Post on 13-Jan-2017
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BURNOUT PADA KARYAWAN DITINJAU DARI PERSEPSI BUDAYA
ORGANISASI DAN MOTIVASI INTRINSIK DI
PT. KRAKATAU STEEL
SKRIPSI
Dalam rangka penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat
guna memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata I Psikologi
Oleh :
Nikki Rasuna Katarini
G 0106070
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BURNOUT PADA KARYAWAN DITINJAU DARI PERSEPSI BUDAYA
ORGANISASI DAN MOTIVASI INTRINSIK DI
PT. KRAKATAU STEEL
INTISARI
Dalam rangka penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat
guna memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Pendidikan Strata I Psikologi
Oleh :
Nikki Rasuna Katarini
G 0106070
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user x
DAFTAR ISI
Halaman Judul …………………………………………………………………………………………………………… i
Halaman Persetujuan …………………………………………………………………………………………….…. ii
Halaman Pengesahan …………………………………………………………………………………………….…. iii
Halaman Motto ………………………………………………………………………………………………………… iv
Halaman Penghargaan ………….…………………………………………………………….………….…. v
Kata Pengantar ………………………………………………………………..…………………………………….…. vi
Intisari ..…………………………………………………………………………..…………………………………….…. viii
Abstract …………………………………………………………………………..………………………………….….…. ix
Daftar Isi .....…………………………………………………………………………………………………………….… x
Daftar Gambar …………………………………………………………………………………………………………. xiv
Daftar Tabel ……………………………………………………………………………………………..……………… xv
Daftar Lampiran ……………………………………………………………………………………..……………… xvii
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah ………………………………………………………………………….. 1
B. Rumusan Masalah ………………………………………………………………………………….…. 7
C. Tujuan Penelitian ……………………………………………………………………………………... 8
D. Manfaat Penelitian …………………………………………………………………………………... 8
BAB II Landasan Teori
A. Burnout Pada Karyawan
1. Pengertian Burnout …………………………………………………………………………….... 10
2. Aspek-aspek Burnout …………………………………………………………………………… 13
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xi
3. Penanganan Burnout ………………………………………………………..……………….… 20
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Burnout ……………………………….……… 22
B. Persepsi Budaya Organisasi
1. Pengertian Persepsi Budaya Organisasi ………….…...…………………………... 25
a. Pengertian Persepsi …………………….…………………………………………..…… 25
b. Pengertian Budaya Organisasi ……………………………………………………. 27
c. Pengertian Persepsi Budaya Organisasi …………………………….……….. 32
2. Aspek-aspek Persepsi Budaya Organisasi ………………………………………….. 33
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Persepsi Budaya Organisasi …..… 39
C. Motivasi Intrinsik
1. Pengertian Motivasi Intrinsik …………………………………………………….….….… 41
2. Aspek-aspek Motivasi Intrinsik ……………………………………………………….…. 43
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Motivasi Intrinsik …………….………… 47
D. Hubungan antara Persepsi Budaya Organisasi dan Motivasi Intrinsik
dengan Burnout Pada Karyawan ……………………………………………………………. 48
E. Hubungan antara Persepsi Budaya Organisasi dan Burnout pada
Karyawan …………………………………………………………………………………………………. 51
F. Hubungan antara Motivasi Intrinsik dan Burnout pada Karyawan ……… 53
G. Kerangka Berpikir …………………………………………………………………………………… 55
H. Hipotesis …………………………………………………………………………………………………… 56
BAB III Metode Penelitian
A. Identifikasi Variabel Penelitian …………………………………………………….……….... 57
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xii
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Burnout pada Karyawan ……………………………………………………….…………….…. 57
2. Persepsi Budaya Organisasi ............…………………………………………………..… 58
3. Motivasi Intrinsik ……………………………………………………….…….………….……... 59
C. Populasi, Sampel, dan Sampling
1. Populasi ..................…………………………………………………………….…………………… 59
2. Sampel ........................…………………………………………………………………………….. 60
3. Teknik Sampling …………………………………………………………….…………..…………. 61
D. Teknik Pengumpulan Data
1. Sumber Data .....................……………………………………………………………………….. 62
2. Metode Pengumpulan Data ...................…………………………………………..…… 63
E. Metode Analisis Data
1. Validitas Instrumen Penelitian .......……………………………………………………….. 70
2. Reliabilitas Instrumen Penelitian …………………………………………………….……. 71
3. Uji Hipotesis .......…………………………………………………………….………………………. 72
BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan
A. Persiapan Penelitian
1. Orientasi Kancah Penelitian .....…………………………………………………………….. 75
2. Persiapan Penelitian ……………..................…………………………………………..…… 77
B. Pelaksanaan Penelitian
1. Penentuan Subjek Penelitian .....……………..………………………………………….. 84
2. Pengumpulan Data untuk Uji Coba …...…………………………………………..…… 84
3. Uji Validitas dan Reliablitas …………………….……………………..……………….… 85
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user xiii
4. Pengumpulan Data ………………………..……………………………….……… 92
5. Pelaksanaan Skoring …………………………………………………………………….……… 93
C. Hasil Analisis Data Penelitian
1. Uji Asumsi …………………………….....……………..………………………………………….. 94
2. Uji Hipotesis ………………………………………...…………………………………………..…… 98
3. Mean Empirik (ME) dan Mean Hipotetik (MH) …………..……………….… 100
4. Sumbangan Relatif dan Sumbangan Efektif ………….………………….……… 104
D. Pembahasan ……………………….……………………………………………………………………... 104
BAB V Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan ……….…………………………..……………………………………………..………….. 109
B. Saran ……………………………………………………………………………………………………….…. 110
Daftar Pustaka ………………………………………………………………….……………………………..………… 112
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan bidang industri saat ini selalu mengalami kemajuan, hal ini
menyebabkan semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh
perusahaan dan tuntutan pekerjaan pun semakin meningkat. Dunia perusahaan
sebagai sebuah organisasi harus mampu mencapai tujuan yang direncanakan
untuk dapat memenuhi tuntutan pembangunan dan kemajuan teknologi pada masa
sekarang. Persoalan yang muncul pada dunia organisasi selalu berkaitan dengan
diri individu dalam menghadapi tuntutan organisasi yang semakin tinggi dan
persaingan yang keras di tempat kerja karyawan itu adalah stres.
Stres yang berlebihan akan berakibat buruk terhadap kemampuan individu
untuk berhubungan dengan lingkungannya secara normal. Stres yang dialami
individu dalam jangka waktu yang lama dengan intensitas yang cukup tinggi akan
mengakibatkan individu yang bersangkutan menderita kelelahan, baik fisik
ataupun mental. Keadaan seperti ini biasa disebut dengan burnout. Burnout adalah
istilah yang pertama kali dikemukakan oleh Freudenberger pada tahun 1974, yang
merupakan representasi dari sindrom psychological stress yang menunjukkan
respon negatif sebagai hasil dari tekanan pekerjaan (Maslach, 1993).
Maslach dan Jackson (1993), memandang burnout sebagai suatu sindrom
psikologis yang terdiri dari tiga dimensi, yaitu, emotional exhaustion,
depersonalization, dan reduced personal accomplishment. Pada dasarnya burnout
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
dapat terjadi pada semua orang, baik pada karyawan human service setting dan
non human service setting. Hal tersebut terjadi karena setiap manusia tentu
mengalami tekanan-tekanan yang diperoleh dalam kehidupan, khususnya dalam
menjalani pekerjaan. Penelitian-penelitian awal mengenai burnout yang kemudian
dijadikan dasar bagi pengembangan teori-teori burnout sebagian besar dilakukan
di lapangan pekerjaan yang melibatkan banyak orang seperti rumah sakit,
perusahaan, dan sekolah. Menurut Garden (1990), konsep burnout muncul untuk
pekerjaan yang berhubungan dengan banyak orang ini, disebabkan karena
kerangka penelitian burnout selama ini hanya terbatas pada human service
settiing.
Burnout merupakan gejala yang lebih banyak ditemukan dalam bidang
pekerjaan pelayanan sosial dibandingkan dengan pekerjaan lainnya (Sarafino,
1998). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Faustino, dkk (2009),
memberitahukan bahwa tingkat burnout yang tinggi lebih banyak dialami oleh
pekerja sosial dan perawat, biasanya di dalam satu dimensi terdapat 30,4%
dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, 33,7% oleh kurangnya kontak realitas pribadi
perawat, dan 35,9% oleh keinginan untuk pencapaian pribadi masing-masing
perawat. Konsep yang mendasari penelitian tentang burnout merujuk pada teori
keperilakuan khususnya perilaku organisasi yang dikembangkan pertama kali oleh
Chris Argyris pada tahun 1952. Penelitian yang dilakukan oleh Pattrick (2008),
mengatakan bahwa kepuasan kerja, stres kerja, kemampuan dalam mengatasi
ketegangan dan mudah beradaptasi inilah yang berperan dalam mempengaruhi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
burnout pada karyawan. Faktor-faktor ini adalah kontributor tertinggi stres pada
pekerjaan.
Ghozali (2006) mengemukakan, penelitian yang telah dilakukan oleh
Almer & Kaplan (2002) menemukan indikasi bahwa role stressor berpengaruh
terhadap kondisi burnout dan job outcomes. Selanjutnya Ghozali (2006) juga
menambahkan, mengenai penelitian Fogarty, dkk, (2000), variabel burnout
diletakkan dalam suatu model sebagai mediasi dari pengaruh role stressor
terhadap job outcomes. Model mediasi tersebut dikenal dengan istilah konstruk
burnout. Penelitian Fogarty, dkk, (2000) membuktikan bahwa variabel burnout
mampu memisahkan aspek fungsional (eusstress) dan disfungsional (distress) dari
role stressor terhadap job outcomes sehingga melalui kedua aspek role stressor
dan burnout, dapat dilakukan tindakan perbaikan. Kaitannya dengan stres,
burnout bukanlah role stressor, karena burnout muncul sebagai akibat kumulatif
dari stressor secara terus-menerus dalam jangka panjang yang dialami oleh
individu dalam berbagai tingkatan dan kombinasi. Dampak dari tekanan tersebut
adalah munculnya situasi yang tidak menguntungkan (distress dan disfungsional).
Burnout tidak akan dialami oleh individu jika role stressor berpengaruh positif
dan fungsional (eusstres) terhadap job outcomes.
La Fellete (Imelda, 2004) mengatakan bahwa lingkungan kerja psikologis
tidak nampak tetapi nyata, ada, dan akan dirasakan oleh seseorang bila memasuki
lingkungan kerja suatu organisasi. Untuk mengetahui keadaan tersebut dapat
diketahui melalui persepsi individu terhadap lingkungan kerja psikologisnya.
Menurut Jackson, dkk (As’ad dan Soetjipto, 2000) burnout terjadi karena adanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang dialami di tempat kerja.
Kesenjangan dan harapan yang dimaksud adalah harapan tentang prestasi yang
dicapai dan unjuk kerja yang dimilikinya. Kesenjangan lainnya terjadi bila
organisasi tempat bekerja tidak sesuai dengan harapan atau tata nilai pribadinya.
Kondisi lingkungan fisik ataupun psikis karyawan tidak terlepas dari pengaruh
budaya organisasinya.
Budaya organisasi yang disfungsional dan tidak efektif akan menimbulkan
dampak negatif bagi anggotanya dan memungkinkan terjadinya burnout. Setiap
karyawan memiliki persepsi yang berbeda-beda terhadap budaya organisasi.
Gerungan, (1996), Verderber mengatakan persepsi adalah proses menafsirkan
informasi indrawi. Persepsi ini merupakan inti komunikasi, jika persepsi
karyawan terhadap budaya organisasi ini tidak akurat, maka kita tidak dapat
berkomunikasi secara efektif. Persepsi ini yang menentukan kita dalam memilih
dan mengabaikan suatu pesan yang lain.
Menurut As’ad (2003), proses persepsi yang dilakukan oleh setiap
karyawan terhadap budaya organisasi ini dimulai dari penerimaan, pengartian dan
pemberian reaksi. Susanto (1997) memberikan definisi budaya organisasi sebagai
nilai-nilai yang menjadi pedoman sumber daya manusia untuk menghadapi
permasalahan eksternal dan usaha penyesuaian integrasi ke dalam perusahaan
sehingga masing-masing anggota organisasi harus memahami nilai-nilai yang ada
dan bagaimana mereka harus bertindak atau berperilaku. Djokosantoso (2003)
menyatakan bahwa budaya korporat atau budaya manajemen atau juga dikenal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
dengan istilah budaya kerja merupakan nilai-nilai dominan yang disebarluaskan di
dalam organisasi dan diacu sebagai filosofi kerja karyawan.
Persepsi terhadap budaya organisasi merupakan pengertian masing-masing
karyawan terhadap nilai dan pedoman yang diperuntukkan seluruh anggota
sebagai filosofi organisasi. Seseorang akan mempersepsikan sesuatu hal sesuai
dengan dorongan yang dimiliki dan apa yang mendasari perilakunya agar dapat
memenuhi kebutuhannya, untuk itu dapat dikatakan bahwa dalam diri seseorang
ada kekuatan yang mengarah kepada tindakannya. Mengingat kebutuhan setiap
karyawan berbeda-beda dengan yang lain tentunya cara untuk memperolehnya
akan berbeda pula. Kebutuhan seseorang akan terpenuhi jika ia berperilaku sesuai
dengan dorongan yang dimiliki dan apa yang mendasari perilakunya, untuk itu
dapat dikatakan bahwa dalam diri seseorang ada kekuatan yang mengarah kepada
tindakannya. Kehidupan sehari-hari seorang karyawan akan selalu dihadapkan
pada berbagai macam tantangan dan termotivasi untuk menguasainya.
Berdasarkan hasil penelitiannya, Herpen, dkk. (2002), mengungkapkan
motivasi seseorang berasal dari interen dan eksteren. Herpen, dkk (2002) juga
menjelaskan beberapa pendapat dari Gacther, Falk (2000); Kinman, Russel
(2001), yang mengatakan bahwa, motivasi intrinsik dan ekstrinsik merupakan hal
yang mempengaruhi tugas seseorang. Perilaku yang konkret atau nyata yang
sebenarnya, kebanyakan adalah kombinasi dari dua unsur tersebut. Motivasi
intrinsik merupakan kebutuhan seseorang untuk berkompetensi dan menentukan
sendiri dalam kaitannya dengan lingkungannya (Walgito, 2004). Motivasi
intrinsik memiliki tujuan untuk mengunkapkan perasaan internal mengenai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
kompetensi dan self determinasi. Motivasi intrinsik ini lebih berperan dalam
penyelesaian sesuatu hal karena ini merupakan motivator yang sangat kuat dari
perilaku manusia dan dapat digunakan untuk membuat seseorang lebih produktif.
Berdasarkan data di atas masalah burnout karyawan merupakan masalah
yang selalu terjadi di setiap organisasi, sehingga peneliti tertarik untuk meneliti
burnout karyawan, khususnya di PT. Krakatau Steel. PT. Krakatau Steel
merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang secara langsung
bergerak di bidang industri, khususnya industri baja di Provinsi Banten. PT.
Krakatau Steel memiliki empat bagian direktorat diantaranya adalah direktorat
pengembangan sumber daya manusia, direktorat keuangan, direktorat produksi,
dan direktorat logistik. Berdasarkan interview yang telah dilakukan, direktorat
logistik memiliki kecenderungan tingkat burnout yang tinggi dibandingkan
dengan direktorat lainnya. Direktorat logistik ini menangani penyediaan dan
memantau seluruh pengeluaran serta masuknya barang-barang produksi
perusahaan. Sehingga seluruh direktorat akan selalu berhubungan dengan
direktorat logistik ini.
PT. Krakatau Steel ini mempunyai budaya perusahaan yang berisi
kepercayaan, prinsip-prinsip, nilai-nilai yang menjadi dasar dan referensi sistem
manajemen perusahaan serta perilaku karyawan dalam bekerja, diyakini mampu
untuk mendorong percepatan ke arah perubahan yang lebih baik. Penetapan
budaya organisasi ini dilakukan untuk penyatuan visi dan misi organisasi hingga
tercapainya perusahaan baja yang terkemuka di dunia. Seiring berjalannya waktu,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
budaya organisasi yang ditetapkan oleh perusahaan, ternyata dapat menimbulkan
berbagai persepsi yang berbeda di setiap karyawan.
Berdasarkan hasil observasi yang telah peneliti lakukan, terdapat
ketimpangan antara budaya organisasi tertulis dengan kejadian yang ada di
lapangan, seperti perilaku karyawan yang melakukan kerjasama dengan klien
belum sesuai dengan prosedur penjualan hanya untuk mencapai target penjualan
dan perubahan yang lebih baik. Kesadaran setiap masing-masing karyawan untuk
menyamakan persepsi budaya organisasi ini, merupakan motivasi intrinsik
karyawan untuk mencermikan dari nilai-nilai yang terkandung didalam organisasi
tersebut. Jika, persamaan persepsi budaya organisasi dan motivasi intrinsik setiap
karyawan telah dicapai, maka tingkat burnout pada karyawan dapat dikurangi
secara berkesinambungan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa ada
kemungkinan hubungan antara persepsi terhadap budaya organisasi dan motivasi
intrinsik dengan burnout karyawan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul “Burnout Pada Karyawan ditinjau dari
Persepsi Budaya Organisasi dan Motivasi Intrinsik di PT. Krakatau Steel”.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas maka yang menjadi permasalahan dalam
penelitian ini adalah:
1. Apakah terdapat hubungan persepsi budaya organisasi dan motivasi
intrinsik dengan burnout pada karyawan ?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
2. Apakah terdapat hubungan persepsi budaya organisasi dengan burnout
pada karyawan ?
3. Apakah terdapat hubungan motivasi intrinsik dengan burnout pada
karyawan ?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui hubungan antara persepsi budaya organisasi dan motivasi
intrinsik dengan burnout pada karyawan.
2. Mengetahui hubungan antara persepsi budaya organisasi dengan burnout
pada karyawan.
3. Mengetahui hubungan antara motivasi intrinsik dengan burnout pada
karyawan.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik manfaat
teoritis maupun manfaat praktis sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
a) Sebagai bahan untuk melakukan kajian dan diskusi mengenai
burnout pada karyawan dalam kaitannya dengan persepsi terhadap
budaya organisasi dan motivasi intrinsik.
b) Menjadi wacana bagi kalangan akademisi atau mahasiswa yang
akan melakukan penelitian terhadap tema yang sama dan dengan
variabel yang lebih kompleks lagi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
c) Penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi pemikiran dan
referensi guna menunjang ilmu psikologi pada umumnya serta ilmu
psikologi yang khususnya di bidang psikologi industri dan
organisasi.
2. Manfaat Praktis
a) Karyawan
Bila penelitian ini terbukti maka dapat diterapkan untuk
pencegahaan terhadap burnout karyawan dengan meningkatkan
motivasi intrinsik dan mengembangkan persepsi budaya organisasi
yang sesuai.
b) Perusahaan
Sebagai informasi tentang hal-hal yang mempengaruhi burnout
pada karyawan, sehingga dapat menentukan langkah antisipasi
terhadap hal-hal yang tidak diinginkan.
c) Peneliti lain
Dapat dijadikan sebagai wacana atau referensi dalam melakukan
penelitian selanjutnya, dengan variabel yang sama atau dengan
variabel yang lainnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Burnout pada Karyawan
1. Pengertian Burnout
Burnout merupakan fenomena baru di dalam bidang psikologi.
Pemahaman tentang konsep ini sebenarnya telah ada kurang lebih 35 tahun lalu,
tetapi baru pada tahun 1974 permasalahan burnout menjadi bahan kajian para ahli
psikologi. Burnout adalah istilah yang pertama kali dikemukakan oleh
Freudenberger di tahun 1974, yang merupakan representasi dari sindrom
psychological stress yang menunjukkan respon negatif sebagai hasil dari tekanan
pekerjaan (Cordes & Dougherty, 1993). Maslach (1993), menjelaskan mengenai
definisi burnout secara operasional. “Burnout is a syndrome of emotional
exhaustion, depersonalization, and reduced personal accomplishment that occur
among individuals who do people work of some kind”, yang artinya berdasarkan
batasan ini maka dapat ditentukan kapan seseorang telah mengalami burnout,
caranya adalah dengan meneliti gejala-gejala kekeringan emosional, adanya
depersonalisasi dan penurunan rasa keberhasilan dalam melakukan tugas sehari-
hari.
Burnout dikenal secara luas dalam dunia kerja dan secara khusus nampak
pada helping professions (Cox, 1993). Burnout merupakan suatu keadaan
penderitaan psikologis yang mungkin dialami oleh seorang pekerja yang
berpengalaman setelah bekerja untuk suatu periode waktu tertentu. Merriam-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
Webster (Cicilia, 2002), mendefinisikan burnout sebagai kehilangan kekuatan
fisik atau emosional dan motivasi yang biasanya sebagai akibat dari stres
berkepanjangan atau frustrasi, peran konflik atau ambiguitas, upah yang rendah
dan kurangnya sistem penghargaan yang sehari-hari tegangan yang cenderung
asah karyawan di dunia, mengakibatkan depresi dan keluar dari kerangka
pikirannya.
Istilah burnout juga diartikan sebagai suatu keadaan keletihan (exhaustion)
fisik, emosional, dan mental yang menganggu dirinya. Ciri yang muncul adalah
psysikal depletion (habisnya energi fisik) dengan perasaan tidak berdaya dan
putus harapan, keringnya perasaan, konsep dirinya yang negatif dan sikap negatif
terhadap kerja dan orang lain (Prawasti, 1991). Caputo (1991) mengungkapkan,
burnout merupakan situasi yang tak henti-hentinya dialami oleh karyawan dalam
memenuhi keinginannya mencapai tujuan dengan sumber daya yang mencukupi
dan menghasilkan transformasi dalam berkomitmen, kebosanan, dan kelelahan
fisik.
Burnout yang dialami secara terus-menerus dan tidak dapat diatasi akan
mengakibatkan dampak bagi diri sendiri dan organisasi. Hal ini dapat dilihat dari
segi fisiologis, tingkah laku, dan psikologis setiap individu yang mengalami.
Dalam Prawasti (1991), Miller dan Elllis (1990) mengungkapkan karyawan yang
mengalami burnout memiliki tingkat kepuasan dan komitmen yang rendah.
Kalliath dan Morris (2002) juga mengatakan bahwa burnout yang terus-menerus
akan menyebabkan penurunan kepuasan kerja dan berdampak pada kesehatan
fisik karyawan itu sendiri (Prawasti, 1991). Lee dan Ashforth (1996),
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
mengungkapkan bahwa kelelahan emosi dan depersonalization mempunyai
hubungan yang kuat dengan tekanan dan burnout pada karyawan (Andarika,
2004). Hal ini dapat dilihat dari penelitiannya yang menunjukkan bahwa
kelelahan emosi dan depersonalization juga berpengaruh terhadap komitmen
terhadap organisasi sebanyak 61%.
Cordes dan Dougherty (1993) mendeskripsikan burnout sebagai gabungan
dari tiga tendensi psikis, yaitu kelelahan emosional (emotional exhaustion),
penurunan prestasi kerja (reduced personal accomplishment) dan sikap tidak
peduli terhadap karir dan diri sendiri (depersonalization). Bernardin (Rosyid,
1996) menggambarkan burnout sebagai suatu keadaan yang mencerminkan reaksi
emosional pada individu yang bekerja pada bidang kemanusiaan (human service),
atau bekerja erat dengan masyarakat. Menurut Kreitner dan Kinicki (1992),
burnout adalah akibat dari stres yang berkepanjangan dan terjadi ketika seseorang
mulai mempertanyakan nilai-nilai pribadinya. Burnout juga merupakan istilah
populer untuk kondisi penurunan energi mental atau fisik setelah periode stres
kronik yang tidak sembuh-sembuh berkaitan dengan pekerjaan, terkadang
dicirikan dengan pekerjaan atau dengan penyakit fisik (Potter & Perry, 2005).
Pengertian-pengertian tentang burnout yang telah dikemukakan oleh
beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa burnout adalah keadaan yang
mencerminkan reaksi emosional yang tengah dirasakannya, dimana dapat
ditandai dengan kelelahan fisik, mental, dan emosional, serta rendahnya
penghargaan terhadap diri sendiri. Definisi mengenai burnout ini, sebagai suatu
proses yang digunakan untuk menunjukkan kondisi mal-adjustment dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
menghadapi stres kerja yang dialami oleh individu pekerja dalam bidang human
service setting dan non human service setting. Jadi disini ditekankan pada
terjadinya suatu perubahan motivasi, hilangnya semangat yang dialami karyawan
berkaitan dengan kekecewaan yang berlebih yang dialami dalam situasi kerja.
2. Aspek-Aspek Burnout
Maslach dan Jackson (1993) telah melakukan penelitian selama bertahun-
tahun terhadap burnout pada bidang pekerjaan yang berorientasi melayani orang
lain, hingga menemukannya tanda-tanda burnout yang terdiri dari tiga bagian
yaitu :
a. Emotional exhaustion adalah suatu dimensi dari kondisi burnout yang
berwujud perasaan dan energi terdalam sebagai hasil dari excessive
psychoemotional demands yang ditandai dengan hilangnya perasaan dan
perhatian, kepercayaan, minat dan semangat (Ray & Miller, 1994). Orang
yang mengalami emotional exhaustion ini akan merasa hidupnya kosong,
lelah dan tidak dapat lagi mengatasi tuntutan pekerjaannya.
b. Depersonalization merupakan tendensi kemanusiaan terhadap sesama
yang merupakan pengembangan sikap sinis mengenai karir dan kinerja diri
sendiri (Cordes & Dougherty, 1993). Orang yang mengalami
depersonalisasi merasa tidak ada satupun aktivitas yang dilakukannya
bernilai atau berharga. Sikap ini ditunjukkan melalui perilaku yang acuh,
bersikap sinis, tidak berperasaan dan tidak memperhatikan kepentingan
orang lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
c. Reduced personal accomplishment merupakan atribut dari tidak adanya
aktualisasi diri, rendahnya motivasi kerja dan penurunan rasa percaya diri.
Seringkali kondisi ini mengacu pada kecenderungan individu untuk
mengevaluasi diri secara negatif sehubungan dengan prestasi yang
dicapainya (Cordes & Dougherty, 1993). Ini adalah bagian dari
pengembangan depersonalisasi, sikap negatif maupun pandangan terhadap
klien lama-kelamaan menimbulkan perasaan bersalah pada diri pemberi
pelayanan. Individu tidak akan merasa puas dengan hasil karyanya sendiri,
merasa tidak pernah melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi diri sendiri,
maupun orang lain. Perasaan ini akan berkembang menjadi penilaian
terhadap diri sendiri dalam pemenuhan tanggung jawabnya yang berkaitan
dengan pekerjaannya (Maslach, 1993; Jackson dan Leither 1996).
Menurut Ryan (Maslach, 1996), aspek lain adalah perkembangan negatif,
sikap sinis dan perasaan tentang seorang klien. Reaksi negatif yang ditujukan pada
klien dapat dihubungkan dengan pengalaman kelelahan emosional. Kelelahan
emosional ini misalnya perasaan tertekan, kecemasan, dan konflik yang terjadi
secara sadar ataupun tak sadar. Disinilah, mekanisme pertahanan diri seseorang
dapat berperan sebagai pelindung dari kelelahan emosional melalui
pemutarbalikkan kenyataan (Dwiputri, 2007). Cherniss (1990), mengatakan
bahwa burnout dipengarui oleh lingkungan pekerjaannya, seperti gaya
kepemimpinan atasan. Cherniss (1990) mengungkapkan adanya dinamika dalam
burnout yang dibagi menjadi tiga tahapan, diantaranya adalah sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
a. Stres, merupakan persepsi mengenai ketidakseimbangan antara sumber-
sumber individu dan tuntutan yang ditujukan pada individu yang
bersangkutan. Tuntutan ini dapat berasal dari diri sendiri ataupun
lingkungan.
b. Strain, merupakan respon emosional langsung dari adanya kesenjangan
antara tuntutan dan sumber daya yang dimiliki, ditandaisi strain dengan
perasaan cemas, tegang dan lelah.
c. Coping, merupakan respon dari strain dimana individu berusaha
melakukan sesuatu untuk mengatasi strain. Jika situasi tersebut tidak dapat
ditangani dengan menggunakan coping masalah secara aktif, individu akan
melakukan pertahanan intrapsikis dan mengalami perubahan sikap serta
perilaku, seperti kecenderungan menjauhkan diri ataupun bersikap sinis.
STRES STRAIN COPING
Gambar 1. Proses Burnout (kaitan stress, strain, dan coping)
(Sumber : Staff Burnout: Job Stress in Human Service, Cherniss, 1990)
Burnout sebagai suatu tipe respon terhadap stres, merupakan hasil dari
usaha coping yang tidak efektif, yaitu dengan adanya penghindaran, penolakan,
Tuntutan
Sumber-sumber Individu
Didasarkan pada derajat ancaman jika tuntutan tidak terpenuhi
Pemecahan masalah efektif
Pertahanan intrapsikis (burnout)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
menjaga jarak psikologis dari keterlibatannya dengan pekerjaan, menurunnya
tujuan dan menyalahkan situasi atau orang lain. Cherniss (1990), menekankan
pada adanya sikap menjauhkan diri secara psikologis dari tuntutan peran profesi
sebagai symptom dari burnout, karena dengan sikap demikian, tidak
menghiraukan lagi klien atau pasien dan bersikap masa bodoh terhadap pihak
yang seharusnya dibantu. Individu akan dapat menghindari terjadinya
penambahan beban stres yang dialaminya. Semua ini merupakan usaha defensif
dari penolong, sehingga Cherniss (1990), menyatakan bahwa bisa saja individu
penolong tidak mengalami “penderitaan” namun relasi yang tercipta antar
penolong-ditolong yang terganggu.
Burnout berdampak bagi individu, orang lain, dan organisasi (Maslach,
1993). Dampak burnout, pada individu terlihat dari adanya gangguan fisik
maupun psikologis. Dampak burnout yang dialami individu juga dirasakan oleh
orang lain. Selain itu, burnout juga berdampak pada efektivitas dan efisiensi kerja
dalam organisasi. Ketika mereka mengalami burnout, Freudenberger dan
Richelson (1990) mengidentifikasikannya sebagai berikut :
a. Kelelahan yang merupakan proses kehilangan energi disertai keletihan.
Keadaan ini merupakan gejala utama burnout. Individu tersebut akan sulit
menerima, karena mereka merasa bahwa selama ini tidak pernah lelah,
walaupun aktifitas yang dijalani sangat padat.
b. Lari dari kenyataan, ini adalah alat yang digunakan individu untuk
menangkal penderitaan yang dialami. Pada saat individu tersebut merasa
kecewa dengan kenyataan yang tidak sesuai harapannya, mereka menjadi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
tidak peduli terhadap permasalahan yang ada, agar dapat mengindari
kekecewaan yang lebih parah, seperti misalnya sebagai karyawan tidak
melakukan tanggung jawab atas pekerjaannya karena tidak senang dengan
kepimpinan atasannya.
c. Kebosanan dan sinisme, ketika individu tersebut mengalami kekecewaan,
sulit bagi mereka untuk tertarik lagi pada kegiatan yang mereka tekuni.
Mereka mulai mempertanyakan makna kegiatan, mulai merasa bosan, dan
berpandangan sinis terhadap kegiatan tersebut.
d. Tidak sabar dan mudah tersinggung, hal ini terjadi karena selama individu
mampu melakukan segalanya dengan cepat dan ketika itu pula mengalami
kelelahan untuk menyelesaikannya dengan cepat.
e. Merasa hanya dirinya yang dapat menyelesaikan semua permasalahan.
Disini, individu tersebut mempunyai satu keyakinan bahwa hanya dirinya
yang dapat melakukan sesuatu dengan baik.
f. Merasa tidak dihargai, usaha yang semakin keras namun tidak disertai
dengan kemampuan yang cukup sehingga hasil yang diperoleh tidak
memuaskan dan timbul perasaan tidak berharga dan dihargai oleh orang
lain.
g. Mengalami disorientasi, individu merasa dirinya terpisah dari
lingkungannya, karena tidak mengerti bagaimana situasinya menjadi kacau
dan tidak sesuai dengan harapan. Ketika berbincang-bincang dengan orang
lain, individu ini sering kali kehilangan kata-kata yang akan diucapkan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
h. Keluhan psikosomatis, individu akan seringkali mengeluh sakit kepala,
mual-mual, diare, ketegangan otot, dan gangguan fisik lainnya.
i. Curiga tanpa alasan, ketika sesuatu hal tidak berjalan sebagaimana
mestinya, kecurigaan muncul dalam diri individu tersebut, menurutnya hal
ini dibuat oleh orang lain.
j. Depresi, yang perlu diperhatikan adalah depresi dalam konteks burnout
yang bersifat sementara, khusus, dan terbatas. Individu dapat merasa
tertekan di tempat kerja, tetapi dapat bersenda gurau dan tertawa saat tiba
di rumah.
k. Penyangkalan, selalu menyangkal kenyataan yang dihadapinya.
Penyangkalan ini ada dua macam yaitu penyangkalan terhadap kegagalan
yang dialami dan penyangkalan terhadap rasa takut yang dirasakannya.
Tanda-tanda burnout ini banyak ditemukan pada pekerja yang mempunyai
profesi sebagai “penolong” antara lain perawat dan pekerja sosial. Para peneliti
meyakini bahwa awal munculnya burnout sebagai hasil dari seringnya
berinteraksi dengan orang lain. (Spector dan Paul E, 2000). Berbeda dengan
pandangan diatas, Leiter (1993) mengemukakan model proses burnout yang baru.
Leiter (1993), mengungkapkan bahwa stressor yang dihadapi individu
(seperti, konflik personal, beban kerja, dan lain-lain) menyebabkan munculnya
emotional exhaustion yang kemudian berkembang menjadi depersonalization.
Sedangkan reduced personal accomplishment berkembang sejalan dengan
emotional exhaustion sebagai reaksi terhadap aspek-aspek pekerjaan lainnya
seperti kurangnya otonomi dan peran dalam mengambil keputusan, dukungan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
sosial dari atasan dan rekan kerja yang tidak adekuat. Pada model inilah, dimensi-
dimensi burnout berkembang secara paralel.
+ +
-
-
+ +
+
+ +
Gambar 2. Proses burnout menurut pandangan Leiter, keadaan yang dituju
(Sumber: Burnout as a Development process: Consideration of Models, Leiter,
1993).
Keterangan :
- Tanda (+) berarti menambah kemungkinan terjadi
- Tanda (-) berarti mengurangi kemungkinan terjadinya keadaan yang dituju
Corrigan, dkk (1994) mengatakan bahwa dukungan sosial merupakan
salah satu variabel penting yang berpengaruh terhadap burnout. Lebih jauh
dikatakan bahwa dukungan sosial yang diterima dari rekan kerja akan mengurangi
resiko burnout. Pendapat yang senada dikemukakan oleh Gibson, dkk (1996) yang
mengatakan bahwa dukungan sosial dari teman sekerja menengahi hubungan
antara burnout dengan keluhan kesehatan. Semakin tinggi dukungan sosial, maka
Beban kerja berlebihan dan rutinitas Konflik interpersonal
Kelelahan emosional
Keterampilan dan coping
Dukungan sosial dari atasan dan rekan kerja
Peran dan otonomi dalam pengambilan keputusan
Personal accomplishment
Kerjasama klien
Depersonalization
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
semakin sedikit keluhan tentang kesehatan yang dilaporkan. Penelitian yang
dilakukan oleh Britton (1989) melaporkan bahwa dukungan sosial dari para atasan
berpengaruh positif terhadap kesehatan fisik dan kesehatan mental para karyawan.
Berdasarkan uraian di atas, aspek-aspek burnout terbagi menjadi
emotional exhaustion misalnya tidak dapat menuntaskan pekerjaannya,
depersonalization seperti tidak dapat memperhatikan kepentingan orang lain, dan
reduced personal accomplishment yakni timbulnya perasaan tidak puas dengan
hasil karyanya sendiri.
3. Penanganan Burnout
Kondisi stres berat, berulang, dan sulit diatasi ini dapat menghantarkan
individu untuk mengalami kondisi yang lebih buruk seperti apatisme, sinisme,
frustasi, penarikan diri menjadi berkembang. Akan tetapi, telah terdapat berbagai
cara efektif untuk mengatasi kejenuhan pada para pegawai pada suatu lingkungan
kerja. Salah satunya adalah munculnya kesadaran pada diri para pimpinan bahwa
dalam melaksanakan pekerjaannya, seorang pegawai banyak menghadapai
berbagai masalah yang bisa berdampak pada timbulnya sindrom burnout pada
mereka. Oleh karena itu, untuk mengatasi hal-hal tersebut hendaknya para
pimpinan di lapangan melakukan hal-hal sebagai berikut (Mulyana, 2009):
a. Menciptakan birokrasi yang tidak menimbulkan anggapan di mata
karyawan bahwa para pemimpin yang bekerja di kantor, tidak peduli
dengan kesulitan mereka, atau bekerja untuk menghambat niat baik
mereka. Tidak juga membuat karyawan merasa seolah-olah dipimpin dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
dibina oleh mereka yang memiliki citra tidak kompeten, tidak efisien,
kurang komitmen, kurang berminat terhadap hobi dan kegiatan kantor
pada umumnya.
b. Melakukan pembinaan karyawan secara profesional, artinya lakukan
serangkaian usaha bantuan kepada karyawan, terutama bantuan yang
berwujud layanan profesional guna meningkatkan proses dan hasil
pembinaan yang menggairahkan.
c. Melakukan hubungan profesional yang tidak kaku, yang akrab, yang tidak
bersikap otoriter pimpinan, sehingga pegawai tidak takut bersikap terbuka
kepada pimpinan. Dengan demikian, akan terjadi interaksi antara pegawai
dengan pimpinan yang harmonis, sehingga pada gilirannya tersedia
kesempatan untuk mengembangkan ke arah yang dapat menurunkan
kemungkinan terjadinya burnout.
d. Melakukan dukungan sosial yang cukup bermakna kepada pegawai. Sebab
dukungan sosial yang tidak kuat dari pimpinan dapat menjadi sumber stres
emosional yang berpotensi terhadap timbulnya burnout. Jenis dukungan
yang diharapkan karyawan ialah:
1) Saran dari pimpinan dalam mengatasi masalah pekerjaan yang
dihadapi karyawan.
2) Kesediaan pimpinan untuk berempati terhadap perasaan-perasaan
pegawai saat mengahadapi klien (masyarakat).
3) Peran pimpinan dalam memberikan informasi yang berkaitan dengan
pekerjaan dan promosi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
4) Memberikan contoh tingkah laku yang dapat dijadikan panutan
ditempat kerja karyawan.
5) Memberikan umpan balik yang nyata terhadap kinerja karyawan
seperti pemberian upah kerja dan bonus yang sesuai dengan kinerja
pekerjaannya ataupun pujian atas hasil kerjanya.
e. Melakukan kebijakan pembinaan yang dapat meningkatkan kepuasan kerja
karyawan.
Selain itu, yang lebih penting dalam mencegah terjadinya burnout adalah
usaha yang dilakukan karyawan itu sendiri. Para karyawan sebaiknya waspada
akan munculnya burnout. Sebab, selain merugikan diri sendiri, juga berdampak
pada pekerjaan dan citra pegawai yang sampai hari ini perlu diperjuangkan.
Berdasarkan penjelasan di atas burnout dapat ditangani dengan cara
menciptakan birokrasi yang tidak menimbulkan anggapan di mata karyawan,
melakukan pembinaan karyawan secara profesional, melakukan hubungan
profesional yang tidak kaku, melakukan dukungan sosial yang cukup bermakna
kepada karyawan, dan melakukan kebijakan pembinaan yang dapat meningkatkan
kepuasan kerja karyawan.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Burnout
Karyawan yang mengalami burnout lebih sering absen atau terlambat
untuk bekerja daripada rekan-rekan yang tidak mengalaminya, mereka menjadi
terasa kurang idealis dan lebih kaku; kinerja mereka menurun tajam, dan mereka
mungkin berkhayal atau sebenarnya berencana untuk meninggalkan profesi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
(Farber, 1983 dalam Corrigan 1994). Maslach, kemudian menciptakan alat ukur
sindrom burnout yang dialami seseorang, menyatakan bahwa burnout merupakan
hasil dari tekanan emosional yang konstan dan berulang, yang diasosiasikan
dengan keterlibatan yang intensif dalam hubungan antar personal untuk jangka
waktu yang lama. Selanjutnya, Baron dan Greenberg (1995) mengungkapkan ada
dua faktor yang dipandang mempengaruhi munculnya burnout, yaitu:
a. Faktor Eksternal
Meliputi lingkungan kerja psikologis yang kurang baik, kurangnya
kesempatan untuk promosi, imbalan yang diberikan tidak mencukupi,
kurangnya dukungan sosial dari atasan, tuntutan pekerjaan, pekerjaan yang
monoton. Misalnya, dukungan sosial diartikan sebagai kesenangan,
bantuan, yang diterima seseorang melalui hubungan formal dan informal
dengan yang lain atau kelompok (Gibson, 1996). Menurut Pines dan
Aronson (Caputo, 1991) adanya faktor yang saling berinteraksi dalam
menimbulkan burnout, yaitu faktor lingkungan kerja dan individu.
b. Faktor Internal
Meliputi usia, jenis kelamin, harga diri, dan karakteristik kepribadian.
Seperti, pengetahuan bahwa “saya seorang pria” atau “saya seorang
wanita” merupakan salah satu bagian inti dari identitas pribadi, dan di
dalam benak kita sudah tertanam siapa itu pria dan siapa itu wanita.
Demikian pula tentang pemikiran apa kekhasan perilaku seorang pria dan
seorang wanita. Pria dan wanita tidak hanya berbeda secara fisik saja,
tetapi berbeda pula dari segi psikologis dan sosiologisnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Parasuraman, dkk
(1992) bahwa kedua faktor di atas berhubungan dengan burnout. Corrigan, dkk
(1994) mengatakan bahwa faktor eksternal merupakan salah satu variabel penting
yang berpengaruh terhadap burnout. Burnout sebagai suatu bentuk respon stres
harus dipandang sebagai suatu proses yang diawali oleh adanya
ketidakseimbangan, kesenjangan atau diskrepansi antara tuntutan dan sumber
daya individu yang menimbulkan kondisi strain (ketegangan).
Individu tidak bisa mengatakan “saya menderita burnout hari ini dan
bersemangat hari berikutnya (Pines dan Aronson, 1990)”. Seseorang yang
mengalami kelelahan secara fisik setelah lari maraton, namun secara emosional
gembira, bisa dikatakan ia tidak mengalami burnout. Demikian pula orang yang
tertekan namun tetap nyaman di dalam bekerja, tidak mengalami burnout.
Burnout tidak selalu terjadi pada setiap orang, karena ada perbedaan individual
yang turut berpengaruh. Satu hal yang memiliki kontribusi besar terhadap
timbulnya burnout, yaitu jika mereka merasa tidak bernilai, tidak dihargai, dan
pekerjaan mereka merasa tidak berarti.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa burnout
dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor eksternal yang meliputi lingkungan kerja
psikologis dan faktor internal seperti usia, jenis kelamin, harga diri, dan
karakteristik kepribadian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
B. Persepsi Budaya Organisasi
1. Pengertian Persepsi Budaya Organisasi
a. Pengertian Persepsi
Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses
penginderaan, yaitu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera
atau disebut juga proses sensoris. Alat indera tersebut adalah alat penghubung
antara individu dengan dunia luarnya (Walgito, 2004). Stimulus yang diterima
oleh indera akan diorganisasikan dan diinterpretasikan, sehingga individu
menyadari, mengerti tentang apa yang ada di dalam indera itu, dan proses ini
disebut persepsi. De Vito, (1997 dalam Desy, 2004) mengungkapkan persepsi
sebagai sebuah proses ketika kita menjadi sadar akan banyaknya stimulus yang
mempengaruhi indera kita. Rakhmat (2005), mengatakan bahwa persepsi adalah
pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh
dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.
Ekspresi mengenal orang lain merupakan studi awal tentang persepsi
(Muhadjir, 1992, dalam Hartijati 2001). Gibson & Ivancevich (1996) menyatakan
bahwa persepsi merupakan serangkaian hal dari lingkungan yang diartikan oleh
orang-orang yang bekerja dalam lingkup besar dan mempunyai peranan yang
besar dalam mempengaruhi tingkah laku karyawan. Lain halnya dengan Pareek
(1996), mendefinisikannya lebih luas yaitu persepsi sebagai proses menerima,
menyeleksi, mengorganisasikan, mengartikan, menguji, dan memberikan reaksi
kepada rangsangan pancaindera atau data. Dengan demikian dapat dikemukakan,
bahwa persepsi itu merupakan pengorganisasian, pengartian, terhadap stimulus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
yang diinderanya sehingga merupakan sesuatu yang berarti, dan merupakan
respon yang integrated dalam diri individu (Walgito, 2004).
Senada dengan hal tersebut, Atkinson dan Hilgard (1991) mengemukakan
bahwa persepsi adalah proses dimana kita menafsirkan dan mengorganisasikan
pola stimulus dalam lingkungan. Gibson dan Donely (1996) menjelaskan bahwa
persepsi adalah proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh seorang individu.
Persepsi merupakan aktivitas yang terintegrasi dalam diri individu, karena itulah
apa yang ada dalam diri individu akan ikut aktif dalam persepsi, ungkap Walgito,
(2004). Persepsi merupakan suatu proses yang dimulai dari penglihatan hingga
terbentuk tanggapan yang terjadi dalam diri individu sehingga individu sadar akan
segala sesuatu dalam lingkungannya melalui indera-indera yang dimilikinya
(Aronson, 2008).
Anderson dan Kyprianov, (1994, dalam Napitupulu 2002) mengatakan
bahwa persepsi sebagai proses yang aktif dimana yang memegang peranan bukan
hanya stimulus yang mengalaminya, tetapi juga keseluruhan pengalaman-
pengalamannya, memotivasinya dan sikap relevan terhadap stimulus tersebut.
Kotler (2000) menjelaskan persepsi sebagai proses bagaimana seseorang
menyeleksi, mengatur dan menginterpretasikan masukan-masukan informasi
untuk menciptakan gambaran keseluruhan yang berarti. Mangkunegara (Arindita,
2002) berpendapat bahwa persepsi adalah suatu proses pemberian arti atau makna
terhadap lingkungan. Adapun Robbins (2003) mendeskripsikan persepsi dalam
kaitannya dengan lingkungan, yaitu sebagai proses di mana individu-individu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberi makna
kepada lingkungan mereka.
Persepsi dalam arti umum adalah pandangan seseorang terhadap sesuatu
yang akan membuat respon bagaimana dan dengan apa seseorang akan bertindak.
Leavitt (Rosyadi, 2001) membedakan persepsi menjadi dua pandangan, yaitu
pandangan secara sempit dan luas. Pandangan yang sempit mengartikan persepsi
sebagai penglihatan, bagaimana seseorang melihat sesuatu. Sedangkan pandangan
yang luas mengartikannya sebagai bagaimana seseorang memandang atau
mengartikan sesuatu. Sebagian besar dari individu menyadari bahwa dunia yang
sebagaimana dilihat tidak selalu sama dengan kenyataan, jadi berbeda dengan
pendekatan sempit, tidak hanya sekedar melihat sesuatu tapi lebih pada
pengertiannya terhadap sesuatu tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, maka dalam persepsi dapat disimpulkan bahwa
proses kita menjadi sadar akan banyaknya perasaan, kemampuan berpikir,
pengalaman-pengalaman individu tidaklah sama, maka dalam mempersepsi
sesuatu stimulus, hasil persepsi mungkin akan berbeda antar individu satu dengan
individu lain.
b. Pengertian Budaya Organisasi
Budaya organisasi merupakan bagian dari manajemen sumber daya
manusia dan teori organisasi. Manajemen sumber daya manusia memandang
budaya organisasi dari aspek perilaku, sedangkan teori organisasi dilihat dari
aspek sekelompok individu yang berkerjasama untuk mencapai tujuan, atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
organisasi sebagai wadah tempat individu bekerjasama secara rasional dan
sistematis untuk mencapai tujuan. Budaya organisasi sebagai sistem penyebaran
kepercayaan dan nilai-nilai yang berkembang dalam suatu organisasi dan
mengarahkan perilaku anggota anggotanya. Budaya organisasi dapat menjadi
instrumen keunggulan kompetitif yang utama, bila budaya organisasi mendukung
strategi organisasi, dan bila budaya organisasi dapat menjawab atau mengatasi
tantangan lingkungan dengan cepat dan tepat.
Denison (2003), mengatakan budaya organisasi sebagai sebuah nilai-nilai,
keyakinan dan prinsip-prinsip dasar yang merupakan landasan bagi sistem dan
praktek-praktek manajemen serta perilaku yang meningkatkan dan menguatkan
prinsip-prinsip tersebut. Pada dasarnya budaya organisasi bukan merupakan
kenyataan yang timbul dengan sendirinya, melainkan kenyataan yang bisa
ditanamkan dan dikembangankan. Budaya organisasi ini berjalan turun temurun
dalam kehidupan organisasi, tetapi nilai-nilai tersebut dapat berubah ketika timbul
kemauan politis dari manajer menghendaki perubahan nilai menuju organisasi
yang lebih sehat dan selektif (Retno, 2004).
Perkembangan budaya organisasi, pertama kali dikenalkan di Amerika dan
Eropa pada era 1970-an. Salah satu tokohnya : Edward H. Shein seorang Profesor
Manajemen dari Sloan School of Management, Massachusetts Institute of
Technology dan juga seorang Ketua Kelompok Studi Organisasi 1972-1981. Salah
satu karya ilmiahnya : Organizational Culture and Leadership. Di Indonesia,
budaya organisasi mulai dikenal pada tahun 80 - 90-an, saat banyak yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
membicarakan tentang konflik budaya, bagaimana mempertahankan Budaya
Indonesia serta pembudayaan nilai-nilai baru.
Djokosantoso (2005) menyatakan bahwa budaya korporat atau budaya
manajemen atau juga dikenal dengan istilah budaya kerja merupakan nilai-nilai
dominan yang disebarluaskan di dalam organisasi dan diacu sebagai filosofi kerja
karyawan. Susanto (1997) memberikan definisi budaya organisasi sebagai nilai-
nilai yang menjadi pedoman sumber daya manusia untuk menghadapi
permasalahan eksternal dan usaha penyesuaian integrasi ke dalam perusahaan
sehingga masing-masing anggota organisasi harus memahami nilai-nilai yang ada
dan bagaimana mereka harus bertindak atau berperilaku.
Robbins (1991) mendefinisikan budaya organisasi (organizational culture)
sebagai suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang
membedakan organisasi tersebut dengan organisasi yang lain. Lebih lanjut,
Robbins (1991) menyatakan bahwa sebuah sistem pemaknaan bersama dibentuk
oleh warganya yang sekaligus menjadi pembeda dengan organisasi lain. Sistem
pemaknaan bersama merupakan seperangkat karakter kunci dari nilai-nilai
organisasi ("a system of shared meaning held by members that distinguishes the
organization from other organization. This system of shared meaning is, on closer
examination, a set of key characteristics that the organization values"). Amnuai
(Soedjono, 2005), budaya organisasi adalah seperangkat asumsi dasar dan
keyakinan yang dianut oleh anggota-angota organisasi, kemudian dikembangkan
dan diwariskan guna mengatasi masalah-masalah adaptasi eksternal dan masalah-
masalah integrasi internal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
Schein (1992), mengatakan bahwa budaya organisasi itu, mengacu ke
suatu sistem makna bersama, dianut oleh anggota-anggota yang membedakan
organisasi itu terhadap organisasi lain (Melinda, 2004). Luthans (1998, dalam
Melinda, 2004) mengatakan budaya organisasi merupakan norma-norma dan
nilai-nilai yang mengarahkan perilaku anggota organisasi. Setiap anggota akan
berperilaku sesuai dengan budaya yang berlaku agar diterima oleh lingkungannya.
Sarplin (1995, dalam Sutanto, 1997), mendefinisikan budaya organisasi sebagai
suatu sistem nilai, kepercayaan dan kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling
berinteraksi dengan struktur sistem formalnya untuk menghasilkan norma-norma
perilaku organisasi.
Menurut Stoner (1995, dalam Robbins 2003), budaya organisasi sebagai
suatu cognitive framework yang meliputi sikap, nilai-nilai, norma prilaku dan
harapan-harapan yang disumbangkan oleh anggota organisasi. Monde dan Noe
(Retno 1995), budaya organisasi adalah sistem dari shared value, keyakinan dan
kebiasaan-kebiasaan dalam suatu organisasi yang saling berinteraksi dengan
struktur formalnya untuk menciptakan norma-norma perilaku. Konsep budaya
organisasi ini disandarkan pada kemampuan karyawan, sehingga penguatan yang
diberikan pada karyawan selaku individu sebagai sumber daya manusia semakin
disadari merupakan aset organisasi yang paling berharga dan memiliki
kemampuan beradapatasi yang paling fleksibel.
Melinda (2004), mendefinisikan budaya organisasi adalah bagian dari
manajemen sumber daya manusia dan teori organisasi, budaya organisasi dalam
manajemen sumber daya manusia, ditemukan saat mengkaji aspek perilaku,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
sedangkan budaya organisasi dalam teori organisasi, ditemukan saat mengkaji
aspek sekelompok individu yang bekerjasama untuk mencapai tujuan, atau
organisasi sebagai wadah tempat individu bekerjasama secara rasional dan
sistematis untuk mencapai tujuan. Budaya organisasi juga mencakup nilai dan
standar-standar yang mengarahkan perilaku pelaku organisasi dan menentukan
arah organisasi secara keseluruhan. Menurut Atmosoeprapto (2001), budaya
organisasi ialah suatu hal yang sangat penting karena kemampuannya untuk
mengarahkan perilaku para anggota organisasi ke tujuan yang dikehendaki.
Martin, 1992 (Lako, 2004), berpendapat bahwa budaya organisasi
merupakan sensitivitas terhadap kebutuhan pelanggan dan karyawan; kemauan
untuk menerima resiko; kebebasan atau minat karyawan untuk memberi ide-ide
baru; keterbukaan untuk melakukan komunikasi secara bebas dan bertanggung
jawab. Pengaruh budaya organisasi ini melebihi pengaruh lain dalam organisasi
seperti struktur, sistem, manajemen, dan lain sebagainya. Ini merupakan suatu
keadaan yang sangat diharapkan oleh para pimpinan sehingga tidak bersusah
payah mengarahkan perilaku para anggota organisasinya. Menurut Harris dan
Moran (1991, dalam Sutanto 1997) baru sejak dekade yang lalu (akhir 70-an atau
awal 80-an) para eksekutif dan cendekiawan benar-benar memperhatikan faktor
budaya organisasi yang ternyata berpengaruh terhadap perilaku, moral atau
semangat kerja dan produktivitas kerja.
Osborne dan Plastrik (2000) mengungkapkan, budaya organisasi sebagai
seperangkat perilaku, perasaan, dan kerangka psikologis yang terinternalisasi
sangat mendalam dan dimiliki bersama oleh anggota organisasi. Budaya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
organisasi memberikan karyawan rasa kenyamanan, keamanan, kebersamaan, rasa
tanggung jawab, ikut memiliki, tahu bagaimana bersikap, apa yang harus mereka
kerjakan, dan sebagainya. Untuk itu diperlukan komitmen dari seluruh karyawan,
mulai dari top, middle sampai lower atau operasioal yang merupakan persyaratan
mutlak untuk tetap terpeliharanya budaya organisasi. Komitmen saja tidak sekedar
keterkaitan secara fisik, tapi juga secara mental.
Berdasarkan uraian diatas, budaya organisasi adalah perekat bagi setiap
organisasi. Tanpa budaya organisasi, keberadaan organisasi akan mengalami
proses pemekaran dan pertumbuhan tanpa adanya keseimbangan integrasi dan
reintegrasi. Dengan budaya organisasi ini, karyawan menjadi lebih
menyenangkan, sehingga perlu ada upaya serius dari seluruh sumber daya
manusia yang ada di perusahaan (stake holder) untuk memelihara keberadaannya.
c. Pengertian Persepsi Budaya Organisasi
Rakhmat (1994), mengatakan bahwa persepsi adalah pengalaman tentang
objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan
informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi dipengaruhi oleh beberapa faktor
internal dan eksternal, yaitu faktor perceiver, obyek yang dipersepsi dan konteks
situasi persepsi dilakukan. Budaya organisasi disini berperan sebagai objek dan
konteks yang akan dipersepsi oleh seluruh anggota organisasi. Robbins (1991)
mendefinisikan budaya organisasi (organizational culture) sebagai suatu sistem
makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan organisasi
tersebut dengan organisasi yang lain. Budaya organisasi memberikan karyawan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
rasa kenyamanan, keamanan, kebersamaan, rasa tanggung jawab, ikut memiliki,
tahu bagaimana bersikap, apa yang harus mereka kerjakan, dan sebagainya.
Berdasarkan pendapat-pendapat ahli di atas dapat disimpulkan persepsi
budaya organisasi adalah rangkaian proses yang dimulai dari proses sensoris
tentang pengalamannya yang kemudian dilanjutkan ke tahapan yang
menghasilkan tanggapan atas budaya organisasi sebagai keyakinan dan nilai-nilai
organisasi yang dipahami, ditanamkan dalam jiwa dan dipraktekkan oleh
organisasi sehingga pola tersebut memberikan arti tersendiri dan menjadi dasar
aturan berperilaku dalam organisasi.
2. Aspek-aspek Persepsi Budaya Organisasi
Budaya organisasi pada hakekatnya adalah pondasi suatu organisasi, jika
pondasi yang dibuat tidak cukup kokoh maka betapapun bagusnya bangunan
pondasi itu tidak akan cukup kokoh menopangnya. Agar hal ini benar terjadi,
maka perlu sosialisasi budaya organisasi dengan baik sehingga dapat
terinternalisasi dalam diri para karyawan organisasi. Untuk itu, peran pemimpin
organisasi sangat penting, baik dalam menanamkan pemahaman dan persepsi
yang sama tentang budaya organisasi tersebut ke setiap karayawannya.
Persepsi merupakan suatu proses bagaimana seseorang menyeleksi,
mengatur dan menginterpretasikan masukan-masukan informasi dan pengalaman-
pengalaman yang ada dan kemudian menafsirkannya untuk menciptakan
keseluruhan gambaran yang berarti. Pada hakekatnya sikap adalah merupakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
suatu interelasi dari berbagai komponen. Dengan demikian, Sobur (2003) dan
Allport (Mar'at, 1991) mengemukakan tiga aspek dalam persepsi, yaitu :
a. Komponen Kognitif
Yaitu komponen yang tersusun atas dasar pengetahuan atau informasi
yang dimiliki seseorang tentang obyek sikapnya. Dari pengetahuan ini
kemudian akan terbentuk suatu keyakinan tertentu tentang obyek sikap
tersebut.
b. Komponen Afektif
Afektif berhubungan dengan rasa senang dan tidak senang. Jadi sifatnya
evaluatif yang berhubungan erat dengan nilai-nilai kebudayaan atau sistem
nilai yang dimilikinya.
c. Komponen Konatif
Yaitu merupakan kesiapan seseorang untuk bertingkah laku yang
berhubungan dengan obyek sikapnya.
Aspek-aspek yang telah diungkapkan di atas dapat disimpulkan bahwa
persepsi mengandung aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek konatif, yaitu
merupakan kesediaan dalam bertindak atau berperilaku. Sikap seseorang pada
suatu obyek sikap merupakan manifestasi dari kontelasi ketiga komponen tersebut
yang saling berinteraksi untuk memahami, merasakan dan berperilaku terhadap
obyek sikap. Ketiga aspek itu saling berinterelasi dan konsisten satu dengan
lainnya. Jadi, terdapat pengorganisasian secara internal diantara ketiga komponen
tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
Persepsi yang terjadi pada penelitian ini adalah persepsi budaya organisasi.
Persepsi budaya organisasi merupakan rangkaian proses yang dimulai dari proses
sensoris tentang pengalamannya yang kemudian dilanjutkan ke tahapan yang
menghasilkan tanggapan atas budaya organisasi sebagai keyakinan dan nilai-nilai
organisasi yang dipahami, ditanamkan dalam jiwa dan dipraktekkan oleh
organisasi sehingga pola tersebut memberikan arti tersendiri dan menjadi dasar
aturan berperilaku dalam organisasi. Denison (2003) merangkum empat prinsip
integratif mengenai literatur perilaku organisasi yang mendahuluinya dengan
menggunakan istilah lain, akan tetapi gagasan pokok Denison (2003), adalah
efektivitas kinerja perusahaan yang merupakan keempat fungsi budaya organisasi
yaitu:
a. Keterlibatan
Ini merupakan faktor kunci dalam budaya organisasi. Keterlibatan dalam
hubungan antara budaya organisasi dan efektivitas bukanlah hal yang baru
karena telah banyak literatur perilaku organisasi yang mendahuluinya
dengan menggunakan istilah lain. Konsep ini mengemukakan bahwa
tingkat keterlibatan dan partsipasi yang tinggi menciptakan kesadaran akan
pemilikan (sense of ownership) dan tanggung jawab. Dari kesadaran ini
timbul komitmen yang lebih besar pada organisasi dan kebutuhan yang
lebih sedikit akan sistem kontrol yang ketat.
b. Konsistensi
Teori konsistensi tentang hubungan antara budaya organisasi dan
efektivitas menyajikan pandangan yang sedikit berbeda. Teori ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
menekankan adanya dampak positif ”budaya kuat” pada efektivitas
organisasi dan bahwa sistem keyakinan, nilai, dan simbol yang dihayati,
serta dipahami secara luas oleh para anggota organisasi, memiliki dampak
positif pada kemampuan mereka dalam mencapai konsensus dan
melakukan tindakan-tindakan yang terkoordinasi.
c. Adaptabilitas
Komponen pertama dan kedua dari teori budaya hanya memfokuskan pada
dinamika internal suatu organisasi. Keduanya sangat sedikit menyinggung
lingkungan eksternal organisasi. Schein (1992, dalam Melinda 2004),
mendiskusikan hubungan antara adaptabilitas dan budaya, serta
menekankan bahwa budaya biasanya terdiri dari respon-respon perilaku
kolektif yang terbukti adaptif di masa lalu. Bila dikonfrontasikan dengan
situasi baru, pertama-tama organisasi akan mencoba respon-respon
kolektif yang diketahui.
d. Penghayatan Misi
Komponen terakhir dari budaya organsasi ini menekankan pada
pentingnya misi, atau definisi bersama dari suatu fungsi dan tujuan
organisasi serta anggotanya. Penghayatan misi memberi dua pengaruh
besar terhadap organisasi. Pertama, misi menentukan manfaat dan makna
dengan cara mendefinisikan peran individu berkenaan dengan peran
intuisi. Kedua, kesadaran akan misi memberikan arah dan sasaran yang
jelas dan berfungsi untuk mendefinisikan serangkaian tindakan yang tepat
bagi organisasi dan anggota-anggotanya. Pengaruh keduanya memberikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
kejelasan dan arah sehingga dapat mewujudkan kesuksesan yang memiliki
kemungkinan terbesar terjadi ketika individu mempunyai tujuan terarah
(Locke dalam Hartijasti, 2001).
Individu yang memiliki budaya organisasi yang kuat dinilai sebagai
karyawan yang paling kooperatif, dapat bekerja dengan banyak orang dan
memiliki preferensi yang paling kuat untuk mengevaluasi kinerja yang
memberikan kontribusi pada organisasi daripada untuk dirinya sendiri. Budaya
organisasi memiliki aspek-aspek dalam melakukan pengukurannya, dan Robbins,
(1991) menjelaskannya sebagai berikut:
a. Insiatif Individu, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu dalam
mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas tingkatan
tanggung jawab, kebebasan, dan kemandirian yang dimiliki.
b. Risk Tolerance, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu dalam
mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas dorongan
karyawan untuk dapat lebih agresif, inovatif, dan mau menghadapi resiko.
c. Direction, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu dalam
mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas organisasi
menentukan tujuan yang akan dicapai dan kinerja yang diharapkan.
d. Integration, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu dalam
mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas unit-unit
didalam organisasi didorong melakukan kegiatannya dalam satu
koordinasi yang baik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
e. Management Support, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu dalam
mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas para
manajer memberikan komunikasi yang jelas, bantuan, dan dukungan
terhadap bawahannya.
f. Control, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu dalam
mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas peraturan
dan pengawasan langsung yang digunakan untuk mengawasi dan
mengontrol perilaku karyawan.
g. Identity, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu dalam
mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas anggota
mengidentifikasikan diri dari organisasi bukannya dengan kelompok kerja
atau bidang keahlian profesional.
h. Reward System, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu dalam
mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas alokasi
penghargaan atau keahlian, gaji, dan promosi yang berdasarkan kriteria
hasil kerja karyawan.
i. Conflict Tolerance, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu dalam
mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas dapat
mendorong karyawan untuk kritis terhadap konflik yang terjadi.
j. Communication Patterns, dengan cara melihat seberapa jauh ia mampu
dalam mengorganisasikan, mengartikan, dan memberikan reaksi atas
komunikasi dalam organisasi yang terbatas pada susunan wewenang
secara formal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Ideologi organisasi atau budaya yang dimiliki organisasi dapat
mempengaruhi perilaku orang-orang yang terlibat didalamnya, kemampuan dalam
memenuhi kebutuhan dan permintaan secara efektif dan cara menyesuaikan diri
dengan lingkungan eksternalnya (Orlilowski dan Hoffman, 1997).
Berdasarkan aspek-aspek persepsi yang dikemukakan Sobur (2003) dan
Allport (Mar’at 1991) yakni : kognitif, afektif dan konatif. Selanjutnya aspek
budaya organisasi yang dikemukakan oleh Robbins (1991) ialah : insiatif
individu, risk tolerance, direction, integration, management support, control,
identity, reward system, conflict tolerance, dan communication patterns. Maka
dapat disimpulkan persepsi budaya organisasi dapat dilihat dari bagaimana
karyawan memberikan tanggapan secara kognitf, afektif dan konatif atas budaya
organisasi dimana dalam budaya organisasi terdapat aspek-aspek insiatif individu,
risk tolerance, direction, integration, management support, control, identity,
reward system, conflict tolerance, dan communication patterns (Robbins, 1991).
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Persepsi Budaya Organisasi
Budaya organisasi merupakan satu unsur terpenting dalam organisasi yang
mengarah pada perilaku yang dianggap tepat, mengikat, dan memotivasi anggota
yang ada di dalamnya. Kebudayaan akan mempengaruhi cara berpikir, sikap, dan
perilaku seseorang. Dengan demikian, pemahaman budaya organisasi menjadi
penting, mengingat adanya keanekaragaman budaya yang dibawa oleh karyawan
ke dalam organisasi. Martin, 1992 (dalam Lako, 2004), berpendapat bahwa
budaya organisasi merupakan sensitivitas terhadap kebutuhan pelanggan dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
karyawan; kemauan untuk menerima resiko; kebebasan atau minat karyawan
untuk memberi ide-ide baru; keterbukaan untuk melakukan komunikasi secara
bebas dan bertanggung jawab. Secara tidak langsung ataupun langsung, budaya
organisasi dapat berupa hasil pemikiran dan tindakan-tindakan yang dilakukan
pendiri organisasi, meski tidak selalu demikian.
Budaya organisasi selalu dipengaruhi oleh persepsi masing-masing
karyawan terhadap hal tersebut. Rakhmat (1994), mengatakan bahwa persepsi
adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang
diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi
dipengaruhi oleh beberapa faktor internal dan eksternal, yaitu faktor perceiver,
obyek yang dipersepsi dan konteks situasi persepsi dilakukan.
Seiring dengan perkembangan organisasi, budaya organisasi dapat
mengalami transformasi dengan berbagai cara. Transformasi dari budaya
organisasi tersebut dipengaruhi oleh persepsi setiap karyawannya. Oleh karena
itu, Chatman dan Barsade (1997), mengungkapkan faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi persepsi budaya organisasi diantaranya adalah :
a. Identitas Organisasi, seperti memberikan penghargaan dengan mendorong
motivasi karyawan.
b. Komitmen Kolektif, yaitu fungsi budaya organisasi yang baik ialah
’sebuah organisasi dimana anggotanya bangga menjadi bagian darinya’.
c. Stabilitas Sistem Sosial, merupakan cerminan taraf dari lingkungan kerja
dirasakan positif , mendukung, dan konflik serta perubahan dapat diatur
dengan efektif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
d. Pembinaan yang dilakukan organisasi, dimana dapat membantu anggota
organisasi agar dapat memahami mengapa organisasi melakukan apa yang
seharusnya dan bagaimana organisasi bermaksud mencapai tujuan jangka
panjangnya.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa persepsi budaya
organisasi dipengaruhi oleh adanya identitas organisasi, komitmen kolektif,
stabilitas sistem sosial, dan pembinaan yang dilakukan oleh organisasi itu sendiri
kepada anggotanya.
C. Motivasi Intrinsik
1. Pengertian Motivasi Intrinsik
Motivasi seseorang berasal dari interen dan eksteren (Herpen, dkk. 2002)
hasil penelitiannya mengatakan bahwa motivasi seseorang berupa intrinsik dan
ekstrinsik. Herpen, dkk (2002) juga menambahkan beberapa pendapat dari
Gacther and Falk (2000); Kinman and Russel (2001), yang mengatakan bahwa,
motivasi intrinsik dan ekstrinsik merupakan hal yang mempengaruhi tugas
seseorang. Perilaku yang konkret atau nyata yang sebenarnya, kebanyakan adalah
kombinasi dari dua unsur tersebut. Menurut Winardi (2001), motivasi intrinsik
merupakan motivasi yang berfungsi tanpa adanya rangsangan dari luar, dalam diri
individu sudah ada suatu dorongan untuk melakukan tindakan. Disebut intrinsik,
karena tujuannya adalah perasaan internal mengenai kompetensi dan self
determinasi. Motivasi intrinsik ini lebih berperan dalam penyelesaian sesuatu hal
karena ini merupakan motivator yang sangat kuat dari perilaku manusia dan dapat
digunakan untuk membuat seseorang lebih produktif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
Ray dan Miller (1994), mengungkapkan tugas dan tanggung jawab kerja
yang diberikan kepada setiap karyawan merupakan salah satu sumber motivasi
intrinsik yang ada di dalam diri karyawan. Griffin dan Moorhead (dalam
Windayanti, 2007), mengatakan bahwa motivasi intrinsik sebagai suatu tekanan-
tekanan yang menyebabkan individu terlibat dalam suatu fokus kegiatan saja.
Motivasi intrinsik ini dapat timbul atau ada tidak semata-mata karena adanya
reward atau hadiah kecuali untuk aktivitas itu sendiri. Meningkatnya motivasi,
kesanggupan, dan kesediaan anggota atau karyawan untuk bersama-sama
berusaha dalam mengembangkan organisasi, yang merupakan harapan dari
organisasi tersebut. Motivasi intrinsik merupakan dorongan yang sering dikatakan
dibawa sejak lahir, sehingga tidak dapat dipelajari karena seseorang yang
terdorong rasa ingin tahu, maka orang itu akan belajar dan pengetahuan serta
aktivitas yang disadari oleh motivasi instrinsik ini akan bertahan lebih lama
(http://www.blogcatalog.com/search).
Menurut Vallerand, dkk., (2009) secara garis besar, ada tiga tipe motivasi
intrinsik diantaranya adalah :
a. Motivasi Intrinsik untuk tahu
Dalam motivasi untuk tahu ini, seseorang melibatkan diri dalam sebuah
aktivitas karena kesenangan untuk belajar.
b. Motivasi Intrinsik yang berkaitan dengan pencapaian
Manusia selalu mempunyai naluri untuk mencapai sesuatu. Bahkan
secara ekstrim, orang yang sudah kaya raya pun tidak pernah berhenti
untuk mengeruk harta. Ini membuktikan bahwa setiap manusia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
mempunyai keinginan untuk mencapai sesuatu. Artinya ada keinginan
untuk lebih dan lebih.
c. Motivasi Intrinsik untuk merasakan stimulasi
Mendorong seseorang untuk terlibat dalam sebuah aktivitas dalam rangka
merasakan kenikmatan yang sensasional. Intinya, motivasi intrinsik bisa
berupa aktivitas apapun yang menghasilkan perbedaan besar pada dirinya
sendiri bahkan organisasi. Jika mereka merasa bahwa apa yang mereka
lakukan tidak signifikan, maka mereka akan merasa tidak signifikan.
(dalam http://www.managementfile.com/journal.php).
Desy, dkk (2004), motivasi intrinsik ialah suatu bentuk motivasi yang
memiliki kekuatan besar yang dapat membuat seseorang merasa nyaman dan
senang dalam melakukan tugas yang disesuaikan dengan nilai tugas itu. Motivasi
intrinsik ini juga merupakan ruang lingkup ‘pemberdayaan’ karyawan untuk
mencapai hasil dari penerapan kemampuan dan bakat individual.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa motivasi
intrinsik adalah keinginan dari dalam diri seseorang yang memiliki kekuatan besar
untuk mengerahkan segala kemampuan dan bakat dalam mencapai segala sesuatu
yang sesuai dengan harapannya dalam pemenuhan kebutuhannya berkompetisi
dengan lingkungan.
2. Aspek-Aspek Motivasi Intrinsik
Menurut teori Herzberg motivasi yang ideal yang dapat merangsang usaha
adalah peluang untuk melaksanakan tugas yang lebih membutuhkan keahlian dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
peluang untuk mengembangkan kemampuan. Menurut Herzberg faktor hygienic
atau extrinsic factor tidak akan mendorong minat para pegawai untuk berforma
baik, akan tetapi jika faktor-faktor ini dianggap tidak dapat memuaskan dalam
berbagai hal seperti gaji tidak memadai, kondisi kerja tidak menyenangkan,
faktor-faktor itu dapat menjadi sumber ketidakpuasan potensial (Cushway &
Lodge, 1995, dalam Sopyan, 2009).
Faktor motivation intrinsic atau intrinsic factor merupakan faktor yang
mendorong semangat guna mencapai kinerja yang lebih tinggi. Jadi pemuasan
terhadap kebutuhan tingkat tinggi (faktor motivasi) lebih memungkinkan
seseorang untuk berforma tinggi daripada pemuasan kebutuhan lebih rendah
(hygienis), (Leidecker&Hall, 1999). Santrock (2002) mengatakan bahwa motivasi
intrinsik sangat mempengaruhi kreativitas dan rasa ingin tahu anak (natural
curiosity).
Motivasi intrinsik ini memiliki beberapa aspek sebagai berikut (Stipek,
2002) yaitu :
a. Kompetensi (Competence)
Yaitu kekuatan atau dorongan ditunjukkan dengan perilaku yang
cenderung mendekati tugas. Indikator dari aspek ini misalnya seperti hal-
hal yang mendekati dan dirasa perlu sehubungan dengan tugas, tidak
berhenti bekerja sebelum tugas selesai, mendekati tugas-tugas dengan
gembira, persisten dalam menghadapi kegagalan, suka rela menjawab
pertanyaan dan menyediakan jawaban sebelum diminta untuk menjawab.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
b. Tugas baru (Novelty)
Yaitu dorongan dari dalam diri karena adanya rasa keingintahuan terhadap
tugas yang bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan. Hal ini seperti,
mandiri dan fokus terhadap tugas walaupun faktor luar tidak hadir (atasan,
supervisi, ataupun orang lain), terlihat menikmati pekerjaan, menunjukkan
harapan yang tinggi pada tugas sulit, mengembangkan pengetahuan yang
dimiliki kepada hal-hal baru.
c. Otonomi diri (Self-determination)
Memiliki inisiatif untuk melakukan kegiatan pembelajaran dengan
sendirinya tanpa dipengaruhi faktor luar. Adanya keinginan untuk
mengevaluasi hasil lebih jauh hasil pembelajarannya secara lebih
mendalam dan spontan sehingga menghasilkan ekspresi bangga terhadap
prestasi yang diraih.
Aspek-aspek motivasi intrinsik yang terdiri dari competence, novelty, dan
self-determinant ini dikembangkan oleh Harter, dkk,. (dalam Stipek, 2002)
sehingga diperoleh klasifikasi tingkah laku yang mencerminkan. Motivasi
intrinsik ini juga dapat mengarahkan tingkah laku seseorang dengan titik berat
pada bagaimana prestasi dicapai (Mc Clelland, dalam Hawadi, 2001). Motivasi
intrinsik ini dapat menciptakan kretivitas, pembelajaran konsep, pencarian
tantangan dan kesenangan dalam belajar secara lebih cepat dibandingkan dengan
motivasi ekstrinsik (Stipek, 2002). Thomas, (2000), mengatakan bahwa motivasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
intrinsik dapat dicapai ketika seseorang mengalami perasaan adanya pilihan-
pilihan, kompetensi, penuh arti, dan kemajuan, yaitu :
a. Pilihan
Merupakan peluang untuk mampu menyeleksi kegiatan-kegiatan atau
tugas yang masuk akal dan melaksanakannya dengan cara yang memadai
seperti wewenang, keamanan, adanya tujuan yang jelas, dan informasi.
b. Kompetensi
Ialah suatu pencapaian yang dirasakan saat melakukan kegiatan pilihan
dengan cara yang amat terampil seperti pengetahuan-pengetahuan, umpan
balik, dan pembekalan keterampilan.
c. Penuh Arti
Memiliki tujuan sebagai peluang untuk mengejar sasaran tugas yang
bermulai dan sasaran yang terjadi dalam skema yang lebih besar misalnya
pengenalan keinginan dan visi yang membangkitkan.
d. Kemajuan
Ini adalah perasaan yang membuat langkah maju dan berarti dalam
mencapai sasaran tugas, seperti iklim kolaboratif dan pengukuran
kemajuan.
Berdasarkan uraian mengenai aspek-sapek motivasi intrinsik di atas, dapat
disimpulkan bahwa motivasi intrinsik dapat dicapai ketika seseorang memiliki
empat aspek yakni, adanya pilihan, kompetensi, penuh arti, dan kemajuan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Motivasi Intrinsik
Hezberg (Winardi, 2001) mengatakan faktor-faktor seperti kebijakan,
administrasi perusahaan, dan gaji yang memadai dalam suatu pekerjaan akan
menentramkan karyawan. Selanjutnya Herzberg mengelompokkan beberapa
faktor yang dapat mempengaruhi morivasi intrinsik seseorang diantaranya adalah:
a. Pekerjaan itu sendiri (Work It Self)
Yaitu pekerjaan atau tugas yang dimilikinya sesuai atau tidak dengan
kemampuannya.
b. Prestasi yang diraih (Achievment)
Yaitu adanya kesesuaian antara tanggung jawab dan hasil yang
diterimanya.
c. Peluang untuk maju (Advancement)
Yaitu adanya kesempatan untuk mengembangkan dirinya menjadi
seseorang yang lebih dalam mengabdikan diri di dalam lingkungannya.
d. Pengakuan orang lain (Ricognition)
Yaitu diterimanya di dalam lingkungan tersebut dan adanya suatu
penghargaan atas apa yang telah ia kerjakan.
e. Tanggung jawab (Responsible)
Yaitu kemampuan untuk berani menanggung resiko atas apa yang ia
kerjakan.
Hawadi (2001), mengatakan bahwa pembentukan motivasi intrinsik ini
dipengaruhi oleh dua faktor yaitu:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
a. Faktor Indiviual
Seperti intelegensi, persepsi individu akan pentingnya tugas, kontribusi
orang lain, misalnya keluarga, rekan kerja dan atasan, minat, dan
perkembangan individual yang unik antara satu karyawan dengan rekan
kerja yang lainnya.
b. Faktor Situasional
Seperti pengaruh situasi yang mengundang adanya semangat atau
dorongan dalam mengerjakan pekerjaaan, bentuk ruang kerja, dan
peraturan-peraturan yang mengikat karyawan.
Faktor-faktor motivasi intrinsik ini dapat dijadikan dorongan dari dalam
diri seseorang yang memiliki kekuatan besar untuk mencapai segala sesuatu yang
sesuai dengan harapannya dalam pemenuhan kebutuhannya dalam berkompetisi
dengan lingkungannya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa motivasi intrinsik
seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah pekerjaan itu
sendiri, prestasi yang diraih, peluang untuk maju, pengakuan orang lain, dan
tanggung jawab.
D. Hubungan Antara Persepsi Budaya Organisasi dan Motivasi Intrinsik
dengan Burnout pada Karyawan
Maslach (1993) menjelaskan mengenai definisi burnout secara
operasional, yang berdasarkan batasan-batasan ini dapat ditentukan kapan
seseorang telah mengalami burnout, dengan cara meneliti gejala-gejala
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
kekeringan emosional, adanya depersonalisasi, dan penurunan rasa keberhasilan
dalam melakukan tugas sehari-hari. Burnout dikenal secara luas dalam dunia
kerja dan secara khusus nampak pada helping professions (Cox, 1993). Burnout
merupakan suatu keadaan penderitaan psikologis yang mungkin dialami oleh
seorang pekerja yang berpengalaman setelah bekerja untuk suatu periode waktu
tertentu. Caputo (1991) mengungkapkan, burnout merupakan situasi yang tak
henti-hentinya dialami oleh karyawan dalam memenuhi keinginannya mencapai
tujuan dengan sumber daya yang mencukupi dan menghasilkan transformasi
dalam berkomitmen, kebosanan, dan kelelahan fisik.
Benardin (dalam Rosyid, 1996) menggambarkan burnout sebagai suatu
keadaan yang mencerminkan reaksi emosional pada individu yang bekerja di
bidang kemanusiaan (human service setting), atau bekerja erat dengan
masyarakat. Istilah burnout juga diartikan sebagai suatu keadaan keletihan
(exhaustion) fisik, emosional, dan mental yang menganggu dirinya. Ciri yang
muncul adalah psysikal depletion (habisnya energi fisik) dengan perasaan tidak
berdaya dan putus harapan, keringnya perasaan, konsep diri yang negatif dan
sikap negatif terhadap kerja dan orang lain (Prawasti, 1991). Melihat kondisi
tersebut apabila didukung oleh lingkungan yang kurang kondusif dan motivasi
intrinsik yang kurang baik akan menjadi pemicu timbulnya keletihan fisik, emosi,
dan mental dalam diri karyawan yang biasanya disebut dengan burnout.
Lingkungan yang kondusif dapat terwujud dengan adanya persamaan
persepsi atas budaya organisasi. Persepsi merupakan pengalaman tentang objek,
peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
informasi dan menafsirkan pesan (Rakhmat, 2005). Persepsi dipengaruhi oleh
beberapa faktor internal dan eksternal, yaitu faktor perceiver, obyek yang
dipersepsi dan konteks situasi persepsi dilakukan. Sedangkan budaya organisasi
adalah suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang
membedakan organisasi tersebut dengan organisasi yang lain (Robbins, 1991).
Budaya organisasi memberikan karyawan rasa kenyamanan, keamanan,
kebersamaan, rasa tanggung jawab, ikut memiliki, tahu bagaimana bersikap, apa
yang harus mereka kerjakan, dan sebagainya. Oleh karena itu, dibutuhkannya
keinginan yang kuat dari masing-masing karyawan untuk menyamakan persepsi
budaya organisasi, sehingga dapat membantu untuk memajukan organisasi.
Keinginan yang ada pada diri karyawan merupakan motivasi intrinsik
dalam menentukan perannya di lingkungan organisasi tersebut. Motivasi intrinsik
ini berperan dalam penyelesaian sesuatu hal karena ini merupakan motivator yang
sangat kuat dari perilaku manusia dan dapat digunakan untuk membuat seseorang
lebih produktif. Winardi (2001), mengatakan motivasi intrinsik merupakan
motivasi yang berfungsi tanpa adanya rangsangan dari luar, dalam diri individu
sudah ada suatu dorongan untuk melakukan tindakan. Motivasi intirnsik ini juga
merupakan ruang lingkup ‘pemberdayaan’ karyawan untuk mencapai hasil dari
penerapan kemampuan dan bakat yang dimilikinya (Ivancevich, dkk,. 2007).
Intinya, motivasi intrinsik bisa berupa aktivitas apapun yang menghasilkan
perbedaan besar pada dirinya sendiri bahkan organisasi.
Seluruh uraian di atas menunjukkan adanya kemungkinan persepsi budaya
organisasi yang diwujudkan dalam motivasi intrinsik pada setiap karyawan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
penting untuk mendukung kemajuan organisasi, sehingga karyawan dapat
terhindar dari kemungkinan munculnya burnout. Persepsi budaya organisasi
merupakan salah satu cara menyamakan visi dan misi yang terkandung di dalam
organisasi. Selain itu, dibutuhkannya dukungan dan partisipasi karyawan dalam
organisasi yang dikenal dengan motivasi intrinsik. Karyawan yang memiliki
motivasi intrinsik tinggi akan merasa bahwa pekerjaan mereka bernilai, maka
mereka akan merasa bernilai pula. Persepsi budaya organisasi yang positif dan
motivasi intrinsik yang tinggi akan mengurangi tingkat burnout pada karyawan.
E. Hubungan Antara Persepsi Budaya Organisasi dan Burnout Pada
Karyawan
Robbins (1991) mendefinisikan budaya organisasi (organizational culture)
sebagai suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang
membedakan organisasi tersebut dengan organisasi yang lain. Lebih lanjut,
Robbins (1991) menyatakan bahwa, sebuah sistem pemaknaan bersama dibentuk
oleh warganya yang sekaligus menjadi pembeda dengan organisasi lain. Menurut
Martin, 1992 (dalam Lako, 2004), budaya organisasi merupakan sensitivitas
terhadap kebutuhan pelanggan dan karyawan; kemauan untuk menerima resiko;
kebebasan atau minat karyawan untuk memberi ide-ide baru; keterbukaan untuk
melakukan komunikasi secara bebas dan bertanggung jawab.
Stoner (1995, dalam Robbins 2003), berpendapat bahwa budaya organisasi
sebagai suatu cognitive framework yang meliputi sikap, nilai-nilai, norma perilaku
dan harapan-harapan yang disumbangkan oleh anggota organisasi. Budaya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
organisasi juga mencakup nilai dan standar-standar yang mengarahkan perilaku
pelaku organisasi dan menentukan arah organisasi secara keseluruhan. Menurut
Atmosoeprapto (2001), budaya organisasi ialah suatu hal yang sangat penting
karena kemampuannya untuk mengarahkan perilaku para anggota organisasi ke
tujuan yang dikehendaki. Budaya organisasi merupakan objek yang dapat
dipersepsi oleh setiap karyawan. Pareek (1996), mendefinisikan persepsi proses
menerima, menyeleksi, mengorganisasikan, mengartikan, menguji, dan
memberikan reaksi kepada rangsangan pancaindera atau data. Dengan demikian
dapat dikemukakan, bahwa persepsi itu merupakan pengorganisasian, pengartian,
terhadap stimulus dalam diinderanya sehingga merupakan sesuatu yang berarti,
dan merupakan respon yang integrated dalam diri individu (Walgito, 2004).
Persepsi budaya organisasi yang berbeda-beda akan mengakibatkan
ketidaksamaan visi dan misi dalam mengembangkan organisasi. Perbedaan ini
dapat mengakibatkan tekanan dan ketegangan pada karyawan, atasan, ataupun
dengan rekan kerjanya, yang dapat disebut burnout. Maslach (1993) menjelaskan
mengenai definisi burnout secara operasional, yang berdasarkan batasan-batasan
ini dapat ditentukan kapan seseorang telah mengalami burnout, dengan cara
meneliti gejala-gejala kekeringan emosional, adanya depersonalisasi dan
penurunan rasa keberhasilan dalam melakukan tugas sehari-hari.
Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui pentingnya budaya organisasi
dimana masing-masing karyawan dapat berfungsi dan berperan sesuai tugasnya
serta berpegang teguh pada peraturan-peraturan organisasi. Hal tersebut penting
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
untuk mendukung perkembangan organisasi, sehingga karyawan tidak keluar dari
visi dan misi organisasi sehingga terhindar dari burnout.
F. Hubungan Antara Motivasi Intrinsik dan Burnout Pada Karyawan
Perilaku yang konkret atau nyata dalam kehidupan sehari-hari sebenarnya,
kebanyakan adalah kombinasi dari dalam diri dan lingkungannya. Handoko
(1992), mengatakan motivasi intrinsik merupakan motivasi yang berfungsi tanpa
adanya rangsangan dari luar, dalam diri individu sudah ada suatu dorongan untuk
melakukan tindakan. Motivasi intirnsik ini juga merupakan ruang lingkup
‘pemberdayaan’ karyawan untuk mencapai hasil dari penerapan kemampuan dan
bakat yang dimilikinya (Ivancevich, dkk,. 2007). Intinya, motivasi intrinsik bisa
berupa aktivitas apapun yang menghasilkan perbedaan besar pada dirinya sendiri
bahkan organisasi. Disebut intrinsik, karena tujuannya adalah perasaan internal
mengenai kompetensi dan self determinasi.
Motivasi intrinsik ini lebih berperan dalam penyelesaian sesuatu hal
karena ini merupakan motivator yang sangat kuat dari perilaku manusia dan dapat
digunakan untuk membuat seseorang lebih produktif. Keinginan yang ada pada
diri karyawan merupakan motivasi intrinsik dalam menentukan perannya di
lingkungan organisasi tersebut. Adapun yang merupakan faktor motivasi intrinsik
menurut Herzberg (Hasibuan, 1996), adalah pekerjaan itu sendiri (the work it
self), prestasi yang diraih (achievement), peluang untuk maju (advancement),
pengakuan orang lain (ricognition), dan tanggung jawab (responsible).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
Motivasi intrinsik mengacu pada hubungan karyawan dengan
pekerjaannya. Motivasi intrinsik ini bisa berasal dari hubungan antar individual
atau aktivitas yang terkait dengan pekerjaan itu sendiri. Jika karyawan belum
memiliki keinginan atau motivasi dari dalam dirinya, akan timbul kesulitan untuk
beradaptasi dengan lingkungannya. Kesulitan-kesulitan yang menumpuk akan
menyebabkan keletihan yang berakhir pada burnout karyawan.
Burnout dikenal secara luas dalam dunia kerja dan secara khusus nampak
pada helping professions (Cox, 1993). Benardin (dalam Rosyid, 1996)
menggambarkan burnout sebagai suatu keadaan yang mencerminkan reaksi
emosional pada individu yang bekerja di bidang kemanusiaan (human service
setting), atau bekerja erat dengan masyarakat. Caputo (1991) mengungkapkan,
burnout merupakan situasi yang tak henti-hentinya dialami oleh karyawan dalam
memenuhi keinginannya mencapai tujuan dengan sumber daya yang mencukupi
dan menghasilkan transformasi dalam berkomitmen, kebosanan, dan kelelahan
fisik. Istilah burnout juga diartikan sebagai suatu keadaan keletihan (exhaustion)
fisik, emosional, dan mental yang menganggu dirinya. Maslach (1993)
menjelaskan mengenai definisi burnout secara operasional, yang berdasarkan
batasan-batasan ini dapat ditentukan kapan seseorang telah mengalami burnout,
dengan cara meneliti gejala-gejala kekeringan emosional, adanya depersonalisasi
dan penurunan rasa keberhasilan dalam melakukan tugas sehari-hari.
Berdasarkan uraian di atas pada umumnya karyawan mementingkan
pekerjaannya dan menghiraukan nilai serta makna yang menjadi dasar organisasi
dengan alasan adanya penghargaan yang akan diterimanya dari atasan. Perilaku
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
inilah yang memunculkan burnout pada karyawan. Sebaiknya motivasi intrinsik
ini dapat menjadi motivasi yang positif sehingga terwujudnya kesejahteraan pada
diri karyawan dan kemajuan di dalam organisasi.
G. Kerangka Berpikir Hubungan Antara Persepsi Budaya Organisasi dan
Motivasi Intrinsik dengan Burnout Pada Karyawan
2
1
3
Keterangan : - Anak panah 1 : Hipotesis 1 - Anak panah 2 : Hipotesis 2 - Anak panah 3 : Hipotesis 3
Gambar 3.
Kerangka Berpikir “Hubungan Antara Persepsi Budaya Organisasi dan Motivasi
Intrinsik dengan Burnout Pada Karyawan”
Bentuk kerangka berpikir di atas dapat membantu peneliti dalam
mengetahui hubungan antara persepsi budaya organisasi dan motivasi intrinsik
dengan burnout pada karyawan, mengetahui hubungan antara persepsi budaya
Motivasi Intrinsik
Burnout Pada Karyawan
Persepsi Budaya Organisasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
organisasi dengan burnout pada karyawan, dan mengetahui hubungan antara
motivasi intrinsik dengan burnout pada karyawan.
H. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. Ada hubungan antara persepsi budaya organisasi dan motivasi intrinsik
dengan burnout pada karyawan.
2. Ada hubungan antara persepsi budaya organisasi dengan burnout pada
karyawan.
3. Ada hubungan antara motivasi intrinsik dengan burnout pada karyawan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel penelitian yang diteliti adalah:
1. Variabel tergantung (Y) : Burnout pada Karyawan
2. Variabel bebas (X) :
a. Persepsi Budaya Organisasi
b. Motivasi Intrinsik
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Burnout pada Karyawan
Burnout adalah keadaan yang mencerminkan reaksi emosional yang
tengah dirasakannya, seperti gejala kekeringan emosional keadaan hilangnya
semangat dalam bekerja, acuh tak acuh dengan kondisi rekan kerja dan penurunan
rasa pecaya diri pada karyawan itu sendiri. Dalam penelitian ini kuesioner burnout
pada karyawan disusun berdasarkan aspek-aspek burnout yang dikemukakan oleh
Masclach dan Jackson (1993) meliputi: emotional exhaustion, depersonalization,
dan reduced personal accomplishment. Semakin tinggi skor yang diperoleh subjek
berarti semakin tinggi tingkat burnout yang dialami subjek, demikian juga
sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh subjek berarti semakin rendah
tingkat burnout yang dialami subjek.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
2. Persepsi Budaya Organisasi
Persepsi budaya organisasi adalah hasil makna yang merupakan
rangkaian proses dimulai dari proses sensoris tentang pengalamannya hingga
menghasilkan tanggapan atas nilai, sikap, dan pengertian yang merupakan budaya
organisasi serta dimiliki oleh seluruh anggota organisasi mulai dari pucuk
pimpinan sampai dengan front lines. Aspek budaya organisasi diantarnya adalah,
insiatif individu dimana ia dapat bertanggung jawab atas pekerjaannya; risk
tolerance yakni ia mampu melakukan inovasi-inovasi dalam menyelesaikan
pekerjaan ataupun tugasnya; direction dimana ia memiliki tujuan yang ingin
dicapainya; integration yaitu selalu dapat bekerja sama dengan semua rekan
kerjanya; management support merupakan kemampuan untuk dapat
berkomunikasi dengan atasan, bawahan, ataupun rekan kerja yang baik; control
yaitu dapat mawas diri dan mengawasi atas pekerjaannya; identity dimana semua
anggota organisasi bisa menjadi satu kesatuan yang utuh; reward system
merupakan hasil atau timbal balik dari pekerjaan yang telah dilakukan; conflict
tolerance ialah kondisi karyawan yang selalu kritis akan permasalahan yang
terjadi di dalam organisasi; dan communication patterns, karyawan dapat
menentukan sikap hormatnya ketika berbicara dengan atasan.
Skala persepsi budaya organisasi disusun berdasarkan gabungan dari
aspek-aspek persepsi dan aspek-aspek budaya organisasi. Adapun aspek-aspek
persepsi dikemukan Sobur (2003) dan aspek persepsi budaya organisasi, Robbins
(1991), yaitu yang dapat dilihat dari bagaimana karyawan dapat memberikan
tanggapannya secara kognitif, afektif dan konatif atas budaya organisasi dimana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
dalam budaya organisasi terdapat indikator-indikator seperti, insiatif individu, risk
tolerance, direction, integration, management support, control, identity, reward
system, conflict tolerance, dan communication pattrens. Semakin tinggi skor yang
diperoleh subjek berarti semakin positif persepsi terhadap budaya organisasinya,
demikian juga sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh subjek berarti
semakin negatif persepsi terhadap budaya organisasinya.
3. Motivasi Intrinsik
Motivasi intrinsik adalah kemampuan dan dorongan dari dalam diri
seseorang yang memiliki kekuatan besar untuk menentukan pilihannya ketika
menyeleksi pekerjaannya; mengembangkan kompetensi dalam pekerjaan yang
ditekuninya; memiliki arti yang seutuhnya dalam pekerjaannya; dan untuk
kemajuan pekerjaan saat ini agar dapat mencapai sasaran. Skala motivasi intrinsik
yang disusun berdasarkan aspek-aspek motivasi intrinsik yang dikemukakan
Thomas (2000), meliputi: pilihan, kompetensi, penuh arti, dan kemajuan. Semakin
tinggi skor yang diperoleh subjek berarti semakin tinggi tingkat motivasi
intrinsiknya, demikian juga sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh
subjek berarti semakin rendah motivasi intrinsik yang dimilikinya.
C. Populasi, Sampel, dan Sampling
1. Populasi
Populasi merupakan keseluruhan individu atau objek yang diteliti dan
memiliki bebrapa karakteristik yang sama. Karakteristik dapat berupa usia, jenis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
kelamin, tingkat pendidikan, wilayah tempat pedidikan, dan seterusnya. Subjek
yang diteliti dapat merupakan sekelompok penduduk di suatu desa, sekolah,
kantor, atau yang menempati wilayah tertentu (Latipun, 2004).
Selanjutnya, Latipun (2004), mengatakan populasi seringkali memiliki
variasi atau sebaran yang sangat luas. Homogenitas populasi sangat berguna bagi
kemudahan dalam pengambilan sampel. Homogenitas subjek penelitian dapat
dicapai dengan membatasi ciri-ciri populasinya, yang diantaranya adalah sebagai
berikut :
a. Aspek tempat atau geografis, merupakan wilayah atau tempat subjek
penelitian dan tempat tinggal.
b. Aspek subjek sendiri seperti jenis kelamin, umur, rasial, pendidikan,
kepribadian, dan intelegensi.
c. Aspek sosial, yang mencakup kelas sosial, keluarga dan lingkungan
sosialnya.
Populasi dalam penelitian ini adalah karyawan direktorat logistik PT.
Krakatau Steel. Direktorat logistik ini dipilih berdasarkan hasil interview yang
memiliki kecenderungan tingkat burnout lebih tinggi dibandingkan direktorat
lainnya. Jumlah seluruh karyawan direktorat logistik yang ada di PT. Krakatau
Steel ini adalah 167 karyawan.
2. Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi (Latipun, 2004). Subjek penelitian
yang menjadi sampel seharusnya represntatif populasinya. Jadi, tidak seluruh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
subjek pada populasi diteliti semua, cukup diwakili oleh sebagian subjek. Karena
itu, syarat dalam pengambilan sampel ini adalah sampel yang representatif
populasinya.
Pemilihan sampel secara tepat akan meningkatkan representasi
populasinya. Penetapan sampel secara representatif harus dilakukan mengikuti
prosedur yang dapat diterima secara metodologis. Sampel pada penelitian ini
ditentukan dengan cara purposive sample. Purposive sample, dimana pemilihan
subyek didasarkan pada ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang
mempunyai hubungan yang erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang
sudah diketahui sebelumnya (Latipun, 2004). Sampel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah karyawan direktorat logistik, karena didasarkan pada hasil
interview dan observasi yang telah dilakukan oleh peneliti memiliki ciri atau sifat
yang sesuai dengan variabel yang hendak diteliti. Arikunto (1998), mengatakan
jika subjek lebih dari 100 maka bisa diambil sampel antara 10-11% atau 20-21%
dari jumlah populasi. Dengan jumlah karyawan direktorat logistik 167 karyawan,
maka 11% dari jumlah populasi karyawan direktorat logistik yaitu 20 karyawan
sudah memenuhi syarat minimal jumlah untuk dilakukannya penelitian.
3. Teknik Sampling
Penelitian ini menggunakan purposive sampling, dimana pemilihan subyek
didasarkan pada ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang mempunyai
hubungan yang erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
sebelumnya (Latipun, 2004). Nama purposive sampling ini menunjukkan bahwa
teknik ini digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah karyawan direktorat
logistik, karena didasarkan pada hasil interview dan observasi yang telah
dilakukan oleh peneliti memiliki ciri atau sifat yang sesuai dengan variabel yang
hendak diteliti. Direktorat logistik memiliki kecenderungan tingkat burnout yang
lebih daripada direktorat lainnya dan hampir seluruh direktorat akan selalu
berhubungan langsung dengan direktorat logistik. Arikunto (1998), mengatakan
jika subjek lebih dari 100 maka bisa diambil sampel antara 10-11% atau 20-21%
dari jumlah populasi. Dengan demikian jumlah minimal karyawan yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah 20 karyawan dari 11% jumlah populasi
karyawan di direktorat logistik.
D. Teknik Pengumpulan Data
1. Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data yang diperoleh dan dikumpulkan dari
sumber pertama (organisasi). Data penelitian ini diperoleh langsung dari
karyawan direktorat logistik. Data tersebut berupa respon atau tanggapan dari
pernyataan yang diajukan peneliti dalam skala sikap dengan model skala Likert
untuk mengungkap, burnout karyawan, motivasi intrinsik, dan persepsi budaya
organisasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
2. Metode Pengumpulan Data
Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data di lapangan dalam
penelitian ini adalah skala sikap dengan model Skala Likert untuk mengungkap
motivasi intrinsik, burnout karyawan, dan persepsi budaya organisasi.
a. Skala Burnout
Skala burnout disusun oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek yang telah
dikemukakan oleh Maslach. Adapun aspek-aspek burnout yang terdiri dari
tiga bagian yaitu:
1) Emotional exhaustion adalah suatu dimensi dari kondisi burnout
yang berwujud perasaan dan energi terdalam sebagai hasil dari
excessive psychoemotional demands yang ditandai dengan
hilangnya perasaan dan perhatian, kepercayaan, minat dan
semangat.
2) Depersonalization merupakan tendensi kemanusiaan terhadap
sesama yang merupakan pengembangan sikap sinis mengenai karir
dan kinerja diri sendiri. Sikap ini ditunjukkan melalui perilaku
yang tidak acuh, bersikap sinis, tidak berperasaan dan tidak
memperhatikan kepentingan orang lain.
3) Reduced personal accomplishment merupakan atribut dari tidak
adanya aktualisasi diri, rendahnya motivasi kerja dan penurunan
rasa percaya diri. Seringkali kondisi ini mengacu pada
kecenderungan individu untuk mengevaluasi diri secara negatif
sehubungan dengan prestasi yang dicapainya. Individu tidak akan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
merasa puas dengan hasil karyanya sendiri, merasa tidak pernah
melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi diri sendiri, maupun
orang lain.
Jumlah aitem dalam skala ini sebanyak 28 butir, yang terdiri atas 18 aitem
favorable dan 10 aitem unfavorable. Distribusi aitem Skala burnout sebelum uji
coba dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Blueprint Skala Burnout
b. Skala Persepsi Budaya Organisasi
Skala Persepsi Budaya Organisasi disusun sendiri oleh peneliti
berdasarkan gabungan dari aspek-aspek persepsi dan indikator budaya
organisasi. Adapun aspek-aspek persepsi dikemukan oleh Sobur (2003)
dan Allport (Mar'at, 1991) yaitu aspek kognitif, afektif dan konatif,
sedangkan indikator budaya organisasi menurut Robbins, (1991), meliputi:
1) Insiatif Individu, ialah bagaimana seorang karyawan dapat bertanggung
jawab atas kebebasan dalam melakukan pekerjaan.
2) Risk Tolerance, dimana karyawan dapat melakukan inovasi-inovasi
dalam mengerjakan pekerjaannya.
No Aspek Indikator Favorable Unfavorable
Total
1. Emotional exhaustion
Tidak adanya semangat dalam bekerja
1,7,11,12,17,18
8,22,27 9
2. Depersonalization Acuh tak acuh dengan kondisi lingkungan kerjanya
2,3,4,9,15 14,23,25,28
9
3. Reduced personal accomplishment
Penurunan rasa percaya diri karyawan
5,6,10,13,16,19,20
21,24,26
10
Total 18 10 28
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
3) Direction, dengan memiliki tujuan-tujuan yang akan dicapainya.
4) Integration, dimana karyawan dapat bekerja sama dengan semua pihak
yang terkait dalam melakukan pekerjaannya.
5) Management support, dimana ia dapat melakukan komunikasi dengan
baik terhadap atasan, bawahan, ataupun rekan kerjanya dengan baik
sehingga tercipta lingkungan kerja yang kondusif.
6) Control, karyawan dapat melakukan pengawasan dan mawas diri atas
pekerjaan ataupun tugas yang sudah menjadi kewajibannya.
7) Identity, di dalam organisasi tersebut dapat menjadi satu kesatuan yang
utuh sehingga memiliki nilai atau ciri dari organisasi itu sendiri.
8) Reward System, adanya timbal balik atau hasil yang didapatkan
karyawan atas pekerjaannya selama ini.
9) Conflict Tolerance, kondisi karyawan yang dapat bersikap kritis atas
permasalahan-permasalahan terjadi di dalam organisasi.
10) Communication Patterns, dimana ia dapat bersikap menghormati `
atasan ketika berbicara dan menyampaikan pendapatnya.
Jumlah aitem dalam skala ini sebanyak 60 butir, yang terdiri atas 20
aitem afektif, 20 aitem kognitif, dan 20 aitem konatif. Distribusi aitem Skala
Persepsi Budaya Organisasi sebelum uji coba dapat dilihat pada Tabel 2.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
Tabel 2 Blueprint Skala Persepsi Budaya Organisasi
No Aspek Indikator Aspek Total
Afektif Kognitif Konatif 1 Inisiatif individu
Memiliki kemandirian dan tanggung jawab dalam bekerja
1, 4 8, 12 3,6 6
2 Risk tolerance
Melakukan inovasi-inovasi baru dan penanganannya
2, 5 7, 9 10, 11 6
3 Direction Adanya tujuan bekerja
13, 17 15, 19 20, 24 6
4 Integration
Mampu beradaptasi dengan baik dan cepat
14, 18 16, 21 22, 27 6
5 Management support
Kemampuan berkomunikasi yang baik menciptakan hubungan yang baik pula
23, 25 26, 28 29, 31 6
6 Control
Melakukan pengawasan secara individu ataupun kelompok atas pekerjaannya masing-masing
30, 33 32, 35 34, 38 6
7 Identity
Keterikatan yang erat antara karyawan dengan organisasi
37, 39 36, 40 43, 45 6
8 Reward system
Hasil yang didapatkan sesuai dengan beban kerja yang dikerjakannya
41, 44 42, 47 46, 48 6
9 Conflict tolerance
Sikap saling menghormati dan mendengarkan satu sama lain selalu dikembangankan
49, 51 50, 55 52, 54 6
10 Communication patterns
Menghargai dan menghormati kedudukannya di dalam organisasi
53, 57 56, 59 58, 60 6
Total 20 20 20 60
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
c. Skala Motivasi Intrinsik
Skala Motivasi Intrinsik yang disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan
aspek-aspek yang diungkapkan oleh Thomas, (2000) yang meliputi :
1) Pilihan
Merupakan peluang untuk mampu menyeleksi kegiatan-kegiatan atau
tugas yang masuk akal dan melaksanakannya dengan cara yang
memadai seperti wewenang, keamanan, adanya tujuan yang jelas, dan
informasi.
2) Kompetensi
Ialah suatu pencapaian yang dirasakan saat melakukan kegiatan pilihan
dengan cara yang amat terampil seperti pengetahuan-pengetahuan,
umpan balik, dan pembekalan keterampilan.
3) Penuh Arti
Memiliki tujuan sebagai peluang untuk mengejar sasaran tugas yang
bermulai dan sasaran yang terjadi dalam skema yang lebih besar
misalnya pengenalan keinginan dan visi yang membangkitkan.
4) Kemajuan
Ini adalah perasaan yang membuat langkah maju dan berarti dalam
mencapai sasaran tugas, seperti iklim kolaboratif dan pengukuran
kemajuan.
Jumlah aitem dalam skala ini sebanyak 36 butir, yang Motivasi Intrinsik
terdiri atas 18 aitem favorable dan 18 aitem unfavorable. Distribusi aitem Skala
Motivasi Intrinsik sebelum uji coba dapat dilihat pada Tabel 3.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
Tabel 3 Blueprint Skala Motivasi Intrinsik
No Aspek Indikator Favourable Unfavourable Jumlah
1. Pilihan Memiliki tujuan dan informasi yang jelas
5, 28, 29 30, 36 5
Adanya wewenang karyawan, jaminan keamanan dan kesehatan dalam bekerja
17, 19 31,33 4
2 Kompetensi Memiliki ketrampilan dan latar pendidikan yang sesuai
2, 32, 35 3, 20 5
Adanya umpan balik yang sesuai atas pekerjaan yang dilakukan
7, 16 8, 18 4
3. Penuh Arti Memiliki target atau sasaran dalam bekerja
4, 11, 12 6, 23 5
Memiliki kesamaan visi dan misi dalam bekerja
10, 14 21, 24 4
4. Kemajuan Memiliki sifat mau bekerja sama dan mudah beradaptasi dengan lingkungan kerjanya
9, 13, 22 15, 26 5
Adanya keinginan selalu mengembangkan diri
1, 25 27, 34 4
Total 20 16 36
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
Skala burnout adalah Model Likert yaitu merupakan metode penskalaan
pernyataan sikap yang menggunakan distribusi respons sebagai dasar penentuan
nilai skalanya yang telah dimodifikasi menjadi empat kategori jawaban yaitu
Selalu (SL), Sering (SR), Kadang-kadang (KD), dan Tidak Pernah (TP). Skala
burnout dalam penelitian ini mengandung aitem favorable (mendukung) dan
unfavorable (tidak mendukung). Pemberian skor untuk aitem favorable bergerak
dari empat sampai satu untuk SL, SR, KD dan TP, sedangkan skor untuk aitem
unfavorable bergerak dari satu sampai empat untuk SL, SR, KD dan TP.
Model skala yang digunakan pada Skala motivasi intrinsik dan Skala persepsi
budaya organisasi adalah model Likert yang telah dimodifikasi menjadi empat
kategori jawaban yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan
Sangat Tidak Sesuai (STS). Menurut Azwar (2008) penentuan skor yang bergerak
dari 1 sampai 5 akan menghasilkan rentang skala yang kurang lazim dalam sudut
pandangan pengukuran dan akan menyulitkan untuk proses pengukuran
selanjutnya. Alternatif jawaban “Ragu-ragu” tidak dipergunakan untuk
menghindari jawaban netral dari respons subjek penelitian. Peneliti menggunakan
model skala Likert yang dimodifikasi yaitu dengan menghilangkan pilihan
jawaban ragu-ragu dan pilihan jawaban yang digunakan berjumlah genap. Hal ini
dimaksudkan untuk menghindari jawaban subjek yang mengelompok di tengah,
sehingga subjek akan memilih jawaban yang lebih pasti mengarah pada pilihan
sesuai atau tidak sesuai dengan kondisi subjek (Azwar, 2008).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
E. Metode Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Validitas Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini, validitas alat ukur dipenuhi dengan validitas isi.
Penggunaan validitas isi menunjukkan sejauh mana butir-butir dalam alat ukur
mencakup keseluruhan kawasan isi yang hendak diukur oleh alat ukur tersebut
(Azwar, 2008). Salah satu cara yang sederhana untuk melihat apakah validitas isi
telah terpenuhi adalah dengan melihat apakah butir-butir dalam skala telah ditulis
sesuai dengan blue print-nya, yaitu telah sesuai dengan batasan kawasan ukur
yang telah ditetapkan semula dan memeriksa apakah masing-masing butir telah
sesuai dengan indikator perilaku yang akan diungkap (Azwar, 2008). Analisis
rasional ini juga dilakukan oleh pihak yang berkompeten untuk menganalisis skala
tersebut. Prosedur validitas skala melalui pengujian isi skala dengan menganalisis
secara rasional oleh professional judgement, yaitu pembimbing.
Langkah selanjutnya adalah prosedur seleksi aitem berdasarkan data
empiris dengan melakukan analisis kuantitatif terhadap parameter-parameter
aitem. Pada tahap ini dilakukan seleksi aitem berdasarkan daya diskriminasinya.
Daya diskriminasi aitem adalah sejauhmana aitem mampu membedakan antara
individu atau kelompok individu yang memiliki dan yang tidak memiliki atribut
yang diukur. Indeks daya diskriminasi aitem merupakan pula indikator
keselarasan atau konsistensi antara fungsi aitem dengan fungsi skala secara
keseluruhan yang dikenal dengan istilah konsistensi aitem total (Azwar, 2008).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
Pengujian daya diskriminasi aitem dilakukan dengan komputasi koefisien
korelasi antara distribusi skor aitem dengan suatu kriteria yang relevan, yaitu
distribusi skor skala itu sendiri. Komputasi ini menghasilkan koefisien korelasi
aitem total (rix) yang dikenal pula dengan sebutan parameter daya beda aitem.
Semakin tinggi koefisien korelasi positif antara skor aitem dengan skor skala
berarti semakin tinggi konsistensi antara aitem tersebut dengan skala secara
keseluruhan yang berarti makin tinggi daya bedanya. Bila koefisien korelasi
rendah mendekati nol berarti fungsi aitem tersebut tidak cocok dengan fungsi ukur
skala dan daya bedanya tidak baik. Bila koefisien korelasi yang dimaksud ternyata
berharga negatif, artinya terdapat cacat serius pada aitem yang bersangkutan
(Azwar, 2008).
Sebagai kriteria pemilihan item berdasarkan korelasi item-total biasanya
digunakan batasan r>0,30 (Azwar, 2005). Dengan demikian, semua pernyataan
yang memiliki korelasi dengan skor skala kurang dari 0,30 dapat disisihkan dan
pernyataan-pernyataan yang diikutkan dalam skala sikap diambil dari aitem-aitem
yang memiliki korelasi 0,30 keatas dengan pengertian semakin tinggi koefisien
korelasi itu mendekati angka 1,00 maka semakin baik pula konsistensinya. Guna
mempermudah perhitungan, maka digunakan program Statistical Product and
Service Solution (SPSS) versi 12.0.
2. Reliabilitas Instrumen Penelitian
Menurut Azwar (2008) reliabilitas mengacu pada konsistensi atau
keterpercayaan hasil ukur, yang mengandung makna kecermatan pengukuran.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
Reliabilitas dinyatakan dengan koefisiensi reliabilitas (rxx’) yang angkanya berada
dalam rentang 0 sampai dengan 1,00. Semakin tinggi koefisien reliabilitas
mendekati angka 1,00 berarti semakin tinggi reliabilitas. Sebaliknya koefisien
reliabilitas yang semakin rendah mendekati 0 berarti semakin rendah reliabilitas.
Uji reliabilitas dilakukan dengan menggunakan formula Alpha Cronbach
yaitu dengan membelah aitem-aitem sebanyak dua atau tiga bagian, sehingga
setiap belahan berisi aitem dengan jumlah yang sama banyak (Azwar, 2008).
Guna mempermudah perhitungan, maka digunakan program Statistical Product
and Service Solution (SPSS) versi 12.0.
Penelitian ini, skala burnout karyawan dan skala motivasi intrinsik
menggunakan atribut komposit dalam perhitungan validitas dan reliabilitas skala
penelitian. Hal ini dikarenakan skala yang digunakan dirancang untuk mengukur
satu atribut namun atribut tersebut dikonsepkan dalam beberapa aspek atau
dimensi yang mengungkapkan subdomain yang berbeda satu sama lain (Azwar,
2008). Dengan demikian, dalam pemilihan aitem harus dilakukan analisis aitem
bagi setiap aspek (menghitung korelasi aitem dengan skor aspek, bukan skor
skala), dengan membandingkan indeks diskriminasinya dalam masing-masing
aspek, bukan secara keseluruhan.
3. Uji Hipotesis
Pada penelitian ini terdapat dua variabel bebas, yaitu persepsi budaya
organisasi dan motivasi intrinsik, sehingga menggunakan metode analisis regresi
dua prediktor untuk melakukan pengujian dan pembuktikan secara statistik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
hubungan antara persepsi budaya organisasi dan motivasi intrinsik dengan
burnout karyawan. Sebuah model regresi akan digunakan untuk melakukan
peramalan, sebuah model yang baik adalah model dengan kesalahan peramalan
yang seminimal mungkin, karena itu sebuah model sebelum digunakan
seharusnya memenuhi beberapa asumsi yang biasa disebut uji asumsi klasik
(Santoso, 2009). Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam analisis regresi dua
prediktor adalah uji asumsi klasik, yaitu:
a. Uji normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah data dalam penelitian
berdistribusi normal atau tidak.
b. Uji linearitas
Uji linearitas dilakukan untuk mengetahui apakah data dari variabel bebas
berkorelasi linear dengan data dari variabel tergantung.
c. Uji otokorelasi
Uji otokorelasi digunakan untuk mendeteksi bahwa variable dependen
tidak berkorelasi dengan dirinya sendiri.
d. Uji heteroskesdastisitas
Uji heteroskedastisitas dilakukan untuk mengetahui terjadinya perbedaan
variance residual suatu periode pengamatan ke periode pengamatan yang
lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
e. Uji multikolinearitas
Uji multikolinearitas dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya variabel
independen yang memiliki kemiripan dengan variabel independen lain
dalam satu mode. (Santoso, 2009).
Adapun rumus analisis regresi dua prediktor adalah:
∑∑ ∑+
=2
21(1,2)
21
RYy
xx yaya
Keterangan:
RY(1,2) : Koefisien korelasi antara burnout karyawan dan motivasi
intrinsik dengan persepsi budaya organisasi
1a : Koefisien prediktor persepsi budaya organisasi
2a : Koefisien prediktor motivasi intrinsik
yx∑ 1 : Jumlah produk antara burnout karyawan dan persepsi budaya
organisasi
y
x∑ 2 : Jumlah produk antara burnout karyawan dan motivasi
intrinsik
∑2y : Jumlah kuadrat burnout karyawan
(Hadi, 2004).
Untuk mempermudah perhitungan, maka digunakan program Statistical
Product and Service Solution (SPSS) versi 12.0.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Persiapan Penelitian
1. Orientasi Kancah Penelitian
Penelitian mengenai hubungan antara persepsi budaya organisasi dan motivasi
intrinsik dengan burnout pada karyawan dilakukan di PT. Krakatau Steel yang
beralamatkan di Jl. Industri, Cilegon, Banten. Sebelum melakukan penelitian, terlebih
dahulu dilakukan survey awal untuk mengetahui informasi yang berkaitan dengan
subjek.
PT. Krakatau Steel didirikan, pada 45 tahun tepat pada era pergerakan Budi
Utomo, atas ijin dan prakarsa presiden pertama Republik Indonesia, Ir.Soekarno,
dilakukan peletakan batu pertama pendirian Pabrik Baja Trikora yaitu pada tanggal
26 Mei tahun 1962, yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya PT. Krakatau
Steel. Pabrik baja trikora ini merupakan industri yang dapat menjadikan bangsa
Indonesia menjadi mandiri sebagai project strategis yang merupakan pabrik baja
terpadu dan terbesar se-Asean yang dibangun di Indonesia. Melalui Peraturan
Pemerintah No. 35/31 Agustus 1970, Pabrik Baja Trikora menjadi Pabrik Baja
Modern “PT. Krakatau Steel (persero)”.
Sejak saat itulah silih bergantinya berbagai pabrik dibangun dalam area
Kompleks PT. Krakatau Steel. Pada Tahun 1977, Presiden Republik Indonesia ke 2,
Bapak Soeharto, mulai meresmikan Pabrik Besi Beton dan Pelabuhan Cigading pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
bulan Juli tahun 1997 (PT.KBS), kemudian disusul dengan Pabrik Billet Baja (BSP),
Wire Rod, Pipa Baja (KHI), Pembangkit Listrik (KDL) 400 MW dan Pusat
Penjernihan Air berkapasitas 800 Lt/Dtk pada Oktober 1979 (Pengadaan Air), yang
sekarang dikenal dengan PT. Krakatau Tirta Industri (1996) sampai dengan sekarang
ini.
PT Krakatau Steel memiliki 6 (enam) buah fasilitas produksi yang membuat
perusahaan ini menjadi satu-satunya industri baja terpadu di Indonesia. Keenam buah
pabrik tersebut menghasilkan berbagai jenis produk baja dari bahan mentah. Pabrik
Besi Spons, Pabrik Slab Baja, Pabrik Billet Baja, Pabrik Baja Lembaran Panas,
Pabrik Baja Lembaran Dingin dan Pabrik Batang Kawat kesemuanya adalah fasilitas-
fasilitas produksi yang dimiliki PT. Krakatau Steel.
PT. Krakatau Steel sebagai satu-satunya industri baja terpadu di Indonesia
menuntut karyawannya bekerja lebih untuk memenuhi permintaan dan persediaan
baja. PT. Krakatau Steel terbagi dalam empat bagian direktorat yaitu direktorat
keuangan, direktorat produksi, direktorat logistik, dan direktorat pengembangan
sumber daya manusia. berdasarkan interview yang telah dilakukan, didapatkan bahwa
adanya kecenderungan burnout yang dialami oleh karyawan logistik lebih tinggi
daripada di direktorat lainnya. Hal ini terjadi dikarenakan direktorat logistik
berhubungan dengan direktorat lainnya sehingga dapat dikatakan bahwa beban kerja
yang dimiliki karyawan logistik lebih berat dari direktorat lainnya.
Visi yang dimiliki oleh PT. Krakatau Steel adalah menjadi perusahaan baja
terpadu dengan keunggulan kompetitif untuk tumbuh dan berkembang secara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
berkesinambungan menjadi perusahaan terkemuka di dunia (an integrated steel
company with competitive edges to grow continuously toward a leading global
enterprise). Sedangkan misi yang dimiliki PT. Krakatau Steel adalah menyediakan
produk baja bermutu dan jasa terkait bagi kemakmuran bangsa (providing the best-
quality steel products and related services for the prosperity of the nation).
Berdasarkan hasil survey awal tersebut, peneliti memutuskan untuk
melakukan penelitian di PT. Krakatau Steel. Pemilihan perusahaan tersebut sebagai
lokasi penelitian dengan pertimbangan sebagai berikut :
a. Penelitian mengenai ”Burnout Pada Karyawan ditinjau dari Persepsi Budaya
Organisasi dan Motivasi Intrinsik” belum pernah dilakukan.
b. Jumlah karyawan memenuhi syarat untuk penelitian.
c. Adanya ijin yang diperoleh untuk mengadakan penelitian di perusahaan
tersebut.
2. Persiapan Penelitian
Persiapan penelitian perlu dilakukan agar penelitian berjalan lancar dan
terarah. Hal-hal yang dipersiapkan adalah berkaitan dengan perijinan dan penyusunan
alat ukur yang digunakan dalam penelitian.
a. Persiapan Administrasi
Persiapan administrasi penelitian meliputi segala urusan perijinan yang
diajukan pada pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan penelitian. Permohonan
ijin tersebut meliputi tahap-tahap sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
1) Peneliti meminta surat pengantar dari Program Studi Psikologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta yang ditujukan kepada
Manager Human Capital Training and Education Centre untuk
memberikan surat pengantar penelitian dengan nomor 768/H
27.1.17.3/TU/2010 agar bisa melakukan penelitian di PT. Krakatau Steel
Cilegon.
2) Setelah mendapatkan ijin dari pihak perusahaan, peneliti baru bisa
melaksanakan penelitian sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan oleh
pihak perusahaan.
b. Persiapan Alat Ukur
Penelitian ini menggunakan tiga buah alat ukur psikologi, yaitu Skala
Burnout, Skala Persepsi Budaya Organisasi, dan Skala Motivasi Intrinsik.
1) Skala Burnout
Skala burnout digunakan untuk mengungkap kelelahan yang dialami
oleh karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya dengan ditandai adanya
penurunan rasa keberhasilan, depersonalisasi, dan rendahnya penghargaan
terhadap diri sendiri. Skala burnout disusun berdasarkan aspek-aspek yang
telah dikemukakan oleh Maslach.
Aspek-aspek burnout menurut Maslach (1993), terdiri dari tiga bagian
yaitu emotional exhaustion adalah suatu dimensi dari kondisi burnout
yang berwujud perasaan dan energi terdalam sebagai hasil dari excessive
psychoemotional demands yang ditandai dengan hilangnya perasaan dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
perhatian, kepercayaan, minat dan semangat. Depersonalization
merupakan tendensi kemanusiaan terhadap sesama yang merupakan
pengembangan sikap sinis mengenai karir dan kinerja diri sendiri. Sikap
ini ditunjukkan melalui perilaku yang tidak acuh, bersikap sinis, tidak
berperasaan dan tidak memperhatikan kepentingan orang lain.
Aspek yang terakhir adalah reduced personal accomplishment
merupakan atribut dari tidak adanya aktualisasi diri, rendahnya motivasi
kerja dan penurunan rasa percaya diri. Seringkali kondisi ini mengacu
pada kecenderungan individu untuk mengevaluasi diri secara negatif
sehubungan dengan prestasi yang dicapainya. Individu tidak akan merasa
puas dengan hasil karyanya sendiri, merasa tidak pernah melakukan
sesuatu yang bermanfaat bagi diri sendiri, maupun orang lain. Skala
burnout ini berjumlah 28 butir, yang terdiri atas 9 butir untuk setiap
aspeknya. Distribusi skala burnout sebelum uji coba dapat dilihat pada
tabel 4 berikut.
Tabel 4 Distribusi Skala Burnout Sebelum Uji Coba
No Aspek Indikator Favorable Unfavorable
Total
1. Emotional exhaustion
Tidak adanya semangat dalam bekerja
1,7,11,12,17,18
8,22,27 9
2. Depersonalization Acuh tak acuh dengan kondisi lingkungan kerjanya
2,3,4,9,15 14,23,25,28
9
3. Reduced personal accomplishment
Penurunan rasa percaya diri karyawan
5,6,10,13,16,19,20
21,24,26
10
Total 18 10 28
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
2) Skala Persepsi Budaya Organisasi
Skala persepsi budaya organisasi digunakan untuk mengungkap persepsi
karyawan atas budaya organisasi di dalam perusahaannya. Skala persepsi
budaya organisasi ini disusun berdasarkan gabungan dari aspek-aspek
persepsi dan indikator budaya organisasi. Adapun aspek-aspek persepsi
dikemukan oleh Sobur (2003) dan Allport (Mar'at, 1991) yaitu aspek kognitif,
afektif dan konatif, sedangkan indikator budaya organisasi menurut Robbins,
(1991), meliputi, insiatif individu dalam bekerja, risk tolerance, direction,
integration, management support, control, identity, reward system, conflict
tolerance, dan adanya communication patterns. Skala persepsi budaya
organisasi ini berjumlah 60 butir, yang terdiri atas 20 butir untuk tiap
aspeknya. Distribusi skala persepsi budaya organisasi sebelum uji coba dapat
dilihat pada tabel 5 berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
Tabel 5 Distribusi Skala Persepsi Budaya Organisasi Sebelum Uji Coba
No Aspek Indikator Aspek Total
Afektif Kognitif Konatif 1 Inisiatif individu
Memiliki kemandirian dan tanggung jawab dalam bekerja
1, 4 8, 12 3,6 6
2 Risk tolerance
Melakukan inovasi-inovasi baru dan penanganannya
2, 5 7, 9 10, 11 6
3 Direction Adanya tujuan bekerja 13, 17 15, 19 20, 24 6 4 Integration
Mampu beradaptasi dengan baik dan cepat
14, 18 16, 21 22, 27 6
5 Management support
Kemampuan berkomunikasi yang baik menciptakan hubungan yang baik pula
23, 25 26, 28 29, 31 6
6 Control
Melakukan pengawasan secara individu ataupun kelompok atas pekerjaannya masing-masing
30, 33 32, 35 34, 38 6
7 Identity
Keterikatan yang erat antara karyawan dengan organisasi
37, 39 36, 40 43, 45 6
8 Reward system
Hasil yang didapatkan sesuai dengan beban kerja yang dikerjakannya
41, 44 42, 47 46, 48 6
9 Conflict tolerance
Sikap saling menghormati dan mendengarkan satu sama lain selalu dikembangankan
49, 51 50, 55 52, 54 6
10 Communication patterns
Menghargai dan menghormati kedudukannya di dalam organisasi
53, 57 56, 59 58, 60 6
Total 20 20 20 60
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
3) Skala Motivasi Intrinsik
Skala motivasi intrinsik ini digunakan untuk mengungkap keinginan pada
diri karyawan dalam bekerja. Skala motivasi intrinsik disusun berdasarkan
aspek-aspek yang diungkapkan oleh Thomas, (2000) meliputi pilihan sebagai
peluang dalam bekerja, kompetensi merupakan pencapaian karyawan, penuh
arti, dan kemajuan dalam membuat sasaran tugas kerja. Skala motivasi
intrinsik ini berjumlah 36 butir, yang terdiri atas 9 butir untuk tiap aspeknya.
Distribusi skala persepsi budaya organisasi sebelum uji coba dapat dilihat
pada tabel 6 berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
Tabel 6 Distribusi Skala Motivasi Intrinsik Sebelum Uji Coba
No Aspek Indikator Favourable Unfavourable Jumlah 1. Pilihan Memiliki tujuan
dan informasi yang jelas
5, 28, 29 30, 36 5
Adanya wewenang karyawan, jaminan keamanan dan kesehatan dalam bekerja
17, 19 31,33 4
2 Kompetensi Memiliki ketrampilan dan latar pendidikan yang sesuai
2, 32, 35 3, 20 5
Adanya umpan balik yang sesuai atas pekerjaan yang dilakukan
7, 16 8, 18 4
3. Penuh Arti Memiliki target atau sasaran dalam bekerja
4, 11, 12 6, 23 5
Memiliki kesamaan visi dan misi dalam bekerja
10, 14 21, 24 4
4. Kemajuan Memiliki sifat mau bekerja sama dan mudah beradaptasi dengan lingkungan kerjanya
9, 13, 22 15, 26 5
Adanya keinginan selalu mengembangkan diri
1, 25 27, 34 4
Total 20 16 36
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
B. Pelaksanaan Penelitian
1. Penentuan Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah karyawan PT. Krakatau Steel bagian logistik
sebanyak 167 karyawan. Sampel penelitian terdiri 40 karyawan. Alasan penggunaan
sampel bagian logistik karena dianggap mewakili untuk dijadikan sebagai subjek
penelitian. Karyawan bagian logistik pada umumnya yang menjadi subyek penelitian
berada pada rentang usia antara 45-55 tahun dan termasuk dalam kelompok dewasa
madya.
Teknik pengambilan sampel dari populasi ini dilakukan secara non random
dengan teknik purposive sampling, yaitu dengan melihat ciri atau sifat yang tampak
serta sesuai dengan variabel yang hendak diteliti.
2. Pengumpulan Data untuk Uji Coba
Setiap pengukuran selalu diharapkan untuk mendapat hasil ukur yang akurat dan
objektif. Salah satu upaya untuk mencapainya adalah alat ukur yang digunakan harus
valid atau sahih dan reliabel atau andal (Hadi, 2000), oleh karena itu alat ukur yang
akan digunakan dalam penelitian harus diujicobakan terlebih dahulu. Pada penelitian
ini dilaksanakan tanggal 30 September 2010 di PT. Krakatau Steel pada karyawan
direktorat logistik sebanyak 40 karyawan.
Pengumpulan data sebanyak 40 karyawan dimaksudkan untuk mengantisipasi
adanya kesalahan-kesalahan yang akan terjadi didalam analisis data. Pengumpulan
data dilakukan secara klasikal dengan memberikan Skala Burnout, Skala Persepsi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
Budaya Organisasi, dan Skala Motivasi Intrinsik secara langsung kepada tiap-tiap
subjek dan pengambilan skala dilakukan pada satu minggu setelahnya. Sebanyak 40
eksemplar data uji coba dibagikan. Data yang terkumpul kembali terdiri dari 30
eksemplar data uji coba diisi dengan lengkap, sehingga memenuhi syarat untuk diskor
dan dianalisis. Setelah data terkumpul selanjutnya dilakukan skoring pada 30
eksemplar data uji coba untuk pengujian validitas dan reliabilitas.
3. Uji Validitas dan Reliabilitas
Setiap pengukuran selalu diharapkan untuk mendapat hasil ukur yang akurat dan
objektif. Salah satu upaya untuk mencapainya adalah alat ukur yang digunakan harus
valid atau sahih dan reliabel atau handal (Hadi, 2000). Ketiga skala menggunakan
indeks daya beda sebesar 0,3 dengan pertimbangan bahwa daya beda tersebut sudah
dapat dianggap sebagai koefisien validitas yang memuaskan (Azwar, 2008). Aitem
dengan daya beda di bawah 0,3 dianggap sebagai aitem yang gugur dan selanjutnya
tidak dipakai untuk penelitian. Oleh karena itu skala yang akan digunakan dalam
penelitian harus diujicobakan terlebih dahulu.
a. Penghitungan validitas
Penghitungan validitas aitem ketiga alat ukur yang dipergunakan dalam penelitian
ini menggunakan penghitungan validitas dengan bantuan komputer program SPSS for
MS windows versi 12.0. Penghitungan validitas yang diperoleh, yakni:
1.) Skala Burnout. Keseluruhan aitem saat uji coba adalah 28 aitem yang
diujicobakan. Berdasarkan hasil analisis diperoleh 19 aitem valid dan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
dinyatakan gugur sebanyak 9 aitem yaitu 1, 2, 4, 5, 7, 9, 10, 18, dan 25.
Berdasarkan hasil analisis diperoleh 19 aitem valid yang terdiri atas 10 aitem
favorable dan 9 aitem unfavorable. Distribusi aitem Skala Burnout yang
valid dan gugur dapat dilihat pada tabel 7 berikut:
Tabel 7 Distribusi Butir Aitem Valid dan Gugur Skala Burnout
Selanjutnya peneliti menggunakan 19 aitem yang valid untuk penelitian.
Berikut ini adalah tabel sebaran aitem dengan penomoran baru yang digunakan dalam
penelitian :
No Aspek Indikator Favorable Unfavorable Valid Gugur Valid Gugur
1. Emotional exhaustion
Tidak adanya semangat dalam bekerja
11, 12, 17
1, 7, 18 8, 22, 27
-
2. Depersonalization Acuh tak acuh dengan kondisi lingkungan kerjanya
3, 15 2, 4, 9 14, 23, 28
25
3. Reduced personal accomplishment
Penurunan rasa percaya diri karyawan
6, 13, 16, 19,
20
5, 10 21, 24, 26
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
Tabel 8 Distribusi Aitem Skala Burnout Setelah Uji Coba
keterangan : angka dalam tanda kurung (...) adalah distribusi sebaran nomor aitem yang baru dalam skala.
2) Skala Persepsi Budaya Organisasi. Keseluruhan aitem saat uji coba adalah 60
aitem yang diujicobakan. Berdasarkan hasil analisis diperoleh 46 aitem valid
dan yang dinyatakan gugur sebanyak 14 aitem yaitu 5, 9, 16, 18, 19, 24, 31,
32, 34, 40, 41, 43, 48, dan 50. Distribusi aitem Skala Persepsi Budaya
Organisasi yang valid dan gugur dapat dilihat pada tabel 9 berikut:
No Aspek Indikator Favorable Unfavorable Total 1. Emotional
exhaustion Tidak adanya semangat dalam bekerja
11 (4), 12 (5), 17 (10)
8 (3), 22 (14), 27 (18)
6
2. Depersonalization Acuh tak acuh dengan kondisi lingkungan kerjanya
3 (1), 15 (8) 14 (7), 23 (15), 28 (19)
5
3. Reduced personal accomplishment
Penurunan rasa percaya diri karyawan
6 (2), 13 (6), 16 (9), 19
(11), 20 (12)
21 (13), 24 (16), 26 (17)
8
Total 10 9 19
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
Tabel 9 Distribusi Butir Aitem Valid dan Gugur Skala Persepsi Budaya Organisasi
No Aspek Indikator Aspek Afektif Kognitif Konatif
valid gugur valid gugur valid gugur 1 Inisiatif individu
Memiliki kemandirian dan tanggung jawab dalam bekerja
1, 4 - 8, 12 - 3, 6 -
2 Risk tolerance
Melakukan inovasi-inovasi baru dan penanganannya
2 5 7 9 10, 11
-
3 Direction Adanya tujuan bekerja
13, 17
- 15 19 20 24
4 Integration
Mampu beradaptasi dengan baik dan cepat
14 18 22 16 21, 27
-
5 Management support
Kemampuan berkomunikasi yang baik menciptakan hubungan yang baik pula
23, 25
- 26, 28
- 29 31
6 Control
Melakukan pengawasan secara individu ataupun kelompok atas pekerjaannya masing-masing
30, 33
- 35 32 34 38
7 Identity
Keterikatan yang erat antara karyawan dengan organisasi
37, 39
- 36 40 45 43
8 Reward system
Hasil yang didapatkan sesuai dengan beban kerja yang dikerjakannya
44 41 42, 47
- 46 48
9 Conflict tolerance
Sikap saling menghormati dan mendengarkan satu sama lain selalu dikembangankan
49, 51
- 55 50 52, 54
-
10 Communication patterns
Menghargai dan menghormati kedudukannya di dalam organisasi
53, 57
- 56, 59
- 58, 60
-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
Selanjutnya peneliti menggunakan 46 aitem yang valid untuk penelitian.
Berikut ini adalah tabel sebaran aitem dengan penomoran baru yang digunakan dalam
penelitian :
Tabel 10 Distribusi Aitem Skala Persepsi Budaya Organisasi Setelah Uji Coba
No Aspek Indikator Aspek Total Afektif Kognitif Konatif
1 Inisiatif individu
Memiliki kemandirian dan tanggung jawab dalam bekerja
1 (1), 4 (4)
8 (7), 12 (10)
3 (3), 6 (5)
6
2 Risk tolerance
Melakukan inovasi-inovasi baru dan penanganannya
2, (2) 7 (6) 10 (8), 11 (9)
4
3 Direction Adanya tujuan bekerja 13 (11), 17 (14)
15 (13) 20 (15) 5
4 Integration
Mampu beradaptasi dengan baik dan cepat
14 (12) 22 (17) 21 (16), 27 (20)
5
5 Management support
Kemampuan berkomunikasi yang baik menciptakan hubungan yang baik pula
23 (18), 25 (19)
26 (21), 28 (22)
29 (23) 5
6 Control
Melakukan pengawasan secara individu ataupun kelompok atas pekerjaannya masing-masing
30 (24), 33 (25)
35 (26) 38 (27) 4
7 Identity
Keterikatan yang erat antara karyawan dengan organisasi
37 (29), 39 (30)
36 (28), 45 (33) 4
8 Reward system
Hasil yang didapatkan sesuai dengan beban kerja yang dikerjakannya
44 (32) 42 (31), 47 (34)
46 (35) 4
9 Conflict tolerance
Sikap saling menghormati dan mendengarkan satu sama lain selalu dikembangankan
49 (36), 51 (37)
55 (41) 52 (38), 54 (40)
5
10 Communication patterns
Menghargai dan menghormati kedudukannya di dalam organisasi
53 (38), 57 (43)
56 (42), 59 (45)
58 (44), 60 (46)
6
Total 17 14 15 46
keterangan : angka dalam tanda kurung (...) adalah distribusi sebaran nomor aitem yang baru dalam skala.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
3.) Skala Motivasi Intrinsik. Keseluruhan aitem saat uji coba adalah 36 aitem
yang diujicobakan. Berdasarkan hasil analisis diperoleh 25 aitem valid dan
yang dinyatakan gugur sebanyak 11 aitem yaitu 2, 3, 5, 10, 18, 19, 24, 31, 32,
34, dan 36. Berdasarkan hasil analisis diperoleh 25 aitem valid yang terdiri
atas 15 aitem favorable dan 10 aitem unfavorable. Distribusi aitem Skala
Motivasi Intrinsik yang valid dan gugur dapat dilihat pada tabel 11 berikut:
Tabel 11 Distribusi Butir Aitem Valid dan Gugur Skala Motivasi Intrinsik
No Aspek Indikator Favourable Unfavourable valid gugur valid gugur
1. Pilihan Memiliki tujuan dan informasi yang jelas
28, 29
5 30 36
Adanya wewenang karyawan, jaminan keamanan dan kesehatan dalam bekerja
17 19 33 31
2 Kompetensi Memiliki ketrampilan dan latar pendidikan yang sesuai
35 2, 32 20 3
Adanya umpan balik yang sesuai atas pekerjaan yang dilakukan
7, 16 - 8 18
3. Penuh Arti Memiliki target atau sasaran dalam bekerja
4, 11, 12
- 6, 23 -
Memiliki kesamaan visi dan misi dalam bekerja
14 10 21 24
4. Kemajuan Memiliki sifat mau bekerja sama dan mudah beradaptasi dengan lingkungan kerjanya
9, 13, 22
- 15, 26
Adanya keinginan selalu mengembangkan diri
1, 25 - 27 34
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
Selanjutnya peneliti menggunakan 25 aitem yang valid untuk penelitian.
Berikut ini adalah tabel sebaran aitem dengan penomoran baru yang digunakan dalam
penelitian :
Tabel 12 Distribusi Aitem Skala Motivasi Intrinsik Setelah Uji Coba
keterangan : angka dalam tanda kurung (...) adalah distribusi sebaran nomor aitem yang baru dalam skala.
No Aspek Indikator Favourable Unfavourable Jumlah 1. Pilihan Memiliki tujuan dan
informasi yang jelas 28 (21), 29
(22) 30 (23) 3
Adanya wewenang karyawan, jaminan keamanan dan kesehatan dalam bekerja
17 (13) 33 (25) 2
2 Kompetensi Memiliki ketrampilan dan latar pendidikan yang sesuai
32 (24) 20 (14) 2
Adanya umpan balik yang sesuai atas pekerjaan yang dilakukan
7 (4), 16 (11) 8 (5) 3
3. Penuh Arti Memiliki target atau sasaran dalam bekerja
4 (2), 11 (7), 12 (8)
6 (3), 23 (17) 5
Memiliki kesamaan visi dan misi dalam bekerja
14 (10) 21 (15) 2
4. Kemajuan Memiliki sifat mau bekerja sama dan mudah beradaptasi dengan lingkungan kerjanya
9 (6), 13 (9), 22 (16)
15 (12), 26 (19) 5
Adanya keinginan selalu mengembangkan diri
1 (1), 25 (18) 27 (20) 3
Total 15 11 25
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
b. Penghitungan reliabilitas
Penghitungan reliabilitas dicari setelah dilakukan uji validitas, kemudian aitem-
aitem yang valid dicari koefisien reliabilitasnya. Menghitung koefisien reliabilitas ini
menggunakan teknik analisis Alpha Cronbach. Cara menghitungnya dilakukan
dengan bantuan komputer program SPSS for MS windows release versi 12.0
Berdasarkan penghitungan reliabilitas tersebut diperoleh hasil untuk aitem-aitem
persepsi budaya organisasi dengan koefisien reliabilitas (rtt) sebesar 0,951, sedangkan
untuk aitem-aitem motivasi intrinsik dengan koefisien reliabilitas (rtt) sebesar 0,895,
dan untuk aitem-aitem burnout dengan koefisien reliabilitas (rtt) sebesar 0,797, hasil
selanjutnya dapat dilihat pada lampiran.
4. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 30 September – 8 Oktober 2010
dengan menggunakan alat ukur berupa Skala Persepsi Budaya Organisasi yang terdiri
dari 46 aitem, Skala Motivasi Intrinsik yang terdiri dari 25 aitem dan Skala Burnout
yang terdiri dari 19 aitem. Pembagian dan pengisian skala dilakukan setelah
mendapatkan ijin dari koordinator training yang mengampu.
Subyek untuk penelitian yaitu karyawan bagian logistik sebanyak 30 karyawan.
Peneliti kemudian menjelaskan tentang cara mengerjakan skala dan memberikan
contoh pengerjaan. Peneliti menitipkan skala penelitian kepada koordinator training
agar dapat dibagikan pada waktu yang tepat. Setelah satu minggu kemudian, peneliti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
kembali lagi untuk mengumpulkan data yang sudah diselesaikan dan dilanjutkan
melakukan skoring.
5. Pelaksanaan Skoring
Setelah penyusunan alat ukur penelitian selesai kemudian dilakukan
pemberian skor terhadap 30 eksemplar data penelitian untuk keperluan analisis data.
Nilai skala pada Skala Persepsi Budaya Organisasi, Skala Motivasi Intrinsik, dan
Skala Burnout adalah model Likert. Model Likert yang digunakan telah dimodifikasi
menjadi empat kategori distribusi respons jawaban yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai
(S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS) serta Selalu (SL), Sering
(SR), Kadang-kadang (KD), dan Tidak Pernah (TP) untuk Skala Burnout. Skala
Persepsi Budaya Organisasi dibagi atas empat bagian yang diberi nilai satu sampai
dengan empat. Skala Persepsi Budaya Organisasi dan Skala Motivasi Intrinsik dalam
penelitian ini mengandung kontinum favorable (mendukung) dan unfavorable (tidak
mendukung). Pemberian skor untuk kontinum favorable bergerak dari empat sampai
satu, sedangkan skor untuk kontinum unfavorable bergerak dari satu sampai empat.
Skala Persepsi Budaya Organisasi dan Skala Motivasi Intrinsik ini menggunakan
empat distribusi respons jawaban yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai
(TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Skala Burnout dalam penelitian ini juga
mengandung aitem favorable (mendukung) dan unfavorable (tidak mendukung).
Pemberian skor untuk aitem favorable bergerak dari empat sampai satu untuk SL, SR,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
KD, dan TP, sedangkan skor untuk aitem unfavorable bergerak dari satu sampai
empat untuk SL, SR, KD, dan TP.
Skor total setiap aitem yang diperoleh dari subjek penelitian dijumlahkan untuk
tiap-tiap alat ukur. Total skor setiap aitem dari setiap alat ukur yang diperoleh subjek
ini akan digunakan dalam analisis data.
C. Hasil Analisis Data Penelitian
Perhitungan analisis data dilakukan setelah uji asumsi yang meliputi uji
normalitas sebaran, uji linearitas hubungan, uji otokorelasi, uji heteroskedastisitas,
dan uji multikolinearitas. Perhitungan dalam analisis ini dilakukan dengan bantuan
komputer seri program statistik SPSS for MS Windows release versi 12.0.
1. Uji Asumsi
a. Uji Normalitas
Uji Normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi variabel
pengganggu (e) memiliki distribusi normal atau tidak. Dalam penelitian ini digunakan
Kolmogorov-Smirnov Test untuk menguji normalitas. Kriteria yang digunakan yaitu
dengan membandingkan nilai p yang diperoleh dengan taraf signifikan yang telah
ditentukan yaitu 0,05. Apabila nilai p > 0,05, maka data yang diuji normal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
Tabel 13
Hasil Uji Normalitas
persepsi budaya
organisasi motivasi intrinsik burnout
N 30 30 30
Normal Parameters(a,b) Mean 93.8000 50.0000 37.0333 Std. Deviation 24.38824 12.12293 9.78910
Most Extreme Differences
Absolute .079 .071 .157 Positive .079 .069 .075 Negative -.054 -.071 -.157
Kolmogorov-Smirnov Z .433 .389 .862 Asymp. Sig. (2-tailed) .992 .998 .448
a Test distribution is Normal. b Calculated from data
Berdasarkan tabel 13 di atas hasil perhitungan uji Kolmogorov-Smirnov Test
dapat dilihat dari Asymp. Sig. (2-tailed) berupa harga p. Hasil untuk variabel persepsi
budaya organisasi 0,433, motivasi intrinsik 0,389, dan burnout 0,862. Semua variabel
penelitian mempunyai nilai p > 0,05, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa data
yang diuji berdistribusi normal.
b. Uji Heteroskedastisitas
Heteroskedastisitas adalah suatu keadaan jika varian dari e tidak konstan. Dalam
penelitian ini Heteroskedastisitas dideteksi menggunakan Uji Glejser, dengan kriteria
jika sig. > 0,05 berarti asumsi homoskedastisitas terpenuhi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
Tabel 14 Hasil Uji Heteroskedastisitas
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
t Sig. B Std. Error Beta 1 (Constant) -.574 .319 -1.801 .083
persepsi budaya organisasi
-.004 .008 -.203 -.505 .054
motivasi intrinsik .041 .015 1.070 2.662 .013
a Dependent Variable: burnout
Hasil uji Glejser ini dapat dilihat dari kolom sig. Untuk variabel persepsi budaya
organisasi 0,054, dan motivasi intrinsik 0,013. Dari hasil tersebut pada tingkat
signifikansi 5% variabel independen ternyata tidak signifikan mempengaruhi absolut
residual (sig. > 0,05), berarti bahwa asumsi homoskedastisitas terpenuhi. Dapat
disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas.
c. Uji Autokorelasi
Autokorelasi merupakan korelasi antar sesama urutan pengamatan dari waktu ke
waktu atau secara ruang. Adapun metode yang digunakan untuk mendeteksi
autokorelasi adalah uji Durbin Watson (DW Test), dengan kriteria :
Bila DW terletak di antara dU dan 4 – dU, maka tidak ada autokorelasi.
Bila DW lebih rendah dari dL, berarti ada autokorelasi positif.
Bila DW lebih besar daripada 4 – dL, maka ada autokorelasi negatif.
Bila DW terletak di antara batas atas (dU) dan batas bawah (dL) atau 4-dU dan 4 - dL,
maka tidak dapat disimpulkan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
Tabel 15 Hasil Uji Autokorelasi
Model R R Square Adjusted R
Square Std. Error of the Estimate Durbin-Watson
1 .874(a) .764 .747 .25985 2.236
a Predictors: (Constant), motivasi intrinsik, persepsi budaya organisasi b Dependent Variable: burnout
Berdasarkan pengujian yang dilakukan pada level of significance 5% dengan k
= 2 dan n = 30 diperoleh dL 1,28 dan dU = 1,57. Tidak terdapat autokorelasi jika nilai
DW hitung terletak antara 1,57 dan 2,43. Hasil uji auto korelasi pada tabel 16
diperoleh nilai 2,236 yang berarti DW terletak diantara dU dan 4- dU, sehingga dapat
disimpulkan bebas autokorelasi.
d. Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas merupakan korelasi yang nyata di antara variabel independen
dalam sebuah model. Untuk mendeteksi adanya multikolinearitas dapat dilihat dari
nilai Variance Tolerance Factor (VIF) atau Tolerance. Jika VIF < 10 atau Tolerance
> 0,1 maka tidak terjadi multikolinearitas.
Tabel 16 Hasil Uji Multikolinearitas
Model Unstandardized
Coefficients Standardized Coefficients t Sig. Collinearity Statistics
B Std. Error Beta Tolerance VIF
1 (Constant) -.574 .319 -1.801 .083 persepsi
budaya organisasi
-.004 .008 -.203 -.505 .054 .618 8.517
motivasi intrinsik .041 .015 1.070 2.662 .013 .618 6.500
a Dependent Variable: burnout
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
Dari hasil uji multikolinearitas pada tabel 16 diperoleh nilai VIF (8, 517; 6, 500 )
< 10 atau Tolerance (0,618 ; 0,618) > 0,1 dapat disimpulkan bahwa dalam model
regresi tersebut tidak terdapat multikolinearitas.
2. Uji Hipotesis
Setelah dilakukan uji asumsi, langkah selanjutnya adalah melakukan perhitungan
untuk menguji hipotesis yang diajukan dengan teknik analisis regresi dua prediktor.
Pengujian hipotesis dengan F-test ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
variabel independen terhadap variabel dependen secara simultan (bersama-sama).
Hasil F-test menunjukkan variabel independen secara bersama-sama berpengaruh
terhadap variabel dependen jika p-value (pada kolom Sig.) lebih kecil dari level of
significant yang ditentukan, atau F hitung (pada kolom F) lebih besar dari F tabel.
Hasil F-test pada output SPSS dapat dilihat pada tabel Anova (Nugroho,2005).
Melalui hasil uji simultan ini dapat diperoleh keputusan diterima tidaknya uji
hipotesis.
a. Nilai output SPSS menunjukkan F-reg sebesar p-value 0,000 < 0,05
sedangkan F hitung 43, 738 > dari F tabel 4, 21 serta R sebesar 0, 874, maka
hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini dapat diterima, yaitu terdapat
hubungan antara persepsi budaya organisasi dan motivasi intrinsik dengan
burnout karyawan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 17 di bawah
ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
Tabel 17 Uji Hipotesis
b. Nilai koefisien regresi antara variabel persepsi budaya organisasi dengan
burmout (rx1y) sebesar 0,838 dengan p-value 0,000 < 0,05 yang berarti ada
hubungan yang signifikan antara persepsi budaya organisasi dengan burnout.
Dapat diartikan bahwa persepsi budaya organisasi berkorelasi dengan
burnout. Jika persepsi budaya organisasi semakin meningkat hasil burnout
tinggi, dan ini mengartikan adanya hubungan yang positif. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel 18 di bawah ini.
Tabel 18 Uji Korelasi
persepsi budaya
organisasi Burnout persepsi budaya organisasi
Pearson Correlation 1 ,838(**) Sig. (2-tailed) . ,000 N 30 30
burnout Pearson Correlation ,838(**) 1 Sig. (2-tailed) ,000 . N 30 30
c. Nilai koefisien korelasi antara variabel motivasi intrinsik dengan burnout
(rx2y) menunjukkan nilai koefisien korelasi sebesar 0,873 dengan p-value
0,000 < 0,05 yang berarti ada hubungan yang signifikan antara motivasi
intrinsik dengan burnout. Dapat diartikan bahwa motivasi intrinsik berkorelasi
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 5.907 2 2.953 43.738 .000(a) Residual 1.823 27 .068 Total 7.730 29
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
dengan burnout. Jika motivasi intrinsik semakin meningkat hasil burnout
tinggi, dan ini mengartikan adanya hubungan yang positif. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel 19 di bawah ini.
Tabel 19 Uji Korelasi
burnout
motivasi intrinsik
burnout Pearson Correlation 1 ,873(**) Sig. (2-tailed) . ,000 N 30 30
motivasi intrinsik Pearson Correlation ,873(**) 1 Sig. (2-tailed) ,000 . N 30 30
3. Mean Empirik (ME) dan Mean Hipotetik (MH)
Berikut ini akan disajikan deskripsi data penelitian dan subjek penelitian.
Deskripsi data penelitian disajikan sebagai gambaran umum tentang data penelitian
yang lengkap dalam tabel 20.
Tabel 20 Deskripsi Data Penelitian
Alat Ukur Jumlah Subjek
Data Hipotetik M SD Data Empiris M SD Skor min
Skor maks
Skor min
Skor maks
Persepsi Budaya Organisasi
30 46 184 115 23 76 180 126.2 25.71
Motivasi Intrinsik 30 25 100 62.5 12.5 50 108 77.43 13.40 Burnout 30 19 76 47.5 9.5 20 56 37, 33 9, 78 Keterangan
Jml : Jumlah M : Rerata Min : Minimal SD : Standar Deviasi
Maks: Maksimal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
a. Skala Persepsi Budaya Organisasi
Skala Persepsi Budaya Organisasi akan dikategorikan untuk mengetahui tinggi
rendahnya nilai subjek. Kategorisasi yang dilakukan adalah dengan mengasumsikan
bahwa skor populasi subjek terdistribusi secara normal, sehingga skor hipotetik
didistribusikan menurut model normal (Azwar, 2008). Skor minimal yang diperoleh
subjek adalah 46 X 1 = 46 dan skor maksimal yang dapat diperoleh subjek adalah 46
X 4 = 184, maka jarak sebarannya adalah 184 - 46 = 138 dan setiap satuan deviasi
standarnya bernilai 138/6 = 23, sedangkan rerata hipotetiknya adalah 46 X 2,5 = 115.
Apabila subjek digolongkan dalam 5 kategorisasi, maka akan didapat kategorisasi
serta distribusi skor subjek seperti pada tabel 21.
Tabel 21 Kriteria Kategori Skala Persepsi Budaya Organisasi
dan distribusi skor subjek Standart Deviasi
Skor Kategorisasi Subjek Rerata Empirik Frek (ΣN) Presentase
(MH-3s) ≤ X < (MH-1,8s) 46 ≤ X < 85,1 Sangat rendah
3 10
(MH-1,8s) ≤ X < (MH-0,6s) 85, 1 ≤ X < 101,2 Rendah 2 6,66 (MH- 0,6s) ≤ X < (MH+0,6s) 101,2 ≤ X <128,8 Sedang 11 36,66 126,2 (MH+ 0,6s) ≤ X < (MH+1,8s) 128,8 ≤ X <144,9 Tinggi 7 23,33 (MH+1,8s) ≤ X < (MH+3s) 144,9 ≤ X < 184 Sangat tinggi 7 23,33
Jumlah 30 100
Dari kategori Skala Persepsi Budaya Organisasi seperti terlihat pada tabel, dapat
dilihat bahwa subjek secara umum memiliki tingkat persepsi budaya organisasi yang
sedang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
b. Skala Motivasi Intrinsik
Skala Motivasi Intrinsik akan dikategorikan untuk mengetahui tinggi rendahnya
nilai subjek. Kategorisasi yang dilakukan adalah dengan mengasumsikan bahwa skor
populasi subjek terdistribusi secara normal, sehingga skor hipotetik didistribusikan
menurut model normal (Azwar, 2008). Skor minimal yang diperoleh subjek adalah
25X 1 = 25 dan skor maksimal yang dapat diperoleh subjek adalah 25 X 4 = 100.
Maka jarak sebarannya adalah 100 - 25 = 75 dan setiap satuan deviasi standarnya
bernilai 75/6 = 12,5 sedangkan rerata hipotetiknya adalah 25 x 2,5 = 62, 5. Apabila
subjek digolongkan dalam 5 kategorisasi, maka akan didapat kategorisasi serta
distribusi skor subjek seperti pada tabel 22.
Tabel 22 Kriteria Kategori Skala Motivasi Intrinsik dan distribusi skor subjek
Standart Deviasi
Skor Kategorisasi Subjek Rerata Empirik Frek (ΣN) Presentase
(MH-3s) ≤ X < (MH-1,8s) 25 ≤ X < 40 Sangat rendah
- -
(MH-1,8s) ≤ X < (MH-0,6s) 40 ≤ X < 55 Rendah 2 6,66 (MH- 0,6s) ≤ X < (MH+0,6s) 55 ≤ X < 70 Sedang 6 20 (MH+ 0,6s) ≤ X < (MH+1,8s) 70 ≤ X < 85 Tinggi 14 46,66 77,43 (MH+1,8s) ≤ X < (MH+3s) 85 ≤ X < 100 Sangat tinggi 8 26,67
Jumlah 30 100
Dari kategori Skala Motivasi Intrinsik seperti terlihat pada tabel, dapat dilihat
bahwa subjek secara umum memiliki tingkat motivasi intrinsik yang tinggi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
c. Skala Burnout
Skala Burnout dikategorikan untuk mengetahui tinggi rendahnya nilai subjek.
Kategorisasi yang dilakukan adalah dengan mengasumsikan bahwa skor populasi
subjek terdistribusi secara normal, sehingga skor teoritis didistribusi menurut model
normal (Azwar, 2008). Skor minimal yang diperoleh subjek adalah 19 X 1 = 19 dan
skor maksimal yang dapat diperoleh subjek adalah 19 X 4 = 76 maka jarak
sebarannya adalah 76 - 19 = 57 dan setiap satuan deviasi standarnya bernilai 57/6 =
9,5 sedangkan rerata hipotetiknya adalah 19 X 2,5 = 47,5. Apabila subjek
digolongkan dalam 5 kategorisasi, maka didapat kategorisasi serta distribusi skor
subjek seperti pada tabel 23.
Tabel 23 Kriteria kategori Skala Burnout dan distribusi skor subjek
Standart Deviasi
Skor Kategorisasi Subjek Rerata Empirik Frek (ΣN) Presentase
(MH-3s) ≤ X < (MH-1,8s) 19 ≤ X < 30,4 Sangat rendah 8 26, 67 (MH-1,8s) ≤ X < (MH-0,6s) 30,4 ≤ X < 41,8 Rendah 7 23, 33 (MH- 0,6s) ≤ X < (MH+0,6s) 41,8 ≤ X < 53,2 Sedang 13 43, 33 37, 33 (MH+ 0,6s) ≤ X < (MH+1,8s) 53,2 ≤ X < 64,6 Tinggi 2 6, 66 (MH+1,8s) ≤ X < (MH+3s) 64,6 ≤ X < 76 Sangat tinggi - -
Jumlah 30 100
Dari kategori Skala Burnout seperti terlihat pada tabel, dapat dilihat bahwa
subjek secara umum memiliki tingkat burnout yang sedang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
104
4. Sumbangan relatif dan sumbangan efektif
Sumbangan Relatif (SR) dan Sumbangan Efektif (SE) merupakan suatu ukuran
seberapa besar prediktor-prediktor dalam regresi memiliki kontribusi terhadap
variabel kriterium. Dengan menghitung SR dan SE akan diketahui tentang prediktor
mana yang paling besar sumbangannya terhadap terbentuknya variasi dalam satuan-
satuan kriterium regesi. Hasil analisis menunjukkan:
a. SR persepsi budaya organisasi dengan burnout sebesar 62 % dan SR motivasi
intrinsik dengan burnout sebesar 38 %. Hasil tersebut menunjukkan besarnya
sumbangan masing-masing prediktor terhadap kuadrat regresi.
b. SE persepsi budaya organisasi dengan burnout sebesar 47,37 % dan SE motivasi
intrinsik dengan burnout sebesar 29,03%. Hasil tersebut menunjukkan besarnya
sumbangan tiap-tiap prediktor terhadap keseluruhan efektivitas garis regresi yang
digunakan sebagai dasar prediksi. Total sumbangan efektif sebesar 76,40%
ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,764.
D. Pembahasan
Hasil uji hipotesis penelitian menunjukkan diterimanya hipotesis yang
diajukan, yakni adanya hubungan antara persepsi budaya organisasi dan motivasi
intrinsik dengan burnout pada karyawan di PT. Krakatau Steel Cilegon. Berdasarkan
hasil analisis menggunakan teknik analisis regresi dua prediktor yang dihasilkan dari
hubungan ketiga variabel tersebut diperoleh p-value 0,000 < 0,05 sedangkan F hitung
43, 738 > dari F tabel 4, 21 serta R sebesar 0,874. Hal ini berarti persepsi budaya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
105
organisasi dan motivasi intrinsik dapat digunakan sebagai prediktor untuk
memprediksi burnout. Persepsi budaya organisasi dan motivasi intrinsik yang
dimiliki karyawan semakin meningkat maka semakin meningkat pula burnout yang
terjadi pada karyawan. Berdasarkan hasil perhitungan analisis regresi tersebut maka
hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini dapat diterima yaitu ada peran persepsi
budaya organisasi dan motivasi intrinsik dengan burnout pada karyawan, dengan
sumbangan efektif sebesar 76,40%. Sumbangan efektif masing-masing prediktor
yaitu persepsi budaya organisasi memiliki peran 47,37% sedangkan motivasi intrinsik
yaitu 29,03%.
Budaya organisasi pada hakekatnya adalah pondasi suatu organisasi, jika
pondasi yang dibuat tidak cukup kokoh maka betapapun bagusnya bangunan pondasi
itu tidak akan cukup kokoh menopangnya. Budaya organisasi merupakan satu unsur
terpenting dalam organisasi yang mengarah pada perilaku yang dianggap tepat,
mengikat, dan memotivasi anggota yang ada di dalamnya. Kebudayaan akan
mempengaruhi cara berpikir, sikap, dan perilaku seseorang. Dengan demikian,
pemahaman budaya organisasi menjadi penting, mengingat adanya keanekaragaman
budaya yang dibawa oleh karyawan ke dalam organisasi. Persepsi budaya organisasi
ini berperan sebagai nilai-nilai yang menjadi landasan bagi sistem dan praktek
manajemen serta perilaku yang timbul dari setiap karyawan (Denison, 2003).
Peran budaya organisasi ini adalah sebagai objek dan konteks yang akan
dipersepsi oleh seluruh anggota organisasi. Osborne dan Plastrik (2000)
mengungkapkan, budaya organisasi sebagai seperangkat perilaku, perasaan, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
106
kerangka psikologis yang terinternalisasi sangat mendalam dan dimiliki bersama oleh
anggota organisasi. Budaya organisasi memberikan karyawan rasa kenyamanan,
keamanan, kebersamaan, rasa tanggung jawab, ikut memiliki, tahu bagaimana
bersikap, apa yang harus mereka kerjakan, dan sebagainya.
Persepsi budaya organisasi ini memerlukan komitmen dari seluruh karyawan,
mulai dari top, middle sampai lower atau operasioal yang merupakan persyaratan
mutlak untuk tetap terpeliharanya budaya organisasi. Komitmen saja tidak sekedar
keterkaitan secara fisik, tapi juga secara mental. Sehingga dapat terwujudnya persepsi
budaya organisasi yang sesuai dengan visi dan misi perusahaan.
Hasil penelitian ini juga diperkuat oleh penelitian yang telah dilakukan oleh
Sedjo (2005), menemukan adanya kontribusi persepsi budaya organisasi yang
signifikan terhadap burnout, dapat dilihat dari semua dimensi persepsi budaya
organisasi memiliki hubungan dengan burnout. Semakin tinggi persepsi budaya
organisasi akan semakin tinggi pula burnout yang terjadi pada karyawan.
Dikarenakan, organisasi merupakan salah satu penyebab terjadinya burnout
dikarenakan hal ini dapat timbul dari persepsi yang dianut bersama oleh anggota-
anggota organisasi. Sistem makna bersama ini, bila diamati lebih jauh merupakan
seperangkat karakteristik utama yang dihargai oleh organisasi.
Sehubungan dengan hal tersebut motivasi intrinsik juga memberikan
sumbangan efektif lebih kecil terhadap burnout. Hal tersebut dapat terjadi karena
motivasi intrinsik merupakan motivasi yang berfungsi tanpa adanya rangsangan dari
luar, dalam diri individu sudah ada suatu dorongan untuk melakukan tindakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
107
(Winardi, 2001). Motivasi intrinsik ini selalu berperan dalam penyelesaian sesuatu
peristiwa karena ini merupakan motivator yang sangat kuat dari perilaku manusia dan
dapat digunakan untuk membuat seseorang lebih produktif.
Ray dan Miller (1994), mengungkapkan tugas dan tanggung jawab kerja yang
diberikan kepada setiap karyawan merupakan salah satu sumber motivasi intrinsik
yang ada di dalam diri karyawan. Motivasi intrinsik ini dapat timbul atau ada tidak
semata-mata karena adanya reward atau hadiah kecuali untuk aktivitas itu sendiri.
Meningkatnya motivasi, kesanggupan, dan kesediaan anggota atau karyawan untuk
bersama-sama berusaha dalam mengembangkan organisasi, yang merupakan harapan
dari organisasi tersebut.
Motivasi intrinsik ini juga dapat mengarahkan tingkah laku seseorang dengan
titik berat pada bagaimana prestasi dicapai (Mc Clelland, dalam Hawadi, 2001).
Keinginan seseorang untuk berprestasi yang berlebihan dapat mengakibatkan
terjadinya kelelahan pada dirinya sendiri. Akan tetapi, motivasi intrinsik ini dapat
menciptakan kretivitas, pembelajaran konsep, pencarian tantangan dan kesenangan
dalam belajar secara lebih cepat dibandingkan dengan motivasi ekstrinsik (Stipek,
2002).
Perasaan-perasaan yang dimiliki oleh setiap orang seperti, adanya pilihan
yang harus diambilnya, kompetensi, memiliki arti di dalam hidupnya, dan keinginan
untuk selalu maju inilah yang dicapai oleh seseorang yang mengalami motivasi
intrinsik (Thomas, 2000). Motivasi intrinsik ini dapat dijadikan dorongan dari dalam
diri seseorang yang memiliki kekuatan besar untuk mencapai segala sesuatu yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
108
sesuai dengan harapannya dalam pemenuhan kebutuhannya dalam berkompetisi
dengan lingkungannya. Motivasi intrinsik seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor diantaranya adalah pekerjaan itu sendiri, prestasi yang diraih, peluang untuk
maju, pengakuan orang lain, dan tanggung jawab. Jika motivasi intrinsik yang
dilakukan semakin tinggi maka akan semakin tinggi pula burnout yang terjadi.
Penelitian ini dikenakan pada karyawan PT. Krakatau Steel Cilegon, maka hasil
penelitian ini dapat digeneralisasikan pada kelompok karyawan dewasa madya di
tempat lain atau karyawan pada umumnya yang memiliki karakteristik yang sama.
Mengingat bahwa penelitian mengenai hubungan ketiganya baru sekali ini
dilakukan sepanjang pengamatan penulis, sehingga masih memiliki banyak
keterbatasan. Dengan penelitian berulang-ulang disertai perubahan dan
penyempurnaan dalam teknik pengukuran, pemakaian alat ukur, prosedur penelitian,
maupun memeperluas ruang lingkup penelitian, diharapkan dapat memberikan hasil
penelitian hubungan di antara ketiga variabel tersebut dengan lebih baik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 109
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dapat ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1. Ada hubungan positif yang antara persepsi budaya organisasi dan motivasi
intrinsik dengan burnout pada karyawan. Hal ini telah dibuktikan dengan analisis F-
test yang dapat dilihat melalui Anova dalam output SPSS. Besarnya F-hitung yang
diperoleh 43, 738 > dari F tabel 4, 21 serta R sebesar 0, 874, maka hipotesis diterima,
sehingga dapat dinyatakan ada hubungan persepsi budaya organisasi dan motivasi
intrinsik dengan burnout pada karyawan.
2. Ada hubungan positif antara persepsi budaya organisasi dengan burnout pada
karyawan. Hal ini telah dibuktikan dengan analisis korelasi Product Momen
(Pearson) diperoleh p value sebesar 0,00, p value < 0,05 (α) maka hipotesis
diterima, sehingga dapat dinyatakan ada hubungan antara persepsi budaya organisasi
dengan burnout pada karyawan. Besarnya hubungan antara persepsi budaya
organisasi dengan burnout pada karyawan. sebesar 0,838, berarti ada hubungan
positif antara persepsi budaya organisasi dengan burnout pada karyawan.
3. Ada hubungan positif antara motivasi intrinsik dengan burnout pada karyawan.
Hal ini telah dibuktikan dengan analisis korelasi Product Momen (Pearson) diperoleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 110
p value sebesar 0,00, p value < 0,05 (α), maka hipotesis diterima, sehingga dapat
dinyatakan ada hubungan positif antara motivasi intrinsik dengan burnout pada
karyawan. Besarnya hubungan antara motivasi intrinsik dengan burnout pada
karyawan sebesar 0,873.
B. Saran
1. Karyawan
Disarankan kepada karyawan untuk dapat menjalankan tugas serta tanggung
jawabnya sesuai dengan visi dan misi organisasi dengan cara adanya keinginan untuk
selalu maju, memiliki rasa keterikatan antara dirinya dengan organisasi, dan
melaksanakan tugasnya sesuai dengan prosedur yang berlaku, sehingga dapat di
persepsikan sebagai persepsi budaya organisasi yang baik.
2. Perusahaan
Perusahaan disarankan dapat membantu karyawannya dalam menciptakan
lingkungan kerja yang positif dan memunculkan motivasi pada diri karyawan
sehingga dapat menekan kecenderungan burnout pada karyawan.
3. Bagi peneliti selanjutnya.
Untuk penelitian selanjutnya yang berminat untuk mengangkat tema yang sama
diharapkan dapat mempertimbangkan variabel-variabel lain yang lebih
mempengaruhi burnout seperti dukungan sosial, karakteristik kepribadian, dan
disarankan juga untuk menggunakan data yang tersebar normal. Hal lain yang perlu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 111
diperhatikan adalah menggunakan data tambahan seperti observasi dan wawancara
agar hasil yang didapat lebih mendalam dan sempurna, karena tidak semua hal dapat
diungkap dengan angket.