Post on 26-Aug-2018
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Sorgum
Sorgum adalah salah satu tanaman serelia yang potensial untuk dibudidayakan
dan dikembangkan di Indonesia. Tanaman sorgum merupakan tanaman hari pendek
(120 hari) dimana kondisi optimum untuk penanaman sorgum adalah daerah dengan
temperatur 20-300C dengan kelembaban rendah dan curah hujan 400-600 mm
(Puspitasari, 2011).
Sorgum yang dibudidayakan di Indonesia mempunyai nama ilmiah Sorghum
bicolor L Moench (Alamsyah, 2007). Secara taksonomi sorgum merupakan tanaman
yang termasuk ke dalam kerajaan Plantae, famili Poales, ordo Poaceae, divisi
Magnoliophyta, kelas Liliopsida, genus Sorghum, species Sorghum bicolor L (Farabi,
2011). Tanaman sorgum dapat dilihat pada Gambar 2.1
Gambar 2.1 Sorgum
Sumber : Wikipedia
Sorgum pertama kali diperkenalkan di Amerika dan Australia sekitar 100
tahun yang lalu. Sorgum menduduki peringkat ke lima antar tanaman padi-padian
setelah gandum, padi, jagung, dan barli. Daerah-daerah produksi utama tanaman
sorgum meliputi daerah dataran rendah di Amerika Utara, sub-Sahara Afrika, Cina
sebelah timur laut, plato Deccan di India bagian tengah dan Argentina. Pada saat ini
Bab II Tinjauan Pustaka 10
Optimasi Proses Hidrolisis dan Fermentasi Tepung Sorgum (Sorghum bicolor, L. Moench) Sebagai Bahan Baku Pembuatan Bioetanol
tanaman sorgum banyak terdapat di beberapa Negara, antara lain : India, Cina,
Nigeria, Amerika, Sudan, Argentina, Meksiko, Thailand, dan Indonesia (Farabi,
2011). Daerah persebaran sorgum di dunia dapat dilihat pada Gambar 2.2
Gambar 2.2 Persebaran Sorgum di Dunia
Sumber : Farabi (2011)
Di Indonesia tanaman sorgum dikenal dengan banyak nama, diantaranya :
1. Di Jawa Barat dan Sunda sorgum dikenal sebagai jagung cetrik, gandum,
degem, gandrung kumpay, gandrung terigu.
2. Di Jawa tengah dan jawa Timur sorgum dikenal sebagai jagung pati, jagung
cantel, gandum, dan oncer.
3. Di Flores, Sumatra Barat, dan Bugis sorgum dikenal sebagai enjelai, sela, dan
bata.
4. Di Minangkabau sorgum dikenal sebagai jagung garai atau gandum.
Sorgum merupakan salah satu tanaman multifungsi yang dapat digunakan
sebagai sumber pangan (pengganti nasi, pembuatan kue, biskuit, roti, mie, bir, dan
sirup), pakan, bioetanol dan bahan baku industri (pembuatan gula, kertas, lem dan
lain-lain). Sorgum sangat potensial untuk dikembangkan karena setiap bagian dari
sorgum dapat dimanfaatkan
Bab II Tinjauan Pustaka 11
Optimasi Proses Hidrolisis dan Fermentasi Tepung Sorgum (Sorghum bicolor, L. Moench) Sebagai Bahan Baku Pembuatan Bioetanol
2.1.1 Biji Sorgum
Kulit biji dan daging pada biji sorgum dilapisi oleh lapisan testa dan aleuron
(Gambar 2.3). Lapisan testa termasuk pada bagian kulit biji, dan lapisan aleuron
termasuk pada bagian dari endosperm. Jaringan kulit biji terikat oleh daging biji,
melalui lapisan tipis yang disebut lapisan semen.
Komposisi bagian biji sorgum terdiri atas kulit luar 8%, lembaga 10% dan
endosperm 82%.
Gambar 2.3 Diagram Biji Sorgum
Sumber : Puspitasari (2011)
1. Sifat Fisik
Pada umumnya biji sorgum berbentuk bulat dengan ukuran biji kira-kira 4x
2,5 x 3,5 mm. Berat biji bervariasi antara 8 mg-50 mg dengan berat rata-rata 28 mg.
Berdasarkan ukurannya sorgum dibagi atas :
a. Sorgum biji kecil (8-10 mg)
b. Sorgum biji sedang (12-24 mg)
c. Sorgum biji besar (25-35 mg)
Kulit biji memiliki warna yang bervariasi yaitu putih, merah atau cokelat.
Warna biji dipengaruhi oleh warna dan ketebalan kulit (pericarp), terdapatnya testa
Bab II Tinjauan Pustaka 12
Optimasi Proses Hidrolisis dan Fermentasi Tepung Sorgum (Sorghum bicolor, L. Moench) Sebagai Bahan Baku Pembuatan Bioetanol
serta tekstur dan warna endosperm (Puspitasari, 2011). Sorgum putih disebut sorgum
kafir dan yang berwarna merah atau cokelat biasanya termasuk varietas Feterita.
Warna biji merupakan salah satu kriteria untuk menentukan kegunaannya.
Varietas yang berwarna lebih terang akan menghasilkan tepung yang lebih putih dan
tepung ini cocok digunakan sebagai makanan lunak, roti, dan lain-lainnya. Varietas
yang berwarna gelap akan menghasilkan tepung yang berwarna gelap dan rasanya
lebih pahit, tepung jenis ini cocok untuk bahan dasar pembuatan minuman
(Laimeheriwa, 1990).
2. Sifat Kimia dan Gizi
Biji sorgum mengandung gizi yang tidak lebih rendah dari kandungan
tanaman serealia lainnya. Kandungan kimia biji sorgum (utuh) dapat dilihat pada
Tabel 2.1
Tabel 2.1 Kandungan Kimia Biji Sorgum
Zat Komposisi (%)
Protein 9,01
Lemak 3,6
Abu 1,49
Serat 2,5
Sumber : Jurnal Litbang Pertanian (2004)
Penggilingan sorgum dengan menggunakan alat penyosoh beras
mengakibatkan masih banyak lembaga yang tertinggal pada endosperm. Hal ini
ditandai oleh kandungan lemak dalam biji sorgum giling yang masih relatif tinggi
yaitu sekitar 1-2,7 %. Maka dari itu dalam proses penggilingan harus diusahakan agar
lemak dalam biji sorgum yang telah dikuliti menjadi lebih rendah yaitu di bawah 1% ,
dengan demikian tepung sorgum yang dihasilkan akan lebih tahan lama.
Bab II Tinjauan Pustaka 13
Optimasi Proses Hidrolisis dan Fermentasi Tepung Sorgum (Sorghum bicolor, L. Moench) Sebagai Bahan Baku Pembuatan Bioetanol
Lemak dalam biji sorgum sangat berguna bagi hewan dan manusia, akan
tetapi dapat menyebabkan bau yang tidak enak dan tengik dalam produk bahan
pangan (Laimeheriwa, 1990).
2.1.2 Pati Sorgum
Pati adalah senyawa yang mengandung karbohidrat, dan banyak ditemukan
pada tanaman. Senyawa ini merupakan salah satu sumber makanan yang disimpan
oleh tanaman, biasanya disimpan di akar, biji, daun, buah, dan batang tanaman. Pati
adalah suatu polimer glukosa dengan rumus umum (C6H12O5)n dimana setiap unitnya
dihubungkan dengan ikatan α-1,4-glikosida dan ikatan α-1,6-glikosida. Pati tersusun
dari dua jenis struktur polimer glukosa yaitu amilosa dan amilopektin. Perbedaan
antara dua jenis struktur polimer penyusun pati tersebut terletak pada jenis ikatan
glikosida.
Amilosa adalah suatu polimer rantai lurus yang tidak bercabang serta
terbentuk dari 500-2000 monomer glukosa yang hanya dihubungkan dengan ikatan α-
1,4- glikosida. Amilosa merupakan komponen pati yang menentukan sifat gelatin
pati. Semakin banyak komposisi amilosa di dalam pati maka pati akan semakin sulit
larut di dalam air. Hal ini disebabkan karena amilosa memerlukan temperatur yang
relatif tinggi (1200C) untuk proses dispersinya. Struktur amilosa dapat dilihat pada
Gambar 2.4.
Amilopektin adalah suatu polimer rantai bercabang serta terbentuk dari
100.000 monomer glukosa yang dihubungkan dengan ikatan α-1,4-glikosida dan
percabangannya. Percabangan dalam amilopektin terjadi setiap 12 monomer glukosa.
Amilopektin merupakan komponen yang memiliki komposisi terbesar dalam pati.
Amilopektin adalah komponen pati yang menentukan struktur granula dari tepung.
Komponen ini cukup stabil di dalam air dan membentuk gel yang sangat lunak dan
encer dengan mengabsorpsi air kecuali pada konsentrasi yang tinggi (Alamsyah,
2007). Struktur amilopektin dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Bab II Tinjauan Pustaka 14
Optimasi Proses Hidrolisis dan Fermentasi Tepung Sorgum (Sorghum bicolor, L. Moench) Sebagai Bahan Baku Pembuatan Bioetanol
Gambar 2.4 Struktur Amilosa
Sumber: Alamsyah (2007)
Gambar 2.5 Struktur Amilopektin
Sumber: Alamsyah (2007)
Komposisi kedua komponen ini berbeda-beda pada setiap tanaman. Perbedaan
komposisi inilah yang menentukan sifat fisik dan kimia pada pati.(Alamsyah, 2007).
Komposisi amilosa dan amilopektin dapat dilihat pada Tabel 2.2
Pati sorgum memiliki karakteristik yang mirip dengan pati jagung, dengan
ukuran granul 10-16 mikron. Pati sorgum memiliki suhu gelatinasi tertinggi di antara
jenis pati lainnya, mencapai 68-780C. Hal ini diduga oleh panjangnya rantai
amilopektin “a” yang saling berikatan satu sama lainnya. Tingginya suhu gelatinisasi
menyebabkan dibutuhkannya waktu lebih lama dan energi panas yang lebih tinggi
untuk memasak. Pati sorgum mengandung 20-30% amilosa dan 70-80% amilopektin.
Perbandingan amilosa dan amilopektin berpengaruh terhadap suhu gelatinasi,
viskositas pasta pati dan pencernaan α-amilase (Puspitasari, 2011).
Bab II Tinjauan Pustaka 15
Optimasi Proses Hidrolisis dan Fermentasi Tepung Sorgum (Sorghum bicolor, L. Moench) Sebagai Bahan Baku Pembuatan Bioetanol
Tabel 2.2 Komposisi Amilosa dan Amilopektin
Properti Amilosa Amilopektin
Struktur Lurus Bercabang
Ikatan α-1,4 α-1,4 dan α-1,6
Panjang rantai rata-rata ~103nm 20-25nm
Derajat Polimerisasi ~ 103 104-105
Kompleks dengan iod Biru(~650 nm) Ungu-coklat (~550 nm)
Produk Hidrolisis Maltotriosa, Glukosa,
maltosa, Oligosakarida
Gula pereduksi (sedikit)
Oligosakarida (dominan)
Sumber : Waktya Jati (2006)
2.2 Hidrolisis
Hidrolisis adalah pemecahan suatu senyawa kimia menjadi dua atau lebih
senyawa sederhana dengan cara mereaksikannya dengan air (Science Dictionary,
2005).
Menurut Widyastuti dan Rosirda (2010) terdapat 250 satuan glukosa atau
lebih permolekul amilosa. Hidrolisis lengkap amilosa hanya menghasilkan D-
glukosa, sedangkan hidrolisis parsial manghasilkan maltosa sebagai satu-satunya
disakarida. Amilopektin mengandung 1000 satuan glukosa atau lebih per molekul.
Hidrolisis lengkap amilopektin hanya menghasilkan D-glukosa. Tetapi hidrolisis tak
lengkap menghasilkan suatu campuran disakarida maltosa dan isomaltosa.
Reaksi hidrolisis pati berlangsung menurut persamaan reaksi sebagai berikut :
(C6H10O5)n + 1/2H2O 1/2n(C12H22O11)
Pati Maltosa
1/2n(C12H22O11) +1/2nH2O 1/2n(C6H12O6)
Maltosa Glukosa
Reaksi hidrolisis tepung sangat lambat sehingga diperlukan katalisator untuk
mempercepat hidrolisis. Katalisator yang digunakan dapat berupa enzim atau asam.
Bab II Tinjauan Pustaka 16
Optimasi Proses Hidrolisis dan Fermentasi Tepung Sorgum (Sorghum bicolor, L. Moench) Sebagai Bahan Baku Pembuatan Bioetanol
2.2.1 Hidrolisis Asam
Hidrolisis asam dapat dilakukan dengan mempergunakan asam kuat
anorganik, seperti HCl, HNO3 dan H2SO4 yang dipanaskan pada suhu mendidih, dan
dilakukan untuk beberapa jam (Machbubatul, 2008).
Diantara asam-asam tersebut yang sering digunakan dalam industri adalah
asam khlorida (HCl) karena garam yang terbentuk tidak berbahaya yaitu garam dapur
(Murni, 2011). Selain itu asam khlorida (HCl) memiliki sifat mudah menguap
sehingga memudahkan dalam pemisahan dari produknya, HCl juga menghasilkan
produk yang berwarna terang (Endah R, 2007).
Menurut Widyastuti dan Rosirda (2010) HCl digunakan sebagai katalis
dengan pertimbangan bahwa HCl merupakan salah satu jenis oksidator kuat,
harganya relatif murah dan mudah diperoleh, lebih aman jika dibandingkan dengan
jenis asam yang lain seperti HNO3. Penggunaan katalis HNO3 dapat menyebabkan
terbentuknya gas NO2 selama proses hidrolisis berlangsung yang dapat
membahayakan kesehatan dan keselamatan. Sedangkan penggunaan H2SO4
memberikan laju reaksi hidrolisis yang lebih lambat dibandingkan HCl.
Pada hidrolisis dengan asam hasil potongan patinya lebih tidak teratur
dibandingkan dengan hasil pemotongan rantai pati oleh enzim. Oleh karena itu
sebagian gula yang dihasilkan berupa gula pereduksi. Sehingga pengukuran
kandungan gula pereduksi tersebut dapat dijadikan sebagai alat pengontrol kualitas
hasil. Mekanisme reaksi hidrolisis asam dapat dilihat pada Gambar 2.6.
Proses hidrolisis dengan menggunakan asam kuat berkonsentrasi rendah
selain memberikan hasil penguraian glukosa juga menghasilkan produk samping
yang dapat menghambat proses fermentasi. Penghambat yang potensial adalah
senyawa Hidroksi Metil Furfural (HMF). Banyaknya inhibitor yang terbentuk pada
hidrolisis asam dipengaruhi oleh suhu, waktu, dan konsentrasi asam yang digunakan.
Pada suhu dan tekanan yang tinggi, glukosa akan terdegradasi menjadi HMF.
Inhibitor tersebut akan mengurangi hasil dan produktivitas mikroorganisme yang
digunakan selama proses fermentasi karena bersifat toksik (Yuliana, 2011).
Bab II Tinjauan Pustaka 17
Optimasi Proses Hidrolisis dan Fermentasi Tepung Sorgum (Sorghum bicolor, L. Moench) Sebagai Bahan Baku Pembuatan Bioetanol
Gambar 2.6 Mekanisme Reaksi Hidrolisis Asam
Sumber : Parmadi Waktya Jati (2006)
2.2.2 Hidrolisa Enzimatis
Hidrolisa enzimatis bekerja dengan memecah rantai pati baik amilosa maupun
amilopektin. Enzim bekerja secara spesifik, sehingga diharapkan bahwa kandungan
bahan penyusun glukosa yang dihasilkan dapat diatur perbandingannya sesuai dengan
spesifikasi yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Enzim yang banyak digunakan di
industri pengolahan pati antara lain α-amilase, ß-amilase, glukoamilase, pullanase,
dan isoamilase.
Hidrolisis pati secara enzimatis merupakan proses sakarifikasi, yaitu proses
pemutusan seluruh rantai molekul pati sehingga didapatkan perolehan glukosa yang
maksimal. Karena itu pada proses pembuatan glukosa secara asam biasanya diikuti
oleh proses enzim dengan tujuan agar produk yang dihasilkan benar-benar murni
glukosa (Mastuti, Endang, 2010).
Bab II Tinjauan Pustaka 18
Optimasi Proses Hidrolisis dan Fermentasi Tepung Sorgum (Sorghum bicolor, L. Moench) Sebagai Bahan Baku Pembuatan Bioetanol
2.3 Bioetanol
Bioetanol (C2H5OH) merupakan etanol yang diperoleh melalui proses
fermentasi biomassa dengan bantuan mikroorganisme. Bioetanol yang mengandung
35% oksigen dapat meningkatkan efisiensi pembakaran dan mengurangi emisi gas
rumah kaca. Keuntungan lain dari bioetanol adalah nilai oktannya lebih tinggi dari
premium sehingga dapat menggantikan fungsi bahan aditif seperti Methyl Tetrtiary
Butyl Ether (MTBE) dan Tetra Ethyl Lead (TEL). Bioetanol dapat langsung dicampur
dengan premium pada berbagai komposisi sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan
emisi gas buang yang lebih ramah lingkungan (Alamsyah, 2007).
Bioetanol adalah etanol yang diperoleh dari proses fermentasi bahan baku
yang mengandung pati atau gula seperti singkong dan tetes tebu. Bahan bakar nabati
(BBN) ini digunakan sebagai pengganti premium (gasoline). Etanol yang dapat
digunakan sebagai bahan bakar nabati adalah alkohol murni yang bebas air
(Anhydrous alkohol) dan berkadar lebih dari 99,5 % atau disebut dengan Fuel Grade
Ethanol (FGE). Campuran premium menghasilkan emisi gas buang yang lebih ramah
terhadap lingkungan karena oksigennya dapat meningkatkan efisiensi pembakaran
(Anonim).
Bahan baku pembuatan bioetanol ini dibagi menjadi tiga kelompok yaitu,
bahan bersukrosa seperti nira, tebu, nira nipah, nira sorgum manis, nira kelapa, nira
aren, dan sari buah mete. Bahan berpati yaitu bahan yang mengandung pati atau
karbohidrat seperti tepung ubi, tepung ubi ganyong, sorgum biji, jagung, cantel, sagu,
ubi kayu, ubi jalar, dan lain–lain. Bahan berselulosa atau lignoselulosa seperti
tanaman yang mengandung selulosa atau serat seperti kayu, jerami, batang pisang,
dan lain-lain (Anonim).
Bioetanol merupakan cairan yang tidak berwarna (jernih) seperti air, mudah
larut dalam air dan eter, berbau khas dan bersifat volatile (mudah menguap). Sifat
kimia dari bioetanol disajikan pada Tabel 2.3.
Bab II Tinjauan Pustaka 19
Optimasi Proses Hidrolisis dan Fermentasi Tepung Sorgum (Sorghum bicolor, L. Moench) Sebagai Bahan Baku Pembuatan Bioetanol
Tabel 2.3 Sifat Kimia Bioetanol
Sifat Kandungan
Berat molekul 46.07 g/mol
Berat jenis 0.7905 g/mol (suhu 200C)
Viskositas 0.0122 poise (suhu 200C)
Titik didih 78.90C
Titik leleh -1220C
Panas laten penguapan 204 kal/g.
Sumber : Alamsyah (2007)
Bioetanol dapat digunakan sebagai bahan dasar pada pembuatan pereaksi kimia-kimia
lainnya, seperti : asetaldehida, ethyl asetat, asam asetat dan lain-lain, sebagai pelarut,
terutama dalam industri farmasi, fernis, desinfektan, plastik, dan sebagainya, dan
bahan bakar.
Kegunaan bioetanol sebagai bahan bakar mempunyai pengaruh untuk
meningkatkan nilai oktan dan peniadaan tambahan zat-zat yang diperlukan agar
mesin dapat berjalan lebih halus. Sebagai bahan bakar, bioetanol memiliki beberapa
kelebihan, seperti ramah lingkungan dan dapat diperbaharui. Spesifikasi standar
bioetanol untuk gasohol dapat dilihat pada Tabel 2.4.
Produksi bioetanol berbahan baku tanaman sorgum dapat berkompetisi
mengingat beberapa kelebihan tanaman sorgum dibandingkan tanaman lain. Sorgum
(Sorghum bicolor, L Moench) adalah tanaman serealia yang potensial untuk
dibudidayakan dan dikembangkan, pada daerah-daerah marginal dan kering
khususnya di Indonesia karena sorgum memiliki daya adaptasi arkeologi yang luas,
tahan terhadap kekeringan, produksinya tinggi. Umur panen tanaman sorgum lebih
cepat yaitu hanya 4 bulan dan untuk sekali tanam dapat dipanen beberapa kali. Selain
itu, tanaman sorgum memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi.
Pemenuhan sumber energi terutama pada sektor transportasi yang merupakan
sektor paling kritis yang perlu mendapat perhatian khusus. Kebutuhan bahan bakar
Bab II Tinjauan Pustaka 20
Optimasi Proses Hidrolisis dan Fermentasi Tepung Sorgum (Sorghum bicolor, L. Moench) Sebagai Bahan Baku Pembuatan Bioetanol
yang ramah lingkungan semakin dibutuhkan. Salah satu alternatif bahan bakar yang
saat ini banyak dikembangkan adalah menggunakan bioetanol yang bahan dasarnya
diperoleh dengan mudah misalnya menggunakan sorgum, jagung, ketela, singkong,
dan lain-lain (Alamsyah, 2007).
Tabel 2.4 Spesifikasi Standar Bioetanol Terdenaturasi Untuk Gasohol
No Sifat Unit, min/max Spesifikasi
1 Kadar etanol %-v, min99,5 (sebelum denaturasi)
94,0 (setelah denaturasi)
2 Kadar metanol mg/L, max 300
3 kadar air %-v, max 1
4 Kadar denaturan%-v, min
%-v, max
2
5
5 Kadar tembaga (Cu) mg/kg, max 0,1
6 Keasaman sebagai CH3COOH mg/L, max 30
7 TampakanJernih dan terang, tidak ada
endapan dan kotoran
8 Kadar ion klorida (Cl-) mg/L, max 40
9 Kandungan belerang (S) mg/L, max 50
10 Kadar getah (gum), dicuci mg/100, max 5,0
11 pHe 6,5-9,0
Sumber: Badan Standarisasi Indonsia (2008)
2.3.1 Fermentasi
Fermentasi adalah suatu proses perubahan kimia pada substrat organik, baik
karbohidrat, protein, lemak atau lainnya, melalui kegiatan biokatalis dan dikenal
sebagai enzim yang dihasilkan oleh jenis mikroorganisme spesifik. Fermentasi
anaerob adalah fermentasi yang tidak memerlukan oksigen, sedangkan fermentasi
aerob adalah fermentasi yang memerlukan oksigen. Fermentasi mempunyai
pengertian aplikasi metabolisme mikroba untuk mengubah bahan baku menjadi
produk yang bernilai tinggi, seperti asam-asam organik, etanol, dan biopolymer
(Wahono,dkk., 2011).
Prinsip dasar fermentasi adalah mengaktifkan kegiatan mikroba tertentu
dengan tujuan mengubah sifat bahan agar dihasilkan suatu yang bermanfaat.
Bab II Tinjauan Pustaka 21
Optimasi Proses Hidrolisis dan Fermentasi Tepung Sorgum (Sorghum bicolor, L. Moench) Sebagai Bahan Baku Pembuatan Bioetanol
Perubahan ini terjadi karena dalam proses fermentasi jumlah mikroba diperbanyak
dan digiatkan metabolismenya didalam bahan tersebut dalam batas tertentu (Assegaf,
2009).
Yeast merupakan tumbuhan mikroskopik bersel satu dan merupakan golongan
fungi, tidak bercabang dan tidak mempunyai klorofil serta memperbanyak diri dengan
cara budding (pertunasan). Yeast memfermentasi gula untuk menghasilkan etanol dan
CO2 serta produk samping lainnya. Yeast atau ragi yang digunakan dalam pangan
adalah Saccharomyces cereviceae yang pada umumnya dinamakan ragi roti.
Saccharomyces cereviceae merupakan yeast yang termasuk dalam kelas
Hemiascomycetes, ordo Endomycetes, family Saccharomycetaceae, sub family
Saccharoycoideae, dan genus Saccharomyces. Saccharomyces cerevisiae merupakan
organisme uniseluler yang bersifat makhluk mikroskopis dan disebut sebagai jasad
sakarolitik, yaitu menggunakan gula sebagai sumber karbon untuk metabolisme.
Saccharomyces cerevisiae mampu menggunakan sejumlah gula, diantaranya sukrosa,
glukosa, fruktosa, galaktosa, mannosa, maltosa dan maltotriosa.
Saccharomyces cerevisiae merupakan mikrobia yang paling banyak
digunakan pada fermentasi alkohol karena dapat berproduksi tinggi, tahan terhadap
kadar alkohol yang tinggi, tahan terhadap kadar gula yang tinggi dan tetap aktif
melakukan aktivitasnya pada suhu 4-32oC (Assegaf, 2009). Khamir Saccharomyces
cerevisiae dapat dilihat pada Gambar 2.7.
Pada saat fermentasi berlangsung Saccharomyces cerevisiae akan
menghasilkan enzim zimase dan enzim invertase. Enzim zimase berfungsi sebagai
pemecah sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa. Enzim invertase mengubah glukosa
menjadi etanol (Alamsyah, 2007). Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut :
1. Inversi
Zimase
C12H22O11 + H2O C6H12O6 + C6H12O6
(Sukrosa) (glukosa) (fruktosa)
Bab II Tinjauan Pustaka 22
Optimasi Proses Hidrolisis dan Fermentasi Tepung Sorgum (Sorghum bicolor, L. Moench) Sebagai Bahan Baku Pembuatan Bioetanol
2. Fermentasi
Invertase
C6H12O6 2C2H5OH + 2CO2
(Glukosa) (Alkohol)
Gambar 2.7 Khamir Saccharomyces cerevisiae
Sumber : www.scientistlive.com
Ragi tidak akan menjalankan fungsinya mengubah pati menjadi gula, dan
kemudian akan diubah menjadi etanol apabila faktor-faktor yang berpengaruh pada
kehidupannya tidak terpenuhi. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan
ragi, antara lain nutrisi (zat gizi), keasaman (pH), temperatur, oksigen, dan air.
Berhasil tidaknya proses fermentasi sangat tergantung dari perlakuan awal,
meliputi:
1. Kadar gula
Bahan dengan konsentrasi gula tinggi mempunyai efek negatif pada yeast,
baik pada pertumbuhan maupun aktivitas fermentasinya. Kadar glukosa yang baik
berkisar 10 - 18%. Apabila terlalu pekat, aktivitas enzim akan terhambat sehingga
waktu fermentasi menjadi lambat disamping itu terdapat sisa gula yang tidak dapat
terpakai dan jika terlalu encer maka hasilnya berkadar alkohol rendah (Eka, 2008).
Menurut Alamsyah (2007) kadar gula yang baik untuk proses fermentasi adalah 12-
18%.
Bab II Tinjauan Pustaka 23
Optimasi Proses Hidrolisis dan Fermentasi Tepung Sorgum (Sorghum bicolor, L. Moench) Sebagai Bahan Baku Pembuatan Bioetanol
2. Nilai keasaman
Saccharomycess Cereviseae dapat tumbuh baik pada range pH 4.0-5.0,
apabila pH lebih kecil dari 3 maka proses fermentasi akan berkurang kecepatannya.
Pada pH yang lebih tinggi, adaptasi yeast lebih rendah dan aktivitas fermentasinya
juga meningkat, walaupun ternyata berpengaruh pada pembentukan produk samping
(Alamsyah, 2007).
3. Temperatur
Suhu berpengaruh terhadap proses fermentasi melalui dua hal secara tidak
langsung mempengaruhi aktivitas enzim khamir dan secara langsung mempengaruhi
hasil alkohol karena adanya penguapan (Eka, 2008). Suhu yang baik untuk proses
fermentasi adalah 25-300C. Semakin rendah suhu fermentasi semakin tinggi alkohol
yang dihasilkan, karena pada suhu rendah proses fermentasi akan berjalan dengan
sempurna dan alkohol yang terbawa oleh gas CO2 akan lebih sedikit (Alamsyah,
2007).
4. Nutrien
Nutrien diperlukan sebagai tambahan makanan bagi pertumbuhan yeast.
Nutrien yang diperlukan biasanya adalah urea dan NPK (Alamsyah, 2007).
5. Aerasi
Oksigen diperlukan pada proses pembuatan starter tetapi tidak diperlukan
dalam proses produksi alkohol, karena proses fermentasi alkohol bersifat anaerob
(Eka, 2008).
6. Waktu
Waktu fermentasi pada umumnya sekitar 7 hari atau lebih tergantung kadar
gula, suhu, dan faktor-faktor lain (Eka, 2008).
2.3.2 Pemurnian Bioetanol
Kadar bioetanol hasil proses fermentasi umumnya 6-12%. Untuk
meningkatkan kadar bioetanol hingga ± 95%, perlu dilakukan destilasi pada kondisi
operasi yang sesuai dengan karakteristik bioetanol. Destilasi adalah salah satu metode
Bab II Tinjauan Pustaka 24
Optimasi Proses Hidrolisis dan Fermentasi Tepung Sorgum (Sorghum bicolor, L. Moench) Sebagai Bahan Baku Pembuatan Bioetanol
dari pemurnian dengan cara memisahkan dua atau lebih komponen-komponen dalam
suatu cairan berdasarkan perbedaan tekanan uap masing-masing komponen.
Pemisahan bahan dengan metode destilasi ini dapat dilakukan jika komposisi fase uap
memiliki perbedaan dengan komposisi fase cair. Jika komposisi fase uap sama
dengan komposisi fase cair, maka pemisahan dengan jalan destilasi tidak dapat
dilakukan.
Proses destilasi adalah salah satu metode yang paling umum digunakan dalam
pemisahan larutan dengan titik didih rendah seperti etanol. Pada proses ini, energi
yang dibutuhkan cukup besar jika cairan (etanol) yang akan dipisahkan mempunyai
konsentrasi yang kecil didalam larutannya.
Pada proses destilasi etanol, larutan fermentasi yang terdiri dari campuran
etanol, air dan bahan- bahan lainnya dipisahkan pada tekanan atmosfir dengan suhu
tertentu. Pada suhu 1000C air mendidih dan akan menguap, sedangkan etanol
mendidih pada suhu sekitar 77oC. Perbedaan titik didih inilah yang memungkinkan
pemisahan campuran etanol dan air. Jika larutan campuran etanol air dipanaskan,
maka akan lebih banyak molekul etanol menguap dari pada air.
Waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan rendemen rata-rata 19% pada
pemurnian etanol menggunakan destilasi dengan suhu antara 78-900C adalah 3 jam.
Waktu yang dibutuhkan untuk mendidihkan 25 liter bahan baku sampai penetesan
pertama dengan menggunakan pemanas kompor minyak tanah rata-rata adalah 43
menit. Biasanya diperoleh kadar alkohol tertinggi hasil destilasi fraksinasi adalah
90% dan yang paling rendah adalah 82 %, sedangkan untuk destilasi sederhana
adalah 40%. (Suryanto, 1999)
Untuk memperoleh bioetanol dengan kemurnian lebih tinggi dari 99,5% atau
yang umum disebut fuel based ethanol dapat dilakukan pemurnian lebih lanjut
dengan cara Azeotropic destilasi. Azeotropic adalah keadaan di mana suatu larutan
mempunyai fasa uap dan fasa cair yang sama saat dididihkan (Suryanto, 1999).