Post on 18-Oct-2021
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Struktur Tahan Gempa
Gedung Koridor Fakultas Ilmu Komputer Universitas Brawijaya Malang
merupakan gedung yang menggunakan desain bangunan 7 lantai sebagai ruang
perkuliahan untuk aktivitas perkuliahan mahasiswa, selain itu, terdapat juga ruang
dosen. Namun fungsi utama dari adanya gedung penghubung ini adalah sebagai
gedung penghubung dari gedung utama pada Fakultas Ilmu Komputer Universitas
Brawijaya. Bentuk bangunan yang digunakan yaitu menggunakan bentuk persegi.
Bentuk persegi yang merupakan bangunan yang paling umum dalam bentuk
geometris dari suatu bangunan bertujuan agar distribusi gaya gempa pada bangunan
dapat terjadi secara lebih baik.
Untuk merencanakan bangunan yang memiliki resistensi gempa yang baik,
perencanaan harus didasarkan dengan peraturan yang berlaku. Di Indonesia,
peraturan terbaru yang berlaku dalam perencanaan struktur beton bertulang
penahan gempa adalah SNI 2847:2019 dan SNI 1726:2019. Dalam perencanaan
struktur tahan gempa terdapat satu peraturan yang berlaku yaitu adalah konsep
pengendalian deformasi agar yang mana dapat menyebabkan keruntuhan apabila
digoncang dengan beban gempa.
Mengingat bahwa Indonesia sendiri merupakan negara yang sering
mengalami gempa, desain bangunan ini menggunakan standar SRPMK (Sistem
Rangka Pemikul Momen Khusus). Diasumsikan bahwa konstruksi memberikan
kekuatan bangunan, karena faktor-faktor beban mati (dead load) dan beban hidup
(live load) mempengaruhi struktur perusahaan. Beban konstan memiliki bentuk
beban karena strukturnya sendiri, sedangkan beban di bawah beban mencakup
beban karena ruang dan beban khusus seperti beban gempa.
Konsep dasar dari perencanaan struktur beton bertulang yang tahan gempa
adalah adanya bagian-bagian struktur tertentu yang diizinkan untuk mengalami
6
kelelahan selama terjadi beban gempa. Bagian struktur yang telah mengalami leleh
tersebut merupakan bagian komponen yang menyerap energi gempa selama terjadi
gelombang akibat gempa. Supaya memenuhi kriteria perencanaan struktur beton
bertulang tahan gempa tersebut, maka pada saat bangunan terkena gempa kelelahan
seharusnya hanya terjadi pada balok. Maka dari itu, kolom dan tiap-tiap
sambungannya harus didesain agar komponen struktur tersebut tidak mengalami
kelelahan ketika diberi beban gempa.
Dalam melakukan desain struktur tahan gempa, bangunan yang
direncanakan harus berperilaku daktail agar bangunan tetap berdiri walaupun
digoncang gempa yang kuat. Selain itu struktur yang direncanakan harus memiliki
perilaku elastis agar apabila bangunan berdeformasi secara elastis saat digoncang
gempa akan tetap kembali ke bentuk semula sama seperti saat sebelum menerima
gaya gempa. Namun, untuk mendesain bangunan yang memiliki perilaku elastis
membutuhkan dimensi elemen struktur yang cukup besar sehingga dapat membuat
bangunan tersebut menjadi tidak efisien, maka dari itu, bangunan dapat didesain
untuk berperilaku elastis saat digoncang oleh gempa sedang dan diizinkan untuk
berdeformasi secara plastis saat digoncang gempa besar.
Untuk membangun sebuah rumah atau gedung harus memenuhi persyaratan
bangunan tahan gempa. Bangunan Tahan gempa yang dimaksud disini adalah
bangunan yang apabila:
1. Saat digoncang gempa berskala kecil, struktur tidak mengalami kerusakan
sama sekali.
2. Saat digoncang gempa berskala sedang, hanya terjadi kerusakan pada
komponen bukan struktural, untuk komponen struktural, tidak terjadi
kerusakan sama sekali.
3. Saat digoncang gempa berskala besar, bangunan diharuskan untuk tetap
berdiri walaupun terdapat kerusakan pada elemen struktural dan elemen
non-struktural.
7
Kinerja struktur bangunan dibagi menjadi 4 level, menurut NEHRP guidelines
diantara lain :
1. Operational
Apabila tidak terjadi kerusakan pada seluruh elemen struktural dan
non-struktural, bangunan ini bertahan dan dapat difungsikan
sebagaimana mestinya kembali
2. Immediate Occupancy
Apabila tidak terdapat kerosakan yang signifikan terhadap struktur,
yang mana struktur mampu mempertahankan kekuatannya
sebagaimana sebelum digoncang oleh gempa bumi. Seluruh
Komponen non-struktural mampu berfungsi sebagaimana mestinya,
babngunan dapat difungsikan kembali dengan perbaikan yang
ringan
3. Life safety
Apabila terdapat kerusakan yang signifikan terhadap struktur
sehingga kekakuannya berkurang namun, struktur masih dapat tetap
berdiri, elemen non-struktural masih tetap aman, namun beberapa
sudah tidak dapat berfungsi, bangunan tidak dapat digunakan
apabila bangunan belum diperbaiki secara menyeluruh.
4. Collapse prevention
Apabila terdapat kerusakan yang signifikan terhadap struktur,
kekuatan dan kekakuan struktur sudah hampir menghilang serta
terdapat berbagai keruntuhan yang dapat membahayakan.
Terdapat beberapa konsep bangunan tahan gempa yang perlu diperhatikan dalam
perencanaan bangunan tahan gempa, antara lain :
1. Bahan Harus Memenuhi Syarat
8
Kuat tekan beton (fc’) tidak boleh kurang dari 20 Mpa. Beton disyaratkan
untuk memiliki kuat tekan 20 Mpa atau lebih untuk menjamin kualitas perilaku
beton. (Purwono, 2005).
Untuk penggunaan beton ringan, kuat tekan (fc’) tidak diperbolehkan
melampaui batas maksimalnya yaitu 30 Mpa. Beton agregat ringan dengan kuat
tekan rencana yang lebih tinggi boleh digunakan bila dapat dibuktikan melalui
pengujian komponen struktur yang dibuat dari beton agregat ringan tersebut
diharuskan untuk memiliki kekuatan dan stabilitas yang sama atau lebih tinggi dari
komponen struktur yang setara yang terbuat dari jenis beton normal dengan
kekuatan yang sama.
Selain kuat tekan beton yang harus memenuhi segala persyaratan, tulangan
yang digunakan pada komponen struktur yang merupakan salah satu unsur dari
sistem gempa juga harus memenuhi syarat juga. Tulangan lentur dan aksial yang
digunakan dalam komponen struktur dari sistem rangka dan komponen batas dari
sistem dinding geser harus memenuhi ketentuan menurut SNI 2847:2019 BAB 18
tentang struktur tahan gempa. Jenis tulangan baik yang tulangan utama maupun
tulangan geser yang digunakan diharuskan menggunakan tulangan ulir.
2. Balok Lemah – Kolom Kuat
Dalam perencanaan bangunan tahan gempa disarankan untuk menggunakan
perencanaan keruntuhan yang aman, yaitu beam side sway mechanism. Beam side
sway mechanism hanya dapat tercapai apabila kekuatan kolom lebih besar daripada
kekuatan balok, sehingga terjadi kondisi sendi plastis pada balok (capacity design,
strong column weak beam).
3. Deformasi Harus Terkontrol
Deformasi yang berkaitan pada setiap komponen elemen struktur harus
disesuaikan seperti yang terdapat dalam SNI 1726:2019, dalam pasal 7.1.2
disebutkan bahwasanya deformasi struktur tidak boleh melampaui batasan yang
ditetapkan pada saat struktur tersebut dibebani oleh gaya gempa desain.
4. Hubungan Balok Kolom
9
Integritas yang menyeluruh pada suatu Sistem Rangka Pemikul Momen
sangat bergantung pada perilaku hubungan antara balok dan kolom. Degradasi pada
hubungan balok dan kolom akan menghasilkan deformasi lateral yang besar
sehingga dapat menyebabkan kerusakan yang berlebihan atau bahkan hingga
menyebabkan keruntuhan. (Purwono 2005).
5. Pondasi Harus Lebih Kuat Dari Bangunan Atas
Pondasi merupakan struktur yang terletak pada bagian bawah bangunan
yang berfungsi untuk menyalurkan beban vertikal di atasnya (kolom) maupun
beban horizontal ke dalam tanah. Gaya-gaya horizontal tersebutlah yang
menyebabkan pondasi juga harus didesain untuk menahan gaya geser dua arah yang
lebih kuat dari komponen struktur diatasnya. Struktur bawah gedung berfungsi
untuk menahan beban-beban yang berasal dari struktur atas sehingga struktur
bawah tidak diperbolehkan untuk mengalami kegagalan terlebih dahulu dari
struktur atas. (Anugrah dan Erny, 2013)
Pada SNI 1726 : 2019, pasal 7.1.5 menyebutkan bahwa pondasi harus
direncanakan untuk menahan gaya-gaya yang dihasilkan dan menahan pergerakan
yang disalurkan menuju ke arah struktur oleh pergerakan tanah rencana. Desain dari
detail kekuatan struktur bawah diharuskan agar memenuhi berbagai persyaratan
beban gempa rencana.
2.2 Filosofi Gempa
Menurut Chen dan Liu (2006), gempa bumi adalah getaran yang terjadi di
permukaan bumi dan terjadi di permukaan bumi dan dapat disebabkan oleh aktivitas
tektonik, gunung berapi, tanah longsor, termasuk batu dan bahan peledak. Dari
semua penyebab ini, guncangan yang disebabkan oleh aktivitas tektonik atau
pergerakan lempeng bumi adalah penyebab utama kerusakan struktural dan
menimbulkan masalah serius dalam menafsirkan bahaya gempa bumi.
Gaya yang disebabkan oleh gempa bumi menyebabkan bagian bawah
bangunan bergerak seiring dengan pergerakan lapisan tanah tempat bangunan itu
berdiri. Karena setiap bangunan memiliki bobot, kelembaman dari bagian atas
10
bangunan dapat menawarkan ketahanan terhadap pergerakan gempa. Ini termasuk
kekuatan yang disebut gempa bumi. Massa bangunan mempengaruhi beban gempa,
selain beban gempa, kekakuan struktur bangunan juga memiliki pengaruh. Jika
bangunan memiliki kekakuan yang sangat tinggi, bagian atas bangunan bergerak
bersama dengan bagian bawah bangunan, atau dapat kita katakan bahwa waktu
konstruksi bangunan tersebut bertepatan dengan waktu gelombang gempa.
Jika terjadi gempa bumi, bangunan akan mengalami getaran dan pergeseran
baik secara vertikal maupun horizontal, yang mengakibatkan kerusakan bangunan.
Bangunan biasanya harus tahan terhadap gaya vertikal yang kuat dengan faktor
keamanan yang cukup tinggi, tetapi bukan gaya horizontal. Karena itu, banyak
bangunan hancur dalam gempa kuat. Perencanaan untuk struktur tahan gempa
adalah perencanaan struktur dengan meningkatkan kekuatan struktur yang dapat
menahan gaya horizontal sehingga bangunan tahan terhadap gaya horizontal dan
vertikal.
Dalam hal ini, beban atau gaya pada bangunan adalah F = m x a jika massa
bangunan ditetapkan sebagai m dan percepatan gempa ditetapkan sebagai a. Jenis
konstruksi ini sering ditemukan pada bangunan rendah. Pada bangunan menengah-
atas, desainnya tidak terlalu fleksibel, sehingga gaya gempa adalah F < m x a. Pada
bangunan bertingkat tinggi, struktur biasanya memiliki periode alami yang panjang.
Jika gempa terkena gempa yang lebih lama, struktur dapat dipengaruhi oleh gempa
dengan periode gelombang yang nilainya hampir cocok dengan periode alami
struktur. Dalam hal ini, resonansi terjadi, yang mengarah ke pengaruh yang sangat
kuat pada struktur. Dalam hal ini beban gempa adalah F > m x a. Karena itu, beban
gempa yang terjadi dalam struktur bangunan tergantung pada konfigurasi elemen-
elemen struktural.
2.3 Beton Bertulang
Beton adalah komponen utama bangunan yang terdiri dari campuran pasir,
kerikil, kerikil atau agregat campuran lainnya untuk membentuk bersama dengan
semen dan air serta pada umumnya ditambahkan pula satu atau lebih zat adiktif
11
yang menghasilkan beton dengan sifat khusus seperti peningkatan kuat tekan beton
dan serta mempercepat waktu curing.
Selain itu, terdapat rasio optimal antara campuran agregat yang memiliki
bentuk berbeda sehingga komposisi beton dapat memiliki kuat tekan optimal yang
direncanakan. Bahan kimia tambahan yang ditambahkan ke komposisi beton
bertujuan untuk meningkatkan sifat-sifat beton yang diproduksi, yaitu untuk
meningkatkan kemampuan kerja, daya tahan, stabilitas dan durasi pengerasan dari
beton.
Gambar 2.1 Diagram regangan dan tegangan pada beton
Seiring waktu, bahan campuran seperti batu menjadi lebih keras dan
memiliki kekuatan tekan tinggi tetapi kekuatan tarik rendah. Beton bertulang
didefinisikan sebagai kombinasi tulangan beton dan baja yang bekerja bersama
untuk mendukung beban. Penguatan baja pada beton bertulang memberikan
kekuatan tarik yang bukan milik beton. Penguatan baja juga dapat menahan beban
tekanan.
2.3.1 Pelat
Pelat Beton merupakan struktur yang direncanakan untuk menyediakan
suatu permukaan horizontal yang rata pada lantai bangunan. Pelat beton juga
merupakan struktur bangunan yang berfungsi untuk menerima beban hidup lantai.
Pelat lantai dapat ditumpu oleh struktur balok, kolom (suspended slab) dan juga
terdapat juga pelat yang terletak langsung di atas tanah (slab on ground) bangunan
pelat lantai terbagi menjadi dua yaitu pelat lantai satu arah dan dua arah. Pada
12
umumnya pelat dan balok dicor secara bersamaan sehingga membentuk suatu
struktur yang monolit.
Pelat adalah komponen struktur bangunan yang berfungsi untuk menjaga
agar beban hidup tetap lurus. Dimana perbandingan untuk catatan Partai langsung
menahan beban hidup. Untuk pelat tempat Rasio sisi panjang (ly) dan sisi pendek
(lx) ke lebih dari 2 dapat dikategorikan sebagai sistem pelat satu arah sementara
rasio sisi panjang (ly) dan sisi pendek (lx) kurang dari 2, maka dapat menggunakan
sistem pelat dua arah.
Tabel 2.1 Koefisien momen terfaktor pada pelat
Nilai koefisien yang terdapat pada tabel diatas hanya dapat digunakan apabila
Perbedaan bentang panjang pada bentang panjangnya tidak boleh
boleh melebihi 20% dari bentang pendeknya
Beban yang bekerja pada pelat hanya merupakan beban merata
Nilai beban hidup tidak boleh melebihi tiga kali beban mati
2.3.1.1 Perencanaan Pelat Satu Arah
Pelat satu arah merupakan pelat yang hanya ditumpu pada sisi panjangnya
saja sehingga pelat akan mengalami lendutan searah tegak lurus dari sisi tumpuan.
Apabila rasio sisi panjang dengan sisi pendek lebih dari dua, maka dapat
dikategorikan sebagai sistem pelat satu arah . Kondisi pelat lantai ini dapat
direncanakan sebagai pelat satu sisi dengan tulangan utama sejajar dengan balok
atau sisi pendek pelat, pada sistem pelat satu arah, beban hanya disalurkan kepada
sisi yang terkekang.
13
Gambar 2.2 Gambar pelat satu arah
Pada tabel dibawah, dijelaskan tabel untuk tebal minimum balok non-
prategang atau pelat satu arah bila lendutan tidak perlu diperhitungkan berdasarkan
SNI 2847:2019.
Tabel 2.2 Tebal minimum balok prategang atau pelat satu arah
2.3.1.2 Perencanaan Pelat Dua Arah
Pelat lantai dua arah merupakan suatu sistem pelat yang ditopang pada
keempat sisi nya. Persyaratan dasar untuk pelat dua arah adalah bahwa rasio
bentang panjang dan bentang pendeknya kurang dari dua. Beban dari pelat lantai
ke jenis pelat ini kemudian didistribusikan ke keempat sisi pelat atau ke empat balok
bantalan beban, sehingga tulangan utama pelat dibutuhkan di kedua arah pelat sisi.
Sistem pelat dua arah memungkinkan terjadinya lendutan yang relatif kecil yang
disebabkan adanya balok yang menopang pelat dapat meningkatkan kekakuan
pelat.
14
Gambar 2.3 Pelat satu arah dan dua arah
a. Persyaratan tebal Minimum Pelat
Menurut SNI 2847:2019 pasal 8.3.2.1 tebal pelat dengan balok yang membentang
di antara tumpuan pada semua sisinya, tebal minimumnya ( h ) harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut :
untuk 0,2 < αfm < 2,0
h min = 𝐼𝑛(0,8+
𝑓𝑦
1400)
36+5𝛽(𝑚 −0,2)namun tidak kurang dari 125 mm
untuk αfm > 2,0
h min = 𝐼𝑛(0,8+
𝑓𝑦
1400)
36+9𝛽(𝑚 −0,2)namun tidak kurang dari 90 mm
untuk αfm < 2,0
h min = ketebalan minimum pelat tanpa balok sesuai tabel 8.3.1.1 SNI
2847:2019
dimana
ln = Panjang bentang bersih dalam arah memanjang dari konstruksi dua arah
𝛽 = adalah rasio bentang panjang dan bentang pendek dari pelat dua arah
αfm = rasio kekakuan lentur rata-rata pada semua sisi-sisi pelat
αf = rasio kekakuan lentur dari penampang balok dan penampang pelat yang
dibatasi secara lateral oleh garis-garis sumbu tengah dari pelat yang bersebelahan
pada tiap sisi balok
15
b. Pembebanan pelat
Pelat lantai direncanakan hanya untuk memikul beban gravitasi yang hanya
ditimbulkan oleh beban hidup dan beban mati lantai, dengan kombinasi
pembebanan nya seperti berikut:
Wu = 1,2 Wdl + 1,6 Wll
Wdl = Jumlah beban mati pelat (kN/m2 )
Wll = Jumlah beban hidup pelat (kN/m2 )
c. Perencanaan tulangan pelat
Gambar 2.4 Gambar diagram regangan pada penampang beton bertulang
Tentukan Nilai Rn =Mu/b.d2 untuk mendapatkan nilai (rasio tulangan)
m = 𝑓𝑦
0,85.𝑓𝑐′
𝑘 =𝑚𝑢
∅ × 𝑏 × 𝑑2
𝑝 =1
𝑚( 1 − √1 −
2. 𝑚. 𝑘
𝑓𝑦)
𝜌𝑏 =0,85 × 𝑓𝑐′ × 𝛽
𝑓𝑦×
600
(600 + 𝑓𝑦)
𝜌 𝑀𝑎𝑥 = 0,75 × 𝜌𝑏
𝜌 𝑀𝑖𝑛 = 1,4
𝑓𝑦
16
Mencari luas tulangan pokok
𝐴𝑠 = 𝜌 × 𝑏 × 𝑑
d. Setelah perhitungan tulangan maka harus dilakukan cek momen nominal
kapasitas penampang dengan rumus di bawah ini
a = 𝐴𝑠.𝑓𝑦
0,85.𝑓𝑐′.𝑏
𝜑.Mn = φ (As.fy (d - 𝑎
2 ))
2.3.2. Balok
Dalam menyalurkan beban-beban struktur ke dalam penyangga vertikal atau
kolom terdapat suatu elemen struktur bernama balok. Selain itu, balok juga
digunakan sebagai pengikat kolom lantai atas ke dalam diafragma lantai. Selain itu
juga balok dapat digunakan untuk memperkuat struktur arah horizontal.
Asumsi-asumsi yang digunakan dalam menetapkan perilaku penampang adalah
sebagai berikut:
1. Distribusi regangan pada seluruh bentang balok dianggap linier.
2. Regangan pada baja dan beton di sekitarnya sama sebelum terjadi retak pada
beton atau leleh pada baja.
3. Beton adalah salah satu komponen struktur yang lemah terhadap tarik. Sehingga
beton akan mengalami keretakan pada level pembebanan yang relatif kecil, yaitu
berkisar 10% dari kekuatan totalnya. Akibatnya, bagian beton yang terletak pada
bagian tarik pada penampang dapat diabaikan dalam melakukan analisa dan
perencanaan, selain itu, tulangan tarik yang terdapat pada beton bertulang
diasumsikan memikul seluruh gaya-gaya tarik tersebut.
Setiap perencanaan balok didasarkan pada kesetimbangan antara momen
MR atau disebut juga momen tahanan terhadap momen akibat gaya luar atau Mn
(momen nominal). selain perbandingan antara MR dan Mn terdapat juga berbagai
persyaratan yang harus dipenuhi. Hal-hal tersebut di antara lain adalah rasio
17
tulangan lendutan maksimal tebal minimum selimut beton beserta jarak spasi
tulangan yang semuanya termuat dalam SNI 2847:2019 BAB 9 tentang balok.
Selain menahan momen lentur, balok juga harus didesain berdasarkan kuat
geser, karena apabila tulangan geser tidak direncanakan, maka balok akan
mengalami kegagalan geser. Balok harus didesain sedemikian rupa agar kegagalan
geser tidak terjadi sebelum kegagalan lentur.
2.3.2.1 Perhitungan Kebutuhan Tulangan lentur
Perhitungan kuat momen nominal dari suatu balok struktural harus
didasarkan oleh persamaan berikut:
m = 𝑓𝑦
0,85.𝑓𝑐′
𝑘 =𝑚𝑢
∅ × 𝑏 × 𝑑2
𝑝 =1
𝑚( 1 − √1 −
2. 𝑚. 𝑘
𝑓𝑦)
𝜌𝑏 =0,85 × 𝑓𝑐′ × 𝛽
𝑓𝑦×
600
(600 + 𝑓𝑦)
𝜌 𝑀𝑎𝑥 = 0,75 × 𝜌𝑏
𝜌 𝑀𝑖𝑛 = 1,4
𝑓𝑦
𝐴𝑠 = 𝜌 × 𝑏 × 𝑑
a = 𝐴𝑠.𝑓𝑦
0,85.𝑓𝑐′.𝑏
𝜑.Mn = φ (As.fy (d - 𝑎
2 ))
18
2.3.2.2 Perhitungan Kebutuhan Tulangan Geser
Gambar 2.5 tulangan lentur dan tulangan geser
Kuat geser beton untuk komponen struktur yang dikenai geser dan lentur dicari
dengan mencari nilai terkecil dari persamaan yang berdasarkan SNI 2847:2019
pasal 22.5.3.1 berikut:
Tabel 2.3 Nilai kapasitas gaya geser yang dipikul oleh penampang beton
atau secara konservatif, kekuatan geser yang ditahan oleh penampang dapat juga
dihitung menggunakan persamaan sesuai SNI 2847:2019 pasal 22.5.5.1 seperti
berikut:
Vc = ⅙ √𝑓𝑐′ × 𝑏 × 𝑑
Kuat geser nominal yang harus ditahan oleh tulangan geser dihitung dengan
persamaan sesuai SNI 2847:2019 pasal 22.5.10.5.3 seperti berikut:
Sedangkan untuk kekuatan total dari kekuatan geser balok diantara lain adalah
Vn = Vc + Vs
19
Apabila besarnya gaya geser terfaktor ultimit lebih besar daripada setengah nilai
kekuatan geser yang ditahan oleh penampang beton dan tidak lebih dari kekuatan
geser nominal, maka diperlukan suatu tulangan minimum yang harus dihitung
berdasarkan SNI 2847:2019 pasal 9.6.3.3 yakni nilai Av/s terbesar dari persamaan-
persamaan berikut:
Serta untuk jarak tulangan tulangan geser maksimal menurut SNI 2847:2019 pasal
9.7.6.2.2 adalah d/4 atau 300 mm.
Pada SNI 2847:2019 pasal 9.4.3.2, kekuatan geser harus dihitung pada penampang
kritis yaitu pada sejarak d dari muka kolom.
Untuk kait pada sengkang dapat direncanakan menggunakan skema seperti berikut
Gambar 2.6 jenis-jenis tulangan transveral
2.3.3 Kolom
Kolom merupakan suatu elemen struktur yang berfungsi untuk menyalurkan
beban beban struktur dari balok menuju ke dalam tanah (pondasi). Gaya-gaya yang
dominan ditahan oleh kolom merupakan gaya tekan, namun selain gaya tekan
kolom juga menahan momen. Momen yang ditahan oleh kolom dapat disebabkan
oleh gaya gempa maupun eksentrisitas beban kerja pada kolom.
Kolom harus dirancang untuk menahan gaya aksial dari beban terfaktor
pada semua lantai atau atap dan momen maksimum dari beban terfaktor pada satu
bentang lantai atau atap bersebelahan yang ditinjau. Kondisi pembebanan yang
memberi rasio momen maksimum terhadap beban aksial juga harus ditinjau.
20
Dalam perencanaan kolom harus didasarkan oleh gaya aksial dari beban
terfaktor pada tiap lantai. Selain itu untuk perencanaan kolom harus berdasarkan
oleh Kegagalan tekuk pada kolom akibat eksentrisitasnya yang tinggi. Pada struktur
SRPMK kolom harus desain agar lebih kuat dari balok. Hal tersebut agar kolom
tidak runtuh terlebih dahulu dari balok.
Gambar 2.7 Jenis-jenis Kolom
Dalam segi struktural, kolom dibedakan menjadi tiga jenis secara garis besar di
antara lain :
1. Kolom yang menggunakan sengkang lateral.
Kolom jenis ini terdiri dari tulangan utama yang yang dililit oleh pengaku atau
Sengkang yang diberi spasi Tulangan tertentu. jenis kolom ini merupakan jenis
yang paling umum pada penerapan kolom di lapangan.
2. Kolom yang menggunakan pengikat spiral.
Kolom jenis ini merupakan kolom yang yang umumnya memiliki lingkaran ini.
Kolom ini Terdiri dari tulangan utama yang diikat oleh pengikat yang berbentuk
spiral.
3. Struktur kolom komposit.
Kolom jenis ini merupakan kolom yang tulangannya terdiri dari baja profil yang
umumnya merupakan profil WF. Pada jenis kolom ini digunakan baja bar yang
diikat melilit sepanjang kolom.
Berdasarkan kelangsingan, kolom dibagi menjadi dua, yaitu:
21
1. Kolom pendek, kegagalan terjadi akibat kegagalan material (lelehnya baja
tulangan dan atau hancurnya beton).
2. Kolom panjang, kegagalan terjadi akibat kehilangan stabilitas lateral karena
bahaya akibat tekuk.
Berdasarkan letak beban aksial, kolom dibagi menjadi 2 jenis, yaitu:
1. Kolom sentris yaitu kolom yang menahan beban tepat pada titik berat kolom.
2. Kolom eksentris yaitu kolom yang dibebani oleh beban yang tidak tepat pada
titik berat kolom. Selisih dari jarak titik berat kolom dan beban aksial disebut juga
dengan eksentrisitas.
2.3.3.1 Kelangsingan Kolom
Berdasarkan Pasal 10.10.1 SNI 2847:2019 untuk komponen struktur tekan yang
bergoyang, pengaruh kelangsingan boleh diabaikan apabila :
a. Untuk komponen struktur tekan yang tidak diberi pengekang terhadap
goyangan menyamping
b. Untuk komponen struktur tekan yang dibraising terhadap goyangan
menyamping
Dimana:
K = Faktor panjang efektif kolom
Lu = Panjang kolom yang ditopang
r = jari-jari potongan melintang kolom = √𝐼⁄𝐴
Dimana M1/M2 adalah positif jika kolom dibengkokkan dalam kurvatur
tunggal, dan negatif jika komponen struktur dibengkokan dalam kurvatur ganda.
Faktor panjang efektif tahanan pada ujung k, dalam berbagai kondisi dapat dilihat
dalam tabel dibawah ini:
22
Tabel 2.4 Koefisien tekuk pada jenis tumpuan kolom
Kondisi K
kedua ujung sendi, tidak bergerak lateral
kedua ujung jepit
satu ujung jepit, ujung lain bebas
kedua ujung jepit, ada gerak lateral
1,0
0,5
2,0
1,0
Gambar 2.8 Tekuk pada kolom
2.3.3.2 Kuat Beban Aksial Maksimum
Ketentuan rumus kuat beban aksial maksimum dihitung berdasarkan persamaan
berikut
1. Kolom dengan penulangan spiral
ϕPn (maks) = 0,80 ϕ (0,85 fc’ (Ag-Ast) + (fy.Ast)
2. Kolom dengan penulangan sengkang :
ϕPn (maks) = 0,85 ϕ (0,85 fc’ (Ag-Ast) + (fy.Ast)
Pu ≤ ϕPn
Dimana :
Ag = Luas bruto dari penampang melintang kolom (mm2)
Ast = Luas total dari tulangan memanjang (mm2)
Pn = Kuat aksial nominal dengan nilai eksentrisitas tertentu
Pu = Beban aksial yang terfaktor dengan eksentrisitas
23
ϕ = 0,65 untuk sengkang persegi dan 0,75 untuk sengkang spiral
2.4 Sistem Rangka Pemikul Momen
Sistem rangka pemikul momen adalah sistem penahan gempa apa yang
menitikberatkan pada kekakuan portal. Mekanisme lentur menahan gaya Lateral.
Selain itu gaya vertikal ditahan oleh suatu rangka ruang pemikul beban gravitasi.
Sistem rangka pemikul momen dibedakan menjadi tiga jenis berdasarkan
tingkatannya untuk KDS tertentu, diantara lain :
1. Sistem Rangka Pemikul Momen Biasa (SRPMB)
2. Sistem Rangka Pemikul Momen Menengah (SRPMM)
3. Sistem Rangka Pemikul Momen Khusus (SRPMK)
Sistem rangka pemikul momen adalah suatu sistem struktur yang pada
dasarnya memiliki suatu rangka ruang penahan beban gravitasi secara menyeluruh.
Dalam bentuk geometris pada nyatanya, sistem rangka pemikul ini terdiri dari balok
dan kolom yang membentuk portal dan desain Strong Column Weak Beam. Dimana
beban lateral ditahan oleh rangka pemikul momen terutama beban lateral dipikul
oleh suatu rangka pemikul momen terutama melalui suatu mekanisme lentur
sehingga peranan balok kolom sangatlah penting dalam merencanakan sebuah
bangunan.
Pada perencanaan bangunan ini digunakan sistem rangka pemikul momen
khusus. Dalam sistem ini menggunakan konsep strong column and weak beam
(kolom kuat dan balok lemah). Agar sebuah desain struktur pada daerah gempa
menjadi lebih efisien, sifat daktail yang dimiliki struktur dapat dimanfaatkan untuk
menerima energi gempa setelah melampaui kondisi elastisnya. Dengan adanya sifat
daktilitas, respons spektrum gempa rencana elastis dapat direduksi menjadi beban
gempa nominal dengan persyaratan desain yang relatif kuat.
Persyaratan rangka pemikul momen adalah kehilangan tahanan momen
pada sambungan balok ke kolom di kedua ujung balok tunggal tidak akan
24
mengakibatkan lebih dari reduksi tingkat sebesar 33%, atau sistem yang dihasilkan
tidak mempunyai kelenturan torsi yang berlebihan.
a. Sistem Rangka Pemikul Momen Biasa (SRPMB)
Sistem rangka pemikul momen biasa memiliki kekurangan berupa tingkat
kekakuan paling rendah dibandingkan yang lainnya. sehingga tidak cocok untuk
diterapkan di sebagian besar wilayah di Indonesia. jenis sistem rangka pemikul
momen ini memiliki resistensi gempa paling rendah dibandingkan dengan jenis
sistem rangka pemikul momen lainnya. Metode ini dapat digunakan untuk
menghitung struktur gedung yang masuk dalam kategori desain seismik yang
rendah yakni KDS A dan B saja . Faktor reduksi gempa (R) dari jenis sistem rangka
pemikul momen biasa ini adalah sebesar = 3,5 dan sistem rangka pemikul momen
biasa ini tidak cocok untuk diterapkan pada gedung Gedung Koridor Fakultas Ilmu
Komputer Universitas Brawijaya Malang yang memiliki kategori desain seismik D.
b. Sistem Rangka Pemikul Momen Menengah (SRPMM)
Jenis sistem rangka pemikul momen menengah difokuskan untuk menahan
kegagalan geser pada struktur gedung. Sistem rangka pemikul momen ini sangat
cocok untuk diterapkan pada kategori desain seismik A, B dan C saja. Faktor
reduksi gempa dari jenis sistem rangka pemikul momen ini adalah sebesar 5. Jenis
sistem rangka pemikul ini kurang cocok untuk diterapkan pada Gedung Koridor
Fakultas Ilmu Komputer Universitas Brawijaya Malang yang memiliki kategori
desain seismik D.
c. Sistem Rangka Pemikul Momen Khusus (SRPMK)
Jenis sistem rangka pemikul momen khusus Memiliki perilaku struktur
dengan nilai daktilitas yang besar. Yang mana perilaku daktil yang besar memiliki
keuntungan berupa tingkat resistensi gempa yang sangat tinggi. Sistem rangka
pemikul momen khusus cocok digunakan untuk bagunan yang memiliki kategori
desain seismik D, yang mana memiliki tingkat intensitas gempa yang tinggi dan
kerawanan akan gaya gempa yang tinggi pula. Sistem rangka pemikul momen
khusus memiliki aturan yang cukup banyak untuk dipenuhi dalam segi tulangan
25
pada tiap-tiap komponen struktur nya titik. Hal tersebut dikarenakan agar tingkat
daktilitas yang tinggi dapat tercapai. Faktor reduksi dari sistem rangka pemikul
momen khusus adalah sebesar 9 untuk jenis sistem rangka pemikul momen khusus
beton bertulang.
2.4.1 Balok Sistem Rangka Pemikul Momen Khusus
2.4.1.1 Persyaratan Dimensi Balok Rangka Pemikul Momen Khusus
Menurut SNI 2847:2019 pasal 18.6.2.1, komponen struktur rangka pemikul
momen khusus berfungsi untuk menahan gaya lentur akibat beban lateral gempa
memiliki kriteria sebagai berikut:
1. Panjang bentang bersih (ln) diharuskan harus lebih besar dari 4 kali tinggi efektif.
2. Lebar komponen penampang (bw), tidak boleh kurang dari yang lebih kecil dari
0,3h dan 250 mm.
3. Lebar penampang (bw), tidak boleh melebihi lebar komponen struktur menumpu,
c2, ditambah dengan suatu jarak pada masing-masing sisi komponen struktur yang
menumpu yang besarnya sama dengan yang lebih kecil dari (a) dan (b):
a. Lebar komponen struktur penumpu (kolom).
b. ¾ kali dimensi keseluruhan komponen struktur arah sejajar komponen lentur.
26
2.4.1.2 Persyaratan Tulangan Longitudinal Balok Rangka Pemikul Momen
Khusus
Balok yang difungsikan untuk menahan gaya lateral, umumnya didesain
dengan menggunakan tulangan rangkap, hal tersebut difungsikan untuk
mengantisipasi adanya momen bolak-balik pada balok, dikarenakan gaya lateral
umumnya bersifat bolak-balik.
1. Syarat rasio minimal luasan tulangan lentur pada sisi atas dan sisi
bawah kolom harus memenuhi persamaan sesuai SNI 2847:2019
pasal 9.6.1.2 berikut
2. Kuat lentur positif komponen struktur pada muka kolom tidak boleh
lebih kecil dari setengah kuat lentur negatif nya
3. Syarat rasio maksimum tulangan lentur adalah sebesar 0,025.bw.d
4. Kuat lentur negatif maupun positif pada penampang di sepanjang
bentang balok tidak boleh kurang dari ¼ kuat lentur pada kedua
muka kolom tersebut.
5. Setidaknya terdapat dua buah tulangan yang menerus baik di sisi
bawah dan atas bangunan
2.4.1.3 Persyaratan Tulangan Transversal Balok Rangka Pemikul Momen Khusus
Berdasarkan SNI 2847:2019 pasal 18.6.4, untuk menjamin perilaku kolom
beton bertulang yang memadai dan dipasang dengan diberi kait gempa di
ujungnya. Tulangan transversal perlu dipasang agar bisa menahan gaya lintang
dan menghindarkan tekukan dari tulangan memanjang, Menurut SNI 2847:2019
27
pasal 18.6.4, bahwasanya tulangan transversal harus memenuhi persyaratan
diantara lain:
1. Sengkang Pengekang harus diletakkan pada daerah hingga dua kali
tinggi balok yang mana diukur dari muka kolom pada kedua ujung
komponen lentur. Selain itu, sengkang pengekang harus diletakkan
pada lokasi dimana terdapat leleh lentur (sendi plastis)
2. Sengkang tertutup pertama harus diletakkan maksimal sejarak
50mm dari muka kolom. Menurut SNI 2847:2019 pasal 21.6.4.3
spasi tulangan transversal harus memenuhi syarat-syarat jarak
minimal sebagai berikut :
a) d/4
b) 6db
c) 150 mm
3. Tulangan sengkang Sistem rangka pemikul momen khusus harus
didesain untuk memikul gaya geser rencana (Ve), yang ditimbulkan
oleh kuat lentur maksimum dengan arah yang berlawanan pada
kedua ujung muka tumpuan, pada saat yang bersamaan, selain itu,
komponen struktur itu juga diharuskan untuk menahan gaya
gravitasi terfaktor yang bekerja di sepanjang komponen lentur.
4. Kuat geser yang dipikul oleh beton (Vc) dapat diambil sama dengan
nol apabila gaya geser yang ditimbulkan oleh gaya gempa lebih
besar daripada 50% dari kuat geser perlu pada sepanjang bentang,
serta apabila terdapat gaya aksial terfaktor akibat gaya gempa
besarnya kurang dari Ag.fc/20.
2.4.2.3 Persyaratan Sambungan Lewatan Balok Rangka Pemikul Momen Khusus
Sambungan lewatan pada balok diizinkan apabila terdapat tulangan spiral
atau sengkang tertutup yang mengikat sambungan lewatan tersebut, spasi pada
sambungan lewatan tersebut tidak boleh melebihi d/2 atau 100 mm. Sambungan
lewatan tidak diizinkan untuk berada pada sambungan balok dan kolom, pada
28
sejarak 2h dari muka kolom, serta pada bagian yang memungkinkan terjadi leleh
lentur yang diakibatkan oleh perpindahan inelastis.
2.4.2 Kolom Sistem Rangka Pemikul Momen Khusus
2.4.2.4 Persyaratan Dimensi Kolom Rangka Pemikul Momen Khusus
Menurut SNI 2847:2019 pasal 18.7.2.1, kolom sistem rangka pemikul
momen khusus harus memenuhi persyaratan diantara lain, dimensi kolom
terkecil harus lebih besar dari 300 mm, serta rasio dimensi terpendek dengan
yang terpanjang harus lebih besar dari 0,4.
2.4.2.5 Persyaratan Tulangan Lentur Kolom Rangka Pemikul Momen Khusus
Menurut SNI 2847:2019 pasal 18.7.4, tulangan lentur pada kolom harus
memenuhi persyaratan diantara lain
1. Luas tulangan longitudinal tidak boleh kurang dari 1%Ag dan tidak
boleh lebih dari 6% Ag.
2. Untuk kolom-kolom dengan sengkang bundar, kolom longitudinal
harus lebih dari 6 buah.
2.4.2.6 Persyaratan Tulangan Transversal Kolom Rangka Pemikul Momen
Khusus
Menurut SNI 2847:2019 pasal 18.7.5.1, daerah sendi plastis kolom (l0)
harus didesain lebih dari nilai-nilai berikut:
1. Sisi terpanjang kolom
2. ⅙ bentang bersih kolom
3. 450 mm
Menurut SNI 2847:2019 pasal 18.7.5.3, pada daerah sendi plastis
kolom (l0), harus diletakkan tulangan transversal yang harus memenuhi
persyaratan jarak maksimal seperti berikut:
a) d/4
29
b) 6db
c) 100 mm < 100 + 350−ℎ𝑥
3< 150 mm
Menurut SNI 2847:2019 pasal 18.7.5.2, terdapat beberapa ketentuan
yang harus dipenuhi dalam desain tulangan transversal pada kolom diantara
lain:
1. Tulangan transversal harus terdiri dari spiral tunggal atau spiral saling
tumpuk (overlap), sengkang pengekang bundar, atau sengkang pengekang
persegi, dengan atau tanpa ikat silang.
2. Setiap lekukan ujung sengkang pengekang persegi dan ikat silang harus
mengait batang tulangan longitudinal terluar.
3. Ikat silang dengan ukuran batang tulangan yang sama atau yang lebih kecil
dari diameter sengkang pengekang diizinkan sesuai batasan. Ikat silang
yang berurutan harus diselang seling ujungnya sepanjang tulangan
longitudinal dan sekeliling perimeter penampang.
4. Tulangan harus diatur sedemikian sehingga spasi hx antara tulangan
tulangan longitudinal di sepanjang perimeter penampang kolom yang
tertumpu secara lateral oleh sudut ikat silang atau kaki-kaki sengkang
pengekang tidak boleh melebihi 350 mm.
5. Ketika Pu > 0,3 Agfc’ atau fc’ >70 MPa, pada kolom dengan sengkang
pengekang, setiap batang tulangan longitudinal harus memiliki sengkang
pengekang atau kait gempa dengan jarak maksimal baris tulangan dalam
kolom maksimal sepanjang 200 mm.
30
Menurut SNI 2847:2019 pasal 18.7.5.4, kebutuhan tulangan transversal pada
daerah sendi plastis (l0) adalah diambil nilai terbesar dari persamaan berikut:
Tabel 2.5 Rasio tulangan geser dalam bentang l0
Menurut SNI 2847:2019 pasal 18.7.5.5, di luar panjang sendi plastis (l0),
spasi tulangan transversal tidak boleh melebihi nilai terkecil dari:
a) 6db
b) 100 mm < 100 + 350−ℎ𝑥
3 < 150 mm
Menurut SNI 2847:2019 pasal 18.7.6.1, Tulangan transversal pada kolom
diharuskan untuk memikul gaya geser rencana (Ve) yang dihitung dengan
menggunakan kuat momen maksimum Mpr pada kolom lantai atas dan kolom lantai
bawah dari titik yang dituinjau. Gaya geser rencana tersebut harus lebih besar
daripada gaya geser rencana yang dihitung menggunakan analisa struktur.
2.4.3 Confinement
Dengan adanya pengekang yang terdapat pada suatu komponen struktur,
suatu daktilitas dan kuat beton akan meningkat. Yang mana hal tersebut akan
membuat suatu struktur lebih resisten terhadap gaya lateral seperti gaya gempa.
Selain itu, terdapatnya confinement pada suatu struktur merupakan persyaratan
mutlak dari sistem rangka pemikul momen khusus. Menurut Jerry dan Hadi,
31
pengekangan akan efektif bekerja setelah tegangan aksial melebihi 60% dari
kapasitas kuat tekan maksimum dari suatu komponen struktur.
Gambar 2.9 Detail Confinement
2.4.4 Hubungan Kolom dan Balok
Pada sambungan kolom dan balok, harus tercapai suatu sistem strong
column weak beam, untuk memenuhi kriteria tersebut, maka sambungan kolom
dan balok harus memenuhi persyaratan sesuai SNI 2847:2019 pasal 18.7.3.2
sebagai berikut:
1. Jumlah momen nominal pada kolom atas dan bawah, harus lebih besar dari
1,2 jumlah momen nominal pada balok kiri dan kanan pada suatu joint
yang ditinjau.
2. Gaya-gaya pada tulangan longitudinal balok dimuka hubungan balok kolom
harus ditentukan dengan menganggap bahwa tegangan pada tulangan tarik
lentur adalah 1,25 fy.
3. Kuat hubungan balok kolom harus direncanakan menggunakan faktor
reduksi kekuatan.
4. Tulangan longitudinal balok yang berhenti pada suatu kolom harus
diteruskan hingga mencapai sisi jauh dari inti kolom terkekang dan di
angkur.
32
2.5 Metode Analisa Gempa
Respons yang terjadi pada struktur yang diakibatkan oleh gempa bumi yang
terjadi dapat dianalisis dengan menggunakan analisa beban gempa yang sesuai
dengan SNI 1726:2019. Pada SNI 1726:2019 ini terdapat perubahan seperti
pembaharuan peta gempa untuk wilayah Indonesia serta berbagai besaran yang
telah dikoreksi.
Analisis beban gempa dapat dilakukan dengan berbagai metode di antara
lain: analisa statik ekivalen, analisa respon spektrum, dan analisa riwayat waktu
(Time History). Menurut Widodo (2001) analisis riwayat waktu (Time History)
merupakan metode yang paling mendekati besarnya beban gempa aktual. Tetapi
untuk melakukan analisis time history diperlukan banyaknya analisa yang lebih
mendalam serta adanya data pendukung yang diperlukan seperti riwayat gempa
historis pada situs tersebut. Untuk itu, penyederhanaan dilakukan oleh para ahli
gempa sehingga menjadikan efek beban dinamik oleh gempa menjadi gaya statis
arah horizontal yang bekerja pada pusat massa, metode ini disebut dengan metode
analisis statik ekivalen.
Tabel 2.6 Analisa yang diizinkan untuk kategori desain seismik tertentu
Pemilihan metode analisis untuk perencanaan bangunan tahan gempa harus
dilakukan dengan tepat. Menurut SNI 1726:2019, analisa statik ekivalen
dikhususkan untuk struktur gedung yang memiliki bentuk beraturan, serta
berbentuk tipikal setiap lantainya, sedangkan analisis menggunakan metode time
33
history dapat digunakan untuk menganalisa suatu struktur yang beraturan maupun
struktur yang tidak beraturan.
Gambar 2.10 Peta koefisien gempa Indonesia
2.5.1 Analisa Statis Ekivalen
Analisa metode statik ekivalen merupakan suatu analisis yang hanya
mempertimbangkan getar mode atau ragam pertama. Ragam mode pertama tersebut
dapat diasumsikan mengikuti sebuah garis lurus. Respons struktur yang diakibatkan
gempa sangat dipengaruhi oleh bentuk geometri bangunan itu sendiri. Menurut
Pauly dan Priestley, Bangunan yang memiliki bentuk yang beraturan memiliki
ketahanan atas gempa lebih tinggi daripada bangunan yang memiliki bentuk
geometris yang tidak beraturan.
Analisa perencanaan struktur gedung terhadap efek beban gempa yang
bersifat statis, pada dasarnya merupakan Upaya untuk menggantikan beban dinamis
dengan gaya lateral yang bersifat statis. yang dianalisa akibat pergerakan tanah
dengan gaya-gaya statis ekivalen, dengan tujuan simplifikasi agar mendapatkan
kemudahan dalam perhitungan analisanya. Metode ini disebut dengan Metode Gaya
Lateral Ekivalen (Equivalent Lateral Force Method). Metode ini menitikberatkan
pada suatu elemen struktur yang dibebani gaya gempa merupakan hasil dari
34
perkalian Berat aktual total struktur dikalikan dengan koefisien berat yang didapat
dari jenis tanah situs beserta nilai percepatan gaya gempa periode pendek.
2.5.2 Analisis Dinamis
Pada analisa dinamis perhitungan analisa gaya gempa memperhitungkan
juga aspek khusus yang tidak terdapat dalam analisa statis. analisa ini cukup sering
digunakan pada bangunan yang memiliki bentuk geometris yang tidak beraturan.
Dari segi analisis dinamik, hal ini bukan menjadi masalah, dengan adanya berbagai
program komputer canggih saat ini yang memiliki kemampuan tinggi menganalisis
struktur rumit, sejatinya juga dipakai juga untuk mengontrol perilaku struktur
tersebut dalam responnya terhadap gempa. Pada analisa beban gempa dinamis
dapat menggunakan software analisa struktur seperti SAP2000 dan STAAD Pro
Yang berdasarkan peraturan yang berlaku di suatu daerah tertentu. Selain itu, hasil
dari analisa gempa beban dinamis pada software analisa struktur harus dikontrol
dengan perhitungan secara manual. Dengan melakukan analisis getaran bebas
3D dapat dilihat, kecenderungan perilaku struktur terhadap gempa. Nilai total dari
analisa dinamis umumnya lebih kecil hasilnya daripada menggunakan analisa statis.
Nilai ini juga lebih akurat daripada menggunakan analisa statis. Selain itu bangunan
yang memiliki tinggi lebih dari 40 meter diharuskan untuk menggunakan analisa
dinamis karena analisa statis sudah tidak lagi akurat untuk bangunan dengan
ketinggian lebih dari 40 meter.
Analisis dinamis untuk perancangan struktur tahan gempa dilakukan apabila
diperlukan analisa ulang yang lebih akurat dari gaya-gaya gempa yang bekerja pada
struktur tersebut, serta untuk mengetahui perilaku dari struktur akibat pengaruh
gempa. Pada struktur bangunan tingkat tinggi atau struktur dengan bentuk
geometris atau konfigurasi yang tidak teratur.
Analisis dinamis dapat dilakukan dengan menggunakan metode elastis
maupun inelastis. Pada metode elastis dibedakan Analisis Riwayat Waktu dimana
pada cara ini diperlukan rekaman percepatan gempa dan Analisis Ragam Spektrum
Respons , yang mana pada cara ini respons maksimum dari tiap ragam getar yang
terjadi didapat dari Spektrum Respons Rencana Sedangkan pada analisis dinamis
35
inelastis, metode yang digunakan untuk mendapatkan nilai respons struktur akibat
pengaruh gempa yang kuat dengan menggunakan cara integrasi langsung.
2.5.3 Respons Spektrum
Respons spektrum adalah suatu spektrum yang dijelaskan dalam bentuk
grafik antara periode getar struktur, yang berlawanan dengan respon-respon
maksimum berdasarkan rasio redaman dan gempa tertentu. Respon–respon
maksimum berupa Simpangan, kecepatan, percepatan. Sedangkan nilai spektrum
respon dipengaruhi oleh periode getar, nilai rasio redaman, nilai daktilitas
struktur, serta jenis tanah pada suatu situs.
Terdapat dua macam spektrum respon :
1. Spektrum elastik: suatu spektrum yang didasarkan atas respon elastik struktur.
2. Spektrum inelastik (disebut juga desain spektrum respon): suatu spektrum yang
discale down dari spektrum elastik dengan nilai daktilitas tertentu.
2.6 Pembebanan Struktur
Perencanaan pembebanan dalam suatu struktur menjadi salah satu hal yang
terpenting yang mana nantinya digunakan untuk acuan dalam perencanaan
komponen struktur seperti pelat, balok dan kolom. Adapun beban-beban tersebut
dapat digolongkan menjadi dua yakni, beban gravitasi yang secara garis besar
terdiri dari beban mati (dead load) dan beban hidup (live load) , serta beban lateral
yang terdiri dari beban gempa (seismic load) dan beban angin (wind load).
Perencanaan pembebanan struktur gedung koridor Fakultas Ilmu Komputer
Universitas Brawijaya Malang ini menggunakan beberapa acuan standar sebagai
berikut :
1) SNI 2847:2019 tentang Tata Cara Perhitungan Struktur Beton Untuk Bangunan
Gedung
2) SNI 1726:2019 tentang Standar Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur
Bangunan Gedung
36
3) SNI 1727:2013 tentang Standar Perencanaan Pembebanan Untuk Rumah dan
Gedung.
2.6.1. Beban Gravitasi
2.6.1.1 Beban Mati
Dalam suatu struktur, beban mati merupakan beban yang telah membebani
struktur baik itu pada masa konstruksi maupun pada masa layan. Dalam sebagian
besar struktur gedung beban mati itu dapat berupa komponen struktural gedung,
komponen arsitektural gedung beserta utilitas gedung seperti perpipaan,
komponen kelistrikan dan lain-lain .
Beban mati yang termasuk perlu dipertimbangkan adalah beban yang
memiliki pengaruh terhadap struktur atau memiliki berat yang relatif tinggi
sehingga perlu diperhitungkan, beban-beban tersebut diantara lain:
Beton Bertulang = 2400 kg/m3
Tegel (24 kg/m2) + spesi (21 kg/m2) = 45 kg/m3
Plumbing = 10 kg/m3
Plafond + Penggantung = 18 kg/m3
2.7.1.2 Beban Hidup
Beban hidup merupakan beban yang disebabkan karena aktivitas dalam
gedung oleh pengguna gedung yang tentunya aktivitas tersebut mengakibatkan
beban yang berdampak pada struktur bangunan. Beban hidup itu juga dapat
dikatakan beban vertikal selain beban konstruksi. Beban hidup bekerja disaat
bangunan pada saat masa layan.
Menurut SNI 1727:2013, besarnya beban hidup lantai yang terdistribusi
secara merata pada jenis bangunan tertentu dapat ditentukan besarnya sesuai nilai-
nilai pada tabel berikut:
37
Tabel 2.7 Beban hidup terdistribusi merata pada lantai
38
39
2.6.2. Beban Lateral
2.6.2.1 Beban Gempa
Beban gempa adalah beban yang diakibatkan karena pergerakan tanah
akibat suatu aktivitas seismik pada bagian dalam bumi yang mana dapat
40
mempengaruhi kondisi struktur tersebut yang berupa simpangan atau drift. Maka
dari itu diperlukanlah suatu manajemen penahan gempa yang mampu mereduksi
suatu simpangan agar bangunan tersebut tidak mengalami keruntuhan.
2.7.2.2 Beban Angin
Beban angin merupakan beban yang diakibatkan gesekan udara yang mana
gesekan tersebut memberi dorongan pada suatu struktur. Besarnya beban angin
pada suatu struktur itu berdasarkan lokasi suatu situs, tinggi bangunan dan juga
luasan bangunan dari arah samping yaitu lebar gedung dikalikan dengan tinggi
gedung.
2.6.3 Beban Kombinasi Terfaktor
Beban kombinasi merupakan beban dasar yang dikalikan dengan faktor
yang mana termuat dalam suatu code atau aturan yang berlaku di suatu tempat,
besarnya suatu faktor dapat dipengaruhi oleh tingkat fluktuasi beban terhadap
beban rencana sehingga suatu faktor beban berbeda satu sama lain pada setiap
kondisi gedung.
Tabel 2.8 Kombinasi pembebanan menurut SNI 2847:2019
Keterangan :
D = beban mati
L = beban hidup
Lr = beban hidup atap
R = beban hujan
W = beban angin
41
E = beban gempa
2.7 Tahapan Analisa Beban Gempa Metode Respons Spektrum
2.7.1 Kategori Resiko Bangunan dan Faktor Keutamaan, Ie
Menurut SNI 1726:2019, setiap jenis bangunan yang dikategorikan
terhadap fungsi nya. Kategori resiko tersebut memiliki faktor keutamaan terhadap
gempa yang berbeda satu sama lainnya yang bergantung pada tingkat urgensi pada
gedung tersebut. Faktor keutamaan terhadap gempa tersebut termuat dalam tabel
2.9 berikut:
42
Tabel 2.9 Kategori risiko bangunan terhadap gempa
43
Tabel 2.10 Faktor keutamaan terhadap gempa
2.7.2 Nilai Spektral Percepatan SS dan S1
Nilai spektral percepatan SS ditentukan menggunakan peta zonasi
gempa untuk SS, parameter respon spektral percepatan gempa maksimum yang
dipertimbangkan (MCER), periode ulang gempa selama 2500 tahun dimana dapat
dikatakan bahwa probabilitas yang dimiliki suatu bangunan dalam 50 tahun adalah
2%.
2.7.3 Klasifikasi Situs
Klasifikasi situs ini digunakan sebagai acuan kriteria desain seismik yang
terdiri dari nilai-nilai faktor amplifikasi pada bangunan. Dalam perumusan kriteria
desain seismik suatu bangunan pada permukaan tanah atau penentuan amplifikasi
44
percepatan gempa puncak dari batuan dasar ke permukaan tanah untuk suatu situs
tertentu, maka situs tersebut harus diklasifikasi dahulu.
Tabel 2.11 Klasifikasi situs gempa
2.7.4 Koefisien Situs
Tabel 2.12 Nilai koefisien pada tiap situs (FA) dengan periode 0.2 s
CATATAN :
a. Untuk nilai-nilai SS yang terletak pada dua nilai dapat dicari dengan
menggunakan interpolasi linier
b. SS = situs yang memerlukan investigasi geoteknik secara spesifik serta analisis
respons situs spesifik
45
CATATAN :
a. Untuk nilai-nilai antara SS dapat dilakukan interpolasi linier
b. SS = situs yang memerlukan investigasi geoteknik spesifik dan analisis respons
situs spesifik.
2.7.5 Nilai Koefisien Modifikasi Respon
Nilai koefisien pada setiap jenis nilai koefisien modifikasi respon termuat
pada tabel di bawah ini:
Tabel 2.13 Nilai koefisien situs (Fv) pada tiap situs dengan periode 1s
46
Tabel 2.14 Tabel Nilai R,Ω0 dan Cd
47
48
2.7.6 Parameter Spektrum Respon Periode Pendek
Parameter spektrum respons percepatan pada periode pendek (SMS) dan
periode 1 detik (SM1) yang disesuaikan dengan pengaruh klasifikasi situs, harus
ditentukan dengan persamaan berikut:
SMS = Fa SS
SM1 = Fv S1
Keterangan :
SS = parameter respons spektral percepatan gempa MCER terpetakan untuk
periode pendek;
S1 = parameter respons spektral percepatan gempa MCER terpetakan untuk
periode 1 detik
49
2.7.7 Parameter Percepatan Spektral Desain
Parameter percepatan spektral desain untuk periode pendek SDS dan pada
periode 1 detik, SD1, harus ditentukan dengan persamaan berikut:
SDS = SMS
SD1 = SM1
2.7.8 Kategori Desain Seismik
Struktur harus ditetapkan memiliki suatu kategori desain seismik. Kategori
desain seismik ditentukan berdasarkan tabel kategori desain seismik di bawah ini,
dimana kategori desain seismik yang diambil merupakan nilai yang terberat dari
kedua tabel tersebut.
Tabel 2.15 Kategori Desain Seismik Berdasarkan Parameter Respons Percepatan Pada Periode
Pendek
Tabel 2.16 Kategori Desain Seismik Berdasarkan Parameter Respons Percepatan Pada Periode 1
Detik
2.7.9 Spektrum Respon Desain
Berikut ini terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam desain
dalam desain respon spektrum, di antara lain:
1. Untuk periode yang lebih kecil dari To, spektrum respons percepatan desain,
Sa, harus diambil berdasarkan persamaan berikut ini:
50
2. Untuk perioda lebih besar dari atau sama dengan To dan lebih kecil dari atau
sama dengan TS, spektrum respons percepatan desain, Sa, sama dengan SDS.
3. Untuk perioda lebih besar dari TS, spektrum respons percepatan desain, Sa,
diambil berdasarkan persamaan :
Ev = 0,2× 𝑆𝐷𝑆 ×𝐷
Dan
𝑆𝐷𝑆 = 2/3 𝑆𝑀𝑆
𝑆𝑀𝑆 = Fa×Ss
Keterangan :
𝑆𝐷𝑆 = parameter percepatan spektrum respons desain pada periode pendek
𝐷 = pengaruh beban mati
𝐹𝑎= faktor amplifikasi getaran terkait percepatan pada getaran periode pendek
𝑆𝑀𝑆 = parameter spektrum respons percepatan pada periode pendek
𝑆𝑠= parameter respons spektral percepatan gempa MCER terpetakan untuk
periode pendek
2.7.10 Menentukan Gaya Gempa dasar (Base Shear)
Besarnya gaya gempa dasar dapat dihitung menggunakan persamaan yang
berdasarkan SNI 1726:2019 pasal 7.8.1 yakni:
Keterangan:
Cs = Koefisien respon seismik
W = berat seismik efektif
Koefisien respon seismik (Cs), harus dihitung berdasarkan SNI 1726:2019 pasal
7.8.1.1, seperti berikut:
51
Nilai Cs tersebut harus kurang dari Cs max yang nilainya sebesar
Apabila T < TL
Apabila T > TL
Nilai Cs tersebut harus lebih besar dari Cs min yang nilainya sebesar
2.7.11 Perioda Fundamental Alami (Approximate Fundamental Period)
Berdasarkan pada SNI 1726:2019 pasal 7.8.2.1, periode fundamental
pendekatan (Ta), dalam satuan detik, harus ditentukan melalui persamaan sebagai
berikut :
Keterangan:
hx = Ketinggian struktur dari dasar hingga puncak gedung dalam satuan meter
Ct = dapat dilihat pada tabel berikut
52
Tabel 2.17 Nilai parameter pendekatan Ct dan x
2.7.12 Distribusi Vertikal gaya gempa
Berdasarkan pada SNI 1726 :2019 pasal 7.8.3, gaya gempa lateral (Fx),
yang terdapat pada seluruh tingkat dapat ditentukan melalui persamaan berikut :
Keterangan :
𝐶𝑣𝑥 = faktor distribusi vertikal
V = base shear atau gaya geser gempa dasar, (kN)
Cvx, wi dan wx= sebagian berat efektif total struktur (W) pada suatu tingkat
bangunan i atau x
hi dan hx = nilai eksponen yang terkait dengan periode struktur yakni sebagai
berikut :
k = 1, berlaku untuk struktur yang mempunyai periode kurang dari 0,5 s
k = 2, berlaku untuk struktur yang mempunyai periode lebih dari 2s
untuk nilai k yang terletak diantara 0,5s - 2s, maka harus diinterpolasikan secara
linier.
53
2.7.13 Distribusi Horizontal gaya gempa
Berdasarkan pada SNI 1726:2019 pasal 7.8.4, geser tingkat desain di semua
lantai dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan berikut :
Keterangan :
Fi adalah sebagian dari gaya geser dasar seismik V yang terjadi pada tingkat
i, dan dinyatakan dalam satuan kilonewton (kN). Besarnya nilai gaya geser tingkat
desain gempa juga harus didistribusikan pada seluruh elemen vertikal sistem
penahan gaya gempa pada tingkat yang ditinjau berdasarkan kekakuan lateral relatif
pada setiap elemen vertikal dan diafragma.
2.8 Kontrol Stabilitas Bangunan Akibat Pengaruh Gaya Gempa
2.8.1 Simpangan Antar Tingkat
Menurut SNI 1726:2019 pasal 7.8.6, gaya gempa akan menghasilkan suatu
simpangan struktur dalam arah lateral, sehingga dalam perencanaan struktur harus
diperiksa simpangan antar lantai (story drift) agar stabilitas struktur dan
kenyamanan dalam penggunaan bangunan terjamin.
Dalam menentukan besarnya simpangan antar lantai desain, perhitungan
harus dihitung berdasarkan perbedaan simpangan pada lantai atas dan lantai bawah
yang ditinjau. Defleksi pusat massa di tingkat x (δx) dihitung menggunakan
persamaan berikut:
Keterangan:
Cd = faktor pembesaran defleksi
δxe = defleksi pada lantai yang ditinjau akibat adanya gaya gempa lateral
Ie = faktor keutamaan struktur
54
Gambar 2. 11 skema deformasi portal akibat gaya gempa menurut SNI 1726:2019 pasal 7.8.7
2.8.2 Simpangan Izin Antar Tingkat
Simpangan antar tingkat desain, tidak boleh melebihi simpangan izin yang
disyaratkan sesuai SNI 1726:2019 pasal 7.12.1 yakni seperti yang termuat pada
tabel berikut:
Tabel 2.18 Simpangan izin antar tingkat
Untuk sistem penahan gaya gempa yang berupa rangka momen (moment frame)
yang dirancang untuk kategori desain seismik D, E, F besarnya simpangan yang
diizinkan tidak boleh melebihi Δa/ yang mana berlaku untuk seluruh tingkat, untuk
diambil secara konservatif sebesar 1,3.
55
2.8.3 Efek P-delta
Dalam perencanaan bangunan bertingkat tinggi, pergerakan lateral kolom
yang disebabkan oleh pengaruh beban aksial dan defleksi horizontal dapat
menimbulkan momen sekunder yang terjadi pada balok dan kolom, serta dapat
memberi tambahan terhadap besarnya simpangan antar lantai. Pengaruh itulah yang
disebut sebagai efek P-delta, untuk stabilitas struktur juga harus diperiksa akibat
dari efek P-delta ini.
Pengaruh P-delta pada geser dan momen tingkat tidak perlu dihitung apabila
koefisien stabilitas nilainya kurang dari 0,1 yang mana harus dihitung melalui
persamaan yang diisyaratkan pada SNI 1726:2019 pasal 7.8.7 berikut.
Keterangan:
Px = beban desain vertikal total di atas tingkat x tak terfaktor
Δ = simpangan antar lantai desain (mm)
Ie = faktor keutamaan gempa
Vx = gaya geser akibat gempa pada tingkat x dan x-1 (KN)
hsx = tinggi tingkat dibawah tingkat x (mm)
Cd = faktor pembesaran defleksi
Selain itu nilai koefisien stabilitas bangunan diisyaratkan untuk tidak melebihi nilai
maksimumnya yang dihitung menurut SNI 1726:2019 pasal 7.8.7 seperti berikut:
Keterangan:
θmax = koefisien stabilitas maksimum
ꞵ = rasio keruntuhan geser terhadap kapasitas gesernya, secara konservatif,
nilainya diambil 1,0
Cd = faktor pembesaran defleksi