Post on 11-Mar-2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Permasalahan
Indonesia terdiri dari berbagai ragam etnis (suku bangsa), bahasa, dan adat
istiadat. Salah satu dari etnis di Indonesia yang turut mendukung keberadaan
kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan Melayu. Namun, satu hal kompleks bahwa
etnis Melayu tidak hanya berada di Indonesia saja, melainkan meliputi berbagai negeri
di kawasan Asia Tenggara. Etnis yang disebut Melayu, secara keseluruhan adalah salah
satu suku bangsa yang mendiami wilayah Thailand bagian selatan (Pattani),
Semenanjung Malaysia, Brunei Darussalam, dan Indonesia, yang mempergunakan adat-
istiadat Melayu.
Bahasa nasional yang dipergunakan di Indonesia, Malaysia, dan Brunei
Darussalam sebagian besar dipengaruhi oleh bahasa Melayu. Begitu juga dengan di
Singapura, bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa nasional kedua. Pada zaman
sekarang, penutur bahasa Melayu ini sudah lebih dari 200 juta jiwa. Dengan demikian,
sebenarnya kebudayaan Melayu adalah sebagai salah satu khazanah terbesar
kuantitasnya di Asia Tenggara ini.
Wilayah kebudayaan Melayu di Indonesia mencakup daerah Tamiang, pesisir
Timur Sumatera Utara (lazim disebut dengan Sumatera Timur), Riau, Kalimantan, dan
Jambi. Khusus di daerah Pesisir Timur Sumatera Utara, mereka berada di daerah
Langkat, Deli Serdang, Asahan, dan Labuhan Batu.
Kabupaten-kabupaten yang terdapat di dalam kawasan Timur Pesisir Sumatera
Utara yang disebutkan di atas terdapat kesamaan dalam adat-istiadatnya. Seperti pada
upacara tepung tawar, khitanan, perkawinan, jamu laut, dan dalam kegiatan pertanian
yang dalam kesempatan ini menjadi pokok pembahasan dalam tulisan ini.
Dalam kegiatan pertanian, khususnya pertanian padi oleh masyarakat Melayu,
pengunaan kesenian biasanya digunakan sebagai pengiring ketika bekerja dan berfungsi
sebagai hiburan ketika bekerja. Salah satu kesenian tersebut adalah ahoi.
Ahoi merupakan sebuah lagu yang dinyanyikan oleh para petani ketika mengirik
padi (melepaskan gabah padi atau bertih padi dari tangkainya dengan cara menginjak-
injaknya). Ahoi ini dinyanyikan oleh para petani ketika mengirik padi disaat musim
panen tiba. Biasanya para petani atau pengirik berkumpul bersama-sama dengan
berjumlah 12 sampai dengan 15 orang dan membentuk posisi lingkaran, kemudian
mereka berkeliling secara bersama-sama menginjak-injak tangkai padi sampai bulir-
bulir padi terlepas dari batangnya sambil bernyanyi. Sehabis menyanyikan satu kuplet
pantun secara solo, lalu di dalam refrein diikuti bersama oleh semua pengirik dengan
kata-kata “E. .Wak. .Ahoi, ahoi,. . .!
Lagu-lagu yang dinyanyikan biasanya berupa pantun berisi tentang ajakan-
ajakan atau seruan mengenai mengirik padi dan juga ucapan syukur atas hasil panen
yang melimpah. Pantun yang dinyanyikan biasanya merupakan hasil kreatifitas dari si
penyanyi dalam menciptakan pantun. Sama seperti kebanyakan lagu-lagu Melayu
lainnya, melodi Ahoi ini juga bersifat berulang-ulang dengan teks yang berbeda-beda.
Unsur teks lebih diutamakan daripada unsur melodinya atau dalam dunia
etnomusikologi disebut dengan logogenik1.
Dalam perkembangannya sekarang ini, ahoi ini sudah sangat jarang ditemui lagi
dan bahkan ada yang sudah tidak dilakukan lagi di beberapa daerah. Menurut Bapak
1 Jika lebih mengutamakan melodi daripada teksnya disebut dengan melogenik
Ruslan Nainggolan2 (Salah seorang yang pernah melakukan kegiatan mengirik yang
masih hidup), di daerah Batangkuis sendiri kegiatan mengirik padi secara tradisional ini
sudah tidak dilakukan lagi semenjak tahun 1983.
Salah satu faktor penyebab jarangnya kesenian ini adalah dikarenakan sudah
masuknya teknologi mesin dalam pengerjaan proses mengirik padi sehingga tidak
membutuhkan banyak orang dalam proses pengerjaannya. Ketika kegiatan mengirik
padi secara manual tidak dilakukan lagi, maka secara otomatis kesenian ahoi atau ini
pun terkena dampaknya dan tidak dinyanyikan lagi.
Jika hal ini dibiarkan terus menerus, beberapa waktu ke depan kesenian ahoi ini
lambat laun akan tinggal sejarah saja, tidak terkecuali juga nilai-nilai falsafah hidup
ataupun kearifan lokal kebudayaan Melayu yang terkandung di dalam kegiatan tersebut
akan ikut juga menjadi sejarah.
Berdasarkan hal yang disebutkan di atas, maka penulis tertarik untuk
mengangkat dan menulis tentang Lagu Mengirik Padi atau ahoi ini sebagai bahan
referensi dan sebagai salah satu syarat khusus kelulusan dari Departemen
Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya USU dengan judul : Ahoi Mengirik Padi Pada
Masyarakat Melayu Daerah Batang kuis, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi
Sumatera Utara : Suatu Kajian Tekstual dan Musikal
1.2 Pokok Permasalahan
Pokok permasalahan yang penulis bahas berdasar kepada pertanyaan:
1. Bagaimana penyajian kesenian ahoi di dalam kegiatan mengirik padi yang
dilakukan oleh petani Batang Kuis?
2 Bapak Nainggolan merupakan salah seorang pengirik padi tradisional yang lahir bermukim di daerah Batang Kuis, sehingga penulis memilih beliau sebagai salah satu informan dalam penulisan ini.
2. Bagaimana unsur musik yang terkandung di dalam kesenian ahoi pada
kegiatan mengirik padi pada masyarakat Batang Kuis Kabupaten Deli
Serdang?
3. Bagaimana makna yang terkandung di dalam teks kesenian ahoi pada
kegiatan mengirik padi pada masyarakat Batang Kuis Kabupaten Deli
Serdang?
4. Bagaimana Fungsi kesenian ahoi dalam kegiatan mengirik padi pada
masyarakat Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang?
Pokok permasalahan ini akan dijawab dengan melakukan uraian dalam bentuk
kajian penyajian ahoi yang dimaksud. Kemudian menganalisis jalannya kegiatan
tersebut, dengan menotasikan musik, mentranskripsi teks-teks nyanyian, dan kemudian
menuliskannya dalam bentuk skripsi.
1.3 Pembatasan Masalah
Beberapa aspek dan masalah yang dapat dijumpai pada tradisi nyanyian ahoi ini,
diantaranya adalah aspek musikologis, teks, konteks, fungsi dan kegunaan, dan lainnya.
Melihat banyaknya masalah di atas, maka penulis lebih menitik beratkan pada aspek
musikologis dan aspek tekstualnya.
Dalam aspek musikologisnya, penulis akan membahas tentang analisis melodi
dan transkripsi melodi ahoi, yang di dalamnya mencakup : tangga nada, jumlah nada,
formula melodi, ritem, interval, perjalanan melodi (contour), dan wilayah nada.
Dalam aspek tekstualnya, penulis akan membahas tentang struktur teks dari
nyanyian ahoi, bentuk teks, serta unsur pantun pada teks ahoi dan makna teksnya.
1.4 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan merupakan sasaran yang hendak dicapai oleh penulis sebelum
melakukan penulisan. Tanpa adanya tujuan yang jelas, maka kegiatan yang dilakukan
tidak akan terarah karena tidak tahu apa yang akan dicapai dalam kegiatan tersebut.
Oleh karena itu, tujuan yang ingin dicapai penulis adalah sebagai berikut:
1. Mengkaji bagaimana struktur musik lagu mengirik padi yang mencakup
melodi dan ritemnya.
2. Mengkaji struktur teks yang terdapat di dalam lagu mengirik padi.
3. Sebagai suatu bahan dokumentasi musik tradisional Melayu.
4. Untuk memenuhi salah satu syarat yang diwajibkan bagi penulis untuk
menyelesaikan studi di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Sumatera Utara.
1.5 Manfaat Penulisan
Selanjutnya, adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui bagaimana struktur musik dalam lagu mengirik padi atau
ahoi.
2. Untuk mengetahui struktur teks di dalam lagu mengirik padi atau ahoi.
3. Sebagai bahan referensi masyarakat akan kesenian Melayu, khususnya lagu
mengirik padi atau ahoi.
4. Membantu pemerintah dalam upaya mengembangkan pembangunan di bidang
kebudayaan, khususnya kebudayaan Melayu. Kesenian ini dapat dibangkitkan
kembali dengan cara merekonstruksinya dan di alih-fungsikan menjadi seni
pertunjukan.
1.6 Konsep
Untuk mendapatkan pengetahuan mendasar tentang objek penelitian dan
menghindari penyimpangan, maka diperlukan pengertian atau definisi terhadap
terminologi yang menjadi pokok bahasan. Definisi ini akan menjadi kerangka konsep
yang mendasari batasan-batasan makna terhadap topik yang menjadi pokok penelitian.
Konsep adalah kesatuan pengertian tentang sesuatu hal atau persoalan yang perlu di
rumuskan (Mardalis 2003:46).
Demikian juga halnya menurut Koentjaraningrat, yang dimaksud dengan konsep
adalah gambaran abstrak. Ia bercerita sebagai berikut: Seorang individu dapat juga
menggabung dan membandingkan bagian-bagian bagian-bagian dari suatu
penggambaran dengan bagian-bagian dari berbagai penggambaran lain yang sejenis,
berdasarkan asas-asas tertentu secara konsisten. Dengan proses akal itu individu
mempunyai suatu kemampuan untuk membentuk suatu penggambaran baru yang
abstrak yang sebenarnya dalam kenyataan tidak serupa dengan salah satu dari berbagai
macam penggambaran yang menjadi bahan konkret dari penggambaran baru itu.
Sehingga manusia dapat membuat penggambaran tentang tempat-tempat tertentu
dimuka bumi ini, bahkan juga di luar bumi ini, padahal ia belum pernah berpengalaman
melihat atau mempersepsikan tempat-tempat tadi. Itulah konsep (1980:118).
Judul skripsi ini adalah Ahoi Mengirik Padi Pada Masyarakat Melayu
Daerah Batang kuis, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara : Suatu
Kajian Tekstual dan Musikal. Agar penulis dan pembaca memiliki pemahaman yang
sama terhadap kata-kata yang terkandung di dalam judul tulisan ini, maka perlu
diuraikan konsep dari kata-kata tersebut, yaitu sebagai berikut:
Ahoi memiliki pengertian sebagai seruan di antara orang Melayu. Namun dalam
penulisan ini, konsep ahoi adalah sebuah seruan yang memiliki unsur musikal yang
menjadi judul dalam lagu mengirik padi.
Lagu merupakan gubahan seni nada atau suara dalam urutan, kombinasi, dan
hubungan temporal (biasanya diiringi dengan alat musik) untuk menghasilkan gubahan
musik yang mempunyai kesatuan dan kesinambungan (mengandung irama). Dan ragam
nada atau suara yang berirama disebut juga dengan lagu (Kamus Besar Bahasa
Indonesia Kontemporer:2002). Lagu yang saya maksud disini adalah nyanyian vokal
yang dinyanyikan para pengirik padi pada masyarakat Batang Kuis.
Mengirik berasal dari kata irik yang artinya pijak. Dengan demikian mengirik
merupakan sebuah kegiatan memijak atau menebah agar terlepas dari tangkainya
(Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Pengertian masyarakat di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata
masyarakat memiliki pengertian sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat
oleh suatu kebudayaan yg mereka anggap sama. Masyarakat yang penulis maksud
dalam penulisan ini adalah sekumpulan orang yang menempati wilayah Batang Kuis
dan terikat di dalam kebudayaan Melayu.
Melayu adalah sebuah istilah antropologis dan budaya, yang memiliki berbagai
pengertian. Istilah ini bisa bermakna dalam konteks yang luas yaitu ras, bisa juga
identitas yang berkaitan dengan tata negara, atau etnik setempat, yang menghuni
kawasan tertentu seperti provinsi atau kabupaten. Makna-makna yang bisa luas atau
sempit ini umumnya tergantung dalam konteks apa istilah tersebut digunakan.
Berdasarkan pengertian ras, Melayu dapat digolongkan kepada kumpulan
Melayu Polinesia atau ras berkulit coklat yang mendiami Gugusan Kepulauan Melayu,
Polinesia, dan Madagaskar. Namun demikian pada masa pusat imperium Melayu berada
di Malaka 1400 M dan Parameshwara menjadi Islam, maka sejak itu agama Islam
disebarkan dari Malaka ke segenap penjuru di Nusantara. Penyebaran yang terjadi
melalui proses dagang dan perkawinan ini, sekaligus membentuk budaya Melayu.
Setelah itu, terbentuk definisi jati diri Melayu yang baru yang tidak lagi terikat pada
faktor geneologis (hubungan darah) tetapi dipersatukan oleh faktor kultural yang sama,
yaitu kesamaan agama Islam, bahasa Melayu, dan adat-istiadat Melayu.
Definisi Melayu sejak abad ke 15 M dikemukakan oleh penguasa kolonial
Belanda dan Inggris serta para sarjana asing bahwa seseorang dikatakan orang Melayu
apabila ia beragama Islam, berbahasa Melayu sehari-hari, dan melakukan adat istiadat
Melayu dalam kehidupannya sehari-hari. Sehingga sampai pada awal kemerdekaan
Indonesia istilah “masuk Melayu” sama dengan ”masuk Islam” (Luckman Sinar 1994:8-
9).
Menurut seorang ahli antropologi, Vivienne Wee (dalam Takari dan Dewi,
2008), terdapat perbedaan pengertian Melayu di Singapura, Malaysia, dan Indonesia
yang secara langsung berkaitan erat dengan persepsi pemerintah masing-masing.
Pemerintah Singapura memandang Melayu sebagai sebuah ras, sebuah kategori yang
dihasilkan berdasarkan keturunan dalam sistem etnisitasnya. Bahkan di Singapura,
seseorang yang rasnya Melayu, beragama Kristen, berbahasa Inggris, secara syah
dianggap sebagai orang Melayu. Terdapat sejumlah kecil orang Melayu Kristen dan
mereka dipandang sebagai suatu Asosiasi Kristen Melayu di Singapura. Sedangkan di
Malaysia, Melayu secara konstitusional diikat identitasnya dengan agama Islam, maka
jika seorang Melayu berpindah agama menjadi Kristen misalnya, dia tidak dipandang
lagi sebagai orang Melayu. Meskipun demikian, tidak berarti semua orang Islam di
Malaysia dipandang sebagai orang Melayu. Konstitusi Malaysia menyatakan bahwa
orang Melayu itu hanyalah orang Islam yang berbahasa Melayu, menuruti adat-istiadat
Melayu, lahir di Malaysia atau lahir dari orang tua yang berkebangsaan Malaysia.
Berbeda dengan Singapura dan Malaysia, pemerintah Indonesia tidak begitu berminat
memberi pengertian secara legal terhadap Melayu. Pengertian Melayu di Indonesia
adalah satu istilah yang mengandung makna identitas regional berdasarkan pengakuan
penduduknya. Dengan demikian, menurut pandangan pemerintah Indonesia, seseorang
dapat saja menyatakan diri sebagai oring Melayu ataupun bukan orang Melayu. Dia
boleh menentukan identitas regionalnya. Karena pemerintah Indonesia tidak
mencantumkan label etnik dalam kartu tanda penduduk (KTP), sedangkan Singapura
dan Malaysia mencantumkannya.
Selain itu, istilah Melayu bisa merujuk kepada salah satu etnik setempat di
Sumatera Utara yang terdiri dari daerah-daerah kebudayaan yaitu Melayu Deli, Serdang,
Langkat, Asahan, Batubara, dan Labuhan Batu. Namun demikian, tidak terdapat
perbedaan yang sangat mendasar. Menurut Fadlin, perbedaan di antara ke enam
kelompok Melayu ini hanya terdapat pada dialek atau pengucapan sesuatu, misalnya
pada pengucapan kata “kemana” bisa berbeda pada akhir hurufnya di enam wilayah
Melayu Sumatera Utara tersebut. Namun hal tersebut tidak membatasi mereka untuk
berkomunikasi, mereka dapat saling mengerti dan dapat saling berkomunikasi dengan
baik.
Dalam penelitian ini, konsep Melayu yang penulis pergunakan merujuk kepada
Melayu sebagai salah satu etnik setempat di Sumatera Utara yang terdiri dari daerah-
daerah kebudayaan yang salah satunya merupakan daerah yang menjadi daerah objek
penelitian ini, yaitu Batang Kuis.
Pengertian kaji menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti penyelidikan,
memeriksa, mempertimbangkan dan memikirkan (Poerwadarminta 1984:433). Dengan
demikian yang dimaksud dengan kajian adalah suatu penyelidikan yang dilakukan
dengan memakai metode-metode ilmiah.
Menurut Echols dan shadily (1986:380), tekstual adalah sesuatu yang berkaitan
dengan isi karangan. Kemudian Christine Ammer (1973:369) mengemukakan tentang
musik vokal, yakni sebagai berikut :
Text : In vocal music, the word.
A text need not consist of whole words, it may consist f nonsense or other
syllables (solmization, vocalization) also called lyrics.
Artinya:
Teks khususnya dalam musik vokal berarti kata-kata. Sebuah teks tidak hanya
terdiri dari kata-kata dalam susunan keseluruhannya, ia dapat saja terdiri dari
suku kata yang tidak punya arti atau suku-suku kata lain (seperti solmisasi,
vokalisasi), teks juga disebut dengan lirik
Selanjutnya Merriam (1964:187) mengemukakan tentang salah satu sumber
yang paling jelas untuk mempelajari tata tingkah laku manusia dalam salah satu
kebudayaan yang berkaitan dengan musik adalah teks nyanyian. Dengan demikian yang
dimaksud dengan tekstual adalah suatu lirik atau kata-kata yang di dalamnya
mempelajari tentang tata tingkah laku manusia yang berkaitan dengan musik.
Musikal merupakan segala hal yang mengandung unsur musik. Dan dalam
penulisan ini pengertian musikal adalah segala hal di dalam ahoi yang mengandung
unsur musik.
1.7 Teori
Teori merupakan asas-asas dan hukum-hukum umum yang menjadi dasar
sesuatu kesenian atau ilmu pengetahuan. Teori juga merupakan pendapat-pendapat atau
aturan-aturan untuk melakukan sesuatu (Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1991: 154-
155).
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa teori yang sesuai dengan
topik yang akan penulis angkat. Untuk melihat ahoi tergolong ke dalam bagian
nyanyian tradisional atau nyanyian rakyat yang bagaimana, penulis menngambil teori
Brunvand. Ia membagi nyanyian rakyat menjadi tiga bagian, yakni:
1. Nyanyian rakyat yang berfungsi ( Functional folk song ) adalah nyanyian yang kata-
kata dan lagunya memegang peranan yang sama penting dan cocok dengan irama di
dalam aktivitas tertentu.
2. Nyanyian rakyat yang bersifat liris ( lirycal folk song ) adalah nyanyian rakyat yang
teksnya bersifat liris, yang merupakan pencetusan rasa haru si penyanyi tanpa
menceritakan kisah yang bersambung ( koheren ) .
3. Nyanyian rakyat yang bersifat berkisah ( Narative folk song ) adalah nyanyian
rakyat yang menceritakan suatu kisah. ( Danandjaya, 1984:146-152)
Dari keterangan di atas, nyanyian ahoi merupakan nyanyian rakyat yang
berfungsi dalam kebudayaannya, karena berhubungan langsung dengan kebudayaan
masyarakat Melayu Batang Kuis.
Untuk menganalisis melodi di dalam lagu mengirik padi ini, penulis
menggunakan teori weighted scale oleh William P Malm. Teori weighted scale adalah
sebuah teori yang mengkaji keberadaan melodi berdasarkan kepada delapan unsurnya.
Kedelapan unsur melodi itu menurut Malm (1977:15), adalah: (1) tangga nada; (2) nada
pusat atau nada dasar; (3) wilayah nada); (4) jumlah nada; (5) penggunaan interval; (6)
pola cadensa; (7) formula melodi; dan (8) kontur.
Dalam menganalisis teks-teks yang dinyanyikan dalam lagu mengirik padi ini,
penulis menggunakan teori William P. Malm. Ia menyatakan bahwa dalam musik vokal,
hal yang sangat penting diperhatikan adalah hubungan antara musik dengan teksnya.
Apabila setiap nada dipakai untuk setiap silabel atau suku kata, gaya ini disebut silabis.
Sebaliknya, bila satu suku kata dinyanyikan dengan beberapa nada disebut melismatik.
Studi tentang teks juga memberikan kesempatan untuk menemukanhubungan antara
aksen dalam bahasa dengan aksen pada musik, serta sangat membantu melihat reaksi
musikal bagi sebuah kata yang dianggap penting dan pewarnaan kata-kata dalam puisi
(Malm dalam terjemahan Takari 1993:15)
Teori selanjutnya yang penulis gunakan adalah teori penggunaan dan fungsi
musik yang dikemukakan oleh Alan P. Merriam (1964 : 219-222), yang menyatakan
tentanng bagaimana sebuah musik digunakan dan apa fungsi musik tersebut digunakan.
Merriam menawarkan sepuluh fungsi musik, namun ia tidak membatasinya. Mungkin
ada lebih dari sepuluh.
Dalam kaitannya dengan ahoi, penulis melihat penggunaannya adalah sebagai
pengiring kerja. Sedangkan fungsinya antara lain adalah sebagai hiburan, penghayatan
estetis, komunikasi, pengintegrasian masyarakat, kesinambungan kebudayaan,
penghayatan nilai-nilai religi (khususnya yang berkaitan dengan pertanian), dan lainnya.
Selain teori yang telah disebutkan di atas, penulis juga menggunakan pendekatan
transkripsi yang mengacu pada Nettl yang mengatakan ada dua pendekatan utama untuk
mendeskripsikan musik yaitu:
(1) Kita dapat menganalisis dan mendeskripsikan apa yang kita dengar, dan
(2) Kita dapat dengan cara menuliskan apa yang kita dengar tersebut ke atas kertas lalu
mendeskripsikan apa yang kita lihat.
Dalam penelitian ini, untuk dapat mentranskripsikan atau menuliskan sebuah
musik dalam bentuk simbol-simbol notasi membutuhkan pengetahuan tentang beberapa
hal, diantaranya ritem (organisasi musik di dalam waktu) dan meter (skema waktu
dalam musik). Cara-cara mentranskripsikan musik adalah sebagai berikut:
(1) Belajar memainkan alat musik yang akan ditranskripsikan.
(2) Kedua, peniruan bunyi dengan cara bernyanyi atau menirukan secara bernyanyi.
1.8 Metode Penelitian
Metode peneletian adalah suatu prosedur atau urutan kerja yang akan
dilaksanakan dalam rangka penyelidikan dari suatu bidang yang bertujuan untuk
memperoleh fakta-fakta. Metode kerja yang penulis lakukan adalah metode deskriptif
dengan pendekatan kualitatif, yaitu suatu rangkaian kegiatan atau proses menyaring
data/informasi yang bersifat sewajarnya mengenai suatu masalah dalam bidang
kehidupan tertentu pada objeknya (Bogdan dan Taylor 1975:176).
Suatu penelitian kualitatif memungkinkan kita memahami masyarakat secara
personal dan memandang mereka sendiri mengungkapkan pandangan dunianya (Bogdan
1975:4-5). Dalam hal metode penelitian, penulis memakai metode penelitian deskriptif
dengan pendekatan kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang
diamati.
Di sini penulis mencari data dilapangan dengan cara wawancara secara
langsung. Sebelum melakukan wawancara penulis hanya mempersiapkan garis-garis
besar pertanyaan yang akan ditanyakan. Seluruh data yang diperoleh dari hasil
wawancara dengan setiap informan penulis kumpulkan untuk diolah dalam kerja
laboratorium.
Menurut Netll (1964:62-64) ada 2 hal yang esensial untuk melakukan aktifitas
penelitian dalam disiplin etnomusikologi yaitu : kerja lapangan (field work) dan kerja
laboratorium (desk work). Kerja lapangan meliputi pemilihan informan, pendekatan dan
pengambilan data, pengumpulan dan perekaman data. Sedangkan kerja laboratorium
meliputi pengolahan data, menganalisis dan membuat kesimpulan dari keseluruhan
data-data yang diperoleh. Namun demikian, sebelum melakukan hal ini terlebih dahulu
dilakukan studi kepustakaan yakni mendapatkan literatur atau sumber-sumber bacaan
yang berkaitan dengan pokok permasalahan.
1.8.1 Pemilihan Lokasi Penelitian
Dalam hal lokasi penelitian, penulis menetapkan di Desa Bintang Meriah
Kecamatan Batang Kuis. Desa Bintang Meriah dipilih sebagai lokasi penelitian karena
di daerah ini sampai saat ini masih terdapat oknum-oknum atau para pelaku kegiatan
mengirik padi. Selain itu kegiatan rekonstruksi mengirik padi juga dilakukan oleh
penduduk desa ini pada tahun 2010 dalam acara Pesona Kebudayaan melayu 2010.
1.8.2 Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data penulis menjalani dua tahapan, yakni:
1. Studi kepustakaan,
2. Penelitian lapangan.
1.8.2.1 Studi Kepustakaan
Sebelum melakukan kerja lapangan, terlebih dahulu penulis membaca beberapa
literatur yaitu berupa makalah, skripsi, buku-buku dan majalah yang berkaitan dengan
objek yang diteliti. Kemudian mencari konsep-konsep dan teori yang dapat menjadi
sumber informasi bagi penulis untuk membahas tulisan ini. Untuk mencari teori,
konsep dan juga informasi yang berhubungan dengan tulisan ini, yang dapat dijadikan
landasan dalam penelitian, maka penulis terlebih dahulu melakukan studi kepustakaan
untuk menemukan literatur atau sumber bacaan yang dibutuhkan dalam melakukan
penelitian lapangan.
Sumber bacaan yang dilakukan dapat berasal dari peneliti luar maupun peneliti
dari Indonesia sendiri. Selain bacaan yang dapat berupa majalah atau Koran, bulletin,
buku ilmiah, jurnal, skripsi sarjana, tesis, berita dan lain-lain, penulis juga menggunakan
buku-buku yang cukup relevan dengan topik permasalahan dalam penelitian ini,
terutama yang menyangkut nyanyian ahoi.
Buku-buku tersebut antara lain ialah, Kebudayaan Melayu Sumatera Timur,
tulisan Tuanku Luckman Sinar Basarsyah II. SH dan Wan Syaifuddin. M.A, The
Anthropology of Music, tulisan Alan P. Merriam, 1964; Theory and Method in
Ethnomusicology, karya Bruno Nettl, 1864; Pokok-pokok Antropologi Budaya, karya
T.O. Ihromi, 1987; serta buku-buku pendukung lainnya yang dianggap relevan dengan
topik penelitian ini.
1.8.2.2 Penelitian Lapangan
Dalam penelitian lapangan penulis mengadakan observasi langsung dan
wawancara langsung. Adapun observasi langsung ini dilakukan untuk mendapatkan
secara langsung data-data yang dibutuhkan selama berlangsungnya kegiatan yang
diamati tersebut. Selain mengamati kegiatan dari observasi langsung ini penulis dapat
langsung menentukan orang-orang yang dianggap mampu menjadi narasumber dalam
pengumpulan data-data yang dibutuhkan penulis.
Pengamatan atau observasi dapat dilakukan dengan dua cara, yang kemudian
digunakan untuk menyebut jenis observasi, yaitu :
a. Observasi non-sistematis, yang dilakukan oleh pengamat dengan tidak
menggunakan instrumen pengamatan.
b. Observasi sistematis, yang dilakukan oleh pengamat dengan menggunakan
pedoman sebagai instrumen pengamatan.
Dalam metode pengamatan setidaknya ada 3 (tiga) macam metode, yaitu :
1. Metode pengamatan bebas. Metode ini menggunakan teknik pengamatan
yang mengharuskan si peneliti tidak boleh terlibat dalam hubungan-
hubungan emosi pelaku yang menjadi sasaran penelitiannya. Si peneliti
dalam hal ini tidak ada hubungan apapun dengan para pelaku yang
diamatinya.
2. Metode pengamatan terkendali. Dalam pengamatan terkendali, si peneliti
juga tidak terlibat hubungan emosi dan perasaan dengan yang ditelitinya,
seperti halnya dengan pengamatan biasa. Yang membedakannya adalah pada
pengamatan terkendali para pelaku yang akan diamati diseleksi dan kondisi-
kondisi yang ada dalam ruang atau tempat kegiatan pelaku itu diamati dan
dikendalikan oleh si peneliti.
3. Metode pengamatan terlibat. Melalui metode pengamatan terlibat si peneliti
mempunyai hubungan dengan para pelaku yang diamatinya dalam
melakukan pengumpulan bahan-bahan yang diperlukan. Sasaran dalam
metode pengamatan terlibat adalah orang atau pelaku.
Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metode pengamatan
terlibat. Disini penulis bertindak sebagai pengamat total yang dapat masuk ke suatu
tempat dan melakukan pengamatan sebagai seorang peneliti. Melalui pengamatan ini
peneliti dalam mengumpulkan bahan keterangan yang diperlukan tidak perlu
bersembunyi tapi juga tidak mengakibatkan perubahan oleh kehadirannya pada kegiatan
yang diamati. Dalam hal ini, peneliti harus berusaha memperoleh kepercayaan penuh
dari orang-orang yang menjadi sasaran penelitiannya.
Wawancara adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara
mengajukan pertanyaan secara langsung oleh pewawancara, jawaban responden akan
dicatat atau direkam dengan alat perekam (tape recorder) (Suhartono, 1995:67). Teknik
wawancara yang dilakukan oleh penulis adalah seperti yang dikemukakan oleh
Koentjaraningrat (1985:138-140) mengatakan bahwa wawancara dapat dilakukan
dengan tiga cara yaitu:
1. Wawancara berfokus : pertanyaan tidak mempunyai struktur tertentu dan selalu
berpusat kepada satu pokok permasalahan
2. Wawancara bebas : pertanyaan yang diajukan tidak hanya berpusat pada pokok
permasalahan tetapi beraneka ragam selama masih berkaitan dengan objek
penelitian.
3. Wawancara sambil lalu : pertanyaan dalam hal ini diajukan kepada nara sumber
dalam situasi yang tidak terkonsep ataupun tanpa persiapan. Dengan kata lain
informan dijumpai secara kebetulan.
Adapun wawancara yang penulis lakukan adalah wawancara bebas. Wawancara
bebas adalah wawancara yang lebih santai dan fleksibel.
Kendala yang penulis alami dalam wawancara hanya berkisar dari informan
yang merasa terganggu dengan adanya alat rekam. Namun setelah penulis memberikan
pengertian dari tujuan dari peralatan tersebut hal ini segera dapat diatasi. Sebelum
wawancara secara terfokus penulis membuat kerangka pertanyaan, hal ini sengaja
penulis lakukan agar disaat wawancara dapat melakukan wawancara sesuai dengan yang
penulis inginkan dan hasilnya sesuai dengan yang diharapkan.
1.8.3 Pemilihan Informan
Sebelum melakukan penelitian penulis terlebih dahulu menentukan informan
pangkal3 yang dapat membantu memberikan informasi untuk keperluan penelitian.
Dalam hal ini penulis memilih Ibu Aisyah Tarmidzi menjadi informan pangkal. Dari
informan pangkal inilah penulis mendapat informasi mengenai siapa orang yang banyak
mengetahui tentang Ahoi. Setelah mendapat informasi dari informan pangkal
selanjutnya penulis menentukan informan kunci4. Dalam hal ini yang menjadi informan
kunci adalah Bapak Amirudin atau lebih dikenal dengan nama Pak Ying. Dari informan
kunci inilah penulis memperoleh data dan masukan mengenai permasalahan yang ada
dalam tulisan ini, serta dibantu oleh tokoh-tokoh masyarakat yang dituakan oleh
masyarakat di Desa Bintang Meriah Kecamatan Batang Kuis.
Untuk kelengkapan data tentang permasalahan yang ada dalam tulisan ini
terutama dalam hal perubahan musik, penulis mendapat informasi dari para personil
pertunjukan lagu mengirik padi pada Pesona Budaya Melayu 2010 yaitu Bapak Ruslan
Sinulingga.
1.8.4 Metode Penelusuran Data Online
Perkembangan Internet yang sudah semakin maju pesat serta telah mampu
menjawab berbagai kebutuhan masyarakat saat ini memungkinkan para akademisi mau
ataupun tidak menjadikan media online seperti Internet sebagai salah satu medium atau
ranah yang sangat bermanfaat bagi penelusuran berbagai informasi, mulai dari
3 Informan pangkal adalah orang yang memberikan informasi awal tentang Gondang Naposo 4 Informan kunci adalah orang yang memberikan informasi mendalam mengenai pokok permasalahan dalam tulisan ini.
informasi teoritis maupun data-data primer ataupun sekunder yang diinginkan oleh
peneliti untuk kebutuhan penelitian.
“Pada mulanya banyak kalangan akademisi meragukan validitas
data Online sehubungan apabila data atau informasi itu digunakan dalam
karya-karya ilmiah, seperti penelitian, karya tulis, skripsi, tesis maupun
disertasi. Namun ketika media Internet berkembang begitu pesat dengan
sangat akurat, maka keraguan itu menjadi sirna kecuali bagi kalangan
akademisi konvensional –ortodoks yang kurang memahami
perkembangan teknologi informasi sajalah yang masih mempersoalkan
akurasi media online sebagai sumber data maupun sumber informasi
teori. Hal ini disebabkan karena saat ini begitu banyak publikasi teoritis
yang disimpan dalam bentuk online dan disebarkan melalui jaringan
Internet. Begitu pula saat ini, berbagai institusi telah menyimpan data
mereka pada server-server yang dapat dimanfaatkan secara Intranet
maupun Internet. Dengan demikian polemic tentang keabsahan dan
validitas data-informasi online menjadi sesuatu yang kuno, tergantung
pada bagaimana peneliti dapat memilih sumber-sumber data online mana
yang sangat kredibel dan dikenal banyak kalangan”.
Dengan demikian, Burhan Bungin menjelaskan bahwa metode penelusuran data
online yang dimaksud adalah tata cara melakukan penelusuran data melalui media
online seperti Internet atau media jaringan lainnya yang menyediakan fasilitas online
sehingga memungkinkan peneliti dapat memanfaatkan data informasi online yang
berupa data maupun informasi teori, secepat atau semudah mungkin, dan dapat
dipertanggungjawabkan secara akademis.
1.8.5 Perekaman
Ada dua jenis perekaman yang penulis lakukan yaitu perekaman audio dan
perekaman video audio. Hal perekaman audio digunakan alat perekam dari handphone
merk Nokia 5630 Expressmusic, dan menggunakan software Adobe Audition 1.5.
Sedangkan untuk merekam video digunakan digunakan kamera video Casio 12.0
Megapixel.
1.8.6 Pemotretan
Untuk mendapatkan dokumentasi dalam bentuk gambar maka penulis
menggunakan kamera digital merk Casio, 12 megapixel. Data digital ini kemudian
dipindahkan ke dalam bentuk data komputer dalam format bmp (bitmap picture
graphics), yang kemudian diinsert ke tempat-tempat analisis yang memerlukan data
visual ini.
1.8.7 Kerja Laboratorium
Kerja laboratorium yang penulis lakukan adalah bertujuan mengolah data yang
telah terkumpul dari pengamatan dan wawancara. Demua data diklasifikasikan sesuai
dengan jenis yang dibutuhkan oleh penulis dengan melihat relevansi dari data tersebut.
Pengklasifikasian bertujuan untuk menghindari data yang bertumpang tindih dan untuk
mempermudah penulis untuk mengolah data tersebut.
Rekaman musik juga dianalisa untuk melihat pola melodi yang terdapat dalam
nyanyian ahoi. Data-data diolah sesuai materi permasalahan. Hasil dari data yang telah
diolah tersebut penulis jadikan sebagi laporan dalam bentuk skripsi.
BAB II
GAMBARAN UMUM MASYARAKAT MELAYU BATANG KUIS
2.1 Identifikasi
Kecamatan Batang Kuis merupakan sebuah kecamatan yang termasuk ke dalam
bagian kabupaten Deli Serdang Provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kecamatan Batang
Kuis terdiri atas 11 Desa, dan 72 Dusun. Mayoritas penduduk di kecamatan ini adalah
etnis Melayu.
Menurut Tengku Lukman Sinar dalam bukunya Pengantar Etnomusikologi dan
Tari Melayu mengatakan bahwa kebudayaan Melayu secara historis telah terbentuk
sejak keberadaan ras Melayu yang berasal dari daratan benua Asia berabad-abad
sebelum Masehi. Dalam pertumbuhan dan perkembangannya, kebudayaan Melayu
mengalami perubahan dan penyesuaian akibat adanya pengaruh besar dari tata
kehidupan manusia pada zamannya (1990 : 45). Sistem kehidupan masyarakat Melayu
Batang Kuis menyerap semua nilai-nilai Islam yang bersumber dari agama Islam. Nilai-
nilai Islam diwujudkan dalam segala aspek budaya Melayu Batang Kuis, mulai dari ide-
ide, konsep, gagasan, sampai kepada aktifitas, dan perwujudannya.
Berdasarkan administrasi pemerintahan, Kabupaten Batang Kuis mempunyai
luas wilayah 40,34 Km² dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Pantai Labu.
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Tanjung Morawa.
3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Beringin dan Pantai Labu.
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Percut Sei Tuan.
Berdasarkan data yang di dapat dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Deli
Serdang, Kecamatan Batang Kuis memiliki jumlah penduduk sebesar 59.989 Jiwa dan
10.837 Rumah Tangga yang tersebar di 11 Desa, dan 72 Dusun. Perincian jumlah rumah
tangga dan jumlah penduduk di setiap desa dapat dilihat melalui tabel sebagai berikut :
NO
NAMA DESA
LUAS DESA
( KM2 )
JUMLAH
R.TANGGA
JUMLAH
PENDUDUK 1. TANJUNG SARI 7,34 2.027 12.596
2. BATANG KUIS PEKAN 0,75 1.115 5.779
3. SENA 6,40 1.593 7.079
4. BARU 4,32 1.001 6.047
5. TUMPATAN NIBUNG 3,70 1.100 6.898
6. PAYA GAMBAR 3,03 432 3.138
7. BINTANG MERIAH 0,65 899 6.073
8. MESJID 2,67 328 1.292
9. SIDODADI 9,50 850 3.822
10. SUGIHARJO 1,53 1.040 4.644
11. BAKARAN BATU 0,45 487 2.757
2.2 Mata Pencaharian Hidup
Deskripsi mengenai mata pencaharian masyarakat dibutuhkan dalam penulisan
skripsi ini. hal ini terjadi karena skripsi ini sendiri memfokuskan kajian kepada
eksistensi ahoi, yang meliputi tuga aspek utama yaitu dalam konteks kebudayaan,
struktur musik, dan teksnya. Ahoi sendiri merupakan nyanyian yang dilakukan dalam
kegiatan dari salah satu mata pencaharian masyarakat Melayu di Batang Kuis, yaitu
bertani.
Penduduk Kabupaten Batang Kuis kebanyakan hidup dari pekerjaan bertani,
pegawai negeri, pegawai perusahaan, nelayan, dan juga wiraswasta.
Daerah Kecamatan Batang Kuis pada umumnya adalah dataran rendah yang
subur. Tanahnya banyak mengandung zat-zat hara yang dibutuhkan oleh tumbuh-
tumbuhan yang khas dataran rendah seperti pohon kelapa, kelapa sawit, bakau, padi,
dan lain-lain. Oleh karena itu, daerah ini sangat cocokdijadikan lahan pertanian
(perkebunan). Oleh sebab itu, di Kecamatan Batang Kuis ini banyak dijumpai
perkebunan yang bergerak di bidang agroindustri sawit dan coklat.
Dilihat dari segi pengusahaannya, di Kecamatan Batang Kuis terdapat dua
macam perkebunan yaitu: perkebunan rakyat/swasta dan perkebunan negara. Rakyat
Batang Kuis pada umumnya berkebun kelapa sawit dan coklat.
Teknologi pertanian, pada masa kini umumnya telah mengarah kepada pertanian
modern. Pengertian modern di sini adalah sudah mempergunakan mesin-mesin meliputi
mesin traktor untuk mengolah tanah, perontok hasil pertanian, pengolahan teknologi
pasca panen seperti mesin giling padi, dan sejenisnya. Hal ini mengakibatkan
pergeseran-pergeseran kepada keberadaan ahoi di kawasan ini sebagaimana yang telah
dijelaskan pada bab sebelumnya.
2.3 Sistem Perkawinan
Dalam sistem perkawinan dalam adat-istiadat etnis Melayu di Batang Kuis,
umumnya pencarian jodoh dilakukan oleh si pemuda atau orang tuanya dengan cara
meminang anak pamannya. Namun, setelah masuknya agama Islam maka pencarian
jodoh itu bukan lagi hanya semata-mata dengan cara endogami melainkan malah sering
dengan cara exogami5.
5 Endogami adalah istilah yang dipergunakan untuk menyebutkan kebiasaan atau adat untuk mencari isteri atau suami di kalangan sendiri. Sedangkan exogami ialah istilah yang diperrgunakan untuk menyebutkan kebiasaan atau adat untuk mencari isteri di luar lingkungan keluarga
Seorang laki-laki dapat melakukan poligami6. Jika seorang perempuan kebetulan
adalah anak tunggal maka mereka akan tinggal di rumah orang tua perempuan tersebut.
Sebab-sebab terjadinya poligami antara lain tidak bertentangan dengan agama Islam,
isteri pertama mandul, tidak ada keturunan anak laki-laki untuk meneruskan keturunan,
dan adanya perselisihan dalam rumah tangga yang tidak dapat dipersatukan kembali
antara suami dan isteri.
2.3.1 Tujuan Perkawinan
Perkawinan bertujuan untuk mendapatkan kesinambungan keturunan, silsilah,
dan penerus hak waris. Hal itu semakin lebih penting lagi terutama di kalangan
bangsawan demi meneruskan kerajaan ataupun kesultanan
Perkawinan itu adalah hal yang wajar dalam kehidupan ini, apalagi di daerah
yang luas wilayahnya setiap keluarga menginginkan jumlah anak yang banyak.
Sebaliknya pada daerah-daerah yang sempit arealnya dan padat penduduknya, setiap
keluarga mengingini keluarga kecil tetapi sejahtera.
2.3.2 Jenis Perkawinan
Jenis perkawinan di kalangan Etnis Melayu Batang Kuis tidak begitu banyak.
Beberapa jenis perkawinan yang terdapat dalam kebudayaan Melayu di batang Kuis
adalah perkawinan perawan, perkawinan janda, kawin lari, kawin ngaleh (ganti tikar),
dan perkawinan lako mangani.
2.4 Sistem Kekerabatan
Etnis Melayu di darah Batang Kuis menganut sistem kekerabatan yang bilateral, artinya
seorang anak (laki-laki atau perempuan) langsung mengikuti garis keturunan ayah dan
ibunya.
6 Poligami adalah sistem perkawinan bahwa seseorang lakii-laki mempunyai lebih dari seorang isteri. (Ensiklopedia Indonesia, 1986:80)
E♂ ♀F G♂ ♀F
C ♂ ♀D
A ♂ ♀ B
Keterangan:
A = Anak Perempuan C = Ayah E dan F = Kakek dan Nenek (Pihak ayah)
B = Anak Laki-laki D = Ibu G dan H = Kakek dan Nenek (Pihak ibu)
2.5 Sistem Religi dan Kepercayaan
Masyarakat Melayui pada awalnya menganut kepercayaan animisme dan
dinamisme. Kemudian setelah masuknya kepercayaan monotheisme (ahama Islam dan
Kristen) maka sebagian besar anggota masyarakat sudah memeluk agama Islam.
2.5.1 Agama
Sesuai dengan dasar falsafah negara dan dengan ketentuan pemerintah, setiap
warga negara Indonesia bebas memilih agamanya. Religi yang dikategorikan sebagai
agama di Indonesia ialah: Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Budha, Hindhu, dan
Konghuchu. Selain itu religi yang dikategorikan pemerintah Indonesia sebagai aliran
kepercayaan contohnya adalah: Parmalim, Sipelebegu, Kejawen, dan lain-lain.
Mayoritas pemeluk agama di Batang Kuis merupakan agama pemeluk agama
Islam, yakni kira-kira 80% dari jumlah penduduknya, sedangkan pemeluk agama
Kristen, Hindu dan Budha berkisar lebih kurang 20% dari jumlah penduduk di Batang
Kuis.
Masuknya agama Islam merupakan lebih dahulu dari agama lainnya yaitu
sewaktu pedagang-pedagang Gujarat dan Semenanjung Malaysia datang ke Pesisir
Sumatera bagian Timur. Demikian juga karena Sultan sebagai kepala pemerintahan di
Batang Kuis memeluk agama Islam turut menambah cepatnya perkembangan agama
Islam sampai ke pelosok-pelosok desa.
2.5.2 Upacara-upacara Tradisional
Dalam kebudayaan Etnis Melayu di Batang Kuis terdapat berbagai upacara
tradisional. Dalam pelaksanaannya masih terdapat perbedaan-perbedaan antara satu
tempat dengan tempat lainnya pada upacara yang sejenis. Upacara tersebut masih ada
yang dilaksanakan sampai saat ini dan konsep dasarnya telah disesuaikan dengan
ajaran-ajaran agama Islam. Hal itu berlangsung dalam masyarakat karena upacara dari
tradisi lama itu merupakan salah satu identitas kebudayaan mereka dan dapat
disesuaikan konsep dasarnya dengan ajaran agama Islam dan dipergunakan untuk
kemajuan kebudayaan mereka.
Mereka meyakini adanya hari-hari baik dan buruk untuk pelaksanaan upacara
tradisional. Upacara tersebut antara lain adalah upacara kelahiran, upacara perkawinan,
upacara kematian, upacara turun ke sawah, upacara menjamu laut, dan sebagainya.
2.5.2.1 Upacara Kelahiran
Semasa seorang hamil tujuh bulan dilakukan satu upacara yang disebut upacara
kebo. Upacara ini adalah suatu pertanda syukur kepada Allah. Pelaksanaan upacara ini
telah disesuaikan dengan agama Islam dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an. Setelah
40 hari bayi lahir maka diadakanlah upacara turun ke sawah. Pelaksanaannya tergantung
pula kepada kemampuan orang tua. Jika belum mampu waktunya dapat diundurkan.
Kemudian barulah dilanjutkan dengan upacara penabalan anak dan menidurkan
anak. Upacara ini juga sudah disesuaikan dengan agama Islam. Anak yang mau
ditidurkan dengan cara diayun diiringi dengan nyanyian berupa nasyid yang isinya
adalah nasehat-nasehat dan petuah dan juga ayat-ayat Al-Qur’an oleh ibunya.
Pel5aksanaannya tetap bergantung kepada kemampuan orang tua.
2.5.2.2 Upacara Perkawinan
Setiap perkawinan yang dilaksanakan dengan baik akan terikat oleh janji tentang
jumlah biaya yang ditanggung oleh pihak laki-laki. Sesuai dengan adat yang berlaku,
biaya perkawinan tersebut disampaikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan,
yang sering disebut dengan istilah mas kawin. Selain mas kawin ini, masih ada lagi apa
yang disebut dengan : uang hangus, ikat tanda, pakaian, uang buka kipas dan
sebagainya. Besarnya mas kawin itu tergantung pada kemampuan pihak laki-laki dan
kesepakatan antara kedua belah pihak. Namun pada saat ini perkawinan yang
membutuhkan biaya seperti di atas sudah semakin jarang terjadi, pelaksanaan
perkawinan sudah semakin bebas dari ikatan biaya yang mahal. Kebiasaan perkawinan
antar turuna bangsawan-bangsawan tidak begitu berlaku lagi, karena dasar utama
perkawinan sekarang ini adalah saling mencintai dan suka sama suka.
2.5.2.3 Upacara Turun ke Sawah/Ladang
Upacara ini dilaksanakan untuk menjamu sawah atau ladang sebagai ucapan
permintaan kepada Tuhan agar hasil panen padi tetap membaik, serta pertanda syukur
atas panen padi pada musim tanam sebelumnya yang berbuah baik.
Upacara dilakukan saat akan memulai musim tanam di atas lahan yang akan
ditanam. Upacara ini dimulai dengan tepung tawar, yaitu merinjis-rinjiskan beras
kunyit, dan daun-daunan di atas tanah itu.
2.5.2.4 Upacara Menjamu Laut
Biasanya upacara ini berlangsung dan dilaksanakan oleh anggota masyarakat
yang bertempat tinggal di tepi laut. Upacara menjamu laut ini biasanya diadakan sekali
setahun. Bahan-bahan yang diperlukan untuk upacara ini adalah: pulut kuning, bertih,
beras, tepung tawar (yang terdiri dari sedingin, pulut-pulut, dan buah-buahan). Semua
bahan-bahan tersebut dimasukkan ke dalam sebuah wadah yang disebut talam. Bahan-
bahan inilah yang dibawa oleh pawang ke tepi laut atau kuala.
Di tempat tersebut dibangun sebuah pancang bertiang empat. Talam yang berisi
bahan-bahan tadi diletakkan di atas altar tersebut. Dengan dihadiri oleh anggota-anggota
masyarakat yang ada, dukun atau pawang mengucapkan mantera yang berbunyi sebagai
berikut :”mambang diajid datuk setinggi yang menguasai laut, lindungilah kami anak-
anak nelayan dari segala marabahaya.” Sehabis mengucapkan mantera di atas, maka
ditaburkanlah bahan-bahan upacara tadi ke laut.
Sehabis upacara tersebut maka seluruh anggota masyarakat desa pantai selama
tiga hari tidak boleh turun ke laut. Sehabis upacara menaburkan bahan-bahan tadi maka
sang dukun atau seorang pawang segera melepas sampan kecil ke lepas pantai lalu
sampan tersebut bergerak ditiup angin. Bila acara menjamu laut itu berlangsung di lepas
pantai, maka altar tempat talam tadi didirikan di atas sampan. Sampan itu diiringi oleh
sampan lainnya yang berisi anggota masyarakat dibawah pimpinan datuk atau pawang.
Pada puncak acara, datuk penghulu segera menaburkan bahan-bahan upacara tadi ke
laut.
Kemudian mereka kembali ke darat dengan penuh harapan bahwa kehidupan
mereka akan bertambah baik dari tahun-tahun sebelumnya.
BAB III
AHOI DALAM KONTEKS KEBUDAYAAN ETNIS MELAYU DI
BATANGKUIS
3.1 Pengertian Ahoi
Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, ahoi adalah sebuah
nyanyian tradisional Melayu Batangkuis yang dinyanyikan secara solo lalu pada setiap
akhir dari sampiran dan isi pantun yang dinyanyikan disambut dengan teriakan “e..wak
ahoiii..ahoii...,”oleh pengirik lain dan secara harafiah artinya menghimbau ataupun
mengajak kaum kerabat untuk bekerja-sama seperti yang dijelaskan oleh Bapak
Amirudin kepada penulis pada saat wawancara yang dilakukan pada tanggal 17 Juni
2012 bahwa ahoi artinya adalah berdendang atau bernyanyi untuk menghimbau
masyarakat untuk mengirik padi bersama-sama.
3.2 Sejarah Ahoi
Hingga saat ini penulis belum menemukan referensi yang menjelaskan kapan
aktifitas mengirik dan menyanyikan ahoi pertama kali dilaksanakan masyarakat Melayu
di Batang Kuis. Namun, menurut Amirudin terakhir kali dia melihat aktifitas ini sekitar
tahun 70-an. Ada beberapa penyebab hilangnya aktifitas ini menurut Amirudin.
Salah satu faktor penyebab tidak dilakukannya lagi kegiatan mengirik adalah
dikarenakan pada tahun itu pemerintah mengambil alih lahan pertanian masyarakat,
termasuk juga lahan pertanian padi untuk dialih fungsikan menjadi perkebunan coklat
dan sawit.
Selain itu faktor utama yang menyebabkan masyarakat meninggalkan tradisi
mengirik padi ini adalah masuknya teknologi kedalam sistem pertanian masyarakat pada
umumnya dan tidak terkecuali pada masyarakat petani di Batang Kuis. Mengirik padi
yang dahulunya dilakukan beramai-ramai, sudah dapat dilakukan oleh satu orang saja
dengan bantuan mesin.
3.3 Penyajian Ahoi Dalam Kegiatan Mengirik Padi
Selanjutnya dalam penyajian ahoi tersebut tidak terlepas hubunganya dengan
kondisi musim panen padi di daerah Batang Kuis yang berlangsung sekitar bulan
Oktober. Musim panen terjadi dalam sekali setahun dikarenakan jenis padi yang
ditanam pada waktu itu adalah jenis padi yang berbuah setelah berumur 6 bulan.
Proses pemanenan padi ini dilakukan oleh para penduduk secara bergotong-
royong. Merupakan sebuah kebiasaan setiap panen berlangsung masyarakat di desa
melakukannya secara bergotong royong dari satu lahan pertanian kelahan pertanian
yang lain.
Hasil panen biasanya disimpan selama lebih kurang 10 hari di dalam lumbung
tempat penyimpanan padi. Hal ini dilakukan agar batang padi lebih kering, sehingga
pada saat proses mengirik padi lebih mudah dipisahkan dari batangnya.
Padi yang sudah dianggap kering dipindahkan ketempat mengirik. Disinilah
pemilik padi mengundang para pemuda pemudi desa untuk bersama-sama bergotong
royong mengirik padi.
Selain para pemuda yang mengirik padi biasanya di ikuti juga oleh para gadis-
gadis yang tinggal di sekitar desa. Para gadis-gadis desa tersebut biasanya turut dalam
aktifitas ini dengan mengemping padi yang masih muda. Padi yang dijadikan emping
biasanya padi yang masih memiliki kandungan air yang tinggi sehingga lebih mudah di
tumbuk didalam lesung untuk digongseng sehingga menjadi emping.
Disinilah nyanyian ahoi dilakukan, pada saat pemuda desa telah berkumpul.
Biasanya warga yang datang berjumlah 15 sampai 20 warga yang terdiri dari pemuda,
pemudi, dan orang tua. Selain mengirik menurut pak ying kegiatan ini juga
dimanfaatkan oleh para pemuda dan pemudi sebagai ajang mencari jodoh.
Kemudian tamu warga yang datang tersebut memberikan salam kepada tuan
rumah dengan cara menyampaikan pantun, misalnya;
Ku tutuh dali baru kutebang
Ambil sebatang hamparan kain
Assalamualaikum kami yang datang
Apa gerangan hajat disini
Pantun di atas melambangkan bahwa para undangan yang datang menyampaikan
salam kepada tuan rumah dan mengatakan bahwa mereka sudah datang dan apa yang
hendak dilakukan di rumah si tuan rumah. Pantun tersebut pun dibalas tuan rumah,
misalnya:
Bebirik batang bebirik
Batang bayam sandaran dulang
Mengirik kita mengirik
Kokok ayam kita pe pulang
Pantun tersebut menyatakan bahwa si tuan rumah mengharapkan bantuan para
tamu untuk membantunya dalam mengirik padi hasil panen sawahnya. Dan setelah padi
selesai di irik mereka pun bisa kembali ke rumah masing-masing.
Setelah maksud dan tujuan kegiatan tersebut disampaikan, maka kegiatan
mengirik padi pun dimulai. Tangkai padi yang telah kering tersebut pun dihamparkan di
atas tikar yang luasnya kira kira 25 meter persegi. Jumlah padi yang diirik dalam sekali
proses pengirikan adalah 4 sampai 5 karung goni tangkai padi.
Kegiatan mengirik ini dimulai pada pukul 7 malam dan berakhir pada waktu
subuh tiba. Biasanya yang melakukan kegiatan mengirik adalah kaum pemuda,
sedangkan kaum pemudi membantu mengemping padi untuk dijadikan makanan para
pengirik. Sementara itu, para orang tua mengawasi anak-anak mereka sambil membuat
lemang di luar.
Sambil mengirik, mulailah salah seorang dari pengirik menyanyikan sebuah
pantun yang isinya ajakan kepada para pengirik lainnya agar bersemangat. Contoh
pantun yang dinyanyikan adalah sebagai berikut:
Bukan batang sembarang batang
Batang padi di atas pedang
Sesudah yang bernyanyi selesai menyanyikan sampiran pantunnya, pengirik
lainnya pun menyambut dengan meneriakkan “E wak ahoi ahoi.” Kemudian si pengirik
pun mengulang bait kedua dari sampiran tersebut dan disambut lagi oleh pengirik lain
dengan sambutan “E wak ahoi ahoi”.
Kemudian dilanjutkan lagi oleh si pengirik yang pertama bernyanyi dengan
menyanyikan isi dari pantunnya tersebut yang terdiri dari dua bait, yaitu:
Maek kabar tuan yang datang
Mari mengirik sambil berdendang
Nyanyian tersebut pun disambut oleh pengirik lain dengan meneriakkan “E wak
ahoi ahoi.” Kemudian bait kedua dari isi pantun pun dinyanyikan kembali oleh si
pengirik yang pertama bernyanyi dan disambut lagi dengan teriakan “ E wak ahoi ahoi.”
Tidak jauh dari tempat para pemuda mengirik padi, para wanita yang datang
menyiapkan penganan buat para pemuda yang mengirik dengan cara membuat emping.
Padi yang masih muda mereka gongseng dan setelah itu ditumbuk di dalam lumpang.
Hasil tumbukan itu mereka campur dengan gula dan santan. Sambil mengemping
mereka juga bernyanyi dan membalas pantun dari si pengirikm yang pertama. Contoh
pantun dari seorang pemudi tersebut adalah sebagai berikut.
Kalau tidak karena bulan
Mana bintang meninggi hari
E...wak....ahooii.....ahooii.
Jika tidak karena tuan
Mana kami datang kemari
E...wak....ahooii.....ahooii.
Lalu disambut lagi oleh seorang pemuda yang disebelah si pengirik yang pertama
bernyanyi dengan pantun pula.
Kalau ada kaca di pintu
Kaca lama kami pecahkan
E wak ahoii.. ahoii..
Kalau ada kata begitu
Badan dan nyawa kami serahkan
E wak ahoii.. ahoi..
Para wanita yang mendengarnya pun tersenyum tersipu-sipu dan salah seorang
dari mereka pun menyambutnya dengan menyanyikan pantun pula
Tiga petak tiga penjuru
Tiga ekor kumbang diapit
E...wak....ahooii.....ahooii.
Pantun tidak padamu tertuju
Teruntuk jaka berlesung pipit
E...wak....ahooii.....ahooii.
Mendengar hal itu maka meledaklah gelak dan tawa pemuda-pemudi diselingi
oleh kekeh orang tua-tua.
Setelah semua bulir padi terlepas dari tangkainya, padi pun di bersihkan dari
sisa-sisa tangkainya dan dimasukkan ke dalam karung. Ketika padi dimasukkan, para
pengirik pun duduk beristirahat sambil menyanyikan teks sebagai berikut.
Allah halim sewa Allah
Maimunah silotan dona
Warabikum tuan saridi
Habibina saidina ali
Setelah itu nyanyian dilanjutkan dengan menyanyikan teks berupa pantun yang
di setiap akhir baitnya disambut dengan teriakan ‘iak iak” sebagai berikut.
Kalau ada sumur di ladang (iak iak)
Bolehlah kita menumpang mandi (iak iak)
Kalau ada umur yang panjang (iak iak)
Bolehlah kita berjumpa lagi (iak iak)
Setelah padi selesai dimasukkan ke dalam karung, tangkai padi yang belum
diirik pun diletakkan lagi ke atas tikar dan kegiatan mengirik pun dimulai kembali
sambil menyanyikan ahoi dengan bentuk yang sama seperti sebelumnya. Demikianlah
proses penyajian nyanyian ahoi ketika mengirik padi pada masyarakat Melayu Batang
Kuis.
3.4 Alat-Alat Yang Dipakai Untuk Mengirik Padi
Peralatan yang dipakai dalam kegiatan mengirik padi menurut informan yang
penulis wawancarai adalah sebagai berikut:
1. Tikar
Tikar digunakan sebagai wadah untuk meletakkan tangkai padi agar padi mudah
untuk dikumpulkan.
2. Tampi
Tampi dipergunakan untuk memindahkan bulir-bulir padi yang sudah terlepas
dari tangkainya ke dalam karung atau goni
3. Lesung
Lesung merupakan alat yang digunakan para pemudi yang mengemping untuk
menumbuk padi yang akan dijadikan emping.
3.5 Penyanyi Ahoi
Ahoi dapat dinyanyikan oleh siapa saja yang dapat menyanyikannya, baik pria
atau wanita, tua maupun yang muda, kaya atau miskin, sudah menikah ataupun belum.
Namun secara umum yang menyanyikan ahoi adalah para kaum lelaki.
Kenyataannya pada masa sekarang ini, tidak semua bahkan sangat sedikit sekali
masyarakat Melayu Batangkuis yang dapat menyanyikan atau mengenal ahoi ini. Salah
satu Hal yang tak bisa di pungkiri yang mengakibatkan jarangnya diadakan kegiatan
mengirik padi secara bersama-sama lagi adalah dikarenakan sudah berkembangnya
tekhnologi mesin di bidang pertanian.
3.6 Cara Belajar Ahoi
Menurut Aisyah (informan), seorang pengirik tidak belajar langsung dari guru,
melainkan berdasarkan pengalamannya mendengar atau menyaksikan selama ikut serta
dalam kegiatan mengirik padi tersebut.
Menurut Pak Sinulingga (informan), cara belajar ahoi juga tidak memakai guru
dan tidak ada penilaian terhadap orang yang menyanyikan apakah bagus atau tidak,
karena lirik yang dinyanyikan biasanya memiliki tema-tema tersendiri yang dapat
berubah–ubah tergantung kebutuhan pengirik.
3.7 Cara Menyanyikan Ahoi
Menurut Aisyah (informan), cara pengirik menyanyikan ahoi yaitu:
1. Sambil berdiri dan memijak tangkai padi, para pemuda menyanyikan ahoi.
2. Sambil menumbuk padi menjadi emping, para pemudi menyanyikan ahoi.
3.8 Tujuan Penyajian Ahoi
Dalam penyajiannya, ahoi ditujukan kepada dua hal, pertama untuk manusia dan
kedua untuk alam. Secara kronologis, ahoi yang ditujukan kepada manusia dimulai
dengan mengajak kerabat-kerabat untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan mengirik
padi sehingga kegiatan tersebut menjadi lebih cepat selesai. Selain itu ahoi juga mampu
berfungsi sebagai media komunikasi verbal antara para pemuda dan pemudi yang
terlibat di dalam kegiatan itu. Ahoi yang ditujukan kepada alam merujuk kepada ucapan
syukur kepada alam karena memberikan hasil panen yang melimpah.
3.9 Penggunaan dan Fungsi Ahoi
Penggunaan musik menurut Alan P Merriam terbagi ke dalam lima bagian dan
fungsinya ke dalam 10 bagian. Dalam penggunaannya, ahoi digunakan pada saat
kegiatan mengirik padi dilakukan, yang tujuannya sebagai ungkapan syukur kepada
Yang Maha Kuasa atas hasil panen yang melimpah.
Berbicara tentang fungsi, Alan P. Merriam mengemukakan sepuluh fungsi
musik, antara lain: (1) Fungsi pengungkapan emosional; (2) Fungsi penghayatan
estetika; (3) Fungsi hiburan; (4) Fungsi komunikasi; (5) Fungsi perlambangan; (6)
Fungsi reaksi jasmani; (7) Fungsi yang berkaitan dengan norma-norma sosial; (8)
Fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara keagamaan; (9) Fungsi kesinambungan
kebudayaan; dan (10) Fungsi pengintegrasian (pemersatu) masyarakat. (1964:219-226)
Selanjutnya, dari sepuluh fungsi musik yang ditawarkan Alan P. Merriam di atas
akan dijadikan sebagai dasar untuk melihat bagaimana fungsi ahoi dalam konteks
mengirik padi pada Melayu Batang Kuis.
3.9.1 Fungsi Pengungkapan Emosional
Musik atau nyanyian mempunyai daya yang besar sebagai sarana untuk
mengungkapkan rasa emosi para penyanyi dan dapat menimbulkan emosi para
pendengarnya. Ahoi ini dinyanyikan sebagai ungkapan syukur atas hasil panen yang
melimpah dan dengan melimpahnya hasil panen mereka dapat berbagi kebahagiaan
dengan cara mengirik dan menikmati hasil secara bersama-sama. Hal tersebut dapat
dilihat dari salah satu teks yang dinyanyikan dari Ahoi, yaitu:
Ambil upih tampungkan hujan,
Daun ubi di ikat ikat,
E....wak ahoooiii.....ahoooiii...
Terima kasih kepada Tuhan
Tahun ini bisa berzakat
E....wak ahoooiii.....ahoooiii...
Lirik di atas menceritakan bahwa mereka merasa berbahagia dan bersyukur
kepada Tuhan atas hasil panen yang melimpah, sehingga mereka dapat mengirik
bersama-sama dan hasilnya berupa emping dapat dinikmati secara bersama-sama.
Demikianlah salah satu bait teks ahoi sebagai ungkapan rasa emosional.
3.9.2 Fungsi Hiburan
Hiburan merupakan hal yang dibutuhkan ketika kegiatan mengirik padi
dilakukan agar pengirik tidak merasa terlalu capai, sehingga kegiatan mengirik dapat
berlangsung secara efektif. Dalam hal ini mereka mengisahkan apa maksud dan tujuan
mereka mengirik padi tersebut dan mengutarakan hal-hal apa saja yang mereka
harapkan di kemudian hari. Kesemuanya ini mereka utarakan untuk menghibur diri
mereka agar rasa letih yang mereka rasakan dapat berkurang. Hal itu dapat kita lihat
dari contoh lirik di bawah ini:
Padi tua buat kan bertih,
Buatkan emping si padi muda
E....wak ahoooiii.....ahoooiii...
Biar badan terasa letih ,
Tapi hati kita gembira.
E....wak ahoooiii.....ahoooiii...
Lirik yang dituliskan di atas dapat diartikan para pengirik dan pengemping
bernyanyi untuk menyenangkan hati walaupun badan letih. Karena bagi mereka, jika
hati gembira maka segala pekerjaan yang dikerjakan pasti akan terasa menjadi lebih
ringan.
3.9.3 Fungsi Komunikasi
Komunikasi merupakan suatu hubungan timbal-balik antara satu pihak dengan
pihak yang lain. Tanpa komunikasi segala sesuatu tidak akan dapat bberjalan seperti apa
yang diinginkan. Demikian juga halnya dengan Ahoi. Ahoi merupakan salah satu sarana
komunikasi di antara Masyarakat Melayu Batang Kuis pada waktu itu. Komunikasi
tersebut salah satunya adalah komunikasi di antara pemuda dan pemudi selama kegiatan
mengirik berlangsung. Berikut ini adalah salah satu contoh teks yang isinya sebagai
komunikasi antara pemuda dan wanita dalam kegiatan mengirik padi:
Kalau tuan mempunyai sapi
Enak dimasak denganlah rebung
E....wak ahoooiii.....ahoooiii...
Hati-hati menghembus api
Jangan sampai terbakar hidung
E....wak ahoooiii.....ahoooiii...
Teks di atas mengandung makna bahwa si pemuda menyatakan agar para wanita
yang sedang mengemping hati-hati ketika menghembus api untuk menggongseng padi,
agar jangan sampai hidung mereka jangan menjadi hitam karena terkena asap.
Pernyataan tersebut diterima oleh para wanita yang sedang mengemping dan mereka
membalasnya dengan nyanyian pula. Berikut adalah teks yang dinyanyikan para wanita
sebagai balasannya:
Kami memang punya rebung
Tidak dimasak dengan daging sapi
E...wak....ahooii.....ahooii.
Biarlah terbakar hidung
Asal sampai hajat di hati
E...wak....ahooii.....ahooii.
Teks nyanyian di atas mengandung makna bahwa para wanita menyatakan
bahwa mereka tidak memiliki masalah jika hidung mereka sampai menghitam karena
terkena asap pembakaran. Mereka sudah sangat senang apabila maksud atau tujuan
mereka kepada para pengirik tersampaikan.
Dari dua teks nyanyian di atas kita dapat melihat bahwa ada hubungan
komunikasi di antara pengirik dan pengemping.
3.9.4 Fungsi Yang Berkaitan Dengan Norma-Norma Sosial
Musik atau nyanyian juga mempunyai daya yang besar sebagai sarana untuk
mensosialisasikan norma-norma atau falsafah hidup suatu kebudayaan. Ahoi merupakan
salah satu nyanyian yang memiliki fungsi sebagai sarana untuk mensosialisasikan
norma-norma sosial yang terkandung di dalam kebudayaan Melayu. Hal tersebut dapat
dilihat dari contoh teks nyanyian berikut:
Asal atap darilah rumbia
Lalu semat denganlah bemban
E…wak….ahooii……ahooii
Akal tetap jadikan panglima
Biarkan nafsu jadi tawanan
E…wak….ahooii……ahooii.
Teks nyanyian Ahoi di atas menyiratkan makna bahwa sebagai seorang Melayu
yang baik hendaklah kita menjadikan akal sehat atau logika sebagai acuan dalam
melaksanakan segala sesuatunya, dan hendaklah kita untuk mengesampingkan
keinginan nafsu kita. Karena, jika manusia bertindak hanya berdasarkan nafsu belaka
maka hanya kehancuranlah yang akan di dapat.
3.9.5 Fungsi Kesinambungan Kebudayaan
Fungsi Ahoi dalam proses kesinambungan kebudayaan dalam hal ini menjurus
kepada bagaimana nyanyian Ahoi memiliki peran sebagai salah satu sarana untuk
menjaga kesinambungan kebudayaan Melayu. Hal ini dapat dilihat dari teks nyanyian di
bawah ini:
Pohon duku kayu nya keras
Pohon langsat buah nya lima,
E…wak….ahooii……ahooii
Jika melayu sudahlah bungkas
Maka terangkat lah marwah nya bangsa
E…wak….ahooii……ahooii.
Contoh 2
Marilah gelar menggelar tikar
Untuk tempat mengirik padi
E...wak....ahooii.....ahooii.
Biarlah zaman terus berputar
Takkan Melayu hilang di bumi
E...wak....ahooii.....ahooii.
Teks pertama menceritakan tentang keberadaan kebudayaan Melayu ditengah
kehidupan masyarakat. Ada keinginan untuk mengangkat kebudayaan Melayu menjadi
sebuah kebudayaan yang memiliki marwah yang tinggi. Hal itu dapat berarti pula ada
keinginan untuk menjaga dan melestarikan kebudayaan Melayu sehingga menjadi lebih
baik untuk ke depannya.
Pada contoh teks kedua terdapat pesan dan keinginan agar Kebudayaan Melayu
dapat bertahan ditengah perkembangan kebudayaan dunia.
3.9.6 Fungsi Pengintegrasian Masyarakat
Ahoi sebagai salah satu sarana pemersatu bangsa dapat terlihat dari kebersamaan
masyarakat Desa Batang Hari, Kecamatan Batang Kuis dalam mengirik padi. Kegiatan
mengirik padi tidak akan bisa dikerjakan oleh satu orang saja, melainkan harus
dilakukan secara beramai-ramai dengan sistem gotong-royong. Dengan mengirik sambil
bernyanyi, para pengirik menjadi lebih bersemangat dan menimbulkan kekompakan
dalam mengirik sehingga pekerjaan dapat selesai pada waktu yang diharapkan. Dalam
hal ini tidak ada jarak atau gab di antara sesama anggota masyarakat.
BAB IV
STRUKTUR MUSIK NYANYIAN AHOI
4.1 Kajian Musikal
Kajian musikal ini bertujuan untuk keperluan analisis, sehingga dalam
proses ini penulis dapat mempelajari aspek-aspek musikal yang terdapat dalam
nyanyian ahoi dalam kegiatan mengirik padi pada masyarakat Batang Kuis. Sebelum
melakukan pentranskripsian, penulis terlebih dahulu mendengarkan rekaman ahoi
secara berulang-ulang dengan seksama serta mencoba menirukannya, menentukan
bagian strukturnya dan menulis notasi dengan suatu pola tertentu, menetapkan nada-
nada yang dihasilkan dan menuliskannya secara teliti, setelah pentranskripsian selesai
penulis melakukan pengecekan kembali.
Penulisan notasi dalam transkripsi ini penulis berorientasi kepada sistem
penulisan not balok (notasi balok barat) karena sampai saat belum ditemukan notasi
yang tepat dalam menuliskan musik Melayu. Di sisi lain notasi barat sudah lazim
dikenal di kalangan dunia musik maka secara umum telah dikenal masyarakat luas.
Alasan lain penulis memakai sistem notasi ini karena dalam penganalisaan penulis
memperoleh kemudahan seperti penulisan gerak melodi (kontur) baik naik ataupun
menurun penulis dapat melihat dengan jelas, begitu juga penganalisaan yang lain seperti
nada-nada modal, interval, dan frasa.
Untuk mengetahui musikal musik vokal ahoi penulis menggunakan pendapat
Bruno Nettl (1964 : 68) tentang dua pendekatan untuk menganalisis suatu musik yaitu,
(1) kita dapat menganalisa dan mendeskripsikan apa yang kita dengar, (2) kita dapat
menulis diatas kertas apa yang kita dengar lalu mendeskripsikan apa yang kita lihat.
Sebagai kebutuhan analisis pentranskripsian, penulis menggunakan pendekatan
deskriptif, yaitu bagaiamana suatu pertunjukan tersebut disajikan dari apa yang kita
dengar yang kemudian kita transkripsikan. Untuk mentranskripsikan musik vokal ahoi
penulis mengacu penulisan dalam bentuk notasi barat kedalam garis paranada.
Penggunaan notasi ini akan mempermudah dalam kerja analisis, sehingga dapat
menentukan tinggi rendahnya nada-nada yang dihasilkan. Garis paranada tersebut
mempunyai lima garis dan empat spasi serta satu garis pembantu dengan cleff (kunci)
yang disebut kunci G, seperti berikut ini :
\
Sebagai bentuk tanda istrahat yang tertera dibawah ini menandakan tidak ada
nada/melodi yang terdengar. Lamanya tanda istrahat sama nilainya dengan nada musik
barat.
Berikut keterangan tanda istrahat yang dihasilkan :
Berdasarkan acuan-acuan yang terdapat di atas, maka hasil transkripsi nyanyian
ahoi ketika mengirik padi adalah sebagai berikut.
4.2 Struktur Melodi Lagu
Untuk mengkaji sebuah musik vokal, ada beberapa teori yang dapat kita
terapkan. Dalam skripsi ini, penulis menggunakan teori analisis melodi oleh William P
Malm yang meliputi 8 unsur. Adapun kedelapan unsur melodi yang akan dianalisis
meliputi:
(a) tangga nada
(b) nada pusat atau nada dasar;
(c) wilayah nada,
(d) jumlah nada-nada,
(e) interval yang digunakan;
(f) pola-pola kadensa;
(g) formula melodi ,dan
(h) kontur
Dengan berdasar kepada teori weighted scale, yang diaplikasikan untuk
menganalisis nyanyian ahoi ketika mengirik padi ini, maka hasil yang diperoleh adalah
sebagai berikut.
4.2.1 Tangga Nada
Setelah melakukan transkripsi terhadap nyanyian ahoi ketika mengirik padi,
maka langkah selanjutnya adalah menganalisis struktur melodinya. Pendekatan yang
penulis lakukan untuk menentukan tangga nada dan nada dasar dilakukan dengan
pendekatan weighted scale, seperti yang dikemukakan oleh Bruno Nettl (1964:7).
Meskipun dapat saja pendekatan ini tidak sesuai dengan cara pandang masyarakat Desa
Bintang Meriah, Kecamatan Batang Kuis, namun teori ini dapat mendeskripsikan secara
umum keberadaan struktur melodi ahoi, terutama bagi para pemula yang
dilatarbelakangi pendidikan musik Barat yang selanjutnya lebih dapat menelusuri
konsep dan struktur sebenarnya ahoi ini.
Dari hasil transkripsi dua lagu sampel itu, maka struktur tangga nada yang
digunakan oleh lagu mengirik padi tersebut adalah sebagai berikut tersebut adalah
seperti berikut ini.
do – re – mi – fa – sol – la – si (Tangga Nada Diatonis)
4.2.2 Nada Pusat atau Nada Dasar
Dalam menentukan nada dasar, penulis mempergunakan kriteria-kriteria
generalisasi yang ditawarkan oleh Bruno Nettl dalam bukunya yang berjudul Theory
and Method in Ethnomusicology (1984:164). Menurutnya ada tujuh kriteria yang
ditawarkannya untuk menentukan nada dasar suatu lagu, yaitu sebagai berikut.
(1) Patokan yang paling umum adalah melihat nada mana yang paling sering
dipakai, dan mana yang paling jarang dipakai dalam sebuah komposisi
musik;
(2) Kadang-kadang nada yang harga ritmisnya besar dianggap sebagai nada
dasar, walaupun jarang dipakai dalam keseluruhan komposisi musik tersebut.
(3) Nada yang dipakai pada awal atau akhir komposisi maupun pada bahagian
tengah komposisi musik dianggap mempunyai fungsi penting dalam
menentukan tonalitas komposisi musik tersebut.
(4) Nada yang berada pada posisi paling rendah atau posisi tengah dianggap
penting.
(5) Interval-interval yang terdapat di antara nada , kadang-kadang dapat dipakai
sebagai patokan. Umpamanya kalau ada satu nada dalam tangga nada pada
sebuah komposisi musik yangdigunakan bersama oktafnya.
(6) Adanya tekanan ritmis pada sebuah nada juga dapat dipakai sebagai patokan
tonalitas.
(7) Harus diingat bahwa barangkali terdapat gaya-gaya musik yang mempunyai
sistem tonalitas yang tidak dapat dideskripsikan dengan keenam patokan di
atas. Untuk mendeskripsikan sistem tonalitas seperti itu, cara terbaik adalah
berdasar kepada pengalaman akrab dengan gaya musik tersebut (terjemahan
Marc Perlman 1990).
Dengan mempergunakan ketujuh kriteria di atas, maka nada dasar ahoi ini dapat
diuraikan sebagai berikut ini.
(1) Nada yang paling sering dipakai adalah nada G
(2) Nada yang memiliki nilai ritmik paling besar dalam keseluruhan komposisi
musik ini adalah nada G
(3) Nada awal lagu ini dan paling sering digunakan adalah nada G
(4) Nada yang memiliki posisi paling rendah adalah nada G
(5) Nada yang dipakai sebagai duplikasi oktaf G
(6) Tekanan ritmik pada umumnya terjadi pada nada C
(7) Menurut pengalaman musikal penulis dalam bidang musik, kemungkinan
paling besar sebagai nada dasar lagu mengirik padi adalah nada C
Tabel 4.1
Nada Dasar yang Dipergunakan pada Lagu Ahoi
No Kriteria Nada
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
K1
K2
K31
K32
K33
K4
K5
K6
K7
G (84)
C
G (Oktaf rendah)
C
E
G (oktaf rendah)
G
C
C
Keterangan:
K1 = nada yang paling sering dipakai
K2 = nada yang memiliki nilai ritmis terbesar
K31 = nada awal yang paling sering dipakai
K32 = nada akhir yang paling sering dipakai (frase)
K33 = nada tengah yang paling sering dipakai
K4 = nada yang menduduki posisi paling rendah
K5 = nada dengan penggunaan duplikasi oktaf
K6 = nada yang mendapat tekanan ritmis
K7 = nada dasar sebagai ciri khas musik Melayu
4.2.3 Wilayah Nada
Dari tangga nada yang telah didapatkan pada melodi ahoi di atas, maka
selanjutnya dapat ditentukan wilayah nada (ambitus) melodi lagunya. Dengan
berpedoman pada nada terendah dan nada yang tertinggi frekuensinya dan jarak atau
interval yang dihasilkan antara keduanya. Dengan demikian maka wilayah nada lagu ini
adalah nada G1 sampai ke nada G’
4.2.4 Jumlah Nada
Untuk menentukan jumlah nada-nada ada dua cara yang perlu dilakukan. Yang
pertama adalah melihat banyaknya kemunculan setiap nada tanpa melihat jumlah
durasinya secara kumulatif. Yang kedua adalah melihat kemunculannya dan sekaligus
menghitung durasi kumulatif. Karena durasi juga menentukan komposisi jumlah nada
dalam melodi. Dengan konsep tersebut, maka didapati jumlah nada dalam ahoi (lagu
mengirik padi) ini adalah berjumlah 828 nada.
4.2.5 Penggunaan Interval
Interval yang penulis maksudkan dalam tulisan ini adalah jarak antara satu nada
dengan nada lain yang dipergunakan di dalam sebuah komposisi musik. Ukuran interval
ini dapat menggunakan laras atau langkah dan sent.
Setelah memperhatikan interval-interval yang dipergunakan dalam lagu ini,
maka interval yang digunakan dalam komposisi ahoi ini adalah sebagai berikut.
Selengkapnya jumlah penggunaan interval-interval juga dapat dilihat sebagai berikut.
Interval Murni Mayor Minor Gambar
Prime Murni 350
Sekunda 200 10
Terst 5
Kwart 14
Oktaf 16
4.2.6 Pola-pola Kadensa
Pola-pola kadensa dapat dikonsepkan sebagai rangkaian nada-nada akhir pada
setiap frase melodi, namun pola kadensa ini ju/ga dapat diartikan sebagai nada-nada
akhir frase pada musik yang bentuknya harmoni empat suara atau sejenisnya. Pola-pola
kadensa dalam lagu mengirik padi adalah sebagai berikut.
Pada frase 1 di bar 3, yaitu :
Pada frase 2 di bar 7 ke 8, yaitu :
4.2.7 Formula Melodi
Formula melodi yang dimaksud dalam skripsi ini adalah susunan melodi
berdasarkan blok-blok atau kesatuan-kesatuannya. Dalam hal ini ditentukan tiga jenis
blok secara umum dari yang terbesar sampai yang terkecil, yaitu: (a) bentuk, (b) frase,
dan (c) motif melodi.
Bentuk melodi adalah bagian melodi terbesar yang menjadi dasar perulangan
bagi bentuk-bentuk berikutnya. Satu bentuk melodi terdiri dari dua frase melodi atau
lebih. Yang dimaksud dengan frase melodi adalah seuntai melodi yang terdiri dari dua
frase atau lebih, yang merupakan satu ide melodi yang utuh. Sedangkan motif melodi
adalah bahagian melodi terkecil yang menjadi karakter perulangan seluruh komposisi
(lihat Nettl 1964).
Bentuk, frase, dan motif melodi ahoi (lagu mengirik padi) adalah seperti pada
analisis berikut ini.
a) Bentuk
Bentuk melodi nyanyian ahoi ini terbagi atas tiga bentuk, yaitu bentuk A, B dan
C. Contohnya dapat di lihat dari gambar di bawah ini.
1. Bentuk A melodi nyanyian dalam ahoi
2. Contoh bentuk B dalam nyanyian ahoi.
3. Contoh bentuk C dalam nyanyian ahoi
b) Frase
Ada 6 buah frase dalam melodi nyanyian ahoi ini, yaitu : A-B-C-D-E-F
c. Motif melody : A = a1, a2
B = b1,b2
Selain itu, menurut Malm (1964 :8) ada beberapa formula melodi yaitu (1)
repetitif yaitu bentuk nyanyian yang di ulang-ulang, (2) interactive yaitu bentuk
nyanyian yang memakai formula melodi yang kecil yang kecenderungan pengulangan-
pengulangan keseluruhan nyanyian, (3) reverting yaitu bentuk nyanyian yang terjadi
pengulangan pada frase pertama setelah terjadi penyimpangan-penyimpangan melodi,
(4) strophic yaitu bentuk nyanyian yang terus berubah dengan menggunakan materi
melodi yang sama, (5) progresif yaitu bentuk nyanyian yang terus berubah dengan
menggunakan melodi yang berbeda. Jika dikaitkan dengan pendapat Malm tersebut,
maka bentuk nyanyian pada ahoi lebih cenderung pada bagian yang ketiga dan pertama
yaitu stropic dan repetitive
4.2.8 Kontur
Kontur adalah garis lintasan melodi yang terdapat pada sebuah nyanyian. Jenis-
jenis atau nama kontur dibedakan atas gerakan melodi:
(a) Bila gerakan melodi naik maka disebut dengan asending;
(b) Bila gerak melodi tersebut turun maka disebut konturnya dengan disending;
(c) Jika melengkung seperti lintasan jarum jam maka disebut dengan pendulum
atau pendulous;
(d) Bila susunannya berjenjang disebut dengan terraced;
(e) Bila gerak melodi terbatas gerak intervalnya, maka kontur melodi ini disebut
dengan statis (Malm 1977:17).
Melodi nyanyian ahoi memiliki berbagai jenis kontur melodi. Selengkapnya
dapat dilihat pada contoh berikut ini.
1. Pada bar 4 asending (menaik)
2. Pada bar 4 ke 5 desending (menurun)
3. Pada bar 11 ke 12 terraced (berjenjang)
4. Pada bar 11 ke 12 pendulum (melengkung)
5. Pada bar 2 statis (sejajar)
BAB V
KAJIAN TEKSTUAL AHOI
5.1 Pengantar
Lagu-lagu dalam musik Melayu lebih mengutamakan garapan teks dibandingkan
garapan melodi atau instrumentasinya. Hal ini dapat dilihat dari garapan teks yang terus
menerus berubah, sedangkan melodinya sama atau hampir sama, atau sering disebut
dengan istilah logogenik.
Struktur lagu Melayu kebanyakan dipengaruhi oleh pantun. Pantun banyak
mendapatkan peran utama dalam lagu-lagu musik Melayu. Teksnya berdasar kepada
pantun empat baris (kuatrin) yang terdiri dari dua baris sampiran dan dua baris isi.
Lagu-lagu yang digarap berdasarkan pantun, teksnya selalu diubah terus menerus.
Perubahan teks tersebut menjadi karakteristik khas musik Melayu.
5.2 Tekstual Ahoi
Dalam mengkaji struktur dan isi tekstual ahoi, penulis mengacu pada teori yang
dikemukakan oleh Alan P. Merriam dalam bukunya The Antropology of Music (1964 :
187-189) mengatakan bahwa salah satu sumber dalam memahami tentang tingkah laku
manusia yang berhubungan dengan musik ialah teks dari nyanyian dimana dalam teks
tersebut dapat memberikan kesan kepada orang yang berada di saat dinyanyikan teks
nyanyian tersebut sehingga teks dalam sebuah nyanyian serta musik sangat perlu dan
saling mempengaruhi.
Untuk lebih mudah memahami tentang syair ahoi, penulis memberikan angka di
depan setiap bait syair ahoi agar dalam pembahasan berikutnya tidak membingungkan.
Berikut adalah beberapa teks nyanyian ahoi yang akan di analisis.
1. Bebirik batang bebirik
Batang bayam sandaran dulang
Mengirik kita mengirik
Kokok ayam kita pe pulang
2. Bukan batang sembarang batang
Batang padi di atas pedang
Maek kabar tuan yang datang
Mari mengirik sambil berdendang
3. Kalau tidak karena bulan
Mana bintang meninggi hari
Jika tidak karena tuan
Mana kami datang kemari
4. Kalau ada kaca di pintu
Kaca lama lah kami pecahkan
Kalau ada kata begitu lah sayang
Badan dan nyawa kami serahkan
5. Anyam pandan buatkan tikar
Untuk tempat menjemur padi
Biar zaman terus berputar
Tak Melayu hilang dibumi
6. Ambil upih tampungkan hujan,
Daun ubi di ikat ikat,
Terima kasih kepada Tuhan
Tahun ini bisa berzakat
7. Padi tua buatkan bertih
Buatkan emping si padi muda
Biar badan terasa letih
Tapi hati kita gembira
8. Kalau tuan mempunyai sapi
Enak dimasak denganlah rebung
Hati-hati menghembus api
Jangan sampai terbakar hidung
9. Kami memang punya rebung
Tidak dimasak dengan daging sapi
Biarlah terbakar hidung
Asal sampai hajat di hati
10. Asal atap darilah rumbia
Lalu semat denganlah bemban
Akal tetap jadikan panglima
Biarkan nafsu jadi tawanan
11. Pohon duku kayu nya keras
Pohon langsat buah nya lima
Jika Melayu sudahlah bungkas
Maka terangkat lah marwah bangsa
12. Kalau ada sumur di ladang
Bolehlah kami menumpang mandi
Kalau ada umur yang panjang
Boleh lah kita berjumpa lagi
63
5.3 Struktur Pantun Dalam Teks Lagu-Lagu Melayu
Untuk mengetahui bagaimana struktur pantun di dalam nyanyian ahoi, ada
baiknya dicari dulu apa pengertian pantun agar dapat dijadikan sebagai bahan acuan
dan bahan pertimbangan.
Menurut Harun Mat Piah sebagaimana yang dikutip oleh M. Takari dalam
bukunya Budaya Musik dan Tari Melayu (2008:139), pantun adalah sejenis puisi pada
umumnya, yang terdiri dari: empat baris dalam satu rangkap, empat perkataan sebaris,
mempunyai rima akhir a-b-a-b, dengan sedikit variasi dan kekecualian. Tiap-tiap
rangkap terbagi ke dalam dua unit, yaitu: pembayang (sampiran) dan maksud (isi).
Setiap rangkap melengkapi satu ide.
Pantun Melayu memiliki ciri-ciri tersendiri. Ciri-ciri tersebut dapat dilihat
berdasarkan dua aspek penting, yaitu aspek eksternal dan aspek internal. Aspek
eksternal adalah dari segi struktur dan seluruh ciri-ciri visual yang dapat dilihat dan
didengar, yang termasuk dari hal-hal berikut ini.
1. Terdiri dari baris-baris yang sejajar dan berpasangan, 2,4,6,8,10, dan
seterusnya. Tetapi yang paling umum adalah empat baris (kuatrin)
2. Setiap baris mengandung empat kata dasar.
3. Adanya klimaks, yaitu perpanjangan atau kelebihan jumlah unit suku kata
atau perkataan ada dua kuplet maksud.
4. Setiap stanza(Footnote) terbagi kepada dua unit. Yaitu sampiran dan maksud
(isi); karena itu sebuah kuatrin mempunyai dua kuplet; satu kuplet sampiran
dan satu kuplet maksud.
5. Adanya skema rima yang tetap, yaitu rima akhir a-b-a-b, dengan sedikit
variasi a-a-a-a. Mungkin juga terdapat rima internal, atau rima pada
64
perkataan-perkataan yang sejajar, tetapi tidak sebagai ciri penting. Selain
rima, asonansi juga merupakan aspek yang dominan dalam pembentukan
sebuah pantun.
6. Setiap stanza pantun, apakah itu dua, empat, enam, dan seterusnya,
mengandung satu pikiran yang bulat dan lengkap. Sebuah stanza dipandang
sebagai satu kesatuan.
Aspek-aspek internal adalah unsur-unsur yang hanya dapat dirasakan secara
subjektif berdasar pengalaman dan pemahaman pendengar, termasuk :
7. Penggunaan lambang-lambang yang tertentu berdasarkan tanggapan dan
dunia pandangan (world view) masyarakat.
8. Adanya hubungan makna antara pasangan pembayang dengan pasangan
maksud, baik itu hubungan konkrit atau abstrak atau melalui lambang-
lambang.
Dalam lagu-lagu Melayu Sumatera Utara, ciri-ciri pantun seperti yang
dikemukakan Harun Mat Piah terebut juga berlaku. Namun karena pantun ini diajikan
secara musikal, maka ada lagi beberapa ciri pantun lagu-lagu Melayu, yaitu:
1. Pantun biasanya disajikan berulang-ulang mengikuti ulangan-ulangan
melodi.
2. Walau prinsipnya teks lagu-lagu Melayu mempergunakan pantun, namun
tidak sembarangan pantun dapat dimasukkan.
3. Pantun dalam lagu Melayu juga dapat diulur dan dipadatkan sesuai dengan
kebutuhan melodi musik yang dimasukinya.
4. Pantun dalam lagu-lagu Melayu juga dapat disisipi oleh kata-kata seperti :
ala sayang, sayang, hai, lah, tuan, puan, abang, pak Ucok, Bang Ucok, juga
65
judul-judul lagu seperti Gunung Sayang, Dondang Sayang, Serampang Laut,
dan lain-lainnya di tempat awal, tengah, atau akhir baris.
5. Selain empat hal di atas, dalam satu baris tidak harus mutlak terdiri dari
empat kaya atau sepuluh suku kata. Tetapi bisa lebih melebar dari ketentuan
pantun secara umum. Hal ini memungkinkan terjadi, karena teks tersebut
disampaikan secara melodis, bukan dalam gaya berpantun. Misalnya untuk
memperpanjang beat, dapat dipergunakan dengan teknik melismatik,
sebaliknya dengan teknik silabik dengan durasi yang relatif pendek.
Berdasarkan ciri-ciri yang telah disebutkan di atas, maka penulis akan
menganalisis struktur pantun yang menjadi teks dalam nyanyian ahoi dengan hasil
sebagai berikut.
1. Pantun dalam nyanyian ahoi terdiri dari rangkap-rangkap yang berasingan. Setiap
rangkap terdiri empat baris (kuatrin). Contoh dapat kita lihat pada pantun nomor 1:
Bebirik lah batang bebirik Baris 1
Batang bayam sandaran dulang Baris 2
Mengirik kita mengirik Baris 3
Kokok ayam kita pe pulang Baris 4
Selain pantun nomor 1, seluruh pantun-pantun lain yang dipakai dalam
nyanyian ahoi ini terdiri dari empat baris (Kuatrin)
2. Setiap baris dalam pantun yang dinyanyikan dalam nyanyian ahoi mayoritas
mengandung empat kata dasar. Contoh dapat kita lihat pada pantun nomor 3.
Kalau tidak karena bulan
Mana bintang meninggi hari
66
Jika tidak karena tuan
Mana kami datang kemari
3. Terdapat klimaks, yaitu perpanjangan atau kelebihan jumlah unit suku kata atau
perkataan ada dua kuplet maksud. Contohnya adalah pantun nomor 4
Kalau ada kaca di pintu
Kaca lama lah kami pecahkan
Kalau ada kata begitu lah sayang
Badan dan nyawa kami serahkan
4. Setiap stanza pantun dalam nyanyian ahoi terbagi kepada dua unit. Yaitu
pembayang (sampiran) dan maksud (isi). Contohnya adalah pantun nomor 2
berikut.
Bukan batang sembarang batang
Batang padi di atas pedang
Maek kabar tuan yang datang
Mari mengirik sambil berdendang
5. Dalam setiap pantun yang dinyanyikan dalam nyanyian ahoi ini, terdapat skema
rima yang tetap, yaitu rima akhir a-b-a-b, dengan sedikit variasi a-a-a-a.
a. Contoh pantun yang berima a-a-a-a terdapat pada pantun nomor 2 berikut.
Bukan batang sembarang batang a
Batang padi di atas pedang a
Maek kabar tuan yang datang a
Mari mengirik sambil berdendang a
Kuplet sampiran
Kuplet isi
67
b. Contoh pantun yang berima a-b-a-b adalah pantun nomor 8 berikut.
Kalau tuan mempunyai sapi a
Enak dimasak denganlah rebung b
Hati-hati menghembus api a
Jangan sampai terbakar hidung b
6. Setiap stanza pantun, apakah itu dua, empat, enam, dan seterusnya, mengandung
satu pikiran yang bulat dan lengkap. Sebuah stanza dipandang sebagai satu
kesatuan.
7. Pantun yang dinyanyikan dalam kegiatan mengirik padi ini disisipi oleh kata-kata
tambahan.
Contohnya dapat kita lihat pada pantun nomor 4, yaitu sebagai berikut
Kalau ada kaca di pintu
Kaca lama lah kami pecahkan
Kalau ada kata begitu (lah sayang)
Badan dan nyawa kami serahkan
Pantun di atas, tepatnya pada kuplet isi baris pertama jika dilihat dari
strukturnya seharusnya berhenti pada kata begitu. Namun dalam nyanyian ini, baris
tersebut ditambahi kata“lah sayang”
8. Pantun yang dinyanyikan dalam nyanyian ahoi ini tidak mutlak terdiri dari empat
kata atau sepuluh suku kata. Hal ini terjadi karena teks tersebut disampaikan secara
melodis, bukan dalam gaya berpantun.
68
5.4 Makna Teks Nyanyian Ahoi
Makna ialah sesuatu yang tersirat dibalik bentuk atau aspek isi dari suatu kata
atau teks kalimat. Teks atau syair yang terdapat pada nyanyian ahoi tersebut akan
menghasilkan makna. Ada dua jenis makna yang biasanya terkandung di dalam sebuah
nyanyian. Makna tersebut adalah makna konotatif , yaitu makna yang terkandung arti
tambahan, dan yang kedua adalah makna denotatif , yaitu makna yang tidak
mengandung arti tambahan atau disebut dengan makna yang sebenarnya (Groce Kraft,
1991 : 25). Berikut akan dijelaskan apa saja makna yang tersirat di dalam beberapa teks
nyanyian ahoi yang mewakili nilai-nilai kehidupan sosial yang terdapat pada
masyarakat kebudayaan Melayu.
1. Bebirik batang bebirik
Batang bayam sandaran dulang
Mengirik kita mengirik
Kokok ayam kita pe pulang
Lirik di atas merupakan sebuah pantun yang terdiri dari dua baris sampiran dan
dua baris isi. Isi dari pantun di atas menyatakan sebuah pemberitahuan dan ajakan untuk
ikut dalam kegiatan mengirik seperti yang tertulis dalam baris ke tiga. Selain itu
diberitahukan juga tentang waktu pelaksanaannya sebagaimana yang tertulis dalam bait
ke empat, waktu yang dibutuhkan hanyalah satu malam dan ketika ayam berkokok,
padinya pasti sudah selesai diirik dan para pengirik boleh pulang.
2. Bukan batang sembarang batang
Batang kuis lah di deli serdang
Maye kabar tuan yang datang
Mari mengirik sambil berdendang
69
Makna yang terkandung di dalam pantun kedua ini sudah jelas terlihat. Dalam
pantun ini ada sapaan kepada semua pelaku kegiatan mengirik dan ajakan untuk
bernyanyi sambil mengirik.
3a. Kalau tidak karena bulan 3b. Kalau ada kaca di pintu
Mana bintang meninggi hari Kaca lama lah kami pecahkan
Jika tidak karena tuan Kalau ada kata begitu lah sayang
Mana kami datang kemari Badan dan nyawa kami serahkan
Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, kegiatan mengirik ini juga
dapat dijadikan sebagai ajang mencari jodoh antara si pengirik dan pengemping, karena
dalam kegiatan ini waktu untuk bertemu dan berkomunikasi cukup lama, yaitu selama
kegiatan mengirik berlangsung. Dua buah Lirik pantun yang ketiga tersebut
menyiratkan makna tentang perasaan salah seorang pengemping terhadap salah seorang
pengirik dengan menyatakan bahwa dia menaruh hati pada salah seorang pengirik dan
jika bukan karena si pengirik tersebut juga hadir disitu, dia pasti tidak akan hadir disitu.
Makna yang terkandung dalam pantun tersebut dimengerti oleh si pengirik dan
dibalas dengan pantun yang kedua. Makna yang terkandung di dalam pantun 3a di atas
adalah menyatakan bahwa si pengirik merasa terhormat dengan pernyataan si gadis
pengemping yang menyatakan bahwa dia menaruh hati pada dirinya, sehingga si
pengirik menyatakan bahwa dia siap memberikan seluruh jiwa raganya untuk
kebahagiaan si gadis.
4a. Kalau tuan mempunyai sapi
Enak dimasak denganlah rebung
Hati-hati menghembus api
Jangan sampai terbakar hidung
70
4b. Kami memang punya rebung
Tidak dimasak dengan daging sapi
Biarlah terbakar hidung
Asal sampai hajat di hati
Lirik di atas merupakan contoh dari pantun yang berbalasan antara pengirik dan
pengemping dalam ahoi. Pantun pertama menyiratkan tentang sindiran si pengirik
kepada si pengemping, agar ketika mengemping hati-hati menghembus apinya supaya
asapnya tidak terkena wajah dan membuat wajah menjadi hitam dan tidak enak
dipandang mata.
Para pengemping tidak mau kalah dan membalasnya dengan pantun b yang
maknanya menyatakan rayuan kepada para pengirik. Rayuannya adalah mereka tidak
mempermasalahkan walau hidung mereka menghitam karena terkena asap seperti yang
dikatakan si pengirik, asalkan hajat atau maksud di hati mereka tersampaikan, yaitu
hajat untuk bergaul dengan para pengirik.
Dalam pantun yang dinyanyikan dalam ahoi ini, ada juga pantun yang isi atau
maknanya adalah ucapan syukur dan terima kasih kepada Tuhan karena diberikan hasil
panen yang melimpah. Hal tersebut dapat kita lihat dalam pantun di bawah ini.
5. Ambil upih tampungkan hujan
Daun ubi di ikat ikat
Terima kasih kepada Tuhan
Tahun ini bisa berzakat
Dalam baris ke 3 dan ke 4 dinyatakan bahwa ada ucapan syukur kepada Tuhan
atas panen yang melimpah sehingga sebagian hasil panen tersebut bisa dibagi-bagi
71
kepada para tetangga dalam bentuk emping dan lemang yang dimasak ketika kegiatan
mengirik berlangsung dan juga bisa berzakat lebih.
6. Asal atap darilah rumbia
Lalu semat denganlah bemban
Akal tetap jadikan panglima
Biarkan nafsu jadi tawanan
Pantun di atas merupakan sebuah pantun nasihat. Makna yang terkandung di
dalam pantun tersebut menyatakan bahwa sebagai seorang pemuda-pemudi Melayu,
hendaklah menggunakan logika dalam menjalankan ataupun menyelesaikan segala
permasalahan hidup ini, bukan dengan menggunakan nafsu.
7.a Anyam pandan buatkan tikar
Untuk tempat menjemur padi
Biar zaman terus berputar
Tak Melayu hilang dibumi
7b. Pohon duku kayu nya keras
Pohon langsat buah nya lima
Jika Melayu sudahlah bungkas
Maka terangkat lah marwah bangsa
Pantun pertama menyiratkan tentang keberadaan kebudayaan Melayu di dalam
arus globalisasi dan modernisasi saat ini. Ada keyakinan dalam diri mereka bahwa
seperti apapun perkembangan zaman ini, kebudayaan melayu pasti dapat bertahan.
Pantun kedua menyiratkan makna bahwa kebudayaan suatu bangsa lah yang
membuat bangsa tersebut berharga. Kebudayaan Melayu merupakan salah satu
kebudayaan yang menyusun bangsa Indonesia ini, sehingga jika kebudayaan Melayu
72
melekat pada masyarakat, maka marwah bangsa Indonesia pun ikut terangkat dan
dikenal.
8a. Padi tua buatkan bertih
Buatkan emping si padi muda
Biar badan terasa letih
Tapi hati kita gembira
8b. Kalau ada sumur di ladang
Bolehlah kami menumpang mandi
Kalau ada umur yang panjang
Bolehlah kita berjumpa lagi
Pantun pertama berisi tentang ungkapan para pengirik ketika kegiatan sudah
hampir selesai yang menyatakan bahwa meskipun badan mereka letih setelah mengirik
padi, rasa letih tersebut seakan-akan hilang karena hati mereka bergembira. Hal tersebut
dikarenakan mereka melakukannya sambil bernyanyi dan berbalas pantun dengan lawan
jenis yang mereka sukai.
Sedangkan pantun yang kedua menyiratkan tentang keinginan di antara para
pengirik dan pengemping untuk dapat bertemu kembali dalam kegiatan mengirik
selanjutnya. Pada zaman itu, biasanya para pengirik dan pengemping yang hari ini
mengirik dan mengemping di salah satu rumah, mereka pula yang nantinya melakukan
hal yang sama di rumah yang lainnya. Pantun ini sebagai isyarat kepada lawan jenisnya
masing-masing agar jangan sampai tidak ikut dalam kegiatan mengirik selanjutnya, agar
dapat bertemu dan berkomunikasi kembali lewat nyanyian ahoi.
73
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan pada uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya,
penulis akan membuat kesimpulan dari pembahasan dan hasil penelitian yang telah
penulis lakukan.
Ahoi merupakan sebuah nyanyian pada saat kegiatan mengirik padi dilakukan
dan disajikan para pemuda-pemudi yang diwakili oleh pengirik dari kaum laki-laki, dan
pengemping dari kaum perempuan.
Teks yang dinyanyikan dalam ahoi ini merupakan pantun-pantun yang
mengandung nilai-nilai yang berlaku di dalam kehidupan sosial masyarakat Melayu
Batang Kuis. Pantun tersebut terdiri atas pantun-pantun yang sudah berlaku di dalam
kehidupan masyarakat, dan juga pantun yang diciptakan secara spontan oleh para
pengirik atau pengemping sesuai dengan kondisi atau topik yang sedang di bahas.
Pola pantun yang digunakan kebanyakan adalah pola a-b-a-b, namun ada juga
sebagian kecil yang menggunakan pola a-a-a-a.
Berdasarkan teori penggunaan dan fungsi musik oleh Alan P Merriam, ahoi
digunakan sebagai musik pengiring kerja, dan memiliki beberapa fungsi yaitu : fungsi
pengungkapan emosional, fungsi hiburan, fungsi komunikasi, fungsi yang berhubungan
dengan nilai-nilai sosial, fungsi kesinambungan kebudayaan, dan fungsi pengintegrasian
masyarakat.
Dilihat dari sistem notasi musik barat, tangga nada yang terdapat dalam
nyanyian ahoi adalah tangga nada diatonis dengan nada dasar C.
74
6.2 Saran
Melayu adalah salah satu suku yang ada di nusantara yang sejak dahulu kaya
dengan aktifitas budayanya. Aktifitas tersebut dapat dilihat mulai dari siklus hidup,
mata pencaharian, dan lain-lain. Akan tetapi, dengan adanya pengaruh dari budaya
barat atau masuknya teknologi menyebabkan sebagian nilai-nilai budaya tersebut
hilang.
Dalam tulisan ini penulis mempunyai beberapa saran kepada pembaca
diluarbaik dari etnis Melayu maupun dari luar etnis Melayu, agar nyanyian ahoi ini
dapat dipertahankan eksistensinya meskipun kegiatan mengirik padi tidak dilakukan
lagi. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara mengalih-fungsika ahoi dari sebuah
kesenian pengiring kerja menjadi sebuah seni pertunjukan. Ahoi merupakan salah satu
kekayaan budaya yang harus dijadikan milik bersama, sehingga setiap kebudayaan etnis
yang ada di seluruh Indonesia tetap hidup dan terus berkembang.
75
DAFTAR PUSTAKA
Bandem, I Made dan Sal Murgiyanto. 1996. Teater Daerah Indonesia. Yogyakarta : Kanisius
Bogdan, R. and Taylor, S.J. 1975. Introduction to Qualitative Research Methode. New
York : John Willey and Sons. Depdikbud. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka. Ihromi, T.O. 1987. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta : Yayasan Obor
Indonesia. Koentjaraningrat. 1973. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.
1980. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. 1981. Pengantar Antropologi, Jakarta : Balai Pustaka. 1985. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.
Malm, William P. 1977. Music Culture Of Pacific Music The Near East and Asia, New
Jersey : Prentice Hall, Inc. England Wood Cliffs. Terjemahan Rizaldi Siagian Merriam, Alan P. 1964. The Anthropology of Music. Chicago, Northwestern University
Press. Muhammad Takari bin Jilil Syahrial. 2011. Tengku Luckman Sinar : Pemikirannya
Mengenai Melayu Sebagai Bingkai Kemajemukan Sumatera Utara Dan Aplikasinya Dalam Kesenian. Kumpulan Makalah Seminar Internasional Pemikiran Tengku Luckman Sinar Tentang Kemelayuan dan KeIndonesiaan. Medan.
Murgianto, Sal. 1996 Cakrawala Pertunjukan Budaya Mengkaji Batas-batas dan Arti
Pertunjukan. MSPI Nainggolan, Kasiro. 2011. Studi Deskriptif Pertunjukan Makyong Cerita Putri Ratna
oleh Sinar Budaya Group Medan. Medan: Skripsi. Jurusan Etnomusikologi USU.
Nettl, Bruno. 1964. Theory and Method in Etnomusicology. The Free Press of Glencoe.
New York Sinar Luckman T. 1996. Pengantar Etnomusikologi dan Tarian Malayu. Medan,
Perwira. 2007. Pengantar Etnomusikologi dan Tarian Malayu. Yayasan Kesultanan Serdang. Medan.
Sinar Luckman T, Syiafuddin Wan. 2002. Kebudayaan Melayu Sumatera Timur.
Medan, USU PRESS
76
Suhartono, Irawan. 1995. Metode Penelitian Sosial. Bandung, Remaja Rosdak. Takari, M dan Heristina Dewi. 2008. Budaya Musik dan Tari Melayu Sumatera Utara.
Medan: USU Press. Takari, Muhammad “Komunikasi dalam Seni Pertunjukan Melayu.” Dalam Jurnal
Etnomusikologi Vol 1 No.2 - September 2005 Zein, St. Muhammad. 1957. Kamus Modern Bahasa Indoensia. Jakarta : Balai Pustaka.
77
DAFTAR INFORMAN
1. Nama : Aisyah Mudatsir
Umur : 44 Tahun
Alamat : Jalan Ampera No.211 Desa Bintang Meriah Kec. Batang Kuis
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
2. Nama : Amiruddin
Umur : 58 Tahun
Alamat : Jalan Pancasila Batang Kuis
Pekerjaan :Pegawai Dinas Perhubungan
3. Nama : Drs. Muhamad Takari, M.Hum, Ph.D
Umur : 47 Tahun
Pekerjaan : Dosen
4. Nama : Drs. Fadlin, M.A
Umur : 49 Tahun
Pekerjaan : Dosen
5. Nama : Datuk Fauzi
Umur : 50 Tahun
Pekerjaan : Dosen