Post on 12-Mar-2019
BIOSINTESIS DAN KARAKTERISASI NANOPARTIKEL
SILIKA (SiO2) DARI SEKAM OLEH Fusarium oxysporum
IRMA ROSIANA ELIZABETH
DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
ABSTRAK
IRMA ROSIANA ELIZABETH. Biosintesis dan Karakterisasi Nanopartikel
Silika dari Sekam oleh Fusarium oxysporum. Dibawah bimbingan LAKSMI
AMBARSARI dan YUSMANIAR
Nanopartikel silika memiliki kelebihan diantaranya yaitu, luas permukaan
besar, ketahanan panas, kekuatan mekanik dan inert sehingga digunakan sebagai
prekursor katalis, adsorben, dan filter komposit. Biosintesis merupakan metode
dalam mensintesis nanopartikel melalui sel mikroba dengan melibatkan reaksi
enzimatis. Penelitian ini bertujuan menghasilkan produk biosintesis nanopartikel
silika oleh F.oxysporum dengan optimasi fase pertumbuhan dan jumlah substrat
berupa sekam. F.oxysporum ditumbuhkan dalam kondisi pH media 4-6, suhu
inkubasi 27ºC, dan sistem aerasi 200 rpm. Keberadaan enzim ekstraseluler
F.oxysporum dilihat berdasarkan kemampuannya dalam mereduksi silika yang
terkandung dalam sekam. Jumlah substrat optimum ditentukan dengan dua
perlakuan yaitu 5 gram dan 2.5 gram sekam. Pemanenan biomassa F.oxysporum
dilakukan pada jam ke-72, yaitu saat sel memasuki fase stasioner berdasarkan
kurva pertumbuhan. Hasil analisis SEM untuk kedua jenis perlakuan jumlah
substrat menunjukkan partikel terlihat beragregat satu dengan lainnya dan
memiliki ukuran partikel relatif tidak berbeda, dengan variasi ukuran antara 200-
1000 nm. Tiga puncak tertinggi ditemukan dalam spektrum absorbsi FTIR, yaitu
berada pada 3408.18 cm-1
untuk gugus H2O, 1639.04 cm
-1 untuk gugus CO3
2-, dan
1078.71 cm-1
untuk gugus Si-O-Si. Sekam dengan perlakuan F.oxysporum
mengalami perubahan struktur dari bentuk dasar (amorphous) dan
mengindikasikan berbentuk nanopartikel silika kristalin (crystoballite)
berdasarkan analisis XRD.
ABSTRACT
IRMA ROSIANA ELIZABETH. Nanoparticle Silica Biosynthesis of Rice Husks
by Fusarium oxysporum and Its Characterization. Under supervision of LAKSMI
AMBARSARI and YUSMANIAR.
Silica nanoparticles have many advantages such as large surface, heat
resistance, mechanical strength, and inert. Therefore has been used as a precursor
catalyst, an adsorben, and a composit filter. Biosynthesis is a method to find the
nanoparticles through enzymatical mechanism from microbe. This research aims
to produce the silica nanoparticles by F.oxysporum with a phase growth and an
amount of rice husk as substrate optimization. F.oxysporum is grown in a media
pH 4-6, incubation temperature 27ºC, and 200 rpm aeration system. The presence
of extracellular enzymes F.oxysporum views based on their ability in reducing the
silica which is contained in the rice husk. The number of optimum substrate is
determined by the two treatments, 2.5 gram and 5 gram of rice husks. The
F.oxysporum biomass has been harvested in 72th hour, when the cells entered the
stationary phase based on the growth curve. SEM analysis results for both types of
treatments shows the number of particles agregate each other and have undifferent
particle size with variations in size between 200-1000 nm. The three highest
peaks are found in the FTIR absorption spectrum which is located at peaks
3408.18 cm-1
for the group H2O, peaks 1639.04 cm-1
for the group CO32-
, and
peaks 1078.71 cm-1
for the group Si-O-Si. The husk with F.oxysporum treatment
indicated to be changed from the structure basic forms (amorphous) to the
crystalline silica nanoparticles (crystoballite) based on XRD analysis.
BIOSINTESIS DAN KARAKTERISASI NANOPARTIKEL
SILIKA (SiO2) DARI SEKAM OLEH Fusarium oxysporum
IRMA ROSIANA ELIZABETH
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Biokimia
DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Judul : Biosintesis dan Karakterisasi Nanopartikel Silika (SiO2) dari Sekam
oleh Fusarium oxysporum
Nama : Irma Rosiana Elizabeth
NIM : G84061307
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Laksmi Ambarsari, MS Yusmaniar, MSi
Ketua Anggota
Diketahui
Dr. I Made Artika, M. App. Sc.
Ketua Departemen Biokimia
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Irma Rosiana Elizabeth dan lahir di Jakarta pada
tanggal 17 Februari 1988. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari
Ibu Indriyani Diah Rahayu dan Ayah Popo Suherman. Pendidikan akademik
penulis dimulai pada tahun 1994 di SDN 10 Cakung Jakarta Timur, kemudian
melanjutkan ketingkat SMP di SMPN 234 Jakarta Timur. Setelah menamatkan
SMA di SMAN 89 Jakarta Timur, penulis melanjutkan kuliah di IPB melalui jalur
USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).
Penulis memilih mayor Biokimia dan Ilmu komunikasi sebagai keahlian
pendukung (minor) pada tingkat kedua. Selama mengikuti perkuliahan, penulis
juga menjadi asisten praktikum untuk sejumlah mata kuliah seperti Biologi dasar,
Pengantar Penelitian Biokimia, Biokimia Klinis, Keteknikan Asam Nukleat dan
Protein, Metabolisme, serta Biokimia Umum. Selain itu, Penulis pernah menjalani
Praktik Lapang di Seksi Vaksin, Bidang Produk Biologi PPOMN, Badan POM
RI.
Laporan Praktik Lapangan: Uji Kontrol Kualitas Vaksin BCG, Sirih Merah
sebagai Obat anti Diabetes Melitus, Pemanfaatan Dedak Padi sebagai Pencegahan
Hiperlipidemia, dan Sup Instan Singkong merupakan beberapa karya ilmiah yang
pernah ditulis penulis.
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas nikmat, rahmat, dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan karya ilmiah
mengenai Biosintesis dan Karakterisasi Nanopartikel Silika dari Sekam oleh
Fusarium oxysporum. Penelitian ini telah berlangsung selama 6 bulan dari bulan
Maret hingga Agustus 2010. Tempat penelitian dilaksanakan di Laboratorium
Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor.
Penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada Dr. Laksmi Ambarsari, MS
dan Yusmaniar, MSi selaku dosen pembimbing yang telah mengarahkan penulis
dalam penelitian ini. Tidak lupa pula penulis sampaikan ucapan terima kasih
kepada seluruh staf laboran di Laboratorium Biokimia atas bantuan yang telah
diberikan. Ucapan terima kasih yang paling besar penulis sampaikan kepada
kedua orang tua, mama dan aa Teten atas kasih sayang dan do’a yang tiada henti.
Karya ilmiah ini juga di dedikasikan untuk papa. Terima kasih juga untuk seluruh
keluarga di Cengkareng untuk mami Ina, papa Didi, mba Pipi, mba Dede, mami
Yanli, om Rudy, dan ka Iwan, untuk keluarga di Bandung, teman-teman Biokimia
43, untuk sahabat-sahabat di Ponah, Ratna Idola, Sheila, Sifa, Indri, Yuli, Evi,
Shabrina, Erni, dan Riri, serta semua Guru, keluarga, dan sahabat yang tidak bisa
disebutkan satu persatu, atas do’a, ilmu, dukungan, perhatian dan kasih sayangnya
selama ini.
Karya ilmiah ini tidak lepas dari kekurangan, sehingga penulis mengharapkan
adanya kritik dan saran dari pembaca. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi
ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Januari 2011
Irma Rosiana Elizabeth
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. ix
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... x
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
TINJAUAN PUSTAKA
Nanoteknologi dan Nanopartikel ...................................................................... 2
Biosintesis Nanopartikel ................................................................................... 3
Fusarium Oxysporum ........................................................................................ 4
Pertumbuhan Sel Kapang .................................................................................. 5
Silika (SiO2) dan Sekam ................................................................................... 6
Metode Analisis Nanopartikel Silika ................................................................ 7
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat .................................................................................................. 9
Metode Penelitian ............................................................................................. 9
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Peremajaan dan Penumbuhan Isolat Cair Fusarium oxysporum ............10
Kurva Pertumbuhan dan Hasil Pemanenan Isolat Fusarium oxysporum .........12
Nanopartikel Silika sebagai Hasil Biosintesis oleh F.oxysporum....................13
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan ..........................................................................................................17
Saran ................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 17
LAMPIRAN .......................................................................................................... 20
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Mekanisme reduksi biosintesis nanopartikel Ag. .............................................. 3
2 Fusarium oxysporum. ........................................................................................ 5
3 Spora Aseksual Fusarium oxysporum. .............................................................. 5
4 Pertumbuhan spora kapang. ............................................................................... 6
5 Kurva pertumbuhan fungi. ................................................................................. 6
6 Pemrosesan padi ................................................................................................ 7
7 Skema kerja SEM. ............................................................................................. 8
8 Skema kerja FTIR. ............................................................................................. 9
9 Skema kerja XRD .............................................................................................. 9
10 F.oxysporum berumur 4 hari dalam media PDA ............................................. 11
11 Pengamatan mikroskopis F. oxysporum perbesaran 10x10. ............................ 11
12 F. oxysporum dalam PDL ................................................................................ 11
13 Kurva pertumbuhan F.oxysporum. .................................................................. 12
14 Proses pemurnian. ............................................................................................ 14
15 Hasil analisis SEM nanopartikel silika dengan 5 gram sekam. ........................14
16 Hasil analisis SEM sekam tanpa perlakuan F.oxysporum. ...............................14
17 Hasil analisis SEM silika gel perbesaran 1000 x. ............................................ 14
18 Hasil analisis FTIR. ..........................................................................................15
19 Hasil analisis SEM nanopartikel silika dengan 2.5 gram sekam .....................16
20 Puncak difraksi nanopartikel silika kristalin (crystoballite). ........................... 16
21 Puncak difraksi sekam tanpa perlakuan F.oxysporum. .................................... 16
22 Puncak difraksi produk biosintesis .................................................................. 16
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Komposisi media PDA dan media PDL ............................................................21
2 Bagan alur pembuatan media ............................................................................ 22
3 Bagan alur proses .............................................................................................. 23
4 Biosintesis nanopartikel .................................................................................... 24
5 Pertumbuhan F.oxysporum ............................................................................... 25
6 Data kurva pertumbuhan ................................................................................... 26
7 Spektrum absorbsi inframerah .......................................................................... 27
PENDAHULUAN
Nanoteknologi merupakan suatu studi
yang melibatkan partikel dengan dimensi
ukuran 100 nm atau kurang, yaitu
nanopartikel. Studi mengenai nanopartikel
khususnya nanopartikel logam saat ini sedang
berkembang pesat dan mendapat perhatian
yang lebih dari para peneliti karena
pemanfaatan yang luas dalam menciptakan
teknologi baru di bidang kimia, elektronika,
kesehatan, dan bioteknologi (Marlina 2008;
Moghaddam 2010). Nanopartikel silika
memiliki beberapa sifat diantaranya, luas
permukaan besar, ketahanan panas yang baik,
kekuatan mekanik yang tinggi, dan inert
sehingga digunakan sebagai prekursor katalis
(Benvenutti dan Yoshitaka 1998), sebagai
adsorben (Kalapathy et al. 2000), dan sebagai
filter komposit (Jamarun et al. 1997).
Berbagai metode dikembangkan dalam
sintesis nanopartikel. Secara umum, diketahui
terdapat 3 metode utama yang dikembangkan
dalam sintesis nanopartikel. Metode sintesis
tersebut diantaranya adalah sintesis secara
kimia, sintesis fisika, dan sintesis secara
biologi. Metode sintesis nanopartikel silika
secara fisika dan kimia telah dilakukan
Hadiyawarman et al. (2008) dan Fatmawati
(2010). Hadiyawarman et al. (2008)
menggunakan metode simple mixing, yaitu
dengan menggunakan resin berupa suatu
polimer epoxy dan perlakuan suhu. Metode
ini memerlukan perlakuan yang lebih sulit,
yaitu seperti suhu, waktu pemanasan,
pengadukan, dan penggunaan resin kimiawi.
Proses yang berlangsung sangat sensitif
terhadap lingkungan, bila nanosilika yang
dibuat memiliki kontak langsung dengan
lingkungan pada saat perlakuan pengadukan
menggunakan mixer, maka tidak terbentuk
nanopartikel yang baik (Hadiyawarman et al.
2008). Fatmawati (2010) memerlukan suhu
850ºC dalam waktu 6 jam untuk mengubah
sekam padi menjadi nanopartikel silika,
namun demikian hasil yang didapat adalah
silika berukuran mikrometer kemudian
dilanjutkan dengan perlakuan fisik dan kimia.
Perlakuan fisik miling selama 36 jam
menghasilkan nanopartikel silika kristalin
32.377 nm dan perlakuan kimia dengan
presipitasi HCL-NaOH menghasilkan
nanopartikel silika berukuran 31.375 nm.
Biosintesis dipertimbangkan sebagai
metode alternatif tanpa perlakuan sulit dalam
sintesis nanopartikel selain metode sintesis
secara kimia dan fisika. Proses ini
berlangsung ramah terhadap lingkungan,
bersih, nontoksik, dan merupakan metode
dengan prosedur dengan perlakuan yang lebih
mudah serta murah. Biosintesis nanopartikel
merupakan pengembangan teknologi baru
dengan menghasilkan nanopartikel melalui sel
mikroba dengan melibatkan reaksi enzimatis
(Moghaddam 2010).
Beberapa mikroorganisme memiliki
kemampuan untuk melakukan sintesis
nanopartikel logam, baik eukariot maupun
prokariot. Prokariot yang memiliki
kemampuan tersebut adalah bakteri, seperti
Pseudomonas aeruginosa dan Eschericia coli.
Eukariot yang mampu mensintesis
nanopartikel adalah fungi dan alga. Jenis
fungi yang dapat digunakan adalah Fusarium
oxysporum dan alga yang dapat digunakan
adalah Sargassum wightii (Moghaddam
2010).
Fusarium oxysporum dilaporkan sebagai
mikroorganisme dengan penanganan yang
lebih mudah bila dibandingkan dengan
mikroorganisme lain (Moghaddam 2010).
Fusarium oxysporum dapat digunakan untuk
menghasilkan nanopartikel logam. Fungi
tersebut dapat bertahan dan tumbuh dalam
konsentrasi ion logam yang tinggi, sehingga
memiliki ketahananan untuk melawan kondisi
ekstrim dalam sintesis nanopartikel.
Biosintesis nanopartikel logam dilakukan
dengan menggunakan perangkat yang terdapat
pada fungi tersebut (Duran et al. 2005).
Fusarium oxysporum mampu
menghasilkan enzim, toksin, polisakarida, dan
antibiotik secara ekstraseluler (Bilgrami dan
Dube 1976 dalam Sari 2006). Fusarium
oxysporum dikenal sebagai fungi penyebab
penyakit layu pembuluh dan bersifat patogen
bagi sebagian tanaman akibat toksin yang
dikeluarkan (Efendi et al. 2008). Enzim
ekstraseluler spesifik yang dihasilkan
Fusarium oxysporum mampu menciptakan
mekanisme dalam sintesis nanopartikel logam
dengan mereduksi substrat dalam proses
sintesis nanopartikel logam (Duran et al
2005).
Pemanfaatan Fusarium oxysporum untuk
biosintesis nanopartikel logam sedang
berkembang. Fusarium oxysporum dapat
digunakan untuk biosintesis nanopartikel
perak berukuran 20-50 nm (Duran et al.
2002), nanopartikel emas (Mukherjee 2002),
serta nanopartikel titania dan silika berukuran
5-15 nm (Bansal et al. 2005). Bansal et al.
(2005) memanfaatkan bahan alam berupa
pasir untuk sintesis nanopartikel silika.
Keberadaan silika (SiO2) dalam tanaman
gramineae telah diketahui sejak tahun 1938.
2
Padi (Oryza sativa) yang merupakan anggota
keluarga gramineae diketahui mengandung
silika. Soepardi (1982) mengatakan bahwa
kandungan silika tertinggi padi terdapat pada
sekam. Sekam padi dapat digunakan sebagai
sumber substrat dalam biosintesis
nanopartikel silika (SiO2). Sekam padi adalah
bahan pertanian berbasis limbah yang murah
dan kaya akan sejumlah silika. Proses
penggilingan gabah akan menghasilkan 16,3-
28% sekam dan sebanyak 16.98% silika
terkandung dalam sekam (Balai Penelitian
Pasca Panen Pertanian 2001). Material
anorganik silika yang terkandung dalam
sekam, berada dalam bentuk dasar
(amorphous silica) (Bansal 2006).
Sintesis silika secara kimia dan fisika tidak
hanya mahal dan membahayakan lingkungan,
tetapi juga membutuhkan kondisi yang lebih
sulit, yaitu perlakuan temperatur, tekanan, dan
pH ekstrim. Penelitian mengenai pemanfaatan
sekam yang merupakan limbah pertanian
sebagai sumber substrat silika oleh Fusarium
oxysporum dan biotransformasinya menjadi
nanopartikel silika kristalin belum banyak
dilakukan. Penelitian mengenai biosintesis
nanopartikel silika dari sekam oleh Fusarium
oxysporum perlu dilakukan.
Penelitian ini bertujuan menghasilkan
produk biosintesis berstruktur silika kristalin
dan berbentuk nanopartikel silika dengan
optimasi fase pertumbuhan dan jumlah
substrat. Karakterisasi nanopartikel silika
berdasarkan ukuran untuk analisis SEM
(Scanning Electron Microscope), komposisi
kimiawi untuk analisis FTIR (Fourier
Transformer Infrared Spectroscopy), dan
struktur untuk analisis XRD (Xray
Difraction). Hipotesis penelitian ini adalah
terdapat enzim ekstraseluler F.oxysporum
yang dapat mereduksi silika dari sekam padi
dan karakterisasi produk biosintesis berupa
silika berukuran nano. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat digunakan sebagai data awal
dalam optimasi perlakuan biosintesis
nanopartikel silika dari sekam oleh
F.oxysporum dan dilanjutkan ke skala
produksi yang lebih besar.
TINJAUAN PUSTAKA
Nanoteknologi dan Nanopartikel
Konsep nanoteknologi pertama kali
diperkenalkan oleh seorang ahli Fisika
bernama Richard P. Feyman dalam suatu
kuliah perkumpulan ahli Fisika di Amerika
pada tahun 1979. Eric Drexler kemudian
memperkenalkan konsep nanoteknologi
kepada masyarakat luas melalui buku yang
bejudul Engines of Creation pada pertengahan
tahun 1980 (Park 2007).
Website resmi NASA memberikan definisi
mengenai nanoteknologi, yaitu merupakan
teknologi dalam pembentukan bahan
fungsional, sumber, dan sistem melalui
pengaturan berdasarkan skala atau ukuran (1-
100 nm) dan didapatkan dengan pemanfaatan
fenomena umum, secara fisika, kimia, serta
biologi dalam skala yang lebih besar.
Nanoteknologi didefinisikan sebagai
teknologi dalam skala atom dengan dimensi
kurang dari 100 nanometer dalam kamus
bahasa inggris Oxford. Kata depan nano-
berasal dari bahasa yunani, yang berarti satu
nanometer sama dengan 10-9
meter. Produk
yang dihasilkan dalam pemrosesan melalui
nanoteknologi berdasarkan ukuran partikel
dan berdasarkan definisi sebelumnya adalah
nanopartikel. Nanopartikel dianggap sebagai
bahan dengan dimensi ukuran kurang dari 100
nm. Luas permukaan nanopartikel dibuat
sangat besar sehingga ukuran partikelnya
menjadi sangat kecil, yaitu kurang dari 100
nm. Luas permukaan menentukan ukuran,
struktur, dan ukuran agregasi partikel (Park
2007).
Nanopartikel dapat dihasilkan dalam tiga
bentuk yaitu: (1) nanopartikel alami, (2)
nanopartikel antropogenik, dan (3)
nanopartikel buatan. Nanopartikel alami
terbentuk secara sendirinya serta mencakup
bahan yang mengandung nanokomponen dan
kemungkinan ditemukan di atmosfir seperti
garam laut yang dihasilkan oleh evaporasi air
laut kedalam bentuk spray air, debu tanah, abu
vulkanik, sulfat dari gas biogenik, dan bahan
organik dari gas biogenik. Kandungan dari
masing-masing nanopartikel alami tersebut di
dalam atmosfer bergantung kepada kondisi
bumi. Nanopartikel antropogenik merupakan
nanopartikel yang terbentuk secara kebetulan
dihasilkan dalam bentuk bahan bakar fosil.
Nanopartikel antropogenik lain berada dalam
bentuk asap dan partikulat yang dihasilkan
dari oksidasi gas, seperti sulfat dan nitrat.
Sedangkan, nanopartikel buatan merupakan
nanopartikel yang dibentuk untuk tujuan
tertentu dan kemungkinan ditemukan dalam
satu atau beberapa bentuk yang berbeda (Lead
2007; Park 2007).
Nanopartikel dapat berbentuk logam,
mataloid oksida, dan karbon. Nanopartikel
anorganik yang paling sederhana adalah
logam. Nanopartikel logam termasuk silika,
aluminium, perak, emas, tembaga, nikel,
kobalt, dan besi, bersifat potensial untuk
3
dimanfaatkan dalam berbagai bidang aplikasi
(Park 2007).
Nanopartikel digunakan melalui
pemanfaatan yang luas untuk menemukan
teknologi baru di bidang kimia, elektronika,
kesehatan, dan bioteknologi. Nanopartikel,
khususnya nanopartikel logam dimanfaatkan
dalam berbagai aplikasi, seperti antimikroba,
optika, elektronika, biomedis, biosensor,
biolabel, biofiltrasi, magnetika, mekanika,
katalis, bioremediasi, pereduksi limbah
industri, dan sumber energi (Marlina 2008;
Moghaddam 2010). Aplikasi tersebut juga
termasuk pembuatan baterai, remediasi tanah,
dan bahan pembuatan peledak (Park 2007).
Aplikasi nanopartikel yang luas berimplikasi
dengan banyaknya metode yang
dikembangkan dalam sintesis nanopartikel
logam.
Biosintesis Nanopartikel
Secara umum, diketahui terdapat 3 metode
utama yang dikembangkan dalam sintesis
nanopartikel logam, diantaranya sintesis
secara kimia, sintesis fisika, dan sintesis
secara biologi (Moghaddam 2010). Sintesis
nanopartikel secara biologi (biosintesis)
dipertimbangkan sebagai metode paling baik
dalam membuat nanopartikel, daripada
metode sintesis secara kimia dan fisika. Hal
tersebut dikarenakan sintesis nanopartikel
secara biologi memiliki nilai pemanfaatan dan
komersil yang lebih tinggi, memiliki
simpanan reduktan yang banyak, energi yang
dikeluarkan lebih sedikit, serta nilai produksi
yang tinggi. Produksi nanopartikel dalam
skala besar dengan menggunakan metode
kimia dan fisik biasanya menghasilkan
partikel yang lebih besar dalam ukuran
mikrometer, metode sintesis nanopartikel
secara biologi dapat menghasilkan
nanopartikel yang baik dalam skala besar.
Biosintesis juga merupakan metode yang
lebih disarankan daripada kedua metode
lainnya karena prosesnya bersifat bersih,
nontoksik, murah, dan ramah lingkungan.
Pertimbangan perlakuan kondisi juga perlu
diperhatikan, bahwa metode fisika
memerlukan temperatur tinggi dan metode
kimia membutuhkan tekanan tinggi. Hal
tersebut menandakan metode sintesis
nanopartikel secara fisik dan kimia
memerlukan kondisi yang lebih sulit
dibandingkan dengan biosintesis nanopartikel
(Moghaddam 2010).
Biosintesis nanopartikel merupakan
pengembangan teknologi baru dengan
menghasilkan nanopartikel logam dari sel
mikroba serta melibatkan reaksi enzimatis.
Biosintesis nanopartikel berlangsung dalam
mekanisme khusus yang bervariasi meliputi,
sistem efluksi, reaksi oksidasi-reduksi,
bioabsorpsi, bioakumulasi, presipatsi logam,
dan sistem transport spesifik logam. Salah
satu mekanisme untuk membuat nanopartikel
logam, adalah dengan menggunakan enzim
spesifik yang dapat mereduksi, seperti NADH
reduktase (Moghaddam 2010).
Assay protein dalam biosintesis
nanopartikel Ag menunjukkan bahwa NADH
reduktase diketahui sebagai enzim yang
terlibat dalam proses biosintesis nanopartikel
logam dan merupakan faktor penting yang
bertanggung jawab dalam proses biosintesis.
Reduktase memperoleh elektron dari NADH
dan mengoksidasinya menjadi NAD+,
kemudian reduktase mereduksi NO3- menjadi
NO2-. Enzim ini di dalam F.oxysporum
berkonjugasi dengan donor elektron bernama
anthraquinon. Enzim ini kemudian mereduksi
ion logam dan mengubahnya menjadi bentuk
lain (Gambar 1) (Duran et al. 2005;
Moghaddam 2010).
Enzim reduktase yang dihasilkan
F.oxysporum dalam biosintesis nanopartikel
silika bersifat spesifik, F.monoliforme tidak
menghasilkan enzim ekstraseluler yang
dipergunakan dalam biosintesis nanopartikel
silika (Bansal et al. 2002). Nanopartikel silika
yang terbentuk kemungkinan adalah produk
dari pertukaran elektron oleh reduktase
spesifik F.oxysporum. Biosintesis dengan
mempergunakan enzim ekstraseluler ini
berlangsung dalam beberapa menit, sehingga
biosintesis dapat menghasilkan nanopartikel
dalam proses yang cepat (Duran et al. 2005;
Moghaddam 2010).
Ag+
Ag
Gambar 1 Mekanisme reduksi biosintesis
nanopartikel Ag.
4
Berdasarkan enzim pereduksi yang
dihasilkan mikroba, teknik biosintesis
nanopartikel logam diklasifikasikan menjadi
biosintesis intraseluler dan biosintesis
ekstraseluler. Biosintesis secara intraseluler
melaksanakan proses sintesis yang
berlangsung di dalam sel. Proses detoksifikasi
logam berbahaya dimediasikan oleh suatu
reaksi enzimatis yang berlangsung melalui
bioreduksi. logam dan terjadi di dalam sel.
Melalui mekanisme tersebut, nanopartikel
didapatkan dari sel dengan metode tertentu
(Moghaddam 2010).
Proses reduksi tidak terjadi di dalam sel
mikroba pada biosintesis ekstraseluler dari
nanopartikel logam. Pereaksi biologis
dibutuhkan untuk bioreduksi dalam bentuk
biolikuid. Enzim yang berperan dalam
bioreduksi disekresikan keluar sel. Air yang
telah menyimpan biomassa selama sehari
digunakan dalam metode biosintesis
ekstraseluler. Pereaksi biologis berupa enzim
dibebaskan oleh biomassa kedalam air steril.
Air steril yang mengandung enzim tersekresi
digunakan sebagai reduktan untuk mereduksi
ion logam dan menciptakan nanopartikel
logam (Moghaddam 2010).
Biosintesis ekstraseluler memiliki dua
keuntungan. Proses tambahan diperlukan
untuk mendapatkan nanopartikel yang berada
dalam biomassa dalam metode intraseluler,
yaitu dengan ultrasound atau reaksi kimiawi
dengan menggunakan detergen. Biosintesis
ekstraseluler tidak perlu dilakukan proses
tersebut. Biosintesis ekstraseluler dianggap
sebagai proses yang lebih murah.
Keuntungan-keuntungan tersebut yang
membuat metode biosntesis ekstraseluler,
lebih banyak digunakan bagi pengembangan
proses ekstraseluler dalam biosintesis logam
(Moghaddam 2010).
Beberapa mikroorganisme memiliki
kemampuan dalam mensintesis nanopartikel
logam, baik eukariot maupun prokariot.
Prokariot yang memiliki kemampuan tersebut
adalah bakteri. Sedangkan mikroorganisme
eukariot yang mampu mensintesis
nanopartikel adalah fungi dan alga. Meskipun
banyak mikroorganime yang dapat digunakan,
fungi F.oxysporum dilaporkan sebagai
mikroorganisme dengan penanganan yang
lebih mudah bila dibandingkan dengan
mikroorganisme lain (Moghaddam 2010).
Fusarium Oxysporum
Fungi adalah organisme dengan sel-sel
berinti sejati (eukariot), biasanya berbentuk
benang, bercabang-cabang, tidak berklorofil,
dan dinding selnya mengandung kitin serta
selulosa. Fungi merupakan organisme
heterotrof, absortif, dan membentuk beberapa
macam spora. Bagian vegetatif fungi biasanya
berupa benang-benang yang disebut sebagai
hifa. Kumpulan benang-benang hifa disebut
miselium. Fungi dapat bereproduksi aseksual
melalui spora aseksual (konidia) dan
reproduksi seksual melalui spora seksual.
Berdasarkan sistem reproduksinya, fungi
dibedakan atas beberapa kelas, diantaranya
askomikotina, basidiomikotina, oomikotina,
dan deuteromikotina (Semangun 1996 dalam
Sari 2006).
Deuteromikotina merupakan cendawan
tingkat tinggi yang mempunyai hifa bersekat.
Jenis fungi ini memiliki karakteristik dengan
tidak diketahui siklus reproduksi seksualnya,
sehingga dikenal dengan fungi imperfek.
Salah satu fungi yang tergolong
deuteromikotina adalah Fusarium sp
(Semangun 1996 dalam Sari 2006).
Fusarium oxysporum masuk kedalam kelas
Deuteromikotina, ordo Hypomiseta atau
Monilia. Fusarium oxysporum masuk
kedalam famili Tuberkulariceae dengan letak
konidia pada sporodochium. Fusarium
oxysporum juga termasuk kedalam kelompok
Fragmonospora, yaitu memiliki konidia satu
atau lebih, berseptat, bening atau berwarna,
dan berbentuk sabit atau kumparan
(Thompson dan Lim 1995 dalam Sari 2005).
Fusarium oxysporum yang merupakan
spesies yang dapat tumbuh dalam lingkung
anaerob ini biasanya ditumbuhkan pada
medium PDA (Potato Dextrose Agar) dan
dapat mencapai diameter 3.5-5.0 cm. Miselia
tampak banyak seperti kapas, kemudian
menjadi seperti beludru, berwarna putih atau
salem dan biasanya sedikit keunguan yang
tampak lebih kuat dekat permukaan medium
(Gandjar et al.1999) (Gambar 2).
Fusarium oxysporum dalam siklus
hidupnya mengalami fase patogenesa dan
saprogenesa atau merupakan saprofit tanah
tetapi dapat bersifat patogen bagi banyak
tumbuhan. Fungi ini hidup sebagai parasit
pada tanaman inang yang masuk melalui luka
akar, kemudian patogen berkembang dalam
jaringan tanaman. Spesies ini dapat diisolasi
dari biji atau serealia, kacang tanah, kacang
kedelai, buncis, kapas, pisang, umbi bawang,
kentang, jeruk, apel, dan bit (Gandjar et
al.1999).
Fusarium oxysporum menghasilkan
beberapa macam bentuk spora aseksual yaitu,
makrokonidia, mikrokonidia, dan
klamidospora (Gambar 3). Mikrokonidia
5
merupakan bentuk spora yang yang paling
sering dihasilkan dalam semua keadaan. Spora
ini bersepta 0 hingga 2, terbentuk lateral pada
fialid yang sederhana, atau terbentuk pada
fialid yang terdapat pada konidiofor
bercabang pendek, umumnya terdapat dalam
jumlah banyak sekali, terdiri dari aneka
bentuk dan ukuran, berbentuk elips sampai
silindris, lurus atau sedikit bengkok, dan
berukuran (5.0x12.0)x(2.2-3.5) μm.
Makrokonidia merupakan spora yang sangat
khas terdapat pada galur Fusarium sp.
Makrokonidia terbentuk pada fialid yang
terdapat pada konidiofor bercabang, bersepta
3-5, berbentuk fusiform, sedikit membengkok,
meruncing pada kedua ujungnya dengan sel
kaki berbentuk pediselata, umumnya bersepta
3, dan berukuran (20)27-(46)50x3.0-4.5(5)
μm. Klamidospora terdapat dalam hifa atau
dalam konidia, berwarna hialin, berdinding
halus atau sedikit kasar, berbentuk semibulat
dengan diameter 5.0-15 μm., terletak terminal
atau interkalar, dan berpasangan atau tunggal
(Booth 1971).
Gambar 2 Fusarium oxysporum.
Gambar 3 Spora Aseksual Fusarium
oxysporum (a) makrokonidia
(b) konidiofor (c) fialid (d)
mikrokonidia (e)
Khlamidospora.
Fusarium oxysporum mampu
menghasilkan enzim, toksin, polisakarida, dan
antibiotik secara ekstraseluler (Bilgrami dan
Dube 1976 dalam Sari 2006). Fusarium
oxysporum dikenal sebagai fungi penyebab
penyakit layu pembuluh dan bersifat patogen
bagi sebagian tanaman akibat toksin yang
dikeluarkan (Efendi et al. 2008). Enzim
spesifik disekresikan oleh Fusarium
oxysporum diluar sel (ekstraseluler). Enzim
yang ekstraseluler tersebut dapat mereduksi
substrat tertentu (Sari 2006).
Pertumbuhan Sel Kapang
Definisi pertumbuhan didalam sudut
pandang mikrobiologi adalah pertambahan
volume sel karena adanya pertambahan
protoplasma dan asam nukleat yang
melibatkan sintesis DNA dan pembelahan
mitosis (Gandjar et al. 2006). Pertumbuhan
volume sel tersebut bersifat irreversibel,
artinya tidak dapat kembali ke volume
semula. Benang-benang hifa yang terbentuk
membuktikan terjadi pertumbuhan pada suatu
sel kapang (Gandjar et al. 2006).
Pertumbuhan sel kapang berawal dari
sesuatu yang semula tidak terlihat, yaitu suatu
spora atau konidia, menjadi benang-benang
hifa (Gambar 4). Benang-benang hifa yang
dapat terlihat secara makroskopik disebut
miselium. Miselium menyebabkan timbulnya
kekeruhan pada media cair dalam waktu
tertentu. Kekeruhan media berbanding lurus
dengan pertambahan biomassa miselium
kapang dan dapat digambarkan dengan kurva
pertumbuhan (Gandjar et al. 2006).
Kurva pertumbuhan diperoleh dengan
menghitung kekeruhan media dalam waktu
tertentu. Kurva pertumbuhan umumnya
melewati beberapa fase, antara lain: (1) fase
lag, (2) fase akselerasi, (3) fase eksponensial,
(4) fase deselerasi, (5) fase stasioner, dan (6)
fase kematian (Gambar 5). Fase-fase yang
dilewati suatu sel dalam kurva pertumbuhan
tersebut dapat memberikan informasi
mengenai faktor-faktor lingkungan yang
mempengaruhi pertumbuhan suatu biomassa
sel kapang di dalam media, seperti suhu
optimum, derajat keasaman optimum,
perlakuan substrat, dan aerasi. Selain itu,
informasi mengenai waktu saat enzim-enzim
ekstraseluler dikeluarkan untuk menguraikan
senyawa-senyawa kompleks serta nutrien-
nutrien juga dapat diketahui (Gandjar et al.
2006).
Kapang mengeluarkan enzim ekstraseluler
ke lingkungan untuk mengurai substrat yang
kompleks agar memperoleh nutrien-nutrien
6
yang diperlukan. Secara umum, nutrien yang
diperlukan dalam bentuk karbon, nitrogen,
sulfur, fosfor, kalium, magnesium, natrium,
kalsium, natrium mikro (besi, mangan, zinc,
kobalt, molibdenum) dan vitamin. Karbon
menempati posisi yang unik karena semua
organisme hidup memiliki karbon sebagai
salah satu pembangun tubuh (Gandjar et al.
2006).
Kapang adalah mikroorganisme heterotrof
karena tidak memiliki kemampuan untuk
mengoksidasi senyawa karbon. Senyawa
karbon yang dapat dimanfaatkan kapang
untuk membuat materi sel baru berkisar dari
molekul sederhana, seperti asam organik, gula
terikat alkohol, polimer rantai pendek, dan
panjang yang mengandung karbon. Senyawa
kompleks, seperti karbohidrat, protein, lipid,
dan asam nukleat juga dapat dimanfaatkan
kapang sebagai sumber karbon (Gandjar et al.
2006).
Gambar 4 Pertumbuhan spora kapang.
Gambar 5 Kurva pertumbuhan fungi (1)fase
lag ,(2) fase akselerasi, (3) fase
eksponensial, (4) fase deselarasi.
(5) fase stasioner, (6) fase
kematian.
Silika (SiO2) dan Sekam
Silika merupakan material yang tersedia di
alam dan secara kuantitatif memiliki jumlah
yang melimpah. Tanaman berperan secara
signifikan dalam siklus biogeokimia silika.
Silika berada di dalam tanah berbentuk silika
larut air (H4SiO4). Tanaman menyerap silika,
dipolimerisasi dan dipresipitasi menjadi
bentuk silica amorphous. Beberapa
karbohidrat dan protein tanaman diketahui
memiliki peran dalam polimerisasi biosilika
menjadi bentuk silica amorphous sama
dengan bentuk silika yang terdapat di biosfer.
Tanaman mati akan meninggalkan silika
kembali kedalam tanah dan berlangsung
aktivitas mikrobial (Soepardi 1982).
Silika terakumulasi dalam bentuk phytolit
yang merupakan bentuk primer dari silica
amorphous (SiO2 dengan 5-15% H2O).
Berbagai jenis tanaman baik dikotil maupun
monokotil memproduksi phytolit. Jenis
tanaman dikotil yang memprodukisi phytolit
diantaranya mytaceae, casuarinaceae,
proteaceae, xantorhoeceae, dan mimosceaee.
Jenis tanaman monokotil yang memproduksi
phytolit adalah equistaceae dan gramineae
(Bansal 2006).
Keberadaan silika (SiO2) dalam tanaman
gramineae telah diketahui sejak tahun 1938.
Padi (Oryza sativa) yang merupakan anggota
keluarga gramineae dan diketahui
mengandung silika. Menurut Soepardi (1982),
kandungan silika tertinggi pada padi terdapat
pada sekam bila dibandingkan dengan bagian
tanaman padi lain seperti helai daun, pelepah
daun, batang, dan akar. Sekam dalam padi
(gramineae) merupakan lapisan keras yang
membungkus kariopsis butir gabah, terdiri
atas dua belahan yang disebut lemma dan
palea yang saling bertautan. Sekam akan
terpisah dari butir beras dan menjadi bahan
sisa pertanian atau limbah penggilingan pada
proses penggilingan padi (Bansal 2006)
(Gambar 6). Proses penggilingan gabah akan
dihasilkan 16,3-28% sekam. Sekam
dikategorikan sebagai biomassa yang dapat
digunakan untuk berbagai kebutuhan seperti
bahan baku industri, pakan ternak, dan energi
(Balai Penelitian Pasca Panen Pertanian
2001).
Ditinjau dari komposisi kimiawinya,
sekam mengandung beberapa unsur penting
seperti terlihat pada Tabel 1. Sebanyak
16.98% silika terkandung dalam sekam.
Material anorganik silika yang terkandung
dalam sekam, berada dalam bentuk dasar
(amorphous silica) (Balai Penelitian Pasca
Panen Pertanian 2001; Bansal 2006).
Komposisi kimiawi sekam selain silika adalah
selulosa. Sebanyak 34.34 - 43.80% selulosa
terkandung dalam sekam (Laksmono 2000).
Selulosa merupakan suatu matriks serat
polisakarida yang memiliki monomer berupa
D-glukosa dengan subunit monomer berupa
selobiosa (Hawab 2004)
7
Gambar 6 Pemrosesan padi (a) hasil
pemrosesan padi (b) serbuk
sekam hasil penggilingan
Tabel 1(a) Komposisi kimiawi sekam
Komponen Kandungan (%)
Kadar air 9.02
Protein kasar 3.03
Lemak 1.18
Serat kasar 35.68
Abu 17.71
Karbohidrat kasar 33.71
Karbon (zat arang) 1.33
Hidrogen 1.54
Oksigen 33.64
Silika (SiO2) 16.98
Sumber : Balai Penelitian Pasca Panen
Pertanian (2001).
Tabel 1(b) Komposisi kimiawi sekam
Komponen Kandungan (%)
H2O 2.40-11.35
Crude protein 1.70-7.26
Crude fat 0.38-2.98
Ekstrak nitrogen bebas 24.70-38.79
Crude fiber 31.37-49.92
Abu 13.16-29.04
Pentosa 16.94-21.95
Selulosa 34.34-43.80
Lignin 21,40-46.97
Sumber : Ismunadji (1988) dalam Laksmono
(2000).
Komposisi kandungan kimia seperti yang
di deskripsikan dalam Tabel 1, sekam antara
lain dapat dimanfaatkan untuk (1) bahan baku
industri bahan bangunan, terutama kandungan
silika (SiO2) yang dapat digunakan untuk
campuran pada pembuatan semen, bahan
isolasi, husk-board dan campuran pada
industri bata merah; (2) sumber energi panas
karena kadar selulosanya cukup tinggi
sehingga dapat memberikan pembakaran yang
merata dan stabil. Sekam memiliki kerapatan
jenis (bulk density) 125 kg/m3, dengan nilai
kalori 3.300 kkal/ kg sekam (Balai Penelitian
Pasca Panen Pertanian 2001).
Silika adalah material anorganik yang
penting. Silika secara khusus digunakan pada
berbagai aplikasi, seperti resin, penyaring
molekuler, pembantu peran katalis, dan
pengisi dalam pembuatan polimer. Selain itu,
saat ini silika sedang dikembangkan dalam
bidang aplikasi biomedis (Bansal 2006).
Silika yang dikembangkan saat ini, adalah
silika sebagai bahan nanostrukur anorganik
yang berpori. Silika berbentuk nanopartikel
memiliki beberapa kelebihan sebagai partikel
berdensitas rendah, partikel yang bersifat
stabil secara termal, dan juga sebagai struktur
yang dapat dikemas dalam bentuk kapsul,
serta tahan terhadap proses mekanik dalam
aplikasi pemanfaatnnya (Bansal 2006).
Nanopartikel silika memiliki beberapa sifat
diantaranya, luas permukaan besar, ketahanan
panas yang baik, kekuatan mekanik yang
tinggi, dan inert sehingga digunakan sebagai
prekursor katalis (Benvenutti dan Yoshitaka
1998), sebagai adsorben (Kalapathy et al.
2000), dan sebagai filter komposit (Jamarun et
al. 1997).
Metode Analisis Nanopartikel Silika
Produk sintesis berupa nanopartikel silika
dari bahan dasar sekam dianalisis dengan
menggunakan tiga jenis instrumentasi, yaitu
SEM (Scanning Electrone Microscope), FTIR
(Fourier Transformer Infrared
Spectroscopy)., dan XRD (Xray Diffraction).
Analisis SEM, FTIR, dan XRD dapat
menentukan bahwa produk biosintesis
berukuran nano, berkomposisi kimiawi silika,
dan berstruktur nanopartikel silika kristalin
sudah terbentuk atau belum.
Scanning electrone microscope (SEM)
SEM adalah jenis mikroskop elektron yang
mampu menampilkan gambar permukaan
objek pengamatan dengan resolusi gambar
yang tinggi. SEM digunakan untuk
pengamatan detail permukaan objek. Sistem
a.
b.
8
kerja SEM terdiri dari sumber cahaya
elektron, sistem lensa, detektor, dan layar TV
(Balaz 2008).
SEM bekerja melalui mekanisme kerja
sehingga mampu menghasikan tampilan
gambar objek amatan. Gambar 7
menggambarkan mekanisme kerja SEM.
Sumber cahaya elektron dihasilkan didalam
suatu penembak elektron yang berbentuk
filamen pemanas berupa tabung tanpa udara.
Sumber cahaya elektron ini dipercepat dan
difokuskan oleh sistem lensa magnetik yang
berada diatas objek. Elektron dikumpulkan
oleh detektor, diubah dalam bentuk voltase
(energi listrik), kemudian disebar (Balaz
2008). Elektron dengan cepat mengenai
permukaan objek untuk menginduksi radiasi-
radiasi yang membentuk suatu bayangan yang
dapat diperagakan melalui suatu tabung sinar
katode. Proses yang terjadi didalam tabung
katode mirip pembentukan gambar televisi.
Objek yang akan dilalui radiasi elektron
sebelumnya telah difiksasi dan dilapisi dengan
logam berat seperti emas didalam hampa
udara untuk mencegah distorsi (Dharmaputra
1989).
Hasil pencitraan SEM lebih baik bila
dibandingkan dengan mikroskop cahaya
konvensional. SEM memiliki jangkauan
pandang yang luas terhadap objek yang
diamati sehingga menghasilkan gambar detail
permukaan objek yang sangat jelas. Struktur
permukaan objek lebih terlihat curam dari
pada hasil pencitraan mikroskop cahaya
konvensional yang terlihat datar, sehingga
SEM mampu mencitrakan objek dengan
kontras yang baik (Balaz 2008).
Gambar 7 Skema kerja SEM.
SEM memiliki resolusi yang jauh lebih
tinggi bila dibandingkan mikroskop cahaya
kovensional. Hal tersebut dikarenakan SEM
mempergunakan sumber cahaya berupa
elektron yang memiliki energi sangat besar
beberapa ribu elektronvolt, energi tersebut
1000 kali lebih kuat bila dibandingkan dengan
energi yang dihasilkan dari cahaya tampak (2-
3Ev). Resolusi SEM yang baik membuat SEM
memiliki daya pisah hingga 50 nm dan dapat
memperbesar bayangan hingga 8000-400000
kali (Balaz 2008).
FTIR (Fourier Transformer Infrared
Spectroscopy)
Metode spektroskopi Inframerah (IR)
didasarkan kepada absopsi cahaya IR oleh
suatu molekul. Metode ini berguna untuk
menentukan gugus fungsional suatu sampel.
Jika suatu molekul ditempatkan di dalam
suatu daerah elektromagnetik (sinar
inframerah), akan terjadi perubahan bentuk
energi dari daerah elektromagnetik ke
molekul. Kemampuan molekul dalam
mengabsorpsi radiasi berdasarkan sifat khas
masing-masing molekul, yaitu perubahan
dalam tingkat loncatan energetik elektron,
pergerakan getaran dari atom, dan rotasi suatu
molekul (Hendrayana et al. 1994; Balaz
2008).
Sumber radiasi (Z) pada FTIR berupa laser
inframerah. Cahaya inframerah memiliki
energi yang lebih rendah bila dibandingkan
dengan ultraviolet dan sinar tampak. Hal
tersebut menentukan tebal sampel (S) yang
dipakai, tebal Sampel yang dipakai pada FTIR
lebih tipis daripada spektrofotometer lainnya,
yaitu sekitar 0.02 mm. Sampel (S) berupa
padatan digerus dalam mortar bersama KBr
kering dalam jumlah sedikit (0.5-2 mg sampel
dengan 100 mg KBr kering). Campuran
tersebut dipres diantara dua sekrup memakai
kunci, kemudian terbentuk tablet sampel tipis
yang diletakkan di tempat sel FTIR dengan
lubang mengarah ke sumber radiasi (Z).
Sampel dibiarkan terkena radiasi IR didalam
FTIR. Radiasi dari sumber (Z) pergi melalui
contoh (S) dan lewat melalui prisma (P).
Prisma (P) merupakan tempat terjadi
pemisahan komponen cahaya monokromatik
(Gambar 8). Rotasi perlahan prisma
menghasilkan suatu radiasi dengan frekuensi
yang berbeda-beda, kemudian radiasi tersebut
jatuh pada detektor. Detektor (D) dapat
merekam frekuensi dan aliran radiasi (R).
Spektrum (peaks) yang tergambar bergantung
kepada absorpsi dan frekuensi radiasi. Alat
berupa Analaog Digital Converter digunakan
9
untuk menghubungkan antara instrumen
dengan komputer. Hasil peaks terlihat didalam
monitor sesuai dengan gugus fungsi yang khas
untuk masing-masing molekul (Hendrayana et
al. 1994; Balaz 2008).
Gambar 8 Skema kerja FTIR.
XRD (X-Ray Diffraction)
Sinar X merupakan radiasi
elektromagnetik dengan panjang gelombang
10-10
m. Sinar ini terbentuk akibat pembagian
spektrum elektromagnetik antara sinar γ dan
ultraviolet. Sinar X mampu menyelidiki
struktur kristal dari suatu padatan pada tingkat
atomik. Bagian dalam suatu atom yang
merupakan suatu padatan berada di daerah
yang sama dengan panjang gelombang sinar
X, kemudian sinar X dapat melewati padatan.
Hal tersebut merupakan alasan mengapa sinar
X dipantulkan dari atom kedalam kristal
(Balaz 2008).
Difraksi sinar X membutuhkan sumber
cahaya, contoh yang belum diketahui, dan
sebuah detektor sebagai pengumpul sinar X
(Gambar 9). Hasil dari pengukuran difraksi
sinar X adalah pola yang digambarkan sebagai
sebagai garis (peaks) dengan intensitas yang
berbeda-beda. Posisi garis (peaks)
menjelaskan karakteristik contoh yang diamati
(Balaz 2008).
Gambar 9 Skema kerja XRD
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah isolat fungi Fusarium
oxysporum (koleksi LIPI Biologi), sekam,
akuades steril, sejumlah fenol-kloroform dan
silika gel. Media yang dipergunakan adalah
media agar dekstrosa kentang (Potato
Dextrose Agar) yang terdiri atas 1000 mg/L
ekstrak kentang dengan 200 g/L kentang, 15
g/L agar kentang, dan 20 g/L dekstrosa dan
media agar dekstrosa cair (Potato Dextrose
Liquid) yang terdiri atas ekstrak kentang
dengan 200 g/L kentang, 20 g/L dekstrosa
dalam akuades steril. Beserta bahan tambahan
lain, seperti HCL dan NaOH.
Alat-alat yang digunakan, meliputi neraca
analitik OHAUS GA 200 Laminar Air Flow,
inkubator, inkubator bergoyang,
spektrofotometer Genesys 10UV, Beckman
High Speed Centrifuge, otoklaf TOMY High
Pressure Steam Sterilzer ES-315, serta
peralatan laboartorium yang biasa
dipergunakan di laboratorium mikrobiologi.
Selain itu, instrumen seperti Scanning
Electron Microscope (SEM), Transmission
Electron Microscope (TEM), serta X-Ray
Diffraction (XRD) juga digunakan untuk
katakterisasi nanopartikel.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam empat tahap
pengerjaan, yaitu meliputi: pembuatan media
pertumbuhan, peremajaan dan pembuatan
isolat cair Fusarium oxysporum, pembuatan
kurva pertumbuhan dan pemanenan isolat
Fusarium oxysporum, serta sintesis
nanopartikel silika. Penelitian dilakukan di
Laboratorium Biokimia FMIPA IPB,
Labortaorium Pusat Antar Universitas (PAU)
IPB, Laborartorium Fisika Program Material
Sains UI untuk analisis dengan SEM dan
XRD, serta Laboratorium Pengujian Balai
Besar Riset Pengolahan Produk dan
Bioteknologi Kelautan dan Perikanan, Badan
Riset Kelautan dan Perikanan-Kementarian
Kelautan dan Perikanan untuk FTIR.
Pembuatan media pertumbuhan
Media pertumbuhan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah media Potato Dekstrose
Agar (PDA) dan Potato Dekstrose Liquid
(PDL). Komposisi media PDA, yaitu 1000
ml/l air suling dengan 200 g/L kentang, 15
g/L agar kentang, dan 20 g/L dekstrosa.
Komposisi media PDL, yaitu 1000 ml/L air
suling dengan 200 g/L kentang, dan 20 g/L
dekstrosa. Antibiotik kloramfenikol
ditambahkan kedalam media sebanyak 250
mg/l (Dharmaputra et al. 1989).
Pembuatan PDA diawali dengan cara,
sejumlah kentang yang telah dibersihkan dari
kulitnya diiris sebesar dadu, kemudian
kentang direbus dengan air suling sampai
melunak. Air rebusan kentang yang disebut
sebagai ekstrak kentang disaring dengan
kertas saring, serta ditambahkan dekstrosa dan
agar. Pembuatan PDL dilakukan dengan cara
yang sama tanpa penambahan agar. pH media
diatur dengan penambahan NaOH dan HCl
sehingga didapatkan media PDA dengan pH 6
10
dan PDL dengan pH 4 (Sari 2006). Media
disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121oC
dan tekanan 1 atm selama 15 menit.
Peremajaan dan pembuatan isolat cair
Fusarium oxysporum.
Isolat Fusarium oxysporum yang akan
diremajakan diambil dengan menggunakan
coreborer dan dipindahkan kedalam cawan
petri berisi media PDA. Cawan ditutup dan
disegel menggunakan plastik wrap. Proses ini
dilakukan di dalam laminar air flow.
Fusarium oxysporum yang telah ditumbuhkan
pada media PDA, kemudian diinkubasi pada
suhu 27ºC selama 96 jam sampai fungi
memenuhi cawan petri.
Isolat stok Fusarium oxysporum yang
ditumbuhkan dalam PDA diinokulasikan
menggunakan coreborer pada labu
Erlenmeyer berisi 10 mL PDL yang
merupakan suatu inoculum starter. Hasil
inokulasi ditutup dengan kapas dan
alumunium foil steril. Inoculum starter
selanjutnya diinkubasi dengan inkubator
bergoyang dengan kecepatan 200 rpm pada
suhu 27ºC selama 12-18 jam.
Sebanyak 1% atau sebanyak 500 μL
inoculum starter diinokulasikan kedalam 50
mL media PDL. Hasil inokulasi ditutup
dengan kapas dan alumunium foil steril. Isolat
selanjutnya diinkubasi dengan inkubator
bergoyang dengan kecepatan 200 rpm pada
suhu 27ºC.
Pembuatan kurva pertumbuhan dan
pemanenan isolat Fusarium oxysporum
Fusarium oxysporum diukur biomassa
pertumbuhannya yang tumbuh dalam media
cair dekstrosa kentang (PDL) pada pembuatan
kurva pertumbuhan. Isolat Fusarium
oxysporum cair dalam PDL diukur optical
density (OD) dengan spektrofotometer pada
panjang gelombang 600 nm dan interval
waktu 12 jam, yaitu jam ke-0, 12, 24, 36, 48,
60, 72, 84, dan 96.
Isolat Fusarium oxysporum yang dipanen
adalah isolat yang telah ditumbuhkan pada
medium PDL dan diinkubasi dalam inkubasi
bergoyang dalam waktu sesuai informasi yang
didapatkan berdasarkan kurva pertumbuhan.
Setelah diinkubasi dilakukan pemanenan
fungi dengan menggunakan teknik
sentrifugasi pada kecepatan 6000 rpm selama
30 menit. Tahap selanjutnya adalah dilakukan
pencucian pelet menggunakan air destilata
untuk menghilangkan sisa media dan
kemudian dilakukan proses sentrifugasi pada
kecepatan 6000 rpm selama 30 menit.
Sintesis nanopartikel silika
Perlakuan pertama dilakukan dengan 50
mL air destilata yang mengandung 5 gram
sekam diautoklaf dalam labu Erlenmeyer 250
mL. Perlakuan kedua dilakukan dengan 50
mL air destilata yang mengandung 2.5 gram
sekam diautoklaf dalam labu Erlenmeyer 250
mL. Kemudian, biomassa Fusarium
oxysporum yang telah dipanen sebanyak 10
gram diresuspensikan dalam air destilata yang
mengandung sekam. Reaksi antara biomassa
fungi dilaksanakan di inkubator bergoyang
pada 200 rpm pada 27ºC selama 24 jam.
Suspensi difiltrasi sehingga dapat
dipisahkan antara miselia fungi dan sekam
dari komponen air (filtrat produk). Filtrat
yang didapat diberi perlakuan fenol-kloroform
(1:1) dan disentrifugasi pada 6000 rpm selama
10 menit untuk menghilangkan protein
ekstraseluler fungi dari pelarut cair.
Tahap selanjutnya adalah kristalisasi
nanopartikel silika, yaitu filtrat nanopartikel
silika dibuat dalam bentuk kristal dengan
teknik spray dry, sehingga diperoleh dalam
bentuk serbuk. Bubuk tersebut dikarakterisasi
dengan SEM, FTIR, dan XRD.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Peremajaan dan Penumbuhan Isolat
Cair Fusarium oxysporum
Peremajaan F.oxysporum merupakan
proses berkelanjutan yang dilakukan dengan
tujuan menjaga agar kondisi isolat kapang
yang dipergunakan masih dalam kondisi yang
baik. Kondisi tersebut diperoleh jika isolat
kapang tumbuh tanpa kontaminasi dan
tercukupi nutrisi pertumbuhannya. Fungi
Fusarium oxysporum membutuhkan media
tumbuh yang mengandung senyawa organik
sebagai sumber karbon, seperti karbohidrat,
asam organik, dan karbon dioksida (Gandjar
et al. 2006). Unsur karbon tersebut diperoleh
dari media PDA (Potato Dekstrose Agar).
Spora isolat F.oxysporum akan tertanam
dalam cawan petri berisi media PDA pada
proses peremajaan. Benang-benang hifa akan
terbentuk dalam 1-2 hari. Benang-benang hifa
terbentuk semakin banyak membentuk miselia
pada hari ke-4. Miselia berwarna putih dan
sedikit keunguan dengan diameter 3-5 cm di
hari ke-4 (Gambar 10).
Pemeriksaan mikroskopis akan
membuktikan bahwa benang yang tumbuh
adalah isolat F.oxysporum. Gambar 11
menunjukkan bahwa miselia merupakan
kumpulan dari benang-benang hifa dan
memiliki struktur berupa jaringan yang
11
terjalin. cabang-cabang hifa tumbuh dalam
jumlah yang tidak sedikit menjauhi hifa yang
pertama tumbuh. Gandjar et al. (2006)
mengatakan bahwa pada titik percabangan
hifa dapat terjadi lisis dinding sel
(anastomosis) sehingga protoplasma akan
mengalir ke semua sel hifa. Dalam kondisi
tersebut, miselia akan terbentuk dalam jumlah
yang banyak.
Masing-masing hifa memiliki lebar 5-10
μm (Pelczar & Chan 2008). Hal tersebut
dijadikan dasar untuk membedakan dengan
sel bakteri yang pada umumnya memiliki
diameter 1 μm. Karakteristik khas dari suatu
F.oxysporum bila dibandingkan dengan fungi
jenis lain ditunjukkan dalam Gambar 11
bahwa miselia terdiri dari hifa bersekat dan
terdapat nukleus. Pelczar & Chan (2008)
mengatakan bahwa sekat membagi hifa
menjadi sel berisi nukleus tunggal.
Hasil peremajaan yang tumbuh dengan
baik tanpa kontaminan berdasarkan
pemeriksaan mikroskopis dijadikan sebagai
inokulum. Inokulum merupakan sumber
bahan yang mengandung spora sel kapang dan
dengan sengaja ditambahkan pada substrat
(Gandjar et al. 2006). Sumber substrat yang
dipergunakan dalam pembuatan isolat cair
berasal dari media cair PDL (Potato
Dekstrose Liquid) dengan pH 4.
Gambar 10 F.oxysporum berumur 4 hari
dalam media PDA
Gambar 11 Pengamatan mikroskopis F.
oxysporum perbesaran 10x10.
Suatu inocoloum starter dipersiapkan
terlebih dahulu dalam pembuatan isolat cair.
Inocoloum starter berfungsi dalam
mengaktifkan isolat F.oxysporum didalam
media PDL, sehingga diharapkan
F.oxysporum sudah siap untuk tumbuh. 4/5
bagian ruang kosong labu Erlenmeyer
dipersiapkan dalam pembuatan suatu
inocoloum starter. 4/5 bagian ruang kosong
labu Erlenmeyer merupakan salah satu usaha
untuk memaksimalkan sistem aerasi dalam
penumbuhan F.oxysporum di media cair PDL.
Aerasi dilakukan karena F.oxysporum
merupakan organisme aerob, sehingga
persediaan oksigen yang cukup diperlukan
bagi pertumbuhan. Oksigen dibutuhkan untuk
melakukan reaksi enzimatis dan proses
respirasi (Sari 2006). Inocoloum starter
ditumbuhkan dalam kondisi suhu 27ºC dan di
aerasi dengan shaker orbital dengan
kecepatan 200 rpm selama 12-18 jam.
Inocoloum starter yang berumur 18 jam
akan terlihat keruh berwarna putih. Kekeruhan
dalam inocoloum starter mengindikasikan
bahwa terdapat miselia F.oxysporum yang
sudah siap untuk tumbuh. Inocoloum starter
diinoukulasikan sebanyak 1% dari jumlah
volume PDL, kemudian diinkubasi pada suhu
27ºC dan di aerasi dengan shaker orbital
dengan kecepatan 200 rpm.
Miselia akan terbentuk berupa suatu
benang-benang putih yang semakin lama
semakin menebal dan berwarna keunguan
dalam beberapa hari. Gandjar et al. (2006)
mengatakan hifa vegetatif tumbuh kedalam
medium cair seperti akar-akar yang
bercabang. Miselia tumbuh di dalam media
seperti benang tebal, berwarna keunguan, dan
menyebabkan warna media yang semula
bening berubah menjadi keruh serta berwarna
keunguan (Gambar 12).
Gambar 12 F. oxysporum dalam PDL
(a)biomassa miselia (b) isolat
cair
a b
12
Kurva Pertumbuhan dan Hasil Pemanenan
Isolat Fusarium oxysporum
Kurva pertumbuhan memberikan informasi
mengenai pertumbuhan jumlah isolat kapang
F.oxysporum yang tumbuh pada waktu-waktu
tertentu sesuai dengan fase-fase yang
dilewatinya. Kurva pertumbuhan dapat
menentukan fase pertumbuhan optimum bagi
Fusarium oxysporum dalam menghasilkan
enzim ekstraseluler yanga mampu mereduksi
substrat tertentu. Kurva pertumbuhan
F.oxysporum dibuat dengan menghubungkan
Optical Density (OD) dengan berbagai
interval waktu pengamatan.
Optical Density (OD) ditentukan
berdasarkan kekeruhan media yang diukur
dengan instrumen berupa spektrofotometer
pada panjang gelombang 600 nm.
Spektrofotometer bekerja berdasarkan hukum
Lambert-Beer yaitu menghitung banyaknya
energi radiasi gelombang cahaya yang tidak
diteruskan atau yang diserap oleh kekeruhan
media. Cahaya yang diserap media
berbanding lurus dengan pertumbuhan sel
kapang.
Kurva pertumbuhan F.oxysporum dibuat
dengan interval waktu 12 jam (Gambar 13).
Warna media yang semula bening mulai
berubah menjadi keruh pada jam ke-12,
sehingga mengindikasikan bahwa pada jam
ke-12 terjadi fase lag dan akselerasi. Fase lag
adalah fase penyesuaian sel-sel dengan
lingkungannya, sedangkan fase akselerasi
adalah fase saat sel bersiap untuk aktif
membelah (Gandjar et al. 2006). Peningkatan
OD sangat pesat terjadi pada jam ke-24 dan
ke-36. Fase eksponensial terjadi pada jam ke-
12 sampai ke-36. Fase eksponensial
merupakan fase perbanyakan jumlah sel yang
sangat banyak dan aktivitas sel meningkat
(Gandjar et al. 2006). Titik deselarasi terjadi
pada jam ke-48, dimulai dari titik ini biomassa
F.oxysporum dapat dipanen (Gandjar et al.
2006).
Gambar 13 Kurva pertumbuhan F.oxysporum.
Pemanenan biomassa F.oxysporum
dilakukan pada jam ke-72, yaitu saat sel
memasuki fase stasioner berdasarkan kurva
pertumbuhan yang diperoleh. Fase stasioner
ditentukan sebagai waktu panen bagi
F.oxysporum karena diharapkan pada fase
tersebut jumlah sel yang tumbuh relatif
seimbang, sehingga jumlah miselia yang
tumbuh relatif banyak (Gandjar 2006). Hal
tersebut juga sesuai dengan penelitian yang
dilakukan Bansal et al. (2002) dan Bansal et
al (2005), F.oxysporum ditumbuhkan selama
72 jam dalam kondisi aerasi pada kecepatan
shaker 200 rpm dan diinkubasi pada suhu
27ºC. (Mukherjee 2002) mengatakan bahwa
F.oxysporum yang ditumbuhkan pada jam ke-
72 telah terdapat keberadaan protein,
ditunjukkan dengan pita yang terbentuk dalam
elektroforesis. Pita elektroforesis dalam
penelitian tersebut mengindikasikan sejumlah
protein yang berasal dari biomassa
F.oxysporum.
Proses pemanenan biomassa F.oxysporum
dilakukan dengan mempergunakan teknik
sentrifugasi. Sentrifugasi merupakan suatu
teknik untuk memisahkan substansi
berdasarkan berat jenis molekul. Substansi
yang lebih berat akan berada di dasar,
sedangkan substansi yang lebih ringan akan
terletak di atas dalam teknik sentrifugasi. Hal
tersebut dapat terjadi karena adanya gaya
sentrifugal (Harjadi 2006).
Berat jenis biomassa F.oxysporum lebih
besar bila dibandingkan dengan media,
sehingga biomassa F.oxysporum menjadi
pelet yang terletak dibawah dan media
menjadi supernatan pada saat diberi gaya
sentrifugal dengan kecepatan 6000 rpm
selama 15 menit. Supernatan berupa media
PDA kemudian dipisahkan dari peletnya.
Pencucian pelet dengan akuades steril
dilakukan sebanyak dua kali. Hal tersebut
dilakukan agar biomassa F.oxysporum berupa
pelet bebas dari media PDL. F.oxysporum
yang telah dipanen dan bebas dari media PDL
kemudian siap diberikan substrat dalam
proses biosintesis.
Biomassa F.oxysporum sudah dapat diukur
bobotnya dalam 72 jam (3 hari), sebab sudah
terlihat jelas miselia yang menebal. Rata-rata
biomassa F.oxysporum yang terbentuk dalam
50 mL PDL adalah 9.834 gram bobot basah.
Bobot basah yang tumbuh berbeda-beda untuk
setiap ulangannya (Tabel 2). Inocoloum
starter F.oxysporum yang diinokulasikan
kedalam 50 mL PDL mengandung jumlah
benang-benang miselia yang relatif tidak sama
pada saat dipipet, hal tersebut yang
13
mempengaruhi perbedaan jumlah biomassa
yang tumbuh dalam isolat cair.
Sebanyak 9.834 gram bobot basah
biomassa dapat menghasilkan 0.361 gram
bobot kering. Penyusutan biomassa
F.oxysporum disebabkan karena komponen
utama sel adalah air (Gandjar et al. 2006). Air
yang terkandung di dalam sel akan teruapkan
ke udara pada proses pengeringan.
Tabel 2 Biomassa F. oxysporum dalam PDL.
Volume PDB
(mL)
Bobot basah
(g)
Bobot kering
(g)
50 13.780 0.221
50 10.632 0.371
50 5.091 0.491
Rata-rata 9.834 0.361
Nanopartikel Silika sebagai Hasil
Biosintesis oleh F.oxysporum
Biosintesis nanopartikel silika dilakukan
dengan menumbuhkan F.oxysporum dalam
media yang mengandung sekam padi sebagai
sumber silika sekaligus sebagai substrat bagi
pertumbuhan F.oxysporum. Sekam yang
mengandung 16.98% silika (Balai Penelitian
Pasca Panen Pertanian 2001) dapat diubah
menjadi nanopartikel silika secara biosintesis
dengan menggunakan F.oxysporum.
Komponen yang terkandung dalam sekam,
yaitu selulosa dapat dimanfaatkan oleh
F.oxysporum sebagai substrat dalam siklus
hidupnya (Soepardi et al. 1982). Selulosa
merupakan polisakarida dari monomer berupa
D-glukosa dengan subunit monomer berupa
selobiosa yang banyak ditemukan di hampir
semua jaringan tumbuhan sebagai komponen
penyusun dinding sel tumbuhan dan dikenal
sebagai serat di dalam suatu tumbuhan.
Sebanyak 34.34-43.80 % selulosa terkandung
dalam sekam (Hawab 2004).
Penelitian ini mempergunakan dua jenis
perlakuan jumlah substrat sekam untuk
menentukan jumlah substrat optimum yang
mampu dimanfaatkan F.oxysporum dan dapat
disintesis menjadi nanopartikel silika.
Perlakuan pertama mempergunakan 5 gram
sekam dan 10 gram biomassa F.oxysporum
berumur 72 jam. Perlakuan kedua
mempergunakan 2.5 gram sekam dan 10 gram
biomassa F.oxysporum berumur 72 jam.
Sekam ditambah dengan 50 mL akuades,
kemudian di autoklaf. Proses sterilisasi ini
perlu dilakukan untuk menghilangkan
kontaminan dari substrat yang akan
dimanfaatkan F.oxysporum. Kultur diinkubasi
27ºC dan diaerasi 200 rpm selama 24 jam.
Warna kultur berubah menjadi cokelat
kehitaman setelah F.oxysporum diberi
perlakuan dengan substrat berupa sekam.
Produk hasil kultur berupa filtrat
dipisahkan dari substrat berupa sekam dan sel
kapang F.oxysporum dalam proses filtrasi.
Produk biosintesis akan berada di filtrat
karena enzim spesifik F.oxysporum yang
berperan dalam biosintesis dikeluarkan secara
ekstraseluler (Duran et al. 2005). Filtrat,
sekam, dan biomassa F.oxysporum dapat
dipisahkan dengan mudah satu dengan
lainnya, karena ukuran partikel yang berbeda-
beda. Filtrat yang merupakan produk
biosintesis akan lolos melalui penyaring,
sedangkan sekam dan biomassa tertahan pada
penyaring. Sekam dan biomassa juga dengan
mudah dapat dipisahkan, karena ukuran
miselia biomassa F.oxysporum lebih besar
dari partikel sekam.
Filtrat hasil biosintesis perlu dilakukan
pemurnian dengan fenol:kloroform 1:1.
Pelarut organik ini dapat memurnikan filtrat
hasil biosintesis dari protein melalui
mekanisme denaturasi protein (Lestari 2008).
Hal tersebut dilakukan karena nanopartikel
sebagai produk biosintesis yang terbentuk
lebih baik bila dibandingkan dengan produk
biosintesis tanpa perlakuan ekstraksi fenol-
kloroform, yaitu tanpa pengotor (Bansal et al.
2005). Pelarut organik akan berada di lapisan
paling bawah pada saat proses sentrifugasi.
Lapisan tengah merupakan lapisan gumpalan
protein dan lapisan air atas adalah filtrat hasil
proses biosintesis (Gambar 14).
Proses analisis produk hasil biosintesis
dilakukan dengan menggunakan tiga
instrumen Scanning Electron Microscope
(SEM), Fourier Transformer InfraRed
Spectroscopy (FTIR), dan Xray Difraction
(XRD). Gambar 15 menunjukkan hasil
(SEM) produk biosintesis hasil reaksi
F.oxysporum dengan 5 gram sekam selama 24
jam pada perbesaran 2000 kali. Partikel
terlihat beragregat satu dengan lainnya.
Gambar 16 dan Gambar 17 merupakan
sekam tanpa perlakuan F.oxysporum dan
silika gel. Keduanya diperlakukan sebagai
pembanding atau kontrol negatif, untuk
membuktikan bahwa produk biosintesis telah
mengindikasikan berukuran nano. Partikel
hasil biosintesis terlihat memiliki berbagai
variasi ukuran antara 200-1000 nm (Gambar
15). Ukuran partikel sekam tanpa perlakuan
F.oxysporum dalam gambar 16 adalah 50 μm.
Hasil tersebut membuktikan bahwa ukuran
partikel sekam sebelum dan sesudah diberi
perlakuan F.oxysporum semakin mengecil.
Hal tersebut menandakan bahwa enzim-enzim
14
ekstraseluler yang dikeluarkan F.oxysporum
telah bekerja dalam mereduksi sekam
sehingga terbentuk produk biosintesis dengan
ukuran 200-1000 nm.
Produk hasil biosintesis yang merupakan
suatu nanopartikel silika kemudian
dibandingkan dengan silika gel sebagai
kontrol negatif. Ukuran silika gel standar
berdasarkan analisis SEM pada Gambar 17
adalah 15-5000 μm. Ukuran silika gel standar
tersebut jauh lebih besar bila dibandingkan
produk hasil biosintesis yang memiliki ukuran
200-1000 nm. Hasil tersebut mengindikasikan
bahwa dalam produk hasil biosintesis,
sebagian partikel telah berada dalam ukuran
nano.
Gambar 14 Proses pemurnian (a)pelarut
organik dan pelet (b) filtrat.
Gambar 15 Hasil analisis SEM nanopartikel
silika dengan 5 gram sekam
perbesaran 2000 x.
Gambar 16 Hasil analisis SEM sekam tanpa
perlakuan F.oxysporum perbesaran
500 x (Ahmad et al. 2009).
Gambar 17 Hasil analisis SEM silika gel
perbesaran 1000 x.
Hasil analisis SEM dapat didukung dengan
analisis FTIR. Analisis FTIR dilakukan untuk
memperdalam analisis produk biosintesis
bahwa produk yang terbentuk adalah silika.
Analisis ini didasarkan kepada spektrum
inframerah pada setiap gugus fungsional suatu
molekul yang bersifat spesifik. Nilai spektrum
absorbsi inframerah setiap gugus fungsi dapat
dilihat pada Lampiran 7. Menurut Balaz
(2008) setiap gugus fungsi memiliki nilai
spektrum absorbsi yang khas, yaitu gugus
fungsi MOH memiliki nilai spektrum absorbsi
3700-2900 cm-1
, gugus H2O memiliki nilai
spektrum absorbsi 3700-2900 cm-1
, gugus
CO32-
memiliki nilai spektrum absorbsi 1600-
1300 cm-1
, NO32-
memiliki nilai spektrum
absorbsi 1500-1250 cm-1
, BO32-
memiliki nilai
spektrum absorbsi 1300-1200 cm-1
, SO42-
memiliki nilai spektrum absorbsi 1200-1050
cm-1
, PO43-
memiliki nilai spektrum absorbsi
1100-950cm-1
, SixOy2-
memiliki nilai spektrum
absorbsi 1200-900 cm-1
, ASO43-
memiliki nilai
spektrum absorbsi 900-750 cm-1
, VO42-
memiliki nilai spektrum absorbsi900-750cm-1
,
dan WO42-
memiliki nilai spketrum absorbsi
850-750 cm-1
. Spektrum absorbsi yang
diinginkan sebagai hasil biosintesis adalah
spektrum absorbsi untuk gugus fungsi SixOy2-
.
Spektrum absorbsi untuk gugus fungsi SixOy2-
berada pada rentang 1200-900 cm-1
(Balaz
2008) dan menurut (Handayani 2009) gugus
Si-O-Si berada pada rentang spektrum
absorbsi 1000-1110 cm-1
.
Spektrum FTIR bagi silika gel berada pada
spektrum absorbsi 1105.2 cm-1
(Gambar 18 a).
Spektrum silika gel digunakan sebagai
pembanding atau kontrol positif. Kontrol
positif dapat membuktikan bahwa produk
hasil biosintesis adalah silka secara kimiawi.
Hasil FTIR produk biosintesis pada
penambahan substrat sekam sebanyak 5 gram
ditunjukkan dalam Gambar 18 b. Sebanyak 12
puncak ditemukan dalam spektrum absorbsi
FTIR, yaitu 3408.18 cm-1
, 2924.29 cm-1
,
a
b
15
2852.59 cm-1
, 1639,04 cm-1
, 1415.77 cm-1
,
1324.49 cm-1
, 1078 cm-1
, 1046.95 cm-1
,
793.12 cm-1
, 616.55 cm-1
, 531.49 cm-1
, dan
468.33 cm-1
. Namun demikian, setidaknya
terdapat tiga puncak yang memiliki puncak
tertinggi, yaitu berada pada spektrum absorbsi
3408.18 cm-1
, 1639.04 cm-1
, dan 1078.71cm-1
.
Hasil spektrum FTIR bagi produk
biosintesis dengan penambahan 5 gram
substrat sudah mengindikasikan silika. Puncak
dengan spektrum absorbsi 1078.71 cm-1
diindikasikan sebagai silika karena spektrum
absorbsi untuk gugus SixOy2-
berada pada
rentang 1200-900 cm-1
(Balaz 2008). Hal
tersebut juga diperkuat dengan bukti bahwa
nilai serapan absorbsi produk biosintesis tidak
berbeda jauh dengan nilai spektrum silika gel
standar, yaitu 1105.2 cm-1
.
Gugus fungsi lain selain SixOy2
ditemukan
dalam analisis FTIR produk biosintesis, yaitu
gugus fungsi CO32-
yang berada pada
spektrum absorbsi 1639.04 cm-1
dan H2O
yang berada pada spektrum absorbsi 3408.18
cm-1
. Keberadaan gugus fungsi yang
mengandung karbon dan air, menandakan
bahwa masih terdapat selulosa yang belum
dimanfaatkan oleh F.oxysporum. Selulosa
merupakan komponen yang berasal dari
sekam.
Proses sintesis kedua dilakukan dengan
mempergunakan sebanyak setengah dari
jumlah sintesis pertama, yaitu dengan jumlah
substrat sebanyak 2.5 gram. Sintesis kedua
mendapatkan perlakuan yang sama seperti
pada sintesis pertama. Substrat yang telah
steril kemudian diberikan 10 gram biomassa
F.oxysporum. Kultur diinkubasi 27ºC dan
diaerasi 200 rpm selama 24 jam. Hasil SEM
pada 1000 kali perbesaran dapat diamati pada
Gambar 19.
Gambar 18 Hasil analisis FTIR (a) standar silika gel (b) produk biosintesis pada penambahan
substrat sekam sebanyak 5 gram.
16
Gambar 19 Hasil analisis SEM nanopartikel
silika dengan 2.5 gram sekam
perbesaran 1000 x
Hasil pengamatan dengan SEM pada
produk biosintesis mempergunakan 2.5 gram
sekam, memperlihatkan bahwa partikel berada
dalam berbagai variasi ukuran partikel dan
beragregasi. Ukuran partikel relatif tidak
berbeda jauh dengan perlakuan 1 yang
mempergunakan 5 gram sekam, yaitu
memiliki ukuran 200-1000 nm. Hal yang
sama terjadi pada perlakuan 2 bahwa
nanopartikel yang terbentuk masih
mengandung selulosa yang belum
dimanfaatkan oleh F.oxysporum. Faktor
waktu inkubasi pada saat F.oxysporum
memanfaatkan substrat berupa sekam
merupakan faktor diluar faktor eksperimental
yang juga mempengaruhi hasil produk
biosintesis nanopartikel silika.
Karakteristik struktur produk biosintesis
dianalisis dengan menggunakan XRD. Hasil
analisis dengan XRD berupa puncak-puncak
difraksi. Gambar 20 merupakan puncak
difraksi khas untuk nanopartikel silika dengan
struktur kristalin (crystoballite). Gambar 21
merupakan puncak difraksi untuk sekam tanpa
perlakuan F.oxysporum dan diperlakukan
sebagai kontrol negatif. Material anorganik
silika yang terkandung dalam sekam, berada
dalam struktur dasar (amorphous silica)
(Bansal 2006). Gambar 22 merupakan puncak
difraksi produk biosintesis yang merupakan
sekam dengan perlakuan F.oxysporum.
Puncak difraksi produk biosintesis berbeda
dengan puncak difraksi sekam dan mendekati
struktur puncak difraksi khas nanopartikel
kristalin. Berdasarkan hasil tersebut dapat
dikatakan bahwa sekam dengan perlakuan
F.oxysporum mengalami perubahan struktur
dari bentuk dasar (amorphous) dan
mengindikasikan berbentuk nanopartikel
silika kristalin (crystoballite).
Gambar 20 Puncak difraksi nanopartikel
silika kristalin (crystoballite).
Gambar 21 Puncak difraksi sekam tanpa
perlakuan F.oxysporum.
Gambar 22 Puncak difraksi produk biosintesis
Biosintesis nanopartikel merupakan
pengembangan metode baru dengan
menghasilkan nanopartikel logam dari sel
mikrob serta melibatkan reaksi enzimatis.
F.oxysporum dimanfaatkan dalam biosintesis
nanopartikel silika, karena penanganan yang
mudah dan mampu menciptakan mekanisme
enzimatis dalam biosintesis nanopartikel
17
silika. Produk biosintesis diharapkan
berukuran nano, berstruktur kimiawi silika,
dan berbentuk nanopartikel silika.
Produk biosintesis berstruktur kimiawi
silika dan berbentuk nanopartikel silika dapat
terbentuk melalui beberapa tahapan dan
beberapa aspek parametrik. Tahapan
perlakuan pendahuluan bagi isolat F.
oxysporum penting dilakukan, karena enzim
yang berperan dalam mensintesis nanopartikel
silika terdapat dalam isolat. Perlakuan
pendahuluan yang dilakukan, yaitu
penumbuhan F. oxysporum dalam media PDA
dan PDL. Fusarium oxysporum dikulturkan
dari suatu inokulum yang baik dan bebas dari
kontaminan berdasarkan pemeriksaan fisik
dan mikroskopis. Fusarium oxysporum
dikulturkan dalam media yang mengandung
substrat berupa kentang dan dekstrosa sebagai
sumber karbon. Tempat penumbuhan
Fusarium oxysporum dilakukan dalam 4/5
ruang kosong labu Erlenmeyer untuk
mencukupi sistem aerasi. Fusarium
oxysporum ditumbuhkan dalam kondisi pH
media 4-6, suhu inkubasi 27ºC, dan aerasi
dengan shaker orbital 200 rpm untuk
penumbuhan isolat dalam media cair.
Aspek parametrik yang dilakukan adalah
optimasi fase pertumbuhan F. oxysporum
dalam menghasilkan enzim dan jumlah
substrat berupa sekam. Pemanenan biomassa
F. oxysporum dilakukan pada jam ke-72, yaitu
saat sel memasuki fase stasioner berdasarkan
kurva pertumbuhan yang diperoleh. Hal
tersebut didasari bahwa pada fase stasioner F.
oxysporum yang ditumbuhkan pada jam ke-72
telah mengindikasikan sejumlah protein yang
berasal dari biomassa. Keberadaan enzim
ekstraseluler tersebut dilihat berdasarkan
kemampuannya dalam mereduksi silika yang
terkandung dalam substrat berupa sekam
menjadi nanopartikel silika. Sekam yang
dipergunakan terdiri dari dua perlakuan, yaitu
5 gram dan 2.5 gram. Produk biosintesis
menunjukkan hasil sudah mengindikasikan
terbentuknya nanopartikel silika berdasarkan
ukuran untuk kedua perlakuan jumlah substrat
dalam analisis SEM, komposisi kimiawi
berupa gugus silika dalam analisis FTIR, dan
struktur nanopartikel silika kristalin dalam
analisis XRD. Namun demikian, produk
biosintesis yang terbentuk belum optimum
karena nanopartikel yang terbentuk
beragregasi dan masih terdapat komponen
sekam yang belum dimanfaatkan F.
oxysporum. Faktor waktu inkubasi pada saat
F.oxysporum memanfaatkan substrat berupa
sekam merupakan faktor diluar faktor
eksperimental yang juga mempengaruhi hasil
produk biosintesis nanopartikel silika.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Nanopartikel silika yang terbentuk pada
jam ke-72 kurva pertumbuhan F.oxysporum
dalam penambahan substrat sekam sebanyak 5
gram dan 2.5 gram relatif tidak memiliki hasil
yang berbeda. Hasil SEM menunjukkan
bahwa kedua perlakuan menghasilkan partikel
dengan ukuran bervariasi antara 200-1000 nm
dan beragregasi. Hasil FTIR sudah
mengindikasikan keberadaan gugus Si-O-Si.
Sekam mengalami perubahan struktur dari
bentuk dasar (amorphous) dan
mengindikasikan berbentuk nanopartikel
silika kristalin (crystoballite) berdasarkan
analisis XRD.
Saran
Optimasi fase pertumbuhan di jam lain
kurva pertumbuhan dan waktu inkubasi
F.oxysporum dalam memanfaatkan sekam
sehingga dihasilkan produk biosintesis
berbentuk nanopartikel silika kristalin perlu
dilakukan dalam penelitian lanjutan. Selain
itu, aspek mekanistik biosintesis nanopartikel
silika dari sekam oleh F.oxysporum perlu
dikaji
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad I, Jamil MS, Abdullah I. 2009.
Pengisian sekam padi dan tanah liat
ke dalam matriks polietilena
berketumpatan tinggi getah asli dan
getah cecair. Sains Malaysia. 38(3):
381-386.
Balaz I. 2008. Mechanochemistry in
Nanoscience and Mineral
Enginering. Berlin: Springer.
Bansal et al. 2002. Fungus mediated
biosynthesis of silica and titania
particles. Journal of Material
Chemistry. 15:2583-2589.
Bansal et al. 2005. Bioleaching of sand by the
fungus F.oxysporum as ameans of
producing extracellular silica
nanoparticles. Advanced material.
17:889-892.
Bansal V, Ahmad A, Sastry M. 2006. Fungus-
mediated biotransformation of
amorphous silica un rice husk to
nanocrystalline silica. J Am Chem
Soc. 128: 14059-14066.
18
Basavaraja S et al. 2008 Extracellular
biosynthesis of silver nanoparticles
using the fungus Fusarium
semitectum. Materials Research
Bulletin 43(5): 1164-1170.
Benvenutti E & Yoshitaka G. 1998.
Comparative study of catalytic
oxidation of ethanol to acethaldehyde
using Fe (III) dispered on Sb2O5
grafted on SiO2 and on untreated
SiO2 surfaces. J.Braz.Chem.Soc.
9(5): 469-472.
Booth C. The Genus Fusarium. Bucks:
Commonwealth Mycological
Institute.
[BPPP Deptan] Balai Penelitian Pasca Panen
Departemen Pertanian. 2001.
Peluang Agribisnis Arang Sekam.
Terhubung berkala www.pustaka-
deptan.go.id/publikasi/ [1 Februari
2010].
Desjardins A. 2009. Fusarium Mycotoxins:
Chemistry,Genetics, and Biology.
Minnesota: The American
Phytopathological Society pr.
Dharmaputra OS, Gunawan AW, Nampiah.
1989. Penuntun Praktikum Mikologi
Dasar. Bogor: IPB Pr.
Duran et al. 2005. Mechanistic aspects of
biosynthesis of silver nanoparticles
by several Fusarium oxysporum
strains. Journal of
Nanobiotechnology 3:8.
Efendi et al. 2008. Pemanfaatan Rizobakteri
untuk meningkatkan mutu planlet
pisang dan toleransi terhadap
penyakit layu Fusarium [Laporan
Hasil Akhir Penelitian]. Bogor:
Lembaga Penelitian dan Pengabdian
kepada Masyarakat, Institut
Pertanian Bogor.
Fatmawati F. 2010. Sintesis silika berbasis
sekam padi dan uji kuat tarik
terhadap komposit ripoksi-SiO2
(R802-SiO2 [Skripsi]. Jakarta:
Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut
Universitas Negeri Jakarta.
Gandjar I et al. 1999. Pengenalan Kapang
Tropik Umum. Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia.
Gandjar I et al. 2006. Mikologi: Dasar dan
Terapan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Goodsell D. 2000. Bionanotechnology:
Lessons from Nature. California: A
john wiley and sons inc publication.
Hadiyawarman et al. 2008. Fabrikasi
nanomaterial komposit superkuat,
ringan, dan transparan menggunakan
metode simple mixing. Journal
Nanosains & Nanoteknologi. 1 (1):
14-21.
Handayani E. 2009. Sintesa membran
nanokomposit berbasis nanopartikel
biosilika dari sekam padi dan kitosan
sebagai matriks berpolimer [tesis].
Bogor: Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Hart, Craine, Hart. 2003. Kimia
Organik:Suatu Kuliah Singkat.
Jakarta: Erlangga.
Hawab HM. 2004. Pengantar Biokimia.
Jakarta: Bayu media publishing.
Hendayana S et al. 1994. Kimia Analitik
Instrumrent. Semarang: IKIP
Semarang pr.
Ishak A et al. 2009. Pengisian sekam padi dan
tanah liat ke dalam matriks
polietilena berketumpatann tinggi
getah asli getah cecair. Sains
Malaysia. 38 (3): 381-386.
Ismunadji M. 1988. Padi Buku I. Bogor:
Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian.
Jamarun N, Rahman, Kmail. 1997. pengaruh
pH pada pembentukan silika gel
melalui proses sol-gel. Jurnal Kimia
Andalas. 3(2): 122-130.
Kalapathy N, Proctor, Schultz 2000. A simple
method for production of pure silica
from rice hull ash. Bioes. Technol.
73: 257-262.
Karo-karo P. 2009. The effect of boron oxide
addition on structure and
microstructure of rice husk silica as
raw material of ceramic. Di dalam:
Seminar Hasil Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat.
Lampung: Universitas Lampung.
Laksmono JA. 2000. Pemanfaatan abu sekam
padi sebagai bahan baku silika.
19
Prosiding Seminar Tantangan
Penelitian Kimia. 298-307.
Lead J. 2007. Nanoparticle in the aquatic and
terrestrial environments. Issues in
Environmental Science and
Technology. 24:1-18.
Lestari P. Uji aktivitas pemotongan DNA
superkoil fraksi protein daun kucing-
kucingan (Acalipha indica L)
terhadap pUC 19 [skripsi]. Surakarta:
Fakultas Farmasi, Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Mark D. 2007. Occupational exposure to
nanoparticle and nanotubes. Issues in
Environmental Science and
Technology. 24:1-18.
Marlina L. 2008. Sintesis nanopartikel besi
sebagai pereduksi pewarna tekstil
cibacron yellow [skripsi]. Bogor:
Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut
Pertanian Bogor.
Moghaddam KM. An introduction to
microbial metal nanoparticle
preparation method. The Journal of
Young Investigators 19:19.
Mukherjee P et al. 2002. Extracellular
synthesis of gold nanoparticles by the
fungus Fusarium oxysporum.
Chembiochem. 5: 461-463.
Park B. 2007. Current and future applications
of nanotechnology. Issues in
Environmental Science and
Technology. 24:1-18.
Pelczar MJ. 1986. Element of Microbiology.
Jakarta. Universitas Indonesia pr.
Sari EP. 2006. Pengaruh macam, pH, dan
penggoyangan media terhadap
pertmbuhan cendawan Fusarium
oxysporum [skripsi]. Bogor: Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Soepardi G, Chaniago IA, Sudarsono. 1982.
Pemanfaatan Sekam, Terak, dan
Pasir kuarsa sebagai sumber silikat
bagi pertumbuhan tanaman padi.
[Laporan Hasil Akhir Penelitian].
Bogor: Lembaga Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat,
Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
21
Lampiran 1 Komposisi media agar dekstrosa kentang (PDA) dan media cair
dekstrosa kentang (PDL)
Media agar dekstrosa kentang:
Kentang (tanpa kulit, dipotong-potong) 200 g
Air suling 1000 mL
Dimasak selama setengah jam, lalu disaring untuk diambil ekstraknya, kemudian
ditambah air suling hingga mencapai volume 1000 mL.
Agar 15 g
Dekstrosa 20 g
Media cair dekstrosa kentang
Kentang (tanpa kulit, dipotong-potong) 200 g
Air suling 1000 mL
Dimasak selama setengah jam, lalu disaring untuk diambil ekstraknya, kemudian
ditambah air suling hingga mencapai volume 1000 mL
Dekstrosa 20 g
22
Lampiran 2 Bagan alur pembuatan media
23
Lampiran 3 Bagan alur proses
Perlakuan pendahuluan bagi
isolat F.oxysporum
Media PDA Media PDL
Peremajaan
F.oxysporum
Pembuatan
isolat cair
Pembuatan kuva pertumbuhan
pada interval waktu 12 jam
Isolat F.oxysporum
yang tumbuh pada
fase terpilih 3
Isolat F.oxysporum
yang tumbuh pada
fase terpilih 2
Isolat F.oxysporum
yang tumbuh pada
fase terpilih1
Pemanenan isolat
F.oxysporum
Biosintesis
nanopartikel
Analisis SEM, FTIR,
dan XRD
24
Lampiran 4 Biosintesis nanopartikel
10 g sekam dalam 100 ml
air destilata steril
resuspensi
20 g F.oxysporum yang
mengandung silica amorphous
Inkubasi dalam incubator
bergoyang 200 rpm 27ºC
Suspensi
jam ke 4
Suspensi
jam ke 8
Suspensi
jam ke 28
Suspensi
jam ke 16
Suspensi
jam ke 12
Suspensi
jam ke 20
Suspensi
jam ke 24
Sentrifugasi 6000 rpm 10 menit
Supernatan pelet
Perlakuan fenol-kloroform (1:1)
Sentrifugasi 6000 rpm 10 menit
Supernatan pelet
Spray dry
Nanopartikel silika kristalin
Suspensi
jam ke 32
25
Lampiran 5 Pertumbuhan F.oxysporum
waktu inkubasi selama 1 hari waktu inkubasi selama 2-3 hari
waktu inkubasi selama 4-7 hari dalam media PDA
waktu inkubasi selama 24 jam dalam PDB waktu inkubasi selama 72 jam
Biomassa F.oxysporum
26
Lampiran 6 Data kurva pertumbuhan
Waktu Jam ke- Apengukuran Aterkoreksi Keterangan)*
28-03-10/06.00 0 0.027 0.027 -
28-03-10/18.00 12 0.522 1.452 3 kali
29-03-10/06.00 24 0.940 2.706 3 kali
29-03-10/18.00 36 0.588 3.300 6 kali
30-03-10/06.00 48 0.599 5.049 9 kali
30-03-10/18.00 60 0.589 4.959 9 kali
31-03-10/06.00 72 0.589 4.959 9 kali
31-03-10/18.00 84 0.603 5.085 9 kali
01-04-10/06.00 96 0.596 5.022 9 kali
Keterangan)* : faktor pengenceran
Contoh perhitungan Aterkoreksi :
Diketahui, A media PDB= 0.038
Apengukuran = 0.522
Pengenceran = 3 kali
Aterkoreksi = (Apengukuran - A media PDB) x faktor pengenceran
Aterkoreksi = (0.522 – 0.038) x 3
Aterkoreksi = 1.452
0.027
1.452
2.706
3.3
5.049 5 4.959 5.0855.022
0
1
2
3
4
5
6
0 12 24 36 48 60 72 84 96
Waktu (jam)
Optica
l D
ensi
ty
(OD
)
27
Lampiran 7 Spektrum absorbsi inframerah
Gugus fungsi Serapan absorbsi (cm-1
)
MOH 3700-2900
H2O 3700-2900
CO32-
1600-1300
NO32-
1500-1250
BO32-
1300-1200
SO42-
1200-1050
PO43-
1100-950
SixOy2-
1200-900
AsO43-
900-750
VO42-
900-750
WO42-
850-750
Sumber : Balaz (2008).