Post on 06-Mar-2019
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Televisi adalah salah satu media yang banyak diakses oleh masyarakat
Indonesia. Penonton televisi terdiri dari berbagai variasi profesi, gender, dan usia.
Salah satu program acara televisi yang biasanya ditayangkan pada prime time
adalah sinetron. Sinetron yang dapat dikategorikan sebagai acara hiburan terbukti
mampu menarik hati pemirsa televisi dan beberapa diantaranya mendapat rating
yang tinggi.
Anak jalanan adalah sinetron yang mulai ditayangkan pada 12 Oktober
2015 oleh stasiun televisi RCTI, ditayangkan setiap hari pada pukul 18.30 - 21.00
WIB. Sinetron tersebut sedang berada di puncak rating televisi Indonesia pada
saat ini. Pada tanggal 2 April 2016 lalu, sinetron Anak Jalanan memiliki rating 9.4
dengan share 38.4 persen (diakses dari @InfoRatingTV1). Jumlah ini mampu
mengalahkan dua acara program acara lainnya yaitu Uttaran yang ditayangkan di
stasiun televisi ANTV dan Tukang Ojek Pengkolan yang ditayangkan di stasiun
televisi RCTI.
Setting sinetron Anak Jalanan adalah tentang kehidupan sehari-hari
sekumpulan anak SMA yang membentuk geng motor bernama Anak Jalanan.
Geng motor Anak Jalanan sendiri dikisahkan tidak bertindak anarkis, sebaliknya
justru banyak melakukan kegiatan sosial dan amal. Tokoh utama dalam serial ini
adalah Boy (Stefan William), seorang anak SMA yang dikisahkan jatuh cinta pada
Reva (Natasha Wilona), teman satu sekolahnya.
Selain karakter utama protagonis, sinetron Anak Jalanan juga memiliki
beberapa karakter antagonis yang menonjol. Adanya geng Black Cobra menjadi
yang menjadi musuh dari geng Anak Jalanan turut meramaikan sinetron ini.
1 @InfoRatingTV merupakan akun twitter yang secara rutin mengabarkan tentang rating acara
televisi Indonesia. Data yang diambil berasal dari kicauan akun tersebut pada tanggal 2 April 2016.
2
Berkebalikan dari geng Anak Jalanan, geng Black Cobra gemar bersenang-senang
dan membuat onar. Geng Black Cobra diketuai oleh Alex (Cemal Faruk) yang
merupakan musuh bebuyutan Boy.
Disamping cerita permusuhan antar geng terdapat juga kisah yang
mengangkat peliknya rumah tangga Reva. Reva memiliki ibu tiri bernama
Adriana (Cut Meyriska) yang ternyata merupakan mantan dari Boy. Adriana
sendiri selalu berusaha untuk kembali mendapatkan hati Boy dengan cara-cara
yang licik. Karakter Adriana memiliki umur yang tidak jauh berbeda dari Reva
dan Boy.
Cerita tentang kehidupan anak SMA yang ditawarkan oleh sinetron Anak
Jalanan tentu kemudian memikat audiens dari kalangan umur remaja.2 Audiens
remaja tentunya berbeda dengan audiens dewasa. Perbedaan tersebut dapat dilihat
dari segi kedewasaan pemikiran, gaya hidup, pergaulan, dan kondisi finansial.
Hal-hal tersebut yang nantinya dapat mempengaruhi proses pemaknaan audiens
remaja terhadap sinetron Anak Jalanan.
Usia remaja adalah saat dimana seseorang melakukan pencarian jatidiri.
Dalam pencarian jatidiri, remaja membutuhkan seorang role model yang
kemudian mampu menjadi panutan mereka. Menurut Donald E. Gibson, role
model memberikan pengaruh pada perilaku, kebiasaan, dan cita-cita (Gibson,
2006:702). Role model bisa didapat dari lingkungan terkecil seperti keluarga,
namun bisa juga melalui tokoh yang mereka sukai dari media tertentu.
Dati pemaparan Gibson tersebut bisa saja kemudian audiens remaja
mengambil karakter-karakter dalam sinetron Anak Jalanan sebagai role model
mereka. Sedangkan faktanya sinetron Anak Jalanan sudah 2 kali mendapat
teguran oleh KPI (diakses dari www.kapanlagi.com) dikarenakan adegan kebut-
kebutan dan atraksi sepeda motor oleh remaja. Hal tersebut tentu saja berbahaya
apabila kemudian ditirukan oleh audiens remaja sinetron Anak Jalanan.
2 Berdasarkan observasi awal peneliti secara langsung maupun melalui media cetak dan internet.
3
Audiens remaja juga ditakutkan dapat terpengaruh oleh gaya hidup mewah
yang dipertontonkan dalam sinetron Anak Jalanan. Gaya hidup mewah dapat
dengan mudah diidentifikasi dari sepeda motor yang dimiliki oleh masing-masing
anggota geng Anak Jalanan dan geng Black Cobra. Jenis sepeda motor yang
digunakan oleh kedua geng tersebut tergolong high-end dengan rata-rata harga
Rp60.000.000,- (diakses dari product.kawasaki-motor.co.id).
Jelas kemudian kehadiran sinetron Anak Jalanan dan audiens remaja yang
menikmatinya menjadi fenomena yang layak untuk diteliti. Bagaimana kemudian
audiens remaja yang masih dalam proses pencarian jati diri mendapatkan paparan
terus menerus gaya hidup karakter yang dihadirkan dalam sinetron ini. Bisa saja
terjadi proses imitasi akan karakter yang disukai dalam sinetron Anak Jalanan,
atau bahkan audiens remaja kemudian menjadikan karakter tersebut sebagai role
model dalam membentuk gaya hidup mereka.
Sebelum memasuki tahap imitasi dan menetapkan role model, proses dari
audiens remaja menonton sinetron Anak Jalanan kemudian mendapatkan suatu
makna merupakan hal yang menarik untuk diteliti. Apa saja yang mempengaruhi
produksi makna tersebut dan bagaimana hasilnya akan dikupas lebih lanjut dalam
penelitian ini. Metode analisis represi dirasa cocok untuk meneliti proses tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang disampaikan sebelumnya, maka rumusan
masalah dari penelitian ini adalah: “Bagaimana resepsi audiens remaja terhadap
gaya hidup karakter dalam sinetron Anak Jalanan?”
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui resepsi audiens remaja terhadap gaya hidup karakter
dalam sinetron Anak Jalanan sebagai role model mereka.
2. Mengetahui faktor-faktor yang membangun pemaknaan audiens
terhadap sinetron Anak Jalanan.
4
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi studi komunikasi, penelitian ini akan memberikan sumbangan
referensi mengenai pemaknaan audiens remaja terhadap suatu sinetron.
2. Bagi audiens, penelitian ini dapat menjadi referensi tersendiri untuk
lebih kritis terhadap pesan dalam sinetron atau produk media lainnya.
E. Kerangka Pemikiran
1. Audiens Televisi dalam Ilmu Komunikasi
Proses komunikasi secara mudah dapat dipahami sebagai proses
pengiriman pesan dari komunikator kapada komunikan melalui suatu media
tertentu. Dalam media massa komunikan tersebut disebut sebagai audiens.
Menurut McQuail (1987) audiens dapat diartikan sebagai kumpulan
penonton, pembaca, pendengar, pemirsa. Konsep audiens diartikan sebagai
penerima pesan-pesan dalam komunikasi massa, yang keberadaannya
tersebar, heterogen, dan berjumlah banyak.
McQuail kemudian menambahkan bahwa terdapat perbedaan antara
audiens televisi dengan media yang lain seperti surat kabar. Hal tersebut
terjadi karena media yang berbeda menyasar segmentasi kelompok sosial
yang berbeda juga. Surat kabar (harian terutama) dikembangkan untuk
audiens dengan karakteristik pria kelas menengah yang hidup di daerah
perkotaan, yang bekerja di bidang politik dan bisnis. Sebaliknya, televisi
menciptakan identitas diri sebagai media keluarga dan hiburan yang menarik
bagi orang-orang yang paling sering berada di rumah yaitu kaum wanita,
anak-anak, dan mereka yang berpenghasilan lebih kecil.
Selanjutnya terdapat tiga macam karakteristik televisi (Ardianto,
2007:137-139) yang kemudian menjadi acuan untuk membedakan audiens
televisi dengan audiens media lain, yaitu:
a. Audiovisual
5
Televisi memiliki kelebihan dibandingkan dengan media penyiaran
lainnya, yakni dapat didengar sekaligus dilihat. Jadi apabila
khalayak radio siaran hanya mendengar kata-kata, musik dan efek
suara, maka khalayak televisi dapat melihat gambar yang bergerak.
Maka dari itu televisi disebut sebagai media massa elektronik
audiovisual. Namun demikian, tidak berarti gambar lebih penting
dari kata-kata, keduanya harus ada kesesuaian secara harmonis.
b. Berpikir dalam gambar
Ada dua tahap yang dilakukan proses berpikir dalam gambar.
Pertama adalah visualisasi (visualization) yakni menerjemahkan
kata-kata yang mengandung gagasan yang menjadi gambar secara
individual. Kedua, penggambaran (picturization) yakni kegiatan
merangkai gambar-gambar individual sedemikian rupa sehingga
kontinuitasnya mengandung makna tertentu.
c. Pengoperasian lebih kompleks
Dibaningkan dengan radio siaran, pengoprasian televisi siaran jauh
lebih kompleks, dan lebih banyak melibatkan orang. Peralatan yang
digunakan pun lebih banyak dan untuk mengoprasikannya lebih
rumit dan harus dilakukan oleh orang-orang yang terampil dan
terlatih
Dari karakteristik tersebut dapat dilihat bahwa audiens televisi
menikmati konten media dalam bentuk audio dan visual, tidak seperti audiens
radio yang hanya dapat menikmati konten media secara audio saja atau
audiens media cetak yang hanya dapat menikmati dalam bentuk visual saja.
Tentu saja kemudian proses pemaknaan dan proses pengoperasian media
yang dilakukan oleh audiens televisi menjadi berbeda dengan audiens
lainnya.
6
Sebelumnya audiens dalam sebuah media massa dianggap pasif
terhadap pesan yang mereka terima melalui media. Hal tersebut diungkapkan
oleh Wilbur Schramm pada tahun 1950-an dan disebut sebagai teori peluru.
Namun teori peluru kemudian dicabut oleh Schramm pada tahun 1970-an,
menyadari bahwa audiens ternyata tidak pasif melainkan aktif (diakses dari
www.academia.edu).
Levy dan Windahl (dalam Miller, 2003: 2) menyusun tipologi aktifitas
audiens yang dibentuk melalui dua dimensi. Dua dimensi itu adalah sebagai
berikut:
a. Dimensi orientasi kulitatif audiens terhadap proses komunikasi.
Terdapat 3 nilai didalamnya yaitu: selektifitas audiens, keterlibatan
audiens, dan audiens “menggunakannya untuk”.
b. Dimensi temporal, dapat dibagi menjadi 3 waktu: sebelum terpapar,
saat terpapar, dan setelah terpapar.
Saat disajikan dalam bentuk tabel, persilangan antara kedua dimensi
tersebut akan menghasilkan sebagai berikut:
Tabel 1.1 Tipologi Aktivitas Audiens menurut Levy dan Windahl
Tahapan Komunikasi
Sebelum Terpapar Saat Terpapar Setelah Terpapar
Selektifitas
Audiens
Mencari Paparan
Selekif
Keterlibatan Proses decoding
dan pemaknaan
“Menggunakan
Untuk” Kebutuhan Sosial
Dari tabel tersebut Levy dan Windahl mengungkapkan bagaimana
proses audiens dalam mengakses media massa. Pada awalnya audiens
memilih konten media yang ingin diakses sesuai dengan kebutuhan dan
7
keinginan mereka. Setelah itu audiens akan “terpapar” dengan konten media
tersebut dan terjadi proses pemaknaan akan konten media itu sendiri.
Selanjutnya hasil dari proses pemaknaan tersebut digunakan oleh audiens
untuk memenuhi kebutuhan sosial mereka.
Dari segi gender audiens televisi dapat dibagi menjadi dua yaitu
audiens perempuan dan audiens laki-laki. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Nielsen pada tahun 2010, penonton televisi Indonesia 52%
adalah perempuan dan 48 % adalah laki-laki. Minat audiens perempuan dan
laki-laki dalam mengakses televisi secara umum dapat dikatakan berbeda.
Perempuan biasanya mengakses tayangan gosip, fashion,dan drama.
Sedangkan laki-laki biasanya mengakses tayangan olahraga, berita, dan film
laga.
George Gerbner, seorang profesor komunikasi yang berasal dari
Hungaria, mengemukakan sebuah gagasan tentang teori kultivasi. Teori
tersebut muncul tahun 1969, dalam sebuah artikel yang berjudul “The
Television of Violence” yang berisikan bagaimana media massa khususnya
televisi menampilkan adegan-adegan kekerasan di dalamnya. Teori kultivasi
ini muncul dalam situasi pada saat terjadi perdebatan antara kelompok
ilmuwan komunikasi yang meyakini bahwa efek sangat kuat dari media
massa.
Pada tahun 1968, Gerbner melakukan survey untuk mendemonstrasikan
teori tersebut. Berdasarkan survey tersebut Gerbner membagi audiens televisi
menjadi 3 kategori: "light viewers" (kurang dari 2 jam per hari), "medium
viewers" (2–4 jam per hari) and "heavy viewers" (lebih dari 4 jam per hari).
Gerbner menemukan bahwa heavy viewers lebih mempercayai apa yang
mereka lihat di televisi daripada apa yang terjadi di dunia nyata yang
kemudian memperlihatkan pengaruh media pada audiensnya (Potter, 2014).
Secara singkat teori kultivasi menganalisis tayangan televisi yang telah
menjadi teman keseharian oleh kebanyakan orang, karena Teori ini
8
memprediksikan dan menjelaskan pembentukan persepsi, pemahaman, dan
keyakinan jangka panjang tentang dunia ini sebagai hasil dari mengkonsumsi
isi media. Teori kultivasi mempunya 3 asumsi teori yaitu:
1. Televisi merupakan media yang unik.
2. Semakin banyak seseorang menghabiskan waktu untuk menonton
televisi, semakin kuat kecenderungan orang menyamakan realitas
televisi dengan realitas sosial.
3. Light viewers cenderung menggunakan jenis media dan sumber
informasi yang lebih bervariasi. Sementara heavy viewers
cenderung mengandalkan televisi sebagai sumber informasi
mereka.
Sedangkan menurut Santi Indra Astuti dalam Riset Audiens terhadap
Penonton Sinetron Remaja, menemukan hasil bahwa remaja Indonesia
menonton televisi selama 4 sampai 5 jam dalam sehari. Dengan waktu
menonton televisi tersebut, remaja Indonesia dapat dikategorikan sebagai
heavy viewers menurut teori kultivasi Gerbner. Bisa kemudian klasifikasi ini
diturunkan menjadi heavy viewers sinetron dan light viewers sinetron dengan
variabel penentu yang berbeda, mengingat 4-5 jam yang dihabiskan untuk
menonton televisi belum tentu dialokasikan untuk satu sinetron saja.
2. Remaja
Remaja atau dalam bahasa inggris adolescence, berasal dari bahasa latin
adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah remaja
mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental,
emosional sosial dan fisik (Hurlock, 2004). Pasa masa ini remaja sebenarnya
tidak mempunyai tempat yang jelas karena tidak termasuk golongan anak
tetapi tidak juga golongan dewasa.
Menurut Stanley Hall (dalam Santrock, 2001) usia remaja berada pada
rentang 12-23 tahun. Terdapat model-model yang diberikan oleh para ahli
9
lain, namun model Stanley Hall memiliki rentang yang paling luas.
Selanjutnya Konopka dan Ingersoll (dalam Hurlock, 2004) mengatakan
bahwa secara umum masa remaja dibagi menjadi tiga bagian yaitu sebagai
berikut:
a. Masa remaja awal (12-15 tahun)
Pada masa ini mulai meninggalkan perannya sebagai anak-
anak dan berusaha mengembangkan diri sebagai individu yang unik
dan tidak tergantung pada orang tua.
b. Masa remaja pertengahan (15-18 tahun)
Masa ini ditandai dengan berkembangnya kemampuan
berfikir yang baru. Teman sebaya memiliki peran yang penting.
Pada masa ini remaja juga mengembangkan kematangan tingkah
laku, belajar membuat keputusan sendiri dan selain itu penerimaan
dari lawan jenis menjadi penting bagi individu.
c. Masa remaja akhir (19-21 tahun)
Masa ini ditandai oleh persiapan akhir untuk memasuki
peran-peran orang dewasa. Keinginan yang kuat untuk menjadi
matang dan diterima dalam kelompok teman sebaya dan diterima
orang dewasa.
Rentang usia yang telah dijabarkan diatas dapat digunakan untuk
mengidentifikasi seorang remaja. Masa remaja juga mempunyai beberapa
ciri-ciri khusus yang membedakannya dari masa anak-anak dan dewasa.
Hurlock menjabarkan ciri-ciri remaja sebagai berikut:
a. Masa remaja sebagai periode yang penting
perubahan-perubahan yang dialami masa remaja akan memberikan
dampak langsung pada individu yang bersangkutan dan akan
mempengaruhi perkembangan selanjutnya.
b. Masa remaja sebagai periode pelatihan
10
Disini berarti perkembangan masa kanak-kanak lagi dan belum
dapat dianggap sebagai orang dewasa. Status remaja tidak jelas,
keadaan ini memberi waktu padanya untuk mencoba gaya hidup
yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang
paling sesuai dengan dirinya.
c. Masa remaja sebagai periode perubahan
Perubahan pada emosi perubahan tubuh, minat dan peran (menjadi
dewasa yang mandiri), perubahan pada nilai-nilai yang dianut, serta
keinginan akan kebebasan.
d. Masa remaja sebagai masa mencari identitas diri
Remaja berusaha untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa
peranannya dalam masyarakat.
e. Masa remaja sebagai masa yang menimbulkan ketakutan
Dikatakan demikian karena remaja sulit diatur, cenderung
berperilaku yang kurang baik. Hal ini yang membuat banyak orang
tua menjadi takut.
f. Masa remaja adalah masa yang tidak realistik
Remaja cenderung memandang kehidupan dari kacamata berwarna
merah jambu, melihat dirinya sendiridan orang lain sebagaimana
yang diinginkan dan bukan sebagaimana adanya terlebih dalam cita-
cita.
g. Masa remaja sebagai masa jelang dewasa
Remaja mengalami kebingungan atau kesulitan didalam usaha
meninggalkan kebiasaan pada usia sebelumnya dan didalam
memberikan kesan bahwa mereka hampir atau sudah dewasa, yaitu
11
dengan merokok, minum-minuman keras, menggunakan obat-
obatan dan terlibat dalam perilaku seks.
3. Role Model
Kata “role model” pertama kali diungkapkan oleh Robert K. Merton
pada penelitiannya tentang sosialisasi mahasiswa kedokteran. Merton
memiliki hipotesis bahwa individu membandingkan dirinya sendiri terhadap
“kelompok referensi” dari orang-orang yang memiliki peran tertentu dan
menginspirasi orang lain. Secara singkat, role model dapat didefinisikan
sebagai seseorang yang perilakunya, teladannya, dn kesuksesannya dapat
menstimulus orang lain, khususnya kaum muda (Calhoun, 2010).
Albert Bandura, pakar psikologi, mengemukakan teori yang
kemudiannya lebih dikenali sebagai teori pembelajaran sosial. Teori Bandura
mengatakan sikap, tabiat dan tingkah laku individu itu ditiru dan dipelajari
melalui interaksinya orang lain. Apabila orang itu menganggap suatu sikap
ataupun tabiatnya tidak disukai, yang menyebabkan dia mungkin dihukum
oleh orang di sekelilingnya, maka dia bisa memilih antara meneruskan
ataupun mengubah sikap dan tabiatnya itu (Bandura, 1977).
Melalui orang disekitarnya, individu itu belajar apa yang disebut role-
playing atau main-peranan. Setiap hari, seseorang itu melakukan main
peranan kerana dia selalu membayangkan dirinya berpikir, berbuat dan
merasa seperti orang lain. Individu itu membayangkan apa yang akan
dilakukan dan apa yang akan dikatakan oleh orang lain kepada dirinya. Dia
juga membayangkan apabila dia sendiri yang berada dalam keadaan mereka,
apa yang akan dilakukannya ataupun apa yang akan dikatakan.
Orang lain juga menjadi sumber sikap, tabiat dan perilaku individu.
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pemikiran dan perilaku seseorang
adalah individu-individu lain. Individu yang dapat menyebabkan orang lain
terpengaruh olehnya di sebut model.
12
Menurut Bandura, kebanyakan daripada perilaku seseorang adalah
kesan daripada pengaruh model. Ini terjadi melalui apa yang disebut role-
modeling atau bermain model peranan. Individu itu mempelajari dan
mengamalkan suatu sikap, tabiat dan tingkah laku dengan memerhatikan
sikap, tabiat dan tingkah laku model di sekelilingnya.
Semasa individu itu masih kecil, model utamanya adalah ayah dan
ibunya. Semasa remaja, model utama adalah remaja-remaja lain, terutama
mereka yang berada dalam lingkaran yang sama. Namun, model bagi remaja
juga bisa didapatkan dari seseorang yang mereka idolakan. Model tersebut
banyak mempengaruhi seseorang untuk mengikuti kebiasaan-kebiasaan
didalam masyarakat ataupun melawan kebiasaan-kebiasaan itu sendiri.
4. Sinetron sebagai Konten Media Massa
Sinetron merupakan singkatan dari sinema elektronik. Kata sinema
kemudian mengarah pada pemutaran film layar lebar. Sedangkan kata
elektronik dalam sinetron itu lebih mengacu pada mediumnya, yaitu televisi
atau visual, yang merupakan medium elektronik selain siaran radio (Wardana,
1997: 1). Sedangkan sinetron di Indonesia sinetron biasanya memiliki
beberapa episode yang berkelanjutan. Maka dari itu sinetron dapat
didefinisikan secara singkat sebagai film televisi berseri.
Dalam Bahasa Inggris kata “soap opera” (opera sabun) dirasa cocok
untuk mewakili sinetron. Soap opera awalnya muncul dari siaran drama
berseri di radio Amerika pada tahun 1930-an. Mayoritas pendengar soap
opera adalah ibu rumah tangga. Disebut soap opera karena terdapat iklan
deterjen dan produk-produk kebersihan lainnya disela-sela acara tersebut.
Kemudian muncul di televisi dalam format audio visual pada tahun 1940-an.
Fenomena serupa terjadi di Spanyol dengan istilah telenovela (Tabloid
Alhikmah ed. 34).
13
Istilah sinetron pertama kali dikenalkan oleh Soemardjono, seorang
mantan pengajar dan salah satu pendiri Institut Kesenian Jakarta (diakses dari
www.muvila.com). Sinetron muncul di Indonesia pada tahun 1980-an dengan
judul “Losmen” dan ditayangkan sebulan sekali oleh TVRI. Setting dalam
sinetron Losmen adalah tentang kehidupan sehari-hari sebuah keluarga.
Selanjutnya mulai muncul beberapa televisi swasta di Indonesia. RCTI
berhasil menghadirkan sinetron Si Doel Anak Sekolahan yang pada tahun
1990-an digemari oleh masyarakat Indonesia sehingga digarap sampai
beberapa sekuel dan bahkan pada tahun 2011 lalu dibuat dalam versi FTV
melanjutkan cerita sinetron yang terdahulu (diakses dari
www.tribunnews.com). Setelah itu mulai bermunculan judul-judul sinetron
lainnya dan ditayangkan oleh berbagai stasiun televisi di Indonesia.
Sinetron adalah konten siaran televisi yang paling diminati oleh
masyarakat Indonesia. Hal ini dibuktikan lewat rating siaran televisi di
Indonesia (diakses dari @InfoRatingTV):
Tabel 1.2 Rating Siaran Televisi Indonesia 12 April 2016
Peringkat Judul Stasiun
Televisi Rating Share
1 Anak Jalanan RCTI 7.9 33.2%
2 Uttaran ANTV 4.2 23.7%
3 Tukang Bubur Naik Haji RCTI 4 18.4%
4 D’Academy Celebrity Indosiar 3.3 17.7%
5 Tukang Ojek Pengkolan RCTI 2.7 16%
Dari data tersebut peringkat nomor 1, 3, dan 5 merupakan sinetron
Indonesia. Sedangkan peringkat 2 merupakan drama seri India dan peringkat
4 adalah ajang pencarian bakat. Selanjutnya dilihat dari tingkat rating dan
share dapat dikatakan bahwa sinetron merupakan acara yang digemari oleh
sebagian besar masyarakat Indonesia.
14
5. Gaya Hidup
Menurut Plummer gaya hidup adalah cara hidup individu yang di
identifikasikan oleh bagaimana orang menghabiskan waktu mereka , apa yang
mereka anggap penting dalam hidupnya dan apa yang mereka pikirkan
tentang dunia sekitarnya (Plummer, 1983). Plummer menekankan 2 poin
penting dalam definisi tersebut yaitu “aktivitas” dan “ketertarikan” yang
berbeda pada masing-masing individu.
Sedangkan Adler (dalam Hall & Lindzey, 1993) menyatakan bahwa
gaya hidup adalah hal yang paling berpengaruh pada sikap dan perilaku
seseorang dalam hubungannya dengan 3 hal utama dalam kehidupan yaitu
pekerjaan, persahabatan, dan cinta. Dari definisi tersebut bisa dikatakan
bahwa gaya hidup adalah sebuah esensi yang penting dalam kehidupan
manusia. Tidak bisa dipungkiri bahwa gaya hidup adalah salah satu unsur
yang membentuk identitas diri.
Menurut Chaney (dalam Idi Subandy,1997) ada beberapa bentuk gaya
hidup, antara lain:
a. Gaya Hidup Industrial
Menganggap individu merupakan sebuah proyek penyemaian gaya
hidup oleh industri. Maka seseorang akan mengikuti penampilan
yang ditawarkan oleh industri. “Kamu bergaya maka kamu ada!”
adalah ungkapan yang diyakini para penganut gaya hidup
industrial.
b. Gaya Hidup Iklan
Gaya hidup ini dianut oleh individu yang terobsesi dengan citra
yang ditampakkan dalam iklan. Pesona iklan kemudian
mempengaruhi citra diri untuk tampil di muka publik. Iklan juga
perlahan tapi pasti mempengaruhi pilihan cita rasa yang kita buat.
15
c. Gaya Hidup Public Relations dan Jurnalisme
Bagai kemudian praktik jurnalisme membentuk citra selebritis yang
kemudian dianut oleh orang yang menontonnya. Para selebritis
tersebut menginspirasi penggemarnya untuk membentuk identitas
dirinya agar menyerupai selebritis yang disukainya.
d. Gaya Hidup Mandiri
Mandiri dapat diartikan mampu hidup tanpa bergantung kepada
orang lain. Mampu untuk menggunakan logika untuk mengenali
kelebihan dan kekurangan diri sendiri. Bertanggung jawab terhadap
resiko-resiko atas pilihan yang diambil serta disiplin. Penganut
gaya hidup ini bebas dan merdeka dalam menentukan pilihannya
dan mampu melakukan inovasi.
e. Gaya Hidup Hedonis
Gaya hidup hedonis adalah suatu pola hidup yang aktivitasnya
diutamakan untuk mencari kesenangan , seperti lebih banyak
menghabiskan waktu diluar rumah, lebih banyak bermain, senang
pada keramaian kota, senang membeli barang mahal yang
disenanginya, serta selalu ingin menjadi pusat perhatian.
Tentu saja dalam pembentukan gaya hidup seseorang ada beberapa
faktor yang mempengaruhinya. Amstrong (dalam Nugraheni, 2003)
menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi gaya hidup seseorang
dapat dibagi menjadi 2 faktor yaitu faktor yang berasal dari dalam diri
individu (internal) dan faktor yang berasal dari luar (eksternal).
Faktor internal yang mempengaruhi gaya hidup seseorang adalah:
a. Sikap
Sikap berarti suatu keadaan jiwa dan keadaan pikir yang
dipersiapkan untuk memberikan tanggapan terhadap suatu objek
16
yang diorganisasi melalui pengalaman dan mempengaruhi secara
langsung pada perilaku. Keadaan jiwa tersebut sangat dipengaruhi
oleh tradisi, kebiasaan, kebudayaan dan lingkungan sosialnya.
b. Pengalaman dan pengamatan
Pengalaman dapat mempengaruhi pengamatan sosial dalam tingkah
laku, pengalaman dapat diperoleh dari semua tindakannya dimasa
lalu dan dapat dipelajari, melalui belajar orang akan dapat
memperoleh pengalaman. Hasil dari pengalaman sosial akan dapat
membentuk pandangan terhadap suatu objek.
c. Kepribadian.
Kepribadian adalah konfigurasi karakteristik individu dan cara
berperilaku yang menentukan perbedaan perilaku dari setiap
individu.
d. Konsep diri.
Faktor lain yang menentukan kepribadian individu adalah konsep
diri. Konsep diri sudah menjadi pendekatan yang dikenal amat luas
untuk menggambarkan hubungan antara konsep diri konsumen
dengan image merek. Bagaimana individu memandang dirinya
akan mempengaruhi minat terhadap suatu objek. Konsep diri
sebagai inti dari pola kepribadian akan menentukan perilaku
individu dalam menghadapi permasalahan hidupnya, karena konsep
diri merupakan frame of reference yang menjadi awal perilaku.
e. Motif
Perilaku individu muncul karena adanya motif kebutuhan untuk
merasa aman dan kebutuhan terhadap prestis merupakan beberapa
contoh tentang motif. Jika motif seseorang terhadap kebutuhan
17
akan prestis itu besar maka akan membentuk gaya hidup yang
cenderung mengarah kepada gaya hidup hedonis.
f. Persepsi
Persepsi adalah proses dimana seseorang memilih, mengatur, dan
menginterpretasikan informasi untuk membentuk suatu gambar
yang berarti mengenai dunia.
Sedangkan faktor eksternalnya adalah sebagai berikut :
a. Kelompok referensi
Kelompok referensi adalah kelompok yang memberikan pengaruh
langsung atau tidak langsung terhadap sikap dan perilaku
seseorang. Kelompok yang memberikan pengaruh langsung adalah
kelompok dimana individu tersebut menjadi anggotanya dan saling
berinteraksi, sedangkan kelompok yang memberi pengaruh tidak
langsung adalah kelompok dimana individu tidak menjadi anggota
didalam kelompok tersebut. Pengaruh-pengaruh tersebut akan
menghadapkan individu pada perilaku dan gaya hidup tertentu.
b. Keluarga
Keluarga memegang peranan terbesar dan terlama dalam
pembentukan sikap dan perilaku individu.Hal ini karena pola asuh
orang tua akan membentuk kebiasaan anak yang secara tidak
langsung mempengaruhi pola hidupnya.
c. Kelas sosial
Kelas sosial adalah sebuah kelompok yang relatif homogen dan
bertahan lama dalam sebuah masyarakat, yang tersusun dalam
sebuah urutan jenjang, dan para anggota dalam setiap jenjang itu
memiliki nilai, minat, dan tingkah laku yang sama. Ada dua unsur
pokok dalam sistem sosial pembagian kelas dalam masyarakat,
18
yaitu kedudukan (status) dan peranan. Kedudukan sosial artinya
tempat seseorang dalam lingkungan pergaulan, prestis hak-haknya
serta kewajibannya. Kedudukan sosial ini dapat dicapai oleh
seseorang dengan usaha yang sengaja maupun diperoleh karena
kelahiran. Peranan merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan.
Apabila individu melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai
dengan kedudukannya maka ia menjalankan suatu peranan.
d. Kebudayaan
Kebudayaan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian,
moral, hukum, adat istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan yang
diperoleh individu sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri
dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perilaku yang
normatif, meliputi ciri-ciri pola pikir, merasakan dan bertindak.
Pada dasarnya gaya hidup merupakan pola perilaku, di mana pola
perilaku tersebut tercermin dari consumers’ AIOs yaitu Activities, Interest,
dan Opinion. Pengukuran mengenai varibel gaya hidup dapat diukur melalui
ketiga dimensi yang terdapat pada gaya hidup, yaitu aktivitas, minat, dan
opini (Assael, 1984) dengan menanyakan beberapa pernyataan kepada
seseorang berdasarkan tingkat kesetujuan mereka atas pernyataan tersebut.
Wells dan Tigert (dalam Assael, 1984) mendefinisikan activities
sebagai perilaku yang dapat diamati secara nyata. Interests adalah perhatian
secara terus menerus pada objek tertentu, sementara opinions merupakan
respon atau tanggapan terhadap kejadian-kejadian tertentu. Aktivitas dari
konsumen dapat diukur melalui indikator pekerjaan, hobi, kegiatan sosial,
liburan, hiburan, keanggotaan klub, komunitas, belanja, dan olahraga.
Sementara itu, minat dapat diukur melalui indikator yang
berhubungan dengan keluarga, rumah, pekerjaan, komunitas, rekreasi,
fashion, makanan, media, dan achievement. Dimensi terakhir, yaitu opini
19
dapat diukur melalui indikator seperti opini terhadap diri sendiri, isu sosial,
politik, bisnis, ekonomi, pendidikan, produk, masa depan, dan budaya.
Berikut ini tabel yang menjelaskan dimensi gaya hidup yang terdiri dari
Activities (aktivitas), Interest (Minat), dan Opinion (Opini).
Tabel 1.3. Dimensi Gaya Hidup
Aktivitas (Activities) Minat (Interest) Opini (Opinion)
Kerja (Work) Keluarga (Family) Diri Sendiri
(Themselves)
Hobi (Hobbies) Rumah (Home) Isu Sosial
(Social Issues)
Kegiatan Sosial
(Social Events) Pekerjaan (Job) Politik (Politics)
Liburan (Vacation) Komunitas
(Community) Bisnis (Business)
Hiburan
(Entertaintment) Rekreasi (Recreation) Ekonomi (Economics)
Keanggotaan Klub
(Club Membership) Mode (Fashion) Pendidikan (Education)
Komunitas
(Community) Makanan (Food) Produk (Products)
Belanja (Shopping) Media (Media) Masa Depan (Future)
Olahraga (Sport) Penghargaan
(Achievements) Budaya (Culture)
Sumber: Assael (1984)
a. Activities (Aktivitas)
Aktivitas mewakili salah satu bagian perilaku dari gaya hidup,
dimana berkaitan dengan penggunaan waktu yang dimiliki oleh setiap
individu. Aktivitas mengacu pada bagaimana setiap individu
menghabiskan waktu dan uang yang mereka miliki (Ahmad, Omar, &
20
Ramayah, 2011). Aktivitas juga terkait dengan tindakan nyata seperti
pekerjaan atau tindakan yang wajib dilakukan sehari-hari dalam
kehidupan individu, bekerja di rumah, rekreasi, menonton suatu
medium, berbelanja di toko, atau menceritakan kepada orang lain
mengenai suatu pelayanan yang baru (Engel, Blackwell, & Miniard,
1994). Pernyataan mengenai aktivitas dari konsumen dapat diukur
melalui indikator-indikator yang berhubungan dengan pekerjaan, hobi,
kegiatan sosial, liburan, hiburan, keanggotaan klub, komunitas,
belanja, dan olahraga.
b. Interest (Minat)
Minat mengacu pada tingkat kegairahan yang disertai perhatian
khusus maupun terus menerus terhadap suatu objek, peristiwa,
ataupun topik tertentu (Engel, Blackwell, & Miniard, 1994). Minat
merupakan faktor pribadi yang terdapat pada diri individu dalam
mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Pengukuran mengenai
minat bisa didapatkan melalui minat individu terhadap keluarga,
rumah, pekerjaan, komunitas, rekreasi, fashion, makanan, media, dan
achievement.
c. Opinions (Opini)
Opini terkait dengan pendapat dari setiap individu yang berasal
dari pribadi mereka. Opini adalah jawaban lisan ataupun tertulis yang
diberikan seseorang sebagai respon terhadap situasi stimulus, di mana
terdapat semacam pertanyaan untuk diajukan. Opini digunakan untuk
mendeskripsikan penafsiran, harapan, dan evaluasi, seperti
kepercayaan mengenai maksud orang lain, antisipasi sehubungan
dengan peristiwa di masa yang akan datang, dan pertimbangan
konsekuensi yang memberi ganjaran atau menghukum dari jalannya
tindakan alternatif (Engel, Blackwell, & Miniard, 1994). Misalnya,
mengungkapkan kepercayaan mengenai maksud orang lain, antisipasi
21
terhadap peristiwa di masa yang akan datang. Opini sendiri dapat
diukur melalui opini mengenai diri sendiri, isu-isu sosial, politik,
bisnis, ekonomi, pendidikan, produk, masa depan, serta budaya.
F. Kerangka Konsep
1. Audiens Televisi dengan Rentang Umur Remaja dan Role Model
Remaja dikatakan sebagai rentang umur yang rawan karena sedang
mengalami masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa. Masa remaja
adalah saat dimana manusia mencari jati diri. Dalam pencarian jati diri
dibutuhkan suatu role model yang mampu menjadi acuan untuk membentuk
pribadi mereka kedepannya.
Role model dapat diperoleh dari keluarga, teman sepermainan, atau
karakter yang mereka sukai dalam sebuah cerita. Televisi melalui progam
siarannya menghadirkan bermacam-macam cerita dengan berbagai karakter.
Karakter yang disukai kemudian dapat dipilih untuk menjadi role model oleh
remaja.
Salah satu tayangan televisi adalah sinetron. Didalam sinetron karakter
yang dihadirkan biasanya dibagi menjadi 2 yaitu protagonis dan antagonis.
Karakter antagonis tentu saja akan melakukan hal-hal yang bertentangan
dengan nilai dan norma, akan menjadi pilihan yang buruk apabila menjadi
role model. Sedangkan peran protagonis dalam sinetron belum tentu
sepenuhnya baik dan terkadang melakukan hal-hal yang tidak patut ditiru
juga. Alasan tersebut yang menyebabkan audiens perlu berhati-hati dalam
memilih role model mereka berdasarkan karakter fiksi yang dihadirkan
melalui televisi.
Audiens remaja menurut gendernya dapat dibagi menjadi 2 yaitu:
audiens remaja perempuan dan audiens remaja laki-laki. Karena perbedaan
konsumsi media dan pengaruh pergaulan tentu berbeda dalam memaknai
suatu konten media. Hal ini tentu menarik untuk ditelisik bagaimana
22
kemudian gender mempengaruhi bagaimana proses pemaknaan audiens dan
pengaruhnya dalam pemilihan role model.
Sedangkan menurut Santi Indra Astuti dalam Riset Audiens terhadap
Penonton Sinetron Remaja, menemukan hasil bahwa remaja Indonesia
menonton televisi selama 4 sampai 5 jam dalam sehari. Dengan waktu
menonton televisi tersebut, remaja Indonesia dapat dikategorikan sebagai
heavy viewer menurut Teori Kultivasi Gerbner. Bisa kemudian klasifikasi ini
diturunkan menjadi heavy viewer sinetron dan light viewer sinetron dengan
variabel penentu yang berbeda, karena waktu 4 – 5 jam yang dihabiskan oleh
penonton remaja Indonesia belum tentu dihabiskan untuk satu sinetron saja.
2. Sinetron Anak Jalanan dan Wacana Gaya Hidup dalam Sinetron
Pada tanggal 12 Oktober 2015 RCTI menayangkan episode pertama
sinetron Anak Jalanan. Sinetron bergenre drama aksi3 ini menceritakan
tentang kehidupan anak-anak SMA yang tergabung dalam geng motor Anak
Jalanan. Geng motor tersebut diceritakan memiliki misi yang baik seperti
menorong orang lain dan tetap berprestasi dalam bidang akademis.
Kenyataannya sinetron Anak Jalanan telah mendapatkan dua kali
teguran (diakses dari www.kpi.go.id) oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
karena beberapa kontennya melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan
Standar Program Siaran (P3 dan SPS) KPI tahun 2012. Teguran pertama
dilayangkan oleh KPI karena sinetron ini menayangkan adegan perkelahian
antar geng motor, penggunaan kata-kata kasar, dan adegan ciuman di pipi.
Teguran yang kedua dilayangkan karena adegan freestyle motor, kebut-
kebutan, dan perkelahian. Ditambahkan banyak keluhan oleh pihak
organisasi, instansi, dan orang tua penonton sinetron Anak Jalanan. Jenis
pelanggaran dalam kedua teguran tersebut dikategorikan sebagai pelanggaran
atas perlindungan remaja dan penggolongan program siaran.
3 Menurut beberapa situs online seperti www.pusatsinopsis.com, www.portalsinopsis.com,
sinopsis-film-keren.blogspot.co.id, dan beberapa situs lain serupa.
23
Adegan-adegan yang menyebabkan sinetron Anak Jalanan mendapat
teguran oleh KPI mencerminkan gaya hidup Hedonis. Terlihat dari beberapa
karakter di sinetron ini yang suka bersenang-senang, menghabiskan waktu di
jalanan, membeli sepeda motor high-end dengan harga yang mahal, dan ingin
menonjol.
Hal tersebut dapat dilakukan oleh karakter dalam sinetron Anak Jalanan
karena faktor eksternal yang mempengaruhi gaya hidup mereka. Kelompok
referensi mereka adalah kelompok yang memiliki hobi serupa yaitu
mengendarai motor high-end dan kebut-kebutan. Kedua, karena keluarga
mereka kurang memperhatikan karena sibuk bekerja dan mereka berada
dalam kelas sosial yang tinggi.
Di sisi lain ada juga beberapa karakter yang mencerminkan gaya hidup
mandiri, dimana mereka mampu mengandalkan diri sendiri, menggunakan
logika dengan baik, dan disiplin. Seperti beberapa anggota geng Anak Jalanan
yang diperlihatkan pada beberapa episode sinetron. Ini dipengaruhi juga oleh
lingkungan bergaul karakter tersebut dan pendidikan didalam keluarga
ataupun sekolah.
Meskipun menyebabkan kontroversi, sinetron ini terbukti masih dicintai
oleh sejumlah besar masyarakat Indonesia, terutama kalangan remaja.
Buktinya sinetron Anak Jalanan memuncaki rating siaran pada beberapa
periode. Ditakutkan gaya hidup hedonis yang ditampilkan pada sinetron ini
menjadi role model bagi audiens remaja Indonesia.
Untuk lebih fokus dalam penelitian, maka peneliti akan membatasi 4
karakter saja yang akan menjadi fokus dalam menggali data pada audiens.
Empat karakter tersebut adalah Boy, Reva, Alex, dan Adriana. Keempat
karakter tersebut dipilih karena merupakan karakter utama yang terdiri dari 2
karakter perempuan (Reva dan Adriana) serta 2 karakter laki-laki (Boy dan
Alex). Selajutnya peneliti juga akan melihat bagaimana pemaknaan audiens
24
terhadap unsur-unsur aktivitas, minat, dan opini yang terlihat dari keempat
karakter tersebut.
3. Proses Resepsi Sinetron Anak Jalanan oleh Audiens
Resepsi sinetron Anak Jalanan oleh audiens adalah cara audiens
memaknai pesan-pesan yang terdapat dalam sinetron Anak Jalanan yang
ditontonnya. Resepsi sinetron Anak Jalanan oleh audiens dapat diteliti dari
tiga tahapan, yakni:
1. Proses decoding pesan dalam sinetron. Dalam penelitian ini, proses
decoding akan menentukan bagaimana cara informan memahami pesan
yang disampaikan dalam sinetron Anak Jalanan.
2. Penilaian atas sinetron Anak Jalanan. Dalam penelitian ini, tanggapan
informan atas sinetron yang ditonton juga akan berkaitan dengan
bagaimana tanggapan audiens akan wacana gaya hidup yang
ditampilkan oleh karakter dalam sinetron Anak Jalanan.
3. Makna yang diterima oleh informan dalam penelitian ini berkaitan
dengan penilaian atas sinetron yang ditonton. Data dalam bagian ini
kemudian akan dikategorikan sesuai dengan teori resepsi pesan yang
dikemukakan oleh Stuart Hall, yaitu preferred/dominant reading,
negotiated meaning, dan oppositional decoding.
G. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Pada penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif.
Metode penelitian kualitatif menggunakan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Bogdan
dan Taylor, 1975:5). Berdasarkan definisi tersebut, metode penelitian
kualitatif dapat digunakan untuk menelaah dan memahami sikap, pandangan,
perasaan dan perilaku individu atau sekelompok orang.
25
Dalam penelitian ini penulis akan meneliti bagaimana proses paparan
media yang kemudian menimbulkan penciptaan makna pada audiens.
Analisis tersebut bisa dikategorikan sebagai analisis resepsi. Analisis Resepsi
bisa dikatakan sebagai perspektif baru dalam aspek wacana dan sosial dari
teori komunikasi (Jensen, 1999:135).
Selanjutnya Stanley J. Baran mengungkapkan bahwa analisis resepsi
memfokuskan pada proses pemaknaan dan pemahaman yang mendalam atas
teks media, dan bagaimana individu menginterpretasikan isi media (Baran,
2003). Analisis resepsi kemudian menjadi pendekatan tersendiri yang
mencoba mengkaji secara mendalam bagaimana proses-proses aktual melalui
mana wacana media diasimilasikan dengan berbagai wacana dan praktik
kultural audiensnya (Jensen, 1999:137).
Dapat dikatakan bahwa analisis resepsi memandang audiens sebagai
subjek yang aktif. Audiens dipandang sebagai agen kultural (cultural agent)
yang memiliki kuasa tersendiri dalam hal menghasilkan makna dari berbagai
wacana yang ditawarkan media. Makna yang diusung media lalu bisa bersifat
terbuka atau polisemik dan bahkan bisa ditanggapi secara oposisif oleh
khalayak (Fiske, 1987).
Jelas kemudian dalam analisis resepsi melihat audiens dan media
mempunyai keterikatan yang kuat. Stuart Hall (dalam Marris 1996: 474-475)
mengemukakan tiga posisi hipotetis mengenai audiens (yang disebut
“pembaca” oleh Hall) dan kemungkinannya mengadopsi konten media:
a. Dominant / hegemonic reading: pembaca sejalan dengan kode-
kode program (yang didalamnya terkandung nilai-nilai, sikap,
keyakinan dan asumsi) dan secara penuh menerima makna yang
disodorkan dan dikehendaki oleh si pembuat program.
b. Negotiated reading : pembaca dalam batas-batas tertentu sejalan
dengan kode-kode program dan pada dasarnya menerima makna
yang disodorkan oleh si pembuat program namun
26
memodifikasikannya sedemikian rupa sehingga mencerminkan
posisi dan minat-minat pribadinya.
c. Oppositional / counter hegemonic reading: pembaca tidak sejalan
dengan kode-kode program dan menolak makna atau pembacaan
yang disodorkan, dan kemudian menentukan frame alternatif
sendiri di dalam menginterpretasikan pesan atau program.
Peneliti yang menggunakan analisis resepsi diharapkan dapat
mengungkap sesuatu yang tersembunyi di balik penuturan para informan.
Dengan menggunakan analisis resepsi, selain mendapatkan makna atas
pemahaman dan interprestasi teks media, peneliti juga akan mendapatkan
penjelasan-penjelasan mengenai:
a. Alasan mengapa terjadi perbedaan interpretasi dalam diri pembaca.
b. Alasan mengapa para pembaca dapat membaca teks yang sama
secara berbeda.
c. Faktor-faktor kontekstual yang memungkinkan perbedaan
pembacaan.
d. Cara teks-teks kebudayaan dimaknai oleh audiens, dan
pengaruhnya dalam keseharian mereka.
Selanjutnya ada tiga elemen pokok dalam metodologi resepsi yang secara
eksplisit bisa disebut sebagai “the collection, analysis, and interpretation of
reception data“ ( Jensen, 1999: 139) . Ketiga elemen tersebut kemudian dijabarkan
sebagai berikut:
a. Pengumpulkan data dari khalayak.
Data bisa diperoleh melalui wawancara mendalam (baik individual
maupun kelompok). Dalam uraian ini lebih ditekankan perolehan
data melalui wawancara kelompok yang akrab disebut focus group
interview, sebagaimana pernah dilakukan oleh Jensen (1999). Perlu
ditekankan bahwa dalam analisis resepsi, perhatian utama dalam
wawancara mendalam secara kelompok tetap harus berpegang pada
27
“wacana yang berkembang setelah diantarai media di kalangan
pemirsa”, artinya, wawancara berlangsug untuk menggali
bagaimana sebuah isi pesan media tertentu menstimulasi wacana
yang berkembang dalam diri khalayaknya.
b. Analisis hasil atau temuan dari wawancara atau rekaman
proses jalannya focus group discussions (FGD).
Setelah wawancara dan FGD sebagaimana langkah pertama di atas
dilakukan maka, tahap berikutnya peneliti akan mengkaji catatan
wawancara tersebut yang berupa ratusan transkrip wawancara yang
di dalamnya kemudian bisa disarikan berbagai kategori pernyaatan,
pertanyaan, komentar dsb. dari peserta diskusi. Dalam tahap ini
peneliti bisa memanfaatkan metode analisis wacana sebagaimana
lazimnya dipakai dalam studi literer untuk menelaah makna-makna
intersubjektif dan menginterpretasikan makna yang tersirat dibalik
pola ketidaksepakatan pendapat di antara peserta dan sebagainya
yang mungkin muncul dalam diskusi. Dalam tahap ini, peneliti
kemudian tidak sekedar melakukan kodifikasi dari seberapa
pendapat yang sejalan atau yang tidak sejalan melainkan lebih
merekonstruksi proses terjadinya wacana dominan dan sebaliknya,
dilihat dari berbagai latar belakang sosio kultural peserta diskusi.
c. Interpretasi terhadap pengalaman bermedia
Perlu dicatat bahwa dalam tahap ini sebenarnya seorang peneliti
tidak sekedar mencocokkan model pembacaan sebagaimana yang
telah dirumuskan dalam acuan teoritis melainkan justru
mengelaborasikan dengan temuan yang sesungguhnya terjadi di
lapangan sehingga memunculkan model atau pola penerimaan yang
riil dan lahir dari konteks penelitian sesungguhnya.
Hasil dari paparan media, yang dalam penelitian ini melalui media
televisi, dapat diartikan secara berbeda-beda oleh audiens. Hal tersebut terjadi
dipengaruhi oleh beberapa hal seperti kondisi psikologis, tingkat
28
intelektualitas, dan lingkungan sekitar audiens. Penulis berharap mampu
mengupas fenomena tersebut dalam penelitian ini.
2. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan teknik pengumpulan
data wawancara mendalam (depth interview). Menurut (Moleong, 2005 : 186)
wawancara mendalam merupakan proses menggali informasi secara
mendalam, terbuka, dan bebas dengan masalah dan fokus penelitian dan
diarahkan pada pusat penelitian. Dalam hal ini metode wawancara mendalam
yang dilakukan dengan adanya daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan
sebelumnya.
Richard West dan Lynn H. Turner (dalam West 2011:83)
mengungkapkan bahwa metode wawancara mendalam memungkinkan
pewawancara untuk bertanya kepada responden dengan harapan untuk
memperoleh informasi mengenai fenomena yang ingin diteliti. Wawancara
mendalam dibuat semiterstruktur oleh pewawancara. Peneliti yang memilih
wawancara mendalam tertarik terhadap arah yang ingin ditentukan oleh
responden dalam wawancara.
3. Teknik Analisis Data
Menurut Miles dan Huberman (dalam Silalahi 2006:311), terdapat tiga
teknik analisis data kualitatif yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan
kesimpulan. Proses tersebut kemudian dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Reduksi Data
Reduksi data merupakan salah satu dari teknik analisis data
kualitatif. Reduksi data adalah bentuk analisis yang menajamkan,
menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan
mengorganisasi data sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir
29
dapat diambil. Reduksi tidak perlu diartikan sebagai kuantifikasi
data.
b. Penyajian Data
Penyajian data merupakan salah satu dari teknik analisis data
kualitatif. Penyajian data adalah kegiatan ketika sekumpulan
informasi disusun, sehingga memberi kemungkinan akan adanya
penarikan kesimpulan. Bentuk penyajian data kualitatif berupa teks
naratif (berbentuk catatan lapangan), matriks, grafik, jaringan dan
bagan.
c. Penarikan Kesimpulan
Penarikan kesimpulan merupakan salah satu dari teknik analisis
data kualitatif. Penarikan kesimpulan adalah hasil analisis yang
dapat digunakan untuk mengambil tindakan.
Setelah pengumpulan data dengan cara wawancara mendalam, penulis
kemudian membuat catatan tertulis (transkrip) berdasarkan hasil wawancara
tersebut. Transkrip wawancara tersebut akan digunakan untuk menganalisis
bagaimana penciptaan makna yang dilakukan para informan. Setelah
transkrip dikumpulkan, penulis akan melakukan organisir terhadap transkrip
wawancara tersebut agar lebih mudah untuk mendapatkan data yang dicari.
Kemudian penulis akan melakukan analisis pokok dan menarik kesimpulan.
4. Informan Penelitian
Informan penelitian ini adalah penonton sinetron Anak Jalanan yang
berada di golongan usia remaja model Konopka dan Ingersoll (dalam Hurlock
2004). Remaja dalam model ini adalah mereka yang berusia 12-21 tahun.
Selanjutnya Konopka dan Ingersoll membagi masa remaja menjadi 3 kategori
yaitu: masa remaja awal, masa remaja pertengahan, dan masa remaja qakhir.
30
Informan akan diambil dari masa remaja pertengahan (15-18 tahun) dan
masa remaja akhir (19-21 tahun). Rentang usia remaja awal tidak dimasukkan
disini karena sasaran pemirsa sinetron Anak Jalanan berasal dari usia SMA
(16-18 tahun) dan sesudahnya, sedangkan usia remaja awal tidak termasuk
didalamnya.
Kemudian Kedua kategori tersebut akan disilangkan dengan variabel
gender remaja yaitu perempuan dan laki-laki, dan kebiasaan menonton
sinetron Anak Jalanan. Kebiasaan menonton sinetron bisa dibagi menjadi 2
yaitu: heavy viewer sinetron dan light viewer sinetron. Heavy viewer sinetron
adalah mereka yang menonton sinetron secara berkelanjutan dan menonton
setidaknya 80% dari keseluruhan episode. Sedangkan light viewer sinetron
adalah mereka yang menonton sinetron hanya ketika mereka sempat saja.
Maka dari itu akan ada 8 informan dengan spesifikasi sebagai berikut:
Remaja pertengahan, perempuan, heavy viewer sinetron.
Remaja pertengahan, laki-laki, heavy viewer sinetron.
Remaja pertengahan, perempuan, light viewer sinetron.
Remaja pertengahan, laki-laki, light viewer sinetron.
Remaja akhir, perempuan, heavy viewer sinetron.
Remaja akhir, laki-laki, heavy viewer sinetron.
Remaja akhir, perempuan, light viewer sinetron.
Remaja akhir, laki-laki, light viewer sinetron.
5. Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan penulis pada bulan Oktober 2016. Waktu
penelitian menyesuaikan kesibukan para informan dalam proses mendapatkan
data penelitian.