Post on 13-Oct-2020
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Relasi Interpersonal Menantu Perempuan dan Mertua
1. Definisi Relasi Interpersonal
Menurut Ruben dan Stewart (2013) relasi interpersonal adalah
hubungan yang berdasarkan pada pengolahan pesan yang timbal-balik.
Menurut Spradley dan Mccurdy (1975), relasi atau hubungan yang
terjadi antara individu yang berlangsung dalam waktu yang relatif
lama akan membentuk suatu pola, pola hubungan ini juga disebut pola
relasi. Relasi yang interpersonal terdiri dari dua orang atau lebih yang
saling tergantung satu sama lain dan menggunakan pola interaksi yang
konsisten (Pearson, 1983 dalam Wisnuwardhani dan Mashoedi, 2011).
Hubungan antar sesama dalam istilah sosiologi disebut relasi
atau relation. Relasi juga disebut sebagai hubungan sosial merupakan
hasil dari interaksi (rangkaian tingkah laku) yang sistematis antara dua
orang atau lebih. Relasi merupakan hubungan timbal balik antar
individu yang satu dengan individu yang lain dan saling
mempengaruhi. Suatu relasi atau hubungan akan ada jika tiap-tiap
orang dapat meramalkan secara tepat macam tindakan yang akan
datang dari pihak lain terhadap dirinya. Dikatakan sistematik karena
terjadinya secara teratur dan berulangkali dengan pola yang sama
(Sutriani, 2015).
16
Jadi berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa
relasi interpersonal adalah hubungan timbal balik antar individu yang
satu dengan individu yang lain dan saling mempengaruhi. Dalam hal
ini khusus hubungan yang terjadi antara menantu perempuan dan
mertua.
2. Jenis-Jenis Relasi Interpersonal
Relasi interpersonal menurut Andi (2010) dapat diklasifikasikan
berdasarkan faktor berikut:
1) Berdasarkan jumlah individu yang terlibat:
a. Hubungan Diad
Merupakan hubungan diantara dua individu.
Kebanyakan hubungan kita dengan orang lain bersifat
diadik. William Wilmot (dalam Andi, 2010)
mengemukakan beberapa ciri khas hubungan diad, dimana
setiap hubungan diad memiliki tujuan khusus, individu
dalam hubungan diad menampilkan wajah yang berbeda
dengan ‘wajah’ yang ditampilkannya dalam hubungan diad
yang lain, dan pada hubungan diad berkembang pola
komunikasi (termasuk pola berbahasa) yang unik/ khas
yang akan membedakan hubungan tersebut dengan
hubungan diad yang lain.
17
b. Hubungan Triad
Merupakan hubungan tiga orang. Hubungan triad
ini memiliki ciri lebih kompleks, tingkat keintiman/
kedekatan anatar individu lebih rendah, dan keputusan yang
diambil lebih didasarkan voting atau suara terbanyak
(dalam hubungan diad, keputusan diambil melalui
negosiasi).
2) Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai :
a. Hubungan Tugas
Hubungan tugas merupakan sebuah hubungan yang
terbentuk karena tujuan menyelesaikan sesuatu yang tidak
dapat dikerjakan oleh individu sendirian. Misalnya
hubungan antara pasien dengan dokter, hubungan
mahasiswa dalam kelompok untuk mengerjakan tugas, dan
lain-lain. Dalam hal ini hubungan antara menantu dengan
mertua.
b. Hubungan Sosial
Hubungan sosial merupakan hubungan yang tidak
terbentuk dengan tujuan untuk menyelesaikan sesuatu.
Hubungan ini terbentuk (baik secara personal dan sosial).
Sebagai contoh adalah hubungan dua sahabat dekat,
hubungan dua orang kenalan saat makan siang dan
sebagainya.
18
3) Berdasarkan Jangka waktu
a. Hubungan jangka pendek
Hubungan jangka pendek merupakan hubungan
yang hanya berlangsung sebentar. Misalnya hubungan
antara dua orang yang saling menyapa ketika bertemu di
jalan.
b. Hubungan Jangka Panjang
Hubungan jangka panjang berlangsung dalam waktu
yang lama. Semakin lama suatu hubungan semakin banyak
investasi yang ditanam didalamnya (misalnya berupa emosi
atau perasaaan, materi, waktu, komitmen dan sebagainya).
Dan karena investasi yang ditanam itu banyak maka
semakin besar usaha kita untuk mempertahankannya.
Relasi yang terjadi antara menantu dan mertua. Berdasarkan dari
pemaparan jenis-jenis relasi interpersonal diatas dapat disimpulkan
bahwa relasi yang terjadi antara menantu dan mertua masuk kedalam
jenis hubungan diad, sosial dan jangka panjang karena hanya berfokus
pada individu dengan tugas tertentu berdasarkan perannya dalam
keluarga dan hubungan ini berlangsung dalam jangka waktu yang
relatif lama.
19
3. Tahap-Tahap Relasi Interpersonal
Menurut Ruben dan Stewart (2013), tahap-tahap relasi
interpersonal akan meliputi :
a. Inisiasi, merupakan tahap paling awal dari suatu relasi
interpersonal.
Pada tahap ini individu memperoleh data mengenai masing-
masing melalui petunjuk nonverbal seperti senyuman, jabatan
tangan, pandangan sekilas, dan gerakan tubuh tertentu.
b. Eksplorasi, tahap ini merupakan pengembangan dari tahap
inisiasi dan terjadi tidak lama sesudah inisiasi di sini mulai
dijajaki potensi yang ada dari setiap individu serta dipelajari
kemungkinan-kemungkinan yang ada dari suatu relasi.
c. Intensifikasi. Pada tahap ini individu harus memutuskan baik
secara verbal maupun non verbal apakah relasi akan
dilanjutkan atau tidak.
d. Formalisasi, dalam perkembangannya relasi yang telah
berjalan itu perlu di formalkan. Pada tahap ini tiap-tiap
iindividu secara bersama mengembangkan simbol-simbol,
pola-pola komunikasi yang disukai, kebiasaan dan lain
sebagainya.
e. Redefenisi, sejalan dengan waktu individu tidak dapat
menghindarkan diri dari perubahan. Perubahan ini mampu
menciptakan tekanan terhadap relasi yang tengah berlangsung.
20
f. Deteriorasi, kemunduran atau melemahnya suatu relasi kadang
tidak disadari oleh mereka yang terlibat dalam relasi tersebut.
Jika kemunduran yang terjadi itu tidak segera di antisipasi
maka bukan tidak mungkin hubungan yang terbentuk itu akan
mengalami kehancuran
Satu hal yang perlu diingat adalah tidak semua relasi yang
terbentuk harus melewati keenam tahap diatas. Bisa saja satu relasi
melewati keenamnya sementara relasi yang lain hanya melewati tiga
dari enam tahapan tersebut.
Sementara itu Jalaluddin Rakhmat (dalam Al-Faruqi, 2013)
meringkas perkembangan relasi interpersonal menjadi tiga tahap yaitu:
a. Pembentukan
Tahap ini sering disebut sebagai tahap perkenalan. Fokus pada
tahap ini adalah proses penyampaian dan penerimaan informasi
dalam pembentukan relasi. Informasi yang diperoleh tidak selalu
melalui komunikasi verbal melainkan juga melalui komunikasi
nonverbal.
b. Peneguhan
Relasi interpersonal tidak bersifat statis tetapi selalu berubah.
Untuk memelihara dan memperteguh relasi interpersonal
diperlukan tindakan-tindakan tertentu. Untuk mengembalikan
keseimbangan. Ada empat faktor penting untuk memelihara
keseimbangan, yaitu keakraban, kontrol ,respon yang tepat dan
nada emosi yang tepat.
21
c. Pemutusan
Suatu relasi interpersonal yang paling harmonis sekalipun dapat
mengalami pemutusan hubungan, mungkin karena kematian,
konflik yang tidak terselesaikan atau sebagainya.
Apapun bentuk relasi yang terjadi, dinamika sebuah relasi
interpersonal akan tumbuh, berkembang dan berakhir. Pada penelitian
ini peneliti menggunakan tahap relasi menurut Jalaluddin Rakhmat
yaitu pembentukan, peneguhan dan pemutusan.
4. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Relasi Interpersonal
Menurut Jalaluddin Rakhmat (1998) menyebut tiga faktor yang
mempengaruhi terbentuknya pola komunikasi dalam relasi
interpersonal.
a. Percaya (trust)
Percaya menentukan efektifitas komunikasi dan dapat
meningkatkan kadar komunikasi interpersonal yang terbentuk.
b. Sikap suportif
Sikap suportif adalah sikap yang mengurangi sikap defensif
dalam komunikasi. Komunikasi defensif dapat terjadi karena
faktor-faktor personal (ketakutan, kecemasan, harga diri yang
rendah, pengalaman defensif, dsb) atau faktor- faktor
situasional.
22
c. Sikap terbuka.
Sikap terbuka sangat besar pengaruhnya dalam menumbuhkan
komunikasi interpersonal yang efektif. Lawan dari sikap
terbuka adalah dogmatis. Agar komunikasi interpersonal yang
kita lakukan melahirkan hubungan yang efektif maka dogmatis
(sikap tertutup harus digantikan dengan sikap terbuka.
Sedangkan menurut Rakhmat (2008) menjelaskan faktor-faktor
yang mempengaruhi relasi interpersonal, meliputi:
a. Kesamaan Karakteristik Personal
Orang-orang yang memiliki kesamaan dalam nilai-nilai,
sikap, keyakinan, tingkat sosioekonomis, agama, ideologis,
cenderung saling menyukai. Mereka yang bersahabat
menunjukkan korelasi yang erat dalam kepribadiannya.
b. Tekanan Emosional (stress)
Bila orang berada dalam keadaan yang mencemaskan atau
harus memikul tekanan emosional, ia akan menginginkan
kehadiran orang lain. Schachter (dalam Rakhmat, 2008:111)
menyimpulkan bahwa situasi penimbul cemas (anxiety producing
situations) meningkatkan kebutuhan akan kasih sayang. Orang-
orang yang pernah mengalami penderitaan bersama-sama akan
membentuk kelompok yang bersolidaritas tinggi.
23
c. Harga Diri yang Rendah
Menurut Waister (dalam Rakhmat, 2008) memberi
kesimpulan bila harga diri direndahkan, hasrat filiasi (bergabung
dengan orang lain) bertambah, dan ia makin responsive untuk
menerima kasih sayang orang lain. Dengan perkataan lain, orang
yang rendah diri cenderung mudah mencintai orang lain.
d. Isolasi Sosial
Menurut Aronson (dalam Rakhmat, 2008) menjelaskan,
pertambahan perilaku yang menyenangkan dari orang lain akan
berdampak positif pada diri kita. Menurut Aronson, orang yang
kesukaanya kepada kita bertambah akan lebih kita senangi
daripada orang yang kesukaannya kepada kita tidak berubah.
Di samping aspek-aspek di atas, Jalaludin Rakhmat (2008)
mengemukakan pula faktor-faktor situasional yang mempengaruhi
relasi interpersonal, yaitu:
a. Daya Tarik Fisik (Physical Affroacfiveness)
Daya tarik menjadi penyebab utama atraksi personal. Daya
tarik pada gilirannya sangat mudah memperoleh simpati dan
perhatian orang.
b. Ganjaran (reward)
Kita menyenangi orang yang memberikan ganjaran kepada
kita. Ganjaran itu berupa bantuan, dorongan moral, pujian, atau
hal-hal yang meningkatkan harga diri kita. Kita akan menyukai
24
orang yang menyukai kita, kita akan menyenangi orang yang
memuji kita.
c. Familiarity
Familiarity artinya sering kita lihat atau sudah kita kenal
dengan baik. Prinsip familiarity dicerminkan dalam peribahasa
Indonesia “kalau tak kenal, maka tak sayang”.
d. Kedekatan
Erat kaitannya dengan familiarity adalah kedekatan. Orang
cenderung menyenangi mereka yang tempat tinggalnya
berdekatan. Persahabatan lebih mudah tumbuh di antara tetangga
yang berdekatan.
e. Kemampuan (Competence)
Kita cenderung menyenangi orang-orang yang memiliki
kemampuan lebih tinggi daripada kita, atau lebih berhasil dalam
kehidupannya. Orang-orang yang sukses dalam bidang apapun,
professional atau non professional umumnya mendapat simpati
orang banyak.
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi relasi interpersonal ditentukan oleh sikap
percaya, sikap suportif, sikap terbuka, kesamaan karakteristik personal,
tekanan emosional , harga diri yang rendah , isolasi sosial dan
kemampuan.
25
5. Pola-Pola Relasi Interpersonal
Ketika relasi terbentuk, berkembang pula pola-pola komunikasi
yang merupakan hasil dari aturan yang diterapkan para partisipan. Pola
berarti gambaran atau corak relasi sosial yang tetap dalam interaksi
sosial. Terbentuknya pola dalam interaksi sosial tersebut melalui
proses cukup lama dan berulang-ulang. Akhirnya muncul menjadi
model yang tetap untuk dicontoh dan ditiru. Adanya pola interaksi
akan menghasilkan keajegan, di mana keajegan adalah gambaran atau
suatu kondisi keteraturan yang tetap dan relatif tidak berubah sebagai
hasil relasi yang selaras antara tindakan, norma dan nilai dalam
interaksi sosial.
Aryani dan Setiawan (2007) menyebutkan ada beberapa relasi
yang terjadi antara menantu dengan mertua, yaitu relasi penuh konflik,
relasi acuh tak acuh, ataupun relasi harmonis. Dari beberapa bentuk
relasi menantu dengan mertua yang sering terdengar relasi penuh
dengan konflik menjadi bahan pembicaraan menarik di media
konsultasi.
Ruben dan Stewart (2013) menyebutkan ada empat pola relasi
yang akan terbentuk ketika terjadi relasi interpersonal yaitu:
a. Suportif dan defensif
Pola suportif merupakan pola yang mendukung komunikasi
interpersonal sebaliknya dengan pola depensif. Pola suportif
membuat suatu proses komunikasi menjadi efektif dan efisien yang
26
memberikan kepuasan terhadap pelakunya. Pola suportif
merupakan pola yang mengurangi pola defensif dalam komunikasi.
Seseorang bersifat defensif bila ia tidak menerima, tidak
jujur, dan tidak empatis. Pola defensif dapat mengakibatkan
komunikasi interpersonal gagal karena seseorang yang
menggunakan pola defensif akan lebih banyak melindungi diri dari
ancaman yang ditanggapinya dalam situasi komunikasi ketimbang
memahami orang lain. Pola defensif dapat terjadi karena faktor-
faktor personal (ketakutan, kecemasan, harga diri yang rendah,
pengalaman defensif) dan faktor-faktor situasional (perilaku
komunikasi orang lain.
Ada enam perilaku berlawanan (suportif dan defensif) yaitu:
Sikap suportif
1. Deskripsi: tidak melakukan penilaian terhadap orang lain
2. Orientasi masalah: mengajak orang lain menetapkan dan
mencapai tujuan dan tidak mengarahkannya
3. Spontan: tidak melakukan strategi atau bertaktik
4. Empati: menempatkan diri pada posisi orang lain dengan
pandangan orang lain itu
5. Persamaan: memandang orang lain setara
6. Provisionalisme: mempertahankan tingkat ketidakpastian
dan prakiran dalam pikiran dan keyakinan diri
27
Sikap defensive
1. Evaluasi: menilai perilaku orang lain
2. Kontrol: mengontrol atau mengarahkan orang lain.
3. Strategi: merencanakan teknik atau strategi dalam
berhubungan dengan orang lain.
4. Netralisasi: menjauhkan diri dari persaan atau perhatian
orang lain.
5. Superioritas: merasa lebih berharga atau lebih tinggi dari
orang lain
6. Certainty: bertindak atas pengetahuan, keyakinan dan
persepsi sendiri tanpa mau mengubahnya.
b. Tergantung (dependen) dan tidak tergantung (independen)
Pola tergantung dicirikan jika salah satu individu sangat
tergantung pada induvidu lainnya, misalnya karna dukungan, uang,
pekerjaan, kepemimpinan, petunjuk dan sebagainya. Pola
dependensi memungkinkan seseorang mengandalkan orang lain
dalam berbagai keadaan. Contoh dependensi adalah antara anak
dan orang tua mereka atau antara terapis dan pasien mereka.
Sebaliknya dalam hubungan yang independen, seorang individu
secara bebas dapat menyatakan ketidaksepakatan, ketidaksetujuan
dan penolakan pada individu lainnya.
28
c. Progresif dan Regresif Spiral
Pola progresif adalah relasi yang dilakukan mengarah
kepada satu kepuasan (hal-hal positif). Sebaliknya dengan regresif,
hubungan tetap berkembang, namun mengarah atau menimbulkan
ketidakpuasan dan ketidakpercayaan (hal-hal negatif). Dalam spiral
progresif, pengolahan pesan dari negosiasi menyebabkan rasa
“positiveness” di dalam pengalaman mereka.
Kepuasan dari tiap orang bersumber dari tumbuhnya
kesenangan dan kegembiraan dari orang-orang yang terlibat.
Sebaliknya jenis pola juga dapat berubah dari kemajuan dalam
suatu relasi menjadi penurunan dalam tingkat kepuasan
harmoninya. Dalam situasi penurunan atau kemunduran ini, ada
peningkatan dalam hal ketidaknyamanan, jarak, frustasi, dan rasa
ketidakpuasan terhadap orang-orang yang terlibat dalam relasi
tersebut. Untuk mempertahankan kekuatan atau suasana yang baik,
pola progresif harus lebih besar daripada pola regresif.
d. Self fultfilling dan self defeting profecise
Pola relasi dipengaruhi oleh harapan dari pihak-pihak yang
terlibat. Jika harapan kita terpenuhi dalam relasi tersebut maka kita
akan bersifat positif terhadap relasi tersebut, sebaliknya jika
harapan kita tidak terpenuhi maka kita akan bersifat negatif
terhadap relasi tersebut. Pola yang berkembang dilakukan dengan
ekspektasi kita sendiri. Self fultfilling profecise dalam pengertian
psikolologis diterjemahkan bebas sebagai ramalan yang
29
terkabulkan sendiri, ini adalah suatu gejala yang terjadi ketika
seseorang tanpa sadar membuat suatu prediksi menjadi kenyataan.
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa akan ada
empat pola relasi yang berkembang yaitu: suportif dan defensive,
kedua, dependen dan independen, ketiga, progresif dan regresif dan
keempat Self fultfillingdan self defeting profecise.
6. Pola-Pola Hubungan Pada Etnis Jawa
Etnis atau suku merupakan suatu kesatuan sosial yang dapat
dibedakan dari kesatuanyang lain berdasarkan akar dan identitas
kebudayaan, terutama bahasa. Dengan kata lain etnisadalah kelompok
manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas tadi sering kali
dikuatkanoleh kesatuan bahasa (Koentjaraningrat, 2007).
Etnis Jawa adalah kelompok etnis di Indonesia yang awalnya
hidup di pulau Jawa bagian tengah dan timur. Pusat kebudayaan Jawa
terletak di daerah Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta dan
Magelang. Daerah-daearah ini disebut “Kejawen” (Kodiran dikutip
Martaniah, 1998) kebudayaan ini berpusat pada kerajaan-kerajaan di
daerah tersebut. Keraton merupakan pusat kebudayaan yang menjadi
kiblat penduduk yang berada di bawah wilayah kekuasaannya.
Semula di Jawa digunakan empat bahasa yang berbeda. Bagian
tengah dan selatan Jawa Barat dengan bahasa Sunda. Jawa Timur,
dihuni oleh imigran-imigran dari Madura yang tetap mempertahankan
bahasa mereka. Dataran-dataran rendah pesisir utara Jawa Barat dan
Banten sampai Cirebon, cukup berbeda dengan bahasa Jawa dalam arti
30
yang sebenarnya. Bahasa Jawa dalam arti yang sebenarnya dijumpai di
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Orang Jawa adalah orang yang bahasa
ibunya adalah bahasa Jawa yang sebenarnya itu. Jadi orang Jawa
adalah penduduk asli bagian tengah dan timur pulau Jawa yang
berbahasa Jawa (Suseno, dalam Endraswara, 2003).
Menurut (Suseno, 1993) kelakuan sosial Jawa ditentukan oleh
prinsip-prinsip kerukunan dan hormat. Terus menerus individu berada
di bawah tekanan masyarakat untuk bertindak sesuai dengan kedua
prinsip tersebut. Kedua prinsip keselarasan itu menuntut agar
dorongan-dorongannya sendiri dikontrol. Impuls-impuls alamiah direm
dengan tajam. Begitu pula prinsip-prinsip keselarasan menuntut agar
masing-masing orang selalu menempatkan penilaian-penilaian dan
pertimbangan-pertimbangannya di bawah prasyarat persetujuan
masyarakat, sesuai dengan hubungan-hubungan hirarkis yang terdapat.
Tuntutan-tuntutan sosial dan tekanan-tekanan psikologis ini
ditunjang secara moral oleh etika sepi ing pamrih dan rame ing gawe.:
manusia diharapkan selalu mengembangkan sikap kerelaan untuk
melepaskan kepentingan-kepentingannya sendiri dan untuk memenuhi
kewajiban-kewajiban yang bergandengan dengan pangkat dan
kedudukan masyarakat. Ini yang akhirnya membentuk identitas atau
kepribadian wanita Jawa.
31
Handayani (2004) menjelaskan identitas diri Jawa sangat identik
dengan kultur Jawa. Seperti tenang, tidak suka konflik, mementingkan
keselerasan, menjunjungtinggi nilai keluarga, mampu mengerti dan
memahami orang lain, sopan, memiliki pengendalian diri yang baik
, tahan derita, dan dapat menerima segala situasi bahkan yang terpahit
sekalipun. Prinsip kerukunan dan harmoni yang dijunjung tinggi oleh
masyarakat Jawa membuat menantu perempuan yang memiliki latar
budaya jawa seringkali memilih untuk diam (nrimo) dan pasrah ketika
mengalami konflik dengan mertuanya sebagai bentuk patuh dan taat
pada suami.
Hal ini selaras dengan pendapat (Endraswara ,2016) yang
menyatakan bahwa mengalah itu sebuah pemikiran yang positif dalam
budaya jawa yang tidak ada tandingannya. Bahkan orang Jawa
memiliki ungkapan mengalah untuk menang. Ada juga yang
menyatakan ngalah sawetara, artinya mengalah untuk sementara.
Mengalah itu sebenarnya mulia. Biarpun dicibiri, bahkan dizalimi
sebaiknya orang Jawa ngalah. Sebab, jika kita orang bawahan (wong
cilik), mengalah itu penting dibanding melawan. Jika melawan bisa
jadi kalah pada akhirnya.
Sehingga ketika orang Jawa dihadapkan dengan konflik, mereka
cenderung menghadapinya dengan memilih untuk diam dan tidak
rewel (melawan) karena pinsip dasar dari kebanyakan orang Jawa
adalah “lebih baik hidup rukun daripada harus berulah dengan orang
lain”. Artinya orang Jawa begitu menjunjung tinggi sifat
32
keramahtamahan dan nilai kerukunan antar sesama sehingga begitu
menghindari konflik demi mencapai kedamaian dalam hidup (Suseno,
2001)
7. Relasi Interpersonal Menantu Perempuan dan Mertua Berlatar
Budaya Etnis Jawa
Pernikahan menyebabkan seseorang mengalami perubahan.
Perubahan tersebut meliputi perubahan peran, status dan perubahan
struktur keluarga. Karena menurut ensiklopedia umum keluarga terjadi
oleh sebab hubungan darah atau hubungan pernikahan. Setelah terjadi
pernikahan maka akan terjadi perubahan struktur keluarga. Struktur
keluarga terdapat dua macam, yakni keluarga inti dan keluarga batih.
Pada saat sebelum terjadi pernikahan hanya terdiri atas keluarga inti
namun setelah terjadi pernikahan maka terbentuk struktur keluarga
batih ( Widjaya, 1986).
Setelah terjadi pernikahan dan terbentuk struktur keluarga maka
secara otomatis terbentuk berbagai relasi dalam keluarga tersebut.
Adapun relasi yang terbentuk dalam sebuah keluarga yaitu relasi suami
istri, relasi antara orang tua dan anak, relasi antara saudara kandung,
selain itu akan terbentuk relasi menantu dengan mertua. Relasi yang
sangat intensif terjadi pada pasangan yang memilih tinggal bersama
mertua menantu. Relasi yang intensif akan membentuk
ketergantungan antara menantu dengan mertua. Relasi ketergantungan
ini terjadi karena keduanya melaksanakan segala sesuatunya secara
bersama-sama untuk mencapai suatu tujuan (Lestari, 2012).
33
Relasi menantu yang tinggal dan hidup bersama dengan mertua
juga tidak terlepas dari konflik. Bahkan permasalahan relasi antara
menantu dengan mertua dapat menjadi pemicu timbulnya konflik
antara suami dengan istri atau sebaliknya (Al-Qadhi, 2008).
Aryani dan Setiawan (2007) menyebutkan ada beberapa relasi
yang terjadi antara menantu dengan mertua, yaitu relasi penuh konflik,
relasi acuh tak acuh, ataupun relasi harmonis. Beberapa bentuk relasi
menantu dengan mertua yang sering terdengar dan menjadi bahan
pembicaraan menarik di media konsultasi adalah relasi penuh dengan
konflik.
Hasil penelitian Agusviani (2010) menyatakan bahawa menurut
sudut pandang menantu, mertua perempuan sering dimitoskan sebagai
orang yang selalu turut campur dalam kehidupan keluarga anak dan
menantunya, sehingga mengurangi kebebasan mereka dalam
membangun keluarga yang baru dibentuknya. Sedangkan dari sudut
pandang mertua perempuan, menantu perempuan dianggap belum
mampu dan berpengalaman dalam membina keluarganya. Dengan
banyaknya anggapan yang muncul di setiap pola pikir menantu dan
mertua menjadikan mereka selalu berbeda dalam berkomunikasi.
Perbedaan yang biasanya terdapat antara menantu dan mertua
terkadang menimbulkan suatu relasi yang tidak lancar diantara
menantu dan mertua. Komunikasi pada dasarnya merupakan hasil dari
situasi dan kondisi yang timbul dari dua orang yang berinteraksi,
karena itu pada komunikasi yang tidak lancar berarti ada
34
ketidaksesuaian situasi atau kondisi yang tercipta diantara individu
tersebut. Syarat komunikasi yang lancar adalah adanya kesamaan
sudut pandang atau suatu masalah latar belakang pendidikan latar
belakang sosial budaya, usia, minat dan bahasa. Selain itu ada perasaan
saling menghormati saling menghargai, kemauan untuk mendengarkan
dan kemauan untuk berbagi (Nanina, 2009).
Latar belakang budaya berpengaruh terhadap relasi interpersonal
seseorang. Handayani (2004) menjelaskan identitas diri Jawa sangat
identik dengan kultur Jawa. Seperti tenang, tidak suka konflik,
mementingkan keselerasan, menjunjungtinggi nilai keluarga, mampu
mengerti dan memahami orang lain, sopan, memiliki pengendalian diri
yang baik, tahan derita, dan dapat menerima segala situasi bahkan
yang terpahit sekalipun. Prinsip kerukunan dan harmoni yang di
junjung tinggi oleh masyarakat Jawa membuat menantu perempuan
yang memiliki latar budaya jawa seringkali memilih untuk diam
(nrimo) dan pasrah ketika mengalami konflik dengan mertuanya
sebagai bentuk patuh dan taat pada suami.
Pengaturan urusan masalah rumah tangga dan adannya
intervensi menjadi salah satu kendala para menantu untuk berelasi
dengan mertua. Akan tetapi dengan nilai kekeluargaan Jawa yang ada,
menantu harus mampu menahan diri atau memendam dan menerima
apa yang terjadi untuk menghindari konflik terbuka. Sementara
menurut (Karimah, 2015) orang yang memendam emosi/perasaannya
seorang diri tanpa diceritakan kepada oranglain akan membuat psikis
35
seseorang akan merasa lelah dan tidak dapat menampung emosi yang
terpendam, sehingga secara alamiah represi akan berubah menjadi
bentuk lain. Lalu apakah yang dilakukan agar relasi yang ada tetap
terjaga, tetap dalam komitmen, bersedia berkorban dan lain sebagainya
sesuai dengan nilai-nilai kekeluargaan kejawen yang melatarbelakangi
menantu. Berdasarkan paparan di atas, maka peneliti berminat untuk
melakukan penelitian guna mengetahui, bagaimana relasi menantu
dengan mertua yang berlatar budaya etnis Jawa?.
36
B. PERTANYAAN PENELITIAN
Dalam penelitian kualitatif pertanyaan penelitian merupakan hal
yang sangat penting. Pertanyaan peneliti tersebut disusun berdasarkan
tinjauan teoritik dan kenyataan yang ada untuk mengungkap pengalaman
individu yang diteliti. Pertanyaan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua
yaitu Central Question dan Sub Question (Creswell,2014).
1. Pertanyaan utama (central question)
Creswell (2014) mengungkapkan bahwa central question merupakan
pertanyaan yang utama atau pokok penelitian kualitatif. Adapun yang
menjadi pertanyaan utama dalam penelitian ini yaitu: “Bagaimana
relasi Interpersonal menantu perempuan dan mertua yang memiliki
latar budaya Jawa?”
2. Pertanyaan Khusus (Sub question)
Creswell (2014) mengungkapkan bahwa sub question adalah sub-sub
pertanyaan yang sesuai dengan pertanyaan utama dan mempersempit
fokus penelitian namun tetap membuka diri dengan kemungkinan-
kemungkinan lain. Adapun sub question dalam penelitian ini adalah:
1. Tahapan dalam menjalin relasi dengan mertua dari awal menjadi
menantu sampai saat ini?
2. Pola relasi seperti apa yang terjadi antara menantu perempuan
dengan ibu mertua?