Post on 27-Dec-2019
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Komposisi Tubuh
Komposisi tubuh terdiri dari empat komponen utama, yaitu jaringan lemak
tubuh total (total body fat), jaringan bebas lemak (free fat mass), mineral tulang
(bone mineral), dan cairan tubuh (body water) (Williams, 2007). Tubuh manusia
sebagian besar terdiri dari air, bila dianalisis, komposisi kimianya terdiri dari rata-
rata 60% kandungan air atau sekitar 45 liter per orang dewasa (Je’quier, 2009).
Menurut WHO tahun 2011 tubuh manusia dibagi menjadi 4 macam
komposisi yang komplek yang terdiri dari:
1. Komposisi atomik. Berat badan merupakan akumulasi sepanjang hidup
dari 6 elemen utama yaitu: oksigen, karbon, hidrogen, nitrogen, kalsium,
dan fosfor. Kurang dari 2 % berat badan terdiri dari sulfur, kalium,
natrium, klorida, magnesium dan 40 elemen lain yang secara normal
terdapat dalam jumlah kurang dari 10 gram.
2. Komposisi molekolar. Elemen terbagi dalam komponen molekular yang
dikelompokkan dalam 5 kategori besar, yaitu: lemak, protein, glikogen,
air, dan mineral. Tingkat molekular ini secara praktis seringkali dibagi
atas: lemak dan massa bebas lemak. Komposisi ini menyusun dasar untuk
sel yang fungsional.
3. Komposisi selular. Komposisi ini terdiri dari 3 komponen: sel, cairan
ekstrasel dan bagian padat ekstrasel. Massa sel dibagi lagi atas
lemak(komponen molekular) dan bagian yang aktif secara metabolik yaitu
6
4. massa sel tubuh. Sehingga pada akhirnya akan terdiri dari body cell mass,
cairan ekstrasel dan solid ekstrasel.
5. Komposisi jaringan dan organ. Sel akan membentuk jaringan dan organ
tubuh, seperti jaringan adiposa, otot skelet, tulang, kulit, jantung, dan
organ visceral lainnya. Jaringan dan organ tubuh akan membentuk tubuh
manusia yang merupakan perpaduan 5 komponen tubuh, yaitu atomik,
molekular, selular, jaringan dan organ serta tubuh secara keseluruhan.
Komposisi tubuh tersusun atas massa lemak (fat mass) dan jaringan bebas
lemak (free fat mass). Komposisi tubuh seperti lemak, otot, cairan badan,
kerangka akan mengalami perubahan (Sudibjo, 2012).
2.1.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Komposisi Tubuh
Menurut Williams (2007), komposisi tubuh dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain:
1. Usia
Efek usia signifikan pada masa pertumbuhan dan perkembangan karena
terjadi proses pembentukan otot dan jaringan tubuh lain, sedangkan pada usia
dewasa massa otot mulai berkurang yang dapat disebabkan oleh penurunan
aktivitas fisik.
2. Jenis kelamin
Terdapat perbedaan komposisi tubuh yang kecil antara anak dan laki-laki
sebelum usia pubertas. Namun, pada usia pubertas perbedaan menjadi sangat
besar dimana mulai saat pubertas, memiliki lebih banyak deposit lemak,
sedangkan pada laki-laki terbentuk lebih banyak jaringan otot.
7
3. Diet
Diet dapat mempengaruhi komposisi tubuh dalam jangka waktu singkat,
seperti pada saat kekurangan air dan kelaparan ataupun dalam jangka waktu lama,
seperti pada chronic overeating yang dapat meningkatkan simpanan lemak tubuh.
4. Tingkat aktivitas fisik
Menjalani program latihan fisik dapat membantu membangun massa otot
dan mengurangi lemak. Menurut WHO (2010), aktivitas fisik didefinisikan
sebagai setiap pergerakan anggota tubuh yang dihasilkan oleh otot-otot rangka
dan kegiatan tersebut memerlukan pengeluaran energi. Dari data CDC, National
Center for Health Statistics (2005) menyatakan bahwa hanya 26% orang dewasa
terlibat dalam aktivitas fisik sedang hingga kuat 3 kali atau lebih per minggu,
rendahnya aktivitas fisik secara teratur dapat menimbulkan masalah, karena orang
dengan aktivitas rendah lebih mungkin menderita masalah terkait dengan obesitas,
insiden kardiovaskuler dan beberapa penyakit metabolik.
Komposisi tubuh dipengaruhi faktor internal dan faktor eksternal yang
berbeda pada masing-masing individu (Sakina, 2013). Hal tersebut dipengaruhi
oleh beberapa faktor internal yaitu usia, faktor genetik, jenis kelamin, suku/ras
(Sakina, 2013). Dan faktor eksternal yaitu lingkungan termasuk pola dan jenis
makanan yang sering dikonsumsi, aktivitas fisik, kondisi sosio-ekonomi, penyakit,
stres psikososial, dan hipoksia (Sakina, 2013). Pada keadaan hipoksia defisiensi
oksigen pada tingkat jaringan sehingga sel-sel tidak memperoleh oksigen yang
cukup akibatnya metabolisme sel terganggu dengan dampak yang terjadi dapat
berupa kesulitan dalam koordinasi,bicara, dan konsentrasi, kesulitan bernafas,
mengantuk, kelelahan, sianosis,penurunan pada penglihatan, pendengaran, dan
8
fungsi sensorik, keringat dingin,serta ketidak sadaran dan kematian tergantung
ketinggian dan kondisi pasien (Pranata, 2013).
Unsur penyusun tubuh manusia terdiri atas cairan dan zat padat.
Pembagian 60 % dari komposisi cairan, 20 % merupakan cairan ekstraselular dan
40 % nya adalah cairan intraselular. Zat padat menyusun 40 % tubuh manusia
seperti protein, lemak, mineral, karbohidrat, material organik dan non organic, 60
% sisanya adalah cairan. (Corwin, 2009).
2.2 Total Body Water (TBW)
2.2.1 Definisi TBW
Total jumlah cairan atau Total body water (TBW) adalah jumlah seluruh
cairan tubuh yang terdiri dari cairan intrasel dan ekstrasel, jumlahnya berkisar 50-
60% berat badan. Yang merupakan persentase dari berat air dibandingkan dengan
berat badan total, bervariasi menurut kelamin, umur, dan kandungan lemak tubuh.
(Surya, 2011).
Cairan intraseluler (CIS) merupakan cairan yang berada di dalam sel,
jumlahnya berkisar 60% dari TBW (Sherwood, 2012). Sel seperti otot dan
beberapa organ (hati, ginjal, dan otak,dll) berisi lebih banyak air dibanding sel
lemak. ICW yang ideal, memiliki jumlah sel yang banyak untuk metabolisme
tubuh. (Sherwood, 2012). Cairan ekstraseluler (CES) dalah cairan yang
bersirkulasi diluar sel. Ini meliputi darah, kelenjar getah bening dan Extracellular
Matrix (ECM) Sherwood, 2012. Haruslah dicatat bahwa kandungan oksigen
terhadap sel dengan jelas atau nyata akan berkurang ketika terdapat kadar cairan
yang berlebihan di ekstrasel (edema). Dehidrasi atau kehilangan cairan dalam
jumlah yang banyak akan menyebabkan menurunnya total cairan tubuh (Williams,
9
2007). Jika dijumpai adanya infeksi maka total cairan tubuh akan meningkat bila
dibandingkan dengan kondisi normal. (Sofyan, 2008).
Gambar 2.1 Distribusi Cairan Tubuh
Pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit merupakan salah satu kebutuhan
dasar manusia secara fisiologis, sebagian besar tubuh manusia terdiri dari cairan
yang dikenal sebagai TBW dengan persentase 60% - 80%. Seluruh cairan tubuh
didistribusikan diantara dua kompartemen utama, yaitu (CIS) dan (CES). Pada
orang normal dengan berat 70 kg, TBW rata-ratanya sekitar 60% berat badan atau
sekitar 42 L. persentase ini dapat berubah, bergantung pada umur, jenis kelamin
dan derajat obesitas ( Guyton & Hall, 2014). Secara keseluruhan, kategori
persentase cairan dan elektrolit tubuh bervariasi bergantung pada faktor usia,
lemak dalam tubuh dan jenis kelamin. (Aziz, 2008).
Kebutuhan air sekitar 2,5 liter per hari berasal dari 1,5 liter air minum dan
sekitar 1 liter dari bahan makanan yang dikonsumsi, sementara lemak tubuh tidak
mengandung air. Meskipun demikian kandungan air terdapat pada seluruh
jaringan bebas lemak, yang diperkirakan mengandung air rata-rata 73,2% (Pace,
2012). Hilangnya 20% air dalam tubuh menyebabkan fungsi organ tidak bekerja
dengan baik (Je’quier dan Constant, 2010).
(Guyton, 2014)
10
Pemeliharaan homeostasis cairan tubuh adalah penting bagi kelangsungan
hidup semua organisme. Pemeliharaan tekanan osmotik dan distribusi beberapa
kompartemen cairan tubuh manusia adalah fungsi utama empat elektrolit mayor,
yaitu natrium (Na+ ), kalium (K+ ), klorida (Cl- ), dan bikarbonat (HCO3 - ).
Gangguan keseimbangan cairan dapat menyebabkan syok dan dehidrasi (Moore et
al, 2009).
2.2.2 Faktor yang mempengaruhi TBW
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kebutuhan air seseoang,
antara lain jenis kelamin, usia, persen lemak tubuh, aktivitas fisik dan suhu
lingkungan.
1) Jenis kelamin
Total cairan tubuh pada laki-laki muda sekitar 60% dari BB sementara pada
wanita adalah 50% dari BB. Hal ini terjadi karena laki-laki memiliki otot (kaya
akan cairan) daripada wanita (Janssen, 2014). Oleh karena itu, kebutuhan air pada
laki-laki lebih banyak dibanding wanita.
Menurut Bredbenner et al (2009), rata-rata konsumsi cairan untuk laki-laki
adalah ± 922 ml, sedangkan pada perempuan ± 581 ml atau secara umum
konsumsi cairan rata-rata pada laki-laki lebih besar daripada perempuan.
Natrium yang berperan dalam metabolisme air dan bersifat mengikat cairan
dalam jaringan sehingga mempengaruhi keseimbangan cairan tubuh pada ibu
hamil. Kebutuhan natrium meningkat seiring dengan meningkatnya kerja ginjal,
sehingga kebutuhan natrium ibu hamil sekitar 3,3 gram per minggu (Surya, 2011).
11
2) Usia
Komposisi air pada nenoatus lebih banyak daripada dewasa yakni 75-80%
dengan proporsi CES lebih banyak daripada dewasa. Saat lahir, proporsi cairan
intersisil tiga kali lebih besar daripada dewasa. Saat usia 12 bulan, akan terjadi
penurunan cairan tubuh sampai 60% setara dengan nilai cairan tubuh pada
dewasa. Persentase TBW dalam tubuh menurun secara signifikan sejalan dengan
pertambahan usia. Usia 60 tahun, TBW hanya turun sampai 50% dari BB
khususnya pada laki-laki yang berkaitan dengan peningkatan lemak (Bellisle et al,
2010)
3) Persen lemak tubuh
Lemak merupakan salah satu sumber utama energi dan mengandung lemak
esensial. Konsumsi lemak berlebihan dapat merugikan kesehatan, misalnya
kolesterol dan lemak jenuh. Jaringan lemak memiliki persentase H2O yang paling
rendah dibandingkan dengan jaringan lain (Mastria, 2014). Jumlah cairan tubuh
total ± 55-60% dari BB, persentase tersebut berhubungan juga dengan jumlah
lemak tubuh, jenis kelamin dan umur. Namun, jumlah lemak tubuh memberikan
pengaruh besar terhadap jumlah cairan tubuh. Kandungan air dalam sel otot lebih
tinggi dibandingkan dengan sel lemak, sehingga total cairan tubuh pada orang
gemuk (obese) lebih rendah daripada orang yang tidak obese. Pada orang gemuk,
perbandingan kandungan air dengan lemak adalah 50% : 50%, orang kurus 67% :
7%, sementara pada orang yang normal 60% : 16% (Elisabeth,2013).
Selama masa pubertas terjadi perubahan jumlah jaringan lemak pada remaja
yang dimulai pada usia 8 tahun sampai menjelang awal masa pubertas. Sel lemak
menjadi lebih banyak sehingga keseluruhan 25% dari berat badannya.
12
Penimbunan jaringan lemak subkutan pada remaja putri terdapat di daerah truncal
(sub scapular, suprailiaca, dan abdomen), anggota gerak, tubuh bagian bawah dan
paha bagian belakang yang berlawanan dengan remaja laki-laki (Siswianti, 2012).
4) Aktivitas fisik
Menurut Depdiknas (2008) aktivitas fisik adalah gerakan tubuh karena otot
meningkatkan pengeluaran tenaga dan energi atau kalori. Aktivitas fisik antara
lain adalah akitivitas waktu kerja, waktu senggang dan aktivitas sehari-hari,
sedangkan latihan fisik adalah aktivitas fisik yang direncanakan dan dilakukan
dengan terstruktur (Adisapoetra, 2008 dalam Rosmaida, 2011). Penelitian di
Amerika pada orang dewasa menunjukkan bahwa aktivitas fisik memiliki
hubungan dengan intake air putih dan total asupan air, yakni semakin tinggi
aktivitas fisiknya maka semakin tinggi pula jumlah asupan air dan total asupan
airnya (Guricci, 2009). Aktivitas fisik merupakan salah satu aktivitas yang
didapatkan dari adanya pergerakan tubuh manusia. Aktivitas ini memenuhi semua
kehidupan manusia. Menurut WHO (2010), aktivitas fisik didefinisikan sebagai
setiap pergerakan anggota tubuh yang dihasilkan oleh otot-otot rangka dan
kegiatan tersebut memerlukan pengeluaran energi. Aktivitas fisik yang teratur
mempunyai banyak manfaat kesehatan dan merupakan salah satu bagian penting
dari gaya hidup sehat. Aktivitas fisik yang rendah dan kesehatan sistem
kardiorespirasi yang buruk mengarah pada meningkatnya risiko penyakit jantung
koroner (PJK), bahkan aktivitas fisik yang rendah dapat meningkatkan angka
mortalitas penyakit kardiovaskuler sampai 2 kali lipat (Ranggadwipa, 2014).
Aktifitas fisik juga dapat berupa latihan yang bersifat aerobik maupun
anaerobik (Tamsuri, 2009). Latihan aerobik adalah latihan yang memerlukan
13
oksigen untuk pembentukan energinya yang dilakukan secara terus menerus,
ritmis, dengan melibatkan kelompok otot – otot besarterutama otot tungkai pada
intensitas latihan 60-90% dari Maximal Heart Rate (MHR) dan 50 – 85 % dari
penggunaan maksimal oksigen selama 20 – 50 menit dengan frekuensi latihan tiga
kali perminggu (Iskandar, 2008). Aktititas aerobik atau yang biasa disebut latihan
kardiovaskular meningkatkan fungsi kerja paru, jantung dan melancarkan
sirkulasi darah, sehingga tubuh mendapatkan dan menggunakan oksigen lebih
baik untuk metabolisme sel (Kusmaningtyas, 2011). Frekuensi adalah jumlah
latihan per minggunya sehingga frekuensi latihan untuk endurance training untuk
aktifitas aerobik adl 2-5 kali per minggu. Durasi minimal yang harus dlakukan
pada aktivitas aerobic adalah 15-20 menit (Egger, 2013). Latihan harus lebih lama
dari 35 menit, hal ini mungkin karena proporsi metabolisme lemak terus naik pada
30 menit pertama latihan, namun tidak ada rekomendasi latihan melebihi 60 menit
(Sharkey, 2013). Bagi atlet yang berlatih lebih 60 menit, bertujuan memantapkan
stamina, bukan untuk mendapatkan kesehatan (Egger, 2013).
Aktivitas anaerobik merupakan aktivitas dengan intensitas tinggi yang
membutuhkan energi secara cepat dalam waktu durasi singkat (berlangsung
selama sekitar 2-3 menit), namun tidak dapat dilakukan secara kontinu untuk
durasi waktu yang lama (Briawan, 2011). Ambang anaerobik (anaerobic
threshold) adalah saat mulainya asam laktat terkumpul dalam jaringan otot dan
darah sebagai hasil sampingan glikolisis anaerobik akibat dari suatu intensitas
latihan. Aktivitas anaerobik biasanya akan membutuhkan interval istirahat agar
ATP dapat diregenerasi sehingga kegiatannya dapat dilanjutkan kembali (Habut,
2015). Latihan anaerobic adalah kebutuhan O2 pada saat latihan tidak dapat
14
langsung terpenuhi oleh tubuh, sehingga latihan tidak dapat berlangsung lama,
hanya berkisar 10-15 detik dan metabolisme energi didominasi oleh
sistem phosphagen. Hal ini berakibat cepatnya meningkat kadar asam laktat
(Habut, 2015). Ciri-ciri latihan anaerobic adalah memiliki gerakan cepat,
intensitas latihan yang tinggi sekitar 80%VO2Max, yang terlibat dalam latihan
hanya kelompok otot tertentu, pengulangan gerak tidak perlu banyak dan latihan
dapat dilakukan sesering mungkin (Iskandar, 2008). Proses metabolisme energi
secara aerobik juga dikatakan merupakan proses yang bersih karena selain akan
menghasilkan energi, proses tersebut hanya akan menghasilkan produk samping
berupa karbondioksida (CO2) dan air (H2O) (Knechtle, 2011). Hal ini berbeda
dengan proses metabolisme secara anaerobik yang juga akan menghasilkan
produk samping berupa asam laktat yang apabila terakumulasi dapat menghambat
kontraksi otot dan menyebabkan rasa nyeri pada otot (Guyton and Hall, 2014).
Atlet menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah olahragawan, terutama
yang mengikuti perlombaan atau pertandingan dalam beradu ketangkasan,
kecepatan, keterampilan, dan kekuatan (Tamsuri, 2009). Individu yang berperan
dalam suatu aktivitas dibidang keolahragaan dan bakat, keterampilan, maupun
motivasi sangat dibutuhkan pada cabang olahraga tersebut untuk mencapai suatu
prestasi yang setinggi-tingginya dan dikumpulkan dalam satu program pelatihan
yang lebih khusus dan intensif sesuai dengan cabang olahraga masing-masing
(Ranggadwipa, 2014). Pada Knechtle B (2011) beranggapan bahwa peningkatan
otot pada kemampuan fisiologis akan sangat dibatasi oleh potensi genetic atlet
tersebut, sistem dan fungsi ditentukan secara genetic; sistem asam laktat sampai
81,4%, heart rate 85,9% dan VO2max 93,4%. Proporsi antara serat otot merah
15
dan putih pada manusia sudah tertentu secara genetic, fungsi metabolic dari kedua
otot ini berbeda. Serat otot merah/otot lambat/slow twitch mempunyai mioglobin
lebih banyak (sebagai penyimpan oksigen yang dibawah darah untuk sel yang
bekerja) secara biokimiawi lebih baik untuk kerja aerobik/ketahanan (Knechtle,
2011) . Serat otot putih/otot cepat/fast twitch mengandung banyak glikogen
(karbohidrat) dan lebih baik dalam kerja anaerobic, singkat dan tipe latihan
intensif (Knechtle B, 2011). Hal ini dapat mempengaruhi jumlah kandungan air
pada tubuh seorang atlet dan persentase serat otot tidak dapat dirubah, namun
dengan latihan yang ekstensif dan spesifik dapat meningkatkan kapabilitas dari
serat-serat otot dan mengubah struktur biokimianya (Diyani, 2012).
5) Suhu lingkungan
Suhu lingkungan juga mempengaruhi kebutuhan cairan dan elektrolit
seseorang. Disaat suhu lingkungan mengalami peningkatan, maka keringat akan
lebih banyak dikeluarkan untuk menjaga kelembaban kulit dan mendinginkan
permukaan kulit yang panas (Pranata, 2013). Individu yang tinggal di lingkungan
yang iklimnya tidak terlalu panas tidak akan mengalami pengeluaran cairan yang
ekstrem melalui kulit dan pernapasan. Besarnya IWL (insensible water loss ) (Jae,
2012). Pada tiap individu bervariasi, dipengaruhi oleh suhu lingkungan, tingkat
metabolisme,dan usia. Individu yang tinggal di lingkungan yang bertsuhu tinggi
atau di dearah dengan kelembapan yang rendah akan lebih sering mengalami
kehilangan cairandan elektrolit (Coyle, 2014). Ion natrium dan klorida juga
dilepaskan bersamaan dengan keringat, sedangkan pada kondisi suhu lingkungan
dingin, respon tubuh kita berbeda (Dougherty, 2009). Saat itu, pori-pori tubuh
mengecil dan sedikit untuk memproduksi keringat karena kulit kita sudah lembab
16
(Dougherty, 2009). Akan tetapi, berbeda di ginjal dimana aldosteron akan
menurun. Sehingga urine yang dieksresikan akan lebih banyak, hal ini merupakan
kompensasi tubuh untuk menjaga regulasi cairan dan elektrolit dalam tubuh (Jae,
2011). Oleh karena itu, untuk menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit tersebut
diperlukan asupan yang adekuat (Pranata, 2013). Demikian pula pada orang yang
bekerja berat di lingkungan yang bersuhu tinggi, mereka dapat kehilangan cairan
sebanyak lima litet sehari melalui keringat. Umumnya, orang yang biasa berada di
lingkungan panas akan kehilangan cairan sebanyak 700 ml per jam saat berada
ditempat yang panas, sedangkan orang yang tidak biasa berada di lingkungan
panas dapat kehilangan cairan hingga dua liter per jam (Kenefick,2012).
6) Diet
Diet seseorang berpengaruh terhadap intake cairan dan elektrolit. Ketika
intake nutrisi tidak adekuat maka tubuh akan membakar protein dan lemak
sehingga serum albumin dan cadangan protein akan menurun padahal keduanya
sangat diperlukan dalam proses keseimbangan cairan sehingga hal ini akan
menyebabkan edema (Kantachuvessiri, 2010).
7) Stres
Menurut Wagner (2007) stres adalah suatu proses yang menilai suatu
peristiwa sebagai sesuatu yang mengancam, ataupun membahayakan dan individu
merespon peristiwa itu pada level fisiologis, emosional, kognitif dan perilaku.
Lazarus dan Folkman (dalam Evanjeli, 2012) yang menjelaskan stres
sebagai kondisi individu yang dipengaruhi oleh lingkungan. Kondisi stres terjadi
karena ketidakseimbangan antara tekanan yang dihadapi individu dan kemampuan
17
untuk menghadapi tekanan tersebut. Individu membutuhkan energi yang cukup
untuk menghadapi situasi stres agar tidak mengganggu kesejahteraan mereka.
Pada saat seseorang mengalami stres ada dua aspek utama dari dampak yang
ditimbulkan akibat stres yang terjadi, yaitu aspek fisik dan aspek psikologis (Lal,
2014) yaitu :
a. Aspek fisik
Berdampak pada menurunnya kondisi seseorang pada saat stres sehingga
orang tersebut mengalami sakit pada organ tubuhnya, seperti sakit kepala,
gangguan pencernaan.
b. Aspek psikologis Terdiri dari gejala kognisi, gejala emosi, dan gejala
tingkah laku. Masing-masing gejala tersebut mempengaruhi kondisi
psikologis seseorang dan membuat kondisi psikologisnya menjadi negatif,
seperti menurunnya daya ingat, merasa sedih dan menunda pekerjaan. Hal
ini dipengaruhi oleh berat atau ringannya stres. Berat atau ringannya stres
yang dialami seseorang dapat dilihat dari dalam dan luar diri mereka yang
menjalani kegiatan akademik di kampus.
Salah satu sudut pandang biologis adalah somatic weakness model. Model ini
memiliki asumsi bahwa hubungan antara stres dan gangguan psikofisiologis
terkait dengan lemahnya organ tubuh individu. Faktor biologis seperti misalnya
genetik ataupun penyakit yang sebelumnya pernah diderita membuat suatu organ
tertentu menjadi lebih lemah daripada organ lainnya, hingga akhirnya rentan dan
mudah mengalami kerusakan ketika individu tersebut dalam kondisi tertekan
(Nikhita, 2014).
18
Menurut Yusuf (2008) organ tubuh dan otak saling bekerja sama untuk
menerjemahkan proses stres yang pada akhirnya akan mempengaruhi sistem
fungsi kerja tubuh bisa berupa sakit kepala, tidur tidak teratur, nafsu makan
menurun, mudah lelah atau kehilangan daya energi, otot dan urat tegang pada
leher dan bahu, sakit perut, telapak tangan berkeringat dan jantung berdebar.
Kemudian sudut yang kedua berupa gejala psikis yang menyangkut keadaan
mental, emosi dan pola pikir seseorang yang ditunjukkan dengan susah
berkonsentrasi, daya ingat menurun atau mudah lupa, produktivitas atau prestasi
kerja menurun, sering merasa jenuh, gelisah, cemas, frustrasi, mudah marah dan
mudah tersinggung (Evanjeli, 2012).
Gambar 2.2 Hubungan Antara Stressor dengan Kelenjar dan Hormon dalam Tubuh Manusia (Yusuf, 2008).
19
Stres dapat menimbulkan peningkatan metabolisme sel, konsentrasi darah dan
glikolisis otot, mekanisme ini dapat menimbulkan retensi sodium dan air. Proses
ini dapat meningkatkan produksi ADH dan menurunkan produksi urine (Tarwoto
dan Wartonah, 2010).
8) Kondisi Sakit
Kondisi sakit sangat berpengaruh terhadap kondisi keseimbangan cairan dan
elektrolit tubuh Misalnya, trauma seperti luka bakar akan meningkatkan
kehilangan air melalui insensible water lost (IWL), penyakit ginjal dan
kardiovaskuler sangat mempengaruhi proses regulator keseimbangan cairan dan
elektrolit tubuh, pasien dengan penurunan tingkat kesadaran akan mengalami
gangguan pemenuhan intake cairan karena kehilangan kemampuan untuk
memenuhinya secara mandiri (Armstrong, 2007). Trauma pada jaringan dapat
menyebabkan kehilangan cairan dan elektrolit dasar sel atau jaringan yang rusak
(mis., Luka robek, atau luka bakar) (Armstrong,2005). Pasien yang menderita
diare juga dapat mengalami peningkatan kebutuhan cairan akibat kehilangan
cairan melalui saluran gastro intestinal (Rhinsilva, 2010). Gangguan jantung dan
ginjal juga dapat menyebabkan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (Bellisle,
2010). Saat aliran darah ke ginjal menurun karena kemampuan pompajantung
menurun, tubuh akan melakukan penimbunan cairan dan natrium sehingga terjadi
retensi cairan dan kelebihan beban cairan (hipervelomia) lebih lajut, kondisi
inidapat menyebabkan edema paru (Briawan, 2011). Normalnya, urine akan
dikeluarkan dalam jumlah yang cukup untukmenyeimbangkan cairan dan
elektrolit serta kadar asam dan basa dalam tubuh (Campbell, 2008). Apabila
asupan cairan banyak, ginjal akan memfiltrasi cairan lebih banyak dan menahan
20
ADH sehingga produksi urine akan meningkat (Campbell, 2008). Sebaliknya,
dalam keadaan kekurangan cairan, ginjal akan menurunkanproduksi urine dengan
berbagi cara, diantaranya peningkatan reapsorpsi tubulus, retensi natrium dan
pelepasan renin (Prayitno, 2012). Apabila ginjal mengalami kerusakan,
kemampuan ginjal untuk melakukan regulasi akan menurun. Karenanya, saat
terjadi gangguan ginjal (mis., gagal ginjal) individu dapat mengalami oliguria
(produksi urine kurang dari 40ml/ 24 jam) sehingga anuria (produksi urine kurang
dari 200 ml/ 24 jam) (Matfin, 2009).
Resiko defisit volume cairan merupakan kondisi seorang pasien mengalami
risiko kekurangan cairan pada ekstraseluler dan vaskuler (Hardinsyah, 2012).
Kemungkinan berhubungan dengan: kehilangan cairan secara berlebihan,
berkeringat secara berlebihan, menurunnya intake oral, penggunaan diuretik, atau
pendarahan. Kemungkinan data yang ditemukan: hipotensi, takhikardia, pucat,
kelemahan, konsentrasi urine pekat. Kondisi klinis kemungkinan terjadi pada:
penyakit Addison, koma, ketoasidosis pada diabetik, anoreksia nervosa,
perdarahan gastrointestinal, muntah, diare, intake cairan tidak adekuat, AIDS,
pendarahan, ulcer kolon (Prayitno, 2010).
Volume cairan berlebih dimana suatu kondisi terjadinya peningkatan retensi
dan edema Dougherty, 2009). Kemungkinan berhubungan dengan: retensi garam
dan air, efek dari pengobatan, dan malnutrisi (Darwis, 2008). Kemungkinan data
yang ditemukan: orthopnea, oliguria, edema, distensi vena jugularis, hipertensi,
distres pernapasan, anasarka, edema paru (Darwis, 2008). Kondisi klinis
kemungkinan terjadi pada: obesitas, hipothiroidism, pengobatan dengan
21
kortikosteroid, imobilisasi yang lama, cushings syndrome, gagal ginjal, sirosis
hepatis, kanker, dan toxemia (Tarwoto & Wartonah,2006).
2.3 Indeks Massa Tubuh (IMT)
2.3.1 Definisi IMT
Indeks massa tubuh ditentukan dengan persamaan berat badan dalam
kilogram (kg) dibagi tinggi badan dalam meter dikuadratkan (m²) (Habut, 2015).
Menurut Harahap, 2005, IMT merupakan altenatif untuk tindakan
pengukuran lemak tubuh karena murah serta metode skrining kategori berat badan
yang mudah dilakukan. Untuk mengetahui nilai IMT ini, dapat dihitung dengan
rumus berikut: Menurut rumus metrik:
Berat badan (Kg)
IMT = -------------------------------------------------------
[Tinggi badan (m)] 2
2.3.2 Kategori Indeks Massa Tubuh
Untuk orang dewasa yang berusia 20 tahun keatas, IMT diinterpretasi
menggunakan kategori status berat badan standard yang sama untuk semua umur
bagi pria dan wanita. Untuk anak-anak dan remaja, intrepretasi IMT adalah
spesifik mengikut usia dan jenis kelamin (CDC, 2009).
Batas ambang IMT ditentukan dengan merujuk ketentuan (Food and
Agriculture Organization) FAO/WHO 2009, yang membedakan batas ambang
untuk laki-laki dan perempuan. Disebutkan bahwa batas ambang normal untuk
laki-laki adalah: 20,1–25,0; dan untuk perempuan adalah : 18,7-23,8. Untuk
22
kepentingan pemantauan dan tingkat defesiensi kalori ataupun tingkat
kegemukan, lebih lanjut FAO/WHO menyarankan menggunakan satu batas
ambang antara laki-laki dan perempuan. Ketentuan yang digunakan adalah
menggunakan ambang batas laki-laki untuk kategori kurus tingkat berat dan
menggunakan ambang batas pada perempuan untuk kategorigemuk tingkat berat
(Depkes, 2011).
Terdapat klasifikasi IMT tersendiri untuk Wilayah Asia Pasifik, yaitu :
Tabel 2.1 Klasifikasi IMT untuk Wilayah Asia Pasifik menurut WHO
Klasifikasi IMT
Underweight <18,50
Normal 18,5 – 24,9
Overweight 25,0-29,9
Obese >30,0
Sumber : Sudoyo et.al., 2009
Penggunaan IMT sebagai metode antropometri dalam penilaian komposisi
tubuh memiliki kelebihan dan kekurangan (Habut, 2015). Kelebihannya adalah
IMT dapat memperkirakan total lemak tubuh melalui pengukuran dan perhitungan
yang sederhana, cepat dan tidak memerlukan banyak biaya. Selain itu,
pengukuran IMT juga rutin dilakukan dan sering digunakan dalam berbagai studi
epidemiologi. Kelemahannya adalah IMT tidak dapat menjelaskan mengenai
distribusi lemak dalam tubuh dan bervariasi dalam ras/etnik serta tidak
membedakan jenis kelamin (Amelia, 2009).
Indeks massa tubuh (IMT) juga berfungsi untuk menilai status gizi
seseorang, namun tak mampu secara langsung menilai lemak yang terkandung
23
dalam tubuh dan paling sering digunakan dan praktis untuk mengukur tingkat
populasi berat badan lebih dan obese pada orang dewasa (Amelia, 2009). Obesitas
merupakan kelainan dari sistem pengaturan berat badan yang ditandai oleh
akumulasi lemak tubuh. Jumlah lemak tubuh masih terus berubah seiring dengan
pertumbuhan dan perkembangan tubuh badan seseorang (Ayvas, 2011). Jumlah
lemak tubuh pada lelaki dan perempuan juga berbeda selama pertumbuhan
(Buanasita, 2015). Nilai IMT yang tinggi belum tentu karena jaringan lemak tapi
dapat juga karena jaringan otot yang mendomonasi pada tubuh seseorang
(Knechtle, 2011).
Secara rata-rata, lelaki mempunyai massa otot yang lebih banyak dari wanita.
Lelaki menggunakan kalori lebih banyak dari wanita bahkan saat istirahat karena
otot membakar kalori lebih banyak berbanding tipetipe jaringan yang lain.
Dengan demikian, perempuan lebih mudah bertambah berat badan berbanding
lelaki dengan asupan kalori yang sama (Janssen, 2014). Berat badan yang
tertimbang ialah berat badan total, terdiri dari atas lean body mass (LBM) dan
berat lemak. LBM meliputi otot,tulang, dan darah (Lisa, 2009). Berat badan harus
selalu dimonitor agar memberikan informasi yang memungkinkan intervensi gizi
yang preventif sedini mungkin guna mengatasi kecenderungan penurunan atau
penambahan berat badan yang tidak dikehendaki (Amelia, 2009).
Tipe obesitas pada wanita ginekoid menunjukkan akumulasi jaringan adiposa
dijumpai secara dominan pada bagian bawah tubuh yaitu di daerah panggul dan
paha yang mempunyai gambaran seperti buah pear (Riza, 2011). Obesitas tipe
android adalah merupakan salah satu resiko penyebab penyakit kardiovaskular
dan lebih banyak jika dibandingkan dengan obesitas tipe ginekoid (Elisabeth,
24
2013). Obesitas android berhubungan dengan kelainan metabolik yaitu resistensi
insulin, hipertensi arterial, dan dislipidemia (Elisabeth, 2013). Kecenderungan
seseorang dengan obesitas android menjadi diabetes adalah terletak pada faktor
keturunan dan faktor lingkungan (Buanasita, 2015).
Gambar 2.3 Bentuk tubuh wanita
Penyebab utamanya adalah gaya hidup yang tidak aktif, hal ini dikarenakan
aktivitas otot adalah cara terpenting untuk mengeluarkan energi dari tubuh
sehingga ini merupakan satu cara paling efektif untuk mengurangi simpanan
lemak (Guyton, 2014).
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi IMT, antara lain :
1. Usia
Penelitian yang dilakukan oleh Harahap tahun 2005 menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara usia yang lebih tua dengan IMT
kategori obesitas. Subjek penelitian pada kelompok usia 40-49 dan 50-59 tahun
memiliki risiko lebih tinggi mengalami obesitas dibandingkan kelompok usia
kurang dari 40 tahun. Keadaan ini dicurigai oleh karena lambatnya proses
metabolisme, berkurangnya aktivitas fisik, dan frekuensi konsumsi pangan yang
lebih sering (Kantachuvessiri. 2010).
25
2. Jenis kelamin
IMT dengan kategori kelebihan berat badan lebih banyak ditemukan pada
laki-laki. Namun, angka kejadian BBI laki-laki = (TBcm- 100) – (TBcm −150 ) 4
BBI perempuan= (TBcm- 100) – (TBcm −150 ) 2,5 1, obesitas lebih tinggi pada
perempuan dibandingkan dengan laki-laki (Prayitno, 2011). Data dari National
Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) periode 2009-2010
menunjukkan tingkat obesitas pada laki-laki sebesar 27,3% dan pada perempuan
sebesar 30,1% di Amerika.
3. Genetik
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa lebih dari 40% variasi IMT
dijelaskan oleh faktor genetik. IMT sangat berhubungan erat dengan generasi
pertama keluarga.24 Studi lain yang berfokus pada pola keturunan dan gen
spesifik telah menemukan bahwa 80% keturunan dari dua orang tua yang obesitas
juga mengalami obesitas dan kurang dari 10% memiliki berat badan normal
(Elisabeth, 2013).
4. Pola makan
Pola makan adalah pengulangan susunan makanan yang terjadi saat
makan. Pola makan berkenaan dengan jenis, proporsi dan kombinasi makanan
yang dimakan oleh seorang individu, masyarakat atau sekelompok populasi
(Bredbenner et al. 2009). Makanan cepat saji berkontribusi terhadap peningkatan
indeks massa tubuh sehingga seseorang dapat menjadi obesitas (M. Powell, 2009).
Hal ini terjadi karena kandungan lemak dan gula yang tinggi pada makanan cepat
saji. Selain itu peningkatan porsi dan frekuensi makan juga berpengaruh terhadap
peningkatan obesitas (Bredbenner et al. 2009). Orang yang mengkonsumsi
26
makanan tinggi lemak lebih cepat mengalami peningkatan berat badan dibanding
mereka yang mongkonsumsi makanan tinggi karbohidrat dengan jumlah kalori
yang sama (Buanasita, 2015).
5. Aktifitas fisik
Aktifitas fisik menggambarkan gerakan tubuh yang disebabkan oleh kontraksi
otot menghasilkan energi ekspenditur (Calvin, 2013). Menjaga kesehatan tubuh
membutuhkan aktifitas fisik sedang atau bertenaga serta dilakukan hingga kurang
lebih 30 menit setiap harinya dalam seminggu (Diyani, 2012). Penurunan berat
badan atau pencegahan peningkatan berat badan dapat dilakukan dengan
beraktifitas fisik sekitar 60 menit dalam sehari (Iskandar, 2008).
2.4 Remaja
2.4.1. Definisi remaja
Remaja yang dalam bahasa aslinya disebut Adolescence, berasal dari
bahasa latin Adolescere yang artinya tumbuh kembang untuk mencapai
kematangan. Fase remaja merupakan segmen perkembangan individu yang sangat
penting, yang diawali dengan matangnya organ-organ fisik (seksual) sehingga
mampu bereproduksi (Sitompul, 2010).
Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menjadi dewasa.
Terjadi berbagai macam perubahan dalam periode transisi ini, baik perubahan
hormonal, fisik, psikologis maupun sosial. Perubahan ini terjadi dengan sangat
cepat dan terkadang tanpa kita sadari. Perubahan fisik yang menonjol adalah
perkembangan tanda-tanda seks sekunder, terjadinya pacu tumbuh, perubahan
perilaku serta hubungan sosial dengan lingkungannya (Batubara, 2010). Masa
remaja umumnya dikatakan berawal dari usia 11 sampai 12 tahun dimana
27
karakteristik seks sekunder mulai tampak untuk pertama kalinya sampai dengan
akhir usia belasan ketika pertumbuhan fisik hampir lengkap, yaitu pada usia 18
hingga 20 tahun (Kaplan, 2008 ; Wong et al., 2009).
Remaja adalah masa di mana terjadi gejolak yang menggelisahkan karena
dalam tubuh terjadi perubahan-perubahan hormonal. Perubahan hormonal ini
menyebabkan perilaku yang kadang tidak terduga pada para remaja, dan
menimbulkan ketidakmengertian pada orang-orang di sekelilingnya (Kaplan,
2008). Apalagi, pada saat yang bersamaan, terjadi perubahan dari sisi morfologis,
di mana mulai nampak dimorfisme seksual (perbedaan antara laki-laki dan
perempuan), yang disebabkan oleh berfungsinya jenis-jenis hormon yang berbeda
di antara kedua jenis kelamin (Santrock, 2008)
Menurut WHO 2009, remaja adalah mereka yang berada pada tahap
transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa. Batasan usia remaja menurut
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) tahun 2011 adalah antara
10 sampai 19 tahun dan belum kawin. Remaja adalah anak usia 10-20 tahun yang
merupakan usia antara masa kanak-kanak dan masa dewasa dan sebagai titik awal
proses reproduksi (Santrock, 2008).
2.4.2 Tahapan remaja
Perubahan fisik yang cepat dan terjadi secara berkelanjutan pada remaja
menyebabkan para remaja sadar dan lebih sensisitif terhadap bentuk tubuhnya dan
mencoba membandingkan dengan kehidupan sosialnya yaitu dengan teman-teman
sebaya. (Batubara, 2010).
Perubahan psikososial pada remaja dibagi dalam tiga tahapan. Tahapan
untuk mencapai kematangan tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1)
28
masa remaja awal/dini (Early adolescence): umur 11-13 tahun; 2) masa remaja
pertengahan (Middle adolescence): umur 14-16 tahun; 3) masa remaja lanjut (Late
adolescence): umur 17-20 tahun (Soetjiningsih, 2004 ; Kemenkes, 2011).
1) Masa remaja awal/dini (Early adolescence).
Karakteristik remaja awal yaitu mengalami pertumbuhan fisik dan seksual.
Tahapan perkembangan masa remaja awal pada proses pertumbuhan fisik kerap
kali membandingkan sesuatu dengan teman sebayanya dan sangat mementingkan
penerimaan oleh teman sebaya (Bangun, 2012). Perkembangan seksualnya
mengalami pematangan sehingga seringkali terangsang secara seksual.
Rangsangan ini diakibatkan oleh faktor internal yaitu meningkatnya kadar
testosteron pada laki-laki dan estrogen pada remaja perempuan (Huda, 2013).
Rangkaian akibat perubahan somatik dan fisiologis ini meningkatkan kecepatan
kematangan seksual dari remaja awal (early adolescene) (Ramadan, 2013).
2) Masa remaja pertengahan (Middle adolescence)
Masa remaja pertengahan ini ditandai dengan berkembangnya kemampuan
berpikir yang baru. Teman sebaya masih memiliki peran yang penting, namun
individu sudah lebih mampu mengarahkan diri sendiri (Bangun, 2012) . Belajar
mengendalikan impulsivitas dan membuat keputusan-keputusan awal yang
berkaitan dengan tujuan yang ingin dicapai (Ramadan, 2013).).
Masa remaja pertengahan sudah mengalami pematangan fisik secara
penuh yaitu anak laki-laki sudah mengalami mimpi basah sedangkan anak
perempuan sudah mengalami haid (Batubara, 2010). Bentuk tubuh sudah terlihat
dan sering remaja merasa tidak puas dengan bentuk tubuh mereka (Huda, 2013).
29
Usaha untuk merubah citra tubuh sesuai yang mereka inginkan sering ditemukan
pada tahapan ini (Santrock, 2007).
Rata-rata kecepatan pertumbuhan pada masa remaja pertengahan anak
perempuan dengan puncak pertumbuhan cepat pada usia 11,5 tahun dengan
kecepatan tertinggi 8,3 cm pertahun dan kemudian melambat dan berhenti pada
usia 16 tahun. Rata-rata anak laki-laki pertumbuhan cepatnya mulai memuncak
pada usia 13,5 tahun dengan 9,5 cm pertahun, kemudian melambat dan berhenti
pada usia 18 tahun (Soetjiningsih, 2004).
3) Masa remaja lanjut (Late adolescence)
Karakteristik pada tahap ini umumnya sudah merasa nyaman dengan nilai
dirinya (Soetjiningsih, 2004). Selama periode ini remaja berusaha memantapkan
tujuan dan mengembangkan Sense of Personal Identity (Santrock, 2007).
Keinginan yang kuat untuk menjadi matang dan diterima dalam kelompok teman
sebaya dan orang dewasa (Muftika, 2011). Tahap terakhir perkembangan
payudara, penis, dan rambut kemaluan pada usia 17-18 tahun pada 95% pria dan
wanita juga menjadi ciri dalam tahapan ini (Soetjiningsih, 2004).
Kesimpulan secara umum pada ciri-ciri yang dimiliki remaja berdasarkan
uraian diatas adalah sebagai berikut : terjadi pematangan fisik-biologik,
meningkatnya empati sesamanya, meningkatnya keinginan untuk bebas dari
ketergantungan, suka mengganggu sesamanya, meningkatnya hubungan dengan
teman sebayanya, meningkatnya orientasi seksual, memasuki masa menahan
birahi, dan masa mencoba-coba aktifitas seksual (Kemenkes, 2011 ; Siswianti
2012).
30
2.4.3 Perubahan fisik remaja
Fisik atau tubuh manusia merupakan system organ yang kompleks dan
sangat mengagumkan. Organ-organ yang terdapat padah tubuh manusia terbentuk
pada periode prenatal (dalam kandungan) (Bangun, 2012). Perkembangan fisik
individu meliputi empat aspek, yaitu system saraf, otot-otot yang mempengaruhi
perkembangan kekuatan dan kemampuan motorik, kelenjar endokrin yang
menyebabkan munculnya pola-pola tingkah laku baru serta struktur fisik/tubuh,
yang meliputi tinggi, berat dan proporsi tubuh (Ramadan, 2013).
Remaja tumbuh pada kecepatan yang bervariasi, sehingga terjadi variasi
ukuran dan bentuk yang pada masa anak-anak masih belum tampak (Bangun,
2012). Perbedaan itu dapat dilihat pada laki-laki dan perempuan, di mana anak
perempuan 2 tahun lebih cepat memasuki masa remaja bila dibandingkan anak
laki-laki (Huda, 2013). Parameter pertumbuhan umum pada remaja salah satunya
adalah tinggi badan. Tinggi badan (TB) remaja adalah sekitar 20% sampai 25%
dari tinggi badan saat dewasa (Batubara, 2010).
Berat badan (BB) juga sering digunakan untuk menyatakan pertumbuhan.
Berat badan remaja perempuan sebelum pacu tumbuh sekitar 2 kg pertahun, saat
masuk usia pacu tumbuh rata-rata kenaikan berat badan sekitar 3 – 3,5 kg
pertahun (Calvin, 2013). Puncak peningkatan berat badan remaja perempuan pada
usia 18 tahun dengan peningkatan sebanyak 8 kg pertahun. Pacu tumbuh otot
tertinggal 3-6 bulan dari pacu tumbuh berat badan (Calvin, 2013). Bagi anak laki-
laki, permulaan periode pertumbuhan pesat tinggi badan dimulai rata-rata pada
usia 12,8 tahun dan berakhir rata-rata pada usia 15,3 tahun, dengan puncaknya
pada empat belas tahun (Hardinsyah, 2102). Peningkatan tinggi badan yang
31
terbesar terjadi setahun sesudah dimulainya masa pubertas (Hardinsyah, 2012).
Pertumbuhan mulai menurun dan berlangsung lambat sampai usia dua puluh atau
dua puluh satu. Karena periode pertumbuhan yang lebih lama, anak laki-laki lebih
tinggi daripada anak perempuan pada saat sudah matang (Bangun, 2012).
Di Norwegia, menarche atau haid pertama, sekarang terjadi pada usia 13
tahun ke atas, dibandingkan dengan usia 17 tahun pada tahun 1840-an (Bellisle,
2010). Menarche adalah sebuah peristiwa yang menandai masa pubertas, namun
bukan satu –satunya ciri yang muncul (Santrock, 2007). Perkembangan seks
sekunder diakibatkan oleh perubahan sistem hormonal tubuh yang terjadi selama
proses pubertas (Bellisle, 2010). Perubahan komposisi tubuh terjadi karena
pengaruh hormon steroid seks dan perubahan hormonal akan menyebabkan
terjadinya Breast Budding atau tunas payudara pertumbuhan rambut pubis,
meningkatnya aktivitas kelenjar keringat, pertumbuhan rambut di lengan dan
muka serta menarche pada anak perempuan (Bellisle, 2010). Pubertas pada anak
laki-laki ditandai dengan pertumbuhan penis, perubahan suara, pertumbuhan
rambut di lengan dan muka, terjadinya peningkatan produksi minyak tubuh,
meningkatnya aktivitas kelenjar keringat, meningkatnya volume testis dan
timbulnya jerawat (Batubara, 2010).
Rambut aksila akan tumbuh setelah rambut pubis tumbuh, sedangkan
kumis dan janggut baru tumbuh belakangan, rambut aksila bukan merupakan
petanda pubertas yang baik oleh karena variasi yang sangat besar (Costello,
2006). Perubahan suara terjadi karena bertambah panjangnya pita suara akibat
pertumbuhan laring dan pengaruh testosteron terhadap pita suara dan perubahan
suara terjadi bersamaan dengan pertumbuhan penis, umumnya pada pertengahan
32
pubertas (Moore, 2010). Mimpi basah atau Wet Dream terjadi sekitar usia 13-17
tahun, bersamaan dengan puncak pertumbuhan tinggi badan (Batubara, 2010).
Pada anak perempuan awal pubertas ditandai oleh timbulnya Breast Budding atau
tunas payudara pada usia kira-kira 10 tahun, kemudian secara bertahap payudara
berkembang menjadi payudara dewasa pada usia 13-14 tahun (Moore, 2010).
Rambut pubis mulai tumbuh pada usia 11-12 tahun dan mencapai pertumbuhan
lengkap pada usia 14 tahun. Menarche terjadi pada fase akhir perkembangan
pubertas yaitu sekitar 12,5 tahun (Batubara, 2010).
2.5 Antropometri
2.5.1. Definisi antropometri
Pengukuran antropometri ada 2 tipe yaitu pertumbuhan, dan ukuran
komposisi tubuh yang dibagi menjadi pengukuran lemak tubuh dan massa tubuh
yang bebas lemak (Kemenkes RI. 2010). Penilaian pertumbuhan merupakan
komponen esensial dalam surveilan kesehatan anak karena hampir setiap masalah
yang berkaitan dengan fisiologi, interpersonal, dan domain sosial dapat
memberikan efek yang buruk pada pertumbuhan anak (Kemenkes RI, 2010). Alat
yang sangat penting untuk penilaian pertumbuhan adalah kurva pertumbuhan
(growth chart) pada gambar terlampir, dilengkapi dengan alat timbangan yang
akurat, papan pengukur, stadiometer dan pita pengukur (Calvin, 2013).
Antropometri berasal dari kata anthropos yang berarti Man (orang) dan
Metron (ukur). Antropometri adalah studi tentang pengukuran individu manusia
untuk mengetahui variasi fisik manusia dan berkembang sebagai ilmu yang
mempelajari klasifikasi dan identifikasi perbedaan ras dan jenis kelamin
(Kemenkes RI, 2011).
33
Pengukuran yang dapat dilakukan pada manusia secara umum meliputi
pengukuran massa, panjang, tinggi, lebar, dalam, circumference (putaran),
curvatur (busur), pengukuran jaringan lunak (lipatan kulit)( Knechtle, 2011). Pada
intinya pengukuran dapat dilakukan pada tubuh secara keseluruhan maupun
membagi tubuh dalam bagian yang spesifik (M. Powell, 2009).
2.5.2. Tujuan antropometri
Tujuan antropometri menurut National Health and Nutrition Examination
Surveys (NHANES) adalah untuk mengumpulkan data pengukuran tubuh yang
berkualitas dengan menggunakan prosedur yang baku dan alat yang sudah
terkalibrasi dengan tepat (CDC, 2007).
Antropometri adalah pengukuran yang digunakan untuk menentukan
keadaan gizi seseorang yang digambarkan salah satunya melalui IMT. IMT adalah
cara yang sederhana untuk memantau status gizi. Status gizi optimal merupakan
cara untuk menghindari malnutrisi karena status gizi yang baik merupakan salah
satu dasar pembentuk sumber daya manusia yang berkualitas (Habut, 2015).
2.5.3 Pengukuran Antropometri
Pengukuran antropometri antara lain untuk mengetahui Indeks Massa
Tubuh (IMT) dengan mengukur berat badan (BB), tinggi badan (TB) saat berdiri,
panjang tubuh (PB) saat berbaring (Amelia, 2009). Indeks Massa Tubuh (IMT)
direkomendasikan sebagai indikator yang baik untuk menentukan status gizi
(Harahap, 2005).
a. Berat Badan (BB)
34
Pengukuran BB dilakukan menggunakan timbangan yang diukur dalam
posisi berdiri di atas timbangan badan tanpa sepatu dan pakaian yang
minimum dengan satuan kilogram (Kg) (CDC, 2007)
b. Tinggi Badan (TB)
Pengukuran tinggi dengan berdiri merupakan penilaian ukuran tinggi
badan yang maximal. Penilaian ini digunakan untuk anak di atas usia 2 tahun
atau lebih tua yang dapat berdiri tanpa membutuhkan bantuan. Pengukuran
dilakukan dalam posisi berdiri tegak (boleh bersandar), kaki rapat, kepala
dalam posisi dataran Frankfurt, dan menggunakan antropometer dengan
satuan centimeter (cm) salah satunya dapat diukur dengan menggunakan
pengukur tinggi badan MIC health scale. (CDC, 2007).
Gambar 2.4 Posisi Pengukuran Tinggi Badan yang Benar
2.5.4 Pengukuran TBW dengan BIA
Bioelectrical Impedance Analysis(BIA) berguna untuk memprediksi Fat-
Free Mass(FFM) di seluruh dan beberapa bagian tubuh (Ohta, 2016). Meskipun
(CDC, 2007)
35
dual energy X-ray absorptiometry(DXA), computed tomography dan magnetic
resonance imaging(MRI) dianggap sebagai metode referensi untuk
mengidentifikasi konduktor silinder ionik dimana lemak bebas ekstrasellular dan
intrasellular berfungsi sebagai resistor dan kapasitor . Arus listrik dalam tubuh
adalah jenis ionik dan berhubungan dengan jumlah ion bebas dari garam, basa dan
asam, juga berhubungan dengan konsentrasi, mobilitas, dan temperatur medium.
Jaringan terdiri dari sebagian besar air dan elektrolit yang merupakan penghantar
listrik yang baik, sementara lemak dan tulang merupakan penghantar listrik yang
buruk (Dehghan, 2008).
Metode non-invasif dan cepat, BIA(Bioelectrical Impedance Analysis)
adalah yang paling umum digunakan memperkirakan komposisi tubuh.
Dibandingkan dengan metode lain seperti hydrodensitometry, Magnetic
Resonance Imaging(MRI), dual-energy X-ray absorptiometry (DXA), BIA
mempunyai beberapa keunggulan, selain lebih terjangkau, teknik BIA aman,
cepat, membutuhkan sedikit keterampilan dari operator, mudah dibawa dan akurat
dalam menentukan massa otot dan massa lemak (Knechtle, 2011)
(Tanita Instruction Manual)
Gambar 2.5 BIA
36
2.6 Hubungan TBW dengan kesehatan tubuh
Perubahan komposisi dan volume cairan tubuh seperti gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit disebabkan oleh berbagai macam keadaan atau
penyakit. Sebagian besar gangguan ini disebabkan oleh penyakit saluran cerna
(Guricci, 2009). Kehilangan cairan dalam jumlah yang banyak akan menyebabkan
menurunnya total cairan tubuh (Hardinsyah, 2012).
Terlalu banyak mengonsumsi air juga akan berdampak tidak baik. Efek
samping yang mungkin timbul akibat minum air dalam jumlah terlalu banyak
adalah timbul rasa mual, selain itu konsumsi air yang berlebih akan
mempengaruhi keseimbangan elektrolit yang dapat menyebabkan tubuh tidak
berfungsi dengan baik. Efek lain yang muncul antara lain gangguan ginjal dan
timbul sakit kepala, pandangan kabur ataupun kejang (Corwin, 2009).