Post on 22-Apr-2018
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Presentasi diri erat kaitannya dengan konstruksi identitas. Seorang manusia
dapat dikatakan melakukan presentasi diri semenjak dirinya dapat berinteraksi dengan
orang lain. Berarti presentasi diri sudah dapat dilakukan sejak masa kanak-kanak.
Namun, konstruksi identitas tidak hanya menyangkut diri saja, melainkan juga harus
melibatkan orang lain. Dalam teori presentasi diri Bauimeister dan Hutton dikenal
adanya penonton atau lawan interaksi. Penonton penting disini karena ketika
membentuk identitas, seseorang juga perlu verifikasi orang lain yang menyatakan
bahwa identitas tersebut benar-benar ada dan diakui di lingkungan sosialnya.
Manusia melakukan konstruksi identitas sejak mereka mampu berinteraksi
dengan orang lain. Ketika manusia mengonstruksi identitas tersebut tentunya
dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal. Gunarsa (200:238) menyebutkan adanya
identitas atau konsep diri primer dan sekunder. Menurutnya konsep diri primer adalah
konsep diri yang terbentuk saat masih anak-anak, sehingga faktor eksternal yang
memengaruhi berasal dari lingkungan terdekat (keluarga). Sedangkan konsep diri
sekunder terbentuk saat remaja sehingga faktor eksternal yang memengaruhi tidak
hanya dari keluarga tetapi juga lingkungan luar keluarga seperti pertemanan,
termasuk juga tren di masyarakat. Hal tersebut membuat konsep dalam diri remaja
atau anak muda lebih rentan berubah-ubah. Didukung pula dengan fakta bahwa kaum
muda merupakan kelompok yang sedang dalam proses pencarian jati diri yang
menyebabkan kepribadiannya belum stabil (Fadhal, 2012).
Mempresentasikan diri merupakan sebuah proses komunikasi. Hal ini dapat
dilihat dari struktur yang membangun, mulai dari komunikator (seseorang yang
2
melakukan presentasi diri), pesan (identitas yang dikonstruksi), dan komunikan
(audiens). Proses komunikasi sendiri dapat dilakukan secara langsung atau face-to-
face (FTF) dan melalui medium tertentu. Sama halnya dengan presentasi diri, yang
dapat dilakukan secara langsung maupun tidak.
Evolusi teknologi informasi dan komunikasi yang terjadi di era modernisasi
berdampak pada banyak aspek kehidupan manusia termasuk pada cara manusia
melakukan presentasi diri. Senada dengan pernyataan Trammell & Kashelashvili
(2005:968), “The evolution of personal publishing offers new tools allowing Internet
users to become content creators”. Semua orang menjadi memiliki kebebasan
„menunjukkan‟ dirinya di hadapan publik melalui internet, khususnya media sosial.
Blog, merupakan salah satu caranya. Jill Walker (2005) dalam Trammel &
Kashelashvili (2005:968), mendefinisikan blog, dilihat dari formatnya, sebagai:
“frequently updated Web sites containing dated entries arranged in reverse
chronological order”. Gillmor (2004:28) menyatakan blog sebagai: “an online
journal comprised of links and postings in reverse chronological order, meaning the
most recent posting appears at the top of the page”.
Sebelum internet lahir dan berpengaruh terhadap aspek-aspek kehidupan
manusia, presentasi diri dilakukan melalui FTF communication and interaction,
dimana audiens lebih dapat dikontrol dibandingkan melalui SNS (Social Network
Site(s)). Krämer & Winter (2008), dalam Ganster (2014:3) mengatakan, “a
fundamental difference between face-to-face (FTF) communication and the SNS
situation arises, because the audience of conformity behavior is largely
undetermined”. Hal tersebut menyebabkan audiens dalam dunia maya bersifat
heterogen.
Kembali kepada pembahasan mengenai blog sebagai salah satu medium
presentasi diri di internet. Selayaknya musik, blog juga terdiri dari berbagai macam
genre, mulai dari personal, diari, hingga yang berisi mengenai analisis atau penilaian
3
terhadap isu-isu publik (Herring, 2004). Dari genre-genre tersebut, akan diketahui
tujuan mengapa blogger membuat konten-konten dalam blognya. Ada yang
menceritakan detail sehari-harinya, ada pula yang berusaha membangun diskusi
publik mengenai komentarnya terhadap sesuatu.
Kehadiran YouTube di tahun 2005 menawarkan cara lain dalam dunia
blogging. Jika sebelumnya bentuk blog hanya berupa tulisan, dalam YouTube,
dikenal adanya video blog atau blog yang berbentuk video.
Sambutan khalayak terhadap YouTube dinilai sangat fantastis. Pada
November tahun 2007, YouTube menjadi „the most popular entertainment website‟
di Britain, mengalahkan BBC website. Dan di awal 2008, YouTube termasuk „top ten
most visited websites‟ secara global. April 2008, lembaga riset pasar internet,
ComScore, melansir bahwa 37% dari seluruh video di internet yang telah ditonton di
United States, berasal dari YouTube, mengalahkan Fox Interactive Media yang hanya
4,2% (Burgess, 2009).
Konten-konten video di YouTube sangat beragam jenisnya. Namun, sebuah
riset yang dilakukan Jean Burgess dan Joshua Green (2007:38), menggolongkannya
ke dalam dua jenis, yakni konten video yang berasal dari pengguna amatir (user-
created content) dan yang berasal dari institusi media tradisional. Dalam riset tersebut
juga ditemukan bahwa user-created content lebih mendominasi dan mayoritasnya
adalah video blog1 (sekitar 40%).
Trend video blogging sampai ke Indonesia dan mendapat sambutan baik. Hal
ini dapat dibuktikan dengan menjamurnya video blogger2 di YouTube yang berasal
1 Vlog (short for ‘video blog’) is an extremely prevalent form of ‘amateur’ video in YouTube. Typically
structured primarily around a monologue delivered directly to camera, characteristically these videos are produced with little more than a webcam and some witty editing. The subject matter ranges from reasoned political debate to impassioned rants about YouTube itself and the mundane details of everyday life. 2 Sebutan bagi pembuat video blog. Biasa disingkat vlogger.
4
dari Indonesia dan menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantarnya.
Vlogging erat kaitannya dengan anak muda. Ketika berbicara mengenai anak muda,
kental dengan perspektif bahwa jiwa anak muda adalah jiwa yang bebas. Dalam dunia
vlogging, mereka bebas mengekspresikan dirinya. Hal ini dipermudah pula dengan
penggunaan internet yang bebas, tidak mengenal batas ruang dan waktu, serta tidak
membutuhkan biaya mahal. Sehingga, tak heran jika generasi muda adalah generasi
yang dekat dengan dunia internet karena kemunculan internet juga berdampingan
dengan lahirnya generasi muda saat ini dengan rentang usia 18-24 tahun (Fadhal,
2012:177).
Sejalan dengan hasil observasi peneliti, yang menemukan fakta bahwa
vlogger yang sedang naik daun adalah anak-anak muda, dengan konten-konten vlog-
nya juga seputar anak muda, seperti percintaan, tutorial fashion dan make up, parodi,
dan lain-lain. Dibuktikan pula dengan Top 10 Indonesian YouTubers menurut The
Jakarta Globe yang kesemuanya adalah anak muda berusia di bawah 30 tahun.
Sejalan pula dengan catatan Media Planning Guide (2011), mengenai pengguna
internet di Indonesia. Sebelum tahun 1998 pengguna internet di Indonesia berjumlah
kurang lebih lima ratus ribu pengguna. Pada 2010 meningkat menjadi kurang lebih 21
juta pengguna. Dari jumlah tersebut, 60,7% penggunanya adalah anak muda.
Contoh vlogger Indonesia yang sedang naik daun adalah perempuan 23 tahun
bernama Natasha Farani, dengan kanal YouTube “NatashaFarani”. Vlogs dalam kanal
tersebut mayoritas membahas tentang fashion wanita, mulai dari tutorial make up,
penggunaan hijab, hingga trend busana masa kini. Dengan dikemas secara apik, mulai
dari pengambilan gambar, tone, ditambah paras cantik vloggernya, sehingga terkesan
tidak membosankan, membuat subscriber3 akun ini mencapai 100,850 dengan total
3 Dalam YouTube istilah ini digunakan untuk menyebut orang yang berlangganan (subscribe) video-
video dalam sebuah akun YouTube yang dikehendaki. Dengan menjadi subscriber, maka ketika akun yang di-subscribe mengunggah video baru, subscriber akan mendapat pemberitahuan melalui email. Untuk menjadi subscriber, hanya perlu memiliki akun YouTube sendiri.
5
view4 21,794,173. Ada juga vlogger asal Malang Bayu Eko Moektito dengan kanal
YouTube “BayuSkak”. Vlogger 21 tahun ini menggunakan bahasa Jawa sebagai ciri
khas vlog komedinya. Kanal ini berhasil mencuri 319,224 subscribers dengan total
view 33,393,264.5
Terlepas dari genre, konten, dan tujuannya, video blog telah menciptakan
sebuah „virtual environment‟, yang dikontrol sendiri oleh vlogger, tanpa memerlukan
tim produksi yang saklek seperti halnya program televisi maupun radio. Hal ini
karena publikasi dan berbagi informasi baik dalam bentuk teks, audio, maupun video
di internet sangatlah mudah, tidak perlu biaya tinggi. Pendeknya, individu dari
kalangan „biasa‟ pun bisa menjadi vlogger. Sherry (1995:26) mengatakan, “When
presenting ourselves via digital environment, individuals are the producer[s],
director[s], and star[s] of the show”.
Penelitian ini menempatkan vlogs sebagai sebuah panggung dimana terjadi
sebuah „pertunjukkan‟ disana. Vlogs dilihat sebagai medium yang memperantarai
individu melakukan self-presentation, mengonstruksi identitas dirinya dan
ditunjukkan kepada audiens dunia maya.
Dikaitkan dengan apa yang dikatakan Bauimeister dan Hutton (1987), bahwa
terdapat dua tipe presentasi diri dilihat dari motif seseorang melakukannya, yakni
pleasing the audience dan self-construction, maka penelitian ini akan membahas
bagaimana anak muda dalam hal ini Bayu dan Natasha, menggunakan vlog dalam
kanal YouTube “BayuSkak” dan “NatashaFarani”, sebagai medium presentasi diri
mereka dilihat dari kedua motif tersebut.
1.2 RUMUSAN MASALAH
4 Istilah ini digunakan untuk menyebut orang yang telah menonton video di sebuah akun YouTube.
5 Semua data subscriber dan views terhitung hingga tanggal 27 Agustus 2015.
6
Rumusan masalah dalam penelitian ini berdasarkan latar belakang di atas
adalah:
- Bagaimana anak muda, dalam hal ini Bayu dan Tasha, mempresentasikan
diri mereka melalui video blognya?
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah:
- Untuk mengetahui bagaimana anak muda, dalam hal ini Bayu dan Tasha,
mempresentasikan diri mereka melalui video blognya.
1.4 MANFAAT PENELITIAN
1.4.1 Manfaat akademis:
Memberikan kontribusi dalam rangka pengembangan Ilmu Komunikasi
khususnya bagi pembahasan mengenai video blog di Indonesia, sebagai medium
presentasi diri dalam kanal YouTube.
1.4.2 Manfaat praktis :
Memberikan penjelasan tentang fenomena video blogging di Indonesia kepada
video blogger dan masyarakat secara luas sehingga fenomena ini dapat disikapi
secara positif.
1.5 KERANGKA PEMIKIRAN
1.5.1 Presentasi Diri
Presentasi diri atau self-presentation sebenarnya merupakan salah satu kajian
dalam bidang ilmu psikologi. Lebih luas lagi, konsep diri yang „menaungi‟ presentasi
diri, termasuk ke dalam fenomena sosial. Secara otomatis, presentasi diri juga
termasuk kajian dalam fenomena sosial. It has social roots (e.g., reflected appraisals,
social comparison), it includes social identities and roles, and it guides our
perception of others and our behavior in social settings (Brown, 2007:2). Presentasi
7
diri, merupakan sesuatu yang telah melekat dalam kehidupan sosial setiap manusia.
Kita kerap kali mencoba membangun strategi-strategi tentang apa yang akan kita
katakan di hadapan publik, misalnya saja saat akan melakukan job interview atau
public speaking. Terkadang bahkan kita melakukannya secara otomatis dan tanpa
terasa, misalnya hal-hal kecil seperti bercermin sebelum keluar ruangan, dan lainnya.
Presentasi diri menyangkut apa yang disebut human behavior atau perilaku
manusia. Menurut Roy F. Baumeister dan Debra G. Hutton (1987:71), presentasi diri
merupakan salah satu perilaku manusia yang berupaya untuk menyampaikan
informasi tentang dirinya kepada orang lain. Mereka menyebutkan terdapat dua tipe
presentasi diri dilihat dari motif individu melakukannya, yaitu audience-pleasing
motive (untuk menyenangkan orang lain) dan self-construction motive (untuk
konstruksi diri).
Dalam melakukan audience-pleasing motive, setiap individu melakukannya
dengan cara yang berbeda-beda. Hal tersebut tergantung dari preferensi diri individu
masing-masing, dari siapa lawannya, dan dari situasi sosial. Ekspresi seseorang
ketika berinteraksi dengan orang tua tentu berbeda dengan ketika mereka berinteraksi
dengan teman sebaya. Situasi sosial juga berpengaruh, ketika seseorang berekspresi
dalam sebuah upacara bersama orang lain, akan berbeda dengan bagaimana dia
berekspresi ketika berada dalam sebuah pesta. Jadi, banyak aspek yang berpengaruh
terhadap bagaimana seseorang melakukan audience-pleasing motive untuk
mempresentasikan dirinya di hadapan orang lain (Baumeister & Hutton, 1987).
Seseorang dapat dikatakan melakukan motif pleasing the audience ketika
orang tersebut mementingkan penerimaan yang baik dan menghindari penolakan dari
audiensnya. Sebisa mungkin dia menciptakan situasi yang diinginkan audiens, karena
tingginya kesadaran publik yang dimiliki (high public self-consciousness).
Seperti kata Leary & Kowalski (1990) dalam Ganster (2014:59), “The goal of
pleasing the audience reflects the desire rewards which the audience controls, similar
8
to the goal of affiliation when it comes to conformity.” Lebih lanjut Deutsch & Gerard
(1955) dalam Ganster (2014:204) menyatakan, “The goal of affiliation is concerned
with the need to control the influencing agents‟ reaction to one‟s own behavior in
terms of gaining social approval or avoiding social rejection.”
Sedangkan self-construction motive, lebih menyangkut pengaturan harga diri
dalam melakukan presentasi diri. Maksudnya adalah, seseorang akan lebih
memerhatikan kestabilan kepribadian yang terbentuk dalam dirinya di hadapan orang
lain. Disini audiens tidak berdampak pada presentasi diri yang dilakukannya. Leary &
Kowalski (1990) dalam Ganster (2014:59) menyebutkan, “The goal of self-
construction contains the maintenance of self-esteem and the development of
identity”. Lebih lanjut lagi Leary (1959) dalam Ganster (2014:59) mengatakan, “It
has been observed that impression management may also become a foreground
agenda in situations that do not require audiences to be influenced.”
Sebagai konsekuensinya, presentasi diri yang berbasis pada motif pleasing the
audience lebih rentan berubah-ubah dibandingkan presentasi diri yang berbasis pada
motif self-construction. Hal ini dikarenakan pada pleasing the audience, self
presenter lebih mementingkan kesenangan audiensnya. Apapun akan dilakukan untuk
dapat diterima di lingkungan sosialnya. Sedangkan pada motif self-construction, self
presenter lebih mementingkan kestabilan kepribadiannya dan kurang memerhatikan
audiens.
Presentasi diri penting dilakukan setiap individu untuk mengarahkan
pandangan orang lain dalam „melihat‟ diri kita melalui cara-cara tertentu. Beberapa
alasan mengapa seseorang melakukan presentasi diri membuatnya penting untuk
dilakukan. Alasan-alasan tersebut adalah; pertama untuk memfasilitasi interaksi
sosial, untuk mendapatkan imbalan sosial atau materi, dan untuk mengonstruksi diri
(Brown, 2007).
9
Memfasilitasi interaksi sosial yang dimaksud disini adalah presentasi diri
dapat membuat interaksi yang seringnya diatur oleh norma-norma kesopanan dan
dipercayai serta dilakukan sebagian besar orang, membuat lebih natural karena setiap
individu akan mepresentasikan dirinya apa adanya.
Presentasi diri mampu membuat seorang individu mendapatkan reward sosial
maupun material. Reward sosial misalnya seperti citra positif di lingkungannya,
sedangkan reward material seperti gaji tinggi karena kemampuannya membawa citra
positif tadi. Meski tidak semua orang mampu mendapatkan reward tersebut paling
tidak presentasi diri mampu menghindarkan individu dari material or social
punishment.
Presentasi diri dilakukan individu dengan tujuan untuk mengonstruksi
identitas mereka di depan orang lain. Rosenberg (1979) mengungkapkan bahwa
konstruksi diri erat kaitannya dengan anak muda. Menurutnya, konstruksi diri lazim
dilakukan anak muda karena masa-masa tersebut merupakan masa-masa dimana
individu mencoba untuk menemukan jati diri mereka. Itu yang menyebabkan
mengapa mayoritas dari mereka suka melakukan hal baru. But other times, self-
construction is undertaken to confirm an already established self-view. Sebagai
contoh, seseorang yang bekerja sebagai dokter, akan memperkuat statusnya tersebut
misalnya dengan hidup sehat, higienis, dan lain sebagainya. Konstruksi diri juga
menjalankan fungsi motivasi. Goffman (1959) dalam Griffith M dan Papacharissi Z.
(2009) mengatakan, “People are expected to be who they claim to be. Setiap individu
mempunyai harapan sendiri akan apa ekspektasi orang lain terhadapnya. Hal tersebut
akan membuat seorang individu termotivasi untuk melakukan sesuatu demi
terciptanya image positif terhadap dirinya di hadapan orang yang dikehendaki.
Dari berbagai teori yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa
presentasi diri dapat dilakukan di lingkungan sosial seperti tempat kerja, sekolah, dan
lain-lain. Namun, semenjak kegemparan internet khususnya media sosial di era
10
informasi seperti sekarang, presentasi diri juga kerap dilakukan individu melalui
media sosial. Seperti penelitian yang dilakukan Eileen Y.L Ong, dkk (2010),
mengenai Personality and Individual Differences untuk mengusut narsisme,
extraversion, dan presentasi diri remaja di Facebook. Hasil penelitian tersebut
mengungkapkan bahwa ketiga poin riset (narsisme, extraversion, dan presentasi diri
remaja) dapat ditemukan di keputusan mereka memasang fotonya sebagai profile
picture.
Self-presentation yang dilakukan melalui media sosial disebut juga sebagai
online self-presentation. Individu melakukan presentasi diri online adalah untuk
membentuk online identity atau identitas online. Dalam „kemegahan‟ internet, tentu
terdapat banyak sekali platform yang dapat dijadikan medium bagi individu
melakukan presentasi diri online.
“In many online environments, people seek to individualize themselves
as different from the other participants. Different kinds of sites and
media provide different cues that can facilitate this.” (Baym,
2010:108)
Misalnya saja dalam media sosial Facebook, seperti contoh riset di atas,
individu dapat membangun identitas diri mereka melalui profile picture, status,
hingga fan page favorit. Dalam game online seperti Dota misalnya, individu akan
berusaha membangun identitas dirinya melalui kostum player, pemilihan senjata, dan
lain-lain. Dalam weblog, individu dapat bermain pemilihan kata ketika memposting
blog untuk mengonstruksi identitas dirinya.
Selain identitas personal, self-presentation juga terkait dengan social identity
atau identitas sosial. “…our identities are entwined with the identities of others”
(Baym, 2010:108). Identitas sosial terbentuk tentunya jika individu berhubungan
dengan individu lain dalam bentuk social groups. Wynn dan Katz (1998) dalam
Woodward (1999), menemukan bahwa dalam homepages sebuah web, identitas
dikonstruksi melalui self-description, implied audiences, dan link kepada websites
11
atau orang dan grup lainnya. Dalam Social Networking Sites (SNS), kebanyakan jika
seseorang ingin menambahkan teman, mereka memerlukan persetujuan dari orang
yang dituju. Banyaknya orang yang memberi persetujuan dapat dijadikan status
marker. Seperti kata Fono dan Raynes-Glodie (2006), seseorang dapat dinilai dari
berapa jumlah teman yang dimiliki. Identitas sosial seorang individu juga dapat
terbentuk melalui apa yang dilontarkan orang lain di media sosialnya, seperti
komentar-komentar, chat, foto, dan lainnya
1.5.2 Presentasi Diri dan Konsep Diri Anak Muda
Ketika melakukan presentasi diri, manusia mengonstruksi identitas di hadapan
orang lain. Gunarsa (2000), menyebutkan identitas tersebut sebagai konsep diri.
Konsep diri tidak sama dengan kepribadian. Jika kepribadian terbentuk berdasarkan
penglihatan orang lain terhadap diri seseorang, maka konsep diri sebaliknya. Konsep
diri terbentuk bedasarkan pandangan dari dalam. Dengan kata lain konsep diri seperti
seseorang melihat ke dalam dirinya sendiri (Gunarsa, 2000:237). Namun baik konsep
diri maupun kepribadian, sama-sama bersifat dinamis atau dapat berubah-ubah.
Selain itu persamaan keduanya adalah sama-sama terbentuk dari tingkahlaku-
tingkahlaku yang mencerminkan keadaan emosi, pemikiran, ide tertentu seseorang.
Terbentuknya konsep diri dimulai ketika seseorang masih anak-anak, ketika ia
mulai mampu berinteraksi dengan orang lain. Konsep diri yang terbentuk saat masa
anak-anak biasanya berbeda dengan konsep diri yang terbentuk saat memasuki masa
remaja. Hal ini dapat terjadi karena saat masa anak-anak, lingkungan yang paling
mempengaruhi adalah lingkungan keluarga (lingkungan terdekatnya), sehingga
konsep diri yang terbentuk tergolong konsep diri primer. Sedangkan ketika masuk
masa remaja, seseorang lebih banyak berinteraksi dengan dunia di luar keluarga, yang
mana itu berpengaruh besar terhadap perubahan konsep diri yang sudah terbentuk
sebelumnya. Konsep diri remaja disebut konsep diri sekunder (Gunarsa, 2000:238).
12
Perubahan konsep diri remaja ternyata dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain faktor lingkungan, reaksi orang lain terhadap dirinya, pujian-pujian, dan
hukuman-hukuman yang diterima. Selain itu jenis kelamin juga berpengaruh.
Dorongan biologis menyebabkan seseorang bertingkah laku, berpikir, dan
berperasaan berbeda antara laki-laki dan perempuan. Harapan-harapan juga menjadi
faktor lain. Stereotip yang beredar di masyarakat dapat menentukan harapan-harapan
orang lain terhadap diri seorang remaja. Misalnya, di masyarakat seorang perempuan
diharapkan tidak bertingkah agresif, maka harapan ini menjadi harapan pula bagi
dirinya sendiri untuk menentukan konsep dirinya bahwa ia sebagai perempuan tidak
pantas bersikap agresif. Suku bangsa, nama, hingga pakaian juga dapat menjadi
faktor pendorong perubahan konsep diri remaja (Gunarsa, 2000).
Identitas menjadi penting karena identitas membantu „mengotak-ngotakkan‟
manusia yang ada di dunia ini. Crispin Thurlow, Laura Lengel, dan Alice Tomic
(2004:96) menyatakan, “Identities help us organize all the different feelings, ideas,
beliefs, attitudes, and values we have”. Anthony Giddens (1991) dalam Thurlow dkk
(2004), mendeskripsikan identitas sebagai „projects of the self‟‟. Hall, dalam
Rutherford (1990:22), mendeskripsikan identitas sebagai berikut:
“Identity is not as transparent or unproblematic as we think. Perhaps
instead of thinking of identity as an already accomplished fact…we
should think instead of identity as a „production‟ which is never
complete, always in process. Identity is a matter of „becoming‟ as well
as of „being‟. It belongs to the future as much as to the past.”
Konsep identitas yang dikemukakan Hall di atas, adalah konsep identitas yang
banyak dipergunakan sekarang. Ia memandang identitas adalah sesuatu yang
kompleks dan fleksibel. Identitas adalah proses yang dikerjakan oleh manusia secara
terus menerus. Sifatnya juga multidimensional. Artinya, identitas dapat berubah-ubah
tergantung situasi dimana individu berada, siapa lawan bicaranya, sedang dalam stase
apakah hidupnya, bagaimana moodnya, dan lain-lain. Hal inilah yang para ahli sebut
sebagai multiple identities. Sedangkan konsep identitas tradisional memandang
13
identitas sebagai sesuatu yang sudah terbentuk secara natural dan sifatnya stabil.
Konsep ini masih belum dapat terhapuskan di pikiran manusia modern. Terbukti
bahwa orang kerap kali memperbincangkan tentang „the real me‟ atau „finding your
true identity‟, dan lain-lain.
Menurut Soekanto (1980), unsur yang memengaruhi pembentukan identitas
tidak hanya karakter bawaan, melainkan juga unsur konteks dan keadaan. Lebih
lanjut ia menyebutkan unsur-unsur tersebut adalah: (1) Sifat atau karakter yang telah
berkembang sejak masa kanak-kanak, (2) Keadaan dan dengan cara bagaimana masa
pencarian identitas tersebut terwujud dalam arti positif, (3) Keadaan serta kebutuhan
dari zaman yang sedang dialami.
Seiring perkembangan teknologi yang terus bergulir ini, identitas tak hanya
dapat dikonstruksi melalui kehidupan nyata saja. David Holmes, membahas
mengenai identitas virtual dalam salah satu jurnalnya. Ia berpendapat bahwa manusia
saat ini banyak menggunakan media sebagai sumber untuk mengonstruksi identitas
mereka. Televisi, film, majalah, radio, musik, dan lainnya, menawarkan jutaan role-
models dan pilihan gaya hidup yang berbeda-beda (Thurlow dkk, 2004:98). Seperti
konsep identitas Hall di atas, identitas terus menerus dikonstruksi dan dipengaruhi
oleh waktu, tempat, kehidupan masyarakat tempat individu berada, dan bagaimana ia
berinteraksi dengan seksama. Hal ini juga berlaku jika individu tersebut ada di dunia
maya atau internet.
Senada dengan apa yang dikatakan Daniel Chandler (1998) dalam Thurlow
dkk (2004:98),
“The internet and, specifically, the web are truly powerful
technologies of self, enabling opportunities for identity construction.
He puts it like this: the „technologies of the self‟ allow us not to think
about our identity and to transform the way we think of ourselves, but
also to change ourselves to who we want to be”.
14
Seseorang bebas mengatur impresi orang lain mengenai dirinya dengan cara
menyaring informasi apa saja yang ingin ia tunjukkan kepada orang lain dan apa saja
yang ingin ia sembunyikan dari orang lain, di internet. Internet menawarkan
„permainan identitas‟ yang berbeda dengan di dunia nyata. Wanita bisa saja berpura-
pura menjadi lelaki, dan sebaliknya.
Chandler memberi contoh identitas online seperti apa yang terdapat di
personal homepage. Identitas seseorang dapat „dibaca‟ melalui personal homepage-
nya. Seperti yang diketahui, dalam personal homepage terdapat banyak sekali fitur.
Seseorang dapat memasukkan foto, video, tulisan, wallpaper, grafik, dan lain-lain.
Itulah yang disebut Chandler sebagai symbolic markers. Seseorang mengatur
sedemikian rupa informasi mengenai dirinya dan kehidupannya untuk ditunjukkan
kepada „dunia luar‟ dalam sebuah personal homepage, yang mana itu secara otomatis
akan mengonstruksi pikiran, perasaan, dan identitasnya.
Seperti yang telah dijelaskan di sub-bab sebelumnya, konsep diri seseorang
dapat berubah ketika ia mulai berinteraksi dengan dunia yang lebih luas. Internet
termasuk dalam dunia tersebut. Di era informasi seperti saat ini, internet seolah-olah
menjadi sumber dari segala informasi. Tak khayal jika manusia modern sulit bisa
lepas dari internet, terutama remaja. Di Indonesia sendiri pengguna internet
meningkat tajam. Berdasarkan catatan Media Planning Guide (2011), sebelum tahun
1998 pengguna internet di Indonesia berjumlah kurang lebih lima ratus ribu
pengguna. Pada 2010 meningkat menjadi kurang lebih 21 juta pengguna. Dari jumlah
tersebut, 60,7% penggunanya adalah anak muda. Itu berarti pengguna internet di
Indonesia didominasi oleh generasi muda.
Penelitian lain dilakukan Lenhart, Purcell, Smith, dan Zickuhr (2010) di
Amerika, menyatakan bahwa lebih dari 70% remaja di Amerika dengan usia di bawah
17 tahun mengakses Social Networking Sites (SNS) di internet (Ong dkk, 2010:181).
Di Singapura, media lokal juga melaporkan bahwa 24% remaja berumur 7-14 tahun
15
mengakses SNS (Ong dkk, 2010:181). Hal itu, menurut Livingstone (2008) dalam
Ong, dkk (2010:181), terjadi karena tipikal remaja adalah orang yang peduli sekali
terhadap penerimaan oleh sesamanya, penampilan fisik, dan impresi yang
disampaikan. SNS menyajikan platform bagi remaja untuk saling berkoneksi dengan
pengawasan yang minim. SNS juga memfasilitasi terjadinya konstruksi identitas pada
remaja. Itulah yang menyebabkan remaja dan anak muda sangat terbuka dengan
kehadiran internet.
1.5.3 Video Blog dan Presentasi Diri Anak Muda
Memahami vlog, dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, mulai dari
kontennya, diskusi publik yang terbentuk, hingga para vloggernya. Vlogger memiliki
visi misi yang berbeda-beda ketika memproduksi konten-konten video di akun
masing-masing. Ada yang berusaha memaknai atau mengomentari sesuatu melalui
video, ada yang berusaha mempublikasikan keseharian mereka, dan lain-lain. Topik
bahasannya pun bermacam jenisnya mulai dari yang ringan seperti percintaan, hingga
yang berat seperti politik dan pemerintah.
Namun tak jarang juga ditemui beberapa vlogger yang seringkali membahas
satu topik yang sama, yang membedakan adalah cara atau ciri khas mereka dalam
ber-vlogging. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari penggunaan bahasanya, cara
berkomunikasi, pengambilan gambar, dan lain-lain. Self-presentation atau presentasi
diri, dapat ditemukan dalam vlog. Karena perbedaan ciri khas tersebutlah, setiap
vlogger memiliki cara-cara tersendiri dalam melakukan presentasi diri melalui
konten-konten video dalam kanal YouTubenya.
Self-presentation memiliki keterkaitan dengan vlog. Senada dengan apa yang
dikatakan Goffman bahwa individu mempresentasikan dirinya berbeda-beda sesuai
situasi sosial ketika mereka melakukannya. Goffman juga mengistilahkan „stage‟ atau
panggung, ketika individu presenting his/herself. Disini, vlog dapat diistilahkan
sebagai stage bagi para vlogger untuk melakukan presentasi diri.
16
“Internet is a new vehicle for very human and basic activities –
communication and expression. With the advancement of “produsage”
media like blogs, individuals are “continually co-creating” their
identities. These activities cannot help but have a profound effect on
our future” (Poster, 2002:481).
Pernyataan Poster tersebut menyatakan bahwa individu akan berusaha
membangun identitas diri mereka melalui internet, salah satunya melalui vlog. Vlog
sebagai medium individu mempresentasikan diri mereka secara online. Presentasi
tersebut terjadi melalui interaksi individu yang didasarkan pada kesan orang lain yang
mereka harapkan.
Sejalan dengan pernyataan McLuhan (1964:9), “The Medium is The
Message”, yang artinya medium adalah pesan. “…because it is the medium that
shapes and controls the scale and form of human association and action”. Medium
tersebut dikatakan pesan karena kemampuannya membentuk himpunan /
perkumpulan / asosiasi manusia. Sebagai contoh adalah televisi. Medium itu sendiri
adalah pesan. Di dalamnya terdapat konten. Konten dibuat untuk dipertontonkan,
berarti ada penonton disana. Kumpulan penonton, pembuatnya, secara otomatis akan
membentuk apa yang disebut asosiasi manusia di atas.
Tak hanya medium nyata saja yang disinggung McLuhan dalam teorinya
tersebut. Bahkan electric light atau lampu listrik dapat digolongkan sebagai medium,
jika memiliki fungsi, misalnya untuk menerangi papan iklan di pinggir jalan. Ia
adalah medium bagi konten iklan tersebut. Otomatis lampu listrik adalah pesan,
karena ia juga dapat membentuk asosiasi manusia yang terpengaruh iklan tersebut,
dengan kata lain kumpulan pembeli jika iklannya adalah produk barang. “…the
content of any medium is always another medium. The content of writing is speech,
just as the written word is the content of print, and print is the content of the
telegraph” (McLuhan, 1964:9). Apa yang menjadi konten bagi sebuah medium, bisa
saja menjadi medium bagi konten yang lain. Lalu apakah konten dari speech atau
17
percakapan? Jawaban Mc Luhan adalah pikiran manusia, “It is an actual process of
thought, which is in itself nonverbal.” (McLuhan, 1964:8).
Kembali lagi ke video blog, ia menjadi sebuah pesan karena ia adalah
medium. Medium bagi video bloggernya, viewersnya, dan respondennya. Ia mampu
membentuk asosiasi manusia seperti yang telah dibahas di atas. Pesan atau konten di
dalamnya beragam dan dapat menjadi medium bagi konten lain. Misalnya jika
terdapat iklan dalam vlog tersebut, maka iklan itu bisa menjadi medium lain. Another
medium with another message. Begitu seterusnya, menurut teori fenomenal
McLuhan.
Sebenarnya, presentasi diri dilakukan tidak hanya untuk membangun atau
mempublikasikan identitas diri vloggernya saja. Sebuah penelitian untuk
menginvestigasi self-presentation dalam 10 personal vlogs, dilakukan Griffith dan
Papacharissi pada tahun 2009. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa para
vloggers mempresentasikan diri mereka dengan cara yang berbeda-beda, termasuk di
antaranya adalah memanfaatkan vlogs sebagai diari seperti refleksi diri, sebagai
medium untuk mengekspresikan identitas, dan memuaskan diri melalui narsisme.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa internet beserta konten-
konten di dalamnya, dalam hal ini yang dimaksud adalah vlog, sangat dekat dengan
kehidupan kaum muda. Hal ini sejalan dengan pernyataan bahwa kehadiran internet
bersamaan dengan lahirnya kaum muda (usia 18-24 tahun) ke dunia. Sehingga tak
heran jika pengguna internet didominasi kaum muda. Selain itu juga masa-masa muda
merupakan masa dimana manusia banyak melakukan hal baru karena proses
pencarian jati dirinya. Dalam kondisi itu pula mereka mulai membangun konsep diri
atau identitasnya melalui self-presentation. Disini vlog dipandang mampu menjadi
sumber sekaligus medium representasi dominan bagi kaum muda (Fadhal, 2012).
Baik di dunia nyata maupun di dunia maya, presentasi diri anak muda juga
banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal seperti faktor lingkungan, reaksi
18
orang lain terhadap dirinya, pujian-pujian, dan hukuman-hukuman yang diterima
(Gunarsa, 2000). Dalam kasus vlog di YouTube, bentuk dari faktor-faktor tersebut
dapat dilihat dari reaksi penonton melalui kolom komentar ataupun fitur seperti like
dan dislike.
Kedekatan vlog dan anak muda dilihat dari kegunaannya sebagai medium
presentasi diri anak muda di dunia maya, berdampak pada konten-konten dalam vlog
yang juga dekat dengan kehidupan anak muda, seperti tentang percintaan, parodi,
komedi, hingga yang bertajuk fashion masa kini. Seperti Top 10 Indonesian
YouTubers versi The Jakarta Globe yang dipilih berdasarkan jumlah subscribers,
kesemuanya adalah kanal YouTube yang dikelola oleh anak muda atau sekelompok
anak muda. Berikut daftarnya:
Tabel 1.1
Top 10 Indonesian YouTubers
No. Nama Kanal YouTube Pemilik Jenis Konten
1. Raditya Dika Raditya Dika Komedi
2. Aron Ashab Aron Ashab Komedi
3. Sacha Stevenson Sacha Stevenson Komedi
4. Skinnyindonesian24 The Lopez Group Komedi
5. NatashaFarani Natasha Farani Tutorial hijab dan make up
6. Eka Gustiwana Eka Gustiwana Musik komedi
7. Malesbanget.com Christian Sugiono Komedi, fakta up to date, dll
8. BayuSkak Bayu Eko Moektito Komedi
9. Cleansound Studio Group of young
Indonesians
Comic video, game
10. Happy Holiday Indonesia Group of young
Indonesians
Komedi, parodi
Sumber: http://jakartaglobe.beritasatu.com/blogs/top-10-indonesian-youtubers/
19
Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa mayoritas konten dalam vlog yang
sedang booming di Indonesia saat ini adalah yang dikemas secara komedi. Meskipun
pembahasannya bisa seputar apapun (tetapi mayoritas adalah seputar kehidupan anak
muda masa kini), namun cara mengemasnya mayoritas dengan komedi.
1.5.4 Mediamorfosis: Dari Blog ke Video Blog
Jika membicarakan kemunculan video blog akan sulit jika tidak
membicarakan „nenek moyang‟nya terlebih dahulu, yaitu blog atau weblog.
Singkatnya, blog dikenal sebagai diari online. “Blogs are forums for our most
impassioned opinions and ideas. They are to the twenty-first century what diaries and
journals were to previous eras” (Kaplan, 2012:4). Blog dapat menjadi personal space
dimana pemikiran seseorang dapat dipublikasikan.
Sebelum internet mengambil peran penting dalam dunia komunikasi
masyarakat, diari hanya dapat ditemukan melalui catatan tertulis dalam bentuk buku
saja. Saat ini, komunikasi tidak lagi mengenal batas ruang dan waktu. Seseorang
dapat mencurahkan segala pemikirannya melalui tulisan, mulai dari yang ringan
hingga berat misalnya konten-konten edukatif, dll, di dunia maya. Tak hanya itu, fitur
yang tidak dapat dinikmati di diari konvensional adalah fitur feedback. Dalam blog,
tersedia wadah untuk memberikan komentar atas tulisan yang sudah diunggah. Hal
tersebut memungkinkan blog menjadi media diskusi bagi penggunanya.
Sebagai media interaktif, blog menyajikan jalur komunikasi antar pengguna
internet. Berikut alur terbukanya komunikasi antar pengguna blog menurut Gilmore:
“Personal blogs also tend to be part of running conversation. One
blogger will point to another‟s posting, perhaps to agree but often to
disagree or note another angle not found in the original piece. Then
the first blogger will respond, and other bloggers may join the fray. As
tools are developed to help people follow those discussion threads
across different sites. The cross-fertilized conversations will spread
20
both in numbers and complexity even more quickly than they do
today.” (Gilmor, 2004:29).
Menurut Gilmore, blog adalah sebuah percakapan, dimana sebuah tulisan
dalam blog bersifat terbuka bagi pengguna internet dan dapat menimbulkan respon
aktif dari blogger lain. Dewdney dan Ride (2006) menegaskan, bahwa partisipan
memberikan respon sesuai proses pemahaman masing-masing. Disini field of
experience dan frame of reference berperan penting dalam menentukan proses
pemaknaan dan pemberian respon.
Perkembangan teknologi dan tentunya tingkat kepuasan manusia yang terus
bertambah, membuat segala sesuatu menjadi berevolusi. Media pun tak luput dari
proses revolusi maupun evolusi yang terjadi pada hampir setiap bagian kehidupan di
alam semesta. Mediamorfosis, merupakan istilah yang dipergunakan untuk
memahami jenis perubahan di bidang media. Istilah ini pertama kali diperkenalkan
oleh Roger Fidler. Mediamorfosis adalah perubahan bentuk media komunikasi,
biasanya disebabkan oleh interaksi kompleks dari kebutuhan-kebutuhan penting,
inovasi sosial dan teknologi (Severin & Tankard, 2008:459).
Perubahan bentuk media juga dapat dilihat dari kemunculan video blog, yang
merupakan bentuk evolusi dari blog. Sebenarnya konsep yang diusung masih sama,
yakni personal diary, namun perbedaannya ada pada bentuk konten yang disajikan.
Blog menyajikan konten berupa tulisan, sedangkan video blog berupa video. Proses
evolusi ini mirip dengan kemunculan internet setelah keberadaan televisi, televisi
setelah keberadaan radio, dan radio setelah keberadaan surat kabar. “Computers and
internet have not eradicated television; television has not made radio extinct; and
radio did not vanquish newspaper” (Griffith & Papacharissi, 2009). Internet pada
akhirnya memiliki sebagian besar fungsi-fungsi televisi, radio, dan surat kabar.
Seperti yang diungkapkan Poster (2002:479), “…even the internet itself is not utterly
new, nor does it “mark the first reshuffling of the basic conditions of cultural
formation…”.
21
Platform yang dapat digunakan para vlogger dalam mengunggah konten video
mereka, tentu bermacam-macam. Sebenarnya ketika seseorang sudah aktif di blog
dengan menggunakan salah satu platform blogging seperti Tumblr, Blogspot,
Wordpress, dll, mereka dapat mengunggah konten video juga disana karena memang
terdapat fitur yang memungkinkan untuk melakukannya. Namun sekarang ada juga
platform lain yang dikhususkan untuk mengunggah video saja, seperti YouTube.
1.5.5 YouTube: Broadcast Yourself
1.5.5.1 Tentang YouTube
YouTube bukan lagi menjadi „barang‟ awam bagi masyarakat, khususnya
masyarakat modern yang mendewakan teknologi. YouTube merupakan sebuah
platform di dunia maya, untuk mendistribusikan konten-konten video secara global
sehingga dapat dinikmati oleh masyarakat di belahan dunia manapun (Burgess &
Green, 2009:6). YouTube allows billions of people to discover, watch and share
originally-created videos. YouTube provides a forum for people to connect, inform,
and inspire others across the globe and acts as a distribution platform for original
content creators and advertisers large and small (dalam
https://www.youtube.com/yt/about/).
Pembuat konten video di YouTube tidak terbatas hanya pada institusi atau
organisasi yang sudah dikenal publik sebelumnya. Orang-orang biasapun dapat
memberikan kontribusinya ke dalam dunia YouTube. Bahkan, tak sedikit produser
konten-konten video luar biasa di YouTube berasal dari kalangan biasa, karena
penggunaan YouTube yang sangat sederhana dimana penggunanya dapat
mengunggah, mempublikasikan, dan video streaming, tanpa memerlukan high level
of technical knowledge.
YouTube diciptakan oleh 3 orang mantan karyawan PayPal (website online
komersial), Chad Hurley, Steve Chen, dan Jawed Karim pada Februari 2005, dan
diluncurkan ke publik pertama kali pada Juni 2005. Sejak awal diluncurkan,
22
YouTube langsung mendapat sambutan baik di masyarakat. Hal ini menurut Gannes,
karena terdapat 4 fitur yang dimiliki YouTube which is belum pernah ditemukan
sebelumnya pada website lain, yakni: video recommendations via „related videos‟
list, an email link to enable video sharing, comments (and other social networking
functionality), and an embeddable video player (Burgess & Green, 2009:2).
Dalam memaknai YouTube, tidak hanya dapat dilihat dari sisi fungsionalnya
saja, tetapi dapat dilihat juga dari sisi YouTube sebagai media company. As a media
company, YouTube is a platform for, and an aggregator of, content, but it is not a
content producer itself (Burgess & Green, 2009:4). Sebagai contoh serupa, iTunes
Store milik Apple Inc, yang meraup keuntungan dari jual beli musik di dalamnya. Ia
tidak memproduksi musik seperti halnya label rekaman. Ia hanya sebagai perantara
produser musik dan pembelinya. Ia membuat informasi mengenai musik menjadi
more searchable, more findable, dan more usable. Begitu pula YouTube, sebagai
media company, bekerja. Its business, rather, is the provision of a convenient and
usable platform for online video sharing: users supply the content, which in turn
brings new participants and audiences.
Kehadiran YouTube membawa pengaruh luar biasa kepada masyarakat,
khususnya masyarakat yang memiliki passion di bidang pembuatan video, mulai dari
film pendek, dokumenter, hingga video blog, tetapi tidak memiliki „lahan‟ untuk
mempublikasikan karyanya. Salah satu vlogger yang meraup rupiah dari
kemampuannya membuat konten vlogs di YouTube adalah BayuSkak. Saat ini,
mahasiswa 22 tahun tersebut telah sering muncul di televisi lokal bahkan beberapa
kali diundang di acara talkshow televisi nasional seperti Hitam Putih di Trans7.
Terbukti bahwa dalam memahami YouTube, tidak hanya dapat dilihat dari
posisinya sebagai salah satu Social Networking Sites (SNS) yang populer, tetapi juga
dapat dilihat dari kemampuannya menjadi ladang mencari uang bagi masyarakat yang
memang mampu memanfaatkannya dengan baik.
23
1.5.5.2 Konten Video di YouTube
Sebagai sebuah platform video raksasa, tentu saja video di dalamnya tidak
hanya diisi oleh vlogs. Berbagai macam jenis konten video tersaji di YouTube.
Namun sebuah riset yang dilakukan Jean Burgess dan Joshua Green (2009), konten
video di YouTube tergolong ke dalam dua jenis, jika dilihat dari pembuat videonya,
yakni video dari pengguna amatir (user-created content) dan video dari institusi
media tradisional (misalnya program televisi yang ditayangkan di YouTube, dll).
Riset mereka juga menemukan kesimpulan bahwa user-created content lebih banyak
diminati (diukur dari kategori most favorite, most viewed, most discussed, dan most
responded6), berikut tabelnya:
Tabel 1.2
Content Type Overall
Number of
Videos
Most
Favorited
Most
Viewed
Most
Discussed
Most
Responded
Total
Traditional 511 717 276 308 1812
User-
created
466 277 751 683 2177
Uncertain 103 86 53 89 331
Totals 1080 1080 1080 1080 4320
Sumber: Burgess & Green (2009:42)
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa tradisional content meskipun
paling banyak ditonton namun jika dibandingkan dengan user-created content,
kurang mampu membentuk diskusi dan respon publik. Sedangkan user-created
6 Kategori video “Most Favorited”: video-video yang cukup popular karena banyak ditambahkan ke
dalam playlist akun YouTube lain. Kategori video “Most Viewed”: video-video yang banyak dilihat, dapat diukur dari jumlah viewernya. Kategori video “Most Discussed”: video-video yang memunculkan banyak komentar dalam kolom komentarnya. Kategori video “Most Responded”: video-video yang memiliki banyak respon dari viewer berupa video respon terhadap video tersebut.
24
content, meskipun kurang banyak ditonton namun diskusi dan respon publik yang
terbentuk dalam kolom komentarnya lebih banyak daripada tradisional content.
Sehingga jika ditotal, user-created content menempati urutan pertama.
Dari 2177 user-created video, 40% adalah vlogs, 15% user-created music
videos (termasuk fanvids dan video musik anime), 13% live material (pertunjukan
musik, sporting footage, dan „slice of life‟ footage), 10% konten informasi
(newscasts, video game reviews, dan interviews), dan 8% scripted materials (sketsa
komedi, animasi, dan machinima).
YouTube, melalui segala kemampuannya, seolah dapat menjadi „ladang‟
rezeki bagi para pembuat video tak terkecuali vloggers. YouTube mudah
dipergunakan, tidak memerlukan biaya tinggi, dan dapat diakses dimanapun, tentunya
dengan gadget yang kompatibel. Hal itu membuat pembuat video amatir dapat
dengan bebas mengunggah konten-konten video mereka untuk dipublikasikan. Jika
video mereka mendapat sambutan baik, jumlah viewers akan bertambah. Viewers
banyak akan mengundang pengiklan untuk memasang iklan dalam video-video
mereka selanjutnya. Senada dengan televisi, konten program televisi yang disukai
masyarakat, dalam hal ini ratingnya tinggi, akan menarik pengiklan secara otomatis.
1.6 KERANGKA KONSEP
Berdasarkan kerangka pemikiran, beberapa konsep penting yang akan
digunakan oleh peneliti akan dibatasi. Konsep presentasi diri, telah menjadi bahan
perdebatan teoritikus sejak lama. Hal tersebut memunculkan berbagai macam definisi
mengenai apa itu presentasi diri. Namun dalam penelitian ini, konsep yang akan
digunakan adalah presentasi diri menurut Roy F. Baumeister dan Debra G. Hutton,
yang mengartikan presentasi diri sebagai salah satu perilaku manusia yang berupaya
untuk menyampaikan informasi tentang dirinya kepada orang lain. Mereka juga
menyebutkan dua tipe presentasi diri dilihat dari motif individu melakukannya, yakni
audience-pleasing motive dan self-construction motive.
25
Untuk konsep video blog, peneliti mengadaptasi dari pengertian blog menurut
Arie Kaplan, yang mengatakan bahwa blog adalah sebuah forum untuk mengutarakan
pendapat dan ide yang berapi-api. Ia menyebut blog adalah diari dan jurnal modern
atau masa kini. Sejalan dengan pendapat Kaplan, konsep video blog dalam penelitian
ini berarti sebuah forum berbentuk video, bertujuan untuk mengutarakan pendapat
dan ide. Bentuk video dipercaya sebagai mediamorfosis dari blog menuju video blog.
Selanjutnya video blog dapat dikatakan sebagai medium presentasi diri,
merujuk pada pendapat Mark Poster, yang mengatakan bahwa internet adalah
„kendaraan‟ baru bagi manusia untuk berkomunikasi dan berekspresi. Menurutnya,
individu akan terus berusaha co-creating identitas mereka melalui internet. Video
blog termasuk satu dari ribuan jenis konten yang ada dalam internet. Sehingga
presentasi diri online individu, salah satunya dapat ditemukan dalam video blog.
Sebenarnya banyak platform di internet yang memungkinkan orang
mengakses video blog, namun penelitian ini hanya akan merujuk pada satu platform
saja yakni YouTube. YouTube dianggap peneliti sebagai platform raksasa yang tidak
lagi asing di telinga orang Indonesia. Penggunaannya yang mudah dan gratis pun
membuat platform ini digemari masyarakat khususnya remaja, dari yang hanya
sekedar menonton video-video di dalamnya, hingga memproduksi konten lalu
dipublikasikan melalui platform tersebut.
Dua dari sekian banyak remaja yang memproduksi video blog dan
mempublikasikan melalui kanal YouTube pribadinya adalah Bayu dan Tasha. Nama
mereka sama-sama melambung berkat statusnya sebagai vlogger YouTube. Konten-
konten videonya yang menarik, membuat jutaan penonton telah „singgah‟ dalam
kanalnya. Hal tersebut lah yang menjadi alasan peneliti memilih kedua orang tersebut
untuk dijadikan subjek penelitian beserta vlogsnya terkait self-presentation dalam
video blog tersebut.
26
Secara operasional, untuk memahami tentang makna video blog sebagai
medium presentasi diri, dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1.3
Self-Presentational Concerns
Motif Poin-poin Penjelasan Unit Analisa
Pleasing the
Audience
Target Values Perhatian self-
presenter kepada
penerimaan sosial
terhadap dirinya
melalui vlognya
(gaining social
approval).
Pengaruh
jumlah like
Pengaruh
jumlah
subscriber
Pengaruh
jumlah
komentar
positif
Public Self-
Consciousness
Kesadaran self-
presenter terhadap
publik yang
menjadi
audiensnya.
Pengaruh
viewers dan
subscribers
bagi self-
presenter
Self-presentational
Preferences
Perhatian self-
presenter terhadap
penolakan sosial
terhadap dirinya
melalui vlognya
(garnering social
disapproval /
rejections).
Pengaruh
jumlah dislike
Pengaruh
jumlah
komentar
negatif
27
Self-
construction
Self Image Identitas atau
konsep diri self-
presenter yang
terbentuk melalui
vlogsnya.
Stabilitas
konstruksi
identitas dalam
vlogsnya.
Sumber: Ganster (2014:86)
1.7 METODOLOGI PENELITIAN
1.7.1 Metode Penelitian
Ditinjau dari sifatnya, penelitian ini bersifat kualitatif. Penelitian kualitatif
menekankan pada makna, penalaran, definisi suatu situasi tertentu (dalam konteks
tertentu), lebih banyak meneliti hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan sehari-
hari. Penelitian kualitatif berangkat dari pendekatan holistik yakni berupa suatu
konsep besar yang diteliti pada objek spesifik dan hasil yang didapatkan akan
dikembalikan pada konsep besar tersebut (Muhadjir, 1998:7). Alasan penggunaan
pendekatan kualitatif pada penelitian ini adalah karena tidak adanya kontrol dan
manipulasi pada variabel penelitian. Selain itu sulit untuk menguantifikasi konsep
presentasi diri manusia. Pendekatan ini diyakini peneliti mampu menyajikan deskripsi
mendalam dan lengkap sehingga informasi yang tersaji nampak hidup sebagaimana
adanya. Penelitian kualitatif juga memiliki kemampuan untuk „berbicara‟ dengan para
pembacanya karena disajikan dengan bahasa biasa, bukan dengan bahasa teknis yang
terkadang sulit dimengerti.
Ditinjau dari metodenya, penelitian ini menggunakan metode deskriptif.
Penelitian deskriptif adalah suatu bentuk penelitian yang ditujukan untuk
mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah maupun
fenomena buatan manusia. Fenomena ini bisa berupa bentuk, aktivitas, karakteristik,
perubahan, hubungan, kesamaan, dan perbedaan antara fenomena satu dengan lainnya
(Sukmadinata, 2006:72). Menurut Jalaludin Rakhmat (1998:37), metode deskriptif
28
merupakan metode yang tidak menjelaskan hubungan antar variabel dan tidak
menguji hipotesis atau prediksi. Metode ini dapat diuraikan sebagai prosedur
pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan subjek
atau objek penelitian dalam masyarakat.
Penelitian deskriptif berusaha untuk mendeskripsikan dan
menginterpretasikan sesuatu, misalnya kondisi atau hubungan, pendapat yang
berkembang, proses yang sedang berlangsung, suatu efek yang terjadi, atau tentang
kecenderungan akan sesuatu. Selain pengumpulan dan penyusunan data, dalam
pelaksanaannya metode ini juga meliputi analisa dan interpretasi tentang arti data
tersebut (Surakhmad, 1982:139).
Furchan (1982:447), mengungkapkan karakteristik mengenai penelitian
deskriptif, yakni: penelitian deskriptif cenderung menggambarkan suatu fenomena
apa adanya dengan cara menelaah secara teratur, mengutamakan obyektivitas, dan
dilakukan secara cermat, tidak ada perlakuan yang diberikan atau dikendalikan, dan
tidak ada uji hipotesis.
1.7.2 Teknik Pengumpulan Data
Untuk teknik pengumpulan datanya, penelitian ini menggunakan teknik
wawancara dengan jenis in-depth interview, untuk mengumpulkan data primer.
Secara sederhana, wawancara dapat didefinisikan sebagai percakapan dengan tujuan
tertentu. Percakapan tersebut dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara
(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee), yang
memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut (Mulyana, 2000:180). Sedangkan
Marshall dan Rossman (2010:82), mengartikan in-depth interview atau wawancara
mendalam sebagai proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan
cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau
orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunaka pedoman (guide)
wawancara. Dibandingkan dengan wawancara lainnya, in-depth interview lebih intens
29
dan durasinya lebih lama, karena peneliti ingin menghasilkan deskripsi yang bersifat
holistik dan komprehensif.
Dalam in-depth interview, pertanyaan yang diajukan bersifak terbuka, artinya
peneliti telah membuat daftar pertanyaan yang telah disesuaikan dengan data atau
informasi yang ingin diperoleh, sebelum melakukan wawancara dengan informan.
Namun hal tersebut tidak menutup kemungkinan peneliti untuk memberikan
pertanyaan spontan namun tetap relevan, agar peneliti bisa mendapatkan pembahasan
tuntas mengenai informasi yang ingin digali, serta untuk menghindari suasana kaku
ketika melakukan in-depth interview.
Dalam teknik pengambilan data in-depth interview dikenal adanya istilah
informan, yaitu seseorang yang diasumsikan memiliki informasi dan dapat memberi
keterangan atau memiliki keterkaitan dengan subjek atau suatu hal tertentu dalam
penelitian. Informan berbeda dengan responden dalam penelitian kuantitatif, dimana
responden diartikan sebagai pemberi respon, tanggapan, atau reaksi. Dalam penelitian
ini pemilihan informan berdasarkan teknik pemilihan informan oleh Spradley,
berdasarkan beberapa persyaratan sebagai berikut (Bungin, 2007:67):
1. Subjek telah cukup lama dan intensif menyatu dengan kegiatan atau
aktivitas yang menjadi informasi serta menghayati keterlibatannya yang
cukup lama dengan kegiatan tersebut.
2. Subjek masih terlibat secara aktif pada lingkungan atau kegiatan yang
menjadi perhatian peneliti.
3. Subjek punya cukup banyak waktu untuk diwawancarai.
4. Subjek yang memberikan informasi tidak cenderung mempersiapkannya
terlebih dahulu.
Informan yang dianggap memenuhi persyaratan di atas dalam penelitian ini
berarti pemilik kanal YouTube BayuSkak (Bayu Eko Moektito) dan NatashaFarani
(Natasha Farani). Sesuai syarat poin pertama, mereka dianggap telah cukup lama dan
30
intensif menyatu dengan kegiatan atau aktivitas vlogging dilihat dari tanggal mereka
membuat kanal tersebut (Bayu tanggal 25 Juli 2010 dan Natasha tanggal 15 Maret
2012), dan cukup menghayati keterlibatannya yang cukup lama dengan kegiatan
tersebut, dilihat dari siklus mengunggah vlogs mereka yang cukup rutin.
Poin kedua, mereka masih terlibat secara aktif dalam kanal masing-masing,
dilihat dari terakhir mereka „mengaktifkan‟ kanal YouTubenya, yakni Bayu 1 minggu
yang lalu dan Natasha 2 minggu yang lalu (dilihat pada tanggal 27 Agustus 2015).
Poin ketiga, mereka punya cukup banyak waktu untuk diinterview dilihat dari
keputusan keduanya untuk membubuhkan kontak email dalam kanal YouTubenya,
yang menurut peneliti, tujuannya adalah jika ada yang ingin berbisnis, beriklan, atau
keperluan lain termasuk membuat janji interview hendaknya menghubungi melalui
email tersebut. Poin terakhir, dapat dilihat dari rencana peneliti untuk tidak
memberikan interview guide dan proposal penelitian kepada subjek, sehingga subjek
tidak dapat mempersiapkan jawaban-jawaban yang akan dilontarkan nanti ketika
interview, sehingga terkesan natural.
Data yang ingin diperoleh melalui wawancara mendalam adalah mengenai
unit-unit analisa yang terdapat pada motif pleasing the audience, seperti yang telah
dijelaskan di atas, yakni (1) Pengaruh jumlah like bagi self-presenter, (2) Pengaruh
jumlah subscriber bagi self-presenter, (3) Pengaruh jumlah komentar positif bagi
self-presenter, (4) Bentuk reaksi self-presenter terhadap komentar-komentar
mengenai vlognya, (5) Pengaruh jumlah dislike bagi self-presenter, (6) Pengaruh
jumlah komentar negatif bagi self-presenter, dan (7) Stabilitas konstruksi identitas
dalam vlognya.
Selain itu, data lain yang ingin diperoleh peneliti melalui teknik wawancara
mendalam adalah mengenai data personal subjek, dalam hal ini Bayu dan Natasha.
Mulai tempat tanggal lahir, riwayat pendidikan, dan lain-lain. Data ini nantinya akan
melengkapi data penelitian mengenai biodata kedua subjek atau informan.
31
Selain wawancara, untuk memperoleh data sekunder, peneliti menggunakan
teknik observasi secara langsung terhadap vlogs yang ada di kanal YouTube yang
menjadi objek penelitian. Observasi dilakukan karena peneliti ingin mengamati
langsung objek, tanpa mediator, sehingga data yang diperoleh nantinya akan lebih
melengkapi data dari teknik yang lain. Penelitian ini tidak hanya megumpulkan fakta
tetapi data juga akan disusun, dijelaskan, kemudian dianalisis.
Data yang ingin diperoleh melalui observasi adalah data-data pendukung yang
terdapat di kanal YouTube kedua informan, termasuk video-video blog di dalamnya.
Data-data ini nantinya akan digunakan peneliti terutama untuk mendukung
pendeskripsian pembentukan self image oleh masing-masing informan melalui
vlogsnya. Juga peneliti akan mengobservasi video-video di awal pembentukan kanal
ini, yakni saat belum banyak menuai respon publik dilihat dari jumlah viewers,
subscribers, likes, dan komentar, dan video-video setelah sudah menuai banyak
respon publik. Hal ini semata-mata untuk mengomparasi apakah terdapat perbedaan
mengenai bagaimana kedua informan melakukan presentasi diri. Data ini juga dapat
digunakan untuk mendukung pendeskripsian stabilitas konstruksi identitas dalam
video-video blog kedua informan.
1.7.3 Subjek Penelitian
Subjek penelitian dalam penelitian ini yang juga disebut sebagai informan
adalah dua orang anak muda, Bayu sebagai pemilik kanal YouTube “BayuSkak” dan
Tasha sebagai pemilik kanal YouTube “NatashaFarani”. Berikut deskripsi singkat
mengenai dua kanal tersebut:
“NatashaFarani” adalah sebuah kanal YouTube yang dikelola oleh seorang
hijaber7 cantik bernama Natasha Farani Attamimi. Wanita yang akrab dipanggil
Tasha ini lahir di Jakarta 23 tahun silam. Namanya telah popular di dunia fashion
7 Kata “hijab” berasal dari bahasa Arab yang artinya penghalang, dan merujuk pada kerudung yang
diwajibkan bagi wanita muslimah. Hijaber(s) berarti adalah wanita yang menggunakan hijab.
32
khususnya fashion hijab, berkat keisengannya mengunggah video tutorial
memakai hijab di akun YouTubenya, pertengahan Maret 2012 lalu. Hingga saat
ini namanya terus melambung. Hal ini dapat dibuktikan dengan keterlibatannya
bermain film “YOUTUBERS” yang perdana ditayangkan di bioskop seluruh
Indonesia tanggal 7 Mei 2015 kemarin. Tertanggal 27 Agustus 2015, subscribers
di kanal YouTubenya mencapai subscribers di kanal YouTubenya mencapai
100,850 dan viewersnya mencapai 21,794,173 dengan total 82 video. Angka yang
fantastis mengingat Tasha baru 3 tahun menggeluti dunia vlogging di YouTube.
Hal tersebut di atas membuatnya termasuk dalam jajaran Top 10 Indonesian
YouTubers versi The Jakarta Globe.
“BayuSkak”, adalah sebuah kanal YouTube yang dikelola oleh beberapa anak
muda asal Malang, Jawa Timur. Salah satu dari mereka adalah Bayu Eko
Moektito yang sekaligus menjadi ikon dari kanal YouTube ini. Dengan berciri
khas penggunaan bahasa jawa di hampir setiap videonya, terhitung sejak 27
Agustus 2015, kanal ini memiliki total 147 video, 319,224 subscribers, dan
33,393,264 viewers. Senada dengan Tasha, kepopuleran Bayu Skak dibuktikan
dengan keikutsertaannya memerankan film “YOUTUBERS” dan juga termasuk
dalam Top 10 Indonesian YouTubers versi The Jakarta Globe. Selain itu, Bayu
juga telah memiliki program acara sendiri di salah satu stasiun TV lokal
Surabaya, JTV.
1.7.4 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data menurut Moloeng (2009:103), adalah proses mengatur
urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian
dasar. Sedangkan Spradley dalam Usman (2008:84), menyebutkan analisis data
merujuk pada pengujian sistematis terhadap sesuatu untuk menentukan bagian-
bagiannya, hubungan antara bagian-bagian tersebut, dan hubungan bagian-bagian itu
dengan keseluruhan.
33
Miles dan Huberman (1992:16) telah memberikan pedoman yang cukup jelas,
bagaimana melakukan analisis data pada penelitian kualitatif. Menurutnya, analisis
data mencakup tiga alur kegiatan, yakni reduksi data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan.
Reduksi data, berarti proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar dari catatan-catatan
lapangan. Reduksi data dilakukan sejak pengumpulan data, dimulai dengan membuat
ringkasan, mengkode, menelusuri tema, membuat gugus-gugus, menulis memo, dan
lainnya, dengan maksud menyisihkan data atau informasi tidak relevan. Dalam
reduksi, analisis dilakukan untuk menajamkan, menggolongkan, mengategorisasikan,
mengarahkan, membuang data tidak perlu, dan mengorganisasikan data sedemikian
rupa sehingga akhirnya data-data dapat diverifikasi.
Penyajian data, adalah kegiatan mendeskripsikan sekumpulan informasi dan
memberikan adanya kemungkinan penarikan kesimpulan serta pengambilan tindakan.
Untuk penelitian kualitatif, data disajikan dalam bentuk teks naratif. Semua informasi
digabungkan dan disusun dalam bentuk yang mudah dipahami.
Penarikan kesimpulan atau verifikasi, adalah kegiatan akhir penelitian
kualitatif. Makna yang dirumuskan peneliti dari data harus diuji kebenaran,
kecocokan, dan kekokohannya. Dalam mencari makna, peneliti harus menggunakan
pendekatan emik, yaitu dari kacamata key informan, bukan penafsiran menurut
pandangan peneliti.