Post on 24-Jan-2021
4 Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI
2.1. Resin Pit and Fissure Sealant
2.1.1. Komposisi
Berbagai macam teknik dan material telah digunakan untuk
mencegah karies pada area rentan pit dan fissure dari gigi posterior,
khususnya pada pasien anak. Salah satunya adalah teknik sealant yang
paling sering dilakukan dengan menggunakan sistem resin yang dapat
diaplikasikan ke permukaan oklusal gigi. Tujuannya adalah agar resin
dapat berpenetrasi dengan mudah pada pit dan fissure dari gigi, lalu
berpolimerisasi, dan menutup area tersebut sehingga mencegah terjadnya
karies yang disebabkan oleh debris dan sisa makanan yang terselip.
Beberapa jenis material digunakan sebagai penyusun Pit dan
Fissure Sealant, salah satunya adalah resin yang meliputi resin yang ber-
filler dan tanpa filler. Sistem resin ini mencakup cyaniacrylate,
polyurethane, dan produk reaksi Bis-GMA (bisphenol-A-Glycidyl-
Methacrylate).
Salah satu jenis resin dimetakrilat yang sering digunakan pada
resin kedokteran gigi adalah Bis-GMA 2,2-bis-(4(2-hydroxy 3-
methacryloxy-propyloxy)-phenyl)-propane yang disintesis dari reaksi
antara bisphenol-A dan glycidyl methacrylate. Bis-GMA memiliki rantai
monomer difungsional panjang dan kuat sehingga menyebabkan polimer
berikatan silang dan memiliki kekentalan tinggi, dan membantu
memperkuat matriks resin.
Biasanya pada resin dengan matrik berbahan Bis-GMA
ditambahkan suatu bahan matriks resin dengan berat molekul yang lebih
rendah yaitu TEGDMA (triethyleneglycol dimethacrylate) untuk
mengurangi viskositasnya. TEGDMA memiliki 2 ikatan ganda yang
reaktif pada kedua ujungnya seperti Bis-GMA. Penggunaan TEGDMA
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
5
membuat resin menjadi lebih fleksibel dan tidak mudah rapuh, serta
meningkatkan kekuatan tepi. Akan tetapi, karena struktur molekul
TEGDMA lebih pendek dari Bis-GMA, penggunaan TEGDMA sebagai
pelarut akan menghasilkan penyusutan/ shrinkage yang besar setelah
polimerisasi.11
Pada tahun 1974, Foster dan Walker memperkenalkan resin bentuk
lainnya yaitu UDMA, Urethane Dimethacrylate. Jenis matriks resin ini
memiliki keuntungan karena viskositasnya yang rendah sehingga
memfasilitasi pemasukkan filler tanpa harus menambahkan monomer
dengan berat molekul rendah untuk mengencerkannya. Kerugian terbesar
dari matriks resin jenis ini adalah sifatnya yang lebih rapuh dan memiliki
pengerutan atau shrinkage yang lebih besar daripada Bis-GMA yang
disebabkan karena panjang molekul yang lebih pendek.
Selain itu, resin juga mengandung aktivator, inhibitor dan
stabilizer. Aktivator digunakan untuk mengawali reaksi dari polimerisasi
terhadap resin pit dan fissure sealant. Untuk Aktivator biasanya pabrik
atau produsen menambahkan Camphorquinone. Inhibitor digunakan untuk
mencegah polimerisasi resin yang terlalu cepat atau yang tidak
dikehendaki. Untuk inhibitor, biasanya digunakan bahan seperti
hydroquinone, 4-methoxyphenol (MEHQ) dan 2,6-di tert-butyl-4-methyl
phenol atau butylated hidroxitoluene (BHD) yang ditambahkan dengan
konsentrasi sekitar 0.1% pada sealant berbahan resin. Penambahan
sejumlah kecil inhibitor, seperti hidroquinone ke monomer dilakukan
untuk meningkatkan usia bahan material. Hidroquinone bereaksi dengan
radikal bebas kemudian menurunkan rasio dari inisiasi sehingga tidak
terjadi inisiasi prematur.
Resin pit & fissure sealant juga mengandung filler walaupun dalam
jumlah yang sangat sedikit yaitu sekitar 7% dari total komponen resin
tersebut. Material filler yang dikandung dari resin biasanya berisi partikel
quartz dan silica, yang ditambahkan pada resin untuk meningkatkan
ketahanan terhadap abrasi dan tekanan, akan tetapi akan sedikit
meningkatkan viskositas dibandingkan resin yang tidak memiliki filler.
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
6
Sifat fisik dari Pit & Fissure sealant lebih mirip dengan resin direk yang
tidak berfiller dari pada komposit resin.12
Keberhasilan dari teknik sealant sangat tergantung pada
tercapainya suatu kondisi adaptasi yang mendalam dan menyeluruh antara
sealant dengan permukaan gigi, oleh karena itu dibutuhkan resin dengan
viskositas yang rendah.
2.1.2. Reaksi Polimerisasi Resin Pit dan Fissure Sealant
Polimerisasi dapat diaktivasi dalam 2 cara, yaitu cahaya dan
aktivator amine. Sistem polimerisasi yang diaktifasi oleh cahaya memiliki
berbagai keuntungan, yaitu cepat terpolimerisasi, memiliki waktu
pengaplikasian yang tidak terbatas (karena material tidak akan mengeras
sebelum sumber cahaya diaplikasikan), dan sedikit menghasilkan hasil
sampingan.
Unit fotoaktivasi yang paling banyak digunakan adalah lampu
Quartz Tungsten Halogen (QTH). Cahaya yang dihasilkan dari QTH
adalah energi infrared yang mungkin diserap oleh komposit dan hasilnya
adalah peningkatan gerakan serta getaran molekul sehingga menghasilkan
panas. Jadi, QTH membutuhkan filter penyerap panas untuk mengurangi
energi infrared dari light curing terhadap gigi karena energi infrared yang
berlebihan dapat menghasilkan panas hingga mencapai kamar pulpa.
Penggunaan satu LCU QTH menghasilkan laju peningkatan suhu yang
lebih tinggi daripada dua unit LED. Selain itu, LED menghasilkan
kekerasan yang lebih rendah dan juga polimerisasi yang tidak sempurna
daripada unit curing lainnya.13
Beberapa contoh jenis resin yang diaktifkan oleh cahaya dan yang
diakselerasi oleh amin organik tercantum pada gambar 1.
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
7
Gambar 1. Resin Pit & Fissure Sealant yang diperdagangkan14
Menurut reaksi kimia yang terjadi, polimerisasi dibagi dalam dua
jenis, yaitu polimerisasi adisi dan polimerisasi kondensasi. Polimerisasi
adisi adalah polimerisasi yang tidak membentuk hasil sampingan,
sedangkan polimerisasi kondensasi adalah polimerisasi yang menghasilkan
suatu hasil sampingan dengan berat molekul rendah seperti air, alkohol.
Material yang dibentuk dengan polimerisasi adisi misalnya
poly(metilmetacrylate) yang digunakan dalam pembuatan gigi tiruan, dan
resin Pit Fissure Sealant. Sedangkan material yang dibentuk dari
mekanisme polimerisasi kondensasi misalnya karet polisulfid atau material
silikon pada impression material.
Dalam polimerisasi terdapat 3 tahap reaksi dalam pembentukan
ikatan rantai polimer. Tahap pertama adalah tahap inisiasi, di mana tahap
ini melibatkan produksi radikal bebas yang akan mendukung rantai
polimer untuk mulai berkembang. Molekul radikal bebas memiliki
hubungan kimia dengan elektron terikat. Pada sistem yang teraktivasi
cahaya, perpecahan camphorquinone akan menghasilkan dua molekul
dengan satu elektron terikat di setiap molekul. Kemudian radikal bebas
yang terbentuk akan memecahkan ikatan ganda dari monomer serta
menghasilkan pergantian dari elektron terikat pada akhir monomer dan
membentuk molekul monomer teraktivasi.
Tahap kedua yaitu tahap propagasi, di mana monomer yang
teraktivasi memecah ikatan ganda dari monomer tambahan yang tersedia
dan menghasilkan adisi yang cepat dari molekul monomer menjadi radikal
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
8
bebas. Tahap propagasi akan berlanjut menjadi pertambahan panjang
rantai.
Tahap selanjutnya adalah terminasi, yang ditandai dengan
pembentukan radikal bebas dan reaksi reaksi menghasilkan pembentukan
cabang ikatan ganda. Proses tersebut dapat dilihat pada gambar berikut 2.
Gambar 2. Reaksi polimerisasi yang terjadi pada sistem resin14
2.1.3. Manipulasi Sealant
Teknik aplikasi pit dan fissure sealant terdiri dari enam tahap dasar
yang harus dilalui, pertama dengan membersihkan dan mengetsa
permukaaan oklusal, kemudian mencuci area yang akan diaplikasikan,
mengeringkannya, penempatan pada area tersebut, mempolimerisasikan
dengan bantuan LCU, dan tahap penyelesaian dengan teknik pemolesan.
Hal yang pertama kali dilakukan adalah tindakan etsa pada daerah
yang akan diaplikasikan Sealant. Etsa secara umum terdiri dari larutan
asam fosforik 37% dalam air. Secara khusus permukaan enamel
dibersihkan dengan pumis sebelum dietsa. Setelah itu, aplikasikan asam
fosfat secara bebas pada area pit dan fissure dari permukaan oklusal
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
9
menggunakan kapas butir kecil dengan pinset. Kemudian tunggu larutan
tersebut hingga menempel pada gigi selama 60 detik sebelum pembilasan
dengan sejumlah air selama 15 detik. Pembilasan penting dilakukan karena
sisa-sisa asam fosforik dapat mempengaruhi pengikatan sealant dengan
enamel.
Kemudian keringkan permukaan yang telah dibilas tadi dengan
pengering udara. Tahap pengeringan ini merupakan tahap yang paling
penting bagi kesuksesan prosedur sealant karena kelembaban dapat
mempengaruhi retensi sealant oleh fissure. Selama tindakan aplikasi
sealant, kelembaban area dikelola dengan menggunakan kapas gulung.
Setelah itu, pit dan fissure sealant diletakkan pada permukaan oklusal
yang telah teretsa dengan menggunakan cannula (ujung suntikan
bengkok).
Setelah sealant tersebut diaplikasikan pada enamel yang teretsa,
dilakukan polimerisasi dengan menggunakan Light Curing Unit dengan
memposisikan ujung plastik pelindung pada sumber cahaya terhadap
permukaan oklusal gigi selama 20 detik.12
2.2. Biokompatibilitas
Banyak bahan resin yang tersedia di pasaran kedokteran gigi masih
memiliki beberapa efek berbahaya bagi tubuh. Untuk itu pemerintah biasanya
melakukan berbagai tes untuk mengetahui kadar racun yang terkandung dalam
suatu bahan yang dimasukkan ke dalam tubuh, baik secara langsung melalui
makanan, maupun secara tidak langsung seperti melalui larutnya suatu bahan
kedokteran gigi yang berasal dari lingkungan kavitas mulut. Pada standard ISO
10993, semua bahan yang akan berkontak dengan jaringan memerlukan data
biokompatibilitas. ISO 10993 membagi kategori biokampatibilitas bahan menurut
tipe dan durasi bahan tersebut berkontak dengan jaringan yang dapat dilihat dari
Gambar 3. 15, 16
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
10
Gambar 3. Matriks uji biokompatibilitas sesuai dengan standard ISO 10993-116
Biokompatibilitas adalah kemampuan suatu bahan untuk tidak
menimbulkan respon biologis yang merugikan jika bahan tersebut diletakkan di
dalam tubuh. Setiap bahan dapat dikategorikan sebagai suatu bahan yang
biokompatibel, tergantung kepada fungsi fisik dan reaksi biologis yang dihasilkan
dari pengaplikasian bahan tersebut. Suatu bahan tidak dapat dilihat secara umum
sebagai bahan yang biokompatibel untuk penggunaan di semua jaringan bagian
tubuh, karena setiap jaringan hidup yang berinteraksi akan memberikan respon
biologis yang berbeda.15
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
11
Biokompatibilitas suatu bahan dapat meliputi derajat sitotoksisitas,
mutagenitas dan potensinya dalam menimbulkan keganasan. Uji biokompatibilitas
dilakukan pada bahan yang akan diletakkan pada tubuh manusia. Reaksi jaringan
tubuh terhadap bahan sangat bervariasi tergantung kepada tipe bahan. Bahan yang
dapat berfungsi saat berkontak dengan cairan biologis atau jaringan hidup dengan
menimbulkan reaksi penolakan yang minimal oleh tubuh disebut bahan yang
biokompatibel.15
Pengujian biokompatibilitas suatu bahan dapat dilakukan secara in vivo
dan in vitro. Pengujian yang dilakukan secara in vitro, yaitu tanpa melibatkan
organ hidup, dilakukan pada sel, enzim, atau sistem biologis yang terisolasi. Uji
bahan secara in vitro sebagian besar dibagi menjadi pengujian untuk mengetahui
sitoksitas dan pertumbuhan sel, mengukur metabolisme dan fungsi sel serta
mengukur efek mutagenitas bahan pada sel.15
Penelitian secara in vitro harus dapat mencerminkan respon secara in vivo
dari sel atau paling tidak hanya terdapat perbedaan kecil yang mungkin ada pada
in vitro dan in vivo.17
Pengukuran toksisitas secara in vitro merupakan suatu
peristiwa yang terjadi dalam lingkup sel. Akan tetapi, pembentukan kembali
reaksi farmakokinetik kompleks yang terjadi secara in vivo sangatlah sulit.
Terdapat berbagai perbedaan yang signifikan dari waktu pemaparan dan
konsentrasi dari agen percobaan, jumlah perbedaan konsentrasi, penetralan dan
ekskresi. Banyak substansi nontoksik in vitro akan menjadi toksik secara in vivo
atau sebaliknya karena telah dipengaruhi oleh berbagai enzim, salah satu
contohnya adalah enzim liver. Untuk itu perlu dilakukan percobaan dan penelitian
bahwa agen yang berpotensial toksik mencapai sel secara in vitro dalam bentuk
yang sama dan waktu yang sama ketika dalam percobaan in vivo. Pembuktian ini
mungkin perlu menggunakan tambahan pengolahan agen dengan purified liver
microsomal enzyme preparation18, 19
hepatosit teraktivasi,20
atau modifikasi
genetik dari sel target. Respon sel terhadap bahan toksik berbeda beda, misalnya
jika secara in vitro berupa perubahan sel yang bertahan hidup atau metabolisme,
secara in vivo (reaksi inflamasi, fibrosis, dan lain - lain), atau respon sistemik
(pyrexia, pelebaran pembuluh darah, dan alergi).
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
12
Saat ini kultur sel telah menjadi salah satu obyek utama dalam berbagai
penelitian tentang kehidupan. Kultur sel adalah sel yang dikondisikan pada suatu
lingkungan buatan yang kondusif untuk pertumbuhannya.21
Berbagai perilaku,
karakteristik, dan bentuk sel dapat diamati pada kultur sel. Oleh karena itu, kultur
sel memiliki kegunaan yang bervariasi, antara lain untuk pengamatan biokimia
sel, uji toksisitas suatu bahan, penelitian kanker, deteksi dan isolasi suatu virus,
serta terapi gen.17, 21
Kultur sel dapat digolongkan menjadi kultur sel primer dan kultur sel
sekunder. Sel primer adalah sel yang diperoleh secara langsung dari pemisahan
jaringan suatu organisme, sedangkan galur sel adalah keturunan sel yang
diperoleh dari kultur sel sekunder dan telah dipisahkan secara enzimatis ataupun
secara mekanis. Kultur primer memiliki tingkat perkembangan yang bervariasi,
sementara kultur sel sekunder memiliki tingkat perkembangan yang biasanya
tinggi. Dari kultur primer yang heterogen dan mengandung banyak sel (seperti
jaringan awal), dapat dilakukan imortalisasi dan kultur sekunder hingga menjadi
galur sel yang lebih memiliki kekhususan sifat serta homogen.22, 23
Beberapa kriteria yang harus diperhatikan dalam pemilihan kultur sel
sekunder, yaitu pertama adalah jaringan asal dari galur sel ini, misalnya dari
jaringan dengan sifat perkembangan sel yang terbatas atau berkelanjutan. Galur
sel yang berkelanjutan memiliki derajat perkembangan lebih cepat dan tingkat
penggandaan yang lebih mudah dengan teknik klon serta akan menghasilkan
jumlah sel berlimpah. Pemilihan galur sel juga dilihat dari berbagai aspek lainnya
misalnya dari sel normal atau yang sudah bertransformasi; spesies sel itu berasal;
karakteristik perkembangan (Siklus perkembangan sel, derajat kepadatan dari
pertumbuhan sel, dll); dan ketersediaan dari sel tersebut.
2.2.1. Respon Jaringan terhadap Monomer Resin
Meskipun beberapa monomer telah dipakai sebagai bahan
penyusun matriks resin, akan tetapi masih banyak efek negatif yang
ditimbulkan akibat terlepasnya komponen penyusun resin tersebut,
misalnya monomer matriks, inhibitor, aktivator, dan lain lain. Komponen
ini dapat terlepas seperti pada penelitian Kostoryz EL, dkk, yang
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
13
membuktikan adanya monomer dental resin yang tidak terpolimerisasi,
dapat keluar ke dalam lingkungan mulut.24
Migrasi atau perpindahan dari
oligomer, monomer, dan prekursor dari polimer sintetis dan molekul
dengan berat rendah dapat menimbulkan reaksi negatif terhadap molekul
penting biologis. Kallus; Mjor (1991) dan Hensten Pettersen; Jacobsen
(1991) juga memberi penjelasan mengenai insiden dari suatu respon alergi
terhadap bahan restorasi resin yang mungkin berhubungan dengan
ketidaklarutan material setelah pemasangan bahan restorasi.25-27
Dari
penelitian tersebut, dapat dilihat bahwa Bis-GMA memiliki tingkat
kelarutan rendah, sedangkan TEGDMA dilepaskan dalam jumlah yang
lebih besar daripada Bis-GMA ke lingkungan kavitas oral hingga hari
pertama karena memiliki berat molekul yang lebih rendah.
Contoh lain dari penyebab toksisitas sel adalah polimerisasi yang
kurang sempurna akibat waktu penyinaran yang tidak sesuai. Hal ini
sejalan dengan penelitian Quinlan, dkk yang menemukan bahwa apoptosis
dapat terjadi pada material yang disinari terlalu lama (40 detik) dan
nekrosis terjadi ketika penyinaran terlalu singkat (4 detik).9, 28
Beberapa kasus dermatitis kontak juga ditemukan pada beberapa
klinisi kedokteran gigi akibat pajanan langsung material restorasi resin.29
Dari beberapa survey yang telah dilaksanakan, banyak kasus penyakit
tersebut pada beberapa dokter gigi dan asistennya.26
Kanerva,dkk (1989)
juga melaporkan tentang adanya dermatitis pada kulit tangan 7 individu di
klinik dermatologis (6 asisten dokter gigi dan 1 dokter gigi).30
Dari
beberapa elemen yang diuji, ternyata terdapat 4 elemen yang menunjukkan
bukti positif, yaitu Bis-GMA dan 3 elemen mengarah ke TEGDMA, yang
telah diketahui sebagai 2 monomer dasar resin yang terkandung dalam
material restorasi kedokteran gigi. Pada jangka waktu 2 tahun kemudian,
dari penelitian pada kelompok yang sama31
terlihat suatu pola tertentu
yang menunjukkan adanya hubungan mengenai timbulnya dermatitis
kontak dengan monomer yang berasal dari bahan adhesif. Tiga tahun
kemudian, kelompok yang sama menunjukkan dermatitis alergi pada ujung
jari 11 orang, dan keseluruhannya adalah orang yang bekerja pada bidang
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
14
kedokteran gigi, dimana 7 orang dari subjek tersebut memiliki paresthesia
pada ujung jari dan memperlihatkan adanya faringitis alergi.32
HEMA
merupakan bahan dasar resin yang paling sering dilaporkan bersifat lebih
sensitif dibandingkan dengan Bis-GMA (bisphenol A diglycidyl
dimethacrylate), karena HEMA merupakan pemicu sensitifitas yang paling
kuat dan bahkan ada yang menyimpulkan dengan adanya sedikit pajanan
dapat menyebabkan sensitifitas. Katsuno,dkk (1995)33
juga melaporkan
adanya pruritis yang kuat, rubefaksi, indurasi, paresthesia persistent, dan
diskolorasi dari ujung jari selama uji laboratorium dari bahan resin yang
mengandung HEMA.
Secara mengejutkan terdapat beberapa data yang berhubungan
dengan respon hipersensitifitas terhadap komponen resin komposit pada
binatang eksperimental. Walle,dkk (1982) menunjukkan bahwa potensi
sensitisasi dari 14 metakrilat pada hamster akan memperlihatkan berbagai
respon positif.34
Clemmensen (1985) juga membuktikan bahwa HEMA,
meskipun memiliki efek toksik yang kecil terhadap hamster pada
pemaparan konsentrasi rendah (1%), akan tetapi efek yang lebih besar
akan terlihat pada binatang yang sama pada konsentrasi pemaparan yang
lebih tinggi (10% dan 25%) dengan respon yang semakin meningkat
setelah ditambahkan cyclophosphamide, sehingga menjadi dugaan bahwa
HEMA juga menstimulasi penghambat dari fungsi sel.35
Bjorkner,dkk
(1984) dan Katsuno,dkk (1995) memperlihatkan bahwa beberapa
metakrilat memiliki dosis dengan jangkauan yang luas termasuk HEMA
yang dapat menginduksi sensitisasi alergi dan hipersensitifitas tipe lambat
dari hamster.36, 37
Forsten (1995) juga melaporkan tentang adanya 30 kasus respon
alergi dari restorasti berbahan resin selama tahun 1993 hingga 1994. Dari
20 kasus, terdapat laporan mengenai dermatitis pada tangan dan jari, 4
kasus gejala alergi pada mata, 8 kasus gatal-gatal yang menyeluruh, dan 8
kasus pasien yang mengalami brokokonstriksi. Hal ini juga berhubungan
dengan penelitian yang dilakukan Jensen,dkk (1991) dan Munksgaard
(1992) yang melaporkan bahwa monomer resin dengan berat molekul
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
15
rendah seperti TEGDMA dapat melewati sarung tangan dalam hitungan
menit, sedangkan bahan penyusun resin lainnya yang memiliki berat
molekul tinggi seperti Bis-GMA dan UDMA memberikan efek yang lebih
lambat.38, 39
Nathanson dan Lockhart (1979) juga melaporkan suatu kasus
respon alergi setelah peletakkan restorasi berbahan resin pada wanita
berumur 30 tahun.40
Tanda-tanda klinis berupa eritema dan vesikulasi akan
muncul beberapa jam setelah pemasangan restorasi dan akan mencapai
nilai maksimum pada 24 hingga 48 jam pertama, bahkan dua hingga tiga
hari setelah penambalan, pasien mengalami perkembangan ruam akut yang
memiliki penampakan seperti cacar. Hal ini memberikan kesimpulan
bahwa pajanan sebelumnya terhadap alergen merupakan faktor yang
terpenting, di mana proses desensitisasi akan menjadi lebih sulit dan
antihistamin menjadi tidak efektif dalam mengurangi reaksi
hipersensitifitas. Laporan lain mengenai kecurigaan material resin sebagai
faktor etiologi dari edema dan vesikulasi dari mukosa mulut dan bibir dari
pasien juga diberikan oleh Niinimaku,dkk (1983).41
Selain itu, pada
penelitian jauh sebelumnya juga telah dilaporkan tentang adanya reaksi
oral lichenoid pada jaringan lunak yang berdekatan dengan restorasi
komposit resin pada manusia.42
Hallstrom (1993) melaporkan adanya
reaksi alergi yang cukup parah (termasuk bronchospasm, urtikaria
keseluruhan pada tubuh, dan ruam wajah, telinga dan bibir) terhadap
pengaplikasian Pit & fissure sealant yang mengandung TEGDMA pada
anak usia 6 tahun.43
Kasus kasus lain yang mempelihatkan adanya respon
alergi akibat pajanan material monomer resin terhadap dari beberapa
pasien juga dilaporkan pada beberapa penelitian seperti oleh
Fisher(1954)44
, Stungis & Fink(1969)45
, Rickles(1972)(46)
, dan Basker,dkk
(1990)(47)
tentang adanya respon seperti ”mulut terbakar”, bronchospasm
yang memiliki kesinambungan antara peletakan material dengan
perkembangan dari vesikel intra oral dan ruam kulit.
Selain itu, dengan pemaparan monomer resin (Bis-GMA,
TEGDMA, dan UDMA) pada waktu 2 minggu dapat mempengaruhi
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
16
sekresi TNF-alpha dari monosit THP-1.48
Schmalz,dkk. memperlihatkan
bahwa mediator inflamasi seperti PGE2, IL-6, dan IL-8 dilepaskan dari sel
pada kultur jaringan oral manusia setelah pajanan dari berbagai dental
material.49
Akan tetapi, monomer sisa tidak menginduksi pelepasan IL-
1Beta dari galur sel HaCaT dan HGF. Penemuan ini belum diobservasi
sebelumnya dan telah diduga bahwa monomer ini tidak dapat menginisiasi
inflamasi dengan melepaskan sitokin dari sel target. Monomer resin
berberat molekul rendah (TEGDMA) tidak dapat memicu pelepasan TNF-
alpha dari monosit THP-1 dengan sendirinya, tetapi dengan menekan
sekresi TNF-alpha yang dipicu oleh LPS (Lipopolisaccharide) seperti
reaksi yang ditimbulkan sel terhadap antigen bakteri. Jadi dapat diberikan
kesimpulan bahwa monomer resin kedokteran gigi bersifat toksik terhadap
HaCaT keratinosit, tetapi tidak dapat menginduksi pelepasan IL-1Beta dari
sel ini secara langsung.48
Pada Pit dan fissure sealant kedokteran gigi, biasanya ditemukan
suatu bahan BPA (Bisphenol-A) karena adanya sintesis dari monomer
matriks seperti monomer dimetakrilat pada komposit dan pit fissure
sealant.50
BPA hadir sebagai hasil samping dari beberapa resin (bisphenol
A diglycidyl dimethacrylate (bis-GMA) atau sebagai produk degradasi
pada produk lainnya (seperti bis-DMA dan bis-GMA).8, 51, 52
Fung EY,dkk
berpendapat bahwa bisphenol-A atau BPA terlepas dari dental sealant.53
BPA diketahui dapat mengikat reseptor estrogen dan menyebabkan
gangguan dalam metabolisme dan kesehatan alat reproduksi.54
2.2.2. HaCaT (Human Keratinocyte Cell Line)
Penggunaan sel HaCaT sebagai sel uji karena telah diketahui
bahwa pola dasar dari pemasukan monomer ke dalam tubuh adalah melalui
kulit, mukosa oral atau mukosa gastrointestinal.55
HaCaT merupakan galur sel yang berasal epitel kulit manusia dan
ditransformasikan dari sel kulit matang, yang mencerminkan kapasitas
diferensiasi dari epidermal utuh. HaCaT ini tergolong immortal (> 140
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
17
pemisahan) serta memiliki fenotip yang ditransformasikan secara in vitro
tetapi tidak tumorogenic.
HaCaT diperoleh dari isolasi kulit manusia melalui eksisi
pembedahan. Isolasi sel dilakukan dengan pemisahan jaringan kulit dari
lemak dan dermis. Berbagai metode untuk memisahkan sel epidermal
manusia secara in vitro telah dilaporkan dalam beberapa tahun, secara
umum menggunakan sel 3T3 (sel fibroblast) yang diradiasi sebagai feeder
layer56
atau kondisi kultur yang dimodifikasi.57-59
Hasil dari kultur
sekunder diberi kode HaCaT untuk menyatakan bahwa sel ini berasal dari
sel keratinosit manusia yang dikembangkan pada kondisi temperatur yang
meningkat serta Ca2+
rendah.60
Galur sel HaCaT yang telah melalui pemisahan 80 kali atau lebih,
memperlihatkan pengaruh yang mirip dari suprabasal keratin sebagai
respon terhadap kekurangan vitamin A pada medium kultur. Hal ini
menggambarkan bahwa sifat galur sel HaCaT mendekati sifat dari
keratinosit normal dan dapat dijadikan model untuk mempelajari
mekanisme dari proses diferensiasi sel epidermal manusia.61
2.2.3. Viabilitas Sel
Viabilitas sel perlu dipertahankan bila sel dipindahkan dari
lingkungan in vivo ke lingkungan in vitro. Viabilitas sel adalah
kemampuan sel untuk dapat bertahan hidup dengan menunjukkan respon
sel secara jangka pendek, misalnya seperti perubahan permeabilitas
membran atau gangguan pada jalur metabolisme tertentu, kemampuan sel
untuk bertahan dari proses apoptosis dan nekrosis yang dipicu oleh
pemaparan suatu agen. Oleh karena itu, penurunan viabilitas sel dapat
menjadi tanda sitotoksisitas suatu bahan.17
Terdapat tiga tipe dari kematian
sel, yang pertama adalah apoptosis, yaitu sel akan mati karena terprogram
dan sesuai waktunya; lalu tipe kedua adalah autofag, yaitu kemampuan sel
untuk bertahan atau mati; dan tipe ketiga adalah Nekrosis, yaitu kematian
sel secara tiba tiba dan tidak sesuai waktunya.
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
18
Tabel 1. Perbedaan Apoptosis dan Nekrosis
Apoptosis Nekrosis
DNA Internucleosomal cleavage(seperti
tangga/efek domino)
Degradasi secara acak
Nukleus Chromatin margination Pyknosis (Penyusutan nukleus)
Mitokondria Dapat terlihat normal/ mungkin
terfragmentasi
Membengkak, Ca2+ Meningkat
Inflamasi Tidak terjadi Terjadi
Pattern Individual sel yang terpengaruh Ganda
Volume Sel Berkurang Bertambah pada awalnya
Cell fragmentation Terjadi (apoptotic bodies) Tidak terjadi (lisis sel terjadi)
Nekrosis dapat disebabkan oleh deplesi energi akut, seperti
iskemia, overaktivasi dari reseptor glutamat, hipoglikemia, trauma,
lingkungan ekstrim (seperti asam, panas atau dingin ekstrim), kerusakan
DNA meluas, atau akumulasi berlebihan dari ROS (reactive oxidative
species). Nekrosis dimulai dari pembengkakan sel, pencernaan kromatin,
disrupsi dari membran plasma, hingga pemecahan organel dan lisis sel.
Pelepasan material intrasel setelah rupturnya membran plasma merupakan
sebab dari inflamasi pada nekrosis. Penyebab nekrosis bermacam-macam,
termasuk pemaparan yang terus menerus dari infeksi, kanker, infark,
racun, dan inflamasi, sedangkan apoptosis diperantarai pelepasan enzim
oleh lisosom yang menyebabkan terjadinya efek domino untuk melakukan
lisis membran sel.62
Toksisitas merupakan peristiwa kompleks secara in vivo di mana
banyak sekali kehancuran sel secara langsung, efek fisiologis, dan juga
efeknya terhadap sel pada tempat lain serta efek sistemiknya. Pada saat ini,
masih sulit untuk melihat efek sistemik dan fisiologis secara in vitro, jadi
setiap pengujian melihat efek toksik dari tahap selular, yaitu sitotoksisitas.
Sitotoksisitas biasa dilihat secara in vitro dengan cytotoxic assay dari
aspek yang mempengaruhi perkembangan sel dan kemampuan untuk
bertahan hidup. Perkembangan sel dapat terlihat dari banyaknya
kemampuan regeneratif dari sel seperti yang terlihat dari tes
perkembangan klonal, perubahan ukuran populasi, atau perubahan massa
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
19
protein (protein total atau DNA) atau aktifitas metabolik (misalnya, DNA,
RNA, atau sintesis protein, reduksi MTT).17
Uji sitotoksisitas juga dapat dilakukan dengan metode scanning
electron microscopy (SEM), enzim assay dan cytokine expression.
Sitotoksisitas umumnya ditandai dengan adanya penurunan proliferasi sel,
viabilitas sel, sintesis asam nukleat atau protein. Salah satu tes
sitoktosisitas yang sering digunakan untuk menguji viabilitas sel adalah 3-
(4,5-dimethylthiazol-2-yl)-2,5-diphenyltetrazolium bromide (MTT)
assay.17, 63
MTT assay pertama kali dikenalkan oleh Mosmann pada tahun
1983. MTT merupakan bahan kimia yang berwarna kuning dan dapat larut
dalam air.64
Struktur kimia MTT dapat dilihat pada gambar 4.
Gambar 4. Struktur MTT.
Prinsip dasar MTT assay adalah mengukur aktivitas selular
berdasarkan aktivitas succinic dehydogenase mitokondria sel untuk
mereduksi garam methylthiazol tetrazolium (MTT). Pada proses
metabolisme yang terlihat dalam gambar 5, sel-sel yang hidup akan
menghasilkan succinic dehydrogenase mitokondria. Succinate-coenzyme Q
reductase (succinate dehydrogenase) merupakan ikatan kompleks enzim
yang mengikat membran mitokondria serta berperan dalam siklus asam
sitrat dan rantai transport elektron pada mitokondria (biasa disebut
Complex II) dan merupakan satu-satunya enzim yang berikatan dengan
membran pada siklus asam sitrat yang ditemukan pada organisme aerob
dan anaerob.65
Enzim ini akan bereaksi dengan MTT dan membentuk
kristal formazan ungu yang jumlahnya sebanding dengan aktivitas sel yang
hidup, dengan reaksi seperti pada gambar 6.
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
20
Gambar 5. Peran Succinic Dehydrogenase pada rantai siklus krebs
Gambar 6. Pembentukan kristal Formazan ungu
Kristal formazan ungu bersifat impermeabel pada membran sel
dan tidak larut dalam air. Oleh karena itu, diperlukan pelarut tambahan
seperti isopropanol, dimethyl sulfoxide (DMSO) atau larutan deterjen
sodium dodecyl sulfate (SDS) yang diencerkan dalam asam hidroklorida
(HCl) untuk melarutkan kristal formazan ungu.66
Penyerapan maksimal
dari kristal formazan tergantung dari pelarut yang digunakan. Reduksi
terjadi ketika enzim reduktase mitokondrianya aktif dan perubahan itu
dapat langsung kita ketahui dari hubungannya dengan jumlah sel yang
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
21
hidup. Ketika jumlah dari formazan yang diproduksi sel dipaparkan
dengan suatu agen kemudian dibandingkan dengan jumlah formazan yang
diproduksi oleh sel kontrol yang tidak terpapar, maka akan dapat kita
ketahui nilai viabilitas sel.17
Nilai absorbansi (OD) dari kristal formazan
yang telah dilarutkan dapat diukur menggunakan Microplate reader (� =
470-655 nm). Selanjutnya, viabilitas dinyatakan dengan membandingkan
nilai absorbansi kelompok perlakuan yang dipaparkan bahan uji dengan
kelompok kontrol (sample tanpa bahan uji) menggunakan rumus dari In
Vitro Technologies sebagai berikut :
Viabilitas Sel = Nilai absorbansi kelompok Perlakuan
(% dari Kontrol) Nilai absorbansi kelompok Kontrol
Jika presentasi viabilitas sel lebih kecil dari 100%, maka material yang
dipaparkan pada sel tersebut dapat dikatakan bersifat toksik.17, 63
2.3. Kelarutan dalam air (Water Solubility)
Keadaan lingkungan kavitas mulut dapat mempengaruhi sifat bahan
restorasi gigi. Terutama keadaan kandungan air yang hadir di saliva, di mana air
yang diserap oleh matriks polimer dapat menyebabkan pelepasan ikatan antara
matriks-filler atau bahkan degradasi hidrolitik dari filler. Air dapat terjebak
selama polimerisasi di dalam mikrogel di antara rantai polimer. Selain itu, air bisa
saja menempel di sekitar rantai ikatan silang atau kemungkinan lain yaitu terjebak
di dalam mikroporus.67
Masuknya air dipengaruhi oleh kepadatan dari rantai
polimer dan potensi ikatan hidrogen dan interaksi polar. Tingkat degradasi
tergantung dari fungsi kompleks dari karakteristik fisik dan kimia dari resin,
filler, dan coupling agent.
Penelitian kelarutan pertama menggunakan air sebagai pelarut oleh
Oysaed,dkk (1988), yang menemukan bahwa degradasi dari komposit resin pada
air memberikan peningkatan formasi dan pelepasan dari formaldehid yang
terdeteksi dengan menggunakan metode HPLC.68
Selain itu jenis monomer
terlarut yang dapat teridentifikasi melalui metode ini adalah komonomer
TEGDMA dan monomer dasar lainnya misalnya Bis-GMA dan UDMA.69, 70
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
22
Komponen lain dari material berbahan resin yang dapat larut, adalah filler,
aktivator, inhibitor polimerisasi, dan berbagai produk degradasi lainnya seperti
formaldehid dan asam metakrilat.
Air merupakan gugus polar karena oksigen dari air memiliki sifat
menarik elektron. Unsur Hidrogen tersier pada air dapat menjadi permulaan
degradasi, sedangkan unsur oksigen dapat meningkatkan degradasi matriks resin.
Matriks dari resin bersifat hidrofilik (memiliki afinitas tinggi terhadap gugus
H2O), dan tidak bereaksi terhadap substansi lain selain air. Pada proses kelarutan,
monomer yang tidak terikat dan atau bahan tambahan lainnya akan dilarutkan
oleh pelarut atau melalui mekanisme degradasi polimer selama jam pertama
setelah polimerisasi dimulai. Jumlah kelarutan jangka pendek dari monomer bebas
sangat ditentukan pada saat terjadinya polimerisasi yaitu pada saat proses
perubahan monomer menjadi rantai polimer. Air dan pelarut lain masuk ke dalam
polimer dan menyebabkan pelepasan dari produk biodegradasi yang dinamakan
oligomer dan monomer. Bentuk dari erosi ini menyebabkan berkurangnya berat
dari polimer. Pelunakkan matriks juga mempermudah pelarut untuk masuk dan
memperluas jaringan polimer, sehingga memfasilitasi difusi jangka panjang dari
monomer tak terikat.71-73
Derajat dalam polimerisasi sangat mempengaruhi degradasi dari material
matriks dari resin. Peningkatan derajat penyinaran (intensitas dan waktu
penyinaran) dapat mempengaruhi tingkat degradasi pada permukaan filler dengan
meningkatkan kepadatan ikatan silang matriks resin. Peningkatan derajat ikatan
silang matriks resin dapat menyebabkan penurunan tingkat difusi dari material
matriks sehingga memperlambat kecepatan reaksi pada permukaan filler dan
memproduksi silane-resin yang lebih efisien karena terbentuknya ikatan filler-
resin yang lebih baik.74
Ketika komponen keluar ke lingkungan cair, molekul cairan berdifusi ke
dalam resin. Selama proses ini, matriks menahan molekul cairan pada jaring
ikatan resin. Karena molekul cairan memiliki ukuran tertentu, maka ia akan
membentuk suatu jarak antara rantai polimer. Peningkatan jarak antar rantai
polimer menghasilkan interaksi polar yang lebih lemah di antara rantai terpisah,
yang menghasilkan matriks lebih lunak. Ada teori lain yang menjelaskan tentang
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
23
adanya interaksi antara filler dan matriks yang menjadi jalur penetrasi air. Air
memiliki pengaruh dalam melunakkan resin dengan masuk ke matriks, kemudian
memicu keluarnya monomer yang tidak terikat dan degradasi dari filler serta
substansi lain.
Ada beberapa teori berpendapat bahwa reaksi kimia lebih berpengaruh
pada matriks dibandingkan pada partikel filler, karena partikel filler tidak
mendominasi proses tersebut. Mekanisme lain yang memungkinkan untuk
menyebabkan terjadinya degradasi adalah reaksi kimia hidrolisis dan pemecahan
enzymatic dari polimer.75
Degradasi menurut Gopferich, adalah proses pemutusan
rantai pada saat rantai polimer terpecah untuk membentuk oligomer hingga
monomer pada akhirnya. Gopferich menjelaskan bahwa intrusi air menuju rantai
polimer akan mengaktifkan degradasi kimia polimer, yang menghasilkan
oligomer dan monomer.76
Terdapat 2 mekanisme dasar dari degradasi polimer;
secara pasif melalui mekanisme hidrolisis, atau secara aktif dengan mekanisme
reaksi enzimatik.77
Mekanisme degradasi hidrolitik dapat dijelaskan dengan reaksi
otokatalisis dari air terdestilasi. Karena sifat polar dari air dan adanya peranan
silikon dari material, atom oksigen dari air berikatan dengan atom silikon.
Menurut teori reaksi autokatalisis dari air terdestilasi, reaksi pada ikatan siloxane
oleh ion hydroxyl menyebabkan degradasi hidrolitik dari permukaan filler dengan
air. Selain itu, kelarutan dalam air juga dapat dijelaskan dengan teori degradasi
fisik, yaitu pelarut masuk ke dalam matriks dan memperbesar jarak antara rantai
polimer, sehingga substansi yang dapat larut seperti monomer tidak bereaksi dapat
berdifusi.75
Jaringan polimer terdegradasi sehingga menghasilkan molekul kecil
melalui oksidasi, reaksi dengan kelompok fungsional, dan pemutusan rantai.
Beberapa penelitian menunjukkan metakrilat dapat mengalami reaksi degradasi
sehingga menghasilkan formaldehid melalui oksidasi, serta asam metakrilat dan
molekul lain, di mana rantai dialkohol terlepas setelah pemecahan asam
metrakrilat dari Bis-GMA melalui hidrolisis dan esterifikasi.73
Berbagai macam reaksi esterase telah diteliti dapat terjadi pada saliva
yang menyebabkan esterifikasi dari metakrilat. Bentuk dari pengaruh enzimatis
terhadap degradasi misalnya interaksi antara monomer resin dengan esterase yang
dihasilkan oleh saliva manusia dan pseudocholinesterase yang terjadi pada kavitas
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
24
oral yang berkontribusi terhadap degradasi resin. Selain itu, degradasi enzimatik
dapat disebabkan juga oleh tingkat polimerisasi resin, karena kelompok ester
mungkin lebih mudah bereaksi ketika jaringan ikatan silang yang longgar. Selain
itu, komposisi monomer penyusun jaringan merupakan hal yang paling
menentukan tingkat degradasi, khususnya ketika enzim ikut berperan, misalnya
TEGDMA lebih mudah mengalami hidrolisis enzimatik dibandingkan Bis-GMA
karena rantai yang dimiliki TEGDMA lebih pendek dari Bis-GMA.78
Terdapat beberapa faktor penting lainnya yang mempengaruhi degradasi
polimer: tipe ikatan kimia antara polimer, pH dari medium perendaman,
komposisi kopolimer dan jumlah air yang masuk.76, 79
Kelarutan air berhubungan
dengan penyerapan air itu sendiri, misalnya karena material tersebut memiliki
komponen yang memiliki kelarutan tinggi sehingga larut dengan laju yang cepat
dan meninggalkan celah yang memudahkan cairan dari lingkungan sekitarnya
dapat masuk ke dalamnya.80
Penyerapan dan kelarutan cairan ke dalam resin memiliki keuntungan
dan konsekuensi yang merusak. Perubahan dimensi yang disebabkan oleh
penyerapan air dapat mengkompensasi kontraksi polimerisasi yang dini. Ekspansi
higroskopik dapat menurunkan pengerutan akibat polimerisasi.81
Akan tetapi
banyak kerugian yang diberikan karena penyerapan air ini. Misalnya saja
peregangan antar rantai matriks dapat memperlemah ikatan antar monomer, serta
air yang masuk dapat menjebak monomer yang tidak bereaksi dan melarutkannya
ke lingkungan cair.
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
25
2.4. Kerangka Teori
Biokompatibilitas
Paparan komponen yang terlepas terhadap sel
Sebagian komponen resin terlepas ke lingkungan perendam
Kelarutan dalam air
Jarak antar atom atom resin meregang
Perendaman Resin
Di dalam DMEM
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia