Post on 14-Feb-2020
19
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Agrowisata merupakan salah satu bentuk wisata yang sangat komplek,
sehingga dapat dipandang sebagai suatu sistem, karena melibatkan berbagai
komponen dan banyak pihak, antara lain supply and demand, masyarakat,
pemerintah sebagai pemegang kebijakan, pelaku dan pengusaha pariwisata. Untuk
dapat mengimplementasikan dan merealisasikan pembangunan pariwisata
berkelanjutan (Sustainable Tourism), maka aspek kehidupan masyarakat,
kelestarian sumber daya alam dan lingkungan harus lebih diutamakan
dibandingkan aspek ekonominya. Salah satu bentuk/produk pariwisata yang
mengedepankan aspek kehidupan masyarakat, kelestarian sumber daya alam dan
lingkungan adalah agrowisata (agrotourism). Agrowisata pada intinya memiliki
konsep mengedepankan aktivitas pertanian dan suasana pedesaan yang masih
alami sebagai daya tarik wisatanya, tanpa mengabaikan kenyamanan wisatawan
dan pelaku pariwisatanya.
Penelitian ini merujuk pada sembilan hasil penelitian terdahulu tentang
pengembangan agrowisata, pariwisata kerakyatan, pariwisata pedesaan, dan
kebijakan pengembangan pariwisata, yaitu penelitian Bambang (2006), Wirawan
(2007), Suwatno (2008), Sedana (2009), Cremers (2010), Saridarmini (2011),
Nurhidayati (2012), Rudita (2012), dan Putra (2012).
Penelitian Bambang (2006) yang berjudul “Pengembangan Agrowisata
Berwawasan Lingkungan: Studi Kasus Desa Wisata Tingkir, Salatiga”,
20
menyatakan bahwa kegiatan agrowisata merupakan kegiatan jangka panjang
sehingga perlu dilakukan perspektif jangka panjang, membangun dan
mengembangkan usaha wisata agro berwawasan lingkungan membutuhkan
terbinanya sumber daya alam dan lingkungan hidup yang lestari sehingga
agrowisata merupakan usaha agribisnis yang membutuhkan keharmonisan dengan
lingkungan hidup dalam segala aspek. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian
deskriptif. Dalam merumuskan model pembangunan agrowisata berwawasan
lingkungan dikaji berdasarkan theseven steps of planning. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa Kelurahan Tingkir Lor memiliki potensi untuk dibangun dan
dikembangkan sebagai lokasi agrowisata berwawasan lingkungan, sekaligus
mengembangkan Desa Wisata Tingkir yang pada saat ini masih belum dapat
disebut sebagai tempat tujuan wisata; masyarakat setempat mendukung
pembangunan obyek wisata di Desa Wisata Tingkir dengan konsep agrowisata
berwawasan lingkungan; berdasarkan pendekatan theseven steps of planning,
maka model pembangunan agrowisata berwawasan lingkungan di Desa Wisata
Tingkir adalah dengan mengembangkan budidaya agro sebagai obyek (atraksi)
wisata melibatkan masyarakat.
Penelitian yang dilakukan Bambang memiliki kesamaan dengan penelitian
ini, yaitu sama-sama memiliki fokus pengembangan agrowisata yang
memanfaatkan usaha agro (agribisnis) sebagai objek wisata. Kedua penelitian ini
pada prinsipnya sama-sama menuju pada pembangunan pariwisata berkelanjutan.
Sedangkan perbedaan penelitian Bambang dan penelitian ini adalah bahwa
penelitian Bambang merupakan sebuah studi kasus yang dilakukan di Desa
21
Tingkir, Salatiga, dan penelitian ini merupakan penelitian untuk mencari strategi
dan program dalam pengembangan Agrowisata Desa Kerta sebagai pariwisata
berkelanjutan di Kawasan Agropolitan Payangan Kabupaten Gianyar.
Penelitian Wirawan (2007) yang berjudul “Perencanaan Pembangunan
Pariwisata di Kabupaten Gianyar (Suatu Kajian Tentang Perencanaan Pemulihan
Pariwisata Dalam Perspektif Emansipatif). ”Penelitian ini dilakukan karena
adanya penilaian bahwa upaya pemulihan pariwisata Bali pasca peristiwa
pengeboman di Kuta dan Jimbaran yang kurang serius. Penelitian ini bertujuan
untuk mendeskripsikan, menganalisis dan menginterpretasikan strategi
pembangunan pariwisata dan mekanisme perencanaan yang diterapkan dalam
upaya pemulihan pariwisata yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Gianyar;
perencanaan pembangunan pariwisata yang dilakukan dalam perspektif
emansipatif dalam upaya pemulihan pariwisata di Kelurahan Ubud; dan faktor-
faktor penghambat dalam perencanaan pemulihan pariwisata di Kelurahan Ubud.
Langkah-langkah penataan Bali dan upaya pemulihan ekonomi yang dilakukan
pemerintah jauh dari keinginan rakyat dan belum menyentuh kepentingan rakyat
Bali secara menyeluruh. Pemulihan ekonomi hanya menguntungkan segelintir
pihak, sedangkan masyarakat kecil yang memerlukan bantuan belum tersentuh.
Pemerintah pusat dan daerah dianggap tidak fokus menyusun dan melakukan
agenda pemulihan pariwisata pasca peledakan bom Kuta dan Jimbaran.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif,
Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan dalam mengupayakan perbaikan
maupun pemulihan sektor pariwisata, perlu ditentukan strategi penanganannya
22
dan mekanisme perencanaan yang sesuai dengan karakteristik daerah
bersangkutan dan lebih banyak melibatkan masyarakat secara emansipatif; dalam
perspektif emansipatif, keberdayaan dan kemandirian masyarakat akan dapat
menumbuh-kembangkan prakarsa, kreativitas dan inisiatifnya dalam
mengupayakan perbaikan kondisi wilayahnya sesuai dengan karakteristik yang
dimilikinya; faktor penghambat yang paling mungkin dan paling dominan
ditemui, adalah faktor lingkungan dan faktor pendanaan.
Penelitian Wirawan dan penelitian ini memiliki beberapa persamaan dan
perbedaan. Persamaannya adalah sama-sama mengambil objek di wilayah
Kabupaten Gianyar, sedangkan perbedaannya adalah penelitian Wirawan
mengambil ruang lingkupnya lebih luas yaitu di seluruh wilayah Kabupaten
Gianyar dan penelitian ini memiliki ruang lingkup hanya di salah satu desa yang
ada di wilayah Kabupaten Gianyar, tepatnya di Desa Kerta Kecamatan Payangan
Kabupaten Gianyar, lokasi ini merupakan Kawasan Agropolitan yang ada di
Kabupaten Gianyar. Perbedaan lainnya adalah penelitian Wirawan berfokus pada
perencanaan pembangunan pariwisata di Kabupaten Gianyar, khususnya
perencanaan pemulihan pariwisata dalam perspektif emansipatif, sedangkan
penelitian ini berfokus pengembangan agrowisata. Penelitian Wirawan dilakukan
karena adanya penilaian bahwa upaya pemulihan pariwisata Bali pasca peristiwa
bom Bali di Kuta dan Jimbaran yang kurang serius, sedangkan penelitian ini
dilakukan karena belum adanya strategi dan program yang jelas dalam
pengembangan Agrowisata Desa Kerta sebagai pariwisata berkelanjutan di
Kawasan Agropolitan Payangan dan di Kawasan Agrowisata Gianyar Utara.
23
Suwatno (2008) dalam penelitiannya yang berjudul “Perencanaan
Agrowisata di Kawasan Kedung Kayang Desa Wonolelo Kecamatan Sawangan
Kabupaten Magelang” Penelitian ini bertujuan untuk membuat perencanaan
agrowisata di kawasan wisata Kedung Kayang dengan menggunakan metode
survei. Hasil penelitiannya menujukkan bahwa potensi wisata yang ada dapat
dikembangkan menjadi agrowisata. Semua potensi yang ada dapat di kemas dan
ditonjolkan melalui perencanaan agrowisata yang dibagi menjadi tiga zona
(bagian) yaitu main entrance yang terdiri atas pusat informasi, parkir, pos
keamanan, zona utama yaitu terdiri atas empat bagian/zona (zona 1 tanaman
bunga, zona 2 tanaman sayur-sayuran, zona 3 tanaman buah, dan zona 4 sebagai
hutan konservasi) dan zona pendukungnya yaitu bumi perkemahan, terowongan,
home stay, rest area, bukit dan air terjun.
Penelitian Suwatno memiliki persamaan dengan penelitian ini terutama
tentang fokus peneliitian. Penelitian Suwatno dan penelitian ini sama-sama
berfokus pada objek wisata agro (agrowisata), sedangkan perbedaannya adalah
penelitian Suwatno dilakukan di Kawasan Kedung Kayang Desa Wonolelo
Kecamatan Sawangan Kabupaten Magelang, dengan tujuan untuk membuat
perencanaan agrowisata di kawasan wisata Kedung Kayang Desa Wonolelo
Kecamatan Sawangan Kabupaten Magelang. Sedangkan penelitian ini dilakukan
di Desa Kerta Kecamatan Payangan Kabupaten Gianyar, yang merupakan
Kawasan Agropolitan Payangan. Di samping bertujuan untuk mengetahui potensi
desa yang dapat dijadikan sebagai produk agrowisata, penelitian ini juga bertujuan
untuk mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman, serta
24
merumuskan strategi dan program pengembangan Agrowisata Desa Kerta sebagai
pariwisata berkelanjutan di Kawasan Agropolitan Payangan Kabupaten Gianyar.
Penelitian Sedana (2009) yang berjudul “Perencanaan Pengembangan
Agrowisata di Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar. Penelitian ini
dilatarbelakangi adanya kebijakan pembangunan pariwisata Kabupaten Gianyar,
dan rencana strategis Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar 2008-2013 dan
bertujuan untuk mendeskripsikan, menganalisis dan menginterpretasikan
perencanaan pengembangan agrowisata di Kecamatan Payangan serta faktor-
faktor yang mendukung dan menghambat perencanaan pengembangan agrowisata
di Kecamatan Payangan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam
perencanaan pengembangan agrowisata di Kecamatan Payangan, perlu
memperhatikan kawasan yang akan dikembangkan dengan identifikasi kebijakan
rencana dasar, rencana pengembangan ini sudah sesuai dengan kebijakan
pembangunan pariwisata Kabupaten Gianyar; mekanisme perencanaan
pembangunan pariwisata yang menggunakan gabungan pendekatan top down dan
bottom up planning berjalan sebagaimana mestinya, namun terkadang tidak
muncul dalam perencanaan daerah ataupun SKPD; penyusunan rencana
pengembangan agrowisata sudah sesuai dengan kebutuhan dalam pengembangan
namun karena keterbatasan dana yang direncanakan maka pelaksanaan
perencanaan dibuat secara bertahap dan berkelanjutan; sistem yang digunakan
oleh kelompok prima tani serta adanya koordinasi yang baik antar dinas terkait
sebagai faktor pendukungnya, akan tetapi masih dijumpai adanya faktor
25
penghambat dalam perencanaan seperti faktor lingkungan dari aspek politik dan
faktor pendanaan.
Penelitian Sedana dan penelitian ini memiliki beberapa persamaan dan
perbedaan. Persamaan penelitian yang dilakukan Sedana adalah sama-sama
memiliki fokus penelitian terhadap objek wisata agro (agrowisata) dan sama-sama
dilatarbelakangi oleh adanya kebijakan pembangunan pariwisata Kabupaten
Gianyar, dan rencana strategis Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar. Sedangkan
perbedaannya adalah penelitian Sedana dilakukan di seluruh wilayah Kecamatan
Payangan dan bertujuan untuk mendeskripsikan, menganalisis dan
menginterpretasikan perencanaan pengembangan agrowisata di Kecamatan
Payangan, sedangkan penelitian ini mengambil ruang lingkup hanya di Desa Kerta
Kecamatan Payangan Kabupaten Gianyar dan bertujuan untuk mengetahui
potensi desa yang dapat dijadikan produk agrowisata, mengetahui kekuatan,
kelemahan, peluang dan ancaman serta merumuskan strategi dan program
pengembangan agrowisata Desa Kerta sebagai pariwisata berkelanjutan di
Kawasan Agropolitan Payangan Kabupaten Gianyar.
Cremers (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Suggestion for the
development of eco tourism activities in Desa Kerta” merekomendasikan empat
strategi dalam pengembangan aktivitas ekowisata di Desa Kerta yaitu
pengembangan aktivitas wisata bersepeda melintasi banjar-banjar yang ada;
mengadakan loka karya tentang pembuatan kerajinan; peningkatan pasar dan
pasar seni sepanjang jalan utama; pengembangan aktivitas trekking melalui hutan
bambu dan sawah. Hasil penelitian ini juga merekomendasikan dua hal yang
26
sangat mendasar yaitu peningkatan kemampuan berbahasa inggris bagi warga
desa dan penguatan organisasi atau kelembagaan yang mengatur aktivitas
ekowisata baru.
Penelitian Cremers dan penelitian ini sama-sama dilakukan di Desa Kerta,
tetapi memiliki fokus dan tujuan yang berbeda. Penelitian Cremers merupakan
kajian tentang aktivitas ekowisata (eco tourism) yang dirangkum dalam bentuk
saran-saran atau masukan untuk pengembangan aktivitas ekowisata (eco tourism)
di Desa Kerta dan bertujuan untuk membantu warga Desa Kerta dalam
mengembangkan aktivitas ekowisata baru (new ecotorism). Sedangkan penelitian
ini merupakan penelitian yang berfokus pada pengembangan agrowisata Desa
Kerta sebagai pariwisata berkelanjutan di Kawasan Agropolitan Payangaan
Kabupaten Gianyar dan bertujuan untuk mengetahui potensi desa yang dapat
dijadikan produk agrowisata, mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan
ancaman serta merumuskan strategi dan program pengembangan agrowisata Desa
Kerta sebagai pariwisata berkelanjutan di Kawasan Agropolitan Payangan
Kabupaten Gianyar.
Penelitian Saridarmini (2011) yang berjudul “Dampak Agrowisata
Berbasis Modal dan Agrowisata Berbasis Masyarakat Di Bali”. Penelitian
Saridarmini dilakukan di dua kabupaten yaitu di Kabupaten Badung (Desa Sibang
Kaja) dan Kabupaten Karangasem (Desa Sibetan), Propinsi Bali dengan tujuan
untuk mengetahui dampak sosial, ekonomi dan lingkungan dari model agrowisata
berbasis modal dan masyarakat; untuk mengetahui perbedaan dampak sosial,
ekonomi dan lingkungan dari model agrowisata berbasis modal dan masyarakat.
27
Menggunakan analisis deskriptif untuk mendeskripsikan karakteristik dampak
pada variabel sosial, ekonomi, danlingkungan berdasarkan parameter pengukuran
terhadap indikator-indikatornya. Khusus untuk penilaian dampak ekonomi
dilakukan analisis manfaat dan biaya (B/Cratio) pada model agrowisata berbasis
modal, dan analisis finansial usahatani padamodel agrowisata berbasis
masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan secara sosial kedua model
pengembangan agrowisata dapat menjadi wahana pembelajaran bagi pengunjung.
Namun diantara dua model tersebut, model agrowisata berbasis modal belum
banyak berkontribusi dalam penyerapan tenaga kerja terutama bagi masyarakat
sekitarnya. Lembaga yang terbentuk hanya terbatas pada lembagainternal
agrowisata tersebut. Sedangkan model agrowisata berbasis masyarakat, para
petani telah terorganisir dalam kelompok tani agrowisata, bahkan telah
membentuk koperasi agrowisata dan telah mampu meningkatkan aktivitas petani
di luar usahataninya.
Penelitian Saridarmini dan penelitian ini memiliki kesamaan dari sisi fokus
penelitian, yaitu sama-sama berfokus pada objek wisata agro (agrowisata).
Penelitian Saridarmini dilakukan di dua kabupaten yaitu di Kabupaten Badung
(Desa Sibangkaja) dan Kabupaten Karangasem (Desa Sibetan) dan bertujuan
untuk mengetahui dampak sosial, ekonomi dan lingkungan dari model agrowisata
berbasis modal dan masyarakat; mengetahui perbedaan dampak sosial, ekonomi
dan lingkungan dari model agrowisata berbasis modal dan masyarakat. Sedangkan
penelitian ini dilakukan di Desa Kerta dan bertujuan untuk mengetahui potensi
desa yang dapat dijadikan produk agrowisata, mengetahui kekuatan, kelemahan,
28
peluang dan ancaman serta merumuskan strategi dan program pengembangan
agrowisata Desa Kerta sebagai pariwisata berkelanjutan di Kawasan Agropolitan
Payangan Kabupaten Gianyar.
Nurhidayati (2012) dalam penelitiannya yang berjudul “Pengembangan
Agrowisata Berkelanjutan Berbasis Komunitas di Kota Batu, Jawa Timur”.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penerapan prinsip-prinsip Community
Based Tourism (CBT) dalam pengembangan agrowisata di kota Batu, Jawa Timur
dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan prinsip-prinsip
Community Based Tourism (CBT). Penelitian ini menggunakan pendekatan
kombinasi, yaitu pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif dan lokasi
penelitiannya ditetapkan secara purposive di Kota Batu, Jawa Timur. Unit analisis
penelitian dilakukan dengan spektrum individu dan institusi (kelembagaan).
Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara, wawancara mendalam,
dan observasi, sedangkan pengumpulan data sekundernya dilakukan dengan
mengumpulkan data yang terdapat di steakholder terkait (SKPD) dan Pemerintah
Desa dan Kecamatan. Analisis dalam penelitian ini dilakukan dengan analisis
kuantitatif (statistik) dan analisis kualitatif (analisis konten dan interaktif). Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan prinsip ekonomi CBT dalam
pengembangan agrowisata berkaitan dengan terciptanya pekerjaan yang menyerap
tenaga kerja lokal, pengembangan usaha sektor pariwisata, dan peningkatan
pendapatan komunitas yang berasal dari belanja wisata. Penerapan prinsip sosial
CBT dalam pengembangan agrowisata ditandai dengan peningkatan kualitas
hidup masyarakat, berdampak pada perubahan nilai sosial.
29
Lebih lanjut Nurhidayati (2012) menyatakan bahwa dari aspek gender,
agrowisata menghasilkan segregasi kerja sektor pariwisata, pelabelan (stereotype)
dan beban kerja ganda pada perempuan. Penerapan prinsip budaya CBT
mengindikasikan tidak menguatkan seluruh aspek sosial kapital, interaksi
wisatawan dan komunitas menghasilkan kontak dan pertukaran nilai budaya,
pengetahuan baru bagi komunitas dan penerimaan simbul modernitas dari luar
komunitas. Penerapan prinsip politik CBT, menunjukkan adanya penguatan peran
dan fungsi kelembagaan lokal serta peningkatan kekuasaan oleh komunitas.
Penerapan prinsip lingkungan CBT, mendorong berkembangnya konsep daya
dukung komunitas. Sedangkan faktor yang mempengaruhi penerapan prinsip
ekonomi CBT adalah struktur perekonomian Kota Batu dan peran pemerintah,
prinsip sosial CBT dipengaruhi oleh status kekhususan Kota Batu, kekayaan
sumber daya alam, dan kekuatan budaya setempat. Prinsip budaya CBT
dipengaruhi oleh berkembangnya budaya multikultur, keterbukaan terhadap
informasi, dan etos kerja lokal. Sedangkan penerapan prinsip lingkungan CBT
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan global dan kearifan lokal komunitas.
Penelitian Nurhidayati memiliki beberapa persamaan dengan penelitian
yang akan dilakukan ini, diantaranya tentang fokus, arah, dan medode
(pendekatan) penelitian yang digunakan. Penelitian Nurhidayati dan penelitian ini
sama-sama memiliki fokus penelitian pada pengembangan agrowisata, dengan
arah penelitian menuju pembangunan pariwisata berkelanjutan dan sama-sama
menggunakan dua metode (pendekatan), yaitu pendekatan kuantitatif dan
kualitatif serta keduanya dilakukan di Kawasan Agropolitan, penelitian
30
Nurhidayati berada di Kawasan Agropolitan Kota Batu, Jawa Timur, sedangkan
penelitian ini berada di Kawasan Agropolitan Payangan Kabupaten Gianyar.
Sedangkan perbedaannya adalah penelitian Nurhidayati dilakukan di Kota Batu,
Jawa Timur dengan tujuan untuk mengkaji penerapan prinsip-prinsip Community
Based Tourism (CBT) dalam pengembangan agrowisata di kota Batu, Jawa Timur
dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan prinsip-prinsip
CBT, dan penelitian ini dilakukan di Desa Kerta Kecamatan Payangan Kabupaten
Gianyar dan bertujuan untuk mengetahui potensi desa yang dapat dijadikan
produk agrowisata, mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman serta
merumuskan strategi dan program pengembangan agrowisata Desa Kerta sebagai
pariwisata berkelanjutan di Kawasan Agropolitan Payangan Kabupaten Gianyar.
Rudita, dkk. (2012) dengan penelitiannnya yang berjudul “Potensi Obyek
Wisata dan Keterpaduannya dalam Pengembangan Kawasan Agropolitan
Payangan, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali”. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui potensi tempat-tempat wisata yang akan dikembangkan di wilayah
Agropolitan Payangan; mengetahui persepsi wisatawan pada faktor-faktor yang
dampak kunjungan wisatanya ke Kawasan Agropolitan Payangan; merumuskan
rencana dan strategi pengembangan pariwisata terpadu di Kawasan Agropolitan
Payangan dalam rangka pembangunan daerah. Hasil penelitiannya menunjukkan
terdapat enam obyek wisata yang berpotensi untuk dikembangkan di Kawasan
Agropolitan Payangan, yaitu: Agrowisata Payangan, Sungai Ayung, Nyepi Kasa,
Aci Keburan, Desa Pakraman Pausan, dan Sarkofagus.
31
Lebih lanjut Rudita (2012) menyatakan bahwa, berdasarkan skor yang
diperoleh masing-masing obyek wisata, apabila dikelompokkan dapat diketahui
tiga kelompok obyek wisata yang paling disukai saat ini yaitu obyek wisata yang
berkaitan dengan alam (Sungai Ayung dan Agrowisata Payangan), kedua adalah
obyek wisata yang berkaitan dengan adat dan tradisi masyarakat setempat (Nyepi
Kasa, Desa Pakraman Pausan, dan Aci Keburan), dan ketiga adalah obyek wisata
sejarah dan situs kepurbakalaan (Sarkofagus). Faktor yang mempengaruhi
kunjungan wisatawan ke Kawasan Agropolitan Payangan menurut persepsi
wisatawan dalam penelitian ini adalah pelayanan, jenis wisata dan atraksi yang
ditawarkan, fasilitas yang tersedia, sarana transportasi; dan promosi. Faktor
pelayanan, yang berpengaruh positif adalah keramahan masyarakat setempat dan
kebersihan lingkungan, sedangkan pemandu wisata dan kios berpengaruh negatif.
Faktor jenis wisata dan atraksi yang ditawarkan, yang berpengaruh positif adalah
wisata budaya dan wisata alam termasuk agrowisata. Ada tiga rencana dan strategi
utama pengembangan obyek wisata secara terpadu dengan pengembangan
Kawasan Agropolitan Payangan dalam pengembangan wilayah, yakni 1) rencana
meningkatkan keterkaitan sektoral dan meningkatkan keterpaduan antar sektor,
melalui pengembangan iptek, 2) memperkenalkan dan menawarkan potensi obyek
wisata yang ada, dengan pengembangan paket-paket wisata melalui kerjasama
pemerintah, swasta dan masyarakat, dan 3) memperkuat kepariwisataan, dengan
membangun kemitraan dan membentuk jejaring.
Penelitian Rudita dkk dengan penelitian ini sama-sama dilakukan di
Kawasan Agropolitan Payangan Kabupaten Gianyar, namun memiliki tujuan,
32
fokus dan ruang lingkup yang berbeda. Penelitian Rudita dkk., bertujuan untuk
mengetahui potensi tempat-tempat wisata yang akan dikembangkan di wilayah
Agropolitan Payangan; mengetahui persepsi wisatawan pada faktor-faktor yang
dampak kunjungan wisatanya ke Kawasan Agropolitan Payangan; merumuskan
rencana dan strategi pengembangan pariwisata terpadu diKawasan Agropolitan
Payangan dalam rangka pembangunan daerah, sedangkan penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui potensi desa yang dapat dijadikan produk agrowisata,
mengetahui faktor internal dan eksternal, merumuskan strategi dan program
pengembangan Agrowisata Desa Kerta sebagai pariwisata berkelanjutan di
Kawasan Agropolitan Payangan Kabupaten Gianyar. Penelitian Rudita dkk
memiliki fokus penelitian pada beberapa obyek wisata yang akan dikembangkan
di Kawasan Agropolitan Payangan dan persepsi wisatawan, sedangkan penelitian
ini hanya berfokus pada objek wisata agro (agrowisata) yang ada di Desa Kerta.
Penelitian Putra (2012) yang berjudul “ Pengembangan Wisata Agro di
Banjar Temen, Desa Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar,
Provinsi Bali”. Bertujuan untuk mengidentifikasi potensi wisata agro di Banjar
Temen, faktor internal dan eksternal serta merumuskan strategi umum
pengembangan wisata agro di Banjar Temen, sebagai daya tarik pariwisata
alternatif; merumuskan strategi alternatif pengembangan wisata agro yang
berbasis kerakyatan berdasarkan potensi-potensi yang dimiliki dan kendala-
kendala yang dihadapi dan dianalisis dengan menggunakan analisis SWOT.
Hasil penelitian Putra (2012) menyatakan bahwa Banjar Temen memiliki
potensi wisata agro yang dapat dikembangkan dimasa yang akan datang; posisi
33
wisata agro Banjar Temen pada Teori Destination Life Cycle berada pada tahap
Involvement, dimana masyarakat mulai menyediakan fasilitas bagi wisatawan,
tetapi belum terlihat peran serta pihak lain dalam pengembangan wisata agro;
faktor-faktor internal dan eksternal yang teridentifikasi dalam penelitian ini adalah
faktor internal yang merupakan kekuatan, antara lain lahan perkebunan yang
subur, produk kopi luwak yang bernilai jual tinggi dan proses pengolahannya,
pemandangan alam yang indah, lokasi yang berada di jalur pariwisata, dan
varietas tanaman yang beragam; faktor yang merupakan kelemahan, antara lain
kurangnya SDM yang memiliki keterampilan, kurangnya sarana dan prasarana
penunjang pariwisata, terjadinya persaingan harga antar wisata agro di Banjar
Temen, kurangnya kerjasama dengan instansi pemerintah, dan kurangnya
promosi. Faktor eksternal yang teridentifikasi antara lain yang berupa peluang
adalah kunjungan wisatawan ke Pura Tirta Empul menuju Kawasan Wisata
Kintamani, perubahan minat wisatawan, kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, pertumbuhan perekonomian global dan meningkatnya hubungan
kerjasama dengan pelaku pariwisata lainnya. Faktor eksternal yang merupakan
ancaman adalah berkembangnya wisata agro sejenis di luar Banjar Temen, situasi
keamanan nasional, wabah penyakit yang menular, kondisi sosial dan politik
nasional, serta berkembangnya coffee shop di Bali.
Penelitian Putra memiliki beberapa persamaan dengan penelitian ini,
dilihat dari fokus penelitian, tujuan penelitian, dan arah atau orientasi penelitian.
Penelitian Putra dan penelitian ini sama-sama berfokus pada pengembangan
wisata agro (agrowisata), sama-sama bertujuan untuk mengidentifikasi potensi
34
desa yang dapat dikembangkan sebagai produk agrowisata, mengidentifikasi
faktor internal dan eksternal serta merumuskan strategi dan program
pengembangan. Penelitian Putra dan penelitian ini, juga memiliki lokasi penelitian
yang sama, yaitu sama-sama dilaksanakan di Kawasan Agropolitan Payangan
Kabupaten Gianyar dan berorientasi pada pembangunan pariwisata berkelanjutan.
Penelitian Putra dan penelitian ini hanya memiliki perbedaan pada ruang lingkup
dan komoditi yang menjadi daya tarik wisata, dimana ruang lingkup penelitian
Putra hanya dalam lingkup banjar dan jumlah komoditi (varietas) yang terbatas,
sedangkan penelitian ini mempunyai ruang lingkup yang lebih luas yaitu satu desa
dengan delapan banjar dan beranekaragam komoditas yang potensial untuk
dikembangkan sebagai produk agrowisata.
2.2 Konsep Penelitian
Penelitian ini menggunakan lima konsep, yaitu strategi pengembangan,
produk pariwisata (4A), agrowisata, agropolitan, dan pariwisata berkelanjutan.
Menurut Chandler (1962) yang dikutif Rangkuti (1997:3-7), pemahaman yang
baik mengenai konsep strategi dan konsep-konsep lain yang berkaitan, sangat
menentukan suksesnya strategi yang disusun. Adapun yang dimaksud dengan
konsep-konsep tersebut adalah distinctive competence yaitu tindakan yang
dilakukan oleh perusahan agar dapat melakukan kegiatan lebih baik dibandingkan
dengan pesaingnya dan competitive advantage yaitu kegiatan spesifik yang
dilakukan oleh perusahan agar lebih unggul dibandingkan dengan pesaingnya.
35
2.2.1 Strategi Pengembangan
Strategi adalah seni memadukan atau mengintegrasikan antara faktor kunci
keberhasilan, agar terjadi sinergi dalam mencapai tujuan. Strategi merupakan
sarana untuk mencapai tujuan. Menurut Chandler (1962:13) dalam Rangkuti
(1997:3-7) menyebutkan bahwa strategi adalah tujuan jangka panjang dari suatu
perusahan, serta pendayagunaan dan alokasi semua sumber daya yang penting
untuk mencapai tujuan tersebut. Sedangkan Argyris dkk. (1985) menyatakan
bahwa strategi merupakan respons secara terus menerus maupun adaptif terhadap
peluang dan ancaman eksternal serta kekuatan dan kelemahan internal yang dapat
mempengaruhi organisasi.
Pernyataan Learned dkk. (1965) yang dikutif Rangkuti (1997:3)
menyatakan bahwa strategi merupakan alat untuk menciptakan keunggulan
bersaing. Pernyataan ini senada dengan pernyataan Porter (1985) yang
menyatakan strategi adalah alat yang sangat penting untuk mencapai keunggulan
bersaing. Sedangkan Stoner dkk., (1995) yang dikutip Tjiptono (1996),
menyatakan bahwa strategi dibedakan menjadi dua perspektif, yaitu perspektif apa
yang ingin organisasi lakukan (intend to do) dan perspektif apa yang akhirnya
organisasi lakukan (eventually does). Berdasarkan perspektif yang pertama,
strategi didefinisikan sebagai program untuk menentukan dan mencapai
tujuanorganisasi dan mengimplementasikan misinya. Dalam hal ini para manager
memainkan peran aktif, sadar dan rasional dalam merumuskan strategi organisasi.
Perspektif kedua, strategi didefinisikan sebagai pola tanggapan atau respon
organisasi terhadap lingkungannya sepanjang waktu. Makna strategi dalam hal ini,
36
setiap organisasi memiliki strategi yang pasti meskipun strategi tersebut tidak
pernah dirumuskan secara eksplisit. Pernyataan ini diterapkan oleh para manager
yang mempunyai karakter reaktif, yaitu menanggapi dan menyesuaikan diri secara
pasif terhadap lingkungannya.
Mintzberg (1978) dalam Rangkuti (1997) strategi dibagi menjadi lima
definisi yaitu strategi sebagai rencana, strategi sebagai pola, strategi sebagai posisi
(position), strategi sebagai taktik (play) dan strategi sebagai perspektif. Strategi
sebagai rencana adalah program atau langkah terencana (a directed course of
action) untuk mencapai serangkaian tujuan atau cita-cita yang telah ditentukan;
sama halnya dengan konsep strategi perencanaan. Strategi sebagai pola (pattern)
adalah sebuah pola perilaku masa lalu yang konsisten, dengan mengunakan
strategi yang merupakan kesadaran daripada menggunakan yang terencana
ataupun diniatkan. Strategi sebagai pola lebih mengacu pada suatu yang muncul
begitu saja (emergent). Strategi sebagai posisi adalah posisi menentukan merek,
produk ataupun perusahan dalam pasar, berdasarkan kerangka konseptual para
konsumen ataupun para penentu kebijakan: sebuah strategi yang utamanya
ditentukan oleh faktor-faktor eksternal. Strategi sebagai taktik merupakan sebuah
manuver spesifik untuk mengelabui atau mengecoh lawan (competitor), dan
strategi perspektif adalah mengeksekusi strategi berdasarkan teori yang ada
ataupun menggunakan insting alami dari isi kepala atau cara berpikir/ideologis.
Strategi merupakan suatu pernyataan yang mengarahkan bagaimana
masing- masing individu dapat bekerjasama dalam suatu organisasi, dalam upaya
pencapaian tujuan dan sasaran organisasi tersebut. Strategi juga diartikan sebagi
37
sekumpulan komitmen atas tindakan atau aksi yang terintegrasi dan terkoordinasi,
untuk mengusahakan atau mengolah kompetensi dan sekaligus guna mendapatkan
keunggulan bersaing organisasi. Strategi harus menghasilkan sumber-sumber daya
yang nyata, tidak hanya berupa pendapatan atau keuntungan, tetapi juga berupa
sumber daya yang tidak berwujud atau intangible, seperti reputasi, komitmen
individu atau karyawan, identitas merek, dan lainnya (Assauri, 2013:3-4).
Marpaung (2000:52) mendefinisikan strategi sebagai suatu proses
penentuan nilai pilihan dan pembuatan keputusan dalam pemanfaatan sumber
daya yang menimbulkan suatu komitmen bagi organisasi yang bersangkutan yang
mengarah pada masa depan. Assauri (2013:4-5), menyatakan strategi memiliki
unsur-unsur yang terdiri dari gelanggang aktivitas atau arena, sarana kendaraan
atau vehicles, pembeda atau differentiators, rencana tingkatan atau staging and
pacing, dan logika ekonomi atau economic logic. Dalam penelitian ini strategi
dimaksudkan sebagai suatu rencana program atau langkah terencana (a directed
course of action) untuk mencapai serangkaian tujuan atau cita-cita yang telah
ditentukan.
Pengembangan adalah kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
bertujuan memanfaatkan kaidah dan teori ilmu pengetahuan yang telah terbukti
kebenarannya untuk meningkatka fungsi, manfaat, dan aplikasi ilmu pengetahuan
dan teknologi yang telah ada, atau menghasilkan teknologi baru. Pengembangan
secara umum berarti pola pertumbuhan, perubahan secara perlahan (evolution)
dan perubahan secara bertahap (Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002).
38
Suwantoro (1997), menyatakan pengembangan adalah suatu proses atau cara
bagaimana menjadikan sesuatu menjadi maju, baik, sempurna dan berguna.
Pengembangan pariwisata harus selalu melibatkan masyarakat lokal dan
mampu memberikan keuntungan bagi masyarakat setempat, tidak merusak nilai-
nilai sosial budaya masyarakatnya serta mengatur jumlah kunjungan wisatawan ke
objek wisata tersebut agar tidak melebihi kapasitas (carrying capacity) yang
tersedia (Sucipta, 2010:15). Pengembangan pariwisata secara mendasar perlu
memperhatikan beberapa konsep seperti pengembangan pariwisata berkelanjutan,
pembangunan wilayah terpadu dan pengembangan produk wisata, pembangunan
ekonomi pariwisata, serta pengembangan lingkungan. Pengembangan wilayah
berdasarkan potensi dan daya dukung lingkungan serta selalu memperhatikan
kelestarian alam dan lingkungannya merupakan tujuan pembangunan pariwisata
berkelanjutan (Antara, 2011).
Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan strategi adalah cara atau
langkah atau aksi yang terkoordinasi dan terintegrasi yang digunakan untuk
mengusahakan dan mengelola sumberdaya yang ada, dengan menciptakan
keunggulan guna memenangkan persaingan. Sedangkan yang dimaksud dengan
pengembangan adalah proses atau rangkaian kegiatan eksplorasi dan penataan
sumber daya yang ada, menjadi daya tarik wisata (agrowisata), agar menjadi lebih
menarik, bernilai dan bermanfaat. Jadi yang dimaksud strategi pengembangan
dalam penelitian ini adalah usaha-usaha yang tersusun secara sistimatis yang
diterapkan atau diimplementasikan dalam rangka mengeksplorasi, menata dan
mengusahakan sumberdaya yang ada menjadi daya tarik wisata (agrowisata), agar
39
lebih diminati oleh wisatawan, bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat dan
kelestarian lingkungan alam.
2.2.2 Produk Pariwisata
Produk pariwisata adalah suatu bentukan yang nyata dan tidak nyata,
dalam suatu kesatuan rangkaian perjalanan yang hanya dapat dinikmati apabila
seluruh rangkaian perjalanan tersebut dapat memberikan pengalaman yang baik
bagi yang melakukan perjalanan tersebut (Muljadi, 2012:46). Sedangkan menurut
UN-WTO dalam Pitana dan Surya Diarta (2009:128), produk pariwisata
didefinisikan sebagai “...any good or service purchased by, or consumed by, a
person defined as a visitor”.
Produk wisata sebenarnya bukan saja merupakan produk yang nyata
(tangible), akan tetapi merupakan rangkaian produk (barang dan jasa) yang tidak
hanya mempunyai segi-segi yang bersifat ekonomis, namun juga bersifat sosial,
psikologis dan alam. Produk wisata merupakan berbagai jasa, di mana satu dengan
lainnya saling terkait dan dihasilkan oleh berbagai perusahan pariwisata, misalnya
akomodasi, angkutan wisata, biro perjalanan, restoran, daya tarik wisata, dan
perusahan lain yang terkait. Produk wisata mempunyai ciri-ciri tertentu, yaitu
tidak dapat disimpan, tidak dapat dipindahkan, produksi dan proses konsumsi
terjadi atau berlangsung secara bersamaan, tidak ada ukuran yang pasti atau
objektif, pelanggan atau costumer tidak dapat mencicipi produk itu sebelumnya,
pengelolaan produk wisata mengandung risiko besar (Muljadi, 2012:47).
Dalam setiap fase pengembangan, memerlukan komponen wisata., seperti
yang dinyatakan Inskeep (1991:38), bahwa di berbagai literatur dimuat
40
bermacam-macam komponen wisata. Namun ada beberapa komponen wisata yang
selalu ada dan merupakan komponen dasar dari wisata. Komponen-komponen
tersebut saling berinteraksi satu sama lain dan dapat dikelompokkan menjadi
empat, yang dikenal dengan 4A, yaitu Atraksi (Attraction) atau kegiatan-kegiatan
wisata. Kegiatan-kegiatan wisata yang dimaksud, dapat berupa semua hal yang
berhubungan dengan lingkungan alami, kebudayaan, keunikan suatu daerah dan
kegiatan-kegiatan lain yang berhubungan dengan kegiatan wisata yang menarik
wisatawan untuk mengunjungi sebuah obyek wisata seperti alam yang menarik,
kebudayaan daerah yang menawan dan seni pertunjukan.
Lebih lanjut Inskeep (1991:38) menyatakan bahwa selain atraksi,
aksessibilitas (accessibilities), yaitu sarana dan prasarana seperti; akses jalan,
transportasi lokal, adanya terminal, dan fasilitas komunikasi. Fasilitas (facilities),
adalah semua fasilitas yang dibutuhkan dalam kawasan wisata, termasuk tour and
travel operations (disebut juga pelayanan penyambutan). Fasilitas tersebut dapat
berupa restoran dan berbagai jenis tempat makan lainnya, toko-toko untuk
menjual hasil kerajinan tangan, cinderamata, toko-toko khusus. Ansileri
(ancillary), yaitu organisasi kepariwisataan (Ancillary services) yang dibutuhkan
untuk pelayanan wisata, antara lain Destination Management Organization
(DMO), conventional and visitor bureau.
Pernyataan Inskeep di atas, senada dengan pernyataan (Cooper, 1993)
yang juga menyebutkan bahwa elemen produk pariwisata dikenal dengan istilah 4
A, yaitu Atraksi, Aksesibilitas (transport lokal, terminal angkutan), Amenitas
41
(akomodasi, usaha penyedia makanan dan minuman, tempat hiburan, dan lain-
lain) dan ansileri yaitu berupa bentuk pelayanan pariwisata dari organisasi lokal.
Menurut Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009
tentang Kepariwisataan, yang dimaksud dengan daya tarik wisata adalah segala
sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, yang berupa keanekaragaman
kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau
tujuan kunjungan wisatawan. Sedangkan menurut tim penyusun RIPPDA
Kabupaten Timur Tengah Selatan Pusat Studi Pariwisata UGM 2003 yang dikutip
Ismaningrum (2005), menyatakan bahwa produk pariwisata merupakan komponen
penting dalam industri pariwisata, yang mencakup tiga aspek dan dikenal sebagai
triple A (Atraksi, Amenitas dan Aksesibilitas). Atraksi adalah objek yang
memiliki daya tarik untuk dilihat, ditonton, dinikmati yang layak dijual ke pasar
wisata. Seringkali atraksi ditafsirkan dalam dua komponen yakni sebagai objek
wisata (tourist object) dan atraksi wisata (tourist attraction). Atraksi wisata adalah
sesuatu yang dapat dilihat lewat pertunjukan dan seringkali membutuhkan
persiapan bahkan mengeluarkan biaya untuk menikmatinya. Berbeda dengan
objek wisata (tourist object) yang dapat disaksikan tanpa perlu persiapan.
Amenitas yaitu segala macam fasilitas yang menunjang kegiatan pariwisata,
seperti: rumah makan, hotel, café, sarana komunikasi, papan informasi, money
changer dan lain-lainnya. Bahkan sering kali diperlukan jasa asuransi khususnya
bagi tipe wisata yang memiliki resiko kecelakaan tinggi. Keberadaan dan
kelengkapan berbagai jenis fasilitas menjadi prasyarat mutlak bagi peningkatan
kunjungan wisatawan pada suatu objek wisata. Dengan kata lain, meskipun daya
42
tarik wisata yang dimiliki dinilai cukup bagus namun bila tidak memiliki jaminan
fasilitas yang memadai lambat laun tentu akan ditinggalkan wisatawan.
Aksesibilitas merupakan sarana dan prasarana yang menyebabkan wisatawan
dapat berkunjung ke destinasi yang diinginkan dengan mudah, aman, nyaman.
2.2.3 Agrowisata
Agrowisata merupakan salah satu produk wisata yang memanfaatkan
usaha agro sebagai objek wisata. Surat Keputusan bersama Menteri Pariwisata,
Pos dan Telekomunikasi, dan Menteri Pertanian No. KM.47/PW.DOW/MPPT-89
dan Nomor 204/KPTS/HK/0504/1989, agrowisata didefinisikan sebagai suatu
bentuk kegiatan yang memanfaatkan usaha agro mulai dari awal sampai dengan
produk pertanian dalam berbagai sistem, skala dan bentuk sebagai objek wisata
dengan tujuan untuk memperluas pengetahuan, pengalaman rekreasi dan
hubungan usaha di bidang pertanian. Sedangkan Goodwin (1998), menyatakan
agrowisata sebagai suatu kegiatan yang secara sadar ingin menempatkan sektor
primer (pertanian) dikawasan sektor tersier (pariwisata), agar perkembangan
sektor primer dapat lebih dipercepat, dan petani memperoleh peningkatan
pendapatan dari pariwisata yang memanfaatkan kegiatan sektor pertanian tersebut.
Agrowisata dikatakan sebagai kegiatan yang memihak pada masyarakat miskin.
Ismayanti (2010:156-159, menyatakan agrowisata merupakan salah satu
bentuk wisata minat khusus, selain wisata olahraga, wisata kuliner, wisata
religious, wisata goa, wisata belanja, dan wisata ekologi Sedangkan Muljadi
(2012:59), menyatakan bahwa yang merupakan kelompok pengusahaan objek dan
daya tarik wisata minat khusus selain wisata agro adalah wisata buru, wisata tirta,
43
wisata petualangan alam, wisata goa, wisata kesehatan, tempat budaya, industri,
dan kerajinan. Melalui pengembangan agrowisata yang menonjolkan budaya lokal
dalam memanfaatkan lahan, dapat meningkatkan pendapatan petani, melestarikan
sumber daya lahan, serta memelihara budaya (culture) maupun teknologi lokal
yang umumnya telah sesuai dengan kondisi lingkungan alaminya (Sugeng, 2004).
Agrowisata tidak hanya memanfaatkan keindahan alam dan
keanekaragaman kegiatan pertanian, tetapi banyak tercipta model-model
agrowisata yang memanfaatkan objek-objek pertanian tertentu, seperti agrowisata
hortikultura, agrowisata tanaman perkebunan, ataupun varian kebun-kebun
perkebunan adalah contoh dari sekian banyak agrowisata yang dapat
dikembangkan (Departemen Pertanian RI, 2009). Hal yang senada juga
dinyatakan oleh Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus dan Tertinggal
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2004), bahwa agrowisata memiliki
pengertian yang sangat luas, dalam banyak hal sering kali berisikan ekowisata.
Ekowisata dan agrowisata memiliki banyak persamaan, terutama karena keduanya
berbasis pada sumber daya alam dan lingkungan. Di beberapa negara agrowisata
dan ekowisata dikelompokkan dalam satu pengertian dan kegiatan yang sama,
agrowisata merupakan bagian dari ekowisata.
Agrowisata dapat dikelompokkan ke dalam wisata ekologi (eco-tourism)
yaitu kegiatan perjalanan wisata dengan tidak merusak atau mencemari alam
dengan tujuan untuk mengagumi dan menikmati keindahan alam, hewan atau
tumbuhan liar di lingkungan alaminya serta sebagai sarana pendidikan
(Departemen Pertanian RI, 2012). Hal yang selaras dinyatakan oleh Rai Utama
44
(2007), bahwa agrowisata menganut falsafah ekowisata sehingga sangat beralasan
dijadikan jalan terbaik untuk mewujudkan pariwisata yang berkualitas, dan
merupakan jenis wisata yang didukung oleh masyarakat tani, sehingga dari sisi
penawaran para petani siap dengan produknya dan wisatawan mengharapkan
suguhan produk yang ditawarkan oleh para petani. Proses produksi agrowisata
terjadi ketika terjadi “perkunjungan” yang mempertemukan antara penawaran dan
permintaan.
Departemen Pertanian RI (2012) menyatakan bahwa kecenderungan
masyarakat modern dalam memenuhi kebutuhan hidup melakukan kegiatan
mengunjungi dan menikmati obyek-obyek yang mempunyai kekhususan (spesifik
lokasi) seperti keindahan alam, udara segar, tradisi yang unik, produk olahan
tradisional, produk pertanian segar menunjukkan kemajuan yang sangat pesat.
Kecenderungan ini merupakan signal tingginya permintaan akan agrowisata dan
sekaligus membuka peluang bagi pengembangan produk-produk agribisnis, baik
dalam bentuk kawasan ataupun produk pertanian yang memiliki daya tarik
spesifik. Hamparan areal pertanaman yang luas seperti areal perkebunan dan
hortikultura, disamping menyajikan pemandangan dan udara segar, juga
merupakan media pendidikan bagi masyarakat dalam dimensi yang sangat luas,
mulai dari pendidikan tentang usaha di bidang perkebunan atau hortikultura
tersebut, sampai pendidikan tentang keharmonisan dan kelestarian alam.
Agrowisata didefinisikan sebagai suatu bisnis yang dilakukan oleh para
petani yang bekerja di sektor pertanian bagi kesenangan dan edukasi para
pengunjung. Agrowisata juga dinyatakan sebagai salah satu bentuk dari rural
45
tourism yang menawarkan kegiatan pertanian sebagai daya tarik wisata serta
melibatkan penduduk lokal dalam perencanaan hingga pengelolaan kawasan
agrowisata (Andini, 2013). Hal senada dinyatakan Rai Utama (2012), bahwa
agrowisata merupakan salah satu usaha bisnis dibidang pertanian yang
menekankan penjualan jasa kepada konsumen.
Lucian (2012) mendefinisikan agrowisata sebagai kegiatan ekonomi yang
terjadi ketika orang mencoba untuk membangun hubungan antara kegiatan
perjalanan, produk pertanian dan jasa makanan. Tirtawinata dkk. (1999)
menyatakan ada lima manfaat agrowisata atau agrotourism yaitu (a)
meningkatkan konservasi lingkungan, (b) meningkatkan nilai estetika dan
keindahan alam, (c) memberi nilai rekreasi, (d) meningkatkan kegiatan ilmiah dan
pengembangan ilmu pengetahuan, dan (e) mendapatkan keuntungan ekonomi.
Dalam Peraturan Daerah Kabupaten Gianyar Nomor 16 Tahun 2012
tentang RTRW, Agrowisata didefinisikan sebagai kegiatan perjalanan yang
dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi kawasan
pertanian untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari
keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara.
Agrowisata dalam penelitian ini didefinisikan sebagai sebuah bentuk
kegiatan pariwisata yang memanfaatkan potensi alam, pertanian (agro), budaya,
dan aktivitas masyarakat pedesaan sebagai daya tarik wisata, dengan tujuan untuk
memperluas pengetahuan, pengalaman, area rekreasi, dan hubungan usaha
agribisnis pedesaan. Agrowisata dikembangkan berdasarkan konsep
pengembangan wilayah, melalui pemanfaatan potensi alam, pertanian, budaya,
46
dan aktivitas masyarakat lokal dan mengacu pada prinsip-prinsip pembangunan
pariwisata berkelanjutan.
Pengembangan Agrowisata Desa Kerta diharapkan dapat memacu
pertumbuhan dan perkembangan usaha-usaha agribisnis, mendorong peningkatan
kuantitas dan kualitas sumber daya manusia, penguatan kelembagaan pertanian,
sosial-budaya, dan ekonomi, membuka kesempatan berusaha seluas-luasnya bagi
masyarakat setempat dan sekitarnya. Selain itu, pengembangan Agrowisata Desa
Kerta, juga diharapkan mampu menjaga kelestarian alam, kekayaan sumberdaya
alam hayati (pertanian), budaya, dan aktivitas masyarakat lokal.
2.2.4 Agropolitan
Agropolitan terdiri dari kata Agro (pertanian) dan Politan (polis yang
berarti kota), sehingga agropolitan dapat diartikan sebagai kota pertanian yang
tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis serta
mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan
pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya. Nugroho (2008:174-186) menyatakan
bahwa agropolitan adalah hasil pendekatan terhadap teori-teori pembangunan
yang berbasis pada sektor pertanian, atau pembangunan wilayah pertanian.
Konsep pengembangan agropolitan pertama kali diperkenalkan
McDouglass dan Friedmann (1975) sebagai siasat untuk pengembangan
perdesaan. Meskipun termaksud banyak hal dalam pengembangan agropolitan,
seperti redistribusi tanah, namun konsep ini pada dasarnya memberikan pelayanan
perkotaan di kawasan perdesaan atau dengan istilah lain yang digunakan oleh
Friedmann adalah kota di ladang. Friedmann dan Douglass (1975) mengusulkan
47
konsep Agropolitan sebagai alternatif untuk pembangunan daerah. Konsep sangat
bergantung pada pengembangan pusat pertumbuhan kota, yang terletak di dalam
5-10 kilometer atau satu jam bersepeda dari pedalamannya. Konsep ini
memungkinkan leveraging investasi karena lebih dari satu desa yang terlibat dan
investasi dapat difokuskan pada Desa Pusat Pertumbuhan (DPP) yang paling
mudah diakses, sehingga tangkapan juga optimal.
Pranoto (2005), menyatakan bahwa konsep pengembangan kawasan
agropolitan muncul dari permasalahan adanya ketimpangan pembangunan
wilayah antara kota sebagai pusat kegiatan dan pertumbuhan ekonomi dengan
wilayah pedesaan sebagai pusat kegiatan pertanian tertinggal. Proses interaksi
kedua wilayah tersebut, secara fungsional ada dalam posisi saling memperlemah.
Wilayah pedesaan dengan kegiatan utama sektor primer, khususnya pertanian,
mengalami permasalahan produktivitas yang signifikan, sedangkan di sisi lain,
wilayah perkotaan sebagai tujuan pusat pertumbuhan menerima beban berlebih,
sehingga memunculkan ketidaknyamanan akibat permasalahan sosial dan
lingkungan.
Agropolitan sebagai salah satu konsep diharapkan dapat menjadi arah
kebijakan pembangunan wilayah sehingga pembangunan fisik yang dilaksanakan
tanpa mengorbankan kepentingandan kebutuhan masyarakat di desa, sehingga
masyarakat dapat menikmati hasil pembangunan dengan disertai peningkatan
kesejahteraan keluarganya. Melalui pendekatan agropolitan pembanguan wilayah
semestinya dapat membawa kemajuan wilayah tanpa mengabaikan kelestarian
48
lingkungan, budaya, tradisi dengan disertai inovasi-inovasi bisnis yang terarah dan
berkelanjutan (Toekidjo, 2011).
Pengembangan kawasan agropolitan merupakan konsep pengembangan
wilayah yang berbasis pertanian dengan tujuan untuk mempercepat pembangunan
di kawasan perdesaan. Menurut Pranoto dkk., (2005), pengembangan agropolitan
(pengembangan wilayah berbasis agro) diharapkan dapat memberikan dampak
positif dalam upaya untuk memberdayakan masyarakat pedesaan, mengurangi
kemiskinan, dan mendukung kegiatan ekonomi pedesaan yang berorientasi
lingkungan. Menurut Ide Agropolitan dipandang mampu menjawab tantangan
pemerataan pembangunan dan pembangunan berkelanjutan yang merupakan salah
satu pendekatan pembangunan perdesaan berbasis pertanian dalam artian luas
dengan menempatkan ”kota-tani” sebagai pusat kawasan dengan segala
ketersediaan sumberdayanya, sebagai modal tumbuh dan berkembangnya kegiatan
saling melayani dan mendorong usaha agrobisnis antar desa-desa kawasan
(interland) dan desa-desa sekitarnya.
Pemerintah Indonesia mengadopsi konsep ini dalam pembangunan
pedesaan pada tahun 2002, dengan fokus khusus pada pembangunan infrastruktur
seperti jalan pedesaan, pasar dan irigasi (Rustiadi, 2004). Program ini mengikuti
"perdagangan mengikuti kapal" prinsip, di mana penyediaan infrastruktur
mendahului permintaan dan diharapkan dapat mendorong kegiatan ekonomi dan
konsentrasi distribusi pasca-pertanian di pusat pertumbuhan dengan desa-desa
pedalaman sehingga skala ekonomi dapat direalisasikan.
49
2.2.5 Pariwisata Berkelanjutan
Pembangunan pariwisata berkelanjutan merupakan pembangunan yang
mampu memenuhi kebutuhan wisatawan saat ini, sambil melindungi dan
mendorong kesempatan untuk waktu yang akan datang. Mengarah pada
pengelolaan seluruh sumber daya sedemikian rupa sehingga kebutuhan ekonomi,
sosial dan estetika dapat terpenuhi sambil memelihara integritas kultural, proses
ekologi esensial, keanekaragaman hayati dan sistem pendukung
kehidupan. Produk pariwisata berkelanjutan dijalankan secara harmonis dengan
lingkungan lokal, masyarakat dan budaya masyarakat, sehingga mereka menjadi
penerima keuntungan yang permanen dan bukan korban pembangunan pariwisata
(Anonim, 2004).
Konsep pariwisata berkelanjutan, pada mulanya diperkenalkan oleh World
Commission on Environment and Development dengan melengkapi Sustainable
Tourism dengan kata Development sehingga menjadi Sustainable Tourism
Development, yang dapat diartikan bahwa dalam pembangunan kita hendaknya
jangan menghabiskan atau menguras sumber daya pariwisata untuk jangka waktu
pendek, tetapi harus memperhatikan kelanjutan pembangunan pariwisata jangka
panjang di waktu yang akan datang (Yoeti, 2008:242).
Suwantoro (1997:88-89), menyatakan bahwa dalam pengembangan
pariwisata berkelanjutan harus memperhatikan prinsip-prinsip harus dibantu oleh
proses perencanaan dan partisipasi masyarakat; harus ada kepastian,
kesinambungan, ada sasaran ekonomi, sosial budaya, dan masyarakat; hubungan
antara pariwisata, lingkungan dan budaya harus dikelola sedemikian rupa
50
sehingga lingkungan dapat lestari untuk jangka panjang; aktivitas pariwisata tidak
boleh merusak dan menghasilkan dampak yang tidak dapat diterima oleh
masyarakat; pengembangan pariwisata tidak boleh tumbuh terlalu cepat dan
berskala kecil atau sedang; pola lokasi harus ada keharmonisan antara hubungan
wisatawan, tempat dan masyarakat setempat; keberhasilan pada setiap aktivitas
tergantung pada keharmonisan antara pemerintah, masyarakat setempat, dan
industri pariwisata; pendidikan yang mengarah pada sosio-kultural pada setiap
tingkatan masyarakat yang berkaitan dengan aktivitas pariwisata, termasuk juga
perilaku wisatawan harus serius diorganisasikan; peraturan perundang-undangan
yang secara pasti melindungi budaya harus dikeluarkan dan dilaksanakan
sekaligus merevitalisasinya; investor dan wisatawan harus dididik untuk
menghormati kebiasaan, norma dan nilai-nilai setempat, sedangkan hal-hal yang
menimbulkan dampak negatif dihindarkan dan dampak positifnya dimanfaatkan.
Menurut Yaman dan Mohd (2004, dalam Parma 2010), pembangunan
pariwisata berkelanjutan ditandai dengan adanya empat kondisi, yaitu anggota
masyarakat harus berpartisipasi dalam proses perencanaan dan pembangunana
pariwisata; pendidikan bagi tuan rumah, pelaku industri dan
pengunjung/wisatawan; kualitas habitat kehidupan liar, penggunaan energi dan
iklim mikro harus dimengerti dan didukung; investasi pada bentuk-bentuk
transportasi alternatif.
Indikator yang dikembangkan pemerintah RI tentang pembangunan
pariwisata berkelanjutan (Agenda 21 sektoral, 2000) adalah kesadaran tentang
tanggung jawab terhadap lingkungan, bahwa strategi pembangunan pariwisata
51
berkelanjutan harus menempatkan pariwisata sebagai green industry (industri
yang ramah lingkungan), yang menjadi tanggungjawab pemerintah, industri
pariwisata, masyarakat dan wisatawan; peningkatan peran pemerintah daerah
dalam pembangunan pariwisata; kemantapan/keberdayaan industri pariwisata
yaitu mampu menciptakan produk pariwisata yang bisa bersaing secara
internasional, dan mensejahterakan masyarakat di tempat tujuan wisata; kemitraan
dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan pariwisata yang bertujuan
menghapus/meminimalisir perbedaan tingkat kesejahteraan wisatawan dan
masyarakat di daerah tujuan wisata untuk menghindari konflik dan dominasi satu
sama lain. Hal ini juga didukung dengan memberi perhatian/pengembangan usaha
skala kecil oleh masyarakat lokal.
Menurut Indrawati (2010:121-122) penekanan pariwisata berkelanjutan
terfokus pada tiga hal, yaitu (1) kualitas yang menyangkut kualitas pelayanan
kepada wisatawan, peningkatan kualitas atau taraf hidup masyarakat lokal, dan
peningkatan kualitas alam yang dijadikan sebagai objek atau daya tarik wisata; (2)
kelestarian sumber daya alam dan kelestarian budaya-budaya masyarakat lokal;
dan (3) keseimbangan kebutuhan industri pariwisata, lingkungan, dan masyarakat
lokal agar tercipta tujuan dan kerjasama yang saling menguntungkan di antara
para steakholder dan destinasi pariwisata. Pariwisata berkelanjutan dapat
diwujudkan dengan cara mensinergikan berbagai unsur-unsur atau komponen-
komponen pariwisata (Anom, 2010:13).
52
2.3 Landasan Teori
Penelitian ini menggunakan tiga Teori sebagai landasan, yaitu Teori Siklus
Hidup Destinasi Wisata (Destination Life Cycle), Teori Sistem, dan Teori
Perencanaan. Teori Siklus Hidup Destinasi Wisata (Destination Life Cycle) dalam
penelitian ini dipergunakan untuk mengetahui dan memahami perkembangan
Agrowisata Desa Kerta sebagai produk pariwisata dan destinasi pariwisata. Teori
Sistem dalam penelitian ini dipergunakan untuk mengetahui faktor internal dan
eksternal, hubungan antara unsur-unsur yang terkait dan unsur-unsur yang tidak
terkait, yang mempengaruhi pengembangan Agrowisata Desa Kerta sebagai
pariwisata berkelanjutan di Kawasan Agropolitan Payangan Kabupaten Gianyar.
Sedangkan Teori Perencanaan dipergunakan untuk merumuskan strategi
pengembangan Agrowisata Desa Kerta sebagai pariwisata berkelanjutan di
Kawasan Agropolitan Payangan Kabupaten Gianyar. Strategi yang dirumuskan,
dijabarkan menjadi program, untuk menciptakan daya tarik agrowisata yang
berkualitas, bermanfaat ganda dan berkelanjutan.
2.3.1 Teori Siklus Hidup Destinasi Wisata
Dalam pengembangan pariwisata, baik pengembangan destinasi
pariwisata, kawasan pariwisata ataupun daya tarik wisata pada umumnya
mengikuti alur siklus hidup destinasi wisata (destination lifecycle). Dalam
pengembangan destinasi wisata, perlu diketahui posisi atau fase dari destinasi
wisata tersebut, hal ini karena pada setiap fase destinasi wisata memerlukan
strategi pengembangan yang berbeda. Menurut Pitana dan Surya Diarta
(2013:131), tujuan utama penggunaan model siklus hidup destinasi (destination
53
lifecycle model) adalah sebagai alat untuk memahami evolusi dari produk dan
destinasi pariwisata. Destinasi pariwisata berjalan menurut siklus evolusi yang
terdiri dari tahap pengenalan (introduction), pertumbuhan (growth), pendewasaan
(maturity), penurunan (decline), dan/atau peremajaan (rejuvenation). Lebih lanjut
dinyatakan bahwa ada beberapa keterbatasan penggunaan model siklus hidup
destinasi wisata, yaitu (1) kesulitan dalam mengidentifikasi kapan satu tahapan
siklus berakhir dan kapan tahapan berikutnya dimulai; (2) model tersebut tidak
dapat dilihat sebagai alat perencanaan yang reliabel; dan (3) model in tidak dapat
berjalan secara mandiri dan independen, tanpa terpengaruh faktor luar sehingga
tidak boleh menjadi pegangan satu-satunya dalam pengambilan keputusan.
Model siklus hidup destinasi (destination lifecycle) yang mengacu pada
pendapat Butler (1980) yang dikutip dari Richardson dan Fluker, 2004:53), ada
tujuh fase pengembangan pariwisata, yang membawa dampak (implikasi) yang
berbeda, yakni sebagai berikut.
1. Fase exploration (penemuan). Daerah pariwisata baru mulai ditemukan,
dikunjungi secara terbatas dan sporadis, khususnya bagi wisatawan
petualang. Intensitas kontak antara wisatawan dengan masyarakat lokal
sangat tinggi serta dampak sosial, budaya dan ekonomi masih sangat kecil.
2. Fase involvement (keterlibatan). Fase ini, sebagian masyarakat lokal mulai
menyediakan fasilitas pariwisata untuk wisatawan, seiring meningkatnya
jumlah kunjungan dan mulai adanya promosi. Kontak antara wisatawan
dengan masyarakat lokal masih rendah dan masyarakat mulai mengubah
pola-pola sosial yang ada, untuk merespon perubahan ekonomi yang terjadi.
54
3. Fase development (pembangunan). Investasi dari luar mulai masuk, mulai
munculnya pasar wisata secara sistematis, daerah semakin terbuka secara
fisik, dan promosi semakin intensif. Fasilitas lokal sudah tersisih dan
digantikan oleh fasilitas yang berstandar internasional, dan atraksi buatan
dikembangkan untuk menambahkan atraksi yang asli dan alami. Berbagai
barang dan jasa impor termasuk tenaga kerja asing, untuk mendukung
perkembangan pariwisata yang pesat.
4. Fase consolidation (konsolidasi). Pariwisata sudah dominan dalam struktur
ekonomi daerah, dan dominasi ekonomi ini dipegang oleh jaringan
internasional atau major chains and franchises. Jumlah kunjungan
wisatawan masih naik, tetapi pada tingkat yang lebih rendah. Pemasaran
semakin gencar dan diperluas untuk mengisi fasilitas yang sudah dibangun.
Fasilitas lama sudah mulai ditinggalkan.
5. Fase stagnation (kestabilan). Kapasitas berbagai faktor sudah terlampaui,
sehingga menimbulkan masalah ekonomi, sosial dan lingkungan. Kalangan
industri sudah mulai bekerja keras untuk memenuhi kapasitas dari fasilitas
yang dimiliki, khususnya dengan mengharapkan repeaterguest dan wisata
konvensi/bisnis. Pada fase ini, atraksi buatan sudah mendominasi atraksi asli
alami (baik budaya maupun alam), citra awal sudah mulai luntur, dan
destinasi sudah tidak lagi populer.
6. Post-stagnation, yang terdiri dari dua fase, yaitu fase decline (penurunan)
dan fase rejuvenation (peremajaan). Fase decline, wisatawan tertarik dengan
destinasi lain yang baru. Fasilitas pariwisata digantikan oleh fasilitas non
55
pariwisata. Atraksi wisata menjadi kurang menarik dan fasilitas pariwisata
menjadi kurang bermanfaat. Keterlibatan masyarakat mungkin meningkat
seiring penurunan harga fasilitas pariwisata dan pasar wisatawan. Kualitas
destinasi mengalami degradasi, kumuh dan fasilitasnya tidak berfungsi
sebagai penunjang aktivitas pariwisata. Fase rejuvenation, merupakan
inovasi dan pengembangan produk baru, atau menggali atau memanfaatkan
sumber daya alam dan budaya yang sebelumnya.
Teori Siklus hidup destinasi wisata (destination lifecycle), dipergunakan
untuk mengetahui posisi atau fase perkembangan Agrowisata Desa Kerta saat ini,
agar dapat dirumuskan strategi pengembangan yang tepat, terpadu dan
komprehensif. Siklus hidup destinasi wisata (destination lifecycle) dapat dilihat
pada Gambar 2.1.
Rejuvenation
Immediate decline
Reduced growth
Decline
Stabilization Stagnation
Consolidation
Involvement
Development
Gambar 2.1
Model Siklus Hidup Destinasi (Butler, 1980)
Time
Exploration
Number
of
Tourists
56
2.3.2 Teori Sistem
Teori Sistem dicetuskan oleh seorang ahli biologi yang bernama
Bertalanffy. Bertalanffy menyatakan bahwa untuk menjelaskan dan memahami
bahan kajian secara komprehensif, orang harus mengintegrasikan fakta-fakta
ilmiah dari berbagai spesialisasi atau bidang lain. Bertalanffy memformulasikan
teori dari sebuah sistem secara umum yang dapat diterapkan pada semua kajian
ilmu (Leiper dalam Pitana dan Surya Diarta, 2009:56-57). Lebih lanjut dinyatakan
bahwa salah satu keunggulan cara berpikir sistem adalah kemampuannya untuk
mengklarifikasi dan menyederhanakan persoalan yang kelihatannya kompleks.
Kecendrungan cara berpikir sistem ini juga diterapkan dalam studi pariwisata di
mana kompleksitas persoalan harus dihadapi bagi setiap orang yang berusaha
memahami pariwisata secara komprehensif.
Gunawan dalam Prasiasa (2013:21) menyatakan bahwa jika destinasi
pariwisata dikatagorikan sebagai sebuah sistem, maka akan terdapat tiga karakter
yang penting, yaitu (1) hirarki, artinya ada destinasi utama dan ada destinasi
penunjang, ada yang besar dan ada yang kecil skalanya; tidak semua destinasi
lokal mempunyai posisi yang sama, (2) struktur, artinya ada pintu gerbang
(internasional atau regional), ada staging area, dan ada touristic area dengan daya
tariknya; dilihat dari sisi lain, ada kota besar, kota kecil, pedesaan, atau kawasan
wisata yang mengalami urbanisasi, dan (3) jejaring, hubungan keterkaitan antara
destinasi dengan origin, tempat asal wisatawan, dan jejaring hubungan
antaradestinasi. Hubungan ini dapat diartikan sebagai hubungan fisik (prasarana
penghubung) dan jejaring nonfisik.
57
Cara berpikir sistem dalam pariwisata adalah melihat pariwisata sebagai
suatu aktivitas yang kompleks, yang dapat dipandang sebagai suatu sistem yang
besar, yang mempunyai berbagai komponen, seperti politik, ekonomi, sosial,
budaya, ekologi, dan seterusnya. Melihat pariwisata sebagai sebuah sistem berarti
analisis mengenai berbagai aspek kepariwisataan tidak bisa dilepaskan dari
subsistem yang lain, seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, dan seterusnya,
dalam hubungan saling ketergantungan dan saling terkait (interconnectedness).
Sebagai sebuah sistem, antar komponen dalam sistem tersebut terjadi hubungan
interdependensi, yang berarti bahwa perubahan pada salah satu subsistem akan
menyebabkan terjadinya perubahan pada subsistem lain sampai akhirnya kembali
ditemukan harmoni yang baru (Pitana dan Surya Diarta, 2009:57).
Mill dan Morrison (1985:3) menyatakan bahwa “the tourism system is like
a spider’s web-touch one part and rever-berations are felt throughout the
system”. Sistem pariwisata adalah seperti sarang laba-laba, apabila disentuh satu
bagian sistem, maka akan mempengaruhi seluruh sistim“. Leiper dan Cooper, et
all., dalam Pitana dan Surya Diarta (2013:58), menyatakan bahwa elemen-elemen
dari sebuah sistem pariwisata yang sederhana yang menyangkut sebuah
daerah/negara asal wisatawan, sebuah daerah/negara tujuan wisata, dan sebuah
tempat transit serta sebuah generator yang membalik proses tersebut. Model
sederhana sistem pariwisata mengandung lima elemen pokok, yaitu traveler-
generating region, departing traveler, transit route region, tourist-destination
region, dan returning traveler. Namun inti dari kelima elemen tersebut,
menyangkut tiga hal pokok, yaitu elemen wisatawan, tiga elemen geografis
58
(traveler-generator, transit route dan tourist-destination dan elemen industri
pariwisata. Model sederhana sistem pariwisata dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Environment; Human, Socio-cultural, ekonomical, technological, physical
Political, legal, etc.
Gambar 2.2
Model Sederhana Sistem Pariwisata (Leiper, 1990)
Menurut Pitana dan Gayatri (2005), ada banyak aktor yang berperan dalam
menggerakkan sistem pariwisata. Aktor adalah insan-insan pariwisata yang ada
pada berbagai sektor. Secara umum, insan pariwisata dikelompokkan menjadi tiga
pilar utama, yaitu masyarakat, pemerintah, dan swasta. Masyarakat adalah
masyarakat umum yang ada pada destinasi, sebagai pemilik sah dari berbagai
sumber daya yang merupakan modal pariwisata.
Cooper, Fletcher, Gilpert, dan Wanhill yang dikutip Pitana dan Surya
Diarta (2009:60-61), menyatakan bahwa ada beberapa keunggulan penggunaan
pendekatan model sisitem pariwisata Leiper antara lain kemampuannya untuk
memadukan pendekatan interdisiplin dalam mempelajari pariwisata, kemampuan
model untuk dipakai dalam berbagai skala dan level penerapannya mulai dari
level sebuah resort lokal sampai pada sebuah industri pariwisata bertarap
Travelers-
generating region
Transit route region
Tourist-
destination region
Departing Travelers
Returning Travelers
59
internasional, sangat fleksibel dan memungkinkan mewakili beragam bentuk
pariwisata dengan kemampuanya memilah dan menganalisis elemen-elemen
utama dari beragam bentuk pariwisata, dan memiliki kemampuan
menggambarkan prinsip-prinsip dalam studi pariwisata, di mana semua elemen
dari pariwisata saling berhubungan dan berinteraksi.
Pernyataan Mathieson dan Wall (1982) yang dikutip Pitana dan Surya
Diarta (2009:61), menyatakan bahwa sistem pariwisata secara sederhana
dibedakan menjadi tiga elemen, yaitu (1) elemen dinamik, yaitu perjalanan
wisatawan, (2) elemen statik, yaitu keberadaan destinasi, dan (3) elemen
konsekuensial, yaitu berbagai dampak yang timbul, seperti dampak ekonomi,
sosial-budaya, dan lingkungan. Menurut Mill dan Morrison (1985), sebuah sistem
pariwisata terdiri dari empat komponen utama, yakni (1) market (reaching teh
marketplace), (2) travel (the purchase of travel products), (3) destination (the
shape of travel demand), dan (4) marketing (the selling of travel.
2.3.3 Teori Perencanaan
Perencanaan merupakan terjemahan dari kata planning, secara umum
pengertianya adalah pengorganisasian masa depan untuk mencapai tujuan tertentu
(Inskeep, 1991:25). Sedangkan Paturusi (2008:8), menyatakan bahwa
perencanaan (planning) merupakan suatu kegiatan berpikir yang lingkupnya
menyeluruh dan mencakup bidang yang sangat luas, komplek, dan berbagai
komponennya saling kait mengkait. Dalam proyeksi ke masa depan, perencanaan
mengandung pengertian upaya peningkatan atau penurunan suatu kondisi yang
ada pada saat ini. Peningkatan/penurunan ini harus dilandasi oleh pertimbangan
60
ilmiah untuk mencapai hasil yang berhasil guna dan berdaya guna. Lebih lanjut
dinyatakan tentang syarat-syarat perencanaan, yaitu logis, bisa dimengerti dan
sesuai dengan kenyataan yang berlaku; luwes (fleksibel) dan tanggap mengikuti
dinamika perkembangan; obyektif, didasari tujuan dan sasaran yang dilandasi
pertimbangan bersistem dan ilmiah; realistis, dapat dilaksanakan, memiliki
rentang rencana jangka panjang, menengah, dan pendek.
Dalam rangka mengembangkan sebuah destinasi pariwisata, seorang
perencana (tourism planner) paling tidak harus memperhatikan dua lingkup
pengembangan yang saling melengkapi, yaitu lingkup pengembangan spasial dan
tingkatan pengembangan dari destinasi tersebut. Lingkup pengembangan spasial
adalah keharusan seorang perencana pengembangan destinasi untuk memahami
dan memperhatikan latar belakang kontekstual atau lingkungan makro dari
destinasi yang akan dikembangkan tersebut. Strategi pengembangan keseluruhan
komponen destinasi harus sesuai dengan konteks lingkungan makronya (Sunaryo,
2013:168). Suatu destinasi yang terletak pada wilayah pertanian atau perkebunan
akan membutuhkan pengembangan, thema daya tarik wisata yang berbasis pada
pertanian (agro tourism), pengembangan akomodasi yang bercirikan masyarakat
pedesaan serta pengembangan masyarakat yang berbasis nilai budaya pertanian.
Sedangkan yang dimaksud dengan strategi Tingkatan Pengembangan
Destinasi adalah suatu cara pandang atau perspektif perencanaan pengembangan
destinasi yang harus berpandangan secara holistik dan menyeluruh, mulai dari
tingkatan strategi perencanaan makro dalam dimensi kerangka waktu jangka
panjang, ke lingkup perencanaan jangka menengah, sampai dengan lingkup
61
perencanaan tingkap operasional, yang meliputi program-program aksi jangka
pendek, termasuk business plan dan pengendalianya, yang harus dilakukan oleh
organisasi atau lembaga yang diberi kewenangan untuk mengelola destinasi
(Destination Management Organization).
Menurut Richardson & Fluker (2004:241) yang dikutip Pitana dan Surya
Diarta (2009:108-111), menyatakan bahwa untuk tercapainya sebuah perencanaan
yang sistematis diperlukan sebuah proses perencanaan strategis (the strategic
planning process). Perencanaan strategis merupakan “...the managerial process of
matching an organisation’s resources and abilities with its business opportunities
over the long term. It consists of defining the organisation’s mission and
determining an overall goal, acquiring relevant knowledge and analysing it, then
setting objectives and the strategies to achieve them”. Umumnya perencanaan
strategis dalam pariwisata terdiri dari beberapa tahapan, yaitu menentukan
bisnis/usaha apa yang akan dimasuki, yang biasanya dicirikan oleh misi organisasi
yang tergantung pada jenis usaha yang dimasuki, menentukan tujuan organisasi
yang akan dicapai, yang merupakan tujuan utama organisasi, mengumpulkan
informasi dan pengetahuan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan,
menganalisis informasi, terutama yang berkaitan dengan kekuatan, kelemahan,
peluang, dan tantangan dari organisasi, menentukan tujuan khusus yang
menentuakan aktivitas yang diperlukan dalam rangka mewujudkan tujuan
organisasi secara keseluruhan, menentukan strategi dalam mewujudkan tujuan
yang telah ditentukan, mendidtribusikan sumber daya ke masing-masing program
aksi untuk memberikan dampak pada strategi yang diambil,
62
mengimplementasikan rencana, mengontrol serta memonitor hasil dan membuat
perbaikan jika diperlukan.
Untuk mengoptimalkan keuntungan dari pengembangan pariwisata,
diperlukan suatu perencanaan yang baik dan matang. Tujuan ini hanya dapat
dicapai jika direncanakan dengan baik dan terintegrasi dengan perencanaan
pembangunan nasional secara keseluruhan. Inskeep (1991:29), menyatakan bahwa
dalam perencanaan pariwisata ada delapan model pendekatan, yang dapat
dilakukan, yaitu pendekatan berkesinambungan, incremental, fleksibel
(continuous, incremental, flexibel approach), pendekatan sistem (system
approach), pendekatan menyeluruh (comprehensive approach), sering disebut
sebagai pendekatan holistik, seperti pada pendekatan sistem seluruh aspek yang
terkait dalam perencanaan pariwisata mencakup institusi, lingkungan dan
implikasi sosial ekonominya dianalisis dan direncanakan secara menyeluruh,
pendekatan terintegrasi (integrated approach), pendekatan pembangunan yang
berwawasan lingkungan dan berkelanjutan (environmental and sustainable
development approach), pendekatan swadaya masyarakat (community approach),
pendekatan inplementasi (implemenable approach), penerapan proses
perencanaan yang sistematik (application of systematic planning proses).
2.4 Model Penelitian
Bali merupakan daerah tujuan wisata yang sangat popular di dunia yang
banyak dikunjungi oleh wisatawan mancanegara karena keanekaragaman budaya,
atraksi budaya, daya tarik alam, keramahtamahan maupun wisata pertaniannya
(agrowisata). Bali juga sering dijadikan tempat penyelenggaraan even-even
63
Internasional karena kondisi keamanan yang kondusif dan terjamin. Namun
pesatnya perkembangan pariwisata Bali dan seiring perjalanan waktu, timbul
perbedaan pandangan dan persepsi atas dampak negatif pengembangan pariwisata
massal (mass tourism).
Dalam upaya mengurangi dampak negatif dari pariwisata masal yang
selama ini dikembangkan, pemerintah, pelaku dan pengusaha pariwisata maupun
masyarakat berupaya mengembangkan pariwisata alternatif yang diyakini dapat
mengurangi dampak negatif dari kegiatan pariwisata masal tersebut.
Pengembangan pariwisata alternatif merupakan cara bijaksana untuk mewujudkan
pembangunan pariwisata yang berkualitas dan berkelanjutan. Agrowisata
merupakan salah satu model pariwisata alternatif, yang lebih mengedepankan
pemerdayaan masyarakat, kelestarian alam dan lingkungan serta memiliki
motivasi untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat petani.
Pengembangan agrowisata diharapkan sesuai dengan kapabilitas, tipologi
dan fungsi ekologis lahan, sehingga akan berpengaruh langsung terhadap
kelestarian sumber daya lahan dan pendapatan petani serta masyarakat sekitarnya.
Aktivitas agrowisata secara tidak langsung akan meningkatkan persepsi positif
petani dan masyarakat sekitarnya, akan arti penting pelestarian sumber daya lahan
pertanian (Rai Utama (2014:9). Lebih lanjut dinyatakan bahwa pengembangan
agrowisata pada hakekatnya mempunyai tujuan ganda termasuk mempromosikan
produk pertanian Indonesia, meningkatkan volume penjualan, membantu
meningkatkan perolehan devisa, membantu meningkatkan pendapatan petani
64
nelayan dan masyarakat sekitar serta meningkatkan jenis dan variasi produk
pariwisata Indonesia.
Seiring pesatnya perkembangan pariwisata di Kabupaten Gianyar,
Pemerintah Daerah telah mengambil sebuah kebijakan pembangunan melalui
pembagian zona pengembangan berdasarkan potensi wilayah. Peraturan Daerah
(Perda) Kabupaten Gianyar Nomor 16 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Kabupaten Gianyar, merupakan salah satu rambu-rambu
(landasan hukum) dalam pengembangan potensi wilayah bagi Pemerintah Daerah,
masyarakat maupun swasta (pelaku dan pengusaha pariwisata). Perda tersebut,
menetapkan adanya lima zona pengembangan wilayah Kabupaten Gianyar, yaitu
Wilayah Gianyar Utara yang meliputi Kecamatan Payangan, Tegalalang, dan
Tampaksiring diarahkan sebagai Daerah Konservasi Air, Pengembangan
Agrowisata, dan Culture Heritage. Dalam pengembangan Kawasan Agrowisata
Gianyar Utara, Desa Kerta ditetapkan sebagai Pusat Pengembangan Agrowisata
Gianyar Utara.
Potensi sumber daya pertanian yang dimiliki Desa Kerta, belum mampu
memberikan kesejahteraan bagi masyarakat setempat maupun masyarakat
sekitarnya. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah belum
adanya strategi dan program pengembangan yang tepat, terpadu dan
komprehensif. Kondisi tersebut, menggugah ide peneliti untuk melakukan
penelitian tentang pengembangan Agrowisata Desa Kerta sebagai pariwisata
berkelanjutan di Kawasan Agropolitan Payangan Kabupaten Gianyar. Penelitian
ini bertujuan untuk mengidedtifikasi potensi desa yang dapat dikembangkan
65
menjadi produk agrowisata, mengidentifikasi dan mengklasifikasikan faktor
internal dan eksternal yang mempengaruhi pengembangan Agrowisata Desa Kerta
serta merumuskan strategi pengembangan Agrowisata Desa Kerta secara tepat,
terpadu dan komprehensif. Model penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
disajikan seperti pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3
Model Penelitian
Pariwisata Alternatif
Pariwisata Bali
Agrowisata Desa Kerta
Kecamatan Payangan
Kabupaten Gianyar
Pariwisata Masal
Rumusan Masalah 1
Apa saja potensi desa
yang dapat
dikembangkan sebagai
produk Agrowisata Desa
Kerta di Kawasan
Agropolitan Payangan
Kabupaten Gianyar
Teori
Siklus Hidup
Destinasi Wisata
Sistem
Perencanaan
Konsep
Strategi Pengembangan
Produk Pariwisata
Agrowisata
Agropolitan
Pariwisata Berkelanjutan
Rekomendasi
Rumusan Masalah 2
Apa yang menjadi faktor
internal dan eksternal dalam
pengembangan Agrowisata
Desa Kerta sebagai
pariwisata berkelanjutan di
Kawasan Agropolitan
Payangan Kabupaten
Gianyar
Rumusan Masalah 3
Bagaimana strategi dan
program pengembangan
Agrowisata Desa Kerta
sebagai pariwisata
berkelanjutan di
Kawasan Agropolitan
Payangan Kabupaten
Gianyar
Pariwisata Alternatif
Pariwisata Bali
Agrowisata Desa Kerta
Kecamatan Payangan
Kabupaten Gianyar
Pariwisata Masal
Rumusan Masalah 1
Apa saja potensi desa
yang dapat
dikembangkan sebagai
produk Agrowisata Desa
Kerta di Kawasan
Agropolitan Payangan
Kabupaten Gianyar
Teori
Siklus Hidup
Destinasi Wisata
Sistem
Perencanaan
Konsep
Strategi Pengembangan
Produk Pariwisata
Agrowisata
Agropolitan
Pariwisata Berkelanjutan
Rekomendasi
Rumusan Masalah 2
Apa yang menjadi faktor
internal dan eksternal dalam
pengembangan Agrowisata
Desa Kerta sebagai
pariwisata berkelanjutan di
Kawasan Agropolitan
Payangan Kabupaten
Gianyar
Rumusan Masalah 3
Bagaimana strategi dan
program pengembangan
Agrowisata Desa Kerta
sebagai pariwisata
berkelanjutan di
Kawasan Agropolitan
Payangan Kabupaten
Gianyar