Post on 30-Jun-2015
description
i
LAPORAN PENELITIAN
ANALISIS PELAKSANAAN DESA SIAGA DI DESA KILENSARI
KECAMATAN PANARUKAN KABUPATEN SITUBONDO TAHUN 2011
Oleh:
Erfan Nasrullah, dr.
Hakamy, dr.
Faradilla S.Widyaswara, dr.
Wijayanti, dr.
Kartika Prahasanti, dr.
PUSKESMAS PANARUKAN
KECAMATAN PANARUKAN
KABUPATEN SITUBONDO
2011
ii
HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN PENELITIAN
ANALISIS PELAKSANAAN DESA SIAGA DI DESA KILENSARI KECAMATAN
PANARUKAN KABUPATEN SITUBONDO TAHUN 2011
Oleh:
Erfan Nasrullah, dr.
Hakamy, dr.
Faradilla S.Widyaswara, dr.
Wijayanti, dr.
Kartika Prahasanti, dr.
Telah kami periksa dengan seksama dan menyetujui laporan ini.
Kepala Puskesmas Panarukan
G.M. Candrawati, dr.
NIP 19600527 198802 2 001
iii
DAFTAR ISI
LAPORAN PENELITIAN ........................................................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................................... iii
RINGKASAN ......................................................................................................................................... iv
BAB 1: PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian .......................................................................................................................... 3
1.4 Manfaat ......................................................................................................................................... 3
BAB 2: TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................................ 4
2.1 Profil Desa Kilensari Kecamatan Panarukan Kabupaten Situbondo ............................................. 4
2.2 Profil Kesehatan Desa Kilensari ................................................................................................... 8
2.3 Konsep Desa Siaga ........................................................................................................................ 9
2.3.1 Pengertian desa siaga ............................................................................................................ 9
2.3.2 Tujuan desa siaga................................................................................................................ 10
2.3.3 Sasaran desa siaga ............................................................................................................... 10
2.3.4 Kriteria dan tahapan desa siaga di Jawa Timur .................................................................. 10
2.3.5 Langkah pengembangan desa siaga ..................................................................................... 12
2.3.6 Indikator keberhasilan ......................................................................................................... 13
BAB 3: METODE PENELITIAN ......................................................................................................... 15
BAB 4: HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................................ 16
4.1 Forum Masyarakat Desa.............................................................................................................. 16
4.2 Pos Kesehatan Desa .................................................................................................................... 19
4.3 Pembinaan dari PONED.............................................................................................................. 20
4.4 Sistem Kegawatdaruratan dan penaggulangan bencana .............................................................. 21
4.5 Survailance Masyarakat .............................................................................................................. 23
4.6 Penyuluhan Kadarzi dan PHBS .................................................................................................. 24
BAB 5: KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................................................ 26
5.1 Kesimpulan ................................................................................................................................. 26
5.2 Saran ............................................................................................................................................ 26
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 27
iv
RINGKASAN
Sejak Desa Kilensari ditunjuk menjadi pilot project desa siaga di kecamatan Panarukan pada tahun 2007, angka kejadian penyakit saluran nafas atas, diare, dan balita dengan gizi kurang/buruk masih tinggi. Oleh karena itu, pelaksanaan program desa siaga sebagai wadah masyarakat agar mau dan mampu hidup sehat di Desa Kilensari Kecamatan Panarukan perlu dikaji. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengevaluasi, sekaligus mengetahui faktor pendorong dan faktor penghambat proses pelaksanaan desa siaga di Desa Kilensari Kecamatan Panarukan. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif evaluatif (evaluation study) dengan menilai variabel indikator-keberhasilan-proses desa siaga. Sampel penelitian didapatkan dengan menggunakan teknik porposive sampling. Data dikumpulkan menggunakan teknik wawancara bebas-terpimpin dibantu dengan instrumen panduan interview dan focus grup discussion. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa kegiatan dilaksanakan sesuai dengan panduan desa siaga, namun masih belum ada inovasi program yang dicanangkan berdasarkan permasalahan kesehatan riil di desa. Jika dinilai dari indikator proses maka desa siaga Kilensari masih dalam tahap bina dan memerlukan pembinaan intensif dari petugas kesehatan dan petugas sektor lainnya. Peran tokoh masyarakat terutama kepala desa masih bisa ditingkatkan lagi untuk menggerakkan masyarakat agar berpartisipasi aktif dalam kegiatan desa siaga.
Kata kunci: Desa siaga, evaluasi, proses pelaksanaan
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Desa siaga adalah salah satu upaya pemerintah dalam rangka pencapaian Visi
Indonesia Sehat 2010, yang intinya adalah memberdayakan masyarakat agar mau dan mampu
untuk hidup sehat. Desa siaga adalah program yang dicanangkan pemerintah pusat, sehingga
Desa Kilensari, yang menjadi fokus pembahasan kali ini, pun tak luput dari pencanangan
program tersebut. Desa siaga mulai dikembangkan di Kabupaten Situbondo sejak tahun 2007.
Desa Kilensari sendiri ditunjuk menjadi pilot project desa siaga di kecamatan Panarukan.
Sebagai pedoman dalam melaksanakan kegiatan desa siaga, menteri kesehatan
Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
564/MENKES/SK/VIII/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengembangan Desa Siaga.
Disebutkan di dalam kepmenkes tersebut, bahwa salah satu indikator keberhasilan desa siaga
dinilai dari dampak yang dihasilkan dari kegiatan-kegiatan yang dijalankan oleh desa siaga.
Dampak yang dimaksud meliputi (1) jumlah penderita sakit, (2) jumlah penderita gangguan
jiwa, (3) angka kematian ibu, (4)angka kematian bayi dan balita, dan (5) jumlah balita dengan
gizi buruk. Dengan mengetahui nilai parameter-parameter di atas, maka kita dapat mengetahui
tingkat keberhasilan desa siaga yang telah berjalan.
Terkait dengan Desa Kilensari, berdasarkan data Laporan Bulanan (LB-1) Puskesmas
Panarukan selama tahun 2009, dilaporkan bahwa angka kejadian penyakit saluran nafas atas
di Desa Kilensari adalah tinggi (1.975 kasus). Sedangkan pada tahun 2010, angka tersebut
turun menjadi 1.652 kasus (15,86% dari seluruh kasus penyakit saluran nafas atas yang
ditangani Puskesmas Panarukan). Adapun angka kejadian diare pada tahun tersebut tercatat
sejumlah 312 kasus. Sedangkanselama tahun 2010, tercatat sebanyak 196 kasus (9,92% dari
seluruh kasus yang ditangani Puskesmas Panarukan).
2
Sehubungan dengan masalah penderita gangguan jiwa, tidak dilaporkan adanya kasus
gangguan jiwa psikotik di Desa Kilensari selama tahun 2009-2010. Walaupun begitu, tercatat
angka kejadian gangguan jiwa neurotik pada tahun 2009 berjumlah 374 kasus. Adapun pada
tahun 2010, gangguan jiwa neurotik dilaporkan sebanyak 110 kasus dari keseluruhan 12.103
penduduk.
Berdasarkan data Unit Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Puskesmas Panarukan,
tidak didapatkan adanya ibu hamil yang meninggal dalam 3 kelahiran hidup selama kurun
waktu tahun 2010 di Desa Kilensari.Bayi lahir mati tercatat sejumlah 1 dari total 4 kelahiran.
Adapun data kematian bayi dan balita belum dapat diperoleh sebab pendataan atas kematian
bayi dan balita baru dimulai sejak tahun 2011.
Data yang diperoleh dari bagian Pojok Gizi Puskesmas Panarukan menunjukkan
bahwa angka kejadian balita gizi buruk di Desa Kilensari pada tahun 2010 cukup tinggi
dengan jumlah 141 kasus balita gizi buruk dari 888 balita keseluruhan (15,88%). Tingginya
angka kejadian balita gizi buruk di Desa Kilensari tampak nyata jika dibandingkan dengan
desa-desa lain di wilayah kerja Puskesmas Panarukan; seperti di Paowan (24 kasus / 471
balita [5,09%]), Sumberkolak (78 kasus / 819 balita [9,52%]), Wringin Anom (39 kasus / 510
balita [7,65%]), Peleyan (11kasus / 229 balita [4,80%]), Alas Malang (28 balita gizi buruk
dari total 255 balita [10,98%]), Duwet (24 balita gizi buruk dari total 207 balita [11,59%]),
dan Gelung (24 balita gizi buruk dari total 273 balita [8,79%]).
Mengacu data yang telah disebutkan, walaupun terjadi perbaikan angka kesakitan dari
tahun 2009 ke tahun 2010, yang dalam hal ini digambarkan dengan angka kejadian penyakit
saluran nafas atas dan diare, insidensi keduanya masih tinggi. Begitu pula dengan tingginya
angka balita dengan gizi buruk di Desa Kilensari.
Berdasarkan masalah di atas, penulis berpendapat bahwa pelaksanaan program desa
siaga sebagai wadah masyarakat agar mau dan mampu hidup sehat di Desa Kilensari
Kecamatan Panarukan perlu dikaji.
3
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana gambaran pelaksanaan program desa siaga di Desa Kilensari?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mengetahui proses pelaksanaan desa siaga di Desa Kilensari Kecamatan
Panarukan
2. Mengevaluasi pelaksanaan desa siaga di Desa Kilensari Kecamatan Panarukan
berdasarkan indikator keberhasilan proses desa siaga
3. Mengetahui faktor pendorong dan faktor penghambat yang mempengaruhi tingkat
keberhasilan hasil proses pelaksanaan desa siaga di Desa Kilensari Kecamatan
Panarukan
1.4 Manfaat
Melalui penelitian ini dapat diketahui gambaran yang objektif mengenai pelaksanaan
program desa siaga di Kilensari berikut faktor yang menghambat maupun mendorong
perkembangan program tersebut. Hasil penelitian dapat menjadi dasar rekomendasi bagi
perbaikan dan pengembangan pelaksanaan program desa siaga khususnya di Desa Kilensari,
Kecamatan Panarukan.
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Profil Desa Kilensari Kecamatan Panarukan Kabupaten Situbondo
Desa Kilensari adalah salah satu desa yang terletak di Kecamatan Panarukan,
Kabupaten Situbondo dengan batas wilayah sebelah utara Selat Madura, sebelah selatan Desa
Kendit, Kecamatan Kendit, sebelah timur berbatasan dengan Desa Wringin Anom,
Kecamatan Panarukan dan di sebelah barat Selat Madura.
Wilayah Desa Kilensari berada pada ketinggian tiga meter di atas permukaan laut
dengan suhu rata-rata harian 30°C. Sebagian besar wilayahnya berupa dataran rendah seluas
392 ha yang disertai wilayah pesisir seluas 20 ha dengan curah hujan 3000 mm3 per tahun.
Wilayah tersebut digunakan paling banyak untuk persawahan seluas 205 ha. Lahan lainnya di
gunakan untuk prasarana umum 79 ha, pekarangan 15 ha, permukiman 10 ha, dan perkantoran
5,3 ha.
Secara administrasi Pemerintahan Desa Kilensari terdiri dari 8 dusun, 16 RW dan 49
RT. Pembagian RT dan RW di Desa Kilensari tergambarkan pada Tabel 2.1. Lembaga
pemerintahan Desa Kilensari mempunyai dasar hukum pembentukan pemerintahan yang sah,
terdiri dari aparat pemerintahan desa yang berjumlah 25 orang dan perangkat desa yang terdiri
dari 14 unit kerja dan dikepalai oleh Kepala Desa. Sedangkan Lembaga kemasyarakatan yang
ada di Desa Kilensari adalah LPMD, PKK, Kelompok Tani dan Nelayan, beberapa kelompok
masyarakat seperti remaja masjid, kelompok yasinan, wakik, istighasah, beberapa organisasi
masyarakat seperti NU, Muhammadiyah, dan anshar, serta beberapa yayasan.
Adapun jumlah penduduk di Desa Kilensari berdasarkan data tahun 2010 adalah
sebanyak 12.282 jiwa terdiri dari 4.535 KK dengan pembagian penduduk laki-laki 6.077
jiwa dan penduduk wanita 6.205 jiwa. Jumlah penduduk yang cukup padat tersebut ditunjang
5
dangan sarana transportasi jalan yang dapat dilalui kendaraan roda dua dan roda empat serta
sarana transportasi sungai/laut berupa kapal antar pulau.
Tabel 2.1 Jumlah RW dan RT di Desa kilensari Dusun Jumlah
RW Jumlah RT
Pesisir Utara 2 8 (4/4) Pesisir Tengah 1 4 Pesisir Selatan 1 3 Tanah anyar 2 5(2/3) Karang sari 4 12
(3/3/3/3) Kilen Selatan 2 6 (3/4) Somangkaan 3 9 (3/3/3) Bataan 1 2
Sumber: Profil Desa Kilensari 2010
Mata pencaharian utama penduduk yang paling banyak adalah sebagai nelayan.
Selain itu juga banyak juga yang bekerja di bidang pertanian seperti tani, buruh tani dan juga
di bagian peternakan. Sisanya mata pencaharian penduduk cukup bervariasi seperti dapat di
lihat pada Tabel 2.2
Tabel 2.2 Distribusi Penduduk Desa Kilensari Berdasarkan Jenis Pekerjaan Tahun 2010 No Jenis pekerjaan Jumlah
Penduduk (jiwa)
1. Pertanian - Tani - Buruh tani - Peternakan
215 168 215
2. Nelayan 2780 3. Pengrajin industry rumah tangga 49 4. Pedagang keliling 39 5. Montir 10 6. TNI/POLRI 9 7. Pengusaha kecil, menengah 201 8. Pensiunan PNS/TNI/POLRI 252
Sumber: Profil Desa Kilensari 2010
Mayoritas penduduk di Desa Kilensari adalah pemeluk agama Islam sebanyak 12.088
orang dan sebagian kecil yang lain adalah pemeluk agama Kristen, katolik, dan konghucu.
6
Pendidikan Islam ditunjang oleh pesantren, TPQ/TPA, dan Diniyah sedangkan fasilitas
pendidikan formal tertinggi yang ada di Desa Kilensari adalah tingkat SLTP sebanyak 4
sekolah. Sarana Pendidikan di Desa Kilensari tergambar pada Tabel 2.3
Tabel 2.3 Jenis Sekolah dan Jumlah sekolah di Desa Kilensari tahun 2010 Jenis Sekolah/Pendidikan Jumlah
Sekolah Taman Kanak-kanak (TK) 2 Sekolah Dasar (SD)/Sederajat 10 SLTP/sederajat 4 SLTA/sederajat - Ponpes 2 TPQ/TPA 1 Diniyah 1
Sumber: Profil Desa Kilensari 2010
Di bidang kesehatan, terdapat hanya ada satu tempat praktek dokter di desa kilensari.
Fasilitas prasarana dan sarana kesehatan paling banyak di Desa Kilensari berupa Posyandu
sebanyak 16 unit. Disamping itu, juga terdapat 3 unit Rumah Bersalin, 2 unit Polindes serta
Praktek Dokter dan Poskesdes masing – masing 1 unit.
Tabel 2.4 Prasarana Kesehatan yang ada di Desa Kilensari Uraian Keterangan Posyandu 16 unit Jumlah Rumah/Kantor Praktek Dokter 1 unit Rumah Bersalin 3 unit Poskesdes 1 unit Polindes 2 unit
Sumber: Profil Desa Kilensari 2010
Dari segi sumber daya kesehatan, di Desa Kilensari tidak didapatkan tenaga medis
Namun, terdapat tenaga paramedis seperti bidan berjumlah 3 orang serta adanya perawat atau
mantri kesehatan sebanyak 3 orang, tanpa disertai tenaga laboratorium kesehatan maupun
apoteker atau asisten apoteker. Ada beberapa tenaga kesehatan terlatih yang dapat kita jumpai
seperti dukun bersalin sebanyak tiga orang dan dukun tenaga pengobatan alternatif sebanyak
satu orang.
7
Tabel 2.5 Tenaga Kesehatan di Desa Kilensari Tenaga Medis Keterangan Jumlah dokter umum - orang Jumlah dokter gigi - orang Jumlah dokter spesialis lainnya - orang Tenaga Paramedis Bidan 3 orang Perawat/ Mantri Kesehatan 3 orang Tenaga Laboratorium Kesehatan - orang Apoteker/ Asisten Apoteker - orang Tenaga Kesehatan Terlatih Dukun Tenaga Pengobatan Alternatif 1 orang Dukun Bersalin 3 orang Kader Kesehatan - orang
Sumber: Profil Desa Kilensari 2010
Jumlah penduduk di Desa Kilensari yang sangat padat ditunjang oleh fasilitas
prasarana dan sarana kebersihan yang masih minimal, seperti terlihat pada Tabel 2.6
Tabel 2.6 Prasarana dan Sarana Kebersihan Uraian Keterangan Tempat Pembuangan Sementara (TPS) Tidak ada Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Tidak ada Alat pengahancur sampah/ incinerator Tidak ada Jumlah gerobak sampah Tidak ada Jumlah tong sampah Tidak ada Jumlah truck pengangkut sampah Tidak ada Jumlah Satgas Kebersihan Tidak ada Jumlah anggota Satgas Kebersihan Tidak ada Jumlah pemulung Ada 3 orang Tempat Pengelolaan Sampah Tidak ada Pengelolaan sampah lingkungan/RT Tidak ada Pengelolaan sampah lainnya Tidak ada
Sumber: Profil Desa Kilensari 2010
Selain itu, walaupun tempat tinggal penduduk amat berdekatan, berdasarkan Tabel 2.7
terlihat bahwa semangat kegotongroyonan penduduk dalam bentuk kegiatan bersama
khususnya di bidang kesehatan masih kurang.
8
Tabel 2.7 Semangat Kegotongroyongan Penduduk Uraian Keterangan Jumlah kelompok arisan 12 buah Kegiatan gotong royong dalam pemeliharaan fasilitas umum
Ada
Kegiatan gotong royong dalam menjaga ketertiban, ketentraman dan keamanan
Tidak ada
Kegiatan gotong royong dalam peristiwa kematian Ada Kegiatan gotong royong dalam menjaga kebersihan desa/kelurahan
Tidak ada
Kegiatan gotong royong dalam pemberantasan sarang nyamuk dan kesehatan lingkungan lainnya
Tidak ada
Kegiatan gotong royong dalam penanggulangan bencana
Ada
Kegiatan gotong royong dalam pelaksanaan kegiatan bulan bhakti gotong royong
Tidak ada
Ada tidaknya dana sehat Tidak ada Ada tidaknya kerjasama antar desa Tidak ada Kegiatan gotong royong dalam menyelesaikan konflik di setiap desa oleh masyarakat sendiri
Tidak ada
Kegiatan gotong royong dalam menolong keluarga tidak mampu dan fakir miskin di desa
Tidak ada
Sumber: Profil Desa Kilensari 2010
2.2 Profil Kesehatan Desa Kilensari
Berdasarkan laporan bulunan tahun 2009 sampai 2010, yang dirangkum dalam Tabel
2.8 didapatkan bahwa infeksi saluran nafas menempati urutan teratas diikuti gangguan sistem
otot dan jaringan. Penyakit menular yang terbanyak setelah infeksi saluran nafas adalah diare.
Tabel 2.8 Sepuluh penyakit terbanyak tahun 2009-2010 Jenis Penyakit 2009 2010 Infeksi saluran napas 1.615 1.655 Diare 316 196 Infeksi kulit kelamin 44 146 Hipertensi 301 427 Sistem otot dan jaringan 535 849 Kulit alergi 150 186 Gastritis 40 181 Penyakit Mata 214 142 Kejiwaan 373 160 Infeksi telinga 88 87
Sumber: Laporan Bulanan Puskesmas Panarukan 2009-2010
Dari penemuan kasus penyakit menular, hampir setiap tahunnya, ditemukan kasus
baru TBC di desa Kilensari. Lebih dari sepertiga kasus baru dari seluruh kecamatan
9
Panarukan ditemukan di Kilensari. Sedangkan dari penemuan kusta hanya ditemukan dua
kasus baru dari 12.103 jiwa penduduk Kilensari. Jumlah tersebut lebih rendah dari pencapaian
tahun 2009 yang sebanyak tujuh orang.
Berdasarkan survei PHBS tahun 2010 nilai capaian terendah diperoleh oleh indikator
ASI eksklusif sebesar 0% diikuti diet sayur dan buah, perilaku menimbang dan cuci tangan
yang belum mencapai 50%. Perilaku tidak merokok dalam rumah juga belum dibiasakan oleh
80,5% penduduk.
Dari segi gizi desa kilensari merupakan peringkat pertama dengan balita gizi buruk
sebesar 15,88% diikuti desa Duwet 11, 59 %. Jumlah balita di Kilensari sebanyak 888 balita
dengan pendirita gizi kurangya 141 balita.
Populasi penduduk di desa kilensari belum ditunjang dengan saranan kesehatan
lingkungan memadai. Hanya terdapat satu buah TPS sebagai lahan pembuangan sampah. TPS
tersebut pun sebenarnya merupakan TPS Pasar Kilensari yang sebenarnya diperuntukkan
sebagai tempat pembuangan sampah pasar. Sebagian besar warga membuang sampah ke
sungai, pantai, rawa, ataupun dibakar.
2.3 Konsep Desa Siaga
2.3.1 Pengertian desa siaga
Desa Siaga adalah desa yang penduduknya memiliki kesiapan sumberdaya dan
kemampuan serta kemauan untuk mencegah dan mengatasi masalah-masalah kesehatan,
bencana dan kegawatdaruratan kesehatan, secara mandiri. Desa yang dimaksud disini dapat
berarti kelurahan atau istilah-istilah lain bagi kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
batas-batas wilayah, yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan yang diakui
dan dihormati dalam Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
10
2.3.2 Tujuan desa siaga
Tujuan umum desa Siaga adalah terwujudnya masyarakat desa yang sehat, serta peduli
dan tanggap terhadap permasalahan kesehatan di wilayahnya. Sedangkan tujuan khusus dari
desa siga Desa Siaga yaitu 1) Meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat desa
tentang pentingnya kesehatan; 2) meningkatnya kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat
desa terhadap risiko dan bahaya yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan (bencana,
wabah, kegawat-daruratan dan sebagainya); 3) meningkatnya keluarga yang sadar gizi dan
melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat; 4) meningkatnya kesehatan lingkungan di
desa; 5) meningkatnya kemampuan dan kemauan masyarakat desa untuk menolong diri
sendiri di bidang kesehatan
2.3.3 Sasaran desa siaga
Dalam rangka mempermudah strategi intervensi, sasaran pengembangan Desa Siaga
dibedakan menjadi tiga jenis. Pertama, semua individu dan keluarga di desa, yang diharapkan
mampu melaksanakan hidup sehat, serta peduli dan tanggap terhadap permasalahan kesehatan
di wilayah desanya. Kedua, pihak-pihak yang mempunyai pengaruh terhadap perubahan
perilaku individu dan keluarga atau dapat menciptakan iklim yang kondusif bagi perubahan
perilaku tersebut,seperti tokoh masyarakat. Termasuk tokoh agama, tokoh perempuan dan
pemuda, kader serta petugas kesehatan. Ketiga, Pihak-pihak yang diharapkan memberikan
dukungan kebijakan, peraturan perundang-undangan, dana, tenaga, sarana dan lain-lain,
seperti Kepala Desa, Camat, para pejabat terkait, LSM, swasta, para donatur dan pemangku
kepentingan lainnya.
2.3.4 Kriteria dan tahapan desa siaga di Jawa Timur
Berdasar pada pedoman pelaksanaan pengembangan desa siaga dari Depkes RI,
sebuah desa telah menjadi desa siaga apabila desa tersebut telah memiliki sekurang-
11
kurangnya sebuah Pos Kesehatan Desa, sedangkan menurut panduan pelaksanaan desa siaga
di Jawa Timur, agar sebuah desa menjadi Desa Siaga maka desa tersebut harus memiliki foum
desa/ lembaga kemasyarakatan yang aktif dan adanya sarana/ akses pelayanan kesehatan
dasar.
Dalam pengembangannya Desa Siaga di Jawa Timur akan meningkat dengan
membagi menjadi empat kriteria Desa Siaga, yaitu: tahap bina, tumbuh, kembang, dan
paripurna. Pada Tahap bina forum masyarakat desa mungkin belum aktif, namun telah ada
forum/lembaga masyarakat desa yang telah berfungsi dalam bentuk apa saja, misalnya
kelompok rembug desa, kelompok yasinan atau persekutuan doa. Demikian juga Posyandu
dan Polindesnya mungkin masih pada tahap pratama. Pembinaan intensif dari petugas
kesehatan dan petugas sektor lainnya sangat diperlukan, misalnya dalam bentuk
pendampingan saat ada pertemuan forum desa untuk meningkatkan kinerja forum.
Tahap tumbuh. Pada tahap ini forum masyarakat desa telah aktif dari anggota forum
untuk mengembangkan UKBM sesuai kebutuhan masyarakat selain posyandu , Demikian
juga Polindes dan Posyandu sedikitnya sudah pada tahap madya. Pendampingan dari tim
Kecamatan atau petugas dari sektor/LSM masih sangat diperlukan untuk pengembangan
kualitas Posyandu atau pengembangan UKBM lainnya. Hal penting lain yang diperhatikan
adalah pembinaan dari Puskesmas PONED sehingga semua hamil bersalin nifas serta bayi
baru lahir yang risiko tinggi dan mengalami komplikasi dapat ditangani dengan baik.
Disamping itu sistem surveilans berbasis masyarakat juga sudah sudah dapat berjalan, artinya
masyarakat mampu mengamati penyakit (menular dan tidak menular) serta faktor risiko di
lingkungannya secara terus menerus dan melaporkan serta memberikan informasi pada
petugas kesehatan / yang terkait.
Tahap Kembang. Pada tahap ini forum kesehatan masyarakat telah berperan secara
aktif dan mampu mengembangkan UKBM-UKBM sesuai kebutuhan masyarakat dengan
biaya berbasis masyarakat. Sistem Kewaspadaan Dini masyarakat menghadapi bencana dan
12
kejadian luar biasa telah dilaksanakan dengan baik, demikian juga dengan sistem pembiyaan
kesehatan berbasis masyarakat. Jika selama ini pembiayaan kesehatan oleh masyarakat
sempat terhenti karena kurangnya pemahaman terhadap sistem jaminan ,masyarakat didorong
lagi untuk mengembangkan sistem serupa dimulai dari sistem yang sederhana dan jelas
dibutuhkan oleh masyarakat, misalnya tabulin. Pembinaan masih diperlukan meskipun tidak
terlalu intensif.
Tahap Paripurna. Pada tahap ini semua indikator dalam kriteria Desa Siaga sudah
terpenuhi. Masyarakat sudah hidup dalam lingkungan sehat serta berperilaku hidup bersih
dan sehat. Masyarakatnya sudah mandiri dan siaga tidak hanya terhadap masalah kesehatan
yang mengancam, namun juga terhadap kemungkinan musibah/ bencana non kesehatan.
Pendampingan dari Tim Kecamatan sudah tidak diperlukan lagi.
2.3.5 Langkah pengembangan desa siaga
Pengembangan desa siaga dilaksanakan dengan membantu/ memfasilitasi/
mendampingi masyarakat untuk menjalani proses pembelajaran melalui siklus pemecahan
masalah yang terorganisasi yang dilakukan oleh forum masyarakat desa. Hal tersebut
dilakukan dengan menempuh tahap-tahap: 1) mengindentifikasi masalah, penyebab masalah,
dan sumberdaya yang dapat dimanfaatkan untuk mengatasi masalah; 2) mendiagnosis
masalah dan merumuskan alternatif-alternatif pemecahan masalah; 3) menetapkan alternatif
pemecahan masalah yang layak merencanakan dan melaksanakannya; serta 4) memantau,
mengevaluasi dan membina kelestarian upaya-upaya yang telah dilakukan.
Dalam aplikasinya desa siaga dibentuk melalui enam langkah opersional. Langkah
pertama diawali dengan pengembangan tim petugas untuk mempersiapkan para petugas
kesehatan yang berada di wilayah Puskesmas, baik petugas teknis maupun petugas
administrasi untuk membina desa siaga.
13
Setelah itu, dilanjutkan dengan mengembangkan tim di masyarakat. Tujuan langkah
ini adalah untuk mempersiapkan para petugas, tokoh masyarakat, serta masyarakat (forum
masyarakat desa), agar mereka tahu dan mau bekerjasama dalam satu tim untuk
mengembangkan Desa Siaga.
Tim di masyarakat bergerak dengan terlebih dahulu melakukan Survei Mawas Diri
(SMD). SMD bertujuan agar pemuka-pemuka masyarakat mampu melakukan telaah mawas
diri untuk desanya. Survei harus dilakukan oleh pemuka-pemuka masyarakat setempat
dengan bimbingan tenaga kesehatan. Hasil SMD kemudian dijadikan bahn diskusi pada
Musyawarah Masyarakat Desa (MMD). Melalui MMD ini dicari alternatif penyelesaian
masalah kesehatan dan upaya membangun Poskesdes dikaitkan dengan potensi yang dimiliki
desa.
Alternatif pemecahan masalah kemudian direalisasikan melalui Pelaksanaan Kegiatan
desa siaga mulai dari pemilihan pengurus dan kader Desa Siaga, orientasi/ pelatihan Kader
Desa Siaga, pengembangan poskesdes dan UKBM lain dan penyelenggaraan Kegiatan Desa
Siaga. Desa siaga terus di sertai pembinaan dan peningkatan agar desa siaga di desa tersebut
dapat mencapai tahap mandiri.
2.3.6 Indikator keberhasilan
Keberhasilan upaya Pengembangan Desa Siaga dapat dilihat dari empat kelompok
indikatornya, yaitu indikator masukan, indikator proses, indikator keluaran dan indikator
dampak.
Indikator masukan. Indikator masukan adalah indikator untuk mengukur seberapa
besar masukan telah diberikan dalam rangka pengembangan Desa siaga. Indikator masukan
terdiri atas hal-hal berikut 1) Ada/tidaknya Forum Masyarakat Desa, 2) Ada/tidaknya sarana
pelayanan kesehatan serta perlengkapan / peralatannya; 3) Ada/tidaknya UKBM yang
dibutuhkan masyarakat; 4) Ada/tidaknya tenaga kesehatan( minimal bidan ); 5)Ada/tidaknya
14
kader aktif; 6) Ada/tidaknya sarana bangunan / Poskesdes sebagai pusat pemberdayaan
masyarakat bidang kesehatan; 7) Ada/tidaknya alat komunikasi yang telah lazim dipakai
masyarakat yang dimanfaatkan untuk mendukung penggerakan surveilans berbasis
masyarakat misal : kentongan, bedug, dll.
Indikator Proses, Indikator proses adalah indikator untk mengukur seberapa aktif
upaya yang dilaksanakan di suatu desa dalam rangka pengembangan Desa Siaga Indikator
proses terdiri atas hal-hal sebagai berikut 1) Frekuensi pertemuan Forum Masyarakat Desa; 2)
Berfungsi/tidaknya UKBM Poskesdes; 3) Ada/ tidaknya pembinaan dari Puskesmas PONED;
4) Berfungsi/tidaknya UKBM yang ada; 5) Berfungsi/tidaknya Sistem Kegawatdaruratan dan
Penanggulangan Kegawatdaruratnya dan bencana; 6)Berfungsi/tidaknya Sistem Surveilans
berbasis masyarakat; 7)Ada/tidaknya kegiatan kunjungan rumah kadarzi dan PHBS; 8)
Ada/tidaknya deteksi dini gangguan jiwa di tingkat rumah tangga
Indikator Keluaran, Indikator Keluaran adalah indikator untuk mengukur seberapa
besar hasil kegiatan yang dicapai di suatu desa dalam rangka pengembangan Desa Siaga.
Indikator keluaran terdiri atas hal-hal berikut :Cakupan pelayanan kesehatan dasar (utamanya
KIA ); Cakupan pelayanan UKBM- UKBM lain; Jumlah kasus kegawatdaruratan dan KLB
yang ada dan dilaporkan; Cakupan rumah tangga yang mendapat kunjungan rumah untuk
kadarzi dan PHBS; Tertanganinya masalah kesehatan dengan respon cepat
Indikator Dampak, Indikator dampak adalah indikator untuk mengukur seberapa
besar dampak dari hasil kegiatan desa dalam rangka pengembangan Desa Siaga.
Indikator proses terdiri dari atas hal-hal sebagai berikut. Jumlah penduduk yang menderita
sakit; Jumlah ibu melahirkan yang meninggal dunia; Jumlah bayi dan balita yang meninggal
dunia; Jumlah balita dengan gizi buruk.; Tidak terjadinya KLB penyakit; Respon cepat
masalah kesehatan.
15
BAB 3
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif evaluatif (evaluation study) yang
dilakukan untuk menilai suatu program yang sedang dilakukan secara objektif. Variabel yang
dinilai disesuaikan menurut indikator-keberhasilan-proses desa siaga yang terdapat pada
pedoman pelaksanaan Desa Siaga Depkes RI 2006, yaitu Forum Kesehatan Desa, Pos
kesehatan desa, usaha kesehatan berbasis masyarakat, sistem kesiapsiagaan dan
penanggulangan kegawatdaruratan dan bencana, sistem survailance, serta kunjungan rumah
untuk kadarzi dan PHBS.
Sampel penelitian didapatkan dengan menggunakan teknik porposive sampling yakni
pengambilan sampel yang didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang diketahui
sebelumnya. Peneliti pada awalnya telah melakukan survei pendahuluan untuk mengetahui
subjek yang memiliki andil besar pada keberhasilan program desa siaga di Desa Kilensari.
Pada penelitian ini, peneliti mengambil informasi dari 12 sampel yaitu Kepala Dinkes
Kabupaten Situbondo, Kepala Puskesmas Panarukan, Koordinator Program Promosi
Kesehatan Puskesmas Panarukan, Kepala Desa Kilensari, Ketua Desa siaga Kilensari, dua
orang bidan desa kilensari, pengurus struktur desa siaga, tokoh pemuda, tokoh wanita, tokoh
agama.
Data dikumpulkan menggunakan teknik wawancara bebas-terpimpin dibantu dengan
instrumen panduan interview. Panduan interview disesuaikan untuk masing-masing sampel
sesuai dengan kapasitas dan peran sampel terhadap program desa siaga. Selain itu data juga
diperoleh melalui focus grup discussion. Data yang terkumpul kemudian diolah dengan teknik
analisis kualitatif menggunakan proses berpikir induktif.
16
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Desa siaga mulai dikembangkan di Kabupaten Situbondo sejak tahun 2007.
Pelaksanaan program ini diawali dengan pelatihan tenaga kesehatan yang diikuti oleh bidan
desa di Situbondo. Setelah itu, dilanjutkan dengan pelatihan kader yang didelegasikan oleh
desa. Tiap desa mengirimkan tiga orang perwakilan yang terdiri dari dua orang calon
pembantu petugas (bagas) dan satu orang tokoh masyarakat. Desa Kilensari sendiri ditunjuk
menjadi pilot project desa siaga di kecamatan Panarukan.
Kegiatan yang dilakukan Desa Siaga Kilensari mulai tahun 2007 sampai dengan tahun
2011 tidak terdokumentasi dengan rapi. Walaupun demikian, laporan keuangan terkait
penggunaan dana rangsangan desa siaga yang turun pada tahun 2008 dan 2009 tercatat dengan
cukup baik. Data penelitian sebagian besar diperoleh dari pengakuan subyektif informan
tanpa ditunjang bukti tertulis.
4.1 Forum Masyarakat Desa
Desa siaga di Kilensari memiliki dukungan resmi dari desa berupa Surat Keputusan
(SK) Kepala Desa No. 1 tahun 2010 tentang Struktur Pengurus Pos Kesehatan Desa beserta
tugas dan wewenang masing-masing. Desa siaga Kilensari sebenarnya telah mulai terbentuk
sejak tahun 2007 setelah pelatihan oleh Dinas Kesehatan akan tetapi dukungan resmi dari desa
berupa SK baru disahkan pada tahun 2010. Menurut informan, aktivitas kegiatan forum
pertemuan rutin pengurus desa siaga diagendakan tiap bulan namun sering kali tidak
terlaksana karena berbagai kendala, sedangkan data mengenai forum desa siaga yang
melibatkan masyarakat desa secara umum tidak didapatkan dengan jelas. Pertemuan terakhir
pengurus desa siaga dilakukan pada bulan Desember 2010.
17
Pembentukan struktur desa siaga dilakukan melalui mekanisme top down. Ketua desa
siaga ditunjuk langsung oleh kepala desa. Pengurus desa siaga kemudian juga ditunjuk oleh
ketua desa siaga dengan persetujuan kepala desa tanpa melalui forum musyawarah desa.
Kondisi tersebut mirip dengan penelitan Polsiri dkk tahun 2009 di Kepulauan Tidore.
Sebagian besar pengurus desa siaga, berdasarkan SK No 1/2010, adalah tokoh
masyarakat. Ketua desa siaga menunjuk tokoh masyarakat menjadi pengurus desa siaga
dengan harapan tokoh tersebut dapat membantu dalam diskusi dan memecahkan
permasalahan kesehatan desa. Namun tokoh tersebut ternyata memiliki kesibukan masing-
masing sehingga sulit untuk banyak berkontribusi di desa siaga. Salah seorang kader yang
pernah diikutkan dalam pelatihan desa siaga pun awalnya bergerak aktif, namun dalam
perjalannya kader tersebut mengundurkan diri karena alasan ekonomi keluarga.
Selain itu, topik bahasan tiap pertemuan, menurut beberapa informan, mengalami
stagnansi dan tidak ada inovasi. Program yang direncanakan terkesan hanya mengikuti
contoh-contoh program yang diberikan saat pelatihan dan tidak berdasarkan masalah riil yang
ada di desa. Menurut informan hal ini disebabkan minimnya pengetahuan pengurus desa
siaga tentang kesehatan.
Menurut panduan Desa Siaga, permasalahan desa seharusnya diidentifikasi melalui
Survei Mawas Diri (SMD). Berdasarkan SMD inilah akan diketahui permasalahan desa yang
akan diselesaikan bersama. Saat ditanya tentang permasalahan desa, masing-masing informan
memiliki pendapat yang berbeda-beda. Data terkait pelaksanaan SMD tidak didapatkan secara
lengkap. Informan dari pihak Puskesmas mengatakan pernah sekali mengadakan survei
permasalahan desa dalam bentuk survei PHBS yang sedikit dimodifikasi pada awal
terbentuknya desa siaga, yaitu pada tahun 2008. Akan tetapi kesimpulan ataupun tindak lanjut
dari SMD tersebut tidak terdata.
Dana operasional desa siaga Kilensari selama ini menggunakan dana rangsangan yang
diberikan oleh pemerintah. Dana untuk desa siaga dari Departemen Kesehatan RI turun dua
18
kali, yaitu tahun 2008 dan 2009. Tahun 2008 sejumlah Rp 1.650.000 yang menurut juknis
dana ini seharusnya digunakan untuk mengawali pembentukan desa siaga melalui FMD,
SMD, MMD dan berbagai keperluan lain. Dana rangsangan yang kedua turun tahun 2009
sejumlah Rp 1.275.000. Dana ini penggunaannya bebas tergantung pada program yang sudah
dicanangkan desa. Desa Siaga Kilensari menggunakan dana tersebut salah satunya untuk
renovasi fasilitas MCK desa.
Penggalian dana lain diusahakan melalui pengumpulan bantuan dana sukarela di
Ponkesdes (Pondok Kesehatan Desa) bagi pasien yang berobat di Ponkesdes. Dana yang
terkumpul di Ponkesdes tersebut direncanakan untuk dialokasikan pada program penanganan
gizi buruk di desa Kilensari. Kelompok masyarakat yang tergabung dalam PKK juga
berpartisipasi mengumpulkan dana pada setiap pertemuan arisan PKK untuk nantinya
digunakan pada penanganan gizi buruk.
Penggalian dana berupan iuran dari masyarakat tidak berjalan. Menurut informan,
masyarakat desa sangat kritis dan perhitungan bila terkait dengan iuran desa. Surat Keputusan
kepala desa tentang iuran warga ini juga tidak kunjung ditandatangani kepala desa karena
khawatir akan memberatkan warga. Kepala desa lebih setuju untuk mengalokasikan sebagian
anggaran dana desa untuk keperluan operasional desa siaga.
Hal ini tidak lepas dari kultur masyarakat setempat. Informan mengatakan bahwa
masyarakat di desa kilenasari unik. Sebuah desa namun memiliki kepadatan sangat tinggi.
Sebuah peralihan antara desa dengan kota. Budaya masyarakat cenderung individualis dan
kegotongroyongan antar warga masih kurang, akan tetapi ikatan kekeluargaan berdasarkan
darah masih kuat. Cara berpikir masyarakat pragmatis dan sulit untuk dikoordinasikan dalam
sebuah sistem.
Dinas Kesehatan Situbondo bersama Puskesmas terus mengupayakan monitoring dan
evaluasi secara berkala agar program desa siaga terus berkembang. Dinkes melakukan
pembinaan langsung terhadap satu desa di tiap kecamatan sebulan sekali. Puskesmas
19
Panarukan juga mengadakan pembinaan berkala pada desa siaga Kilensari yang ada di
wilayah kerjanya. Namun sampai saat ini, belum ada perlakuan khusus dari Dinkes pada desa
siaga Kilensari.
4.2 Pos Kesehatan Desa
Desa Kilensari tidak memiliki Poskesdes melainkan satu buah Pondok Kesehataan
Desa (Ponkesdes) dan satu buah Pondok Bersalin Desa (Polindes). Ponkesdes desa Kilensari
bertempat di balai desa sedangkan Polindes bertempat di rumah salah seorang bidan desa
Kilensari.
Program Ponkesdes dicanangkan oleh Gubernur Provinsi Jawa Timur. Ponkesdes
adalah unit pelayanan kesehatan yang berada di desa atau kelurahan yang merupakan
pengembangan dari Polindes sebagai jaringan Puskesmas dalam rangka mendekatkan akses
dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Ponkesdes didirikan dengan tujuan untuk
menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang berkualitas serta meningkatkan kesadaran,
kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang yang bertempat tinggal di
desa/kelurahan, agar terwujud derajat kesehatan masyarakat di desa/kelurahan yang setinggi-
tingginya.
Ponkesdes dikelola oleh bidan dan perawat. Bidan di Ponkesdes adalah bidan PNS
yang diangkat oleh Bupati/Walikota atau Bidan PTT yang diangkat oleh Menteri Kesehatan.
Tenaga perawat di Ponkesdes adalah perawat lulusan DIII Keperawatan yang diangkat oleh
Bupati/Walikota dan SK Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota bersama Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi melalui seleksi tenaga perawat di kabupaten/kota.
Sedangkan Poskesdes adalah upaya kesehatan bersumberdaya masyarakat (UKBM)
yang dibentuk di desa dalam rangka menyediakan pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat
dengan melibatkan kader atau tenaga sukarela lainya. Kesamaan konsep antara Ponkesdes dan
Poskesdes adalah keduanya bertujuan untuk mendekatkan pelayanan kesehatan bagi
20
masyarakat. Perbedaannya adalah Ponkesdes merupakan kepanjangan puskesmas sedangkan
Poskesdes merupakan sebuah UKBM yang berarti masyarakat sendiri yang harus menjadi
motor utama dan berperan aktif dalam menggerakkan Poskesdes. Konsep Ponkesdes dan
Poskesdes ini seringkali membingungkan petugas lapangan.
Ponkesdes yang sudah ada di Kilensari belum dapat mewakili seluruh fungsi
Poskesdes. Dari empat fungsi Poskesdes hanya fungsi sebagai wahana pelayanan kesehatan
dasar (yankesdas) yang dapat diwakili oleh Ponkesdes dengan baik . Kunjungan ke Ponkesdes
cukup banyak. Menurut informan, masyarakat cukup senang menggunakan pelayanan
Ponkesdes karena jarak yang lebih dekat dan antrian yang lebih pendek.
Fungsi lain Poskesdes sebagai wahana peran aktif masyarakat, wahana kewaspadaan
dini risiko dan masalah kesehatan, dan wahana jajaring UKBM masih belum tampak.
Pengelolaan Ponkesdes selama ini masih dimotori oleh bidan dan belum ada peran aktif dari
masyarakat.
4.3 Pembinaan dari PONED
Puskesmas PONED diharapakan membina desa siaga agar masyarakat mau dan
mampu untuk mengenali masalah risiko tinggi pada ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas dan bayi
baru lahir sehingga masyarakat dapat mengetahui secara tepat dan cepat apa yang harus
diperbuat jika menjumpai kasus risiko tinggi. Dari program kerja yang dicanangkan desa
siaga Kilensari, terdapat dua program kerja yang berkaitan dengan kesehatan ibu, yaitu
pendataan golongan darah dan pendataan ibu hamil.
Program tabulin dan dasolin belum dicanangkan oleh desa. Hal ini disebabkan karena
kesulitan mendorong partisipasi masyarakat dalam desa siaga, khususnya terkait dengan
pendanaan. Program jimpitan atau iuran warga yang direncanakan sebagai sumber dana desa
siaga belum terealisasi dan belum disetujui oleh kepala desa.
21
Dalam perjalanannya, program pendataan golongan darah tidak terlaksana sedangkan
pendataan ibu hamil dilaksanakan tanpa keterlibatan aktif dari warga desa. Pendataan ibu
hamil dilakukan secara rutin oleh bidan desa tanpa berkoordinasi dengan desa siaga. Berbagai
kegiatan lain terkait dengan ibu dan anak semisal posyandu juga dilaksanakan secara sendiri
oleh bidan desa bersama kader tanpa berkoordinasi dalam forum desa siaga. Hal ini tidak
terlepas dari kondisi desa siaga yang masih sulit untuk diajak bergerak.
Kondisi tersebut menyebabkan ketua desa siaga merasa tidak dilibatkan. Apalagi
alternatif kegiatan desa siaga yang lain dirasa tidak ada sehigga terkesan seluruh kegiatan desa
siaga telah ditangani oleh bidan desa. Komunikasi antara bidan desa dengan ketua desa siaga
terkait kejelasan tugas dan peran masing-masing belum terjalin dengan baik.
Selain itu, terjadi pergantian bidan desa di Kilensari. Bidan desa yang pada awalnya
dilatih untuk membina desa siaga Kilensari ditarik ke puskesmas dan digantikan bidan PTT
baru yang belum dilatih tentang konsep desa siaga. Akan tetapi menurut informan dari
Dinkes, konsep desa siaga sebenarnya cukup mudah untuk dipelajari secara mandiri oleh
tenaga kesehatan melalui modul pelatihan yang telah ada sebelumnya. Walaupun demikian,
pada awal tahun 2012 Dinkes berencana untuk mengadakan pelatihan khusus bagi perwakilan
bidan di tiap kecamatan untuk dilatih menjadi tim pemercepat pengembangan desa siaga di
kecamatan masing-masing.
4.4 Sistem Kegawatdaruratan dan penaggulangan bencana
Desa Kilensari memiliki potensi ancaman banjir dari luapan sungai Sampeyan yang
menjadi batas timur desa. Banjir sudah pernah beberapa kali melanda desa walaupun belum
pernah sampai memakan korban jiwa. Selama ini, ketika banjir warga bergerak sendiri-sendiri
tanpa dikoordinir desa. Program kesiapsiagaan bencana di desa Kilensari belum dicanangkan
dan dirasa belum manjadi prioritas.
22
Di sisi lain, kasus kegawatdaruratan juga sering terjadi. Menurut informan cukup
banyak nelayan yang mengalami kecelakaan kerja saat melaut dan memerlukan penanganan
medis segera. Program kegawatdaruratan yang pernah dicanangkan adalah program ambulans
desa. Melalui forum desa disepakati bahwa desa dibagi dalam beberapa wilayah dan pada tiap
wilayah tersebut ditunjuk kendaraan pribadi milik warga yang dapat digunakan sebagai
ambulan desa bila sewaktu-waktu diperlukan. Namun pada pelaksanaannya seringkali
ambulanans desa yang sudah disepapakati sebelumnya tidak dapat dipinjam oleh warga
karena digunakan oleh pemiliknya.
Program ambulan desa pada awalnya dianggap cukup penting karena bisa menyentuh
kebutuhan masyarakat. Program ini diharapkan bisa mejadi program pencitraan yang baik
bagi desa siaga sehingga masyarakat bersedia untuk berpartisipasi dalam kegiatan desa siaga
yang lain. Kepala desa bahkan sempat berencana untuk membeli mobil khusus desa sebagai
ambulan akan tetapi terhambat pada anggaran yang tidak mendapat persetujuan dari lembaga
permusyawaratan desa.
Akan tetapi karena lama tidak terealisasi dengan baik, akhirnya program ambulan desa
ini tidak lagi dianggap penting. Menurut informan, masyarakat selama ini ternyata sudah bisa
secara mandiri menangani permasalahan transportasi kegawatdarurutannya. Puskesmas pun
mudah dijangkau dengan infrastruktur jalan dan medan yang tidak terlalu berat. Masyarakat
lebih senang bertindak sendiri-sendiri dan sulit dikoordinasikan dalam suatu sistem.
Dari informasi yang didapatkan, penulis mendapat kesan bahwa program ambulan
desa di desa Kilensari ini awalnya menjadi sebuah program yang menjadi ikon dan asosiasi
sebuah desa siaga. Ketika program ambulan desa ini tidak lagi menarik untuk direalisasikan
maka program desa siaga pun menjadi tidak lagi menarik untuk dikembangkan. Hal ini
berkaitan dengan ketidakpahaman akan permasalahan kesehatan desa sehingga tidak ada
program-program kreatif yang berorientasi untuk memecahkan permasalahan desa. Program
yang ada cenderung mengikuti contoh-contoh program yang ada dalam panduan desa siaga.
23
4.5 Survailance Masyarakat
Melalui sistem survailan masyarakat diharapkan mau mengamati dan mengidentifikasi
hal-hal penting yang dapat mengancam atau menimbulkan masalah kesehatan serta
melaporkannya kepada petugas kesehatan. Sistem survailan merupakan salah satu elemen
penting untuk merealisasikan indikator keluaran desa siaga berupa desa bebas kejadian luar
biasa (KLB).
Berdasarkan data dari informan, program survailen dari desa siaga Kilensari belum
pernah ada. Walaupun dalam SK Kepala Desa tahun 2010 telah di bentuk sie survelans
beserta koordinatornya namun pada kenyataannya kelompok kerja ini belum mempunyai
program kerja yang jelas. Sebagian besar informan mengaku tidak mengetahui apa yang
dimaksud dengan sistem survailans dan urgensinya. Adapun ketua desa siaga sebenarnya
telah memiliki rencana untuk mencanangkan program survailan berupa pemetaan daerah
rawan penularan penyakit menular seperti tuberkulosis dan kusta akan tetapi kesulitan dalam
menggerakkan kader dan masyarakat sehingga rencana tersebut belum terealisasi.
Hambatan pada pengembangan sistem survailans ada pada kepahaman masyarakat
tentang sistem survailance itu sendiri. Kelompok kerja yang dibentuk belum memahami tugas
dari survailance. Pembinaan dan koordinasi juga sulit dilakukan karena kesibukan dari
anggota kelompok kerja yang bersangkutan.
Kondisi serupa juga terjadi di desa Penolih, kabupaten Purbalingga tahun 2007.
Berdasarkan penelitan pelaksanaan desa siaga di desa Penolih diketahui bahwa program
survailen tidak berjalan disebabkan oleh kurangnya edukasi kepada masyarakat tentang sistem
survailens. Edukasi dan pendampingan dari tenaga kesehatan amat penting guna
memahamkan masyarakat akan pentingnya sistem survailen dan kemudian berinovasi
membuat sistem survailen sesuai dengan potensi yang dimiliki desa.
24
4.6 Penyuluhan Kadarzi dan PHBS
Penyuluhan kadarzi dan PHBS dilakukan secara berkala oleh tenaga kesehatan dari
puskesmas maupun Ponkesdes dan Polindes. Upaya ini dilakukan untuk mengatasi
permasalahan gizi yang menjadi salah satu permasalahan balita utama di desa Kilensari.
Kondisi gizi sepertinya berbanding lurus dengan implementasi PHBS yang rendah. Tingginya
gizi kurang ataupun gizi buruk di Kilensari sinkron dengan implementasi indikator PHBS
pemberian ASI ekskusif yang sebesar 0%. Kondisi ekonomi masyarakat yang mayoritas
menengah ke bawah tentu berpengaruh terhadap asupan gizi yang di konsumsi. Namun
kurangnya pengetahuan tentang gizi dan pola asuh yang baik makin memperparah kondisi
tersebut.
Menurut beberapa informan, masyarakat memiliki watak yang keras dan sulit diubah
perilakunya. Beberapa nilai dan budaya yang selama ini berkembang di masyarakat bertolak
belakang dengan kaidah kesehatan pada umumnya. Misalnya tentang pemberian ASI
eksklusif, masyarakat merasa susu formula lebih unggul dari ASI dan malu jika tidak mampu
memberi susu formula pada bayinya. Ahkirnya seringkali dengan penghasilan yang tidak
terlalu banyak, orang tua memaksakan diri untuk membeli susu formula dan memberikannya
dalam dosis yang tidak adekuat. Selain itu, nilai masyarakat tentang kondisi sehat seringkali
berbeda dengan petugas kesehatan. Seorang anak dengan gizi kurang di mata petugas
kesehatan bisa jadi dianggap sehat dan bugar di mata orang tuanya.
Posyandu merupakan perangkat penting dalam mengedukasi masyarakat tentang
Kadarzi dan PHBS. Penyuluhan yang diadakan di posyandu karena berbagai keterbatasan
waktu dan petugas seringkali dilaksanakan di akhir posyandu. Namun pengasuh balita
seringkali tidak sabar sehingga langsung pulang setelah penimbangan. Pengasuh yang
mengantarkan seringkali juga bukan ibu balita itu sendiri tetapi dititipkan pada tetangga
ataupun keluarga yang lebih tua. Walaupun demikian, menurut informan, posyandu di desa
25
Kilensari cukup aktif. Hal ini terbukti dengan capaian predikat UCI bagi desa Kilensari pada
tahun 2011.
Dalam pelaksanaannya inisiatif posyandu masih amat bergantung pada keaktifkan
tenaga kesehatan di wilayah. Pelaksanaan posyandu dimotori langsung oleh bidan desa. Desa
siaga belum berperan banyak walaupun secara teoritis desa siaga seharusnya menjadi
koordinator UKBM yang ada di desa.
26
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Desa siaga Kilensari di bentuk sejak tahun 2007 dan merupakan pilot project desa
siaga di kecamatan Panarukan. Beberapa kegiatan dilaksanakan sesuai dengan panduan desa
siaga, namun masih belum ada inovasi program yang dicanangkan berdasarkan permasalahan
kesehatan riil di desa. Saat ini Desa siaga Kilensari dalam kondisi vakum. Jika dinilai dari
indikator proses maka desa siaga Kilensari masih dalam tahap bina yang mana pada tahap ini
forum masyarakat desa belum aktif dan memerlukan pembinaan intensif dari petugas
kesehatan dan petugas sektor lainnya.
Salah satu tantangan yang dihadapi desa siaga Kilensari adalah kondisi masyarakat
yang keras dan cenderung individualis. Peran tokoh masyarakat terutama kepala desa masih
bisa ditingkatkan lagi untuk menggerakkan masyarakat.
5.2 Saran
1. Proses pembentukan desa siaga yang terdiri dari pembentukan FMD, SMD, dan MMD
perlu diulang sebagai awal untuk menghidupkan desa siaga yang selama ini vakum
2. Diperlukan orientasi ulang terkait pemahaman tentang desa siaga dengan visualisasi
aplikasi praktis dan sederhana
3. Pembuatan program desa berdasarkan permasalahan desa
4. Peremajaan dan penyederhanaan struktur pengurus desa siaga
5. Pendampingan langsung tenaga kesehatan pada tingkat kelompok kerja
6. Perbaikan administrasi dan pencatatan
7. Mencari sumber dana untuk operasional desa siaga
8. Pemantapan fungsi bidan desa dan Puskesmas Panarukan sebagai fasilitator desa siaga
27
DAFTAR PUSTAKA
Desa Kilensari. 2010. Profil Desa Kilensari, Kecamatan Panarukan 2010
Dinas Kesehatan Jawa Timur. 2006. Pedoman Pelaksanaan Desa Siaga di Jawa Timur. Jawa
Timur
Kurniwan, Arif; Widodo, Hari B.; Nurhayati, Siti. 2007. Analisis Keberhasilan Proses
Program Desa Siaga di Desa Penolih, Kecamata Kaligondang, Kabupaten
Purbalingga. Jurnal Pembangunan Pedesaan Vol 7 No 3 Des 2007 – Mar 2008: 183-
192
Notoatmodjo, Soekidjo. 2006. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Polisiri, Marwan; Hasanbasri, Mubasysyir; Padmawati, Retna S. 2009. Implementasi Desa
Siaga di Kota Tidore Kepulauan. Working Paper Series No.6 Januari 2009