Post on 03-Mar-2019
BAB II
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN RESTRUKTURISASI ORGANISASI PERANGKAT DAERAH: SUATU KERANGKA TEORI
Pada Bab ini akan diuraikan berbagai konsep terkait dengan penelitian
yang akan dilakukan. Adapun konsep-konsep tersebut meliputi: konsep
implementasi kebijakan, model implementasi kebijakan, konsep perubahan
organisasi dan restrukturisasi organisasi daerah. Secara lebih detail konsep
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
2.1 Konsep Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah
kebijakan dapat mencapai tujuannya. Untuk mengimplementasikan
kebijakan publik, maka terdapat dua pilihan langkah yang bisa diambil,
yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program atau
melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik
tersebut (Nugroho, 2008:494). Secara umum dua pilihan langkah tersebut
dapat digambarkan berikut:
17Universitas Indonesia
Implementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
18
Kebijakan publik dalam bentuk Undang-undang atau Perda adalah
jenis kebijakan publik yang memerlukan kebijakan publik penjelas atau
yang sering diistilahkan sebagai peraturan pelaksanaan. Kebijakan publik
yang bisa langsung operasional antara lain Keppres, Inpres, Keputusan
Menteri, Keputusan Kepala Daerah, Keputusan Kepala Dinas, dan lain-lain.
Mazmanian dan Sabatier menyatakan bahwa:
“Implementation is the carrying out of a basic policy decision, usually
incorporated in a statute but which can also take form of important
executive orders or court decision. Ideally that decision identifies the
problem (s) to be addressed, stipulates the objective (s) to be pursued,
and, in a variety of ways, “structures” the implementation process. The
process normally runs through a number of stages beginning with
passage of the basic statute, followed by the policy outputs (decisions) of
the implementing agencies, the compliance of target groups with those
decisions, the actual impacts-both intended and unintended-of those
outputs, the perceived impacts of agency decisions, and, finally,
Universitas Indonesia
Gambar 2.1Sekuensi Implementasi Kebijakan
Kebijakan Publik
Kebijakan PublikPenjelas Program
Proyek
Kegiatan
Pemanfaat(beneficiaries)
Sumber: Nugroho, 2008:495
Implementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
19
important revisions (or attempted revisions) in the basic statute”
(Mazmanian, 1983:20-21).
Pengertian implementasi menurut Mazmanian tersebut dapat
diartikan bahwa implementasi merupakan pelaksanaan keputusan kebijakan
dasar yang biasanya dilakukan dalam bentuk undang-undang atau perintah-
perintah maupun keputusan-keputusan eksekutif maupun badan peradilan.
Biasanya keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang dihadapi,
tujuan yang ingin dicapai, dan struktur dari proses implemenatsi. Proses ini
normalnya melewati berbagai tahapan yaitu mengeluarkan peraturan
dasarnya selanjutnya diikuti keputusan kebijakan dari agen pelaksana,
dampak aktual, dan terakhir revisi terhadap aturan dasarnya.
Selanjutnya Mazmanian dan Sabatier dalam Wahab (2008)
menyatakan bahwa mempelajari masalah implementasi kebijakan berarti
berusaha untuk memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu
program diberlakukan atau dirumuskan, yakni peristiwa-peristiwa dan
kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah proses pengesahan kebijakan negara
baik itu menyangkut usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun
usaha-usaha untuk memberikan dampak tertentu pada masyarakat ataupun
peristiwa-peristiwa.
Abdul Wahab (2008) mengatakan bahwa fungsi implementasi
kebijakan adalah untuk membentuk suatu hubungan yang memungkinkan
tujuan-tujuan ataupun sasaran-sasaran kebijaksanaan negara diwujudkan
sebagai “outcome” (hasil akhir) kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh
pemerintah. Sebab itu, fungsi implementasi mencakup pula penciptaan apa
yang dalam ilmu kebijaksanaan negara (policy science) disebut “policy
delivery System” (sistem penyampaian/penerusan kebijaksanaan negara).
Implementasi kebijakan merupakan salah satu komponen dari
keseluruhan proses kebijakan publik yang terjadi. Menurut Mustopadidjaja
(2002:2-3) kebijakan publik merupakan fenomena yang kompleks dan
dinamis yang dapat dikaji dari berbagai disiplin ilmu. Selanjutnya dikatakan
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
20
bahwa proses kebijakan dapat dipandang merupakan rangkaian kegiatan
yang meliputi paling tidak tiga kelompok kegiatan utama, yaitu: (1)
formulasi kebijakan, (2) pelaksanaan kebijakan, dan (3) evaluasi kinerja
kebijakan, yang perlu dilakukan dalam rangka pemantauan, pengawasan,
dan pertanggungjawaban yang dikenal sebagai “Policy Cycle”. Hal yang
sama juga disampaikan oleh Ripley dan Franklin (1987) bahwa proses
kebijakan terdiri atas: tahap formulasi, tahap implementasi, dan tahap
penilaian terhadap kinerja. Namun proses implementasi bukanlah proses
mekanis dimana setiap aktor akan secara otomatis melakukan apa saja yang
seharusnya dilakukan sesuai dengan skenario pembuat kebijakan, tetapi
merupakan proses kegiatan yang acapkali rumit, diwarnai benturan
kepentingan antar aktor yang terlibat baik sebagai administrator, petugas
lapangan atau kelompok sasaran.
Hal senada disampaikan oleh Jones (1991) bahwa implementasi
kebijakan mudah dimengerti dalam bentuknya yang abstrak (teori dan
konsep) tetapi tidaklah demikian dalam bentuknya yang konkrit. Artinya
implementasi kebijakan dengan mudah dapat dipahami, akan tetapi dalam
bentuknya yang konkrit dalam pelaksanaan dan realisasinya secara nyata
bukanlah sesuatu yang mudah.
Menurut Wibawa (1994), proses implementasi yang dilakukan
setelah ditetapkan dan dilegitimasikannya kebijakan dimulai dengan
interpretasi terhadap kebijakan itu sendiri. Pada pengertiannya yang steril,
pembuatan kebijakan disatu pihak merupakan proses yang memiliki logika
bottom-up, dalam arti proses ini diawali dengan pemetaan kebutuhan atau
pengakomodasian tuntutan lingkungan lalu diikuti dengan pencarian
alternatif cara pemenuhannya. Sebaliknya implementasi kebijakan di pihak
lain pada dirinya sendiri mengandung logika yang top-down: menurunkan
alternatif kebijakan yang abstrak atau makro menjadi tindakan-tindakan
yang konkrit dan mikro. Menurut Bardach (1979) implementasi adalah suatu
proses dari interaksi strategis diantara kepentingan khusus dari pemilik
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
21
tujuan yang mungkin atau yang tidak mungkin berhubungan dengan tujuan-
tujuan dari yang memberi mandat kebijakan.
Selanjutnya Van Meter dan Van Horn mengemukakan bahwa
implementasi diartikan sebagai “those actions by public and private
individuals (or groups) that are directed at the achievement of objectives set
forth in prior policy decisions” (1975) atau dapat diartikan bahwa
implementasi diartikan sebagai seluruh tindakan oleh publik dan individu
atau kelompok yang diartikan pada pencapaian tujuan dalam keputusan
suatu kebijakan.
Dari pendapat para ahli tersebut, implementasi kebijakan dapat
diartikan sebagai kegiatan untuk melaksanakan suatu kebijakan yang
dituangkan dalam suatu peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah
maupun lembaga negara lainnya dalam rangka mencapai tujuan yang
dituangkan dalam kebijakan tersebut.
Dengan demikian, kebijakan restrukturisasi organisasi perangkat
daerah di Provinsi DKI Jakarta telah melalui tahap formulasi dan memasuki
tahap implementasi, yaitu dengan telah diberlakukannya Peraturan Daerah
Nomor 10 Tahun 2008 tentang Organisasi Perangkat Daerah Provinsi DKI
Jakarta. Hal ini berarti telah ada kebijakan publik yang dikeluarkan,
sebagaimana digambarkan oleh Dye sebagai berikut:
Gambar 2.2Proses Implementasi Kebijakan
Sumber: Sunggono (1994)
Apabila proses implementasi telah berjalan, maka diharapkan akan
muncul suatu keluaran yaitu hasil segera (effect) dan dampak akhir (impact).
Hasil segera adalah pengaruh atau akibat jangka pendek yang dihasilkan
Universitas Indonesia
KebijakanPublik
ProsesImplementasi
Hasil Segera(effect)
Dampak Akhir(impact)
Implementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
22
oleh suatu implementasi kebijakan, sedangkan dampak kebijakan adalah
sejumlah akibat yang dihasilkan oleh implementasi kebijakan melalui proses
jangka panjang. Hasil segera dan dampak yang ditimbulkan kan sangat
berguna untuk menilai implementasi dari suatu kebijakan.
Berdasarkan pendapat di atas, hasil segera dari kebijakan
restrukturisasi organisasi perangkat daerah adalah terciptanya organisasi
perangkat daerah yang proporsional, efektif dan efisien sesuai dengan
kebutuhan dan urusan yang harus ditangani. Sedangkan dampak akhirnya
adalah semakin meningkatnya pelayanan kepada masyarakat yang dilakukan
oleh organisasi perangkat daerah.
Dalam konteks konsep manajemen, implementasi kebijakan berada
dalam kerangka organizing-leading-controlling. Dengan demikian, aktifitas
selanjutnya setelah sebuah kebijakan diformulasikan adalah
mengorganisasikan, melaksanakan kepemimpinan, dan melakukan
pengendalian pelaksanaan kebijakan tersebut. Implementasi harus
diintegrasikan dengan pembuatan kebijakan, dan tidak boleh dianggap
sebagai proses yang berjalan terpisah dari pembuatan kebijakan.
Studi implementasi kebijakan membahas berbagai aspek. Ada 4
(empat) aspek yang perlu dikaji dalam studi implementasi kebijakan yaitu:
(1) siapa yang mengimplementasikan, (2) hakekat dan proses administarsi,
(3) kepatuhan dan (4) dampak dari pelaksanaan kebijakan (Anderson, 1979).
Sementara fokus perhatian dalam penelitian implementasi menyangkut 2
(dua) hal, yaitu: “complience” (kepatuhan) dan “what’s happening”? (apa
yang terjadi). “Kepatuhan” menunjuk pada apakah para implementor patuh
terhadap prosedur atau standar aturan yang telah ditetapkan. Sementara itu,
“apa yang terjadi” mempertanyakan bagaimana proses implementasi itu
dilakukan, hambatan apa yang muncul, apa yang berhasil dicapai, mengapa
dan sebagainya (Ripley dan Franklin, 1986).
Mendasarkan pada pendapat di atas, maka fokus penelitian
implementasi tidak hanya bersangkutan dengan tingkat kepatuhan
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
23
implementor terhadap aturan atau standar yang telah ditetapkan, tetapi juga
mempertanyakan hambatan-hambatan yang muncul dalam proses
pengimplementasiannya.
Tidak semua kebijakan berhasil dilaksanakan secara baik, karena
implementasi kebijakan pada umumnya memang lebih sukar dari sekedar
merumuskannya. Implementasi menyangkut kondisi riil yang sering berubah
dan sulit diprediksi. Disamping itu, dalam perumusan kebijakan biasanya
terdapat asumsi, generalisasi dan simplikasi, yang dalam implementasi tidak
mungkin dilakukan. Akibatnya dalam kenyataan terjadi apa yang disebut
Andrew Dunsire (1978) sebagai “implementation gap”, yaitu kesenjangan
atau perbedaan antara apa yang dirumuskan dengan apa yang dilaksanakan.
Banyak terjadi kebijakan yang dibuat sangat bagus dan tujuan, strategi,
sasaran juga sudah dirumuskan dengan benar dan tepat tetapi dalam
pelaksanaannya tidak efektif atau tidak sesuai dengan yang diharapkan, hal
ini banyak disebabkan oleh lemahnya proses implementasi. Dalam batas
tertentu kesenjangan ini masih dapat dibiarkan, sekalipun dalam monitoring
harus diidentifikasi untuk segera diperbaiki. Kesenjangan yang lebih besar
dari batas toleransi harus segera diperbaiki. Besar kecilnya kesenjangan
tersebut sedikit banyak tergantung pada apa yang oleh Walter williams
disebut sebagai “implementation capacity” dari organisasi/aktor atau
kelompok organisasi/aktor yang dipercaya untuk mengemban tugas
mengimplementasikan kebijakan tersebut. Implementation capacity tidak
lain adalah kemampuan suatu organisasi/aktor untuk melaksanakan
keputusan kebijakan (policy decision) sedemikian rupa sehingga ada
jaminan bahwa tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan dalam dokumen
formal kebijakan dapat dicapai (Wahab, 2008:61).
Menurut Hogwood dan Gunn (1986), kegagalan kebijakan (policy
failure) dapat disebabkan antara lain, pertama, karena tidak dilaksanakan
atau dilaksanakan tidak sebagaimana mestinya (non implementation), kedua,
karena tidak berhasil atau mengalami kegagalan dalam proses pelaksanaan
(unsuccesful implementation). Non implementation berarti bahwa suatu
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
24
kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana, mungkin karena pihak-
pihak yang terlibat dalam pelaksanaannya tidak mau bekerjasama, atau
mereka bekerja secara tidak efisien, atau tidak sepenuhnya menguasai
permasalahan, atau kemungkinan permasalahan yang dihadapi diluar
jangkauan kekuasaannya, sehingga betapapun gigih usaha mereka,
hambatan-hambatan yang ada tidak sanggup mereka tanggulangi.
Akibatnya, implementasi yang efektif sulit untuk dipenuhi .
Sementara itu, unsuccessful implementation biasanya terjadi ketika
kebijakan tertentu telah dilaksanakan sesuai dengan rencana, namun
mengingat kondisi eksternal ternyata tidak menguntungkan (misalnya tiba-
tiba terjadi pergantian kekuasaan, bencana alam, dan lainnya), kebijakan
tersebut tidak berhasil dalam mewujudkan dampak atau hasil akhir yang
dikehendaki. Biasanya kebijakan yang mempunyai resiko untuk gagal
tersebut disebabkan oleh pelaksanaannya jelek (bad execution),
kebijakannya itu sendiri yang jelek (bad policy), atau kebijakan tersebut
memang bernasib jelek (bad luck).
2.2 Model Implementasi Kebijakan
Keberhasilan implementasi kebijakan akan ditentukan oleh banyak
variabel atau faktor, dan masing-masing variabel tersebut saling
berhubungan satu sama lain. Keberhasilan implementasi kebijakan sangat
ditentukan oleh model implementasi yang mampu menjamin kompleksitas
masalah yang akan diselesaikan melalui kebijakan tertentu. Model
implementasi kebijakan ini tentunya diharapkan merupakan model yang
semakin operasional sehingga mampu menjelaskan hubungan kausalitas
antar variabel yang terkait dengan kebijakan (Wahab, 2008:70).
1. Model Brian W.Hogwood dan Lewis A.Gunn (The Top Down
Approach)
Untuk dapat mengimplementasikan kebijakan publik secara
sempurna (perfect Implementation) menurut Hogwood dan Gunn (1978;
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
25
1985), diperlukan beberapa persyaratan. Adapun syarat-syarat tersebut
adalah sebagai berikut (Wahab, 2008):
a. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh Badan/Instansi
pelaksana tidak akan menimbulkan gangguan/kendala yang serius.
Beberapa kendala (constraint) pada saat implementasi
kebijakan seringkali berada diluar kendali para administrator, sebab
hambatan-hambatan itu memang diluar jangkauan wewenang
kebijakan dan badan pelaksana.
Ada pula hambatan-hambatan yang bersifat politis, artinya
bahwa kebijakan maupun tindakan yang diperlukan untuk
melaksanakannya tidak diterima/tidak disepakati oleh berbagai pihak
yang kepentingannya terkait yang memiliki kekuasaan untuk
membatalkannya. Kendala-kendala semacam ini cukup jelas dan
mendasar sifatnya, sehingga sedikit sekali yang bisa diperbuat oleh
para administrator untuk mengatasinya.
b. Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumber-
sumber yang cukup memadai.
Syarat kedua ini kerapkali muncul diantara kendala-kendala
yang bersifat eksternal. Artinya, kebijakan yang memiliki tingkat
kelayakan fisik dan politis tertentu bisa saja tidak berhasil mencapai
tujuan yang diinginkan karena alasan terlalu banyak berharap dalam
waktu yang terlalu pendek, khususnya persoalannya menyangkut
sikap dan perilaku. Alasan lainnya adalah bahwa para politisi
kadangkala hanya peduli dengan pencapaian tujuan, namun kurang
peduli dengan penyediaan sarana untuk mencapainya, sehingga
tindakan-tindakan pembatasan/pemotongan terhadap pembiayaan
program mungkin akan membahayakan upaya pencapaian tujuan
program karena sumber-sumber yang tidak memadai. Masalah lain
yang biasa terjadi adalah apabila dana khusus untuk membiayai
pelaksanaan program sudah tersedia harus dapat dihabiskan dalam
tempo yang amat singkat, terkadang lebih cepat dari kemampuan
program/proyek untuk secara efektif menyerapnya.
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
26
Kekhawatiran mengenai keharusan untuk mengembalikan dana
proyek yang tidak terpakai habis pada setiap akhir tahun anggaran
seringkali menjadi penyebab kenapa instansi-instansi pemerintah
selalu berada pada situasi kebingungan, sehingga karena takut dana
itu menjadi hangus, tidak jarang terbeli atau dilakukan hal-hal yang
sesungguhnya tidak perlu.
c. Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar tersedia
Persyaratan ketiga ini lazimnya mengikuti persyaratan kedua,
artinya di satu pihak harus dijamin tidak terdapat kendala-kendala
pada semua sumber-sumber yang diperlukan, dan di lain pihak, pada
setiap tahapan proses implementasinya perpaduan diantara sumber-
sumber tersebut benar-benar dapat disediakan.
d. Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh
suatu hubungan kausalitas yang handal.
Kebijakan kadangkala tidak dapat diimplementasikan secara
efektif bukan karena implementasinya yang sembrono/asal-asalan,
melainkan karena kebijakannya itu sendiri yang memang buruk (bad
policy). Sejak awal perumusan kebijakan tersebut kemungkinan
dilakukan secara sembrono, tidak lengkapnya informasi yang
diperlukan dalam perumusan kebijakan, salah memilih masalah,
tujuan dan target yang tidak jelas, dan sebagainya.Dalam kaitan ini
Pressman dan Wildavsky (1973), menyatakan secara tegas bahwa
setiap kebijakan pemerintah pada hakekatnya memuat hipotesis
(sekalipun tidak secara eksplisit) mengenai kondisi-kondisi awal dan
akibat-akibat yang diramalkan bakal terjadi sesudahnya. Oleh karena
itu, apabila ternyata kelak kebijakan itu gagal, maka kemungkinan
penyebabnya bersumber pada ketidaktepatan teori yang menjadi
landasan kebijakan tadi dan bukan karena implementasinya yang
keliru.
e. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit
mata rantai penghubungnya
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
27
Dalam hubungan ini, Pressman dan wildavsky (1973)
memperingatkan bahwa kebijakan-kebijakan yang hubungan sebab
akibatnya tergantung pada mata rantai yang amat panjang maka akan
mudah sekali mengalami keretakan, sebab semakin panjang mata
rantai kausalitas, semakin besar hubungan timbal balik diantara mata
rantai penghubungnya dan semakin menjadi kompleks
implementasinya.
f. Hubungan saling ketergantungan harus kecil
Implementasi yang sempurna menuntut adanya persyaratan bahwa
hanya terdapat badan pelaksana tunggal (single agency) untuk
keberhasilan misi yang diembannya, tidak perlu tergantung pada
badan-badan lain, atau kalaupun dalam pelaksanaannya harus
melibatkan badan-badan/instansi lainnya, maka hubungan
ketergantungan dengan organisasi-organisasi ini haruslah pada
tingkat yang minimal. Jika implementasi suatu program ternyata
tidak hanya membutuhkan serangkaian tahapan dan jalinan
hubungan tertentu, melainkan juga kesepakatan/komitmen terhadap
setiap tahapan diantara sejumlah besar aktor/pelaku yang terlibat,
maka peluang bagi keberhasilan implementasi kebijakan akan
semakin berkurang.
g. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan
Persyaratan ini mengharuskan adanya pemahaman yang menyeluruh
mengenai kesepakatan terhadap tujuan dan sasaran yang akan
dicapai, dan keadaan ini harus dapat dipertahankan selama proses
implementasi. Tujuan harus dirumuskan dengan jelas, spesifik,
dipahami serta disepakati oleh seluruh pihak yang terlibat dalam
organisasi.
h. Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang
tepat
Persyaratan ini mengandung makna bahwa untuk menuju tercapainya
tujuan-tujuan yang telah disepakati, masih dimungkinkan untuk
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
28
merinci dan menyusun dalam urutan-urutan yang tepat seluruh tugas
yang harus dilaksanakan oleh setiap pihak yang terlibat.
i. Komunikasi dan koordinasi yang sempurna
Persyaratan ini menggariskan bahwa harus ada komunikasi dan
koordinasi yang sempurna diantara berbagai unsur yang terlibat
dalam program. Koordinasi bukan sekedar menyangkut persoalan
mengkomunikasikan informasi ataupun membentuk struktur-struktur
administrasi yang cocok, melainkan menyangkut persoalan yang
lebih mendasar yaitu praktek pelaksanaan kekuasaan.
j. Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat
menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna.
Persyaratan yang terakhir ini menjelaskan bahwa harus terdapat
kondisi ketundukan penuh dan tidak ada penolakan terhadap perintah
dari siapapun dalam sistem administrasi itu. Apabila terdapat potensi
penolakan terhadap perintah itu, maka ia harus dapat diidentifikasi
oleh kecanggihan sistem informasinya dan dicegah sedini mungkin
oleh sistem pengendalian yang handal. Dengan kata lain, persyaratan
ini menegaskan bahwa mereka yang memiliki wewenang seharusnya
juga memiliki kekuasanaan dan mampu menjamin tumbuh
kembangnya sikap patuh yang menyeluruh dan serentak dari pihak-
pihak lain (baik yang berasal dari kalangan dalam badan/organisasi
sendiri maupun yang berasal dari luar) yang kesepakatan dan
kerjasamanya diperlukan demi keberhasilan program.
2. Model Implementasi kebijakan George Edwards III
Menurut Edwards, studi implementasi kebijakan adalah krusial
bagi public administration dan public policy. Implementasi kebijakan
adalah tahap pembuatan kebijakan antara pembentukan kebijakan dan
konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang
dipengaruhinya. Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat
mengurangi masalah yang merupakan sasaran dari kebijakan, maka
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
29
kebijakan itu mungkin akan mengalami kegagalan sekalipun kebijakan
itu diimplementasikan dengan sangat baik. Sementara itu, suatu
kebijakan yang cemerlang mungkin juga akan mengalami kegagalan jika
kebijakan tersebut kurang diimplementasikan dengan baik oleh para
pelaksana kebijakan.
Dalam kajian implementasi kebijakan, Edwards mulai dengan
mengajukan dua buah pertanyaan, yaitu: prakondisi apa yang diperlukan
sehingga suatu implementasi kebijakan berhasil? Kedua, hambatan
utama apa yang mengakibatkan suatu implementasi gagal? Menurut
Edwards, terdapat empat faktor atau variabel krusial dalam implementasi
kebijakan publik. Faktor-faktor atau variabel tersebut adalah
komunikasi, sumber-sumber, kecenderungan-kecenderungan atau
tingkah laku dan struktur birokrasi (Winarno, 2007:174-202).
a. Komunikasi
Menurut Edwards, persyaratan pertama bagi implementasi
kebijakan yang efektif adalah bahwa mereka yang melaksanakan
keputusan harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan.
Keputusan-keputusan kebijakan dan perintah-perintah harus
diteruskan kepada personil yang tepat sebelum keputusan-keputusan
dan perintah-perintah itu dapat diikuti. Tentu saja komunikasi-
komunikasi harus akurat dan harus dimengerti dengan cermat oleh
para pelaksana. Akan tetapi banyak hambatan-hambatan yang
menghadang transmisi komunikasi-komunikasi pelaksanaan dan
hambatan-hambatan ini mungkin menghalangi pelaksanaan
kebijakan.
Jika kebijakan ingin diimplementasikan sebagaimana
mestinya, maka petunjuk pelaksanaan tidak hanya harus dipahami,
melainkan juga petunjuk-petunjuk itu harus jelas. Jika petunjuk-
petunjuk pelaksanaan itu tidak jelas, maka para pelaksana
(implementators) akan mengalami kebingungan tentang apa yang
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
30
harus mereka lakukan. Selain itu, mereka juga akan mempunyai
keleluasaan untuk memaksakan pandangan-pandangan mereka
sendiri pada implementasi kebijakan, dimana pandangan-pandangan
itu mungkin berbeda dengan pandangan-pandangan atasan mereka
atau pandangan-pandangan yang seharusnya dijadikan acuan.
Aspek lain dari komunikasi menyangkut petunjuk-petunjuk
pelaksanaan adalah masalah konsistensi. Konsistensi disini
mengandung pengertian bahwa jika implementasi kebijakan ingin
berlangsung efektif, maka perintah-perintah pelaksanaan harus
konsisten dan jelas. Walaupun perintah-perintah yang disampaikan
kepada pelaksana kebijakan mempunyai unsur kejelasan, tetapi
apabila perintah tersebut bertentangan mana perintah tersebut tidak
akan memudahkan para pelaksana kebijakan menjalankan tugasnya
dengan baik. Keputusan-keputusan yang bertentangan juga akan
membingungkan dan menghalangi staf dan menghambat kemampuan
mereka untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan secara efektif. Di
sisi lain, perintah-perintah implementasi kebijakan yang tidak
konsisten akan mendorong para pelakasana mengambil tindakan
yang sangat longgar dalam menafsirkan dan mengimplementasikan
kebijakan. Sementara itu banyak hal yang mendorong terjadinya
komunikasi yang tidak konsisten dan menimbulkan dampak-dampak
buruk bagi implementasi kebijakan.
b. Sumber-sumber
Perintah-perintah implementasi mungkin diteruskan secara
cermat, jelas dan konsisten, tetapi jika para pelaksana kekurangan
sumber-sumber yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan-
kebijakan, maka implementasi ini pun cenderung tidak efektif.
Dengan demikian, sumber-sumber dapat merupakan faktor yang
penting dalam melaksanakan kebijakan publik. Sumber-sumber yang
penting meliputi: staf yang memadai serta keahlian-keahlian yang
baik untuk melaksanakan tugas-yugas mereka, wewenang dan
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
31
fasilitas-fasilitas yang diperlukan untuk menterjemahkan usul-usul di
atas kerta guna melaksanakan pelayanan publik.
Jumlah staf yang banyak tidak secara otomatis mendorong
implementasi yang berhasil. Para pelaksana harus memiliki
ketrampilan dan keahlian/kompetensi yang diperlukan untuk
melaksanakan kebijakan. Kurang memadainya personel dapat
menghambat pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang menjangkau
banyak pembaruan.
Informasi merupakan sumber penting kedua dalam
implementasi kebijakan. Terdapat dua bentuk informasi, yang
pertama informasi mengenai bagaimana melaksanakan suatu
kebijakan. Pelaksana-pelaksana (implementators) perlu mengetahui
apa yang dilakukan dan bagaimana mereka harus melakukannya.
Dengan demikian, para pelaksana kebijakan harus diberi petunjuk
untuk melaksanakan kebijakan. Bentuk kedua dari informasi adalah
data tentang ketatatan personil-personil lain terhadap peraturan-
peraturan pemerintah. Pelaksana-pelaksana harus mengetahui apakah
orang-orang lain yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan mentaati
undang-undang ataukah tidak.
Fasilitas fisik mungkin pula merupakan sumber-sumber
penting dalam implementasi. Seorang pelaksana mungkin
mempunyai staf yang memadai, memahami apa yang harus
dilakukan, dan mungkin juga mempunyai wewenang yang memadai
untuk melaksanakan tuagsnya, akan tetapi tanpa adanya bangunan
sebagai kantor untuk melakukan koordinasi, tanpa perlengkapan,
tanpa sarana prasarana yang memadai, besar kemungkinan
implementasi kebijakan yang direncanakan tidak akan berhasil.
c. Kecenderungan-kecenderungan
Kecenderungan dari para pelaksana kebijakan merupakan
faktor ketiga yang mempunyai konsekuensi penting bagi
implementasi kebijakan yang efektif. Jika para pelaksana bersikap
baik terhadap suatu kebijakan tertentu, dan hal ini berarti adanya
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
32
dukungan, kemungkinan besar mereka akan melaksanakan kebijakan
sebagaimana yang diinginkan oleh para pembuat keputusan awal.
Demikian pula sebaliknya, bila tingkah laku para pelaksana berbeda
dengan para pembuat keputusan, maka proses pelaksanaan suatu
kebijakan menjadi semakin sulit.
Kecenderungan para pelaksana akan berpengaruh pada
bagaimana para pelaksana menafsirkan pesan komunikasi yang
mereka terima. Cara pelaksana menafsirkan pesan lomunikasi pada
akhirnya akan berpengaruh pada bagaimana mereka menyusun
kembali pesan-pesan komunikasi untuk kemudian diteruskan kepada
pejabat di bawahnya. Struktur hierarkies juga akan berpengaruh pada
efektivitas komunikasi organisasi yang dijalankan. Oleh karena
setiap orang mempunyai orientasi nilai-nilai tertentu, maka orientasi
ini akan berpengaruh pada cara seseorang mempersepsikan sebuah
pesan komunikasi. Disinilah pengaruh kecenderungan-
kecenderungan tersebut terhadap komunikasi yang pada akhirnya
juga akan berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi
kebijakan.
Selanjutnya kecenderungan para pelaksana kebijakan juga akan
berpengaruh pada penggunaan wewenang untuk melaksanakan suatu
kebijakan. Bila suatu program mempunyai misi utama yang berbeda
dengan badan-badan pelaksana, maka pelaksanaan program tersebut
cenderung akan didistorsi. Oleh karena itu, para personil badan
tersebut mungkin akan mengalokasikan prioritas yang rendah dan
sumber-sumber yang terbatas pada kebijakan. Kecenderungan-
kecenderungan dari para pelaksana mungkin mendorong penggunaan
dan pemeliharaan SOP yang menguntungkan bagi para pelaksana,
tetapi bertentangan dengan implementasi. Lebih lanjut,
kecenderungan-kecenderungan akan menyebabkan fragmentasi
birokrasi karena unit-unit organisasi berebut sumber-sumber dan
otonomi.
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
33
Oleh karena itu, para pelaksana memegang peranan penting
dalam implementasi kebijakan publik, sehingga usaha-usaha untuk
memperbaiki kecenderungan-kecenderungan mereka menjadi
penting untuk dilakukan.
d. Struktur Birokrasi
Birokrasi merupakan salah salah satu yang paling sering
bahkan secara keseluruhan menjadi pelaksana kebijakan. Birokrasi
baik secara sadar atau tidak sadar memilih bentuk-bentuk organisasi
untuk kesepakatan kolektif, dalam rangka memecahkan masalah-
masalah sosial dalam kehidupan modern.
Menurut Edwards, ada dua karakteristik utama dari birokrasi
yaitu prosedur-prosedur kerja atau sering disebut standard
operating procedures (SOP) dan fragmentasi. Yang pertama,
berkembang sebagai tanggapan internal terhadap waktu yang terbatas
dan sumber-sumber dari pada pelaksana serta keinginan untuk
keseragaman dalam bekerjanya organisasi yang kompleks dan
tersebar. Yang kedua, berasal terutama dari tekanan-tekanan diluar
unit-unit birokrasi, seperti komite-komite legislatif, kelompok-
kelompok kepentingan, pejabat-pejabat eksekutif, konstitusi negara
dan sifat kebijakan yang mempengaruhi organisasi birokrasi
pemerintah. Di Indonesia sering terjadi inefektivitas implementasi
kebijakan karena kurangnya koordinasi dan kerja sama di antara
lembaga-lembaga negara dan/atau pemerintahan.
Struktur organisasi pemerintahan yang terpecah-pecah akan
meningkatkan probabilitas kegagalan komunikasi. Semakin banyak
orang yang harus menerima perintah-perintah implementasi, maka
semakin besar pula kemungkinan-kemungkinan pesan didistorsi.
Fragmentasi membatasi dengan jelas kemampuan para pejabat tinggi
untuk mengkoordinasikan semua sumber yang tersedia bagi suatu
yurisdiksi.
Fragmentasi juga mempengaruhi kecenderungan-
kecenderungan dalam berbagai hal. Pertama, pembentukan banyak
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
34
badan dengan tanggung jawab yang sempit akan mendorong
pengembangan perilaku parokial. Perilaku ini pada gilirannya akan
mengakibatkan pertentangan birokrasi dan kurangnya kerjasama.
Kedua, semakin terbukannya akses bagi kepentingan-kepentingan
swasta. Hal ini akan meningkatkan kesempatan bagi kepentingan
tersebut untuk menekan para pelaksana agar bertindak atas dasar
kecenderungan-kecenderungan pribadi daripada berdasarkan perintah
atasan.
3. Model Donald Van Meter dan Carl Van Horn
Selanjutnya Meter memperkenalkan model proses implementasi
kebijakan atau yang dikenal dengan a model of the policy
implementation process. Menurut Meter dan Horn (1975), terdapat lima
variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi yauitu standar dan
sasaran kebijakan, sumber daya, komunikasi antar organisasi dan
penguatan aktivitas, karakteristik agen pelaksana, dan kondisi sosial,
ekonomi dan politik (Subarsono, 2005:99-101).
a. Standar dan sasaran kebijakan
Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat
direalisir. Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka akan
menjadi multiinterpretasi dan mudah menimbulkan konflik diantara
para agen implementasi.
b. Sumber daya
Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya baik sumber
daya manusia (human resources) maupun sumber daya non manusia
(non-human resources). Dalam berbagai kasus program pemerintah,
seperti program Jaring Pengaman Sosial (JPS) untuk kelompok
masyarakat miskin di pedesaan kurang berhasil karena keterbatasan
kualitas aparat pelaksana.
c. Komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
35
Dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu
dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu, diperlukan
koordinasi dan kerjasama antar instansi bagi keberhasilan suatu
program.
d. Karakteristik agen pelaksana
Yang dimaksud karakteristik agen pelaksana disini adalah meliputi
struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang
terjadi dalam birokrasi, yang semuannya itu akan mempengaruhi
implementasi suatu program.
e. Kondisi sosial, ekonomi, dan politik
Variabel ini mencakup sumber daya ekonomi lingkungan yang dapat
mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauhmana
kelompok-kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi
implementasi kebijakan, karakteristik para partisipan yakni
mendukung atau menolak, bagaimana sifat opini publik yang ada di
lingkungan, dan apakah elite politik mendukung implementasi
kebijakan.
4. Model Implementasi Kebijakan Marilee S. Grindle
Keberhasilan implementasi kebijakan menurut Grindle (1980)
dipengaruhi oleh dua variabel besar, yaitu isi kebijakan (content of
policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation). Ide
dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan ditransformasikan, maka
implementasi kebijakan dilakukan. Keberhasilannya ditentukan oleh
derajat implementability dari kebijakan tersebut (Wibawa, 1994).
a. Content of policy, mencakup:
• Sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau
target groups termuat daam isi kebijakan;
• Jenis manfaat yang diterima oleh target groups;
• Sejauhmana perubahan yang diinginkan dari sebuah
kebijakan;
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
36
• Apakah letak sebuah program sudah tepat;
• Apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan
implementatornya dengan rinci;
• Apakah sebuah program didukung oleh sumber
daya yang memadai.
b. Context of implementation, mencakup:
• Seberapa besar kekuasaan, kepentingan dan strategi dari mereka yang terlibat dalam implementasi kebijakan;
• Karakteristik institusi dan rejim yang sedang berkuasa;
• Tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.
5. Model Implementasi Kebijakan Nakamura
Menurut Nakamura, kebijakan publik dipengaruhi oleh tiga
lingkungan yaitu lingkungan formulasi, lingkungan implementasi, dan
lingkungan evaluasi. Fokus analisis implementasi terletak pada tiga
kunci utama yang mempengaruhi lingkungan implementasi yaitu:
a. “Aktor dan arena;b. Struktur organisasi dan norma birokrasi; dan
c. Jaringan komunikasi dan mekanisme kepatuhan”. (Gogin, 1990)
Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh para ahli sebagaimana di
atas, dapat dilihat bahwa ada banyak faktor yang mempengaruhi suatu
implementasi kebijakan. Namun demikian, tidak seluruh faktor-faktor
tersebut relevan untuk dipergunakan dalam menjawab permasalahan yang
dihadapi oleh suatu kebijakan, karena setiap jenis kebijakan publik
memerlukan model implementasi kebijakan yang berlainan. Hal ini
sebagaimana dikemukakan oleh Wibawa, bahwa model implementasi tidak
perlu diaplikasikan mentah-mentah, melainkan dapat disintesiskan sesuai
dengan kebutuhan (1994). Oleh karena itu, dalam penelitian ini tidak semua
faktor dari model implementasi kebijakan dapat diaplikasikan secara utuh,
hanya faktor yang dianggap relevan dengan karakteristik obyek penelitian
dalam implementasi kebijakan restrukturisasi organisasi perangkat daerah di
Provinsi DKI Jakarta. Dari berbagai faktor yang telah diuraikan diatas,
untuk keperluan analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
37
implementasi kebijakan restrukturisasi organisasi perangkat daerah,
dilakukan dengan cara mengadopsi pendapat para ahli di atas yang
disesuaikan dengan kondisi lapangan. Untuk itu, dalam penelitian ini tidak
semua variabel atau faktor dari model implementasi kebijakan dapat
diaplikasikan secara utuh, hanya faktor yang dianggap relevan dengan
karakteristik objek penelitian dalam implemenatsi kebijakan restrukturisasi
organisasi perangkat daerah di Provinsi DKI Jakarta. Dari berbagai faktor
yang telah diuraikan di atas, maka faktor yang diduga mempengaruhi
implementasi kebijakan restrukturisasi organisasi perangkat daerah di
Provinsi DKI Jakarta adalah: (1) komunikasi dan koordinasi; (2) sumber
daya; dan (3) struktur birokrasi.
Komunikasi dan Koordinasi
Implementasi yang efektif dapat dicapai apabila para pelaksana
mengetahui apa yang menjadi tujuan yang hendak dicapai dalam
implementasi kebijakan tersebut. Untuk itu Edwards menyampaikan
bahwa, persyaratan pertama bagi implementasi kebijakan yang efektif
adalah bahwa mereka yang melaksanakan keputusan harus mengetahui
apa yang harus mereka lakukan. Keputusan-keputusan kebijakan dan
perintah-perintah harus diteruskan kepada personil yang tepat sebelum
keputusan-keputusan dan perintah-perintah itu dapat diikuti. Tentu saja
komunikasi-komunikasi harus dimengerti dengan cermat oleh para
pelaksana. Jika kebijakan ingin diimplementasikan sebagaimana
mestinya, maka petunjuk pelaksanaan tidak hanya harus dipahami,
melainkan juga petunjuk-petunjuk itu harus jelas agar tidak timbul
interpretasi. Jika petunjuk-petunjuk pelaksanaan itu tidak jelas, maka
para pelaksana (implementators) akan mengalami kebingungan tentang
apa yang harus mereka lakukan. Apalagi dengan format otonomi
tunggal di Provinsi yang membawa konsekwensi provinsi memiliki
aparat sampai ke wilayah, yang memungkinkan informasi yang
disampaikan tidak diterima secara efektif di tataran level pelaksana.
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
38
Demikian pula dengan Perda yang menetapkan tentang kebijakan
restrukturisasi organisasi perangkat daerah di Provinsi DKI Jakarta agar
dapat dikomunikasikan secara efektif harus diikuti dengan adanya
kebijakan penjelas dalam bentuk petunjuk pelaksanaan. Hal ini penting
karena implementasi kebijakan memerlukan keterlibatan banyak pihak
(stakeholders) baik yang masing-masing mempunyai perbedaan
kepentingan maupun persepsi. Kondisi ini tidak jarang menimbulkan
permasalahan dalam hal koordinasi. Keterlibatan stakeholders dalam
proses pelaksanaan kebijakan perlu dikembangkan karena hal tersebut
merupakan kunci bagi suksesnya kebijakan. Olleh karena itu stake
holders juga harus mengetahui dan memahami dengan jelas “desain
kebijakan”. Oleh karena itu variabel komunikasi dan koordinasi
merupakan salah satu variabel yang turut mempengaruhi implementasi
kebijakan.
Sumber Daya
Van mater dan Horn (1975) mengatakan bahwa implementasi kebijakan
perlu dukungan sumber daya manusia (human resources) maupun
sumber daya non manusia (non-human resources). Sumber daya
mempunyai peranan yang penting dalam implementasi kebijakan.
Grindle (1980:96) menyatakan bahwa implementasi kebijakan akan
mudah dilaksanakan jika didukung oleh ketersediaan sumber daya yang
dibutuhkan, sebaliknya jika tidak tersedia maka implementasi akan
terganggu.
Dalam implementasi kebijakan restrukturisasi organisasi perangkat
daerah, ketersediaan sumber daya khususnya sumber daya manusia
(human resources) sangat menentukan keberhasilan implementasi
tersebut. Tanpa dukungan sumber daya manusia yang memadai maka
organisasi yang dibentuk tidak akan dapat menjalankan tugas dan
fungsinya secara optimal. Sumber daya inti setiap organisasi adalah
sumber daya manusia. Sumber daya yang lain akan tetap seperti semula
tanpa adanya campur tangan manusia. Bahkan sumber daya manusia
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
39
seringkali menjadi unsur yang dominan yang menentukan struktur dan
proses organisasi. Seringkali struktur dan proses yang disusun menurut
teori paling logis diubah demi menyesuaikan dengan sumber daya
manusia yang ada. Oleh karena itu variabel sumber daya juga
merupakan salah satu variabel yang menentukan keberhasilan
implementasi kebijakan.
Struktur Birokrasi
Menurut Edwards, ada dua karakteristik utama dari birokrasi yaitu
prosedur-prosedur kerja atau sering disebut standard operating
procedures (SOP) dan fragmentasi. SOP merupakan rutinitas-rutinitas
yang memungkinkan para pejabat publik membuat sejumlah besar
keputusan umum sehari-hari, dan SOP merupakan jawaban terhadap
terbatasnya waktu dan sumber-sumber daya pelaksanaan organisasi
yang kompleks dan beragam.
Sedangkan fragmentasi merupakan pembagian tanggung jawab suatu
daerah kebijakan diantara beberapa unit organisasi. Inefektivitas
implementasi kebijakan dapat terjadi karena kurangnya koordinasi dan
kerja sama di antara lembaga-lembaga. Struktur organisasi
pemerintahan yang terpecah-pecah akan meningkatkan probabilitas
kegagalan komunikasi. Semakin banyak orang yang harus menerima
perintah-perintah implementasi, maka semakin besar pula
kemungkinan-kemungkinan pesan didistorsi.
Demikian halnya dengan Provinsi DKI Jakarta yang menganut otonomi
tunggal di Provinsi, memiliki struktur organisasi yang terpecah-pecah
dari level provinsi hingga kecamatan yang cenderung melemahkan
fungsi kontrol. Untuk itu, penting disusun SOP agar memudahkan
dalam melakukan pengawasan dan kontrol terhadap efektivitas
pelaksanaan tugas unit pelaksana di wilayah dan juga mempermudah
bagi aparat pelaksana. Untuk itu variabel struktur birokrasi yang ada di
DKI Jakarta juga merupakan salah satu variabel yang turut
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
40
mempengaruhi implementasi kebijakan restrukturisasi organisasi
perangkat daerah.
2.3. Konsep Perubahan Organisasi dan Restrukturisasi Organisasi
2.3.1. Konsep Perubahan Organisasi
Strategi organisasi dan struktur adalah hasil yang paling nyata
dari suatu pengambilan keputusan organisasi. Seringkali pengambilan
keputusan membawa perubahan pada keduannya. Perubahan
organisasi adalah restrukturisasi dari sumber daya dan kapabilitas
untuk meningkatkan kemampuan organisasi dalam menciptakan nilai
(Gareth R. Jones; 1995). Pada hakikatnya perubahan organisasi
diliputi oleh perubahan secara berkelanjutan. Perubahan organisasi
menjadi suatu kebutuhan ketika organisasi sudah tidak lagi sesuai
dengan kebutuhan lingkungannya. Begitu pentingnya penyesuaian
organisasi terhadap perubahan lingkungan akhirnya menjadi syarat
utama apabila organisasi tersebut agar tetap survive.
Perubahan organisasi merupakan hasil dari pembuatan keputusan
organisasi. Pimpinan mengevaluasi kondisi saat ini, lalu memutuskan
arah kemana masa depan yang diinginkan organisasi, selanjutnya
mengelola proses perubahan yang diinginkan. Untuk itu, terdapat 3
(tiga) langkah perubahan organisasi yaitu, pertama, menentukan
perlunya perubahan; kedua, identifikasi hambatan perubahan; dan
ketiga, menentukan strategi perubahan.
Semua organisasi menghadapi lingkungan yang dinamis dan
berubah. Lingkungan eksternal organisasi cenderung merupakan
kekuatan yang mendorong untuk terjadinya perubahan. Di sisi lain,
bagi organisasi secara internal merasakan kebutuhan akan perubahan.
Oleh karena itu, setiap organisasi menghadapi pilihan antara berubah
atau mati tertekan oleh kekuatan perubahan. Perubahan organisasi
sudah merupakan fenomena global yang tidak bisa dibendung karena
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
41
kuatnya dorongan eksternal serta adanya kebutuhan internal. Beberapa
kejadian yang dihadapi organisasi antara lain adalah restrukturisasi,
merger, dan akuisisi, penurunan kesempatan kerja dan ekspansi
internasional dengan segala konsekwensinya.
Diantara para pakar ada yang menyebut faktor pendorong
perubahan sebagai kebutuhan akan perubahan (Hussey, 2000:6;
Kreitner dan Kinicki, 2001:659). Sementara itu, Robbins (2001:540)
dan Greenberg dan Baron (2003:593) menyebutkan sebagai kekuatan
untuk perubahan. Terminologi tersebut mengandung makna bahwa
kebutuhan akan perubahan lebih bersifat faktor internal organisasi,
sedangkan kekuatan untuk perubahan dapat bersumber dari faktor
eksternal dan internal.
1. Kekuatan Perubahan Greenberg dan Baron
Greenberg dan Baron (1997:550) berpendapat bahwa
terdapat beberapa faktor yang merupakan kekuatan di belakang
kebutuhan akan perubahan. Mereka memisahkan antara
perubahan terencana dan perubahan tidak terencana. Perubahan
terencana adalah aktivitas yang dimaksudkan dan diarahkan
dalam sifat dan desainnya untuk memenuhi beberapa tujuan
organisasi. Sementara perubahan tidak terencana merupakan
pergeseran dalam aktivitas organisasi karena adanya kekuatan
yang sifatnya eksternal, diluar kontrol organisasi.
a. Perubahan terencana
Kekuatan dalam perubahan terencana yang dihadapi organisasi
oleh Greenberg dan Baron (1997:550) adalah sebagai berikut:
• Changes in organizational size and structure (perubahan
dalam ukuran dan struktur organisasi)
Perubahan yang terjadi menyebabkan banyak organisasi
melakukan restrukturisasi, dan biasanya diikuti dengan
downsizing dan outsourcing. Restrukturisasi cenderung
membentuk organisasi yang lebih datar.
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
42
• Changes in administrative system (perubahan dalam sistem
administrasi)
Perubahan sistem administrasi dimaksudkan untuk
memperbaiki efisiensi, mengubah citra organisasi atau
untuk mendapatkan kekuasaan dalam organisasi.
• Introduction of new technologies (introduksi teknologi
baru)
Perubahan teknologi baru berlangsung secara cepat dan
mempengaruhi cara bekerja orang-orang dalam organisasi.
Teknologi baru diharapkan membuat organisasi semakin
kompetitif.
b. Perubahan Tidak Terencana
Sementara itu, perubahan tidak terencana menurut Greenberg
dan Baron (2003:593) terjadi karena adanya hal-hal berikut:
• Shifting employee demographics (pergeseran demografis
pekerja)
Komposisi tenaga kerja mengalami perubahan dengan
kecenderungan semakin beragam. Keberagaman tenaga
kerja memerlukan perlakuan yang semakin beragam pula,
sesuai dengan ciri kebutuhannya yang semakin
berkembang.
• Performance gaps (kesenjangan kinerja)
Tujuan organisasi yang menjadi ukuran kinerja tidak selalu
dapat dicapai. Terjadi kesenjangan antara yang diharapkan
dan yang dpat dicapai. Kesenjangan yang terjadi perlu
direspons dengan berbagai tindakan perubahan.
• Government regulation (Peraturan Pemerintah)
Kebijakan dan peraturan pemerintah yang baru dapat
mempengaruhi kelangsungan suatu organisasi termasuk
organisasi pemerintah. Hal yang pada waktu lalu
diperbolehkan, suatu saat dapat dilarang. Organisasi perlu
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
43
melakukan perubahan untuk menyesuaikan dengan
perkembangan tersebut.
• Global competition (kompetisi global)
Persaingan global tidak hanya menuntut organisasi bisnis
semakin efisien tetapi juga bagi organisasi pemerintah
dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan persaingan
global agar organisasi dapat selalu mengikuti perubahan
dinamika lingkungan yang melingkupi.
• Changing economic conditions (perubahan kondisi
ekonomi)
Perubahan kondisi ekonomi dapat menyebabkan usaha
bisnis merugi dan menciptakan peluang terjadinya
pengangguran. Untuk mengantisipasi kondisi tersebut, maka
organisasi pemerintah selaku perumus kebijakan dituntut
mampu menyusun strategi agar perubahan kondisi ekonomi
tersebut tidak berpengaruh negatif terhadap kondisi
perekonomian.
• Advances in technology (kemajuan dalam teknologi)
Kemajuan teknologi menyebabkan cara bekerja dalam
organisasi harus berubah. Terjadinya perubahan tersebut
menuntut organisasi mempersiapkan sumber daya manusia
dapat menyerap dan mengikuti perkembangan teknologi.
2. Kekuatan untuk perubahan Robbins
Robbins (2001:540) mengungkapkan adanya enam faktor yang
merupakan kekuatan untuk perubahan sebagai berikut:
a. Nature of the Workforce (sifat tenaga kerja)
Hampir setiap organisasi harus menyesuaikan diri dengan
lingkungan yang bersifat multikultural. Kebijakan manajemen
sumber daya manusia harus berubah agar dapat menarik dan
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
44
mempertahankan tenaga kerja yang semakin beragam.
Organisasi harus dapat mengakomodasi kepentingan pekerja
sebagai akibat keberagaman tersebut. Sementara itu, pekerja
baru tidak mempunyai ketrampilan cukup sehingga apabila
dilakukan rekrutmen, organisasi harus mengeluarkan banyak
dana untuk pelatihan di berbagai bidang.
b. Technology (teknologi)
Teknologi telah mengubah pekerjaan dan organisasi.
Penggantian pengawasan dengan menggunakan komputer
menyebabkan rentang kendali manajer semakin luas dan
organisasi menjadi lebih datar. Teknologi informasi canggih
membuat organisasi semakin responsif.
c. Economic shocks (kejutan ekonomi)
Globalisasi telah menunjukkan dampaknya dengan timbulnya
krisis ekonomi di beberapa negara termasuk Indonesia.
Beberapa negara diantaranya sudah berhasil sembuh tetapi
negara lainnya belum berhasil. Organisasi pemerintah senantiasa
dituntut dapat menyusun strategi untuk membantu mengatasi
krisis yang terjadi.
d. Competition (persaingan)
Sifat persaingan telah berubah menjadi bersifat global.
Organisasi harus dapat mempertahankan diri baik pesaing
tradisional maupun pesaing yang menampilkan kewirausahaan
dengan tawaran yang sangat inovatif. Dalam suasana persaingan
seperti itu akan terjadi merger dan konsolidasi dari beberapa
organisasi untuk memperkuat posisinya dalam persaingan, serta
berkembanganya e-commerce. Organisasi yang tidak mampu
menyesuaikan diri dengan perkembangan akan hancur dan
digilas oleh persaingan.
e. World Politics (Politik dunia)
Perubahan politik dunia jelas sangat berpengaruh kuat terhadap
perubahan. Tindakan politik yang dilakukan oleh negara besar
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
45
tidak lain merupakan usaha untuk melindungi kepentingan
negaranya sendiri terutama kepentingan ekonomi.
3. Penggerak perubahan Anderson dan Anderson
Anderson dan Anderson (2001:16) mengemukakan bahwa
terdapat tujuh faktor penggerak yang dapat mempengaruhi
berlangsungnya perubahan. Faktor penggerak bergerak dari faktor
yang sifatnya eksternal dan impersonal seperti faktor lingkungan
dan organisasi menuju pada faktor yang sifatnya internal dan
personel seperti terdapat pada faktor budaya dan orang. Faktor
penggerak tersebut mereka namakan sebagai The drivers change
model, yang menggambarkan bahwa perubahan dalam ranah
eksternal, seperti pergeseran dalam lingkungan memerlukan
respons atau perubahan dalam ranah yang lebih spesifik seperti
strategi dan desain organisasi, yang pada gilirannya memerlukan
perubahan ranah manusia dalam budaya, perilaku orang dan cara
berpikir.
Pemimpin pada umumnya lebih akrab dengan ranah
eksternal sedangkan ranah internal meliputi budaya, perilaku dan
pola pikir yang sama pentingnya merupakan masalah baru bagi
kebanyakan pemimpin. Adapun tujuh faktor penggerak menurut
Anderson dan Anderson adalah sebagai berikut:
a. Lingkungan
Lingkungan merupakan dinamika konteks yang lebih luas
dimana organisasi dan orang bekerja.
b. Kebutuhan pasar untuk sukses
Perubahan kebutuhan di pasar adalah hasil perubahan dalam
kekuatan lingkungan. Kebutuhan pasar ini merupakan
pemenuhan kebutuhan pelanggan yang menentukan apa yang
dilakukan untuk memperoleh keberhasilan organisasi di pasar.
c. Desakan bisnis
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
46
Desakan bisnis menggambarkan apa yang harus dilakukan
organisasi secara strategis untuk berhasil dengan memberikan
kebutuhan masyarakat pelanggan akan perubahan. Hal ini
memerlukan pemikiran ulang secara sistematis dan mengubah
misi organisasi, strategi, tujuan dan aspek lainnya yang
berkaitan.
d. Desakan organisasional
Desakan organisasional memperjelas apa yang harus berubah
dalam struktur organisasi, sistem, proses, teknologi, sumber
daya, dasar ketrampilan atau staffing untuk melaksanakan dan
mencapai sukses organisasi.
e. Desakan kultural
Desakan kultural menunjukkan bagaimana norma bekerja dan
kerja sama dalam organisasi harus berubah untuk mendukung
dan mendorong desain baru organisasi.
f. Perilaku pemimpin dan pekerja
Perilaku kolektif menciptakan dan menyatakan budaya
organisasi. Perilaku menjelaskan gaya atau karakter yang
dilakukan orang. Perilaku pemimpin dan pekerja menunjukkan
cara bagaimana pemimpin dan pekerja harus berperilaku
berbeda untuk menciptakan kembali budaya organisasi dengan
berhasil.
g. Pola pikir pemimpin dan pekerja
Pola pikir meliputi pandangan, asumsi, keyakinan atau mental
model yang menyebabkan orang berperilaku dan bertindak
seperti dilakukan. Menjadi peduli bahwa masing-masing
mempunyai pola pikir, dan secara langsung mempengaruhi
kemampuan mentransformasi orang dan organisasi.
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
47
Dari uraian tersebut di atas tampak bahwa pandangan para pakar
tentang faktor pendorong suatu perubahan sangat beragam, namun
tidak saling bertentangan tetapi saling melengkapi. Hal tersebut
menunjukkan sangat luas dan kuatnya faktor pendorong perlunya
perubahan. Namun yang jelas berbagai faktor pendorong perlunya
perubahan dapat datang dari sumber internal maupun eksternal,
sedangkan sifatnya dapat terencana maupun tidak terencana.
Dengan demikian, dapat dirangkum adanya beberapa faktor
yang mendorong perlunya melakukan perubahan diantaranya: (1)
kuatnya tekanan politik; (2) perkembangan ekonomi; (3) kebijakan
pemerintah dan sistem administrasi; (4) kecenderungan demografis;
(5) Perkembangan teknologi; (6) Kecenderungan organisasi dalam
struktur; (7) masalah sumber daya manusia; (8) meningkatnya
tuntutan masyarakat.
Dorongan akan perubahan harus direspons dengan tepat dan
cerdik oleh setiap organisasi. Pemimpin suatu organisasi memiliki
peran kunci untuk menentukan arah, kebijakan dan strategi yang harus
ditempuh. Namun demikian, untuk melakukan perubahan organisasi
diperlukan dukungan dan kerja sama dari seluruh sumber daya
manusia yang dimiliki organisasi.
Tugas penting seorang pemimpin dalam melakukan perubahan
adalah mempersiapkan tenaga kerja yang dipimpinnya untuk siap
menerima perubahan. Setiap orang dalam organisasi harus mampu
mencairkan pola pikirnya untuk melepaskan diri dari kondisi status
quo dan menerima perubahan.
Tujuan perubahan organisasi adalah untuk memperbaiki posisi
dan kemampuan organisasi untuk menyesuaikan diri dengan
perubahan lingkungan dan di sisi lain mengupayakan perubahan
perilaku karyawan (Robbins, 2001: 542). Sedangkan sasaran
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
48
perubahan organisasi dapat terjadi pada struktur, teknologi dan orang
(Greenberg dan Baron, 2003:590).
Pendapat lain dikemukakan oleh Potts dan Lamarsh (2004:37)
yang mengemukakan adanya empat aspek sasaran perubahan dimana
dua di antaranya sama dengan Robbins maupun Greenberg dan Baron,
yaitu struktur dan orang. Dua aspek lainnya adalah proses dan budaya.
Proses menunjukkan apakah aliran pekerjaan dalam seluruh organisasi
sudah berjalan efisien. Sedangkan budaya menyangkut budaya
organisasi, apakah kepercayaan pekerja tentang pekerjaan pada
umumnya mengganggu keberhasilan.
Dengan demikian sasaran atau objek suatu perubahan organisasi
dapat diarahkan pada struktur organisasi, teknologi, proses, orang dan
budaya dalam suatu organisasi. Namun sasaran perubahan tersebut
pada umumnya tidak berdiri sendiri tetapi merupakan kombinasi
karena di antaranya saling mempengaruhi.
Meskipun perubahan organisasi memiliki tujuan yang baik,
namun dalam pelaksanaannya dapat ditemui berbagai hambatan atau
resistensi. Setiap perubahan yang ingin melepaskan diri dari kondisi
status quo pasti akan menghadapi resistensi. Resistensi umumnya
muncul karena kekurangtahuan atas manfaat perubahan atau karena
kemapanan dalam posisinya. Hambatan atau resistensi tersebut,
menurut Gareth R. Jones (1995) ada baik pada tingkat organisasional,
fungsional, maupun individual.
a. Hambatan organisasional
Struktur dan budaya organisasi dapat menjadi hambatan untuk
berubah. Ketika organisasi menyusun struktur organisasinya,
tersusunlah pola hubungan tugas yang stabil yang berpengaruh
terhadap hubungan antar pegawainya. Seiring dengan berjalannya
waktu, ketika terjadi perpindahan pegawai, hubungan tugas tetap
tidak berubah. Itulah sebabnya struktur organisasi menjadi resisten
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
49
terhadap perubahan. Itu pula yang menyebabkan merubah struktur
organsiasi tidaklah mudah.
b. Hambatan Fungsional
Struktur dan budaya organisasi pada tingkatan fungsional juga
dapat menjadi penghalang untuk berubah. Seperti halnya pada
tingkatan manajerial, manajer fungsional juga akan berupaya
melobi sesuai kepentingan mereka sendiri dan mencoba untuk
mempengaruhi proses perubahan sehingga perubahan yang terjadi
dapat menguntungkan mereka. Tingkat ketergantungan tugas antar
fungsi-fungsi yang ada juga mengakibatkan sulit mencapai
perubahan, karena perubahan pada satu fungsi akan mempengaruhi
seluruh fungsi yang lain. Semakin tinggi ketergantungan antar
fungsi akan semakin sulit untuk mencapai perubahan.
c. Hambatan Individual
Adanya prasangka buruk terhadap perubahan dapat mempengaruhi
persepsi individu para manajer terhadap suatu situasi dan dapat
menyebabkan mereka menginterpretasikan perubahan sesuai
dengan keinginan mereka untuk mendapatkan keuntungan sendiri.
Pegawai mengembangkan kebiasaan-kebiasaan rutin yang dapat
mempermudah mereka untuk mengendalikan situasi dan membuat
keputusan-keputusan yang sudah terprogram. Ketika rutinitas
tersebut terganggu maka para pegawai mengalami stress. Untuk
mengurangi rasa stress mereka cenderung untuk kembali pada
kebiasaan-kebiasaan lama mereka. Keengganan individual dalam
melakukan perubahan organsiasai dapat terjadi ketika suatu
perubahan mengharuskan keluar dari sistem yang biasa dilakukan
(permanen system), apalagi bila perubahan tersebut bertentangan
atau mengganggu “kepentingan” individu.
Untuk mengatasi hambatan yang kemungkinan akan muncul
dalam perubahan organisasi, ada beberapa strategi untuk mengatasi
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
50
keengganan melakukan perubahan atau jalan keluar yang dapat
dilakukan dalam mengantisipasi perubahan (Wibowo:2007;139):
1. Pendidikan dan komunikasi, yaitu dengan membantu para pegawai
untuk melihat logika suatu perubahan melalui komunikasi.
2. Partisipasi, yaitu melibatkan para pegawai dalam melakukan
perubahan. Asusmsinya adalah bahwa pegawai yang dilibatkan
secara penuh akan kesulitan untuk menolak suatu keputusan
perubahan kalau mereka juga berpartisipasi dalam keputusan
tersebut.
3. Fasilitasi dan dukungan. Hal ini diartikan sebagai pemberian
konseling terhadap pegawai yang merasa stress terhadap
perubahan, pemberian pelatihan kepada pegawai dalam rangka
penyesuaian perubahan organisasi.
4. Manipulasi, yaitu mempengaruhi secara tersembunyi.
Memutarbalikkan fakta atau membuat suatu fakta lebih menarik,
menahan informasi tertentu yang diinginkan dan menciptakan isu
palsu yang memungkinkan perubahan diterima baik oleh pegawai.
5. Negosiasi sebagai salah satu strategi penting dilakukan jika
hambatan datang dari sumber yang kuat.
6. Pemaksaan dengan cara penerapan ancaman atau kekuatan
langsung terhadap para penolak perubahan.
Agar perubahan organisasi dan hambatan-hambatan yang
kemungkinan muncul dapat di-manage dengan baik maka diperlukan
kemampuan untuk menerapkan kepemimpinan yang partisipatif dan
delegasi secara lebih signifikan, dan juga kemampuan untuk melihat
perkembangan masa depan organisasi secara lebih akurat. Oleh karena
itu, diperlukan pemberdayaan sumber daya manusia sehingga setiap
orang merasa dirinya sebagai bagian dan turut serta dalam proses
perubahan.
Perubahan mungkin dilakukan secara perlahan atau dapat pula
secara radikal. Kreitner dan Kinicki (2001:463), menyampaikan
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
51
bahwa untuk melakukan perubahan organisasi pada dasarnya dapat
dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
1. Adaptive Change
Perubahan yang bersifat adaptif merupakan perubahan dengan cara penyesuaian terhadap perubahan yang terjadi dan mengadaptasi perkembangan yang ada. Strategi perubahan ini cenderung mengakibatkan desain organisasi yang tidak jauh berbeda dengan organisasi sebelumnya.
2. Inovative Change
Dalam hal ini organisasi yang akan melakukan perubahan-perubahan mencoba melakukan pembaharuan-pembaharuan untuk diterapkan dalam organisasi yang pada gilirannya nanti diharapkan dapat meningkatkan kinerja organisasi. Strategi perubahan ini cenderung mengakibatkan desain organisasi menjadi lebih ramping atau sebaliknya terjadi penambahan unit-unit organisasi baru. Ada hal-hal baru yang sebelumnya tidak pernah diimplementasi dalam desain organisasi misalnya pembentukan baru beberapa unit organisasi.
3. Radically Inovative Change
Dalam hal ini organisasi melakukan perubahan-perubahan secara
radikal terhadap keseluruhan sistem yang ada dalam organisasi.
Strategi perubahan ini dapat terjadi apabila terdapat dorongan kuat
dari kebijakan publik seperti adanya peraturan perundang-
undangan baru yang menghendaki perubahan menyeluruh pada
desain organisasi. Penggunaan strategi radikal ini membutuhkan
persiapan yang matang dan dikomunikasikan secara intensif pada
pihak-pihak terkait (stakeholder) sehingga gejolak sosial yang
timbul dapat diminimalkan.
Tiga cara perubahan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.3Tipologi Perubahan Organisasi
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
52
Namun, perlu diingat bahwa perubahan harus dilakukan secara
hati-hati dengan mempertimbangkan berbagai aspek agar manfaat yang
ditimbulkan oleh perubahan lebih besar dari beban kerugian yang
harus ditanggung (Greenberg dan Baron, 2003:604). Kebanyakan
diantara kita sering lupa memperhitungkan sosial cost sebagai akibat
perubahan.
Universitas Indonesia
Tinggi
PerubahanAdaptif Perubahan
InovatifPerubahan
InovatifRadikal
RendahTingkat kompleksitas, biaya dan ketidakpastianPotensi untuk penolakan terhadap perubahan
Sumber: Winardi, 2003, 221
Implementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
53
Berbicara mengenai perubahan organisasi, perubahan terhadap
organisasi pemerintah menjadi sangat penting mengingat output dari
kelembagaan pemerintah (organisasi publik) turut menentukan apakah
tatanan sebuah negara dapat berkembang maju atau tidak. Organisasi
pemerintah dibentuk untuk mencapai tujuan bersama, yaitu:
melindungi kepentingan masyarakat, melayani kebutuhan masyarakat,
dan pada akhirnya tujuan paling utama adalah mewujudkan
kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat. Agar dapat mewujudkan
tujuan tersebut, maka organisasi pemerintah perlu dikelola dengan
efektif (Toha, 2008;37).
Dalam konteks organisasi publik, perubahan eksternal yang saat
ini harus segera direspons adalah tuntutan akan demokratisasi,
transparansi, dan akuntabilitas pemerintah dalam penyelenggaraan
pelayanan publik. Untuk merespons tuntutan tersebut maka organisasi
publik harus melakukan reformasi internal yang menyangkut:
penyesuaian visi dan misi, menyesuaikan struktur, kapasitas SDM dan
lainnya (Toha, 2008;38). Namun demikian, melakukan perubahan
dalam organisasi pemerintah membutuhkan jauh lebih banyak upaya
politik, karena organisasi pemerintah hidup dilautan politik (Osborne
dan Plastrik; 1997).
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
54
Tinggi rendahnya kinerja kelembagaan pemerintah yang
terwujud dalam bentuk keluaran organisasi publik secara langsung
berpengaruh pada tinggi rendahnya kinerja organisasi bisnis (private
sector) dan organisasi kemasyarakatan (civil society). Organisasi
publik akan menentukan “merah hijau”nya kehidupan negara-bangsa.
Oleh karena itu, kelembagaan pemerintah harus dapat memainkan
perannya dengan pas dan menjamin aktor lain juga dapat memainkan
perannya secara benar dan optimal sehingga secara keseluruhan dapat
mengarah kepada pencapaian tujuan nasional. Apabila semua pelaku
dapat memainkan perannya dengan benar, maka negara Indonesia
dapat dikelola secara baik dan tidak akan pernah menjadi negara yang
“tertinggal”. Sebagaimana Peter F. Drucker (1999) pernah mengatakan
bahwa “There is no such underdeveloped country, there is only
undermanaged country.”
Dalam rangka reposisi kelembagaan Pemerintah, Pemerintah
perlu meredefinisi peran dan kedudukannya. Untuk itu kelembagaan
pemerintah hendaknya diorientasikan untuk menangani tugas-tugas
untuk mengintegrasikan dan memelihara harmonisasi entitas sosial dan
ekonomi, melindungi lingkungan, melindungi kerentanan dalam
masyarakat (the vulnerable in the population), memperkuat finansial
dan kapasitas administratif pemerintahan daerah.
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
55
Peran kelembagaan pemerintah yang juga sangat penting adalah
peran untuk memberdayakan masyarakat (empowering the people),
dan memberikan layanan dan kesempatan yang sama, serta menjamin
inklusifitas sosial, ekonomi, dan politik. Hal tersebut sangat relevan
dengan pengembangan good governance yang tengah populer, karena
governance mempersyaratkan keterlibatan secara aktif baik pemerintah
(government), dunia usaha (private sector), dan masyarakat (civil
society). Pemberdayaan sektor swasta dipandang akan memberikan
dampak yang lebih positif, baik dalam pemberian pelayanan kepada
masyarakat maupun pengaruhnya terhadap efisiensi dan efektivitas
pencapaian tujuan organisasi pemerintah.
Dari ketiga unsur tersebut, Pemerintah mempunyai posisi yang
sangat penting karena sebagaimana dikemukakan di atas pemerintah
yang mempunyai kewenangan membuat kebijakan akan menentukan
kondisi bagi dunia usaha dan masyarakat dapat menjalankan perannya
dengan baik. Dalam kaitan tersebut Michael Porter (1980) mengatakan
bahwa sumber utama yang membatasi (dan membuka) sebuah peluang
adalah kebijakan pemerintah.
Upaya yang dapat dilakukan kelembagaan pemerintah untuk
menentukan peran dan kedudukannya secara pas adalah dengan cara
melakukan reinventing. Reinventing dapat dilakukan melalui tiga tahap
(Nugroho, 2001) yaitu: reorientasi, restrukturisasi, dan aliansi.
Pertama, reorientasi dilakukan dengan meredefinisi visi, misi, peran,
strategi, implementasi, dan evaluasi kelembagaan pemerintah untuk
diarahkan pada paradigma baru bahwa “the best government is the
least government”. Di samping itu, perlu memilah tugas administrasi
publik dengan permainan politik, membangun organisasi
kontrabirokrasi yang tugasnya menjadi kekuatan eksternal penilai
birokrasi (countervailing factors), serta memperluas jangkauan
publiknya tidak semata publik domestik tetapi juga publik global.
Kedua, restrukturisasi, dilakukan dengan menata ulang kelembagaan
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
56
pemerintah dengan merampingkan fungsi-fungsi yang tidak
seharusnya dilaksanakan pemerintah, membangun organisasi sesuai
dengan tuntutan publik dengan kepemimpinan yang profesional,
responsif, dan inovatif, membangun hubungan yang diametral namun
fungsional dengan organisasi kontra-birokrasi, mengefektifkan
desentralisasi sesuai kebijakan otonomi daerah, serta membangun
kelembagaan pemerintah agar sebangun dengan tuntutan publik global
yang mempunyai kompetensi kelas global atau menjadi a world class
public organization dengan standar manajemen dan kepemimpinan
yang kelas dunia pula. Ketiga, aliansi yaitu dengan menyatukan
langkah dan gerak seluruh domains yaitu pemerintah, masyarakat, dan
dunia usaha secara kompak dan dalam koordinasi yang tunggal serta
satu visi dan misi yang sama. Kelembagaan pemerintah hendaknya
dapat menjadi stimulan bagi pengembangan organisasi bisnis dan
masyarakat yang unggul dan menggandengnya dalam sebuah tim kerja
yang solid.
Perubahan organisasi dan tatalaksana pada birokrasi pemerintah
bila dicermati dari proses pembaruan (transformasi) yang terjadi lebih
merupakan tekanan dibanding kesadaran pemerintah untuk melakukan
pembaruan itu sendiri. Sehubungan dengan upaya perubahan
fundamental dalam organisasi pemerintah (sebagai implikasi suatu
kebijakan publik), studi oleh Osborn dan Gaebler (2000) menunjukkan
beberapa faktor yang mendukung, yaitu:
1. Adanya krisis
Penemuan-penemuan biasanya disebabkan karena adanya
kebutuhan yang mendesak. Tatkala tidak ada krisis, para pemimpin
yang imajinatif justru menciptakannya.
2. Kepemimpinan
Biasanya para pemimpin adalah kepala daerah atau kepala negara.
Namun kepemimpinan bisa mengambil banyak bentuk. Salah satu
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
57
unsur penting dari kepemimpinan adalah kemampuan untuk
memperjuangkan dan melindungi mereka yang ada dalam
organisasi yang bersedia menanggung resiko akibat melakukan
sebuah perubahan.
3. Kontinuitas kepemimpinan
Jika pimpinan datang silih berganti, mustahil untuk menciptakan
perubahan yang fundamental. Tidak ada organisasi yang bersedia
mengambil resiko melakukan perubahan strategis jika mengetahui
bahwa pemimpinan akan pergi dalam waktu 1-2 tahun.
4. Infrastruktur warga yang sehat
Istilah ini digunakan untuk menggambarkan jaringan informal dari
warga negara, organisasi masyarakat, bisnis dan saluran media
massa yang mempunyai komitmen terhadap kesejahteraan umum.
Pemerintahan yang menikmati komitmen semacam itu akan dengan
lebih mudah melakukan perubahan-perubahan fundamental.
5. Visi dan tujuan bersama
Seorang pemimpin tidak cukup hanya mempunyai visi perubahan.
Pemimpin masyarakat yang lain harus mendukung visi tersebut
sehingga terjadi visi mengenai masa depan kota atau negara yang
bersifat kolektif. Suatu visi bersama tidak sama dengan konsensus
dan tidak menghilangkan konflik, namun cukup untuk memastikan
adanya dukungan untuk mengatasi oposisi.
6. Kepercayaan
Ketika melakukan suatu perubahan fundamental, adanya saling
percaya diantara pihak-pihak yang berkuasa dan masyarakat akan
sangat membantu.
7. Sumber Daya Luar
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
58
Perubahan fundamental sukar dan menyakitkan serta menakutkan
karena ketidak pastian dan risiko. Sebagian dari organisasi yang
melakukannya membutuhkan bantuan dari luar.
8. Model yang Bisa Diikuti
Perubahan fundamental terjadi dalam berbagai cara yang banyak
ragamnya. Dengan demikian sebuah organisasi perlu melihat upaya
yang telah dicoba dan diciptakan ditempat lain karena dapat
memberikan pembelajaran, dan keyakinan bahwa sasaran
organisasi dapat tercapai.
Sedangkan menurut Miftah Toha (2008) faktor yang bisa
mendorong timbulnya perubahan organisasi pemerintah adalah:
1. adanya kebutuhan melakukan perubahan dan pembaruan;
2. memahami perubahan yang terjadi di lingkungan strategis nasional;
3. memahami perubahan yang terjadi di lingkungan strategis global;
4. memahami perubahan yang terjadi dalam paradigma manajemen
pemerintahan.
Sementara itu, Berger (1994) melihat ada empat hal yang
merupakan pengungkit utama perubahan dalam organisasi pemerintah
yang harus disearahkan (realigment) yaitu: strategy, operations,
culture dan compensation.
Khusus pembahasan tentang kultur organisasi, budaya organisasi
sebagai bagian dari pemerintah yang memiliki kekuasaan dan
cenderung tidak terjangkau (mengabaikan) dari kepentingan
masyarakatnya, belum diyakini sepenuhnya ditinggalkan oleh semua
tingkat pemerintahan di Indonesia. Sementara itu pergeseran
kekuasaan (otoritas) kepada pemerintah daerah diduga menciptakan
akumulasi kekuasaan secara absolut di daerah. Pemerintah daerah
mengalami degradasi keberpihakan pada rakyatnya dan berubah
menjadi raja kecil (penguasa) daerah. Kepemimpinan partisipatif yang
mengembangkan keterbukaan dan peran aktif, serta pemberdayaan
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
59
pada karyawan diperhadapkan pada sikap mental pejabat birokrat yang
secara psikologis mengalami peningkatan harga diri melalui
peningkatan eselonisasi. Eselonisasi dalam birokrasi pemerintah secara
umum dipandang sebagai simbol kekuasaan yang secara langsung
maupun tidak langsung mempengaruhi peran aparatur khususnya
pejabat (pemimpin) dalam posisi manajemen pemerintah. Oleh karena
itu, perubahan mendasar yang cukup signifikan diperlukan dalam
manajemen pemerintah adalah perubahan struktur (structure) dan
budaya (culture) aparat pemerintah.
2.3.2. Restrukturisasi Organisasi
Desentralisasi memerlukan pembaruan dalam manajemen
pemerintah. Pembaruan ini adalah suatu penataan ulang manajemen
pemerintah guna memenuhi tuntutan publik serta tantangan dalam
upaya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Pembaruan itu sendiri dapat dilihat dari apa yang dirumuskan oleh
Osborne dan Plastrik (1997:16-17) berikut: “Pembaruan adalah
transformasi sistem dan organisasi pemerintah secara fundamental
guna menciptakan peningkatan dramatis dalam efektivitas, efisiensi
dan kemampuan mereka untuk melakukan inovasi. Transformasi ini
dicapai dengan mengubah tujuan, sistem intensif,
pertanggungjawaban, struktur dan sistem budaya organisasi
pemerintah”. Berdasarkan rumusan tersebut, pembaruan berkaitan
dengan restrukturisasi organisasi dan sistem pemerintah dengan
mengubah tujuan, insentif, akuntabilitas, distribusi kekuasaan dan
budaya mereka.
Dengan demikian, pembaruan adalah menciptakan organisasi
dan sistem pemerintah yang terus menerus berinovasi, yang secara
kontinu memperbaiki kualitas mereka, tanpa mendapat tekanan dari
pihak luar, sehingga organisasi harus selalu mengadakan re-evaluasi
terhadap situasi perubahan lingkungan yang terjadi. Perubahan
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
60
lingkungan terjadi setiap saat karena adanya kompetisi ditingkat
nasional, regional bahkan global. Semuanya mengharuskan adanya
perubahan. Perubahan berarti restrukturisasi yang menyangkut sumber
daya dan kemampuan dalam menciptakan nilai dan meningkatkan
kepercayaan stake holders sebagaimana disampaikan Jones Gareth R.:
1995) berikut: “Organizational change typically involves the
restructuring of human resources, functional resources, technological
capabilities and organizational abilities”.
Sementara menurut Francis J. Gouillart dan James N. Kelly,
restrukturisasi mencakup tiga hal yaitu: membangun suatu model
ekonomi (construct an economic model); meredisain infrastruktur fisik
(align the physical infrastructure); dan meredisain arsitek pekerjaan
(redesign the work architecture). Salah satu tujuan utama
restrukturisasi adalah organisasi menjadi ramping dan sehat.
Untuk itu, restrukturisasi organisasi perlu menjadi isu utama dan
komitmen bersama dari semua stakeholder baik pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah pada khususnya yang lebih banyak
memiliki fungsi rowing atau fungsi operasional dan pelayanan kepada
masyarakat, sehingga format organisasi pemerintah yang paling
mutakhir akan mendukung terciptanya kinerja pemerintah yang
optimal.
Mengapa restrukturisasi organisasi perlu dilakukan? Lee G.
Bolman (1997) dalam buku “Reframing Organization” menyebutkan
beberapa faktor yang menyebabkan suatu organisasi memerlukan
penataan, antara lain:
1. Perubahan lingkungan
Perubahan lingkungan, misalnya lingkungan sosial, dari
masyarakat yang pasif menjadi masyarakat yang aktif dan kritis,
perlu direspons dengan bentuk organisasi yang mampu
memberikan pelayanan secara cepat dan akurat. Atau, krisis
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
61
ekonomi yang menimpa negara kita, seharusnya diikuti dengan
pengurangan unit-unit yang membutuhkan pembiayaan (spending
units) dan memperkuat unit-unit yang menghasilkan dana (earning
units).
2. Perkembangan teknologi
Perkembangan teknologi, misalnya di bidang teknologi informasi,
akan membawa pengaruh terhadap kualitas dan besaran organisasi.
Data processing yang dulu dilakukan secara manual oleh banyak
tenaga manusia, saat ini sudah dapat dilakukan dengan
mengoptimalkan sistem informasi yang computerized dengan
sedikit manusia tetapi dengan kualitas yang lebih baik, lebih cepat,
dan lebih akurat.
3. Perkembangan Organisasi
Berkembanganya proses desentralisasi seiring dengan perubahan
paradigma penyelenggaraan pemerintahan, akan mengakibatkan
berkurangnya beban di tingkat pusat dan bertambahnya beban di
tingkat lokal. Hal ini memerlukan redesign organisasi dengan
merampingkan organisasi di tingkat pusat serta mengembangkan
dan memberdayakan organisasi di tingkat lokal. Di samping itu,
kewenangan, tanggung jawab, mekanisme kerja, dan segala aspek
yang terkait perlu diatur kembali.
4. Perubahan kehidupan politik
Perubahan konstelasi politik maupun rejim akan mengakibatkan perubahan harapan dan prioritas program yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Perubahan tersebut biasanya juga akan membawa perubahan peran para aktor politik dalam kelembagaan birokrasi. Prioritas program dan perubahan peran aktor politik tersebut akan berpengaruh pada model dan besaran organisasi.
5. Perubahan kepemimpinan
Kepemimpinan baru seringkali membawa visi baru yang berbeda
dengan visi pemimpin sebelumnya. Visi tersebut, bersama dengan
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
62
kebijakan lain, akan diterjemahkan menjadi misi organisasi dan
akan dirumuskan ke dalam fungsi-fungsi dengan berbagai strategi
pelaksanaanya, untuk kemudian disusun struktur organisasi.
Selanjutnya Miftah Toha (2008) menyampaikan, bahwa
terhadap tuntutan masyarakat akan demokratisasi, transparansi, dan
akuntabilitas pemerintah dalam penyelenggaraan pelayanan publik,
secara internal perlu diikuti dengan adanya reformasi terhadap
organisasi publik diantaranya melalui penyesuaian visi dan misi dan
penyesuain atau penataan kembali struktur organisasi.
Sesuai dengan prinsip penataan organisasi, maka setelah visi dan
misi dirumuskan tugas berikutnya adalah membagi berbagai tugas
untuk dapat mencapai visi dan misi tersebut dalam unit-unit organisasi
yang sudah ada (misalnya dinas, badan dan kantor pada organisasi
perangkat daerah) sesuai dengan tugas dan fungsi unit-unit organisasi
tersebut. Dalam pembagian tugas untuk mewujudkan visi dan misi ini
dapat diikuti dua prinsip (Toha, 2008), yaitu: Pertama, berbagai tugas
harus terdistribusi habis ke dalam unit-unit organisasi yang sudah ada;
Kedua, untuk keperluan efisiensi beberapa unit organisasi yang sudah
ada dapat digabungkan (merger); Ketiga, membentuk unit-unit baru
apabila ada tugas-tugas baru yang harus dilakukan sebagai upaya
memenuhi tuntutan masyarakat yang tidak mungkin dilakukan oleh
unit-unit yang sudah ada.
Dalam pelaksanaannya, penggabungan dan pembentukan unit-
unit yang baru tersebut memerlukan kajian yang dilakukan secara hati-
hati dengan pertimbangan agar: Pertama, tidak melanggar prinsip
efektivitas dan efisiensi. Kedua, tidak bertentangan dengan peraturan
perundangan yang ada. Agar dapat memenuhi dua syarat pokok
tersebut, sebelum restruktrurisasi organisasi dilakukan menurut Miftah
Toha (2008) perlu dilakukan kajian akademis untuk dapat memastikan
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
63
bahwa rancangan penataan atau restrukturisasi organisasi dapat
diimplemenatsikan dengan baik.
Berkaitan dengan prinsip penataan organisasi, Cushway dan
Lodge (1993) menyampaikan bahwa secara umum organisasi dapat
dikatakan sebagai sebuah sistem terbuka, yang berarti bahwa
organisasi itu merupakan serangkaian kegiatan yang mempunyai
tujuan umum dan untuk itulah terdapat keluaran dan masukan.
Organisasi dibentuk untuk suatu tujuan atau untuk mencapai suatu misi
tertentu. Oleh karena itu, organisasi hendaknya disusun berdasarkan
visi dan misi yang jelas. Selanjutnya desain struktur organisasinya
disusun berdasarkan kebutuhan nyata dan mengikuti strategi dalam
pencapaian visi dan misi organisasi yang telah ditetapkan (structure
follows strategy). Kelembagaan yang seperti itu selanjutnya diisi oleh
sumber daya manusia yang kompeten dengan mekanisme, sistem dan
prosedur yang efisien. Untuk itu, dalam kaitan dengan struktur
organisasi Cushway dan Lodge menyatakan bahwa sebuah struktur
yang baik memang dapat memperbaiki efektivitas organisasi, tetapi
struktur yang paling baik pun tidak akan berjalan dengan baik kecuali
orang-orang di dalam organisasi itu dimotivasi dan diberi pelatihan
dengan baik.
Prinsip-prinsip pokok menata struktur organisasi yang baik
dapat secara luas dijelaskan sebagai berikut (Cushway dan
Lodge,1993: 67):
1. Struktur harus mengikuti strategi. Organisasi dan berbagai
komponennya harus secara terpisah dan secara bersama-sama
menunjang sasaran dan tujuan organisasi.
2. Berbagai bagian struktur itu harus dibagi ke dalam kawasan-
kawasan khusus. Hal ini berarti kawasan-kawasan kegiatan yang
terpisah harus dikelompokkan menjadi satu sehingga ada satu
pemusatan pada tujuan tertentu dan sebuah pemusatan pengalaman
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
64
dan keahlian. Pada umumnya spesialisasi semacam ini didasarkan
pada fungsi-fungsi yang berbeda dalam organisasi.
3. Jumlah tingkat dalam struktur, harus sesedikit mungkin. Semakin
banyak jumlah jenjang pada struktur itu, semakin banyak masalah
komunikasi dari puncak ke bawah, masalah pembuatan keputusan
dan masalah koordinasi serta pengendalian.
4. Rentang kendali, yaitu jumlah bawahan yang langsung dibawahi,
akan beragam tergantung pada sifat pekerjaan dan organisasi.
Rentang kendali seharusnya tidak terlampau sempit atau terlampau
lebar untuk memungkinkan manajemen yang efektif. Rentang
kendali akan sangat beragam tergantung pada jenis pekerjaan yang
ditangani.
5. Terdapat kejelasan pertanggungjawaban, yaitu terdapat kejelasan
tentang kepada siapa masing-masing pemegang jabatan harus
melapor dan siapa yang mempunyai wewenang mengambil
keputusan.
6. Setiap jabatan dalam struktur harus memiliki peran yang jelas dan
memberi nilai tambah pada cara organisasi itu berfungsi.
7. Derajat sentralisasi atau desentralisasi organisasi perlu ditentukan.
8. Struktur harus dirancang untuk menghadapi berbagai perubahan
lingkungan.
Selanjutnya Cushway dan Lodge, juga menyampaikan bahwa
maksud utama struktur adalah memastikan bahwa organisasi
dirancang dengan cara yang paling baik untuk mencapai saran dan
tujuannya. Sebuah struktur organisasi dibuat untuk mencapai sejumlah
tujuan. Tujuan tersebut diantaranya adalah:
1. Menunjang strategi organisasi. Struktur harus dirancang
sedemikian rupa untuk memastikan pencapaian sasaran dan tujuan
organisasi. Strategi akan menjadi salah satu pokok yang
menentukan struktur.
2. Mengorganisasikan sumber daya dengan cara yang laing efisien
dan efektif.
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
65
3. Mengadakan persiapan pembagian tugas dan pertanggungjawaban
yang efektif antara perorangan dan kelompok.
4. Memastikan koordinasi kegiatan organisasi yang efektif dan
menggambarkan proses pembuatan keputusan.
5. Mengembangkan dan menggambarkan garis-garis komunikasi ke
atas, ke bawah dan ke seluruh organisasi.
6. Memungkinkan pemantauan dan peninjauan kegiatan-kegiatan
organisasi secara efektif.
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka terdapat sejumlah teknik
untuk menganalisis struktur organisasi. Tujuan dasarnya adalah
menentukan apakah:
1. struktur yang ada sesuai dengan kebutuhan organisasi;
2. struktur itu menunjang misi dan strategi;
3. strukur itu memberikan pengelompokkan fungsi yang paling logis
dan cost effective;
4. struktur itu mendayagunakan sumber daya manusia di dalam
organisasi sebaik-baiknya.
Untuk itulah ketika menata dan membuat analisis organisasi
sebagaimana dikemukakan Cushway dan Derek Lodge dalam buku
“Organizational Behaviour and Design”, terdapat tiga faktor yang
perlu diperhatikan begitu misi dan strategi yang jelas telah ditetapkan.
Adapun ketiga faktor tersebut adalah:
1. Struktur Organisasi
Struktur organisasi merupakan unsur yang sangat penting karena
struktur organisasi akan menjelaskan bagaimana kedudukan, tugas,
dan fungsi dialokasikan di dalam organisasi. Hal ini mempunyai
dampak yang signifikan terhadap cara orang melaksanakan
tugasnya (bekerja) dan terhadap proses-proses organisasi. Struktur
organisasi akan menjelaskan bagaimana kewajiban, tugas dan peran
dialokasikan di dalam organisasi. Hal ini penting karena
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
66
dampaknya terhadap cara orang bekerja dan terhadap efektivitas
proses-proses organisasi.
2. Proses atau Mekanisme Kerja
Proses atau mekanisme akan mendasari dijalankannya fungsi-
fungsi dan kegiatan-kegiatan organisasi. Walaupun mekanisme
seharusnya dibuat sesuai dengan struktur organisasi tetapi
terkadang mekanisme ikut menentukan bagaimana organisasi itu
disusun.
3. Sumber Daya Manusia
Sumber daya inti setiap organisasi adalah sumber daya manusia.
Sumber daya yang lain akan tetap seperti semula tanpa adanya
campur tangan manusia. Bahkan sumber daya manusia seringkali
menjadi unsur yang dominan yang menentukan struktur dan proses
organisasi. Seringkali struktur dan proses yang disusun menurut
teori paling logis diubah demi menyesuaikan dengan sumber daya
manusia yang ada.
Adapun faktor penting dalam penataan organiasi tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.4
MISI
STRATEGI
STRUKTUR PROSES S D M
Selanjutnya Galbraith dalam Toha (2008) mengatakan bahwa
setiap upaya menata ataupun menyusun organisasi, menurut Galbraith
Universitas Indonesia
Sumber: Cushway dan Lodge, 1993
Implementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
67
perlu dilakukan hal-hal berikut: Pertama, harus ditentukan kebijakan
strategis yang dijadikan landasan langkah-langkah berikutnya.
Langkah berikutnya baru menetapkan satuan-satuan organisasi yang
akan dibuat, langkah terakhir memadukan orang-orang yang harus
melaksanakan. Berdasarkan langkah tersebut, maka setiap pimpinan
organisasi harus menentukan terlebih dahulu bagaimana kebijakan
strategisnya ketika akan menentukan arah bagi satuan-satuan
organisasi yang dipimpinnya. Kebijakan strategis ini termasuk di
dalamnya menentukan visi yang akan diwujudkan dalam organisasi
tersebut. Selain visi, pemimpin juga harus menentukan misi, tujuan
dan domain untuk masing-masing satuan organisasi yang
dipimpinnya. Hal ini berarti, setiap pemimpin organisasi baik di pusat
maupun daerah harus memahami kebutuhan dan kemampuannya
dalam setiap upaya menata ataupun membentuk organisasi. Kebijakan
strategis yang ditetapkan akan menjadi landasan berapa banyak dan
jenis satuan satuan organisasi yang akan ditetapkan. Baru kemudian
langkah terakhir menentukan siapa pejabat yang akan diangkat untuk
menduduki jabatan yang tersedia. Urutan langkah penataan ini,
merupakan langkah yang logis dan sistematis dalam merancang dan
menata organisasi. Urutan sekuensinya tidak boleh dibolak balik
misalnya, menetapkan jumlah organisasi didasarkan atas jumlah orang
atau sumber daya manusia yang tersedia dan terakhir baru disusun
kebijakan strategisnya. Kalau terjadi tidak sistematis urutan
langkahnya, seperti dikatakan Galbraith, maka akan terjadi banyak
persoalan. Misalnya struktur, jumlah unit organisasi atau jenis
organisasi yang dibentuk tidak bisa efektif bekerja, sumber daya
manusiannya juga tidak profesional. Adapun urutan sekuensi dalam
penataan organisasi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.5Proses Penataan Organisasi Secara Sequently
Universitas Indonesia
KEBIJAKANSTRATEGIS
PENATAANSDM
PENYUSUNANKELEMBAGAAN
Sumber: J.R. Galbraith (1977)Implementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
68
Jika suatu organisasi sudah terbentuk menurut Henry Mintzberg
(1993), maka susunannya mengandung unsur-unsur berikut:
1. Strategic Apex, adalah unsur pimpinan yang bertugas dan
berwenang menyusun kebijakan strategis
2. Middle Line, yang bertugas dan berwenang memberikan fasilitas
kepada unsur-unsur lainnya yang letak dan kedudukannya berada di
tengah-tengah badan satuan organisasi. Unsur ini umumnya juga
yang melaksanakan tugas auxiliary. Pada organisasi pemerintah
daerah unsur ini dilaksanakan oleh Sekretaris daerah.
3. Operating Core, adalah unsur pelaksana kebijakan strategis yang
dibuat oleh satuan pimpinan. Unsur organisasi ini juga berfungsi
melaksanakan tugas substansi atau tugas pokok organisasi. Unsur
ini dalam organsiasi pemerintah daerah dilaksanakan oleh dinas
daerah.
4. Techno Structural, adalah satuan organisasi yang bertugas
melaksanakan analisis yang hasil analisisnya disampaikan kepada
satuan pimpinan untuk membuat kebijakan strategis. Dalam
struktur organsiasi di daerah unsur ini dilaksanakan oleh Lembaga
Teknis Daerah (Badan/kantor).
5. Supporting Staff yang berfungsi memberikan bantuan staf pada unit
atau unsur Middle Line dan unsur-unsur lain.
Oleh karena itu, dalam menata, menentukan posisi atau
kedudukan organisasi seperti organisasi perangkat daerah baik di
provinsi maupun di Kabupaten/Kota maka harus didasarkan apda
landasan konsep atau teori yang bisa memperkuat kedudukan dari tiap
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
69
organisasi yang ada., sehingga organisasi yang dibentuk dapat
dipertanggungjawabkan baik dari sisi teknis maupun teoretis.
Restrukturisasi organisasi tidak sinonim dengan perampingan.
Sebagian organisasi pemerintah akan lebih efektif jika memiliki
struktur yang ramping, sementara sebagian lainnya tidak (Osborne dan
Plastrik; 1997.13). Hal ini cukup relevan dalam pembaruan birokrasi
pemerintah daerah yang melakukan penggabungan organisasi secara
sederhana, hasil penggabungan organisasi pemerintah malah
seringkali menimbulkan organisasi yang semakin besar dan bukannya
perampingan.
Dalam rangka melaksanakan restructuring dan repositioning
organisasi perangkat daerah, maka berbagai pertimbangan harus
dipikirkan secara matang mengacu pada kewenangan yang
dilimpahkan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Realisasi
pelaksanaan otonomi daerah itu salah satunya adalah dengan
melakukan pemetaan terhadap urusan yang dimiliki oleh pemerintah
daerah. Dari peta urusan yang dirumuskan diharapkan akan
menghasilkan sebuah penataan susunan organisasi perangkat daerah
yang lebih efisien dan efektif .
Namun demikian, tidak ada formula yang sederhana untuk
menentukan seberapa besar suatu organisasi pemerintah itu
seharusnya (Turner dan Hulme, 1997). Di negara sangat miskin,
birokrasi mungkin menjadi satu-satunya cara penyediaan pelayanan
kepada masyarakat. Namun demikian, sebenarnya yang harus
diperhatikan adalah apa yang masyarakat harapkan dari Pemerintah
dan apa yang Pemerintah rencanakan untuk memberikan pelayanan
kepada masyarakat. Harapan terhadap peningkatan kualitas pelayanan
publik dalam era otonomi daerah, khususnya setelah penataan
organisasi adalah suatu tantangan. Birokrasi pemerintah diharapkan
akan memberi perhatian (komitmen) yang sungguh-sungguh dalam
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
70
pemberian pelayanan publik sesuai dengan jiwa otonomi daerah.
Untuk itu, perubahan paradigma dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah juga perlu menjadi perhatian dalam mendesain
organisasi pemerintah daerah.
2.4. Operasionalisasi Konsep
Penelitian ini dimaksudkan untuk menjelaskan implementasi
kebijakan restrukturisasi organisasi perangkat daerah di Provinsi DKI
Jakarta. Penelitian ini tidak melihat hubungan antar variabel, tetapi yang
dilakukan adalah mendiskripsikan bagaimana proses penetapan kebijakan
restrukturisasi organisasi, bagiamana implementasi kebijakan restrukturisasi
organisasi perangkat daerah beserta faktor-faktor yang mempengaruhi
implementasi kebijakan tersebut melalui pembahasan secara komprehensif.
Proses penetapan kebijakan restrukturisasi organisasi perangkat
daerah yang akan diteliti disini adalah bagaimana tahapan yang dilakukan
dalam menentukan besaran dan jenis organisasi perangkat daerah yang
ditetapkan dalam Perda Nomor 10 Tahun 2008. Proses penetapan kebijakan
restrukturisasi oganisasi ini diukur dengan melihat sejauhmana prinsip-
prinsip pengorganisasian yang berlaku diakomodasikan dalam penetapan
kebijakan restrukturisasi organisasi khususnya dalam penetapan besaran dan
jenis organisasi perangkat daerah.
Implementasi kebijakan yang dimaksudkan dalam penelitian ini
adalah proses melaksanakan keputusan atau kebijakan yang telah ditetapkan,
dalam hal ini adalah implementasi kebijakan penetapan Perda tentang
Organisasi Perangkat Daerah Provinsi DKI Jakarta. Adapun variabel yang
akan diteliti dalam implementasi kebijakan ini meliputi: (1) prubahan yang
diinginkan dari kebijakan restrukturisasi organisasi, (2) Penyusunan
Peraturan pelaksanaan, dan (3) sosialisasi. Indikator keberhasilan
implementasi kebijakan akan dilihat dari:
(1) Perubahan yang diinginkan:
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010
71
• Konsistensi dalam mewujudkan perubahan yang diinginkan;
• Terwujudnya organisasi perangkat daerah yang efektif, efisien,
rasional dan proporsional.
• Pemberdayaan kota/kabupaten administrasi, kecamatan dan
kelurahan.
• Kejelasan pembagian peran antar satuan kerja perangkat daerah.
(2) Penyusunan Peraturan pelaksanaan:
• Tersusunnya peraturan pelaksanaan dari kebijakan restrukturisasi
organisasi perangkat daerah secara optimal.
• Tidak terjadi duplikasi dalam pelaksanaan tugas antar organisasi
perangkat daerah.
(3) Sosialisasi
Proses sosialisasi yaitu kegiatan mengkomunikasikan segala sesuatu
tentang kebijakan restrukturisasi organisasi perangkat daerah sampai
dengan ke level wilayah di kecamatan dan kelurahan. Proses tersebut
diukutdengan tingkat pemahaman dan interpretasinya terhadap
kebijakan restrukturisasi organisasi perangkat daerah, baik mengenai
muatan materi perubahan maupun pelaksanaannya.
Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi
kebijakan restrukturisasi organisasi perangkat derah yang akan diteliti
meiputi variabel: (1) komunikasi dan koordinasi, (2) sumber daya, dan (3)
struktur birokrasi.
(1) Koordinasi dan komunikasi diukur dengan adanya kejelasan petunjuk
pelaksanaan, pelaksana kebijakan mengetahui apa yang harus
dilakukan, kesamaan persepsi dalam menyikapi kebijakan
restrukturisasi, terjalinnya koordinasi yang efektif baik secara vertikal
maupun horisontal.
(2) Sumber daya, diukur dengan melihat terdapatnya dukungan sumber
daya yang memadai dalam implementasi kebijakan restrukturisasi
organisasi perangkat daerah khususnya sumber daya manusia yang
menjadi inti dari organisasi.
Universitas IndonesiaImplementasi kebijakan ..., Nanik Murwati, FISIP UI, 2010