Post on 05-Feb-2018
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Penelitian Sebelumnya
Untuk dapat memperoleh jawaban tentang perspektif sementara dari
penelitian ini, diperlukan adanya pengkajian terhadap beberapa penelitian terdahulu
yang dianggap relevan pada kajian penelitian ini, diantaranya sebagai berikut.
Penelitian oleh Wahyuni (2008) dan Garry (2011) yang membahas variabel
sikap konsumen sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi konsumen secara
positif dalam pengambilan keputusan pembelian atas suatu produk. Dalam penelitian
Wahyuni dan Garry tersebut terdapat kesamaan dengan penelitian yang peneliti
lakukan, yaitu mengukur bagaimana variabel sikap mempengaruhi keputusan
pembelian. Namun penelitian Wahyuni dan Garry juga menggunakan variabel
motivasi dan presepsi konsumen yang secara signifikan dalam mempengaruhi
keputusan pembelian, sedangkan peneliti mengukur pengaruh pengetahuan dan sikap
wisatawan terhadap keputusan wisatawan dalam pembelian.
Penelitian oleh Maisyarah dan Ginting (2013) membahas pengaruh variabel
sikap konsumen terhadap keputusan pembelian produk. Dalam penelitian tersebut
indikator atas sikap konsumen diukur dari afektif, kognitif, dan konatif konsumen.
Ketiga indikator variabel sikap tersebut berpengaruh secara positif dan signifikan
terhadap keputusan pembelian. Dalam penelitian yang peneliti lakukan memiliki
kesamaan variabel sikap dengan indikator serupa dengan penelitian yang dilakukan
oleh Maisyarah dan Ginting, namun peneliti memperjelas indikator afektif, kognitif
dan konatif dengan indikator kepercayaan (kognitif), kesukaan (afektif), dan tindakan
(konatif) wisatawan. Dalam penelitian yang peneliti lakukan, selain sikap wisatawan
yang akan mengukur pengaruh terhadap keputusan pembelian juga menggunakan
10
variabel pengetahuan dan pengalaman sebagai penunjang sikap terhadap keputusan
pembelian wisatawan, sedangkan Maisyarah dan Ginting cukup mengukur sikap
terhadap keputusan pembelian sebagai hasil yang akan diteliti.
Dalam penelitian Mashadi (2010) dan Yuliana, dkk (2014) mengukur
motivasi, presepsi, sikap dan pembelajaran konsumen terhadap keputusan pembelian
konsumen, dimana hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa variabel motivasi,
presepsi, sikap dan pembelajaran konsumen telah berpengaruh secara signifikan
terhadap keputusan konsumen dalam pembelian. Dalam penelitian ini, peneliti juga
menggunakan variabel sikap untuk mengukur keputusan pembelian dengan indikator
penilaian evaluatif konsumen terhadap produk, namun peneliti membagi indikator
penilaian evaluatif konsumen menjadi kepercayaan, kesukaan dan tindakan
wisatawan sebagai alat ukur pada hasil yang akan diteliti tersebut. Alat analisis data
yang peneliti gunakan sama dengan penelitian Mashadi dan Yuliana, dkk dengan
menggunakan regresi linier berganda, namun peneliti juga menggunakan MRA
(Moderated Regression Analysis) untuk menganalisis variabel pengalaman sebagai
pemoderasi dalam hubungan tersebut.
Penelitian Syafril (2008) memfokuskan untuk menganalisis pengaruh sikap
konsumen terhadap loyalitas merek. Persamaan penelitian ini dengan penelitian
Syafril adalah indikator pada variabel sikap konsumen yaitu kepercayaan, kesukaan
dan tindakan. Hasil penelitian dengan menggunakan analisis regresi linier berganda,
menunjukan indikator-indikator sikap tersebut mempengaruhi loyalitas merek secara
parsial dan simultan. Namun penelitian yang peneliti lakukan untuk mengetahui
pengaruh terhadap keputusan pembelian produk, sedangkan penelitian Syafril adalah
terhadap loyalitas merek.
Penelitian Nguyen dan Gizaw (2014) yang membahas faktor-faktor yang
mempengaruhi keputusan pembelian konsumen, bahwa ada 5 faktor yang
teridentifikasi mampu mempengaruhi keputusan pembelian, dan salah satu
diantaranya adalah sikap konsumen. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nguyen
dan Gizaw memiliki kesamaan dengan penelitian yang peneliti lakukan, yaitu
menggunakan keputusan pembelian konsumen sebagai variabel dependen. Namun
dalam penelitian yang peneliti lakukan, lebih memfokuskan penelitian pada
bagaimana sikap mempengaruhi keputusan pembelian, sedangkan dalam penelitian
Nguyen dan Gizaw terdapat 5 variabel penelitian (brand, brand related activities
(advertisement & word of mouth), preseption, attitude, dan purchase intention and
demographic factors) terhadap keputusan pembelian.
Penelitian yang dilakukan oleh Jaafar, dkk (2012) fokus menganalisis
faktor-faktor yang berpengaruh pada niat pembelian konsumen terhadap Private
Label Brand Food Product dengan menggunakan regresi berganda sebagai alat
analisis data. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa faktor sikap konsumen
merupakan faktor yang paling signifikan dalam mempengaruhi konsumen terhadap
niat pembelian. Namun dalam penelitian yang peneliti lakukan adalah untuk
mendapatkan keputusan pembelian produk sedangkan penelitian Jaafar, dkk untuk
mendapatkan niat pembelian konsumen.
Penelitian oleh Yunita (2014) yang menggunakan regresi linier berganda
sebagai alat analisis data dengan meneliti pengaruh pengetahuan produk,
pengetahuan perolehan, dan pengetahuan pemakaian terhadap keputusan pembelian.
Dalam penelitian ini menggunakan variabel bebas pengetahuan produk, pengetahuan
perolehan dan pengetahuan pemakaian yang merupakan indikator yang juga peneliti
gunakan untuk mengukur pengetahuan wisatawan terhadap keputusan pembelian.
Hasil penelitian Yunita menunjukan bahwa hanya pengetahuan produk dan
pengetahuan perolehan yang berpengaruh positif terhadap keputusan pembelian,
sedangkan pengetahuan pemakaian tidak terdapat beda pada hasil uji beda. Penelitian
Yunita tersebut hanya fokus menggunakan pengetahuan sebagai alat ukur terhadap
keputusan pembelian, sedangkan peneliti menggunakan tiga alat ukur yaitu
pengetahuan, sikap dan pengalaman konsumen.
Dalam penelitian Budiarti (2010) menyatakan bahwa pengaruh pengetahuan
konsumen terhadap keputusan pembelian laptop Acer di Universitas Brawijaya
menunjukan ada pengaruh positif dan signifikan pengetahuan terhadap keputusan
pembelian secara parsial dan simultan. Persamaan penelitian ini dan penelitian yang
dilakukan oleh Budiarti adalah mempergunakan pengetahuan konsumen sebagai alat
ukur terhadap keputusan pembelian, selain juga persamaan indikator pengetahuan
yang digunakan yaitu pengetahuan produk, pengetahuan pemakaian atau perolehan
dan pengetahuan pemakaian serta menggunakan regresi linier berganda sebagai alat
analisis data.
Penelitian oleh Riquelme (2001) telah melakukan percobaan untuk
mengidentifikasi pengaruh pengetahuan yang konsumen miliki terhadap keputusan
pembelian produk ponsel. Penelitian tersebut menggunakan pengetahuan terhadap
atribut produk sebagai alat ukur yang terdiri atas fitur telepon, biaya akses, biaya
sambungan, tarif panggilan dan panggilan gratis, ternyata berpengaruh terhadap
pengambilan keputusan pembelian. Persamaan penelitian Riquelme dengan penelitan
yang peneliti lakukan yaitu mempergunakan variabel pengetahuan konsumen
terhadap kepentingan produk dalam mempengaruhi keputusan konsumen dalam
pembelian, namun peneliti menilai pengetahuan konsumen dengan lebih rinci dan
membaginya menjadi pengetahuan produk, pengetahuan pembelian dan pengetahuan
pemakaian, sedangkan Riquelme membandingkan atribut produk dengan psikologis
mereka terhadap produk tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh Kim, et al. (2004) dan Kwek, et al. (2010)
melakukan penelitian untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi niat
pembelian secara online. Hasil dari penelitian tersebut menyatakan bahwa
pengalaman pembelian secara online sebelumya sebagai salah satu variabel
berpengaruh positif terhadap niat pembelian online. Persamaan penelitian peneliti
dengan penelitian yang dilakukan oleh Kim, et, al., dan Kwek, et al. adalah sama
menggunakan variabel pengalaman pembelian konsumen sebagai salah satu alat ukur
terhadap variabel dependen. Namun dalam penelitian ini, peneliti menggunakan
keputusan pembelian produk sebagai variabel dependen, sedangkan Kim, et al, dan
Kwek, et al. menggunakan niat pembelian secara online. Peneliti juga memfungsikan
variabel pengalaman sebagai variabel meoderator yang akan memperkuat hubungan
variabel independen (pengetahuan dan sikap) terhadap variabel dependen (keputusan
pembelian) sedangkan Kim, et al, dan Kwek, et al. murni hubungan variabel
independen terhadap variabel dependen.
Penelitian oleh Thomson (2013) dan Harysa (2013) bermaksud mengetahui
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan pembelian
konsumen dengan menggunakan regresi berganda sebagai alat analisis data.
Persamaan penelitian yang dilakukan peneliti dengan penelitian yang dilakukan oleh
Thomson dan Harysa yaitu hasil dari penelitian tersebut adalah pengambilan
keputusan pembelian konsumen dengan indikator kemantapan pada sebuah produk,
keinginan merasakan manfaat produk, memberikan rekomendasi kepada orang lain
dan melakukan pembelian ulang. Namun peneliti menggunakan pengetahuan, sikap
dan pengalaman wisatawan sebagai alat ukur pada hasil yang akan diteliti tersebut.
2.2. Tinjauan Konsep
2.2.1. Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan adalah sesuatu yang ada secara niscaya pada diri manusia yang
keberadaannya diawali dari kecenderungan psikis manusia sebagai bawaan kodrat
manusia yaitu dorongan ingin tahu yang bersumber dari kehendak atau kemauan,
Suhartono; 2005 (dalam Nurjanatun; 2012)
Pengetahuan menurut Ferry Efendi dan Makhfudli, 2009 (dalam Martiani;
2012), merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan
terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia yakni
indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga, hal ini dikarenakan dari
pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan
akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari pengetahuan.
Beberapa definisi atas pengetahuan bisa menyimpulkan bahwa pengetahuan
merupakan proses mengerti atau memahami tentang suatu objek melalui indra yang
dimilikinya.
Pengetahuan merupakan domain yang penting dalam membentuk tindakan
seseorang. Dewi dan Wawan; 2010 (dalam Martiani; 2012) menyatakan bahwa
Pengetahuan seseorang tentang suatu objek mengandung dua aspek, yaitu aspek
positif dan negatif. Kedua aspek ini yang akan menentukan sikap seseorang, semakin
banyak aspek positif dan objek yang diketahui, maka akan menimbulkan sikap makin
positif terhadap objek tertentu dan mengambil keputusan terhadap objek tersebut.
Rogers; 1974 (dalam Martiani; 2012) mengungkapkan bahwa sebelum
orang mengadopsi perilaku baru di dalam diri orang tersebut, terjadi proses berurutan,
diantaranya:
1. Awarness (kesadaran), yaitu individu tersebut menyadari dalam arti mengetahui
terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).
2. Interest (merasa tertarik), yaitu individu mulai tertarik terhadap stimulus atau
objek tertentu.
3. Evaluation (menimbang-nimbang), yaitu individu akan mempertimbangkan baik
buruknya tindakan terhadap stimulus tersebut bagi dirinya, hal ini berarti sikap
responden sudah baik lagi.
4. Trial, yaitu individu mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang
dikehendaki stimulus.
5. Adoption, yaitu individu telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,
kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.
Penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini
didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut
akan bersifat langgeng. Sebaliknya, apabila perilaku tersebut tidak didasari
pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama, Rogers; 1974 (dalam
Martiani; 2012).
Mowen dan Minor (2002) memberikan pernyataan bahwa pengetahuan
konsumen sebagai “the amount of experience with and information about particular
products or services a person has”, yang dapat diartikan bahwa pengetahuan
konsumen adalah semua informasi yang dimiliki konsumen mengenai berbagai
macam produk dan jasa, serta pengetahuan lainnya yang terkait dengan produk dan
jasa tersebut dan informasi yang berhubungan dengan fungsinya sebagai konsumen.
Pengetahuan yang dimiliki oleh konsumen sangat mempengaruhi sikap dan
prilaku konsumen dalam mengambil sebuah keputusan, karena semakin tinggi
tingkat pengetahuan tentang merek produk berarti produk tersebut berada dalam
benak konsumen sebelum merek lain, Durianto; 2001 (dalam Yunitasari dan
Yuniawan; 2006). Pengetahuan konsumen akan mempengaruhi keputusan pembelian
(Yunita; 2014). Ketika konsumen memiliki pengetahuan lebih banyak, maka
konsumen akan lebih baik dalam mengambil keputusan, konsumen akan lebih efisien
dan lebih tepat dalam mengolah informasi dan mampu me-recall informasi dengan
lebih baik. Sebagai contoh, seseorang yang memiliki pengetahuan yang baik tentang
buah aggur, dapat berfikir dalam beberapa dimensi, seperti warna anggur,
keasamannya, asalnya dan cenderung suka dengan buah anggur, sebaliknya orang
baru akan berfikir hanya dalam satu dimensi saja, katakanlah seberapa besar dia
menyukai rasa anggur. Demikian pula konsumen mungkin akan segera berpindah
tempat dimana sebelumnya berbelanja setelah mengetahui bahwa ada tempat lain
yang lebih nyaman dan harga yang kompetitif. Semua itu dampak dari pengetahuan
yang dimiliki oleh konsumen yang akan berpengaruh besar terhadap tindakannya
dalam pengambilan keputusan.
Menurut Sukmadinata (2007) mengemukakan bahwa pengetahuan yang
dimiliki seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut ini:
1) Faktor internal
Faktor internal meliputi jasmani dan rohani. Faktor jasmani adalah tubuh orang
itu sendiri, sedangkan faktor rohani adalah psikis, psikomotor, serta kondisi
afektif dan kognitifnya.
2) Faktor eksternal
a. Tingkat pendidikan
Pendidikan berpengaruh dalam memberi respon yang datang dari luar. Orang
berpendidikan tinggi akan memberi respon lebih rasional terhadap informasi
yang datang.
b. Papan media masa
Media masa, baik cetak maupun elektronik merupakan sumber informasi yang
dapat diterima oleh masyarakat, sehingga seseorang yang lebih sering mendengar
atau melihat media masa (tv, radio, dan majalah) akan memperoleh informasi
yang lebih banyak dibandingkan dengan orang yang tidak pernah mendapat
informasi dari media masa.
c. Ekonomi
Keluarga dengan status ekonomi tinggi lebih mudah mencukupi kebutuhan
primer maupun kebutuhan sekunder dibandingkan dengan keluarga status
ekonomi rendah. Hal ini akan mempengaruhi kebutuhan akan informasi yang
termasuk kebutuhan sekunder.
d. Hubungan sosial
Manusia adalah makhluk sosial, dimana dalam kehidupan saling berinteraksi
antara satu dengan yang lain. Individu yang berinteraksi secara kontinyu akan
lebih besar terpapar informasi. Faktor hubungan sosial juga mempengaruhi
kemampuan individu sebagai komunikan untuk menerima pesan menurut model
komunikasi.
e. Pengalaman
Pengalaman merupakan pengetahuan melalui kontak nyata dengan produk,
Mowen & Minor; 2002. Pengalaman umumnya merupakan sarana yang lebih
efektif untuk mendapatkan pengetahuan bagi konsumen, oleh karenanya orang
yang berpengalaman mudah menerima informasi dari lingkungan sekitar
sehingga lebih baik dalam mengambil keputusan. Pengetahuan yang dipengaruhi
oleh faktor tersebut di atas merupakan hal yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang. Pengaruh dari intelektual, afektif, kognitif dan
pengalaman manusia sebagai subjek akan mempengaruhi pengetahuannya
terhadap suatu objek yang terjadi melalui pengindraan.
Pengukuran terhadap pengetahuan biasanya dikaitkan dengan suatu jenis
produk atau jasa yang dikonsumsinya. Engel, Blackwell & Miniard; 2010 (dalam
Yunita; 2014) membagi pengetahuan konsumen menjadi (1) pengetahuan produk, (2)
pengetahuan pembelian dan (3) pengetahuan pemakaian. Ketiga ukuran pengetahuan
tersebut yang pada prinsipnya saling berhubungan erat akan peneliti gunakan sebagai
acuan untuk menjelaskan pengetahuan wisatawan atas produk wisata Spa.
1. Pengetahuan produk
Menurut Sumarwan; 2011 (dalam Yunita; 2014), pengetahuan produk adalah
kumpulan dari beberapa macam informasi mengenai produk. Menurut
Nitisusastro; 2012 (dalam Yunita; 2014), konsumen perlu mengetahui tentang
karakteristik suatu produk, apabila konsumen kurang mengetahui informasi
tentang karakteristik suatu produk bisa salah mengambil keputusan membeli.
Peter dan Olson; 1999 (dalam Yunita; 2014) menyebutkan bahwa konsumen
memiliki tingkat pengetahuan yang berbeda. Peter dan Olson membagi kedalam;
1) pengetahuan produk yaitu terdiri atas karateristik dan atribut produk yang
dalam penelitian ini adalah nama/variasi produk-produk Spa, fasilitas Spa dan
harga produk Spa, 2) pengetahuan manfaat produk yaitu manfaat yang akan
diberikan produk Spa.
2. Pengetahuan pembelian
Engel, Blackwell dan Miniard, 2010 (dalam Yunita; 2014), mendefinisikan
pengetahuan pembelian produk mencakupi bermacam potongan informasi yang
dimiliki konsumen yang berhubungan erat dengan pemerolehan produk. Dimensi
dasar dari pengetahuan pembelian melibatkan informasi berkenaan dengan
keputusan tentang dimana produk tersebut harus dibeli dan kapan pembelian
harus terjadi. Ketika konsumen memutuskan akan membeli suatu produk dan
kapan membelinya. Keputusan konsumen mengenai tempat pembelian produk
akan sangat ditentukan oleh pengetahuannya, misalkan pengetahuan lokasi Spa
dan kemudahan memperoleh informasi Spa yang terkait dalam penelitian ini.
3. Pengetahuan pemakaian
Suatu produk akan memberi manfaat kepada konsumen jika produk tersebut
telah digunakan atau dikonsumsi oleh konsumen. Agar produk tersebut bisa
memberi manfaat yang maksimal dan kepuasan yang tinggi kepada konsumen,
maka konsumen harus bisa menggunakan atau mengkonsumsi produk tersebut
dengan benar, Yunita (2014). Menurut Engel, Blackwell dan Miniard; 2010
(dalam Yunita; 2014), kecakupan pengetahuan pemakaian konsumen penting
karena beberapa alasan. Konsumen tentu saja lebih kecil kemungkinannya
membeli suatu produk bila mereka tidak memiliki informasi yang cukup
mengenai bagaimana cara menggunakan produk tersebut ataupun proses kerja
layanan tersebut. Upaya pemasaran yang dirancang untuk membidik konsumen
tentang bagaimana menggunakan produk pun dibutuhkan. Jika dalam penelitian
ini pengetahuan konsumen terhadap pemakaian dapat diukur dari pengetahuan
focus healing dan metode treatment Spa.
2.2.2. Sikap (Attitude)
Sikap merupakan predisposisi untuk melakukan atau tidak melakukan suatu
prilaku tertentu, sikap lebih mengarah pada suatu proses kesadaran yang sifatnya
individual. Sikap yang positif akan memicu sesorang untuk melakukan tindakan
(Nurjanatun; 2012).
Widowati (2011), Sikap (attitude) seseorang adalah predisposisi (keadaan
mudah terpengaruh) untuk memberikan tanggapan terhadap rasangan lingkungan
yang dapat memulai atau membimbing tingkah laku orang tersebut.
L L. Thurstone mendefinisikan sikap sebagai “afeksi atau perasaan untuk
atau terhadap sebuah rangsangan” (dalam Mowen & Minor; 2002).
Menurut Swasta dan Handoko (dalam Widowati; 2011) definisi dari sikap
adalah Suatu keadaan jiwa (mental) dan keadaan pikir (neural) yang dipersiapkan
untuk memberikan tanggapan terhadap suatu obyek yang di organisir melalui
pengalaman serta mempengaruhi secara langsung dan atau secara dinamis pada
prilaku.
Sikap adalah emosi dan perasaan seperti pernyataan sangat menyenangkan
atau tidak menyenangkan, sangat menarik atau tidak menarik, suka atau tidak suka.
Sikap dapat diibaratkan evaluasi keseluruhan tentang makanan yang dimakan
konsumen dan merefleksikan respon konsumen terhadap makanan yang dimakan
tersebut.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa sikap adalah kecenderungan individu
untuk memahami, merasakan, bereaksi dan berperilaku terhadap suatu produk
tertentu yang merupakan hasil dari interaksi komponen kognitif, afektif dan konatif.
Sikap sering mempengaruhi keputusan apakah konsumen ingin mengkonsumsi atau
tidak. Sikap positif terhadap produk tertentu akan memungkinkan konsumen
melakukan pembelian. Sebaliknya sikap negatif akan menghalangi konsumen untuk
membeli (Mowen dan Minor; 2002). Oleh karena itu pemasar perlu menciptakan
aktivitas-aktivitas yang akan menumbuhkan sikap yang positif terhadap produk.
Sikap dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif. Dalam bersikap
positif kecenderungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan objek
tertentu. Sedangkan dalam sikap negatif terdapat kecenderungan untuk menjauhi,
menghindari, membenci dan tidak menyukai objek tertentu.
Wee, et al., 1995 (dalam Hendro Trisdiarto; 2012) tegas menyatakan bahwa
Sikap sangat berperan penting terhadap keputusan pembelian wisatawan serta
bertahan terhadap produk tersebut (retention). Adanya sikap yang lebih positif dari
konsumen terhadap barang maka akan meningkatkan pembelian akan barang tersebut.
Sama halnya dengan semakin negatifnya sikap konsumen terhadap barang, maka
akan kecil kemungkinan bagi konsumen tersebut untuk melakukan pembelian.
Adapun Faktor-Faktor yang mempengaruhi sikap adalah sebagai berikut :
(dalam Nurjanatun; 2012)
1. Jenis Kelamin
Perbedaan perilaku pria dan wanita dapat dilihat dari cara berpakaian secara fisik
dan melakukan pekerjaan sehari-hari. Umumnya wanita lebih memperhatikan
penampilan daripada pria.
2. Lingkungan
Lingkungan merupakan seluruh kondisi disekitar manusia dan mempengaruhi
perkembangan dan sikap seseorang. Melalui interaksi timbal balik akan
mempengaruhi praktek seseorang dalam melakukan hygiene sanitasi
disekitarnya.
3. Pekerjaan
Pekerjaan merupakan kegiatan yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Makin cocok jenis pekerjaannya yang diemban, makin tinggi pula tingkat
kepuasan yang diperoleh. Orang yang bekerja disektor formal memiliki akses
yang lebih baik terhadap berbagai informasi termasuk kesehatan.
4. Kebudayaan
Pembentukan sikap tergantung pada kebudayaan tempat individu tersebut
dibesarkan, Contoh pada sikap orang kota dan orang desa terhadap kebebasan
dalam pergaulan.
5. Faktor emosional
Suatu sikap yang dilandasi oleh emosi yang fungsinya sebagai semacam
penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Dapat
bersifat sementara ataupun menetap. Contoh : Prasangka (sikap tidak toleran).
Dalam mempengaruhi keputusan konsumen terhadap pembelian produk,
dalam Theory of Planned Behaviour (TPB) ditentukan oleh niat pembelian sebagai
cikal bakal terbentuknya keputusan pembelian ataupun loyalitas, dimana hal tersebut
ditentukan oleh sikap konsumen, Fishbein and Ajzen, 1975 (dalam Hendro
Trisdiarto; 2012).
Dalam Zulkarnain, 2006, pendekatan pengukuran sikap seringkali bertolak
dari tinjauan mengenai dua komponen pertama yaitu kognitif yang ditujukan untuk
keyakinan, kepercayaan atau pengetahuan konsumen terhadap atribut – atribut
tertentu serta komponen afektif yang diketahui melalui reaksi emosional dan
pernyataan tentang perasaan konsumen (Sugiyono;1999). Sedangkan menurut
Simamora, 2002 (dalam Wahyuni; 2008 bahwa pengukuran sikap erat berkaitan
dengan tiga komponen yaitu kognitif, afektif dan konatif. Mowen dan Minor (2002)
meyakinkan kembali bahwa komponen kognitif, afektif dan tindakan/konatif secara
bersama-sama membentuk hirarki pada pembelian. Demikian dalam penelitian ini
juga mengaplikasikan tiga komponen tersebut untuk mengukur sikap wisatawan
terhadap produk wisata Spa, dengan penjelasan sebagai berikut.
1. Cognitive component: kepercayaan konsumen dan presepsi tentang obyek. Obyek
yang dimaksud adalah atribut produk, semakin positif kepercayaan terhadap
suatu merek atau produk, maka keseluruhan komponen kognitif akan mendukung
sikap secara keseluruhan. Mowen dan Minor (2002) menekankan bahwa kognitif
sebagai bentuk atas kepercayaan akan terbentuk melalui pengetahuan, karena
akan melalui proses mengetahui atribut dan manfaat yang mana mempengaruhi
kepercayaan konsumen. Dalam penelitian ini untuk mengukur komponen kognitif
dengan menggunakan variabel kepercayaan wisatawan terhadap atribut dan
manfaat produk seperti produk Spa memberikan manfaat terhadap relaksasi tubuh,
produk Spa di Ubud berbeda dengan produk di tempat lainnya.
2. Affective component : emosional yang merefleksikan perasaan seseorang
terhadap suatu obyek, apakah obyek tersebut diinginkan atau disukai. Afektif
juga mencerminkan motivasi yang mana seseorang akan mengalami dorongan
emosi & fisiologis. Dalam pembelian impulsif (impulse purchase), perasaan
(afektif) yang kuat akan diikuti dengan tindakan pembelian. Komponen afektif
yang akan digunakan sebagai alat ukur dalam penelitian ini adalah variabel
kesukaan yang dapat diukur dengan indikator kesukaan wisatawan terhadap
produk Spa.
3. Konatif component: merefleksikan kecenderungan dan perilaku aktual terhadap
suatu obyek, yang mana komponen ini menunjukkan kecenderungan melakukan
suatu tindakan. Dalam Mowen & Minor (2002), tindakan pada komponen konatif
adalah keinginan berperilaku (behavioral intention), maka variabel tindakan
wisatawan dalam penelitian ini bisa diukur dengan indikator atas produk Spa
yang diinginkan atau dipilih wisatawan.
2.2.3. Keputusan Pembelian
Keputusan dalam arti yang umum adalah "a decision is the selection of an
option from two or more alternative choices" yaitu suatu keputusan seseorang
dimana dia memilih salah satu dari beberapa alternatif pilihan yang ada.
Kotler dan Keller (2009), keputusan pembelian adalah keputusan konsumen
mengenai preferensi atas merek-merek yang ada di dalam kumpulan pilihan.
Menurut Setiadi, 2003 (dalam Yunita; 2014) dalam bukunya “Perilaku
Konsumen Konsep dan Implikasi” bahwa pengambilan keputusan konsumen
(Consumer Decision Making) adalah proses pengintegrasian yang
mengkombinasikan pengetahuan dan sikap untuk mengevaluasi dua atau lebih
perilaku alternatif dan memilih salah satu diantaranya”. Keputusan pembelian
menunjuk arti kesimpulan terbaik konsumen untuk melakukan pembelian. Konsumen
melakukan kegiatan-kegiatan dalam mencapai kesimpulanya. Kualitas setiap
kegiatan membentuk totalitas kesimpulan terbaik sesuai dengan kebutuhan dan
keinginannya, Setiadi, 2003 (Garry; 2011).
Berdasarkan definisi di atas disimpulkan bahwa keputusan pembelian adalah
tindakan yang dilakukan konsumen untuk melakukan pembelian sebuah produk.
Oleh karena itu, pengambilan keputusan pembelian konsumen merupakan suatu
proses pemilihan salah satu dari beberapa alternatif penyelesaian masalah dengan
tindak lanjut yang nyata. Setelah itu konsumen dapat melakukan evaluasi pilihan dan
kemudian dapat menentukan sikap yang akan diambil selanjutnya.
Keputusan pembelian konsumen terhadap suatu produk pada dasarnya erat
kaitannya dengan perilaku konsumen. Perilaku konsumen merupakan unsur penting
dalam kegiatan pemasaran suatu produk yang perlu diketahui oleh perusahaan,
karena perusahaan pada dasarnya tidak mengetahui mengenai apa yang ada dalam
pikiran seorang konsumen pada waktu sebelum, sedang, dan setelah melakukan
pembelian produk tersebut. Adanya kecenderungan pengaruh produk, pelayanan, dan
lokasi terhadap keputusan pembelian yang dilakukan oleh konsumen tersebut,
mengisyaratkan bahwa manajemen perusahaan perlu mempertimbangkan aspek
perilaku konsumen, terutama proses pengambilan keputusan pembeliannya.
Pada hierarki pengambilan keputusan pembelian yang dikemukakan oleh
Mowen dan Minor, 2002, bahwa ada yang disebut dengan hierarki dengan
keterlibatan tinggi (high-involvement hierarchy) sebagai salah satu dari 4 hierarki
pengaruh pengambilan keputusan ((2) hierarki keterlibatan rendah, (3) hierarki
eksperiensial/impulsif, (4) hierarki pengaruh prilaku), menunjukan bahwa
pengetahuan dan sikap ada pada hierarki dengan keterlibatan tinggi, karena
konsumen cenderung terlibat dalam pencarian informasi yang ekstensif tentang
alternatif produk yang selanjutnya membentuk kepercayaan besar terhadap objek,
kemudian mengembangkan afeksi (perasaan) terhadap objek, dan akhirnya muncul
keinginan berprilaku relatif terhadap objek tersebut yaitu pembelian produk atau jasa.
Singkatnya, apabila konsumen sangat terlibat dalam keputusan pembelian tertentu,
mereka melakukan aktivitas penyelesaian masalah yang luas dan bergeser melalui
hierarki proses pembelajaran (pengetahuan) – formasi sikap – dan kemudian Prilaku.
Saling mendukung dengan pernyataan di atas, dalam mempengaruhi
keputusan pembelian, Swasta dkk; 2000 (dalam Harysa; 2013) merumuskan lima
tahapan yang akan dilalui meliputi; 1) pengenalan masalah, 2) pencarian informasi,
3) evaluasi terhadap alternatif pembelian, 4) keputusan pembelian dan 5) perilaku
setelah pembelian yang digambarkan dalam tahapan sebagai berikut :
1. Pengenalan kebutuhan
Pengenalan kebutuhan terjadi ketika konsumen menghadapi ketidakseimbangan
antara keadaan sebenarnya dan keinginan. Pada tahapan ini juga muncul motivasi
yang merupakan bentuk dari afektif atau emosional serta psikologi atau dorongan,
karena ketika kebutuhan muncul akan menghasilkan dorongan atau motivasi, dan
ini akan mendorong konsumen untuk memahami lebih besar atas produk atau
jasa yang diinginkannya.
2. Pencarian informasi
Setelah mengenali kebutuhan atau keinginan, konsumen mencari informasi
tentang produk yang sesuai dengan kebutuhannya. Pada tahapan ini setelah
mengetahui produk, maka konsumen mengenal memahami produk, dan ini
merupakan wujud atas pengetahuan konsumen terhadap produk.
3. Evaluasi alternatif
Konsumen akan menggunakan informasi yang tersimpan di dalam ingatan,
ditambah dengan informasi yang diperoleh dari luar untuk membangun suatu
kriteria tertentu. Kotler dan Keller (2009) menekankan bahwa pada tahap
evaluasi alternatif inilah terdapat minat membeli awal. Tahapan ini akan
menimbang-nimbang baik buruknya produk terhadap dirinya. Pada tahapan ini
sikap berperan dalam mempengaruhi hasil akhir. Tahapan ini menimbang
kognitif atau kepercayaan bahwa produk memberikan manfaat terhadap dirinya,
menimbang aftektif atau emosional seperti suka atau tidak suka, tertarik atau
tidak tertarik, serta menghasilkan tindakan terhadap produk, yaitu tindakan
mencoba atau tidak yang merupakan unsur konatif.
4. Pembelian
Pembelian adalah tahapan setelah terjadinya evaluasi atas sejumlah
alternatif-alternatif sebelumnya. Jika positif maka konsumen akan memutuskan
apakah produk akan dibeli atau diputuskan untuk tidak dibeli sama sekali. Dalam
tahap ini terjadi pengujian atas kemantapan terhadap suatu produk atau jasa
stimulus.
5. Perilaku setelah pembelian
Tahapan yang disebut sebagai “hasil”. Ketika membeli suatu produk, konsumen
mengharapkan dampak tertentu dari pembelian tersebut. Bagaimana
harapan-harapan itu terpenuhi, menentukan apakah konsumen puas atau tidak
puas dengan pembelian tersebut, seperti muncul prilaku untuk memberitahukan
kepada orang lain, muncul keinginan pembelian ulang atas produk atau jasa.
Dalam penelitian Thomson (2013) dan Harysa (2013) menggunakan variabel
keputusan pembelian yang difokuskan pada tahapan pembelian dan pasca pembelian
sesuai dengan proses pengambilan keputusan pembelian yang dipaparkan oleh
Pengenalan masalah
Perilaku pasca pembelian
Pencarian informasi
Evaluasi alternatif
Keputusan Pembelian
Gambar 2.1
Model Proses Keputusan Pembelian, Swasta dkk; 2000 (dalam Harysa; 2013)
Swasta, dkk di atas, yaitu dengan menggunakan indikator diantaranya; (1)
kemantapan pada pemilihan sebuah produk, (2) keinginan merasakan manfaat
produk, (3) memberikan rekomendasi kepada orang lain serta (4) ketertarikan untuk
membeli ulang. Dalam penelitian ini juga menggunakan 4 indikator tersebut untuk
mengukur variabel keputusan pembelian produk wisata wellness di kawasan wisata
Ubud yaitu (1) kemantapan pada pemilihan produk Spa, (2) keinginan merasakan
manfaat produk Spa, (3) memberikan rekomendasi kepada orang lain serta (4)
ketertarikan untuk membeli ulang produk Spa.
2.2.4. Pengalaman (Experience)
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005, mendefinisikan pengalaman sebagai
sesuatu yang pernah dialami (dijalani, dirasai, ditanggung). Pengalaman dapat
diartikan juga sebagai memori episodic, yaitu memori yang menerima dan
menyimpan peristiwa yang terjadi atau dialami individu pada waktu dan tempat
tertentu, yang berfungsi sebagai referensi otobiografi (Daehler & Bukatko; 1985
dalam Syah; 2003).
Kotler dan Keller (2009), mendefinisikan bahwa pengalaman merupakan
hal-hal yang bersifat pribadi dan berlangsung di benak konsumen secara individual
dan bersifat tidak terlupakan. Sedangkan menurut Meyer and Schwager, 2007 (dalam
Prastyaningsih, dkk; 2014), pengalaman adalah tanggapan pelanggan secara internal
dan subjektif sebagai akibat dari interaksi secara langsung maupun tidak langsung
dengan perusahaan.
Menurut Schmitt, 1999 (Septiadi; 2013), pengalaman merupakan suatu
peristiwa yang terjadi karena respon terhadap beberapa rangsangan. Pengalaman
terjadi dari observasi langsung atau partisipasi atas suatu kejadian dalam bentuk
nyata maupun virtual. Pengalaman konsumen dibentuk oleh harapan konsumen yang
merefleksikan pengalaman sebelumnya, Meyer and Schwager, 2007 (dalam
Prastyaningsih, dkk; 2014). Sekarang ini, hampir semua perusahaan mulai bergerak
ke tingkatan baru penciptaan nilai bagi pelanggannya. Untuk mendiferensiasikan
tawarannya, perusahaan membangun dan memberikan pengalaman secara total.
Perusahaan yang memasarkan pengalaman menyadari bahwa yang benar-benar dibeli
oleh konsumen lebih dari sekedar produk dan jasa. Pelanggan membeli apa yang
akan dilakukan oleh tawaran tersebut terhadapnya, yaitu pengalaman yang akan
diperoleh karena membeli dan mengkonsumsi produk dan jasa tersebut (Kotler dan
Keller; 2009)
Mowen dan Minor (2002) menyatakan bahwa salah satu bentuk pengalaman
yaitu pengalaman konsumen dalam hal konsumsi. Mowen dan Minor sendiri
mengartikan bahwa pengalaman konsumsi dapat didefinisikan sebagai kesadaran dan
perasaan yang dialami konsumen selama pemakaian produk atau jasa.
Pengalaman konsumen akan mempengaruhi prilaku konsumen berikutnya
dalam pembelian (Kwek, et al.; 2010). Konsumen yang sudah merasakan produk dari
pembelian sebelumnya akan lebih mudah di dalam pengambilan keputusan, demikian
sebaliknya konsumen yang belum pernah mengkonsumsi produk yang akan di beli
akan cenderung berhati-hati dan akan melalui banyak proses dalam pengambilan
keputusan.
Menurut Sukmadinata (2007) pengalaman merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang. Disebutkan bahwa
pengalaman merupakan pengetahuan melalui kontak nyata dengan produk oleh
karenanya orang yang berpengalaman mudah menerima informasi dari lingkungan
sekitar, sehingga akan lebih baik dalam mengambil keputusan. Ketika konsumen
telah memiliki pengalaman konsumsi atas suatu produk, itu akan mempengaruhi
tingkat pengetahuan atas produk tersebut, karena semakin banyak pengalaman
seseorang terhadap produk maka pengetahuan orang tersebut akan lebih baik tentang
produk (Dwiastuti, 2012). Misalnya orang yang sudah pernah membeli produk facial
treatment pada Salon untuk kedua kalinya atau lebih, maka orang tersebut
memahami produk facial di Salon tersebut, karena ada proses mempelajari yang
dilakukan oleh konsumen pada brosur, majalah dan ketika berlangsungnya treatment
ada proses penyampaian informasi produk yang dilakukan oleh terapis, sehingga ada
proses belajar secara terus menerus yang dilakukan setiap melakukan pembelian.
Mowen dan Minor (2002) juga menyebutkan, pengalaman berpengaruh
terhadap pembentukan sikap konsumen. Pengalaman yang positif dan cenderung
puas akan berdampak pada sikap yang positif dan mengarah pada pembelian ulang
dan begitu juga ketika pengalaman konsumen bersifat negatif setelah mengkonsumsi
produk, maka akan berdampak negatif pada sikap. Apakah nantinya mengkonsumsi
lagi atau mengurangi pengkonsumsian atau bahkan tidak akan memakai produk itu
lagi, semua akan terekam dalam ingatan konsumen (Dwiastuti, dkk; 2012). Sejalan
dengan penelitian ini, maka pengalaman wisatawan akan senantiasa memperkuat
pengetahuan dan sikap wisatawan terhadap keputusan pembelian produk wisata
wellness di Ubud.
Bernnet, et al., 2004 telah melakukan penelitian dan menunjukan bahwa
fungsi dari pengalaman sebagai variabel yang memoderasi hubungan keterlibatan
dan kepuasan terhadap loyalitas merek, demikian dengan penelitian yang dilakukan
oleh Paterson, et al., 1995 yang juga menemukan bahwa variabel pengalaman
sebagai variabel moderasi terhadap kepuasan pelanggan (customer). Dengan
demikian didasari oleh penemuan pada penelitian-penelitian tersebut dengan
menjadikan pengalaman sebagai variabel moderasi yang akan memperkuat ataupun
memperlemah hubungan antara independen pada dependen. Sehingga dalam
penelitian ini pula memfungsikan pengalaman sebagai variabel pemoderasi yang
diperkirakan akan menjadi variabel yang akan memperkuat hubungan pengetahuan
dan sikap terhadap keputusan pembelian produk wisata Spa di kawasan wisata Ubud.
Dalam Penelitian Kim, et al. (2004), pengukuran terhadap pengalaman
konsumen atas pembelian atau pemakaian suatu produk atau jasa melalui indikator
rasa puas dan rasa senang yang diperoleh atas pembelian yang dilakukan sebelumnya.
Sedangkan Kwek, et al. (2010) mengukur pengalaman melalui indikator frekuensi
pembelian dan kemampuan mengenal atas produk. Mengacu pada indikator yang
digunakan oleh Kim, et al. (2004) dan Kwek, et al. (2010), maka dalam penelitian ini,
pengalaman wisatawan akan diukur dengan menggunakan indikator dari kombinasi
kedua konsep tersebut yaitu (1) frekuensi pembelian, (2) mengenal produk atas
pengalaman pembelian, (3) kepuasan atas pengalaman pembelian dan (4) rasa senang
atas pengalaman pembelian
2.2.5. Wisata Wellness
Müller dan Kaufmann, 2000 (Holzner; 2010) mendefinisikan wellness dengan
menggabungkan pendekatan yang berbeda dari North-Amerika dan Eropa, bahwa
Wellness berkaitan dengan kesehatan yang menampilkan keharmonisan tubuh,
pikiran dan jiwa dengan tanggung jawab diri, perawatan kebugaran fisik atau
kecantikan, kesehatan gizi atau diet, relaksasi atau meditasi, aktivitas mental atau
pendidikan dan kepekaan lingkungan serta kontak sosial sebagai elemen dasar.
Demikian pula wisata wellness juga digambarkan oleh Müller dan Kaufmann,
2000 (Holzner; 2010), sebagai bentuk hubungan dan fenomena yang dihasilkan dari
sebuah perjalanan dan tempat tinggal masyarakat yang tujuan utamanya adalah untuk
mempertahankan atau meningkatkan kesehatan mereka. Mereka tinggal di sebuah
hotel khusus yang menyediakan perawatan individu secara profesional. Mereka
membutuhkan paket layanan yang komprehensif yang terdiri kebugaran atau
kecantikan perawatan fisik, nutrisi (diet), relaksasi atau meditasi dan pendidikan. Ini
harus menunjukkan bahwa alasan untuk bepergian bukan penyembuhan penyakit.
Tujuan utama adalah perjalanan dimana wisatawan dapat beristirahat dan
memulihkan pikiran (refresh), Berg, 2008 (dalam Holzner; 2010).
Dalam Global Spa Summit, 2010 menerangkan bahwa wellness tourism
merupakan salah satu bagian sektor dari industri wellness. Wellness tourism telah
menjadi trend pariwisata kekinian serta telah berkontribusi dalam Estimate Global
Market Size pada Wellness Industry Cluster sebesar $ 106.00 (5,4%) (dalam Spas
and the Global Wellness Market report, 2010). Romulo, et al.; 2007 (dalam
Pramono; 2013) mendefinisikan Pariwisata Wellness mengacu pada kegiatan
perjalanan seseorang ke dan tinggal di tempat-tempat di luar lingkungan biasa
mereka untuk tidak lebih dari satu tahun berturut-turut untuk tujuan health and
Wellness dan tidak berhubungan dengan suatu pekerjaan, dan dibayar dari tempat
yang dikunjungi. Juga hal ini berasosiasi dengan perjalanan ke health spa atau
destinasi-destinasi resort di mana tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan
kebugaran fisik melalui latihan fisik dan terapi, kontrol diet dan pelayanan medis
yang relevan dengan pemeliharaan fisik.
Wellness tourism didefinisikan sebagai sebuah produk berupa jasa pariwisata
yang dapat dikembangkan atau dikreasikan ragamnya sesuai dengan kondisi sebuah
destinasi baik dari sisi sosial maupun lingkungan pada sebuah destinasi atau kawasan
(Mueller dan Kaufmann; 2007)
Menurut Kaspar (dalam Mueller dan Kaufmann; 2007), berpendapat dari
aspek ekonomi dan bisnis bahwa Wellness tourism dan Heath tourism dikategorikan
menjadi illness prevention tourism dan spa atau convalescence tourism. Health and
wellness tourism termasuk pada illness prevention tourism yang di dalamnya
terkategori menjadi jasa kesehatan dan jasa kebugaran.
Kebutuhan akan produk health and wellness akan terus berkembang dan
menjadi beragam tergantung pada faktor sosial dan kepekaan lingkungan
sebagaimana juga dalam kutipan pada CTC, 2004 (dalam Mueller dan Kaufmann;
2007)
“Current trends towards “health and wellness” in Western society
are actively promoting values that emphasize a proactive approach where
individuals improve and maintain personal well being through a variety of
services and activities. In the words of a recent Canadian Tourism
Commission (CTC) advertising campaign, these activities “soothe the soul
and invigorate the mind.”
Menurut Smith dan Puczk ó, 2009 (dalam Raiutama; 2011), health and
wellness tourism dapat dikembangkan berdasarkan bahan-bahan atau aset yang telah
tersedia pada suatu destinasi (Existing assets for health and wellness tourism) dan atau
diadakan berdasarkan kebutuhan atau permintaan (Use of existing assets).
1. Existing assets for health and wellness tourism, diantaranya;
a. natural asset,
b. indigenous healing tradition,
c. medical service,
d. nature,
e. spiritual tradition,
2. sedangkan Use of existing assets diantaranya ;
a. leisure and recreation,
b. medical or therapeutis hotel/clinic spa,
c. medical or surgical clinic or hospital,
d. medical wellness centre or Spa,
e. holistic retreat,
f. hotel dan resort Spa.
Sheldon dan Park, 2008 (dalam Yildirim; 2010) menambakan bahwa sebuah
destinasi dapat mengembangkan berbagai jenis wisata wellness dan Spa dengan
modal yang harus dimilikinya, diantaranya
1. Complementary Treatments
Perawatan (treatment) ini meliputi modal penyembuhan secara alternatif, seperti
akupunktur, chiropractic, kinesiology, naturopati, obat tradisional Cina,
Ayurveda, dan penyembuhan intuitif.
2. Indigenous Cultures
Banyak budaya asli, nilai spiritual dan kemampuan penyembuhan dan
pengalaman yang dimiliki dan bisa dibuatkan pondok-pondok sauna,
penyembuhan oleh dukun, upacara, makanan tradisional, tanamanan asli dan
alam yang terkait dengan budaya asli, pengetahuan atas metode penyembuhan,
praktisi metode tersebut dan alam disekitarnya yang tepat.
3. Healing Accommodations
Beberapa akomodasi yang lebih kondusif untuk Spa dari pada akomodasi lainnya.
healing accomodation menawarkan pilihan makanan sehat, lingkungan ekologis
dan penyembuhan secara alami dari lingkungan dan suasana akomodasi.
4. Lifestyle modification
Lifestyle modification berfokus pada mengubah kebiasaan dan prilaku untuk
hidup lebih sehat dan kebiasaan itu dilanjutkan setelah wisatawan pulang ke
daerah asal mereka. Diperlukan life coach, praktisi kesehatan, sistem diagnotik,
penasihat atau ahli gizi memberikan informasi dan meyakinkan pada wisatawan.
5. Nature Experience
Jenis Spa and wellness ini mempromosikan kesadaran, relaksasi dan kesenangan
melalui pertemuan bermakna dengan lingkungan alam. Contohnya mendaki di
alam, berenang dengan lumba-lumba, menunggang kuda, kunjungan ke kebun
raya, meditasi alam. Hal ini juga mencangkup penggunaan bahan-bahan alami
dan organik seperti tumbuh-tumbuhan, rumput laut, lumpur, dan bunga, sumber
daya yang dijadikan sebuah destinasi perlu untuk menyertakan situs alam yang
unik dari destinasi akan efektif untuk meningkatkan daya tariknya.
Saat ini perkembangan untuk health and wellness (medical service, leisure
and recreation, Spas, medical surgical clinic, medical wellness centres or Spa)
tourism telah menjadi trend pasar pada tingkat global dan regional yang menyebar
hampir merata di beberapa kawasan seperti Eropa, Amerika, Asia, dan Australia serta
Selandia Baru (Raiutama; 2011). Peningkatan kesejahteraan hidup manusia telah
mendorong terciptanya gaya hidup “lifestyle” moderen, kecenderungan ingin tampil
beda dengan tubuh yang senantiasa segar dan sehat, dan health and wellness tourism
berkembang seiring dengan adanya permintaan diimbangi beragam jenis produknya,
dengan mengkategorikannya dalam beberapa kelompok yakni; (1) mind mental
activity or education, (2) health nutrion or diet, (3) body physical fitness or beauty
care, dan (4) relaxation rest or Spa, namun Menurut Smith & Puczkó, 2009, (dalam
Holzner; 2010) Spa yang dianggap bentuk paling dikenal dari pariwisata wellness,
oleh karena itu pada Spa satu sisi dianggap sebagai bagian dari wisata wellness
(wellness tourism), Spa di sisi lain dipandang sebagai komponen dari industri
wellness.
Dalam industri kepariwisataan, Spa akan menjadi trend pariwisata
kedepannya (Holzner; 2010). Industri pariwisata mulai memasukan produk Spa
sebagai bagian dari penawaran dalam paket wisata untuk menarik minat wisatawan,
sehingga muncul istilah „Spa Tourism‟(Yildrirm; 2010). Seiring dengan
perkembangan Spa di seluruh dunia, telah menjadikan Spa sebagai sebuah bagian
dari aktivitas wisata secara holistik pada sebuah destinasi. Destinasi wisata
menggabungkan wisata dengan kebugaran dan kesehatan yang juga sebagai faktor
penarik bagi seseorang untuk melakukan perjalanan wisata dengan alasan utama
untuk bersantai dan menghilangkan stress. Terbukti faktor ini menyebabkan lonjakan
pariwisata Spa sebagai perjalanan dan pariwisata yang difokuskan pada kegiatan
preventif dan kesehatan di bawah pengawasan profesional dalam waktu satu luang
(Gúčik; 2006 dalam Talarovičová; 2010).
ISPA (International Spa Association), 2006 (dalam Yildirim; 2010),
mendefinisikan Spa tourism sebagai tempat yang khusus digunakan untuk
meningkatkan keseluruhan kesejahteraan melalui berbagai layanan profesional yang
mendorong pembaharuan pikiran, tubuh dan jiwa. Ditambahkan oleh Illing, 2009
(dalam Holzner; 2010), bahwa Spa tidak hanya menekankan pada penggunaan air
namun juga termasuk di dalamnya fasilitas pelayanan Spa lainnya. Maka dari itu
secara komprehensif bahwa Spa diartikan sebagai tempat dimana wisatawan dapat
memenuhi kebutuhan kesehatan, kesejahteraan dan tempat relaksasi dalam berbagai
bentuk pada sebuah destinasi.
Menurut Smith & Puczkó 2009 (dalam Holzner; 2010), ISPA (International
Spa Association) telah mengkategorikan unsur-unsur utama dari Spa diantaranya; 1)
Relax (misalnya manajemen stres), 2) Reflect (misalnya meditasi), 3) Revitalisasi
(misalnya energi dan peremajaan) dan 4) Rejoice (misalnya kebahagiaan dan
hiburan). Mengacu pada unsur-unsur tersebut, Spa menawarkan berbagai perawatan
(treatment), kegiatan dan layanan. Oleh karenannya adapun klasifikasi jenis Spa
dapat mengkategorikan penawaran Spa sebagai bentuk atas produk wellness tourism
dengan kategori sebagai berikut.
1. Day Spa, Spa dengan pelayanan terorganisir secara profesional yang ditawarkan
dalam 1 hari, dengan pelayanan dari penataan rambut hingga perawatan kaki
(misalnya kecantikan, kebugaran, program Wellness) tanpa memberikan
akomodasi.
2. Resort Hotel Spa, Spa yang menjadi satu lokasi dengan sebuah resort atau hotel,
dengan pelayanan Spa yang terorganisir secara professional dengan pilihan
pelayanan bermacam-macam selain Spa, juga makanan sehat yang tersedia, bisa
dilakukan dalam sehari maupun beberapa hari.
3. Medi Spa, Spa secara individual, berkelompok dan secara institusi dimana
menggabungkan pengobatan medis dan Spa tradisional dibawah pengawasan
dokter.
4. Holistic Spa, Spa yang menawarkan pengobatan alternatif seperti akupunktur,
reiki, pijat refleksi, yoga serta lainnya.
Daniela Matušíková, 2010 juga memberikan batasan pada layanan Spa dari
berbagai jenis layanan yang ada kedalam 5 layanan Spa yang dianggap paling
dominan dan dilakukan adalah sebagai berikut;
1. Day Spa, menyediakan berbagai layanan Spa yang tidak lebih dari 1 hari dan
tanpa ada akomodasi.
2. Hotel and Resort Spa, menyediakan fasilitas Spa dengan tambahan komponen
akomodasi hotel dan resort dan pilihan menu makanan, yang bisa dilakukan
dalam beberapa hari.
3. Destination Spa, Spa yang berfokus pada peningkatan gaya hidup dan perbaikan
kesehatan dan kebugaran fisik, program edukasi dan fasilitas penginapan yang
terletak pada daerah terpencil selama beberapa hari.
4. Natural Bathing Spa, bisnis Spa yang beroperasi pada lokasi yang tradisional dan
natural dengan menawarkan pemandian secara alami dengan menggunakan
kolam air atau lumpur dengan berbagai layanan Spa dan biasanya terdapat
fasilitas akomodasi.
5. Related Spa, bisnis yang menggabungkan prinsip-prinsip Spa menjadi filosofi
dan praktek mereka dengan sedikit fasilitas terapi dengan menggunakan air, dan
sedikit fasilitas untuk tamu, seperti salon Spa , Spa gigi dan Spa kuku.
Dalam perkembanganya Spa bermunculan pada destinasi wisata
menawarkan beragam program bagi yang membutuhkan kesegaran, tenaga serta
semangat yang baru. Bahkan dengan kemajuan teknologi dan kebutuhan manusia,
Spa modern tidak lagi sekedar kegiatan berendam di air panas atau pijat tradisional.
Spa kini telah menjadi pendekatan holistik atau sarana yang bertujuan untuk
menyelaraskan kehidupan manusia melalui terapi alternatif secara tiga dimensi yaitu
tubuh, pikiran dan emosi dengan fokus pada proses penyembuhan (healing) melalui
panca indra fisik manusia, yaitu melalui penglihatan, indra penciuman, rasa,
sentuhan, dan pendengaran, Thaiways, 2007 (dalam Boonyarit dan Phetvaroon;
2011). Dalam perkembangan ini pula, produk Spa yang mendominasi diantaranya
perawatan wajah, mandi sauna atau uap dan full body massage dengan fasilitas
diantaranya sauna atau steam room (ruang uap), bathtubs (bak mandi), Jacuzzis
(kolam dengan pusaran air), dan mineral/thermal pool (Holzner, 2010).
Spa tourism yang dimaksudkan pada penelitian ini adalah produk Spa
dengan kategori Day Spa dan Hotel and resort Spa yang ada di kawasan pariwisata
Ubud sebagai salah satu destinasi wisata wellness yang berdasarkan atas modalitas
yang dimiliki Ubud. Pemilihan atas kedua kategori tersebut dengan pertimbangan
bahwa dua kategori Spa tersebut sebagai produk pariwisata wellness yang telah
berkembang pesat di kawasan wisata Ubud, Gianyar.
2.2.6. Produk Wisata
Produk wisata adalah semua bentuk pelayanan yang dinikmati wisatawan
dari mereka berangkat meninggalkan tempat tinggalnya hingga mereka kembali
pulang (Yoeti; 2005).
Produk wisata merupakan sesuatu yang dapat ditawarkan kepada wisatawan
untuk mengunjungi sebuah daerah tujuan wisata. Produk wisata dapat berupa alam,
budaya serta hasil kerajinan masyarakat. Secara mendetail, lebih lanjut dalam Dian
Permana (2013) memaparkan ada beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli
mengenai definisi produk pariwisata dari berbagai sudut pandang secara holistik,
diantaranya :
a. Menurut Gooddall (1991), produk wisata dimulai dari ketersediaan sumber
yang berwujud (tangible) hingga tidak berwujud (intangible) dan secara
totalitas cenderung kepada kategori jasa yang tidak berwujud (intangible).
b. Menurut Burns and Holden (1989) produk wisata dinyatakan sebagai segala
sesuatu yang dapat dijual dan diproduksi dengan menggabungkan faktor
produksi, konsumen yang tertarik pada tempat-tempat yang menarik,
kebudayaan asli dan festival-festival kebudayaan.
c. Menurut Kotler dan Amstrong (1989) yaitu sebagai sesuatu yang ditawarkan
kepada konsumen atau pangsa pasar untuk memuaskan kemauan dan
keinginan termasuk di dalam objek fisik, layanan, Sumber daya manusia yang
terlibat di dalam organisasi dan terobosan atau ide-ide baru.
d. Suwantoro (1997), berpendapat produk wisata merupakan keseluruhan
pelayanan yang diperoleh dan dirasakan atau dinikmati wisatawan semenjak
mereka meninggalkan tempat tinggalnya, sampai ke daerah tujuan wisata yang
telah dipilihnya dan kembali ke rumah dimana mereka berangkat semula.
e. Medlik dan Middleton, 1973 (dalam Smith; 1994) mengkonseptualisasikan
produk pariwisata sebagai sebuah kemasan kegiatan, layanan dan manfaat
yang merupakan keseluruhan pengalaman pariwisata. Kemasan ini terdiri dari
lima komponen diantaranya; (1) atraksi di destinasi, (2) fasilitas yang ada di
destinasi, (3) aksesibilitas, (4) citra, dan (5) harga.
f. Middleton, 1989 (dalam Smith; 1994) juga mengamati bahwa istilah
"produk wisata", digunakan pada dua tingkat yang berbeda. Salah satunya
adalah tingkat "khusus", yaitu bahwa suatu produk yang ditawarkan oleh
bisnis tunggal secara terpisah seperti tur wisata atau kursi penerbangan.
Sedangkan tingkat "total", merupakan produk yang berisikan pengalaman
lengkap wisatawan dari waktu meninggalkan rumah hingga waktu kembali
g. Normann, 1984 (dalam Smith; 1994) menyajikan model sederhana yang
terdiri dari layanan inti dan jasa sekunder untuk menggambarkan produk
wisata dengan memberikan contoh pada industri penerbangan, Normann
mengamati bahwa penerbangan dari daerah asal ke tujuan adalah layanan inti
dari sebuah maskapai penerbangan, sementara pemesanan, check-in,
penanganan bagasi, membersihkan pesawat, kenyamanan, hingga sikap
umum staf merupakan layanan sekunder.
Banyak pengertian yang mendefinisikan produk wisata secara terpadu dengan
memperhatikan dan mempertimbangkan komponen-komponen yang menyertainnya.
Dari beberapa definisi di atas, suatu produk wisata tidak hanya terbatas dilihat dari
komponen objek wisata, fasilitas, ataupun transportasi saja, melainkan pendekatan
produk wisata juga erat berkaitan dengan semua bentuk pelayanan yang dinikmati
oleh wisatawan ketika meninggalkan tempat asal, semua pelayanan yang dinikmati
oleh wisatawan ketika berada di daerah tujuan wisata dan hingga kembali ke daerah
asal mereka secara tangible dan intangible dengan maksud memenuhi dan
memuaskan segala kemauan dan keinginan wisatawan. Dalam penelitian ini, produk
wisata yang dimaksud ialah salah satu produk wisata wellness yaitu produk Spa yang
ditawarkan oleh masing-masing usaha Spa di sepanjang kawasan wisata Ubud,
Gianyar.
2.2.7. Wisatawan
Dalam Undang-Undang No 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
dikatakan “Wisatawan adalah orang yang melakukan wisata”. Definisi wisatawan ini
juga ditetapkan berdasarkan rekomendasi International Union of Office Travel
Organization (IUOTO) dan World Tourism Organization (WTO). Wisatawan adalah
seseorang atau sekelompok orang yang melakukan perjalanan ke sebuah atau
beberapa negara di luar tempat tinggal biasanya atau keluar dari lingkungan tempat
tinggalnya untuk periode kurang dari 12 bulan dan memiliki tujuan untuk melakukan
berbagai aktivitas wisata.
Menurut IUOTO (International Union of Official Travel Organization),
dalam Pitana dan Gayatri (2005) menggunakan batasan mengenai wisatawan secara
umum disebut pengunjung (visitor) yaitu setiap orang yang datang ke suatu negara
atau tempat tinggal lain dan biasanya dengan maksud apapun kecuali untuk
melakukan pekerjaan yang menerima upah.
Berdasarkan sifat perjalanannya ada beberapa jenis wisatawan. Ada istilah
wisatawan asing (foreign tourist) yang biasa disebut “wisatawan mancanegara”
(wisman), ada istilah “domestic foreign tourist” (wisman domestik), ”domestic
tourist” (wisatawan nusantara) dan “Indigenous Foreign Tourist” (wisman
pribumi), ”transit tourist” (wisatawan transit atau singgah). Selain itu, ada juga
“local tourist” (wisatawan lokal), sebagai satu pembanding dari wisatawan
nusantara atau domestik (domestic tourist).
Jika wisatawan mancanegara adalah orang asing yang melakukan perjalanan
wisata, datang memasuki suatu negara lain yang bukan merupakan negara di mana
biasanya tinggal, maka wisatawan mancanegara domestik adalah orang asing yang
berdiam atau bertempat tinggal di suatu negara karena tugas, dan melakukan
perjalanan wisata di wilayah negara di mana ia tinggal. Ini kebalikan dari wisatawan
mancanegara pribumi yakni warga negara suatu negara tertentu yang karena tugasnya
atau jabatannya berada di luar negeri, dan pulang ke negara asalnya dan melakukan
perjalanan wisata di wilayah negaranya sendiri. Sedangkan wisatawan transit adalah
wisatawan yang sedang melakukan perjalanan ke suatu negara tertentu, yang
terpaksa mampir atau singgah pada suatu bandar udara atau pelabuhan laut dan atau
stasiun bukan atas kemauannya sendiri. Wisatawan domestik dapat disebut sebagai
wisatawan yang melakukan perjalanan wisata dalam batas wilayah negaranya sendiri.
Wisatawan ini melakukan perjalanan wisata minimal 24 jam dan tidak dimaksudkan
untuk tinggal menetap di daerah yang dituju.
2.3. Hipotesis
Pengetahuan merupakan domain yang penting dalam membentuk tindakan
seseorang. Dewi dan Wawan, 2010 (dalam Martiani; 2012) menyatakan bahwa
Pengetahuan seseorang tentang suatu objek mengandung dua aspek, yaitu aspek
positif dan negatif. Kedua aspek ini yang akan menentukan sikap seseorang, semakin
banyak aspek positif dan objek yang diketahui, maka akan menimbulkan sikap makin
positif terhadap objek tertentu dan mengambil keputusan terhadap objek tersebut.
Pengetahuan konsumen akan mempengaruhi keputusan pembelian (Yunita;
2014). Ketika konsumen memiliki pengetahuan lebih banyak, maka konsumen akan
lebih baik dalam mengambil keputusan, konsumen akan lebih efisien dan lebih tepat
dalam mengolah informasi dan mampu me-recall informasi dengan lebih baik,
semua itu dampak dari pengetahuan yang dimiliki oleh konsumen yang akan
berpengaruh besar terhadap tindakannya dalam pengambilan keputusan. Penelitian
Budiarti (2010) menyatakan bahwa pengaruh pengetahuan konsumen terhadap
keputusan pembelian. Dalam penelitian tersebut menyakinkan bahwa ada pengaruh
positif dan signifikan atas pengetahuan konsumen terhadap keputusan pembelian
secara parsial.
H1 : Ada pengaruh positif dan signifikan pengetahuan wisatawan terhadap
keputusan pembelian produk Spa di kawasan wisata Ubud.
Sikap adalah kecendrungan individu untuk memahami, merasakan, bereaksi,
dan berprilaku terhadap suatu produk tertentu yang merupakan hasil dari interaksi
komponen kognitif, afektif, dan konatif. Wee, et al., 1995 (dalam Hendro Trisdiarto;
2012) tegas menyatakan bahwa Sikap sangat berperan penting terhadap keputusan
pembelian wisatawan serta bertahan terhadap produk tersebut (retention). Adanya
sikap yang lebih positif dari konsumen terhadap produk maka akan meningkatkan
pembelian terhadap produk tersebut. Sama halnya dengan semakin negatifnya sikap
konsumen terhadap produk, maka akan kecil kemungkinan bagi konsumen tersebut
untuk melakukan pembelian.
Penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni (2008) dan Garry (2011) yang
membahas variabel sikap konsumen sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi
konsumen secara positif dalam pengambilan keputusan pembelian atas suatu produk.
Diperkuat kembali oleh penelitian Nguyen dan Gizaw (2014) yang membahas
faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan pembelian konsumen, bahwa ada 5
faktor yang teridentifikasi mampu mempengaruhi keputusan pembelian, dan salah
satu diantaranya adalah sikap konsumen.
H2 : Ada pengaruh positif dan signifikan sikap wisatawan terhadap keputusan
pembelian produk Spa di kawasan wisata Ubud.
Mowen dan Minor (2002), pada hierarki pengambilan keputusan pembelian
ada yang disebut dengan keterlibatan tinggi (high involvement hierarchy),
menunjukan bahwa pengetahuan dan sikap ada pada hierarki dengan keterlibatan
tinggi, karena konsumen cenderung terlibat dalam pencarian informasi yang
ekstensif tentang alternatif produk yang selanjutnya membentuk kepercayaan besar
terhadap objek, kemudian mengembangkan afeksi (perasaan) terhadap objek, dan
akhirnya muncul keinginan berprilaku relatif terhadap objek tersebut yaitu pembelian
produk atau jasa. Singkatnya, apabila konsumen sangat terlibat dalam keputusan
pembelian tertentu, mereka melakukan aktivitas penyelesaian masalah yang luas dan
bergeser melalui hierarki proses pembelajaran (pengetahuan) – formasi sikap – dan
kemudian Prilaku.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Setiadi, 2003 (dalam Yunita;
2014) bahwa pengambilan keputusan konsumen (consumer decision making) adalah
proses pengintegrasian yang mengkombinasikan pengetahuan dan sikap untuk
mengevaluasi dua atau lebih prilaku alternatif dan memilih salah satu diantaranya.
H3 : Ada pengaruh positif dan signifikan pengetahuan dan sikap wisatawan
secara simultan terhadap keputusan pembelian produk Spa di kawasan
wisata Ubud.
Penelitian yang dilakukan oleh Kweek, et al. (2010) menjelaskan
Pengalaman konsumen akan mempengaruhi prilaku konsumen berikutnya dalam
pembelian. Menurut Sukmadinata (2007) pengalaman merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang. Disebutkan bahwa
pengalaman merupakan pengetahuan melalui kontak nyata dengan produk oleh
karenanya orang yang berpengalaman mudah menerima informasi dari lingkungan
sekitar, sehingga akan lebih baik dalam mengambil keputusan. Ketika konsumen
telah memiliki pengalaman konsumsi atas suatu produk, itu akan mempengaruhi
tingkat pengetahuan atas produk tersebut, karena semakin banyak pengalaman
seseorang terhadap produk maka pengetahuan orang tersebut akan lebih baik tentang
produk (Dwiastuti, 2012).
Mowen dan Minor (2002) juga menyebutkan, pengalaman berpengaruh
terhadap pembentukan sikap konsumen. Pengalaman yang positif dan cenderung
puas akan berdampak pada sikap yang positif dan mengarah pada pembelian ulang
dan begitu juga ketika pengalaman konsumen bersifat negatif setelah mengkonsumsi
produk, maka akan berdampak negatif pada sikap.
Bernnet, et al.; 2004 telah melakukan penelitian dan menunjukan bahwa
fungsi dari pengalaman sebagai variabel yang memoderasi hubungan keterlibatan
dan kepuasan terhadap loyalitas merek, demikian dengan penelitian yang dilakukan
oleh Paterson, et al.; 1995 yang juga menemukan bahwa variabel pengalaman
sebagai variabel moderasi terhadap kepuasan pelanggan (customer). Dengan
demikian didasari oleh penemuan pada penelitian-penelitian tersebut dengan
menjadikan pengalaman sebagai variabel moderasi yang akan memperkuat ataupun
memperlemah hubungan atau pengaruh antara independen pada dependen. Sehingga
dalam penelitian ini pula memfungsikan pengalaman sebagai variabel pemoderasi
yang diperkirakan akan menjadi variabel yang akan memperkuat hubungan
pengetahuan dan sikap terhadap keputusan pembelian produk wisata Spa di kawasan
wisata Ubud.
H4 : Ada pengaruh positif dan signifikan pengalaman wisatawan sebagai
pemoderasi dalam memperkuat pengaruh pengetahuan wisatawan terhadap
keputusan pembelian produk Spa di kawasan wisata Ubud
H5 : Ada pengaruh positif dan signifikan pengalaman wisatawan sebagai
pemoderasi dalam memperkuat pengaruh sikap wisatawan terhadap
keputusan pembelian produk Spa di kawasan wisata Ubud.
Keputusan Pembelian (Y)
Pengetahuan Produk
Pengetahuan Pembelian
Pengetahuan Pemakaian
Kepercayaan
Kesukaan
Tindakan
Sikap (X2)
Gambar 2.2
Kerangka Pemikiran
H1
H2
H3
Pengalaman (Z)
H4 H5
Pengetahuan (X1) Kemantapan produk
Merasakan manfaat
Rekomendasi
Membeli ulang
Frekuensi pembelian
Mengenal produk
Kepuasan Rasa senang