Post on 28-Jul-2021
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1.Penuaan
Semua makhluk hidup secara alami akan mengalami proses penuaan, tidak
terkecuali manusia. Proses penuaan dimulai dengan menurunnya regenerasi sel pada
orang dewasa seiring dengan adanya peningkatan usia. Terdapat banyak faktor yang
menjadi penyebab proses penuaan. Ada dua kelompok golongan besar dalam
mempercepat proses penuaan yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
internal merupakan genetik, radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi,
metilasi, apoptosis, dan sistem kekebalan yang menurun sedangkan faktor eksternal
yaitu gaya hidup tidak sehat, diet tidak terkontrol, kebiasaan, polusi lingkungan, dan
stres. Faktor internal dan eksternal dapat dicegah, dan diperlambat ataupun dapat
dihambat sehingga usia harapan hidup dapat lebih panjang dengan kualitas hidup
yang lebih baik (Pangkahila, 2017).
2.1.1 Teori Penuaan
Teori-teori tentang penuaan telah banyak dikemukan oleh banyak ilmuwan,
hal ini memberikan wawasan yang penting untuk memahami perubahan fisiologis
yang berkaitan dengan usia. Pandangan menyeluruh sangat diperlukan untuk
memahami proses penuaan, hal itu disebabkan penuaan bukan berasal dari satu faktor
saja, namun terjadi dari banyak faktor. Dari beberapa teori tentang proses penuaan
10
yang ada, pada dasarnya penuaan dikelompokan dalam teori “pakai dan rusak” (wear
and tear theory) dan teori program. Teori “pakai dan rusak” meliputi kerusakan DNA,
glikosilasi, dan radikal bebas. Teori program meliputi teori replikasi sel, proses imun,
dan teori hormon (Pangkahila, 2017; Goldman, Klatz, 2007).
1. Teori pakai dan rusak (wear and tear theory)
Teori ini mengemukakan bahwa tubuh dan sel akan menjadi cepat rusak
karena terlalu sering digunakan dan disalahgunakan. Organ-organ dalam
tubuh manuasia seperti hati, lambung, ginjal, kulit dan organ lain dapat
menurun fungsinya, karena adanya toksin dalam makanan dan lingkungan
yang ada di sekitar kita, konsumsi lemak, gula, kafein, alkohol, dan nikotin
yang berlebihan, dapat pula disebabkan oleh sinar ultraviolet, stress fisik dan
emosional. Kerusakan yang dapat ditimbulkan bukan saja pada organ namun
juga bisa terjadi pada tingkat sel.
Penyalahgunaan organ tubuh akan mempercepat kerusakan organ tubuh
manusia. Pada saat usia muda sistem pemeliharaan dan perbaikan tubuh mampu
melakukan kompensasi terhadap pengaruh penggunaan dan kerusakan normal
ataupun berlebih. Namun pada tubuh yang telah mengalami proses penuaan,
maka tubuh akan kehilangan kemampuan dalam memperbaiki kerusakan yang
terjadi karena penyebab apapun.
Dr. August Weismann tahun 1882 memperkenalkan pertama kali teori
bahwa dengan pemberian suplemen yang tepat dan pengobatan yang tepat akan
11
dapat membantu mengembalikan kondisi tubuh sehingga proses penuaan tidak
berlangsung dengan cepat. Hal ini merangsang tubuh untuk melakukan
perbaikan dan mempertahankan fungsi organ dan sel tubuh.
2. Teori Neuroendokrin
Pada saat tubuh dalam usia muda fungsi organ tubuh sangat optimal,
contohnya kemampuan tubuh dalam bereaksi terhadap panas dan dingin,
kemampuan motorik, fungsi memori, juga funsi seksual. Dengan bertambahnya
usia, jumlah hormon pada tubuh juga akan semakin menurun dan menyebabkan
adanya penurunan fungsi organ tubuh manusia. Hal ini yang menyebabkan
adanya keluhan-keluhan seperti menjadi tidak tahan terhadap suhu dingin,
gerakan menjadi lambat, masa otot berkurang, lemak tubuh meningkat, daya
ingat menurun,dan fungsi seksual yang menurun.
3. Teori Kontrol Genetik
Teori kontrol genetik menggangap bahwa di dalam tubuh manusia
terdapat jam bilogik. Peristiwa ini dimulai dari proses konsepsi sampai
kematian dalam suatu model yang terprogram. Walaupun manusia memiliki
sistem jam biologik (biological clock) namun variasinya sangatlah besar.
Di dalam tubuh manusia terdapat pelindung bagi setiap sel, yaitu struktur
khusus pada ujung kromosom yang disebut telomer. Pada setiap pembelahan sel
telomer akan memendek san sewaktu telomer telah terpakai semua maka
pembelahan sel akan berhenti dan menyebabkan kematian. Oleh sebab itu
12
telomer dikenal sebagai jam biologik.
4.Teori Radikal Bebas
Radikal Bebas ialah suatu molekul yang memiliki elektron yang tidak
berpasangan. Radikal bebas akan cenderung menarik elektron lain dan
mengubah suatu molekul menjadi suatu radikal bebas. Molekul akan berubah
menjadi radikal bebas bila bertambah atau berkurangnya satu elektron pada
molekul lain. Pengurangan atau penambahan elektron ini akan menyebabkan
kerusakan sel, gangguan fungsi sel, bahkan sampai kematian sel. Molekul
utama di dalam tubuh yang dirusak oleh radikal bebas adalah DNA, lemak dan
protein.
Bertambahnya usia manuasia akan menyebabkan terjadinya peningkatan
akumulasi kerusakan sel yang diakibatkan oleh radikal bebas, sehingga
mengganggu metabolisme sel, merangsang mutasi sel, dan akhirnya
mengakibatkan terjadinya kanker, serta membawa kematian (Goldmann dan
Klatz, 2007).
2.1.2 Gejala Penuaan
Proses penuaan dimulai dengan menurunnya fungsi dari beberapa organ tubuh
dan bahkan beberapa fungsi organ tubuh menjadi terhenti. Akibat yang ditimbulkan
dari menurunnya fungsi tersebut yaitu akan menyebabkan munculnya berbagai tanda
dan gejala proses penuaan, yang pada dasarnya dapat dibagi dalam dua bagian yaitu
(Pangkahila, 2011):
13
1. Tanda fisik, seperti masa otot berkurang, adanya peningkatan lemak, kulit
menjadi berkerut, daya ingat mulai berkurang, menurunnya fungsi seksual,
dan menyebabkan reproduksi terganggu, kemampuan kerja menurun, sakit
tulang.
2. Tanda psikis, seperti terjadinya penurunan gairah hidup, sulit tidur, mudah
cemas, mudah tersinggung, serta merasa tidak berarti lagi.
Proses penuaan tidak terjadi begitu saja dan langsung menampakkan
perubahan fisik dan psikis, namun proses penuaan tersebut akan berjalan melalui 3
tahap sebagai berikut (Pangkahila, 2011; Pangkahila, 2014):
a. Tahap subklinik (usia 25-35 tahun)
Pada tahap ini, sebagian besar hormon di dalam tubuh mulai mengalami
penurunan, yaitu hormon testosteron, growth hormone, dan hormon estrogen.
Pembentukan radikal bebas yang dapat merusak sel dan DNA, sehingga mulai
mempengaruhi kinerja organ tubuh. Kerusakan ini tidak tampak dari luar,
sehingga pada tahap ini orang merasa masih seperti tampak normal, tidak
mengalami gejala dan tanda penuaan. Pada rentang usia ini dianggap usia muda
dan normal, padahal sebenarnya sudah mulai terjadi proses penuaan.
b. Tahap transisi (usia 35-45 tahun)
Pada tahap ini kadar hormon menurun hingga 25 persen. Massa otot
berkurang sebanyak satu kilogram setiap beberapa tahun, akibatnya kekuatan dan
tenaga terasa hilang, sedangkan komposisi lemak akan terus meningkat. Keadaan
14
ini menyebabkan terjadinya resistensi insulin, meningkatnya resiko penyakit
jantung, dan pembuluh darah, serta obesitas. Gejala-gejala yang mulai muncul
pada tahap ini adalah penglihatan dan pendengaran menurun, rambut putih mulai
tumbuh, elastisitas dan pigmentasi kulit menurun, dorongan seksual menurun.
Pada tahap ini orang merasa tidak muda lagi dan tampak lebih tua.
c. Tahap klinik (usia 45 tahun keatas)
Pada tahap ini, penurunan kadar hormon terus menurun yang meliputi DHEA,
melatonin, growth hormone, testosteron, estrogen, dan hormon tiroid. Penurunan
bahkan hilangnya kemampuan penyerapan bahan makanan, vitamin, dan mineral
juga terjadi. Densitas tulang menurun, massa otot berkurang sekitar satu kilogram
setiap tiga tahun, yang mengakibatkan ketidakmampuan membakar kalori,
meningkatnya lemak tubuh, dan berat badan. Pada tahap ini, penyakit kronis
menjadi lebih nyata, sistem organ tubuh mulai mengalami kegagalan.
Ketidakmampuan menjadi faktor utama sehingga mengganggu keharmonisan
banyak pasangan.
2.2 Penuaan Kulit
Menurut Yaar dan Gilchrest (2008) teori penuaan kulit terdiri dari 2 yaitu :
1. Teori programatik, yaitu teori yang mengemukakan bahwa penuaan
merupakan suatu proses fisiologis yang disebabkan oleh program genetik
yang diturunkan serta bervariasi untuk setiap spesies. Pada teori ini
terdapat 2 proses yaitu :
15
a. Pemendekan telomer. Telomer adalah bagian terminal dari kromosom
yang akan memendek setiap adanya sel membelah. Pemendekan
telomer ini dpercaya akan menjadi pemicu kerusakan seluler oleh
karena ketidakmampuan sel dalam menduplikasi dirinya sendiri secara
baik.
b. Penuaan seluler. Penuaan seluler merupakan terbatasnya kapasitas sel
dalam menjalankan pembelahan sel. Sel-sel dengan penuaan
menunjukkan telomer yang pendek, penghentian pertumbuhan sel,
resisten terhadap apoptosis dan terganggunya diferensiasi.
2. Teori Stochastic, penuaan terjadi merupakan akibat dari akumulasi
kerusakan gen dan protein. Teori ini memiliki proses-proses sebagai
berikut:
a. Stres oksidatif pada sel. Oksigen dibutuhkan oleh sel untuk
metabolisme, dan akan menerima transfer elektron tunggal yang
selanjutnya memjadi terbentuknya rangkaian reactive oxygen species
(ROS) yang merusak molekul-molekul biologik lainnya.
b. Penuaan dan kerusakan DNA. Penurunan kapasitas perbaikan DNA
terkait dengan akselerasi penuaan dan akumulasi kerusakan DNA. Ada
hipotesis yang menghubungkan pemendekan telomer dan kerusakan
DNA dengan jalur sinyal seluler yang bergantung baik pada tipe sel
maupun intensitas sinyal, dapat memperantarai diferensiasi adaptif,
16
apoptosis ataupun penuaan.
c. Raseminasi asam amino. Raseminasi ialah suatu proses subtitusi asam
L-amino menjadi asam D-amino dalam protein, terjadi selama proses
penuaan dan mempengaruhi fungsi protein, asam D-amino tidak
memiliki fungsi dan membahayakan. Raseminasi lebih disebabkan
karena adanya akumulasi protein-protein disfungsional pada jaringan
yang menua.
d. Glikosilasi non-enzimatik. Hal ini terjadi apabila terdapat ikatan
glukosa terhadap protein. Jika ikatan ini terjadi, maka protein menjadi
rusak dan tidak berfungsi secara efisien. Salah satu cara untuk
menurunkan risiko ikatan silang adalah dengan mengurangi konsumsi
karbohidrat dan gula pada diet.
2.3 Efek Sinar Ultraviolet
Perubahan warna kulit dibagi menjadi dua berdasarkan latar belakang
penyebabnya, yaitu constitutive skin color, perubahan warna kulit dan melanin
seseorang disebabkan oleh faktor genetik, dan facultative skin color, perubahan
warna kulit dan melanin disebabkan oleh pengaruh sinar ultraviolet dan hormon
(Baumann, Saghari, 2009b).
Sinar ultraviolet dibagi dalam 3 spektrum yaitu UVC (270 - 290 nm), UVB
(290 - 320 nm), dan UVA (320 - 400 nm). Paparan sinar UVC tidak akan sampai ke
17
permukaan bumi karena sinar UVC akan diserap oleh lapisan ozon dan atmosfir,
namun lain halnya dengan sinar UVA dan UVB yang dapat mencapai permukaan
bumi dan dapat memberikan pengaruh terhadap proses penuaan kulit. Rasio UVA :
UVB adalah 20 : 1, walaupun demikian sinar UVB memberikan efek samping lebih
banyak dibandingkan sinar UVA (Alam dan Harvey, 2010). Sinar UVB lebih pendek
dibandingkan sinar UVA. Sinar UVA menembus sampai dengan lapisan dermis pada
kulit, sedangkan UVB sampai pada lapisan epidermis (Ozario dkk.,2013).
Gambar 2.1
Radiasi Sinar Ultraviolet pada kulit ( Orazio dkk., 2013)
Paparan UVA dan UVB pada kulit dapat menurunkan antioksidan endogen
pada semua lapisan kulit seperti glutathione (GSH), Superoxide dismutase (SOD),
katalase, dan ubiquinol (Pandel dkk., 2013). Sedangkan paparan UVA dan UVB
18
menghasilkan radikal bebas seperti Hydrogen Peroxidase, Anion Superoxide, Nitric
Oxide sehingga dapat terjadi reative oxygen species (Icihashi dkk., 2009).
2.3.1 Efek Akut Sinar Ultraviolet
Efek akut sinar ultraviolet dapat dikategorikan menjadi 2 yaitu :
2.3.1.1 Eritema
Eritema atau sunburn merupakan sebuah kondisi kulit yang ditandai dengan
timbulnya ruam atau kemerahan. Eritema sendiri terbagi menjadi beberapa jenis,
antara lain eritema multiforme, eritema nodusum dan fotosensitivitas. Fotosensitivitas
disebabkan oleh adanya peningkatan sensitivitas kulit terhadap sinar UV. Eritema
terbentuk tergantung kepada panjang gelombang sinar UVA. Sinar UVA dibagi
menjadi dua, yaitu UVA 1 (340-400 nm) dan UVA 2 (320-340 nm). Sinar UVA 2
lebih berefek dalam meningkatkan resiko terjadinya eritema pada kulit. Eritema dapat
pula disebabkan oleh paparan sinar UVB namun responnya lebih lambat (Taylor,
2007).
2.3.1.2 Pigmentasi
Pada pigmentasi, pasien sering mengutarakan keluhan berupa hiperpigmentasi
seperti freckle, lentigo dan melasma. Respon pigmentasi kulit mengikuti paparan
sinar ultraviolet yang terdiri dari reaksi kecoklatan (tanning) dan pembentukan
melanin baru. Respon kecoklatan pada kulit tergantung dari panjang gelombang
ultraviolet. Eritema yang diinduksi oleh UVB akan diikuti dengan pigmentasi.
19
Melanisasi yang terjadi akibat paparan kumulatif UVA akan bertahan lebih lama
dibandingkan dengan yang terjadi akibat paparan kumulatif sinar UVB. Hal ini
disebabkan karena lokalisasi pigmen yang diinduksi UVA berada lebih basal
(Bauman dan Saghari, 2009b).
Sinar UVB lebih efektif dalam menstimulasi pigmentasi daripada sinar UVA.
Sinar UVA tidak memiliki efek dalam meningkatkan produksi melanin, tetapi
meningkatkan distribusi melanin yang sudah ada sebelumnya pada lapisan kulit,
sehingga paparannya akan bersifat intermediate pigmentary darkening, karena
pigmentasi hanya dapat bertahan hingga 6-8 jam setelah paparan. Sinar UVB dapat
meningkatkan produksi melanin, peningkatan enzim tirosinase, peningkatan jumlah
sel melanosit dan distribusi melanin, sehingga sinar UVB bersifat delayed pigmentary
darkening, karena pigmentasinya dapat bertahan 10-14 hari setelah paparan
(Baumann dan Saghari, 2009b).
Untuk menentukan pigmentasi pada kulit dapat digunakan skala Fitzpatrick
yang bersifat semi kuantitatif untuk melihat 6 jenis fenotip kulit, yang dapat
menggambarkan dari warna kulit, level melanin, respon inflamasi terhadap sinar
ultraviolet serta resiko terjadinya kanker. Dosis minimal eritematosa ( MED) adalah
metode kuantitaf untuk melaporkan jumlah UV (khususnya UVB) yang diperlukan
untuk menginduksi terjadinya sunburn pada kulit setelah terpapar ultraviolet 24- 48
jam dengan menilai eritema dan edema yang terjadi ( Orazio dkk., 2013).
20
Tabel 2.1
Skala Fitzpatrick
2.3.2 Efek Kronis Sinar Ultraviolet
Efek kronis sinar ultraviolet dibagi menjadi 2 bagian yaitu :
2.3.2.1 Photoaging
Paparan kronis sinar UV pada kulit bisa menyebabkan terjadi kerusakan kulit,
21
salah satunya ialah photoaging. Photoaging biasa dilihat pada bagian-bagian tubuh
yang mudah terlihat seperti wajah, leher, dan tangan. Tanda-tanda dari photoaging ini
antara lain adanya keriput atau kerutan, perubahan tekstur kulit, penurunan elastisitas,
serta dispigmentasi pada kulit dan daerah bibir.
Radiasi oleh sinar UVB lebih banyak diserap oleh jaringan epidermis, hal ini
menyebabkan banyak perubahan pada keratinosit, akan tetapi radiasi sinar UVA
dapat mempengaruhi baik keratinosit epidermis maupun fibroblast pada lapisan
dermis. Sinar UVA mempunyai pengaruh tidak langsung pada lapisan kulit, yaitu
dengan terbentuknya reactive oxygen species (ROS), kemudian akan merusak untai
DNA, mengaktivasi faktor transkripsi dan peroksidase lipid. Sebaliknya, UVB
berpengaruh langsung pada kulit, yaitu terjadi cross-linking basa pirimidin maupun
kerusakan pada DNA (Alam dan Havey, 2010).
2.3.2.2 Fotokarsinogenesis
Fotokarsinogenesis adalah suatu mekanisme kompleks dari kerusakan DNA
yang disebabkan oleh sinar UV, kerusakan dari mekanisme perbaikan dan kegagalan
dari sistem imun kulit dalam mendeteksi adaya sel ganas. Saat sinar UV memasuki
lapisan kulit, maka UV akan bereaksi dengan DNA. Dalam keadaan normal, bila
terjadi kerusakan pada DNA, maka siklus sel akan terhenti untuk memberikan waktu
sel untuk memperbaiki diri. Kerusakan DNA ini menyebabkan terjadinya kanker
kulit. Dari data epidemiologi menunjukkan bahwa paparan kronis sinar UV
merupakan penyebab 65% terjadinya melanoma dan 90% kanker kulit non-
22
melanoma.
Kanker kulit primer diklasifikasikan berdasarkan sel asal dari kanker tersebut
yaitu skuamous sel karsinoma dan basal sel karsinoma yang berasal dari keratinosit
pada epidermis, sedangkan melanoma maligna berasal dari melanosit. Penelitian
menunjukkan bahwa basal sel karsinoma terjadi akibat paparan sinar UV yang
mengubah jalur sinyal hedgehog yang merupakan sinyal untuk pertumbuhan sel
(Brown dan Schleve, 2013).
2.4 Kulit
Kulit merupakan organ tubuh luar yang memiliki berbagai fungsi, diantaranya
adalah sebagai pelindung tubuh dari berbagai trauma dan organ dalam, sebagai indra
peraba, organ yang berperan dalam ekresi dan termoregulasi. Kulit disebut
juga integumen yang terdiri dari dua macam jaringan yaitu jaringan epitel yang terdiri
dari lapisan epidermis dan jaringan pengikat (penunjang) yang terdiri dari lapisan
dermis. Dua struktur yaitu epidermis dan dermis saling berhubungan dengan dermal
epidermal junction (Baumann dan Saghari, 2009a).
Gambar 2.2
Penampang histologis jaringan kulit (James dkk.,2006)
23
2.4.1 Lapisan Epidermis
Lapisan epidermis merupakan lapisan bagian terluar. Ketebalan epidermis
antara 0,04 mm (kulit kelopak mata) sampai 1,5 mm (kulit telapak tangan).
Epidermis disusun dari lapisan keratinosit, dimana keratinosit dihasilkan dari stem
cells yang berada di bagian basal epidermis yang disebut dermal-epidermal junction
(DEJ). Menurut Baumann dan Saghari (2009) berdasarkan proses keratinisasi dan
pematangan keratinosit, maka epidermis dibagi menjadi 4 yaitu sebagai berikut:
1. Stratum Basal. Sel basal bertanggung jawab terhadap populasi sel
epidermis. Lapisan ini terdiri dari 10% stem cells, 50% amplifying cells dan
40% postmitotic cells. Secara normal, stem cells membelah perlahan, tetapi
dalam kondisi tertentu seperti proses penyembuhan serta terpapar oleh
growth factor, stem cells akan membelah dengan cepat. Amplifying cells
bertanggung jawab terhadap pembelahan sel secara keseluruhan untuk
menjadi postmitotic cells yang akan bermigrasi ke lapisan lebih atas.
2. Stratum spinosum. Lapisan spinosum ini terdiri dari 5-12 lapisan yang
mengandung granula lamelar, ceramids, kolesterol, dan beberapa enzim
seperti protease, fosfatase, lipase serta glikosidase. Granula lamelar
mengandung cathelicidin dan peptida antimikroba. Pada lapisan ini diikat
oleh desmosom, yang memiliki fungsi sebagai filamen intermediet antar sel
keratinosit.
3. Stratum granulosum. Lapisan granulosum ini terdiri dari 1-3 lapisan sel
24
granula keratohialin mengandung profilagrin yang merupakan prekursor
filagrin. Protein filagrin akan mengalami cross-link dengan filamen keratin
sehingga membentuk struktur yang kuat. Sel granula memiliki kemampuan
anabolik dalam disolusi inti sel dan organel.
4. Stratum korneum. Lapisan korneum terdiri dari 15 lapisan yang tidak
mengandung organel sel. Bangunan lapisan ini disebut “brick-mortar”,
dimana brick merupakan sel keratinosit, sedangkan mortar merupakan lipid
dan protein yang berasal dari granula lamelar. Lapisan ini banyak
mengandung asam amino sehingga mempunyai kemampuan mengikat air.
Stratum korneum disebut juga lapisan mati, karena sel sudah tidak
mensintesis protein dan tidak dapat menangkap sinyal sel.
Gambar 2.3
Struktur anatomi epidermis (Scott dan Bennion, 2011)
25
Sel lainnya yang terdapat di lapisan epidermis adalah sel melanosit, yaitu sel
dendritik di stratum basal, berfungsi mensintesis melanin. Satu sel melanosit akan
mendistribusikan melanin ke 36 lapisan keratinosit. Sel Langerhans berfungsi sebagai
imunitas, dan sel Merkel, fungsinya masih belum jelas, tetapi sel ini berkaitan dengan
serabut saraf dan kelenjar endokrin (Scott dan Bennion, 2011).
Membran basal, merupakan lapisan homogen dengan ketebalan 0,5-1 mm
mengandung banyak komponen pengikat antara stratum basal dengan lapisan
dermis. Lapisan atas membran basal adalah tonofilamen sitoplasma dari sel basal
yang akan mengikat membran basal oleh hemidesmosom. Membran ini akan
mengeluarkan serat fibril yang dapat mengikat serat kolagen di lapisan dermis,
sehingga lapisan ini akan membentuk struktur yang kuat dan stabil dalam mengikat
seluruh lapisan epidermis sampai dengan lapisan dermis (Scott dan Bennion, 2011).
2.4.2 Lapisan Dermis
Lapisan dermis berada dibawah lapisan epidermis. Lapisan dermis merupakan
bagian terbesar kulit dan memberikan kelenturan, elastisitas, dan kekuatan traksi
kulit (Kolarsick dkk., 2011).
Lapisan dermis terdiri dari struktur kolagen, folikel rambut, kelenjar sebasea,
kelenjar apokrin, kelenjar ekrin, pembuluh kapiler, pembuluh limfatik dan pembuluh
saraf. Sel utama pada lapisan ini adalah sel fibroblas, yang akan menghasilkan
kolagen (70%-80%) untuk kekenyalan, elastin (1%-3%) untuk elastisitas dan
proteoglikan untuk kelembaban. Fungsi lapisan dermis ini sebagai regulasi suhu
26
melalui keringat dan pembuluh darah, proteksi mekanis melalui serat kolagen dan
asam hialuronat dan sebagai serat sensoris yang diatur oleh persyarafan kulit (Scott
dan Bennion, 2011).
2.4.3 Lapisan Subkutis
Lapisan ini berada di bawah lapisan dermis yang disebut juga sebagai lemak
subkutan karena terdiri dari sel-sel lemak. Lapisan subkutis memiliki kolagen tipe I,
III dan V, pembuluh saraf, pembuluh darah dan pembuluh limfe. Fungsi dari lapisan
ini ialah sebagai panas tubuh dan cadangan lemak (Scott dan Bennion, 2011).
2.5 Melanin
Melanin adalah pigmen yang dihasilkan oleh sel melanosit yang memiliki
fungsi sebagai penyerap sinar UV. Melanin juga berfungsi untuk menahan radikal
bebas sehingga dapat melindungi kulit dari kerusakan lebih lanjut akibat paparan
sinar UV. Melanin terdiri dari dua tipe yaitu eumelanin yang merupakan pigmen
berwarna coklat kehitaman dan pheomelanin, yang memberikan warna kuning atau
merah pada kulit.
Pada ras kulit hitam melanosom berada di stratum basal, satu melanosit
mengandung 200 melanosom berukuran 0,5-0,8 mm, tidak memiliki membran
sehingga satu sama lain saling berlekatan, dan distribusi secara individual. Sedangkan
pada ras kulit putih, melanosom banyak terdapat di stratum korneum, satu melanosit
hanya mengandung 20 melanosom, memiliki membran dan distribusi secara
27
berkelompok. Pada ras kulit putih melanosom didegradasi lebih cepat daripada ras
kulit hitam oleh karena itu akan sangat sedikit ditemukan melanin pada stratum
korneum pada ras kulit putih (Kindred dkk., 2010).
Eumelanin berbentuk elips dan berada dalam melanosom. Jumlah eumelanin
akan meningkat sesuai dengan paparan dari sinar UV. Pheomelanin berbentuk sferis,
banyak mengandung sulfur dan asam amino sistein. Fungsinya melanin selain untuk
memberikan warna pada kulit, melanin juga akan memberikan pigmen warna pada
rambut serta mata (Kindred dkk., 2010). Pada gambaran di lapisan epidermis, akan
tampak melanin berwarna lebih lebih gelap dibandingan jaringan disekitarnya.
Gambar 2.4
Distribusi melanin pada epidermis (James dkk, 2006)
2.5.1 Sintesis Melanin
Melanin dibentuk oleh melanosit dengan enzim tirosinase memegang peranan
penting dalam proses pembentukannya. Akibat dari kerja enzim tirosinase, tiroksin
akan diubah menjadi 3,4 dihidroksifenilalanin (DOPA) kemudian oksidasi DOPA
28
menjadi Dopakuinon. Apabila dopakuinon berikatan dengan sistein, oksidasi
sisteinildopa akan menghasilkan pheomelanin. Apabila tidak ada sistein, dopakuinon
akan berubah menjadi dopakrom, kemudian dopakrom akan mengalami
dekarboksilasi dan tautomerisasi menjadi eumelanin (Kindred dan Halderl., 2010).
Gambar 2.5
Biosintesis melanin (Christian dkk, 2011)
29
Gambar 2.6
Struktur Eumelanin dan Pheomelanin (Nasti dan Timares, 2015)
Enzim tirosinase dibentuk dalam ribosom, ditransfer dalam lumer retikulum
endoplasma kasar, melanosit diakumulasi dalam vesikel yang dibentuk oleh
kompleks golgi. 4 tahapan yang dapat dibedakan pada pembentukan granul melanin
yang matang ialah:
a. Tahap I, Sebuah vesikel dikelilingi oleh membran dan menunjukkan awal
proses dari aktivitas enzim tirosinase dan pembentukan substansi granul halus
pada bagian perifernya. Untaian padat elektron memiliki suatu susunan
molekul tirosinase yang rapi pada sebuah matrik protein.
b. Tahap II, stuktur akan berbentuk oval dan memperlihatkan pada bagian dalam
fiamen-filamen dengan jarak sekitar 10 nm, aktifitas enzim tirosinase
meningkat, melanin disimpan didalam matriks protein.
30
c. Tahap III, terjadi peningkatan pembentukan melanin membuat struktur halus
agak sulit terlihat.
d. Tahap IV, melanin telah sempurna dan matang, dengan panjang 1 μm dan
diameter 4 μm, berbentuk elips.
2.5.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Melanogenesis
Faktor yang dapat mempengaruhi proses melanogenesis bisa dibagi 2, yaitu
faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal yang paling sering
mempengaruhi adalah paparan sinar UV dan obat-obatan, sedangkan faktor internal
yang berpengaruh adalah hormon dan inflamasi (Costin dan Hearing, 2007).
Faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi melanogenesis antara lain yaitu :
1. Sinar UV Terhadap Produksi Melanin
Paparan sinar UV menyebabkan terjadinya pigmentasi, pigmentasi ini terjadi
dengan beberapa cara yaitu peningkatan kerja enzim melanogenik, peningkatan
transfer melanosom menuju keratinosit, peningkatan aktivitas dendritik sel
melanosit, serta kerusakan DNA akan menstimulasi proses melanogenesis itu
sendiri (Kindred dan Halder, 2010).
Melanosit serta keratinosit memiliki respon yang sangat cepat terhadap sinar
UV, baik secara parakrin maupun autokrin. Paparan sinar UV menyebabkan
adanya peningkatkan ekspresi proopiomelanocortin (POMC) yaitu prekursor
melalui melanocyte stimulating hormone (MSH), TYR, TYRP-1, endotelin-1 (ET-
31
1), hormon adrenokortikotropik(ACTH), Stem Cell Factor (SCF), steel factor
(SLF), basic fibroblast growthfactor (bFGF), nerve growth factor (NGF),
granulocyte-macrophagecolony-stimulating factor (GM-CSF), steel factor,
leukemia inhibitory factor (LIF), hepatocyte growth factor (HGF), prostaglandin
E2 (PGE-2) serta prostaglandinF2α (PGF2α). Sitokin, hormon dan growth factors
disekresi oleh keratinosit selanjutnya bekerja sebagai sinyal parakrin yang akan
ditangkap oleh reseptor permukaan sel melanosit antara lain fibroblast growth
factor receptor (FGFR), granulocyte-macrophagecolony-stimulating factor
receptor (GM-CSFR), reseptor endotelin B (ETBR), melanocortin-1 receptor
(MC1R), reseptor prostaglandin E1 (EP1) dan reseptor prostaglandin F (FP),
sehingga akan mengaktifkan mitogen activated protein kinase (MAPK), protein
kinase A (PKA), protein kinase C (PKC), paxillin kinase linker (PKL), cAMP
response element-binding protein (CREB), cAMP response elements (CRE),
melanocyte-specific MITF isoform (MITF-M) dan microphthalmia-associated
transcription factor (MITF). Proses ini akan meningkatkan sintesis dan distribusi
melanin (Costin dan Hearing, 2007).
32
Gambar 2.7
Jalur sinyal keratinosit dan melanosit pada melanogenesis(Costin dan Hearing, 2007)
Sinar UVA akan menstimulasi pigmentasi hingga terbentuk tanning, namun
efeknya hanya sementara, dibandingkan UVB yang efeknya jauh lebih lama. Sinar
UVA harus bereaksi terlebih dahulu dengan fotosensitiser endogen (flavin,
porfirin, melanin), sedangkan UVB dengan kuinon dan flavin, menghasilkan ROS
yang pada akhirnya dapat merusak untaian tunggal DNA. Sinar UVB menstimulasi
pigmentasi tidak hanya menyebabkan tanning, tapi juga menyebabkan sunburn.
Delayed tanning yang dihasilkan oleh sinar UVB akan meningkatkan jumlah sel
melanosit dan proses melanogenesis. Seluruh spektrum sinar UV akan bereaksi
dengan target molekul didalam sel yaitu molekul kromofor. Molekul kromofor
33
yang akan menyerap sinar UV ini adalah basa asam nukleat yaitu purin dan
pirimidin, dan protein yaitu triptofan dan tirosin (Costin dan Hearing, 2007).
Produk-produk yang dihasilkan oleh DNA setelah terpapar UVB telah banyak
diteliti karena mempunyai efek terhadap terjadinya kanker kulit. Produk-produk
tersebut adalah cyclobutyl pyrimidine dimers (CPDs) dan (6-4) photo products.
Proses sintesis secara langsung juga dapat disebabkan oleh nitric oxide (NO), telah
diketahui bahwa NO adalah massanger molecule intraseluler dan interseluler, yang
akan meningkatkan cyclic guanosine monophosphate (cGMP) sehingga
menstimulasi proses sintesis melanin (Costin dan Hearing, 2007).
2. Obat-Obatan Terhadap Melanin
Contoh obat-obatan yang bisa menyebabkan hiperpigmentasi kulit adalah
sulfonamide dan tetrasiklin, nonsteroid anti inflammatory drugs (NSAID), diuretik
dan obat-obatan psikosis. Bisa juga ditemui pada penggunaan kontrasepsi oral
jangka panjang dan pasien epilepsi yang mengkonsumsi hidatoin. Pada pengobatan
pasien Parkinson, levodopa dapat meningkatan produksi melanin, hal ini
disebabkan karena DOPA akan diubah menjadi melanin. Diketahui ada beberapa
kemoterapi yang dapat menyebabkan hiperpigmentasi, yaitu cyclophosphamide, 5-
flouroursil, doxorubicin, dan bleomycin, mekanisme obat-obatan kemoterapi
tersebut terhadap melanin masih belum jelas diketahui, namun dari hipotesis yang
ada menyebutkan bahwa kemungkinan terjadi akibat adanya toksisitas langsung
dari bahan tersebut terhadap melanosit (Costin dan Hearing, 2007).
34
3. Hormon Terhadap Melanin
Hormon juga bisa mempengaruhi produksi dari melanin. Contohnya
selama masa kehamilan terutama pada wanita hamil trimester akhir, akan
mengalami peningkatan hormon seperti estrogen, progesteron dan MSH. Hormon
seks dapat meningkatkan gen transkripsi yang mengkode enzim melanogenik
yaitu Tyrosine dan DOPAchrome tautomerase. Sel melanosit memiliki reseptor
estrogen baik di sitosol maupun inti sel, sedangkan dari hasil sebuah penelitian
menyatakan bahwa hormon estrogen dapat bekerja pada sel keratinosit melalui
jalur genomik dan non-genomik. Hormon estrogen akan bekerja dengan mengikat
reseptornya yaitu estrogen receptors α (ERα) dan estrogen receptors β (ERβ)
kemudian mengaktifkan estrogen responsive element (ERE) dan general
transcription factor (GTF) untuk proliferasi dan diferensiasi sel. ERα terdapat
pada jaringan reproduksi, tulang, kardiovaskuler dan otak, baik pada perempuan
maupun laki-laki. Erβ juga terdapat di jaringan reproduksi, paru-paru, kandung
kemih, jantung, ginjal dan kulit. Estrogen memiliki fungsi yang berbeda-beda
berdasarkan tipe sel yaitu keratinosit, fibroblas dan melanosit. Pada keratinosit,
estrogen akan menstimulasi proliferasi sel keratinosit, yang juga akan
meningkatkan sekresi GM-CSF (Costin dan Hearing, 2007).
4. Penuaan Terhadap Melanin
Bertambahnya usia manusia akan menyebabkan jumlah sel melanosit berkurang
10-20% per tahun. Berkurangnya jumlah sel melanosit ini bisa terjadi di area yang
35
terpapar maupun yang tidak terpapar oleh sinar matahari dan diikuti dengan
menurunnya vaskularisasi pada kulit sehingga kulit terlihat lebih pucat. Selama
manusia hidup, tidak lepas dari paparan sinar UV pada kulitnya, sehingga
akumulasi dari paparan tersebut akan membuat bagian-bagian tertentu dari sel
melanosit mengalami peningkatan densitas dan menyebabkan berbagai kelainan
pada kulit (Costin dan Hearing, 2007).
5. Inflamasi Terhadap Melanin
Adanya proses inflamasi pada kulit akan menstimulasi keratinosit,
melanosit dan sel-sel inflamasi lainnya untuk memproduksi sitokin dan mediator
inflamasi, seperti leukotrien (LT), prostaglandin (PG) dan tromboksan (TXB).
Mediator-mediator inflamasi ini akan mengakibatkan meningkatkan sintesis
melanin serta distribusinya. Dari penelitian didapatkan bahwa sel melanosit
memiliki reseptor produk-produk inflamasi, sehingga dapat menyebabkan
terjadinya post inflammatory hyperpigmentation ( Kindred dan Halder,2010).
2.6 Kelainan Pigmentasi Kulit
Kelainan pigmentasi pada kulit dapat di kelompokan menjadi enam jenis yaitu :
2.6.1 Freckles ( Efelid )
Freckles merupakan bercak pigmentasi yang berwarna coklat terang dengan
ukuran lebih kecil dari lentigo serta permukaannya rata dengan kulit. Biasanya
terdapat di daerah kulit yang terpapar sinar matahari. Perbedaan lentigo dengan
36
freckles terletak pada sel melanosit normal akan tetapi produksi pigmen melanin
meningkat di lapisan basal epidermal (Lapeere dkk., 2008).
2.6.2 Lentigo
Lentigo disebut juga lentigo solaris atau liver spots adalah makula
berpigmen, ukurannya kecil, berbatas tegas dan dikelilingi oleh kulit normal.
Biasanya mengenai usia lanjut. Mekanisme kerja lentigo yaitu adanya proliferasi
melanosit yang terdapat pada daerah dermo-epidermal junction. Mula–mula akan
tampak bercak kecil dengan ukuran kurang dari 1 mm, berwarna coklat muda
sampai kehitaman, semakin membesar, tersebar sampai ukuran beberapa
sentimeter. Biasanya timbul di daerah yang sering terpapar sinar matahari seperti
wajah, punggung tangan, lengan serta punggung (Goichnik dkk., 2008).
2.6.3 Melasma
Melasma paling sering muncul di daerah yang terpapar sinar matahari
seperti wajah. Hal ini disebabkan karena pada daerah wajah memiliki jumlah
melanosit epidermal yang lebih banyak dibanding bagian tubuh lainnya.
Gambaran klinis akan tampak bercak bentuk ireguler, warna coklat muda
sampai coklat tua dengan batas tegas dan biasanya simetris. Terdapat 3 macam
pola distribusi melasma yaitu sentrofasial (63% : dahi, hidung, dagu, di atas
bibir), malar (21% : hidung dan pipi), dan mandibular (16% : ramus
mandibula). Dengan pemeriksaan lampu Wood kita dapat mengklasifikasikan
melasma menjadi tipe epidermal, dermal dan campuran, namun sebagian besar
37
melasma memiliki distribusi melanin di epidermis bagian basal dan dermis
(Lapeere dkk., 2008).
2.6.4 Melanoma Maligna
Melanoma maligna merupakan tumor yang berasal dari sel melanosit.
Melanoma maligna mempunyai 3 bentuk yaitu lentigo maligna melanoma,
superficial spreading melanoma, dan nodular melanoma. Faktor resiko
terjadinya melanoma maligna yaitu riwayat sunburn berlebih, terutama pada ras
kulit putih. Sebanyak 40-70% melanoma maligna timbul secara de novo,
sedangkan kurang dari 40% yang timbul dari nevi (Campoli dan Walsh, 2011).
2.6.5 Hiperpigmentasi Pasca Inflamasi
Hiperpigmentasi pasca inflamasi banyak terjadi tertama pada kulit berwarna
gelap. Keadaan ini disebabkan oleh meningkatnya sintesis melanin sebagai respon
peradangan dan inkontinensia pigmen, yaitu terperangkapnya pigmen melanin di
dalam makrofag pada bagian atas dermis.
Hiperpigmentasi pasca inflamasi bisa terjadi disebabkan oleh obat, reaksi
fototoksis, infeksi, trauma dan alergi. Gambaran klinisnya berupa makula
hiperpigmentasi. Gambaran histologi bisa didapatkan timbunan pigmen dengan
akumulasi melanophages dan peningkatan melanin di lapisan dermal atau
epidermal (Laperee dkk., 2008).
2.6.6 Okronosis
Okronosis disebabkan oleh penggunaan obat-obatan yang akan membentuk
substansi lir asam homogentistik polimer selama metabolismenya. Okronosis
38
merupakan hiperpigmentasi asimptomatik pada wajah, bagian belakang leher,
punggung dan tungkai. Penyebab paling banyak yaitu pengunaan hidrokuinon
dalam jangka waktu yang panjang dan konsentrasi yang tinggi. Okronosis
eksogen biasanya terjadi setelah penggunaan anti malaria, produk mengandung
resorsinol, fenol, air raksa, dan picric acid (Lapeere dkk., 2008).
2.7 Faktor – Faktor yang Menghambat Melanogenesis
Penghambat melanogenesis banyak digunakan sebagai bahan aktif dari produk
perawatan kulit. Mekanisme kerja antihiperpigmentasi dapat melalui penghambat
enzim tirosinase, penghambat transfer melanosom, agen sititoksik terhadap melanosit
dan antioksidan (Baumann dan Allemann, 2009).
Faktor-faktor penghambat melanogenesis yaitu :
2.7.1 Penghambat enzim tirosinase
Menurut Baumann dan Alleman (2009) bahan-bahan yang berfungsi
penghambat enzim tirosinase antara lain :
1. Hidrokuinon (HQ), merupakan gold standart antihiperpigmentasi. Hidrokuinon
mempunyai mekanisme kerja menghambat kerja enzim tirosinase, merusak sel
melanosit langsung, mempercepat degradasi melanosom, serta menghambat
sintesis enzim melanogenesis (Bruce, 2013).
2. Aloesin, senyawa kimia C-glycosylated chromone ini berasal dari tanaman aloe
vera. Senyawa ini bisa menghambat enzim tirosinase dengan cara,yaitu
39
menghambat hidroksilasi tirosin menjadi DOPA dan oksidasi DOPA menjadi
DOPAkuinon. Efek inhibisinya lebih kuat dibanding arbutin dan asam kojik.
3. Arbutin, senyawa kimia β-D-glucopyranoside merupakan sebuah molekul
hidrokuinon yang berikatan dengan glukosa. Mekanisme kerjanya sebagai
penghambat reversibel aktivitas enzim tirosinase di dalam melanosit daripada
penurun sintesis enzim tirosinase itu sendiri.
4. Flavonoid, merupakan turunan benzopyrane yang memiliki cincin fenol dan
cincin pyrane, lebih dari 4000 flavonoid telah diidentifikasikan dari berbagai
tanaman. Sinar UVB di lapisan epidermis dapat menghasilkan ROS terutama
dari proses lipid peroksidase membran keratinosit dan melanosit. Flavonoid
dapat berfungsi sebagai antioksidan untuk menangkal radikal bebas ini, sehingga
proses melanogenesis yang dipicu oleh adanya ROS dapat dihambat dan
dinetralisir.
5. Asam kojik, merupakan metabolit jamur seperti Aspergillus, Acetobacter dan
Penicillium. Asam kojik akan mengikat copper sehingga dapat menghambat
aktivitas enzim tirosinase. Asam kojik memiliki efek pengawet dan antibiotik
sehingga bahan ini banyak digunakan pada kosmetik karena sifatnya yang lebih
stabil.
6. Hidrokumarin, merupakan senyawa kumarin yang bekerja langsung pada enzim
tirosinase sehingga menghambat melanogenesis dan juga menghambat sintesis
glutation. Kombinasi antara hidrokumarin dengan vitamin E dapat mencegah
40
hiperpigmentasi dengan bekerja sebagai penetralisir radikal bebas.
2.7.2 Penghambat Transfer Melanosom
Menurut Gu dkk (2014) bahan-bahan yang berperan dalam menghambat
transfer melanosom antara lain :
a. Niasinamid, disebut juga nikotinamid merupakan zat aktif dari vitamin B3.
Niasinamid memiliki efek antiinflamasi, antioksidan dan imunomodulator.
Niasinamid dapat menurunkan pigmentasi kulit hingga 24%.
b. Kedelai, memiliki protein yang dapat mencerahkan kulit yaitu soybean
trypsininhibitor (STI) dan Bowman-Birk inhibitor (BBI). Mekanisme kerjanya
adalah dengan menghambat aktivitas PAR-2 sehingga melanosom tidak dapat
ditransfer ke dalam keratinosit sehingga dapat menurunkan kelainan
pigmentasi hingga 69%.
2.7.3 Agen Sitotoksik Terhadap Melanosit
Bahan-bahan yang bersifat sitotoksik terhadap melanosit antara lain:
a. Asam azeleat, banyak terdapat pada biji-bijian seperti gandum dan barley.
Asam azeleat ini secara klinis telah terbukti dapat mengurangi
hiperpigmentasi, walaupun mekanisme kerjanya masih belum diketahui
dengan jelas. Hipotesis menyatakan bahwa asam azeleat memiliki
kemampuan menghambat produksi energi sintesis DNA melanosit sehingga
41
mampu menurunkan proliferasi melanosit, dan juga secara parsial dapat
menghambat enzim tirosinase (Baumann dan Allemann, 2009).
b. Monobenzon, merupakan bentuk monobenzil eter dari hidrokuinin yang
mempunyai cara kerja dengan menghacurkan melanosit sehingga akan
terbentuk depigmentasi secara permanen. Biasanya cara kerja ini banyak
digunakan dalam perawatan pasien vitiligo, sehingga warna kulit dapat
menjadi putih merata (Rordam dkk., 2012).
2.7.4 Antioksidan
Antioksidan adalah molekul yang dapat menangkap molekul radikal bebas
sehingga menghambat atau menghentikan reaksi oksidatif. Oksidatif adalah
reaksi kimia yang dapat menghasilkan radikal bebas, sehingga memicu reaksi
berantai yang dapat merusak sel (Halliwell dan Guttridge, 2007).
Antioksidan berpengaruh pada regulasi sintesis melanin sehingga
menghambat terjadinya hiperpigmentasi. Antioksidan mencegah pembentukan
prostaglandin sehingga mencegah terjadinya inflamasi dan aktivitas enzim
tirosinase (Baumann dan Allemann, 2009).
Beberapa antioksidan yang telah terbukti memiliki efek antipigmentasi
antara lain:
1. Vitamin C, antioksidan ini bekerja menghambat pembentukan melanin dengan
menurunkan oksidasi melanin dan mencegah DOPAkuinon kembali menjadi
42
DOPA, tetapi karena ketidakstabilan dari senyawa ini maka penggunaannya
masih dipertanyakan.
2. Vitamin E, senyawa α-tocopherol dapat menghambat melanogenesis dengan
cara menghambat aktivitas hidroksilasi enzim tirosin. Efek inhibisi vitamin E
ini lebih tinggi dibanding arbutin dan asam kojik.
3. Green Tea, antioksidan ini sering digunakan baik secara oral maupun topikal.
Mekanisme kerjanya adalah dengan menghambat jalur mitogen activated
protein kinase (MAPK), Ras dan activator protein 1 (AP-1), sehingga dapat
mencegah sunburn, imunosupresi dan photoaging.
4. Alpha Lipoic Acid (ALA), senyawa ini larut dalam air dan lipid, sehingga
dapat bekerja pada tingkat membran sel maupun dalam sel. ALA dapat
menghambat kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh sinar UV, dan
mengikat copper sehingga menurunkan pembentukan melanin. Pada tingkat
inti sel, ALA dapat memblok gen microphthalmia-associated transcription
factor (MITF) sehingga melanin tidak terbentuk.
2.8 Hidrokuinon
Hidrokuinon (HQ) secara alami banyak ditemukan dalam sayuran, buah-
buahan (blueberry, cranberry), biji-bijian (gandum), teh, kopi dan minuman anggur
merah. Hidrokuinon adalah senyawa fenolik yang menurunkan produksi melanin
secara reversibel dengan menghambat oksidasi tyrosine menjadi L-3,4-
43
dihydroxyphenylalanine dengan menekan aktivitas tyrosinase dan melanosome
selektif yang akan merusak melanosit (Chandra dkk., 2012).
2.8.1 Farmakodinamik
Hidrokuinon menurunkan glutathione dan akan menyebabkan kerusakan pada
oksidatif membran lipid dan protein. Hidrokuinon juga memodifikasi pembentukan
melanosom atau menghambat sintesis RNA dan DNA dengan degradasi melanosom
dan destruksi melanosit secara bersamaan. Hidrokuinon mempunyai efek
depigmentasi dengan menghambat enzym tyrosinase hingga 90% dan mencegah
terbentuknya melanosom serta bersifat sitotoksik terhadap melanosit. Hidrokuinon
akan bekerja menurunkan oksidasi enzymatik dari tyrosinase dan oksidasi fenol, yang
akan menghambat produksi melanin dengan cara menghambat golongan sulfidril dan
bertindak sebagai substrak untuk tyrosinase (Tse, 2010).
2.8.2 Efek Samping
Efek samping hidrokuinon dapat menyebabkan iritasi lokal, dermatitis kontak,
perubahan warna kuku, leukoderma, okronosis dan efek halo (Chandra dkk, 2010).
Berdasarkan penelitian yang sudah pernah ada, hidrokuinon dapat menyebabkan
toksisitas akut serta kronis, kelainan pada ginjal (nephropathy), proliferasi sel, dan
bisa berpotensi karsinogenik dan teratogenik. Efek samping akut bisa berupa
dermatitis kontak iritan, hiperpigmentasi postinflamasi dan perubahan warna kuku.
Untuk efek samping kronis biasanya berupa okronosis eksogen yang biasa mengenai
daerah wajah seperti pipi, dahi dan daerah periorbital. Untuk menghindari efek
44
samping ini, biasanya menggunaan hidrokuinon harus diawasi dan dimonitor setiap 3
bulan, dan apabila ada tanda-tanda terjadinya efek samping, maka penggunaan
hidrokuinon harus dihentikan setidaknya 1 bulan lalu pasien diperiksa lebih lanjut
dengan biopsi (Tse, 2010).
2.9 Kacang Merah
Adapun klasifikasi kacang merah menurut rukmana (2009) adalah sebagai berikut :
Regnum : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermaeh
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Leguminales
Famili : Leguminoceae
Subfamili : Papillionaceae
Genus : Phaseolus
Spesies : Phaseolus vulgaris L
Kacang merah (Phaseolus Vulgaris L) merupakan tipe tumbuhan yang tegak
(tidak merambat) dan umumnya dipanen polong tua sehinga disebut bush bean.
Tanaman ini bisa tumbuh tinggi mencapai sekitar 3,5 meter sampai 4,5 meter.
Kacang merah dapat tumbuh baik pada daerah berhawa dingin atau basah dengan
ketinggian antara 1.400 meter hingga 2.000 meter diatas permukaan laut. Temperatur
45
yang dibutuhkan kacang merah untuk tumbuh sekitar 16 derajat celcius hingga 27
derajat celcius. Daerah yang dikenal sebagai penghasil kacang merah di Indonesia
antara lain Lembang, Cipanas, Batu Malang dan Pulau Lombok. Kacang merah
adalah jenis kacang-kacangan yang mudah didapat, dijual di pasar-pasar tradisional,
harganya reatif murah dan memiliki serat cukup tinggi. Kacang merah juga
mempunya susunan asam amino esensial yang lengkap. Kandungan protein dari
kacang merah (23,1) lebih tinggi dibandingkan dengan daing sapi (18,8) dan ayam
(18,2), udang segar (21,0) per 100 gram bahan makanan (Wardani, 2016)
Gambar 2.8
Kacang Merah ( Phaseols vulgaris L )
2.9.1 Kandungan Zat Kacang Merah
Kacang merah memiliki kandungan kimia berupa, vitamin C, antioksidan,
fenol, tannin dan flavonoid. Adapun hasil analisis ekstrak etanol kacang merah di
UPT. Laboratorium Analitik Universitas Udayana (Lampiran 1) yaitu:
46
Tabel 2.2 Hasil Analisis Ekstrak Kacang Merah
Sampel Vitamin C
(mg/100gr)
Flavonoid
(mg/100gr
QE)
Fenol
(mg/100gr
GAE)
Tanin
(mg/100gr
TAE)
Antioksidan
(mg/L
GAEAC)
Ekstrak
Kacang
Merah
799,35 1188,29 1147,08 158,43 944,54
Keterangan:
QE : Quercetine equivalent
GAE : Gallic acid equivalent
TAE : Tannic acid equivalent
GAEAC : Gallic acid equivalent antioxidant capacity
2.9.1.1 Flavonoid
Flavonoid adalah sekelompok besar senyawa polifenol tanaman yang tersebar
luas dalam berbagai bahan makanan dan dalam berbagai konsentrasi. Flavonoid
berperan penting dalam memberikan rasa dan warna pada buah dan sayur.
Kandungan senyawa flavonoid dalam tanaman sangat rendah, sekitar 0.25%.
Komponen tersebut pada umumnya terdapat dalam keadaan terikat atau terkonjugasi
dengan senyawa gula. Flavonoid secara alami juga dilaporkan sebagai derivat benzo-
γ-pirene. Polifenol mempunyai cincin fenol multiple dalam strukturnya dan flavonoid
mempunyai tiga cincin dalam strukturnya (Suen dkk., 2016)
47
Flavonoid bertindak sebagai antioksidan dikarenakan memiliki gugus hidroksil
yang dapat mendonorkan atom hidrogen kepada senyawa radikal bebas dan
menstabilkan ROS. Secara in vitro, senyawa flavonoid telah terbukti mempunyai efek
biologis yang sangat kuat. Sebagai antioksidan, flavonoid dapat menghambat
penggumpalan keping-keping sel darah, merangsang produksi nitrit oksidan yang
dapat melebarkan (relaksasi) pembuluh darah, dan juga menghambat pertumbuhan sel
kanker. Di samping berpotensi sebagai antioksidan dan penangkap radikal bebas (free
radical scavenger), flavonoid juga memiliki beberapa sifat seperti hepatoprotektif,
antitrombotik, antiinflamasi, dan antivirus. Sifat antiradikal flavonoid terutama
terhadap radikal hidroksil, anion superoksida, radikal peroksil, dan alkoksil. Senyawa
flavonoid ini memiliki afinitas yang sangat kuat terhadap ion Fe (Fe diketahui dapat
mengatalisis beberapa proses yang menyebabkan terbentuknya radikal bebas).
Aktivitas anti peroksidatif flavonoid ditunjukkan melalui potensinya sebagai
pengkelat Fe (Suen dkk., 2016).
Pada kacang merah, didapatkan flavonoid isoflavon dan proantosianidin.
Isoflavon merupakan jenis flavonoid yang paling umum ditemukan pada kacang-
kacangan, seperti kedelai, kacang hitam, kacang merah, dan kacang hijau. Isoflavon
juga diketahui memiliki potensi untuk mencegah penyakit kronik seperti
kardiovaskular dan kanker (Saewan dan Jimtaisong, 2013)
Antosianin merupakan pigmen yang bertanggung jawab terhadap warna pada
buah, sayur, biji-bijian dan bunga. Antosianin termasuk kategori flavonoid, yang
48
dalam penelitian memiliki kekuatan 150 kali lebih besar dari flavonoid dimana
kurang lebih 4.000 jenis flavonoid yang sudah teridentifikasi. Antosianin mempunyai
sifat antioksidan dan sebagai penghambat enzim tirosinase. Beberapa penelitian juga
menunjukkan bahwa selain sebagai antioksidan, antosianin juga mempunyai efek
anti-inflamasi, efek anti-diabetik, anti-kanker, dan dapat memperbaiki profil lipid
darah dan memiliki efek vasoprotektif (Wrolstad, 2001).
Antosianin melindungi dengan berbagai cara :
1. Menetralkan enzim yang menghancurkan jaringan ikat
2. Kapasitas antioksidan yaitu mencegah oksidan dari kerusakan jaringan
ikat, memperbaiki kerusakan protein pada dinding pembuluh darah.
3. Mempunyai kemampuan mencegah reaksi alergi.
4. Melindungi vitamin E dan carotenoid dalam partikel LDL dari oksidasi
(Miguel, 2011)
Ada 3 macam antosianin pada kacang merah yaitu pelargonidin 3-O-β-D-
glucoside (P3G), cyanidin 3-O-β-D-glucoside (C3G) dan delphinidin 3-O-β-D-
glucoside (D3G). Dengan pemeriksaan metode pemeriksaan spektroskopik,
antosianin ini memliki efek sebagai penghambat enzim tirosinase yang baik. Untuk
efek penghambat enzim tirosinase paling kuat adalah oleh C3G dan yang terlemah
adalah P3G ( Tsuda dan Osawa, 1997).
Cyanidin 3-O-β-D-glucoside merupakan antosianin yang paling umum kita
temukan pada bahan-bahan alami. Sifatnya sebagai penghambat enzim tirosinase
49
sehingga antosianin ini dapat mencegah terbentuknya ROS dari paparan sinar UVA
maupun sinar UVB.
Gambar 2.9
Struktur Flavonoid Kacang Merah ( Tsuda dan Osawa, 1997 )
2.9.1.2 Fenol
Fenol mempunyai efek melindungi kulit dari radiasi sinar UV. Polifenol
mempunyai efek antiinflamasi, imunomodulator, memperbaiki DNA yang rusak dan
memperbaiki fungsi sel. Oleh karena fungsinya ini maka polifenol dapat menghambat
terjadinya proses melanogenesis sehingga peningkatan jumlah melanin tidak terjadi.
2.9.1.3 Vitamin C
Vitamin C atau asam askorbat merupakan antioksidan yang larut dalam air
(aqueous antioxidant), banyak ditemukan dalam buah-buahan. Senyawa ini,
merupakan bagian dari sistem pertahanan tubuh pada senyawa oksigen reaktif dalam
plasma dan sel. Dalam keadaan murni, vitamin C berbentuk kristal putih dengan berat
50
molekul 176,13 dan rumus molekul C6H606. Sebagai antioksidan, vitamin C bekerja
sebagai donor elektron, dengan cara memindahkan satu elektron ke senyawa logam
Cu. Selain itu, vitamin C juga dapat menyumbangkan elektron, ke dalam reaksi
biokimia intraseluler dan ekstraseluler. Oleh karena itu, kemampuan vitamin C
sebagai penghambat radikal bebas penting dalam menjaga integritas membran sel.
Vitamin C saat diluar dari sel mampu menghilangkan senyawa oksigen reaktif,
mencegah terjadinya LDL teroksidasi, mentransfer elektron ke dalam tokoferol
teroksidasi dan mengabsorpsi logam dalam saluran pencernaan. Pada umumnya,
penggunaan vitamin C sebagai antioksidan berkombinasi dengan sumber antioksidan
lain.
2.9.1.4 Tanin
Tanin adalah senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada beberapa tanaman,
sifatnya dapat larut dalam air, gliserol, alkohol, dan hidroalkohol, namun tidak larut
dalam benzene dan eter. Tanin mampu mengikat protein, sehingga protein pada
tanaman dapat resisten terhadap degradasi oleh enzim protease. Tanin selain
mengikat protein juga bersifat melindungi protein dari degradasi enzim mikroba
maupun enzim protease pada tanaman (Ignat dkk., 2011), sehingga tanin sangat
bermanfaat dalam menjaga kualitas silase. Tanin merupakan senyawa kimia yang
tergolong dalam senyawa polifenol (Deaville dkk., 2010). Tanin mempunyai
kemampuan mengendapkan protein, karena tanin mengandung sejumlah kelompok
ikatan fungsional yang kuat dengan molekul protein yang selanjutnya akan
51
menghasilkan ikatan silang yang besar dan komplek yaitu protein tanin. Tanin
bersifat sebagai antioksidan dan juga mempunyai kemampuan sebagai anti tirosinase
(Feng dkk., 2014).
2.9.2 Mekanisme flavonoid sebagai antioksidan
Paparan sinar UVB dapat menghasilkan ROS pada lapisan epidermis yang
terjadi dari proses lipid peroksidase membran keratinosit dan melanosit.
Flavonoid dapat berfungsi sebagai antioksidan untuk menangkal terbentuknya
radikal bebas, sehingga proses melanogenesis yang distimulasi oleh adanya ROS
dapat dihambat dan dinetralisir (Baumann dan Alleman, 2009).
2.9.3 Mekanisme flavonoid sebagai Thyrosinase inhibitor
Enzim tirosinase (monofenol monooksidase) adalah enzim yang mengandung
cooper dengan aktivitas kimia sebagai katalisator proses hidroksilasi orto-monofenol
menjadi orto-difenol dan katalisator proses oksidasi orto-difensol menjadi orto-
kuinon. Penghambat enzim tirosinase dibagi menjadi 4 group, yaitu :
1. Competitive Thyrosinase Inhibitors, merupakan zat yang dapat berikatan
dengan free enzyme sehingga enzim tidak dapat berikatan dengan substratnya,
contoh zat ini adalah cooper chelator, non metabolized analog dan turunan
substrat itu sendiri.
52
2. Uncompetitive Tyrosinase Inhibitors, merupakan zat yang hanya akan
berikatan dengan kompleks enzim-substrat.
3. Mixed Tyrosinase Inhibitors, merupakan kombinasi antara competitive dan
uncompetitive, tetapi dengan perbandingan yang tidak sama.
4. Non competitive Tyrosinase Inhibitors, merupakan kombinasi seimbang antara
competitive dengan uncompetitive inhibitors (Zwergel dkk., 2011).
Gambar 2.10
Mekanisme Flavonoid, Vitamin C , Tanin dalam Menghambat Pembentukan Melanin
TANIN
53
Keterangan: Tirosinase merupakan enzim yang mengkatalisis terjadinya melanin (
Pheomelanin dan Eumelanin ). Apabila kerja enzim tirosinase dihambat maka sintesis
melanin tidak akan terjadi.
2.10 Krim
Krim merupakan emulsi setengah padat atau cairan kental. Jenis krim ada dua,
yaitu air dalam minyak dan minyak dalam air. Krim pada dasarnya merupakan salep
yang kadar minyaknya telah dikurangi dengan penambahan air sehingga berfungsi
sebagai emulsi (Mahalingam dkk., 2008).
Saat ini produk-produk kosmetik seperti krim banyak ditambahkan dengan zat
antioksidan. Antioksidan topikal ini berfungsi untuk menekan efek ROS pada
kulit sehingga bisa menekan atau mencegah terjadinya proses melanogenesis.
Basis krim minyak dalam air menjadi pilihan antioksidan topikal karena stabil,
mudah menyerap serta mudah dihapus (Dreher dan Maibach, 2011).
2.11 Marmut (Cavia porcellus)
Penggunaan marmut sebagai hewan coba harus sesuai dengan etika yang
berlaku. Sesuai dengan hasil lokakarya Pembentukan Panitia Etik Penelitian
Kedokteran Tahun 1986 disebutkan bila percobaan menimbulkan sesuatu yang lebih
dari sekedar rasa nyeri atau penderitaan ringan dalam waktu singkat, harus dilakukan
dengan premedikasi yang memadai dan dianestesi sesuai dengan praktik kedokteran
hewan yang lazim. Hal lainnya yang harus diperhatikan ialah pada akhir percobaan,
54
hewan yang akan menanggung nyeri hebat atau kronik penderitaan, rasa tidak enak,
cacat yang tidak dapat disembuhkan, harus dibunuh dengan cara yang layak
(Fatchiyah, 2013).
Alasan pemilihan marmut karena secara biologis mirip marmut dengan manusia
dan memiliki pigmen melanin baik dari jenis eumelanin dan pheomelanin, tetapi ada
juga yang tidak memiliki melanin atau albino. Marmut lebih penakut dibandingkan
mencit atau kelinci, jarang menggigit, marmut juga mempunyai proporsi berat badan
dan kaki yang tidak sebanding, sehingga walaupun dipelihara secara berkelompok
mereka tidak mudah untuk melarikan diri. Berat lahir marmut sekitar 75-100 gram,
berat usia dewasa betina 450 gram dan jantan 500 gram (Suryanto, 2012).
Klasifikasi Marmut adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Class : Mammalia
Order : Rodentia
Suborder : Hystricomorpha
Family : Caviidae
Subfamily : Caviinae
Genus : Cavia
Species : Cavia porcellus
55
Gambar 2.11
Marmut (Cavia porcellus)