Post on 10-Jul-2020
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kegemukan
2.1.1 Definisi
Overweight dan obesitas merupakan bagian dari kegemukan (Harjadi &
Soejono ,1986) dalam (Adiningrum, 2008). Pada International Classification of
Disease 10 (ICD-10), overweight adalah seseorang yang memiliki status berat tubuh
diatas standar yang pasti dari berat badan yang diperlukan. Pada skala indeks massa
tubuh, overweight digambarkan dengan memiliki nilai IMT 25.0-29.9 Kg/��2.
Sedangkan obesitas adalah memiliki lemak tubuh yang berlebih. Berbeda dengan
overweight, dimana keadaan kelebihan berat badan tersebut dapat berasal dari otot,
tulang, lemak, dan atau cairan tubuh.
Obesitas terjadi jika dalam suatu periode waktu, lebih banyak kilokalori yang
masuk melalui makanan daripada yang digunakan untuk menunjang kebutuhan energi
tubuh, dengan kelebihan energi tersebut disimpan sebagai trigliserida di jaringan
lemak. Pada awal pembentukan obesitas, sel sel lemak yang sudah ada membesar.
Seorang dewasa rata rata memiliki sekitar 40 – 50 milyar adiposity. Dimana, setiap sel
lemak dapat menyimpan sekitar 1,2 µg trigliserida. Jika sel-sel lemak yang sudah ada
terisi penuh, maka jika yang bersangkutan terus mengkonsumsi lebih banyak kalori
daripada yang dikeluarkan, maka akan terbentuk lebih banyak adiposity
(Sherwood, 2014).
5
6
6
Tetapi, tidak semua orang mempunyai berat badan lebih disebut obesitas,
karena para atlet—yang karena mempunyai waktu latihan teratur dan masa otot
tumbuh baik—akan mempunyai berat badan rata-rata yang lebih dari anak sebayanya
dan tidak dapat disebut obesitas. Demikian pula, anak yang mempunyai kerangka
tulang besar dan otot-otot yang lebih dari biasanya, sehingga berat badan dan tingginya
di atas rata-rata anak sebayanya, yang juga bukan disebut obesitas (Soetjiningsih,
2014). Menurut WHO 2006, anak dikatakan obesitas bila IMT berdasarkan umur, atau
berat badan terhadap tinggi badan diatas 3 z-score.
Table 2.1 Klasifikasi Status Gizi WHO 2006
Status Gizi BB/TB WHO 2006
Obesitas > +3 SD
Overweight > +2 SD hingga + 3 SD
Normal +2 SD hingga -2 SD
Gizi kurang < -2 SD hingga -3 SD
Gizi Buruk < -3 SD
(Sumber: Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia, Asuhan Nutrisi Pediatrik Tahun 2011)
Untuk pengukuran balita di posyandu pada desa – desa di Indonesia, maka
digunakan Standart Antropometri Penilaian Status Gizi Anak yang dikeluarkan oleh
Kementrian Kesehatan Replubik Indonesia pada tahun 2010 dengan menggunakan
Indeks yaitu Berat Badan menurut Panjang Badan (BB/PB atau Berat Badan menurut
Tinggi Badan (BB/TB).
7
Kategori dan ambang batas status gizi adalah sebagai berikut :
Table 2.2 Klasifikasi Status Gizi WHO 2006
Indeks Status Gizi Ambang Batas
(Z-Score)
Berat Badan
menurut Panjang
Badan (BB/PB)
atau
Berat Badan
menurut Tinggi
Badan (BB/TB)
Sangat Kurus < -3 SD
Kurus -3 SD hingga <-2 SD
Normal -2 SD hingga +2 SD
Gemuk >2 SD
(Sumber: Standart Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, Kementrian Kesehatan
Replubik Indonesia Tahun 2010)
Banyak anak yang mengalami obesitas menjadi orang dewasa obesitas. Risiko
menjadi obesitas yang menetap meningkat sejalan dengan usia dan derajat obesitas.
Anak usia 11 tahun dengan gizi lebih berisiko dua kali lebih besar untuk tetap berstatus
gizi lebih pada usia 15 tahun dibandingkan anak usia 7 tahun dengan gizi lebih. Risiko
obesitas pada masa anak dan tetap obesitas pada masa dewasa juga dipengaruhi oleh
riwayat keluarga. Bila satu orangtua mengalami obesitas, maka ods rasio anak tersebut
menjadi obesitas pada masa dewasa adalah 3, tapi bila kedua orangtua mengalami
obesitas, rasio meningkat menjadi 10 (Nelson,2014)
8
2.1.2 Patogenesis
Terjadinya obesitas menurut jumlah sel lemak adalah sebagai berikut :
1. Jumlah sel lemak normal, tetapi terjadi hipertrofi/pembesaran.
2. Jumlah sel lemak meningkat/hiperplasi dan juga terjadi hipertrofi.
Penambahan jumlah dan pembesaran sel lemak paling cepat terjadi pada masa
anak-anak dan mencapai puncaknya pada masa meningkat dewasa. Setelah masa
dewasa tidak akan terjadi penambahan sel, tetapi hanya terjadi pembesaran sel. Obesitas
yang terjadi pada masa anak, selain hiperplasi, juga disebabkan oleh hipertrofi;
sedangkan setelah masa dewasa pada umumnya akan hanya terjadi karena hipertrofi sel
lemak nya saja. Obesitas pada anak terjadi apabila asupan kalori berlebihan, terutama
pada tahun pertama kehidupan. Rangsangan meningkatkan jumlah sel terus berlanjut
sampai dewasa. Setelah itu, hanya terjadi pembesaran sel saja. Sehingga, apabila terjadi
penurunan berat badan setelah masa dewasa, sebabnya adalah bukan jumlah sel lemak
nya yang berkurang, melainkan besar sel nya yang berkurang. (Soetjiningsih, 2014)
2.1.3 Faktor Penyebab
Sheerwood (2014) juga mengulas beberapa faktor penyebab overwight atau
obesitas, yaitu :
a. Kurang olahraga.
Banyak peneletian mengemukakan rerata orang gemuk tidak makan lebih
banyak dibandingkan dengan orang kurus. Salah satu penjelasan yang mungkin adalah
bahwa orang dengan kelebihan berat (obesitas) tidak makan berlebihan melainkan
9
“kurang gerak”, seperti contoh nya yaitu sindrom “couch potato” (menonton telivisi
sambil memakan camilan). Tingkat aktivitas yang rendah biasanya tidak disertai
penurunan setara asupan makanan.
b. Perbedaan dalam mengekstrasi energi dari makanan.
Selain kurang olahraga, walaupun orang dengan obesitas mengkonsumsi
kilokalori yang sama, efesiensi mengekstrasi energi dalam dari makanan berbeda.
Orang dengan obesitas diketahui memiliki sistem metabolik yang lebih efisien dalam
mengekstrasi energi dari makanan –suatu sifat yang bermanfaat dalam situasi
kekurangan makanan, tetapi menjadi beban dalam mempertahankan berat ketika
makanan berlimpah.
c. Kecenderungan herediter.
Perbedaan dalam jalur-jalur regulatorik untuk keseimbangan energi –baik jalur
untuk mengatur asupan makanan maupun yang mempengaruhi pengeluaran energi—
sering berasal dari variasi genetik.
d. Pembentukan sel lemak dalam jumlah berlebihan akibat makan berlebih.
Salah satu masalah dalam melawan obesitas adalah bahwa sekali terbentuk
maka sel lemak tidak lenyap dengan pembatasan makan dan penurunan berat. Bahkan
ketika seseorang yang berdiet telah kehilangan banyak dari lemak trigliserida yang
tersimpan di sel-sel ini, sel sel tersebut tetap ada dan siap diisi kembali. Karena itu,
penambahan berat secara rebound setelah penurunan berat sulit dihindari dan dapat
mematahkan semangat yang bersangkutan.
10
e. Keberadaan penyakit endokrin tertertu.
Sebagai contoh yaitu hipotiroidisme. Hipotiroidisme berkaitan dengan kelebihan
hormone tiroid, faktor utama yang menurunkan Basal Rate Metabolism (BMR)
sehingga tubuh cenderung kurang dalam membakar kalori.
2.1.4 Prevalensi
Secara global, sekitar lebih dari satu miliar orang dewasa memiliki berat badan
berlebih dan 300 juta diantaranya diperkirakan mengalami obesitas. Laju peningkatan
prevalensi obesitas terjadi paling cepat di area perkotaan di negara berpendapatan
rendah dan menengah, ketika masalah obesitas bersamaan diikuti oleh masalah kurang
gizi (Holdsworth et al, 2012). Sedangkan pada balita, angka kejadian overweight dan
obesitas meningkat dari 4,2% pada tahun 1990 menjadi 6,7% pada tahun 2010.
Kecenderungan ini mencapai 9,1 % atau 60 juta ditahun 2020 (Onis, Blossner, Borghi,
2010)
Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 (RISKESDAS 2013), masalah
gemuk pada anak umur 5-12 tahun masih tinggi yaitu 18,8 persen, terdiri dari gemuk
10,8 persen dan sangat gemuk (obesitas) 8,8 persen. Prevalensi gemuk terendah di Nusa
Tenggara Timur (8,7%) dan tertinggi di DKI Jakarta (30,1%). Sebanyak 15 provinsi
dengan prevalensi sangat gemuk diatas nasional, yaitu Kalimantan Tengah, Jawa
Timur, Banten, Kalimantan Timur, Bali, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Kepulauan
Riau, Jambi, Papua, Bengkulu, Bangka Belitung, Lampung dan DKI Jakarta.
11
(RISKESDAS, 2013)
Gambar 2.1
Prevalensi status gizi gemuk dan sangat gemuk (IMT/U) anak umur 5-12 tahun menurut provinsi, Indonesia 2013
Sedangkan untuk anak usia 13-15 tahun, dengan metode yang sama yaitu
IMT/U prevalensi gemuk pada remaja umur 13-15 tahun di Indonesia sebesar 10.8
persen, terdiri dari 8,3 persen gemuk dan 2,5 persen sangat gemuk (obesitas). Sebanyak
13 provinsi dengan prevalensi gemuk diatas nasional, yaitu Jawa Timur, Kepulauan
Riau, DKI, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Bangka Belitung, Bali, Kalimantan
Timur, Lampung, Sulawesi Utara dan Papua.
12
(RISKESDAS,2013)
Gambar 2.2
Prevalensi status gizi gemuk dan sangat gemuk (IMT/U) remaja 13-15 tahun menurut provinsi, Indonesia 2013
2.1.5 Gejala Klinis
Masa yang paling sering mengalami obesitas adalah pada tahun pertama
kehidupan, usia 5-6 tahun, dan pada masa remaja. Anak yang mengalami obesitas
pertumbuhan tulang nya akan lebih cepat matang. Dengan kata lain anak yang
mengalami obesitas relatif lebih tinggi pada masa remaja awal, tetapi pertumbuhan
memanjang nya lebih cepat selesai. Oleh karena itu mereka mempunyai tinggi badan
relatif lebih pendek daripada anak sebayanya (Soetjiningsih, 2014)
13
2.1.6 Komplikasi
Nelson (2014) memaparkan beberapa komplikasi yang bisa terjadi pada
penderita obesitas, yaitu
Table 2.3 Komplikasi Pada Penderita Obesitas
Komplikasi Efek
Psikososial Biasanya, anak yang mengalami obesitas akan
mendapatkan perlakukan yang berbeda dari teman-
temannya yang sebaya, seperti merasa terisolasi
Pertumbuhan Usia tulang akan lebih maju, sehingga tinggi
bertambah.
Sistem saraf pusat Pseudomotor cerebri
Respirasi Sleep apnea, sindrom Pickwickian
Kardiovaskular Hipertensi, hipertrofi jantung, penyakit jantung
iskemik*, kematian mendadak*
Ortopedi Slipped capital femoral epiphysis, penyakit Blount
Metabolik Resistensiinsulin, diabetes militus tipe 2,
hipertrigliseridemia, hiperkolesterolemia, gout*,
steatosis hepatic, penyakit ovarium polikistik,
koletiasis
*komplikasi jarang terjadi sebelum usia dewasa
(Sumber: Nelson, Ilmu Kesehatan Anak Esensial Edisi Keenam Tahun 2014)
14
Selain komplikasi yang terjadi pada anak seperti yang telah diuraikan diatas,
ada pula komplikasi yang dapat timbul setelah anak tumbuh menjadi dewasa,
diantaranya adalah:
- Obesitas persisten
- Resiko penyakit kardio-vaskuler
- Dampak kurang baik pada social ekonomi
- Kematian dini
(Reilly JJ, 2006)
2.1.7 Penatalaksanaan
Tujuan utama dalam penatalaksanaan obesitas pada anak jelas berbeda
dibanding pada orang dewasa, yaitu hanya untuk memperlambat laju kenaikan berat
badan yang pesat dan tidak melakukan diet yang terlalu ketat, tetapi tetap sesuai dengan
laju pertumbuhannya. Cara pengaturan diet pada setiap rentang pertumbuhan adalah
sebagai berikut :
1. Bayi
Pada bayi, diet yang sesuai adalah dengan memberikan asupan makanan sesuai
kebutuhannya, yaitu untuk bayi kurang dari 6 bulan 110 kkal/kgBB/hari dan untuk bayi
lebih dari 6 bulan 90kkal/kgBB/hari. Air tawar diperlukan sebagai selingan sehingga
susu botol bisa dikurangi. Sebagai aktivitas, dianjurkan pada ibu untuk tidak hanya
menggendong anaknya saja, melainkan dibiarkan melakukan aktivitas. ASI diteruskan
sampai 2 tahun.
15
2. Anak prasekolah
Diet seimbang pada anak prasekolah masih sama tujuannya yaitu untuk
memperlambat kenaikan berat badan, dengan cara memberikan diet seimbang
60kkal/kgBB/hari. Atau, bisa juga dengan mengganti sumber makanan dari makanan
keluarga dengan porsi kecil dan menghindari makanan mengandung kalori tinggi.
Aktivitas juga masih perlu diperhatikan. Diusahakan anak didorong untuk melakukan
aktivitas fisik dan mencegah aktivitas seperti menonton TV/Video/dll yang berlebihan.
3. Anak usia sekolah
Tujuan diet seimbang pada anak usia sekolah sedikit berbeda, yaitu berusaha
dengan mempertahankan berat badan anak dan menaikan tingginya. Diet yang
diberikan adalah sekitar 1200kkal/hari atau sekitar 60 kkal/kgBB/hari. Aktivitas fisik
perlu didorong, baik secara mandiri maupun kelompok. Aktivitas- aktivitas yang pasif
seperti menonton TV bermain video game terlalu lama sebaiknya dihindarkan. Makan
makanan berkalori tinggi juga perlu dihindarkan.
4. Obesitas remaja
Menurunkan berat badan adalah tujuan utama pada obesitas remaja. Kita harus
menurunkan berat badan yang diharapkan sesuai dengan tinggi badannya. Diet yang
diperlukan adalah 850 kkal/hari atau, apabila ingin menargetkan penurunan berat badan
500 gram/minggu, perlu pengurangan kalori 500kkal/hari. Aktivitas fisik juga perlu
didorong, baik sendiri maupun berkelompok (Soetjiningsih, 2014).
16
NICE (2006) menjelaskan, aktivitas fisik dalam penatalaksanaan pada obesitas
bisa saja sebagai berikut:
a. Melakukan aktivitas-aktivitas fisik yang digabungkan dengan kehidupan
sehari-hari, seperti berjalan cepat, berkebun, bersepeda.
b. Membiasakan berjalan setiap hari, menaiki tangga, atau berenang.
Aktivitas diatas lebih baik dilakukan walaupun tidak bertujuan menurunkan berat badan
karena latihan fisik tersebut memiliki dampak yang lainnya, seperti menurunkan resiko
diabetes tipe 2 dan penyakit kardiovaskular. Pertimbangkan pula kebugaran dan
kemampuan fisik dari individu saat melakukannya.
2.1.8 Pengukuran Berat Badan
1. Standar Broca
Standar broca menjelaskan berat badan ideal adalah sebagai berikut :
- Wanita : Berat Badan Ideal (kg) = Tinggi Badan (cm) – 100 ± 15%
- Pria: Berat Badan Ideal (kg) = Tinggi Badan (cm) – 100 ± 10%
(Halls,2005)
Namun, walaupun banyak dipakai oleh masyarakat karena sederhana, Standar Broca
tidak menghitung beberapa faktor-faktor lainnya. Seperti faktor usia dan aktivitas fisik.
17
2. Indeks Massa Tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI)
Berat badan Ideal menurut IMT adalah berat badan yang diperoleh dari perkalian antara tinggi badan kuadrat dalam satuan meter (Kg/��2).
IMT ∶
Berat badan (Kg) (Tinggi badan (m))2
Penilaian klasifikasi IMT adalah sebagai berikut :
Table 2.3 Klasifikasi IMT
Klasifikasi BMI (Kg//��2)
Kurus berat <16.00
Kurus sedang 16-16,99
Kurus ringan 17.00-18.49
Underweight <18.50
Normal 18.50-24.99
Overweight >25
Pre-Obesitas 25.00 - 29.99
Obesitas >30.00
Obesitas Kelas 1 30.00 - 34.99
Obesitas Kelas 2 35.00 - 39.99
Obesitas Kelas 3 >40.00
(Sumber: WHO, 1995, WHO, 2000 dan WHO 2004)
18
2.2 Perkembangan
2.2.1 Definisi Perkembangan
Banyak orang menggunakan istilah “pertumbuhan” dan “perkembangan”secara
bergantian. Dalam kenyataan kedua istilah itu berbeda, walaupun tidak dapat
dipisahkan, namun keduanya tidak dapat pula berdiri sendiri pula. Perkembangan
(development) adalah perubahan yang bersifat kuantitatif dan kualitatif. Perkembangan
adalah bertambahnya kemampuan (skill) struktur dan fungsi tubuh yang lebih
kompleks, dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses
pematangan/maturitas (Soetjiningsih, 2014). Perubahan-perubahan yang terjadi pada
saat perkembangan tentu sangat banyak. Berikut adalah 4 kateogori utama perubahan
yang terjadi secara garis besar :
1. Perubahan ukuran
2. Perubahan proporsi
3. Hilangnya ciri lama
4. Muncul ciri baru
(Hurlock,2005)
2.2.2 Faktor Utama yang Mempengaruhi Perkembangan
Seotjiningsih (2014) mempaparkan ada 2 hal yang bisa menjadi faktor yang
mempengaruhi perkembangan:
19
1. Faktor Genetik
Faktor genetik merupakan suatu modal yang dasar dalam mencapai hasil
akhir proses tumbuh dan kembang anak. Gangguan pertumbuhan di negara
maju lebih sering disebabkan oleh faktor genetik ini, contohnya adalah
kelainan kromosom (Sindrom Dorn, Sindrom Tuerner, dll)
2. Faktor Lingkungan
a. Pranatal ( Saat masih di dalam kandungan)
1.Gizi ibu pada waktu hamil.
2.Mekanis
3.Toksin/zat kimia
4. Endokrin
5.Radiasi
6.Infeksi
7.Stress
8.Imunitas
9.Anoksia embrio
b. Pascanatal
1.Faktor biologis, antara lain :
a) Ras / suku bangsa.
b) Jenis kelamin
c) Umur
d) Gizi
20
Makanan memegang perenan penting dalam tumbuh
kembang anak.
e) Perawatan kesehatan
f) Kerentanan terhadap penyakit
g) Kondisi kesehatan kronis
h) Fungsi metabolism
i) Hormon
2.Faktor fisik, antara lain :
a) Keadaan geografis suatu daerah
b) Sanitasi
c) Keadaan rumah
d) Radiasi
3.Faktor Psikososial
4.Faktor Keluarga dan Adat Istiadat
2.2.3 Perkembangan Motorik
Perkembangan motorik adalah perkembangan pengendalian gerakan jasmaniah
melalui kegiatan pusat syaraf, urat syaraf, dan otot yang terkordinasi (Hurlock, 2005).
Perkembangan motorik adalah proses tumbuh kembang kemampuan gerak seorang
anak. Pada dasarnya, perkembangan ini berkembang sejalan dengan kematangan saraf
dan otot anak, sehingga setiap gerakan sesederhana apapun, adalah merupakan hasil
21
pola interaksi yang kompleks dari berbagai bagian dan sistem dalam tubuh yang
dikontrol oleh otak (Lismadiana, 2013).
2.2.3.1 Motorik Kasar
Motorik kasar adalah merupakan keterampilan yang meliputi aktivitas otot yang
besar, seperti menggerakan lengan dan berjalan (Santrock,2007). Perkembangan
motorik kasar merupakan aspek perkembangan lokomosi (gerakan) dan postur (posisi
tubuh) (Soetjiningsih, 2014).
2.2.4 Keterampilan Motorik Kasar yang Dicapai Saatu Usia 3-5 tahun
Dari data Denver II,berikut adalah keterampilan-keterampilan motorik kasar
pada anak usia 3-5 tahun yang seharusnya sudah dicapai :
- Loncat jauh
- Berdiri 1 kaki 1 detik
- Berdiri 1 kaki 2 detik
- Melompat dengan 1 kaki
- Berdiri 1 kaki 3 detik
- Berdiri 1 kaki 4 datik
- Berdiri 1 kaki 5 detik
- Berjalan tumit ke jari kaki
- Berdiri 1 kaki 6 detik
22
(sumber:http://nursingcrib.com/nursing-notes-reviewer/maternal-child-health/denver- developmental-screening-test/)
Gambar 2.3
Anak yang Sedang Melakukan Test Denver II
Khususnya Gerakan Motorik Kasar
2.2.5 Penilaian Perkembangan Anak
Dalam memantatu perkembangan anak, perlu dilakukannya skrining dan deteksi
dini penyimpangan perkembangan pada anak, guna untuk memudahkan mendiagnosis
lebih awal dan pemulihannya pun dapat dilakukan lebih awal. Sehingga, tumbuh
kembang anak dapat berlangsung secara optimal (Soetjiningsih,2014)
Berikut merupakan beberapa intrsumen skrining dan diagnosis terhadap
perkembangan anak :
- Tes intelegensi individual (Tes IQ), antara lain :
The Stanford-Binet Test
23
The Leither International Performance Scale (LIPS)
- Tes Pretasi, antara lain :
Gray oral reading test-revised (GORT-R)
Peabody Incividual Achievement Test
- Tes Psikomotor, antara lain
Uzgiri-Hunt Ordinal Scale
- Tes Proyeksi, antara lain
The Rorchach Test
The Animal Choice Test
- Tes Perilaku Adaptif, antara lain :
Vineland Adaptive Behavior Scales
- Tes skrining berdasarkan tenaga yang melakukan
Profesiionally-administered screening test (Test ini dilakukan oleh
tenaga professional yang suah terlatih), yaitu :
a. Denver II
b. Kuesioner Pra Skrining Perkembangan (KPSP)
c. Batelle Development Inventory Screening Test
d. Bayley Infant Neurodevelopment Screener (BINS)
24
2.2.6 Skrining Perkembangan menurut Denver II
Tes Denver merupakan tes prikomotorik dan merupakan salah satu metode
skrining terhadap kelainan perkembangan anak. Denver II yang digunakan saat ini
merupakan revisi dari Denver Devolepmental Screening Test (DDST)
2.2.6.1 Fungsi tes Denver II, antara lain adalah :
- Menilai tingkat perkembangan anak sesuai umurnya.
- Menilai perkembangan anak sejak baru lahir sampai umur 6 tahun.
- Menjaring anak tanpa gejala terhadap kemungkinan adanya kelainan perkembangan.
- Memastikan apakah anak dengan kecurigaan terdapat kelainan atau tidak.
- Melakukan pemantauan perkembangan anak yang berisiko.
(Soetjiningsih, 2014)
Pada lembar Denver II terdapat 125 tugas (kemampuan) perkembangan. Setiap
tugas digambarkan dalam bentuk kotak persegi panjang horizontal horizontal yang
berurutan sesuai umur.
2.2.6.2 Prosedur Denver II
Prosedur Denver II terdiri dari 2 tahap, yaitu :
- Tahap pertama : Secara Periodik dilakukan pada semua anak yang berusia 3-6 bulan,
9-12 bula, 28-24 bulan, 3 tahun, 4 tahun,dan 5 tahun.
- Tahap kedua : dilakukan pada mereka yang pada saat tahap pertama dicurigai
mengalami terdapat hambatan perkembangan. Prosedur pada tahap 2 ini dilanjutkan
dengan evaluasi diagnostik yang lengkap.
25
2.2.6.3 Pelaksanaan Denver II
1. Persiapan Alat
Nugroho (2009) menerangkan, alat alat yang diperlukan untuk pelaksanaan tes
Denver II antara lain :
a. Benang wol merah
b. Icik-icik dengan gagang kecil
c. Boneka kecil dengan botol susu
d. Cangkir kecil dengan pegangan
e. Kubus (dengan rusuk 2,5 cm) berjumlah 8 buah, berwarna merah, biru,
kuning, dan hijau masing- masing 2 buah
f. Botol kecil berwarna bening dengan tutup berdiameter 2 cm
g. Manik-manik (dalam penerapannya, ada yang menggantinya dengan kismis
atas pertimbangan tertentu)
h. Lonceng kecil, bola tenis, pensil merah, dan kertas folio berwarna putih
Selain peralatan di atas, diperlukan peralatan tambahan sebagai penunjang,
antara lain:
a. Jika memungkinkan, sediakan 1 meja dan 3 kursi berukuran kecil untuk tempat
tes.
b. Ruangan yang cukup luas untuk melakukan tes motorik kasar.
c. Meja khusus dengan kasur/ selimut untuk tempat pemeriksaan bayi.
26
2. Menghitung Usia Anak
Menurut Nugroho (2009), berikut ini langkah-langkah menghitung usia pada anak:
1. Tulis tanggal, bulan, dan tahun dilaksanakannya tes.
2. Kurangi dengan cara bersusun dengan tanggal, bulan, dan tahun kelahiran anak.
3. Jika jumlah hari yang dikurangi lebih besar, ambil jumlah hari yang sesuai dari
angka bulan di depannya (mis., Agustus: 31 hari, September: 30 hari).
4. Hasilnya adalah usia anak dalam tahun, bulan, dan hari (Gambar Contoh 1).
5. Ubah usia anak dalam satuan bulan jika perlu.
6. Jika pada saat pemeriksaan usia anak dibawah 2 tahun, anak lahir kurang 2
minggu, atau lebih dari HPL, lakukan penyesuaian prematuritas dengan cara
mengurangi umur anak dengan jumlah minggu tersebut (Gambar Contoh 2).
27
Gambar 2.4 Halaman Depan Formulir DDST (Denver II)
(Sumber: Frankenburg WK, Dodds JB, 1990, Denver II)
28
Gambar 2.5 Halaman Belakang Formulir DDST (Denver II)
(Sumber: Frankenburg WK, Dodds JB, 1990, Denver II)
29
2.2.6.4 Intepretasi Denver II
Nugroho (2009), menjelaskan interpretasi hasil untuk tes Denver II terdiri atas
dua tahap, yaitu penilaian per item dan penilaian tes secara keseluruhan
a. Penilaian per item
Ilustrasi untuk penilaian per item dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Penilaian item “Lebih” (Advance). Nilai “Lebih” diberikan jika anak dapat “Lulus/
Lewat” (L) dari item tes di sebelah kanan garis usia.
2. Penilaian item “OK” atau normal. Nilai “OK” dapat diberikan pada anak dalam
kondisi sebagai berikut.
a. Anak “Gagal” (G) atau “Menolak” (M) melakukan tugas untuk item di sebelah
kanan garis usia.
b. Anak “Lulus/ Lewat” (L), “Gagal” (G), atau “Menolak” (M) melakukan tugas
untuk item di daerah putih kotak (daerah 25%-75%).
30
30
3. Penilaian item P= “”Peringatan” (C= Caution). Nilai ini diberikan jika anak
“Gagal” (G) atau “Menolak” (M) melakukan tugas untuk yang dilalui oleh garis
usia pada daerah gelap kotak (daerah 75%-90%). Peringatan terdiri dari dua macam.
Pertama, peringatan karena anak mengalami kegagalan (G). Peringatan jenis ini
memungkinkan anak mendapat interpretasi penilaian akhir “Suspek”. Kedua,
peringatan karena anak menolak melaksanakan tugas (M). Peringatan jenis ini
memungkinkan anak mendapat interpretasi akhir “Tak dapat diuji”.
4. Penilaian item T= “Terlambat” (D= Delayed). Nilai ini diberikan jika anak “Gagal”
(G)
atau
“Menolak” (M) melakukan tugas untuk item di sebelah kiri garis usia sebab tugas
tersebut memang ditujukan untuk anak usia muda. Terlambat terdiri dari dua
macam. Pertama, terlambat karena anak mengalami kegagalan (G). Terlambat jenis
ini memungkinkan anak mendapat interpretasi penilaian akhir “Suspek”. Kedua,
terlambat karena anak menolak melaksanakan tugas (M). Terlambat jenis ini
memungkinkan anak mendapat interpretasi akhir “Tak dapat diuji”.
31
31
5. Penilaian item “Tak ada Kesempatan” (No Opportunity). Nilai “Tak” ini tidak perlu
diperhatikan dalam penilaian tes secara keseluruhan. Nilai “Tak ada kesempatan”
diberikan jika anak mendapat skor “Tak” atau tidak ada kesempatan untuk mencoba
atau melakukan tes.
b. Penilaian Keseluruhan Tes
- Normal : Apabila tidak ada skor “Terlambat” (T) atau paling banyak 1 “Peringatan”
(P). Tindakan selanjutnya bisa melakukan pemeriksaan ulang pada kontrol kesehatan
berikutnya.
- Suspek : Apabila didapat 2 atau lebih “Peringatan” (P), dan atau satu atau lebih
“Terlambat” (T). Dalam hal ini, (T) dan (P) harus disebabkan karena kegagalan (G),
bukan karena penolakan (M). Tindakan selanjutnya yaitu dilakukan tes ulang 1-2
minggu setelahnya untuk menghilangkan faktor-faktor seperti rasa takut,
sakit,mengantuk atau kelelahan.
- Tidak dapat di tes : Jika terdapat satu atau lebih skor “Terlambat” (1 T) dan atau dua
atau lebih “Peringatan” (2 P). Dalam hal ini, (T) dan (P) harus disebabkan karena
penolakan (M), bukan oleh kegagalan (G). Tindakan selanjutnya yaitu melakukan uji
ulang dalam 1-2 minggu.
32
32
2.3 Pendidikan Anak Usia Dini
2.3.1 Pengertian
Usia dini merupakan periode awal yang paling penting dan mendasar dalam
sepanjang rentang pertumbuhan serta perkembangan kehidupan manusia. Pada masa
ini ditandai oleh berbagai periode penting yang fundamen dalam kehidupan anak
selanjutnya sampai periode akhir perkembangannya. Salah satu periode yang menjadi
penciri masa usia dini adalah the Golden Ages atau periode keemasan. Banyak konsep
dan fakta yang ditemukan memberikan penjelasan periode keemasan pada masa usia
dini, di mana semua potensi anak berkembang paling cepat. Beberapa konsep yang
disandingkan untuk masa anak usia dini adalah masa eksplorasi, masa
identifikasi/imitasi, masa peka, masa bermain dan masa trozt alter 1 (masa
membangkang tahap 1). Dalam rangka membantu memenuhi kebutuhan anak usia dini
pada bidang pendidikan, pemerintah berusaha menfasilitasi dengan dikembangkannya
Kurikulum PAUD yang diharapkan dapat membantu memberikan pendidikan yang
berkualitas pada anak usia dini (Departemen Pendidikan Nasional, 2007).
2.3.2 Prinsip-Prinsip Pendidikan Anak Usia Dini
Berikut adalah beberapa prinsip pada Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD),
Diambil dari Forum PAUD, 2007 :
- Berorientasi pada Kebutuhan Anak
Kegiatan pembelajaran pada anak harus senantiasa berorientasi kepada
kebutuhan anak. Anak usia dini adalah anak yang sedang membutuhkan upaya-upaya
33
pendidikan untuk mencapai optimalisasi semua aspek perkembangan baik
perkembangan fisik maupun psikis, yaitu intelektual, bahasa, motorik, dan sosio
emosional.
- Belajar melalui bermain
Bermain merupakan saran belajar anak usia dini. Melalui bermain anak diajak
untuk bereksplorasi, menemukan, memanfaatkan, dan mengambil kesimpulan
mengenai benda di sekitarnya.
- Menggunakan lingkungan yang kondusif
Lingkungan harus diciptakan sedemikian rupa sehingga menarik dan
menyenangkan dengan memperhatikan keamanan serta kenyamanan yang dapat
mendukung kegiatan belajar melalui bermain.
- Menggunakan pembelajaran terpadu
Pembelajaran pada anak usia dini harus menggunakan konsep pembelajaran
terpadu yang dilakukan melalui tema. Tema yang dibangun harus menarik dan dapat
membangkitkan minat anak dan bersifat kontekstual. Hal ini agar anak mampu
mengenal berbagai konsep secara mudah dan jelas sehingga pembelajaran menjadi
mudah dan bermakna bagi anak. (Rapi,2007)