Post on 25-Oct-2021
II-1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
II.1 Landasan Teori
II.1.1 Kredit
Kata kredit berasal dari bahasa latin yaitu credere, yang diterjemahkan
sebagai kepercayaan atau credo yang berarti saya percaya (Fahmi, 2014, hal. 2).
Jadi apabila seseorang berhasil memperoleh kredit berarti orang tersebut
memperoleh kepercayaan.
Kredit menurut UU No. 10 tahun 1998 yaitu “Kredit adalah penyediaan
uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan
atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga”. Selanjutnya kredit adalah semua jenis pinjaman yang
harus dibayar kembali bersama bunganya oleh peminjam sesuai dengan perjanjian
yang telah disepakati (Hasibuan, 2001, hal. 87). Dari beberapa pengertian di atas
dapat disimpulkan bahwa kredit merupakan kegiatan usaha dengan memberikan
pinjaman kepada masyarakat atas dasar kepercayaan yang diberikan oleh pemberi
kredit dimana penerima kredit harus mengembalikan kredit dan membayar balas
jasa berupa bunga sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati sebelumnya oleh
kedua belah pihak.
Fungsi bank sebagai lembaga intermediasi khususnya dalam penyaluran
kredit mempunyai peranan penting bagi perekonomian, karena melalui kredit
masyarakat bisa membuka usaha baru atau mengembangkan dan memperluas
usahanya. Sehingga berpengaruh terhadap pendapatan ekonomi mereka. Adapun
tujuan pemberian kredit menurut Kasmir (dalam Clarita, Darminto, & Zahroh,
2014) adalah mencari keuntungan, membantu usaha nasabah, dan membantu
pemerintah.
II-2
Penyaluran kredit merupakan bagian terbesar dari asset yang dimiliki oleh
bank yang bersangkutan. Menurut Siamat (dalam Rahman & Fajarwati, 2012)
mengatakan bahwa penyaluran kredit merupakan kegiatan usaha yang
mendominasi pengalokasian dana bank. Jadi dapat dikatakan bahwa kredit
merupakan sumber utama pendapatan bagi bank.
II.1.2 Non Performing Loan (NPL)
Apabila kredit yang diberikan tidak dapat kembali sesuai dengan
perjanjian yang telah disepakati maka akan menimbulkan suatu risiko kredit yaitu
kredit bermasalah (NPL). Risiko kredit merupakan suatu risiko akibat kegagalan
atau ketidakampuan nasabah mengembalikan jumlah pinjaman yang diterima dari
bank beserta bunganya sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan atau
dijadwalkan (Siamat, 2004, hal. 92). Dengan adanya kegagalan membayar
tersebut maka akan mengakibatkan kredit bermasalah (NPL).
Kredit bermasalah adalah kredit yang menunggak melebihi 90 hari (Ismail,
2009, hal. 226), kemudian kredit bermasalah yaitu suatu keadaan dimana nasabah
sudah tidak sanggup membayar sebagian atau seluruh kewajibannya kepada bank
seperti yang telah diperjanjikan (Ismail, 2009, hal. 224). Semakin tingginya rasio
dari Non Performing Loan (NPL) mencerminkan bahwa semakin banyaknya
kredit macet yang ada pada bank (Sania, 2016). Sehingga banyaknya kredit macet
akan mengakibarkan menurunnya laba yang diperoleh.
Untuk pihak perbankan, sebelum menyalurkan dananya dalam bentuk
kredit perlu melakukan analisis terhadap calon debitur agar dana yang disalurkan
dapat kembali tepat waktu. Setelah itu, apabila dana berhasil disalurkan, pihak
bank harus melakukan pemantauan kredit baik dalam penggunaan maupun
kepatuhan dalam memenuhi kewajibannya.
Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung kredit bermasalah
menurut Surat Edaran Bank Indonesia No. 3/30/DPNP tanggal 14 Desember
2001:
II-3
NPL = 𝑲𝒓𝒆𝒅𝒊𝒕 𝒌𝒖𝒓𝒂𝒏𝒈 𝒍𝒂𝒏𝒄𝒂𝒓 +𝒌𝒓𝒆𝒅𝒊𝒕 𝒅𝒊𝒓𝒂𝒈𝒖𝒌𝒂𝒏+𝒌𝒓𝒆𝒅𝒊𝒕 𝒎𝒂𝒄𝒆𝒕
𝑻𝒐𝒕𝒂𝒍 𝒌𝒓𝒆𝒅𝒊𝒕 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒊𝒃𝒆𝒓𝒊𝒌𝒂𝒏 x 100%
Gambar I.1 Rumus NPL
Jumlah NPL yang tinggi dapat menimbulkan masalah bagi kesehatan
bank. Dalam hal ini Bank Indonesia menetapkan bahwa tingkat NPL yang wajar
adalah 5% dari total portofolio kreditnya.
II.1.3 Inflasi
Definisi inflasi menurut Badan Pusat Statistik (BPS) adalah
kecenderungan naiknya harga barang dan jasa pada umumnya yang berlangsung
secara terus menerus. Jika inflasi meningkat, maka harga barang dan jasa di dalam
negeri mengalami kenaikan. Naiknya harga barang dan jasa tersebut
menyebabkan turunnya nilai mata uang. Dengan demikian, inflasi
dapat juga diartikan sebagai penurunan nilai mata uang terhadap nilai barang dan
jasa secara umum. Selain itu, Syarun (2016) menyatakan, “Inflasi adalah suatu
proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus (continue)
berkaitan dengan mekanisme pasar yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor,
antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat, berlebihnya likuiditas di pasar
yang memicu konsumsi atau bahkan spekulasi, sampai termasuk juga akibat
adanya ketidaklancaran distribusi barang, dengan kata lain inflasi juga merupakan
proses menurunnya nilai mata uang”.
Dari berbagai pengertian di atas dapat disimpulkan ada tiga kriteria yang
perlu diamati untuk melihat telah terjadinya inflasi, yaitu kenaikan harga,
mempunyai sifat yang umum, dan terjadi secara terus-menerus. Apabila kenaikan
harga satu barang tidak mempengaruhi harga barang lain, sehingga harga tidak
naik secara umum, maka bukan dikatakan inflasi. Kecuali apabila yang naik itu
seperti harga BBM, ini berpengaruh terhadap harga-harga lainnya sehingga secara
umum semua produk hampir mengalami kenaikan harga. Apabila kenaikan harga
II-4
itu terjadi hanya sesat kemudian turun kembali, itu pun bukan dikatakan inflasi,
karena inflasi mempunyai rentang waktu minimal satu bulan.
Sukirno (2011:333) menjabarkan penyebab inflasi terbagi ke dalam 3
macam, yaitu: Pertama, tarikan permintaan (demand-pull inflation). Inflasi ini
timbul karena meningkatnya permintaan total yang berlebihan sehingga melebihi
kemampuan ekonomi mengeluarkan barang dan jasa. Kedua, desakan biaya (cosh-
pull inflation). Inflasi ini timbul karena peningkatan biaya produksi untuk
menghasilkan barang yang akan dipasarkan. Ketiga, inflasi diimpor. Inflasi ini
timbul karena kenaikan harga barang di luar negeri dan berpengaruh kepada
negara lain yang memilki hubungan ekonomi dengan negara tersebut.
Hampir semua negara menghadapi masalah inflasi di dalam
perekonomian, terjadinya inflasi yang tinggi mengakibatkan turunnya daya beli
masyarakat. Adapun Sukirno (2011:338) mengatakan bahwa kenaikan harga-
harga yang tinggi dan terus-menerus akan berdampak kepada kegiatan
perekonomian, yaitu ketika biaya yang terus menerus naik, hal ini akan
menyebabkan kegiatan produksi sangat tidak menguntungkan bagi pengusaha.
Maka para pemilik modal biasanya lebih tertarik menggunakan uangnya untuk
berspekulasi. Selain itu inflasi juga berdampak kepada kemakmuran individu dan
masyarakat, yaitu akan menurunkan pendapatan riil orang-orang yang
berpendapatan tetap, akan mengurangi nilai kekayaan yang berbentuk uang, serta
akan memperburuk pembagian kekayaan.
II.I.4 Laba Bersih
Laba merupakan tujuan utama perusahaan dalam menjalankan
aktivitasnya. Setiap perusahaan tentu saja berusaha untuk memperoleh laba yang
maksimal. Laba yang diperoleh perusahaan akan digunakan untuk meningkatkan
kelangsungan hidup perusahaan.
Laba sebagai kelebihan penghasilan diatas biaya selama satu periode
akuntansi (Harahap, 2008, hal. 113). Sedangkan menurut Harnanto (2003, hal.
344) mendefinisikan bahwa laba adalah selisih dari pendapatan diatas biaya-
II-5
biayanya dalam jangka waktu periode tertentu. Jadi dapat disimpulkan dari
pengertian-pengertian tersebut bahwa laba adalah selisih dari pendapatan yang
diperoleh dengan biaya-biaya yang dikeluarkan dalam membiayai operasional
perusahaan dalam jangka waktu tertentu. Laba sering digunakan sebagai suatu
dasar pengenaan pajak, kebijakan dividen, pedoman investasi serta pengambilan
keputusan dan unsur prediksi (Harnanto, 2003, hal. 444).
Laba atau rugi sering digunakan untuk mengukur prestasi perusahaan.
Selain itu, laba atau rugi juga penting sebagai informasi bagi pembagian laba dan
penentuan kebijakan investasi. Adapun tujuan dari pelaporan laba menurut Chariri
& Ghozali (2003, hal. 216) antara lain:
a. Sebagai indikator efisiensi penggunaan dana yang tertahan dalam
perusahaan yang diwujudkan dalam tingkat kembaliannya.
b. Sebagai dasar pengukuruan prestasi manajemen.
c. Sebagai dasar penentuan besarnya perencanaan pajak.
d. Sebagai alat pengendalian sumber daya ekonomi suatu negara.
e. Sebagai kompensasi dan pembagian bonus.
f. Sebagai alat motivasi manajemen dalam pengendalian perusahaan.
g. Sebagai dasar bentuk kenaikan kemakmuran.
h. Sebagai dasar pembagian dividen.
Laba memiliki jenis-jenis yaitu laba kotor, laba dari operasi, dan laba
bersih (Tuanakotta, 2000, hal. 157). Namun pada penelitian ini penulis
menggunakan laba bersih.
Laba bersih merupakan laba dari bisnis perusahaan yang sedang berjalan
setelah bunga dan pajak (Wild, Subramanyan & Halsey dalam Wowor &
Mangantar, 2014). Sedangkan menurut Soemarso (dalam Wowor & Mangantar,
2014) menjelaskan bahwa laba bersih (net income) merupakan selisih lebih semua
pendapatan dan keuntungan terhadap semua biaya-biaya kerugian.
II-6
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa laba bersih adalah selisih
dari total pendapatan dikurangi dengan total beban. Adapun rumus laba bersih
sebagai berikut:
Laba Bersih = Laba Sebelum Pajak Penghasilan – Beban Pajak Penghasilan
Gambar II.2 Rumus Laba Bersih
Sumber: Hery (2015, hal. 235)
Menurut Ikatan Akuntansi Indonesia (2012, hal. 12) penghasilan bersih
(laba) sering digunakan sebagai ukuran kinerja atau dasar bagi ukuran yang lain
seperti imbal hasil investasi atau laba per saham (Earning per Share). Setelah laba
diperoleh maka perusahaan membagi laba menjadi ke dalam dua bagian yaitu laba
di tahan dan laba yang dibagikan kepada para pemegang saham. Perusahaan yang
memiliki tingkat akumulasi laba bersih yang cukup baik, dari satu periode ke
periode berikutnya, biasanya memiliki potensi untuk dapat membagikan sebagian
dari laba bersih tersebut kepada pemegang saham (Hery, 2016, hal. 287).
Distribusi laba bersih kepada para pemegang saham ini dilakukan dalam bentuk
dividen. Sebagian dari laba bersih ini akan ditahan atau diinvestasikan kembali
dalam perusahaan. Laba ditahan timbul sebagai hasil dari kegiatan operasional
perusahaan (Hery, 2016, hal. 294). Akan tetapi, pembagian laba bersih yang
diperoleh tergantung pada keputusan Rapat Umum Pemegang Saham, apakah laba
tersebut akan dialokasikan untuk pembagian dividen atau sebagai laba ditahan
untuk membiayai kegiatan operasional perusahaan.
II.I.4.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laba Bersih
Kemampuan untuk memperoleh laba merupakan suatu ukuran yang
digunakan untuk menilai prestasi perusahaan. Adapun faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi besar kecilnya laba bersih yang dapat diperoleh antara lain:
II-7
A. Penyaluran Kredit
Kredit merupakan pinjaman uang yang diberikan oleh bank kepada
nasabah yang kemudian harus dikembalikan oleh peminjam sesuai dengan
jangka waktu dan bunga yang ditentukan oleh bank. Besarnya laba suatu bank
sangat-sangatlah dipengaruhi dari jumlah kredit yang disalurkan dalam suatu
periode, makin besar jumlah kredit yang disalurkan maka makin besar laba
dari bidang ini (Kasmir, 2014, hal. 125). Selain itu, Rivai (2013, hal. 6)
menyatakan bahwa laba merupakan tujuan dari pemberian kredit yang
terjelma dalam bentuk bunga yang diterima.
B. Kredit Bermasalah (NPL)
Apabila kredit yang diberikan tidak dapat kembali sesuai dengan
perjanjian yang telah disepakati maka akan menimbulkan suatu risiko kredit
yaitu kredit bermasalah (NPL). Adanya kredit bermasalah (NPL) akan
mengakibatkan menurunnya pendapatan bunga bank, mengingat bahwa
kredit merupakan pendapatan terbesar bank. Seperti yang dikatakan oleh
Kasmir (2014, hal. 148) bahwa pemberian suatu fasilitas kredit mengandung
risiko kemacetan. Akibatnya kredit tidak dapat ditagih sehingga
menimbulkan kerugian yang harus ditanggung oleh bank dan
mengakibatkan laba perusahaan menurun.
C. Capital Adequacy Ratio (CAR)
Capital Adequacy Ratio (CAR) adalah rasio yang memperlihatkan
seberapa jauh aktiva bank yang mengandung risiko (kredit, penyertaan
surat berharga, tagihan pada bank lain) ikut dibiayai dari dana modal
sendiri bank (Taswan, 2010, hal. 237). Nilai Capital Adequacy Ratio
(CAR) yang tinggi menunjukkan bahwa bank mampu membiayai
operasionalnya, serta menguntungkan bagi bank tersebut karena di
kemudian hari akan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap
pertumbuhan laba (Hutagalung, Djumahir, & Ratnawati, 2013).
D. Beban Operasional dan Pendapatan Operasional (BOPO)
BOPO merupakan perbandingan dari total beban dan total pendapatan.
Melalui perhitungan tersebut, bank akan mencapai efisiensi
II-8
operasionalnya, sehingga keseluruhan biaya yang dikeluarkan bank
tersebut dapat diminimalisis dan berdampak terhadap pertumbuhan laba
(Hutagalung, Djumahir, & Ratnawati, 2013).
E. Loan To Deposit Ratio (LDR)
LDR merupakan perbandingan dari jumlah kredit yang disalurkan
dengan jumlah dana yang diterima dari berbagai sumber. Menurut
Literatur sebelumnya Suwandhani (2008) melakukan penelitian mengenai
pengaruh LDR terhadap profitabilitas, hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa LDR berpengengaruh siginifikan terhadap profitabilitas bank.
F. Dana Pihak Ketiga
Perolehan laba suatu lembaga keuangan atau perusahaan tergantung
oleh sumber dana yang diperoleh yang kemudian akan menghasilkan
pendapatan dimana pendapatan tersebut akan menjadikan laba bagi
perusahaan (Kasmir, 2000, hal. 61). Jadi, apabila bank memanfaatkan
penghimpunan dana melalui dana pihak ketiga maka akan berpengaruh
terhadap laba bank.
G. Produk Domestik Bruto (PDB)
PDB adalah nilai pasar dari semua barang dan jasa akhir (final) yang
diproduksi dalam sebuah negara pada suatu periode (Mankiw, 2006, hal.
6) Faktor produksi ini berpengaruh terhadap pendapatan nasional.
H. Tingkat Inflasi
Tingkat inflasi adalah naiknya harga-harga secara umum dan
berlangsung terus menerus. Pada saat inflasi sedang tinggi, harga barang
dan jasa menjadi naik dan mengakibatkan daya beli masyarakat menjadi
menurun. Selain itu, dengan naiknya tingkat inflasi akan mengakibatkan
nilai mata uang menjadi menurun. Menurut Literatur sebelumnya Astuti
(2014) mengatakan bahwa inflasi berpengaruh signifikan terhadap
profitabilitas.
I. BI Rate
BI Rate adalah suku bunga dengan tenor satu bulan yang diumumkan
oleh Bank Indonesia secara periodik untuk jangka waktu tertentu yang
II-9
berfungsi sebagai sinyal (stance) kebijakan moneter (Siamat, 2005, hal.
139). Apabila inflasi tinggi, maka bank melakukan kebijakan BI Rate yaitu
menaikkan suku bunga kredit. Kenaikan BI Rate tersebut akan
menghambat pertumbuhan kredit. Apabila pertumbuhan kredit terhambat
maka berpengaruh juga terhadap pertumbuhan laba.
Dari beberapa faktor-faktor di atas bahwa penyaluran kredit (X1), Non
Performing Loan (X2), dan tingkat inflasi (X3) merupakan faktor di dalamnya
yang dapat mempengaruhi laba bersih (Y). Menurut literatur sebelumnya
Magdalena (2008) melakukan penelitian mengenai pengaruh jumlah kredit yang
disalurkan terhadap laba bank. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kredit
yang disalurkan mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap laba.
Ratnakusumah (2014) melakukan penelitian mengenai pengaruh kredit
bermasalah terhadap laba. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa
kredit bermasalah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap laba. Selain itu,
menurut literatur sebelumnya yang dilakukan oleh Irwadi (2014) mengenai
pengaruh inflasi dan BI Rate terhadap laba perbankan. Dalam hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa inlasi tidak berpengaruh signifikan dalam memprediksi laba
perbankan.
Dari beberapa literatur tersebut, maka dapat dikatakan bahwa penyaluran
kredit mempunyai bobot yang besar dalam mempengaruhi laba bersih, kredit
bermasalah mempunyai bobot yang sedang dalam mempengaruhi laba bersih, dan
tingkat inflasi mempunyai bobot yang kecil dalam mempengaruhi laba bersih.
Namun demikian, ketiga faktor tersebut mempunyai pengaruh terhadap laba
bersih perbankan.
II.I.5 Hubungan Penyaluran Kredit dan Laba Bersih
Kredit merupakan pinjaman uang yang diberikan oleh bank kepada
nasabah yang dikembalikan dengan jangka waktu dan bunga yang ditentukan oleh
bank. Melalui kredit akan menguntungkan bagi pihak kreditur dan debitur, bank
akan memperoleh bunga dari kredit yang diberikan begitu juga bagi debitur akan
memperoleh pinjaman sebagai modal usaha maupun untuk keperluan pribadi.
II-10
Kredit merupakan pendapatan terbesar bagi bank. Menurut Siamat (dalam
Rahman & Fajarwati, 2012) mengatakan bahwa penyaluran kredit merupakan
kegiatan usaha yang mendominasi pengalokasian dana bank. Jadi dapat dikatakan
bahwa kredit merupakan sumber utama pendapatan bagi bank. Semakin tinggi
penyaluran kredit maka semakin tinggi pula laba yang diperoleh oleh bank.
Seperti yang dikatakan Besarnya jumlah kredit yang akan disalurkan akan
menentukan besarnya laba (Kasmir, 2005, hal. 71). Semakin tinggi penyaluran
kredit maka semakin tinggi pula laba yang diperoleh bank. Selain itu, Rivai (2013,
hal. 6) mengatakan bahwa laba merupakan tujuan dari pemberian kredit yang
terjelma dalam bentuk bunga yang diterima.
Adapun menurut Firdaus & Ariyanti (2009, hal. 50) menyatakan bahwa
walaupun laba bank tidak sepenuhnya ditentukan oleh perolehan bunga kredit,
namun kualitas kredit akan sangat menentukan pendapatan bank yang pada
gilirannya akan berpengaruh terhadap laba bank. Apabila penyaluran kredit oleh
bank tinggi dan risiko kredit macet rendah maka kemungkinan bank memperoleh
laba yang tinggi.
Studi empiris ini didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh:
1. Puspawati, Cipta, & Yulianthini (2016) melakukan penelitian mengenai
pengaruh dana pihak ketiga dan jumlah penyaluran kredit terhadap laba. Jenis
data yang digunakan adalah data kuantitatif. Objeknya adalah PT. Bank
Perkreditan Rakyat Bali tahun 2012-2014. Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa penyaluran kredit mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap
laba.
2. Mahardika, Cipta, & Yudiaatmaja (2014) melakukan penelitian mengenai
pengaruh kredit bermasalah dan penyaluran kredit terhadap laba pada Lembaga
Perkreditan Desa (LPD). Pada desain penelitiannya menggunakan kuantitatif
kausal. Hasil pengujian hipotesis yang dilakukannya yaitu bahwa penyaluran
kredit berpengaruh positif dan signifikan terhadap laba pada Lembaga
Perkreditan Desa (LPD). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa semakin
tinggi kredit yang disalurkan, semakin besar laba yang diperoleh.
II-11
3. Magdalena (2008) mengenai pengaruh jumlah kredit yang disalurkan terhadap
laba pada PT. Bank Rakyat Indonesia. Metode penelitian yang digunakan
adalah analisis deskriptif dan analisis regresi linier sederhana. Hasil analisis
menunjukkan bahwa kredit yang disalurkan mempunyai pengaruh yang positif
dan signifikan terhadap laba yang diperoleh PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk
Unit Sumber Nongko-Medan.
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H1 : Terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara penyaluran kredit
dengan laba bersih PT. Bank Danamon Indonesia Tbk periode 2007-2015.
II.1.6 Hubungan Kredit Bermasalah (NPL) dan Laba Bersih
Kredit merupakan sumber pendapatan terbesar bagi bank, kinerja bank
yang baik ditandai dengan lancarnya penyaluran kredit kepada masyarakat. Tetapi
tingginya penyaluran kredit yang dilakukan akan memberikan risiko yang tinggi
pula bagi bank yaitu terjadinya kredit bermasalah dan NPL menjadi tinggi.
Apabila debitur tidak dapat membayar kembali pinjaman kredit sesuai dengan
perjanjian yang telah disepakati maka akan menimbulkan suatu risiko kredit yaitu
kredit bermasalah atau Non Performing Loan (NPL). Apabila rasio NPL yang
dimiliki oleh bank tinggi maka akan berpengaruh terhadap nilai aset bank dan
kemampuan bank dalam menghasilkan laba.
Adanya kredit bermasalah (NPL) akan mengakibatkan menurunnya
pendapatan bunga bank serta menurunnya pengembalian pokok kredit yang pada
gilirannya bank akan menderita kerugian dan bukan tidak mungkin pada akhirnya
akan mengalami kebangkrutan. Seandainya kredit dikelola dengan baik sehingga
kredit bermasalah jumlahnya sedikit sekali, maka penerimaan pendapatan bank
yang berasal dari bunga akan meningkat dan bank tersebut akan tumbuh dengan
baik. Seperti yang dikatakan oleh (Kasmir, 2014, hal. 148) bahwa pemberian
suatu fasilitas kredit mengandung suatu risiko kemacetan. Akibatnya kredit tidak
dapat ditagih sehingga menimbulkan kerugian yang harus ditanggung oleh bank
dan mengakibatkan laba perusahaan menurun. Kredit bermasalah atau risiko
kredit menggambarkan suatu situasi dimana persetujuan pengembalian kredit
II-12
mengalami risiko kegagalan, bahkan menunjukkan kepada bank akan memperoleh
rugi dan mengurangi laba pada bank Rivai (2013, hal. 397)
Studi empiris ini didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh:
1. Antara, Bagia, & Cipta, (2014) mengenai pengaruh tabungan dan kredit
bermasalah terhadap laba pada Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di
Kecamatan Kubu. Desain penelitian yang digunakan yaitu desain kuantitatif
kausal. Berdasarkan hasil perhitungan uji statistik dengan menggunakan
program SPSS kredit bermasalah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
LPD. Temuan hasil penelitiannya berarti kredit bermasalah berperan secara
langsung dalam upaya membentuk laba LPD di Kecamatan Kubu dengan nilai
hubungan pengaruh parsial sebesar 26,3% terhadap laba dan besar sumbangan
pengaruh terhadap laba sebesar 6,90%.
2. Antara, Bagia, & Cipta (2014) melakukan penelitian mengenai pengaruh
tabungan dan kredit bermasalah terhadap laba pada Lembaga Perkreditan Desa.
Jenis data yang digunakan adalah data kuantitatif. Temuan hasil penelitiannya
menyatakan bahwa ada pengaruh negatif dan signifikan antara NPL dan laba.
3. Mahardika, Cipta, & Yudiaatmaja (2014) melakukan penelitian mengenai
pengaruh kredit bermasalah dan penyaluran kredit terhadap laba pada Lembaga
Perkreditan Desa (LPD). Pada desain penelitiannya menggunakan kuantitatif
kausal. Hasil pengujian hipotesis yang dilakukannya yaitu bahwa kredit
bermasalah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap laba pada Lembaga
Perkreditan Desa. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa rendahnya kredit
bermasalah akan menyebabkan laba meningkat.
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai
berikut:
H2 : Terdapat pengaruh yang negatif dan signifikan antara Non Performing Loan
dengan laba bersih PT. Bank Danamon Indonesia Tbk periode 2007-2015.
II-13
II.1.7 Hubungan Tingkat Inflasi dan Laba Bersih
Bagi perusahaan sebuah inflasi menyebabkan naiknya biaya produksi
maupun operasional, sehingga pada akhirnya akan merugikan bank itu sendiri.
Menurut Irwadi (2014), inflasi cenderung meyebabkan menurunnya tingkat
tabungan dan atau investasi karena meningkatnya konsumsi masyarakat dan
hanya sedikit untuk tabungan jangka panjang. Hal ini akan menyebabkan jumlah
dana yang ada di bank menjadi sedikit dan menurunnya jumlah kredit yang
disalurkan. Jadi dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi inflasi akan
menyebabkan daya beli masyarakat menurun. Apabila daya beli masyarakat
menurun maka akan menyebabkan menurunnya tingkat tabungan atau investasi
masyarakat. Menurunnya jumlah kredit yang disalurkan tersebut akibat dari
kebijakan pemerintah yang menaikkan BI rate. Melalui BI Rate setidaknya nilai
inflasi akan menurun. Sukirno (2004, hal. 349) mengatakan bahwa untuk
mengatasi masalah inflasi, tindakan yang perlu dijalankan Bank Sentral adalah
mengurangi penawaran uang dan menaikkan suku bunga. Kenaikan bunga kredit
tersebut akan menghambat pertumbuhan kredit itu sendiri. Mengingat kredit
merupakan sumber pendapatan terbesar bagi bank, maka pertumbuhan laba
menjadi menurun.
Menurut Boyd dan Champ (dalam Tan & Floros, 2012) mengatakan
bahwa tingkat inflasi yang lebih tinggi dapat menurunkan tingkat pengembalian
atas nilai riil, sehingga akan menimbulkan risiko kredit pada bank. Namun dengan
rendahnya inflasi akan merendahkan tingkat pengembalian kredit oleh para
pengusaha, sehingga risiko kredit semakin rendah. Dengan kata lain, apabila
tingkat inflasi tinggi maka dapat mengakibatkan menurunnya tingkat
pengembalian atas pinjaman atau kredit dari nasabah sehingga dapat
menimbulkan kredit bermasalah (NPL) bagi bank serta dapat mempengaruhi
jumlah laba bersih yang diperoleh.
Studi empiris ini didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh:
1. Dwijayanthy & Naomi (2009) melakukan penelitian yang bertujuan untuk
menganalisis pengaruh inflasi, BI Rate, dan nilai tukar mata uang terhadap
II-14
profitabilitas bank periode 2003-2007. Teknik analisis data yang digunakan
adalah regresi berganda, dengan populasi bank yang terdaftar dalam LQ-45.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif antara
inflasi dan nilai tukar mata uang terhadap profitabilitas bank sedangkan BI
Rate tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap profitabilitas bank.
2. Kurniasih (2012) melakukan penelitian salah satu variabel independen yang
diteliti yaitu variabel tingkat inflasi dan menggunakan profitabilitas sebagai
variabel dependen. Populasi dalam penelitiannya adalah Bank Umum Syariah
dan Bank Umum Konvensional. Dengan menggunakan metode purposive
sampling. Hasil temuan penelitian yang dilakukan Erni Kurniasih (2012)
menunjukkan bahwa tingkat inflasi berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap profitabilitas.
3. Fitriana (2015) melakukan penelitian mengenai pengaruh inflasi dan Bank
Indonesia Rate terhadap Profitabilitas PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk.
Pendekatan penelitiannya menggunakan pendekatan kuantitatif, sedangkan
jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian asosiatif yaitu penelitian
yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dua variabel atau lebih.
Metode yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah metode sampel
purposif. Berdasarkan hasil pengujian secara parsial bahwa inflasi tidak
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap ROA dan BI rate tidak
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap ROA. Namun, berdasarkan
hasil pengujian secara simultan bahwa inflasi dan BI rate menunjukkan adanya
pengaruh yang signifikan terhadap ROA.
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut
H3 : Terdapat pengaruh yang negatif dan signifikan antara penyaluran kredit
dengan laba bersih PT. Bank Danamon Indonesia Tbk periode 2007-2015.
II.1.8 Hubungan Penyaluran Kredit, Non Performing Loan (NPL), Tingkat
Inflasi dan Laba Bersih
Apabila inflasi cenderung mengalami kenaikan secara terus-menerus maka
pemerintah mengambil kebijakan dengan menaikkan BI Rate. Melalui BI Rate
II-15
setidaknya nilai inflasi akan menurun. Sukirno (2004, hal. 349) mengatakan
bahwa untuk mengatasi masalah inflasi, tindakan yang perlu dijalankan Bank
Sentral adalah mengurangi penawaran uang dan menaikkan suku bunga. Suku
bunga memberikan dampak langsung kepada nasabah dan bank itu sendiri.
Apabila suku bunga kredit meningkat masyarakat cenderung tidak akan
meminjam uang di bank sehingga pertumbuhan kredit menjadi menurun dan
secara otomatis laba bersih yang diperoleh oleh bank pun akan menurun karena
mengingat bahwa pendapatan terbesar perbankan yaitu dari sektor perkreditan.
Sedangkan apabila bank menaikkan suku bunga simpanan maka akan memacu
keinginan masyarakat untuk menyimpan dananya di bank. Dengan kondisi ini
maka akan meningkatkan biaya dana bank, dengan memberikan bunga yang
tinggi kepada masyarakat.
Selain itu, dengan semakin meningkatnya suku bunga kredit juga akan
berdampak terhadap kredit macet. Suku bunga kredit yang tinggi akan
mengakibatkan nasabah sulit untuk membayar pinjamannya baik pokok maupun
bunganya sehingga akan menimbulkan kredit macet dan meningkatkan rasio NPL
(Non Performing Loan). Dengan meningkatnya rasio NPL tersebut maka akan
berpengaruh terhadap nilai aset bank dan kemampuan bank dalam menghasilkan
laba.
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H4 : Terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara penyaluran kredit,
Non Performing Loan (NPL), dan tingkat inflasi dengan laba bersih PT.
Bank Danamon Indonesia Tbk periode 2007-2015.
II.2 Kerangka Pemikiran
Sebagai lembaga intermediasi, bank mempunyai kegiatan utama yaitu
menghimpun dana dan menyalurkan kembali dana tersebut kepada masyarakat
dalam bentuk kredit. Melalui penyaluran kredit diharapkan dapat membantu
masyarakat dalam hal permodalan usaha ataupun untuk pribadi. Selain itu, bank
juga mendapat keuntungan dari kredit yang disalurkan berupa bunga kredit.
Kredit yang disalurkan oleh bank merupakan bagian terbesar dari asset yang
II-16
dimiliki oleh bank yang bersangkutan. Oleh karena itu perkreditan merupakan
kegiatan utama bank, sehingga sumber pendapatan terbesar bagi bank berasal dari
penerimaan bunga kredit. Besarnya jumlah kredit yang akan disalurkan akan
menentukan besarnya laba (Kasmir, 2005, hal.71). Semakin tinggi penyaluran
kredit maka semakin tinggi pula laba yang diperoleh bank. Selain itu, Rivai (2013,
hal. 6) mengatakan bahwa laba merupakan tujuan dari pemberian kredit yang
terjelma dalam bentuk bunga yang diterima.
Dengan kata lain, apabila penyaluran kredit kepada masyarakat naik,
maka laba yang diperoleh oleh bank pun akan naik. Menurut Harnanto (2003, hal.
344) mendefinisikan bahwa laba adalah selisih dari pendapatan diatas biaya-
biayanya dalam jangka waktu periode tertentu. Namun pada penelitian ini penulis
menggunakan laba bersih. Laba bersih merupakan laba dari bisnis perusahaan
yang sedang berjalan setelah bunga dan pajak (Wild, Subramanyan & Halsey
dalam Wowor & Mangantar, 2014). Sedangkan menurut Soemarso (dalam
Wowor & Mangantar, 2014) menjelaskan bahwa laba bersih (net income)
merupakan selisih lebih semua pendapatan dan keuntungan terhadap semua biaya-
biaya kerugian. Akan tetapi tingginya penyaluran kredit yang dilakukan akan
memberikan risiko yang tinggi pula bagi bank yaitu terjadinya risiko kredit.
Risiko ini akan muncul apabila nasabah atau debitur mengalami kegagalan atau
ketidak mampuan dalam hal mengembalikan pinjaman yang telah diterima dari
bank beserta bunganya. Dengan adanya kegagalan membayar tersebut maka akan
mengakibatkan kredit bermasalah (NPL). Adanya kredit bermasalah (NPL) akan
mengakibatkan menurunnya pendapatan bunga bank serta akan berakibat pula
terhadap menurunnya laba bersih bank. Semakin besar kredit bermasalah yang
dimiliki oleh bank maka semakin kecil pula kemampuan bank untuk memperoleh
laba. Seperti yang dikatakan oleh Seperti yang dikatakan oleh Kasmir (2014, hal.
148) bahwa pemberian suatu fasilitas kredit mengandung risiko kemacetan.
Akibatnya kredit tidak dapat ditagih sehingga menimbulkan kerugian yang harus
ditanggung oleh bank dan mengakibatkan laba perusahaan menurun.
II-17
Selain itu variabel makro ekonomi juga ikut mempengaruhi naik turunnya
laba bersih bank yang ditentukan oleh tingkat inflasi. Inflasi merupakan
kecenderungan kenaikan harga yang bersifat umum dan secara terus-menerus.
Dengan meningkatnya inflasi, pemerintah mengambil kebijakan dengan
menaikkan BI Rate. Kenaikan BI Rate ini akan mengakibatkan kenaikan suku
bunga pinjaman maupun simpanan. Sebagaimana yang disebutkan dalam teori
bahwa:
“Untuk mengatasi masalah inflasi, tindakan yang perlu dijalankan Bank
Sentral adalah mengurangi penawaran uang dan menaikkan suku bunga”. Sukirno
(2004, hal. 349).
Apabila bank menaikkan suku bunga simpanan maka akan memacu
keinginan masyarakat untuk menyimpan dananya di bank. Dengan kondisi ini
maka akan meningkatkan biaya dana bank, dengan memberikan bunga yang
tinggi kepada masyarakat. Sedangkan apabila bank menaikkan suku bunga
pinjaman akan berdampak dengan terhambatnya penyaluran kredit oleh bank
karena masyarakat lebih tertarik kepada bank yang mempunyai tingkat suku
bunga kredit yang rendah sehingga akan menghambat pula dengan pendapatan
atau laba yang diperoleh bank karena mengingat bahwa pendapatan terbesar bank
yaitu kredit.
Selain itu, Menurut Boyd dan Champ (dalam Tan & Floros, 2012)
mengatakan bahwa tingkat inflasi yang lebih tinggi dapat menurunkan tingkat
pengembalian atas nilai riil, sehingga akan menimbulkan risiko kredit pada bank.
Namun dengan rendahnya inflasi akan merendahkan tingkat pengembalian kredit
oleh para pengusaha, sehingga risiko kredit semakin rendah. Dengan kata lain,
apabila tingkat inflasi tinggi maka dapat mengakibatkan menurunnya tingkat
pengembalian atas pinjaman atau kredit dari nasabah sehingga dapat
menimbulkan kredit bermasalah (NPL) bagi bank serta dapat mempengaruhi
jumlah laba bersih yang diperoleh.
II-18
Berdasarkan uraian di atas, untuk kerangka pemikiran dapat digambarkan
sebagai berikut:
Gambar II.3 Kerangka Pemikiran
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, menunjukkan bahwa total
penyaluran kredit, Non Performing Loan (NPL), dan tingkat infasi merupakan
faktor yang mempengaruhi laba bersih.
II.2.1 Penelitian Terdahulu
Penelitian penyaluran kredit, Non Performing Loan (NPL), dan tingkat
inflasi relatif sudah ada. Namun demikian, secara khusus dengan variabel yang
relatif banyak, yang berasal dari eksternal dan internal PT. Bank Danamon
Indonesia Tbk secara sekaligus belum ada. Maka pada kesempatan ini disajikan
penelitian-penelitian sebelumnya yang sudah ada, yang mudah-mudahan dapat
dijadikan pembanding atau menjadi dasar landasan teori ataupun metode dalam
penelitian ini. Adapun penelitian-penelitian yang sudah ada tersebut, diantaranya
sebagaimana terlihat pada tabel berikut:
Non Performing
Loan (NPL)
Penyaluran Kredit
Tingkat Inflasi
Laba Bersih
II-19
Tabel II.1 Penelitian Terdahulu
No Peneliti Judul Penelitian Metodologi Penelitian
Hasil dan Kesimpulan
1 Maulan Irwadi (2014)
Pengaruh Inflasi dan bi rate terhadap laba
perbankan
Metode yang digunakan adalah analisis deskriptif. Independen: Inflasi
dan BI Rate Dependen: Laba
perbankan
Berdasarkan hasil nilai t hitung untuk inflasi adalah sebesar 0,102
dengan nilai signifikansi sebesar 0,920. Apabila dibandingkan dengan
tingkat kesalahan sebesar 5 persen, maka tingkat
signifikansi inflasi lebih besar. Sehingga H01
diterima dan Ha1 ditolak. Dari hasil uji t dapat
disimpulkan bahwa inflasi tidak berpengaruh signifikan dalam memprediksi laba
perbankan. 2 Berliana
Magdalena (2008)
Pengaruh jumlah kredit yang
disalurkan terhadap laba PT. Bank
Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Unit
Sumber Nongo Medan
Metode yang digunakan adalah analisis deskriptif
dan analisis regresi linier sederhana.
Independen: Jumlah kredit yang disalurkan
Dependen: Laba
Hasil analisis mengatakan bahwa kredit yang
disalurkan mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap laba yang diperoleh PT. Bank
Rakyat Indonesia (Persero), Tbk Unit
Sumber Nongko – Medan.
3 I Made Agus Mahardika,
Wayan Cipta, dan
Fridayana Yudiaatmaja
(2014)
Pengaruh kredit bermasalah dan
penyaluran kredit terhadap laba pada
Lembaga Perkreditan Desa
(LPD)
Jenis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data kuantitatif.
Data dikumpulkan dengan pencatatan
dokumen serta dianalisi dengan menggunakan analisis jalur.
Independen: Kredit bermasalah dan
penyaluran kredit Dependen: Laba
Hasil penelitian menunjukkan (1) ada
pengaruh signifikan dari kredit bermasalah dan
penyaluran kredit terhadap laba, (2) ada pengaruh negatif dan signifikan dari kredit bermasalah terhadap
penyaluran kredit, (3) ada pengaruh negatif dan signifikan dari kredit
bermasalah terhadap laba, dan (4) ada pengaruh
positif dan signifikan dari penyaluran kredit
terhadap laba.
II-20
No Peneliti Judul Penelitian Metodologi Penelitian
Hasil dan Kesimpulan
4 Yong Tan Christos Floros
Bank profitability
and inflation: the
case of China
Metode yang digunakan adalah
generalized
methods of momont
(GMM) dengan total sampel 101
bank
Hasil empiris menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara
profitabilitas bank, efisiensi biaya,
pembangunan sektor perbankan,
pengembangan pasar saham dan inflasi di Cina.
5 Michela Cordazzo
(2013)
The impact of IFRS on net income and
equity: evidence
from italian listed
companies
Perbedaan total dan individual antara GAAP Italia dan
IFRS diidentifikasi dan diukur dalam rekonsiliasi dari laba bersih dan
ekuitas perusahaan yang terdaftar di
Bursa Italiana
Hasil menunjukkan bahwa dampak dari total laba bersih lebih relevan
dari ekuitas.
6
Menik Nila Fitriana (2015)
Pengaruh inflasi dan Bank Indonesia Rate
terhadap Profitabilitas PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk.
Metode penelitian yang digunakan
adalah pendekatan kuantitatif,
sedangkan jenis penelitian yang
digunakan adalah penelitian asosiatif. Independen: inflasi
dan BI Rate Dependen:
Profitabilitas
Berdasarkan hasil uji regresi linier secara parsial inflasi tidak
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap ROA BMI, sedangkan BI
Rate memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap ROA. Jika pengujian secara serentak
inflasi dan BI Rate berpengaruh signifikan terhadap profitabilitas.
7 Muhammad Rafi Maulana
(2015)
Analisis pengaruh inflasi, nilai tukar, capital adequacy
ratio (CAR), biaya operasional, dan
pendapatan operasional terhadap
profitabilitas pada perbankan syariah periode 2010-2014
Metode analisis data yang
digunakan adalah model regresi
berganda. Independen: Inflasi, nilai tukar, capital
adequacy ratio
(CAR), biaya operasional, dan
pendapatan operasional Dependen:
Profitabilitas
Berdasarkan hasil uji regresi linier secara
parsial ditemukan hasil yang menyatakan bahwa
variabel inflasi tidak berpengaruh terhadap
ROA dan memiliki pengaruh positif,
sedangkan hasil regresi linier secara simultan menyatakan bahwa
terdapat pengaruh yang signifikan pada variabel
independen. Sumber: diolah oleh penulis
II-21
II.2.2 Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan penelitian oleh
karena itu rumusan masalah penelitian biasanya disusun dalam bentuk kalimat
pernyataan. Sedangkan menurut Ari Kunto (2006) hipotesis merupakan suatu
jawaban sementara terhadap permasalahan penelitian sampai terbukti melalui data
yang terkumpul. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
hipotesis penelitian dapat diartikan sebagai jawaban sementara yang harus diuji
dan dibuktikan kebenarannya, maka hipotesis penelitian ini adalah sebagai
berikut:
H1 : Terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara penyaluran kredit
dengan laba bersih PT. Bank Danamon Indonesia Tbk periode 2007-2015.
H2 : Terdapat pengaruh yang negatif dan signifikan antara Non Performing Loan
dengan laba bersih PT. Bank Danamon Indonesia Tbk periode 2007-2015.
H3 : Terdapat pengaruh yang negatif dan signifikan antara penyaluran kredit
dengan laba bersih PT. Bank Danamon Indonesia Tbk periode 2007-2015.
H4 : Terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara penyaluran kredit,
Non Performing Loan (NPL), dan tingkat inflasi dengan laba bersih PT.
Bank Danamon Indonesia Tbk periode 2007-2015.