Post on 06-Nov-2020
PENGARUH PENAMBAHAN LIMBAH SERAI WANGI
(Cymbopogon nardus L.) SEBAGAI PAKAN TAMBAHAN KAMBING
TERHADAP PRODUK FERMENTASI CAIRAN RUMEN DAN
PENURUNAN GAS METANA SECARA IN VIVO
CHATAMIA RAMADHANI FITRI
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M / 1439 H
PENGARUH PENAMBAHAN LIMBAH SERAI WANGI
(Cymbopogon nardus L.) SEBAGAI PAKAN TAMBAHAN KAMBING
TERHADAP PRODUK FERMENTASI CAIRAN RUMEN DAN
PENURUNAN GAS METANA SECARA IN VIVO
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Program Studi Kimia
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh:
CHATAMIA RAMADHANI FITRI
11140960000038
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M / 1439
4
5
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH HASIL
KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI
ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA
MANAPUN.
Jakarta, Juli 2018
Chatamia Ramadhani Fitri
11140960000038
ABSTRAK
CHATAMIA RAMADHANI FITRI. Pengaruh Penambahan Limbah Serai
Wangi (Cymbopogon nardus L.) Sebagai Pakan Tambahan Kambing Terhadap
Produk Fermentasi Cairan Rumen dan Penurunan Gas Metana Secara In vivo.
Dibimbing oleh SANDRA HERMANTO dan IRAWAN SUGORO.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan limbah
serai wangi (C. nardus L.) terhadap produksi gas metana, PBBH dan produk
fermentasi cairan rumen kambing yang dilakukan secara in vivo. Tahapan awal
dilakukan analisis komposisi nutrisi limbah serai wangi dan rumput gajah dengan
parameter berupa berat kering (BK), berat abu (BA) dan berat organik (BO),
protein, lemak kasar, total fenol dan tanin. Selanjutnya dilakukan uji in vivo dengan
menggunakan 4 ekor kambing yang diberi dua jenis pakan, yaitu A (rumput gajah)
selama dua minggu dan dilanjutkan dengan pakan B (limbah serai wangi + rumput
gajah) selama satu minggu. Pengambilan sampel gas pada hari ke– 4 dan 11,
sedangkan cairan rumen diambil pada hari ke– 5 dan 12. Dilakukan pula
pengukuran pertambahan bobot badan harian (PBBH). Parameter yang diukur dari
cairan rumen berupa pH, kandungan amonia, protein mikroba, Volatile Fatty Acids
(VFA) dan total mikroba. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan
limbah serai wangi tidak berpengaruh terhadap PBBH dan kualitas cairan rumen
kambing yaitu pH, amonia, protein mikroba, dan biomassa mikroba. Limbah serai
wangi memiliki potensi sebagai pakan tambahan kambing dan berpengaruh
terhadap penurunan gas metana. Penambahan limbah serai wangi setelah 3 jam
perlakuan pakan dapat menurunkan gas metana sebesar 34,02% dan setelah 6 jam
sebesar 16,33%. Hal ini didukung pula dari data jumlah mikroba metilotrof dan
asetonotrof yang mengalami penurunan, tetapi untuk jumlah mikroba hidrogenotrof
mengalami peningkatan.
Kata kunci: gas metana, kambing, rumen, in vivo.
ABSTRACT
CHATAMIA RAMADHANI FITRI. Effect of Addition of Citronella Waste
(Cymbopogon nardus L.) as Goat Feed Additive to Rumen Fluid Fermentation
Products and Methane Gas Decrease by In vivo. Guided by SANDRA
HERMANTO and IRAWAN SUGORO.
The aim of this research is to know the effect of the addition of citronella (C.
nardus L.) waste to methane gas production, DWG and fermentation product of
goat rumen fluid conducted in vivo. Initial stages were analyzed composition
nutrients of citronella waste and elephant grass with parameters such as dry weight
(BK), heavy ash (BA) and organic weight (BO), protein, crude fat, total phenol and
tannin. Furthermore, in vivo test was conducted using 4 goats given two types of
feed, namely A (elephant grass) for two weeks and continued with feed B (waste of
citronella + elephant grass) for one week. Gas sampling at days− 4 and 11, while
rumen fluid taken on days− 5 and 12. There were also measurements of daily weight
gain (PBBH). Parameters measured from rumen fluid were pH, ammonia, microbial
protein, Volatile Fatty Acids (VFA) and total microbial. The results showed that
the addition of citronella waste did not affect the PBBH and the quality of rumen
goat fluids are pH, ammonia, microbial protein, and microbial biomass. Waste of
citronella has the potential as an additional goat feed and influential on the decline
of methane gas. The addition of citronella waste after 3 hours of feed treatment can
reduce methane gas by 34.02% and after 6 hours of 16.33%. The result is supported
also of the data the number of microbes metilotroph and acetonotroph experienced
a decrease in, but to the number of microbes hidrogenotroph having an increase in.
Keywords: methane gas, goat, rumen, in vivo
viii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum warohmatullahi wabarakatuh
Segala puji hanya milik Allah Ta’ala, karena atas izin-Nya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, beserta keluarganya dan para
sahabatnya yang setia mengorbankan jiwa raga dan lainnya untuk tegaknya syi’ar
Islam yang pengaruh dan manfaatnya kini masih terasa.
Skripsi yang berjudul “Pengaruh Penambahan Limbah Serai Wangi
(Cymbopogon nardus L.) Sebagai Pakan Tambahan Kambing Terhadap Produk
Fermentasi Cairan Rumen dan Penurunan Gas Metana Secara In vivo” ini disusun
guna memenuhi tugas mata kuliah di Fakultas Sains dan Teknologi Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Skripsi ini tidak mungkin selesai tanpa pihak-pihak yang terus memberikan
bimbingan dan dukungannya, sehingga ucapan terimakasih penulis sampaikan
kepada:
1. Dr. Sandra Hermanto, M.Si, selaku Pembimbing I yang telah memberikan
bimbingan dan pengarahan kepada kami selama berlangsungnya penelitian
serta meluangkan waktunya untuk berdiskusi;
2. Dr. Irawan Sugoro, M.Si selaku Pembimbing II yang telah memberikan
pengarahan, pengetahuan, serta bimbingannya sehingga banyak membantu
penulis dalam melaksanakan penelitian dan menyelesaikan penulisan laporan
ini;
3. Dr. Hendrawati, M.Si dan Anna Muawanah, M.Si, selaku penguji yang akan
memberikan kritik dan saran sehingga skripsi ini menjadi lebih baik;
ix
4. Drs. Dede Sukandar, M.Si, selaku Ketua Program Studi Kimia Fakultas Sains
dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
5. Teristimewa kepada kedua orang tua tercinta atas segala cinta, doa,
pengorbanan, nasihat dan motivasinya kepada penulis;
6. Seluruh staf PAIR BATAN, Pak Dono dan Pak Dinar yang telah memberikan
bantuan dan bimbingannya selama penelitian berlangsung;
7. Dr. Agus Salim, M.Si, selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
8. teman-teman kimia angkatan 2014, Aisyah, Devi, Lina dan Dwi yang
senantiasa memberi dukungan dan keceriaan selama berjalannya penelitian;
9. serta semua pihak yang telah membantu secara langsung dan tidak langsung,
yang tidak dapat disebutkan satu persatu;
Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu dan penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita
semua dan menjadi bahan masukan bagi dunia pendidikan. Wassalamu’alaikum
Wr. Wb
Jakarta, Juli 2018
Chatamia Ramadhani Fitri
x
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ............................................................................................................ vi
ABSTRACT ......................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiv
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah ....................................................................................... 5
1.3. Hipotesis Penelitian ..................................................................................... 5
1.4. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 5
1.5. Manfaat Penelitian ....................................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 7
2.1. Tanaman Serai Wangi .................................................................................. 7
2.2. Limbah Daun Serai Wangi ........................................................................... 8
2.3. Bahan Pakan ............................................................................................... 10
2.4. Ternak Ruminansia ..................................................................................... 11
2.5. Sistem Pencernaan Ternak Ruminansia ..................................................... 12
2.6. Rumen dan Mikroorganisme Rumen ......................................................... 15
2.7. Fermentasi dalam Cairan Rumen ............................................................... 17
2.8. Kambing Kacang ........................................................................................ 19
2.9. Gas Metana ................................................................................................. 19
2.10. Strategi Menurunkan Gas Metana dari Sektor Peternakan Ruminansia .. 20
2.11. Teknik In vivo ........................................................................................... 21
2.12. Gas Analyzer ............................................................................................ 22
2.13. Kromatografi Gas ..................................................................................... 22
2.14. Total Plate Count ..................................................................................... 23
BAB III METODE PENELITIAN ................................................................... 25
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................... 25
3.2. Alat dan Bahan .......................................................................................... 25
xi
3.3. Bagan Alur Penelitian ............................................................................... 26
3.4. Prosedur Kerja ........................................................................................... 27
3.4.1. Persiapan Sampel Pakan..................................................................... 27
3.4.2. Analisis Komposisi Nutrisi Sampel ................................................... 27
3.4.2.1. Uji Bahan Kering, Bahan Organik dan Bahan Abu ...................... 27
3.4.2.2. Uji Kuantitatif Total Fenol dan Tanin ........................................... 28
3.4.2.2.1. Ekstraksi Sampel ................................................................... 28
3.4.2.2.2. Penentuan Total Fenol .......................................................... 28
3.4.2.2.3. Penentuan Total Tanin .......................................................... 28
3.4.2.2.4. Penentuan Tanin Kondensasi ................................................ 29
3.4.2.3. Uji Kadar Lemak dengan Metode Ekstraksi Soxhlet .................... 30
3.4.2.4. Uji Kadar Protein dengan Metode Kjedahl ................................... 30
3.4.3. Pengujian Limbah Serai Wangi Sebagai Pakan Tambahan Secara In
Vivo Pada Kambing ............................................................................ 31
3.4.4. Pengukuran Parameter........................................................................ 31
3.4.4.1. Pengukuran Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) .............. 31
3.4.4.2. Pengambilan dan Pengukuran Sampel Gas Metana ....................... 32
3.4.4.3. Proses Pengukuran Parameter Uji Cairan Rumen Kambing .......... 33
3.4.4.3.1. Pengukuran Derajat Keasaman (pH) ..................................... 33
3.4.4.3.2. Pengukuran Kadar Amonia (NH3).......................................... 33
3.4.4.3.3. Pengukuran Konsentrasi VFA Parsial .................................... 33
3.4.4.3.4. PengukuranProtein Bakteri dan Protozoa (Uji Lowry) ........... 34
3.4.4.3.5. Analisis Populasi Mikroorganisme ........................................ 35
3.4.5. Analisis Data ...................................................................................... 36
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 37
4.1. Analisis Komposisi Nutrisi Sampel ........................................................... 37
4.2. Pertambahan Bobot Badan Harian ............................................................. 40
4.3. Produk Fermentasi Cairan Rumen Kambing .............................................. 41
4.3.1. Nilai Derajat Keasaman (pH) .............................................................. 41
4.3.2. Konsentrasi Volatile Fatty Acids (VFA) Total dan Parsial.................. 42
4.3.3. Konsentrasi N−NH3 dan Protein Mikroba ........................................... 46
4.3.4. Nilai Biomassa Bakteri dan Protozoa .................................................. 49
4.4. Jumlah Mikroba .......................................................................................... 51
4.5. Emisi Gas Metana dan Karbondioksida ..................................................... 57
xii
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 63
5.1. Simpulan ..................................................................................................... 63
5.2. Saran ........................................................................................................... 63
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 64
LAMPIRAN ......................................................................................................... 75
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Tanaman Serai Wangi ........................................................................... 7
Gambar 2. Struktur senyawa dari Cymbopogon Nardus Essential Oil (EO-CN) ... 9
Gambar 3. Diagram perut ruminansia ................................................................... 12
Gambar 4. Degradasi pakan oleh mikroba rumen ................................................. 14
Gambar 5. Kambing kacang .................................................................................. 19
Gambar 6. Gas Analyzer ....................................................................................... 22
Gambar 7. Bagan komponen Instumentasi Kromatografi Gas ............................. 23
Gambar 8. Pengukuran emisi gas metana. ............................................................ 32
Gambar 9. Derajat Keasaman (pH) ....................................................................... 42
Gambar 10. Biomassa Bakteri dan Protozoa......................................................... 50
Gambar 11. Total mikroba .................................................................................... 52
Gambar 12. Gas metana dan gas karbondioksida ................................................. 57
Gambar 13. Metabolisme lipid .............................................................................. 60
Gambar 14. Pola Fermentasi Mikroba (Metabolisme H2) .................................... 61
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Perbandingan kandungan gizi limbah serai wangi dan rumput gajah. ...... 8
Tabel 2. Tabel perlakuan. ...................................................................................... 31
Tabel 3. Komposisi nutrisi pakan rumput gajah dan limbah serai wangi ............. 37
Tabel 4. Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) kambing ............................. 40
Tabel 5. Konsentrasi VFA total, parsial dan rasio asetat-propionat (C2/C3) ......... 43
Tabel 6. Konsentrasi N−NH3, protein mikroba dan biomassa mikroba. ............... 47
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Karakteristik dari Bakteri Metanogen .............................................. 75
Lampiran 2. Strategi Menurunkan Gas Metana .................................................... 76
Lampiran 3. Pembuatan Larutan ........................................................................... 77
Lampiran 4. Analisis Data..................................................................................... 82
Lampiran 5. Analisis Statistik ............................................................................... 89
Lampiran 6. Hasil Uji Kromatografi Gas .............................................................. 91
Lampiran 7. Dokumentasi Penelitian .................................................................... 94
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perubahan atmosfir dipengaruhi oleh kuantitas gas-gas yang dihasilkan oleh
aktivitas di bumi dan terkumpul di lapisan udara antara lain karbondioksida (CO2),
metana (CH4), nitrogen oksida (NOx), ozon (O3), dan uap air (H2O). Gas tersebut
berperan dalam peningkatan suhu di permukaan bumi yang dikenal dengan gas
rumah kaca (GRK) (Martono, 2017). Peningkatan jumlah gas rumah kaca
menyebabkan pemanasan global yang saat ini merupakan isu lingkungan terpenting
dan sudah terlihat dampaknya (Hidayah, 2016).
Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia (2010), menyatakan
bahwa secara sektoral, pertanian berada pada urutan keempat dalam penyumbang
emisi gas rumah kaca, setelah sektor kehutanan, energi dan limbah. Sektor
pertanian menyumbang 5% dari keseluruhan emisi gas rumah kaca. Ada 5 (lima)
kegiatan dalam sektor pertanian yang menjadi sumber Gas Rumah Kaca yaitu 1)
Peternakan, 2) Budidaya Padi sawah, 3) Pembakaran padang sabana, 4)
pembakaran limbah pertanian dan 5) Tanah Pertanian (Intergovermental Panel on
Climate Change (IPCC), 1994).
Kegiatan peternakan menyumbangkan 24,1% dari total emisi yang berasal
dari sektor pertanian. Gas rumah kaca yang dihasilkan oleh kegiatan peternakan
sebagian besar adalah gas metana yang dampaknya 21 kali lebih berbahaya
dibandingkan dengan CO2 (Gustiar & Suwignyo, 2014). Gas metana pada hewan-
hewan ruminansia berasal dari dua sumber yaitu dari hasil fermentasi saluran
2
pencernaan (enteric fermentation) dan kotoran (feces) (Nur et al., 2015 dan
Haryanto & Thalib, 2009).
Emisi gas metana yang dihasilkan oleh kegiatan peternakan sebagian besar
disumbangkan dari proses fermentasi. Pembentukan gas metana di dalam rumen
merupakan hasil akhir dari fermentasi pakan. Metana diproduksi di saluran
pencernaan ternak, sebesar 80% - 95% diproduksi di dalam rumen dan 5% - 20%
dalam usus besar. Metana yang dihasilkan dalam rumen dikeluarkan melalui mulut
ke atmosfir (Martin et al., 2010).
Emisi gas metana ternak ruminansia lebih tinggi yaitu, 91,10% dibandingkan
babi (5,90%) dan unggas (3%) (Ditjennak, 2007) yang disebabkan terjadinya proses
metanogenesis oleh bakteri metanogen dalam rumen melalui perombakan unsur
CO2 dan H2 (Aurora, 1995). Selain berdampak pada emisi pemanasan global, emisi
metana merupakan bentuk representasi dari kehilangan energi (Widyawati, 2009).
Strategi untuk mengurangi emisi gas metana dari ternak ruminansia dapat
dilakukan melalui penambahan pakan yang mengandung metabolit sekunder (tanin
dan saponin) atau lemak tak jenuh. Jenis tanaman yang telah diteliti dan diketahui
mengandung tanin mampu mereduksi metana adalah daun Sanguisorba (Adam &
Pers-kamczyc, 2016), daun nangka (Wahyono et al., 2017), Acacia mearnsii (Junior
et al., 2017), dan pepaya (Jafari et al., 2016) melalui pengujian secara in vitro.
Sumber pakan yang mengandung lemak tak jenuh dapat diperoleh dari limbah
industri minyak kelapa sawit phospholine gum (Asyifah et al., 2017), minyak
kelapa sawit (PO), decanter cake diet (DCD), palm kernel cake diet (PKCD)
(Abubakr et al., 2014), dan limbah sereh (Cymbopogon winterianus) (Manurung et
al., 2015).
3
Penelitian ini memanfaatkan limbah serai wangi dari industri minyak atsiri
untuk diujikan sebagai pakan tambahan kambing secara in vivo. Penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Manurung et al., (2015) mengindikasikan bahwa
penambahan limbah serai wangi dapat meningkatkan produksi susu pada sapi
perah. Penelitian lainnya, mengindikasikan bahwa penambahan serai wangi mampu
mereduksi metana yang merupakan hasil pengujian in vitro dengan menggunakan
cairan rumen kerbau (Findo et al., 2016). Destilasi serai wangi masih menyisakan
kandungan lemak berkisar 70 – 80% dari total minyak awal. Selain itu, limbah serai
wangi diketahui mengandung tanin sebesar 1,18 mg/g (Dewanti, 2016).
Pemanfaatan limbah industri tersebut berdampak positif karena dapat mengurangi
beban lingkungan. Pemanfaatan limbah tersebut sesuai dengan firman Allah SWT
dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 191 sebagai berikut:
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk
atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit
dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka”.
(Q.S. Ali Imran: 191).
4
Pemanfaatan ternak sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat
Al-Mu’minun ayat 21 sebagai berikut:
Artinya: “Dan sesungguhnya pada binatang-binatang ternak, benar-benar
terdapat pelajaran yang penting bagi kamu, kami memberi minum kamu dari air
susu yang ada dalam perutnya, dan (juga) pada binatang-binatang ternak itu
terdapat faidah yang banyak untuk kamu, dan sebagian darinya kamu makan”.
(Q.S. Al-Mu’minun: 21).
Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian yang dilakukan adalah
pemanfaatan limbah serai wangi sebagai pakan tambahan pada kambing yang
mampu mereduksi gas metana. Pengamatan pada penelitian ini menggunakan
teknik in vivo dengan memberi perlakuan langsung berupa serbuk limbah serai
wangi pada kambing dengan pakan basal berupa rumput gajah. Parameter uji in vivo
yang diukur adalah Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) dan emisi gas
metana. Selain itu, dilakukan pula pengukuran produk fermentasi cairan rumen
yang meliputi pH, konsentrasi amonia, VFA parsial, protein mikroba, konsentrasi
gas metana dan jumlah mikroba.
5
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut.
1. Bagaimana pengaruh penambahan limbah serai wangi terhadap pertambahan
bobot badan harian (PBBH) dan produk fermentasi mikroba cairan rumen
(pH, kandungan amonia, volatile fatty acids (VFA), dan jumlah mikroba)?
2. Bagaimana pengaruh penambahan limbah serai wangi sebagai pakan
tambahan pada kambing terhadap emisi gas metana secara in vivo?
1.3. Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Penambahan limbah serai wangi mempengaruhi pertambahan bobot badan
harian (PBBH) dan produk fermentasi mikroba cairan rumen (pH, kandungan
amonia, volatile fatty acids (VFA), dan jumlah mikroba).
2. Limbah serai wangi dapat dimanfaatkan sebagai pakan tambahan pada
kambing berpengaruh terhadap emisi gas metana secara in vivo.
1.4. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang diuraikan, tujuan penelitian ini adalah
sebagai berikut.
1. Untuk memperoleh informasi pengaruh pemberian limbah serai wangi
sebagai pakan tambahan terhadap pertambahan bobot badan harian (PBBH)
dan produk fermentasi mikroba cairan rumen (pH, kandungan amonia,
volatile fatty acids (VFA), dan jumlah mikroba).
6
2. Memanfaatkan limbah serai wangi sebagai pakan tambahan pada kambing
terhadap emisi gas metana secara in vivo.
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan manfaat bagi
masyarakat Indonesia, diantaranya adalah sebagai berikut.
1. Memberi informasi bahwa limbah serai wangi dapat digunakan sebagai pakan
tambahan pada kambing.
2. Memberi nilai tambah dan nilai ekonomis pada limbah hasil destilasi minyak
serai wangi.
3. Memberi informasi mengenai metode untuk menurunkan gas metana yang
dihasilkan kambing secara in vivo menggunakan limbah serai wangi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanaman Serai Wangi
Serai wangi termasuk famili Geraminae (rumput-rumputan) (Gambar 1).
Genus dari rumput-rumputan ini meliputi hampir 80 jenis/spesies, yang penting
diantaranya C. nardus dan C. winterianus. Klasifikasi serai wangi adalah sebagai
berikut Divisi: Anthophyta; Phylum: Angiospermae; Class: Monocotyledonae;
Famili: Graminae; Genus: Cymbopogon, Andropogon; Species: C. nardus Redle,
C. Winterianus (Sukamto et al., 2011).
Gambar 1. Tanaman Serai Wangi (dok.pribadi, 2017).
Serai wangi (Cymbopogon nardus L.) merupakan salah satu jenis tanaman
penghasil minyak atsiri. Hasil penyulingan daunnya, diperoleh minyak serai wangi
yang dalam dunia perdagangan dikenal dengan nama Citronella oil. Komponen
utama minyak serai wangi adalah sitronelal dan geraniol yang masing-masing
mempunyai aroma yang khas dan melebihi keharuman minyak serai sendiri
(Sukamto et al., 2011).
8
2.2. Limbah Daun Serai Wangi
Limbah daun serai wangi merupakan hasil samping dari proses destilasi daun
serai wangi untuk menghasilkan minyak serai. Limbah serai wangi mempunyai
kandungan protein 7%, dan lebih baik dari limbah jerami (3,93%). Limbah serai
wangi juga memiliki kandungan serat kasar yang lebih baik/rendah sebagai pakan
dibandingkan dengan limbah jerami dan rumput gajah sekalipun yaitu 25,73% yang
ditunjukkan pada tabel 1 (Sukamto et al., 2011).
Tabel 1. Perbandingan kandungan gizi limbah serai wangi (10% kadar air) dan rumput
gajah.
No Gizi Limbah Seraiwangi Rumput Gajah
1 Protein 7,00% 10,19 %
2 Lemak 2,35% 1,64%
3 Energi 3353,00 kkg/GE/Kg 4031,00 kkg/GE/kg
4 Serat kasar 25,73% 34,15%
5 Ca 0,35% 0,48%
6 P 0,14% 0,23%
7 Kadar abu 7,91% 11,73%
(Sukamto et al., 2011)
Keterangan: kkg: kilokilogram; GE: Gross energy
Limbah serai wangi memiliki warna cokelat kekuningan akibat pemanasan
yang diterima bahan pada saat destilasi. Daun yang awalnya berwarna hijau akan
berubah menjadi cokelat kekuningan. Limbah daun serai wangi masih memiliki bau
khas serai wangi meskipun telah melewati proses destilasi (Yuliyani, 2010).
Limbah padat (limbah bahan baku) serai wangi sedikit banyak masih mengandung
minyak atsiri (Usmiati et al., 2005).
Senyawa dari Cymbopogon Nardus Essential Oil (EO-CN) (Gambar 2) yaitu
sitral (38,75%), 2,6-oktadienal, 3,7-dimetil (31,02%), sitronelal (6,06%), sitronelol
(1,89%), geranil asetat (4,28%), geraniol (2,75%), asam nerat (1,00%), asam
9
oktanoat (0,17%), asam propanoat (6,90%), asam arachidat (0,10%), asam behenat
(0,10%) dan asam dikarboksilat (2,00%) (Kandimalla et al., 2016 dan Mahalwal &
Ali, 2003). Gunal et al., (2013) juga menyatakan bahwa senyawa yang terdapat
dalam citronella oil diantaranya C16:0 (9,33 mg/l), C18:0 (20,50 mg/l), C18:1 trans
(4,77 mg/l), C18:1 t11 (3,47 mg/l), C18:1 c9 (3,90 mg/l), C18:2n6 (3,12 mg/l),
C18:3n3 (0,72 mg/l), asam linoleat konjugasic9t11 (0,23 mg/l), asam linoleat
konjugasit10c12 (0,14 mg/l).
Geraniol Sitronelol Arachidat
Linoleat Asam nerat Asam oktanoat
Gambar 2. Struktur senyawa dari Cymbopogon Nardus Essential Oil (EO-CN)
Penggunaan limbah serai wangi ini memungkinkan terjadinya proses
penjenuhan asam lemak tak jenuh dalam limbah serai wangi oleh hidrogen yang
tersedia dalam rumen yang seharusnya digunakan untuk pembentukan gas metana,
sehingga dapat dikatakan bahwa asam lemak tak jenuh digunakan sebagai
penangkap hidrogen. Selain itu, minyak serai mengandung fitokimia seperti tanin
dan saponin (Balakrishnan et al., 2015) yang mampu menurunkan produksi metana,
10
populasi metanogen dan populasi protozoa, serta meningkatkan produksi VFA total
dan parsial (terutama propionat), populasi bakteri rumen dan tidak mengganggu
kecernaan bahan pakan.
Polyunsaturated Fatty Acids adalah asam lemak tak jenuh ganda yang
memiliki lebih dari satu ikatan rangkap dan maksimum memiliki 6 ikatan rangkap
dalam struktur rantai karbon. Asam lemak tak jenuh ganda memiliki gugus utama
asam karboksilat (−COOH) dan pada rantai karbon mengandung dua atau lebih
ikatan rangkap, ikatan rangkap tidak terkonjugasi tetapi terpisah oleh gugus metilen
(−CH2), salah satu contoh dari PUFA yang banyak terdapat pada hijauan adalah
asam linoleat dan asam α-linoleat (Hall et al., 2012). Asam lemak tak jenuh
merupakan racun bagi beberapa bakteri di rumen terutama yang terlibat dalam
pencernaan (Nam & Garnsworthy, 2007).
2.3. Bahan Pakan
Bahan pakan adalah segala sesuatu yang dapat dimakan, dapat diabsorbsi dan
bermanfaat bagi ternak, oleh karena itu apa yang disebut dengan bahan pakan
adalah segala sesuatu yang memenuhi semua persyaratan tersebut (Kamal, 1994),
sedangkan Hartadi et al (2008) menyatakan bahwa yang dimaksud bahan pakan
adalah suatu bahan yang dimakan oleh hewan yang mengandung energi dan zat-zat
gizi (atau keduanya) di dalam pakan ternak (Zakariah, 2015). Pertumbuhan ternak
sangat dipengaruhi oleh faktor genetik, pakan, jenis kelamin, hormon, lingkungan
dan manajemen. Pakan merupakan faktor utama yang menentukan keberhasilan
dalam beternak (Mohd & Thaariq, 2017).
Pakan ternak ruminansia umumnya mengandung serat yang tinggi sehingga
sulit dicerna oleh ternak (Sugoro et al., 2014). Pakan ternak ruminansia terdiri dari
11
pakan hijauan, konsentrat, vitamin dan mineral sebagai suplemen. Hijauan yang
biasa digunakan sebagai pakan pada usaha peternakan rakyat di pedesaan adalah
rumput gajah dan hasil samping pertanian, serta beberapa rumput introduksi sebagai
rumput unggulan. Hasil sampingan pertanian yang sering digunakan adalah jerami
padi, jerami jagung, jerami kedelai, jerami sorgum, daun ubi jalar, daun ubi kayu
dan pucuk tebu, sedangkan bahan baku konsentrat yang sering digunakan adalah
dedak padi, gaplek, bungkil kelapa, bungkil kelapa sawit dan lain-lain (Sitindaon,
2013).
Ruminansia memiliki sistem pencernaan yang unik. Ruminansia memiliki
organ pencernaan yang berkapasitas besar dengan proses pencernaan yang
merupakan serangkaian proses kompleks dan melibatkan interaksi dinamis antara
pakan, populasi mikroba dan ternak itu sendiri. Hal ini sangat penting artinya bagi
ruminansia yang sebagian besar pakannya berupa serat. Dengan demikian ternak
ruminansia seperti sapi, kerbau, kambing dan domba mampu memanfaatkan pakan
berkualitas rendah dengan kandungan serat kasar yang tinggi (Puastuti, 2009).
2.4. Ternak Ruminansia
Ternak ruminansia adalah kelompok ternak bertulang belakang, mempunyai
rahang, memiliki kaki berkuku genap dan tanduk yang strukturnya berongga,
menyusui anak-anaknya dan mempunyai sistem pencernaan makanan yaitu
memamah biak (Kartadisastra, 1997). Lambung ruminansia terdiri atas empat
bagian, yaitu: rumen, retikulum, omasum, dan abomasum (Sarwono & Ariyanto,
2005).
Berdasarkan data United Nations Environmental Programme World
Conservation Monitoring Centre/UNEP-WCMC (Ryle & Ørskov, 1990), terdapat
12
357 jenis yang masuk ke dalam suku Bovidae. Tidak seluruh jenis tersebut
tergolong ternak, namun termasuk ruminansia. Beberapa jenis ternak ruminansia
yang umum adalah: Bas taurus (sapi), Buba/us bubalis (kerbau), Buba/us
mindorensis, Capra hircus (kambing), Capra ibex, Capra caucasia, Capra
fa/coneri, Ovis aries (domba), Ovis orientalis, dan Ovis Ammon. Sapi, kerbau dan
hewan ruminansia lainnya sangat berbeda dibandingkan hewan non ruminansia
(Wahyono et al., 2011).
2.5. Sistem Pencernaan Ternak Ruminansia
Pencernaan adalah rangkaian proses perubahan fisik dan kimia yang dialami
bahan makanan selama berada dalam alat pencernaan. Proses pencernaan makanan
pada ternak ruminansia relatif lebih kompleks dibandingkan proses pencernaan
pada jenis ternak lainnya (Muslim et al., 2014).
Ruminansia memiliki organ rumen pada permulaan saluran gastrointestinal
(Gambar 3). Organ tersebut menyebabkan ruminansia dapat mengekstraksi dan
menyerap energi dari material serat-serat tumbuhan yang tidak dapat dicerna oleh
enzim-enzim pada hewan ruminansia. Selain itu, protein mikroba yang dihasilkan
sebagai produk sampingan dari pencernaan dalam rumen dapat memenuhi
kebutuhan protein bagi ruminansia (Hungate, 1967).
Gambar 3. Diagram perut ruminansia (Leng, 1984 dan Correa, 2016).
13
Sifat paling menonjol pada ruminansia adalah keperluan pakannya tidak
bersaing dengan manusia. Bahan pakan ternak ruminansia dapat mengandalkan
hijauan dan limbah pertanian yang tidak dikonsumsi oleh manusia. Ternak
ruminansia dapat mencerna pakan berserat tinggi dan mengubahnya menjadi
daging. Kemampuan itu menunjukkan hewan ruminansia memiliki proses
pencernaan yang khas (Sarwono & Ariyanto, 2005).
Lambung sapi, kerbau dan ruminansia lainnya terdiri dari 4 bagian yaitu:
rumen (Iambung pertama dengan kapasitas 100-230 liter pada sapi), retikulum
(lambung kedua atau disebut juga perut jala), omasum (Iambung ketiga atau perut
buku) dan abomasum (perut keempat atau perut sejati). Lambung sapi mulai
berfungsi sempurna setelah usianya menginjak 12 minggu. Dengan struktur perut
demikian, sapi dapat menelan banyak pakan dalam waktu singkat (Sarwono &
Ariyanto, 2005). Studi fisiologi ternak ruminansia, rumen dan retikulum sering
dipandang sebagai organ tunggal dengan sebutan retikulorumen (Sugoro, 2010).
Proses pencernaan pada hewan ruminansia terjadi secara mekanis di mulut.
fermentatif oleh mikroba pada rumen, dan secara hidrolisis oleh enzim-enzim
pencernaan di abomasum (Sarwono & Ariyanto, 2005). Pakan yang dikonsumsi
ruminansia memasuki saluran gastrointestinal melalui mulut, pakan dikunyah
sebentar, kemudian bercampur dengan saliva lalu ditelan masuk ke esofagus
menuju rumen (Gambar 3). Sebelum mengalami hidrolisis enzimatis di abomasum,
pakan ditampung sementara dalam retikulorumen (Sugoro, 2010).
14
Gambar 4. Degradasi pakan oleh mikroba rumen (Nalbandov, 1990).
Mikroba alami yang terdapat dalam retikulorumen melakukan fermentasi
secara anaerobik. Mikroba tersebut mendegradasi senyawa-senyawa kompleks
yang terkandung dalam bahan pakan termasuk selulosa dan hemiselulosa
(polisakarida) menjadi senyawa-senyawa sederhana sebagaimana tercantum pada
Gambar 4. Baik karbohidrat (serat kasar, gula, dan pati) maupun protein dapat
difermentasi oleh mikroba menjadi asam lemak volatil (VFA) yang kemudian
diserap oleh dinding rumen. Hasil sampingan fermentasi berupa gas CH4 dan CO2
dikeluarkan saat ternak bersendawa. Senyawa NH4 sebagai hasil fermentasi
mikroba terhadap protein dan urea pada akhirnya digunakan sebagai salah satu
substrat untuk sintesis protein mikroba, sedangkan protein yang tak terdegradasi
(protein by pass) akan lolos menuju abomasum untuk dicerna secara enzimatis.
Pemanfaatan polisakarida dalam rumen dilaksanakan oleh aktivitas secara
berurutan dari sekumpulan mikroba rumen yang berarti hasil degradasi dari suatu
mikroba dapat menjadi substrat bagi mikroba lain (Sugoro, 2010).
Laju proses pencernaan pakan ditentukan oleh lamanya pakan tertahan di
dalam rumen dan populasi mikroba yang berkembang dalam rumen. Semakin
banyak mikroba rumen, dan semakin lama pakan berada dalam rumen maka
semakin besar potensi pakan dapat diuraikan sehingga pada akhirnya meningkatkan
15
nutrien yang dapat diserap tubuh (Sarwono & Ariyanto, 2005). Ternak ruminansia
sebenarnya juga mencerna bakteri rumen di abomasum sebagai sumber nutrien,
termasuk protein mikroba hasil fermentasi dalam rumen. Bakteri rumen tersebut
bereproduksi sangat cepat untuk menjaga kestabilan populasinya (Leeson &
Summer, 1996). Pakan berserat (hijauan) yang dimakan ditahan untuk sementara di
dalam rumen. Saat hewan beristirahat, pakan yang telah berada dalam rumen
dikembalikan ke mulut (regurgitasi) untuk dikunyah kembali (remastikasi),
kemudian pakan ditelan kembali (redeglutisi). Selanjutnya pakan tersebut dicerna
lagi oleh enzim-enzim mikroba rumen (Kaunang, 2004).
Setelah melalui rumen, pakan masuk ke omasum melalui suatu katup. Pakan
mengalami penggilingan oleh gerakan peristaltik dinding omasum sehingga
partikel-partikel pakan menjadi lebih halus sekaligus terjadi penyerapan air.
Berikutnya, pakan masuk ke abomasum, tempat terjadinya proses pencernaan
secara enzimatis. Sekresi getah lambung yang mengandung enzim-enzim
pencernaan untuk menghidrolisis zat-zat gizi dalam pakan dihasilkan di abomasum.
Hasil pencernaan enzimatis tersebut diserap dalam usus halus (Sarwono &
Ariyanto, 2005). Abomasum juga disebut perut sejati karena memiliki kemiripan
fungsi dengan perut tunggal sebagaimana pada hewan non ruminansia (Blakely &
Bade, 1985). Kompleksitas sistem pencernaan ruminansia menjadi pembeda
dengan hewan non ruminansia menunjukkan bahwa pencernaan ternak ruminansia
telah berkembang sesuai jenis pakannya (Kamra et al., 1996).
2.6. Rumen dan Mikroorganisme Rumen
Rumen merupakan ruang fermentasi bagi populasi mikroba yang hidup di
dalamnya untuk membantu proses pencernaan pakan bagi ternak ruminansia.
16
Populasi mikroba dalam cairan rumen sangat padat, yaitu mengandung sekitar 1010
bakteri/ml, 106 protozoa/ml, dan 103 fungi/ml. Populasi protozoa dapat mencapai
setengah dari total seluruh biomassa mikroba rumen. Hal ini disebabkan protozoa
berukuran jauh lebih besar dari bakteri maupun fungi. Mikroba-mikroba tersebut
terspesialisasi dan beradaptasi untuk dapat hidup dan berkembang dalam rumen
dengan kisaran pH 5,7 - 7,3 dan kisaran temperatur 36°C - 41°C yang kondisinya
anaerob. Kehadiran oksigen justru menjadi toksik bagi mikroba rumen (Hungate,
1967).
Selain bakteri, protozoa dan fungi, diketahui pula kehadiran bakteriofag
dalam cairan rumen. Namun peranannya dalam proses fermentasi belum diketahui
secara pasti (Kamra et al., 1996 dan Ogimoto et al., 1981). Metabolisme mikroba
rumen dapat diketahui melalui beberapa parameter penting yang terukur yaitu:
produksi gas, nilai pH, kadar VFA dan kadar amonia. Produksi gas merupakan
parameter umum untuk menjelaskan laju fermentasi yang terjadi. Hasil sampingan
dari fermentasi dapat berupa gas-gas seperti H2, CO2, maupun CH4 (Veira, 1986).
Aktivitas fermentasi juga dapat diketahui dari nilai pH. Semakin tinggi laju
fermentasi berarti semakin banyak asam-asam organik yang dihasilkan sehingga
dapat menurunkan nilai pH. Kadar VFA menunjukkan hasil fermentasi mikroba
terhadap karbohidrat, sedangkan amonia merupakan hasil degradasi terhadap
protein. Maka, untuk menjelaskan kondisi mikroba rumen dapat diketahui melalui
parameter-parameter tersebut (Sugoro, 2010).
Di dalam rumen terdapat 1010 - 1012 bakteri per gram cairan rumen. Mayoritas
bakteri bersifat anaerobik, sedangkan bakteri anaerobik fakultatif dan aerobik
merupakan minoritas. Terdapatnya bakteri aerobik maupun anaerobik fakultatif
17
disebabkan kondisi rumen yang tidak mungkin sepenuhnya bebas dari oksigen,
walaupun hanya pada kadar yang sangat rendah. Berdasarkan morfologinya, bakteri
rumen dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu kokus, batang, dan spiral. Berdasarkan
karakter struktur sel, terdapat bakteri Gram positif, Gram negatif, dan mikoplasma
(Ogimoto & Imai, 1981).
Lebih dari 200 jenis bakteri rumen telah diidentifikasi. Umumnya bakteri-
bakteri tersebut merupakan kelompok non spora anaerobik. Aktivitas dari suatu
bakteri dapat bervariasi antara satu strain dengan strain lainnya. Demikian pula total
jumlah bakteri dan populasi relatif dari jenis individual bervariasi tergantung jenis
pakannya (McDonald et al., 2011). Bakteri rumen berperan penting dalam
degradasi pakan. Sebagian bakteri rumen mendegradasi selulosa (selulolitik), ada
pula yang mendegradasi hemiselulosa dan pati. Beberapa jenis bakteri mampu
memanfaatkan asam-asam organik sebagai substrat, sedangkan jenis lainnya
mampu memfermentasi protein dan lipid (Krehbiel et al., 2006 dan Kamra et al.,
1996).
Populasi protozoa rumen dalam jumlah besar dapat menurunkan kadar
protein mikrobial yang tersedia untuk dicerna dalam usus halus (Sugoro &
Yunianto, 2006). Contoh dari bakteri metanogen diantaranya methanobacterium,
methanobrevibacter, dan methanothermobacter (Lampiran 1) (Liu & Whitman,
2008).
2.7. Fermentasi dalam Cairan Rumen
Rumen merupakan tempat terjadinya fermentasi yang didalamnya terdapat
mikroba dengan kondisi anaerobik (Aurora, 1995). Di dalam rumen, polisakarida
dihidrolisa menjadi monosakarida oleh enzim-enzim mikroba rumen, kemudian
18
monosakarida tersebut seperti glukosa difermentasi menjadi VFA berupa asetat,
propionat, butirat dan hasil samping berupa gas metana serta CO2 (Knapp et al.,
2014 dan Li et al., 2015) seperti reaksi berikut:
a. Jalur polisakarida−Glukosa
(C6H12O6)n → nC6H12O6
b. Jalur glukosa−Asam asetat
C6H12O6 + 4H2O → 2 CH3COO− + 2HCO3− + 4H+ + H2
c. Jalur glukosa – Asam propionat
C6H12O6 + 2H2 → 2CH3CH2COO− + 2H2O + 2H+
d. Jalur glukosa – Asam butirat
C6H12O6 + 2H2O → CH3CH2CH2COO− + 2HCO3− + 3H+ + 2H2
e. Penguraian asam butirat menjadi asam asetat oleh mikroba asetonotrof
CH3CH2CH2COO− + 2H2O → 2CH3COO− + 2H2 + 2H+
CH3CH2COO− + 3H2O → CH3COO− + H+ + HCO3− + 3H2
CH3CH2COO− + 2H2O → CH3COO− + 3H2 + CO2
f. Katabolisme metanol oleh bakteri metilotrof
CH3OH HCHO HCOOH CO2
g. Pembentukan gas metana oleh mikroba hidrogenotrof
CO2 + 4H2 → CH4 + 2H2O
Gas CO2 dan CH4 dilepas ke atmosfer oleh ternak melalui mulut dan lubang
hidung. Kedua gas tersebut dihasilkan melalui fermentasi di rumen dan sebanyak
89% diekskresikan melalui pernapasan sedangkan sisanya melalui anus. Gas CO2
yang terlarut dalam cairan rumen dapat bereaksi dengan H2 dan diinisiasi oleh
enzim hidrogenase akan diubah menjadi CH4. Gas CO2 yang tidak sempat bereaksi
enzim
enzim
Metanol dehidrogenase Ribulose-S-P glycine
19
dengan H2 akan tetap dilepas bersama-sama dengan gas CH4 ke udara (Broucek,
2014).
2.8. Kambing Kacang
Klasifikasi kambing kacang (Capra aegagrus hircus) (Gambar 5) termasuk
Kerajaan: Animalia, Filum: Chordata, Kelas: Mammalia, Ordo: Artiodactyla, Sub
ordo: Selenodantia, Familia: Bovidae, Subfamily: Caprinae, Genus: Capra,
Spesies: C. aegagrus, Subspecies: C. a. hircus. Kambing kacang adalah salah satu
kambing lokal di Indonesia dengan populasi yang cukup tinggi dan tersebar luas.
Kambing kacang memiliki ukuran tubuh yang relatif kecil. Kambing ini telah
beradaptasi dengan lingkungan setempat, dan memiliki keunggulan pada tingkat
kelahiran. Kambing ini memiliki tanduk baik jantan maupun betina. Secara umum
warna tubuhnya adalah gelap dan coklat (Mahmilia & Tarigan, 2004).
Gambar 5. Kambing kacang (www.cottonwoodcreekblackboers.com, 2017).
2.9. Gas Metana
Metana yang dianggap sebagai polutan atmosfer merupakan produk alami
dari fermentasi mikroba anaerobik (Thauer, 1998). Emisi gas metana pada hewan-
hewan ruminansia berasal dari 2 sumber yaitu berasal dari hasil fermentasi saluran
pencernaan (enteric fermentation) dan kotoran. Dari 2 sumber ini, produksi metana
20
enteric fermentation memberikan kontribusi sekitar 94% dari total emisi metana
dari sektor peternakan (Hidayah, 2016). Emisi metana ini tidak hanya berkontribusi
terhadap pemanasan global, tetapi juga merugikan ternak karena sekitar 6%−10%
dari energi bruto pakan yang dikonsumsi ternak ruminansia hilang sebagai metana
(Jayanegara, 2008). Pengambilan gas metana dapat dilakukan dengan beberapa
teknik. Diantaranya dengan teknik pernapasan, ruang akumulasi dan teknik
pengambilan gas in situ, termasuk pelacak dan kapsul sensor gas (Hill et al., 2015).
Emisi gas metana yang berasal dari ternak ruminansia pada negara maju
berbeda dengan emisi gas metana di negara berkembang, tergantung pada faktor-
faktor seperti spesies hewan, reproduksi, pH cairan rumen, rasio asetat dengan
propionat, populasi metanogen, komposisi pakan dan jumlah konsentrasi pakan.
Sapi merupakan salah satu ternak ruminansia yang paling berkontribusi terhadap
efek rumah kaca melalui emisi gas metana diikuti oleh domba, kambing dan kerbau.
Perkiraan emisi metana pada sapi; kerbau; domba dan kambing di negara maju
adalah 150,7; 137; 21,9 dan 13,7 (g/hewan/hari) (Sejian et al., 2011 dan Sofyan,
2016). Pembentukan gas metana di dalam rumen terjadi melalui reaksi sebagai
berikut.
CO2 + 4H2 → CH4 + 2 H2O (metanogenesis)
2.10. Strategi Menurunkan Gas Metana dari Sektor Peternakan Ruminansia
Gas metana dapat direduksi dengan menggunakan berbagai sumber.
Diantaranya dengan menggunakan tanin dari Sanguisorba (Adam & Pers-kamczyc,
2016), limbah industri minyak kelapa sawit phospholine gum (Asyifah et al., 2017),
dan ekstrak tanin dari Monensin (Junior et al., 2017), pakan berbasis minyak kelapa
sawit (PO), decanter cake diet (DCD), palm kernel cake diet (PKCD) (Abubakr et
21
al., 2014), jerami padi (Syaputra et al., 2013), probiotik khamir R1 dan R2
(Wahyono et al., 2011), ekstrak daun pepaya (Sairullah et al., 2016), probiotik
BIOS-K2 (Sugoro et al., 2014), teh saponin (Guyader et al., 2017), kandungan
saponin Yucca schidigera dan Quillaja saponaria (Holtshausen et al., 2009),
limbah sereh (Cymbopogon winterianus) (Manurung et al., 2015), jerami padi
dengan T. viride, dedak padi dengan A. niger, onggok dengan A. luchuensis dan S.
cereviseae (Suwandyastuti, 2013), dan konsentrat (dedak padi, bungkil sawit,
onggok, kulit kopi, kulit singkong, tetes tebu, garam, urea, dan kapur) (Gustiar &
Suwignyo, 2014) (Lampiran 2).
2.11. Teknik In vivo
In vivo adalah bahasa Latin untuk “dalam organisme hidup” mengacu pada
penelitian yang dilakukan menggunakan subjek manusia atau hewan. Teknik in vivo
dalam penelitian ini menggunakan organisme hidup yaitu kambing yang telah
diberi perlakuan pakan rumput gajah yang ditambahkan limbah serai wangi
kemudian diambil cairan rumennya.
Secara umum terdapat dua teknik untuk mendapatkan cairan rumen yaitu
dengan cara pengambilan melalui ternak fistula dan dengan cara menggunakan
selang (Gunawan et al., 1988). Seringkali, hasil percobaan secara in vivo tidak
selalu sama dengan percobaan in vitro, karena percobaan in vivo pada ternak hidup
mengacu pada sistem terbuka, sedangkan percobaan in vitro sistem tertutup. Pada
sistem terbuka, setiap saat selalu ada masukkan berupa bahan pakan sebagai sumber
nutrien dan O2 melalui pernapasan, penyerapan hasil pencernaan, serta ada keluaran
berupa sisa pencernaan, sisa metabolisme, maupun CO2 melalui pernapasan,
22
sedangkan pada sistem tertutup hanya ada satu kali masukkan bahan pakan
(Suwandyastuti, 2013).
2.12. Gas Analyzer
Gas Analyzer merupakan sebuah analisa gas inframerah yang mengukur gas
dengan menentukan penyerapan cahaya inframerah yang dipancarkan sumber
melalui sampel udara tertentu (Gambar 6). Konsep ini dapat dipahami sebagai
pengujian seberapa banyak cahaya itu diserap oleh udara. Molekul yang berbeda di
udara menyerap frekuensi cahaya yang berbeda. Udara dengan banyak gas tertentu
akan menyerap lebih banyak frekuensi tertentu memungkinkan sensor untuk
melaporkan konsentrasi tinggi dari molekul yang sesuai (Thomas & Haider, 2013).
Gambar 6. Gas Analyzer (www.mru-instruments.com)
2.13. Kromatografi Gas
Kromatografi gas adalah teknik kromatografi yang digunakan untuk
memisahkan senyawa organik yang mudah menguap. Senyawa-senyawa tersebut
harus mudah menguap dan stabil pada temperatur pengujian, yaitu dari 50 sampai
300°C. Jika senyawa tidak mudah menguap atau tidak stabil pada temperatur
pengujian, maka senyawa tersebut bisa diderivatisasi agar dapat dianalisis dengan
kromatografi gas (Harvey, 2000). Dalam kromatografi gas terdapat fase gerak yang
berupa gas, biasanya gas yang dipakai adalah gas inert atau tidak mudah bereaksi
23
seperti Helium dan Nitrogen. Stationary atau fasa diam merupakan tahap
mikroskopis lapisan cair atau polimer yang mendukung gas murni, di dalam bagian
dari sistem pipa-pipa kaca atau logam yang disebut kolom (Fowlis & Ian A, 1998).
Prinsip dasar dari kromatografi gas adalah cara pemisahan kromatografi
menggunakan gas sebagai fase gerak. Zat yang akan dipisahkan dilewatkan dalam
kolom yang diisi dengan fasa diam yang terdiri dari bahan yang halus, dan biasanya
bersifat polar. Gas pembawa akan mengalir melalui kolom dengan kecepatan tetap,
memisahkan zat dalam gas atau cairan, atau dalam bentuk padat pada keadaan
normal, dalam kromatografi gas eluen yang akan keluar terlebih dahulu ialah eluen
yang memiliki titik didih yang lebih rendah yang dibawa bersama dengan fase gerak
(gas), dan eluen yang memiliki titik didih lebih tinggi akan tertahan lebih lama
dalam fasa diam. Komponen campuran dapat diidentifikasi dengan menggunakan
waktu tambat (waktu retensi) yang khas pada kondisi yang tepat. Waktu mati ialah
waktu yang menunjukkan berapa lama suatu senyawa tertahan dalam kolom
(Harvey, 2000). Secara umum bagian-bagian dari kromatografi gas adalah sebagai
berikut (Gambar 7):
Gambar 7. Bagan komponen Instumentasi Kromatografi Gas (Harvey, 2000).
2.14. Total Plate Count
Total bakteri/Total Plate Count (TPC) merupakan salah satu metode yang
dapat digunakan untuk menghitung jumlah mikroba dalam bahan. Metode hitungan
24
cawan (TPC) merupakan metode yang paling banyak digunakan dalam analisa,
karena koloni dapat dilihat langsung dengan mata tanpa menggunakan mikroskop.
Untuk menghitung total bakteri dengan metode cawan digunakan Nutrient Agar
(NA) (Feliatra, 1999).
Menurut Alaerts & Santika (1984) standard plate count dipergunakan untuk
menentukan kerapatan bakteri aerob dan anaerob. Penentuan dengan cara ini
merupakan pengukuran empiris saja, oleh karena tiap spesies bakteri membentuk
koloni tersendiri dalam pertumbuhannya. Semua bakteri dari sampel akan tumbuh
pada media tertentu dan setiap golongan bakteri akan tumbuh menjadi satu koloni
yang spesifik, sehingga jumlah bakteri dapat diketahui dengan menghitung jumlah
koloni.
Media adalah suatu substrat untuk menumbuhkan bakteri yang menjadi padat
dan tetap tembus pandang pada suhu inkubasi (Pelczar & Chan, 1986). Pada
umumnya dibutuhkan pengenceran sampel, yang tergantung dari perkiraan
populasi bakteri. Semakin tinggi konsentrasi bakteri maka semakin kecil volume
sampel yang diperlukan, agar jumlah koloni dapat dihitung. Air pengencer yang
digunakan harus selalu mengandung garam nutrient. Secara umum, metode
penanaman dapat dibedakan atas dua macam yaitu metode tuang (pour plate) dan
metode sebar (spread plate) (Mukhlis, 2008). Bakteri akan bereproduksi pada
medium agar dan membentuk koloni setelah 18-24 jam inkubasi. Untuk
menghitung jumlah koloni dalam cawan petri dapat digunakan alat ’colony counter’
yang biasanya dilengkapi dengan pencatat elektronik (Nurhayati & Samallo, 2013).
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2018 sampai dengan April
2018 dan dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak, Badan Teknologi Nuklir
Nasional (PAIR−BATAN), Pasar Jumat, Jakarta Selatan.
3.2. Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan adalah alat-alat gelas schott Duran®, sentrifuge, pH
meter 765 calimatic knick®, oven Fisher®, desikator, termos, neraca analitik
Sartorius®, tanur Pyrolbo®, cawan porselin, cawan Conway, mikropipet
Eppendorf®, destilator Glascol®, buret, waterbath, microtube, sentrifuge Hitachi®,
grinder Fritsch® Standard Funnel V2A 14304, syringe glass, gas bags, batang L,
inkubator, gas analyzer MRU®, dan Kromatografi Gas (GC).
Hewan uji yang digunakan adalah kambing jantan berusia 2 tahun sebanyak
4 ekor sebagai ulangan. Bahan-bahan yang digunakan adalah rumput gajah
(Pennisetum purpureum) diperoleh dari BATAN Pasar Jum’at dan limbah serai
wangi (Cymbopogon nardus L.) yang berasal dari pabrik minyak atsiri di desa
Cibunian kecamatan Pamijahan kabupaten Bogor, akuades, Na2CO3, NaOH, K/Na
tartat, CuSO4.5H2O, H2SO4, H3BO3, K2CO3, indikator brom cresol green, indikator
metil red, HCl, gliserin, selulosa, lignin, protein, CH3COOH, CH3OH, larutan folin
Merck®, polyvinyl polypyrrolidone (PVPP), larutan standar asam tanin (0,1 mg/ml),
reagen butanol-HCl (butanol-HCl 95:5 v/v), reagen Ferric (2% ferric ammonium
sulfate dalam 2 N HCl).
26
3.3. Bagan Alur Penelitian
Persiapan Sampel
Analisis
Komposisi
Nutrisi Sampel
- BK/BO
- Lemak
- Protein
- Tanin
Rumput
Gajah
Rumput Gajah +
Limbah Serai
Wangi
Uji In Vivo pada
Kambing jantan berusia
2 tahun sebanyak 4 ekor
Analisis Cairan
Rumen Kambing:
- pH
- Amonia
- VFA Parsial
- Protein Mikroba
-Total Mikroba
PBBH
Emisi Gas Metana
Pemberian Pakan
Minggu ke- 2
Pemberian Pakan
Minggu ke- 1
Analisis Data
27
3.4. Prosedur Kerja
3.4.1. Persiapan Sampel Pakan
Pakan yang digunakan terdiri dari serbuk limbah serai wangi serta hijauan
rumput gajah. Daun rumput gajah diperoleh dengan cara memanen langsung dari
Kebun. Setelah itu, dicacah dan dioven selama 5 hari pada suhu 60 0C. Kemudian
digerus dengan menggunakan blender dan disaring dengan saringan ukuran 100
mesh. Hal yang sama dilakukan pula pada limbah serai wangi. Serbuk limbah serai
wangi dan rumput gajah selanjutnya digunakan untuk pengujian komposisi nutrisi.
Selain untuk analisis komposisi nutrisi, serbuk limbah serai wangi digunakan pula
untuk perlakuan pada uji in vivo. Hijauan rumput gajah segar yang digunakan
sebagai pakan basal saat uji in vivo, dipersiapkan sehari sebelum pemberian pakan.
3.4.2. Analisis Komposisi Nutrisi Sampel
3.4.2.1. Uji Bahan Kering, Bahan Organik dan Bahan Abu (Sudarmadji, 1997)
Uji bahan kering, organik, dan abu dilakukan dengan mengeringkan sampel
pada oven dengan suhu 105 oC selama 24 jam, lalu dilakukan pemanasan dalam
tanur dengan suhu 550 oC selama 6 jam. Hal yang dilakukan pertama yaitu
menimbang cawan kosong (Bo). Selanjutnya, sampel yang sudah menjadi serbuk
ditimbang (Bs). Kemudian, sampel + cawan dimasukkan dalam oven bersuhu 105
oC selama 24 jam. Setelah itu, sampel dikeluarkan dari oven dan dipindahkan pada
desikator selama 30 menit dan kemudian ditimbang (Bt 105 oC) untuk dihitung
sebagai berat kering (%BK) dengan rumus:
% 𝐵𝐾 = (𝐵𝑡105𝑜𝐶 − 𝐵𝑜)
(𝐵𝑠 − 𝐵𝑜) × 100%
28
Setelah ditimbang, sampel + cawan tersebut dimasukkan dalam tanur bersuhu
550 oC selama 6 jam. Kemudian, sampel + cawan ditimbang sebagai Bt 550 oC untuk
dihitung sebagai berat abu (%BA) dengan rumus:
%𝐵𝐴 = (𝐵𝑡550𝑜𝐶 − 𝐵𝑜)
(𝐵𝑡105𝑜𝐶 − 𝐵𝑜) × 100%
Penentuan berat organik (%BO) digunakan rumus:
%𝐵𝑂 = %𝐵𝐾 − %𝐵𝐴
3.4.2.2. Uji Kuantitatif Total Fenol dan Tanin (Harbone, 1996)
3.4.2.2.1. Ekstraksi Sampel
Sampel daun limbah serai wangi dan rumput gajah sebanyak 0,2 g
dimasukkan dalam tabung reaksi dan ditambahkan 10 ml aseton 70%. Sel dipecah
menggunakan alat sonikator selama 20 menit. Selanjutnya disentrifugasi.
3.4.2.2.2. Penentuan Total Fenol
Supernatan hasil ekstraksi yang telah diperoleh diambil sebanyak 1 ml dan
dimasukkan dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 0,5 ml reagen folin dan
2,5 ml sodium karbonat. Larutan didalam tabung dihomogenkan dengan vortex
kemudian didiamkan pada suhu kamar selama 40 menit. Setelah 40 menit dibaca
absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer pada ƛ 725 nm.
Perhitungannya dengan memasukan hasil pembacaan spektrofotometer kedalam
persamaan regresi yang diperoleh dari kurva standart.
3.4.2.2.3. Penentuan Total Tanin
Dalam tabung reaksi dimasukkan 100 mg polivinilpolipyroledone (PVPP).
Ditambahkan 1 ml aquades dan 1 ml ekstrak tanin (100 mg PVPP cukup untuk
mengikat 2 mg total phenol) dihomogenkan dengan vortex. Tabung yang berisi
29
larutan diinkubasi selama 15 menit dalam refrigerator. Tabung yang berisi larutan
dihomogenkan kembali dan disentrifugasi pada 3000 g selama 10 menit.
Supernatan dimasukkan kedalam tabung reaksi digunakan untuk penentuan
total fenol non tanin seperti pada penentuan total fenol, diambil 1 ml dimasukkan
kedalam tabung reaksi, ditambahkan 0,5 ml reagen folin dan 2,5 ml sodium
karbonat. Larutan didalam tabung dihomogenkan dengan vortex kemudian
didiamkan pada suhu kamar selama 40 menit. Setelah 40 menit dibaca
absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer pada ƛ 725 nm.
Perhitungannya dengan memasukkan hasil pembacaan spektrofotometer kedalam
persamaan regresi yang diperoleh kurva standart. Total tanin yang dihasilkan
diperoleh dari total fenol dikurangi dengan total fenol non tanin.
3.4.2.2.4. Penentuan Tanin Kondensasi
Analisis penentuan tanin kondensasi yaitu diambil sebanyak 0,5 ml ekstrak
daun kemudian dimasukkan dalam tabung hungate. Masing-masing tabung hungate
ditambahkan 3 ml reagen butanol-HCl dan 0,1 ml dari reagen ferric, kemudian
tabung yang berisi larutan dihomogenkan dengan vortex. Masing-masing tabung
ditutup, kemudian dimasukkan dalam waterbath selama 60 menit dengan suhu 97–
100 0C.
Tabung yang berisi larutan didinginkan pada suhu ruang, setelah dingin dibaca
absorbansi dengan menggunakan spektrofotometer pada ƛ 550 nm. Diukur juga
blanko, yaitu campuran tanpa pemanasan. Tanin kondensasi dihitung dengan
formula sebagai berikut: (Absorbansi 550 nm x 78,26 x faktor pengenceran) /
(%DM).
30
3.4.2.3. Uji Kadar Lemak dengan Metode Ekstraksi Soxhlet (Sudarmadji,
1997)
Uji kadar lemak dilakukan dengan menimbang sampel sebanyak 1 g (x g),
lalu dibungkus dengan kertas saring bebas lemak dan dimasukkan ke oven bersuhu
105 oC selama satu malam. Bungkus sampel tersebut ditimbang tanpa perlu
pendinginan (y g), kemudian dimasukkan ke sokhlet. Selanjutnya adalah diekstraksi
dengan petroleum eter selama 6 jam. Bungkusan sampel dioven semalaman dengan
suhu 105 oC, ditimbang tanpa perlu pendinginan (z g). nilai lemak kasar dapat
diketahui dengan rumus (Sudarmadji, 1997) :
𝐿𝑒𝑚𝑎𝑘 𝐾𝑎𝑠𝑎𝑟 = 𝑦 − 𝑧
𝑥
3.4.2.4. Uji Kadar Protein dengan Metode Kjedahl
Uji kadar protein menggunakan metode Kjedahl yaitu 0,5 g serbuk limbah
serai wangi dan rumput gajah diberi selenium dan 5 ml H2SO4 pekat. Selanjutnya,
didestruksi selama 30 menit – 1 jam hingga terjadi perubahan berwarna jernih.
Ekstrak tersebut diencerkan dengan aquadest hingga 50 ml dan ditambahkan 15 ml
NaOH 50%, lalu didestilasi selama 15 menit dan ditampung dengan 10 ml HCl 0,1
N ditetesi indikator metil merah sebanyak 3 tetes dan selanjutnya dititrasi dengan
NaOH 0,1 N. titik akhir titrasi ditandai dengan warna larutan dari merah muda
menjadi kuning (Plummer, 1971 dan Higea et al., 2015).
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑁 = vol NaOH x N NaOH x Ar N x fp
berat contoh (mg) 𝑥 100%
% 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑝𝑟𝑜𝑡𝑒𝑖𝑛 = 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑁 𝑥 𝑓𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑘𝑜𝑛𝑣𝑒𝑟𝑠𝑖
31
3.4.3. Pengujian Limbah Serai Wangi Sebagai Pakan Tambahan Secara
In Vivo Pada Kambing
Kambing jantan sebanyak 4 ekor sebagai ulangan disiapkan dan
dikandangkan. Pakan hijauan yang diberikan adalah rumput gajah selama 14 hari
penelitian. Kambing diberi pakan setiap hari pada pagi hari sebanyak 10% dari
bobot badan. Pemberian serbuk limbah serai wangi diberikan setelah 7 hari.
Kambing yang telah diberikan perlakuan kemudian dilakukan pengukuran terhadap
Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) dan gas metana. Gas metana diambil
pada hari ke- 4 dan 11 sedangkan cairan rumen diambil dengan menggunakan
selang vakum pada hari ke- 5 dan 12 untuk dinalisa pH, amonia, VFA parsial,
protein mikroba, dan analisis populasi mikroba. Waktu pengambilan sampel
tersebut didasarkan izin komisi etik BATAN agar hewan uji tidak dalam kondisi
stres.
Tabel 2. Tabel perlakuan.
waktu Perlakuan Rumput Gajah Limbah Serai Wangi
Minggu pertama A -
Minggu kedua B
3.4.4. Pengukuran Parameter
3.4.4.1. Pengukuran Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH)
Pengukuran Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) dilakukan dengan
kambing ditimbang pada hari ke 0, 5 dan 12 dengan menggunakan timbangan
(Sudarmadji, 1997). Data yang diperoleh dihitung dengan rumus sebagai berikut:
PBBH (g
hari⁄ ) =Bt − Bo
t
32
Keterangan :
Bt = berat pada hari ke- t
Bo = berat awal
t = waktu (hari)
3.4.4.2. Pengambilan dan Pengukuran Sampel Gas Metana (Hill et al., 2015)
Pengambilan sampel gas dilakukan pada hari ke- 4 dan 11 setelah 3 dan 6 jam
pemberian pakan atau perlakuan. Masker yang sudah terhubung ke gas bags
dipasangkan pada bagian mulut kambing (Gambar 8 A). Gas akan mengalir melalui
selang dan masuk ke dalam gas bags. Pengambilan gas dilakukan selama 30 menit.
Kemudian, gas yang tertampung pada gas bags tersebut dianalisis menggunakan
gas analyzer MRU untuk mengetahui konsentrasi gas metana (Gambar 8 B).
Gambar 8. Pengukuran emisi gas metana.
Vacum
33
3.4.4.3. Proses Pengukuran Parameter Uji Cairan Rumen Kambing
3.4.4.3.1. Pengukuran Derajat Keasaman (pH) (Plummer, 1971)
Sampel cairan rumen diambil pada hari ke- 5 dan 12 sebanyak 50 ml
dipindahkan dalam erlenmeyer kemudian diukur dengan menggunakan pH meter.
3.4.4.3.2. Pengukuran Kadar Amonia (NH3) dengan Metode Mikrodifusi
Conway (General Laboratory Procedure, 1966)
Sampel cairan rumen dimasukkan sebanyak 1 mL ke dalam salah satu sekat
Conway. Sebanyak 1 mL K2CO3 dimasukkan pada sekat yang lainnya dan cawan
kecil ditengah Conway diisi dengan 1 mL H3BO4 4% dan indikator conway (warna
larutan merah bata) yang diambil dengan menggunakan pipet. Bagian tepi Conway
diolesi dengan vaselin kemudian ditutup. Selanjutnya cawan Conway digoyang-
goyang agar cairan rumen dan kalium karbonat tercampur. Sampel dibiarkan
selama satu jam hingga larutan pada cawan kecil di bagian tengah Conway berubah
menjadi kebiruan yang menandakan adanya amonia yang terikat dengan asam
borat. Larutan hasil mikrodifusi Conway dititrasi dengan HCl 0,005 N sampai
warna kebiruan tersebut berubah kembali menjadi merah bata. Kadar amonia
dihitung dengan rumus berikut:
N-Amonia (mM)= N HCl x V HCl (ml) 𝑥 1000
Keterangan:
VHCl = Volume titrasi HCl
NHCl = Normalitas HCl (0,005 N)
3.4.4.3.3. Pengukuran Konsentrasi VFA Parsial (Cottyn & Boucpue, 1968)
Pengukuran konsentrasi VFA parsial menggunakan alat kromatografi gas
(GC). Sampel cairan rumen sebanyak 5 ml dimasukkan kedalam yellow tube dan
34
ditambahkan dengan asam sulfat (H2SO4) 15% sebanyak 1 ml. Sampel kemudian
diinjeksikan ke dalam GC. Perbedaan partisi atau absorbsi pada fase diam (kolom)
dan fase gerak (gas) memunculkan puncak pada layar monitor GC. Dengan
membaca kromatogram standar acuan VFA yang konsentrasinya telah diketahui,
maka VFA sampel tersebut dapat diukur. Konsentrasi VFA parsial kemudian
dihitung dengan rumus berikut :
VFA (mM) =Area VFA contoh × kandungan VFA standar × 1000
Area VFA standar × BM
Keterangan:
VFA = Volatile fatty acid (asetat, propionat dan butirat).
BM = Berat molekul VFA parsial.
3.4.4.3.4. Pengukuran Protein Bakteri dan Protozoa (Uji Lowry) (Lowry et al.,
1951)
Mikrotub kosong dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 105 ˚C selama 1
jam. Mikrotub dimasukkan ke dalam desikator selama 15 menit, lalu ditimbang
bobot awal (B0). Sampel cairan rumen sebanyak 1,5 ml dimasukkan ke dalam
Mikrotub. Sampel disentrifugasi dengan kecepatan 1500 rpm selama 10 menit
hingga membentuk supernatan dan endapan. Supernatan yang terbentuk
dipindahkan ke dalam Mikrotub baru. Mikrotub tersebut disentrifugasi dengan
kecepatan 3500 rpm selama 10 menit hingga membentuk endapan. Endapan yang
terbentuk adalah protozoa. Supernatan yang terbentuk, dipindahkan ke Mikrotub
lain dan disentrifugasi dengan kecepatan 10,000 rpm selama 10 menit dan
menghasilkan endapan. Endapan yang terbentuk adalah bakteri. Mikrotub yang
berisi protozoa dan bakteri dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 60 ˚C selama
24 jam lalu dipindahkan ke dalam oven dengan suhu 105 ˚C selama satu jam.
35
Mikrotub diletakkan dalam desikator selama 15 menit kemudian ditimbang bobot
akhir (Bt). Biomassa bakteri dan protozoa dapat dihitung dengan rumus:
Biomassa = Bt – B0
Mikrotub hasil dari sentrifugasi yang berisi protozoa dan bakteri ditambahkan
NaOH sebanyak 0,5 ml. Mikrotub disonikasi selama 15 menit. Sampel dipindahkan
ke tabung reaksi dan ditambahkan larutan Lowry I sebanyak 0,5 ml. Terdapat 4
tabung reaksi yang digunakan sebagai standar yang diisi dengan 0,015, 0,025, 0,05
dan 0,1 albumin. Keempat tabung reaksi tersebut ditambahkan 0,485, 0,475, 0,45
dan 0,40 akuades dan ditunggu selama 10 menit. Larutan Lowry II sebanyak 0,25
ml ditambahkan ke dalam masing-masing tabung reaksi dan ditunggu selama 30
menit. Hasilnya diukur nilai absorbansinya menggunakan spektrofotometer dengan
panjang gelombang 700 nm.
3.4.4.3.5. Analisis Populasi Mikroorganisme (Lay, 1994)
Sebanyak 0,1 ml sampel cairan rumen diencerkan dengan menggunakan
larutan NaCl 0,85% sebanyak 10 kali. Sebanyak 0,1 ml dari dari masing-masing
pengenceran diteteskan ke atas permukaan media agar selulosa untuk mengetahui
total bakteri selulolitik, penambahan lignin untuk mengetahui total bakteri
lignolitik, penambahan gliserin untuk mengetahui total bakteri lipolitik,
penambahan protein untuk mengetahui total bakteri proteolitik, penambahan
metanol untuk mengetahui total bakteri metilotrof, penambahan hidrogen untuk
mengetahui total bakteri hidrogenotrof, dan penambahan asetat untuk mengetahui
total bakteri asetonotrof. Komposisi media mikroba dapat dilihat pada Lampiran 3.
Sampel kemudian diratakan dengan batang L. Proses pengerjaan dilakukan di
dalam Laminair Anaerob. Setelah itu, semua media yang telah ditetesi sampel,
36
ditempatkan di dalam anaerobic jar dan diinkubasi di dalam inkubator pada suhu
39 0C selama 5 hari. Setelah itu dilakukan perhitungan jumlah koloni mikroba pada
sampel.
3.4.5. Analisis Data
Data hasil pengukuran diolah secara statistik dengan menggunakan metode
Rancangan Acak Lengkap (RAL) melalui perhitungan T test dengan batas
kepercayaan sebesar 95% (α = 0,05) untuk membandingkan semua parameter dari
dua perlakuan pengujian in vivo pada cairan rumen kambing yang telah diberikan
pakan rumput gajah (A) dan penambahan limbah serai wangi (B).
Pengujian hipotesis berdasarkan pada ketetapan Ho dan H1:
Ho : perlakuan pakan tambahan tidak berpengaruh terhadap kualitas cairan rumen,
PBBH dan gas metana kambing jantan.
H1 : perlakuan pakan tambahan berpengaruh terhadap kualitas cairan rumen, PBBH
dan gas metana kambing jantan.
Jika p<0,05 maka H0 ditolak dan H1 diterima.
Jika p>0,05 maka H0 diterima dan H1 ditolak.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Analisis Komposisi Nutrisi Sampel
Hasil analisis komposisi nutrisi sampel menunjukkan hasil yang berbeda pada
setiap parameter pakan yang meliputi berat kering (BK), berat organik (BO), berat
abu (BA), kadar lemak kasar (LK), protein kasar (PK), karbohidrat, total fenol, dan
tanin (Tabel 3). Hal ini terjadi karena adanya perbedaan jenis tanaman, yaitu rumput
gajah dan limbah serai wangi hasil destilasi.
Tabel 3. Komposisi nutrisi pakan rumput gajah dan limbah serai wangi
Parameter Rumput gajah Limbah serai wangi
Berat kering (%) 96,43 ± 0,24 97,45 ± 0,12
Berat organik (%) adb 84,60 ± 0,49 88,20 ± 0,07
Berat abu (%) adb 11,82 ± 0,25 9,25 ± 0,20
Lemak kasar (%) adb 17,83 ± 1,96 44,99 ± 3,64
Protein kasar (%) adb 24,75 ± 0,23 28,84 ± 0,15
Karbohidrat (%) adb 30,21 ± 0,99 5,12 ± 3,52
Total fenol (%) adb 0,23 ± 0,002 0,15 ± 0,020
Total tanin (%) adb 0,15 ± 0,003 0,10 ± 0,017
Tanin kondensasi (%) adb 0,09 ± 0,001 0,07 ± 0,001 *adb: pengukuran dilakukan dalam keadaan kering
Kadar berat kering sampel yang dimiliki oleh limbah serai wangi sebesar
97,45 ± 0,12% diikuti dengan rumput gajah sebesar 96,43 ± 0,24%. Hal ini karena
pada limbah serai wangi telah mendapatkan perlakuan penguapan untuk
pengambilan minyak sebelum pembuatan pakan. Kandungan berat kering pada
sampel berhubungan dengan nilai berat organik.
Berat organik sampel yang dimiliki oleh limbah serai wangi sebesar 88,20 ±
0,07% diikuti dengan rumput gajah sebesar 84,60 ± 0,49%. Berat abu sampel
rumput gajah sebesar 11,82 ± 0,25% diikuti dengan limbah serai wangi sebesar 9,25
± 0,20%. Hal ini sesuai dengan penelitian Sirait (2017) bahwa rumput gajah
38
memiliki kadar berat organik dan abu sebesar 88,30 dan 11,70%. Menurut Wang et
al., (2009) semakin besar berat organik pakan yang dikonversi menjadi VFA maka
gas yang dihasilkan juga semakin besar.
Kadar protein sampel yang dimiliki oleh limbah serai wangi sebesar 28,84 ±
0,15% diikuti dengan rumput gajah sebesar 24,75 ± 0,23%. Kadar protein yang
dimiliki oleh limbah serai wangi berpotensi untuk digunakan sebagai pakan
suplemen. Hasil tersebut sesuai dengan pernyataan Susanti & Narhaeniyanto (2014)
bahwa limbah serai wangi memiliki kandungan protein kasar tinggi (lebih dari
18%) sehingga berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai pakan suplemen dalam
meningkatkan kualitas ransum ternak ruminansia. Hasil ini juga sudah memenuhi
persyaratan teknis minimal (PTM) untuk kambing jantan dengan bobot badan
sebesar 25 kg maka kadar protein kasar yang dibutuhkan sebesar 11,8%. Menurut
National Research Council (2007) untuk kambing dengan bobot badan sebesar 22
kg membutuhkan kadar protein sebesar 7,93%.
Protein kasar memiliki peranan penting di dalam rumen untuk sintesis
mikroba. Protein yang lolos dari proses fermentasi akan melaju menuju abomasum
dan intestinum dimana protein tersebut akan mengalami proses hidrolisis menjadi
peptida oleh enzim proteolisis. Peptida akan mengalami degradasi lebih lanjut
menjadi asam-asam amino yang nantinya akan dideaminasi menjadi amonia
(Widodo et al., 2012). Protein kasar dalam pakan dapat mempengaruhi
Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH). Asam amino essensial yang terbentuk
dari protein diperlukan kambing dalam pembentukan daging, sehingga semakin
meningkatnya protein kasar maka meningkat pula nilai PBBH (Wahyono et al.,
2011).
39
Kadar lemak kasar sampel yang dimiliki limbah serai wangi sebesar 44,99 ±
3,64% diikuti dengan rumput gajah sebesar 17,83 ± 1,96%. Hal ini sesuai dengan
penelitian Sukamto et al., (2011) yaitu kadar lemak limbah serai wangi sebesar
2,35% lebih tinggi dari kadar lemak rumput gajah sebesar 1,64%. Lemak kasar
digunakan sebagai sumber energi dalam melakukan metabolisme tubuh. Lemak
kasar juga dapat mempengaruhi nilai VFA. Kandungan lemak kasar yang
meningkat menunjukkan adanya aktivitas mikroba dalam menguraikan karbohidrat
saat proses fermentasi yang akan menghasilkan asam-asam lemak berupa asam
asetat, propionat, butirat, valerat dan format. Asam-asam lemak yang meningkat
dapat meningkatkan nilai VFA (Suprapto et al., 2013).
Kadar karbohidrat sampel yang dimiliki rumput gajah sebesar 30,21 ± 0,99%
diikuti dengan limbah serai wangi sebesar 5,12 ± 3,52%. Pemecahan karbohidrat di
dalam rumen terjadi melalui dua tahap, yaitu pemecahan karbohidrat (selulosa,
hemiselulosa dan pati) menjadi glukosa dan pemecahan glukosa menjadi piruvat,
yang kemudian difermentasi menjadi asam lemak atsiri. Masing-masing jenis
karbohidrat akan menghasilkan produk fermentasi rumen yang spesifik, akibatnya
jumlah molar masing-masing (asam asetat, propionat dan butirat) juga berbeda-
beda (Suwandyastuti, 2013).
Kadar total fenol sampel yang dimiliki rumput gajah sebesar 0,23 ± 0,002%
diikuti dengan limbah serai wangi sebesar 0,15 ± 0,020%. Total tanin yang dimiliki
rumput gajah sebesar 0,15 ± 0,003% diikuti dengan limbah serai wangi sebesar 0,10
± 0,017%. Tanin kondensasi yang dimiliki rumput gajah sebesar 0,094 ± 0,001%
diikuti dengan limbah serai wangi sebesar 0,067 ± 0,001%.
40
Tanin dibagi menjadi dua kelompok yaitu tanin yang mudah terhidrolisis dan
tanin terkondensasi (Patra & Saxena, 2010). Menurut hasil penelitian Hidayah
(2016), penambahan tanin terhidrolisis lebih tinggi menurunkan emisi gas
metananya dibandingkan dengan tanin terkondensasi. Mueller-Harvey (2006)
menyatakan bahwa tanin terhidrolisis dan terkondensasi berikatan dengan protein
dangan membentuk ikatan hidrogen antara kelompok fenol dari tanin dan kelompok
karboksil (aromatik dan alifatik) dari protein. Ikatan kuat antara tanin dan protein
akan berpengaruh terhadap kecernaan protein. Menurut Sajati (2012) untuk
meningkatkan efisiensi fermentasi dan memproteksi nutrisi tertentu dari pengaruh
mikroba rumen dilakukan proteksi protein.
4.2. Pertambahan Bobot Badan Harian
Pertambahan bobot badan harian (PBBH) pada perlakuan pakan rumput
gajah, penambahan limbah serai wangi dapat dilihat pada Tabel 4. Nilai PBBH
perlakuan pemberian pakan tambahan limbah serai wangi mengalami penurunan
yang tidak lebih besar dari perlakuan pakan rumput gajah. Akan tetapi, hasil analisis
statistik menunjukkan bahwa tidak terjadi pengaruh perlakuan terhadap PBBH
(p>0,05).
Tabel 4. Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH) kambing
Perlakuan PBBH (g/hari)
RG -154,64 ± 0,12
RG + LSW -145,71 ± 0,14
Keterangan: RG: Rumput gajah; LSW: Limbah serai wangi
Nilai PBBH perlakuan pakan tambahan limbah serai wangi sebesar -145,71
± 0,14 g/hari diikuti dengan rumput gajah sebesar -154,64 ± 0,12 g/hari. Perlakuan
pakan tambahan limbah serai wangi mampu menekan penurunan bobot badan
41
harian sebesar 5,76% dibandingkan pakan rumput gajah. Hal ini disebabkan
kandungan lemak dan protein kasar limbah serai wangi yang lebih tinggi dari
perlakuan pakan rumput gajah. Putri et al., (2013) berpendapat bahwa pertumbuhan
dari komponen-komponen tubuh (PBBH) dipengaruhi oleh jumlah nutrien yang
berhasil di absorbsi dari saluran pencernaan. PBBH sangat dipengaruhi oleh
kandungan protein pada pakan yang diberikan.
Nilai PBBH kemungkinan dipengaruhi oleh emisi gas metana. Gas metana
yang menurun pada perlakuan pakan tambahan limbah serai wangi dapat
meningkatkan nilai PBBH. Hal ini sesuai dengan penelitian Hidayah (2016) bahwa
penurunan emisi gas metana pada ternak ruminansia dapat meningkatkan efisiensi
pakan, karena energi yang diproduksi tidak menjadi gas metana sehingga dapat
digunakan untuk pertumbuhan.
Pemberian pakan tambahan limbah serai wangi justru menurunkan nilai
PBBH namun tidak lebih besar dari rumput gajah. Hasil ini tidak sesuai dengan
penelitian Kuswandi & Thalib (2005) bahwa pertumbuhan kambing kacang yang
diberi pakan konsentrat terbatas dan rumput gajah sebesar 19,8 g/hari. Menurut
National Research Council (2007) pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain total protein yang diperoleh setiap harinya, jenis ternak,
umur, keadaan genetis lingkungan, kondisi setiap individu dan manajemen tata
laksana.
4.3. Produk Fermentasi Cairan Rumen Kambing
4.3.1. Nilai Derajat Keasaman (pH)
pH sampel cairan rumen memiliki nilai yang berbeda-beda pada setiap
perlakuan (Gambar 9). Hal ini menunjukkan adanya aktifitas mikroba rumen dalam
42
proses fermentasi pakan. Nilai pH cairan rumen pada perlakuan pakan rumput gajah
sebesar 7,04 sedikit lebih tinggi dari perlakuan penambahan pakan limbah serai
wangi sebesar 6,88. Nilai tersebut masih dalam kisaran normal untuk pertumbuhan
mikroba rumen (Daniel et al., 2012). Akan tetapi, nilai pH cairan rumen
menunjukkan tidak adanya pengaruh akibat perlakuan (p>0,05).
Gambar 9. Derajat Keasaman (pH) (RG: Rumput gajah; LSW: Limbah serai wangi)
Menurut Aurora (1995) pH bervariasi menurut jenis pakan yang diberikan,
namun pada umumnya dipertahankan tetap sekitar 6,8 karena adanya absorbsi asam
lemak dan amonia. Menurut Krause et al., (2002) nilai pH rumen dapat
mempengaruhi produksi amonia dan VFA dalam rumen karena aktivitas mikroba
rumen dapat dipengaruhi oleh pH. Stern et al., (2006) menyatakan degradasi protein
dalam rumen merupakan hasil dari aktifitas mikroba yang dapat dipengaruhi oleh
pH. pH juga berpengaruh terhadap meningkatnya PBBH kambing. Hal ini
disebabkan protein mikroba sebagai salah satu sumber protein dalam pembentukan
daging.
4.3.2. Konsentrasi Volatile Fatty Acids (VFA) Total dan Parsial
Jumlah VFA total yang dihasilkan adalah 137,74 dan 226,79 mM
menunjukkan kecernaan oleh mikroba dengan inokulum rumen kambing. Hasil
analisis VFA parsial menunjukkan bahwa terdeteksi kandungan asam asetat,
7.04
6.88
6.6
6.8
7
7.2
RG RG + LSW
pH
Perlakuan
43
butirat, dan propionat dengan konsentrasi yang berbeda-beda (Tabel 5). Perbedaan
tersebut terjadi karena sumber nutrisi untuk mikroba cairan rumen yang berbeda.
Tabel 5. Konsentrasi VFA total, parsial dan rasio asetat-propionat (C2/C3)
Parameter RG RG + LSW
Total VFA (mM) 137,74 226,79
C2 (mM) 111,81 161,84
C3 (mM) 18,79 47,51
C4 (mM) 4,06 11,62
C5 (mM) 0,85 1,76
Rasio C2/C3 5,95 3,41
Keterangan: RG: Rumput gajah; LSW: Limbah serai wangi; C2: Asam asetat; C3: Asam
propionat; C4: Asam butirat; C5: Asam Valerat
Konsentrasi VFA total pada cairan rumen lebih tinggi pada perlakuan
penambahan pakan limbah serai wangi sebesar 226,79 mM diikuti dengan rumput
gajah sebesar 137,74 mM. Konsentrasi asam asetat, propionat, dan butirat cairan
rumen pada perlakuan penambahan pakan limbah serai wangi lebih tinggi dari
rumput gajah. Asam asetat dan butirat merupakan sumber energi untuk oksidasi
yang bersifat ketogenik, sedangkan asam propionat digunakan untuk proses
glukoneogenesis atau bersifat glukogenik (Chuzaemi, 1994).
Kandungan jenis VFA parsial tertinggi adalah asam asetat untuk semua
perlakuan. Kandungan asam asetat tertinggi terjadi pada cairan rumen perlakuan
penambahan pakan limbah serai wangi sebesar 161,84 mM dan diikuti dengan
rumput gajah sebesar 111,81 mM. Hal ini diakibatkan oleh kandungan serat kasar
yang tinggi. Serat kasar yang tinggi akan didegradasi oleh mikroba rumen menjadi
asam-asam lemak dengan produk tertinggi berupa asam asetat (McDonald et al.,
2011). VFA merupakan sumber energi utama bagi ternak ruminansia (Ortigues-
Marty et al., 2007).
44
Nilai VFA dapat dipengaruhi oleh pH. Rendahnya nilai pH akibat dari
kemampuan mikroba dalam memanfaatkan bahan nutrisi dalam rumen yang
menghasilkan asam berupa asam suksinat, asetat, butirat, dan propionat sebagai
hasil metabolisme pada kondisi anaerob. Semakin rendah nilai pH maka jumlah
asam yang dihasilkan akan meningkat, sehingga dapat berpengaruh terhadap
meningkatnya nilai VFA. Menurut Nuswantara (2009) penurunan pH berkaitan
dengan meningkatnya produksi VFA total yang merupakan senyawa asam yang
mengakibatkan nilai pH lebih asam. Hasil penelitian yang diperoleh sesuai dengan
pernyataan diatas. Nilai pH yang rendah pada perlakuan penambahan pakan limbah
serai wangi sebesar 6,88 ± 0,22 meningkatkan nilai VFA sebesar 226,79 mM.
Konsentrasi VFA parsial dipengaruhi komposisi pakan dalam ransum.
Produksi asam asetat, propionat dan butirat tergantung pada fermentasi karbohidrat
dan sebagian kecil dari hasil fermentasi protein pakan. Proporsi asam asetat yang
lebih tinggi diduga disebabkan bakteri yang menghasilkan asam asetat lebih
berkembang baik dengan komposisi pakan yang diberikan (Wahyuni et al., 2014).
Proporsi asam propionat cenderung meningkat pada pakan yang diberi penambahan
limbah serai wangi sebesar 47,51 mM dibandingkan dengan perlakuan rumput
gajah sebesar 18,79 mM.
Nilai VFA juga dipengaruhi oleh kandungan protein pakan. Kandungan
protein yang tinggi pada limbah serai wangi sebesar 28,84 ± 0,15% menyebabkan
meningkatnya kandungan VFA pada cairan rumen dengan perlakuan penambahan
pakan limbah serai wangi sebesar 226,79 mM, karena fermentasi protein dalam
rumen oleh bakteri dilakukan dengan menghidrolisis pakan menjadi asam amino
dan polipeptida yang menghasilkan VFA. Menurut Hanigan et al. (2015) protein
45
bahan makanan yang masuk ke dalam rumen mula-mula akan mengalami
proteolisis oleh enzim-enzim protease menjadi oligopeptida yang akan
dimanfaatkan oleh mikroba rumen untuk menyusun protein selnya, sedangkan
sebagian lagi akan dihidrolisa lebih lanjut menjadi asam amino. Hasil degradasi
asam amino berupa VFA. Hal ini menunjukkan adanya korelasi positif antara VFA
dengan protein pakan.
Menurut Susanti & Narhaeniyanto (2014) proses fermentasi pakan di dalam
retikulo-rumen menghasilkan VFA (asam asetat, propionat, dan butirat), CO2, CH4.
Hasil fermentasi VFA tersebut segera dimetabolisasi oleh mikroba yang berakhir
dengan pembebasan hidrogen dan bahan reduksi. Sebagian bahan reduksi tersebut
digunakan oleh bakteri melalui reduksi karbondioksida menjadi metana melalui
reaksi 4 H2 + CO2 → CH4 + 2 H2O. Banyak hal yang mempengaruhi komposisi
VFA, salah satunya adalah komposisi populasi mikroba rumen.
Wallace et al (2015) menyatakan bahwa terdapat perbedaan spesies mikroba
yang terdapat dalam cairan rumen dan cairan sekum dan feses, akan tetapi Mann &
ØRskov (1973) menyatakan bahwa ada persamaan spesies mikroba yang terdapat
di dalam rumen dan feses seperti Bacteroides ruminicola, Fusobacterium sp,
Micrococcus sp, Streptococci sp dan Rumincoccus sp namun belum ada informasi
yang menyatakan jumlah terperinci populasi masing-masing mikroba tersebut baik
yang terdapat dalam cairan rumen maupun di dalam cairan sekum dan feses.
Mikroba-mikroba tersebut tumbuh disaluran usus besar dan mampu mencerna sisa
pakan (Syapura et al., 2013).
Rasio asam asetat dan asam propionat (C2/C3) cairan rumen perlakuan pakan
adalah 3,41 dan 5,95. Perlakuan penambahan pakan limbah serai wangi memiliki
46
rasio C2/C3 lebih rendah daripada perlakuan pakan rumput gajah sebesar 5,95.
Tingginya rasio C2/C3 pada perlakuan pakan rumput gajah kurang menguntungkan
karena efisiensi pakan dan penggunaan energi relatif lebih rendah dari perlakuan
lainnya. Menurut Sri Susanti et al., (2001) rasio C2/C3 sangat bermanfaat untuk
dijadikan indikasi efisiensi penggunaan energi ternak ruminansia karena dengan
mengetahui rasio C2/C3 akan dapat diketahui efisiensi penggunaan energi dan
kualitas produk yang dihasilkan.
Asam asetat (C2) merupakan senyawa non glukogenik dan hampir semua
jaringan tubuh mampu mengoksidasinya karena sesudah diserap, tidak ditimbun
melainkan langsung dioksidasi. Akibat proses oksidasi tersebut menimbulkan heat
increatment yang tinggi sehingga nilai efisiensinya rendah. Sebaliknya asam
propionat (C3) merupakan senyawa sugar precursor atau bakalan glukogenik
utama. Perbandingan C2/C3 yang rendah akan merangsang pembentukan lemak
tubuh sesuai dengan tujuan penggemukan lemak (McDonald et al., 2011) sehingga
asam propionat dapat berpengaruh untuk meningkatkan nilai PBBH.
Nilai PBBH kambing pada perlakuan pemberian pakan tambahan limbah
serai wangi lebih besar dari rumput gajah. Hal ini diakibatkan nilai asam propionat
pada perlakuan pakan tambahan limbah serai wangi lebih besar dari rumput gajah.
Selain itu, kadar lemak dan protein kasar dari limbah serai wangi juga lebih besar
dari rumput gajah sehingga berpengaruh terhadap nilai PBBH.
4.3.3. Konsentrasi N−NH3 dan Protein Mikroba
Konsentrasi amonia pada perlakuan penambahan pakan limbah serai wangi
sebesar 16,30 ± 8,15 mM diikuti dengan rumput gajah sebesar 15,04 ± 4,46 mM
(Tabel 6). Tingginya kadar amonia pada perlakuan penambahan pakan limbah serai
47
wangi menunjukkan terjadinya perombakan protein oleh mikroorganisme yang
terdapat dalam rumen, juga diduga kandungan senyawa N yang mengandung
protein yang terdapat pada limbah serai wangi lebih tinggi dibandingkan dengan
rumput gajah. Peningkatan konsentrasi amonia pada perlakuan penambahan pakan
limbah serai wangi sebesar 16,30 ± 8,15 mM pada penelitian ini menyebabkan
meningkatnya produksi protein mikroba yaitu sebesar 0,0046 ± 0,002 g/ml.
Peningkatan protein mikroba ini disebabkan tersedianya nutrien yang cukup seperti
amonia dan karbohidrat fermentable.
Tabel 6. Konsentrasi N−NH3, protein mikroba dan biomassa mikroba.
Parameter RG RG + LSW
Amonia (mM) 15,04 ± 4,46 16,30 ± 8,15
Protein mikroba (g/ml) 0,0037 ± 0,0004 0,0046 ± 0,0020
Biomassa mikroba (mg/ml) 6,58 ± 2,68 8,53 ± 6,17
Keterangan: RG: Rumput gajah; LSW: Limbah serai wangi
Amonia (NH3) merupakan salah satu produk dari aktivitas fermentasi dalam
rumen yakni dari degradasi protein yang berasal dari pakan dan sumber nitrogen
yang cukup penting untuk sintesis protein mikroba (Muslim et al., 2014). Protein
mikroba memiliki kontribusi penting sebesar 59% dari asam amino yang masuk ke
dalam usus halus dan diikuti asam amino yang lolos dari degradasi, sehingga
kebutuhan nutrisinya terpenuhi dan untuk peningkatan produksinya (Sugoro et al.,
2014).
Kadar amonia yang lebih tinggi pada perlakuan penambahan pakan limbah
serai wangi menyebabkan tingginya kadar protein mikroba. Hal ini menunjukkan
hubungan berbanding positif antara konsentrasi amonia dengan protein mikroba
rumen. Syapura et al., (2013) menyatakan bahwa kandungan amonia rumen
berkorelasi positif dengan protein mikroba, yaitu bila terjadi peningkatan
48
konsentrasi amonia dan VFA dalam rumen maka protein mikroba juga turut
meningkat. Kadar amonia yang lebih tinggi pada perlakuan pakan tambahan limbah
serai wangi tidak mampu meningkatkan nilai pH cairan rumen. Hal ini diakibatkan
nilai VFA pada perlakuan pakan tambahan limbah serai wangi lebih besar dari
perlakuan pakan rumput gajah. Nilai VFA yang lebih besar pada perlakuan
penambahan pakan limbah serai wangi sebesar 226,79 mM mengakibatkan
penurunan nilai pH sebesar 6,88.
Rataan protein mikroba pada cairan rumen perlakuan penambahan pakan
limbah serai wangi sebesar 0,0046 ± 0,0004 g/ml diikuti dengan rumput gajah
sebesar 0,0037 ± 0,0004 g/ml (p>0,05). Hal ini diduga pada rumen perlakuan
penambahan pakan limbah serai wangi masih adanya bakteri yang mencerna serat
serta tersedianya N−NH3 untuk memenuhi kebutuhan. Hal ini sesuai dengan
pernyataan beberapa ahli ruminologi yang disitasi Suwandyastuti (2013) bahwa
mikroorganisme rumen bersifat species specific, feed specific dan regional specific.
Seluruh protein yang berasal dari pakan, pertama kali dihidrolisis oleh
mikroba rumen menjadi peptida dan asam-asam amino (Aurora, 1995). Asam
amino kemudian difermentasi lebih lanjut melalui deaminasi menjadi asam α-keto
yang kemudian mengalami dekarboksilasi menjadi karbondioksida, amonia (NH3),
dan asam lemak rantai pendek (McDonald et al., 2011). Beberapa asam amino dapat
langsung digunakan oleh bakteri untuk sintesis protein tubuhnya, tetapi amonia
merupakan jumlah nitrogen larut yang utama dalam cairan rumen yang dibutuhkan
oleh bakteri rumen untuk sintesis protein tubuhnya sepanjang kerangka karbon dari
karbohidrat yang mudah dicerna seperti pati atau gula tersedia. Konsentrasi amonia
dalam cairan rumen tergantung dari kelarutan dan jumlah protein pakan untuk
49
ternak, serta laju degradasi pakan (Widyobroto et al., 2007 dan Purbowati et al.,
2014). Daniel et al., (2012) dan Suwandyastuti (2013) menyatakan bahwa sintesis
protein mikroba dari nitrogen amonia dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain
sumber intake nitrogen, Tipe protein (mudah tidaknya terdegradasi), taraf dan
sumber energi, nisbah C dan N, keseimbangan mineral dan faktor pertumbuhan.
4.3.4. Nilai Biomassa Bakteri dan Protozoa
Setiap perlakuan menghasilkan biomassa mikroba (bakteri dan protozoa)
yang berbeda-beda (Gambar 10). Faktor yang mempengaruhi biomassa mikroba
diantaranya adalah ketersediaan sumber nutrisi serta faktor lingkungan seperti pH,
suhu, dan tekanan osmotik. Biomassa mikroba menggambarkan banyaknya jumlah
mikroba dalam cairan rumen yang berperan dalam mendegradasi pakan. Produksi
biomassa mikroba merupakan hasil dari pemanfaatan sumber nitrogen dengan
sumber kerangka karbon pada pakan oleh mikroba.
Adanya mikroba rumen menyebabkan ternak ruminansia mempunyai
kemampuan untuk mencerna Non Protein Nitrogen (NPN). Biomassa mikroba
sebagai hasil dari proses fermentasi akan dapat dijadikan sebagai sumber protein
bagi ternak ruminansia (Ryle & Ørskov, 1990). Keberadaan mikroba rumen
berperan dalam pemecahan pakan melalui proses fermentasi dan menyebabkan
ternak ruminansia mampu mencerna pakan serat yang berkualitas (Gao et al.,
2013).
50
Gambar 10. Biomassa Bakteri dan Protozoa (RG:Rumput gajah; LSW:Limbah serai wangi)
Biomassa bakteri dan protozoa pada perlakuan penambahan pakan limbah
serai wangi yaitu 5,75 dan 2,78 mg/ml lebih tinggi dari rumput gajah sebesar 4,86
dan 1,72 mg/ml. Menurut Newbold (2015) protozoa lebih menyukai substrat yang
mudah difermentasi seperti pati dan gula, namun protozoa mempunyai kemampuan
kemampuan memecah pati lebih lama dibandingkan dengan bakteri. Protozoa dapat
membatasi aktivitas bakteri dalam fermentasi pati secara besar-besaran pada pakan
tinggi karbohidrat sehingga penurunan pH secara drastis dapat dicegah.
Biomassa bakteri dan protozoa berada pada kisaran yang stabil untuk
kebutuhan pencernaan fermentative di dalam rumen. Hal ini didukung dengan nilai
pH pada penelitian ini berada pada kisaran yang normal, sehingga mampu
mendukung pertumbuhan dan aktivitas mikroba yang membuat proses degradasi
pakan yang masuk ke dalam rumen dapat berjalan secara efektif.
Protozoa memiliki peranan penting dalam mempertahankan nilai pH saat
fermentasi berlangsung, sehingga dapat berfungsi sebagai penyangga (Aurora,
1995). Dapat dikatakan bahwa protozoa dapat menjaga kestabilan proses fermentasi
di dalam rumen (Purbowati et al., 2014). Protozoa dapat dengan optimal
memanfaatkan pakan berserat, sedangkan sebagian besar bakteri berperan sebagai
sumber protein.
4.865.75
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
RG RG + LSWBio
mas
sa B
akte
ri
(mg/m
l)
Perlakuan
1.72
2.78
0.00
1.00
2.00
3.00
4.00
RG RG + LSWBio
mas
sa P
roto
zoa
(mg/m
l)
Perlakuan
51
Produksi biomassa dapat dipengaruhi oleh nilai VFA. Rendahnya produksi
VFA mengurangi pasokan sumber energi bagi protozoa. Semakin sedikit produksi
VFA yang dihasilkan maka semakin sedikit pula karbohidrat yang mudah larut.
VFA diserap melalui dinding rumen sebagai sumber energi mikroba yang
digunakan untuk pertumbuhan sel tubuhnya (Sakinah, 2005). Pernyataan tersebut
sesuai dengan hasil yang diperoleh nilai produksi biomassa dan VFA pada
perlakuan pemberian pakan rumput gajah lebih rendah (Tabel 5). Hal ini
menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara biomassa protozoa dengan
VFA. Populasi protozoa di dalam rumen dapat mempengaruhi gas metana (Thalib,
2008).
Biomassa bakteri dapat dipengaruhi oleh konsentrasi amonia. Tingginya
konsentrasi amonia pada perlakuan penambahan pakan limbah serai wangi diikuti
dengan tingginya produksi biomassa mikroba (Tabel 6). Peranan amonia sangat
penting sebagai bahan baku untuk membentuk sel-sel mikroba rumen dalam proses
metabolisme rumen. Tingginya konsentrasi amonia menggambarkan tingginya
aktifitas bakteri dalam rumen dan menggambarkan bahwa protein pakan
mempunyai kelarutan yang tinggi sehingga mudah didegradasi oleh bakteri rumen.
Protein pakan di dalam rumen dipecah oleh mikroba menjadi peptida dan asam
amino dipecah lebih lanjut menjadi amonia. Amonia digunakan oleh mikroba
rumen dalam pembentukan protein mikroba sebagai sumber nutrisi mikroba
(McDonald et al., 2011).
4.4. Jumlah Mikroba
Jumlah mikroba total, selulolitik, proteolitik, lipolitik, lignolitik, metilotrof,
asetonotrof dan hidrogenotrof yang terdapat dalam cairan rumen dengan perlakuan
52
pemberian pakan rumput gajah dan penambahan limbah serai wangi dapat dilihat
pada Gambar 11. Perlakuan penambahan pakan limbah serai wangi dapat
menurunkan jumlah mikroba total, selulolitik, lignolitik, proteolitik, metilotrof dan
asetonotrof.
Gambar 11. Total mikroba (RG: rumput gajah; LSW: limbah serai wangi)
Mikroba total pada cairan rumen dengan perlakuan pakan rumput gajah
sebesar 4,7x1016 CFU/ml lebih tinggi dari penambahan pakan limbah serai wangi
sebesar 1,9x1015 CFU/ml. Mikroba selulolitik pada perlakuan pakan rumput gajah
sebesar 5x1013 CFU/ml lebih tinggi dari penambahan pakan limbah serai wangi
sebesar 1,6x1013 CFU/ml. Bakteri merupakan mikroba pencerna serat kasar yang
utama di dalam rumen. Mikroba selulolitik sangat diperlukan pada hewan
16.67 15.28
2.00
7.00
12.00
17.00
RG RG+LSW
Log (
CF
U/m
l)
Perlakuan
Total Mikroba
13.70 13.20
7.85 7.70
2.00
7.00
12.00
17.00
RG RG+LSW
Log (
CF
U/m
l)Perlakuan
Selulolitik Lignolitik
13.15 13.1113.08 13.30
2.00
7.00
12.00
17.00
RG RG+LSW
Lo
g (
CF
U/m
l)
Perlakuan
Proteolitik Lipolitik
8.156.85
8.20
4.786.67 6.68
2.00
7.00
12.00
17.00
RG RG+LSW
Log (
CF
U/m
l)
Perlakuan
Metilotrof Asetonotrof Hidrogonetrof
53
ruminansia karena mikrobia tersebut berperan sebagai perombak selulosa (Russell
et al., 2009).
Bakteri selulolitik akan menghasilkan enzim selulase yang akan
menghidrolisis ikatan β-1-4 glikosidik dari rantai selulosa dan derivatnya (Hungate,
1967). Hasil akhir pencernaan selulosa oleh mikroba adalah VFA yang terdiri dari
campuran asam asetat, asam propionat dan asam butirat (Russell et al., 2009).
Brooks (2010) menjelaskan bahwa hasil pencernaan karbohidrat dalam rumen
adalah VFA yang dapat dimetabolisme menghasilkan energi dalam tubuh ternak
ruminansia. Jumlah bakteri juga dipengaruhi oleh pH. Mouriño et al., (2001)
menyatakan bahwa pH merupakan faktor yang paling penting yang dapat
mempengaruhi fermentasi selulosa di dalam rumen dan bakteri selulolitik dapat
bekerja optimal pada pH di atas 6.
Mikroba lignolitik pada perlakuan pakan rumput gajah sebesar 7x107 CFU/ml
lebih tinggi dari penambahan pakan limbah serai wangi sebesar 5x107 CFU/ml.
Ruttimann et al., (1991) menyatakan bahwa bakteri memiliki kemampuan
enzimatik dalam penggunaan senyawa bercincin dan rantai samping yang ada pada
lignin. Jumlah mikroba selulolitik dan lignolitik yang menurun ini diduga
penambahan limbah serai wangi dapat menginisiasi mikroba lain yang
memanfaatkan hasil degradasi karbohidrat untuk menghasilkan VFA sehingga
penambahan pakan limbah serai wangi dapat meningkatkan nilai VFA (Tabel 5).
Mikroba proteolitik pada perlakuan pakan rumput gajah sebesar 1,4x1013
CFU/ml lebih tinggi dari penambahan pakan limbah serai wangi sebesar 1,3x1013
CFU/ml. Wallace et al., (2015) menyatakan bahwa pada rumen kemampuan
menghidrolisis protein sangat penting untuk proses pembentukan protein bagi
54
bakteri rumen maupun ketersediaan nitrogen-amonia (N-NH3) di dalam rumen.
Proses degradasi protein di dalam rumen menghasilkan asam lemak rantai cabang
(BCVFA). Protein di dalam rumen dihidrolisis oleh enzim proteolitik yang
dihasilkan oleh mikroorganisme rumen menjadi peptida, selanjutnya peptida akan
dihidrolisis menjadi asam-asam amino. Kelebihan asam amino hasil hidrolisis
protein dikonversi menjadi asam α-keto dan NH3. Asam α-keto akan diubah
menjadi VFA (iso butirat, iso valerat dan 2 metil butirat) yang digunakan sebagai
cadangan energi (Usman, 2013).
Mikroba lipolitik pada perlakuan pakan tambahan limbah serai wangi sebesar
2x1013 CFU/ml lebih tinggi dari rumput gajah sebesar 1,2x1013 CFU/ml. Jarvis &
Moore (2010) meyatakan bahwa jenis bakteri yang menghidrolisis lipid atau
mampu melakukan lipolisis didalam rumen memiliki kemampuan untuk
menghidrolisis trigliserida menjadi mono ataupun digliserida. Nafikov & Beitz
(2018) menjelaskan bahwa lipid yang dikonsumsi akan dihidrolisis menjadi gliserol
dan triasilgliserol yang kemudian difermentasi menjadi VFA. Enzim-enzim yang
terdapat pada bakteri rumen umumnya terdapat secara ekstraseluler dan berasosiasi
dengan permukaan atau struktur membran ekstraseluler bakteri dan akan bekerja
optimum pada pH 7,4.
Mikroba metilotrof pada perlakuan pakan rumput gajah sebesar 14x107
CFU/ml lebih tinggi dari pakan tambahan limbah serai wangi sebesar 7x106
CFU/ml. Mikroba asetonotrof pada perlakuan pakan rumput gajah sebesar 16x107
CFU/ml lebih tinggi dari pakan tambahan limbah serai wangi sebesar 6x104
CFU/ml sedangkan mikroba hidrogenotrof pada perlakuan pakan rumput gajah
sebesar 47x105 CFU/ml lebih rendah dari pakan tambahan limbah serai wangi
55
sebesar 48x105 CFU/ml. Metilotrof, asetonotrof dan hidrogenotrof merupakan
mikroba yang berperan dalam pembentukan gas metana (Gamayanti et al., 2012).
Bakteri metanogen memperoleh energi dengan cara mengubah substrat
utamanya menjadi gas metana. Substrat utama dari bakteri metanogen adalah
hidrogen (H2) dan karbondioksida (CO2), format dan asetat (Hook et al., 2010).
Berdasarkan substratnya bakteri metanogen diklasifikasikan kedalam tiga
kelompok. Kelompok pertama adalah bakteri metanogen yang menggunakan H2,
format dan beberapa alkohol, dengan CO2 sebagai akseptor elektron. Kelompok
kedua yaitu bakteri metanogen menggunakan senyawa C-1 sebagai substrat dan
kelompok ketiga yaitu menggunakan asetat sebagai substrat (Gottschalk et al.,
1987).
Peranan bakteri metanogen dalam rumen yaitu memanfaatkan molekul
hidrogen dalam proses fermentasi rumen. Hal tersebut menyebabkan proses
fermentasi di dalam rumen dapat terus berlangsung, namun menyebabkan
hilangnya sejumlah energi yang diproduksi oleh hewan tersebut (Kamra, 2005).
Menurut Lestarie et al., (2016) jumlah bakteri metanogen akan berbanding lurus
dengan produksi gas yang dihasilkan. Bakteri tersebut adalah bakteri metanogen
penghasil gas metana. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa penurunan
jumlah bakteri asetonotrof dan metilotrof pada perlakuan pakan tambahan limbah
serai wangi mengakibatkan penurunan jumlah emisi gas metana.
Shabi et al., (2000) menyatakan bahwa aktivitas mikroba akan optimal dalam
memanfaatkan nitrogen pakan jika tersedia energi yang cukup dan sesuai
fermentabilitasnya dengan nitrogen tersebut. Metabolisme mikroba di dalam rumen
diatur oleh jumlah dan kecepatan degradasi karbohidrat dan protein. Kondisi ini
56
sangat dipengaruhi oleh karakteristik fisik dan kimia pakan. Agustian et al., (2016)
dan Wei & Wee (2013) menyatakan bahwa senyawa aktif yang terdapat pada serai
wangi adalah sitronelal, nerol, geraniol, geranial, linalol, limonen dan eugenol yang
memiliki aktivitas antibakteri. Penambahan pakan limbah serai wangi juga dapat
meningkatkan kadar tanin. Frutos et al., (2004) menyatakan bahwa tanin dapat
berikatan dengan enzim mikroba sehingga menghambat aktivitasnya. Limbah serai
wangi juga diduga masih mengandung asam lemak tidak jenuh. Kataria (2015)
menyatakan bahwa asam lemak tak jenuh dapat digunakan sebagai penangkap
hidrogen yang seharusnya digunakan untuk pembentukan gas metana.
Proses pembentukan gas metana terdiri dari tiga tahap yaitu tahap hidrolisis,
asetogenik dan metanogenik. Tahap hidrolisis merupakan proses perombakan
bahan organik oleh mikroba fermentasi yang terdiri dari mikroba selulolitik,
hemiselulolitik, amilolitik, lipolitik dan proteolitik yang mampu merombak
karbohidrat kompleks termasuk selulosa. Tahap asetogenesis yaitu hasil dari tahap
hidrolisis dikonversi menjadi hasil akhir bagi produksi metana, yaitu berupa asetat,
hidrogen dan karbondioksida yang dilakukan oleh mikroba asetogenik.
Pembentukan asam asetat kadang-kadang disertai dengan pembentukan
karbondioksida (Li et al., 2011).
Gas metana akan terbentuk pada tahap metanogenesis oleh adanya aktivitas
metanogenik. Metana dihasilkan dari asetat atau dari reduksi karbondioksida oleh
mikroba asetogenik dengan menggunakan hidrogen. Aktivitas mikroba
metanogenik tergantung pada nutrisi substrat yang digunakan atau dari produk yang
dihasilkan dari mikroba yang bekerja pada tahap hidrolisis dan asetogenik (Li et al.,
2011).
57
Menurut Purbowati et al. (2014) bakteri diklasifikasikan menjadi delapan
kelompok didasarkan pada jenis bahan yang digunakan dan hasil akhir fermentasi.
(1) bakteri selulolitik, (2) bakteri proteolitik, (3) bakteri methanogenik, (4) bakteri
amilolitik, (5) bakteri yang memfermentasi gula, (6) bakteri lipolitik, (7) bakteri
pemanfaat asam, (8) bakteri hemiselulolitik.
4.5. Emisi Gas Metana dan Karbondioksida
Emisi gas metana dan karbondioksida dari masing-masing perlakuan
menunjukkan nilai yang berbeda setelah 3 dan 6 jam perlakuan pakan. Perlakuan
penambahan pakan limbah serai wangi dapat menurunkan konsentrasi dari gas
metana dan karbondioksida (Gambar 12). Hasil analisis statistik menunjukkan
bahwa terjadi pengaruh perlakuan terhadap gas metana (P≤0,05) (Lampiran 5).
Gambar 12. Gas metana dan gas karbondioksida (RG: Rumput gajah; LSW: Limbah serai
wangi)
0.1220.081
0.270 0.226
0.000
0.100
0.200
0.300
RG RG + LSW
% C
H4
Perlakuan
3 jam 6 jam
2.30 2.052.13 1.88
0.00
1.00
2.00
3.00
RG RG + LSW
% C
O2
Perlakuan
3 jam 6 jam
58
Nilai rata-rata hasil pengukuran, konsentrasi gas metana setelah 3 jam
perlakuan pakan yang lebih tinggi ditemukan pada kambing perlakuan pakan
rumput gajah sebesar 0,122 ± 0,008% diikuti dengan penambahan pakan limbah
serai wangi sebesar 0,081 ± 0,003%. Sedangkan konsentrasi gas metana setelah 6
jam perlakuan yang lebih tinggi ditemukan pada kambing perlakuan pakan rumput
gajah sebesar 0,270 ± 0,025% diikuti dengan penambahan pakan limbah serai
wangi sebesar 0,226 ± 0,008%.
Gas metana lebih tinggi dihasilkan pada kambing perlakuan pakan rumput
gajah. Hal ini dipengaruhi oleh mikroba selulolitik, proteolitik, metilotrof,
asetonotrof dan hidrogenotrof yang lebih mendominasi. Gas metana juga dapat
dipengaruhi oleh jumlah protozoa. Anwar et al., (2016) menyatakan bahwa bakteri
metanogen memiliki hubungan simbiosis dengan protozoa rumen, karena bakteri
tersebut membutuhkan H2 yang dihasilkan oleh protozoa.
Gas metana lebih banyak dihasilkan setelah 6 jam perlakuan pakan (Gambar
12). Hal ini terjadi karena pakan yang dikonsumsi telah terdegradasi lebih sempurna
di dalam saluran pencernaan kambing. Setelah 3 jam pemberian perlakuan pakan,
diduga masih terjadi proses pembentukan senyawa antara seperti VFA, sedangkan
setelah 6 jam terjadi pembentukkan gas metana hasil konversi senyawa VFA seperti
asam asetat dan butirat serta serta gas CO2.
Penambahan limbah serai wangi setelah 3 dan 6 jam perlakuan pakan dapat
menurunkan gas metana sebesar 34,02 dan 16,33%. Gas metana yang rendah pada
perlakuan penambahan pakan limbah serai wangi menunjukkan bahwa pakan
tersebut lebih efisien dibandingkan dengan pakan yang lainnya. Hal ini karena
59
produksi metana yang sedikit menggambarkan semakin sedikit pula energi yang
terbuang.
Nilai rata-rata hasil pengukuran, konsentrasi gas karbondioksida setelah 3 jam
perlakuan yang lebih tinggi ditemukan pada kambing perlakuan pakan rumput
gajah sebesar 2,30 ± 0,42% diikuti dengan penambahan pakan limbah serai wangi
sebesar 2,05 ± 0,61%. Konsentrasi gas karbondioksida setelah 6 jam perlakuan
yang lebih tinggi ditemukan pada kambing perlakuan pakan rumput gajah sebesar
2,13 ± 0,82% diikuti dengan penambahan pakan limbah serai wangi sebesar 1,88 ±
0,49% (Gambar 12).
Produksi gas ini merupakan indikator tingkat degradabilitas ransum. Selain
itu produksi gas juga merupakan indikator efisiensi ransum, tingginya gas yang
terbentuk mengakibatkan tingginya energi yang terbuang dalam bentuk gas.
Menurut Sajati (2012) metanogenesis pada sistem pencernaan rumen hewan
ruminansia merupakan salah satu alur reaksi fermentasi makromolekul yang
menghasilkan gas metana melalui reduksi karbondioksida dengan gas hidrogen
yang dikatalisis oleh enzim yang dihasilkan bakteri metanogenik. Pembentukan gas
metana di dalam rumen berpengaruh terhadap pembentukan produk akhir
fermentasi di dalam rumen, terutama jumlah mol ATP yang pada gilirannya
mempengaruhi efisiensi produksi mikroba rumen.
Pakan yang mengandung lemak kasar, karbohidrat (serat kasar, gula, dan
pati) maupun protein dapat difermentasi oleh mikroba menjadi asam lemak volatil
(VFA) yang kemudian diserap oleh dinding rumen. Di dalam limbah serai wangi
kandungan terbesarnya adalah lemak kasar. Hasil akhir dari pemecahan lipid dari
pakan adalah asam lemak dan gliserol (Gambar 13). Jika sumber energi dari
60
karbohidrat telah mencukupi, maka asam lemak mengalami esterifikasi yaitu
membentuk ester dengan gliserol menjadi trigliserida sebagai cadangan energi
jangka panjang. Jika sewaktu-waktu tak tersedia sumber energi dari karbohidrat
barulah asam lemak dioksidasi, baik asam lemak dari pakan maupun jika harus
memecah cadangan trigliserida jaringan. Proses pemecahan trigliserida ini
dinamakan lipolisis (Guyton & Hall, 1997).
Gambar 13. Metabolisme lipid (Guyton & Hall, 1997)
Proses oksidasi asam lemak dinamakan oksidasi beta dan menghasilkan
asetol KoA. Selanjutnya, sebagaimana asetil KoA dari hasil metabolisme
karbohidrat dan protein, asetil KoA dari jalur inipun akan masuk ke dalam siklus
asam sitrat sehingga dihasilkan energi. Di sisi lain, jika kebutuhan energi sudah
mencukupi, asetil KoA dapat mengalami lipogenesis menjadi asam lemak dan
selanjutnya dapat disimpan sebagai trigliserida. Beberapa lipid non gliserida
disintesis dari asetil KoA. Asetil KoA mengalami kolesterogenesis menjadi
kolesterol. Selanjutnya kolesterol mengalami steroidogenesis membentuk steroid.
Asetil KoA sebagai hasil oksidasi asam lemak juga berpotensi menghasilkan badan-
+ATP
Oksidasi beta
Asam lemak
Asetil-KoA
Lipogenesis
Pakan
Lemak
Karbohidrat
Protein
Gliserol
Trigliserida
Siklus asam
sitrat
ATP CO2
H2O
Ketogenesis
Ketogenesis Kolesterogenesis
Kolesterol
Aseto asetat
Steroid
Steroidogenesis
Hidroksi butirat Aseton
61
badan keton (aseto asetat, hidroksi butirat dan aseton). Proses ini dinamakan
ketogenesis. Badan-badan keton dapat menyebabkan gangguan keseimbangan
asam-basa yang dinamakan asidosis metabolik (Guyton & Hall, 1997).
Hasil samping fermentasi berupa gas metana, hidrogen dan karbondioksida.
Jumlah hidrogen yang dihasilkan sangat tergantung pada jenis makanan dan jenis
mikroba rumen sebagai mikroba fermentasi pakan yang menghasilkan produk akhir
berbeda yang tidak sama dengan hidrogen yang dikeluarkan (Martin et al., 2010).
Peningkatan produksi asam propionat (C3) dapat menurunkan produksi gas metana
karena pembentukan asam propionat lebih banyak membutuhkan H2, sedangkan
asam asetat dan butirat menghasilkan H2 (Widyawati, 2009 dan Martin et al., 2010)
(Gambar 14).
Gambar 14. Pola Fermentasi Mikroba (Metabolisme H2) (Martin et al., 2010)
Karbohidrat
(serat, pati)
Malat
Piruvat Oksaloasetat Asetil Co-A
Akrilat
Fumarat
Propionat
Asetat
Suksinat
Butirat
CH4
Menghasilkan H2 Menggunakan H2
H2
H2
H2
H2
H2 H2
62
Dalam rumen, untuk mengurangi pemanfaatan hidrogen dalam produksi
metana, hidrogen harus dialihkan ke produk fermentasi seperti laktat atau fumarat
untuk membentuk propionat (Mitsumori & Sun, 2008). Hal ini dapat dilakukan
dengan penambahan pakan limbah serai wangi yang dibuktikan dengan
meningkatnya jumlah mikroba hidrogenotrof (Gambar 11) yang menunjukkan
adanya pemanfaatan hidrogen oleh mikroba untuk menghasilkan produk fermentasi
seperti propionat.
Penggunaan limbah serai wangi sebagai pakan tambahan juga dapat
memungkinkan terjadinya proses penjenuhan asam lemak tak jenuh oleh hidrogen
yang tersedia dalam rumen, yang seharusnya digunakan untuk pembentukan gas
metana. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Widyawati (2009) bahwa
minyak ikan lemuru dapat mereduksi gas metana sebesar 0,72%. Menurut
Mahalwal & Ali (2003), Andrade et al., (2012) dan Wei & Wee (2013) serai wangi
mengandung asam lemak yaitu asam linoleat, propanoat, arachidat, behenat dan
dikarboksilat.
Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa adanya korelasi pada setiap
parameter uji. Penambahan limbah serai wangi dapat menekan penurunan bobot
badan harian disertai dengan penurunan konsentrasi gas metana. Konsentrasi VFA
dengan nilai rasio asetat-propionat yang lebih kecil pada perlakuan pakan tambahan
limbah serai wangi menyebabkan penurunan konsentrasi gas metana. Penambahan
limbah serai wangi dapat menjadi alternatif solusi untuk menekan gas metana yang
dihasilkan oleh ternak kambing.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :
1. Penambahan limbah serai wangi tidak berpengaruh terhadap pertambahan
bobot badan harian (PBBH) dan kualitas cairan rumen kambing yaitu pH,
amonia, protein mikroba, dan biomassa mikroba. Penambahan limbah serai
wangi mampu menekan penurunan bobot badan harian sebesar 5,76%.
2. Limbah serai wangi memiliki potensi sebagai pakan tambahan kambing dan
berpengaruh terhadap penurunan gas metana. Penambahan limbah serai
wangi setelah 3 jam perlakuan dapat menurunkan gas metana sebesar 34,02%
dan setelah 6 jam sebesar 16,33%.
5.2. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, disarankan agar penelitian
dilakukan dalam jangka waktu yang lebih lama sehingga hasil pengaruh terhadap
ternak ruminansia akan lebih baik terutama untuk pertambahan bobot badan harian
(PBBH).
64
DAFTAR PUSTAKA
Abubakr, A., Alimon, A. R., Yaakub, H., Abdullah, N., & Ivan, M. (2014). Effect
of Feeding Palm Oil By-Products Based Diets on Total Bacteria , Cellulolytic
Bacteria and Methanogenic Archaea in the Rumen of Goats. PLoS ONE, 9(4),
1–6. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0095713
Adam, C., & Pers-kamczyc, E. (2016). Tannins from Sanguisorba officinalis affect
in vitro rumen methane production and fermentation. Journal of Animal and
Plant Sciences, 26(1), 54–62.
Agustian, E., Sulaswatty, A., Laksmono, J. A., & Adilina, I. B. (2016). E. Agustian,
A. Sulaswatty, Tasrif, J. A. Laksmono dan I. B. Adilina. J. Tek. Ind. Pert,
17(2), 49–53.
Alaerts, G., & Santika, S. (1984). Metode Penelitian Air. Surabaya: Usaha
Nasional.
Andrade, M. A., Cardoso, M. ., Batista, L. R., Mallet, A. C. T., & Machado, S. M.
. (2012). Essential oils of Cinnamomum zeylanicum, Cymbopogon nardus and
Zingiber officinale: Composition, antioxidant and antibacterial activities
[Óleos essenciais de Cymbopogon nardus, Cinnamomum zeylanicum e
Zingiber officinale: Composição, atividades antioxida. Revista Ciencia
Agronomica, 43(2), 399–408. https://doi.org/10.1590/S1806-
66902012000200025
Anwar, S., Rochana, A., & Hernaman, I. (2016). Pengaruh Tingkat Penambahan
Complete Rumen Modifier (CRM) Dalam Ransum Berbasis Jerami Jagung
Terhadap Produksi Gas Metan Dan Degradasi Bahan Kering Di Rumen (In
Vitro), 3.
Asyifah, N., Suhailah, S., Huzairi, M., Zainudin, M., Ramli, N., Shirai, Y., &
Maeda, T. (2017). Inhibition of methane production by the palm oil industrial
waste phospholine gum in a mimic enteric fermentation. Journal of Cleaner
Production, 165, 621–629. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2017.07.129
Aurora, S. (1995). Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.
Balakrishnan, A., Priya, V., & Gayathri, R. (2015). Prelimnary phytochemical
analysis and antioxidant activities of lemongrass and lavender. Journal of
Pharmaceutical Sciences and Research, 7(7), 448–450.
Blakely, J., & Bade, D. H. (1985). IImu Pertenakan. Edisi Keempat.,
(Diterjemahkan oleh Bambang Srigandono, UGM Press, Yogyakarta).
Brooks, M. A. (2010). Ruminal Degradation Of Protein And Carbohydrate In The
Domestic And Wild Ruminant.
65
Broucek, J. (2014). Production of Methane Emissions from Ruminant Husbandry :
A Review, (November), 1482–1493.
Chuzaemi, S. (1994). Potensi Jerami Padi Sebagai Pakan Ternak Ditinjau Dari
Kinetika Degradasi dan Retensi Jerami Di Dalam Rumen. UGM, Yogyakarta.
Correa, J. E. (2016). Digestive System of Goats. ALABAMA A&M AND AUBURN
UNIVERSITIES, UNP-60, 4 pág.
Cottyn, B. G., & Boucpue, C. V. (1968). Rapid method for the gas-chromatographic
determination of volatile fatty acids in rumen fluid. J. Agr. Food Chem., 16(I),
105–107.
Daniel, J. L. P., & de Resende Júnior, J. C. (2012). Absorção e metabolismo de
ácidos graxos voláteis pelo rúmen e omaso. Ciencia E Agrotecnologia, 36(1),
93–99. https://doi.org/10.1590/S1413-70542012000100012
Dewanti, A. (2016). Pemanfaatan Ekstrak Etanol dan n-Heksana Serai wangi
(Cymbopogon nardus) Terhadap Reduksi Metan Yang Dihasilkan Miroba
Cairan Rumen Kerbau ( Bubalus bubalis ).
Ditjennak. (2007). Statistik Peternakan 2007. Jakarta.
Feliatra. (1999). Identifikasi Bakteri Patogen (Vibrio sp.) di Perairan Nongsa Batam
Propinsi Riau. Jurnal Nature Indonesia II, 1, 28–33.
Findo, A., Mangunwardoyo, W., & Sugroro, I. (2016). Degradasi Ampas dan Serai
Wangi Segar (Cymbopogon nardus L.) Dengan Metode In Sacco pada fistula
Kerbau. Prosiding Seminar Nasional MIPA UNPAD.
Fowlis, & Ian A. (1998). Gas Chromatography Analytical Chemistry by Open
Learning. (J. W. & S. L. Chichester, Ed.).
Frutos, P., Hervás, G., Giráldez, F. J., & Mantecón, A. R. (2004). Review. Tannins
and ruminant nutrition. Spanish Journal of Agricultural Research, 2(2), 191.
https://doi.org/10.5424/sjar/2004022-73
Gamayanti, K. N., Pertiwiningrum, A., & Yusiati, lies mira. (2012). Pengaruh
penggunaan limbah cairan rumen dan lumpur gambut sebagai starter dalam
proses fermentasi metanogenik. Buletin Peternakan, 36(1), 32–39.
Gao, A. W., Wang, H. R., Yang, J. L., & Shi, C. X. (2013). The Effects of
Elimination of Fungi on Microbial Population and Fiber Degradation in Sheep
Rumen. Applied Mechanics and Materials, 295–298, 224–231.
https://doi.org/10.4028/www.scientific.net/AMM.295-298.224
General Laboratory Procedure. (1966). Deartment of Dairy Sciences. Madison
University of Wisconsin.
66
Gottschalk, G., Blaut, M., Jussofie, A., Mayer, F., Müller, V., & Oßmer, R. (1987).
Energy metabolism in methanogens, 37(1), 15–18.
https://doi.org/10.1007/978-94-009-3539-6
Gunal, M., Ishlak, A., & Abughazaleh, A. A. (2013). Evaluating the effects of six
essential oils on fermentation and biohydrogenation in in vitro rumen batch
cultures, 2013(6), 243–252.
Gunawan, B. D., Tangendjaja, Zainuddin, J., Darma, & Thalib, A. (1988). Laporan
Penelitian Silase. Balai Penelitian Ternak, Bogor.
Gustiar, F., & Suwignyo, R. A. (2014). Reduksi Gas Metan ( CH4 ) dengan
Meningkatan Komposisi Konsentrat dalam Pakan Ternak Sapi. Jurnal
Peternakan Sriwijaya, 3(1), 14–24.
Guyader, J., Eugène, M., Doreau, M., Morgavi, D. P., Gérard, C., & Martin, C.
(2017). Tea saponin reduced methanogenesis in vitro but increased methane
yield in lactating dairy cows. Journal of Dairy Science, 100(3), 1845–1855.
https://doi.org/10.3168/jds.2016-11644
Guyton, A. C., & Hall, J. E. (1997). Metabolisme Lemak. Dalam: (I
Setiawan:penyunting). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 9. Jakarta:
EGC. h. 1077-91.
Hall, K. L., Shahrokhi, S., & Jeschke, M. G. (2012). Enteral nutrition support in
burn care: A review of current recommendations as instituted in the ross tilley
burn centre. Nutrients, 4(11), 1554–1565.
https://doi.org/10.1155/2012/539426
Hanigan, M. D., Akers, R. M., & Mccann, M. A. (2015). Volatile Fatty Acid
Production in Ruminants. Blacksburg, VA Keywords:
Harbone, J. B. (1996). Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan. (K. Padmawinata & I. Sudiro, Eds.) (II). Bandung: ITB.
Hartadi, H., Kustantinah, R. E., Indarto, N. D., & Dono, Z. (2008). Nutrisi Ternak
Dasar. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Harvey, D. (2000). Modern Analytical Chemistry. (M. F. Hill, Ed.). New York
(US).
Haryanto, B., & Thalib, A. (2009). Emisi Metana dari Fermentasi Enterik :
Kontribusinya secara Nasional dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya
pada Ternak. Wartazoa, 19, 157–165.
Hidayah, N. (2016). Pemanfaatan Senyawa Metabolit Sekunder Tanaman (Tanin
dan Saponin) dalam Mengurangi Emisi Metan Ternak Ruminansia. Sains
Peternakan Indonesia, 11(2), 89–98.
67
Higea, J. F., Rosaini, H., Rasyid, R., & Hagramida, V. (2015). Penetapan Kadar
Protein Secara Kjeldahl Beberapa Makanan Olahan Kerang Remis (Corbiculla
moltkiana Prime.) Dari Danau Singkarak. Jurnal Farmasi Higea, 7(2).
Hill, J., Mcsweeney, C., Wright, A. G., Bishop-hurley, G., & Kalantar-zadeh, K.
(2015). Measuring Methane Production from Ruminants. Trends in
Biotechnology, 1–10. https://doi.org/10.1016/j.tibtech.2015.10.004
Holtshausen, L., Chaves, A. V, Beauchemin, K. A., Mcginn, S. M., Mcallister, T.
A., & Odongo, N. E. (2009). to decrease enteric methane production in dairy
cows 1. Journal of Dairy Science, 92(6), 2809–2821.
https://doi.org/10.3168/jds.2008-1843
Hook, S. E., Wright, A. D. G., & McBride, B. W. (2010). Methanogens: Methane
producers of the rumen and mitigation strategies. Archaea, 2010, 50–60.
https://doi.org/10.1155/2010/945785
Hungate, R. E. (1967). as an Intermediate in. Carbon, 164(14), 3265–3269.
Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC). (1994). Greenhouse Gas
Inventory Workbook: IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas
Inventories Volume 2. UNEP-WMO.
Jafari, S., Goh, Y. M., Rajion, M. A., Jahromi, M. F., & Ebrahimi, M. (2016).
Ruminal methanogenesis and biohydrogenation reduction potential of papaya
(Carica papaya) leaf: An in vitro study. Italian Journal of Animal Science,
15(1), 157–165. https://doi.org/10.1080/1828051X.2016.1141031
Jarvis, G. N., & Moore, E. R. B. (2010). Lipid Metabolism and the Rumen
Microbial Ecosystem. In K. N. Timmis (Ed.), Handbook of Hydrocarbon and
Lipid Microbiology (Vol. 78, pp. 2245–2257). Berlin, Heidelberg: Springer
Berlin Heidelberg. https://doi.org/10.1007/978-3-540-77587-4_163
Jayanegara, A. (2008). Reducing methane emissions from livestock: nutritional
approaches. Proceedings of Indonesian Students Scientific Meeting (ISSM),
Institute for Science and Technology Studies (ISTECS) European Chapter, 13-
15 May 2008, Delft, the Netherlands:, 18–21 Jayanegara.
Junior, F. P., Cassiano, E. C. O., Martins, M. F., Romero, L. A., Zapata, D. C. V,
Pinedo, L. A., … Rodrigues, P. H. M. (2017). Effect of tannins-rich extract
from Acacia mearnsii or monensin as feed additives on ruminal fermentation
efficiency in cattle. Livestock Science, 203, 21–29.
https://doi.org/10.1016/j.livsci.2017.06.009
Kamal, M. (1994). Nutrisi Ternak I, (Laboratorium Makanan Ternak Fakultas
Peternakan. Yogyakarta.).
Kamra, D. N. (2005). Rumen microbial ecosystem. Current Science.
https://doi.org/10.1146/annurev.es.06.110175.000351
68
Kamra, D. N., Chaudhary, L. C., Singh, R., & Pathak, N. N. (1996). Influence of
Feeding Probiotics on Growth Performance and Nutrient Digestibility in
Rabbits. World Rabbit Science. Retrieved from
http://ojs.upv.es/index.php/wrs/article/view/276/263
Kandimalla, R., Kalita, S., Choudhury, B., Dash, S., Kalita, K., & Kotoky, J. (2016).
Chemical composition and anti-candidiasis mediated wound healing property
of Cymbopogon nardus essential oil on chronic diabetic wounds. Frontiers in
Pharmacology, 7(JUN). https://doi.org/10.3389/fphar.2016.00198
Kartadisastra, H. R. (1997). Penyediaan dan Pengelolaan Pakan Ternak
Ruminansia, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Kataria, R. P. (2015). Use of feed additives for reducing greenhouse gas emissions
from dairy farms. Microbiology Research, 6, 6120–19.
https://doi.org/10.4081/mr.2015.6120
Kaunang, C. L. (2004). Respon Ruminan Terhadap Pemberian Hijauan Pakan Yang
Dipupuk Air Belerang. Disertasi, Program Studi IImu Ternak, IPB Bogor.
Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. (2010). Indonesia Second
National Communication. Under The United Nations Framework Convention
on Climate Change (UNFCCC). Jakarta.
Knapp, J. R., Laur, G. L., Vadas, P. A., Weiss, W. P., & Tricarico, J. M. (2014).
Invited review: Enteric methane in dairy cattle production: Quantifying the
opportunities and impact of reducing emissions. Journal of Dairy Science,
97(6), 3231–3261. https://doi.org/10.3168/jds.2013-7234
Krause, K. M., Combs, D. K., & Beauchemin, K. A. (2002). Effects of Forage
Particle Size and Grain Fermentability in Midlactation Cows . II . Ruminal pH
and Chewing Activity. Journal of Dairy Science, 85(8), 1947–1957.
https://doi.org/10.3168/jds.S0022-0302(02)74271-9
Krehbiel, C. R., Carter, J. N., & Richards, C. J. (2006). Feed Additives in Beef Cow
Nutrition. Tennessee Nutrition Confrence. Department of Animal Science and
UT Extension. The University of Tennessee.
Kuswandi, & Thalib, A. (2005). Pertumbuhan Kambing Lepas Sapih Yang Diberi
Konsentrat Terbatas. Seminar Nasional Teknologi Peternakan Dan Veteriner,
590–595.
Lay, B. W. (1994). Analisis Mikroba di Laboratorium. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Leeson, S., & Summer, J. D. (1996). Commercial Poultry Nutrition. 2nd Ed.
University Books. University of Guelph. Guelph. Ontario, Canada.
Leng, R. A. (1984). The Microbial Interaction in The Rumen. Proceeding of
Symposium Held at The University of Western Australia.
69
Lestarie, E. S., Hidayati, Y. A., & Juanda, W. (2016). Analisis Jumlah Bakteri
Anaerob Dan Proporsi Gas Metana Pada Proses Pembentukan Biogas Dari
Feses Sapi Perah Dalam Tabung Hungate, 1–13.
Li, X., Swan, J. E., Nair, G. R., & Langdon, A. G. (2015). Preparation of volatile
fatty acid (VFA) calcium salts by anaerobic digestion of glucose.
Biotechnology and Applied Biochemistry, 62(4), 476–482.
https://doi.org/10.1002/bab.1301
Li, Y., Park, S. Y., & Zhu, J. (2011). Solid-state anaerobic digestion for methane
production from organic waste. Renewable and Sustainable Energy Reviews,
15(1), 821–826. https://doi.org/10.1016/j.rser.2010.07.042
Liu, Y., & Whitman, W. B. (2008). Metabolic, Phylogenetic, and Ecological
Diversity of the Methanogenic Archaea. New York Academy of Sciences, 189,
171–189. https://doi.org/10.1196/annals.1419.019
Lowry, O. H., Rosenbrough, N. J., Farr, A. L., & Randall, R. J. (1951). Protein
measurement with the folin phenol reagent. J Bioi Chern, 193, 265–275.
Mahalwal, V. S., & Ali, M. (2003). Volatile constituents of Cymbopogon nardus
(Linn.) Rendle. Flavour and Fragrance Journal, 18(1), 73–76.
https://doi.org/10.1002/ffj.1144
Mahmilia, F., & Tarigan, A. (2004). Karakteristik Morfologi Dan Performans
Kambing Kacang , Kambing Boer Dan Persilangannya. Lokakarya Nasional
Kambing Potong, 209–212.
Mann, S. O., & ØRskov, E. R. (1973). The Effect of Rumen and Post‐Rumen
Feeding of Carbohydrates on the Caecal Microflora of Sheep. Journal of
Applied Bacteriology, 36(3), 475–484. https://doi.org/10.1111/j.1365-
2672.1973.tb04130.x
Manurung, R., Melinda, R., Abduh, M. Y., Widiana, A., Sugoro, I., & Suheryadi,
D. (2015). Potential Use of Lemongrass (Cymbopogon winterianus) Residue
as Dairy Cow Feed. Pakistan Journal of Nutrition, 14(12), 919–923.
Martin, C., Morgavi, D. P., & Doreau, M. (2010). Methane mitigation in ruminants :
from microbe to the farm scale, 351–365.
https://doi.org/10.1017/S1751731109990620
Martono. (2017). Fenomena Gas Rumah Kaca. Forum Teknologi Pudiklat Migas
ESDM, 5(2).
McDonald, P., Edwards, R. a, Greenhalgh, J. F. D., Morgan, C. a, Sinclair, L. a, &
Wilkinson, R. G. (2011). Animal nutrition. Animal Nutrition, 365. Retrieved
from http://www.cabdirect.org/abstracts/19701406676.html
70
Mitsumori, M., & Sun, W. (2008). Control of rumen microbial fermentation for
mitigating methane emissions from the rumen. In Asian-Australasian Journal
of Animal Sciences (Vol. 21, pp. 144–154).
https://doi.org/10.5713/ajas.2008.r01
Mohd, S., & Thaariq, H. (2017). Pengaruh Pakan Hijauan dan Konsentrat Terhadap
Daya Cerna Pada Sapi Aceh Jantan, VIII(2), 78–89.
Mouriño, F., Akkarawongsa, R., & Weimer, P. J. (2001). Initial pH as a
Determinant of Cellulose Digestion Rate by Mixed Ruminal Microorganisms
In Vitro. Journal of Dairy Science, 84(4), 848–859.
https://doi.org/10.3168/jds.S0022-0302(01)74543-2
Mueller-Harvey, I. (2006). Unravelling the conundrum of tannins in animal
nutrition and health. In Journal of the Science of Food and Agriculture (Vol.
86, pp. 2010–2037). https://doi.org/10.1002/jsfa.2577
Mukhlis. (2008). Mikrobiologi Pangan I. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Muslim, G., Sihombing, J. E., Fauziah, S., Abrar, A., & Fariani, A. (2014).
Aktivitas Proporsi Berbagai Cairan Rumen dalam Mengatasi Tannin dengan
Tehnik In Vitro. Jurnal Peternakan Sriwijaya, 3(1), 25–36.
Nafikov, R. A., & Beitz, D. C. (2018). Carbohydrate and Lipid Metabolism in Farm
Animals. The Journal of Nutrition, (March), 1–4.
Nalbandov, A. V. (1990). Fisiologi Reproduksi pada Mamalia dan Unggas. UIP.
Nam, I. S., & Garnsworthy, P. C. (2007). Biohydrogenation of linoleic acid by
rumen fungi compared with rumen bacteria. Journal of Applied Microbiology,
103(3), 551–556. https://doi.org/10.1111/j.1365-2672.2007.03317.x
National Research Council. (2007). Nutrient Requirements of Sheep and Goats.
Ashington, DC: The national Academies Press.
https://doi.org/https://doi.org/10.17226/11654
Newbold, C. J. (2015). The Role of Ciliate Protozoa in the Rumen, 6(November),
1–14. https://doi.org/10.3389/fmicb.2015.01313
Nur, K., Atabany, A., Muladno, & Jayanegara, A. (2015). Produksi Gas Metan
Ruminansia Sapi Perah dengan Pakan Berbeda serta Pengaruhnya terhadap
Produksi dan Kualitas Susu Quality of Milk. Jurnal Ilmu Produksi Dan
Teknologi Hasil Peternakan, 3(2), 65–71.
Nurhayati, & Samallo, I. M. (2013). Analisis Degradasi Polutan Limbah Cair
Pengolahan Rajungan (Portunus pelagicus) Dengan Penggunaan Mikroba
komersial, 9(1), ISSN 0216-1184.
71
Nuswantara, L. K. (2009). Parameter Fermentasi Rumen Pada Kerbau Yang Diberi
Pakan Tunggal Glirisidia, Jerami Jagung Dan Kaliandra. Seminar Nasional
Kebangkitan Peternakan.
Ogimoto, K., & Imai, S. (1981). Atlas of Rumen Microbilogy. Japan Scientific
Societies Press, Tokyo.
Ortigues-Marty, I., Miraux, N., & Brand-Williams, W. (2007). Energy and Protein
Metabolism and Nutrition. Wageningen Academic Pub.
Patra, A. K., & Saxena, J. (2010). A new perspective on the use of plant secondary
metabolites to inhibit methanogenesis in the rumen. Phytochemistry. Elsevier
Ltd. https://doi.org/10.1016/j.phytochem.2010.05.010
Pelczar, M. J., & E. C. S. Chan. (1986). Dasar-Dasar Mikrobiologi 1. (R. S.
Hadioetomo, Ed.). Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Plummer, D. T. (1971). An Introductional of Biochemistry. Tatta McGraw-Hill
Publishing Company.
Puastuti, W. (2009). Manipulasi bioproses dalam rumen untuk meningkatkan
penggunaan pakan berserat. Wartazoa, 19(4), 180–190.
Purbowati, E., Rianto, E., Dilaga, wayan sukarya, Lestari, christina maria sri, &
Adiwinarti, R. (2014). Karakteristik cairan rumen, jenis, dan jumlah mikrobia
dalam rumen sapi jawa dan peranakan ongole. Buletin Peternakan, 38(1), 21–
26.
Putri, Rianto, L. D. N. A. E., & Arifin, M. (2013). Pengaruh Imbangan Protein dan
Energi Pakan Terhadap Produk Fermentasi di Dalam Rumen Pada Sapi
Madura Jantan. Animal Agriculture Journal, 2(3), 94–103.
Russell, J. B., Muck, R. E., & Weimer, P. J. (2009). Quantitative analysis of
cellulose degradation and growth of cellulolytic bacteria in the rumen. FEMS
Microbiology Ecology, 67(2), 183–197. https://doi.org/10.1111/j.1574-
6941.2008.00633.x
Ruttimann, C., Vicuna, R., Mozuch, M. D., & Kirk, T. K. (1991). Limited bacterial
mineralization of fungal degradation intermediates from synthetic lignin.
Applied and Environmental Microbiology, 57(12), 3652–3655.
Ryle, M., & Ørskov, E. R. (1990). Energy Nutrition in Ruminants. Elsevier Sci.,
PUGI. Ltd, London. Dordrecht: Springer Netherlands.
https://doi.org/10.1007/978-94-009-0751-5
Sairullah, P., Chuzaemi, S., & Sudarwati, H. (2016). Effect Of Flour And Papaya
Leaf Extract (CaricapapayaL) In Feed To Ammonia Concentration, Volatile
Fatty Acids And Microbial Protein Synthesis In Vitro. J. Ternak Tropika,
17(2), 66–73.
72
Sajati, G. (2012). Pengaruh Ekstrusi dan Proteksi dengan Tanin pada Tepung
Kedelai Terhadap Produksi Gas Total dan Metan Secara In Vitro, 1(1), 55–68.
Sakinah, D. (2005). Kajian Suplementasi Probiotik Bermineral Terhadap Produksi
VFA, NH3, Dan Kecernaan Zat Makanan Pada Domba. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Sarwono, B., & Ariyanto, N. B. (2005). Penggemukan Sapi Potong Secara Cepat.
PT. Penebar Swadaya, Jakarta.
Sejian, V., Lal, R., Lakritz, J., & Ezeji, T. (2011). Measurement and prediction of
enteric methane emission. International Journal of Biometeorology.
https://doi.org/10.1007/s00484-010-0356-7
Shabi, Z., Arieli, A., Bruckental, I., & Aharoni, Y. (2000). Effect of the
Synchronization of the Degradation of Dietary Crude Protein and Organic
Matter and Feeding Frequency on Ruminal Fermentation and Flow of Digesta
in the Abomasum of Dairy Cows. Journal of Dairy Science, 81(7), 1991–2000.
https://doi.org/10.3168/jds.S0022-0302(98)75773-X
Sirait, J. (2017). Rumput Gajah Mini ( Pennisetum purpureum cv . Mott ) sebagai
Hijauan Pakan untuk Ruminansia. WARTAZOA, 27(4), 167–176.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.14334
Sitindaon, S. H. (2013). Inventarisasi Potensi Bahan Pakan Ternak Ruminansia Di
Provinsi Riau. Jurnal Peternakan, 10(1), 18–23.
Sofyan. (2016). Analisis Emisi Metana Dari Rumen Ternak Ruminansia Secara In
Vitro Menggunakan Metode Stokiometri Kimia. SEKOLAH
PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR.
Stern, M. D., Bach, A., & Calsamiglia, S. (2006). New Concepts in Protein
Nutrition of Ruminants, 45–66.
Sudarmadji, S. (1997). Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan dan Pertanian.
Liberty, (Yogyakarta).
Sugoro, I. (2010). Pemanfaatan probiotik khamir untuk peningkatan produksi
ternak ruminansia. Iptek Nuklir Bunga Rampai Presentasi Ilmiah Peneliti
Madya/Utama, 1(1), 253–314.
Sugoro, I., Kamila, N., & Elfidasari, D. (2014). Degradasi Sorghum pada Rumen
Kerbau dengan Suplementasi Probiotik BIOS-K2 secara In Sacco Degradation
of Sorghum in Buffalo ’ s Rumen with Supplementation of BIOS-K2 Probiotic
by In Sacco. Jurnal Ilmiah Aplikasi Isotop Dan Radiasi, 10(2), 103–112.
Sugoro, I., & Yunianto, I. (2006). PErtumbuhan Protozoa Dalam Cairan Rumen
Kerbau Yang Disuplementasi Tanin Secara In Vitro. A Scientific Journal for
The Applications of Isotopes and Radiation, 2(2), 48–57.
73
Sukamto, Djazuli, M., & Suheryadi, D. (2011). Seraiwangi ( Cymbopogon nardus
L ) Sebagai Penghasil Minyak Atsiri, Tanaman Konservasi dan Pakan Ternak.
Inovasi Perkebunan 2011, 174–180. Retrieved from
http://perkebunan.litbang.deptan.go.id/wp-
content/uploads/2012/04/perkebunan_prosdENIP11_MP_Sukamto2.pdf
Suprapto, H., Suhartati, F., & Widiyastuti, T. (2013). Kecernaan Serat Kasar Dan
Lemak Kasar Complete Feed Limbah Rami Dengan Sumber Protein Berbeda
Pada Kambing Peranakan Etawa Lepas Sapih. Jurnal Ilmiah Peternakan, 1(3),
938–946.
Susanti, S., Chuzaemi, S., & Soebarinoto. (2001). Pengaruh Pemberian Konsentrat
Yang Mengandung BBK Terhadap Kecernaan Ransum, Produk Fermentasi
Dan Jumlah Protozoa Rumen Sapi Perah PFH Jantan. Jurnal BIOSAIN, 33–
40.
Susanti, S., & Narhaeniyanto, E. (2014). Kadar Saponin Daun Tanaman Yang
Berpotensi Menekan Gas Metana Secara In-Vitro. Buana Sains, 14(1), 29–38.
Suwandyastuti, S. N. O. (2013). Produk Metabolisme Rumen pada Sapi Peranakan
Ongole Fase Tumbuh. Agripet, 13(1), 31–35.
Syapura, Bata, M., & Pratama, surya wardhana. (2013). Peningkatan Kualitas
Jerami Padi dan Pengaruhnya Terhadap Kecernaan Nutrien dan Produk
Fermentasi Rumen Kerbau dengan Feces Sebagai Sumber Inokulum. Agripet,
13(2), 59–67.
Thalib, A. (2008). Buah Lerak Mengurangi Emisi Gas Metana pada Hewan
Ruminansia. Warta Penelitian Dan Pengembangan Pertanian, 3(2), 11–12.
Retrieved from http://pustaka.litbang.pertanian.go.id/publikasi/wr302086.pdf
Thauer, R. K. (1998). Biochemistry of methanogenesis: a tribute to Marjory
Stephenson. 1998 Marjory Stephenson Prize Lecture. Microbiology, 144,
2377–2406. https://doi.org/10.1099/00221287-144-9-2377
Thomas, S., & Haider, N. S. (2013). “ A Study on Basics of a Gas Analyzer .”
International Journal of Advanced Research in Electrical, Electronics and
Instrumentation Engineering, 2(12), 6016–6025.
Usman, Y. (2013). Pemberian Pakan Serat Sisa Tanaman Pertanian ( Jerami Kacang
Tanah , Jerami Jagung , Pucuk Tebu ) Terhadap Evolusi pH , N-NH 3 dan
VFA Di dalam Rumen Sapi. Agripet, 13(2), 53–58.
Usmiati, S., Nurdjannah, N., & Yuliani, S. (2005). Limbah Penyulingan Sereh
Wangi dan Nilam Sebagai Insektisida Pengusir Lalat Rumah (Musca
domestica). J. Tek. Ind. Pert, 15(1), 10–16.
Veira, D. M. (1986). The role of ciliate protozoa in nutrition of the ruminant, 63(5),
1547–60.
74
Wahyono, T., Irawan, S., & Suharyono, P. (2011). R1 and R2 Yeast Probiotic as
Supplement on Ongole Crossbreed Catlle Feed.
Wahyono, T., Sasongko, W. T., Sholihah, M., & Pikoli, M. R. (2017). Pengaruh
Penambahan Tanin Daun Nangka (Artocarpus heterophyllus) Terhadap Nilai
Biologis Daun Kelor (Moringa oleifera) dan Jerami Kacang Hijau(Vigna
radiata) Secara In Vitro. Buletin Peternakan, 41(1), 15.
https://doi.org/10.21059/buletinpeternak.v41i1.22450
Wahyuni, I. M. D., Muktiani, A., & Christianto, M. (2014). Penentuan Dosis Tanin
dan Saponin Untuk Defaunasi dan Peningkatan Fermentabilitas Pakan. JITP,
3(3), 133–140.
Wallace, R. J., Rooke, J. A., McKain, N., Duthie, C. A., Hyslop, J. J., Ross, D. W.,
… Roehe, R. (2015). The rumen microbial metagenome associated with high
methane production in cattle. BMC Genomics, 16(1), 839.
https://doi.org/10.1186/s12864-015-2032-0
Wang, Y., Zhang, Y., Wang, J., & Meng, L. (2009). Effects of volatile fatty acid
concentrations on methane yield and methanogenic bacteria. Biomass and
Bioenergy, 33(5), 848–853. https://doi.org/10.1016/j.biombioe.2009.01.007
Wei, L. S., & Wee, W. (2013). Chemical composition and antimicrobial activity of
Cymbopogon nardus citronella essential oil against systemic bacteria of
aquatic animals. Iranian Journal of Microbiology, 5(2), 147–152.
Widodo, Wahyono, F., & Sutrisno. (2012). Kecernaan Bahan Kering, Kecernaan
Bahan Organik, Produksi VFA dan NH3 Pakan Komplit Dengan Level Jerami
Padi Berbeda Secara In Vitro. Animal Agricultural Journal, 1(1), 215–230.
Widyawati, S. D. (2009). Perbandingan Potensi Daun Ketepeng dan Minyak Ikan
Lemuru sebagai Agensia Reduksi Metan dalam Memperbaiki Kualitas Pakan
Ternak Ruminansia. Sains Peternakan, 7(1), 1–7.
Widyobroto, B. P., Budi, S. P. S., & Agus, A. (2007). Pengaruh aras undegraded
protein dan energi terhadap kinetik fermentasi rumen dan sintesis protein
mikroba pada sapi. Journal of the Indonesian Tropical Animal Agriculture, 32,
194–200.
Yuliyani, M. (2010). Aktivitas Antibakteri Ekstrak Kloroform Limbah Padat Daun
Serai Wangi (Cymbopogon nardus) Terhadap Bakteri Pseudomonas
aeruginosa dan Staphylococcus aureus. Fakultas Teknobiologi Universitas
Atma Jaya Yogyakarta, 1–15.
Zakariah, A. (2015). evaluasi kecernaan beberapa bahan Pakan Pada Ternak
Peranakan Ongole ( PO ) dan Peranakan Frisien Holstein ( PFH ), (June), 0–
50.
75
LAMPIRAN
Lampiran 1. Karakteristik dari Bakteri Metanogen
Order Family Genus Substrat
Metanogenesis
Methanobacteriales Methanobacteriaceae Methanobacterium H2, (format)
Methanobrevibacter H2, format
Mehanosphaera H2 + metanol
Methanothermobacter H2, (format)
Methanothermaceae Methanothermus H2
Methanococcales Methanococcaceae Methanococcus H2, format
Methanothermococcus H2, format
Methanocaldococcaceae Methanocaldococcus H2
Methanotorris H2
Methanomicrobiales Methanomicrobiaceae Methanomicrobium H2, format
Methanoculleus H2, format
Methanofollis H2, format
Methanogenium H2, format
Methanolacinia H2
Methanoplanus H2, format
Methanospirillaceae Methanospirillum H2, format
Methanocorpusculaceae Methanocorpusculum H2, format
Methanocalculus H2, format
Methanosarcinales Methanosarcinaceae Methanosarcina (H2), MeNH2,
asetat
Methanococcoides MeNH2
Methanohalobium MeNH2
Methanohalophilus MeNH2
Methanolobus MeNH2
Methanomethylovorans MeNH2
Methanimicrococcus H2 + MeNH2
Methanosalsum MeNH2
Methanosaetaceae Methanosaeta Asetat
Methanopyrales Methanopyraceae Methanopyrus H2
(Liu & Whitman, 2008)
76
Lampiran 2. Strategi Menurunkan Gas Metana dari Sektor Peternakan
Ruminansia
Ternak Pakan Referensi
Sapi perah Friesian-
Holstein Polandia Tanin dari Sanguisorba
(Adam & Pers-kamczyc,
2016)
Kambing
Limbah industri minyak
kelapa sawit
phospholine gum
(Asyifah et al., 2017)
Sapi Holstein
Ekstrak tanin dari
Acacia mearnsii atau
Monensin
(Junior et al., 2017)
Kambing
Pakan berbasis minyak
kelapa sawit (PO),
decanter cake diet
(DCD), palm kernel cake
diet (PKCD)
(Abubakr et al., 2014)
Kerbau Jerami padi (Syaputra et al., 2013)
Sapi peranakan ongole
(PO)
Probiotik khamir R1 dan
R2 (T Wahyono et al., 2011)
Sapi Peranakan Friesian
Holstein (PFH) betina Ekstrak daun papaya (Sairullah et al., 2016)
Kerbau Probiotik BIOS-K2 (Sugoro et al., 2014)
Sapi perah Teh saponin (Guyader et al., 2017)
Sapi perah Holstein
Kandungan saponin
Yucca schidigera dan
Quillaja saponaria
(Holtshausen et al.,
2009)
Sapi perah
Limbah sereh
(Cymbopogon
winterianus)
(Manurung et al., 2015)
Sapi peranakan Ongole
(PO) jantan
Jerami padi dengan T.
viride, dedak padi
dengan A. niger, onggok
dengan A. luchuensis
dan S. cereviseae
(Suwandyastuti, 2013)
Sapi
Konsentrat (dedak padi,
bungkil sawit, onggok,
kulit kopi, kulit
singkong, tetes tebu,
garam, urea, dan kapur)
(Gustiar & Suwignyo,
2014)
77
Lampiran 3. Pembuatan Larutan
A. Reagen Uji Kadar Tanin
1. Sodium karbonat (20%) (Harbone, 1996)
Sebanyak 40 g sodium karbonat dilarutkan dengan aquades hingga 200 ml.
2. Larutan asam tanin (0,1 mg/ml)
Sebanyak 25 mg asam tanin (TA) dilarutkan dengan aquades hingga 25 ml
dan kemudian diencerkan 1:10 dengan aquades.
3. Reagen butanol-HCl (butanol-HCl 95:5 v/v)
Mencampurkan 95 ml n-butanol dengan 5 ml HCl (37%).
4. Reagen Ferric (2% ferric ammonium sulfate dalam 2N HCl)
Sebanyak 16,6 ml HCl ditambahkan dengan aquades hingga 100 ml untuk
membuat HCl 2 N. Sebanyak 2,0 g ferric ammonium sulfate dilarutkan dalam
100 ml HCl 2 N. Reagen disimpan didalam botol coklat.
B. Komposisi Reagen Lowry
1. Reagen Lowry I (Lowry et al., 1951)
2 % Na2CO3 dalam 0,1 NaOH……………………...………….…49,0 ml
2,7 % K Na Tartrat……………………………...…………………0,5 ml
1 % CuSO4………………………………………..…………….....0,5 ml
2. Reagen Lowry II
Folin…………………………………………….………..………10,0 ml
Aquades……………………...…………......…………..………..10,0 ml
78
C. Komposisi Media Total Plate Count (TPC)
1. Larutan Buffer
NaHCO3……………………………………………………………..35 g
NH4CO3………………………………………………………………4 g
Aquades…………………………………………………Hingga 1000 ml
2. Makromineral
Na2HPO4……………………………………………………………5,7 g
KH2PO4………………………………………………………..……6,2 g
MgSO4 7H2O………………………..………………………………0,6 g
Aquades………………………………………………..…Hingga 100 ml
3. Mikromineral
CaCl2 2H2O………………………………………………………..13,2 g
MnCl2 4H2O……………………………………………………….10,0 g
CoCl2 6H2O………...……………………………………………….1,0 g
FeCl3 6H2O………………………………………………………….6,0 g
Aquades………………………………………….……….Hingga 100 ml
4. Larutan Agar
Agar…………………………………………………………………20 g
Aquades…………………………………………………..Hingga 500 ml
5. Media Mikroba Total
Aquades……………………………………………………….311,91 ml
Buffer...………………………………..……………………....125,38 ml
Makromineral……………………..……………………………62,69 ml
Mikromineral……………………………………………….....…0,04 ml
79
Larutan agar PCA………………..……………………………….500 ml
Gas CO2
6. Media Mikroba Selulolitik
Aquades……………………………………………………….311,91 ml
Buffer...………………………………..……………………....125,38 ml
Makromineral……………………..……………………………62,69 ml
Mikromineral……………………………………………….....…0,04 ml
Larutan agar…….………………..……………………………….500 ml
Selulosa……………………………………………..……………..2,00 g
Gas CO2
7. Media Mikroba Lignolitik
Aquades……………………………………………………….311,91 ml
Buffer...………………………………..……………………....125,38 ml
Makromineral……………………..……………………………62,69 ml
Mikromineral……………………………………………….....…0,04 ml
Larutan agar…….………………..……………………………….500 ml
Lignin...………………………………………….……………..20,00 mg
Gas CO2
8. Media Mikroba Lipolitik
Aquades……………………………………………………….311,91 ml
Buffer...………………………………..……………………....125,38 ml
Makromineral……………………..……………………………62,69 ml
Mikromineral……………………………………………….....…0,04 ml
Larutan agar…….………………..……………………………….500 ml
80
Gliserin..…………………………………………..…………..20,00 ml
Gas CO2
9. Media Mikroba Proteolitik
Aquades……………………………………………………….311,91 ml
Buffer...………………………………..……………………....125,38 ml
Makromineral……………………..……………………………62,69 ml
Mikromineral……………………………………………….....…0,04 ml
Larutan agar…….………………..……………………………….500 ml
Susu...……………………………………………..…..………..40,00 ml
Gas CO2
10. Media Mikroba Metilotrof
Aquades……………………………………………………….311,91 ml
Buffer...………………………………..……………………....125,38 ml
Makromineral……………………..……………………………62,69 ml
Mikromineral……………………………………………….....…0,04 ml
Larutan agar…….………………..……………………………….500 ml
Metanol...………………….……………………..……………..20,00 ml
Gas CO2
11. Media Mikroba Hidrogenotrof
Aquades……………………………………………………….311,91 ml
Buffer...………………………………..……………………....125,38 ml
Makromineral……………………..……………………………62,69 ml
Mikromineral……………………………………………….....…0,04 ml
Larutan agar…….………………..……………………………….500 ml
81
Gas H2
Gas CO2
12. Media Mikroba Asetonotrof
Aquades……………………………………………………….311,91 ml
Buffer...………………………………..……………………....125,38 ml
Makromineral……………………..……………………………62,69 ml
Mikromineral……………………………………………….....…0,04 ml
Larutan agar…….………………..……………………………….500 ml
Asetat...…………………………………………..……………..20,00 ml
Gas CO2
*Media buffer, makromineral dan mikromineral disterilisasi terpisah dengan media
agar
82
Lampiran 4. Analisis Data
Keterangan:
RG = Rumput gajah
LSW = Limbah serai wangi
1. Berat Kering, Berat Organik, Berat Abu, dan Kadar Air
Sampel Co S Co+S
105 0C
Co+S
550 0C % BK % KA %BA %BO
LSW 34.1303 1.0654 35.1695 34.2279 97.5408 2.4592 9.3918 88.1490
LSW 33.8727 1.0673 34.9119 33.9674 97.3672 2.6328 9.1128 88.2544
RG 33.4833 1.4384 34.8727 33.6451 96.5934 3.4066 11.6453 84.9481
RG 35.6199 1.5421 37.1043 35.7980 96.2583 3.7417 11.9981 84.2602
Sampel rata-rata STDEV
% BK % KA %BA %BO % BK % KA %BA %BO
ASW 97.45 2.55 9.25 88.20 0.12 0.12 0.20 0.07
RG 96.43 3.57 11.82 84.60 0.24 0.24 0.25 0.49
Rumus:
% 𝐵𝐾 = (𝐵𝑡105𝑜𝐶−𝐵𝑜)
(𝐵𝑠 −𝐵𝑜) × 100% %𝐵𝐴 =
(𝐵𝑡550𝑜𝐶−𝐵𝑜)
(𝐵𝑡105𝑜𝐶−𝐵𝑜) × 100% %𝐵𝑂 = %𝐵𝐾 − %𝐵𝐴
2. Lemak Kasar
Sampel Bungkus Bks +
Isi Soxhlet % BK %LK Rata-Rata Stdev Covar
RG 1.2730 1.5621 1.4982 0.2788 19.2158 17.8310 1.9583 10.9827
RG 1.3203 1.6481 1.5844 0.3161 16.4463
LSW 1.4495 1.6781 1.5778 0.2228 42.4095 44.9860 3.6437 8.0997
LSW 1.5871 1.7912 1.6914 0.1989 47.5625
Rumus:
Lemak Kasar = (Berat bungkus + Isi setelah soxhlet) – Berat Bungkus
3. Protein Kasar
sampel bobot sampel (g) volume NaOH
N NaOH Ar N fk Total N
simplo duplo simplo duplo simplo duplo
RG 0.5092 0.5026 14.3000 14.3000 0.1000 14.0067 6.25 3.9335 3.9852
LSW 0.5027 0.5020 16.5000 16.6000 0.1000 14.0067 6.25 4.5974 4.6317
83
Sampel kadar protein (%)
rata-rata STDEV simplo duplo
RG 24.5846 24.9075 24.7460 0.2283
LSW 28.7337 28.9481 28.8409 0.1516
Rumus:
% Total N = ((Volume NaOH x N NaOH x Ar N) : bobot sampel (mg)) x 100
Kadar Protein = Total N x fk
4. Karbohidrat
Sampel %BA %BO %LK %protein %karbohidrat rata-rata STDEV
RG 11.6453 84.9481 19.2158 24.5846 29.5024 30.2054 0.9942
RG 11.9981 84.2602 16.4463 24.9075 30.9084
LSW 9.3918 88.1490 42.4095 28.7337 7.6140 5.1225 3.5235
LSW 9.1128 88.2544 47.5625 28.9481 2.6310
Rumus:
Kadar Karbohidrat = BO – LK – Protein – BA
5. Tanin
5.1. Kurva Standar
Tabung
As. Tanin
(0.1 mg/ml) Aquadest
Reagen
Folin Na2CO3 20% As. Tanin Absorbansi
725 nm (ml) (ml) (ml) (ml) (µg)
Blanko 0 0.5 0.25 1.25 0 0
T1 0.02 0.48 0.25 1.25 2 0.051
T2 0.04 0.46 0.25 1.25 4 0.126
T3 0.06 0.44 0.25 1.25 6 0.189
T4 0.08 0.42 0.25 1.25 8 0.205
T5 0.1 0.4 0.25 1.25 10 0.289
T6 0.12 0.38 0.25 1.25 12 0.301
T7 0.14 0.36 0.25 1.25 14 0.353
T8 0.2 0.3 0.25 1.25 20 0.674
T9 0.3 0.2 0.25 1.25 30 0.866
T10 0.4 0.1 0.25 1.25 40 1.714
T11 0.5 0 0.25 1.25 50 1.99
84
5.2. Total Fenol
Sampel Absorbansi BS
(g) %BK BK
Total
fenol
(µg/ml)
% total
fenol
Rata-
rata stdev
RG 1.745 0.2 96.43 0.19 44.34 0.23 0.23 0.002
RG 1.725 0.2 96.43 0.19 43.87 0.23
LSW 1.235 0.2 97.45 0.19 32.38 0.17 0.15 0.020
LSW 0.995 0.2 97.45 0.19 26.75 0.14
Rumus:
µg/g = (µg/ml x fp) : BK sampel
5.3. Total Tanin
sampel
A
total
fenol
A fenol
non
tanin
A
Tanin
Bs
(g) %BK BK
Tanin
(µg/ml) % tanin
Rata-
rata stdev
RG 1.745 0.659 1.086 0.2 96.43 0.19 28.88 0.15 0.15 0.003
RG 1.725 0.601 1.124 0.2 96.43 0.19 29.77 0.15
LSW 1.235 0.423 0.812 0.2 97.45 0.19 22.45 0.12 0.10 0.017
LSW 0.995 0.381 0.614 0.2 97.45 0.19 17.81 0.09
Rumus:
Kadar Tanin = Total fenol – Total fenol non tanin
6. Tanin Kondensasi
Sampel Absorbansi %BK % Tanin kondensasi rata-rata stdev
RG 0.115 96.42589 0.0933 0.094 0.001
RG 0.117 96.42589 0.0950
LSW 0.084 97.45401 0.0675 0.067 0.001
LSW 0.082 97.45401 0.0658
Rumus:
Tanin Kondensasi = Absorbansi 550 nm x 78,26 : %BK
y = 23.458x + 3.4066R² = 0.9689
0
10
20
30
40
50
60
0 0.5 1 1.5 2 2.5
85
7. Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH)
Perlakuan Bobot Hewan Uji (kg)
Kambing 1 Kambing 2 kambing 3 Kambing 4
Sebelum perlakuan 18.83 23.53 17.48 21.42
RG 18.46 21.54 17.11 19.82
RG + LSW 16.4 19.84 16.86 19.75
perlakuan PBBH (kg/hari) STDEV
RG 1 -0.0529 0.119713
2 -0.2843
3 -0.0529
4 -0.2286
RG + LSW 1 -0.2943 0.143792
2 -0.2429
3 -0.0357
4 -0.0100
Rumus:
PBBH = Perlakuan minggu ke−2 – Perlakuan Minggu ke−1
7
8. pH
Perlakuan Ulangan pH
Rumput Gajah 1 6.9
2 7.17
3 6.91
4 7.17
Rumput Gajah + Limbah Serai Wangi 1 7.14
2 6.7
3 6.99
4 6.7
9. Kadar Amonia
Perlakuan As. Borat Na2CO3 volume titrasi (ml)
vol sampel (ml) K 1 K2 K3 K4
RG 1 ml 1 ml 2.45 2.05 3.6 3.9 1
RG+LSW 1 ml 1 ml 2.05 1.65 4.7 4.6 1
Perlakuan N HCl N−Amonia (mM)
K 1 K2 K3 K4
RG 0.005014 12.2843 10.2787 18.0504 19.5546
RG + LSW 0.005014 10.2787 8.2731 23.5658 23.0644
Rumus:
N−Amonia (mM) = N HCl x V HCl x 1000
86
10. Protein Mikroba
10.1. Kurva Standar
Konsentrasi (g/ml) absorbansi
0.0000032 0.01
0.000016 0.028
0.00008 0.197
0.0004 0.737
0.002 1.404
0.005 2.287
perlakuan absorbansi konsentrasi (g/ml) rata-rata stdev
RG 1 2.105 0.0037
0.0037 0.0004 2 2.206 0.0040
3 1.861 0.0032
4 2.233 0.0040
RG + LSW 1 1.68 0.0028
0.0046 0.0020 2 3.157 0.0061
3 1.805 0.0031
4 3.342 0.0066
11. Biomassa Mikroba
W0 (g) W0 + bakteri (g) biomassa bakteri (g) mg/ml
RG 1 1.0074 1.0095 0.0021 3.0000
2 1.0016 1.0066 0.005 7.1429
3 1.0109 1.0132 0.0023 3.2857
4 1.0118 1.016 0.0042 6.0000
RG + LSW 1 1.0086 1.0103 0.0017 2.4286
2 1.0081 1.0134 0.0053 7.5714
3 1.0075 1.009 0.0015 2.1429
4 1.0052 1.0128 0.0076 10.8571
W0 (g) W0 + Protozoa (g) biomassa protozoa (g) mg/ml
RG 1 1.0051 1.0062 0.0011 1.3750
2 1.0078 1.0098 0.0020 2.5000
3 0.9932 0.9940 0.0008 1.0000
4 1.0095 1.0111 0.0016 2.0000
y = 440.84x + 0.2262R² = 0.9246
0
1
2
3
0 0.001 0.002 0.003 0.004 0.005 0.006
Ab
sorb
ansi
Konsentrasi (g/ml)
Kurva Standar
87
RG + LSW 1 1.0022 1.0033 0.0011 1.3750
2 1.0082 1.0117 0.0035 4.3750
3 0.9978 0.9984 0.0006 0.7500
4 1.0045 1.0082 0.0037 4.6250
Rumus:
Biomassa Protozoa= W0 + Protozoa – W0
Biomassa Bakteri = W0 + Bakteri – W0
12. Volatile Fatty Acid (VFA)
VFA Perlakuan
RG RG + LSW
As. Asetat (mM) 111.81 161.84
As. Propionat (mM) 18.79 47.51
As. Butirat (mM) 4.06 11.62
As. Isobutirat (mM) 0.88 1.96
As. Isovalerat (mM) 1.34 2.10
As. Valerat (mM) 0.85 1.76
VFA Total (mM) 137.74 226.79
13. Gas
13.1. Gas Metana
3 jam (%) rata-rata (%) stdev 6 jam (%) rata-rata (%) stdev
RG 1 0.1120 0.122 0.008 0.2595 0.270 0.025
2 0.1200 0.2410
3 0.1240 0.2980
4 0.1320 0.2795
RG + LSW 1 0.0803 0.081 0.003 0.2250 0.226 0.008
2 0.0840 0.2260
3 0.0807 0.2155
4 0.0770 0.2355
13.2. Gas Karbondioksida
3 jam (%) rata-rata (%) stdev 6 jam (%) rata-rata (%) stdev
RG 1 2.3
2.30 0.42
1.1
2.13 0.82 2 2 3
3 2.9 2.5
4 2 1.9
RG + LSW 1 1.3
2.05 0.61
1.9
1.88 0.49 2 2 2.5
3 2.8 1.3
4 2.1 1.8
88
14. Total Mikroba
Sampel Total Bakteri (cfu/ml)
Mikroba Selulolitk Proteolitik Lipolitik
RG 4.7E+16 5E+13 1.4E+13 1.2E+13
RG+LSW 1.9E+15 1.6E+13 1.3E+13 2E+13
Sampel Total Bakteri (cfu/ml)
Lignolitik Metilotrof Asetonotrof Hidregonetrof
RG 70000000 140000000 160000000 4700000
RG + LSW 50000000 7000000 60000 4800000
Sampel Log (cfu/ml)
Mikroba Selulolitk Proteolitik Lipolitik
RG 16.67 13.70 13.15 13.08
RG+LSW 15.28 13.20 13.11 13.30
Sampel Log (cfu/ml)
Lignolitik Metilotrof Asetonotrof Hidrogonetrof
RG 7.85 8.15 8.20 6.67
RG + LSW 7.70 6.85 4.78 6.68
Rumus:
Total Bakteri (cfu/ml) = Jumlah koloni x 10pengenceran ke- x Fp
89
Lampiran 5. Analisis Statistik
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
PBBH RG .302 4 . .825 4 .154
PBBH RG + LSW .278 4 . .852 4 .231
pH RG .307 4 . .745 4 .035
pH RG + LSW .297 4 . .851 4 .229
NH3 RG .250 4 . .901 4 .435
NH3 RG + LSW .297 4 . .802 4 .105
Protein Mikroba RG .267 4 . .841 4 .199
Protein Mikroba RG + LSW .283 4 . .825 4 .155
Biomassa Mikroba RG .294 4 . .853 4 .236
Biomassa Mikroba RG + LSW .278 4 . .877 4 .328
Gas Metana 3 Jam RG .155 4 . .998 4 .995
Gas Metana 3 Jam RG + LSW .222 4 . .968 4 .828
Gas Metana 6 jam RG .157 4 . .990 4 .958
Gas Metana 6 jam RG + LSW .226 4 . .965 4 .812
Gas Karbondioksida 3 jam RG .260 4 . .827 4 .161
Gas Karbondioksida 3 jam RG
+ LSW .218 4 . .971 4 .848
Gas Karbondioksida 6 jam RG .177 4 . .984 4 .926
Gas Karbondioksida 6 jam RG
+ LSW .230 4 . .973 4 .860
a. Lilliefors Significance Correction
Bila nilai sig > 0,05 maka data berdistribusi normal
Bila jumlah sampel ≤ 50 maka digunakan Shapiro-wilk
Paired Samples Test
Paired Differences t df Sig.
(2-tailed) Mean Std. Deviation Std. Error Mean 95% Confidence Interval of the
Difference
Lower Upper
Pair 1 PBBH RG - PBBH RG + LSW -.0089286 .1895192 .0947596 -.3104959 .2926387 -.094 3 .931
Pair 2 pH RG - pH RG + LSW .15500 .36955 .18477 -.43304 .74304 .839 3 .463
Pair 3 NH3 RG - NH3 RG + LSW -1.2535000 3.8513265 1.9256632 -7.3818199 4.8748199 -.651 3 .561
Pair 4 Protein Mikroba RG - Protein Mikroba
RG + LSW -.0009250 .0016899 .0008450 -.0036140 .0017640 -1.095 3 .354
Pair 5 Biomassa Mikroba RG - Biomassa
Mikroba RG + LSW -1.9553500 4.0108498 2.0054249 -8.3375070 4.4268070 -.975 3 .401
Pair 6 Gas Metana 3 Jam RG - Gas Metana 3
Jam RG + LSW .0415000 .0101944 .0050972 .0252784 .0577216 8.142 3 .004
Pair 7 Gas Metana 6 jam RG - Gas Metana 6
jam RG + LSW .0440000 .0283637 .0141819 -.0011330 .0891330 3.103 3 .053
Pair 8 Gas Karbondioksida 3 jam RG - Gas
Karbondioksida 3 jam RG + LSW .25000 .50662 .25331 -.55615 1.05615 .987 3 .396
Pair 9 Gas Karbondioksida 6 jam RG - Gas
Karbondioksida 6 jam RG + LSW .25000 .83467 .41733 -1.07814 1.57814 .599 3 .591
91
Lampiran 6. Hasil Uji Kromatografi Gas
1. Kromatogram Standar
92
2. Perlakuan Pakan Rumput Gajah
93
3. Perlakuan Penambahan Pakan Limbah Serai Wangi
94
Lampiran 7. Dokumentasi Penelitian
1. Pengamatan mikroba pada cairan rumen
A B C
D E F
G H I
J K
A-B – Entodinium sp.; C-D – Isotricha sp.; E – Enoploplastron sp.; F – Eremoplastron sp.;
G – Eudiplodinium sp.; H – Metadinium sp.; I – Charonina sp.; J – Oligoisotricha sp.; K−
Eodinium sp
95
2. Rumput gajah dan serai wangi
Limbah serai wangi Rumput gajah
3. Uji Kadar Lemak dengan Ekstraksi Sokhlet
4. Uji Kadar Protein dengan Metode Kjedahl
Proses destruksi Destilasi Titrasi
96
Sebelum titrasi Sesudah titrasi
5. Uji Kuantitatif Tanin
6. Pengujian ammonia dengan difusi Conway
Proses titrasi Setelah titrasi terjadi perubahan warna
dari biru ke orange
97
7. Protein Mikroba
8. Total Plate Counter (TPC)
Total bakteri Proteolitik Metilotrof Selulolitik
Hidrogenotrof Lignolitik Lipolitik Asetonotrof
98
9. Pengambilan Sampel
Proses pengambilan cairan rumen
dengan selang vakum
10. Proses Penimbangan Bobot Badan
99
BIODATA MAHASISWA
IDENTITAS PRIBADI
Nama Lengkap : Chatamia Ramadhani Fitri
NIM : 11140960000038
Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta/ 5 Februari 1997
Jenis Kelamin : Perempuan
Anak ke : 3 dari 3 bersaudara
Alamat Rumah : Perumahan Griya bukit mas, blok A6, Pancoran
mas, Depok, Jawa barat
No HP : 085782209869
Alamat Email : chatamiaramadhanifitri@gmail.com
PENDIDIKAN FORMAL
Sekolah Dasar : SDN Joglo 10 Jakarta
Lulus tahun 2008
Sekolah Menengah Pertama : SMPN 206 Jakarta
Lulus tahun 2011
Sekolah Menengah Atas : SMAN 63 Jakarta
Lulus tahun 2014
Perguruan Tinggi : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Masuk tahun 2014
PENDIDIKAN NON FORMAL
Kursus/Pelatihan
Sistem Managemen Mutu : No. Sertifikat LM/Sert-LabIndo/001/IV/18
Berbasis ISO 17025:2017
PENGALAMAN KERJA
Praktek Kerja Lapangan (PKL): Badan Tenaga Nuklir (BATAN) / 2017