Post on 19-Oct-2019
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Zukini (Cucurbita pepo L.)
Zukini (zucchini) merupakan tanaman sayuran yang masuk dalam anggota
famili Cucurbitaceae dengan nama spesies Cucurbita pepo L. Beberapa spesies
tanaman yang termasuk dalam famili Cucurbitaceae antara lain semangka
(Citrullus lanatus), mentimun (Cucumis sativus), melon (Cucumis melo), zucchini
(Cucurbita pepo), labu besar (Cucurbita maxima), paria (Momordica charantia),
dan labu siam (Sechium edule) (Rubatzky danYamaguchi, 1997), waluh (Cucumis
moschata), oyong (Luffa acutangula), labu air (Legenaria leucantha), beligo
(Benincasa hispida) dan parai (Trichosanthes anguina) (Tjitrosoepomo, 2002).
Tanaman zukini pada awalnya dibudidayakan di wilayah Selatan Meksiko
hingga Barat Daya Amerika Serikat sekitar 8.000 SM. kemudian dikembangkan di
negara-negara beriklim subtropis. Sayuran ini relatif baru dikenal di Indonesia
pada pertengahan abad ke-20, dan mulai masuk ke sentra-sentra pertanian dataran
tinggi di Indonesia. Varietas yang telah beredar di Indonesia dan telah banyak
ditanam petani diantaranya, Tendeer Finger, Jemmy, Green Champ, Hungnong
Zucchini, Bulam House, Golden Zucchini, Rondo dan Black Jack F1 yang
diproduksi oleh negara Taiwan dan Korea. Sedangkan produksi dari Amerika
Serikat di antaranya, Ambassador, Aristocrat, Embassy Commander dan Chefini.
Semua varietas tersebut, umumnya memiliki umur panen hampir sama, hanya
bentuk dan panjang buah yang berbeda (Risa, 2014).
10
11
Zukini termasuk tanaman monokotil dan berakar serabut. Bunganya kecil
berwarna kuning. Panjang buah zukini antara 15 cm sampai 30 cm dengan
diameter 4 cm sampai 10 cm dan bobot berkisar antara 200 - 300 g per buah.
Warna buahnya beragam ada yang kuning, hijau muda, dan hijau tua dengan kulit
mengkilap. Tanaman zukini merupakan tanaman semusim yang lunak serta
berbulu. Daun tanaman merupakan daun tunggal, memiliki pertulangan daun
majemuk menjari. Daunnya menyebar di sepanjang batang, bentuknya
menyerupai jantung dan bertangkai. Biji agak bulat dan pipih mirip dengan biji
labu besar, bijinya oleh produsen benih dijadikan sebagai bahan perbanyakan
secara generatif. Umumnya buah labu impor ini dipanen pada saat masih muda,
daging buah sangat tebal, dengan warna putih bersih dan banyak mengandung air.
Tanaman zukini dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik pada daerah yang
memiliki suhu minimal 18°C sampai 24°C, dengan kelembaban udara antara 60%
sampai 90%. Tanaman zukini cocok ditanam pada lahan terbuka maupun green
house. Tumbuh subur di Indonesia, pada dataran menengah dan tinggi atau mulai
dari daerah dengan ketinggian 600 meter sampai 1.200 meter di atas permukaan
laut (dpl) (http://www.bbpp-lembang.info).
2.2 Virus Penting pada Tanaman Cucurbitaceae
Tanaman Cucurbitaceae banyak dibudidayakan di Indonesia. Ada lebih
dari 20 virus yang dapat menginfeksi tanaman Cucurbitaceae (Desbiez & Lecoq,
1997). Virus yang umum menginfeksi pertanaman Cucurbitaceae adalah
Cucumber mosaic virus (CMV), Cucumber green mottle mosaic virus (CGMMV),
12
Squash mosaic virus (SqMV), Zucchini yellow mosaic virus (ZYMV), dan
Watermelon mosaic virus (WMV) (Ali & Osama, 2012).
Virus dengan gejala mosaik pada Cucurbitaceae menyebabkan gejala
belang pada daun yang disebut mosaik. Karakter mosaik adalah akibat adanya
warna yang bercampur antara warna hijau normal dan hijau muda atau kekuningan
pada tanaman yang terinfeksi virus. Gejala mosaik dapat berkisar dari ringan ke
berat dan dapat dilihat pada daun, batang dan buah. Tanaman yang lebih muda saat
terinfeksi menunjukkan gejala yang lebih berat. Pada beberapa kejadian, tanaman
yang terinfeksi pada masa persemaian dapat rebah dan mati. Tanaman yang
terinfeksi virus pada masa pembungaan dapat tidak menghasilkan buah atau buah
muda dapat gugur. Bila tanaman lebih tua saat terinfeksi, tanaman tersebut tidak
menunjukkan gejala yang berat dan dapat menghasilkan buah. Gejala pada buah
dari ringan yaitu perubahan warna sampai berat terjadi perubahan bentuk buah.
Tanaman bisa terinfeksi oleh dua atau lebih virus dan menyebabkan gejala
yang lebih berat daripada tanaman yang hanya terinfeksi oleh satu virus. (Nameth,
2002). Sebanyak enam jenis virus yang menginfeksi tanaman semangka dan
tanaman Cucurbitaceae lainnya pada lahan pertanaman komersial di Oklahoma,
antara lain: Papaya Ringspot Virus (PRSV-W), Watermelon Mosaic Virus
(WMV-2), Zucchini Yellow Mosaic Virus (ZYMV) dan Squash mosaic virus
(SqMV). PRSV-W, WMV-2 dan ZYMV merupakan virus yang paling luas
menginfeksi semangka dan tanaman Cucurbitaceae lainnya di negara bagian
Oklahoma. Ketiga virus ini bersama dengan CMV merupakan faktor penghambat
utama produksi tanaman Cucurbitceceae di USA (Ali et al., 2012).
13
Cucumber Mosaic Virus (CMV) merupakan spesies virus yang berasal
dari genus Cucumovirus, famili Bromoviridae. Cucumber Mosaic Virus (CMV)
juga merupakan salah satu virus penyebab penyakit mosaik yang banyak
ditemukan pada tanaman Cucurbitaceae. CMV memiliki distribusi yang luas di
seluruh dunia terutama pada zona iklim tropis. Gejala penyakit akibat infeksi
CMV bermacam-macam tergantung pada spesies inang atau strain CMV, yaitu
antara lain: mosaik, klorosis, kerdil, daun mengalami malformasi dan nekrosis.
Penyebaran utama virus ini melalui kutudaun secara nonpersisten dan dapat juga
ditularkan melalui benih (Mochizuki & Ohki, 2012).
Watermelon Mosaic Virus (WMV) merupakan virus yang termasuk
dalam genus Potyvirus, famili Potyviridae. WMV terdiri dari dua strain yaitu
WMV-1 (sama dengan PRSV-W) dan WMV-2. WMV-1 menginfeksi 38 spesies
Famili Cucurbitaceae sedangkan WMV-2 menginfeksi Cucurbitaceae dan
beberapa tanaman lain seperti alfalfa, semanggi merah, kacang polong
(Babadoost, 1999) dan berbagai spesies Leguminosae (Provvidenti, 1996). WMV
ditularkan secara nonpersisten oleh lebih dari 20 spesies vektor kutudaun
(Provvidenti, 1996). Gejala yang ditimbulkan oleh WMV pada tanaman terinfeksi
adalah mosaik, akumulasi warna hijau sepanjang tulang daun (vein banding),
perubahan bentuk daun, bunga menjadi tidak normal dengan mahkota yang tidak
berkembang atau membuka secara tidak sempurna. Bunga yang tidak normal
sebagian besar melipat dan tidak menghasilkan buah (Wakman et al., 2002).
Papaya Ringspot Virus (PRSV) termasuk famili Potyviridae, genus
Potyvirus. Berdasarkan kisaran inangnya terdapat 2 strain PRSV, yaitu PRSV-P
14
dan PRSV-W. Strain PRSV-P dapat menginfeksi tanaman dari famili Cruciferae
dan Cucurbitaceae, sedangkan strain PRSV-W hanya dapat menginfeksi
tanaman dari famili Cucurbitaceae. Strain PRSV yang menginfeksi tanaman dari
famili Cucurbitaceae (PRSV-W) dilaporkan di Australia pada tahun 1991 dan
Sudan pada tahun 2012 (Gonsalves et al., 2010; Mohammed et al., 2012). Di
Indonesia, PRSV telah dilaporkan menginfeksi tanaman pepaya di daerah Aceh
dan Medan pada tahun 2012, dengan insidensi penyakit mencapai 100% (Hidayat
et al., 2012).Tanaman Cucurbitaceae yang diinfeksi oleh PRSV menunjukkan
gejala mosaik, kerdil, dan terjadi perubahan bentuk pada daun, bentuk dan warna
buah tidak sempurna (Babadoost, 2012). Papaya Ringspot Virus (PRSV) dapat
ditularkan secara mekanis dan melalui banyak spesies kutudaun secara non
persisten (Tripathi et al., 2008).
2.3 Zucchini Yellow Mosaic Virus (ZYMV)
ZYMV diisolasi pertama kali di Italia tahun 1973, kemudian diidentifikasi
keseluruhan komponen genomnya dan dideskripsikan pada tahun 1981 (Lisa et
al., 1981). ZYMV merupakan virus penting yang menginfeksi tanaman
Cucurbitaceae di seluruh dunia dan memiliki pengaruh penting pada tanaman
Cucurbitaceae karena dapat menurunkan hasil (Lin et al., 2000; Simmons et al.,
2011). ZYMV hingga saat ini diketahui telah tersebar di 22 negara pada lima
benua termasuk di Indonesia (Zitter et al., 1998).
ZYMV dideskripsikan pertama kali pada pertanaman zukini yaitu di Italia
tahun 1973, di USA yaitu di Arkansas tahun 1981, Spanyol tahun 1982, Jersey
15
tahun 1983, Inggris tahun 1987, di Oceania yaitu Hawai tahun 1988, New
Caledonia tahun 1994 dan Portugal tahun 1996 (Desbiez & Lecoq, 1997).
Survei pada lahan mentimun di area penanaman di Jerman dari tahun 2001
hingga 2004, ditemukan bahwa tanaman mentimun terinfeksi oleh Zucchini
yellow mosaic virus (ZYMV), Watermelon mosaic virus (WMV) dan Cucumber
mosaic virus (CMV). ZYMV paling dominan menyebabkan kerusakan parah dan
labu juga ditemukan terinfeksi virus tersebut (Muller et al., 2006).
Pertanaman Cucurbitaceae di beberapa bagian Australia virus mosaik
menyebabkan kerugian paling parah dan kejadian infeksi mencapai 100% pada
tanaman labu. Dua virus kelompok potyvirus penyebab mosaik tersebut adalah
strain Pepaya ringspot virus (PRSV-W) yang sebelumnya dikenal sebagai Water
melon mosaik virus (WMV- 1) telah diketahui menyebabkan masalah untuk
Cucurbitaceae sejak tahun 1977 dan potyvirus kedua adalah Zucchini yellow
mosaic virus (ZYMV) juga telah menjadi penyebab penyakit mosaik sejak tahun
1989 (Conde et al., 2010). Lestari & Nurhayati (2014) melaporkan bahwa
keberadaan beberapa virus pada tanaman Cucurbitaceae yang ditemukan di Jawa
Barat antara lain Cucumber mosaic virus (CMV), Squash mosaic virus (SqMV),
dan Zucchini yellow mosaic virus (ZYMV). Infeksi ZYMV hanya ditemukan pada
tanaman labu siam, sedangkan deteksi pada benih ditemukan menginfeksi benih
oyong dan zukini masing-masing mencapai 13% dan 27%.
2.3.1 Gejala infeksi Zucchini yellow mosaic virus (ZYMV)
Variasi gejala muncul sebagai respon tanaman terhadap infeksi virus dan
dipengaruhi oleh kerentanan setiap varietas (genotip) tanaman, virus, ataupun
16
serangga vektornya (Matthews, 1992). Gejala yang ditimbulkan dari infeksi ZYMV
pada tanaman Cucurbitaceae pada umumnya dapat menyerupai gejala infeksi
PRSV-W. Pertanaman yang terinfeksi pada awal pertumbuhan menunjukan gejala
lebih berat dan menyebabkan kehilangan hasil yang sangat besar dibandingkan
pertanaman yag terinfeksi pada saat pembentukan buah. Pengaruh lingkungan dan
kejadian infeksi yang lebih dari satu virus menyebabkan gejala yang sangat parah
(Desbiez & Lecoq, 1997).
Kejadian penyakit yang disebabkan oleh ZYMV ini disebut penyakit
mosaik karena daun tanaman yang terinfeksi memiliki pola berbintik-bintik atau
mosaik terang dan hijau tua bukan warna hijau tua normal. Gejala penyakit akibat
infeksi ZYMV ini bermacam-macam tergantung dari inang dan tingkatan infeksi
virus tersebut. Tanaman yang terinfeksi menjadi kerdil dengan gejala mosaik
kuning pada daunnya, serta dapat memperlambat pertumbuhan bunga. Ukuran
buah menjadi lebih kecil, mengerut serta menjadi lebih kecil, dan tampak terdapat
tonjolan (Conde et al., 2010).
Infeksi ZYMV terutama terjadi pada tanaman labu, melon dan semangka.
Gejala infeksi ZYMV pada tanaman tersebut adalah mosaik kuning yang
hebat pada daun, perubahan bentuk dan pelepuhan daun, perubahan ukuran daun
menjadi kecil, dan tanaman menjadi kerdil. Pada buah labu dan squash, infeksi
ZYMV menyebabkan perubahan warna dan benjol-benjol yang menyebabkan
perubahan bentuk buah (Provvidenti, 1996; Tobias et al., 2003; Coutts, 2006).
Buah melon dan semangka yang terinfeksi ZYMV mengalami perubahan
bentuk dan retak secara memanjang dan melingkar. Selain itu, biji yang
17
dihasilkan mengalami pengurangan jumlah dan perubahan bentuk. Gejala yang
ditimbulkan ZYMV pada daun tanaman adalah mosaik dengan klorosis yang
dominan, nekrosis, daun mengecil, malformasi dan blistering (Zitter et al., 1998).
Berat ringannya kejadian penyakit tergantung waktu terjadinya infeksi, dan bila
kejadian infeksi pada awal pertumbuhannya dapat mengakibatkan kerugian hasil
mencapai 100% (Babadoost, 2012).
Karakter gejala tanaman terinfeksi ZYMV sangat bervariasi pada tanaman
mentimun di Sleman dan Subang yaitu dari gejala yang muncul pada daun berupa
mosaik, kuning dan melepuh (Dwiwiyati, 2014). Gejala tanaman labu hijau positif
ZYMV dari beberapa lokasi pertanaman kaboca hijau di Bogor menunjukkan
gejala berupa pemucatan tulang daun (vein clearing), mosaik hijau kuning,
malformasi daun, daun dominan klorosis / hijau terang dan terdapat lepuhan
seperti cacar berwarna hiaju tua (Nurjannah, 2014). Sementara tanaman zukini
terinfeksi ZYMV menujukan gejala mosaik dan distorsi daun (Hosseini et al.,
2007 & Coutts et al., 2011)
2.3.2 Kisaran Inang Zucchini yellow mosaic virus (ZYMV)
Kisaran inang merupakan salah satu cara identifikasi untuk mengetahui
sifat biologi suatu virus (Hull, 2002). Sementara Zhao et al. (2003), berpendapat
bahwa selain dari sifat molekuler virus, kisaran tanaman inang dapat juga
digunakan untuk identifikasi dan membedakan strain dan patogenisitas virus.
Faktor yang juga menentukan bertahannya virus di alam adalah keberadaan satu
atau lebih spesies tanaman inang, dimana virus dapat mereplikasi diri. Virus
18
mosaik mempunyai kisaran inang yang luas termasuk beberapa gulma yang dapat
menjadi inang perantara dan sebagai sumber inokulum.
Tanaman yang biasa digunakan dalam uji kisaran inang ZYMV yaitu,
family (1) Solanaceae yaitu cabai besar (Capsicum annuum L.), cabai rawit
(Capsicum frutescens L.), tomat (Lycopersicon esculentum), terong hijau
(Solanum melongena); (2) Leguminosae yaitu kacang panjang (Vigna sinensis L.),
buncis (Phaseolus vulgaris L.); (3) Cucurbitaceae yaitu mentimun (Cucumis
sativus L.), waluh (Cucurbita moschata), labu siam/labu jepang (Sechium edule),
kaboca merah (Cucurbita pepo), pare (Momordica charantia); (4) Cruciferae
yaitu kubis (Brassica oleracea), sawi hijau (Brassica juncea), dan (5)
Amaranthaceae yaitu bayam cabut (Amaranthus tricolor), Datura stramonium
dan Lycopersicon esculentum (Jaroszewska et al., 2013 & Dukic, et al., 2002).
Menurut Aulia (2005) pertanaman oyong dan labu siam di Kotamadya
Bogor terdeteksi terinfeksi ZYMV berturut-turut dengan insiden penyakit antara
16,61% - 60,3% dan 6,1% - 8,9%. ZYMV isolat labu hijau dapat menginfeksi
semangka, melon, timun, kaboca, parai, labu siam dan Nicotiana benthamiana.
ZYMV dapat menginfeksi bunga kenop, Chenopodium amaranticolor dan
Chenopodium quinoa, namun ZYMV tidak menginfeksi oyong, buncis, kacang
panjang, cabai, tomat, ciplukan, tembakau, dan kecubung (Nurjannah, 2014).
Gulma sebagai salah satu komponen ekosistem pertanian memiliki
pengaruh negatif terhadap tanaman pertanian baik secara langsung maupun tidak
langsung. Adanya kompetisi merupakan pengaruh langsung dari keberadaan
19
gulma sedangkan pengaruh tidak langsung adalah peranannya sebagai inang
alternatif beberapa patogen penyebab penyakit tanaman (Sastroutomo, 1990).
2.3.3 Penularan Zucchini yellow mosaic virus (ZYMV)
ZYMV secara umum ditularkan melalui dua cara yaitu secara horizontal
melalui vektor kutudaun, dan secara vertikal melalui transmisi dari benih generasi
pertama yang terinfeksi ZYMV ke generasi selanjutnya (Simmons et al., 2011;
Tobias et al., 2003). Virus ini tidak hanya ditularkan melalui vektor kutudaun
tetapi juga dilaporkan dapat menular secara mekanis maupun melalui benih dan
khusus untuk tanaman zukini, ZYMV dapat melalui benih yang terinfeksi.
(Simmons, et al., 2011). Keberadaan ZYMV terbawa benih pada oyong 13.3%,
melon 26.67% dan pada labu berkisar 1,29% sampai 1,53% (Lestari, 2011).
Tobias et al (2008) dan Simmons, et al (2011) melaporkan ZYMV yang terbawa
benih pada Cucurbita pepo subsp. texana berkisar 1.6%. Namun, Dikova &
Hristova (2002), menyatakan bahwa ZYMV yang terbawa benih pada benih
Cucurbitaceae mencapai 91%. Penularan melalui benih biasanya terjadi pada
tingkatan yang sangat rendah pada tanaman squash dan zucchini (Cucurbita pepo)
dan butternut squash (Cucurbita maxima). Penularan melalui benih tidak terjadi
pada melon, semangka, labu, dan mentimun (Desbiez & Lecoq, 1997).
Terdapat sepuluh spesies kutudaun yang dapat menjadi vektor virus,
namun A. gossypii dan A. craccivora merupakan vektor virus yang paling penting
di Hawaii. A. craccivora merupakan vektor penularan virus yang paling efisien,
karena waktu yang dibutuhkan oleh kutudaun tersebut untuk probing ke tanaman
menggunakan stiletnya lebih pendek dari pada A. gossypii (Yuan & Ullman,
20
1996). ZYMV ditularkan secara non persisten oleh beberapa spesies kutudaun
seperti Aphis gossypii, Myzus persicae (Coutts, 2006), A. syrthosiphon pisum, A.
kondoi, A. craccivora, A. citricola, A. middletonii, A. spiraecola, Macrosiphum
euphorbiae, Toxoptera aurantii, dan Uroleucon ambrosiae (Providenti, 1996).
Aphis gossypii dan Myzus persicae menularkan Papaya ringspot virus tipe-w dan
Zucchini yellow mosaic virus secara non persisten pada tanaman zukini (Pinto et
al., 2008), dan tanaman melon (Martin et al., 2003).
2.4 Karakter Molekuler Umum Potyvirus
ZYMV merupakan virus yang termasuk dalam famili Potyviridae, genus
Potyvirus. yang memiliki partikel virus dengan genom single-stranded RNA
(Agrios, 2005). Potyvirus merupakan grup terbesar dari 34 grup virus tanaman.
Sebanyak 30% dari semua virus tanaman yang diketahui menyebabkan kerugian
signifikan dalam bidang pertanian, adalah Potyvirus (Ward & Shukla 1991).
Partikel Potyvirus berbentuk filamen lentur, tanpa envelop berukuran
panjang 680-900 nm dan lebar 11-15 nm. Material genetik Potyvirus berupa
paliprotein tunggal, untai tunggal, utas positif dengan panjang 10 kb. Genom
RNA terdiri dari satu Open Reading Frame (ORF) yang mengekspresikan satu
poliprotein prekusor berukuran 350 kDa. Prekursor poliprotein tersebut kemudian
ditranslasi menjadi tujuh protein kecil yang memiliki berbagai fungsi, dinotasikan
sebagai proteinase (P1), helper component (HC), cylindrical inclusion (Cl),
nuclear inclusion A (Nla.), nuclear inclusion B (Nib), capsid protein (CP), serta
dua protein putatif kecil yang dikenal sebagai 6K1 dan 6K2 (Shukla et a1.,1994)
21
(Tabel 2.1 dan Gambar 2.1). Pada bagian terminal 3 diakhiri dengan motip poly-A
tail (Hari et al., 1979; Takahashi, et al., 1997).
Tabel 2.1
Organisasi Genom Potyvirus
Protein Fungsi
P1 Proteinase; Cell-to-cell movement
HC-Pro Transmission oleh Aphid, Proteinase; Cell-to-cell movement
P3 Belum diketahui
C1 Replikasi genome (RNA helicase); Membrane attachment,
stimulasi asam nukleat aktivitas ATPase; Cell-to-cell movement.
CP Encapsida RNA; berperan dalam transmisi oleh vektor; Cell to-
cell-movement.
Nla-VPg Replikasi genome (Primer untuk inisiasi sintesis RNA)
Nla-Pro Proteinase
Nlb Replikasi genome (RNA-dependent RNA polymerase [RdRp]).
6K1 & 6K2 Belum diketahui, namun diduga berperan pada: Replikasi RNA,
pengatur untuk penghambatan translokasi nuclear Nla, membran
pengikat proses replikasi
(Sumber : Winterhalter, 2005)
Genom Potyvirus diekspresikan melalui translasi poliprotein dari genom
virus. Poliprotein mengalami pemotongan menjadi protein fungsional dan
struktural sesuai dengan gen yang disandikannya yang terjadi di dalam sitoplasma.
Selama dan sesudah translasi terjadi pemotongan poliprotein oleh protease yang
berasal dari ekspresi dari genom Potyvirus. Poliprotein yang diekspresikan oleh
genom virus diproses menjadi sepuluh protein fungsional oleh tiga jenis enzim
proteinase yang dihasilkan oleh virus itu sendiri (Hull, 2002). Protein inclusi (CI)
dan protein selubung (CP) berguna untuk pergerakan dari satu sel inang ke sel
inang lainnya melalui plasmadesmata. CP juga digunakan untuk pergerakan virion
protein dalam jaringan vaskuler melalui interaksi dengan HC-Pro pada domain C-
dan N- terminalnya. HC-Pro dengan menggunakan antiviral yang disebut RNA
silencing, berfungsi menekan mekanisme pertahanan tanaman. Viral genome-
22
linked protein (VPg) merupakan protein multifungsi yang berperan pada saat
amplifikasi dan pergerakan virus yang berada pada ujung 5’ genom virus. VPg
mempunyai peranan penting untuk proses infeksi virus. VPg juga berinteraksi
dengan faktor inisiasi translasi (eIF(iso)4E), dan diperlukan untuk infeksi secara
sistemik. Genom Potyvirus mempunyai bagian yang tidak berubah (conserved)
dan daerah yang bervariasi. HC-Pro dan NIb merupakan bagian yang tidak
berubah sedangkan daerah yang bervariasi adalah PI, P3 dan CP.
Gambar 2.1. Organisasi Genom Potyvirus (Shukla et al., 1994)
Penelitian keragaman genetik pada genus Potyvirus telah banyak
dilakukan berdasarkan gen-gen yang terlibat di dalam pembentukan selubung
protein dan daerah 3'UTR. Daerah tersebut diketahui merupakan daerah yang
bervariasi di antara kelompok Potyvirus. Shukla & Ward (1988) menggunakan
runutan asam amino coat protein (CP) untuk menilai hubungan kekerabatan
berbagai virus dalam kelompok Potyvirus. Kesamaan runutan asam amino CP
38% hingga 71% untuk strain virus yang berbeda, dan tingkat kesamaannya
mencapai 90% sampai 99% untuk strain dari virus yang sama.
2.5 Penularan Virus
2.5.1 Penularan Virus Secara Mekanis
Secara umum, virus tumbuhan hanya dapat masuk ke dalam sel melalui
luka, oleh sebab itu virus tumbuhan sangat tergantung pada agensia eksternal yang
P1
HC-Pro
P3
C1
VPg
Nla-Pro
Nlb
CP
Poly-A
6K1 6K2 3,UTR VPg
23
membantu membawa virus sampai ke tanaman inang. Penularan secara mekanis
banyak dipakai sebagai metode penularan untuk percobaan di labaratorium.
Inokulasi secara mekanik dilakukan dengan cara mengoleskan sap (ekstrak daun)
pada permukaan daun tanaman yang mengalami luka. Inokulasi virus dapat
dilakukan dengan penambahan karborundum (silicon karbida) ke dalam sap atau
ditaburkan pada pernnukaan daun. Karborundum bertungsi sebagai agensia abrasi
saat ekstrak dioleskan pada daun tanaman (Hidayat, 2008).
Keberhasilan inokulasi secara mekanis tergantung pada konsentrasi virus
dalam sap, sumber inokulum, metode penyiapan inokulum, ketahanan virus dalam
sap dan tanatnan inang. Kondisi lingkungan sebelum dan sesudah inokulasi
seperti cahaya dan suhu juga mempengaruhi keberhasilan inokulasi (Sulandari et
al., 2006).
Prosedur umum pembuatan inokulum dilakukan dengan menggerus
jaringan tanaman yang terinfeksi dalam larutan potassium posphat pada pH 7-7,5.
Tingkat keasaman sangat penting diperhatikan karena pada umumnya pH optimal
untuk aktivitas beberapa enzim ribonuklease berada pada pH 5-6. Penggunaan pH
yang lebih tinggi akan mengurangi aktivitas nuclease yang dapat merusak virus.
Penggunaan pH 8-9 banyak digunakan untuk partikel virus yang mudah rusak.
Kehilangan infektibtas virus akibat adanya senyawa tannin dapat dihindari dengan
menggerus daun dalam suasana basa (Sulandari et al., 2006).
2.5.2 Penularan Virus Melalui Benih
Lebih dari 100 jenis virus telah diketahui sebagai virus yang tular benih.
Setiap biji yang terinfeksi dapat menghasilkan sumber infeksi baru pada musim
24
berikutnya atau tempat lain (Shukla et.al., 1994). Penularan virus melalui biji
terjadi karena virus tepat di dalam biji atau pada jaringan embrio. Kecuali untuk
beberapa virus yang sangat stabil seperti TMV (Tobbaco mosaic virus) dan
CGMMV (Cucumber green mottle mosaic virus) dapat menular walaupun berada
pada kulit biji.
2.5.3 Penularan Virus melalui Vektor
Secara alami atau dalam praktek, virus dapat ditularkan oleh vektor
serangga. Ada tiga jenis virus yang dapat ditularkan oleh serangga vektor yaitu:
1. Virus nonpersisten. Serangga dengan tipe mulut menghisap membawa virus
pada stiletnya disebut virus nonpersisten. Serangga virus nonpersisten
umumnya mendapatkan virus melalui stilet setelah makan pada tumbuhan
sakit hanya selama beberapa detik (30 detik atau kurang) dan dapat
mentransmisi virus tersebut setelah pindah dan makan pada tumbuhan sehat
dalam waktu yang pendek, beberapa detik. Salah satu vektor virus
nonpersisten adalah aphis (kutu daun). Panjang waktu aphis tetap bersifat
viruliverous (menularkan virus) setelah mendapatkan virus bervariasi dari
beberapa menit sampai beberapa jam, setelah itu serangga tersebut tidak dapat
lagi mentransmisi virus. Kutudaun merupakan serangga vektor virus
tumbuhan yang sangat penting dan sebagian besar yitu kira-kira 160 jenis
dapat mentransmisi semua virus. Spesies kutudaun yang sama dapat
mentransmisi beberapa jenis virus, tetapi pada banyak kasus vektor virus
bersifat agak spesifik. Potyvirus termasuk dalam virus non persisten
(Wahyuni, 2005).
25
2. Virus semipersisten. Pada virus semipersisten virus dapat bertahan dalam
vektornya lebih lama. Virus ini ditelan ke dalam saluran pencernaan serangga
dan periode waktu makan agak lama dibandingkan dengan virus nonpersisten
(dari beberapa menit sampai beberapa jam). Kemampuan penularan akan
meningkat dengan meningkatnya periode makan akuisisi (periode yang
dibutuhkan serangga vektor untuk menghisap cairan sel dan memindahkan
virus ke tanaman sehat), Beberapa virus yang termasuk virus semipersisten
adalah Clasterovirus, misalnya Beet yellow virus dan Citrus Tristeza virus
(Wahyuni, 2005).
3. Virus persisten. Virus persisten adalah virus yang dapat terbawa dari stilet ke
dalam alat pencernaan serangga vektor, kemudian masuk ke dalam darah,
kelenjar ludah, ke ludah dan melalui stilet lagi masuk ke dalam tanaman sehat.
Ini artinya virus tetap persisten dalam tubuh vektor. Pada beberapa kasus
kutudaun mentransmisi virus sirkulatif, kutudaun tertentu tidak dapat
mentransmisi virus dengan segera tetapi harus menunggu beberapa jam setelah
mendapatkan virus dengan makan pada tunbuhan sumber virus, tetapi setelah
kutudaun dapat mentransmisi virus, maka mereka terus dapat mentransmisi
virus dalam beberapa hari (transmisi persisten). Beberapa virus yang termasuk
virus persisten adalah Carrot Mottle Virus dan Beet Western Yellow (Sulandari
et al., 2006).
2.5.4 Kutudaun Sebagai Serangga Vektor Virus
Serangga vektor virus yang terbanyak, termasuk dalam ordo Hemiptera
dan Thysanoptera. Serangga vektor yang termasuk ordo Hemiptera di antaranya
26
kutudaun, kutukebul, wereng daun yang merupakan vektor utama virus dan
menjadi vektor hampir 400 spesies virus. (Fareres & Moreno, 2009).
Jumlah vektor dan ketergantungannya pada musim merupakan faktor
penting dalam epidemiologi penyakit virus. Efisiensi penularan virus oleh
kutudaun erat kaitannya dengan konsentrasi virus dan jumlah kutudaun, karena
semakin banyak koloni kutudaun pada pertanaman maka proses kecepatan
multiplikasi virus semakin meningkat dan mempercepat perkembangan epidemic
penyakit. Faktor lain yang mempengaruhi diantaranya kemampuan kutudaun
dalam membawa dan menularkan virus, periode yang diperlukan kutudaun untuk
memperoleh cairan sel tanaman, periode untuk menghisap cairan sel dan untuk
memindahkan virus ke tanaman sehat, dan periode makan akuisisi selesai sampai
kutudaun mampu menularkan virus ke tanaman sehat (Bos, 1990).
Penularan virus dilakukan secara nonpersisten yaitu kutudaun dapat
langsung menularkan virus ke tanaman sehat, segera setelah makan akuisisi pada
tanaman sakit sumber virus. Selanjutnya kutudaun akan hilang kemampuannya
untuk menularkan virus setelah makan inolukasi pada tanaman yang sehat.
Kutudaun infektif (membawa virus) yang mendatangi pertanaman akan segera
menularkan virus pada tanaman yang baru dihinggapinya, sehingga walaupun
kutudaun tersebut mati akibat pestisida yang diaplikasikan namun tanaman sudah
terlanjur tertular virus (Eka, 2011).
2.5.4.1 Aphis craccivora
Siklus hidup A.craccivora pada kondisi lingkungan yang sesuai berkisar
antar 5-6 hari, dengan rata-rata 5,5 hari. Di daerah yang beriklim sedang
27
keperidian dapat mencapai 60 ekor. Walaupun demikian mortalitas pada nimfa
cukup besar, Serangga bersayap hanya menghasilkan kira-kira separuh dari
jumlah keturunan yang dihasilkan serangga tidak bersayap (Jurgen et al., 1977).
Klasifikasi Aphis craccivora menurut Borror et al., (1992)
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Hemiptera
Famili : Aphididae
Genus : Aphis
Spesies : Aphis craccivora
Nimfa yang baru lahir panjangnya 0,35 mm dan lebamya 0,18 mm
(Sutarjo, 1978). Serangga dewasa A. craccivora yang parthenogenesis terdiri dari
bua bentuk, yaitu bentuk tidak bersayap dan bentuk bersayap (Cottier, 1953 &
Eastop, 1961). Imago yang tidak bersayap kepalanya berwarna hitam dengan mata
berwarna merah gelap hampir hitam dan sepasang antena yang panjangnya dua
pertiga panjang tubuh dan terdiri dari 6 ruas. Antena tidak mempunyai sensorial
sekunder (Cottier, 1953 & Eastop, 1961). Tubuhnya berukuran + 1,5-2 mm,
berwarna hitam (biasanya mengkilat) dan kadang-kadang sedikit bertepung putih.
Bentuk imago bersayap dewasa hampir sama dengan serangga tidak bersayap.
Rata- rata ukuran tubuhnya lebih kecil dibandingkan serangga yang tidak
bersayap (Cottier, 1953). A.craccivora biasanya menyerang tanaman
Leguminoceae dengan kepadatan populasi yang berbeda-beda, tetapi pada musim
kemarau A. craccivora dapat bertahan pada gulma.
28
2.5.4.2 Myzus persicae
Klasifikasi Myzus persicae menurut Borror et al., (1992)
Kingdom : Animalia
Phyilum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Hemiptera
Famili : Aphididae
Genus : Myzus
Spesies : Myzus persicae
M. persicae adalah kutudaun yang berwarna kuning kehijauan atau
kemerahan. Baik kutu muda (nimfa atau aptera) maupun dewasa (imago)
mempunyai antena yang relatif panjang, kira-kira sepanjang tubuhnya. Panjang
tubuh ± 2 mm, tubuh lunak seperti buah pir (Tarumingkeng, 2001). Siklus hidup
serangga ini adalah ± 18 hari. Kutudaun dewasa dapat menghasilkan keturunan
(nimfa) tanpa melalui perkawinan. Sifat ini disebut parthenogenesis, satu ekor
dewasa dapat menghasilkan kim-kira 40 ekor nimfa. Selama tidak mengalami
gangguan dan makanan cukup tersedia, kejadian tersebut berlangsung terus
menerus sampai populasi menjadi padat (Tarumingkeng, 2001).
Hidup M. persicae berkelompok pada bagian bawah helaian daun atau
pada pucuk tanaman. Nimfa dan imago mempunyai sepasang tonjolan pada ujung
abdomen yang disebut kornikel. Ujung kornikel pada kutu daun berwarna hitam.
Perkembangan M. persicae dapat tumbuh secara optimal pada saat tanaman
bertunas (Ditlin, 2008). M. persicae adalah hama penting pada beberapa tanaman
budidaya. Hal itu disebabkan karena sifatnya yang polifag, reproduksi
parthenogenetik dan siklus hidup pendek. Ketiga sifat itu menyebabkan kutudaun
29
tersebut berkembang pesat dan dapat diternukan di berbagai tempat (Blackman &
Eastop, 2000). Di samping itu M. persicae juga merupakan vektor berbagai
penyakit virus tanaman (Harris & Maramorosch, 1997). M. persicae merupakan
vektor lebih dari 150 strain virus (Pracaya, 2007).
2.5.4.3 Aphis gossypii
Klasifikasi Aphis gossypii menurut Borror et al., (1992)
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Hemiptera
Famili : Aphididae
Genus : Aphis
Spesies : Aphis gossypii
Penyebaran A. gossypii cukup luas di daerah tropis, termasuk di beberapa
kepulauan daerah pasifik (Blackman & Eastop, 2000). A. gossypii merupakan
spesies yang sangat polifag (Kalshoven, 1981). Stadia nimpa A. gossypii
bervariasi dari 3-20 hari dengan rata-rata 7,3 hari, masa reproduksi 2-31 hari
dengan rata-rata 15,6 hari, masa pasca reproduksi 0-21 hari dengan rata-rata 5,3
hari dan lama hidup 9-29 hari dengan rata-rata 28,4 hari. Seekor imago dapat
melahirkan 1-14 ekor nimfa dengan rata-rata 4,3 ekor nimfa per hari, sedang
keperidian dengan rata-rata imago 67 nimfa (Ebeling, 1959). Pada umumnya
kutudaun yang ditemukan di lapangan tidak bersayap (Kalshoven, 1981).
30
2.6 Identifikasi dan Deteksi Virus
Identifikasi secara tepat spesies yang menginfeksi tanaman sangat penting
untuk tindakan yang akan diterapkan dalam hal mengendalikan penyakit.
Pengamatan gejala penyakit saja tidak cukup untuk mendeteksi dan
mengidentifikasi virus pada tanaman. Beberapa virus dapat menimbulkan gejala
yang sama pada tanaman yang sama, satu virus dapat menghasilkan variasi gejala
tergantung strain virusnya, campuran beberapa virus atau strain virus dapat
mempengaruhi gejala. Selain itu, suatu virus dapat menimbulkan gejala yang
berbeda pada tanaman yang berbeda. Kondisi lingkungan dan iklim juga
berpengaruh terhadap tipe gejala yang muncul (Hull, 2002).
Metode yang tepat untuk mendeteksi dan mengidentifikasi virus pada
suatu tanaman dapat dilakukan berdasarkan karakter biologi dan molekuler.
Deteksi virus berdasarkan karakter biologi dapat dilakukan melalui pengujian
kisaran inang dan tanaman indikator, penularan, dan berdasarkan bentuk partikel.
Deteksi dan identifikasi menggunakan karakter molekuler umumnya dilakukan
dengan dua cara yaitu berdasarkan sifat protein dengan uji serologi dan sifat asam
nukleat dengan hibridisasi DNA, ekstraksi DNA/RNA serta PCR/RT-PCR ( Hull,
2002).
Hasil identifikasi bergantung dari jenis antiserum yang digunakan untuk
uji serologi dan primer yang digunakan untuk PCR. Hasil identifikasi bisa
langsung berupa spesies virus, bila antiserum dan primer yang digunakan spesifik,
namun bisa hasil identifikasi hanya genus virus, bila antiserum dan primer yang
digunakan bersifat general. Bila primer general yang digunakan, maka perlu
31
dilakukan uji lanjutan berupa sekuen nukleotida dari hasil PCR yang telah
berhasil dilakukan. Berdasarkan sekuen nukleotida maka melalui analisis BLAST
dapat ditentukan spesies virus bersangkutan.
2.6.1 Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Teknik serologi merupakan salah satu cara deteksi dan identifikasi suatu
pathogen dalam suatu inang, yang memanfaatkan reaksi spesifik antara antigen
dan antiserum (Crowther,1995). Metode ini mengalami perkembangan yang
sangat pesat dan aplikasinya di bidang penyakit tumbuhan sudah sangat umum
digunakan, yaitu untuk mendeteksi suatu patogen khususnya virus dalam
tanaman. Kegunaan yang lain dari uji serologi ini adalah untuk menentukan
konsentrasi virus dalam jaringan tanaman, mendeteksi virus tumbuhan dalam
tubuh serangga vektor dan untuk mengetahui hubungan kekerabatan antar virus
(Agrios, 2005).
Keberhasilan dan ketelitian teknik serologi untuk mendeteksi dan
mengidentifikasi virus sangat tergantung pada ketersediaan pereaksi diagnostik
seperti antiserum, dengan kualitas yang baik dan memadai. Antiserum adalah
serum yang mengandung antibody (Noordam,1973). Antobodi adalah molekul
immunoglobulin yang dihasilkan oleh sistem imun dari hewan sebagai tanggapan
terhadap suatu rangsangan molekul asing (antigen) (Crowther, 1995). Antibodi
banyak dimanfaatkan dalam kajian imunologi untuk mengidentifikasi suatu
pathogen. Ikatan antigen dengan antobodi sangat spesifik, suatu molekul antigen
mempunyai kemampuan untuk bereaksi atau berikatan dengan suatu molekul
immunoglobulin. Antigen pada umumnya terdiri atas makromelekul yaitu berupa
32
protein, nucleoprotein ataupun polisakarida yang mempunyai berat molekul lebih
dari 10.000 dan akan bereaksi spesifik apabila diinjeksi ke dalam tubuh hewan
percobaan.
Clark dan Adams telah memperkenalkan Enzyme-Linked Immunosorbent
Assay (ELISA) untuk ilmu penyakit tanaman pada tahun 1977. Sejak saat itu,
ELISA sering digunakan untuk pengujian virus tanaman dan patogen tanaman
lainnya. Pada ELISA, antigen atau antibodi melekat pada sumuran plate
mikrotiter (Dijkstra & de Jager, 1998). Plate mikrotiter polistiren tersebut
selain sebagai wadah juga sebagai substrat pengikat antigen atau antibodi, karena
permukaanya mempunyai molekul-molekul yang bermuatan positif (Wahyuni,
2005).
Teknik ELISA memerlukan sejumlah reagen yang berfungsi untuk
mendukung terjadinya reaksi antigen dan antibodi. Jenis antibodi yang digunakan
untuk mendeteksi sampel dapat berupa antibodi monoklonal atau antibodi
poliklonal (Wahyuni, 2005). Keuntungan ELISA pada pengujian virus tanaman
adalah dapat mendeteksi konsentrasi virus yang sangat rendah (1-10 ng/ml),
hanya sedikit antibodi yang dibutuhkan, pengujian dapat dilakukan terhadap sap
tanaman maupun virus yang telah dimurnikan. Selain itu, pengujian dapat
dilakukan untuk sampel jumlah besar, dapat distandardisasi menggunakan kit
bahan pengujian, dan dapat digunakan untuk mengukur analisis kuantitatif (nilai
absorbansi) disamping hasil kualitatif (Dijkstra & de Jager, 1998).
Prosedur ELISA dibagi menjadi dua metode yaitu direct-ELISA dan
indirect-ELISA. Pengujian direct-ELISA atau Double Antibody Sandwich (DAS)-
33
ELISA dalam virologi tumbuhan biasanya memiliki dua atau tiga tahap
penggunaan antibodi. Antibodi dimasukkan secara langsung pada pelat mikrotiter
dengan tujuan untuk mengikat antigen secara spesifik ke pelat mikrotiter.
Antibodi kedua (biasanya dari sumber yang sama dengan antibodi pertama)
dikonjugasikan dengan enzim yang berfungsi sebagai pendeteksi antibodi
(Martin, 1998). Pada direct-ELISA harus disiapkan konjugat secara terpisah
untuk masing-masing virus yang diuji. Pada metode indirect-ELISA, keberadaan
antigen-antibodi pertama terdeteksi oleh antibodi yang diproduksi pada spesies
hewan yang berbeda dengan hewan sumber antibodi pertama. Antibodi tersebut
disebut antibodi kedua yang telah dilabel enzim. Antibodi kedua dapat digunakan
untuk mendeteksi virus-virus yang berbeda. Antibodi tersebut merupakan
konjugat “universal”. Kespesifikan reaksi indirect-ELISA biasanya lebih rendah
daripada metode direct-ELISA (Dijkstra & de Jager, 1998).
Reaksi positif antara antigen dan antibodi ditandai dengan perubahan warna
cairan kompleks antigen dan antibodi yang terkonjugasi dengan enzim menjadi
kuning atau biru toska, tergantung pada macam substrat yang digunakan.
Misalnya reaksi menggunakan p-nitrophenil phosphate akan menjadi menjadi
berwarna kuning. Intensitas warna yang bervariasi mencerminkan konsentrasi
virus yang terkandung dalam cairan tersebut. Intensitas warna yang terjadi
dikonversikan menjadi angka oleh spektrum cahaya pada 405 nm dan alat untuk
membacanya disebut ELISA-reader. Inkubasi dengan enzim substrat berkisar 20
sampai 40 menit, dan tidak boleh lebih dari dua jam karena kontrol negatif akan
ikut berubah warnanya (Wahyuni, 2005).
34
2.6.2 Polymerase Chain Reaction (PCR)
Karakterisasi virus tanaman dapat dilakukan juga melalui sifat asam
nukleat virus tersebut. Saat ini metode deteksi dan identifikasi virus yang akurat
banyak dilakukan berbasis pada pengetahuan biologi molekuler yang telah
berkembang sangat pesat. Teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan
cara cepat untuk mengamplifikasi DNA secara in-vitro, sangat berguna dalam
mengidentifikasi virus-virus yang menginfeksi tanaman, hewan dan manusia.
Identifikasi virus dengan teknik PCR didasarkan pada sifat primer yang spesifik,
karena penentuan primer sangat menentukan keberhasilan hasil deteksi.
(Sambrook et al., 1989).
PCR adalah suatu metode enzimatis dan banyak digunakan untuk berbagai
macam manipulasi dan analisis genetik, misalnya untuk melipatgandakan suatu
molekul DNA. Dengan metode ini, segmen tertentu pada DNA dapat digandakan
hingga jutaan kali lipat dalam waktu relatif singkat. Kelebihan lain metode PCR
adalah bahwa reaksi dapat dilakukan dengan menggunakan komponen dalam
jumlah sangat sedikit, misalnya DNA cetakan yang diperlukan hanya sekitar 5 μg,
oligonukleotida yang diperlukan hanya sekitar 1 mM, dan reaksi ini biasa
dilakukan dalam volume 50-100 μl (Yuwono, 2006).
Menurut Muladno (2010), PCR merupakan suatu reaksi in vitro untuk
menggandakan jumlah molekul DNA pada target tertentu dengan cara mensintesis
molekul DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA target tersebut
melalui bantuan enzim dan oligonukleotida sebagai primer dalam suatu
thermocycler. Panjang target DNA berkisar antara puluhan sampai ribuan
35
nukleotida yang posisisnya diapit sepasang primer. Primer yang berada sebelum
daerah target disebut sebagai forward primer dan yang berada setelah daerah
target disebut reverse primer. Enzim yang digunakan sebagai pencetak rangkaian
molekul DNA baru dikenal sebagai enzim polymerase. Reaksi pelipatgandaan
suatu fragmen DNA dengan cara PCR terdiri dari tiga tahapan atau tiga reaksi,
yaitu pemisahan (denaturasi), penempelan primer (annealing), dan pemanjangan
primer (extension).
Denaturasi. Tahapan pertama dimulai dengan melakukan denaturasi
DNA cetakan sehinggga rantai DNA yang berantai ganda (double stranded) akan
terpisah menjadi rantai tunggal (single stranded). Denaturasi DNA dilakukan
menggunakan panas (95ºC) selama 1- 4 menit (Yuwono, 2006). Denaturasi yang
tidak lengkap mengakibatkan DNA mengalami renaturasi (membentuk DNA untai
ganda kembali) secara cepat, dan ini mengakibatkan gagalnya proses PCR.
Adapun waktu denaturasi yang terlalu lama, mungkin dapat mengurangi aktivitas
Enzim taq polymerase (Muladno, 2010).
Penempelan primer (annealing). Tahap kedua yaitu penempelan primer
(annealing) pada DNA cetakan yang telah terpisah menjadi rantai tunggal yang
dilakukan pada suhu 55°C selama 1 menit. Primer akan membentuk jembatan
hidrogen dengan cetakan pada daerah sekuen yang komplementer dengan sekuen
primer (Yuwono, 2006). Pada tahap ini, primer forward yang runutan
nukleotidanya berkomplemen dengan salah satu untai tunggal akan menempel
pada posisi komplemennya. Demikian juga primer reverse akan menempel pada
untai tunggal lainnya (Muladno, 2010).
36
Pemanjangan primer (extension). Setelah kedua primer menempel pada
posisinya masing-masing, enzim taq polymerase mulai mensintesis molekul DNA
baru yang dimulai dari ujung 3’ masing-masing primer (Muladno, 2010). Sintesis
DNA ini terjadi pada suhu 72°C selama 1-2 menit. Pada suhu ini, DNA
polymerase akan melakukan proses polimerasi rantai DNA yang baru berdasarkan
informasi yang ada pada DNA cetakan dengan bantuan enzim taq DNA
polymerase (Yuwono, 2006). Setelah terjadi polimerasi, rantai DNA yang baru
akan membentuk jembatan hidrogen dengan DNA cetakan. DNA rantai ganda
yang terbentuk dengan adanya ikatan hidrogen antara rantai DNA cetakan dengan
rantai DNA baru hasil polimerasi selanjutnya akan didenaturasi lagi dengan
menaikkan suhu inkubasi menjadi 95°C. Rantai DNA yang baru tersebut
selanjutnya akan berfungsi sebagai cetakan bagi reaksi polimerasi berikutnya.
Ketiga tahapan tersebut diulangi lagi sampai 25-30 siklus sehingga pada akhir
siklus akan didapatkan molekul-molekul DNA rantai ganda yang baru hasil
polimerasi dalam jumlah yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah
DNA cetakan yang digunakan (Yuwono, 2006).
2.6.3 Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)
Untuk virus yang memiliki tipe genom RNA digunakan teknik RT-PCR.
Teknik RT-PCR dikembangkan untuk melakukan analisis terhadap molekul RNA
hasil transkripsi yang terdapat dalam jumlah sangat sedikit di dalam sel. Oleh
karena PCR tidak dapat dilakukan dengan menggunakan RNA sebagai cetakan,
maka terlebih dahulu dilakukan proses transkripsi balik (reverse transcription)
terhadap molekul RNA sehingga diperoleh molekul cDNA (complementary
37
DNA). Enzim transkriptase balik (reverse transcriptase) yang digunakan dalam
RT-PCR adalah enzim DNA polimerase dan molekul RNA yang berperan sebagai
cetakan di dalam mensintesis molekul DNA (cDNA) yang komplementer.
Molekul cDNA tersebut kemudian digunakan sebagai cetakan dalam proses PCR.
Metode RT-PCR adalah metode yang lebih dapat dipercaya dan lebih
sensitif sebagai metode pendeteksian virus atau indexing. Pada kajian biologi,
sering terjadi bahwa virus tidak terdeteksi, tetapi menunjukkan hasil positif
dengan metode serologi dan RT-PCR yang dapat mendeteksi virus pada
konsentrasi rendah (Moury et al., 2011). Metode RT-PCR juga mempunyai
kelemahan yaitu tidak dapat membedakan virus pada pengelompokan virus yang
sama atau tidak dapat mengetahui variabilitas di antara strain-strain virus sendiri.
Keunggulan masing-masing metode deteksi sangat ditentukan oleh berbagai
faktor. Identifikasi virus dengan kajian biologis memerlukan waktu yang cukup
lama karena harus mempersiapkan tanaman indikator, tetapi biaya yang
digunakan tidak banyak. Metode serologi dan RT-PCR adalah metode yang lebih
dapat dipercaya dan lebih sensitif sebagai metode pendeteksi virus atau indexing,
dibandingkan dengan kajian biologi. Sering terjadi bahwa virus tidak terdeteksi
pada kajian biologi, tetapi menunjukkan hasil positif dengan metode serologi dan
RT-PCR yang dapat mendeteksi virus pada konsentrasi rendah.
2.6.4 DNA Sequencing
Analisis perunutan nukleotida dan asam amino saat ini memiliki peranan
yang tidak kalah penting di dalam melakukan deteksi dan karakterisasi virus.
Berdasarkan hasil analisis perunutan nukleotida dan asam amino dapat diketahui
38
tingkat kesamaan nukleotida dan dapat menentukan kelompok suatu virus maupun
strain-strain dari virus yang sama (Shukla et al., 1994). Analisis tersebut dapat
digunakan sebagai pelengkap proses identifikasi dan karakterisasi virus. Tujuan
paling penting DNA sequencing adalah mencari pattern yang diketahui di dalam
sekuen. Pattern ini bisa terlibat di fungsi biologis yaitu mengkode protein dan
RNA serta mengontrol eskpresi gen dan replikasi DNA.
2.7 Analisis Filogenetika Molekuler
Dengan pesatnya perkembangan teknik-teknik di dalam biologi molekuler,
seperti PCR (polymerase chain reaction) dan sekuensing DNA, penggunaan
sekuen DNA dalam penelitian filogenetika telah meningkat pesat dan telah
dilakukan pada semua tingkatan taksonomi, misalnya family, marga, dan spesies.
Sekuen DNA dijadikan karakter dalam penelitian filogenetika karena beberapa
fakta, yaitu: (1) sekuen DNA menawarkan data akurat melalui pengujian
homologi yang lebih baik terhadap karakter-karakter yang ada (2) sekuen DNA
menyediakan banyak character states karena perbedaan laju perubahan basa-
basa nukleotida di dalam lokus yang berbeda adalah besar dan (3) sekuen DNA
telah terbukti menghasilkan sebuah hubungan kekerabatan yang lebih alami.
Filogenetika molekuler mengkombinasikan teknik biologi molekuler
dengan statistik untuk merekonstruksi hubungan filogenetika. Filogenetika
digambarkan sebagai klasifikasi secara taksonomi dari suatu organisme
berdasarkan pada sejarah evolusi yaitu merupakan bagian integral dari ilmu
pengetahuan yang sistematik yang mempunyai tujuan untuk menentukan filogeni
dari organisme berdasarkan karakteristik. Analisis filogenetika sekuen asam
39
amino dan protein biasanya akan menjadi penting dalam analisis sekuen. Pohon
filogenetik adalah pendekatan logis untuk menunjukkan hubungan evolusi antara
organisme. Pohon evolusi adalah sebuah grafik dua dimensi yang menunjukan
hubungan di antara organisme atau lebih spesifik lagi adalah sekuen gen dari
organisme. Pemisah sekuen disebut taxa (atau taxon jika tunggal) yang
didefenisikan sebagai jarak filogenetika unit pada sebuah pohon. Pohon terdiri
dari cabang-cabang luar (outer branches) atau daun-daun (leaves) yang
mereprensentasikan taxa dan titik-titik (nodes) dan cabang merepresentasikan
hubungan di antara taxa (Dharmayanti, 2011).
Sejarah evolusi organisme dapat diidentifikasi dari perubahan karakternya.
Karakter yang sama adalah dasar untuk menganalisis hubungan satu spesies
dengan spesies lainnya. Selanjutnya Filogenetika diartikan sebagai model untuk
merepresentasikan sekitar hubungan nenek moyang organisme, sekuen molekul
atau keduanya (Brinkman & Leipe, 2001). Salah satu tujuan dari penyusunan
filogenetika adalah untuk mengkonstruksi dengan tepat hubungan antara
organisme dan mengestimasi perbedaan yang terjadi dari satu nenek moyang
kepada keturunanmya. Menurut Hidayat dan Pancoro (2006), terdapat tiga tahap
yang dilakukan dalam melakukan proses analisis filogenetika molekuler, yaitu
sequence alignment, rekonstruksi pohon filogenetika, dan evaluasi pohon
filogenetika dengan uji statistik.
2.7.1 Sequence alignment
Tahap ini merupakan tahap penentuan tingkat homolog dari satu sekuen
DNA atau protein dengan pembanding lainnya. Tahap ini melibatkan dua sekuen
40
yang homolog disebut pairwise alignment, sedangkan yang melibatkan banyak
sekuen yang homolog disebut multiple alignment. Keberhasilan analisis
filogenetika sangat tergantung kepada akurasi proses alignment. Pada tahap
alignment sering ditemukan adanya gap, yang ditandai oleh garis putus-putus.
Gap terjadi karena adanya insersi dan atau delesi. Dharmayanti (2011)
menyatakan dalam prakteknya, gap bisa dianggap sebagai data yang hilang,
walaupun dalam banyak kasus gap dapat dilibatkan dalam analisis karena bisa
bersifat informatif.
2.7.2 Rekonstruksi pohon Filogenetika
Membangun sebuah pohon filogenetika berdasarkan karakter dari urutan
nukleotida atau asam amino secara langsung dalam rekonstruksi pohon, dapat
menggunakan empat metode yaitu Distance method (DM), Maximum Likelihood
(ML), Bayessian Inference (BI), dan Maximum parsimony (MP).
Empat metode Maximum parsimony (MP) sangat sering dipilih, antara lain
karena pohon yang dibentuk lebih menggambarkan perubahan evolusioner yang
terjadi setiap waktu, mengandung asumsi bahwa proses evolusi akan menempuh
jalan yang paling singkat (parsimonious), dan perhitungan relatif lebih sederhana
dan cepat dengan tingkat realibilitas yang tinggi.
2.7.3 Evaluasi Pohon Filogenetika
Evaluasi pohon filogeni ini bertujuan untuk memastikan tingkat
kepercayaan dari pohon tersebut. Proses ini dilakukan dengan menerapkan
beberapa metode yaitu Interior branch test (IB) dan Felsentein's bootstrap test
41
(FB). Evaluasi pohon dilakukan menggunakan analisis bootsrap sebanyak 1.000
ulangan, dimana sebuah set dari site basa nukleotida diambil secara acak dan
dilakukan secara berulang, kemudian dilakukan konsensus, sehingga hanya satu
pohon filogenetika yang dihasilkan. Pada dasarnya pola perubahan basa
nukleotida sangat rumit dan sering berubah sejalan dengan waktu evolusi,
sehingga metode Felsentein's bootstrap test (FB) sangat baik digunakan dalam
mengevaluasi pohon filogenetika (Hidayat & Pancoro, 2006).
Saat ini terdapat dua program komputer utama yang sering digunakan
untuk merekonstruksi pohon filogenetika, yaitu PAUP dan MrBayes. PAUP
(Phylogeny Analysis of Using Parsimony) merupakan paket yang menyediakan
banyak program untuk menyelesaikan berbagai aspek dalam analisis filogenetika
molekuler. Paket tersebut terdiri dari program untuk menyusun format data sikuen
DNA atau protein, untuk merekonstruksi pohon filogenetika (berdasarkan metode
parsimoni), dan untuk evaluasi pohon filogenetika. Perlu dicatat bahwa program
PAUP dapat me-run set data selain molekuler, misalnya morfologi. Program
PAUP dapat dijalankan baik dengan menggunakan komputer ber-OS (operating
system) Macintosh dan Windows. Seperti program PAUP, MrBayes merupakan
program multifungsi untuk merekonstruksi pohon filogenetika (berdasarkan
metode Bayesian), tetapi program ini dibuat khusus hanya untuk set data
molekuler (Hidayat & Pancoro, 2006).