Post on 15-Feb-2016
description
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Tujuan Percobaan
1. Menjelaskan pengaruh variabel terhadap produk fraksionasi biomassa
2. Menghitung neraca massa pada sistem fraksionasi biomassa
3. Menghitung yield sistem fraksionasi biomassa
4. Menghitung persentase recovery lignin
5. Bekerjasama dalam tim secara profesional
1.2 Pengenalan Biomassa
Biomassa merupakan limbah dan residu pertanian, kehutanan yang dapat
didegradasi secara biologis dari produk. Biomassa dalam industri merupakan
produksi energi yang merujuk pada bahan biologis yang hidup atau baru mati yang
dapat digunakan sebagai sumber bahan bakar . Energi biomassa menjadi penting bila
dibandingkan dengan energi terbarukan karena proses konversi menjadi energi listrik
memiliki investasi yang lebih murah bila di bandingkan dengan jenis sumber energi
terbarukan lainnya. Hal inilah yang menjadi kelebihan biomassa dibandingkan
dengan energi lainnya (Apriyanti,2012).
Biomassa dapat digunakan secara langsung maupun tidak langsung. Contoh
penggunaan biomassa secara langsung yaitu menggunakan kayu sebagai kayu bakar,
sedang penggunaan biomassa secara tidak langsung yaitu penggunaan kertas dalam
kehidupan sehari-hari. Kayu terlebih dahulu diproses untuk menjadi kertas. Didalam
biomassa terdiri dari beberapa komponen penyusun, yaitu selulosa, hemiselulosa dan
lignin.Oleh karena itu biomassa sering disebut sebagai bahan berlignoselulosa.
1.3 Rumput Perimping
Rumput Perimping adalah tanaman yang termasuk ke dalam kelompok
tanaman rumput-rumputan. Umumnya rumput Perimping yang digunakan di
Indonesia adalah rumput yang tumbuh secara liar. Namun untuk peternakan yang
relatif besar maka rumput yang digunakan adalah rumput yang sengaja ditanaman
atau dipelihara secara khusus. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pakan
ternak seperti sapi, kambing dan kuda. Rumput rumputan dipilih karena merupakan
tanaman yang produktifitasnya tinggi dan memiliki sifat yang dapat memperbaiki
kondisi tanah (Gonggo et al., 2005).
Gambar 1.1 Rumput Perimping (www.flickr.com)
Pada saat ini biomassa telah menjadi perhatian utama dalam pengembangan
energi terbarukan. Fokus utama yang menjadi pertimbangan dalam memilih biomassa
adalah bahan tersebut mudah diperbaharui dan energi yang dapat diperoleh. Selain
menggunakan bahan yang merupakan limbah dari industri lain energi terbarukan
dapat berasal dari tanaman yang ditanam sebagai sumber energi (sumber karbon)
(Strezos et al., 2008). Salah satu tanaman yang mempunyai potensi dijadikan sumber
biomassa pada energi terbarukan adalah rumput Perimping (Pennisetum Purpureum
Schum). Menurut Okaraonye dan Ikewuchi (2009) analisis kandungan kimia dari
rumput Perimping ada pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1 Analisa Kandungan Kimia Rumput Perimping
Parameter Berat Basah Berat KeringKandungan air 89,0 -Jumlah abu 2,00 18,18Protein Kasar 2,97 27,00Leamk Kasar 1,63 14,82Jumlah Total Karbohidrat 3,40 30,91Serat Kasar 1,00 9,09(Sumber : Okaraonye dan Ikewuchi, 2009)
1.3 Kimiawi Lignoselulosa
1.3.1 Selulosa
Selulosa membentuk komponen pokok dinding sel dan membentuk mikrofibril. Struktur kimia selulosa terdiri dari unsur C, O, dan H
yang membentuk rumus molekul (C6H10O5)n. Karena selulosa merupakan homopolisakarida linier tidak bercabang, terdiri dari 10.000 atau lebih unit D-glukosa yang terhubung oleh ikatan 1 – 4 glikosida, senyawa ini akan kelihatan seperti amilosa dari rantai utama glikogen. Tetapi terdapat perbedaan yang sangat penting pada selulosa, ikatan 1 – 4 berada dalam konfigurasi β , sedangkan pada amilosa, amilopektin, dan glikogen, ikatan 1- 4 nya berbentuk α.
Gambar 1.2 Struktur Selulosa (Muladi, 2013)
Selulosa dapat larut dalam asam pekat (seperti asam sulfat 72%) yang
mengakibatkan terjadinya pemecahan rantai selulosa secara hidrolisis. Pemecahan
rantai selulosa ini dapat terhalang oleh lignin dan hemiselulosa yang ada di sekitar
selulosa. Namun laju hidrolisis selulosa akan meningkat seiring kenaikan temperatur
dan tekanan (Fengel dan Wegener, 1985). Selulosa secara alami diikat oleh
hemiselulosa dan dilindungi oleh lignin. Adanya ikatan eter senyawa pengikat lignin
ini menyebabkan bahan-bahan lignoselulosa sulit untuk dihidrolisa.
Selulosa digunakan secara luas dalam industri tekstil, deterjen, pulp dan
kertas. Selulosa juga digunakan dalam pengolahan kopi dan kadang-kadang
digunakan dalam industri farmasi sebagai zat untuk membantu sistem pencernaan.
Selulosa juga dimanfaatkan dalam proses fermentasi dari biomassa menjadi biofuel,
seperti bioetanol. Saat ini, enzim selulosa juga digunakan sebagai pengganti bahan
kimia pada proses pembuatan alkohol dari bahan yang mengandung selulosa.
1.3.2 Hemiselulosa
Hemiselulosa adalah bagian dari kelompok polisakarida yang memiliki rantai
pendek dan bercabang. Pada tumbuhan, hemiselulosa berfungsi sebagai bahan
pendukung dinding sel. Hemiselulosa juga merupakan senyawa polimer yang terdapat
pada biomassa. Pada berbagai jenis tanaman, jumlah dan jenis monomer penyusun
hemiselulosa berbeda-beda.
Hemiselulosa merupakan polimer amorf yang berasosiasi dengan selulosa dan
lignin. Sifatnya mudah mengalami depolimerisasi, hidrolisis oleh asam, basa, mudah
larut air. Memiliki ikatan dengan lignin lebih kuat dari pada ikatan dengan selulosa
dan mudah mengikat air. Kadar hemiselulosa berbeda pada jenis kayu daun jarum dan
kayu daun lebar (Achmadi, 1990).
Hemiselulosa merupakan polimer karbohidrat amorf yang berasosiasi dengan
selulosa dan lignin. Fraksi hemielulosa pada kayu terdiri dari kumpulan polimer
polisakarida dengan derajat polimerisasi sekitar 100-200. Dalam pembuatan kertas
terutama pada waktu penggilingan bubur kayu, peran hemiselulosa sangat penting
karena sifat gelatinnya memudahkan terbentuknya sifat hidrofilik pulp sehingga
memudahkan terjadinya ikatan antar serat (Stephenson, 1951).
Gambar 1.3 Struktur Monomer Pembentuk Hemiselulosa (Isroi, 2008)
Perbedaan Hemiselulosa dengan Selulosa yaitu hemiselulosa mudah larut dalam alkali tapi sukar larut dalam asam, sedangkan selulosa adalah sebaliknya. Hemiselulosa bukan merupakan serat-serat panjang seperti selulosa. Hasil hidrolisis selulosa akan menghasilkan D-glukosa, sedangkan hasil hidrolisis hemiselulosa menghasilkan D-xilosis dan monosakarida. Kandungan hemiselulosa yang tinggi memberikan kontribusi pada ikatan antara serat, karena hemiselulosa bertindak sebagai perekat dalam setiap serat tunggal.1.3.3Lignin
Lignin merupakan senyawa kompleks yang tersusun dari unit fenilpropana
yang terikat di dalam struktur tiga dimensi dan merupakan material yang paling kuat
di dalam biomassa. Lignin mengandung karbon yang relatif tinggi sehingga resisten
terhadap degradasi. Oleh karena itu, lignin harus dipecah agar hemiselulosa dan
selulosa dapat dihidrolisis.
Unit-unit pembentuk lignin terdiri dari p-koumaril alkohol, koniferil alkohol,
dan sinapil alkohol yang merupakan senyawa induk pembentuk makromolekul lignin
dan terikat satu sama lain baik dengan ikatan ester maupun dengan ikatan karbon
seperti yang ditampilkan dalam Gambar 1.3.
Gambar 1.4 Struktur Lignin (Brunow et al.,1995)
Distribusi lignin di dalam dinding sel dan kandungan lignin bagian pohon
yang berbeda tidak sama. Contohnya yaitu kandungan lignin yang tinggi adalah khas
untuk bagian batang yang paling rendah, paling tinggi dan paling dalam untuk cabang
kayu lunak, kulit, dan kayu tekan. Umumnya pada penggunaan kayu, lignin
digunakan sebagai bagian integral kayu. Dalam pembuatan pulp dan pengelantangan,
lignin dilepaskan dari kayu dalam bentuk terdegradasi dan berubah, serta merupakan
sumber karbon lebih dari 35 juta ton tiap tahun di seluruh dunia yang sangat potensial
untuk keperluan kimia dan energi (Fengel dan Wegener, 1995).
Secara fisis lignin berwujud amorf (tidak berbentuk),berwarna kuning cerah
dengan bobot jenis berkisar antara 1,3 – 1,4 bergantungpada sumber ligninnya dan
indeks refraksi sebesar 1,6. Lignin bersifat tidak larut dalam air, larutan asam dan
larutan hidrokarbon. Dikarenakan lignin tidak larut dalam asam sulfat 72%, maka
sifat ini sering digunakan untuk uji kuantitatif lignin. Lignin tidak dapat mencair,
tetapi akan melunak dan kemudian menjadi hangus bila dipanaskan. Lignin yang
diperdagangkan larut dalam alkali encer dan dalam beberapa senyawa organik.
Lignin berbentuk non-kristal, mempunyai daya absorpsi yang kuat dan di
alam bersifat thermoplastic, sangat stabil, sulit dipisahkan dan mempunyai bentuk
yang bermacam-macam sehingga struktur lignin pada tanaman bermacam-macam.
Lignin pada tanaman dapat dibagi menjadi 3 tipe:
1. Lignin dari kayu lunak (Gymnospermae).
2. Lignin dari kayu keras (Angiospermae dycotyle).
3. Lignin dari rumput-rumputan, bambu, dan palmae (Angiospermae
monocotyle).
Kadar kandungan lignin pada tumbuhan sangat bervariasi. Pada spesies kayu
kandungan lignin berkisar antara 20-40%. Apabila dipanaskan dengan Ca-bisulfit
dalam NaOH dengan suatu tekanan tinggi, maka lignin ini akan larut dan tertinggal
hanya selulosanya saja. Lignin menyebabkan pulp berwarna gelap. Pada proses
pembuatan pulp, kadar lignin harus rendah. Apabila kadar lignin pada tanaman tinggi,
maka zat pemutih yang ditambahkan pada proses bleaching akan cukup banyak. Pulp
akan mempunyai sifat fisik yang baik apabila mengandung sedikit lignin. Hal ini
dikarenakan lignin bersifat menolak air dan kaku, sehingga menyulitkan dalam proses
penggilingan. Kadar lignin pulp pada bahan baku kayu 20-35%, sedangkan pada
bahan baku non kayu kadarnya lebih kecil lagi.
Pada industri pulp dan kertas, lignin dipisahkan dari selulosa untuk
menghasilkan pulp. Lignin memberikan pengaruh yang kurang baik terhadap pulp,
yaitu warna maupun sifat fisik pulp, lamanya waktu penggilingan pulp berbanding
terbalik dengan jumlah lignin yang dikandung oleh pulp. Apabila pulp mengandung
kadar lignin tinggi akan sukar digiling dan menghasilkan lembaran dengan kekuatan
rendah (Rahmawati, 1999).
Pada proses pembuatan pulp akan terjadi delignifikasi (penyisihan lignin).
Reaksi ini terjadi dengan cara mengubah polimer lignin menjadi monomer-monomer
penyusunannya dan melarutkannya ke dalam larutan pemasak, Selain terjadi reaksi
pemutusan polimer, dalam pembuatan pulp juga terjadi reaksi repolimerisasi lignin
yang telah larut.
1.4 Fraksionasi Biomassa
Fraksionasi biomassa adalah pemisahan biomassa menjadi penyusun-
penyusun utamanya, yaitu selulosa, hemiselulosa dan lignin tanpa banyak merusak
atau mengubah ketiga komponen tersebut menjadi senyawa lain. Selanjutnya hasil
pemisahan dapat diolah dengan berbagai proses menjadi senyawa yang dapat
dipasarkan. Proses fraksionasi biomassa dilakukan berdasarkan perbedaan sifat kimia
dan sifat fisika dari komponen pembentuk biomassa.
Fraksionasi dengan menggunakan pelarut organik banyak dikembangkan
karena lebih ramah lingkungan dan pelarutnya mudah di recovery serta cocok untuk
proses pilot scale. Pelarut yang telah banyak digunakan adalah alkohol, ester, amina,
fenol, keton dan asam-asam organik. Penggunaan pelarut asam asetat lebih ramah
lingkungan. Pada proses fraksionasi biomassa dengan pelarut organik, proses
penyisihan lignin (delignifikasi) dan proses hidrolisis polisakarida (terutama pada
hemisellulosa) bisa terjadi secara serempak dalam suatu tahap proses.
Gambar 1.5 Pohon Industri Fraksionasi Biomassa (Tanskanen, 2007)
Glikol
Furfural
Hidroksimetil Furfural
Dehidrasi
Hidrogenolisis
Hidrogenasi
Fermentasi
Gula Hemiselulosa
Hemiselulosa
Silitol
Pirolisis atau Hidrogenolisis
Oksidasi
Sulfonasi Dispersan
Fenol
Vanilin
Fenol
Bahan Bakar
Polimer
Bahan Peledak
Film
Serat
Bahan Kimia selulosa
Kertas
Etanol
Aseton
Gliserol
Ragi Torula
Sorbitol
Selulosa
Lignin
Biomassa (lignoselulosa)
1.5 Proses Organosolv
Proses organosolv merupakan proses fraksionasi yang menggunakan pelarut
organik. Pelarut organik yang sering digunakan adalah asam formiat [Jahan dkk.,
2005, Zhang dkk., 2008]. Proses Organosolv Pulping adalah proses pemisahan serat
dengan menggunakan bahan kimia organik seperti misalnya methanol, etanol, aseton,
asam asetat, asam formiat, dan lain-lain. Proses ini telah terbukti memberikan
dampak yang baik bagi lingkungan. Dengan menggunakan proses ini diharapkan
permasalahan lingkungan yang dihadapi oleh industri pulp dan kertas dapat diatasi.
Hal ini disebabkan karena Proses Organosolv memiliki beberapa keuntungan di
antaranya yaitu, yield pulp yang dihasilkan tinggi, daur ulang black liquor dapat
dilakukan dengan mudah dan tidak menggunakan unsur sulfur, sehingga lebih aman
terhadap lingkungan, dan dapat menghasilkan by-product (hasil samping) berupa
lignin dan hemiselulosa dengan tingkat kemurnian yang tinggi.
Organosolv ekstraksi diakui sebagai metode alternatif yang efektif untuk
delignifikasi. Sebagai proses yang murah dan mudah tersedia pelarut organik, asam
formiat menunjukkan potensi sebagai agen kimia untuk fraksionasi biomassa. Selama
terjadi proses pembentukan pulp dengan pelarut asam formiat, lignin larut ke dalam
black liquor, sementara hemiselulosa terdegradasi menjadi monosakarida dan
oligosakarida, meninggalkan padatan selulosa dalam residu. Ketika air ditambahkan
ke cairan, lignin mengendap dan memisahkan dari cairan hitam. Setelah
menghasilkan pulp, asam formiat dapat di-recycle dengan proses distilasi untuk
digunakan kembali. Dalam sebuah proses organosolv, penghilangan lignin dari
matriks padat dapat dicapai dengan menggantikan senyawa sulfur oleh pelarut
organik. Senyawa organik ini menghasilkan delignifikasi dari bahan baku yang lebih
baik dari pada proses kraft. Dengan kata lain, organosolv proses dapat dirancang
sebagai metode fraksionasi lebih dari metode pulping. Artinya, proses fraksionasi ini
dapat dioperasikan pada hampir semua bahan baku untuk menghasilkan komponen
utama dari jaringan tumbuhan (selulosa, hemiselulosa dan lignin) dalam bentuk yang
lebih baik.
A. Proses Acetosolv
Penggunaan asam asetat sebagai pelarut organik disebut dengan proses
acetosolv. Asam asetat merupakan salah satu asam karboksilat paling sederhana,
setelah asam format. Larutan asam asetat dalam air merupakan sebuah asam lemah,
artinya hanya terdisosiasi sebagian menjadi ion H+ dan CH3COO-. Asam asetat
merupakan pereaksi kimia dan bahan baku industri yang penting. Konsentrasi asam
asetat yang digunakan berkisar antara 50%- 95% dengan ataupun tanpa katalis.
Kelebihan utama asam asetat sebagai pelarut organik dalam proses organosolv
adalah proses pemasakan dapat dilangsungkan pada suhu dan tekanan rendah maupun
tinggi, harganya murah, serta dapat diselenggarakan dengan ataupun tanpa bantuan
katalis [Sarkanen 1990, Shukry et al. 1991, Parajo et al. 1993]. Media asam asetat
dengan ataupun tanpa katalis dapat memisahkan dengan selektif selulosa,
hemiselulosa dan lignin dari berbagai biomasaa, baik kayu maupun non-kayu [Shukry
et al. 1991, Vazquez et al. 1995, Zulfansyah et al. 2002, Sahin dan Young 2008].
Beberapa faktor yang mempengaruhi kualitas pulp pada proses acetosolv adalah
konsentrasi asam asetat, jenis dan konsentrasi katalis, suhu, nisbah cairan terhadap
padatan dan waktu pemasakan.
B. Ester Pulping
Kayu dimasak pada suhu tinggi (sampai dengan 200 oC) dengan pelarut
berupa air, ethyl acetate, dan asam asetat dengan komposisi yang sama. Ester pulping
ini dianggap memiliki keunggulan dalam recovery bahan kimianya. Tetapi sampai
saat ini proses ester pulping ini belum dikernbangkan lebih lanjut.
C. Proses Milox
Proses milox merupakan proses pemasakan tiga tahap yang terdiri dari
pemasakan dengan asam formiat - asam performiat - asam formiat. Proses ini
menghasilkan pulp dengan bilangan kappa sangat rendah, yaitu 7 - 11 yang
memungkinkan proses pemutihan pulp hanya dengan proksida dan atau ozon.
D. Proses Formacell
Proses formacell merupakan proses pulp yang dihasilkan oleh campuran asam
formiat dan air dengan suhu tertentu. Asam formiat merupakan salah satu pelarut
organik yang sering digunakan sebagai larutan pemasak dalam pembuatan pulp.
Fraksionasi dengan asam formiat dapat dilakukan dengan konsentrasi 60-90%, dan
suhu 80-120oC, tekanan 1-1,7 atm. Pada temperatur 80oC asam formiat kurang reaktif
terhadap lignin dan hidrolisis hemiselulosa, sedangkan pada temperatur 107-110oC
asam formiat sangat reaktif terhadap lignin sehingga proses delignifikasi berjalan
dengan cepat, akan tetapi hidrolisis terhadap polisakarida juga terjadi terutama
terhadap hemiselulosa dan selulosa.
Proses pembuatan pulp secara formacell memiliki keunggulan yaitu rendemen
pulp tinggi, pendauran lindi hitam dapat dilakukan dengan mudah, juga diperoleh
hasil samping (by product) berupa lignin dan furfural dengan kemurnian yang relatif
tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Ari D. I. A., Helwani Z., Zulfansyah, Rionaldo H., Hidrolisis hemiselulosa batang jagung dengan proses organosolv menggunakan pelarut asam formiat, Universitas Riau, Pekanbaru.
Beguin, P. and Aubert, J. P. 1994. The biological degradation of cellulose. FEMS Microbiology Reviews, 13, 25-58.
Fengel, D dan Wegener, G. 1985. Kayu: Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-Reaksi, Translated from the English by H. Sastrohamidjojo. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Friska, J, Indrawati, R. 2005. Pembuatan Pulp dari Bahan Baku Non Kayu Dengn Proses Organosolv, Universitas Riau, Pekanbaru.
Gonggo, B. M., Hermawan, B., and Anggraeni, D. (2005). Pengaruh jenis tanaman penutup dan pengolakan tanah terhadap sifat fisika tanah pada lahan alangalang (44-45). Jurnal ilmu-ilmu pertanian Indonesia. 7.
Handoko T, Suhandjaja G, Mulyana H. 2012. Hidrolisis serat selulosa dalam buah bintaro sebagai sumber bahan baku .Jurnal teknik Kimia Indonesia, 11:26-33.
Hu, G. 2008. Feedstock Pretreatment Strategies for Producing Ethanol from Wood, Bark, And Forest Residu. Bioresources 3(1): 270-294.
Muladi, Sipon.(2013). Diktat Kuliah Teknologi Kimia Kayu Lanjutan.Universitas Mulawarman, Samarinda.
Okaraonye, C. C., and Ikewuchi, J. C. (2009). Nutritional and antinutritional components of Pennisetum purpureum Schumach. Pakistan journal of nutritional 8(1): 32-34.
Pamilia C, Novalina S, Putri IK. 2010. Pengaruh konsentrasi larutan etanol, temperature dan waktu pemasakan pada pembuatan pulp eceng gondok melalui proses organosolv. Universitas Sriwijaya, Palembang.
Parajo, J. C., J. L. Alonzo, D. Vazquez. (1993) “On The Behavior of Lignin and Hemicellulose During Acetosolv Processing.” Bioresource Technology 46: 233-240.
Sahin, H.T and R.A Young, (2008) “Auto-catalyzed acetic acid pulping of jute”, Industrial Crops and Products 28, 1: 24-28
Sarkanen, K. S. (1990) “Chemistry of Solvent Pulping.” Tappi Journal, 215 – 219.Shukry, N., S. A. El-Meadawy, M. A. Nassar. (1992) “Pulping with Organic Acid: 3
Acetic Acid Pulping of Bagasse.” J. Chem. Tech. Biotech 54: 125 – 143 Stephenson, J. 1951. Pulp and Paper Manufacture; Preparation of stack for making
paper. Mc Grow Hill Book Companny, Inc. NewYork.Tanskanen, J., 2007, Paper, Bioenergy and Green Chemicals from Nonwood
Residues by A Novel Biorefinery, PEGRES Project, University of Oulu.Vazquez, G., G. Antorrena, J. Gonzales. (1995) “Acetosolv Pulping of Eucalyptus
globulus Wood by Acetic Acid.” Holzforschung 49: 69 – 75.
Zhang, M., Qi, W., Liu, R., Su, R., Wu, S., dan He, Z., 2008, Fractionating lignocellulose by formic acid: Characterization of major components. Article biomass and bioenergy 34 (2010) 525 –532. China.
Zulfansyah, S. Z. Amraini, Fauzi. (2002) “Fraksionasi Limbah Kayu dalam Media Asam Asetat.” Jurnal Natur Indonesia 4, no.2: 145 – 155.