Post on 15-Dec-2020
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Mutakhir
Penelitian dalam Skripsi ini merupakan pengembangan dari beberapa
penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, yaitu mengenai kinerja kombinasi
sistem OFDM-MIMO dan kinerja sistem Spread Spectrum. Refrensi yang dipilih
dan digunakan sebagai acuan dari penelitian OFDM-MIMO dan Spread Spectrum
untuk mendukung penelitian ini adalah mengenai pemodelan dari kombinasi sistem
OFDM-MIMO dan pemodelan Spread Spectrum agar dapat memodelkan
kombinasi sistem Multi Carrier-Spread Spectrum (MC-SS) MIMO. Selanjutnya
kombinasi sistem MC-SS MIMO ini diteliti unjuk kerjanya berdasarkan pada
penggunaan kanal yang berbeda dan variasi panjang spreading factor.
Berikut adalah uraian singkat yang menjadi refrensi penelitian sekaligus
yang menjadi tinjauan mutakhir (state of the art) dalam penelitian ini.
1. Penelitian dengan berjudul “Analisis Unjuk Kerja Teknik MIMO STBC
dan V-BLAST Pada Sistem Orthogonal Frequency Division
Multiplexing” dimana penelitian ini mengangkat pemodelan sistem
OFDM yang dikombinasikan dengan MIMO STBC dan V-BLAST pada
kanal AWGN dan flat fading. Dari penelitian ini diketahu bahwa
kombinasi sistem OFDM-MIMO dengan menggunakan MIMO STBC
memberikan performansi terbaik. Kanal flat fading memberikan
performansi yang lebih buruk dibandingkan kanal AWGN (Teguh Bayu
Purwanto, Teknik Elektro Universitas Udayana, 2015)
2. Penelitan yang berjudul “Performance Analysis of Spread Spectrum
Techniques” dimana dalam penelitian ini mengangkat tentang analisis
performansi dari teknik spread spectrum ditinjau dari teknik spreading
yaitu Direct Sequence Spread Spectrum dan Frequency Hopping Spread
Spectrum. Dari penelitian ini menunjukkan teknik spread spectrum
berupa direct sequence memberikan hasil terbaik. (Astha Singh, Faculty
9
Electronics Engg. Dept. Dr. Ambedkar Institute Of Technology For
Handicapped Kanpur (UP), India, 2013)
4. Penelitian yang berjudul “Performance Comparison of OFDM, MC-
CDMA, and OFCDM for 4G Wireless Broadband Access Beyond”
dimana penelitian ini meninjau perbandingan nilai BER pada sistem
OFDM, MC-CDMA, dan OFCDM (Syed M. Zafi, Institute of
Information and Communication Technologies, 2011)
2.2 Spread Spectrum
2.2.1 Prinsip Dasar Sistem Spread Spectrum
2.2.1.1 Direct Sequence Spread Spectrum
Sebuah pseudo noise sequence pnt dibuat pada modulator, yang
digunakan sebagai konjungsi dengan sebuah modulasi PSK M-ary untuk menggeser
fase dari PSK secara psudorandom pada chipping rate Rc (=1/Tc), yaitu sebuah
frekuensi yang berupa perkalian integer dari Rs (=1/Ts). Bandwidth yang
ditransmisikan ditentukan oleh chip rate dan baseband filtering. Modulasi PSK
memerlukan demodulasi yang koheren. Untuk modulasi BPSK, building block dari
sistem DSSS sebagai berikut, (Meel, 1999):
Gambar 2.1 Building Block Sistem DSSS dengan Modulasi BPSK
(Meel, 1999)
10
Keterangan dari building block sistem DSSS pada Gambar 2.1 tersebut adalah
sebagai berikut.
1. Input
Binary data dt dengan symbol rate Rs = 1/Ts (= bitrate Rb untuk BPSK).
Pseudo-noise code pnt dengan chip rate Rc = 1/Tc , (Meel, 1999).
2. Spreading
Pada transmitter, binary data dt (untuk BPSK, I dan Q untuk QPSK)
secara langsung dikalikan dengan PN sequence pnt yang terpisah dari baseband
yang binary data, untuk memproduksi sinyal baseband yang ditransmisikan txb,
(Meel, 1999).
txb = dt . pnt (2.1)
Efek dari perkalian dt dengan PN sequence adalah untuk menyebarkan baseband
bandwidth Rb dari dt ke baseband bandwidth Rc, (Meel, 1999).
3. Despreading
Sinyal Spread Spectrum tidak bisa dideteksi dengan penerima
narrowband konvensional. Pada receiver, sinyal baseband rxb yang diterima
dikalikan dengan PN sequence pnt , (Meel, 1999).
Jika pnr = pnt dan disinkronisasi ke PN sequence pada data yang diterima,
kemudian binary data yang dipulihkan diproduksi pada dr akibat perkalian dari
sinyal spread spectrum rxb dengan PN sequence pnt digunakan pada transmitter
adalah untuk despread bandwidth rxb ke Rs, (Meel, 1999).
Jika pnr ≠ pnt, kemudian tidak terjadi despread. Sinyal dr memiliki spread
spectrum. Penerima tidak mengetahui PN sequence dari transmitter sehingga tidak
bisa memproduksi kembali data yang telah dikirim, (Meel, 1999).
4. Modulasi
Spread spectrum system menyebarkan sinyal informasi dt yang memiliki
BWinfo, pada bandwidth BWss yang lebih besar, (Meel, 1999).
BWinfo ≡ Rs << BWss ≡ Rc (2.2)
11
Spektrum sinyal seperti white noise. Amplitudo dan daya pada sinyal txb sama
seperti sinyal informasi asal dt. Karena peningkatan bandwidth sinyal, power
spectral density harus lebih rendah. Bandwidth expansion factor, menjadi rasio dari
chip rate Rc dan data simbol rate Rs, pada praktiknya, biasanya dipilih menjadi
sebuah integer, (Meel, 1999).
5. Demoduasi
A. pnr = pnt
Untuk mendemodulasi, sinyal yang diterima dikalikan dengan pnr, (ini
PN sequence yang sama seperti pnt) disinkronisasikan dengan PN sequence pada
sinyal rxb yang diterima. Operasi ini disebut despreading, karena akibatnya adalah
membalikkan operasi spreading pada transmitter, (Meel, 1999). Keluaran
multiplier pada penerima selama pnr = pnt adalah:
dr = rxb . pnr = (dt. pnt) . pnt (2.3)
B. pnr ≠ pnt
Jika sinyal yang diterima dikalikan dengan PN sequence pnr, berbeda
dengan PN sequence yang digunakan pada modulator, hasil perkaliannya menjadi:
dr = rxb . pnr = (dt. pnt) . pnr (2.4)
Pada receiver, deteksi sinyal yang diharapkan didapat dengan korelasi
terhadap sequence referensi lokal. Untuk komunikasi yang aman dalam
penggunaan multi user, data yang ditransmisikan dt, mungkin tidak bisa di
kembalikan oleh user yang tidak tahu PN sequence pnt yang digunakan. Maka:
crosscorrelation Rc(τ) = average (pnt . pnr) << 1 untuk semua nilai τ, dimana τ
adalah jumlah user, (Meel, 1999).
2.2.1.2 Frequency Hopping Spread Spectrum
Sebuah pseudo noise sequence pnt dibuat pada modulator, yang
digunakan sebagai konjungsi dengan sebuah modulasi FSK M-ary untuk menggeser
frekuensi pembawa dari PSK secara psudorandom pada hopping rate Rh. Sinyal
yang ditransmisikan melingkupi beberapa frekuensi dalam satu waktu, masing-
masing untuk satu periode Th (=1/Rh), disebut sebagai dwell time. FHSS membagi
12
bandwidth yang ada ke dalam N kanal dan hop diantara kanal-kanal tersebut
menurut PN sequence. Transmitter dan receiver mengikuti pola frekuensi hop yang
sama, (Meel, 1999).
2.2.2 Spreading Code
2.2.2.1 Hadamard-Walsh Codes
Kode Hadamard-Walsh dibangkitkan dalam aturan kode N = 2n dengan
panjang N = 2n. Pembangkitan algoritmanya sangat sederhana yaitu dengan
persamaan 2.5, (Meel, 1999).:
𝐻2 = [𝐻𝑁/2 𝐻𝑁/2
𝐻𝑁/2 −𝐻𝑁/2] dengan H1 = [1] (2.5)
Baris atau kolom dari matriks HN adalah kode Hadamard-Walsh seperti
yang ditunjukkan berikut ini, (Meel, 1999).
𝐻2 = [1 11 −1
] 𝐻4 = [
1 11 −1
1 1 1 −1
1 11 −1
−1 −1−1 1
] 𝐻8 =
[ 1 11 −1
1 1 1 −1
1 11 −1
−1 −1−1 1
1 1 1 −1
1 1 1 −1
1 1 1 −1
−1 −1−1 1
1 11 −1
1 1 1 −1
1 11 −1
−1 −1−1 1
−1 −1−1 1
−1 −1−1 1
−1 −1−1 1
1 1 1 −1 ]
Jarak atau jumlah elemen yang berbeda antar sepasang baris sebesar N/2.
Pada kondisi H8 jarak antar dua baris adalah 4, sehingga jarak Hamming dari kode
Hadamard adalah 4. Kode Hadamard-Walsh dapat digunakan sebagai block code
pada kanal encoder, dimana setiap urutan dari n bit mengidentifikasikan satu baris
dari matriks. Semua baris saling orthogonal satu sama lain untuk semua baris i dan
j, hal ini ditunjukkan dengan persamaan 2.6, (Meel, 1999):
∑ ℎ𝑖𝑘𝑁−1𝑘=0 . ℎ𝑗𝑘 = 0 (2.6)
2.2.2.2 Cross-Correlation dan Autocorrelation Kode Hadamard-Walsh
Cross-Correlation adalah membandingkan kode Hadamard-Walsh pada
sisi pengirim dan penerima untuk sistem dengan Multi-User. Cara ini digunakan
untuk melihat kesalahan pendeteksian kode pada masing-masing user atau kode
13
yang tertukar antar user. Jika pada single-user hal ini disebut dengan
autocorrelation. Autocorrelation menunjukkan korelasi atau hubungan antar kode
yang dikirim dan kode yang diterima oleh satu user. Perbedaan analisa dari cross-
correlation dan autocorrelation adalah, hasil cross-correlation yang semakin kecil
menunjukkan performansi yang baik, sedangkan pada autocorrelation hasil yang
semakin besar menunjukkan performansi yang baik. Fungsi dari korelasi ini untuk
menunjukkan performansi yang diberikan pada spreading code.
Cross-correlation antara dua kode Hadamard-Walsh pada matriks yang
sama adalah nol, ketika disinkronisasi sempurna. Pada sinkronus sistem CDMA ini
memastikan tidak ada interferensi selama sinyal ditransmisikan pada stasiun yang
sama. Hanya ketika disinkronisasi, kode tersebut memiliki sifat orthogonal yang
baik. Kode Hadamard-Walsh bersifat periodik, yang menghasilkan efisiensi
spreading kurang dan masalah dengan sinkronisasi berdasarkan autokorelasi,
(Meel, 1999).
2.2.3 Spreading Factor
Spreading factor atau yang disingkat dengan SF memberikan gambaran
mengenai banyaknya chip yang digunakan untuk mentransmisikan satu simbol. SF
dirumuskan dengan membagi chip rate dan symbol rate. SF juga berhubungan
dengan spreading code. Panjang spreading code didentifikasikan sebagai
spreading factor. Sehingga banyaknya SF dapat digunakan untuk mengetahui
banyaknya user yang dapat ditangani oleh sistem multi-user spread spectrum atau
CDMA.
2.3 Orthogonal Frequency Division Multiplexing
Orthogonal Frequency Division Multiplexing (OFDM) merupakan
teknik transmisi yang menggunakan beberapa buah frekuensi yang saling tegak
lurus (orthogonal). OFDM adalah bentuk khusus dari multicarrier modulation yang
membagi aliran data dengan kecepatan tinggi ke dalam sejumlah aliran data
kecepatan rendah kemudian dikirimkan melalui beberapa subcarrier. Pada OFDM,
data masukan dialirkan ke beberapa subcarrier paralel yang saling orthogonal
14
dengan laju data yang lebih rendah. Subcarrier tidak ditempatkan berdasarkan
bandwidth yang ada, tetapi disusun untuk saling overlapping dan diatur jarak antara
subcarrier agar memiliki sifat yang orthogonal (Purwanto, 2015).
Dengan sifat orthogonalitas ini maka antar subcarrier dapat dibuat
overlap tanpa menimbulkan efek Inter Carrier Interference (ICI). Dengan
multiplexing subcarrier yang dilakukan secara overlap tersebut tentu saja dapat
menghemat bandwidth. Proses yang dilakukan sama dengan teknik modulasi
multicarrier, yang membedakan hanya pada penggunaan subcarrier yang saling
orthogonal pada masing-masing subkanal (Purwanto, 2015).
Gambar 2.2 Efisiensi Bandwidth Pada Sistem Orthogonal Frequency Division Multiplexing
(Purwanto, 2015)
Dengan pembagian aliran data dengan kecepatan tinggi ke dalam
sejumlah aliran data kecepatan rendah kemudian dikirimkan secara simultan
melalui beberapa subcarrier. Sistem OFDM sederhana ditunjukkan dapat dilihat
pada Gambar 2.3 (Purwanto, 2015).
Gambar 2.3 Sistem Orthogonal Frequency Division Multiplexing (OFDM) Sederhana
(Purwanto, 2015)
15
Prinsip kerja dari sistem OFDM pada Gambar 2.3 dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Konversi Serial ke Paralel
Data masukan masuk menuju blok serial ke paralel. Blok serial ke paralel
berfungsi untuk mengubah aliran data yang terdiri dari satu baris menjadi beberapa
baris dan beberapa kolom. Data hasil konversi serial ke paralel berbentuk matriks
bit-bit dimana jumlah subcarrier yang digunakan dinyatakan dengan jumlah baris
dan jumlah simbol data yang dikirimkan pada masing-masing subcarrier
dinyatakan dengan jumlah kolom (Purwanto, 2015).
2. Modulasi
Sinyal yang telah dikonversi ke paralel kemudian akan dimodulasi,
proses modulasi diperlukan untuk merubah sinyal yang dikirim menjadi simbol
dengan proses modulasi. Modulasi yang dapat digunakan berupa BPSK, QPSK,
QAM, atau teknik modulasi yang lain (Purwanto, 2015).
3. Inverse Fast Fourier Transform (IFFT)
Blok IFFT pada sistem OFDM bertujuan untuk menghasilkan frekuensi
carrier yang saling orthogonal dan mengubah dari domain frekuensi ke domain
waktu (Purwanto, 2015).
4. Penambahan Cyclic Prefix (CP)
Penambahan Cyclic Prefix (CP) ditempatakn atau disisipkan di depan
simbol data masukan yang akan ditrasmisikan. Tujuan dari penambahan CP adalah
untuk mencegah terjadinya Inter Symbol Interference (ISI) dan Inter Carrier
Interference (ICI) sehingga simulasi dapat berjalan dengan baik (Purwanto, 2015).
5. Konversi Paralel ke Serial
Sebelum masuk ke dalam kanal transmisi, simbol OFDM yang masih
dalam bentuk stream paralel dikonversi ke bentuk stream serial sinyal baseband
OFDM (Purwanto, 2015).
16
6. Kanal Transmisi
Kanal transmisi dapat berupa kanal derau (noise) AWGN dan kanal
Fading (Purwanto, 2015).
7. Konversi Serial ke Paralel
Pada blok penerima sistem OFDM, sinyal yang telah melalui kanal
transmisi kemudian dikonversi kembali dari bentuk stream serial ke bentuk stream
paralel sehingga proses simbol-simbol yang diterima dapat diolah kembali pada
blok sistem penerima OFDM selanjutnya (Purwanto, 2015).
8. Penghilangan Cyclic Prefix (CP)
Pada blok ini, simbol CP yang telah disisipkan pada data masukan
dipisahkan dan dibuang kembali sehingga hanya diperoleh data masukan yang
sesuai dengan data masukan sebelum pengiriman. Proses ini merupakan kebalikan
dari proses penambahan Cyclic Prefix pada blok pengirim (Purwanto, 2015).
9. Fast Fourier Transform (FFT)
Pada blok FFT ini, simbol-simbol OFDM akan dipisahkan dari frekuensi
carrier-nya. Proses ini juga merupakan kebalikan dari blok Inverse Fast Fourier
Transform (IFFT) pada blok pengirim (Purwanto, 2015).
10. Demodulasi
Pada proses demodulasi dilakukan proses demapping untuk
mengembalikan simbol menjadi bit yang merupakan data masukan sesuai data yang
dikirim (Purwanto, 2015).
11. Konversi Paralel ke Serial
Pada blok ini, bit-bit yang masih berbentuk matriks (paralel) berupa
matriks jumlah sub-carrier x jumlah simbol data diubah kembali menjadi ke bentuk
17
semula yaitu bentuk serial dengan cara dikonversi dari bentuk paralel ke serial
sesuai dengan data yang dikirim (Purwanto, 2015).
2.4 Multiple Input Multi Output
Munculnya teknik MIMO yang dapat memberikan kapasitas yang lebih
signifikan dari pada SISO, yang dilihat sangat menjanjikan dalam komunikasi
nirkabel. Peningkatkan efisiensi spektrum dan perbaikan kualitas saluran oleh
sistem MIMO dapat dicapai dengan menggunakan multi antena pada sisi pengirim
13 dan penerima. Prinsip kerja MIMO adalah memperbanyak sinyal informasi yang
dipancarkan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi dan mengurangi error
yang dapat terjadi akibat kanal transmisi (Purwanto, 2015).
Gambar 2.4 Teknik MIMO
(Purwanto, 2015)
Adapun persamaan dari sistem MIMO diberikan sebagai berikut (Purwanto, 2015):
y = H.x + n (2.7)
dimana, y merupakan vektor sinyal yang diterima, H merupakan matrix respon
impuls kanal dari N jumlah antena pemancar dan M jumlah antena penerima
(NxM), s menyatakan vektor sinyal yang ditransmisikan, dan n menyatakan vektor
noise AWGN (Purwanto, 2015)..
Selain itu MIMO menggunakan teknik diversitas, yaitu spatial
multiplexing dan transmit diversity, dimana penggunaan teknik diversitas dapat
mengurangi fading dan interferensi dari user lain, meningkatkan data rate serta
efisiensi bandwidth maupun daya transmit (Purwanto, 2015).
18
2.4.1 Sistem Space Time Block Code (STBC)
Skema tramsisi dari Space Time Block Code (STBC) ini merupakan
skema transmisi yang pertama kali diperkenalkan oleh Siavash Alamouti pada
tahun 1998. STBC adalah skema yang digunakan dalam teknik transmit diversity
untuk mencapai diversity gain pada sistem MIMO tersebut (Purwanto, 2015).
Pada sistem STBC yang digunakan Alamouti, aliran data yang sama
dipancarkan melalui kedua antena pemancar. Sebelum dipancarkan, aliran data
terlebih dahulu mendapatkan perlakuan yang berbeda. Setiap dua simbol data akan
tetap dikirim dalam dua periode simbol, namun pada antena kedua urutan
simbolnya dibalik, dikonjugasi, dan salah satunya dinegatifkan. Adapun tujuan dari
perlakuan tersebut adalah untuk memudahkan pemisahan kedua simbol pada sisi
penerima sehingga deteksi dua simbol dapat dipecah menjadi dua proses deteksi
simbol yang terpisah (Purwanto, 2015).
Sistem STBC ini akan mengirimkan dua simbol yang berbeda secara
bersamaan. Pada saat waktu t, antena pertama (Tx1) akan mengirimkan sinyal S0
dan antena kedua (Tx2) mengirimkan sinyal S1. Diasumsikan bahwa S0 dan S1
merupakan simbol yang telah dimodulasi. Kemudian pada saat waktu t + T, simbol
dari masing-masing antena pemancar dikonjugat sehingga pada antena pertama
(Tx1) akan mengirimkan sinyal – dan pada antena (Tx2) mengirimkan sinyal ,
seperti Gambar 2.5 berikut (Purwanto, 2015).
Gambar 2.5 Skema Transmisi STBC Alamouti
(Purwanto, 2015)
Kemudian pada proses encoding sinyal yang dipancarkan akan
dipengaruhi oleh fading dan noise pada saat proses transmisi. Setelah sinyal
diterima oleh antena penerima selanjutnya sinyal masuk kedalam combiner. Pada
combiner terdapat kanal estimate yang memiliki fungsi untuk mengestimasi sinyal
yang diterima. Setelah mengalami estimasi kemudian sinyal tersebut masuk
19
kedalam blok Maximum Likehood Detector untuk melakukan proses pengambilan
keputusan, yang ditunjukkan pada Gambar 2.6 berikut (Purwanto, 2015).
Gambar 2.6 Skema STBC Alamouti dengan Dua Antena Pemancar dan Dua Antena Penerima
(Purwanto, 2015)
Terdapat proses pada sisi penerima untuk pendeteksian sinyal yang terjadi pada
skema ini yaitu :
1. Sinyal yang diterima
Pada sistem MIMO, sinyal yang diterima pada receiver merupakan
penjumlahan dari sinyal yang diterima dari masing-masing antena. Sinyal yang
diterima dalam dua interval simbol yang berdekatan dengan notasi yang
diperlihatkan seperti Tabel 2.1 dan 2.2 (Purwanto, 2015).
Tabel 2.1 Notasi Kanal Pada Penerima (Purwanto, 2015)
Rx Antena 1 Rx Antena 2
Tx Antena 1 h0 h2
Tx Antena 2 h1 h3
20
Tabel 2.2 Notasi Sinyal Pada Penerima (Purwanto, 2015)
Rx Antena 1 Rx Antena 2
Waktu t r0 r2
Waktu t+T r1 r3
Sehingga didapatkan persamaan 2.8 sebagai berikut (Purwanto, 2015).
𝑟0 = ℎ0𝑠0 + ℎ1𝑠1 + 𝑛0
𝑟1 = −ℎ0𝑠1∗ + ℎ1𝑠0
∗+ 𝑛1
𝑟0 = ℎ2𝑠0 + ℎ3𝑠1 + 𝑛3
𝑟3 = −ℎ2𝑠1∗ + ℎ3𝑠0
∗+ 𝑛3 (2.8)
Dimana n0, n1, n2, dan n3 merupakan variabel acak kompleks yang
memperlihatkan noise thermal dan interferens receiver (Purwanto, 2015).
2. Sinyal Combiner
Combiner dibuat mengikuti dua sinyal yang selanjutnya dikirim menuju
Maximum Likehood Detector. Aturan dari combiner ditunjukkan oleh persmaan 2.9
sebagai berikut (Purwanto, 2015).
𝑆0̃ = ℎ0∗ 𝑟0 + ℎ1𝑟1
∗ + ℎ2∗𝑟2 + ℎ3𝑟3
∗ (2.9a)
𝑆1̃ = ℎ1∗𝑟0 − ℎ0𝑟1
∗ + ℎ3∗𝑟2 − ℎ2𝑟3
∗ (2.9b)
Dengan mensubstitusi persamaan yang tepat maka (Purwanto, 2015):
𝑆0̃ = (𝑎02 + 𝑎1
2 + 𝑎22 + 𝑎3
2)𝑠0 + ℎ0∗𝑛0 − ℎ1𝑛1
∗ + ℎ2∗𝑛2 − ℎ3𝑛3
∗ (2.10a)
𝑆1̃ = (𝑎02 + 𝑎1
2 + 𝑎22 + 𝑎3
2)𝑠0 − ℎ0𝑛1∗ + ℎ1
∗𝑛2 − ℎ2𝑛3∗ + ℎ3
∗𝑛2 (2.10b)
3. Maximum Likehood Detector
Pada Maximum Likehood (ML) dekoder akan beroperasi sebagai berikut.
Untuk sinyal S0 digunakan kriteria keputusan seperti persamaan 2.11 berikut
(Purwanto, 2015).
(𝑎02 + 𝑎1
2 + 𝑎22 + 𝑎3
2 − 1)|𝑠1|2 + 𝑑2(𝑠0̃, 𝑠1̃) ≤ (𝑎0
2 + 𝑎12 + 𝑎2
2 + 𝑎32 − 1)|𝑠1|
2 + 𝑑2(𝑠0̃, 𝑠�̃�) (2.11)
21
Jika untuk sinyal S1, digunakan persamaan 2.12 sebagai berikut (Purwanto, 2015).
(𝑎02 + 𝑎1
2 + 𝑎22 + 𝑎3
2 − 1)|𝑠𝑖|2 + 𝑑2(𝑠1̃, 𝑠�̃�) ≤ (𝑎0
2 + 𝑎12 + 𝑎2
2 + 𝑎32 − 1)|𝑠𝑘|
2 + 𝑑2(𝑠1̃, 𝑠�̃�) (2.12)
2.5 Modulasi QPSK
PSK (Phase Shift Keying) merupakan salah satu teknik modulasi digital
dimana sinyal informasi digital (bit) yang akan dikirim ditumpangkan pada sinyal
pembawa dengan mengubah fasa dari sinyal pembawa. Modulasi QPSK merupakan
bentuk lain dari modulasi digital (PSK). QPSK merupakan teknik pengkodean M-
ary dimana M = 4 (quaternary). Dalam modulasi QPSK terdapat empat fase
keluaran dari sinyal pembawa untuk menyatakan empat simbol. Satu simbol QPSK
terdiri dari 2 buah bit yaitu “00”, “01”, “10”, dan “11”. Setiap satu simbol akan
mengalami perubahan fasa sebesar 90o (π/2) (Purwanto, 2015).
Pada gambar 2.7 dapat dilihat untuk konstelasi 00, pada Re channel (I) =
+1 dan Im channel (Q) = +1. Untuk konstelasi 01, Re (I) = -1, dan Im (Q) = +1.
Untuk konstelasi 11, untuk saluran Re (I) = -1 dan Im (Q) = -1. Untuk konstelasi
10, untuk Re (I) = +1 dan Im (Q) = -1. Setiap nilai konstelasi 1 dan -1 disimbolkan
dengan 0.7071 dan -0.7071 (Purwanto, 2015).
Gambar 2.7 Diagram Konstelasi QPSK
(Purwanto, 2015)
22
2.6 Addiptive White Gaussian Noise
Additive White Gaussian Noise merupakan noise yang berada dan terjadi
pada kanal range spektrum frekuensi dan merupakan noise thermal yang sifatnya
menjumlah. Additive artinya ditambahkan, Gaussian berarti mengikuti distribusi
Gaussian atau kadang disebut juga distribusi normal. Sedangkan noise ini disebut
white karena terdiri dari seluruh frekuensi dalam spektralnya dianalogikan sebagai
cahaya putih yang kerapatan spektralnya lebar dan pada range frekuensi yang lebar
(Purwanto, 2015).
AWGN mempunyai karakteristik respon frekuensi yang sama
disepanjang frekuensi dan variannya sama dengan satu. Pada kanal transmisi selalu
terdapat penambahan noise yang timbul karena akumulasi noise termal dari
perangkat pemancar, kanal transmisi, dan perangkat penerima. AWGN merupakan
model kanal sederhana dan umum dalam suatu sistem komunikasi. Model kanal ini
dapat digambarkan seperti Gambar 2.8 berikut (Purwanto, 2015).
Gambar 2.8 Model Kanal AWGN
(Purwanto, 2015)
Pada Gambar 2.8 dapat dilihat, jika sinyal yang kirim Sm(t), pada kanal
akan dipengaruhi oleh derau (noise) n(t) sehingga sinyal yang diterima adalah
penjumlahan sinyal asli dengan noise, kondisi tersebut dapat dirumuskan dengan
persamaan 2.13 berikut (Purwanto, 2015).
r(t) = Sm(t)+n(t) (2.13)
dimana r(t) adalah sinyal yang diterima, kemudian Sm(t) adalah sinyal informasi
dan n(t) adalah noise AWGN (Purwanto, 2015).
23
2.7 Kanal Flat Fadding
Flat Fading (Fading Rata) dapat terjadi apabila kanal mempunyai
penguatan yang konstan dan tanggapan fase linier dengan bandwidth yang lebih
lebar dibandingkan dengan bandwidth sinyal yang ditransmisikan. Pada kondisi ini,
level sinyal yang diterima berubah terhadap waktu yang disebabkan oleh multipath.
Karakteristik kanal flat fading dapat dilihat pada Gambar 2.9 (Purwanto, 2015)..
Gambar 2.9 Karakteristik Kanal Flat Fadding
(Purwanto, 2015)
Pada Gambar 2.9 dapat dilihat bahwa sinyal yang dikirim s(t) apabila
dilewatkan pada kanal h(τ,t) yang memiliki penguatan yang berubah terhadap
waktu, maka terjadi perubahan amplitudo muncul pada sinyal terima r(t), tetapi
memiliki spectrum sinyal transmisi yang tidak berubah. Kanal flat fading dikenal
juga sebagai kanal variasi amplitudo (amplitude varying channel) (Purwanto,
2015).
Pada umumnya distribusi amplitudo pada flat fading mengikuti distribusi
Rayleigh. Model kanal flat fading Rayleigh mengasumsikan bahwa amplitudo dari
kanal bervariasi terhadap waktu sesuai dengan distribusi Rayleigh. Dari penjelasan
diatas dapat disimpulkan bahwa sinyal yang melalui kanal flat fading mempunyai
kriteria seprti persamaan 2.14 dan 2.15 berikut (Purwanto, 2015).
𝐵𝑠 ≪ 𝐵𝑐 (2.14)
𝑇𝑠 ≫ 𝜎𝑐 (2.15)
24
Dengan, BS adalah lebar pita (bandwidth) frekuensi sinyal, BC adalah coherence
bandwidth, TS adalah periode simbol, dan σr adalah rms delay spread (Purwanto,
2015).
2.8 Kanal Frequency Selective Fading
Suatu sinyal dikatakan melalui frequency selective fading , jika sinyal
yang ditransmisikan itu memiliki lebarpita (bandwidth) lebih besar dari bandwidth
kanal radio dan tanggapan impuls kanal yang memiliki delay spread lebih besar
dari periode simbol. Sinyal yang diterima terdiri dari beberapa sinyal yang
ditransmisikan, yang sudah teredam dan terjadi waktu tunda sehingga sinyal yang
diterima akan terdistorsi. Frequency selective fading menyebabkan terjadi dispersi
waktu dari simbol yang ditransmisikan. Kanal seperti ini menyebabkan interferensi
antar symbol (ISI) (Rapaport, 2002). Gambar 2.10 menunjukkan karakteristik dari
kanal frequency selective fading.
Gambar 2.10 Karakteristik Kanal frequency selective fading
(Rapaport, 2002)
Pada Gambar 2.10, bandwidth frekuensi sinyal )(ts lebih lebar dari
bandwidth tanggapan impuls kanal ),( th , maka tampak bahwa sinyal terima )(tr
mengalami distorsi. Oleh karena itu sinyal mengalami frequency selective fading
jika memenuhi persamaan 2.16 dan 2.17.
h(t,)
s(t) r(t)
s(t)
0 Ts
t t
h(t,)
0 0 Ts Ts+
t
r(t)
S(f)
fc
f
H(f
)
fc
f
R(f)
fc
f
25
CS BB (2.16)
dan,
ST (2.17)
2.9 Distribusi Rayleigh
Dalam kanal komunikasi bergerak, distribusi Rayleigh biasa digunakan
untuk menjelaskan perubahan waktu dari selubung sinyal fading rata (flat fading)
yang diterima, atau selubung dari satu komponen multipath telah diasumsikan
sebelumnya menjadi distribusi Rayleigh. Distribusi Rayleigh digunakan untuk
mendeskripsikan keadaan pada suatu kanal. Distribusi Rayleigh memiliki fungsi
kerapatan probabilitas atau probability density function (pdf) pada persamaan 2.18
(Purwanto, 2015):
𝑝(𝑟) = {𝑇
𝜎2 𝑒𝑥𝑝 (𝑟2
2𝜎2)
0
(0 ≤ 𝑟 ≤ ∞)
(𝑟 < 0) (2.18)
dimana
σ adalah nilai rms dari level sinyal yang diterima sebelum detektor,
σ2 adalah daya rata-rata waktu dari sinyal yang diterima sebelum detektor.
Probabilitas yang menunjukkan selubung dari sinyal yang diterima tidak
melebihi dari suatu harga R tertentu, yang ditunjukkan dengan cumulative
distribution function (CDF) atau fungsi distribusi komulatif persamaan 2.19 berikut
(Purwanto, 2015).
𝑃(𝑅) = Pr(𝑟 ≤ 𝑅) = ∫ 𝑝(𝑟)𝑑𝑟 = 1 − exp (−𝑅2
2𝑎2)𝑅
0 (2.19)
Nilai rata-rata rmean dari distribusi Rayleigh adalah (Purwanto, 2015):
𝑟𝑚𝑒𝑎𝑛 = 𝐸(𝑟) = ∫ 𝑟, 𝑝(𝑟)𝑑𝑟 = 𝜎√𝜋
2
∞
0= 1,2533𝜎 (2.20)
Variance dari distribusi Rayleigh dinotasikan dengan, yang merepresentasikan daya
pada sinyal selubung (Purwanto, 2015).
26
𝜎𝑟2 = 𝐸[𝑟2] − 𝐸2[𝑟] = ∫ 𝑟2𝑝(𝑟)𝑑𝑟 −
𝜎2𝜋
2
∞
0 (2.21)
Gambar 2.11 Fungsi Kerapatan Probabilitas Rayleigh
(Purwanto, 2015)
2.10 Tanggapan Impuls dari Kanal Multipath
Suatu gelombang elektromagnetik yang dipancarkan dari pemancar ke
penerima akan mengalami bermacam-macam perlakuan yang disebabkan oleh
media perambatan (kanal radio). Gelombang yang dipancarkan tersebut ada yang
diterima secara langsung, ada pula yang mengalami refleksi,refraksi dan
penghamburan yang dipengaruhi oleh benda-benda disekitarnya. Jadi sinyal yang
diterima di penerima merupakan pejumlahan dari beberapa sinyal yang melalui
beberapa lintasan sehingga menyebabkan tejadinya perubahan penguatan dan
pergeseran fase (Rapaport, 2002).
Berdasarkan uraian tersebut, maka kanal radio bergerak dapat
dimodelkan dengan filter linear dengan tanggapan impuls yang berubah terhadap
waktu. Tanggapan impuls ini merupakan karakteristik kanal yang dapat digunakan
untuk membandingan beberapa sistem komunikasi bergerak untuk kondisi kanal
radio tertentu (Rapaport, 2002).
Dalam sistem diversitas pemancar, mengasumsikan bahwa kanal tidak
bervariasi waktu,sehingga persamaan tanggapan impuls dari pemancar ke-m ke
penerima ke-n diberikan persamaan (Nejib, 2010).
27
6
1
)()(k
k
k
nmnm tthth (2.22)
dengan k
nmh adalah proses acak Gaussian kompleks dengan rata-rata nol dan k
nmh
tidak berkorelasi , tk adalah excess delay dari lintasan yang ke-k.
2.11 Power Delay Profile
Beberapa parameter kanal multipath dapat diperoleh dari Power Delay
Profile nya. Secara umum Power Delay Profile (PDP) merupakan hubungan antara
daya yang diterima dengan excess delay. Excess delay adalah delay relatif dari suatu
komponen multipath yang dibandingkan dengan komponen lintasan yang pertama
diterima. Dalam penelitian ini menggunakan dua Power Delay Profile yaitu PDP di
luar ruangan (outdoor) dan PDP di dalam ruangan (indoor). PDP di luar ruangan
merupakan PDP pada kanal typical urban (TU) yang stationary (tanpa ada Dopler).
PDP pada kanal typical urban dapat dilihat dalam Tabel 2.3 (Fazel, 2008),.
Tabel 2.3. PDP pada kanal Typical Urban (Fazel, 2008)
Path,k Path delay, tk [s] p(tk) [dB]
1 0.0 -3.0
2 0.199 0.0
3 0.502 -2.0
4 1.606 -6.0
5 2.307 -8.0
6 5.017 -10.0
2.12 Parameter Delay Spread
Gelombang yang merambat pada lintasan yang berbeda-beda
mengakibatkan sinyal-sinyal multipath sampai pada penerima dengan variasi waktu
tunda. Sebuah sinyal yang dikirimkan oleh pemancar, akan mengalami pelebaran
di penerima yang disebut dengan delay spread. Delay spread ini dapat
menimbulkan interferensi antar simbol, karena setiap simbol akan saling
bertumbukan antara simbol sebelum dan sesudahnya. Parameter delay spread yang
28
sering ditulis dalam bentuk root mean square (rms) adalah rms delay spread yang
diberikan persamaan (Rapaport, 2002):
22 )( (2.23)
dengan _
merupakan mean excess delay yang dinyatakan dengan persamaan 2.24
dan 2.25
k
k
k
kk
)(P
)(P
(2.24)
dan
k
k
k
2
kk
2
)(P
)(P
(2.25)
2.13 Teknik Pembentukkan Pulsa
Sebuah pulsa yang dilewatkan melalui kanal band yang terbatas, akan
mengalami pelebaran dalam satuan waktu dan pulsa dari tiap simbol akan
interferensi dengan simbol yang lain. Hal ini menyebabkan interferensi antar simbol
(ISI) dan pada penerima akan terjadi kesalahan deteksi simbol. Salah satu teknik
pembentukkan pulsa untuk mengurangi pengaruh interferensi antar simbol, yaitu
tanggapan frekuensi raised-cosine dinyatakan dengan persamaan 2.26 (Rapaport,
2002) dan gambar spektrumnya dapat dilihat pada Gambar 2.12.
(1 ), 0
2
1 (1 ) (1 )( ) 1 cos ,
2 2 2
(1 )0,
2
RC
T fT
TX f T f f
T T T
fT
(2.26)
dimana adalah faktor roll-off yang ada diantara 0 dan 1
29
Gambar 2.12 (a) Tanggapan Frekuensi Raised-Cosine (b) Pembentukkan Pulsa untuk Tanggapan
Frekuensi Raised-Cosine
(Rapaport, 2002)
Tanggapan frekuensi raised cosine Xrc(f) dapat dilihat pada Gambar 2.12
untuk =0, =0,5 dan =1 . Hubungan tanggapan frekuensi raised cosine Xrc(f)
dengan pulsa sinyal xrc(t) diperoleh dengan cara invers transfromasi Fourier,
sehingga diperoleh persamaan:
2
cos / sin( /( )
1 (2 / ) /RC
t T t Tx t
t T t T
(2.27)
2.14 Energy Bit per Noise
Eb/No (energy per bit to noise power spectral density ratio) adalah
parameter yang biasa digunakan dalam komunikasi digital. Hal ini sangat berguna
saat membandingkan performa bit error rate (BER) untuk modulasi digital yang
berbeda-beda tanpa menyertakan parameter pita frekuensi. Parameter lain yang
sering digunakan adalah Es/N0 (energy per symbol to noise power spectral density
ratio) (Awirya, 2010).
2.15 Bit Error Rate
Dalam telekomunikasi, rasio error adalah rasio jumlah bit, elemen,
karakter, atau blok yang diterima dengan salah dibanding jumlah total bit, elemen,
30
karakter, ataupun blok yang dikirim sepanjang interval waktu tertentu. Rasio yang
paling sering ditemui adalah bit error ratio (BER). Contoh BER adalah jumlah
kesalahan bit yang diterima dibagi dengan jumlah total bit yang dikirimkan.
Biasanya kurva BER digambarkan dalam hubungan BER (dB) dengan SNR (dB)
atau BER (dB) dengan Eb/No (dB) (Awirya, 2010).