Post on 09-Apr-2018
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Batu Bara (coal)
Kata coal itu sendiri berasal dari bahasa arya, namun kata coal dapat
didekati juga dari berbagai bahasa seperti Jerman kohle, Swedia kol, Hindi koyla
yang berarti karbon.
Batu bara berbentuk solid, merupakan campuran mudah terbakar yang
terdiri dari senyawa-senyawa organik, hidrokarbon dengan komposisi antara
30wt% sampai 98wt% karbon, sejumlah air, serta sedikit sulfur, nitrogen, dan
alkali metal seperti sodium, pottasium dan sebagainya.
Gambar 2.1 Batu Bara[ 31].
Batu bara adalah bahan bakar fosil yang terbentuk di ekosistem rawa
dimana tumbuhan yang terendam dalam air dan lumpur dari proses oksidasi dan
biodegradasi. Batu bara yang telah siap untuk menjadi bahan bakar biasanya
berwarna hitam atau hitam kecoklatan. Batu bara merupakan jenis batuan sedimen
yang keras. Sebagai contoh, batu bara antrasit yang terbentuk karena
metamorfosis batuan sedimen tadi akibat pengaruh temperatur dan tekanan pada
waktu yang lama. Batu bara biasanya mengandung karbon sebagai unsur
utamanya. Namun terdapat juga unsur lain seperti sulfur, air dan sebagainya.
Batu bara sempat tenggelam pamornya akibat isu pemanasan global.
Namun demikian makin menipisnya cadangan minyak dan gas dunia membuat
batu bara kembali dilirik.
6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Jenis-jenis Batu Bara[31]
Proses geologi (tekanan dan panas) yang relatif lama dapat merubah
endapan tumbuhan menjadi :
• Lignit (35-75% air, berwarna coklat dan sangat lunak)
Sering disebut sebagai batu bara coklat. Lignit merupakan batu bara yang
memiliki kualitas paling rendah dan bahkan hanya digunakan sebagai
bahan bakar untuk pembangkit listrik tenaga uap.
• Batu bara Sub-bituminous (kadar karbon rendah, kadar air tinggi)
Kualitas batu bara ini lebih baik daripada lignit. Penggunaannya juga
masih terbatas pada pembangkit listrik tenaga uap.
• Batu bara bitominous (68 - 86%C, 8-10%air)
Batu bara yang padat biasanya berwarna hitam kadang coklat tua. Batu
bara ini masih banyak digunakan pada pembangkit listrik tenaga uap,
namun dengan komposisi yan tepat batu bara jenis ini dapat dipakai pada
aplikasi panas dan tenaga pada industri dan industri pembuatan coke
• Antrasit (86% - 98%C, air kurang dari 8%)
Merupakan jenis batu bara yang paling baik. Memiliki sifat lebih keras,
mengkilap dan biasanya dipakai untuk pemanas di perumahan dan
pemanas-pemanas komersil.
2.1.2 Batu Bara Sebagai Bahan Bakar
Batu bara biasanya digunakan sebagai bahan bakar padat untuk
memproduksi tenaga listrik dan panas melalui proses pembakaran.
Penggunaan batu bara di dunia sekitar 5,3 milyar ton dan 75 persen dari itu
digunakan pada pembangkit listrik.
Ketika batu bara digunakan pada pembangkit listrik, batu bara
biasanya dihancurkan dan kemudian dibakar dalam ruang bakar yang ada pada
boiler. Panas yang dihasilkan pada ruang bakar tersebut digunakan untuk
mengubah air menjadi uap dimana uap tersebut nantinya akan digunakan
untuk menggerakan turbin sehingga dapat memutar generator listrik. Efisiensi
termodinamika proses pengubahan energi tersebut terus ditingkatkan. Turbin
7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
uap standar pada umumnya memiliki nilai efisiensi sebesar 35%. Artinya 65%
energi yang dimiliki batu bara terbuang dari sistem dan hanya 35% energi dari
batu bara tersebut yang diubah menjadi energi listrik.
Kemudian dikembangkan Turbin Supercritical dimana temperatur dan
tekanan sangat tinggi. Dengan penggunaan Turbin Supecritical ini efisiensi
termodinamika meningkat menjadi 46%. Namun demikian karena tekanan dan
temperatur kerja yang relatif tinggi memerlukan penanganan yang lebih
terutama mengenai kualitas uap dari boiler. Karena temperatur dan tekanan
yang cukup tinggi tersebut maka sudu turbin dan komponen lainnya sangat
rentan terhadap mulur (creep) dan korosi. Untuk meminimalisir korosi, maka
dipakai superheated steam dimana kadar airnya sangat sedikit.
2.1.3 Pembakaran Batu Bara
Pembakaran batu bara hampir sama seperti proses pembakaran bahan
bakar fosil lainnya dimana akan menghasilkan gas karbon dioksida (CO2) dan
nitrogen okside (NOx) serta sejumlah sulfur diokside (SO2) tergantung jenis
dan asal batu bara tersebut. Sulfur diokside yang dihasilkan dari hasil
pembakaran tersebut sangat berbahaya karena memegang peranan penting
terhadap hujan asam yaitu saat sulfur diokside tersebut bereaksi dengan
oksigen membentuk SO3 yang kemudian akan bereaksi dengan air sehingga
menghasilkan asam sulfat.
Tabel 2.1 Komposisi Utama Unsur Penyusun Utama Batu Bara[6]. Komposisi (%berat) NCV Tad Batu bara
C H O S N Abu H2O MJ/kg C
Afrika Selatan
65,93 3,63 7,25 0,61 1,58 13,6 7,4 25,4 2126
Indonesia 58,7 4,43 8,82 1 1,05 5 21 22,69 2008
Rusia 70,09 3,70 7,37 0,3 1,23 9,81 7,5 27,2 2160
Keterangan :
NCV = Normal Combustion Value
Tad = Temperatur pembakaran adiabatik
8
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Selain komposisi penyusun diatas terdapat kandungan lain dalam batu
bara seperti logam alkali, dan logam berat. Adapun reaksi pembakaran batu
bara secara umum dapat dituliskan sebagai berikut :
Coal + O2 CO2 + NOx + SO2 + V2O5 + spesi sisa seperti fly ash, slag
deposite (Na2SO4), bottom ash, dan logam berat Arsenik,
Pb, Merkuri dsb[27].
2.2 Boiler dan Prinsip Kerjanya
Boiler merupakan suatu vessel/bejana tertutup untuk memanaskan air atau
fluida lainnya dalam tekanan hingga menjadi uap. Uap fluida tersebut kemudian
disirkulasikan keluar dari boiler dan digunakan untuk berbagai keperluan.
Konstruksi boiler biasanya terbatas dari bahan tembaga, baja, stainless steel dan
besi cor.
Sumber panas yang digunakan untuk memanaskan fluida pada boiler
berasal dari pembakaran beberapa bahan bakar seperti kayu, batu bara, minyak
bakar atau gas alam. Terdapat juga boiler jenis lain dimana panas yang didapatkan
berasal dari resistansi elemen pemanas. Reaksi fisi nuklir juga dapat digunakan
untuk menghasilkan panas untuk memanaskan fluida sehingga menjadi uap.
Boiler dapat dikategorikan menjadi :
• Boiler pipa api
Boiler tipe ini, sumber panas terletak di dalam pipa dan air yang
dipanaskan berada diluar pipa.
• Boiler pipa air
Boiler tipe ini, sumber panas berada di luar pipa sedangkan air yag
dipanaskan berada di dalam pipa.
• Primitif boiler
Boiler yang tidak efektif karena tidak ada pipa-pipa di dalamnya dan
api pemanas hanya terletak pada salah satu sisi kontainer air.
Pada prinsipnya mengapa dibuat pipa-pipa pada boiler-boiler saat ini
adalah bertujuan untuk seefektif mungkin untuk menyalurkan panas dari sumber
panas ke air.
9
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.2.1 Boiler Pipa Api[30]
Boiler pipa api merupakan salah satu tipe boiler dimana udara panas
dari api memanaskan satu atau lebih pipa yang berisi air pada boiler yang
bersangkutan. Boiler jenis ini merupakan satu diantara dua tipe utama boiler
yang ada. Sedangkan jenis boiler yang lain adalah Boiler pipa air. Boiler pipa
api dapat berupa boiler vertikal maupon horizontal. Boiler jenis ini juga sering
disebut dengan smoke tube boiler atau shell boiler.
2.2.1.a Jenis-jenis boiler pipa api
• Cornish Boiler, boiler dengan container flue pembakaran tunggal
Gambar 2.2 Skema Cornish Boiler[29].
• Lancashire Boiler, Boiler dengan container flue pembakaran ganda
Gambar 2.3 Skema Lancashire Boiler[29].
10
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
• Locomotive Boiler, boiler yang memiliki pipa-pipa api dalam jumlah
yang banyak.
Gambar 2.4 Skema Locomotive Boiler[30].
2.2.2 Boiler Pipa Air[30]
Boiler jenis ini merupakan boiler yang mensirkulasikan air dalam pipa
yang dipanaskan dari luar dengan nyala api. Boiler pipa air biasanya
beroperasi pada tekanan tinggi tidak seperti boiler pipa api yang biasanya
beroperasi pada tekanan yang relatif rendah. Bahan bakar boiler jenis ini
dibakar di dalam suatu tungku, sehingga menghasilkan panas gas panas
dimana akan memanaskan air yang berada di dalam pipa.
Air yang telah dipanaskan kemudian masuk ke dalam steam drum.
Saturated steam kemudian akan tertarik ke bagian atas drum. Pada beberapa
penggunaan, uap yang berada pada steam drum ini akan dialirkan ke
superheater sehingga steam tersebut menjadi superheat. Superheated steam ini
biasanya digunakan pada turbin uap. Penggunaan superheated steam pada
turbin bertujuan untuk menghindari kerusakan pada sudu turbin karena korosi.
Dengan menggunakan superheated steam hingga 390oC atau lebih air dalam
uap tersebut benar-benar diminimalisir atau bahkan dihilangkan.
11
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2.5 Skema Water Tube Boiler[30].
Air yang masih relatif dingin yang berada di steam drum akan masuk
kembali ke feedwater drum melalui pipa downcomer, dimana hal tersebut akan
membantu suplai air yang akan dipanaskan kembali. Pada beberapa jenis boiler
pipa air, biasanya air yang akan dipanaskan di water tube di-preheat terlebih
dahulu. Hal ini digunakan untuk meningkatkan aspek ekonomis boiler.
Jenis-jenis Boiler pipa air
(a) (c) (b)
Gambar 2.6 Skema Boiler Pipa Air (a) Tipe O, (b) Tipe D, (c) Tipe A[26].
12
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
• Babcock & Wilcox boiler
Gambar 2.7 Skema Boiler Babcock & Wilcox[25].
• Boiler Pipa Air yang Lain
(a) (c) (b)
Gambar 2.8 Boiler Pipa Air (a) Thornycroft, (b) Stirling, (c) Yarrow[28].
2.3 Oksidasi dan Korosi pada Temperatur Tinggi[15]
Korosi temperatur tinggi memegang peranan penting dalam pemilihan
material pada dunia industri terutama industri yang berkaitan dengan temperatur
tinggi seperti aplikasi turbin gas. Modus-modus korosi temperatur tinggi yang bisa
terjadi antara lain :
• Oksidasi
• Karburasi dan metal dusting
• Nitridasi
• Korosi halogen
13
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
• Sulfidasi
• Ash/salt deposit corrosion
• Molten salt corrosion
• Molten metal corrosion
Sedangkan industri yang selalu bersinggungan dengan masalah korosi temperatur
tinggi diantaranya :
• Industri pesawat terbang dan turbin gas
• Industri heat treatment (perlakuan panas)
• Industri pemrosesan mineral dan metalurgi
• Industri kimia
• Industri pemurnian dan pemrosesan minyak
• Industri manufaktur keramik, elektrolit, dan gelas
• Industri otomotif
• Industri pulp dan kertas
• Incenerator
• Pembangkit listrik
• Industri batubara
• Industri nuklir
Oksidasi merupakan reaksi utama yang ada pada korosi temperatur tinggi.
Pada kebanyakan industri, oksidasi sering memegang peranan penting dalam
korosi temperatur tinggi. Meskipun demikian, pada sebagian paduan reaksi
oksidasi sering dimanfaatkan untuk membentuk lapisan oksida protektif untuk
menahan serangan korosi sperti sulfidasi, karburisasi, dan korosi deposit
abu/garam.
Oksidasi logam atau paduannya terjadi ketika material tersebut dipanaskan
pada temperatur yang cukup tinggi pada atmosfer seperti udara atau oksigen.
Reaksi oksidasi direpresentasikan sebagai interaksi antara logam dengan oksigen
membentuk senyawa oksida logam. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
sifat oksidasi suatu metal dan mekanisme reaksi yang terlibat dimana bisa sangat
komplek. Reaksi oksidasi dimulai dengan diabsorbsinya molekul oksigen dari
14
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
atmosfer, pengintian oksida, kemudian pembentukan lapisan oksida tipis, yang
diikuti dengan pertumbuhan lapisan oksida tersebut.
Untuk menekan korosi temperatur tinggi lingkungan biasanya dijaga,
seperti aktivitas oksigen baik dalam atmosfer oksidasi maupun atmosfer reduksi.
atmosfer oksidasi merupakan lingkungan yang banyak mengandung molekul
oksigen (O2), seperti pada udara atau atmosfer pembakaran dengan kelebihan
oksige bebas. Aktivitas oksigen pada kasus ini sangat tinggi dan dikontrol oleh
konsentrasi molekular oksigen yang bersangkutan. Atmosfer reduksi secara umum
dihasilkan dari pembakaran kondisi under stochiometric atau substochiometric
dengan tidak ada kelebihan oksigen. Aktivitas oksigen pada kasus ini sangat
rendah dan dikontrol oleh CO/CO2 atau H2/H2O. Atmosfer reduksi secara umum
lebih korosif untuk beberapa modus korosi seperti sulfidasi, karburisasi, nitridasi,
dan korosi deposit abu/garam.
Ketika suatu lingkungan memiliki aktivitas sulfur yang tinggi (sulfur
potensial tinggi), korosi akan didominasi oleh reaksi sulfidasi. Reaksi juga akan
dipengaruhi oleh aktivitas oksigen. Aktivitas oksigen yang rendah akan
menyebabkan sulfidasi lebih mudah terjadi. Sedangkan aktivitas oksigen yang
tinggi akan mengurangi tingkat kemudahan terjadinya sulfidasi ini. Dalam hal ini
reaksi yang mendominasi bukan sulfidasi lagi melainkan oksidasi. Dengan
demikian, bisa dikatakan bahwa sulfidasi dikontrol oleh aktivitas oksigen dan
sulfur.
Karburasi memiliki kesamaan dengan sulfidasi. Dalam hal ini, reaksi
dikontrol oleh aktivitas karbon dan oksigen. Aktivitas oksigen yang lebih rendah
akan memudahkan reaksi karburisasi dan sebaliknya jika aktivitas oksigen tinggi.
Sedangkan pada nitridasi hampir sama juga namun nitridasi akan lebih parah
apabila lingkungannya reduktif.
Pada korosi halogen, aktivitas oksigen memberi efek yang berbeda.
Sebagai contoh korosi temperatur tinggi pada lingkungan yang mengandung ion
chlorine dimana secara umum akan mendorong terbentuknya senyawa metal
klorida yang mudah menguap. Lingkungan oksidasi menyebabkan beberapa
paduan yang memiliki kadar Mo dan W akan memiliki laju korosi yang tinggi.
15
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh terbentuknya oxychloride yang sangat
volatile. Secara umum reaksinya diatur oleh aktivitas halogen dan oksigen.
Lingkungan industri biasanya mengandung beberapa kontaminan yang
sangat korosif yang berbentuk deposit abu/garam pada permukaan logam pada
saat di-ekspose pada temperatur tinggi. Deposit abu/garam ini dapat menyebabkan
terjadinya korosi temperatur tinggi. Korosi temperatur tinggi pada komponen
turbin uap merupakan contoh yang bagus. Sulfur dari bahan bakar dan NaCl dari
udara sekitar dapat bereaksi selama pembakaran dan membentuk Na2SO4. Uap
Na2SO4 akan terdeposit pada permukaan logam sehingga akan meningkatkan laju
korosi. Pada pembangkit listrik hasil pembakaran bahan bakar fosil, deposit garam
sangat biasa ditemukan karena sulfur dan vanadium pada bahan bakar fosil
(biasanya pada low grade fuel) serta alkali metal, chlorine, dan sulfur pada batu
bara. Peningkatan laju korosi akibat ash/salt deposit pada kasus ini sering disebut
fuel ash corrosion. Baik korosi temperatur tinggi dan fuel ash corrosion secara
umum disebabkan karena liquid salt deposit yang akan menghancurkan lapisan
pelindung yang ada pada permukaan logam. Bahkan kasus yang ditemukan pada
waste incinerator ash/salt deposite yang dihasilkan sangat kompleks dimana
kandungan sulfur, sodium, potassium, chlorine, zinc, lead, phosphorus dan elemen
lain yang sangat bervariasi.
Pada permukaan logam juga dapat terdeposit senyawa dengan melting
point yang rendah pada saat di-ekspose pada temperatur tinggi. Senyawa yang
sangat banyak ditemukan pada beberapa kasus adalah V2O5, MoO3, dan senyawa
Ni-P. Senyawa-senyawa tersebut pada saat dalam bentuk liquid akan
menghancurkan lapisan oksida pelindung yang ada pada permukaan logam
sehingga akan mempercepat laju korosi. Ketika V2O5 atau MoO3 terlibat dalam
korosi temperatur tinggi, fenomena tersebut sering dikenal dengan nama
cathastrophic oxidation. Apabila lingkungan mengandung phosphorous, dan
paduan nikel yang tinggi maka akan terbentuk senyawa Ni-P eutektik yang
memiliki temperatur leleh yang rendah. Senyawa Ni-P ini akan menghancurkan
lapisan oksida pelindung yang ada pada permukaan metal.
16
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Modus korosi temperatur tingggi yang tak kalah penting adalah Korosi
Garam Cair dan Korosi Logam Cair. Aktivitas oksigen masih memegang peranan
yang sangat penting pada dua modus korosi tersebut.
Sedangkan gambaran penyebab beberapa modus korosi temperatur tinggi
diatas digambarkan pada Gambar 2.9
Gambar 2.9 Bagan Korosi Temperatur Tinggi[15].
17
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.3.1 Prinsip Korosi Temperatur Tinggi
Syarat terjadinya korosi temperatur tinggi sama seperti korosi yang
terjadi pada temperatur kamar. Adanya beda potensial akibat adanya anoda dan
katoda, konduktor sebagai media transport elektron, serta elektrolit sebagi
tempat bereaksinya ion-ion yang berperan dalam korosi yang bersangkutan.
Hal utama yang membedakan Korosi Temperatur Tinggi dengan korosi pada
temperature kamar adalah tidak adanya fluida yang dapat bertindak sebagai
elektrolit. Pada korosi temperatur tinggi lapisan oksida atau scale memegang
peranan yang penting karena bertindak baik sebagai konduktor maupun
elektrolit. Adapun skema perbandingan korosi pada temperatur tinggi dengan
korosi pada temperatur kamar adalah sebagai berikut :
Gambar 2.10 Skema Perbandingan Korosi pada Temperatur Tinggi dengan Korosi Basah pada Temperatur Kamar[5].
Adapun mekanisme aliran ion maupun elektron melalui oksida maupun
scale tersebut sangat ditentukan oleh jenis oksida yang dihasilkan oleh metal
yang bersangkutan. Terdapat tiga jenis oksida pada metal yaitu oksida tipe n
dengan interstitial cation, tipe n dengan anion vacancy, dan tipe p dengan
kation vacancy. Mekanisme perpindahannya dapat dilihat pada Gambar 2.11
18
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2.11 Skema Proses Korosi Temperatur Tinggi yang Terjadi pada Jenis-Jenis Oksida Logam[13].
2.3.2 Tinjauan Termodinamika[23]
Hukum kedua termodinamika memperkirakan apakah suatu reaksi
dapat berjalan. Karena kebanyakan reaksi terjadi pada kondisi temperatur dan
19
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
tekanan yang konstan, hukum kedua termodinamika dapat dituliskan dalam
energi bebas Gibbs (G)
STHG Δ−Δ=Δ …………………………………………………………….(2.1)
Dimana ΔH adalah perubahan entalpi dan ΔS merupakan perubahan entropi
sistem. Dimana apabila :
ΔG < 0 reaksi berjalan secara spontan
ΔG = 0 reaksi berada pada kesetimbangan
ΔG > 0 secara termodinamika reaksi tidak mungkin terjadi
Untuk reaksi kimia seperti :
aA + bB = cC + dD……………………………………………............ (2.2)
ΔG dirumuskan sebagai berikut :
ΔG = ΔGo + RT ln [( ac C x adD ) / ( aaA x abB) ]...........................(2.3)
Dimana ΔGomerupakan perubahan energi bebas ketika semua spesi berada
pada keadaan standar; aA, aB, aC and aD adalah aktivitas dari elemen A, B, C
dan D. Reaksi oksidasi antara logam (M) dengan gas oksigen (O2) dapat
dituliskan sebagai berikut :
M(s) + O2(g) = MO2(s).............................................................................................................(2.4) Secara termodinamika, oksida akan terbentuk pada permukaan logam
ketika oksigen potensial tinggi. Energi bebas standar reaksi oksidasi pada
persamaan (2.4) adalah :
ΔGo = -RT ln [ aMO2 / aM .PO2 ] ........................................................(2.5)
Dimana aMO2 dan aM merupakan aktifitas oksida dan logam, PO2 adalah
tekanan parsial gas oksigen. Diasumsikan unit aktivitas untuk solid adalah
konstan. Persamaan (3.5) menjadi :
ΔGo = RT ln ( pO2 )...........................................................................(2.6)
Atau
PO2 = exp (ΔGoRT )........................................................................(2.7)
Persamaan (2.7) menunjukan hubungan kesetimbangan antara tekanan
parsial oksigen dalam kesetimbangan dengan energi bebas standar
pembentukan dari oksida. Standar plot energi bebas standar untuk
20
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
pembentukan oksida sebagai fungsi temperatur terdapat di dalam diagram
Ellingham/Richardson seperti yang ditunjukan pada Gambar 2.12
Diagram tersebut menunjukan :
1. Energi bebas untuk kebanyakan logam menunjukan hubungan linear
terhadap temperatur dengan gradient positif. Hal ini menyebabkan hampir
semua reaksi oksidasi diikuti dengan penurunan entropi.
2. Perubahan gradien garis pada suatu titik mengindikasikan perubahan fasa
pada logam. Hal tersebut bisa melting, boiling, atau perubahan struktur.
3. Sebagian besar oksida yang stabil memiliki nilai negatif ΔGo yang besar.
Hal ini direpresentasikan dengan letak yang lebih rendah dalam diagram
tersebut.
4. Penentuan nilai oksigen potensial.
Salah satu aplikasi paling penting dari diagram Ellingham adalah
penentuan tekanan disosiasi kesetimbangan oksida pada berbagai
temperatur. Perubahan energi bebas reaksi dalam hal tekanan parsial gas
dituliskan sebagai berikut :
) ΔG = ΔGo + RT ln ( PO2 ) ............................................................(2.8)
Dimana secara numerikal sama dengan pengurangan energi bebas 1 mol
oksigen ketika tekanan parsialnya turun dari 1 atm ke PO2 pada temperatur
T. Tekanan Parsial oksigen dapat dibaca dengan menarik garis lurus dari
titik O pada bagian kiri pada sumbu energi bebas oksida ke temperatur
yang diinginkan.
d8
21
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2.12 Energi Bebas Standar Pembentukan Beberapa Oksida sebagai Fungsi Temperatur[23].
II.3.2 Pembentukan Lapisan Pelindung (Protective Scale)
Pengembangan ketahanan oksidasi dalam paduan logam berdasar pada
penambahan elemen, seperti chromium, alumunium atau silicon dimana
elemen pemadu tersebut akan menghasilkan oksida lapisan pelindung di
permukaan logam tersebut. Gambar 2.13 menunjukan efek penambahan unsur
chromium dalam Fe-Cr alloy dalam hal kecepatan oksidasi, dan struktur
oksida yang terbentuk berdasar oksidasi isotermal pada temperatur 1000oC.
22
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Oleh karena itu, mekanisme perubahan oksida protective layer menjadi non-
protective layer atau sebaliknya sangatlah penting.
Gambar 2.13 Skema yang Menunjukan Efek Penambahan Chromium pada Paduan Fe- Cr Terhadap Kecepatan Oksidasi dan Struktur Lapisan Oksida yang Terbentuk Berdasarkan Oksidasi Isothermal pada 1000oC[23].
Pembentukan protective scale dari selektif oksidasi solute B menunjukan
bahwa oksida B lebih stabil daripada oksida dibawahnya yang merupakan oksida
dari base metal A dan penambahan konsentrasi yang cukup tinggi akan
membentuk fluk yang cukup pada permukaan yang akan mendorong lapisan
oksida tersebut pada permukaan base metal. Dua kemungkinan pada kasus dimana
paduan logam mempunyai permeabilitas oksigen yang signifikan, oksida B akan
lebih stabil daripada A dan tekanan parsial oksigen masih terlalu rendah untuk
mengoksidasi A, seperti digambarkan pada Gambar 2.14.
23
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2.14. Pengaruh Kandungan Solute pada Transisi dari Oksidasi Internal Menjadi Oksidasi Eksternal Ketika Tekanan Parsial Oksigen Terlalu Rendah Untuk Mengoksidasi Elemen A. (a) Diagram Skema Penampang Melintang dan Profil Konsentrasi B Ketika NB Kurang dari Nilai Kritis Menunjukan Terjadinya Internal Oksidasi. (b) Skema Diagram untuk Nilai N
B
B Lebih Besar dari Nilai Kritis Menunjukan Pembentukan BO yang Kontiniu . [23]
Paduan logam dengan konsentrasi solute yang rendah memungkinkan
terjadinya difusi oksigen masuk ke dalam base metal sehingga menghasilkan
internal oksidasi (Gambar 2.14(a)). Sementara untuk konsentrasi solute yang
tinggi yang terjadi adalh difusi solute keluar dari base metal dan membentuk
lapisan oksida B di permukaan (Gambar 2.14(b)). Konsentrasi kritis dari solute
sehingga terjadi transisi dari internal oksidasi menjadi eksternal oksidasi
diformulasikan oleh Wagner sbb :
( )( ) ⎟⎟
⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛=
OXB
MOOB VD
VDNgN
..2..'..* π
……..........................................................(2.9)
Dimana NoDo merupakan permeabilitas oksigen pada A, Db difusifitas solute, g’
merupakan faktor yang menentukan fraksi volume dari oksida yang dibutuhkan
untuk transisi, serta VM dan VOX merupakan volume molar dari paduan dan
oksida. Komposisi solute yang dibutuhkan untuk membentuk lapisan oksida
terlihat akan makin meningkat atau berbanding lurus dengan peningkatan
solubility dan difusifitas dari oksigen dan berbanding terbalik dengan peningkatan
difusifitas solute B dalam paduan. Namun, terdapat beberapa sistem yang menarik
dimana oksida dari base metal dapat juga terbentuk pada lingkungan kamar dan
berkembang hingga oksida B lebih stabil dan kontiniu sehingga menghentikan
24
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
oksidasi lebih lanjut. Kondisi ini ditunjukan secara skematik pada Gambar 2.10
Pengaruh perubahan oksidasi internal menjadi oksidasi B eksternal harus
memenuhi NB > NB*. Stabilitas yang relatif lama dari protective layer
membutuhkan flux solute pada interface scale cukup besar untuk mempertahankan
oksida A menjadi stabil. Konsentrasi solute yang dibutuhkan untuk
mempertahankan pembentukan external scale yaitu :
( )
⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛=
B
PB
MB
DK
Z
VN
..16
π……………………………………………(2.10)
Dimana KP merupakan konstanta kecepatan parabolik untuk pertumbuhan
protective scale dan ZB merupakan valensi B.
Gambar 2.15. Pengaruh Konsentrasi Solute terhadap Transisi dari Internal Menjadi Eksternal Oksidasi ketika Kedua Oksida Elemen-Elemen tersebut Terbentuk. (A) Skema Diagram Penampang Melintang ketika NB Kurang dari Nilai Kritis Menunjukan Oksidasi Internal B Dibawah eksternal Scale AO. (B) Skema Diagram Penampang Melintang Ketika NB Melebihi B
Nilai Kritis sehingga Menghasilkan Pembentukan Lapisan Scale Eksternal BO[23].
III.3.3 Pengaruh Temperatur
Difusi dari solute akan meningkat seiring dengan peningkatan
temperatur, dimana hal ini akan menciptakan fluks yang lebih besar pada
permukaan untuk meningkatkan dan mempertahankan protective scale. Namun
fenomena ini tidak berlaku secara umum. Sebagai contoh paduan Ti-Al, dimana
pembentukan Al2O3 scale terjadi pada saat bertemu dengan oksigen murni pada
25
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
temperatur rendah. Gambar 2.16 menggambarkan ketahanan oksidasi pada
beberapa Austenitic Stainless Steel sebagai fungsi dari temperatur. Secara umum
dapat dikatakan bahwa metal loss makin meningkat seiring dengan kenaikan
temperatur.
Gambar 2.16 Ketahanan Oksidasi Beberapa Stainless Steel sebagai Fungsi dari Temperatur[23].
II.3.4 Pengaruh komposisi atmosfer
Komponen sekunder seperti nitrogen dapat mempengaruhi protective
layer dan merubahnya menjadi non protective layer. Pada beberapa logam
paduan terlihat adanya selective oksidasi akibat beberapa gas oksidan. CO2 juga
memilki efek yang serupa pada sifat oksidasi selektif ini. CO2 juga hampir sama
seperti pembentuk karbida yang terbentuk pada Fe, Cr. Secara umum, pre-
sulfidation atau pre-carburation merupakan reaksi pembentuk lapisan protective
chromia scale. Di lain hal, telah dipelajari bahwa sulfidisasi pada beberapa
paduan Ni atau paduan yang mengandung karbida seperti stainless steel dan
paduan Co hilangnya lapisan oksida tidak mempengaruhi ketahanan oksidasi.
26
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
II.3.5 Pengaruh komposisi atmosfer
Faktor penting yang mempengaruhi hal tersebut diatas adalah ukuran
serta distribusi dari partikel fasa kedua serta kondisi dimana semuanya
terbentuk. Butir kasar akan lebih terpengaruh oleh komposisi atmosfer daripada
butir halus, partikel secara seragam terdispersi seringkali dapat terlarut cukup
cepat untuk mensuplai pembentukan scale yang nantinya akan menjadi
protective scale. Jika partikel terbentuk dalam kondisi aktivitas karbon,
nitrogen, atau rendah akan terbentuk sebagian elemen pembentuk scale bebas
dalam larutan. Elemen-elemen tersebut akan menurunkan ketahanan oksidasi.
II.3.6 Pengaruh unsur paduan
Ni dan Cr merupakan dua unsur paduan utama yang sering digunakan
pada berbagai paduan logam. Si dan Al juga relatif efektif untuk meningkatkan
ketahanan oksidasi, tetapi keduanya mempengaruhi sifat mekanik paduan logam
tersebut. Selain itu, penambahan sedikit unsur pemadu pada paduan Fe-Cr-Ni
akan menghasilkan sifat yang spesifik. Unsur Cr menurunkan kelarutan oksigen
dalam paduan, sehingga mendorong terbentukanya Al2O3 scale meskipun
jumlah unsur Al dalam paduan tersebut lebih sedikit. Penambahan Cr dan V
pada paduan Ti-Al, serta penambahan Ti dan Cr pada paduan Ni-Al juga
mendorong tebentuknya Al2O3 scale dengan kadar alumunium yang jauh lebih
rendah daripada biasanya.
1. Pengaruh Penambahan Cr
Oksidasi logam besi dapat dihambat dengan penambahan beberapa unsur
pemadu tertentu yang dapat menghilangkan terbentukanya wustite (FeO). Hal
ini juga terjadi saat Cr ditambahkan. Pengaruh yang diberikan terhadap sifat
oksidasi logam murni ataupun logam ringan ketika unsur Cr ditambahkan
ditunjukan pada Gambar 2.13. Penambahan sedikit Cr pada Paduan logam akan
terbentuknya lapisan chromium-rich oxide, disamping besi oksida dan
peningkatan konsentrasi Cr, Spinel iron Chromium (Fe3-xCrxO4) akan terbentuk
dan FeO layer akan menjadi lebih tipis dibandingkan Fe3O4 karen Fe2+
dihalangi oleh oksida spinel tadi. Pada penambahan Cr lebih lanjut, campuran
27
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
spinel dari Fe(Fe,Cr)2O4 terbentuk sehingga menurunkan kecepatan oksidasi
secara signifikan mengikuti persamaan hiperbolik. Karena ion Fe lebih mobile
melewati lapisan ini daripada ion Cr3+, lapisan terluar tetap terdiri dari oksida
Fe terutama setelah waktu oksidasi yang relatif lama.
Ketika konsentrasi Cr melebihi konsentrasi kritis NB* (~12wt% atau
lebih), merupakan inisial terbentukanya lapisan terluar berupa oksida Cr murni.
Tetapi jika dipakai untuk waktu yang relatif lama, dibutuhkan unsur Cr yang
lebih banyak yaitu sekitar 20, 25% pada temperatur 900 dan 1000oC.
Gambar 2.17. Pengaruh Penambahan Cr dan atau Si terhadap Ketahanan Oksidasi pada Baja di Udara[23].
2. Pengaruh Penambahan Ni
Ni secara umum tidak digunakan atau dipadu dengan Fe untuk tujuan
meningkatkan sifat Fe pada temperatur tinggi. Tujuan pemaduan Ni dengan Fe-
Cr adalah untuk merubah Fe dari fasa ferritic menjadi austenitic yang memilki
sel satuan FCC dan lebih stabil pada temperatur tinggi. Namun, penambahan Ni
pada baja Fe-11% Cr, akan menghasilkan penurunan kecepatan oksidasi yang
signifikan pada beberapa temperatur. Pada beberapa kasus penambahan 20 wt%
Ni sangat efektif pada temperatur 870oC, 30 wt% pada 9800C dan 50 wt%
1200oC. Pada penambahan Ni yang lebih tinggi, konsentrasi optimum untuk
oksidasi pada udara maksimum berkurang.
28
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
3. Pengaruh penambahan Alumunium
Penambahan Al pada Fe bertujuan untuk laju oksidasi di udara. Sebagai
contoh, penambahan sekitar 10 wt% pada Fe akan menurunkan corrosion loss
pada Fe dari lebih dari 6 inch per tahun menjadi 2 inch per tahun. Namun, sifat
mekanik seperti pada paduan biner turun. Pada kondisi ini selective alumina
scale terbentuk pada lapisan terluar, melindungi base metal dari oksidasi lebih
lanjut.
4. Pengaruh Penambahan Silikon
Penambahan Si secara umum menghambat laju oksidasi. Namun, ketika
penambahannya 2 – 3 wt%, penggetasan pada paduan logam akan terjadi.
Namun, ketika penambahan Si ini dikombinasikan dengan unsur pemadu lain
akan menghasilkan hasil yang efektif. Seperti ditunjukkan pada Gambar 2.17,
penambahan sekitar 1,5 wt% Si dengan paduan 5 wt% Cr dan 0,5 wt% akan
menurunkan laju oksidasi dengan optimal.
5. Pengaruh Penambahan Unsur Paduan Lain.
Penambahan rare earth element dalam jumlah kecil bukan hanya akan
menghambat laju oksidasi tetapi juga meningkatkan daya ikat scale dengan
substratnya serta mengurangi pengelupasan scale. Mn secara umum merupakan
unsur pemadu yang sering ditambahkan pada baja, walaupun tidak terlalu
mempengaruhi laju oksidasi paduan tersebut secara langsung. Mo dan V dalam
jumlah tertentu akan menurunkan melting point oksida MoO2 dan V2O5 yang
akan menyebabkan oksidasi yang lebih hebat.
Pengaruh penambahan lainnya seperti S, P, B dan lain lain juga dapat
mengganggu tingkat daya ikat scale dengan substratnya. Namun demikian
penambahan unsur-unsur tertentu seperti B akan meningkatkan kekuatan di
batas butir.
II.3.7 Rusaknya Lapisan Oksida Pelindung
Pembentukan lapisan oksida pelindung pada paduan logam dengan
selektif oksidasi membutuhkan pelepasan oksida elemen yang terbentuk. Proses
pengelupasan merupakan akibat lapisan oksida pelindung yang menjadi tidak
29
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
stabil. Hal tersebut sangat penting terutama pada kondisi temperature cycling,
yang akan menyebabkan hilangnya oksida pelindung karena pengelupasan dan
pembentukan campuran oksida atau deposit pada permukaan, dimana hal ini
akan menyebabkan berubahnya lapisan protektif tadi menjadi lapisan non-
protektif. Penyebabnya adalah stress yang dihasilkan dari perbedaan ekspansi
termal antara scale dan paduan logam (thermal stress).
II.4 Dasar Teori SEM/EDS
SEM/EDS banyak digunakan untuk mengkarakterisasi material (logam,
keramik dan polimer). SEM merupakan perkembangan dari mikroskop optik (max
pembesaran 1.000) sehingga dapat mencapai perbesaran maksimum sampai
150.000 x (tergantung pada kondisi spesimen dan SEM pada saat itu). SEM
banyak digunakan untuk aplikasi sebagai berikut:
1. Pemeriksaan struktur mikro spesimen metalografi dengan magnifikasi
(perbesaran) yang jauh melebihi mikroskop optik biasa.
2. Pemeriksaan permukaan patahan dan permukaan yang memiliki
kedalaman tertentu yang tidak mungkin diperiksa dengan mikroskop optik.
3. Evaluasi orientasi kristal dari permukaan spesimen metalografi seperti,
butir individual, fasa presipitat, dan dendrit (struktur khas dari proses
pengecoran logam).
4. Analisis unsur pada objek dalam range mikron pada permukaan bulk
spesimen. Misalnya, inklusi, fasa presipitat.
5. Distribusi komposisi kimia pada permukan bulk spesimen sampai jarak
mendekati 1 mikron.
Persyaratan spesimen SEM untuk material konduktif diperlukan persiapan
metalografi standar seperti sudah di-polish dan dietsa. Untuk non-konduktif harus
di-coating terlebih dahulu dengan karbon dan emas supaya terbentuk lapisan tipis
yang konduktif. Prinsip kerja SEM secara sederhana:
1. Electron gun yang dilengkapi dengan filamen tungsten (6-12 V DC)
berfungsi untuk menembakkan elektron
30
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2. Elektron yang ditembakkan karena terdapat beda potensial (1-30 kV) akan
menumbuk benda kerja
3. Ketika menumbuk spesimen akan terjadi interaksi antara primary electron
dengan spesimen sehingga menghasilkan x-ray dan elektron (secondary
electron, backscattered electron, dan juga auger electron).
Gambar 2.18 Interaksi antara Elektron dengan Benda Kerja[3].
4. Hasil interaksi yang keluar dari dalam material ditangkap oleh tiga
detektor :
a. Detektor SE (Secondary Electron) : menghasilkan image
b. Detektor BSE (Back Scattered Electron) : menghasilkan image dan
menampilkan perbedaan kontras berdasarkan perbedaan berat
massa atom.
c. Detektor X-ray : identifikasi unsur kimia (EDS) yang terdapat
dalam material.
31
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
EDS (Energy Dispersive Spectrometry) dapat digunakan untuk
mengidentifikasi komposisi elemental (per unsur) dari material yang dapat terlihat
oleh SEM (Scanning Electron Microscopy). EDS dapat digunakan untuk analisis
semikuantitatif unsur-unsur dari material. Jadi secara umum EDS dapat digunakan
untuk menganalisis kontaminan seperti inklusi, antarmuka, analisis partikel,
pemetaan unsur (Elemental mapping), analisis deposit korosi, analisis
ketidakmurnian (sampai ketelitian diatas 2% berat). EDS juga dapat digunakan
untuk verifikasi material, analisa pelapisan, dan mengetahui secara semikuantitatif
banyaknya inklusi pada suatu produk.
EDS merupakan suatu sistim peralatan dan software tambahan yang
dipasangkan pada suatu mikroskop elektron. Teknik ini memanfaatkan X-ray
yang dihasilkan oleh spesimen selama spesimen dibombardir oleh primary
electron, hal ini digunakan untuk mengkarakterisasi komposisi unsur pada volume
tertentu.
Saat spesimen dibombardir oleh elektron, maka mengakibatkan adanya
elektron yang keluar dari atom penyusun permukaan material sehingga terjadi
kekosongan. Karena terjadi kekosongan elektron pada kulit/orbital elektron tadi
maka elektron dari kulit terluar akan mengisi kekosongan tersebut.
Untuk menjaga kesetimbangan energi antara dua elektron (elektron yang
keluar dari orbital atom dan elektron pengisi kekosongan dari kulit orbital yang
lebih berada diluar) akan dihasilkan X-ray Fluorescense. Detektor dari EDS akan
mengukur jumlah X-ray Fluorescence yang dihasilkan versus energinya. Energi
dari X-ray Fluorescence merupakan karakteristik khusus suatu elemen atau unsur
tertentu. Spektrum energi vs perhitungan relatif X-ray Fluorescence yang
terdeteksi didapatkan dan dapat dievaluasi untuk menentukan secara kualitatif dan
semikuantitatif elemen yang ada pada spesimen.
32
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2.19 Eksitasi Elektron Pada Orbital dan Kα, Lα dan Mα[6].
33