Post on 08-Dec-2016
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Selulosa
2.1.1 Struktur Selulosa
Selulosa merupakan salah satu polimer yang tersedia melimpah di alam.
Produksi selulosa sekitar 100 milyar ton setiap tahunnya. Sebagian dihasilkan
dalam bentuk selulosa murni seperti yang terdapat dalam rambut biji tanaman
kapas.Namun paling banyak adalah yang berkombinasi dengan lignin dan
polisakarida lain seperti hemiselulosa dalam dinding sel tumbuhan berkayu, baik
pada kayu lunak dan keras, jerami atau bambu. Selain itu selulosa juga dihasilkan
oleh bakteri Acetobacter xylinum secara ekstraseluler (Klemm, dkk., 1998a).
Senyawa ini juga dijumpai dalam plankton bersel satu atau alga di lautan, juga
pada jamur dan bakteri (Potthast, dkk., 2006; Zugenmaier, 2008).Sebagai bahan
baku kimia, selulosa telah digunakan dalam bentuk serat atau turunannya selama
sekitar 150 tahun (Habibi, dkk., 2010).
Selulosa pertama kali dijelaskan oleh Anselme Payen pada 1838 sebagai
serat padat yang tahan dan tersisa setelah pemurnian jaringan tanaman dengan
asam dan amonia (Brown dan Saxena, 2007). Payen mengamati bahwa bahan
yang telah dimurnikan mengandung satu jenis senyawa kimia yang seragam, yaitu
karbohidrat. Hal ini berdasarkan residu glukosa yang mirip dengan pati. Payen
Universitas Sumatera Utara
β-1,4-glikosida
juga mengatakan bahwa selulosa adalah isomer dari bahan penyusun pati
(Zugenmaier, 2008).
Selulosa tersusun dari unit-unit anhidroglukopiranosa yang tersambung
dengan ikatan β-1,4-glikosidik membentuk suatu rantai makromolekul tidak
bercabang. Setiap unit anhidroglukopiranosa memiliki tiga gugus hidroksil
(Potthast, dkk., 2006; Zugenmaier, 2008), seperti yang terlihat pada Gambar 2.1.
Selulosa mempunyai rumus empirik (C6H10 O5)n dengan n ~ 1500 dan berat
molekul ~ 243.000 (Rowe, dkk., 2009).
Gambar 2.1. Struktur selulosa (Zugenmaier, 2008)
Untuk mendapatkan sifat fisik dan kimia yang lebih baik dan memperluas
aplikasinya, selulosa dibuat dalam berbagai turunannya diantaranya turunan ester
dan eter. Ester selulosa banyak digunakan sebagai serat dan plastik, sedangkan
eter selulosa sebagai pengikat dan bahan tambahan untuk mortir khusus atau
kimia khusus untuk bangunan dan konstruksi juga stabilisator viskositas pada cat,
makanan, produk farmasetik, dan lain-lain. Selulosa juga merupakan bahan dasar
dalam pembuatan kertas. Seratnya mempunyai kekuatan dan durabilitas yang
tinggi. Jika dibasahi dengan air, menunjukkan pengembangan ketika jenuh, dan
Universitas Sumatera Utara
juga higroskopis. Bahkan dalam keadaan basah, serat selulosa alami tidak
kehilangan kekuatannya (Zugenmaier, 2008).
Turunan selulosa telah digunakan secara luas dalam sediaan farmasi
seperti etil selulosa, metil selulosa, karboksimetil selulosa, dan dalam bentuk
lainnya yang digunakan dalam sediaan oral, topikal, dan injeksi. Sebagai contoh,
karboksimetil selulosa merupakan bahan utama dari SeprafilmTM, yang digunakan
untuk mencegah adesi setelah pembedahan. Baru-baru ini, penggunaan selulosa
mikrokristal dalam emulsi dan formulasi injeksi semipadat telah dijelaskan.
Penggunaan bentuk-bentuk selulosa dalam sediaan disebabkan sifatnya yang inert
dan biokompatibilitas yang sangat baik pada manusia (Jackson, dkk., 2011).
2.1.2 Sifat Fisika Kimia
Bahan berbasis selulosa sering digunakan karena memiliki sifat mekanik
yang baik seperti kekuatan dan modulus regang yang tinggi, kemurnian tinggi,
kapasitas mengikat air tinggi, dan struktur jaringan yang sangat baik (Gea, dkk.,
2011). Pada Gambar 2.2 dapat dilihat lapisan-lapisan dinding sel kayu dan
selulosa mikrofibril. Dinding sel kayu dibagi dalam beberapa lapisan yaitu lamela
tengah (LT), dinding sel primer (P), dan dinding sel sekunder (S) (dinding
sekunder terbagi dalam lapisanS1, S2, dan S3). Lapisan-lapisan ini mempunyai
struktur dan komposisi kimia yang berbeda.
Selulosa merupakan polimer yang relatif stabil dikarenakan adanya ikatan
hidrogen. Selulosa tidak larut dalam pelarut air dan tidak memiliki titik leleh.
Serat selulosa juga memiliki fleksibilitas dan elastisitas yang baik sehingga dapat
mempertahankan aspect ratio (perbandingan panjang terhadap diameter (P/d))
yang tinggi selama proses produksi. Selulosa nanoserat memiliki beberapa
Universitas Sumatera Utara
Serat selulosa dalam dinding sel tanaman
Sel tanaman
Dinding sel
Serat
Mikroserat
Monomer-monomer glukosa
Rantai selulosa
S
S1
S2
S3
PLT
keuntungan seperti: densitas rendah, sumber yang dapat diperbaharui,
biodegradable, mengurangi emisi karbondioksida di alam, kekuatan dan modulus
yang tinggi, permukaan yang relatif reaktif sehingga dapat digunakan untuk
grafting beberapa gugus kimia, dan harga yang murah (Frone, dkk., 2011).
Gambar 2.2. Kumpulan rantai selulosa dalam mikrofibril yang membentukdinding sel tanaman (Modifikasi dari Djerbi, 2005).
2.1.3 Sumber Selulosa
Selulosa diisolasi dari dinding sel tanaman, bahan berkayu, rambut biji,
kulit pohon, dan tanaman laut. Serat kapas mengandung 95% selulosa, sedangkan
kayu 40-50% selulosa (Tabel 2.1). Jumlah selulosa dalam serat bervariasi menurut
sumbernya dan biasanya berkaitan dengan bahan-bahan seperti air, lilin, pektin,
protein, lignin dan substansi-substansi mineral. Selulosa yang diperoleh dari kayu
memerlukan proses yang panjang untuk menghilangkan hemiselulosa dan lignin
(Bhimte dan Tayade, 2007). Selulosa juga dapat dihasilkan dari serat tanaman
Universitas Sumatera Utara
seperti tongkol jagung (Ohwoavworhua dan Adelakun, 2005b), rambut biji dari
Cochlospermum planchonii (Ohwoavworhua dan Adelakun, 2005a), ampas tebu
(Sun, dkk., 2004), jerami (Ilindra dan Dhake, 2008), lenan (Leppanen,dkk., 2009).
Tabel 2.1. Senyawa kimia yang terdapat dalam beberapa bahan yang mengandungselulosa
(Zugenmaier, 2008).
Proses pemisahan selulosa dari lignin dan hemiselulosa disebut juga
dengan proses pulping. Pembuatan pulp ini dapat dilakukan secara mekanis,
semikimia, dan kimia. Metode secara mekanis dilakukan dengan groundwood
process, dimana blok kayu ditekan dengan batu giling yang lembab dan kasar
yang berputar dengan kecepatan 1000-1200 m/menit. Proses pulping secara
semikimia menggabungkan proses kimia dan mekanis. Pada proses ini kayu
dilunakkan dengan bahan kimia, kemudian pulp yang dihasilkan diperlakukan
SumberKomposisi (%)
Selulosa Hemiselulosa Lignin EkstrakHardwood 43-47 25-35 16-24 2-8Softwood 40-44 25-29 25-31 1-5Tebu 40 30 20 10Coir 32-43 10-20 43-49 4Tongkol jagung 45 35 15 5Tangkai jagung 35 25 35 5Kapas 95 2 1 0,4Flax (dibasahi) 71 21 2 6Flax (tidak dibasahi) 63 12 3 13Hemp 70 22 6 2Henequen 78 4-8 13 4Istle 73 4-8 17 2Jute 71 14 13 2Kenaf 36 21 18 2Rami 76 17 1 6Sisal 73 14 11 2Sunn 80 10 6 3Jerami gandum 30 50 15 5
Universitas Sumatera Utara
secara mekanis. Secara kimia proses pulping dapat dilakukan dengan proses sulfit,
basa, dan sulfat untuk melarutkan lignin dan hemiselulosa, dan meninggalkan
senyawa selulosa sebagai bentuk padatan. Proses sulfit menggunakan campuran
asam sulfit (H2SO3) dan ion bisulfit (HSO3-) untuk melarutkan lignin sebagai asam
lignosulfonat yang dapat larut dalam larutan pemasak. Pada proses basa kayu
dimasak dengan larutan NaOH. Proses sulfat (Kraft) menggunakan larutan NaOH
dan Na2S. Penggunaan kedua bahan ini akan meningkatkan delignifikasi dan
kekuatan pulp (Klemm, dkk., 1998a). Metode lain yang dapat digunakan untuk
delignifikasi adalah dengan metode ledakan uap (steam explosion). Pada metode
ini potongan kayu akan diberikan tekanan dan suhu yang tinggi dengan
menggunakan autoklaf (Othmer, 1993).
Sumber lain selulosa adalah hasil biosintesis selulosa oleh
mikroorganismeseperti bakteri, alga, dan jamur. Alga dan jamur menghasilkan
selulosa melalui sintesis in vitro secara enzimatik dari selobiosil fluorida, dan
kemosintesis dari glukosa dengan pembukaan cincin polimerisasi turunan benzil
dan pivaloyl. Dari ketiga mikroorganisme tersebut, hanya spesies Acetobacter
xylinum yang diketahui dapat menghasilkan selulosa dalam jumlah besar. Sumber
selulosa lain adalah dari hewan, yang disebut tunicin atau selulosa hewan karena
diperoleh dari organisme bahari tertentu dari kelas Tunicata (Gea, 2010).
2.1.4 Struktur Kristal dari Selulosa
Selulosa terdiri dari dua bagian yaitu amorf dan kristal. Selulosa dapat
ditemukan dalam bentuk mikrofibril kristalin selulosa I, II, III, dan IV. Fraksi
kristal dinyatakan dalam persentase sebagai indeks kristalinitas. Penentuan
Universitas Sumatera Utara
struktur selulosa bisa dilakukan dengan difraksi X-Ray, NMR, dan FTIR
(Klemm, dkk., 1998a; Gea, 2010).
Selulosa I merupakan bentuk asli selulosa yang terdiri dari dua kristal
allomorf, yaitu Iα dan Iβ. Berdasarkan pengujian difraksi elektron selulosa
Iαmemiliki satu unit sel triklinik, sedangkan selulosa Iβ memiliki dua unit sel
monoklinik, keduanya tersusun dalam satu susunan rantai paralel, dengan rasio
berbeda dalam satu serat, tergantung pada asalnya. Selulosa Iα banyak terdapat
pada selulosa bakteri dan valonia, sedangkan Iβ pada selulosa kapas atau kayu
(Klemm, dkk., 1998a).
Selain selulosa I, terdapat selulosa II yang terbentuk dengan pengendapan
selulosa dari larutan ke dalam medium air pada suhu kamar atau sedikit lebih
tinggi dari suhu kamar pada proses pemintalan serat selulosa buatan manusia
secara teknis. Selulosa II ini juga diperoleh dari proses merserisasi kapas, yang
terjadi melalui pembentukan natrium selulosa melalui interaksi polimer dengan
cairan natrium hidroksida dan peruraian dengan netralisasi atau penghilangan
natrium hidroksida. Proses transformasi dari selulosa I menjadi selulosa II
biasanya irreversible, walaupun ada yang menyatakan bahwa natrium selulosa
dapat diretransformasi sebagian menjadi selulosa I. Sistem ikatan hidrogen
selulosa II lebih rumit daripada selulosa I dan menghasilkan densitas tautan silang
intermolekul yang lebih tinggi (Mandal, 2011; Klemm, dkk., 1998a).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.3. Difraktogram difraksi X-Ray dari selulosa dan selulosa nanokristallinter (Li, dkk., 2003).
Li, dkk. (2003) melakukan kondensasi selulosa alam (linter) yang
memiliki struktur kristal I dengan NaOH 18% dan menghasilkan struktur kristal
baru, yaitu struktur kristal II. Perlakuan terhadap selulosa nanokristal
(nanocrystalline cellulose, NCC) dengan struktur kristal I menggunakan NaOH
4% juga menghasilkan NCC dengan struktur kristal II. Struktur kristal selulosa
dan NCC dari penelitian Li, dkk. (2003) ini dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Struktur selulosa III dan IV diturunkan dari selulosa I atau II, disebut
dengan selulosa IIII, IVI, dan IIIII dan IVII. Selulosa III diperoleh dari perlakuan
selulosa I atau II dengan cairan amoniak dibawah -30 oC dan rekristalisasi sampel
dengan evaporasi amoniak (Klemm, dkk., 1998a).
2.1.5 Biosintesis
Selulosa terdapat pada semua dinding sel tumbuhan. Tumbuhan darat
seperti pohon hutan dan kapas menyintesis selulosa dari glukosa, yang dihasilkan
dalam sel tanaman dengan cara fotosintesis. Senyawa ini juga dijumpai dalam
plankton bersel satu atau alga, juga pada jamur dan bakteri (Zugenmaier, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Hemiselulosa
α-glukosa-6-P
Fruktokinase
Mannosa-6-P
Fosfomannomutase Mannosa-6-P-isomerase
β-Fruktosa-6-PMannosa-1-P
Glukosa-6-P-isomerase
Fosfoglukomutase
α-glukosa-1-P
UTP-glukosa-1-P-uridiltransferase
UDP-glukosa Selulosa
Fruktosa
SukrosaGlukosa
Sukrosa-6-P
Sukrosa fosfatase Sukrosa sintase
Selulosa sintase
α-glukosidase
UDP glukosa dehidrogenase
UDP-glukoronat
UDP-glukoronat-4-epimerase
UDP-galakturonat
Hemiselulosa, pektin
1,4-β-glukan
β-Glukosa
Selulase
β-Glukosidase
Glukosida Glukosa
Β-glukosidase
Fenol Β-glukosiltransferase
Ada 3 (tiga) cara sintesis selulosa adalah sebagai berikut:
1. Biosintesis dalam organisme hidup2. Sintesis enzimatik in vitro3. Sintesis kimia dengan polimerisasi dari monomer yang sesuai (Klemm, dkk.,
1998b).
Biosintesis selulosa merupakan proses yang sangat kompleks, tidak hanya
pada pembentukan rantai β-1,4-glukan, tetapi juga pada penetapan susunan
supramolekuler dan serat dalam polimer padat yang terbentuk. Mekanisme
pembentukan selulosa dianggap berbeda pada tumbuhan tinggi dan bakteri atau
alga. Biosintesis selulosa pada tumbuhan tinggi dapat dilihat pada Gambar 2.4.
Proses biosintesis diawali dengan konversi β-fruktosa-6-P menjadi α-glukosa-6-
fosfat oleh enzim glukosa-6-fosfat isomerase, kemudian menjadi α-glukosa-1-P
oleh enzim fosfoglukomutase. α-glukosa-1-P diubah menjadi UDP (uridin
difosfatase)-glukosa oleh UTP (uridin trifosfatase)-glukosa-1-fosfat uridil
transferase. Dengan bantuan enzim selulosa sintase UDP-glukosa diubah menjadi
selulosa. Selain dari fruktosa, selulosa juga bisa dihasilkan dari sukrosa. Enzim
sukrosa sintase akan mengubah sukrosa menjadi UDP-glukosa, selanjutnya
menjadi selulosa dengan bantuan selulosa sintase (Brown dan Saxena, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.4. Sintesis selulosa yang dipengaruhi oleh enzim pada Populus trimula(L) (Modifikasi dari Brown dan Saxena, 2007)
Sintesis selulosa in vitrosecaraenzimatik diketahui ada 2 (dua) cara:
1. Mereaksikan UDP-glukosa dengan selulosa sintase yang dimurnikan
2. Kondensasi glukosa atau turunannya oleh selulase (Klemm, dkk., 1998b)
2.2 Selulosa Mikrokristal
Selulosa mikrokristal telah dibuat dari beberapa sumber alam, seperti dari
serat rami, kulit kapas, ampas tebu, jerami, lenan dengan cara menghidrolisis α-
selulosa dengan larutan asam encer pada suhu tinggi. Pada proses hidrolisis asam,
bagian non kristalin terhidrolisis dan bagian kristal dilepaskan (Terinte, dkk.,
2011). Hidrolisis α-selulosa ini akan mengakibatkan pemendekan rantai, sehingga
selulosa mikrokristal memiliki rumus molekul (C6H10O5)n, dimana n ~ 220,
dengan berat molekul: ~ 32.400 (Ohwoavworhua dan Adelakun, 2005a; Bhimte
dan Tayade, 2007; Ilindra dan Dhake, 2008; Leppanen, dkk., 2009; Rowe, dkk.,
2009).
Selulosa mikrokristal dikenalkan pada tahun 1960-an dandigunakan
sebagai pengikat, pengisi dalam tablet, penghilang lemak, stabilizer dalam
Universitas Sumatera Utara
industri makanan, komposit dalam kayu, industri plastik, dan kosmetik (Terinte,
dkk., 2011). Selulosa mikrokristal dianggap sebagai bahan tambahan terbaik untuk
pembuatan tablet cetak langsung(Bhimte dan Tayade, 2007; Bushra,dkk., 2008),
bisa sebagai bahan pengisi, pengikat pada tablet dengan konsentrasi 20%-90%,
penghancur tablet dengan konsentrasi 5%–20%(Soekemi, dkk., 1987; Gohel dan
Jogani, 2005; Rowe, dkk., 2009).
Karakteristik selulosa mikrokristal menurut USP 32-NF 27 meliputi uji
identifikasi, sifat fisika dan kimia, cemaran mikroba, dan lethal dose 50% (LD50).
Spesifikasi selulosa mikrokristal menurut USP 32-NF 27 dapat dilihat pada Tabel
2.2 berikut ini.
Tabel 2.2. Spesifikasi selulosa mikrokristal menurut USP 32-NF 27
Pengujian USP 32-NF 27Organoleptik Berwarna putih, tidak berbau dan berasaIdentifikasi Berwarna biru violet dengan ZnCl2
Pati Tidak ada (tidak berwarna biru dengan larutaniodin)
Derajat Polimerisasi < 350Zat larut air (%) < 0,25Zat larut eter (%) < 0,05Angka Lempeng Total (cfu/g)
< 1000
Angka Kapang dan Khamir (cfu/g)
< 100
Escherichia coli -Staphylococcus aureus -Salmonella species -Pseudomonas aeruginosa
-
pH 5,0-7,5Susut pengeringan (%) < 7,0Kadar abu total (%) < 0,1Kadar logam berat (Pb, Cd) (%)
< 0,001
LD50 > 5 g/kg BB(Rowe, dkk, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Selulosa mikrokristal banyak digunakan sebagai eksipien pada pembuatan
tablet cetak langsung. Sifat alir dari bahan tambahan adalah penting untuk
diketahui. Hal ini berkaitan dengan penanganan dan pencetakan bahan serbuk,
khususnya untuk bahan tambahan tablet cetak langsung. Kemampuan mengalir
suatu bahan serbuk dapat dilihat pada Tabel 2.3 di bawah ini.
Tabel 2.3. Tabel kemampuan mengalir serbuk menurut Carr
Derajat kemampuanmengalir
Sudut diam (o) Kompresibilitas (%)
Sangat baik 25-30 5-10Baik 31-35 11-15
Sedang 36-40 16-20Cukup 41-45 21-25Buruk 46-55 26-31
Sangat buruk 56-65 32-37Sangat sangat buruk 66-90 >38
(Bhimte dan Tayade, 2007)
Berdasarkan Table 2.3 di atas, sudut diam memberikan penilaian terhadap
pergesekan internal dan kohesif. Nilai sudut diam hingga 40o menunjukkan
potensi untuk mengalir sedangkan sudut yang lebih besar dari 50o menunjukkan
sifat alir yang buruk atau tidak dapat mengalir. Pengukuran sudut diam peka
terhadap kelembaban dan dapat menjadi suatu cara dalam memonitor perbedaan
antara satu bets dengan bets lainnya (Bhimte dan Tayade, 2007). Indeks Hausner
merupakan indikasi dari pergesekan antarpartikel. Nilai indeks Hausner yang
lebih besar dari 1,25 menunjukkan sifat alir yang buruk (Ohwoavworhua dan
Adelakun, 2005b). Kompresibilitas dihitung dengan menggunakan nilai berat
jenis mampat dan ruahan. Nilai kompresibilitas lebih dari 20% menunjukkan
Universitas Sumatera Utara
serbuk tidak dapat mengalir bebas,sedangkan bahan dengan kompresibilitas lebih
dari 38% akan sulit untuk keluar dari hopper(Bhimte dan Tayade, 2007).
Selulosa mikrokristal dapat diperoleh secara komersial dengan berbagai
kualitas dan merek dagang, diantaranya Avicel PH, Cellets, Celex, hellolosum
mikrokristallinum, Celphere, Ceolus KG, Comprecel, Emcocel, Ethisphere,
Fibrocel, Pharmacel, dan lain-lain. Selulosa mikrokristal tersedia dalam berbagai
kelas (grade) berdasarkan analisis ukuran partikel (Tabel 2.4) (Rowe, dkk, 2009).
Tabel 2.4. Beberapa merek dagang dan kelas dari selulosa mikrokristal
KelasRata-rata Ukuran
Partikel (ηm)
Analisis Ukuran PartikelUkuran
Ayakan (Mesh)Jumlah yangTertahan (%)
Avicel PH 101 50 60 ≤ 1,0200 ≤30,0
Avicel PH 102 100 60 ≤ 8,0200 ≥ 45,0
Avicel PH 103 50 60 ≤ 1,0200 ≤ 30,0
Avicel PH 105 20 400 ≤ 1,0Avicel PH 112 100 60 ≤ 8,0Avicel PH 113 50 60 ≤ 1,5
200 ≤ 30,0Avicel PH 200 180 60 ≥ 10,0
100 ≥ 50,0Celex 101 75 60 ≤ 1,0
200 ≥ 30,0Ceolus KG 802 50 60 ≤ 0,5
200 ≤ 30,0Emcocel 50M 50 60 ≤ 0,25
200 ≤ 30,0Emcocel 90M 91 60 ≤ 8,0
200 ≥ 45,050 60 ≤ 1,0
(Rowe, dkk., 2009)
2.3 Derajat Polimerisasi
Universitas Sumatera Utara
Polimer alam seperti protein, selulosa, dan karet telah dikenal dan
dimanfaatkan manusia berabad-abad untuk berbagai keperluan. Polimer tinggi adalah
molekul besar yang dibangun oleh pengulangan kesatuan kimia yang kecil dan
sederhana. Akibatnya, molekul-molekul polimer umumnya mempunyai berat molekul
yang sangat besar. Apabila satuan itu berulang lurus seperti rantai, maka molekul-
molekul polimer seringkali digambarkan sebagai molekul rantai atau rantai polimer.
Panjang rantai polimer dapat dinyatakan dalam DP dari polimer yang bersangkutan,
yaitu jumlah kesatuan berulang dalam rantai polimer. Jumlah unit glukosa di dalam
molekul selulosa dapat dilihat melalui derajat polimerisasinya (Purwaningsih, 2012).
Berat molekul dari suatu makromolekul adalah perkalian DP dengan berat molekul
unit strukturnya (Stevens, 2001).
DP selulosa sangat bervariasi, bergantung pada sumber dan perlakuan yang
diberikan. Perlakuan kimia secara intensif seperti pembuatan pulp, pengelantangan,
dan transformasi akan sangat menurunkan harga DP. Proses delignifikasi dan
ekstraksi juga dapat menurunkan DP selulosa. Selain itu, semakin tua umur pohon,
maka DP juga semakin menurun (Wegener, 1985).
Penentuan DP biasanya dilakukan dengan menentukan viskositas sampel
setelah sampel dilarutkan dalam pelarut kompleks berair, seperti cuprammonium
hidroksida (Cuam) atau cupri etilen diamin (CED). DP dari polimer sangat
menentukan tingkat viskositas larutan pada konsentrasi polimer yang diberikan
(Klemm, 1998).
2.4 Selulosa Nanokristal
Ranby dan Ribi (1950) untuk pertama kalinya telah melaporkan bahwa
suspensi koloid selulosa dapat diperoleh dengan mendegradasi serat selulosa yang
dikatalisis oleh asam sulfat. Kemudian Nickerson dan Habrle (1947) meneliti
Universitas Sumatera Utara
bahwa degradasi diinduksi dengan pendidihan serat selulosa dalam larutan asam
mencapai suatu batas setelah perlakuan dalam waktu tertentu. Gambar
2.5transmission electron microscopy (TEM) dari suspensi kering menunjukkan
adanya partikel berbentuk jarum dan analisis selanjutnya dengan difraksi elektron
menunjukkan adanya kesamaan struktur kristal seperti serat aslinya (Habibi, dkk.,,
2010).
Gambar 2.5. Gambar TEM selulosa nanokristal dari sisal (Garcia, dkk., 2006)
Selulosa nanokristal telah diisolasi dari berbagai sumber selulosa,
termasuk tanaman, selulosa mikrokristal, hewan, bakteri, dan alga. Kapas adalah
salah satu sumber selulosa yang memiliki kandungan selulosa tinggi (94%)
(Oksman dan Mathew, 2007; Klemm, dkk., 2011).
2.4.1 Pembuatan dan Karakterisasi Selulosa Nanokristal
Proses utama untuk menghasilkan selulosa nanokristal dari serat selulosa
adalah berdasarkan hidrolisis asam. Bagian amorf akan lebih mudah dihidrolisis,
sedangkan bagian kristal yang lebih tahan terhadap serangan asam akan tersisa
(Habibi, dkk., 2010).
Universitas Sumatera Utara
Prosedur khas yang dilakukan untuk menghasilkan selulosa nanokristal
adalah menghidrolisis selulosa murni dengan asam kuat dalam kondisi temperatur,
pengadukan, dan waktu yang terkendali. Proses kimia dimulai dengan
penghilangan ikatan antar polisakarida pada permukaan serat selulosa dan diikuti
dengan pecah dan rusaknya bagian amorf sehingga melepaskan bagian kristal
selulosa. Setelah hidrolisis dilakukan, suspensi yang dihasilkan diencerkan dengan
air, dan dicuci dengan beberapa kali sentrifugasi. Kemudian dialisis dilakukan
untuk menghilangkan molekul asam bebas dari dispersi dan memisahkan partikel
yang berukuran lebih kecil dan lebih besar dari pori-pori membran dialisis yang
digunakan. Tahap selanjutnya adalah proses mekanik seperti sonikasi yang akan
menghilangkan pengotor yang masih melekat pada selulosa nanokristal sehingga
diperoleh nanokristal yang terdispersi dalam suspensi yang stabil. Struktur, sifat,
dan tahap pemisahan tergantung pada asam mineral dan konsentrasi yang
digunakan, temperatur dan waktu hidrolisis, serta intensitas ultrasonikasi (Habibi,
dkk., 2010; Klemm, dkk., 2011).
Jenis asam mineral yang digunakan dalam tahap hidrolisis memiliki
pengaruh besar pada sifat permukaan nanokristal. Kristal yang dihasilkan dengan
menggunakan HCl menunjukkan stabilitas koloid yang rendah dan tidak
bermuatan, sedangkan hidrolisis yang dilakukan dengan asam sulfat akan
mengalami sulfasi pada beberapa permukaan dan menghasilkan selulosa yang
bermuatan negatif pada permukaannya (Klemm, dkk., 2011). Selulosa nanokristal
yang ditritmen dengan HCl kemudian dengan asam sulfat menghasilkan ukuran
partikel yang sama seperti yang diperoleh dengan hidrolisis asam sulfat.
Sedangkan proses hidrolisis yang dilakukan dengan menggunakan kombinasi
Universitas Sumatera Utara
asam klorida dan asam sulfat memberikan bentuk sferis pada nanokristal. Bentuk
sferis memiliki gugus sulfat yang lebih sedikit pada permukaannya (Habibi, dkk.,
2010).
Konsentrasi asam sulfat yang digunakan tidak banyak bervariasi dari
konsentrasi 65% (b/b), temperatur dapat berada pada rentang suhu kamar sampai
70oC, waktu hidrolisis dapat berbeda dari 30 menit sampai 1 malam tergantung
suhu yang digunakan. Hidrolisis dengan asam klorida dapat dilakukan pada
temperatur refluks dengan konsentrasi asam antara 2,5-4 N dengan variasi suhu
tergantung pada sumber selulosa yang digunakan (Habibi, dkk., 2010). Bondeson,
dkk. (2006) telah meneliti kondisi optimum hidrolisis dengan menggunakan
selulosa mikrokristal dari Norway spruce (Picea abies) sebagai bahan awal
selulosa. Faktor yang divariasikan selama proses adalah konsentrasi selulosa
mikrokristal dan asam sulfat, waktu dan temperatur hidrolisis, dan waktu tritmen
dengan ultrasonik. Penelitian ini menunjukkan bahwa konsentrasi asam sulfat
63,5% (b/b) dengan waktu hidrolisis sekitar 2 jam, telah menghasilkan selulosa
nanokristal dengan rendemen 30% dari berat awal dan memiliki panjang 200-400
nm dan lebar kurang dari 10 nm. Perpanjangan waktu hidrolisis menghasilkan
nanokristal yang lebih pendek dan menambah muatan permukaan. Ukuran dan
morfologi nanokristal tergantung pada sumber selulosa: selulosa tunicate dan alga
memiliki panjang beberapa mikron, sedangkan serat kayu menghasilkan
nanokristal yang lebih pendek (Klemm, dkk., 2011; Frone, dkk., dkk., 2011).
Yu, dkk. (2012) telah membuat selulosa nanokristal dari pulp bambu. Pada
proses ini digunakan asam sulfat dengan konsentrasi 46%, suhu dan waktu
hidrolisis berturut-turut 55oC dan 30 menit. Selulosa nanokristal yang dihasilkan
Universitas Sumatera Utara
memiliki panjang 200-500 nm dan diameter kurang dari 20 nm. Hasil uji FTIR
menunjukkan spektrum yang sama dengan pulp bambu. Derajat kristalinitas
selulosa nanokristal bambu 71,98%. Hal ini dikarenakan bagian amorf telah
banyak dihilangkan pada saat hidrolisis dengan asam sulfat. Selulosa nanokristal
yang diperoleh dari hasil hidrolisis Luffa cylindrica dengan asam sulfat 65%
memiliki bentuk whisker dengan derajat kristalinitas 96,5%.
Chang, dkk. (2010) telah membuat selulosa nanokristal dari cotton linter
dengan menggunakan variasi konsentrasi asam sulfat 50%-60%, temperatur 45–
55oC, dan waktu hidrolisis 5-15 menit. Hasil selulosa nanokristal yang terbaik
adalah yang diperoleh dari hidrolisis dengan asam sulfat 60%, temperatur 45oC,
dan waktu reaksi 5 menit. Selulosa nanokristal ini memiliki bentuk jarum, gugus
fungsi yang tidak berbeda dengan selulosa kapas, dan temperatur degradasi yang
lebih rendah dari kapas dan selulosa nanokristal lain.
Selulosa nanokristal mempunyai rasio luas permukaan dan volume yang
sangat besar (Habibi, dkk., 2010; Liu, dkk., 2010). Luas permukaan yang sangat
besar ini merupakan suatu keuntungan dari selulosa nanokristal yaitu
memungkinkan untuk lebih banyak obat dapat berikatan dan berinteraksi dengan
permukaannya (Jackson, dkk., 2011).
2.4.2 Aplikasi Selulosa Nanokristal
Penggunaan selulosa nanokristal dalam material komposit dikarenakan
sifatnya seperti berukuran dalam skala nanometer, luas permukaan yang tinggi,
morfologi yang unik, kekakuan, kristalinitas, dan kekuatan mekanik yang tinggi.
Selulosa nanokristal yang digunakan sebagai pengisi dalam memperkuat material
komposit telah dijumpai dalam berbagai bidang, seperti industri elektronik,
Universitas Sumatera Utara
konstruksi, biomedik, kosmetik, industri kertas, pengemasan, bahan bangunan,
tekstil, dan lain-lain (Frone, dkk., 2011).
Sifat mekanik film nanokomposit tergantung pada ukuran dan morfologi
dari dua bahan yang digunakan, yaitu selulosa nanokristal dan matriks polimer,
juga teknik pembuatannya. Aspect ratio merupakan faktor utama yang
mengendalikan sifat mekanik dari nanokomposit. Pengisi dengan aspect ratio
yang tinggi memberikan efek penguatan yang sangat baik. Telah dilaporkan
bahwa modulus tertinggi meningkat dalam matriks karet dari poli(S-co-BuA) dan
stabilitas termal diperoleh dengan menggunakan whiskers tunicin (P/d ~ 67)
dibandingkan dengan whisker bakteri (P/d ~ 60) dan Avicel (P/d ~ 10) (Peng,
dkk., 2011).
Selulosa nanokristal dapat digunakan sebagai bahan tambahan pada sistem
penyampaian obat. Bahan ini berikatan dengan obat yang larut dalam air dan
terionisasi (tetrasiklin dan doksorubisin) yang memberikan pelepasan obat dengan
segera. Setil trimetilamonium bromide berikatan dengan permukaan selulosa
nanokristal, sehingga meningkatkan potensial zeta dari -55 mV ke 0 mV dan
mengakibatkan obat-obat hidrofob seperti paclitaxel, docetaxel, dan etoposida
dilepaskan dengan cara terkendali lebih dari dua hari (Jackson, dkk., 2011).
2.5 Arenga pinnata (Wurmb) Merr.
Sistematika dan identifikasi tanaman aren adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Class : Dicotyledoneae
Ordo : Arecales
Universitas Sumatera Utara
Famili : Arecaceae
Genus : Arenga
Spesies : Arenga pinnata (Wurmb) Merr.
Nama lokal : Aren (Corner dan Watanabe, 1969)
Tanaman aren (Arenga pinnata (Wurmb) Merr.) atau Arenga saccharifera
Labill merupakan tumbuhan palam rumbai yang terkenal. Tumbuhan ini banyak
didapati di seluruh Nusantara. Pohon aren ini tumbuh mulai dari ketinggian di atas
permukaan laut hingga 1220 m lebih di alam liar dan tidak jarang dibudidayakan.
Pohon aren mempunyai tinggi batang mencapai 25 m dengan diameter 65 cm.
Bunga aren ini terdiri dari bunga jantan dan betina. Kedua bunga terpisah pada
masing-masing tandan (spadix). Bunga jantan berwarna kecoklatan dan bunga
betina kehijauan. Bunga betina menghasilkan sedikit atau tidak menghasilkan nira
sama sekali, oleh karena itu bunga betina dibiarkan menjadi buah (Heyne, 1987).
Pohon aren memiliki daun yang panjang seperti daun kelapa dan bertulang
sejajar. Pada sepanjang tepi-tepi daun bagian atas dari pelepah daunnya yang lebar
terdapat serat dan serabut hitam yang kokoh. Serabut ini sering disebut ijuk
(Hidayat dan Utomo, 1976). Buah aren dalam jumlah yang banyak bergantung
pada tandan yang besar dan bercabang. Buah yang telah terbentuk dapat dipanen
beberapa kali dalam setahun. Buah mempunyai bentuk bulat panjang dengan
ujung melengkung ke dalam, diameter 3-5 cm, dan berisi 2-3 biji di dalamnya.
Biji dari buah yang masih muda setelah diambil dan dididihkan dengan atau tanpa
gula dapat dijadikan makanan yang biasa disebut kolang-kaling (Florido dan De
Mesa, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Kolang-kaling dapat dihasilkan rata-rata sebanyak 100 kg/pohon/tahun
bila tidak disadap niranya (Anonim, 2009). Kolang-kaling merupakan makanan
berserat, memiliki kadar air sangat tinggi, hingga mencapai 93,8% dalam setiap
100 gramnya. Kolang-kaling juga mengandung protein, karbohidrat, dan serat
kasar. Komponen utama polisakarida yang terdapat dalam kolang-kaling adalah
polisakarida yang larut air yaitu galaktomanan (Rao, dkk., 1961; Tarigan dan
Kaban, 2010). Galaktomanan yang terdapat dalam kolang-kaling memiliki
perbandingan manosa:galaktosa sebesar 2,26:1 (Koiman, 1971).
Kulit buah (exocarp) berwarna hijau ketika masih muda dan kuning
kecoklatan bila sudah tua. Daging buah (mesocarp) berwarna kuning keputihan,
lunak dan dapat menyebabkan gatal, kulit biji (endocarp) relatif tipis, berwarna
kuning kecoklatan waktu masih muda, menjadi hitam dan sangat keras bila sudah
tua (Miller, 1964).
Aren merupakan tanaman serbaguna. Bisa dikatakan semua bagian dari
tanaman aren dapat dimanfaatkan. Akarnya untuk bahan anyaman dan cambuk,
batang yang dibelah sebagai talang (saluran air), kayunya digunakan untuk
tongkat jalan, tulang daun untuk keranjang dan sapu, daun muda sebagai
pengganti kertas rokok, serabut pelepah untuk tali ijuk, keranjang, sapu, dan sikat,
empulur batang diolah menjadi pati yang dapat digunakan untuk pembuatan kue.
Biji buahnya dibuat manisan dan dimakan (kolang-kaling). Cairan pada tongkol
bunga jantan disadap karena mengandung gula, biasa disebut nira. Nira ini
kemudian dibuat gula aren, kalau dikhamirkan menghasilkan sagu air, tuak (arak)
atau cuka (Yuniarti, 2008). Selain itu, hasil fermentasi, destilasi, dan dehidrasi dari
Universitas Sumatera Utara
nira dapat menghasilkan bioetanol dengan kadar etanol sekitar 95% (Effendi,
2010).
2.6 Tandan Aren
Tandan buah pohon aren (Gambar 2.6) terdiri dari banyak tangkai yang
panjangnya kira-kira 2 kaki (60,96 cm). Semua tandan bergantungan pada sebuah
tangkai yang lebih besar dan penuh dengan buah yang berwarna hijau bila masih
muda dan coklat kekuning-kuningan bila masak. Kadang-kadang pada satu pohon
terdapat 4 sampai 5 tandan buah aren yang masing-masing mempunyai bobot
sekitar 100 kg (Heyne, 1987).
Gambar 2.6. Tandan buah aren (http://www.pantonanews.com)
Tandan aren yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari industri
kolang kaling yang terdapat di Kecamatan Selesai, Kabupaten Langkat, Sumatera
Utara. Industri kolang kaling ini merupakan sentra terbesar produksi bahan kolang
Universitas Sumatera Utara
kaling yang pemasarannya menjangkau Jakarta, Medan, Batam, Pekan Baru,
Aceh, bahkan sampai ke Malaysia. Buah kolang kaling diperoleh dari para
pengumpul yang berasal dari daerah Langkat, Dairi, Padang Sidempuan, dan
Pakpak Barat (Anonim, 2012). Buah aren yang bijinya akan diolah menjadi
kolang kaling dibawa ke pabrik masih lekat pada tandannya.
Tandan aren ini merupakan bagian dari tanaman aren yang berkayu dan
memiliki sifat fisik yang kuat karena menjadi tempat bergantung banyak buah.
Beberapa komponen senyawa kimia yang terdapat pada tandan aren dapat dilihat
Tabel 2.5.
Tabel 2.5. Komponen kimia tandan aren
Parameter Kadar (%)Lignin 27,74Holoselulosa 68,11α-selulosa 33,79Kadar air 11,10Ekstraktif 1,80
(Sumaiyah, dkk., 2013)
Pada industri kolang-kaling terdapat limbah padat berupa tandan dan kulit
buah aren. Tandan aren yang telah diambil buahnya dibiarkan bertumpuk dan
mengering. Pemanfaatan tandan aren ini masih sangat terbatas, yaitu hanya
sebagai kayu bakar. Dengan mengetahui kandungan bahan kimia dari tandan aren,
maka tandan aren ternyata dapat digunakan sebagai salah satu sumber selulosa
untuk diolah menjadi selulosa mikrokristal dan nanokristal yang akan
dimanfaatkan dalam bidang farmasi.
2.7 Tablet
Universitas Sumatera Utara
Tablet adalah sediaan padat yang mengandung bahan obat dengan atau
tanpa bahan pengisi. Sebagian besar tablet dibuat dengan cara pengempaan dan
merupakan bentuk sediaan yang paling banyak digunakan. Tablet kempa dibuat
dengan memberikan tekanan tinggi pada serbuk atau granul. Tablet dapat dibuat
dalam berbagai ukuran, bentuk dan penandaan permukaan tergantung pada desain
cetakan (Ditjen POM, 1995).
Tablet tersedia dalam berbagai bentuk antara lain tablet kunyah, tablet
effervescent, tablet hisap, tablet sublingual, dan tablet vagina. Proses produksi
sediaan tablet merupakan tahapan yang kompleks. Bahan dasar (zat aktif dan
eksipien) dalam bentuk serbuk akan diubah menjadi bentuk tablet, yang secara
fisik terlihat bahwa terjadi perubahan karakter fisik dari bentuk serbuk menjadi
bentuk tablet yang kompak. Metode pembuatan tablet dapat dibedakan menjadi :
a. Metode Granulasi Basah (Wet Granulation)
Jika bahan aktif tahan terhadap air atau pelarut dan terhadap panas maka dapat
dipilih metode granulasi basah. Metode granulasi yang paling banyak digunkan
di industri farmasi adalah metode granulasi basah. Inti dari metode granulasi
basah adalah adanya penambahan air atau cairan dalam proses granulasinya
(baik cairan bahan pengikat maupun cairan yang hanya berfungsi sebagai
pelarut atau pembawa bahan pengikat).
b. Metode Granulasi Kering (Dry Granulation)
Metode granulasi kering dilakukan bila zat aktif yang akan digranul tidak tahan
terhadap panas dan kelembaban dari solven atau pelarut. Pada metode
granulasi kering, bahan pengikat ditambahkan dalam bentuk serbuk dan tanpa
penambahan pelarut.
Universitas Sumatera Utara
c. Metode Kempa Langsung (Direct Compression)
Kempa langsung didefinisikan sebagai proses pembuatan tablet dengan
langsung mengempa campuran serbuk (zat aktif dan eksipien), dan tidak ada
proses sebelumnya kecuali penimbangan dan pencampuran bahan. Metode
pembuatan tablet secara kempa langsung merupakan metode yang sangat
disenangi. Hal ini karena kempa langsung memberi beberapa keuntungan
diantaranya ialah lebih ekonomis, karena tahapan produksinya lebih singkat,
peralatan yang dibutuhkan tidak banyak, membutuhkan tenaga yang sedikit dan
karena prosesnya singkat maka stabilitasnya tetap terjaga (Bushra, dkk., 2008).
Tablet yang dibuat secara kempa langsung memberikan level mikroba yang
lebih rendah dibandingkan dengan cara granulasi basah (Ibrahim dan
Olurinola, 1991).
2.8 Eksipien Tablet
2.8.1Avicel
Avicel merupakan salah satu merek dagang dari selulosa mikrokristal yang
paling banyak dan sering digunakan sebagai bahan tambahan pada tablet cetak
langsung, karena bahan ini dapat berfungsi sebagai bahan pengisi, pengikat, dan
sekaligus penghancur tablet. Avicel memiliki beberapa kelas tingkatan
berdasarkan ukuran partikel dan persentase jumlah bahan yang tertahan setelah
diayak dengan ayakan berukuran tertentu, misalnya Avicel PH 102 memiliki
ukuran partikel 100 ηm dengan jumlah partikel yang tertahan setelah diayak
dengan ayakan 60 mesh adalah < 1,0% dan dengan ayakan 200 mesh tertahan
sebesar < 30,0%. Untuk kelas Avicel yang lain dapat dilihat pada Tabel 2.4
(Rowe, dkk., 2009).
Universitas Sumatera Utara
Spesifikasi Avicel PH 102 dapat dilihat pada Tabel 2.6 di bawah ini. Nilai-
nilai yang tertera pada Tabel 2.6 sesuai dengan persyaratan pengujian selulosa
mikrokristal yang ditetapkan oleh USP 32-NF 27 (Tabel 2.2).
Tabel 2.6. Spesifikasi Avicel PH 102 (berdasarkan sertifikat analisis yangdikeluarkan oleh pabrik)
Pengujian Spesifikasi Avicel PH 102Organoleptik Berwarna putih, tidak berbau dan berasaIdentifikasi Berwarna biru violet dengan ZnCl2
Pati Tidak ada (tidak berwarna biru dengan larutaniodin)
Derajat Polimerisasi 236Zat larut air (%) 0,08Zat larut eter (%) 0,013Angka Lempeng Total (cfu/g)
sesuai
Angka Kapang dan Khamir (cfu/g)
sesuai
Escherichia coli sesuaiStaphylococcus aureus sesuaiSalmonella species sesuaiPseudomonas aeruginosa
sesuai
pH 6,3Susut pengeringan (%) 4,4Kadar abu total (%) 0,01Kadar logam berat (Pb, Cd) (%)
Sesuai
2.8.2 Lactose Spray Dried
Laktosa adalah gula yang diperoleh dari susu. Dalam bentuk anhidrat atau
mengandung satu molekul air hidrat. Konsentrasi laktosa yang digunakan dalam
Universitas Sumatera Utara
formulasi adalah 65%-85%. Laktosa merupakan serbuk atau massa hablur, keras,
putih, atau putih krem. Tidak berbau dan berasa sedikit manis, stabil di udara,
tetapi mudah menyerap bau. Mudah larut dalam air dan lebih mudah larut dalam
air mendidih, praktis tidak larut kloroform, etanol, dan eter (Rowe, dkk., 2009).
Secara kimia laktosa terdiri atas dua bentuk isomer, α dan β. α-laktosa
monohidrat tersedia komersial sebagai serbuk tak berasa dalam suatu rentang
ukuran partikel 200-400 mesh. Ada dua jenis laktosa yaitu yang berukuran 60-80
mesh (kasar) dan 80-100 mesh (biasa). Umumnya formulasi yang menggunakan
laktosa menunjukkan laju pelepasan obat yang baik. Granulnya cepat kering dan
waktu hancurnya tidak terlalu peka terhadap perubahan kekerasan tablet
(Lachman, 1964).
Lactose spray dried (LSD) saat ini tersedia untuk digunakan sebagai bahan
pengikat-pengisi dalam tablet cetak langsung. LSD dibuat dari atomisasi dan
pengeringan suspensi kristal α-laktosa monohidrat dalam larutan laktosa. 10-20%
laktosa ada dalam larutan dan sisanya 80-90% dalam bentuk kristal.Proses
pengeringan dengan spray dryer menghasilkan partikel dalam bentuk sferis.
(Rowe, dkk., 2009).
2.8.3 Magnesium Stearat
Magnesium stearat (C36H70MgO4) merupakan campuran magnesium
dengan asam organik padat yang mengandung magnesium stearat dan magnesium
palmitat. Bahan ini digunakan sebagai bahan pelicin (lubrikan) dalam kapsul dan
tablet dengan konsentrasi 0,25%-5,0% w/w. Pemerian berupa serbuk, halus, licin,
putih, dan mudah melekat pada kulit, bau lemah khas, dan bebas dari butiran.
Universitas Sumatera Utara
Kelarutannya praktis tidak larut dalam air, etanol 95%P dan dalam eter P, sukar
larut dalam benzen dan etanol (95%) (Rowe, dkk., 2009).
Penggunaan magnesium stearat secara umum adalah pada sediaan
kosmetik, makanan, dan formula farmasetik. Pada pembuatan kapsul dan tablet,
magnesium stearat digunakan dengan konsentrasi 0,25%-5,0%. Selain itu bahan
inijuga digunakan sebagai bahan pembawa dalam krim (Rowe, dkk., 2009).
2.8.4 Talkum
Talkum merupakan magnesium silikat hidrat yang dimurnikan, dengan
rumus Mg6(Si2O5)4(OH)4.Penggunaannya adalah sebagai bahan anticaking,
pelicin, pengisi tablet dan kapsul, sertapelincir. Sifat talkum sebagai glidan lebih
baik daripada amilum, namun talkum dapat menurunkan disintegrasi dan disolusi
tablet. Pada proses pencetakan tablet, talkum bersifat sebagai antiadherent yang
dapat mencegah melekatnya (sticking) permukaan tablet pada punch atas dan
punch bawah (Rowe, dkk., 2009).
2.9 Natrium Diklofenak
Diklofenak merupakan turunan fenil asetat dan termasuk obat anti
inflamasi non steroid (AINS) yang potensinya jauh lebih besar daripada
indometasin, naproksen, atau beberapa senyawa lain. Obat ini sering digunakan
untuk segala macam nyeri, juga pada migrain dan encok. Selain itu juga berfungsi
sebagai analgetik dan antipiretik. Secara parenteral juga sangat efektif untuk
menanggulangi rasa nyeri hebat (Goodman dan Gilman, 2007; Tjay dan Kirana,
2002).
Universitas Sumatera Utara
NH
Cl
Cl
H
O
O
Na
Gambar 2.7. Struktur kimia NatriumDiklofenak
Rumus Molekul : C14H10Cl2NO2Na
Berat Molekul : 318,3
Nama Kimia : Natrium {0-[2,6 diklofenil aminofenil} asetat
Pemerian : Serbuk kristal, putih atau agak kekuningan, agak
higroskopis (The USP Convention, 2009).
Natrium diklofenak (Gambar 2.7) dapat diabsorpsi dengan cepat dalam
saluran cerna setelah pemberian oral. Obat ini terikat 99% pada protein plasma
dan dimetabolisme oleh hati sehingga memiliki waktu paruh yang pendek yaitu 2
jam (Neal, 2006).
Cara kerja sebagian besar AINS berdasarkan hambatan sintesis
prostaglandin, dimana kedua jenis enzim cyclo-oxygenase (COX) dihambat. Obat-
obat AINS yang ideal hendaknya hanya menghambat COX-2 (peradangan), tidak
menghambat COX-1 (perlindungan mukosa lambung) dan lipo-oxygenase
(pembentukan leukotrien) (Tjay dan Kirana, 2002). Diklofenak adalah
penghambat COX yang memiliki afinitas lebih besar untuk COX-2 dibanding
COX-1. Obat ini menghambat biosintesa prostaglandin dan juga mengurangi
pembentukan leukotrien, yang dapat memberikan kontribusi kepada aktivitas anti-
Universitas Sumatera Utara
inflamasi. Waktu paruh dari diklofenak adalah pendek pada sebagian besar
spesies, termasuk manusia, tetapi terakumulasi di situs peradangan, dimana
mencapai konsentrasi yang lebih tinggi di jaringan non-peradangan, dan sama
dengan yang dicapai dalam plasma (Veterinaria, 2006).
2.10 Disolusi
Disolusi adalah proses pelarutan suatu zat padat menjadi terlarut dalam
suatu pelarut. Dalam sistem biologik disolusi obat dalam media berairmerupakan
suatu bagian penting sebelum obat diabsorbsi ke jalur sitemik. Laju disolusi obat-
obat dengan kelarutan dalam air sangat kecil dari bentuk sediaan padat yang utuh
atau terdesintegrasi dalam saluran cerna sering mengendalikan laju absorbsi
sistemik obat (Shargel, 1988).
Ada beberapa proses fisikokimia dalam penentuan laju disolusi obat dari
sediaan padat. Proses ini termasuk proses pembasahan, penetrasi medium disolusi
ke dalam sediaan, pengembangan, disintegrasi dan deagregasi sediaan (Abdou,
1989).
Faktor-faktor yang mempengaruhi disolusi dibagi atas 3 kategori yaitu :
1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan sifat fisikokimia obat, meliputi :
a. Efek kelarutan obat.
Kelarutan obat dalam air merupakan faktor utama dalam menentukan laju
disolusi. Jika kelarutan obat besar dalam air, maka akan menghasilkan laju
disolusi yang cepat.
b. Efek ukuran partikel.
Universitas Sumatera Utara
Ukuran partikel yang lebih kecil akan dapat memperbesar luas permukaan
obat yang berhubungan dengan medium, sehingga akan meningkatkan laju
disolusi.
2. Faktor-faktor yang berhubungan dengan sediaan obat, meliputi :
a. Efek formulasi.
Laju disolusi suatu bahan obat dapat dipengaruhi oleh bahan tambahan yang
digunakan. Bahan tambahan seperti bahan pengisi, pengikat, dan penghancur
yang bersifat hidrofil dapat memberikan sifat hidrofil pada bahan obat yang
hidrofob, oleh karena itu disolusi obat meningkat, sedangkan bahan tambahan
yang bersifat hidrofob dapat mengurangi laju disolusi.
b. Efek faktor pembuatan sediaan.
Metode granulasi dapat mempercepat laju disolusi obat-obat yang kurang
larut. Penggunaan bahan pengisi yang bersifat hidrofil seperti laktosa dapat
menambah hidrofilisitas bahan aktif dan menambah laju disolusi.
3. Faktor-faktor yang berhubungan dengan uji disolusi, meliputi :
a. Tegangan permukaan medium disolusi.
Tegangan permukaan mempunyai pengaruh nyata terhadap laju disolusi
bahan obat. Untuk dapat meningkatkan proses penetrasi medium disolusi ke
dalam matriks, dapat ditambahkan surfaktan ke dalam medium disolusi untuk
menurunkan sudut kontak antara obat dan medium.
b. Viskositas medium.
Universitas Sumatera Utara
Viskositas medium yang semakin tinggi akan menurunkan laju disolusi dari
bahan obat.
c. pH medium disolusi.
Larutan asam cenderung memecah tablet sedikit lebih cepat dibandingkan
dengan air, oleh karena itu mempercepat laju disolusi (Gennaro, 2000). Obat-
obat asam lemah memiliki laju disolusi yang kecil dalam medium asam,
karena bersifat nonionik, tetapi laju disolusinya besar pada medium basa
karena terionisasi dan pembentukan garam yang larut (Martin, 1993).
Menurut USP 32, ada dua metode disolusi yang sering digunakan untuk
melakukan uji disolusi, yaitu:
a. Metode Keranjang (Basket )
Metode keranjang terdiri atas keranjang silindrik yang ditahan oleh tangkai
motor. Keranjang menahan sediaan obat dan berputar dalam suatu labu bulat
yang berisi medium pelarutan. Keseluruhan labu tercelup dalam suatu bak yang
bersuhu konstan 37oC. Kecepatan berputar dan posisi keranjang harus
memenuhi rangkaian syarat khusus dalam USP.
b. Metode Dayung (Paddle)
Metode dayung terdiri atas suatu dayung yang dilapisi khusus, yang berfungsi
memperkecil turbulensi yang disebabkan oleh pengadukan. Dayung diikat
secara vertikal ke suatu motor yang berputar dengan suatu kecepatan yang
terkendali. Tablet atau kapsul diletakkan dalam labu pelarutan yang beralas
bulat yang juga berfungsi untuk memperkecil turbulensi dari media pelarutan.
Alat ditempatkan dalam suatu bak air yang bersuhu konstan, seperti pada
Universitas Sumatera Utara
metode keranjang, suhu dipertahankan pada 37oC. Posisi dayung ditetapkan
dalam USP.
2.11 Kinetika Pelepasan Obat
Pelepasan obat dari suatu sediaan dapat diramalkan dengan mengetahui
kinetika pelepasan obat. Ada 3 model sistem pelepasan obat yang umum, yaitu
order nol, order satu, dan Higuchi (Martin, dkk., 1993; Dash, dkk., 2010).
Pada model order nol pelarutan obat dari bentuk sediaan yang melepaskan
obat secara perlahan dapat mengikuti persamaan 2.1 berikut ini:
Qt = Q0 + K0t .............................. (2.1)
Dimana Qt = jumlah obat larut pada waktu t
Q0 = jumlah obat mula-mula dalam larutan (biasanya Q0 = 0)
K0= konstanta pelepasan order nol yang dinyatakan dalam unit
konsentrasi/waktu
Untuk mempelajari kinetika pelepasan, data yang diperoleh dari uji pelepasan in
vitro diplot sebagai jumlah obat yang dilepaskan versus waktu (Dash, dkk., 2010).
Mekanisme pelepasan obat di sini konstan dari waktu ke waktu dengan tidak
bergantung pada konsentrasi obat dalam sediaan. Sistem ini merupakan sistem
pelepasan obat yang ideal untuk sediaan sustained release (Martin, dkk., 1993).
Model order kesatu digunakan untuk menjelaskan absorpsi dan atau
eliminasi obat, walaupun sulit untuk menggambarkan mekanisme ini. pelepasan
obat yang diikuti kinetika order pertama dinyatakan dalam persamaan 2.2 berikut:
Log C = log C0 - Kt/2,303 ................................ (2.2)
Dimana C0 = konsentrasi obat mula-mula
K = konstanta laju order pertama
Universitas Sumatera Utara
t = waktu
Data disolusi yang diperoleh diplot sebagai log persentase kumulatif sisa obat vs
waktu yang menghasilkan garis lurus dengan slope –K/2,303 (Dash, dkk., 2010).
Kinetika orde satu memiliki kecepatan pelepasan obat yang bergantung pada
konsentrasi obat dalam sediaan. Kecepatan pelepasan obat pada waktu tertentu
sebanding dengan konsentrasi obat yang tersisa dalam sediaan pada saat itu
(Martin, dkk., 1993).
Model Higuchi merupakan model matematika yang bertujuan untuk
menjelaskan pelepasan obat dari sistem matriks yang diusulkan oleh Higuchi pada
1961. Model ini berdasarkan pada hipotesis bahwa (i) konsentrasi obat mula-mula
dalam matriks lebih tinggi dari kelarutan obat; (ii) difusi obat terjadi hanya dalam
satu dimensi (efek tepi harus diabaikan); (iii) partikel obat jauh lebih kecil dari
ketebalan sistem; (iv) pengembangan matriks dan disolusi diabaikan; (v)
difusifitas obat kontan; dan (vi) kondisi sink selalu tercapai dalam lingkungan
pelepasan obat. Model ini dinyatakan dalam persamaan 2.3 di bawah ini:
ft = Q = KH x t½ ............................ (2.3)
Dimana Q = jumlah obat yang dilepaskan dalam waktu t
KH = konstanta disolusi Higuchi
Data dari uji disolusi diplot sebagai persentase kumulatif obat versus akar waktu
(Dash, dkk., 2010).
Universitas Sumatera Utara