupi
keluarganya.
Sampai saaat ini masalah ekonomi tersebut masih “tabu” untuk dieteliti, dan dalam
kenyataan lahiriahnya kehidupan ekonomi rumah tangga kiai adalah terkuat di antara warga
pesantren. Rezeki kiai tetap lestari dan melimpah. Tampak beberapa kiai melakukan usaha‐usaha
perdagangan, pertanian, dan usaha‐usaha lainnya. Selain itu, juga tampak banyak sumbangan‐
sumbangan yang diberikan oleh masyarakat pendukungnya kepada pesantren melalui kiai atau
pengasuh yang lain dalam rangka melaksanakan amal jariyah, sedekah, zakat, infaq, dan
sebagainya. Beramal dan menyumbang orang yang sedang belajar agama, mengajar agama di
lembaga pendidikan agama seperti pesantren, merupakan perbuatan terpuji dalam ajaran agama.
Meskipun demikian lembaga perkiaian tetap menghadapi ”batu sandungan” dalam
mempertahankan keikhlasan sebagai salah satu identitas pesantren. Dalam teori, menurut ajaran
agama, keikhlasan tetap dapat eksis sekalipun tidak harus disertai dengan syarat bebas uang, dan
85
kehadiran uang tidak harus ”membunuh” keikhlasan, tetapi (terutama bagi orang awam) sulit
sekali menjaga keihklasan dari pengaruh uang atau pengaruh harta kekayaan lainnya. Salah satu
ajaran agama menyatakan bahwa iman seseorang diuji dengan keadaannya: orang kaya diuji
dengan kekayaannya, orang miskin dengan kemiskinannya, orang pandai dengan kepandaiannya,
dan sebagainya.
Ketiga: Krisis Kelembagaan
Di satu pihak kiai dituntut mampu memertahankan idealismenya bahwa pesantren adalah
lembaga pendidikan untuk belajar mencari ilmu dan tempat beramal, bukan mencari kelas dan
ijazah untuk menjadi pegawai negeri, tetapi di pihak lain santri menuntut kelas dan
membutuhkan ijazah untuk meniti belajar selanjutnya dan melamar opekrjaan, baik untuk
menjadi peggawai negeri maupun untuk memasuki lapangan kerja yang lain. Seiring dengan ini,
santri juga menuntut bekal ilmu dan teknologi atau bekal keahlian untuk mengarungi kehidupan
modern, di samping bekal moral sebagaimana selama ini dapat diperoleh dari pesantren.
Keempat: Krisis kepemipinan
Sumber wibawa kepemimpinan18 kiai salama ini ialah karisma. Tetapi dengan makin majunya
kehidupan, khalayak semakin menuntut gaya kepemimpinan yang rasional karena gaya
kepemimpinan yang karismatik makin lama makin menurun kekuatannya.
Krisis yang dihadapi oleh ustaz
Seperti kiai, ustaz juga mengalami krisis perilaku sesuai dengan kedudukan dan perannya
sebagai guru di persantren. Pada dasarnya krisis ustaz terletak pada tarik‐menarik antara 3
kepentingan: mengabdi, mencari nafkah, dan mengembangkan karier. Pada awalnya mereka
memandang pekerjaan mengajar di pesantren sebagai ibadat kepada Tuhan, dilaksanakan
dengan ikhlas dan hanya mengharapkan rida Tuhan. Tetapi kemudian, dengan semakin tajamnya
persaingan dan meningkatnya kebutuhan ekonomi, mereka dituntut oleh keadaan untuk mencari
nafkah (uang) guna manghidupi keluarganya dan mengatasi kebutuhan‐kebutuhan yang lain.
Mereka harus memperhitungkan atau menghargai waktu yang dipergunakan untuk mengajar di
pesantren dengan uan. Mereka tidak dapat lagi bekerja semata‐mata untuk mengabdi di
pesantren, tetapi mereka harus bekerja karena ”dapur”. Honorarium mereka rata‐rata setiap
18 Menurut French dan Raven, ada 5 sumber wibawa : (1) coersive, (2) reward, (3) legitimate, (4) refernt,
dan (5) expert. Kemudian Duncant menambahkan satu lagi: (6) Charisma. (Terdapat dalam buku Drs. Adam Ibrahim
Indrawijaya MPA, ibid, hlm. 129).
86
tahun adalah: PP Guluk‐Guluk (Rp. 30.000), PP Sukorejo (Rp. 400.000), PP Blok Agung (Rp.
48.000), untuk sekolah diniyah, dan Rp. 120.000 untuk sekolah kurikulum, yaitu guru‐guru yang
mengajar di sekolah umum atau madrasah, PP Tebu Ireng (Rp. 480.000), dan PP Paciran (Rp.
480.000). Sedang untuk ustaz PP Gontor, tetap tidak dihitung dengan uang, tetapi memperoleh
fasilitas perumahan dan kesempatan ikut usaha dagang: menjual makanan dan melayani
kebutuhan santri, bekerja mengerjakan tanah yayasan pesantren, dan fasilitas‐fasilaitas lain yang
diberikan melalui keluarganya, sehingga para ustaz dapat melaksanakan tugasnya tanpa diganggu
oleh pikiran tentang uang.
Seiring dengan angka‐angka tersebut tampak adanya perbedaan gradual pengabdian
mereka dari pesantren satu ke pesantren yang lain. Guru dari PP Guluk‐Guluk paling mengabdi
dibandingkan dengan guru dari pesantren lain; ranking kedua ditempati oleh guru dari PP Blok
Agung, sedang guru–guru dari pesantren lain lebih dekant ke kriteria ”bekerja mencari nafkah”
daripada ”mengabdi”. Bahkan di PP Guluk‐Guluk masih terdapat beberapa guru yang masih
menerima kiriman uang dari orangtuanya, karena orangtuanya menganggap bahwa mengirim
uang kepada anaknya yang sedang mengajar agama kepada orang lain berarti beramal di jalan
Tuhan. Sedang untuk guru‐guru dari PP Gontor, upaya tersebut merupakan jalan baru yang patut
dikaji secara mendalam dalam rangka mencari jalan keluar dari dilema antara ”mengabdi” dan
”mencari nafkah”. Sebagian besar guru‐guru yang mengajar di PP Gontor adalah santri‐santri
kelas V yang diberi tugas untuk mengajar kelas‐kelas di bawahnya, sedang murid kelas VI
dibebaskan mengajar karena menghadapi ujuian akhir studi, dan mereka (murid kelas VI) diajar
oleh guru‐guru yang lebih senior yang pada umumnya adalah alumni dari PP Gontor adalah KMI
(Kuliatul Mualimin Islamiyah selama 6 tahun), yang berarti sekolah guru. Jadi dengan demikian
kewajiban mengajar tersebut merupakan praktik atau kelengkapan pendidikan mereka.
Titik krisis ketiga yang dihadapi oleh para guru pesantren adalah keinginan untuk
mengembangkan kariernya. Untuk memenuhi hasrat ini, sebagian dari guru‐guru muda mengikuti
kuliah di perguruan tinggi yang diselenggarkan oleh pesantren yang bersangkutan, atau mengikuti
kuliah pada perguruan tinggi Islam swasta lainnya yang ada di sekitarnya. Hasrat untuk
melanjutka ke perguruan tinggi tersebu menunjukkan suatu bukti bahwa mereka memerklukan
gelar dan status formahjl dalam memasuki sistem kehidupa yag semakin menruntut syart‐syrat
gormal mnegenai kaeahlian yang semakin jelas. Para ustaz amndambakan dpat melanjutkan
pelajran nya ke perguruan‐perguran tinggi, terutama IAIN (Institut Agama Islam Negeri), sebagai
”tangga” untuk meniti kariernya lebih tinggi.
2.6. Santri
Pada mulanya, pesantren diselenggarakan untuk mendidik santri‐santri agar menjadi orang yang
taat menjalankan agamanya dan berakhlak mulia; dan orangtua mengirimkan anaknya dengan keinginan
agar anaknya menjadi orang baik, yaitu mengerti dan taat menjalankan perintah agama dalam hidup
87
keseharian. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, santri dituntut memiliki kajelasan profesi. Sedang
selama belajar di pesantren mereka baru mempelajari ilmu‐ilmu agama yang sifatnya dasar dan umum,
yang akan membekali mereka landasan moral dalam kehidupan bersama. Pesantren tidak pernah
mengkhususkan tujuan pendidikannya, sebagaimana sekolah‐sekolah kejuruan, atau merencanakan
pendidikannya seperti sekolah‐sekolah umum yang memberikan ilmu‐ilmu dasar yang dapat
dikembangkan lebih lanjut menjadi berbagai profesi atau spesialisasi bidang studi melalui jenjang
pendidikan yang lebih tinggi. Sebaliknya pesantren hanya menyiapkan landasan moral agama, sedang
mengenai bentuk kahidupan atau nasib selanjutnya terserah pada perjuangan hidup di masyarakat
nanti. Masing‐masing orang akan 'Jatuh" di tempatnya sendiri‐sendiri, yang akan diketahuinya sesudah
yang bersangkutan menempatinya; maksudnya masing‐masing orang telah mempunyai nasib sendiri‐
sendiri dan nasibnya itu baru diketahui setelah yang bersangkutan menjalaninya.
Tabel berikut menggambarkan frekuensi keinginan bidang‐bidang yang akan ditekuni oleh santri
seusai belajar di pesantren.
Tabel: Frekuensi pilihan bidang kegiatan yang ingin ditekuni oleh santri seusai mereka belajar di
pesantren
PESANTREN BIDANG No.
KEGIATAN Guluk‐ Suko‐ Blok Tebu
Guluk rejo Agung Ireng
Paciran Gontor
1. Dai 59 55 69 58 45 46 332
2. Kiai 13 60 28 19 16 29 165
3. Guru 30 40 30 33 50 59 242
4. Pegawai Negeri 9 8 9 I 1 12 10 59
5. Pedagang 12 10 10 18 15 13 78
6. BeJajar ke Pergurua
n
Tinggi
55 30 35 41 47 37 245
7. Menjadi apa saja bermanfaat bagi 32 20 39 30 26 22 169
masyara JUMLAH 210 223 220 210 211 216 1290
Jadi, kalau dibandingkan urutan bidang yang ingin ditekuni oleh santri seusai mereka belajar di
pesantren: menrurut seluruh santri (1290 orang) dan menurut kelompok‐kelompok santri dari masing‐
masing pesantren, maka dari tabel tersebut dapat diperoleh gambaran sebagai berikut:
88
Urutan pilihan menurut kelompok‐kelompok santri
dari masing‐masing pesantren NO
BIDANG
KEGIATAN
Urutan pi‐
lihan me‐
nurut sem‐
ua santri Guluk‐
Guluk
Suko‐
rejo
Blok
Agung
Tebu
Ireng Paciran Gontor
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Dai
Kiai
Guru
Pegawai negeri
Pedagang
Belajar ke
perguruan Tinggi
Menjadi apa saja
yang bermanfaat
bagi masyarakat
1
5
3
7
6
2
4
1
5
4
7
6
2
3
2
1
3
7
6
4
5
1
5
4
7
6
3
2
1
5
3
7
6
2
4
3
5
1
7
6
2
4
2
4
1
7
6
3
5
Dari urutan pilihan bidang kegiatan tersebut di atas, ternyata idealisme santri adalah
menyebarkan agama, mandiri dalam kehidupan, terus belajar dan menjadi apa saja yang bermanfaat
bagi masyarakat. Meskipun demikian, kesimpulan ini perlu diuji kembali: mengapa santri meletakkan
bidang pilihan "Pegawai Negeri" sebagai ranking terakhir? Mengapa bidang "perdagangan" juga kurang
diminati? Demikian pula halnya dengan "kiai": mengapa santri tidak menempatkan "kiai" sebagai pilihan
mereka yang pertama, padahal mereka selalu menyaksikan bahwa kiai adalah tokoh kunci yang sangat
dihormati dan disegani. Tidak ditempatkannya "kiai" sebagai pilihan pertama (kecuali oleh santri dari
Pondok Pesantrcn Sukorejo), sama dengan pernyataan Mahmud Yunus19, yaitu bahwa sistem
pendidikan pesantren, jika dilihat dari jumlah kiai atau ulama yang dihasilkan, mcmpunyai angka drop
out tertinggi yaitu 99%.
Lampiran 5 menggambarkan pandangan santri terhadap be1ajar di pesantrennya meliputi
pandangan terhadap: Takdir Tuhan, Kiai dan Kitab, ilmu dan Akal, Kepentingan bersama, dan
Kepentingan pribadi. Pada dasarnya pandangan mereka adalah dependence dan inward loohing.
19 Prof. H.M. Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Mutiara, Jakarta, 1979, hlm. 58.
89
Misalnya, mereka percaya bahwa pindah agama dari agama yang satu ke agama yang lain adalah karena
takdir Tuhan; skor mereka rata‐rata: 3,11, sedang skor maksimal yang dipergunakan dalam pengukuran
ini adalah 4, jadi dengan skor 3,44 berarti mereka sangat setuju bahwa peristiwa perpindahan agama
tersebut adalah takdir Tuhan. Mereka juga sangat setuju (skor rata‐rata 3,45) bahwa hidup yang baik
adalah hidup yang sesuai denga hukum agama (fikih), bukan kenyataan, sekalipun kenyataan itu secara
materi menguntungkan. Mereka setuju bahwa dengan menjalankan ibadah dengan baik (salat, puasa,
zakat, dan sebagainya) dengan sendirinya mereka akan terjaga (terpelihara) dari musibah, (skor mereka
rata‐rata : 2,79). Mereka tidak percaya kalau kiai/ulama adalah orang‐orang pandai dan alim, tetapi
sangat setuju bahwa menghormati kiai atau ustaz sepanjang hidup adalah kewajiban moral bagi seorang
santri, jika mereka tidak ingin ilmu yang mereka peroleh hilang dengan percuma.. (skor mereka rata‐
rata: 3,32), dan mereka percaya bahwa berkah kiai merupakan kunci keberhasilan belajar di pesantren.
(skor mereka rata‐rata: 2,68). Dengan kata lain, santri percaya bahwa mereka tidak akan menjadi orang
terpelajar (learned man) atau orang beradab (cultur man) tanpa guru.
Meskipun demikian, mereka tidak setuju kalau manusia tidak perlu bekerja keras untuk
memperbaiki kehidupannya di dunia ini meskipun Tuhan telah “menuliskan kartu nasibnya” (rata‐rata
skor: 3,26). Mereka sangat setuju bahwa baik buruknya nasib manusisa di dunia ini sepenuhnya
tergantung pada usaha manusia itu sendiri, (skor rata‐rata: 3,17). Tetapi mereka tidak setuju bahwa
manusia dengan kemampuan akalnya mampu menguasai ilmu dan teknologi, yang selanjutnya dengan
ilmu dan teknologi, manusia mampu menciptakan dunia dan tujuan hidupnya.
Ketiga persetujuan mereka yang terakhir tersebut tampaknya berlawanan arah dengan
persetujuan‐persetujuan mereka sebelumnya, tetapi sesungguhnys tidak demikian. Ketiga persetujuan
mereka yang terakhir itu terjadi karena teks ajaran agamanya menyatakan hal yang demikian itu, yaitu
bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib manusia di dunia ini kalau manusia sendiri tidak
mengubahnya, dan dengan akalanya manusia akan mampu memahami ayat‐ayat Tuhan dan
menggunakannya untuk memajukan kehidupannya. Masalahnya sekarang adalah: mampukah santri
menerjemahkan teks ajaran agamanya sesuai dengan konteksnya? Kunci jawaban atas pertanyaan ini
terletak pada pemberian pendidikan ilmu pengetahuan dan teknologi (secular education) kepada
mereka. Berdasarkan atas uraian mengenai filsafat dan tata nilai yang mendasari pendidikan pesantren
seperti tersebut di atas, maka sistem pendidikan pesantren mempunyai potensi terbuka untuk
menyelenggarakan pendidikan sekular sepanjang hal itu tidak melanggar akidah‐syariah. Dan
kenyataannya, madrasah (sekolah agama) dan sekolah umum telah dibuka di hampir semua pesantren,
bahkan makin hari makin mendominasi kehidupan pendidikan pesantren. Mereka yang khusus belajar
agama tanpa merangkap belajar ilmu pengetahuan umum di madrasah atau di sekolah umum yang
diselenggarakan oleh pesantrennya, sedikit sekali, sekitar 12‐2% dari seluruh santri yang ada di
pesantren, dan hampir semua dari mereka itu adalah orang‐orang yanh sudah bekerja dalam
masyarakat, seperti: bertani, berdagang, menjadi pembantu rumah tangga, dan sebagainya. Mereka
belajar agama agar lebih mampu menempatkan diri lebih baik di tengah‐tengah pergaulan hidup
bersama dan mencari bekal untuk kehidupan nanti di akhirat. Berkembangnya pendidikan madrasah dan
sekolah umum tersebut adalah sebagai dampak global dari pembangunan nasional dan tata kehidupan
90
internasional terhadap pesantren, dan pesantren tidak dapat mengelakkan diri dan harus mengadakan
perubahan atau pergaeseran orientasi, jika mereka ingin tetap eksis dalam kehidupan. Pada umumnya
santri berasal dari kalangan keluarga muslim yang baik, taat menjalankan agamanya, dan dari daerah
pedesaan (tani, nelayan, pedagang, guru, pegawai, ABRI, dan sebagainya). Adalah suatu gejala baru yang
sudah umum di kalangan keluarga di Jawa TImur untuk mengirimkan anaknya melanjutkan ke sekolah‐
sekolah lanjutan seperti SMP, SMA, dan seterusnya, tetapi pulang ke pondok agar sempat belajar agama
atau merasakan suasana hidup pesantren. Beberapa kiai sengaja membuka pesantren tetapi tidak
menyelenggarakan pendidikan formal baik madrasah atau sekolah umum, hanya menyediakan sarana
dan belajar agama di waktu sore, malam dan pagi hari.
Sementara itu, terdapat gejala lain, yaitu adanya kecenderungan dari pimpinan pesantren, para
guru, para cendikiawan muslim, dan para pemimpin muslim, mengirimkan anak‐anak mereka ke
madrasah atau sekolah–sekolah umum atau perguruan tinggi umum negeri yang lebih baik dan lebih
modern. Gambaran B.J. Boland mengenai kecenderungan orangtua memilih pendidikan bagi anaknya
pada umumnya banyak menunjukkan kebenaran.
Kecenderungan tersebut adalah wajar, selama masih ada lembaga pendidikan yang lebih baik
dan murah, yaitu yang dapat memberikan “jaminan moral” dan “jaminan kerja”, serta terjangkau
pembiayaannya, maka orangtua pasti mengirimkan anak mereka ke lembaga pendidikan tersebut.
Sementara itu, motivasi pertama orangtua mengirimkan anaknya ke pesantren adalah agar
anaknya menjadi orang baik, dihormati, dan disegani dalan hidup bermasyarakat, dan taat menjalankan
perintah agamanya. Pada dasarnya motivasi yang demikain itu tetap masih ada pada mereka, (dan santri
masih tetap taat dan hormat, pada kiai, orangtua dan orang lain). Namun demikian, akhir‐akhir ini juga
terdapt alasan lain dari orangtua untuk mengirimkan anaknya belajar ke pasantren, yaitu biaya relatif
murah dibandingkan dengan pergurun lain, dan dilihat dari kepentingan anak didik mereka juga
memperoleh kesempatan mendapatkan ijazah negeri melalui jalur pendidikan formal yaitu: madrasah
atau sekolah umum yang dieselenggarakan oleh pesantren. Dengan demikian minimal ada 3 alasan
mengapa mereka mengirimkan anaknya ke pesantren, yaitu (a) Belajar agama (b) Kesempatan terebuka
untuk memeroleh ijazah negeri, dan (c) Biaya relative murah.
Santri semakin merasakan bahwa dalam mengarungi kehidupan di zaman pembangunan ini
manusia memerlukan dua kekuatan sekaligus, yaitu kekuatan moral dan mental spiritual sebagai dasar
dan pedoman hidup, dan kemampuan keterampilan atau keahlian, sebagai bekal memasuki pasaran
kerja. Oleh karena itu, mereka harus mempelajari agama sesuai dengan konteksnya.
2.7 Pengurus
Pengurus pesatren adalah beberapa warga pesantren yang “diutus” sebagai bukan kiai, bukan ustaz,
dan bukan santri. Tetapi keberadaan dan peran mereka amat diperlukan untuk ikut serta mengurus dan
memajukan pesantren bersama unsur‐unsur pelaku yang lain.
91
Namun, pada umumnya mereka juga adalah kiai, ustaz dan santri senior, yang juga alumni dari
pesantren yang bersangkutan. Sehubungan dengan ini maka keberadaan dan peran mereka tidak
hanuya mengurus pesantren dalam bidang manajerial, pembangunan fisik pesantren, dan hal‐hal lain
yang sifatnya non edukatif saja, tetapi mereka juga ikut memberikan pelajaran agama, memberi
bimbingan kepada santri, bahkan memberikan pertimbangan kepada kiai di dalam mengambil
keputusan. Seperti juga pengelompokan penjagaan nilai‐niai yang mendasari pesantren, pengurus juga
dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu pengurus yang membantu kiai dalam menjaga nilai kebenaran
absolut, dan pengurus yang membantu kiai dalam pengamalan nilai‐nilai agama dengan kebenaran
relatif.
Keberadaan dan peran masing‐masing pengurus berbeda‐beda dari pesantren yang satu ke
pesantren yang lain. Misalanya: (a) PP Guluk‐Guluk: Seluruh kiai dan nyai yang mengasuh pesantren dan
mendampingi K.H. Amir Ilyas adalah unsur pengurus PP Guluk‐Guluk yang memberi pertimbangan pada
K.H. Amir Ilyas dalam menetapkan kebijakannya memimpin pesantren. Di samping itu juga ada pengurus
lain yang bertugas mengurus hal‐hal lain yang sifatnya teknis operasional dan tidak secara langsung
berkaitan dengan hal‐hal yang bersifat pendidikan dan pengajaran; misalnya pengurus yang mengurus
gedung‐gedung bangunan, pendanaan, hubungan dengan instansi‐instansi lain, baik pemerintah
maupun non pemerintah, dan sebagainya. (b) PP Sukorejo: Sekretaris pribadi kiai, mansya’, lurah
pondok, pejabat‐pejabat struktural lainnya, adalah pengurus pesantren. Apa pun kedudukan dan peran
mereka, dari mengurus kegiatan‐kegiatan yang sangat teknis, fisik, dan operasional, sampai memberikan
pertimbangan kepada kiai; mereka semua adalah pembantu kiai. Dan hal yang demikain ini berlaku bagi
semua pesantren. (c) PP Blok Agung: Sebagian pengurus menduduki majelis pertimbangan yang
memberi masukan‐masukan bagi kiai dalam mengambil kebijakan, dan sebagian lagi mengurus
organisasi dan manajemen pesantren. (d) PP Tebu Ireng: Dewan kiai yang secara khusus menjaga
kemurnian ajaran agama yang di ajarkan di pesantren, mereka yang bertanggung jawab atas kemajuan
yayasan, sampai kepada mereka yang mengurusi bangunan dan keuangan pesantren, dalah pengurus PP
Tebu Ireng. (e) PP Paciran: Mereka yang bertugas mengurus masalah‐masalah adminsitratif non edukatif
adalah pengurus pesantren. Pada Lampiran 11 bagan struktur organisasi PP Paciran, jelas ada Bagan
Susunan Pimpinan Pesantren (A) dan ada Bagan Susunan Pengurus Pesantren (B). Seperti juga pada
pesantren‐pesantren yang lain, organ B membantu A. (f) PP Gontor: Badan Wakaf Pondok Modern
Gontor adalah kelompok pimpinan pesantren dan merupakan lembaga tertinggi dari struktur organisasi
PP Gontor. Sementra itu, Balai Pendidikan Modern Gontor dan organisasi OPPM merupakan pengurs
yang bertugas melaksanakan amanat badan wakaf tersebut. (Lihat Lampiran11, bagan strutktur
organisasi PP Gontor, A dan B). Kepengurusan OPPM berstatus membantu Balai Pendidikan Modern
Gontor, dan balai ini merupakan lembaga eksekutif dari badan wakaf.
Jadi dengan demikian, semua unsur pelaku yang secara organisatoris mengurus dan bertanggung
jawab atas kemajuan pesantren, dari sejak kiai utama yang merupakan pimpinan puncak samapi ke
pembantu yang mengurus hal‐hal yang sifatnya teknis operasional selama memiliki kewenangan
memutuskan dan melaksanakan apa yang menjadi tanggung jawabnya, adalah pengurus pesantren. Hal
ini untuk membedakannya dengan tukang, pembantu, dan unsur‐unsur pelaku lainnya.
92
2.8. Interaksi Pelaku
Sifat dan fungsi suatu organisasi menentukan tinggi rendahnya status resmi perilaku anggotanya.
Misalnya dalam suatu perguruan tinggi status resmi perilaku dosen lebih tinggi daripada karyawan. Pada
suatu rumah sakit, status dokter lebih tinggi daripada ahli ekonomi atau ahli pertanian yang bekerja di
rumah sakit tersebut..
Sehubungan dengan itu, maka di pesantren, status resmi perilaku tertinggi adalah kiai, peringkat
keuda: ustaz, ketiga: santri, keempat: pengurus yang kadang‐kadang menempati peringkat kedua, tatapi
kadang‐kadang peringkat kelima, dan kelima: orang lain yang membantunya. Makin tinggi status resmi
yang dimiliki, makin besar tanggung jawab, kekuasaan, dan risiko yang dihadapi. Di sisi lain, perilaku
anggota suatu organisasi dibentuk dan dikembangkan oleh tradisi yang menjadi nilai kehidupan mereka,
makin tinggi tingkat keeratan mereka dan karenanya makin homogen kadar perilaku para anggota.
Sementara itu, tingkat keeratan hubungan antara anggota yang sangat tinggi dapat menimbulkan
perilaku kelompok yang sangat kuat, dan salah satu akibat dari perilaku kelompok seperti itu ialah
menurunnya tingat keterbukaan untuk menerima informasi atau ide‐ide baru yang datang dari luar,
apalagi kalau hal‐hal yang datang dari luar itu dapat menimbulkan konflik dalam kehidupan mereka20.
Berdasarkan teori tersebut, ternyata di dalam pesantren terdapat homogenitas pandangan dan
perilaku diantara para warga pesantren yang cukup tinggi, sebagaimana tercermin dalam skor
pandangan santri terhadap belajar di pesantren (lihat Lampiran 5).
Seiring dengan kemajuan atau medernisasi di berbagai aspek kehidupan, maka perilaku para pelaku
pesantren mengalami “keguncangan” sehingga dalam menjalankan tugas sehari‐hari mereka dalam
keadaan role ambiguity dan role conflict. Peran mendua dan konflik yang dialami oleh para pelaku
pesantren tersebut tercermin dalam kehidupan yang dialami oleh kiai, ustaz, dan santri sebagaimana
dilaporkan di muka. Hubungan antara mereka juga bergeser dari gaya hubungan “searah” dari atas ke
bawah, cenderung menjadi hubungan “dua arah”, atau dari semangat paternalistik ke semangat
egalitarian, dari semangat otoriter ke semangat demokrasi, dari semangat tertutup ke semangat
terbuka, dan seterusnya; sebagaimana tercermin dalam kecenderungan perubahan gaya kepemimpinan
di muka.
2.9. Kurikulum dan Sumber Belajar
Seperti dilaporkan di muka, dewasa ini pada setiap pesantren terdapat tiga jenis pendidikan:
“pesantren”, madrasah, sekolah umum, dan perguruan tinggi Islam, ada yang berbentuk sekolah tinggi,
institut, dan universitas. Bahkan tampak sudah menjadi mode atau kecenderungan di Jawa Timur,
bahwa pada beberapa pondok pesantren hanya disediakan pendidikan pesantren lengkap dengan
20 Drs. Adam Ibrahim Indrawijaya MPA, Perilaku Organisasi, Sinar Baru, Bandung, 1983, hlm. 117.
93
asrama dan kiainya, tatapi santrinya belajar secara formal di madrasah‐madrasah, sekolah‐sekolah
umum, dan perguran tinggi di luar pesantren.
Jenis pendidikan pesantren bersifat non formal, hanya mempelajari agama, bersumber pada
kitab‐kitab klasik sebagaimana disebut dalam Lampiran‐2, meliputi bidang‐bidang studi: Tauhid, Tafsir,
Hadis, Fikih, Usul‐Fikih, Tasawuf, Bahasa Arab (Nahu, Saraf, Balagah dan Tajwid), Mantik, dan Akhlak.
Kurikulum dalam jenis pendidikan “pesantren” berdasarkan tingkat kemudahan dan
kompleksitas ilmu atau masalah yang dibahas dalam kitab, jadi ada tingkat awal, tingkat menengah dan
tingkat lanjut, misalnya Pondok Pesantren Blok Agung berkeyakinan bahwa sebelum seorang anak
belajar lebih lanjut, miminal mereka harus mempelajari kitab‐kitab awal keagamaan fikik‐sufistik.
Setiap kitab bidang studi memiliki tingkat kemudahan komplesktias pembahasan masing‐masing.
Sehubungan dengan itu, maka evaluasi kemajuan belajar pada “pesantren” juga berbeda dengan
evaluasi dari madrsah dan sekolah umum.
Jenis pendidikan madrasah dan sekolah umum bersifat formal, dan kurikulumnya mengikuti
ketentuan pemerintah. Madrasah mengikuti ketentuan dari Departemen Agama, dengan menggunakan
perbandingan 30% berisi mata pelajaran agama, dan 70% berisi mata pelajaran umum, tatapi beberapa
pesantren menyelenggarakan perbandingan terbalik, dengan bobot perbandingan yang agak berbeda:
20% berisi pelajar umum, 80% berisi pelajaran agama; misalnya pada kurikulum madrasah yang diasuh
PP Tebu Ireng.
Pada sekolah‐sekolah umum berlaku ketentuan kurikulum sebagaimana diatur oleh Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Sedang di madrasah berlaku kurikulum dari Departemen Agama.
Tetapi pada umumnya masing‐masing pesantren menyesuaikan kurikulum‐kurikulum yang
datang dari Departemen Agama dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tersebut menurut
kepentingan dan keyakinan masing‐masing. Misalnya pada SMEA di PP Blok Agung, kurikulumnya
ditambah dengan mata pelajaran teknik mengajar, karena mereka melihat bahwa banyak lulusan SMEA
juga ikut mangajar (menjadi guru), jika mereka belum mendapat pekerjaan sesuai jenis sekolahnya
(SMEA), maka lebih baik diberi bekal keterampilan mengajar. Demikian pula halnya dengan kurikulum‐
kurikulum yang berlaku pada perguran‐perguran yang diasuh PP Paciran, di samping mereka
menggunakan kurikulum‐kurikulum resmi dari departemen tersebut, mereka juga menambahkan
dengan pelajaran ke‐Muhamadiyah‐an. Kurikulum di PP Gontor juga melakukan perubahan sesuai
dengan selera dan keyakinannya. Misalnya sebagai penggati pelajaran matematika diberikan pelajaran
berhitung, dan sebagainya.
Seperti disebutkan di muka, lahirnya jenis pendidikan formal: madrasah dan sekolah
umum tersebut adalah untuk memenuhi ketentuan pembangunan dan kemajuan ilmu dan
teknologi atau dengan kata lain ntuk memenuhi tantangan zamannya. Kedua jenis pendidikan ini
ternyata menjadi jembatan bagi pesantren yang menghubungkannya dengan sistem pendidikan
nasional, dan sebaliknya kedua jenis pendidikan formal tersebut juga mendapat penyempurnaan dari
94
jenis pendidikan non formal, yaitu “pesantren”, terutama mengenai moral yang tidak dapat didikan
secara formal di madrasah dan sekolah umum tersebut. Dengan demikian terjadi simbiosis mutualis
kurikulum antara ketiga jenis pendidikan tersebut: “pesantren”, madrasah, dan sekolah umum. Dengan
kata lain, makna “pesantren” sebagai jenis pendidikan non formal, berbeda dengan makna pendidikan
non formal dalam term pendidikan umum; dimana makna pendidikan non formal dalam term yang
terkahir berarti memberikan komplemen dan suplemen pada keterampilan atau kemampuan yang telah
dimiliki anak didik agar lebih mampu melayani kebutuhan yang semakin meningkat sehubungan dengan
semakin kompleksitasnya tantangan pekerjaan yang dihadapinya, sedang makna pendidikan non formal
pada pesantren berarti mendasari, menjiwai, dan melengkapi akan nilai‐nilai pendidikan formal. Tidak
semua hal dapat diajarkan atau dididikkan melalui program‐program sekolah formal; disni “pesantren”
mengisi kekeurangan tersebut.
Seiring dengan semakin berkembangnya pendidikan formal dalam pesantren dan semakin
intensifnya pesantren berinteraksi dengan sistem lain di luar dirinya, maka sebagaimana disebutkan
dalam “Gambaran Umum Pesantren” di muka, banyak buku‐buku Islam kontemporer yang diterbitkan
dalam bahsa Indonesia memasuki dunia pesantren. Semuanya ini merupakan sumber belajar baru bagi
santri melengkapi kitab‐kitab klasik agama yang dipelajari di pesantren. Kesemuanya itu berdampak luas
dan mempengaruhi wawasan santri dalam memandang masa depannya. (Lihat Lampiran 9).
2.10. Proses Belajar‐Mengajar dan Evaluasi
Teknik pengajaran yang diberikan pada jenis pendidikan “pesantren”, adalah: sorogan dan
bandongan. Kedua teknik mengajar ini sangat populer sehingga menjadi ciri khas pesantren.
Sorogan:
Pelajaran diberikan secara individual. Kata sorogan bersal dari kata Jawa Sorog artinya
menyodorkan. Seorang santri menyodorkan kitabnya kepada kiai untuk meminta diajari. Dengan
teknik ini antara santri dan kiai terjadi saling mengenal secara mendalam. Karena sifatnya yang
individual, maka santri harus benar‐benar menyiapkan diri sebelumnya: mengenai hal apa (dari isi
kitab yang bersangkutan) yang akan diajarkan oleh kiai.
Bandongan:
Pelajaran diberikan secara kelompok, seluruh santri. Kata bandongan, berasal dari bahasa
Jawa Bandong artinya pergi berbondong‐bondong secara kelompok. Baik cara sorogan maupun
bandongan, pelajaran disampaikan dalam bahasa Jawa atau bahasa Madura, menurut bahasa
daerah kiai. Santri secara cermat mengikuti penjelasan yang diberikan oleh kiai dengan
95
memberikan catatan‐catatan tertentu pada kitabnya masing‐masing dengan kode‐kode tertentu
pula, sehingga kitabnya disebut kitab jenggot, karena banyaknya catatan‐catatan yang
menyerupai jenggot seseorang, kiai menerjemahkan kitab tersebut secara kata demi kata, atau
kalimat demi kalimat dari isi kitab ke dalam bahsa Jawa, tidak ada tanya jawab. Dengan teknik
bandongan, kiai tidak mengetahui secara individual siapa‐siapa santri yang datang mengikuti
pengajiannya.
Disamping dua cara tersebut, juga dikenal dua cara lagi, tetapi merupakan kegiatan belajar
mandiri oleh santri, yaitu halaqah dan lalaran.
Halaqah artinya belajar bersama secara diskusi untuk saling mencocokkan pemahaman
mengenai arti terjemahan dari isi kitab, jadi bukan mendiskusikan apakah isi kitab dan terjemah
yang diberikan oleh kiai tersebut benar atau salah. Jadi mendiskusikan segi “apanya”, bukan
mendiskusikan segi “mengapanya”.
Lalaran adalah belajar sendiri secara individual dengan jalan menghafal; biasanya
dilakukan di mana saja: di dekat makam, serambi mesjid, serambi kamar dan sebagainya.
Masih dalam kegiatan proses belajar‐mengajar, santri biasnya seminggu sekali, pada saat
sesudah salat Isya, mengadakan belajar pidato atau belajar memberikan ceramah‐ceramah
keagamaan; ceramahnya terserah pada masing‐masing santri, tetapi kebanyakan berkisar pada
kebagusan moral Nabi Muhammad, kepahlawanan dan kejujuran para sahabat Nabi, arti ayat‐
ayat dan hadis‐hadis tertentu, dan sebagainya.
Teknik‐teknik kegiatan belajar‐mengajar tersebut bertolak dari keyakinan bahwa isi kitab
yang diajarkan adalah benar dan kiai atau ustaz tidak mungkin mengajarkan sesuatu yang keliru
dan menyesatkan; jadi sifatnya mekanis, dan oleh karena itu, mereka cenderung mempelajari isi
kitab secara berurutan dan tidak melompat‐lompat. (Lihat Lampiran 5, Butir 13, 14, 15, 16, 17, 18,
19, 20, 24, dan 26). Bagi santri, belajar itu sendiri sudah merupakan ibadah kepada Tuhan, oleh
karena itu diperoleh tidaknya ilmu sebagai hasil belajar sangat tergantung pada rida Tuhan,
diperolehnya melalui usaha dengan segenap kesucian jiwa, tirakatan, puasa, salat, dan
sebagainya (lihat Lampiran 5 butir 8, 9, 10, dan 11). Sehubungan dengan cara belajar seperti itu,
maka tidak diperlukan fasilitas belajar yang mahal dan canggih seperti, over hand projector,
papan‐papan panel, laboratorium, dan sebagainya.
Teknik belajar tersebut berbeda dengan ciri‐ciri belajar pada madrasah dan sekolah‐
sekolah umum, walaupun pada kedua jenis pendidikan ini juga cenderung banyak hal yang perlu
dihafal. Meskipun demikian terdapat perbedaan esensial diantara keduanya. Pada proses
mempelajari kitab‐kitab keagamaan tersebut: proses belajar dipandang sebagai ibadah dan
sakral, sedang dalam mempelejari science dalam pelajaran‐pelajaran di madrash dan sekolah
umum dipandang insturmental dan profan.
96
Evaluasi
Seperti dijabarkan di muka, evaluasi keberhasilan belajar di “pesantren” ditentukan oleh
penampilan kemampuan mengajarkan kitab kepada orang lain. Jika audiencenya merasa puas,
maka hal itu berarti santri yang bersangkutan telah lulus. Sebagai legalisasi kelulusannya adalah
restu kiai bahwa santri yang bersangkutan boleh pindah mempelajari kitab lain yang lebih tinggi
tingkatnannya dan boleh mengajrka n kitab yang telah dikusia kepada orang lain. Evaluasi
keberhasilan belajar tersebut berbeda dengan evaluasi keberhasilan belajar pada madrasah dan
sekolah‐sekolah umum yang menggunakan ujian resmi dengan pemberian angka‐angka tanda
lulus atau naik tingkat.
Enrolment
Seiring dengan keterangan tersebut, dan seperti dilaporkan dalam “Gambaran Umum
Pesantren” di muka, di mana belajar di ”pesantren” tidak kenal batas waktu awal dan akhir, maka
enrolment penerimaan santri baru dan penyelesaian belajar di pesantren juga tidak ada syarat‐
syarat tertentu dan batasan waktu yang pasti kapan mulai dan kapan berakhir. Sebaliknya
enrolment untuk madrasah dan sekolah‐sekolah umum jelas syarat‐syarat dan waktunya.
2.11. Pengelolaan dan Dana
Seperti dilaporkan di muka, kiai pengasuh pesantren adalah pimpinan tertinggi dan tokoh
kunci pesantren. Oleh karena itu, pada dasarnya mengenai masalah pengelolaan dan dana ada di
tangan kiai; tetapi secara teknis oprasional ditangani oleh unit‐unit kerja dalam kelompok sayap‐
2.
Pembagian kerja dari unit‐unit kerja pada umumnya kurang jelas dan para administrator
juga belum ahli; sistem dokumentasi atau filling system belum teratur dan akurat. Meskipun
demikin, dalam pengelolaan dana, sarana, dan dokumen‐dokumen berharga lainnya, hampir
dapat dipastikan tidak ada kebocoran‐kebocoaran dalam arti korupsi. Kelemahan yang terjadi
akibat kurang profesional mengelola adalah tidak efektif, tidak efisien dan tidak akurat, serta
sering tumpang tindih. Misalanya sulit memperoleh jumlah santri secara pasti menurut jenis‐jenis
program studinya. Banyak mesin‐mesin jahit dan alat‐alat keterampilan lainnya tidak dapat
dimanfaatkan secara efektif dan efisien, dan sebagainya. Ketiadaan penyelewengan atau korupsi
tersebut karena adanya kepercayaan yang benar terhadap karisma kiai, mereka merasa diawasi
langsung oleh Yang Maha Mengetahui, takut dosa, dan sebagainya jadi semacam adanya
pengawasan yang benar telah melekat dalam diri sanubarinya. Dengan kata lain terjadinya
kelemahan dalam mengelola bukan karena faktor “hal”, tetapi semata‐mata karena belum
adanya profesi atau keahlian dan keterampilan mengelolanya.
97
Mengenai sumber dana, pada umumnya diperoleh dari: (1) usaha yayasan yang dibentuk
oleh pesantren, (2) sumbangan dari santri, (3) sumbangan dari masyarakat, baik pribadi maupun
kelompok‐kelompok, yang biasanya berupa barang‐barang natura, uang, tanah, tenaga, dan
sebagainya; berstatus sebagai: amal jariyah, wakaf, infak, sedekah, dan sebagainya, atau melaui
proyek‐proyek kerja sama, dan bantuan pemerintah pusat maupun daerah.
Karena pada umumnya tidak terdapat perencanaan‐perencanaan yang tepat dan tidak
mempunyai rencana induk pengembangan pesantren baik untuk jangka pendek maupun jangka
panjang, maka sulit diukur memadai‐tidaknya dana, tetapi secara keseluruhan akan tampak perbedaan
dari pesantren satu terhadap yang lain. Hal ini tampak dari jumlah gedung yang dimiliki, tanah, sumber‐
sumber dana, dan fasilitas‐fasilitas lainnya, serta banyaknya santri yang diasuhnya. Hal terakhir ini
merupakan indikator popularitas atau kebesaran pesantren. Bagi pesantren berlaku semboyan: “dana
berapa pun cukup dan dana berapa pun tidak cukup”. Sama halnya, dengan pandangan pesantren
terhadap jumlah santri: “berapa pun jumlah santri, sepanjang yang bersangkutan mau menjadi santri
dapat ditampung” kecuali PP Gontor karena menyelenggarakan pendidikan formal: Kuliyatul Mu’alimin
Islamiyah, dan telah memiliki persyaratan‐persyaratan tertentu yang jelas, seperti: rasio murid‐guru,
jam atau waktu belajar menyelesaikan studi, dan sebagainya. “Pesantren” tidak kenal drop out, tetapi
madrasah dan sekolah umum mengenalnya. Pesantren tidak menilai “jumlah” lulusan tetapi hanya
“kualitas” lulusan, yaitu mutu santri yang telah menjadi kiai besar.
Tatapi, pada waktu‐waktu ini telah tampak tanda‐tanda baru bahwa pesantren menyadari
pentingnya perencanaan‐perencanaan yang akurat untuk mengembangkan dirinya di masa mendatang.
Seperti: mendaftar jumlah alumni, lahirnya organisasi atau ikatan‐ikatan santri dari pesantren tertentu,
memikirkan dan memporses pembelian tanah untuk perluasan pesantren, pembangunan gedung‐
gedung baru atau aula yang dapat menampung sejumlah santri atau audience yang diinginkan, dan
sebagainya.
2.12. Saran dan Alat‐alat Pendidikan
Sebagaimana disebutkan di muka, sarana‐saran esencial, yang sekaligurs merupakan cirri khas
pesantren adalah: (a) Mesjid atau surau, (b) Rumah kiai, (c) Rumah ustaz, (d) Asrama santri, (e) Gedung
belajar, (f) Perkantoran, (g) Pos keamanan, (h) Ruang tamu, (i) Perpustakaan, (j) Tempat mandi‐WC, (k)
Dapur, (l) Ruang makan, (m) dan sebagainya, sesuai dengan besar kecilnya pesantren yang
bersangkutan. Pesantren yang paling kecil memiliki: a, b, c, dan d; yang lebih besar ditambah dengan e,
f, g, h, I, j; yang lebih besar lagi memiliki semuanya ditambah dengan sarana‐sarana olahraga, seni, balai
pertemuan, rumah tamu, dan sebagainya. Dari enam pesantren objek penelitan, dilihat dari segi sarana,
urutannya dari yang paling besar adalah: PP Gontor, PP Sukorejo, PP Tebu Ireng, PP Blok Agung, PP
Guluk‐Guluk, dan PP Paciran (Lihat Lampiran 1).
Alat‐alat pendidikan, dalam arti alat untuk belajar‐mengajar bagi jenis pendidikan “pesantren”
seperti disebutkan di atas, amat sederhana karena sifat belajarnya yang memang tidak memerlukannya.
98
Tetapi bagi madrasah dan sekolah umum, terdapat alat‐alat pendidikan dan pengajaran yang lebih
lengkap: bangku, papan tulis, alat tulis‐menulis, alat pengeras suara, over hand projector, dan alat‐alat
kekinian tampak mulai muncul. Mereka tampak memiliki laboratorium‐laboratorium untuk madrasah
dan sekolah umum yang diselenggarkannya. Dari segi alat‐alat pendidikan yang dimilki tampaknya masih
jauh memadai jika dilihat dari kemajuan ilmu dan teknologi saat ini. PP Tebu Ireng memiliki komputer,
yang masih dipergunakan untuk keperluan yang sangat terbatas. Sedang PP Gontor pada saat penelitan
ini sedang dalam perjalanan memebeli komputer. Tetapi sudah banyak pesantren‐ pesantren yang
memiliki telefon dan percetakan, serta mobil untuk kepentingan tranportasi komunikasi dengan sistem
lain di luar dirinya.
Bagaimana pun perkembangan selanjutnya akan sangat tergantung pada kemampuan mengelola
dan dananya.
3. Dinamika Sitem Pendidikan Pesantren: Perspektif Bentuk Pendidikan Pesantren di Masa Depan.
Berdasarkan sejarah kehidupan pesantren, dapat disimpulkan bahwa pesantren telah mampu
mempertahankan kehadirannya di tengah‐tengah kehidupan masyarkat dari zaman ke zmana. Pada
periode awalnya ia berjuang melawan agama dan kepercayaan yang percaya pada serba Tuhan dan
takhayul; tampil dengan membawakan misi agama tauhid. Setiap kehadiran pesantren baru selalu
diawali dengan “perang nilai” antara “nilai‐putih” yang dibawa oleh pesantren dan “nilai‐hitam” yang
ada di masyarakat setempat, diakhiri dengan kemenangan pesantren. Bentuk dan sifat pesantren pada
waktu itu: sebagi lembaga pndidikan, sosial, dan penyiaran agama dengan sifat pendidikan dan
pengajaran yang didominasi oleh pikiran ahli fikih dan tasawuf dari abad ke‐7‐13 Masehi, dengan kitab‐
kitab keagamaan yang berorientasi pada fikih dan kesufian. (lihat lampiran 2). Hampir semua kiai pendiri
dan pengasuh pesantren dilaporkan sebagai memiliki cerita‐cerita legendaris lengakp dengan kesaktian‐
kesaktian badaniah dan misteri kekuatan batiniah yang luar biasa di samping memiliki ilmu agama yang
tinggi untuk melawan kekuatan‐kekuatan hitam dan kebodohan masyarakat terhadap agama.
Keberhasilan demi keberhasilan diraih oleh pesantren sehinta i memeperoleh tampat di tengah‐tenagh
kehdiupn masyarakat, dan menjadi rujukan bagi masyarakat setempat. Pesantren dipandang sebagai
masyarakat ideal di bidang moral keagamaan. Kiai tidak hanya menjadi pemimpin spiritual dan tokoh
kunci di dalam pesantren, tetapi juga di masyarakat sekitarnya. Pada skala nasional, pesantren telah
memperoleh pengakuan sebagai lembaga pendidikan yang ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa
setidak‐tidaknya di kalangan mayoritas umat Islam Indonesia yang juga merupakan golongan mayoritas
dari bangsa indonesia.
Kemudian dalam periode zaman penjajahan, pesantren tetap eksis dalam kehidupan masyarakat
muslim dengan posisi uzlah yaitu terpisah dari tata kehidupan pemerintah kolonial pada umumnya
karena pemerintah kolonial takut pada perkembangan Islam di Indonesia, dan keadaan pendidikan
pesantren jika dilihat dari kacamata pemerintah sangat jelek, sehingga agak sulit dimasukkan ke dalam
sistem pendidikan pemerintah. Tidak jelas batas‐batas antara lembaga pendidikan, lembaga sosial, dan
99
lembaga penyiaran agama; tidak jelas kedudukan antara guru, pimpinan spiritual, penyiar agama, dan
pekerja sosial keagamaan21. Tulisan bahasa Arab sebagai bahasa yang dipelajari dan dipergunakan
dalam pesantren sangat berbeda dan sulit dipadukan dengan tulisan Latin yang dipergunakan dalam
system pendidikan pemerintah. Tulisan Arab mulai dari kanan sedang tulisan Latin mulai dari kiri. Tidak
jelas tujuan kurikulum system evaluasinya, dan sebagainya. Akhirnya, posisi pesantren tetap berada di
luar system pendidikan pemerintah. Dalam keadaan uzlah tersebut, pesantren tetap menjalankan
fungsinya sebagai lembaga untuk memperdalam ajaran agama yang bercorak fikih‐sufistik tersebut.
Pesantren dilarang mengajarkan hal‐hal yang berkaitan dengan urusan‐urusan keduniawian kecuali yang
menyangkut hukum waris (fara’id). Hal tersebut membawa keuntungan dan kerugian sekaligus bagi
pesantren. Keuntungannya ialah pesantren berhasil menjadi lembaga pendidikan yang berhasil
mengembangkan pertahanan mental spiritual, solidaritas, dan kesederhanaan hidup yang kuat, tetapi
kelemahannya ialah bahwa pendidikan pesantren bagaikan lepas dari kehidupan nyata, tidak mendarat
di bumi, karena orientasi kehidupannya telalu berat ke akhirat dan kurang memperhatikan kepentingan
hidup duniawi. Sampai sekarang warna orientasi yang demikian ini masih dapat dilihat dengan jelas.
Kemudian datang zaman pergerakan dan persiapan perang kemerdekaan. Seiring dengan
semakin “matangnya waktu” pesantren yang pada awalnya merupakan pusat pemurnian ajaran agama
dan kepercayaan, brubah menjadi salah satu pusat perjuangan nasional, dan pada periode perang fisik
kemerdekaan tersebut, pesantren menjadi pusat‐pusat gerilyawan (tentara Hizbulloh) yang berjuang
melawan penjajah. Awal pembentukan Tentara Nasiona Indonesia, terutama pada angkatan daratnya,
banyak yang barasal dari santri dan diwarnai dengan corak kehidupan atau kultur santri. Di tingkat
pimpinan dan melalui jalur perjuangan diplomasi, tidak sedikit kiai‐kiai dan pengasuh pesantren yang
menjadi pemimpin nasional dan ikut serta memberikan andilnya dalam menegakkan kemerdekaan
bangsa, melalui penyusunan dasar‐dasar konstitusi Negara. Bentuk dan sifat pesantren pada waktu itu
masih tetap sebagai lembaga pendidikan agama (tafaquh fiddin), social keagamaan, dan penyiaran
agama, dengan corak ajarannya yang fikih‐sufistik lengkap dengan orientasi ukhrawinya.
Tetapi sejak awal abad ke‐20 ilmu‐ilmu pengetahuan umum telah mulai diajarkan di pesantren,
dan sejak tahun 1970‐an latihan‐latihan keterampilan mengenai berbagai bidang, seperti: jahit‐
menjahit, pertukangan, perbengkelan, peternakan, dan sebagainya, juga diajarkan di pesantren. Seperti
disebutkan di muka, pemberian keterampilan tersebut dimaksudkan sebagai salah satu cara untuk
mengembangkan wawasan warga pesantren dari orientasi kehidupan yang amat berat ke akhirat
menjadi berimbang dengan kehidupan duniawi. Sebab sebenarnya sejak awalnya santri telah akrab
dengan bebagai keterampilan seperti pertanian, dan pekerjaan‐pekerjaan praktisi‐pragmatis lainnya.
Corak ajaran yang bersifat fikih‐sufistik tersebut, membawa santri berperilaku sakral dalam
kehidupan sehari‐hari dan kepekaan yang luar biasa terhadap kejadian‐kejadian yang berkaitan dengan
hukum agama (halal‐haram, pahala‐dosa, wajib‐sunah‐makruh dan dilarang, dan sebagainya), sehingga
21 Lihat Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi, Dalam Masyarakat Jawa, Pustaka Jaya, Jakarta, 1981,
halaman 242‐243.
100
menimbulkan pribadi yang peka terhap hal‐hal yang sifatnya karitas atau charitable, dan kurang peka
terhadap hal‐hal yang sifatnya sekular, programatis dan kalkulatif. Misalnya santri lebih peka terhadap
“seekor anjing yang kehausan” atau “duri yang melintang di jalanan” daripada sebuah “tanah longsor”
atau “jembatan yang putus” yang menyangkut langsung hajat atau kebutuhan hidup orang banyak.
Sikap karitas yang seperti itu sebenarnya memang tidak keliru, Karena memang agama juga
mengajarkan hal‐hal yang demikian, tetapi masalahnya adalah bagaimana mendudukkan ajaran tersebut
secara proporsional sesuai dengan tempat dan masalahnya. Ilmu umum, dan keterampilan tersebut
dimasukkan ke dalam pesantren, dimaksudkan untuk mengembangkan wawasan keduniawian, dan
kesadaran bahwa “yang sekular ini” adalah bagian dari akhirat, dan keduanya adalah sama esensialnya
untuk digumuli. Keduanya merupakan satu kesatuan kewajiban yang tidak dapat dipisahkan satu dari
yang lain, tetapi mereka hanya dapat dibedakan, dan masing‐masing memiliki nilai tersendiri yang tidak
dapat saling menggantikan satu terhadap yang lain. Misalnya: orang yang salatnya baik dan benar, tetapi
jika ia berbuat tidak jujur, ia tetap berdosa. Juga berlaku sebaliknya: sekalipun ia selalu berperilaku jujur
dan banyak menolong orang dalam hidup keseharian, tetapi jika ia tidak salat maka ia tetap berdosa
karena tidak salat dan kejujurannya tersebut tidak dapat menggantikan fungsi salat.
Kemudian dalam masa‐masa mutakhir, sejak 20‐30 tahun yang lalu, sebagai akibat tantangan
yang semakin gencar dari perkembangan dan kemajuan ilmu dan teknologi, maka kini sudah menjadi
pemandangan sehari‐hari bahwa di dalam pesantren telah diselenggarakan jenis pendidikan formal,
yaitu madrasah dan sekolah umum yang mempelajari ilmu‐ilmu umum. Sumber‐sumber belajar pun
telah berkembang dengan luar biasa, tidak hanya terbatas pada kitab‐kitab kuning yang bercorak fikih‐
sufistik tersebut, tetapi telah berkembang pula pada pelajaran‐pelajaran filsafat lengkap dengan cabang
keilmuannya. Banyak buku tentang filsafat dan pembaruan pemikiran dalam Islam yang ditulis oleh
cendekiawan muslim, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, dan diterbitkan dalam bahasa
Indonesai, memasuki dunia pesantren (lihat Lampiran 8).
Semua hal tersebut menggambarkan seluruh jaringan sistem pendidikan pesantren telah
berubah tidak hanya menyangkut nilai‐nilai yang sifatnya mendasar, tetapi juga nilia‐nilai instrumental.
Yang dimaksud dengan nilai‐nilai yang mendasar ialah ajaran yang bersumber pada kitab‐kitab klasik,
seperti disebutkan dalam Lampiran 2, sedang yang dimaksud nilai‐nilai instrumental antara lain adalah
munculnya lembaga‐lembaga pendidikan formal, pergeseran‐pergeseran gaya kepemimpinan,
diselenggarakannya traning‐traning kepemimpinan, seminar‐seminar, penelitian‐penelitian, dan
sebagainya secara langsung maupun tidak langsung merupkan pengembangan proses belajar‐mengajar
di pesantren.
Pada masa kini pesantren sedang berada dalam pergumulan antara: "identitas dan keterbukaan"; artinya di satu pihak ia dituntut untuk menemukan identitasnya kembali, di pihak lain ia harus secara terbuka bekerja sama dengan sistem‐sistem yang lain di luar dirinya yang tidak selalu sepaham dengan dirinya. Kiai mengalami tantangan‐tantangan: (I) la bukan lagi sebagai satu‐satunya sumber mencari ilmu dan moral, (2) la harus bekerja mengatasi kebutuhan ekonomi rumah tangganya, dan (3) la harus menghadapi krisis kelembagaan pesantren sebagai tempat ideal untuk mengali ilmu dan mengabdi, telah berkembang selain menjadi tempat untuk mencari ilmu dan mengabdi, juga sebagai tempat untuk mencari nafkah dan kesempatan untuk meniti karier resmi yang lebih tinggi. Kecuali kiai, ustaz, santri, dan orangtua santri juga menghadapi tantangan yang serupa,
101
yang pada dasarnya adalah selain mereka membutuhkan moral dan pengabdian, mereka juga butuh kerja, mengembangkan karier, dan mencari nafkah.
Dengan demikian, sejauh ini telah terjadi perubahan‐perubahan bentuk, sifat dan fungsi pesantren
sebagai berikut:
a. Semakin jelas batasan‐batasan: fungsinya sebagai lembaga pendidikan sosial dan penyiaran
agama.
b. Fungsinya sebagai lembaga pendidikan terasa semakin menonjol dibandingkan kedua fungsi
yang lain, yang berarti semakin menuju ke arah profesionalisme di bidang pendidikan.
c. Dengan semakin berkembangnya sumber‐sumber belajar dan berkembangnya pendidikan
formal dalam pesantren, maka semakin beragam (diverifikasi) jenis‐jenis pendidikan yang
diselenggarakannya, dan semakin menyatu dengan sistem pendidikan nasional. Kedua jenis
pendidikan formal tersebut (madrasah dan sekolah umum) merupakan jembatan bagi santri‐
santri untuk memasuki sekolah‐sekolah formal yang lebih tinggi tingkatannya dalam sistem
pendidikan nasional.
Sementara itu, kecenderungan global perkembangan dunia pendidikan dalam budaya industri ini
adalah sifatnya yang semakin masif, standar, dan rasional. Pendidikan keilmuan akan semakin menonjol
di masa‐masa mendatang, termasuk ilmu‐ilmu agama. Sebagaimana diketahui saat, pembagian bidang
studi untuk tingkat pendidikan menengah atas: A1 (Matematika dan Fiisika), A2 (Biologi dan Kimia), A3
(Sosial), A4 (Bahasa dan Budaya), A5 (Agama). Di sini jelas yang dimaksudkan dalam A5 tersebut adalah
ilmu agama. Lembaga‐lembaga pendidikan akan semakin didominasi dengan pekerjaan‐perkerjaan
untuk mengajarkan dan mengembangkan ilmu daripada mengembangkan nilai‐nilai dan kearifan. Tidak
semua hal dalam kehidupan ini (nilai dan kearifan) dapat diajarkan dan dididikkan melalui lembaga
pendidikan formal atau sekolah‐sekolah. Guru dapat mengajar filsafat, tatapi ia tidak dapat mengajar
kebijakan. Pendidikan nilai dan kearifan akan lebih efektif bila dilakukan melalui jenis pendidikan non
formal yang lebur dalam kehidupan sehari‐hari, sebagaimana dilakukan oleh pesantren selama ini, di
mana sangat ditekankan pentingnya pengalaman ajaran agaman dan moral dalam kehidupan sehari‐
hari.
Diverifikasi pengembangan bentuk dan jenis‐jenis pendidikan pesantren tersebut, dapat dilihat
dengan lebih jelas melalui bagan berikut:
102
I
II
III
IV A
IV B
:
:
:
:
:
Pendidikan non formal, khusus mempelajari kitab-kitab klasik agama (kitab kuning).
Keterampilan-keterampilan jahit-menjahit, pertanian, peternakan, perbengkelan, dan sebagainya.
Pendidikan formal: madrasah dan sekolah umum, baik untuk tingkat menengah pertama maupun atas.
Perguruan Tinggi, Sekolah tinggi Agama, Institut Agama, dan sebagainya. Jalur ini khusus untuk mempelajari dan mengembangkan ilmu-ilmu agama Islam, seperti: Ushuluddin, Syariah, Tarbiyah, Dakwah, dan sebagainya.
Perguruan Tinggi berbentuk universitas, sampai saat ini fakultas-fakultas yang diasuhnya tidak hanya fakultas-fakultas agama, tetapi sangat potensial dibuka fakultas-fakultas umum, karena sejak dalam kotak III sudah diselenggarakan sekolah-sekolah umum di samping sekolah-sekolah agama.
Sehubungan dengan itu, maka arah perkembangan pendidikan pesantren diperkirakan akan beljalan menempuh bentuk-bentuk sebagai berikut:
3.1. Tetap berbentuk lama, yaitu sebagai pendidikan non formal, khusus mendalami ilmu-ilmu agama, yang menekankan pentingnya pengamalan agama dalam hidup sehari-hari, bersumber dari penilaian para ahli fikih dan sufistik dari abad ke-7-13 Masehi dengan kitab-kitab klasik keagamaan. (Lihat lampiran 2).
Tampaknya bentuk tersebut secara murni dan konsekuen sudah tidak memadai lagi untuk dipertahankan, tetapi beberapa nilai tertentu rnasih amat penting untuk dipertahankan dan bahkan perlu dikembangkan. Misalnya keikhlasan, kesederhanaan, kebersamaan, dan moral keberagamaan sebagai pedoman dalam hidup keseharian.
103
3.2. Berbentuk tetap sebagai pendidikan non formal di bidang agama tetapi dilengkapi dengan berbagai keterampilan; dengan catatan bahwa bidang studi keagamaan juga terus dikembangkan sesuai dengan perkembangan pemikiran dalam Islam, jadi tidak hanya terbatas pada sumber-sumber ajaran lama seperti tersebut di atas, yaitu terbatas pada fikih-sufistik saja, tetapi perlu dilengkapi dengan filsafat, dan pemikiran-pemikiran baru dalam Islam sesuai dengan perkembangan zamannya. Tanpanya tentu ini akan dapat bertahan terus, tetapi kelemahannya, ia tidak mampu mengakomodasikan perkembangan ilmu dan teknologi termasuk ilmu-ilmu agama, secara teoritis di masa-masa mendatang. Bentuk kedua ini berarti pesantren lebih menjadi lembaga pemakai ilmu daripada sebagai lembaga pengembagan ilmu.
3.3. Berbentuk seperti alternatif kedua ditambah dengan penyelenggaraan pendidikan formal, baik madrasah maupun sekolah umum, sebagaimana sekarang ini berlaku: “pesantren” madrash, dan sekolah umum, hidup dalam satu kampus pesantren. Bentuk ini diperkirakan akan dapat bertahan di masa-masa depan, karena dengan demikian akan selain mengisi kekurangan masing-masing antara “pesantren” sebagai jenis pendidikan non formal yang menggarap bidang nilai yang dalam hal ini sebagai lembaga tafaqquh fiddin dan pengalaman agama, dengan pendidikan formal (madrasah dan sekolah umum) yang menggarap bidang ilmu. Dengan kata lain bentuk yang ketiga ini adalah: “pendidikan formal diselenggaraka dalam lingkar budaya pesantren”. Tetapi dengan alternatif ketiga ini pesantren akan tetap menjadi pendidikan non formal, yang hidup berdampingan dengan pendidian formal.
3.4. Berubah menjadi bentuk pendidikan formal yang mengasuh khusus ilmu-ilmu agama, dalam pengertian sebagaimana disebut dalam alternatif pertama di muka. Bentuk ini kiranya tidak dapat dipertahankan karena ilmu-ilmu yang diajarkan kurang memadai dengan kebutuhan.
3.5. Berubah menjadi altrenatif keempat ditambah dengan ilmu-ilmu pengetauhan umum, dan ilmu-ilmu agama yang diajarkan juga dikembangkan sesuai dengan perkembangan pemikiran dalam Islam. Jadi dalam alternatif kelima ini: pengajaran ilmu-ilmu agama menjadi mayoritas, sedang ilmu pengetahuan umum menjadi minoritas. Alternatif kelima ini sama dengan sekolah-sekolah percobaan yang diadakan oleh Departemen Agama yang disebut “Madrasah Plus”, yang sejak 2-3 tahun yang lalu diadakan di Padang, Ujung Padang, Jawa Timur. Sekolah percobaan tersebut dimaksudkan untuk mencari masukan calon-calon mahasiswa bagi IAIN, dengan perbandingan kurikulum : 70% ilmu agama, 30% ilmu pengetahuan umum.
3.6. Berubah menjadi bentuk pendidikkan formal, sebagaimana alternatif kelima di atas, tetapi dengan perbandingan terbalik: 70% akal (ilmu pengetauhn umum atau metode berpikir), 30% moral (agama). Betnuk ini sama dengan bentuk yang sekarang berlaku bagi madrsah-madrasah yang diasuh oleh Departemen Agama, sebagai hasil keputusan Menteri Agama, Pendidikan dan Kebudayaan, dan Dalam Negeri, tahun 1975. Pola in sebenarnya satu
104
model dengan perguruan-perguruan yang diselenggarakan oleh perguruan-perguruan Islam swasta seperti Muhamadiyah, NU, dan sekolah Islam lainnya, seperti UII (Universitas Islam Indonesia) Yogyakarta, dan sebagainya. Hanya pada perguruan-perguruan yang terakhir ini mungkin pengajaran agamanya ada yang lebih kecil dari 30%, dan ada yang lebih besar dari 30% sesuai dengan seleranya masing-masing; tetap 1 yang jelas dalam alternatif keenam ini, kurikulum ilmu agama merupakan kelompok minoritas, sedang ilmu umum merupakan kelompok mayoritas. Alternatif keenam tersebut akan menjadi tipe ideal bagi bentuk pesantren di masa depan, karena dengan komposisi kurikulum 30% agama, 70% umum tersebut memungkinkan diletakkan kerangka dasar pemikairan rasional, dan hal itu diselenggarakan dalam kultur pesantren lengkap dengan sistem asramanya, setelah disesuaikan dengan kebutuhan zamannya. Dikaitkan dengan persepektif kedudukan pesantren sebagai subsistem pendidikan nasional, maka tidak semua aspek kultur (asrama) pesantren perlu dikembangkan dalam sistem pendidikan nasional; ada aspek-aspek tertentu daripadanya yang harus ditinggalkan karena sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan zaman. Dengan diletakkannya landasan dasar metodologi berpikir rasional yang kuat, memungkinkan santri mengembangkan kemampuan daya intelektual dan ilmunya, sedang dengan hanya kekayaan materi tanpa metodologi hanya akan membawa santri berpikir dogmatis. Gambaran asrama pesantren pada saat ini ialah: “Merupakan tempat tinggal bersama: selama 24 jam, mata santri memandang mesjid atau surau sebagai tempat ibadah, telinganya selalu mendengar alunan suara-suara bacaan ayat-ayat suci Alqur’an, mulutnya selalu mengumandangkan suara-suara istigfar, takbir, tahmid, dan pujian-pujian selawat nabi, kaki dan tangannya selalu basah dengan air wudhu dan siap melangkah ke mesjid untuk menunaikan salat, dan seluruh gerak langkahnya selalu berlomba dalam mengamalkan agama dan mengaharapkan berkah kiai”. Keadaan yang seperti itu, selain dapat menimbulkan hal-hal positif seperti berkembangnya moral keagamaan yang baik dan pertahanan mental-spiritual keagamaan yang kuat juga dapat menghambat perkembangan individualitas (jati diri), karena pribadi individu telah larut ke dalam kepribadian kolektif, dan dapat menimbulkan penyimpangan - penyimpangan kejiwaan lainnya yang tidak diharapakan, seperti hubungan seksual dengan sesama jenis kelamin, sikap tertutup, fanatisme agama yang sempit, dan sebagainya. Oleh Karena itu, diperlukan pembauran konsep asrama di masa depan agar pesantren mampu menyatakan kehadirannya sebagai subsitem pendidikan nasional secara mantap di masa-masa depan. Tampaknya kebutuhan asrama di masa dapan ialah bahwa asrama bukan sekadar tempat hidup berasrama selama 24 jam dari tahun ke tahun seperti tersebut di atas, tetapi asrama hendaknya juga berfungsi sebagai forum studi bersama yang secara kreatif dan inovatif mampu mengembangkan Ilmu, teknologi dan agama, sesuai dengan tantangan zamannya dan mengembangkan individualitas atau jati diri masing-masing anggotanya yang seimbang dengan perkembangan kepribadian kolektif.
Oleh karena itu, masalah penting bagi konsep "asrama masa depan" bukan terletak pada hidup bersamanya semua anggota dalam satu tempat secara terus-menerus, tetapi adalah pemikiran selama 24 jam untuk merencanakan atau memprogramkan kegiatan-kegiatan pengembangan ilmu dan teknologi yang dipandu oleh moral agama sebagai satu kesatuan yang diamalkan dalam hidup keseharian; jadi dengan demikian asrama juga berfungsi sebagai forum dialog antara murid dan guru, dan antara murid dan sesamanya.
105
Dalam kaitan tersebut, pesantren perlu mengadopsi kultur Sistem Pendidikan Nasional. dalam hal wawasan berpikir keilmuan, meliputi metode berpikir: deduktif, induktif, kausalitas, dan kritis untuk memahami ajaran-ajaran agama secara kontekstual dan mengembangkan ilmu-ilmu pengetahuan umum dan teknologi dalam struktur relevansinya dengan ajaran agama.
Dengan dilaksanakannya sistem madrasah dengan kurikulum 30% agama, 70% umum, dalam kultur dan asrama pesantren menurut konsep asrama baru tersebut, diharapkan pesantren dapat menghasilkan lulusan yang mampu mengembangkan dan mengamalkan bidang keahliannya dengan tetap dipandu dan dipadu oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; dan dengan alternatif keenam ini juga terbuka kesempatan untuk mengembangkan disiplin ilmu agama Islam sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Agama No. 110 tahun 1982 (Iihat Lampiran 9).
4. Rekapitulasi Deskripsi Hasil Temuan Penelitian
Matriks berikut menggambarkan dinamika pesantren dalam mengarungi kehidupannya:
Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren:
Dulu, Sekarang dan Kecenderungannya Mendatang
No. Hal Dulu Sekarangdan Mendatang I
1. Status * Uzlah- * Sub Sistem Pendidikan
Nasional * Milik Pribadi * Milik Institusi
2. Jenis Pendidikan * Pesantren (PNF) * Pesantren (PNF)
* Madrasah (PF) * Sekolah Umum (PF) * Perguruan Tinggi (PF)
3. Fungsi * Lembaga Pendi- * Lembaga Pendidikan
dikan * Lembaga Sosial
* Lembaga Penyi-
aran Agama
4. Sifat * Bebas Waktu * Masih berlaku bagi PNF, Dan Tempat tidak berlaku bagi PF
106
* Bebas Biaya.
* Bebas Syarat
5. Pendekatan * Holistik * Spesifik
6. Corak Kehidupan * Fikih-Sufistik * F.S. + Ilmu
(tarekat) * Orientasi Ukhrawi * Ukhrawi + Duniawi * Sakral * Sakral + Profan * Manusia sebagai * Manusia Objek + Subjek objek (fatalistik) (vitalistik)
7. Sumber Belajar * Kiai/Ustaz * Kiai/Ustaz
* Kitab Klasik * Kitab Klasik
Agama (Kitab * Kitab-Kitab Kontemporer Kuning) Agama dan Ilmu-ilmu Umum
8. Bahasa Pengantar * Daerah * Indonesia
* Arab * Daerah * Arab * Inggris
9. Metode Belajar * Sorogan * Sorogan
* Bandongan * Bandongan
* Halaqah * Halaqah
* Lalaran * Lalaran * Kaya Materi, * Diskusi-diskusi, Training, Miskin Seminar-seminar menuju (menghafal) pengayaan metodologi
(dialog)
No. Hal Dulu Sekarang dan Mendatang
10. lImu * Sakral, mapan dan * Profan, Instrumental,
diperoleh melalui belum mapan, dan dicari
berkah Kiai melalui akal
* Tekstual * Kontekstual
11. Keterampilan * Merupakan bagian * Merupakan sarana pendi.
integral dari kehi- dikan untuk mengem-
dupan santri bangkan wawasan pemi-
kiran keduniawian
12. Perpustakaan,Do- * Tidak ada * Ada
kumentasi dan * Manual * Manual, Elektronikal
107
Alat Pendidikan
13. Tujuan * Agama (Ukhrawi) * Agama (Duniawi)
* Memahami dan meng- * Memahami amalkannya sesuai de-
mengamalkannya ngan tempat dan zaman-
secara (tekstual) nya (kontekstual)
14. Kurikulum * Menurut penjen- * Menurut penjenjangan
jangan Kitab Kitab (PNF)
* Menurut Dept. Agama (Madrasah)
* Menurut Depdikbud (Sekolah Umum)
* Perguruan Tinggi: Menyesuaikan; Dept.
Agama/Depdikbud
15. Sumber dan Penge- * Pribadi, Masyarakat * Pribadi; Masyarakat dan
lolaan Dana * Pribadi Kiai Pemerintah
* Yayasan
16. Air * "Dua Kulah”22 * Kran/Ledeng
17. Santri * Tidak Membayar * Membayar
* Memasak dan * Bayar Makan dan Penatu mencuci * Menerima Wesel Uang
No. Hal Dulu Sekarang dan Mendatang
* Menerima bekal * Tidak mencari nafkah
in natura * Celana, Sepatu * Mencari nafkah * Mencari Ilmu dan Ijazah * Sarung &: Peci
* Mengabdi Kiai dan
Cari Ilmu
18. Ustaz * Mengabdi pad a * Mengabdi pad a Kiai,
Kiai dan belajar belajar dan mencari nafkah
19. Orangtua * Menyerahkan anak- * Mengirimkan anaknya ke
nya kepada Kiai Pesantren untuk belajar
untuk dididik dan agama agar menjadi
22 Lihat catatan kaki hlm. 35.
108
memperoleh ber- orang baik dan berkeah- kah Kiai lian
20. Pengurus * Mengabdi Kiai * Bertanggungjawab pada
unit kerjanya * Memberi masukan/per-
timbangan Kiai
21. Kiai * Sumber Belajar/ * Bukan merupakan sum-
Moral Tunggal ber tunggal; namun kiai masih tetap menjadi to- koh kunci
22. Jenis Kepemim- * Karismatik * Rasional
pinan
23. Suksesi * Keturunan * Keahlian
24. Nilai Kunci * Berkah Kiai * Ibadah
* Ikhlas * Ikhlas * Ibadah * Berkah Kiai
25. Asrama * Hidup bersama * Hidup bersama
*Menerima, memiliki * Dialog
ilmu dan meng- * Menjadikan ilmu sebagai
amalkannya sarana pengembangan
diri
109
Analisis
Meskipun demikian, secara makro dewasa ini masih terasa adanya dua corak dalam Sistem
Pendidikan Nasional, yaitu pendidikan akal ada pada pendidikan umum (baca pendidikan nasional) dan
pendidikan moral ada pada pendidikan agama (baca pesantren). Padahal keduanya seharusnya
merupakan satu kesatuan bagaikan sisi‐sisi satu mata uang dalam satu Sistem Pendidikan Nasional.
Untuk ini Sistem Pendidikan Nasional perlu mengadopsi pendidikan moral dari pesantren dan
pendidikan, pesantren perlu mengadopsi pendidikan akal dari Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini hanya
mungkin jika kita mampu memandang bahwa ilmu harus bersumber pada sunnatullah, dan oleh karena
itu, profesionalisme yang dikembangkan melalui pendidikan formal harus dipadu oleh iman dan takwa
kepada Tuhan. Ilmuwan harus sadar akan kehadiran Tuhan setiap saat, dan ia harus sadar pula bahwa
kebenaran yang dimiliki pada satu saat tidak mustahil akan berubah atau dibatalkan oleh pendapat baru
yang lebih benar, sesuai dengan data dan fakta yang datang kemudian. Melalui ilmu dan teknologi,
ilmuwan mampu mengidentifikasi daya‐daya positif dan negatif yang secara kodrati ada pada objek
studinya, sehingga ia mampu mengembangkan dan memanfaatkan daya‐daya positif dan meredam
daya‐daya negatif bagi kepentingan hidup bersama dalam rangka mengabdi kepada‐Nya; jadi ilmuwan
jangan hanya asyik dengan ilmu, teknologi dan hukum alam saja yang lepas dari pencipta‐Nya, sebab hal
ini dapat membawanya "Iupa Tuhan" atau ateisme. Misalnya teori evolusi Darwin. Sebaliknya, ia harus
sadar bahwa dirinya tidak akan mampu membuat hukum baru melampaui sunnatullah. Dengan kata
lain, tanggung jawab pendidikan adalah menjadikan anak didiknya mampu memahami dan menghayati
makna sujudnya makhluk pada Penciptanya, yaitu Tuhan.
Matriks berikut menggambarkan analisis perbandingan antara pesantren dan pendidikan umum:
110