Post on 13-Apr-2016
PENGGUNAAN Na-SITRAT PADA JENIS TEPUNG YANG BERBEDA DALAM PEMBUATAN BAKSO KERING
IKAN MATA GOYANG (Priacanthus tayenus)
Oleh:
Bahrudin C34103034
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN
BAHRUDIN. C34103034. Penggunaan Na-Sitrat pada Jenis Tepung yang Berbeda dalam Pembuatan Bakso Kering Ikan Mata Goyang (Priacanthus tayenus). Dibawah bimbingan PIPIH SUPTIJAH dan MALA NURIMALA.
Ikan merupakan bahan pangan yang memiliki nilai gizi tinggi. Salah satu bentuk produk diversifikasi yang berbasis daging ikan adalah bakso ikan. Bakso merupakan produk pangan yang terbuat dari bahan utama daging yang dilumatkan, dicampur dengan bahan lain, dibentuk bulatan dan selanjutnya direbus. Bakso kering merupakan produk pangan yang telah mengalami proses pengeringan dengan alat freeze dryer. Perlu diketahui bahwa manfaat dari pencucian pada surimi dalam pembuatan bakso ikan adalah untuk meningkatkan kemampuan daging dalam membentuk gel dengan meningkatkan konsentrasi aktomiosin. Penggunaan Na-sitrat ditujukan untuk menghasilkan produk yang lebih porous (berongga).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui frekuensi pencucian terbaik dari ikan mata goyang (Priacanthus tayenus) sebagai bahan baku bakso kering, mempelajari pengaruh Na-sitrat terhadap jenis tepung yang digunakan dan mempelajari karakteristik bakso kering ikan mata goyang (Priacanthus tayenus).
Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu pendahuluan untuk menentukan frekuensi pencucian terbaik dengan uji yang dilakukan adalah derajat putih, Protein Larut Garam (PLG), kekuatan gel, uji lipat serta gigit. Penelitian utama terdapat dua tahap yaitu tahap pertama menentukan bakso terbaik dengan uji yang dilakukan adalah rasio susut masak, rasio rehidrasi dan uji organoleptik skala hedonik, kemudian setelah ditentukan bakso kering terbaik dilakukan tahap dua yaitu membandingkan dua jenis bakso terpilih dengan uji yang dilakukan adalah uji kekuatan gel, kekerasan, Water Holding Capacity (WHC), uji lipat dan gigit, proksimat serta uji organoleptik skala hedonik.
Berdasarkan hasil penelitian dapat dilaporkan bahwa pencucian terbaik adalah pencucian surimi satu kali dengan nilai kekuatan gel sebesar 1470,95 g.cm, derajat putih sebesar 22,23 %, protein larut garam sebesar 2,70 % serta uji lipat dan gigit sebesar 4,93 dan 8,53. Pencucian satu kali kemudian dipakai untuk penelitian utama, terdapat 6 (enam) jenis bakso yaitu KTT (Kontrol Tepung Tapioka), RTT (Rendam Tepung Tapioka), TTT (Tambah Tepung Tapioka), KTS (Kontrol Tepung Sagu), RTS (Rendam Tepung Sagu) dan TTS (Tambah Tepung Sagu) kemudian dilakukan beberapa uji yang menghasilkan bakso jenis TTT dan TTS sebagai bakso kering terbaik dengan rasio susut masak sebesar 81,92 % dan 76,12 %, rasio rehidrasi sebesar 35,98 % dan 25,76 % sedangkan untuk uji organoleptik skala hedonik jenis bakso TTS memiliki nilai tertinggi yaitu 5,33; 5,23 dan 5,90. Jenis bakso TTT dan TTS kemudian dibandingkan, dengan nilai uji yang dihasilkan adalah 370,00 g.cm dan 257,00 g.cm pada uji kekuatan gel; 345,00 g.cm dan 712,50 g.cm pada uji kekerasan; 2,75 dan 3,00 pada uji WHC; 3,20 dan 2,97 pada uji lipat; 6,20 dan 5,70 pada uji gigit. Nilai proksimat untuk bakso jenis TTT adalah kadar air 59,01 %, kadar abu 1,55 %, kadar protein 19,99 %, kadar lemak 1,05 % dan kadar karbohidrat 18,41 % sedangkan untuk jenis bakso TTS adalah kadar air 56,07 %, kadar abu 2,16 %, kadar protein 16,40 %, kadar lemak 0,93 % dan kadar karbohidrat 24,44 %.
PENGGUNAAN Na-SITRAT PADA JENIS TEPUNG YANG BERBEDA DALAM PEMBUATAN BAKSO KERING
IKAN MATA GOYANG (Priacanthus tayenus)
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
Oleh:
Bahrudin C34103034
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul : PENGGUNAAN Na-SITRAT PADA JENIS TEPUNG YANG BERBEDA DALAM PEMBUATAN BAKSO KERING IKAN MATA GOYANG (Priacanthus tayenus)
Nama : Bahrudin
NRP : C34103034
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
Dra. Pipih Suptijah, MBA Mala Nurimala, SPi, MSi NIP. 131 478 638 NIP. 132 315 793
Mengetahui,
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof.Dr.Ir. Indra Jaya, MSc NIP. 131 578 799
Tanggallulus:
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Penggunaan
Na-Sitrat pada Jenis Tepung yang Berbeda dalam Pembuatan Bakso Kering Ikan
Mata Goyang (Priacanthus tayenus) adalah karya sendiri dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan
dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi.
Bogor, 04 September 2008
Bahrudin C34103034
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tangerang pada tanggal 14 Mei
1984, merupakan anak kedua dari dua bersaudara keluarga
Bapak Sarih dan Ibu Tihaya Bentih. Penulis menyelesaikan
sekolah di SD Assadatudarain II Pamulang Timur lulus
tahun 1997, SMP Arraisiyyah Pamulang Barat lulus tahun 2000, SMU Negeri 1
Pamulang Tangerang lulus tahun 2003. Penulis diterima di IPB pada tahun 2003
melalui jalur USMI pada Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Selama menjadi mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis
aktif berorganisasi menjadi anggota FKM-C (Forum Keluarga Muslim Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan) pada tahun 2003-2004. Penulis pernah menjadi
asisten mata kuliah Ikhtiologi pada tahun 2005 di jurusan Manajemen
Sumberdaya Perikanan IPB.
Dalam menyelesaikan tugas akhir, penulis melaksanakan penelitian yang
berjudul Penggunaan Na-Sitrat pada Jenis Tepung yang Berbeda dalam
Pembuatan Bakso Kering Ikan Mata Goyang (Priacanthus tayenus). Dibawah bimbingan Dra. Pipih Suptijah, MBA dan Mala Nurimala, SPi, MSi.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
rahmat, hidayah, serta anugrah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini yang berjudul Penggunaan Na-sitrat pada Jenis Tepung yang Berbeda dalam
Pembuatan Bakso Kering Ikan Mata Goyang (Priacanthus tayenus), yang
merupakan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan
pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Selama penyusunan skripsi, penulis banyak mendapatkan bantuan dan
masukan dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terimakasih kepada:
1. Ibu Dra. Pipih Suptijah MBA dan Ibu Mala Nurimala SPi, MSi selaku dosen
pembimbing yang telah memberikan bimbingan, motivasi, saran, dan kritik
selama penelitian.
2. Ibu Dr. Tati Nurhayati SPi, MSi dan Bapak Uju Sadi SPi, MSi selaku dosen
penguji yang telah banyak memberikan saran dan masukan untuk
kesempurnaan skripsi ini.
3. Ibu dan Bapak tercinta, kakak, seluruh keluarga besar dan Novita Indah
Fitriyani atas segala cinta dan kasih sayang-nya, kesabaran, ketegaran, serta
doa dan jerih payahnya, semoga selalu berada dalam lindungan Allah SWT
dan sehat walafiat.
4. Dosen-dosen, TU, dan seluruh civitas akademik THP yang telah membantu
penulis dalam menyelesaikan studi.
5. Ibu Diana atas segala kesabarannya dalam membimbing penulis. Pak Basirun,
Cak Giran, Bu Sisil, Pak Dicky, Mas Hazil, Bu Netty, Pak Susilo, Pak Didik,
Bu Azrina, Pak Dwi dan seluruh staff Laboratorium Pengolahan yang telah
memberikan kemudahan dan bantuan selama penelitian di BBP2HP Muara
Baru.
6. Mang Karim yang telah mempersiapkan penginapan salama di Muara Baru.
Teh Nonon yang selalu menyiapkan makan siang selama penelitian.
7. David, Sigit, Tendi dan Ari cowo, atas kebersamaam dan bantuan selama
penelitian di Muara Baru.
8. Keluarga Besar Wisma Az-Zahra, Wisma Panggung, Juhli, Indra, Bangun,
Umam, Jule, Matul, Feri dan Beni.
9. Keluarga Besar THP 40, Meri, Nono, Hilman, Abdul, Juhli, Dian, Sigit,
Liany, Novita, Pisuko, Setyo, Fikri, Indrugs, Bangun, Nola, Aal, Deden,
Tenjo, Angling, Hoe, Rici, Edo, Roedex, Gea, Windo, Tomi, Tendi, Iqbal,
Wida, Yunita, Ira, Gami, Tobi, Riri, dan semua anak THP 40, 39, 41. Terima
kasih atas persaudaraan, keceriaan serta cinta kasihnya.
10. Keluarga Besar THP 39, 41, 42, 43, 44 dan 45 yang tidak dapat disebutkan
satu persatu, atas kebersamaannya selama ini.
11. Keluarga Besar Mig33 room IPB BOGOR, Muad, Rae, Yudhi, Ivan, Cydra,
Indra, Jule, Juhli, Tendi, Henny, Pikah, Mae, Putri dan seluruh keluarga besar
mig33 room IPB BOGOR yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima
kasih atas dukungan serta doa kalian sehingga penulis mampu menyelesaikan
skripsi ini.
11. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi yang
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Bogor, 04 September 2008
Bahrudin C34103034
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .......................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xii
1. PENDAHULUAN...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang..................................................................................... 1
1.2 Tujuan.................................................................................................. 3
2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 4
2.1 Deskripsi Ikan Mata Goyang (Priacanthus tayenus) .......................... 4
2.2 Daging Ikan ......................................................................................... 5
2.2.1 Protein miofibril......................................................................... 5 2.2.2 Protein sarkoplasma................................................................... 6 2.2.3 Protein jaringan ikat (Stroma) ................................................... 6
2.3 Surimi .................................................................................................. 6
2.3.1 Definisi surimi ........................................................................... 6 2.3.2 Bahan tambahan......................................................................... 7
(1) Garam .................................................................................. 7 (2) Polifosfat.............................................................................. 7 (3) Bahan cryoprotectant .......................................................... 8
2.3.3 Syarat mutu surimi beku (Standar Nasional Indonesia) ............ 9 2.3.4 Pengaruh pencucian ................................................................... 9 2.3.5 Pembentukan gel ikan................................................................ 10
2.4 Bakso Ikan........................................................................................... 11
2.4.1 Definisi bakso ............................................................................ 11 2.4.2 Cara pembuatan bakso ikan ....................................................... 12 2.4.3 Bahan pengisi............................................................................. 14 2.4.4 Bumbu-bumbu ........................................................................... 17 2.4.5 Es atau air es .............................................................................. 17
2.5 Freeze Dryer (Pengeringan Beku)....................................................... 18
2.5.1 Proses pembekuan ..................................................................... 18 2.5.2 Proses pengeringan sublimasi.................................................... 19 2.5.3 Pindah panas dan masa .............................................................. 20 2.5.4 Konduktivitas panas................................................................... 22 2.5.5 Permeabilitas air ........................................................................ 23 2.5.6 Konsentrasi dan suhu bahan ...................................................... 23
2.6 Pengaruh Pembekuan .......................................................................... 23
2.7 Perendaman dan Perlakuan Kimia....................................................... 24
3. METODOLOGI ........................................................................................ 27
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................. 27
3.2 Bahan dan Alat .................................................................................... 27
3.3 Metode Penelitian................................................................................ 28
3.3.1 Penelitian pendahuluan.............................................................. 28 3.3.2 Penelitian utama......................................................................... 29
(1) Skema pembuatan surimi pada penelitian pendahuluan...... 30 (2) Skema pembuatan bakso pada penelitian utama ................. 31
3.4 Metode Analisis Mutu Bakso .............................................................. 31
3.4.1 Uji organoleptik (Soekarto 1985) .............................................. 32 3.4.2 Uji fisik ...................................................................................... 32
(1) Kekuatan gel (Gel strenght) (Shimizu et al. 1992 yang telah dimodifikasi) ........................................................................ 32
(2) Kekerasan (Hardness) (Ranggana 1986)............................. 32 (3) Derajat putih (Whiteness) (Kett Electric Laboratory 1981
diacu dalam Nurhayati 1994) ............................................... 32 (4) Uji pelipatan (Folding test) (Suzuki 1981).......................... 33 (5) Uji gigit (Teeth cutting test) (Suzuki 1981)......................... 33 (6) Rasio susut masak (Soeparno 1992).................................... 34 (7) Rasio rehidrasi (Muchtadi dan Andarwulan 1988).............. 34 (8) Protein larut garam (PLG) ( Saffle dan Galbrcath 1964
diacu dalam Wahyuni 1992) ................................................ 34 3.4.3 Uji Kimia ................................................................................... 35
(1) Kadar air (AOAC 1995) ...................................................... 35 (2) Kadar abu (AOAC 1996)..................................................... 36 (3) Kadar protein (AOAC 1996) ............................................... 36 (4) Kadar lemak (AOAC 1995)................................................. 37 (5) Kadar karbohidrat (Winarno 1992) ..................................... 37 (6) TVB (Total volatile base) (Official Journal of the European
Union 2005 diacu dalam BBP2HP 2006) ............................ 38 (7) WHC (Water holding capacity) (Grau dan Hamm 1972
diacu dalam Wahyuni 1992) ................................................ 38
3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data ............................................ 39
3.6 Perlakuan pada Penelitian ................................................................... 40
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 41
4.1 Penelitian Pendahuluan ....................................................................... 41
4.1.1 Uji kekuatan gel (Gel strenght) ................................................. 41 4.1.2 Derajat putih (Witheness) .......................................................... 43 4.1.3 Protein larut garam (PLG) ......................................................... 45 4.1.4 Uji lipat (Folding test) ............................................................... 46 4.1.5 Uji gigit (Teeth cutting test)....................................................... 47
4.2 Penelitian Utama ................................................................................. 49
4.2.1 Penelitian utama tahap satu........................................................ 49 (1) Rasio susut masak ................................................................ 49 (2) Rasio rehidrasi ...................................................................... 52 (3) Uji organoleptik.................................................................... 53
(a) Penampakan.................................................................... 53 (b) Tekstur............................................................................ 54 (c) Warna.............................................................................. 55
4.2.2 Penelitian utama tahap dua......................................................... 57 (1) Kekuatan gel (Gel strenght) ................................................ 57 (2) Kekerasan (Hardness) ......................................................... 58 (3) WHC (Water holding capacity)........................................... 59 (4) Uji lipat (Folding test) ......................................................... 61 (5) Uji gigit (Teeth cutting test) ................................................ 62 (6) Uji organoleptik................................................................... 63 (7) Kadar proksimat .................................................................. 64
5. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 66
5.1 Kesimpulan.......................................................................................... 66
5.2 Saran.................................................................................................... 66
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 67
LAMPIRAN.................................................................................................... 74
DAFTAR TABEL
No Teks Halaman
1. Spesifikasi persyaratan mutu surimi beku (SNI 1992) .............................. 10
2. Stabilitas emulsi dari protein larut garam .................................................. 13
3. Komposisi kimia tepung tapioka................................................................ 15
4. Karakteristik pati sagu dan beberapa jenis pati lain................................... 16
5. Komposisi kimia pati sagu per 100 g bahan .............................................. 16
6. Nilai mutu uji pelipatan (folding test) ........................................................ 33
7. Nilai mutu uji gigit (teeth cutting test) ....................................................... 33
DAFTAR GAMBAR
No Teks Halaman
1. Ikan mata goyang (Priacanthus tayenus)..................................................... 4
2. Diagram fase air pada tekanan 610 Pa dan 0C ........................................... 19
3. Pindah panas dan massa pada bahan selama proses pengeringan beku ....... 21
4. a. Skema pembuatan surimi pada penetian pendahuluan (Modifikasi Suzuki 1981) ............................................................................. 30
b. Skema pembuatan bakso pada penelitian utama..................................... 31
5. Diagram pengaruh frekuensi pencucian terhadap kekuatan gel kamaboko . 42
6. Diagram pengaruh frekuensi pencucian terhadap derajat putih gel kamaboko............................................................................................... 44
7. Diagram pengaruh frekuensi pencucian terhadap PLG kamaboko.............. 45
8. Diagram pengaruh frekuensi pencucian terhadap uji lipat kamaboko ......... 47
9. Diagram pengaruh frekuensi pencucian terhadap uji gigit kamaboko......... 48
10. Diagram analisis rasio susut masak bakso kering beku dari jenis tepung yang berbeda................................................................................................ 50
11. Diagram analisis rasio rehidrasi bakso kering beku dari jenis tepung yang berbeda................................................................................................ 53
12. Diagram nilai rata-rata penampakan bakso kering beku............................. 54
13. Diagram nilai rata-rata tekstur bakso kering beku ...................................... 55
14. Diagram nilai rata-rata warna bakso kering beku ....................................... 56
15. Diagram perbedaan kekuatan gel pada produk bakso kering beku terpilih ........................................................................... 58
16. Diagram perbedaan kekerasan pada produk bakso kering beku terpilih..... 59
17. Diagram perbedaan WHC pada bakso kering beku terpilih ....................... 60
18. Diagram perbedaan uji lipat produk bakso kering beku yang terpilih ........ 61
19. Diagram perbedaan uji gigit produk bakso kering beku yang terpilih........ 63
20. Diagram perbedaan organoleptik bakso kering beku terpilih ..................... 64
21. Diagram perbedaan kadar proksimat pada produk bakso kering beku terpilih .......................................................................... 65
DAFTAR LAMPIRAN
No Halaman
1. Score sheet organoleptik .............................................................................. 74
1.a. score sheet uji gigit .............................................................................. 74 1.b. score sheet uji lipat............................................................................... 75 1.c. score sheet organoleptik bakso kering skala hedonik .......................... 76 1.d. score sheet organoleptik bakso basah skala hedonik ........................... 77
2. Data mentah uji organoleptik ....................................................................... 78
2.a Data uji gigit kamaboko...................................................................... 78 2.b Data uji lipat kamaboko ...................................................................... 78 2.c Data organoleptik bakso kering .......................................................... 79 2.d Data organoleptik bakso basah ulangan1............................................ 81 2.e Data organoleptik bakso basah ulangan2 ............................................ 81 2.f Data uji gigit bakso basah ................................................................... 82 2.g Data uji lipat bakso basah ................................................................... 82 2.h1 Data organoleptik hedonik bakso basah TTT ulangan 1..................... 83 2.h2 Data organoleptik hedonik bakso basah TTT ulangan 2..................... 83 2.i1 Data organoleptik hedonik bakso basah TTS ulangan 1..................... 84 2.i2 Data organoleptik hedonik bakso basah TTS ulangan 2..................... 84
3. Tabel uji statistik .......................................................................................... 85
3.1 Uji lipat dan kigit Kamaboko................................................................ 85 3.2 Derajat putih kamaboko ........................................................................ 86 3.3 Kekuatan gel kamaboko........................................................................ 87 3.4 Protein larut garam (PLG) kamaboko ................................................... 89 3.5 Rasio rehidrasi....................................................................................... 90 3.6 Rasio susut masak ................................................................................. 91 3.7 Organoleptik bakso kering .................................................................... 93 3.8 Water holding capacity (WHC) ............................................................ 96
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sektor perikanan di Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar untuk
dikembangkan, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat tetapi
juga untuk kepentingan ekspor. Potensi perikanan Indonesia untuk perikanan laut
saja diperkirakan sekitar 6,2 juta ton per tahun (Budiyanto dan Djazuli 2003).
Dari seluruh hasil produksi perikanan Indonesia ternyata sekitar 40 % dari
jumlah produksi total perikanan Indonesia dijadikan bahan baku untuk produk
olahan. Sekitar 80 % dari produk olahan tersebut dijadikan produk perikanan
tradisional seperti ikan asin, ikan kering, ikan asap, dan ikan fermentasi. Sisanya
sebesar lebih kurang 20 % diproses dengan teknologi modern untuk kepentingan
ekspor (Dahuri 2003).
Ikan merupakan bahan pangan yang memiliki nilai gizi yang tinggi yang
umumnya disukai oleh masyarakat, baik dari golongan ekonomi rendah sampai
golongan ekonomi tinggi karena harganya yang relatif terjangkau.
Beberapa keunggulan dari ikan, yaitu proteinnya mengandung jaringan ikat lebih
sedikit dan kandungan asam amino yang lengkap selain itu asam lemak yang
dikandungnya merupakan asam lemak tak jenuh.
Kandungan lemak pada ikan rendah dan asam lemaknya sebagian besar
merupakan asam lemak tak jenuh ganda terutama asam lemak omega-3 yang
dapat menurunkan kadar kolestrol, meningkatkan kecerdasan otak dan mencegah
berbagai penyakit degeneratif. Ikan juga banyak mengandung vitmin A dan
berbagai sumber mineral yang penting seperti besi, posfor, iodin, kalsium,
magnesium, selenium, seng dan tembaga (Sudarisman dan Elvina 1996). Ditinjau
dari segi ekonomi harga daging ikan relatif lebih murah dibandingkan dengan
daging lainnya sehingga dapat terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.
Untuk meningkatkan konsumsi ikan maka diperlukan adanya usaha-usaha
diversifikasi dalam pengolahan produk perikanan sehingga mampu memanfaatkan
sumber daya perikanan menjadi optimal dan meningkatkan minat masyarakat
untuk mengkonsumsi ikan. Salah satu bentuk produk diversifikasi yang berbasis
daging ikan adalah bakso ikan.
Bakso ikan merupakan salah satu jenis produk pangan yang terbuat dari
bahan utama daging ikan yang dilumatkan, dicampur dengan bahan lain, dibentuk
bulatan, dan selanjutnya direbus (Koswara et al. 2001). Pada dasarnya, hampir
semua jenis ikan dapat dimanfaatkan dagingnya untuk diolah menjadi bakso
(Wibowo 2006).
Bakso ikan memiliki beberapa variasi dalam hal bentuk serta cara
penyajiannya, salah satu contoh yang akan dilakukan penelitian adalah bakso
dalam bentuk kering yang memiliki keunggulan lebih awet, lebih mudah dalam
penyimpanan, bahan pelengkap produk-produk instan dan memiliki potensi yang
besar untuk dipasarkan. Bakso kering merupakan salah satu produk pangan yang
telah mengalami proses pengeringan dengan alat freeze dryer sampai diperoleh
produk akhir bakso kering.
Bahan baku utama dalam pembuatan bakso kering ini adalah adalah surimi
dari ikan mata goyang (Priacanthus tayenus). Ikan mata goyang memiliki nama
Indonesia swangi/brajanata (Priacanthus tayenus), dengan daerah penyebaranya
pada perairan indo-pasifik terutama daerah dengan dasar perairan karang batu.
Ikan ini memiliki ciri-ciri khusus yaitu memiliki mata yang cukup besar, sirip
dorsal dua buah, bentuk sirip kaudal cagak, warna tubuh merah serta ukurannya
panjangnya dapat mencapai lebih dari 30 cm (DKP 2008). Menurut data statistik
perikanan tangkap Indonesia (2006), nilai produksi total ikan mata goyang
(swangi) pada tahun 2004 sebesar 13.075 ton/tahun dengan kenaikan rata-rata
pertahun sebesar 16,19 %. Ikan jenis ini merupakan ikan hasil tangkapan samping
yang pemanfaatannya oleh nelayan kurang, ikan mata goyang biasa digunakan
sebagai bahan baku pada pembuatan bakso ikan, sosis ikan, nugget ikan dan lain-
lain.
Pengetahuan mengenai frekuensi pencucian dalam pembuatan surimi
merupakan hal yang penting dalam pembuatan bakso ikan, karena pencucian
memiliki manfaat yang sangat besar dalam meningkatkan kemampuan daging
membentuk gel dengan meningkatkan konsentrasi aktomiosin dan menurunkan
protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel (Lee 1984).
Penggunaan bahan kimia dalam hal ini Na-sitrat ditujukan untuk mengganggu dan
menguraikan struktur protein dari tepung yang terdapat dalam bakso sehingga
produk yang dihasilkan lebih porous (Gregory 1976 diacu dalam Utomo 1999).
Keadaan porous pada bahan diharapkan akan mempercepat proses rehidrasi bakso
kering untuk kembali pada keadaan semula dan memperbesar rasio susut masak.
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk :
mengetahui frekuensi pencucian terbaik dari ikan mata goyang (Priacanthus tayenus) sebagai bahan baku bakso kering;
mempelajari pengaruh Na-sitrat pada jenis tepung yang digunakan; mempelajari karakteristik bakso kering ikan mata goyang
(Priacanthus tayenus).
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Ikan Mata Goyang (Priacanthus tayenus)
Klasifikasi ikan mata goyang (Priacanthus tayenus) menurut Richardson
1846 dalam www.annual.sp2000.org/show_spesies_detail.php adalah sebagai
berikut :
Phylum : Chordata
Class : Actinopterygii
Order : Perciformes
Family : Priacanthidae
Genus : Priacanthus
Species : Priacanthus tayenus
Gambar 1. Ikan mata goyang (Priacanthus tayenus)
Ikan mata goyang (Priacanthus tayenus) berbentuk bulat agak memanjang
dan mata cukup besar dengan bintik hitam pada bagian sirip pectoral. Ikan ini
hidup pada perairan dangkal dengan kedalaman 150 sampai 200 m lebih pada
daerah batu karang, kadang-kadang jumlahnya banyak. Ikan ini memiliki sifat
nokturnal pada perairan dalam dengan memakan zooplankton, cacing polikaeta,
krustasea dan ikan-ikan kecil. Pada umumnya ikan ini penyendiri, tetapi ada
beberapa yang membentuk kelompok. Ikan ini dapat tumbuh maksimum
memcapai 30 cm dan termasuk ikan non-ekonomis penting, daerah
penyebarannya adalah perairan dengan dasar karang berbatu seperti pada laut
Arafuru Indonesia (Richardson 1986).
2.2 Daging Ikan
Bahan baku utama pembuatan bakso ikan adalah daging ikan dari satu atau
beberapa jenis ikan. Jenis ikan berdaging putih cocok untuk dibuat bakso karena
selain warnanya yang putih, jenis kandungan aktin dan miosin yang cukup tinggi
sehingga tekstur bakso yang dihasilkan bagus (Wibowo 2006).
Menurut Lembaga Pengawasan Makanan dan Obat-obatan Amerika
Serikat yang dikutip oleh Tranggono dan Sutardi (1990), daging adalah bagian
dari otot hewan yang secara biokimiawi sangat dekat dengan sifat otot manusia.
Unit dasar otot adalah serat, multinukleat, sel silindris yang bergabung menjadi
satu dan dibungkus oleh jaringan penghubung yaitu epimisium. Otot ikan tidak
banyak memiliki jaringan penghubung seperti pada daging hewan lainnya
(Tranggono dan Sutardi 1990).
Pada ikan yang dimaksud daging adalah otot putih yang memiliki kualitas
protein tinggi. Protein ikan berdasarkan sifat kelarutannya dibagi menjadi tiga
kelas, yaitu protein larut air, protein larut garam, dan fraksi protein yang tidak
larut. Protein yang tidak larut umumnya berupa jaringan ikat, protein ini bersifat
tidak larut walaupun pada cairan dengan kekuatan ion yang tinggi (Watabe 1990).
2.2.1 Protein miofibril
Protein miofibril merupakan bagian terbesar dalam jaringan daging ikan,
dimana protein ini bersifat larut dalam larutan garam (Watabe 1990). Protein ini
terdiri dari miosin, aktin, dan protein regulasi (tropomiosin, troponin, dan aktinin).
Gabungan aktin dan miosin membentuk aktomiosin.
Protein miofibril berfungsi untuk kontraksi otot. Protein ini dapat
diekstrak dengan larutan garam netral yang berkekuatan ion sedang (>0,5 M).
Penampakan miofibril ikan mirip dengan otot hewan mamalia, hanya lebih mudah
kehilangan aktivitas ATP-asenya dan laju agregasi lebih cepat. Protein miofibril
sangat berperan dalam pembentukan gel terutama dari fraksi aktomiosin
(Suzuki 1981).
Miosin adalah protein paling penting dari semua protein otot, bukan hanya
karena jumlahnya yang besar (50 %-60 % dari total miofibril) (Shahidi 1994)
tetapi juga karena mempunyai sifat biologis khusus. Adanya aktivitas enzim
ATP-ase dan kemampuannya pada beberapa kondisi dapat bergabung dengan
aktin membentuk kompleks aktomiosin (Watabe 1990). Aktin merupakan protein
miofibril yang paling besar kedua setelah miosin di dalam daging ikan, yaitu
sekitar 20 % dari total protein miofibril (Sahidi 1994).
2.2.2 Protein sarkoplasma
Protein sarkoplasma merupakan protein yang larut air dan secara normal
ditemukan dalam plasma sel dimana protein tersebut berperan sebagai enzim yang
diperlukan untuk metabolisme anaerob sel otot dan pembawa oksigen
(Watabe 1990). Protein sarkoplasma yang mengandung berbagai jenis protein
yang larut dalam air disebut miogen. Kandungan miogen dalam otot ikan
tergantung spesiesnya, namun pada umumnya lebih tinggi pada ikan pelagis
dibandingkan dengan ikan demersal (Suzuki 1981).
Pencucian dengan air terhadap daging lumat ikan sangat diperlukan untuk
menghilangkan darah, bau ikan, dan juga membuang protein sarkoplasma yang
menghalangi kemampuan pembentukan gel.
2.2.3 Protein jaringan ikat (stroma)
Protein stroma adalah protein yang membentuk jaringan ikat. Protein
stroma ini tidak dapat diekstrak dengan larutan asam, alkali, atau garam
berkekuatan tinggi (Sahidi 1994).
Protein stroma penting dalam industri pengolahan pangan karena stroma
memiliki sifat yang mengganggu sifat fungsional daging, yaitu menyebabkan
menurunnya kapasitas emulsi daging dan mengganggu water holding capacity
daging. Disamping itu protein stroma memiliki nilai gizi yang rendah karena
mengandung sedikit asam amino essensial (Pomeranz 1991).
2.3 Surimi
Surimi merupakan salah satu produk perikanan yang memiliki potensi
yang besar untuk dikembangkan. Surimi dapat dibuat dari berbagai jenis ikan
dengan tahapan proses tertentu.
2.3.1 Definisi surimi
Surimi merupakan daging lumat yang dibersihkan dan dicuci berulang-
ulang sehingga sebagian besar komponen bau, darah, pigmen, dan lemak hilang.
Jika disimpan, surimi disimpan dalam bentuk beku dengan menambahkan bahan
antidenaturasi (cryoprotectant) (Peranginangin et al. 1999)
Secara teknis semua jenis ikan dapat dijadikan surimi. Namun demikian,
ikan berdaging putih, tidak berbau lumpur dan tidak terlalu amis serta mempunyai
kemampuan membentuk gel yang bagus akan menghasilkan surimi yang lebih
baik (Peranginangin et al. 1999).
Selama proses pembuatan surimi faktor utama yang perlu diperhatikan
adalah suhu air pencuci dan penggilingan daging ikan. Jumlah protein larut air
yang hilang selama pencucian tergantung pada suhu air pencuci karena akan
berpengaruh terhadap kekuatan gel. Suhu air yang lebih tinggi dari 15 oC akan
lebih banyak melarutkan protein larut air. Kekuatan gel terbaik diperoleh jika
hancuran daging ikan dicuci dengan air yang bersuhu 10 C-15 oC (Schwarz dan
Lee 1988 diacu dalam Andini 2006).
2.3.2 Bahan tambahan
Bahan tambahan adalah bahan yang sengaja ditambahkan atau diberikan
dengan maksud dan tujuan tertentu, misalnya untuk meningkatkan konsistensi
nilai gizi, cita rasa, untuk mengendalikan keasaman dan kebasaan serta bentuk,
tekstur dan rupa (Winarno et al. 1980). Jenis-jenis bahan yang ditambahkan
dalam pembuatan surimi adalah garam, gula, dan polifosfat.
(1) Garam
Pada pembuatan surimi penambahan garam sebanyak 0,2 %-0,3 % selama
proses leaching memudahkan penghilangan air dari daging ikan yang telah
dilumatkan (Ditjen Perikanan Tangkap 1990). Fungsi yang paling utama dalam
penambahan garam ini adalah untuk melepaskan miosin dari serat-serat ikan yang
sangat penting untuk pembentukan jeli yang kuat. Selain itu juga digunakan
sebagai bumbu, penyedap rasa, dan penambah aroma, tapi jika digunakan dengan
kadar yang cukup tinggi dapat mengubah cita rasa makanan.
(2) Polifosfat
Polifosfat yang digunakan dalam pembuatan bakso adalah natrium
tripolifosfat (STTP). Polifosfat akan memisahkan aktomiosin dan berikatan
dengan miosin. Miosin dan poliposfat akan berikatan dengan air dan menahan
mineral dan vitamin. Pada proses pemasakan, miosin akan membentuk gel dan
polifosfat membantu menahan air dengan menutup pori-pori mikroskopis dan
kapiler (Irianto 1987 diacu dalam Haryati 2001).
Penambahan bahan polifosfat bertujuan untuk menambah nilai kelembutan
dan memperbaiki sifat surimi, terutama sifat elastisitas dan kelembutan.
Polifosfat meskipun bukan berfungsi sebagai cryoprotectant tetapi perlu
ditambahkan untuk memperbaiki daya ikat air (WHC) dan memberikan sifat pasta
yang lebih lembut pada produk-produk olahan surimi. Biasanya polifosfat
ditambahkan sebanyak 0,2 %-0,3 % dalam bentuk garam natrium tripolifosfat
(Peranginangin et al. 1999).
(3) Bahan cryoprotectant
Cryoprotectant adalah bahan yang biasa digunakan dalam pembuatan
surimi yang tidak langsung diolah menjadi produk lanjutan, melainkan akan
disimpan terlebih dahulu pada suhu beku dalam waktu yang lama. Cryoprotectant
digunakan untuk menghambat proses denaturasi protein selama pembekuan dan
penyimpanan beku. Bahan yang dapat menginaktifkan kondensasi dengan cara
mengikat molekul air melalui ikatan hidrogen disebut cryoprotectant.
Cryoprotectant meningkatkan kemampuan air sebagai energi pengikat, mencegah
pertukaran molekul-molekul air dari protein, dan menstabilkan protein (Zhou
et al. 2006).
Fungsi cryoprotectant adalah sebagai zat antidenaturan. Cyoprotectant
dibutuhkan untuk meminimalisasi denaturasi protein selama masa penyimpanan
beku (Pipatsattayanuwong et al. 1995). Penambahan polifosfat dapat
menyebabkan surimi tahan disimpan selama lebih dari satu tahun (Lee 1984).
Penambahan cryoprotectant dapat meningkatkan tingkat N-aktomiosin dari
350 mg% menjadi 520 mg% dan meningkatkan kekuatan gel dari 400 g menjadi
489 g, artinya sama dengan meningkatkan nilai pelipatan (folding score)
(Peranginangin et al. 1999).
Denaturasi protein mengakibatkan lapisan molekul protein bagian dalam
yang bersifat hidrofobik terbalik keluar dan bergabung dengan fase cair
(Wong 1989). Proses hidrasi hidrofobik ini menghasilkan energi bebas positif.
Perubahan energi bebas positif ini akan meningkatkan permukaan protein.
Permukaan protein yang lebih luas ini secara termodinamik tidak stabil dari pada
bentuk yang tidak terdenaturasi (Hultin 1985 diacu dalam Fennema 1985). Proses
hidrofobik ini dapat dicegah dengan antidenaturan, khususnya gula.
Gula mempunyai grup polihidroksi yang dapat bereaksi dengan molekul
air oleh ikatan hidrogen, sehingga dapat meningkatkan tegangan permukaan dan
mencegah keluarnya molekul air dari protein, dan stabilitas protein tetap terjaga
(Whistler et al. 1985 diacu dalam Fennema 1985). Dalam pembuatan surimi
digunakan sukrosa sebagai pelindung protein karena dapat mencegah denaturasi
protein selama masa pembekuan.
2.3.3 Syarat mutu surimi beku (Standar Nasional Indonesia)
Syarat mutu bahan baku yang digunakan dalam pembuatan surimi yaitu
bahan baku harus bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukan,
bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat-sifat alamiah lain
yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan (Standar
Nasional Indonesia 1992). Persyaratan mutu surimi beku terdapat pada Tabel 1.
Secara organoleptik bahan baku harus mempunyai karakteristik kesegaran
sekurang-kurangnya sebagai berikut:
a. Rupa dan warna : bersih, warna daging spesifik jensi ikan
b. Bau : segar spesifik jenis
c. Daging : elastis dan kompak
d. Rasa : netral agak manis
2.3.4 Pengaruh pencucian
Pada proses pembuatan surimi, pencucian merupakan tahapan yang paling
penting khususnya untuk ikan-ikan yang mempunyai kemampuan membentuk gel
yang rendah, serta berdaging merah. Pencucian surimi bertujuan untuk
melarutkan lemak, darah, enzim, dan protein sarkoplasma yang dapat
menghambat pembentukan gel ikan. Pengaruh pencucian dalam pembuatan
surimi selain berfungsi untuk mendapatkan warna daging yang putih, juga untuk
menghilangkan protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel
(Suzuki 1981).
Air yang digunakan untuk pencucian adalah air dingin dengan suhu antara
5 C-10 oC (Suzuki 1981). Pencucian dengan air dapat menunjang kemampuan
membentuk gel (ashi) dan menghambat denaturasi protein akibat pembekuan.
Protein yang hilang selama proses pencucian dapat mencapai 25 %. Air pencuci
yang berkesadahan tinggi justru dapat merusak tekstur dan mempercepat
terjadinya degradasi lemak, sedangkan bila menggunakan air laut atau air garam
kehilangan proteinnya akan semakin tinggi (Irianto 1990).
Tabel 1. Spesifikasi persyaratan mutu surimi beku (SNI 1992)
Jenis uji Satuan Persyaratan mutu a) Organoleptik
nilai min.
7 a) cemaran mikroba
ALT, maks E. coli, maks Coliform, maks Salmonella *) Vibrio
Cholerae*)
Koloni/gram APM/gram APM/gram Per 25 gram Per 25 gram
5 x 105
kenaikan suhu, perlahan-lahan sol aktomiosin berubah membentuk gel suwari hal
ini disebabkan oleh terbentuknya struktur jala yang didominasi oleh ikatan
hidrofobik akibat suhu setting kemudian terjadi perusakan gel suwari pada suhu
sekitar 60 oC dimana peristiwa ini disebut modori, yaitu proses pelunakan gel
(Suzuki 1981) yang kemudian setelah suhu diatas 70 oC, terbentuklah gel
kamaboko.
2.4 Bakso Ikan
Bakso merupakan salah satu panganan berbentuk bulat yang berisi daging.
Produk ini merupakan salah satu produk yang paling banyak disantap orang
karena rasanya yang lezat, bergizi tinggi, dapat disantap dengan dan dalam
keadaan apapun serta sangat mudah diterima oleh semua kalangan.
2.4.1 Definisi bakso
Bakso adalah produk olahan ikan atau daging yang telah dihaluskan
kemudian diberi bumbu dan tepung lalu dibentuk bulat (Sudarisma dan Elvina
1996). Daging yang akan dibuat harus sesegar mungkin. Daging yang telah
mengalami penyimpanan akan menghasilkan bakso yang rendah baik mutu
maupun rendemennya (Winarno dan Rahayu 1994).
Bakso merupakan produk pangan yang terbuat dari bahan utama daging
yang dilumatkan, dicampur dengan bahan-bahan lainnya, dibentuk bulatan-
bulatan, dan selanjutnya direbus. Berbeda dengan sosis, bakso dibuat tanpa
mengalami proses curing, pembungkusan maupun pengasapan (Koswara et al.
2001).
Bakso merupakan salah satu bentuk produk emulsi yang mencengkram air
dan minyak dengan baik. Emulsi daging memiliki karakteristik yang sama
dengan emulsi minyak dalam air, dalam hal ini lemak berfungsi sebagai fase
diskontinyu dan air sebagai fase kontinyu. Komponen daging yang berperan
dalam produk bakso adalah protein khususnya protein yang bersifat larut garam,
terutama aktin dan miosin (Kramlich 1971). Fungsi protein daging dalam bakso
adalah sebagai bahan pengikat hancuran daging selama pemanasan dan sebagai
emulsifier sehingga produk menjadi empuk, kompak dan kenyal (Winarno dan
Rahayu 1994). Kemampuan protein sebagai bahan pengemulsi tergantung pada
konsentrasi protein, kecepatan pencampuran jenis lemak, sistem emulsi, dan jenis
emulsi (Carpenter dan Saffle 1965). Kemampuan daya ikat sebagai akibat
perlakuan fisik atau kimia (Siegel dan Scmidth 1979).
2.4.2 Cara pembuatan bakso ikan
Pembuatan bakso terdiri dari persiapan bahan, penghancuran daging,
pencampuran bahan dan pembuatan adonan, pencetakan dan pemasakan.
Persiapan bahan meliputi pemilihan daging dan penyiangan bahan tambahan
lainnya. Daging bisa dipilih yang segar, bersih atau dibersihkan dari lemak
permukaan dan jaringan ikat atau urat (Koswara et al. 2001).
Penghancuran daging bertujuan untuk memecah serabut daging, sehingga
protein yang larut dalam larutan garam akan mudah keluar (Koswara et al. 2001).
Pada proses pencincangan perlu ditambahkan es atau air sebanyak 20 % dari berat
adonan agar menghasilkan emulsi yang baik dan mencegah kenaikan suhu akibat
gesekan (Winarno dan Rahayu 1994). Temperatur yang tinggi hingga lebih dari
22 C akan mengakibatkan pecahnya emulsi sehingga lemak dan air akan terpisah
selama pemasakan akibat terdenaturasinya protein (Wilson 1981).
Penghancuran daging untuk bakso dapat dilakukan dengan cara memecah,
menggiling, atau mencincang sampai lumat. Pembentukan adonan dapat
dilakukan dengan mencampur seluruh bagian bahan kemudian menghancurkannya
sehingga membentuk adonan atau menghancurkan daging bersama-sama garam
dan es batu terlebih dahulu, baru kemudian dicampurkan bahan-bahan lainnya
(Koswara et al. 2001). Suhu adonan tidak boleh melebihi 20 C.
Pencetakan dilakukan dengan cara adonan dibentuk bulatan-bulatan
dengan ukuran yang dikehendaki. Pembulatan dapat dilakukan dengan
menggunakan mesin atau dengan cara menggunakan tangan yang dibentuk dengan
sendok (Wibowo 2006).
Pemanasan menyebabkan molekul protein terdenaturasi dan mengumpul
membentuk satu jaring-jaring. Hanya protein yang larut dalam garam yang
berperan dalam pembentukan gel. Diantara protein miofibril, miosin dan
aktomiosin yang menghasilkan emulsi yang paling stabil, seperti yang dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Stabilitas emulsi dari protein larut garam
No Protein pH Kekuatan Ion Stabilitas Emulsi
1 Miosin 8 0,35 >4 minggu
2 Sarkoplasma 7 0,35 12 jam
3 Aktomiosin 6,7 0,35 >3 minggu
4 Aktin 7,2 0,35
bakso bertujuan untuk membentuk struktur yang kompak, kenyal, dan padat
sebagai akibat koagulasi protein dan gelatinisasi pati.
2.4.3 Bahan pengisi
Bahan pengisi merupakan merupakan fraksi bukan daging yang biasanya
ditambahkan dalam pembuatan produk emulsi daging, seperti bakso dan sosis.
Fungsi bahan pengisi adalah memperbaiki sifat emulsi daging, mereduksi
penyusutan selama pemasakan, memperbaiki sifat fisik dan citarasa, serta
menurunkan biaya produksi. Jenis bahan pengisi yang biasa ditambahkan pada
proses pembuatan bakso adalah tepung berpati, misalnya tepung tapioka, tepung
gandum, dan tepung sagu. Tepung pati tidak dapat mengemulsikan lemak tetapi
memiliki kemampuan dalam mengikat air karena mampu menahan air selama
proses pengolahan dan pemanasan.
Penggunaan tepung pati dalam pembuatan bakso untuk konsumsi rumah
tangga biasanya 4 %-5 % dari berat daging, sedangkan pada pembuatan
komersial, penambahan tepung berkisar antara 50 %-100 % dari berat daging.
Hal ini dimaksudkan untuk menekan biaya produksi dan mengurangi harga bakso.
Penambahan tepung terlalu tinggi akan menutup rasa daging sehingga rasa bakso
kurang disukai konsumen (Koswara et al. 2001). Bakso yang bermutu kadar
patinya kira-kira 15 % (Winarno dan Rahayu 1994). Agar bakso lezat, tekstur
bagus dan bermutu tinggi, jumlah tepung yang digunakan sebaiknya sekitar
10 %-15 % dari berat daging (Wibowo 2006).
Tepung pati yang biasa digunakan dalam pembuatan bakso yaitu tepung
tapioka dan tepung sagu. Tepung tapioka merupakan pati (amilum) yang
diperoleh dari umbi kayu segar (Manihot utilissima Phol atau Manihot usculenta
crants) setelah melalui cara pengolahan tertentu (DSN 1994). Tapioka
mengandung amilosa sebesar 17 % dan amilopektin sebesar 83 %. Amilosa (larut
dalam air panas) memiliki struktur lurus dengan ikatan (1,4) D-glukosa,
sedangkan amilopektin (tidak larut dalam air panas) memiliki struktur bercabang
dengan ikatan (1,6) D-glukosa. Fraksi amilosa bertanggung jawab atas
keteguhan gel. Sedangkan perbandingan antara kandungan amilosa dan
amilopektin dan semakin kecil kandungan amilosa bahan yang digunakan, maka
semakin lekat produk olahannya (Winarno 1997). Tapioka memiliki banyak
kelebihan sebagai bahan baku karena harganya relatif murah, dapat memberikan
dekstrin dengan kelarutan yang baik, citarasa netral, dan menyebabkan warna
terang pada produk. Komposisi kimia tepung tapioka dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi kimia tepung tapioka
Unsur Gizi Komposis (%)
Kadar Air 12
Kadar Abu 0,3
Kadar Protein 0,5
Kadar Lemak 0,3
Kadar Karbohidrat 86,9 *Sumber: Direktorat Gizi (1995)
Tepung sagu berasal dari tanaman sagu yang merupakan salah satu tanaman
yang pertama kali digunakan oleh penduduk Asia Tenggara dan Oceania sebagai
bahan pangan. Pati merupakan komponen kimia terbesar pada batang sagu. Pati
sagu diperoleh dari proses ekstraksi inti batang (empulur) tanaman sagu. Empulur
batang sagu mengandung 20,2 %- 29 % pati, 50,66 % air dan 13,8 %-21,3 %
bahan lain atau ampas (Flach 1983). Dihitung dari berat kering, empulur batang
sagu mengandung 54 %-60 % pati dan 40 %-46 % ampas. Untuk membebaskan
granula pati dari jaringan pengikatnya membutuhkan perombakan dinding sel
melalui pemarutan atau penggilingan menggunakan air sebagai pelarut.
Pati sagu mengandung 27 % amilosa dan 73 % amilopektin (Flach 1983).
Pati sagu mengandung 27,4 % amilosa dan 72,6 % amilopektin. Perbandingan
amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi sifat kelarutan dan derajat
gelatinisasi pati. Semakin besar kandungan amilopektin maka pati akan lebih
basah, lengket, dan cenderung sedikit menyerap air. Sebaliknya jika kandungan
amilosa tinggi, pati bersifat kering, kurang lekat, dan mudah menyerap air
(higroskopis) (Wirakartakusumah et al. 1984).
Pati sagu memiliki granula berbentuk oval dengan ukuran yang cukup
besar yaitu 20 mikron sampai 60 mikron (Cecil et al. 1982). Pati sagu juga
mempunyai suhu gelatinisasi yang cukup tinggi yaitu sekitar 69 C. Pati sagu
memiliki granula berbentuk elips agak terpotong dengan ukuran granula sebesar
20 mikron sampai 60 mikron dan suhu gelatinisasi berkisar antara 60 C-72 C
(Knight 1989). Karakteristik pati sagu dibandingkan dengan beberapa jenis pati
lain dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Karakteristik pati sagu dan beberapa jenis pati lain
Jenis pati Bentuk Granula
Ukuran granula (m)
Kandungan Kisaran suhu gelatinisai (C)
amilosa amilopektin
Sagu Ellips 20-60 27 73 60-70
Beras Poligonal 3-8 17 89 61-78
Jagung Poligonal 5-25 26 74 62-74
Kentang Bulat 15-100 24 76 56-69
Tapioka Oval 5-35 17 83 52-64
Gandum Ellips 2-35 25 75 52-64
Ubi jalar Poligonal 16-25 18 82 58-74 *Sumber: Knight (1989)
Pati sagu sebagian besar terdiri dari karbohidrat dan sedikit protein.
Kandungan kalori sagu relatif besar yaitu 333 kkal. Nilai ini tidak jauh berbeda
dengan nilai kalori beras yaitu 364 kkal (Direktorat Gizi Departemen Kesehatan
RI 1990). Komposisi kimia pati sagu selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Komposisi kimia pati sagu per 100 g bahan
Komponen Jumlah
Kalori (kkal) 353
Protein (g) 0,7
Lemak (g) 0,2
Karbohidrat (g) 84,7
Air (g) 14,0
Fosfor (mg) 13
Kalsium (mg) 11
Besi (g) 1,5 *Sumber: Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1990)
2.4.4 Bumbu-bumbu
Bumbu-bumbu yang umumnya digunakan dalam pembuatan bakso ikan
adalah garam, bawang merah, bawang putih, dan Monosodium Glutamat (MSG).
Bawang merah dan bawang putih berfungsi sebagai antioksidan, sedangkan garam
berfungsi sebagai pemberi rasa pada bakso, pelarut protein, pengawet, dan
meningkatkan daya ikat air dari protein daging. Pemakaian garam dalam
pembuatan bakso berkisar antara 5 sampai 10 % dari berat daging. Penggunaan
garam yang semakin meningkat (0 sampai 6 %) mengakibatkan semakin tingginya
protein yang terlarut. Penambahan MSG umumnya berkisar antara 1,0 sampai
2,5 % dari berat daging (Koswara et al. 2001).
Garam dapur dan MSG sama-sama memiliki fungsi sebagai pemberi rasa
pada produk bakso. Bakso sebaiknya tidak menggunakan penyedap masakan
MSG atau vetsin sebagai gantinya digunakan campuran kombinasi antara bawang
putih dengan merica sebesar 2 % dari berat daging atau campuran antara bawang
merah, bawang putih, dan jahe dengan perbandingan 15:3:1 (Wibowo 2006).
Penggunaan tepung merica yang berbintik-bintik gelap sebaiknya tidak digunakan
karena akan menyebabkan bakso menjadi berbintik-bintik gelap.
2.4.5 Es atau air es
Tekstur dan keempukan produk bakso dipengaruhi oleh kandungan airnya.
Penambahan air pada adonan bakso diberikan dalam bentuk es batu atau air es,
supaya suhu adonan selama penggilingan dan ekstraksi protein berjalan dengan
baik. Dalam adonan, air berfungsi untuk melarutkan garam dan menyebarkannya
secara merata keseluruh bagian masa daging, memudahkan ekstraksi protein dari
daging dan membantu dalam pembentukan emulsi. Air ditambahkan sampai
adonan mencapai tekstur yang dikehendaki. Jumlah penambahan air biasanya
berkisar antara 20 sampai 50 % dari berat daging yang digunakan. Jumlah
penambahan ini dipengaruhi oleh jumlah tepung yang ditambahkan (Koswara
et al. 2001).
2.5 Freeze Dryer (Pengeringan Beku)
Pengeringan beku (freeze drying) adalah salah satu metode pengeringan
yang mempunyai keunggulan dalam mempertahankan mutu hasil pengeringan,
khususnya untuk produk-produk yang sensitif terhadap panas.
2.5.1 Proses pembekuan
Proses pembekuan pada pengeringan beku akan menentukan hasil akhir
produk yang dikeringkan. Laju pembekuan yang digunakan akan menentukan
porositas produk kering beku yang dihasilkan. Pembekuan cepat akan
menghasilkan produk kering beku yang mempunyai pori lebih kecil, karena laju
perpindahan panas dari sistem berlangsung cepat sehingga dihasilkan kristal es
yang kecil tersusun secara merata pada jaringan. Pembekuan lambat akan
menyebabkan terbentuknya kristal es yang besar yang tersususn pada ruang
antar sel dengan ukuran pori-pori yang besar dan ukuran pori yang dihasilkan
akan berbanding lurus dengan suhu yang digunakan pada proses pembekuan
(Heldman dan Singh 1981).
Fennema dan Powrie (1964) menyatakan bahwa ada 4 faktor yang
mempengaruhi laju pembekuan bahan pangan, yaitu (1) beda suhu antara produk
dengan medium pendingin, (2) cara pindah panas ke dalam produk dan di dalam
produk, (3) ukuran, bentuk dan tipe kemasan, (4) ukuran, bentuk, dan sifat
termofisik bahan yang dibekukan.
Liapis dan Bruttini (1995) mengatakan bahwa proses pengeringan beku
melibatkan tiga tahap berikut :
(a) Tahap pembekuan; pada tahap ini bahan pangan atau larutan didinginkan
hingga suhu di mana seluruh bahan menjadi beku.
(b) Tahap pengeringan utama; di sini air dan pelarut dalam keadaan beku
dikeluarkan secara sublimasi. Dalam hal ini tekanan ruang harus kurang
atau mendekati tekanan uap kesetimbangan air di bahan baku. Karena bahan
pangan atau larutan bukan air murni tapi merupakan campuran bersama
komponen-komponen lain, maka pembekuan harus dibawah 0 C dan
biasanya dibawah -10 C atau lebih rendah, untuk tekanan kira-kira
2 mmHg atau lebih kecil. Tahap utama ini berakhir bila semua air beku
telah tersublim.
(c) Tahap pengeringan sekunder; tahap ini mencakup pengeluaran uap air hasil
sublimasi atau air terikat yang ada di lapisan kering. Tahap pengeringan
sekunder dimulai segera setelah tahap pengeringan utama berakhir.
2.5.2 Proses pengeringan sublimasi
Pengeringan beku merupakan suatu teknik pengeringan pada bahan dalam
keadaan beku yang dilakukan pada tekanan rendah (Slade 1967). Pada
pengeringan beku, bahan yang akan dikeringkan terlebih dahulu dibekukan dan
pada tekanan yang rendah kandungan air bahan yang berupa es akan langsung
menjadi uap yang dikenal dengan istilah sublimasi. Proses sublimasi dilakukan
pada suhu dan tekanan di bawah titik triple, yaitu pada kondisi suhu di bawah
0 C dan tekanan dibawah 610 Pa. Hubungan antara tekanan dan suhu yang juga
merupakan diagram fase air dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Diagram fase air pada tekanan 610 Pa dan suhu 0 C
Menurut Harper et al. (1962) untuk merubah fase es pada bahan menjadi
fase uap diperlukan panas sebesar panas laten sublimasi, yaitu sekitar 666
kalori/gram es. Panas ini dapat diperoleh dari suhu lingkungan atau dari sumber
panas dari luar bahan. Pada pengeringan beku secara komersial, panas untuk
sublimasi diperoleh dengan menempatkan lempeng pemanas didalam ruang
pengering dan uap air yang terbentuk ditarik dengan pompa vakum yang
dilengkapi dengan kondensor untuk menangkap uap air pada proses sublimasi.
Selanjutnya Harper et al. (1962), menyatakan bahwa proses pengeringan
terjadi keseimbangan antara aliran uap yang keluar dari bahan dan panas yang
masuk ke dalam bahan. Gerakan uap air dapat terjadi oleh adanya gerakan
hidrodinamik akibat adanya perbedaan tekanan parsial uap air. Jika tekanan total
pada ruang vakum lebih kecil dibandingkan dengan tekanan uap es pada bahan
tersebut, maka proses difusi sangat kecil dibandingkan dengan aliran
hidrodinamik.
Pada tekanan total yang tinggi perbedaan tekanan antara permukaan
sublimasi dengan permukaan lapisan kering biasanya sangat kecil dan aliran uap
air terjadi secara difusi. Karena koefesien difusi bervariasi secara berlawanan
terhadap tekanan total, maka laju aliran uap air menurun jika tekanan totalnya
naik. Tekanan uap air ini tidak boleh lebih dari tekanan kesetimbangan sublimasi
uap es pada bahan yang dikeringkan beku. Pada suhu 0 C, tekanan
kesetimbangan ini adalah 4,6 mmHg atau 610 Pa, untuk menjaga agar bahan yang
dikeringkan berada pada fase beku maka suhunya harus dibawah 0 C.
2.5.3 Pindah panas dan massa
Dalam pengeringan beku terdapat dua macam pindah panas yang dominan,
yaitu pindah panas secara radiasi dan pindah panas secara konduksi, sedangkan
pindah panas secara konveksi sangat kecil sehingga dapat diabaikan. Pindah
panas secara radiasi berlangsung dari pelat pemanas ke permukaan bahan yang
dikeringkan, sedangkan pindah panas secara konduksi berlangsung dari
permukaan lapisan kering ke permukaan sublimasi.
Radiasi merupakan proses pindah panas dimana panas secara langsung
pindah dari satu bagian ke bagian lain yang terpisah oleh radiasi elektromagnetik,
yang umumnya terjadi pada suhu tinggi sedangkan pindah panas secara konduksi
adalah perpindahan panas di dalam suatu bahan yang satu dengan bahan lainnya
yang terjadi karena perubahan energi kinetik diantara molekul-molekulnya tanpa
melibatkan perpindahan dari molekul tersebut (Heldman dan Singh 1981).
Pada proses pengeringan akan terdapat tiga lapisan pada bahan, yaitu
lapisan beku yang terdapat pada bagian dalam bahan, lapisan kering yang terdapat
pada bagian permukaan bahan dan lapisan transisi yang merupakan permukaan
sublimasi seperti pada Gambar 3. Selama proses pengeringan beku, permukaan
sublimasi akan bergerak ke bagian dalam dan lapisan kering yang berada pada
bagian luar akan semakin tebal.
Gambar. 3 Pindah panas dan massa pada bahan selama proses pengeringan beku
Panas yang digunakan untuk sublimasi merambat melewati lapisan kering
bahan menuju kepermukaan sublimasi secara konduksi. Jika suhu lapisan beku
dan suhu permukaan bahan tetap, maka laju panas yang masuk ke dalam bahan
akan seimbang dengan laju uap air yang keluar dari bahan yang dikeringkan. Laju
aliran panas yang besar akan dapat menaikan suhu lapisan beku sampai tekanan
uapnya cukup besar besar untuk meningkatkan aliran uap air untuk keluar sampai
kepada permukaan lapisan kering.
Menurut Harper et al. (1962), secara prinsip pada pengeringan beku, panas
yang masuk dapat dinaikan sampai bahan beku mulai akan mencair, tetapi karena
lapisan kering merupakan penghantar panas yang buruk (isolator), maka panas
tidak dapat merambat secara maksimal. Pada proses pindah panas konduksi ini
terjadi dua kondisi, yaitu kondisi aliran mantap (steady state) dan kondisi aliran
tidak mantap (unsteady state). Jika panas yang masuk ke dalam bahan sama
dengan panas yang keluar melalui uap air, maka suhu pada beberapa titik pada
bahan pangan tidak tergantung pada waktu dan kondisi ini disebut steady state.
Sebaliknya jika panas yang masuk tidak sama dengan panas yang keluar dan
kandungan panas bahan berubah terhadap waktu, maka hal tersebut menunjukkan
keadaan tidak mantap atau keadaan unsteady state (Frank 1986).
Menurut Lombrana dan Izkara (1996), variabel kontrol yang paling
penting dalam pengeringan beku adalah tekanan dalam ruang pengering, dimana
tekanan ini dapat mempengaruhi pindah panas secara konduksi ke permukaan
sublimasi dan aliran uap dari permukaan sublimasi ke permukaan lapisan kering.
Konduktifitas panas pada lapisan kering akan semakin tinggi dengan semakin
tingginya tekanan di dalam ruang pengering sampai pada tekanan di bawah titik
tripel. Sebaiknya difusifitas uap air pada lapisan kering akan semakin kecil
dengan semakin tingginya tekanan dalam ruang pengering. Tekanan dalam ruang
pengering juga menentukan suhu lapisan beku bahan, semakin rendah tekanan
semakin rendah pula suhu lapisan beku.
Lama pengeringan pada pengeringan beku dipengaruhi oleh kandungan air
bahan, ketebalan bahan, suhu dan tekanan dalam ruang pengering. Suhu
pengeringan ditentukan oleh ketahanan bahan terhadap panas, misalnya terhadap
kandungan gula, asam dan komponen volatilnya. Pada pengeringan beku, suhu
pengeringan ditetapkan pada jangkauan suhu yang dapat mencegah atau
mengurangi kehilangan kandungan gula, asam dan komponen volatilnya
(Desrosier 1988).
Menurut Lombrana dan Izkara (1996), simulasi pada pengeringan beku
hanya dapat dilakukan jika pengetahuan tentang koefesien pindah panas dan
fenomena transpor dan hubungannya dengan kondisi pengering dapat dikuasai.
Koefesien pindah panas ini harus dilakukan dengan percobaan dengan mengukur
massa air yang menguap pada suhu dan tekanan yang telah diatur dengan baik.
Pengukuran suhu pada permukaan sublimasi menjadi lebih sulit karena
pergerakan permukaan sublimasi tersebut dan merupakan faktor kesalahan yang
utama dalam menentukan koefesien pindah panas.
2.5.4 Konduktivitas panas
Konduktivitas panas bahan merupakan sifat bahan yang menunjukan
mudah tidaknya bahan tersebut untuk merambatkan panas. Semakin besar nilai
konduktivitas panasnya, maka semakin mudah pula bahan tersebut untuk
melewatkan energi panas (Kamil 1983). Secara umum nilai konduktivitas panas
suatu bahan sudah tertentu, apabila ditelaah lebih lanjut nilai konduktivitas panas
ini dapat dipengaruhi oleh suhu bahan tersebut.
Panas yang dialirkan secara konduksi melalui medium berpori yang berupa
gabungan antara bahan padat dan gas, secara teori kinetik menunjukan bahwa
konduktivitas panas dari gas tidak tergantung kepada tekanan jika jarak rata-rata
antara molekul gas lebih kecil jika dibandingkan dengan dimensi dari ruang pori.
Kondisi ini tidak terjadi pada bahan yang berpori, karena perubahan tekanan akan
mempengaruhi konduktivitas panas gas dan akan mempengaruhi konduktivitas
panas bahan.
2.5.5 Permeabilitas air
Pada tekanan yang tinggi, aliran gas yang melalui medium yang berpori
akan mengikuti Hukum Darcy yang sama dengan Hukum Poiseulle sebagaimana
aliran viskos yang melewati suatu tabung. Harper et al. (1962) menyetakan
bahwa pada tekanan yang rendah, perbandingan jarak rata-rata antar molekul
menjadi nyata terhadap diameter pori bahan dan kondisi ini dikenal sebagai slip
flow, dimana keadaan ini terdapat slip aliran gas sepanjang permukaan yang padat
dan kecepatannya akan semakin besar dari aliran viskos biasa.
2.5.6 Konsentrasi dan suhu bahan
Konsentrasi bahan yang dikeringkan dengan pengeringan beku
mempunyai pengaruh yang besar terhadap karakteristik pengeringan. Suhu bahan
(suhu permukaan) sangat berperan dalam proses pengeringan beku, jika suhu
permukaan bahan semakin tinggi maka laju dari permukaan bahan ke permukaan
sublimasi akan semakin besar. Menurut Wenur (1997), suhu permukaan dan
tekanan memberi pengaruh terhadap lama pengeringan beku udang. Semakin
tinggi suhu permukaan bahan dan semakin rendah tekanan (tekanan ruang
vakum), maka pengeringan akan semakin singkat.
2.6 Pengaruh Pembekuan
Pembekuan dan penyimpanan beku akan meningkatkan pengembangan
molekul-molekul pati melalui ikatan hidrogen. Proses ini akan melepaskan air
yang terdapat dalam sistem gel. Pemerasan setelah proses thawing akan
meningkatkan padatan yang berstruktur mikrosponge. Setelah proses
pengeringan, padatan kering yang porous ini dapat dengan cepat tergelatinisasi
pada waktu rehidrasi dengan air panas. Proses pembekuan dilakukan untuk
menghasilakan sifat porositas yang tinggi sehingga waktu rehidrasi menjadi lebih
singkat (Anjani et al. 2001).
Perubahan nyata dalam proses pembekuan adalah kehilangan struktur yang
mempengaruhi struktur kristal es yang besar. Seperti retrogradasi, pembentukan
kristal es yang besar disebabkan karena proses pembekuan yang lambat.
Freeze drying rice mengakibatkan kernel terbuka lebih lebar dan ini dapat
direhidrasi dalam beberapa menit tanpa pendidihan (Kobs 2000).
Kandungan amilosa memegang peranan penting dalam mengontrol laju
retrogradasi pati. Retrogradasi terjadi lebih lambat pada amilopektin daripada
amilosa dan laju ini sangat cepat terjadi pada suhu 32 F (Kobs 2000).
Pembekuan pada suhu 0 C (32 F) selama 1 sampai 3 jam dapat
menghasilkan struktur kristal es yang besar, proses ini memecahkan struktur
koloid pati dan menghasilkan struktur kernel yang porous. Produk yang
dihasilkan dapat dengan cepat menyerap air pada tahap pemasakan kembali.
2.7 Perendaman dan Perlakuan Kimia
Bila pati mentah dimasukkan ke dalam air dingin maka akan terjadi
penyerapan air dan pengembangan garanula pati. Namun demikian jumlah air
yang dapat diserap dan pengembangan granula pati ini terbatas. Jumlah air yang
dapat diserap berkisar antara 26 % dari berat awal beras (Winarno 1997). Hanya
sebagian kecil air yang dapat masuk kebagian yang tidak beraturan pada granula
pati (Osman 1972). Ikatan-ikatan intermolekul yang kuat pada bagian kristal pati
tidak dapat menyerap air dan menahan pengembangan granula pati selanjutnya.
Perendaman meningkatkan keseragaman masuknya air pemasakan ke
dalam butir beras. Jumlah air perendaman yang masuk ke dalam butir beras
tergantung pada lamanya waktu perendaman dan suhu air perendaman. Smith
et al. (1985) menyatakan bahwa perembesan air ini memperkecil kecendrungan
butir beras terpisah atau pecah akibat tekanan osmotik pada butir beras selama
pemasakan, dimana pati mulai terlepas ke dalam air pemasakan, waktu
perendaman optimum untuk penyerapan air oleh beras dan pengembangan volume
beras pada suhu 26,3 C (suhu kamar) adalah 2 jam.
Perendaman dapat dilakukan dengan menggunakan larutan kimia, seperti
yang dijelaskan oleh Hubeis (1984), dilakukan dengan merendam beras dalam
larutan Na2HPO4 0,2 % selama 18 jam. Pemberian garam natrium mengakibatkan
struktur fisik beras pasca tanak lebih porous, sehingga proses penyerapan air akan
lebih cepat pada waktu perendaman maupun pada waktu rehidrasi. Penambahan
fospat sebagai senyawa yang mengion pada produk yang berasal dari pati dapat
mengakibatkan granula pati produk tersebut tahan terhadap retrogradasi selama
pendinginan dan peningkatan suhu setelah pendinginan. Produk ini akan
memiliki derajat putih yang tinggi, kapasitas pengikatan air yang tinggi dan tidak
dapat membentuk gel. Pemberian garam phospat pada pembuatan mie terutama
ditujukan untuk menjaga kestabilan tekstur, bentuk dan meningkatkan daya serap
air tanpa merusak bentuk pada mie.
Kalsium phospat dan kalsium khlorida memudahkan penyerapan air oleh
pati dan meningkatkan warna putih pada produk beras, tetapi pengaruh kalsium
phospat lebih nyata dari pada kalsium khlorida (Cox dan Cox 1975). Zat kimia
yang dapat memodifikasi struktur protein dari beras adalah garam sitrat, antara
lain magnesium sitrat, sodium sitrat dan kalsium sitrat. Garam sitrat ini tidak
banyak berpengaruh bila digunakan tersendiri, oleh karena itu untuk
menghasilkan beras instan yang diinginkan, penggunaan garam sitrat dilakukan
bersama dengan perlakuan pemanasan (Gregory 1976 diacu dalam Utomo 1999).
Perendaman beras dalam larutan Na-sitrat akan mengganggu dan menguraikan
struktur protein beras, sehingga butiran menjadi porous. Sodium sitrat juga
digunakan dalam pembuatan dry soup untuk mempercepat waktu rehidrasi.
Perendaman dalam larutan asam sitrat dapat menyebabkan produk menjadi lebih
jernih, bahkan dapat menghambat terjadinya proses ketengikan. Diperoleh
kesimpulan bahwa perendaman dalam larutan 1 persen larutan Na-sitrat dan
Ca(H2PO4) (1:1) selama 2 jam merupakan hasil terbaik dalam pembuatan bubur
nasi kering (Mulyana 1988).
Pati bila dipanaskan akan mengalami gelatinisasi dan proses ini
merupakan proses yang kompleks. Pada beras, dengan adanya proses gelatinisasi
maka akan terjadi leaching dari amilosa dan hilangnya bentuk kristal. Untuk
mencegah hal tersebut, maka waktu pemanasan dapat ditambahkan bahan-bahan
kimia (Suliantari 1988).
Asam natrium pirofospat merupakan preservative, sekuestran dan buffer,
dimana keasamannya sedang dengan pH berkisar 4,1. Senyawa ini akan larut
dalam air, dengan tingkat kelarutan 15 g dalam 100 ml pada suhu 25 C dan
digunakan pada pembuatan donat dan biskuit untuk pelepasan gas selama
pembuatan adonan dan proses pembakaran. Selain itu juga, pada produk ikan
kalengan digunakan untuk mengurangi level dari strutive crystals (magnesium
ammonium phosphate hexahydrat) yang tidak diinginkan. Senyawa ini digunakan
juga sebagai pengkelat metal pada proses pembuatan kripik kentang (Igoe dan Hui
1996).
Sodium sitrat merupakan buffer dan sekuestran. Sodium sitrat anhidrous
mempunyai kelarutan dalam air sebesar 57 g dalam 100 ml air pada suhu 25 C,
sedangkan sodium sitrat dihidrat mempunyai kelarutan dalam air sebesar 65 g
dalam 100 ml ai pada suhu 25 C. Senyawa ini digunakan sebagai buffer pada
pembuatan minuman berkarbonasi dan untuk mengontrol pH pada pembuatan
minuman serta dapat meningkatkan whipping properties pada cream dan menjaga
emulsifikasi dan solubilitas protein pada pembuatan keju. Pada pembuatan dry
soup, senyawa ini digunakan untuk meningkatkan rehidrasi sehingga mengurangi
waktu pemasakan. Sodium sitrat berfungsi juga sebagai sekuestran pada
pembuatan pudding serta sebagai agen pengkompleks besi, kalsium, magnesium
dan alumunium (Igoe dan Hui 1996).
3. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Agustus 2007
di Laboratorium Kimia dan Mikrobiologi Balai Besar Pengembangan dan
Pengendalian Hasil Perikanan, jalan Muara Baru Ujung Penjaringan Jakarta Utara,
Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, dan
Laboratorium Teknologi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan yang dipergunakan pada penelitian ini ada 3 (tiga) jenis yaitu bahan
utama, bahan pendukung dan bahan analisa bakso. Bahan utama bakso ini adalah
ikan mata goyang (Priacanthus tayenus); bahan pendukung dalam pembuatan
bakso antara lain garam, lada, bawang merah, bawang putih, tepung tapioka,
tepung sagu (rose brand 500 g), backing soda (cap koepoe-koepoe) dan air es;
sedangkan bahan analisa bakso antara lain chloroform, tablet katalis, K2SO4,
CuSO4/CuSO4. 5H2O, H2SO4 pekat, H2O2, H3BO3, aquades, NaOH, Na2S2O3.
5H2O, HCl, indikator merah metil, asam perklorat, NaOH, H3BO4, Na2B4O7,
silicon antifoaming agent, indikator fenolftalein, indikator tashiro.
Alat-alat yang dipergunakan dalam pembuatan bakso kering ikan mata
goyang ada 2 (dua) jenis yaitu alat pembuat surimi antara lain talenan, ember,
pisau, kain penyaring, sendok, grinder, food processor, timbagan analitik, kertas
timbang, alat pengepres surimi, baskom, sealer dan meat bone separator;
sedangkan alat untuk analisa bakso antara lain alat pengukur tekstur Analyser
TAX2i Stable Micro System , whiteness meter, oven, cawan, desikator, cawan
porselin, tanur, labuh kjehdahl, destilasi, erlenmeyer, kondensor, soxhlet,
timbangan, pH meter Inolab, freeze drier, crusible, spatula, alat penjepit, neraca
analitis, pemanas listrik, labu bulat, selongsong lemak, kertas saring, rotary
evaporator, labu destruksi, buret dan statip, pipet volumetrik, pipet tetes, blender,
beaker glass, labu takar, corong, dan kertas saring.
3.3 Metode Penelitian
Metode penelitian dibagi menjadi dua bagian yaitu penelitian pendahuluan
untuk mencari frekuensi pencucian terbaik untuk surimi dan penelitian utama
untuk menentukan jenis bakso kering terbaik berdasarkan beberapa pengujian.
3.3.1 Penelitian pendahuluan
Penelitian pendahuluan ditujukan untuk mendapatkan frekuensi pencucian
terbaik terhadap surimi dari ikan mata goyang (Priacanthus tayenus). Pembuatan
surimi dimulai dengan ikan disiangi dengan cara dibuang bagian isi perut, kepala
serta sisik ikan dan kemudian ikan dicuci bersih pada air mengalir lalu dilakukan
pem-fillet-an pada ikan tersebut dan daging ikan bisa didapatkan dengan cara
diambil/dikerok menggunakan sendok atau menggunakan meat bone separator
untuk memisahkan antara daging dengan kulit ikan. Daging ikan digiling
kemudian dicuci sebanyak 1, 2 atau 3 kali dalam bak atau ember. Suhu pencucian
dipertahankan pada 5-10 C. Setelah proses pencucian ikan dipres sampai kadar
air lebih kurang 80-82 %. Langkah selanjutnya adalah proses penapisan (strainer)
untuk menghilangkan sisa-sisa sisik, serat-serat dan duri-duri yang tertinggal.
Untuk mendapatkan surimi dengan mutu baik selanjutnya ditambahkan gula
2-3 % dan polifosfat 0,2 % dengan tujuan untuk mencegah penurunan mutu
selama proses penyimpanan. Setelah surimi jadi, kemudian diuji derajat putih dan
PLG (Protein Larut Garam). Surimi kemudian ditambahkan garam 2,5 % lalu
dilumatkan pada alat food processor sampai terbentuk sol. Untuk mengetahui
mutu surimi ini maka dibuat kamaboko. Proses pembuatan kamaboko adalah
pencetakan surimi di dalam selongsong. Setelah dicetak dilakukan proses
pemanasan pada suhu 40 C selama 20 menit dan pada suhu 90 C selama 30
menit sehingga terbentuk kamaboko. Setelah terbentuk ini dilakukan pengujian
organoleptik, seperti uji lipat dan uji gigit, serta uji kekuatan gel (gel strenght).
berdasarkan pengujian maka ditentukan frekuensi pencucian terbaik dari surimi
ikan mata goyang (Priacanthus tayenus). Skema pembuatan surimi pada
penelitian pendahuluan dapat dilihat pada Gambar 4.
3.3.2 Penelitian utama
Langkah-langkah pembuatan bakso kering dalam penelitian utama adalah
surimi terbaik ditambahkan bumbu-bumbu sampai merata dengan menggunakan
food processor, kemudian ditambahkan tepung dengan konsentrasi 12,5 %
dimana jenis tepung yang digunakan ada dua jenis yaitu tepung tapioka dan
tepung sagu. Selanjutnya pada kedua jenis tepung tersebut diberikan dua
perlakuan dengan masing masing terdapat satu kontrol yang tidak diberi Na-sitrat
1 %. Perlakuan tersebut adalah penambahan Na-sitrat 1 % pada adonan bakso dan
perendaman bakso dalam larutan Na-sitrat 1 %. Setelah terbentuk 6 (enam) jenis
bakso, kemudian bakso dimasukkan ke dalam alat pengering freeze dryer sampai
didapatkan produk kering. Setelah jadi produk kering kemudian diuji organoleptik
skala hedonik terhadap kesukaan bakso, uji rasio rehidrasi serta uji rasio
penyusutan bakso kering, sehingga didapatkan produk terpilih atau terbaik
kemudian bakso dimasak kembali lalu diuji seperti uji organoleptik skala hedonik,
uji lipat dan gigit, uji kekerasan, WHC, serta proksimat. Skema pembuatan bakso
pada penelitian utama dapat dilihat pada Gambar 4b.
Gambar 4a. Skema pembuatan surimi pada penelitian pendahuluan *(Modifikasi Suzuki 1981)
Penyiangan
Pencucian pada suhu 5-10 C
Pemfilletan dan penggilingan daging
Pencucian 1, 2 atau 3 kali - Rasio Akuades : Daging giling = 4:1
- Suhu 5-10C - Waktu 15 menit
- Penambahan 0,3 % b/v NaCl pada pencucian terakhir
Pemerasan dan penapisan
Pengujian derajat putih dan PLG
- Penambahan 2,5 % b/b NaCl - Mixing
- Pencetakan - Pemanasan
1. pada suhu 40C selama 30 menit 2. pada suhu 90C selama 20 menit (Suhu Setting)
Kamaboko Pengujian lipat dan gigit
serta kekuatan gel
Daging giling
Penambahan Gula 3 % b/b STTP 0,2 % b/b
Ikan mata goyang
Surimi
Jenis Tepung Perlakuan
Tepung Tapioka (TT) Tepung Sagu (TS)
Kontrol (K) KTT KTS
Rendam (R) RTT RTS
Tambah (T) TTT TTT
(*) suhu 40C;20 menit dan 90C;20 menit
Gambar 4b. Skema pembuatan bakso pada penelitian utama
3.4 Metode Analisis Mutu Bakso
Pengujian terhadap produk bakso meliputi uji organoleptik, seperti
penampakan, tekstur, aroma dan rasa; uji fisik meliputi uji kekuatan gel,
kekerasan, derajat putih, uji pelipatan, uji gigit, rasio rehidrasi dan rasio
susut masak; sedangkan uji terakhir adalah uji kimia yang meliputi kadar protein,
air, lemak, abu dan karbohidrat serta Total Volatile Base (TVB), Protein Larut
Garam (PLG) dan Water Holding Capacity (WHC).
Penambahan bumbu (garam 2,6 % b/b, lada 0,25 % b/b,bawang merah 1 % b/b,
bawang putih 0,5 % b/b, baking soda 0,1 % b/b, air 20-30 % v/b)
Bakso
Uji hedonik, uji lipat dan gigit, kekuatan gel dan kekerasan, WHC serta proksimat
Dilakukan pemasakan bakso kering terpilih
Freeze dryer 110 jam
Pengujian -Hedonik -% Rehidrasi -% Susut masak
Surimi terbaik
Bakso kering
Bakso terpilih/terbaik
3.4.1 Uji organoleptik (Soekarto 1985)
Uji organoleptik dilakukan dengan menggunakan penilaian. Penilaian
organoleptik dengan skala hedonik yang ditransfer dalam bentuk angka, meliputi
penampakan, tekstur, aroma dan rasa.
3.4.2 Uji fisik
Uji fisik yang dilakukan pada penelitian ini adalah uji kekuatan gel,
uji kekerasan, uji derajat putih, uji lipat dan uji gigit.
(1) Uji kekuatan gel (Gel Strenght) (Shimizu et al. 1992 yang telah dimodifikasi)
Uji kekuatan gel bakso dilakukan dengan alat pengukur tekstur
Analyser TAX2i Stable Micro System. Contoh bakso diberi tekanan dengan beban
50 Kg. Contoh bakso dipotong-potong membentuk balok, kemudian diletakan
pada meja penahan dan ditekan dengan penahan jenis anvil sampai ketebalan
3 mm. Nilai kekuatan ditentukan dengan satuan kg/mm/luas penekan.
(2) Uji kekerasan (Hardness) (Ranggana 1986)
Uji kekerasan bakso secara objektif dilakukan dengan menggunakan alat
Rheoner RE 3305. Sampel diletakkan di atas meja penahan dan ditekan dengan
penahan anvil yang memiliki berat 50 kg hingga sampel pecah. Tinggi puncak
tertinggi dibagi dengan panjang kurva disaat grafik mulai meningkat sampai titik
akhir memperlihatkan nilai kekerasan bakso, dinyatakan dalam satuan g.cm.
(3) Uji derajat putih (Whiteness) (Kett Electric Laboratory 1981 diacu dalam Nurhayati 1994)
Pengujian derajat putih dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut
Whiteness meter. Alat ini merupakan alat analisis warna secara objektif untuk
mengukur refleksi warna pada permukaan produk. Alat ini menggunakan sistem
hunter, dimana produk yang akan diukur derajat putihnya dicari warna dasarnya
terlebih dahulu dengan cara mencocokan warna sampel dengan atribut warna yang
ada pada alat whiteness meter. Setelah diketahui nilai kecerahannya, kemudian
sampel produk diletakkan pada alat penembak. Dengan jalan memijat tombol
pada penembak, maka akan terlihat notasi angka yang menggambarkan
penyerapan warna produk yang dianalisis.
(4) Uji pelipatan (Folding test) (suzuki 1981)
Sampel diiris setebal 3-5 mm, kemudian diletakan pada telunjuk. Sampel
dilipat untuk mengamati adanya keretakan terdiri. Kriteria mutu dalam
hubungannya dengan uji pelipatan disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Nilai mutu uji pelipatan (Folding test)
Uji Lipat Nilai
Tidak retak jika dilipat empat AA
Sedikit retak jika dilipat empat A
Sedikit retak jika dilipat dua B
Retak tapi masih menyatu jika dilipat dua C
Retak seluruhnya jika dilipat dua D *Sumber: Suzuki (1981)
(5) Uji gigit (Teeth cutting test) (Suzuki 1981)
Uji ini memberikan taksiran secara objektif dengan melatih 10 orang
panelis. Pengujian dilakukan dengan cara memotong atau menggigit sample
antara gigi seri atas dan bawah. Sampel yang diuji memiliki ketebalan 5-6 mm
dan berdiameter 12 mm. Nilai atau skor sebagai atribut pengujian dalam
hubungan dengan uji potong atau gigit dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Nilai mutu uji gigit (teeth cutting test)
Nilai Sifat Kekenyalan Nilai Sifat Kekenyalan
10 Amat sangat kuat 5 Dapat diterima, agak kenyal
9 Sangat kuat 4 Kekenyalannya lemah
8 Kuat 3 Kekenyalannya lemah, agak
lunak
7 Cukup kuat 2 Kekenyalannya sangat
lemah, lunak
6 Dapat diterima 1 Hancur/mushy, sangat lunak *Sumber: Suzuki (1981)
(6) Rasio Susut Masak (Soeparno 1992)
Penentuan rasio susut masak dilakukan dengan menimbang berat bakso
sebelum pengeringan, dimana mula-mula bakso disobek menjadi 4 (empat) bagian
kemudian disusun teratur dalam rak pengering beku. Selanjutnya setelah tersusun
rapih, bakso dikeringkan selama 4 hari pada suhu -50 C dengan tekanan 5 Hg,
setelah 4 hari kemudian bakso dikeluarkan dan ditimbang berat bakso setelah
dikeringkan dalam freeze dryer. Berat yang hilang (Penyusutan berat) selama
pemasakan atau yang juga lazim disebut cooking loss dapat diketahui dengan
perhitungan sebagai berikut :
%susutmasak= 100xnpengeringasebelumberat
npengeringasesudahberatnpengeringasebelumberat
(7) Rasio Rehidrasi (Muchtadi dan Andarwulan 1988)
Bakso yang telah dikeringkan dalam Freeze dryer ditimbang, kemudian
bakso kering dimasak menggunakan air pada suhu 80 C-90 C selama 7 sampai
15 menit kemudian diangkat dan ditiriskan di atas kawat kasa selama 5 menit pada suhu ruang (25 C sampai 28 C) setelah tiris, kemudian ditimbang kembali
beratnya. Rasio rehidrasi dapat dihitung dengan persamaan berikut :
% rasio rehidrasi = 100xrehidrasisebelummassasegarbaksomassa
rehidrasisebelummassarehidrasisesudahmassa
(8) Protein Larut Garam (PLG) (Saffle dan Galbrcath 1964 diacu dalam Wahyuni
1992)
Penentuan pro