Post on 23-Nov-2020
7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Apotek
2.1.1 Definisi Apotek
Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan
praktek kefarmasian oleh apoteker (Kemenkes, 2017). Pekerjaan
kefarmasian meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan
farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan, dan pendistribusi.
Apotek berlokasi pada daerah yang mudah dikenali, mudah diakses oleh
masyarakat kemudian di halaman terdapat papan petunjuk dengan jelas
tertulis kata apotek (Peraturan Pemerintah, 2009).
2.1.2 Tugas dan Fungsi Apotek
Tugas dan Fungsi Apotek adalah sebagai berikut (Peraturan Pemerintah,
2009):
1. Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah
mengucapkan sumpah jabatan apoteker.
2. Sarana yang digunakan untuk melakukan praktek kefarmasian.
3. Sarana pembuatan, pengendalian mutu sediaan farmasi,
pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau
penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep
dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan
obat dan obat tradisional.
8
2.2 Apoteker
2.2.1 Definisi Apoteker
Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker
dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker (Kemenkes, 2017).
Apoteker yang baru menyelesaikan pendidikan profesi apoteker
dapat memperoleh Surat tanda registrasi apoteker (STRA) secara
langsung setelah memperoleh sertifikat kompetensi profesi 2 (dua)
minggu sebelum pelantikan dan pengucapan sumpah. Surat tanda
registrasi apoteker dikeluarkan oleh menteri kesehatan. Surat tanda
registrasi apoteker (STRA) berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat
diregistrasi ulang selama memenuhi persyaratan. Setiap tenaga
kefarmasian yang akan menjalankan praktik kefarmasian wajib memiliki
surat izin sesuai tempat tenaga kefarmasian bekerja (Kemenkes, 2011).
Surat izin apotek (SIA) dan surat izin praktik apoteker (SIPA) wajib
memiliki izin dari menteri. Menteri melimpahkan kewenangan pemberian
izin kepada pemerintah daerah Kabupaten/Kota. Masa berlaku SIA
mengikuti masa berlaku SIPA (Kemenkes, 2017).
2.2.2 Kewenangan Apoteker
Apoteker memiliki beberapa kewenangan, yaitu (Peraturan Pemerintah,
2009):
1. Apoteker berhak melakukan pekerjaan kefarmasian
2. Apoteker berhak untuk meracik obat
3. Apoteker berhak mengganti obat merek dagang dengan obat generik
yang sama komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas
persetujuan dokter dan/atau pasien
9
4. Apoteker dapat mengangkat apoteker pedamping yang memiliki SIPA
5. Apoteker dapat mendirikan apotek setelah mendapatkan surat izin
apotek dari menteri bagian kesehatan
6. Apoteker berhak menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika
kepada masyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Apoteker juga memiliki tanggung jawab lain dalam swamedikasi.
Menurut pernyataan yang dikeluarkan oleh IPF (International
Pharmaceutical Federation) dan WMI (World Self-Medication Industry)
tentang swamedikasi yang bertanggung jawab (Responsible Self-
Medication), yaitu apoteker memiliki tanggung jawab profesional untuk
memberikan nasehat dan informasi yang benar, cukup dan objektif
tentang swamedikasi dan semua produk yang tersedia untuk
swamedikasi. Apoteker merekomendasikan kepada pasien agar segera
mencari nasehat medis yang diperlukan, apabila dipertimbangkan
swamedikasi tidak mencukupi. Apoteker juga memberikan laporan
kepada lembaga pemerintah yang berwenang, dan untuk
menginformasikan kepada produsen obat yang bersangkutan, mengenai
efek tak dikehendaki yang terjadi pada pasien yang menggunakan obat
tersebut dalam swamedikasi. Selain itu apoteker memiliki tanggung jawab
profesional untuk mendorong anggota masyarakat agar memperlakukan
obat sebagai produk khusus yang harus dipergunakan dan disimpan
secara hati-hati, dan tidak boleh dipergunakan tanpa indikasi yang jelas
(Depkes RI, 2007).
10
2.2.3 Kewajiban Apoteker
Kewajiban seorang apoteker dalam melaksanakan pekerjaan
kefarmasian harus dapat memahami dan menyadari apabila terjadi
kesalahan pengobatan pada pasien saat proses melakukan pelayanan
kefarmasian, mengidentifikasi, mencegah, mengatasi masalah terkait
obat, melakukan monitoring, dan melakukan evaluasi, serta
mendokumentasikan kegiatan tersebut. Selain itu apoteker juga dituntut
untuk dapat berkomunikasi dengan pasien maupun dengan tenaga
kesehatan lainnya dalam menetapkan terapi yang tepat untuk mendukung
penggunaan obat yang rasional dan meningkatkan kualitas kesehatan
hidup pasien. Untuk melaksanakan semua kegiatan itu maka diperlukan
standar pelayanan kefarmasian yang telah diatur oleh pemerintah
(Kemenkes, 2014).
2.2.4 Peran Apoteker dalam Swamedikasi
Apoteker memiliki peran yang sangat penting dalam memberikan
bantuan, nasehat dan petunjuk kepada masyarakat yang ingin melakukan
swamedikasi, agar dapat melakukannya secara bertanggung jawab.
Apoteker harus dapat menekankan kepada pasien, bahwa walaupun
dapat diperoleh tanpa resep dokter, namun penggunaan obat bebas dan
obat bebas terbatas tetap dapat menimbulkan bahaya dan efek samping
yang tidak dikehendaki jika dipergunakan secara tidak semestinya.
Apoteker memiliki dua peran yang sangat penting, yaitu menyediakan
produk obat yang sudah terbukti keamanan, khasiat dan kualitasnya serta
memberikan informasi yang dibutuhkan atau melakukan konseling
11
kepada pasien (dan keluarganya) agar obat digunakan secara aman,
tepat dan rasional (Depkes RI, 2007).
2.3 Pelayanan Kefarmasian
2.3.1 Definisi Pelayanan Kefarmasian
Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan
bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan
farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan
mutu kehidupan pasien. Pelayanan kefarmasian mengalami perubahan
yang semula hanya berorientasi pada pengelolahan obat (drug oriented),
sekarang juga berorientasi pada pasien (patient oriented). Perubahan
paradigma ini dikenal dengan Pharmaceutical Care (Kemenkes, 2014).
2.3.2 Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
Standar pelayanan kefarmasian digunakan sebagai pedoman untuk
tenaga kefarmasian dalam melakukan pelayanan kefarmasian. Peraturan
standar pelayanan kefarmasian ini bertujuan untuk meningkatkan mutu
pelayanan kefarmasian, menjamin kepastian hukum bagi tenaga
kefarmasian dan melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan
obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient
safety) (Kemenkes, 2014).
12
2.4 Pelayanan di Apotek
2.4.1 Pelayanan Swamedikasi
Pelayanan obat non resep atau yang dikenal dengan istilah
swamedikasi merupakan pengobatan yang dilakukan pasien sendiri tanpa
berkonsultasi dengan dokter, penggunaan obat-obatan tanpa resep
dokter. Swamedikasi bertujuan untuk meningkatkan kemampuan
masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatannya sendiri secara
tepat, aman, dan rasional (Depkes RI, 2007).
Swamedikasi biasanya dilakukan untuk mengatasi keluhan-keluhan
dan penyakit ringan yang banyak dialami masyarakat, misalnya demam,
nyeri, pusing, batuk, influenza, sakit maag, kecacingan, diare, penyakit
kulit dan lain-lain. Swamedikasi menjadi alternatif yang diambil
masyarakat untuk meningkatkan keterjangkauan pengobatan. Melakukan
swamedikasi dapat menjadi salah satu sumber terjadinya kesalahan
pengobatan (medication error) karena keterbatasan pengetahuan
masyarakat akan obat dan penggunaannya (Depkes RI, 2007).
Peningkatan kesadaran untuk pengobatan sendiri (swamedikasi)
diakibatkan oleh beberapa faktor, yaitu sebagai berikut (Ferry, 2014):
1. Faktor sosial ekonomi
Dengan meningkatkan pemberdayaan masyarakat, berakibat pada
semakin tinggi tingkat pendidikan dan semakin mudah akses untuk
mendapatkan informasi. Ketertarikan individual terhadap masalah
kesehatan dapat dikombinasikan dengan meningkatnya pastisipasi
langsung dari individu terhadap pengambilan keputusan dalam
masalah kesehatan.
13
2. Gaya hidup
Kesadaran mengenai adanya gaya hidup yang dapat berakibat pada
kesehatan, membuat semakin banyak orang yang lebih peduli untuk
menjaga kesehatan dari pada harus mengobati.
3. Kemudahan memperoleh produk obat
Saat ini, pasien lebih memilih kenyamanan membeli obat yang bisa
diperoleh dimana saja dibandingkan harus menunggu lama dirumah
sakit atau klinik.
4. Faktor kesehatan lingkungan
Dengan adanya praktik sanitasi yang baik, pemilihan nutrisi yang
tepat serta lingkungan perumahan yang sehat mampu meningkatkan
kemampuan masyarakat untuk menjaga dan mempertahankan
kesehatan serta mencegah terkena penyakit.
5. Ketersediaan kesehatan lingkungan
Saat ini, semakin banyak tersedia produk obat baru yang lebih sesuai
untuk swamedikasi. Selain itu, ada juga beberapa produk obat yang
telah dikenal sejak lama serta mempunyai indeks keamanan yang
baik dan dimasukkan ke dalam katagori obat bebas, sehingga
membuat pilihan produk obat untuk swamedikasi semakin banyak
2.4.2 Keuntungan dan Kerugian Swamedikasi
Melakukan swamedikasi memiliki beberapa keuntungan dan
kerugian. Keuntungan dari swamedikasi adalah efektif untuk
menghilangkan keluhan karena 80% sakit bersifat self limiting, yaitu
sembuh sendiri tanpa intervensi tenaga kesehatan, biaya pembelian obat
relatif lebih murah daripada biaya pelayanan kesehatan, hemat waktu
14
karena tidak perlu menggunakan fasilitas atau profesi kesehatan.
Sedangkan kekurangan swamedikasi, yaitu obat dapat membahayakan
kesehatan apabila digunakan tidak sesuai dengan aturan, pemborosan
biaya dan waktu apabila salah menggunakan obat, kemungkinan kecil
dapat timbul reaksi obat yang tidak diinginkan, efek samping atau
resistensi, penggunaan obat yang salah akibat kesalahan diagnosis dan
pemilihan obat dipengaruhi oleh pengalaman menggunakan obat di masa
lalu dan lingkungan sosialnya. Resiko dari pengobatan sendiri adalah
tidak mengenali keseriusan gangguan. Keseriusan dapat dinilai salah
satu atau mungkin tidak dikenali, sehingga pengobatan sendiri bisa
dilakukan terlalu lama. Gangguan bersangkutan dapat memperhebat
keluhan, sehingga dokter perlu menggunakan obat-obat yang lebih keras.
Resiko yang lain adalah penggunaan obat yang kurang tepat. Obat bisa
digunakan secara salah, terlalu lama atau dalam takaran yeng terlalu
besar (Supardi dkk, 2005).
2.4.3 Penggolongan Obat Dalam Swamedikasi
Penggolongan obat dimaksudkan untuk peningkatan keamanan dan
ketepatan penggunaan serta pengamanan distribusinya. Penggolongan
obat menurut Permenkes No. 917/1993 adalah:
a. Obat Bebas
Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli
tanpa resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat
bebas adalah lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam.
Contoh obat yang termasuk ke dalam obat bebas adalah parasetamol,
vitamin dan mineral.
15
Gambar 2.1 Logo Obat Bebas (Depkes RI, 2007)
b. Obat Bebas Terbatas
Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat
keras tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter,
dan disertai dengan tanda peringatan. Tanda khusus pada kemasan
dan etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi
berwarna hitam. Contoh obat yang termasuk ke dalam obat bebas
adalah CTM.
Gambar 2.2 Logo Obat Bebas Terbatas (Depkes RI, 2007)
Selain lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam terdapat juga
tanda peringatan selalu tercantum pada kemasan obat bebas
terbatas, berupa empat persegi panjang berwarna hitam berukuran
panjang 5 (lima) centimeter, lebar 2 (dua) centimeter dan memuat
pemberitahuan berwarna putih sebagai berikut (Depkes RI, 2007):
16
Gambar 2.3 Tanda Peringatan pada Obat Bebas Terbatas (Depkes RI, 2007)
c. Obat Wajib Apotek (OWA)
Obat Wajib Apotek merupakan obat yang dapat disarankan kepada
konsumen oleh apoteker untuk pengobatan sendiri. Obat Wajib
Apotek yaitu obat-obatan keras yang dapat diserahkan tanpa resep
dokter, namun harus diserahkan oleh apoteker di apotek. Sampai
saat ini, daftar obat wajib apotek yang sudah ditetapkan oleh Menteri
Kesehatan ada 3 yaitu No 347/MenKes/SK/VII/1990 tentang DOWA
1; No 924/MenKes/PER/X/1993 tentang DOWA 2; No
1176/MenKes/SK/X/1999 tentang DOWA 3 (BPOM, 2004). Contoh
obat yang termasuk dalam obat wajib apotek adalah asam
mefenamat, metampiron, salbutamol, ibuprofen, dll. Sesuai
permenkes No.919/MENKES/PER/X/1993, kriteria obat yang dapat
diserahkan:
1. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil,
anak di bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun.
17
2. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan
risiko pada kelanjutan penyakit.
3. Penggunaannya tidak memerlukan cara atau alat khusus yang
harus dilakukan oleh tenaga kesehatan.
4. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya
tinggi di Indonesia.
5. Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat
dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri
Pertimbangan kebijakan obat wajib apotik, yaitu (Arumsari, 2016) :
1. Bahwa perlunya sarana yang dapat meningkatkan swamedikasi
atau pengobatan sendiri secara tepat, aman, dan rasional untuk
meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya
sendiri dalam mengatasi masalah kesehatan.
2. Bahwa peningkatan swamedikasi atau pengobatan mandiri
secara tepat, aman, dan rasional dapat dicapai melalui
peningkatan penyediaan obat yang dibutuhkan untuk
pengobatan mandiri sekaligus menjamin penggunaan obat
secara tepat, aman dan rasional.
Ketentuan yang harus dipatuhi apoteker dalam memberikan obat
wajib apotek kepada pasien (Zeenot, 2013):
1. Apoteker berkewajiban untuk melakukan pencatatan mengenai
data pasien, mencakup nama, alamat, umur, dan penyakit yang
sedang dideritanya dengan benar.
2. Apoteker berkewajiban memenuhi ketentuan jenis sekaligus
jumlah yang bisa diserahkan kepada pasien, sesuai dengan
18
ketentuan yang diatur oleh Keputusan Pemerintah Kesehatan
tentang daftar obat wajib apotek (OWA).
3. Apoteker berkewajiban memberikan informasi dengan benar
mengenai obat yang diserahkan, meliputi indikasi, kontra-
indikasi, cara pemakaian, cara penyimpanan, dan efek samping
yang tidak diinginkan sekaligus tindakan yang disarankan apabila
efek samping tersebut terjadi.
Gambar 2.4 Logo Obat Wajib Apotek (Depkes RI, 2007)
d. Obat Tradisional
Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa
bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau
campuran bahan-bahan tersebut, yang secara tradisional digunakan
untuk pengobatan berdasarkan pengalaman (BPOM, 2010). Obat
tradisional dibagi menjadi tiga, yaitu jamu, obat herbal terstandar
(OHT) dan fitofarmaka. Menurut peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 246 tahun 1992 :
1. Jamu adalah obat tradisional yang bahan bakunya simplisia yang
sebagian besar belum mengalami standarisasi dan belum pernah
diteliti, bentuk sediaan masih sederhana berwujud serbuk
seduhan, rajangan untuk seduhan, dan sebagainya.
19
Gambar 2.5 Logo Jamu
2. Obat herbal terstandar adalah sediaan obat bahan alam yang
telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan
uji preklinik dan bahan bakunya telah terstandarisasi.
Gambar 2.6 Logo Obat Herbal Terstandar
3. Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah
dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji
praklinik dan uji klinik, bahan baku dan produk jadinya telah di
standarisasi.
Gambar 2.7 Logo Fitofarmaka
2.5 Pelayanan Informasi Obat
2.5.1 Definisi Pelayanan Informasi Obat
Pelayanan informasi obat adalah kegiatan penyediaan dan
pemberian informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat,
komprehensif, terkini oleh apoteker kepada pasien, masyarakat maupun
20
pihak yang memerlukan di rumah sakit. Pelayanan informasi obat kepada
pasien bertujuan agar pasien dapat mengetahui penggunaan obat yang
diterimanya (Depkes, 2006).
2.5.2 Informasi Obat yang Diberikan Kepada Pasien
Informasi obat harus diberikan secara jelas, benar, akurat, tidak bias,
terkini, dan mudah dimengerti oleh pasien. Informasi yang dapat diberikan
kepada pasien oleh Apoteker, yaitu (Depkes RI, 2007):
1. Apoteker perlu menerangkan dengan jelas apa khasiat obat yang
digunakan, sesuai atau tidak dengan indikasi atau gangguan
kesehatan yang dialami pasien.
2. Pasien perlu diberi informasi dengan jelas kontraindikasi dari obat
yang diberikan, agar tidak menggunakannya jika memiliki
kontraindikasi dimaksud.
3. Pasien juga perlu diberi informasi tentang efek samping yang mungkin
muncul, serta apa yang harus dilakukan untuk mengatasinya.
4. Cara pemakaian harus disampaikan secara jelas kepada pasien untuk
menghindari salah pemakaian obat, apakah ditelan, dihirup,
dioleskan, dimasukkan melalui anus, atau cara lain.
5. Sesuai dengan kondisi kesehatan pasien, apoteker dapat
menyarankan dosis sesuai dengan yang disarankan oleh produsen
(sebagaimana petunjuk pemakaian yang tertera di etiket) atau dapat
menyarankan dosis lain sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya.
6. Waktu pemakaian juga harus diinformasikan dengan jelas kepada
pasien, misalnya sebelum atau sesudah makan atau saat akan tidur.
21
7. Lama penggunaan obat juga harus diinformasikan kepada pasien,
agar pasien tidak menggunakan obat secara berkepanjangan karena
penyakitnya belum hilang, padahal sudah memerlukan pertolongan
dokter.
8. Hal yang harus diperhatikan sewaktu minum obat tersebut, misalnya
pantangan makanan atau tidak boleh minum obat tertentu dalam
waktu bersamaan.
9. Hal apa yang harus dilakukan jika lupa memakai obat
10. Cara penyimpanan obat yang baik
2.5.3 Tujuan Konseling
2.5.3.1 Tujuan Umum
a. Meningkatkan keberhasilan terapi
b. memaksimalkan efek terapi
c. meminimalkan resiko efek samping
d. Meningkatkan cost effectiveness
e. Menghormati pilihan pasien dalam menjalankan terapi (Depkes RI,
2007)
2.5.3.2 Tujuan Khusus
a. Meningkatkan hubungan kepercayaan antara apoteker dengan pasien
b. Menunjukkan perhatian serta kepedulian terhadap pasien
c. Meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan.
d. Mencegah atau meminimalkan Drug Related Problem
e. Membimbing dan mendidik pasien dalam menggunakan obat
sehingga dapat mencapai tujuan pengobatan dan meningkatkan mutu
pengobatan pasien (Depkes RI, 2007).
22
2.5.4 Manfaat Konseling
2.5.4.1 Bagi pasien
a. Menjamin keamanan dan efektifitas pengobatan
b. Mendapatkan penjelasan tambahan mengenai penyakitnya
c. Membantu dalam merawat atau perawatan kesehatan sendiri
d. Membantu pemecahan masalah terapi dalam situasi tertentu
e. Menurunkan kesalahan penggunaan obat
f. Meningkatkan kepatuhan dalam menjalankan terapi
g. Menghindari reaksi obat yang tidak diinginkan
h. Meningkatkan efektivitas & efisiensi biaya kesehatan (Depkes RI,
2007).
2.5.4.2 Bagi Apoteker
a. Menjaga citra profesi sebagai bagian dari tim pelayanan kesehatan.
b. Mewujudkan bentuk pelayanan asuhan kefarmasian sebagai
tanggung jawab profesi apoteker.
c. Menghindarkan apoteker dari tuntutan karena kesalahan penggunaan
obat (Medication error)
d. Suatu pelayanan tambahan untuk menarik pelanggan sehingga
menjadi upaya dalam memasarkan jasa pelayanan (Depkes RI,
2007).
23
2.5.5 Tahapan Konseling
Beberapa tahapan untuk melakukan konseling, yaitu sebagai berikut
(Depkes RI, 2007)
1. Pembukaan konseling yang baik antara apoteker dan pasien dapat
menciptakan hubungan yang baik, sehingga pasien akan merasa
percaya untuk memberikan informasi kepada Apoteker.
2. Diskusi untuk mengumpulkan informasi dan identifikasi masalah Pada
sesi ini Apoteker dapat mengetahui berbagai informasi dari pasien
tentang masalah potensial yang mungkin terjadi selama pengobatan.
Pasien bisa merupakan pasien baru ataupun pasien yang
meneruskan pengobatan
3. Diskusi untuk mencegah atau memecahkan masalah dan
mempelajarinya. Setiap alternatif cara pemecahan masalah harus
didiskusikan dengan pasien. Apoteker juga harus mencatat terapi dan
rencana untuk monitoring terapi yang diterima oleh pasien
4. Memastikan pasien telah memahami informasi yang diperoleh.
Dengan cara ini pula dapat diidentifikasi adanya penerimaan informasi
yang salah sehingga dapat dilakukan tindakan pembetulan
5. Sebelum menutup diskusi sangat penting untuk Apoteker bertanya
kepada pasien apakah ada hal-hal yang masih ingin ditanyakan
maupun yang tidak dimengerti oleh pasien.
6. Follow-up diskusi hal ini agak sulit untuk dilakukan karena terkadang
pasien mendapatkan apoteker yang berbeda pada sesi konseling
selanjutnya. Oleh sebab itu dokumentasi kegiatan konseling perlu
dilakukan agar perkembangan pasien dapat terus dipantau.
24
2.6 Kepuasan
2.6.1 Definisi Kepuasan
Kepuasan merupakan tingkat perasaan seseorang yang sesuai
dengan harapannya dalam menggunakan produk maupun jasa (Ritonga,
2011). Menurut Oxford Advanced Learner’s Dictionary (2005) kepuasan
merupakan perasaan senang yang dirasakan pelanggan terhadap
sesuatu yang sesuai dengan harapan.
2.6.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan
Menurut Notoatmodjo (2007), faktor-faktor dasar yang mempengaruhi
kepuasan yaitu :
1. Tingkat pengetahuan seseorang dapat mempengaruhi perilaku
individu, yang mana makin tinggi tingkat pengetahuan seseorang
tentang kesehatan, maka makin tingginya rasa kesadaran untuk
berpartisipasi.
2. Mahalnya biaya pelayanan kesehatan dapat dianggap sebagai
sumber permasalahan moral bagi pasien dan keluarganya.
3. Pemahaman pasien tentang jenis pelayanan yang akan diterimanya
4. Empati yang ditujukan oleh pemberi pelayanan kesehatan, sikap ini
akan menyentuh emosi pasien. Faktor ini akan berpengaruh terhadap
tingkat kepatuhan pasien (compliance).
2.6.3 Manfaat Pengukuran Tingkat Kepuasan
Terdapat beberapa manfaat dari pengukuran kepuasan (Gerson, 2004) :
1. Pengukuran menyebabkan seseorang memiliki rasa berhasil dan ber
prestasi, yang kemudian diterjemahkan menjadi pelayanaan yang
prima kepada pelanggan.
25
2. Pengukuran bisa dijadikan dasar menentukan standar kinerja dan
standar prestasi yang harus dicapai, yang mengarahkan mereka
menuju mutu yang semakin baik dan kepuasan pelanggan yang
semakin miningkat.
3. Pengukuran pemberian umpan balik segera kepada pelaksana,
terutama bila pelanggan sendiri yang mengukur kinerja pelaksana
atau yang memberi pelayanan.
4. Pengukuran memberitahu apa yang harus dilakukan untuk
memperbaiki mutu dan kepuasan pelanggan bagaimana harus
melakukannya, informasi ini juga biasa datang dari pelanggan.
5. Pengukuran memotivasi orang untuk melakukan dan mencapai
tingkat produktivitas yang lebih tinggi.
2.6.4 Dimensi Pengukuran kepuasan
Dimensi kualitas jasa dalam model SERVQUAL didasarkan pada
skala multi item yang dirancang untuk mengukur harapan dan persepsi
pelanggan, serta gap diantara keduanya dalam dimensi-dimensi kualitas
jasa (Astuti, 2012). Penilaian kualitas pelayanan terdiri atas reliability
(kehandalan), responsiveness (daya tanggap), assurance (jaminan),
empathy (perhatian), dan tangibles (bukti fisik) (Muh Yunus, 2013).
1. Tangibles, atau bukti fisik yaitu kemampuan suatu perusahaan dalam
menunjukkan eksistensinya kepada pihak eksternal. Penampilan dan
kemampuan sarana dan prasarana fisik perusahaan dan keadaan
lingkungan sekitarnya adalah bukti nyata dari pelayanan yang
diberikan oleh pemberi jasa.
26
2. Reliability, atau kehandalan yaitu kemampuan perusahaan untuk
memberikan pelayanan sesuai yang dijanjikan secara akurat dan
terpercaya.
3. Responsiveness atau ketanggapan yaitu suatu kemauan untuk
membantu dan memberikan pelayanan yang cepat (responsif) dan
tepat kepada pelanggan, dengan penyampaian informasi yang jelas.
4. Assurance, atau jaminan dan kepastian yaitu pengetahuan,
kesopansantunan, dan kemampuan para pegawai perusahaan untuk
menumbuhkan rasa percaya para pelanggan kepada perusahaan.
5. Emphaty, yaitu memberikan perhatian yang tulus dan bersifat
individual atau pribadi yang diberikan kepada para pelanggan dengan
berupaya memahami keinginan konsumen.