Post on 08-Apr-2016
Personaliti Brand Halal dan Pengaruhnya terhadap Intensi Membeli Mahdi
Borzooei and Maryam Asgari Business Management Faculty, Universiti
Teknologi MARA, Shah Alam, Malaysia
Abstrak. Halal bukan hanya merupakan sebuah isu agama, Halal juga
merupakan isu pada kajian bisnis dan penjualan. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengusulkan sebuah model dalam menentukan personaliti brand Halal
dan menguji dampaknya pada kepercayaan dan intensi membeli. Secara khusus,
komitmen beragama dengan dimensi intra-personal dan inter-personal disajikan
sebagai variabel moderator. Sebuah kajian literatur dilakukan untuk memilih
model teori yang sesuai berdasarkan variable-variabel yang sudah diketahui.
Sebagai tambahan, makalah ini menyediakan wawasan mengenai masing-masing
variable yang diusulkan dalam model. Implikasi praktis dari penelitian ini adalah
untuk memperluas jendela baru untuk tim pemasaran dan bisnis di Negara-negara
berbeda yang terlibat dalam bisnis Halal. Pembangunan brand Halal yang kuat
dapat membantu perusahaan untuk mendapatkan pengakuan, kredibilitas dan
menjadi pemain utama di pasar yang menguntungkan di dunia. Menjadikan Halal
sebagai lensa dari brand ing pada lingkungan bisnis meningkatkan citra dari
Halal dan menjadikannya lebih dikenal dikalangan non-muslim. Pada akhirnya,
ini merupakan penelitian perintis yang bertujuan untuk mengimplementasikan
personaliti brand dan kepercayaan brand pada keHalalan.
Kata kunci : Halal, personaliti brand , kepercayaan brand , Intensi Membeli,
Komitmen Agama
1. Introduction
The word Halal has many connotations and it is difficult if not impossible to use
it to adequately convey the true quality of a product in the religious context
intended by the certifying authorities (Wilson & Liu, 2010; Hanzaee & Ramezani,
2011).
1. Pengantar
Kata Halal memiliki banyak konotasai dan sulit untuk menggunakannya untuk
menyampaikan kualitas sebenarnya dalam konteks agama seperti yang
dimaksudkan oleh pihak otoritas sertifikasi. (Wilson & Liu, 2010; Hanzaee &
Ramezani, 2011).
Kata Halal berasal dari kata kerja “halla”, dimana memiliki arti berhukum, legal,
sah, dan diizinkan untuk umat muslim (Jallad, 2008). Pada kenyataannya, Halal
merupakan kebutuhan spiritual dari konsumen muslim (Alserhan, 2010) yang
memainkan peran penting dalam kehidupan mereka dengan mengirimi mereka
sinyal untuk membeli dan mengkonsumsi produk yang diperbolehkan (Rajagopal
et al. 2011; Shafie & Othman, 2006).
Populasi muslim saat ini mendekati seperempat dari populasi dunia, dan di
diproyeksi terus meningkat setiap tahunnya rata-rata 26-28% sejak tahun 2010
(Muhammad et al., 2009; Hanzaee & Ramezani, 2011) hal ini akan mendorong
pada permintaan yang akan semakin terukur pada produk Halal secara global
(Temporal, 2011; Cheng, 2008).
Tingkat permintaan yang signifikan ini memotivasi bisnis (Muslim dan non-
Muslim) untuk berupaya mendapat dan menjaga pangsa pasar maksimum. (Lada
et al.,2009). Misalnya, McDonald’s dan Nestle melakukan investasi secara
substansial untuk mendapat pangsa yang besar pada pasar ini.
Pada pasar yang penuh persaingan, setiap produk menawarkan banyak brand
yang berbeda, dan setiap brand mencoba untuk memenangkan tempat khusus dan
menarik banyak konsumen (Aziz & Vui, 2012).
Halal sebagai asset sentral pada pemasaran secara islam (Rajagopal et al., 2011)
memiliki syarat dan kualifikasi dari sebuah entitas brand yang sah (Nawai et al.,
2007; Salman & Siddiqui, 2011; Isfahani et al., 2013). Pada kenyataannya, brand
Halal merupakam tempat yang aman untuk mengurangi rasa ketidakyakinan
dalam pembelian produk. Hal ini juga dapat menjadi sumber dalam membangun
hubungan baik yang kuat dengan konsumen.
Sementara itu penelitian-penelitian terdahulu yang sudah dikerjakan, juga
mengeksplorasi aspek berbeda dari brand Halal seperti kondisi pasar Halal
(Alserhan, 2010), management suplai pemasok produk Halal (Tieman, 2011),
konsep dari Halal (Jallad, 2008) dan Sertifikasi Hallal (Shafie & Othman, 2006;
Noordin et al., 2009). Persepsi Non-muslim mengenai Halal (Golnaz et al., 2010).
Terdapat kelangkaan penelitian pada implementasi teori brand pada brand Halal.
Untu mengisi kesenjangan ini, penelitian ini menggunakan lima dimensi dari
personaliti brand yang diidentifikassi oleh Aaker (1997) seperti juga kepercayaan
brand sebagai hubungan kuat yang besar antara brand dan konsumen (Serrat,
2009).
Terdapat beberapa alasan agar tetap fokus pada Halal itu sendiri sebagai sebuah
aspek branding. Pertama Halal dapat menjadi lebih dari sekedar indikator dari
produk yang sehat dan alami, dan Halal saat ini hanya memiliki sebuah hubungan
citra yang tidak sesuai dalam pikiran konsumen barat (Temporal 2011). Kedua,
penelitian ini membantu perusahaan-perusahaan untuk memasuki pasar baru
dengan menambah nilai pada produknya dalam lingkungan yang kompetitif ini.
Terakhir, konsumen muslim tidak dapat mengakses produk Halal dimana saja di
pasar, tetapi hanya di beberapa outlet saja (Dali et al, 2009). Misalnya, di
Amerika, terdapat 90000 khoser (Istilah Halal Yahudi) produk bernilai mendekati
USD 100 Miliar. Perbandingannya hanya terdapat 1000 produk Halal yang
tersedia di pasar yang sama (Alserhan, 2010).
Kondisi ini dapat diperbaiki dengan meningkat kesadaran dan mengenalkan
dimensi brand Halal diantara produsen non-muslim, untuk mencapai pijakan
pasar yang kuat di lebih dari 1,5 miliar orang yang berdasarkan pada nilai, prinsip
dan praktik islam.
Akhirnya penelitian ini fokus pada implementasi model personaliti brand untuk
mengidentifikasi personaliti brand Halal, dan dampaknya pada intensi membeli
melalui mediasi kepercayaan pada brand dan di moderasi dampak dari komitmen
beragama.
Dengan demikian penelitian ini menyediakan sebuah landasan yang sangat baik
yang akan digunakan untuk mengaplikasikan teori brand yang berbeda pada
brand Halal. Selanjutnya model teoritikal (Gambar 1) menunjukan konstruk dan
hubungan-hubungan dalam model. Untuk lebih memahami arti penting dari
implementasi teori-teori branding pada intensi pembelian, berikut adalah tujuan
dilakukannya penelitian ini:
1) Untuk menginvestigasi pengaruh dari personaliti brand terhadap intensi
pembelian
2) Untuk meninvestigasi dampak dari personaliti brand terhadap intensi
pembelian dengan perantara kepercayaan terhadap brand
3) Untuk menginvestigasi dampak moderasi dari komitmen beragama antara
personality brand dengan kepercayaan terhadap brand , dan juga
personaliti brand dengan intensi pembelian
Gambar 1 : Kerangka teori yang diajukan
Model yang diajukan didesain dengan personaliti brand sebagai variable
independen dengan lima dimensi, yaitu: ketulusan, keunggulan, gairah/ semangat,
kemewahan, dan kekuatan. Kepercayaan pada brand dan komitmen beragama
memainkan peran masing-masing yaitu sebagai variable perantara dan variable
moderasi, dimana intensi pembelian adalah satu-satunya variable dependen.
Diskusi selanjutnya menyajikan gambaran dari variabel dan juga kesimpulan.
2. Personaliti Brand
Personaliti brand diambil dari teori kebiasaan konsumen dan psikologi manusia
(Heding et al., 2009). Aaker (1997) mengembangkan sebuah model brand
personality yang terdiri dari lima dimensi dasar yaitu ketulusan (sincerity),
keunggulan (competence) , gairah (excitement), kemewahan (sophistication), dan
kekuatan (ruggedness) untuk menghitung nilai personaliti brand . Meskipun
sebagian model personaliti brand sudah dikembangkan oleh banyak peneliti yang
berbeda, model dari Aaker’s (Gambar 2) masih lebih popular dan valid untuk
menghitung nilai dari personaliti brand (Freling et al., 2011). Pada kenyataannya,
personaliti brand sama dengan karakter manusia yang menggambarkan sebuah
brand yang memiliki karakteristik yang melekat dan berbeda (Tuan et al., 2012).
Selain itu personaliti dapat menciptakan kesempatan untuk sebuah brand
mendapat tempat yang khusus di dalam pikiran konsumennya (Upshaw, 1995).
Dalam konteks halal, konsumen memiliki definisi dan persepsi yang berbeda-beda
tentang Halal (Golnaz et al., 2010). Demikian, secara garis besar Personaliti
brand Halal membantu menyatukan kelompok-kelompok dengan perbedaan yang
ada (muslim dan non-muslim).
Pesonaliti juga merupakan sebuah cara sehingga brand Halal dapat berbicara dan
mencerminkan prilaku. Sebagai contoh Marlboro memiliki konotasi jantan/
maskulin sedangkan Apple dikenal dengan karakter keren, bersahabat dan pilihan
para professional yang kreatif.
Oleh karena itu, penemuan Halal sebagai personaliti brand menolong konsumen
untuk merasa dekat dengan produk dan kemudian mengambilnya tanpa ragu-ragu.
Apalagi, personaliti brand seperti personaliti pada manusia yang tidak berubah
dengan mudah dan kombinasi karakter dengan brand membuat sebuah hubungan
yang kuat (Temporal, 2001). Oleh karena itu, personaliti brand dekat
hubungannya dengan karakter konsumen (costumer’s personality), maka
konsumen mungkin akan memilih brand dengan personaliti yang cocok dengan
personaliti mereka (Tuan et al., 2012). Dalam hal ini, menspesifikasikan
personaliti brand halal membantu konsumen (muslim dan non-muslim) untuk
menciptakan hubungan yang kuat dengan brand halal, dan dapat mengekspresikan
personaliti ataupun idealisme mereka melalui brand yang mereka beli dan
gunakan.
Gamber 2 : Dimensi Personaliti Brand
Lebih lanjutnya lagi, personality brand merupakan salah satu elemen utama dari
strategi brand (Temporal, 2011), yang perusahaan perlu untuk dikembangkan
dengan tujuan untuk menjadi bagian dari kehidupan konsumen (Choi et al., 2010).
Dan lagi memang, personaliti brand merupakan bagian yang penting bagi manajer
pemasaran untuk menciptakan perbedaan di pasar (Sung & Kim, 2010). Untuk
memudahkan, Aaker (1997) mendeskripsikan beberapa contoh dari brand yang
berbeda dengan personaliti yang berbeda seperti Mild Seven yang dikesankan
feminism, sedangkan IBM terkesan tua.
Demikian pula, penemuan personaliti brand halal menggambarkan cara brand
halal mengekspresikan dan mewakili dirinya – percaya (beliefs), nilai (values),
tampilan (features), ketertarikan (interests), dan warisan budaya (heritage)
yang brand halal ini miliki (dalam pasar dan tujuan penggunaannya)-
diantara pesaingnya. Selanjutnya, persepsi konsumen mengenai lima dimensi
personaliti brand akan berbeda-beda tergantung pada keuntungan yang mereka
dapat dari brand (Maehle et al., 2011).
Souche : aaker (1997)
Keuntungan-keuntungan ini terdiri dari tiga komponen, yaitu keuntungan
fungsional, keuntungan berdasar pengalaman (experiental), dan keuntungan
secara simbolik (symbolic) (Park et al.,1986). Keuntungan fungsional
mengindikasikan bahwa sebuah brand dapat menyelesaikan masalah konsumsi
saat ini atau mencegah masalah lainnya yang berpotensi muncul. Selanjutnya,
sebuah brand dengan konsep eksperiental yang didesain untuk melengkapi
kebutuhan stimulasi dan variasi yang dihasilkan secara internal, sedangkan
konsep simbolik didesain untuk menghubungkan produk dengan citra pribadi
yang diinginkan.
Misalnya, mengutip Maehle et al (2011), personaliti kompetensi memiliki
hubungan dengan keuntungan fungsional, sedangkan kekuatan dan kecanggihan
secara ekslusif juga memiliki hubungan dengan keuntungan simbolik. Dengan
demikian, pengenalan dari personaliti “Halal” dapat menunjukan keuntungan-
keuntungan spesifik dari brand halal.
Personaliti brand mempengaruhi hubungan antara konsumen dan brand (Louis &
Lombart, 2010). Di pasar, konsumen membangun hubungan dengan banyak brand
setiap harinya, sehingga personaliti brand adalah sebuah elemen penting pada
pembuatan keputusan yang dilakukan oleh konsumen, intensi pembelian dan
upaya menjaga hubungan yang kuat dengan sebuah brand (Louis & Lombart,
2010; Bouhlel et al., 2009). Begitu pula, personaliti brand sebagai sebuah konsep
yang menarik (Rajagopal, 2005), berdampak pada tingkat kepercayaan terhadap
brand sebagai sebuah hal yang fundamental bagi konsumen (Sung & Kim, 2010;
Freling et al., 2011).
Sebagai contoh, berdasarkan pada penelitian dari Maehle et al. (2011), merek
yang memiliki personaliti jujur menunjukan nilai moral yang tinggi, sedangkan
merek memiliki personaliti menarik menawarkan kesempatan untuk mengalami
perasaan yang menyenangkan. Pada hal ini, sebuah brand dengan personaliti yang
jujur dapat membangun sebuah hubungan yang lebih kuat dari pada sebuah brand
dengan personaliti yang menarik (Heding et al., 2009). Menemukan personaliti
yang benar dari produk halal dapat membantu tim pemasaran untuk lebih
memahami persepsi konsumen mengenai brand halal dan apa yang mereka
rasakan mengenai itu.
Sebagai ilustrasi, jika Halal mencerminkan sebuah kepribadian yang jujur, itu
akan mencerminkan kebenaran dari kepribadian manusia. Oleh karena itu,
karakteristik Halal ini dapat menciptakan hubungan yang tahan lama dan memberi
ketenangan pikiran kepada konsumen. Akhirnya, ketika tim pemasaran mengelola
dan mengembangkan personaliti brand, secara otomatis akan menyuntikkan
karisma kepada produk mereka (Temporal, 2001).
3. Kepercayaan pada Brand (Brand Trust)
Kepercayaan, yang merupakan bagian yang penting dari setiap manajemen
strategi (Temporal, 2011), adalah faktor penting dalam lingkungan bisnis hari ini
(Liza, 2011) untuk meningkatkan sebuah hubungan yang kuat antara brand dan
konsumennya (Matzler et al., 2006; Bouhlel et al., 2009).
Kepercayaan dapat dikategorikan menjadi aspek emosional dan rasional (Serrat,
2009; Temporal, 2011). Bagian emosional dihubungkan dengan kepercayaan diri
(confidence), keamanan (security), ketertarikan (interetest), kepedulian (respect),
kesukaan (liking), rasa terimakasih (gratitude), dan kekaguman (admiration)
(Serrat, 2009), sedangkan aspek rasional menunjukkan kredibilitas yang berkaitan
dengan kemampuan sebuah brand untuk memenuhi kebutuhan konsumen, dan
kinerja brand (Belaid & behi, 2011). Dalam konteks Halal, menurut sebuah studi
oleh Wilson dan Liu (2010), Halal memainkan beberapa peran pada kehidupan
muslim (bagian dari kepercayaan, kepentingan kehidupan sehari-hari, sistem
etika, dan kedamaian emosional). Dengan demikian, membangun sebuah brand
halal yang terpercaya memungkinkan perusahaan untuk menarik konsumen secara
emosional. Sebagai tambahan, dalam tujuan mencapai kepuasan dari sisi rasional,
bisnis harus memberikan perhatian yang besar pada kebutuhan konsumen melalui
mematuhi dengan benar peraturan syariah pada produk mereka. Dengan
demikian, kepercayaaan akan meningkatkan komitmen konsumen terhadap brand
(Mohamed & Daud, 2012)
Berdasarkan pada teori pemasaran, kepercayaan adalah bagian yang penting dari
sebuah hubungan, dimana sudah dipelajari dan diuji oleh para psikolog, sosiolog,
dan ekonom pada perpektif dari prinsip-prinsip manajemen dan pemasaran.
Sudah merupakan sebuah kesepakatan mereka bahwa ketika konsumen memiliki
kepercayaan pada sebuah brand diiringi dengan kepercayaan bahwa brand
tersebut akan secara konsisten memenuhi janjinya terkait nilai pada konsumen
(Delgado-Ballester & Munuera-Alemán, 2005).
Melalui analisa pada kepercayaan konsumen sebagai strategi pemasaran, sebuah
perusahaan dapat menjaga konsumennya yang sekarang dan memenangkan yang
lainnya juga (Sichtmann, 2007). Misalnya, mengenai peningkatan kesadaran
terhadap brand halal dikalangan konsumen kristiani dan yahudi (Alserhan, 2010),
menanamkan kepercayaan pada brand halal dapat meningkatkan permintaan di
pasar Halal karena konsumen akan memiliki keyakinan terhadap brand ketika
mereka mengenal brand tersebut dengan kagum dan menyenanginya.
Selanjutnya, pada pasar dengan tingkat persaingan tinggi, kepercayaan terhadap
brand merupakan keuntungan persaingan yang signifikan dimana memiliki
dampak yang hebat pada intensi kebiasaan konsumen. Terbukti bahwa
kepercayaan meningkatkan intensi konsumen melakukan pembelian (Liza, 2011;
Bouhlel et al., 2011) dan ini berdampak pada kebiasaan pembelian konsumen
yang berulang-ulang (Belaid & Behi, 2011).
Pada akhirnya, kepercayaan adalah elemen penting yang fokus pada hubungan
akan datang antara brand dan konsumen karena ini menjadi sebuah jaminan bagi
konsumen bahwa mereka akan mendapat nilai lebih dari brand, sedangkan
kurangnya kepercayaan akan berdampak negatif pada hubungan tersebut (Gurviez
& Korchia, 2002). Oleh karena itu, sangat diperlukan bagi sebuah brand untuk
bisa dipercaya dan dapat diandalkan oleh konsumen (Wang, 2002).
4. Komitmen Beragama
Agama adalah nilai inti dari budaya yang mengilhami kehidupan sehari-hari
anggota kelompok budaya (Mokhlis & Spartks, 2007). Faktanya agama
membentuk sitem moral individu dan struktur etik masyarakat. Komitmen
beragama, sering diistilahkan religiosity, dapat mempengaruhi individu secara
kognitif maupun secara kebiasaan (Mokhlis & Spartks, 2007). Selanjutnya, ini
merupakan sistem nilai yang membedakan masyarakat yang shaleh, kurang
beragama, dan tidak beragama.
Orang yang shaleh akan mengikuti prinsip agama mereka seperti setiap minggu
menghadiri peribadatan, ketat berkomitmen pada doktrin-doktin agama dan
keanggotaan dalam kelompok, akan tetapi orang yang memiliki kepercayaan pada
ajaran agama merasa lemah untuk melakukan hal lain dengan bebas. Sistem nilai
dari orang shaleh ini akan berpengaruh pada langsung pada kebiasaan pilihan
mereka di pasar, komitmen dan tingkat kepercayaan pada brand tertentu (Khraim,
2010; Rindfleisch et al., 2005).
Komitmen beragama terdiri dari dua dimensi yaitu intra personal dan inter
personal yang memainkan peran penting dan sama pada kehidupan orang
beragama (shaleh) (Mokhlis & Spartks, 2007). Dimensi internal menunjukan
identitas agama, sikap beragama, nilai, dan kepercayaan, sedangkan dimensi
external mengekspresikan afiliasi beragama, praktik-praktik beribadah, atau
keanggotaan pada komunitas beragama.
Sebagai sebuah pemahaman mengenai kebiasaan konsumen, tim pemasaran
sebaiknya mengupayakan dan menentukan sebagaimana kuat konsumen
berkomitmen dan berafiliasi dengan agama mereka, karena komitmen beragama
menunjukan sistem kepercayaan mereka dan ketaatan mereka pada kepercayaan
mereka sebagaimana gaya mengkonsumsi dan proses mengambil keputusan
(Mokhlis & Spartks, 2007; Khraim, 2010).
Pada akhirnya, komitmen beragama bervariasi dari satu orang dengan orang
lainnya; oleh karena itu konsumsi dipengaruhi tidak hanya oleh agamanya saja,
tapi juga oleh intensitas seseorang berafiliasi dengan agamanya ataupun
komitmen beragamanya (Mukhtar & Butt, 2012)
5. Intensi Pembelian
Isu yang paling signifikan di masing-masing industri berkonsentrasi pada
meningkatkan intensi pembelian. Konsep penting dalam pendekatan pemasaran
ini membantu manajer-manajer dalam mengadakan strategi yang sesuai di pasar
yang berhubungan dengan permintaan pasar, segmentasi pasar, dan program
promosi (Tsiotsou, 2006).
Intensi pembelian adalah sebuah proses mengalisa dan memprediksi kebiasaan
konsumen (Lin & Lin, 2007) berkaitan dengan keinginan untuk membeli,
menggunakan dan perhatian mereka yang lebih pada sebuah brand (Changa &
Liub, 2009; Shah et al., 2012).
Intensi pembelian yang unggul mempromosikan pembelian (Chen et al., 2012)
sejak pengalaman pertama konsumen setelah melakukan pembelian dan mendapat
perasaan yang secara bersamaan mengakibatkan konsumen membeli lagi brand
tersebut (Lin et al., 2011).
Terkait hal ini, penilaian mengenai intensi pembelian produk halal akan
membantu memahami lebih baik lagi kebutuhan, ekspektasi dan persepsi dari
konsumen (Shaari & Arifin, 2010). Bersandar pada penelitian yang dilakukan
oleh O’Cass and Lim (2001), terdapat hubungan yang kuat antara personaliti
brand dan Intensi pembelian. Dengan demikian, melalui indentifikasi personaliti
brand halal, bisnis akan dapat meningkatkan intensi pembelian konsumen dan
merubah sikap dari konsumen yang memandang halal hanya merupakan isu
spiritual (bebas alcohol dan kandungan babi).
6. Conclusion
Pada penelitian ini, sebuah upaya dilakukan untuk mengklarifikasi secara
konseptual implementasi dari teori brand pada materi Halal. Pada penelitian ini,
kami mengajukan sebuah model yang menggambarkan hubungan antara
personaliti brand, kepercayaan pada brand, dan intensi pembelian.
Personaliti brand sebagai praktik modern dan menarik dalam teori pemasaran
telah digunakan dalam penelitian ini. Titik sorotnya penerapan model ini adalah
untuk menggambarkan nilai personaliti brand Halal.
Dampak dari personaliti brand halal pada kepercayaan dan intensi pembelian
melalui efek moderasi dari komitmen beragama merupakan bagian lain dari
penelitian. Kepercayaan pada brand sebagai bagian vital dari hubungan brand
konsumen membantu membangun sebuah hubungan yang kuat antara brand dan
konsumen juga menuai keuntungan-keuntungan yang signifikan.
Hopefully, the findings from this research will be useful for scholars, Halal
manufacturers and marketers. The theoretical importance of this study lies in the
insight it provides into how consumers are becoming more conscious about the
Halal brand. Finally, it is recommended to deploy this proposed model
empirically.
Harapannya, penemuan dari penelitian ini akan berguna untuk para akademisi,
pabrik-pabrik produk Halal, dan tim pemasaran. Pentingnya teori pada penelitian
ini terletak pada pengetahuan yang menyediakan pemahaman mengenai
bagaimana konsumen menjadi lebih sadar tentang brand halal. Terakhir,
direkomendasikan untuk menggunakan model yang diajukan ini secara empirik.