Post on 10-Aug-2019
Sosok | 13 RABU, 15 DESEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA
Melalui huruf braille, pianis muda Indonesia itu menerjemahkan kata-katadengan jemarinya.
Iwan Kurniawan
Bermusik tanpa Netra Saya ingin terkenal. Cita-cita mau menjadi pianis dunia.”
SENYUM kecil tersung-ging di wajah Muham-mad Ade Irawan saat ia memasuki ruangan
pertunjukan di Gedung Ke-senian Jakarta, Senin (13/12) sore.
Dengan tuntunan bunda, En-dang Dewi Mardeyani, re maja tunanetra itu mulai meraih sebuah tempat duduk berwar-na keabu-abuan. “Mama nema-nin yah. Bentar lagi mau main,” ujar Ade terpatah-patah, seraya diiakan sang bunda.
Fisik yang tidak sempurna tidak membuat ia minder atau merasa merendah. Sebaliknya, ia menunjukkan kepiawaian dalan memainkan piano secara spektakuler.
Semua jenis musik mampu ia bawakan secara cermat. Mulai jenis jazz, fusion, blues, swing, smooth jazz, new orleans, bebop, latin, hingga dangdut.
Pada acara bertajuk Shop in Chopin itu, ia meracik be-berapa instrumen. Ia memadu-kan musik jazz dan klasik. Salah satu adalah karya milik Fryderyk Franciszek Chopin (1810-1849) berjudul Der Reit-ersmann von der Schlacht.
Dengan panduan pianis kawakan Jaya Suprana, remaja kelahiran Colchester, Inggris, 15 Januari 1994 itu tampil gesit. Saat Jaya memintanya untuk memainkan sebuah instru-men blues, Ade pun langsung memainkan jemari-jemarinya secara sontak.
Begitu pula saat diminta memainkan beberapa jenis instrumen lainnya. Ia me-nampakkan kepercayaan diri yang begitu tinggi. Sejenak, ia mengingatkan Media Indonesia pada sesosok penulis tuna-netra, Helen Adams Keller (1880-1968).
Tak ayal, saat instrumen tengah ia mainkan, beberapa penonton pun menikmati. Me-reka terkagum-kagum sambil menutup mata sejenak.
“Ini adalah kejeniusan Ade. Ia memainkan sebuah instru-men dengan jemari yang tidak teratur di atas tuts. Namun, sangat pas di telinga,” puji Jaya, seraya menepuk pundak Ade.
TerangSemua berawal saat Endang
dan suaminya, Irawan Sub-agyo, menetap di ‘Negeri Ratu Elizabeth’. Sebuah ‘keajaiban’ pun datang.
Endang yang pada saat itu tengah bekerja sebagai salah satu staf di Kedutaan Besar Indonesia di Inggris tidak me-nyangka. Anak pertamanya harus terlahir secara tidak
normal.Kebutaan yang dialami
Ade sempat membuat mereka sedikit terguncang.
Saat usia 0-9 bulan, Ade bayi mendapatkan perawatan secara khusus. Ia juga sempat mendapatkan perawatan dari ahli mata di Kota London. Sayangnya, kondisi fisiknya tidak sebagaimana bayi yang terlahir normal.
Pada 1995, kedua orang tu-anya memutuskan untuk kem-bali ke Jakarta. Ade bayi pun dipertemukan dengan pihak keluarga. Beberapa keluarga sempat menanyakan kondi-sinya. Untunglah, Endang dan suaminya sangat kuat mene-rima realitas.
Di penghujung 1995, mereka hijrah ke New York, Amerika Serikat. Kebetulan saat itu, En-
dang mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan masternya di salah satu universitas ter-nama.
Keberadaan di ‘Negara Pa-man Sam’ itu berlangsung hingga 1999. Saat itu, Ade kecil mulai aktif dalam meraba-raba alat musik, terutama alat pu-kul, seperti gendang.
Setelah melihat anak me-reka superaktif, Endang dan
Irawan mulai berkonsultasi ke beberapa psikolog dan dokter setempat. Mereka pun sema-kin dapat menerima kondisi Ade.
Setelah memutuskan balik ke Tanah Air di pertengahan 1999, Ade mulai tertarik dengan semua alat musik. Namun, ia baru mengenal piano saat ayah-nya membawa ia berjalan-jalan ke sebuah pusat perbelanjaan
di Jakarta. “Saat itu, Ade menekan tuts
piano dan berbunyi. Spontan, ia meminta saya untuk mem-beli,” ujar Irawan, menirukan gaya anaknya.
Tanpa sayapSebagai kota terkenal di
AS, Chicago merupakan salah satu tempat berkumpul para musikus jazz dan blues dunia. Beberapa musikus pernah me-mulai karier di kota tersebut. Di antaranya, Robert Irving III, Coco Elysses-Hevia, Ramsey Lewis, Peter Saxe, Dick Hyman, Ryan Cohen, John Faddis, serta Ernie Adams.
Tak mengherankan jika Ade memiliki cita-cita untuk bisa menembus kancah internasio-nal seperti para pendahulu jazz ataupun blues tersebut.
Tak dapat dimungkiri, bakat Ade kecil kian terasah saat En-dang bertugas kembali selama empat tahun di Chicago, sejak 2004.
Di kota itu, Endang sering membawa anaknya itu ber-main di kafe-kafe. Tujuannya hanya mencari teman-teman musikus. Saat itu, usia Ade mulai menginjak 12. Namun, permainan pianonya sungguh luar biasa.
Selama berada di Chicago, Ade kecil sempat mempelajari huruf braille di Farnsworth Elementary School. Hal itu semakin mendorong ia agar kelak dapat kembali ke tanah kelahirannya.
“Saya ingin terkenal. Cita-cita mau menjadi pianis dunia,” ucap Ade tersendat-sendat se-raya dituntun sang ayah untuk meluruskan kalimat yang ia maksudkan.
Kerja keras dan ketekunan untuk merajut karier telah dimulai. Peraih anugerah Cer-tifi cate of Honor Recital Master Class itu bertekad kembali ke tanah kelahirannya sebagai sesosok putra Indonesia.
Melalui keterbatasan, Ade yang dijuluki Ade ‘Wonder’ Irawan itu telah membuka tabir dunia.
Kebutaan bukanlah pengha-lang untuk bisa menjadi pianis ternama. Ia mampu berbicara banyak dengan jemari tanpa sayap. (M-2)
iwak@mediaindonesia.com
M U H A M M A D A D E I R A W A N
MI/SUMARYANTO
BIODATATempat, tanggal lahir:
Colchester, Inggris, 15 Januari
1994
Pekerjaan: Musikus, pianis solis remaja
Ayah: Irawan Subagyo
Ibu: Endang Dewi Mardeyani
Adik: Halimah Dewi Irawan, 12
Tempat tinggal:
Penggilingan, Cakung, Jakarta
Timur
Pendidikan:
• Farnsworth Elementary
School (2005-tidak tamat)
• SLB/A Pembina Tingkat
Nasional, Lebak Bulus,
Jakarta (Kini, kelas 2
setingkat SMA)
Penghargaan:
• Anugerah Certificate of
Honor Recital Master Class
dari Jaya Suprana
• School of Performing Arts
(2010)
• Peraih Museum Rekor Dunia
Indonesia (2010)