Post on 02-Nov-2021
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-1
ANALITICAL HIERARCHY PROSES (AHP) DENGAN PROGRAM CDPlus 3.0
UNTUK MENYUSUN DETITION SUPPORT SYSTEM
PENGENDALIAN BANJIR DI SURAKARTA
Adi Yusuf Muttaqin
Dosen Jurusan Teknik Sipil FT Universitas Sebelas Maret Surakarta. email : ayusmut@yahoo.co.id
ABSTRAK Permasalahan banjir di Kota Surakarta tidak semata- mata persoalan teknis, tetapi juga terkait erat dengan
masalah non teknis yaitu, kondisi sosial, budaya dan ekonomi masyarakat. Oleh karena itu penyelesaian permasalahan banjir perkotaan tidak bisa diselesaikan hanya merujuk pada disiplin ilmu teknik saja tapi
juga partisipasi (keterlibatan) masyarakat sangat mempengaruhi, terutama dalam hal operasional dan
pemeliharaannya. Demikian juga dengan kondisi anggaran pengelolaan drainase Kota Surakarta yang
rendah. Review Master Plan Drainase Surakarta Bagian Utara (2003) dan Penyusunan Database Sistem
Drainase Kota Surakarata (2008) telah menunjukkan kondisi existing, permasalahan dan solusi
penanggulangan pada masing-masing Sub Wilayah Pembangunan (SWP) tetapi belum mencakup
penetapan prioritas rehabilitasi sesuai dengan conveyor drain dan berdasarkan variable penentunya.
Untuk itu diperlukan Detition Support System (Sistem Pendukung Kebijakan) prioritas rehabilitasi
dengan pendekatan Analitical Hierarchy Process (AHP), guna mempercepat proses analisis digunakan
Program Komputer Criterium Decicion Plus (CDPlus 3.0).
Analitical Hierarchy Process (AHP) memungkinkan pengguna untuk menentukan nilai bobot relatif dari suatu kriteria majemuk ( atau alternatif majemuk terhadap suatu kriteria) secara intuitif, yaitu dengan
melakukan perbandingan berpasangan. Mengubah perbandingan berpasangan tersebut menjadi suatu
himpunan bilangan yang mempresentasikan prioritas relatif dari setiap kriteria dan alternatif dengan cara
yang konsiten .
Keterbatasan sumber daya manusia dan sumber dana pada Pemerintah Kota Surakarta apalagi partisipasi
masyarakat dalam ikut membiayai rehabilitasi sangat rendah , maka rehabilitasi saluran drainase yang
rusak sebagai upaya penanggulangan banjir harus dilaksanakan secara bertahap dan berdasarkan urutan
prioritas. Sistem Pendukung Kebijakan untuk melakukan rehabilitasi jaringan drainase yang telah
disususun memberikan urutan prioritas sebagai berikut : Saluran Sumber Jetis dengan skor 12,6. Saluran
Nusukan Barat dengan skor 12,4. Saluran Nayu Utama dengan skor 11,4. Saluran Kedung Tungkul
dengan skor 10,6. Saluran Masjid Baiturrohmah dengan skor 10,0. Saluran Ngemplak Sutan dengan skor 10,0. Saluran Sekip-Joglo-Nayu dengan skor 9,4. Saluran Jl Adisumarmo dengan skor 8,3. Saluran
Nusukan Timur dengan skor 8,2. Saluran Kali Kebo dengan skor 7,5.
Kata kunci : AHP, pengendalian banjir, prioritas
1. PENDAHULUAN
Kasus banjir sering terjadi pada kawasan tertentu di wilayah perkotaan, seperti sering terjadi di Surakarta
(Solo) pada musim hujan, beberapa kawasan mengalami genangan banjir rutin seperti kawasan Kelurahan
Semanggi, Kelurahan Sewu, Komplek Perumahan Puri Gading, Kelurahan Joyontakan hal ini disebabkan
meluapnya Kali Jenes sehingga terjadi arus balik ( back water ) yang bermuara di Bangawan Solo.
Pada bagian lain kawasan Kota Solo seperti, Perumahan Fajar Indah Kelurahan Jajar, sebagian wilayah
Kelurahan Nusukan, sebagian wilayah Kelurahan Banyuanyar, sebagian Perumnas Mojosongo, pada
musim hujan juga mengalami banjir . Hal ini disebabkab buruknya kinerja jaringan drainase yang bermuara di Kali Anyar, serta perubahan tata guna lahan dikawasan Surakarta Bagian Utara. ( Bappeda
Kota Surakarta, 2003). Penelitian tahun 2003 tersebut belum ditindak lanjuti telah disusul banjir yang
lebih besar pada bulan Februari 2007, ratusan rumah di 12 RW Kelurahan Sumber, sebagian Kelurahan
Manahan, serta 7 RW di Kelurahan Kadipiro akibat meluapnya Kali Pepe dan Kali Anyar yang
merupakan badan air penerima, serta banjir besar di wilayah Solo bagian selatan yang berbatasan dengan
Sungai Bengawan Solo (Solopos, 16 Februari, 2007 ). Demikian juga pada Desember 2010 dan Januari
2011 banjir masih tetap terjadi yang merendam 1788 rumahyan meliputi Kelurahan Sangkrah dan Pasar
Kliwon (Solopos, 5 Januari 2011).
Pertambahan penduduk yang tidak diimbangi dengan penyediaan sarana dan prasarana perkotaan yang
memadahi menyebabkan pemanfaatan lahan perkotaan menjadi tidak tertib dan tidak terkendali dengan
baik. Disamping itu juga disebabkan oleh tingkat kesadaran Sumber Daya Manusia (SDM) di dalam institusi pemerintah, serta masyarakat yang masih rendah dan acuh tak acuh terhadap permasalahan yang
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-2
dihadapi kota, khususnya kinerja drainasenya. Hal inilah yang menyebabkan persoalan drainase perkotaan
/ wilayah menjadi sangat komplek.
Berdasarkan uraian diatas tercermin bahwa permasalahan banjir di Kota Solo tidak semata- mata
persoalan teknis, tetapi juga terkait erat dengan masalah non teknis yaitu, kondisi sosial, budaya dan
ekonomi masyarakat. Oleh karena itu penyelesaian permasalahan banjir perkotaan tidak bisa diselesaikan
hanya merujuk pada disiplin ilmu teknik saja tapi juga partisipasi ( keterlibatan ) masyarakat sangat
mempengaruhi, terutama dalam hal operasional dan pemeliharaannya. Demikian juga dengan kondisi
anggaran pengelolaan drainase Kota Surakarta yang rendah.
Sistem drainase Kota Surakarta secara makro dibagi dalam dua sub sistem master plan, yaitu Master Plan
Drainase Kota Surakarta Bagian Utara, dilakukan review tahun 2003 (Bappeda Kota Surakarta, 2003) dan
Master Plan Kota Surakarta Bagian Selatan, dilakukan review tahun 2006 (Bappeda Kota Surakarta, 2006). Kemudian pada tahun anggran 2007 dan 2008 telah disusun Database SIG Sistem Darinase Kota
Surakarta (Dinas Pekerjaan Umum Kota Surakarta, 2008) Seperti yang disajikan pada skema dibawah ini
:
Gambar 1.1. Skema Sistem Drainase Makro Kota Surakarta
Berdasarkan latar belakang tersebut dalam penelitian ini telah dilakukan analisis penyusunan Detition
Sport System (DSS) prioritas rehabilitasi dengan pendekatan Analitical Hierarchy Process (AHP), yang
bertujuan untuk memberikan solusi prioritas rehabilitasi sistem jaringan draianse, sebagi studi kasus
dilaksanakan pada Sistem Drainase Mikro Kota Surakarta DAS Kali Pepe dan DAS Kali Anyar. Guna
mempercepat proses analisis digunakan Program Komputer Criterium Decicion Plus (CDPlus 3.0).
2. DIKRIPSI WILAYAH STUDI
Berdasarkan geomorfologi Kota Surakarta adalah kawasan yang dilintasi sungai-sungai yang berhulu di
Gunung Lawu, Kendeng, Merapi dan Merbabu dan sungai-sungai tersebut akhirnya bermuara di
Bengawan Solo sementara Kota Solo posisinya berada persis di tepian sungai Bengawan Solo yang
terdekat dengan hulunya di Pegunungan Selatan. Bisa kita teliti sungai-sungai yang mengalir di Kota Solo
(lihat peta) seperti Kali Premulung berhulu di kaki gunung Merapi melintas di Kabupaten Sukoharjo, kali
Pepe berhulu di gunung Merapi melintas di Kab Klaten dan Boyolali. Kemudian kalau kita telusuru
kearah hulu dari Jurug sepanjang sungai Bengawan Solo sampai Waduk Wonogiri mempunyai anak-anak
sungai yang memberi kontribusi cukup besar dan cepat meningkatkan debit saat hujan deras dengan
durasi yang lama, antara lain : Kali Wingko, Kali Samin, Kali Kembangan, Kali Brambang, Kali
Buntungan, Kali Jlantah, seperti terlihat pada Gambar 2.1.
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-3
Gambar 2.1. Peta Wilayah Drainase Makro Kota Surakarta
Selanjutnya berdasarkan diskusi dan konsultasi dengan Sub Dinas Drainase DPU Kota Surakarta
diputuskan bahwa sistem drainase Kota Surakarta merupakan satu kesatuan sistem dalam Sistem Drainase
Makro Kota Surakarta dan dibagi dalam Sistem Drainase Mikro berdasarkan Daerah Aliran Sungai
(DAS) dimana di Kota Surakarta mengalir 10 (sepuluh) sungai (kali) sebagai badan air penerima
(reciving water) yang sebagian besar bermuara di Sungai Bengawan Solo. Seperti terlihat pada Gambar
1.1.
Pada studi ini wilayah dibatasi pada Surakarta Utara DAS Kali Pepe dan DAS Kali Anyar yang meliputi Sistem Drainase Kadipiro-Nusukan, Sistem Drainase Sumber-Nusukan Sistem Drainase Mojosongo
3. LANDASAN TEORI
Detition Suport System ( DSS ) adalah suatu sarana atau alat bantu untuk mendukung suatu kebijakan.
Analisis DSS dapat diawali dengan mengidentifikasi masalah yang ada, menetapkan tujuan kegiatan dan
menetapkan elemen pendukung keputusan . Setiap elemen dapat dibagi menjadi empat atau lima kondisi
sesuai dengan jenisnya ( Sobriyah, 2005 ).
Metode Analitical Hierarchy Process ( AHP ) digunakan untuk mengorganisasikan informasi dan
kebijakan dalam memilih alternatif yang paling disukai. Dengan menggunakan AHP suatu persoalan akan
dipecahkan dalam suatu kerangka berpikir yang terorganisir, sehingga memungkinkan dapat
diekspresikan untuk mengambil keputusan yang efektif atas persoalan tersebut. Persoalan yang kompleks
dapat disederhanakan dan dipercepat proses pengambilan keputusannya ( Marimin, 2004 ). Sedangkan menurut Budi Wignyosukarto, dkk, 2001, Aplikasi metode Analitical Hierarchy Process (
AHP ) pada sistem drainase perkotaan mempunyai kekuatan antara lain sebagai berikut Menstruktur
masalah secara sitematis. Dirancang untuk menggunakan rasio dan intuisi untuk memilih alternatif yang
terbaik, pada kejadian banjir di perkotaan / suatu kawasan. Alternatif yang terbaik adalah yang
mempunyai kerugian paling kecil, serta mempunyai keuntungan terbesar. Mengelempokkan faktor-faktor
yang menentukan keputusan secara gradual dari yang umum ke khusus.
4. METODE ANALISIS
Pada penelitian ini metode yang dipakai adalah Deskriptif Evaluatif, yaitu metode studi yang
mengevaluasi kondisi obyektif / apa adanya pada suatu keadaan yang sedang menjadi obyek studi. Obyek
penelitian yang dimaksud adalah, sistem jaringan drainase di Surakarta Bagian Utara, sebagian telah mengalami penurunan kapasitas dan atau peningkatan debit. Kondisi ini mengakibatkan terjadi genangan
pada waktu hujan yang mengganggu aktifitas masyarakat. Sehingga diperlukan adanya solusi dan
kebijakan yang mengutamakan opini masyarakat dalam mengatasi permasalahan tersebut.
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-4
Pengumpulan data merupakan langkah awal setelah dilakukan pengidentifikasian terhadap masalah yang
ada. Analisis Detition Suport System ( DSS ) disusun berdasarkan proses : Penyusunan hierarki.
Pembobotan terhadap kriteria dan alternatif yang terdiri dari : Partisipasi masyarakat. Kapasitas saluran
(debit). Luas daerah layanan. Estimasi biaya rehabilitasi. Analisis metode AHP dilakukan dengan
menggunakan program komputer C DPlus versi 3.0. Dalam penyusunan hierarki ini diawali dengan
tujuan, yaitu penetapan prioritas rehabilitasi jaringan untuk level 1, dilanjutkan dengan kriteria pada level
2 dan alternatif pada level 3. Kriteria-kriteria yang dikembangkan dalam DSS rehabilitasi jaringan
drainase ini adalah, Partisipasi masyarakat, tingkat kerusakan, luas areal layanan dan estimasi biaya
rehabilitasi. Secara grafis dapat digambarkan sebagai berikut :
Tujuan ( level 1 ) :
Kriteria ( level 2 ) :
Alternatif (level 3) :
Gambar 4.1.Struktur Hierarki dalam AHP
5. HASIL DAN PEMBAHASAN
Lingkup Studi ini dibagi tiga jaringan drainase di dalam Sub Wilayah Pengembangan Jaringan Drainase
itu adalah : Jaringan Drainase Kadipiro-Nusukan, Jaringan Drainase Sumber-Nusukan, Jaringan Drainase
Mojosongo. Jaringan Drainase ini terdiri dari saluran-saluran yang saling berhubungan menjadi sebuah
sistem drainase, yang masuk pada sistem drainase mikro DAS Kali Pepe dan DAS Kali Anyar, seperti yang ditunjukkan pada gambar 5.1
Gambar 5.1. Jaringan Drainase Surakarta Wilayah Studi
Prioritas Rehabilitasi
Tingkat kapasitas
saluran
Partisipasi
masyarakat
Luas areal
layanan
Estimasi biaya
Rehabilitasi
Conveyor
drain 1
Conveyor
drain 2
Conveyor
drain 3
Conveyor
drain 4
Conveyor
drain 5
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-5
Jaringan Drainase Kadipiro-Nusukan Jaringan Drainase dalam wilayah ini terdiri Saluran sekunder Nayu Utara-Timur, Saluran sekunder
Sumber Nayu bergabung di Kali Nayu, selanjutnya bermuara di K.Anyar.
Jaringan Drainase Sumber- Banyuanyar
Jaringan Drainase dalam wilayah ini meliputi Saluran sekunder Sumber
Trangkilan, Sal sekunder Gayamsari, K.Kuil, & K.Kijing.
Jaringan Drainase Mojosongo
Jaringan Drainase dalam wilayah ini meliputi Sal.Sek.Kedungjumbleng, Sal.Sek.Debegan,
Sal.Sek.Untoroloyo, Sal.Sek.Kedung Tungkul, Sal.Sek.Ngemplak Sutan, Sal.Sek.Mipitan & K.Kebo.
Rumusan Detition Support System (DSS) Hasil dari pemeriksaan kondisi existing sistem jaringan drainase di Surakarta Utara pada masing-masing
sub sistem, menunjukkan adanya kerusakan badan saluran, sedimentasi dan sebagian belum dibangun
saluran. Kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya banjir/genangan di beberapa tempat sampai dengan
menurunkan kinerja sistem jaringan drainase. Guna mengurangi volume genangan dan upaya
meningkatkan kinerja sistem jaringan drainase secara keseluruhan maka perlu dilakukan rehabilitasi pada
lokasi-lokasi kerusakan, pembersihan sedimentasi, dan pembangunan saluran baru. Sistem jaringan
drainase di Surakarta Utara merupakan satu kesatuan sistem, tetapi dikarenakan keterbatasan sumberdaya
dan sumberdana dari Pemerintah Kota Surakarta dan masyarakat , maka diperlukan DSS penentuan skala
prioritas dalam melakukan rehabilitasi. Pada penelitian ini langkah penentuan skala prioritas dibagi dalam 10 saluran pembawa (Conveyor drain)
yang tersebar pada sub sistem jaringan drainase di wilayah studi.
Tabel 5.1.Rehab Conveyor Drain Surakarta Utara
Selanjutnya ditentukan berdasarkan 4 (empat) kriteria, yaitu : Partisipasi masyarakat, kapasitas debit
pada badan saluran, luas daerah layanan dan rencana anggaran biaya (RAB) rehabilitasi. Kelancaran dan
keberhasilan rehabilitasi pada masing-masing Conceyor drain sangat ditentukan oleh partisipasi
masyarakat, maka kriteria partisipasi masyarakat dalam analisis ini paling dominan. Perumusan DSS
berdasarkan metode Analitical Hierarchy Process (AHP) menggunakan program CDPlus versi 3.0. Proses analisis metode AHP dengan tahapan melakukan penilaian dan pembobopatan kriteria, penilaian
dan pembobotan alternatif, selanjutakan dilakukan penentuan skala prioritas.
Penentuan Skala Prioritas dengan Metode AHP
Hasil akhir dari pembobotan kriteria dan alternatif tersebut diatas akan memberikan jawaban colector
drain mana yang diprioritaskan secara berurutan untuk dilakukan rehabilitasi dengan terlebih dahulu
dilakukan analisis dengan metode Analitical Hierarchy Process (AHP). Alasan dipilihnya metode AHP,
menurut Marimin (2004) adalah AHP memiliki banyak keunggulan dalam menjelasakan proses
pengambilan keputusan, yaitu :
Penentuan kriteria yang paling dominan akan sangat mempengaruhi hasil akhir.
Hasil akhir dapat digambarkan secara grafis, sehingga mudah dipahami oleh semua pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan.
Proses keputusan yang komplek dapat diuraikan menjadi keputusan-keputusan yang lebih kecil.
No Nama Saluran Kelurahan
1. Saluran Sumber Jetis Sumber
2. Saluran di Jl Adi Sumarmo Banyuanyar
3. Saluran Nayu Utama Kadipiro
4. Saluran Sekip-Joglo-Nayu Kadipiro
5. Saluran Nusukan Barat Nusukan
6. Saluran Nusukan Timur Nusukan
7. Saluran Kedung Tungkul Mojosongo
8. Saluran Ngamplak Sutan Ata Mojosongo
9. Saluran kali Kebo Mojosongo
10. Saluran Depan Masjid Baiturohmah Mojosongo
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-6
AHP menguji konsistensi penilaian bila terjadi penyimpangan yang terlalu jauh dari nilai
konsistensi sempurna, jika demikian maka penilaian perlu diperbaiki, atau hierarki harus
distruktur ulang.
Untuk selanjutnya analisis menggunakan program komputer Criterium Decision Plus (CDP) versi3.0.
Analisis dengan CDP versi 3.0
Program ini menyediakan 20 block struktur hierarki, artinya dapat membantu analisis penentuan
pilihan/penentuan prioritas sampai dengan 20 alternatif. Pada penelitian ini akan menentukan prioritas
rehabilitasi saluran drainase pada Sistem Drainase Surakarta Utara dalam 10 pilihan colector drain.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam perhitungan dengan CDP versi 3.0 adalah sebagai berikut : Menjalankan program CDP versi 3.0.
Dibuat brainstorming, dengan goal Rehab Konveyor Drain, dimasukkan kriteria dan alternatif, hasilnya
seperti Gambar 5.2.
Gambar 5.2. Brainstorming Rehabilitasi Conveyor Drain Gambar 5.2. Diagram Struktur Hierarki
Membuat struktur hierarki, hasilnya seperti pada Gambar 5.2.
Diagram pada Gambar 5.2. diatas mempresentasikan keputusan untuk memilih prioritas rehabilitasi
saluran drainase (conveyor drain), adapun kriteria untuk membuat keputusan tersebut adalah partispasai masyarakat, debit, luas daerah layanan dan RAB. Alternatif yang tersedia dalam membuat keputusan
tersebut adalah lokasi conveyor drain
Melakukan penilian terhadap kriteria dengan cara mengisi data perbadingan antar kriteria, hasilnya dapat
dilihat pada Gambar 5.3
Gambar 5.3. Hasil pengisian nilai alternatif Gambar 5.4.Grafik Hasil Pengolahan Akhir
Hasil yang ditunjukkan Gambar 5.4. adalah kriteria partisipasi masyarakat mempunyai nilai 6 pada Sal
Sumber Jetis adalah important ( penting ), pada Sal Jl Adisumarmo nilai 7 adalah important, pada Sal Nayu Utama nilai 7 adalah important, pada Sal Sekip Joglo-Nayu nilai 7 adalah important demikian juga
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-7
pada Sal Nusukan Barat 7 adalah Important dan seterusnya. Selanjutnya didapat juga hasil penilaian
alternatif untuk kriteria debit, luas daerah layanan dan kriteria rencana anggran biaya. Hasil akhir
disajikan pada Gambar 6.
Hasil penentuan skala prioritas dengan metode AHP menunjukkan bahwa nilai tertinggi decision scors
adalah 12,6 % pada Sal Sumber Jetis, artinya prioritas pertama rehabilitasi direkomendasikan pada Sal
Sumber Jetis, prioritas kedua di Nusukan Barat dengan skor 12,4%, prioritas ketiga di Sal Nayu Utama
dengan skor 11,4%, prioritas keempat pada Sal Kedung Tungkul dengan skor 10,6% dan prioritas kelima
di Sal Ngemplak Sutan dengan skor 9,8 %. dan seterusnya.
6. KESIMPULAN
Dikarenakan keterbatasan sumber daya manusia dan sumber dana pada Pemerintah Kota Surakarta apalagi partisipasi masyarakat dalam ikut membiayai rehabilitasi sangat rendah , maka rehabilitasi saluran
drainase yang rusak harus dilaksanakan secara bertahap dan berdasarkan urutan prioritas. DSS untuk
melakukan rehabilitasi jaringan drainase memberikan urutan prioritas sebagai berikut : Saluran Sumber
Jetis dengan skor 12,6. Saluran Nusukan Barat dengan skor 12,4. Saluran Nayu Utama dengan skor 11,4.
Saluran Kedung Tungkul dengan skor 10,6. Saluran Masjid Baiturrohmah dengan skor 10,0. Saluran
Ngemplak Sutan dengan skor 10,0. Saluran Sekip-Joglo-Nayu dengan skor 9,4. Saluran Jl Adisumarmo
dengan skor 8,3. Saluran Nusukan Timur dengan skor 8,2. Saluran Kali Kebo dengan skor 7,5.
Partisipasi masyarakat yang merupakan unsur dominan dalam pengelolaan kinerja sistem jaringan
drainase di Surakarta Utara ini dapat ditunjukkan pada tingginya kontribusi kriteria partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan jaringan drainase lingkungan. Tetapi rendah kontribusinya dalam partisipasi
pembiayaan, menurut anggapan mereka hanya berkewajiban mengelola saluran lingkungan, bagaian ke hilir pengelolannya dibawah tanggung jawab Pemerintah Kota.
7. REKOMENDASI
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dengan kesimpulan tersebut diatas maka dapat
disampaikan beberapa saran sebagai barikut :
Sistem Drainase Kota Surakarta dan ketegasan tanggung jawab pengelolan jaringan drainase perlu
dilegalkan dalam Peraturan Daerah (Perda).
Metode AHP dengan program CDPlus versi 3.0. bisa dikembangkan untuk penyusunan DSS yang lain
guna memudahkan pengambilan keputusan yang akurat, akuntable, cepat dan melibatkan partisipasi
masyarakat.
8. REFERENSI
1. Bappeda Kota Surakarta, 2003, Review Master Plan Drainase Kota Surakarta Utara.
2. Budi Wignyosukarto, 2001, Pemanfaatan Decision Support System Untuk Perencanaan Sitem
Drainase, Makalah pada Kongres VII dan PIT VIII HATHI, Malang 2001.
3. Halim Hasmar, 2002, Drainase Perkotaan, Penerbit UII Press, Jogyakarta.
4. Hariyadi, 2005, Penetapan Prioritas Rehabilitasi Jaringan Irigasi Dengan Pendekatan AHP
pada Saluran Induk Colo Timur Di Wilayah Sragen. Skripsi, tidak dipublikasikan Fakultas
Teknik UNS.
5. Kodoatie, Robert, 2003, Manajemen dan Rekayasa Infrastruktur, Penerbit Pustaka Pelajar,
Jogyakarta.
6. Marimin,2004, Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk, Penerbit PT Grasindo.
7. Dinas Pekerjaan Umum Kota Surakarta, 2008, Penyusunan Database SIG Sistem Drainase Mikro Kota Surakarta
8. Suripin, 2004, Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan, Penerbit Andi, Jogyakarta.
9. Sobriyah, 2005, Sistem Pendukung Keputusan Pada Penentuan Prioritas Rehabilitasi
Jaringan Irigasi di DIY. Gema Teknik Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret Surakarta.
10. Yusuf, 2006, Kinerja Sistem Jaringan Drainase Berbasis Partisipasi Masyarakat Program Pasca
Sarjana Universitas Diponegoro Magister Teknik Sipil.
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-8
Halaman ini sengaja dikosongkan
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-9
STUDI KONDISI TINGGI MUKA AIR PADA PERTEMUAN KALI BANGILTAK DAN KALI
KEDUNGLARANGAN UNTUK MENGATASI PERMASALAHAN GENANGAN DI
KABUPATEN PASURUAN
Aulia Tirtamarina1)
, Nadjadji Anwar2)
, Anggrahini3)
1) Mahasiswa S2 MRSA Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,
Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
Aulia.tirtamarina@hotmail.com 2)Dosen Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,
Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya nadjadji@ce.its.ac.id
3)Dosen Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,
Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
anggrahini_its@yahoo.com
ABSTRAK
Kementerian Pekerjaan Umum berencana memfungsikan kembali kali Bangiltak untuk mengatasi
permasalah Drainase di kabupaten Pasuruan apabila kali Porong tidak lagi dapat difungsikan sebagai
saluran drainase akibat pembuangan lumpur untuk mengatasi bencana alam lumpur di Sidoarjo. Difungsikannya kembali kali Bangiltak dikhawatirkan akan menambah permasalahan genangan di
kabupaten Pasuruan. Kondisi saat ini menunjukkan bahwa permasalahan genangan telah terjadi di daerah
kali Wrati, kali Kedunglarangan, dan kali Kuntulan. Sebelum kali Bangiltak difungsikan kembali, perlu
ada penelitian untuk menyelidiki kondisi saluran masih layak untuk menerima debit tambahan.
Pengaruh akibat terjadinya genangan dapat diketahui dengan melaksanakan penelitian kondisi pada
daerah pertemuan antara kali Kuntulan, kali Bangiltak, dan kali Kedunglarangan serta kali kuntulan itu
sendiri hingga sebelum titik pertemuan antara kali Kuntulan dan kali Avur Bawean. Rencana pemerintah
untuk mengatasi permasalahan genangan yang mungkin timbul dengan pembuatan sudetan di daerah kali
Wrati menuju kali Bangiltak dan sudetan di daerah kali kedunglarangan menuju kali kalanganyar juga
perlu diteliti lebih lanjut penyebabnya dalam mengatasi genangan tersebut. Penelitian dilaksanakan
dengan permodelan menggunakan program SMS RMA-2. Hasil permodelan kondisi eksisting akan divalidasi dengan hasil pengukuran di lapangan.
Berdasarkan hasil sementara pada penelitian ini didapatkan bahwa pada perpotongan antara kali
Wrati, kali Bangiltak dan kali Kedunglarangan terjadi penyempitan saluran akibat besarnya sedimentasi
di daerah tersebut. Besarnya arus yang mengalir dari arah kali Wrati tidak hanya membawa sedimentasi
yang cukup besar pada titik perpotongan, namun juga mengakibatkan aliran dari kali Kedunglarangan
sulit untuk mengalir ke kali Kuntulan
Kata kunci: tinggi muka air, sudetan, SMS RMA-2,
1. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Permasalahan banjir di wilayah kabupaten Pasuruan telah berdampak pada terganggunya kegiatan ekonomi di daerah tersebut. Genangan banjir di kabupaten Pasuruan terjadi akibat meluapnya kali
Bangiltak. kali Wrati dan kali Kedunglarangan yang disertai gerusan tebing dan putusnya tanggul di
beberapa tempat.
Untuk mengatasi genangan yang terjadi, perlu diketahui terlebih dahulu penyebabnya. Perlu terlebih
dahulu dilaksanakan penelitian untuk mengetahui bagaimanakah kondisi elevasi muka air di pertemuan
antara kali Kedunglarangan dan kali Bangiltak. Perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk menyelidiki
apakah kondisi pertemuan antara kali Bangiltak dan kali Kedunglarangan juga memiliki kontribusi atas
meningkatnya tinggi muka air akibat adanya penyempitan volume saluran atau yang sering dikenal
dengan istilah bottle neck sehingga mengakibatkan terjadinya banjir di wilayah tersebut. Untuk
menyelidiki kemungkinan terjadinya bottle neck, maka penulis mengambil lokasi penelitian di titik
perpotongan antara kali Bangiltak, kali Kedunglarangan dan kali Kuntulan hingga sebelum pertemuan antara kali Kuntulan dan Avur Bawean sebagaimana nampak pada Gambar 1.1. Kondisi eksisting
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-10
disimulasikan dengan menggunakan debit aliran yang terkecil, yaitu Q1.1 dan kemudian terus
ditambahkan dengan menggunakan debit yang lebih besar, yaitu Q2 , Q5 Q10 dan Q20.
Upaya yang direncanakan Pemerintah untuk mengatasi genangan diantaranya adalah pelaksanaan
normalisasi di kali Bangiltak, Wrati, dan Kedunglarangan untuk meningkatkan kapasitas tampungan pada
ketiga kali tersebut. Upaya normalisasi ini perlu diteliti tingkat keefektifiannya dalam mengatasi
genangan yang terjadi, oleh sebab itu pada thesis ini akan dimodelkan pula kondisi wilayah studi pada
saat telah dilaksanakan normalisasi
Gambar 1.1 Lokasi Studi
Upaya penanggulangan lainnya dilaksanakan dengan membuat sudetan (shortcut) di Kali
Kedunglarangan guna mengurangi debit air yang menglir ke arah kali Kuntulan. Dengan upaya
pembuatan sudetan ini, maka debit air yang mengalir pada kali Kuntulan hanya berasal dari debit kali Bangiltak dan tidak mendapat tambahan debit dari kali Kedunglarangan. Apabila hasil penelitian
sebelumnya menyatakan bahwa upaya normalisasi tiga sungai tidak cukup efektif untuk mengatasi
permasalahan genangan, maka perlu diteliti lebih lanjut apakah permasalahan genangan dapat lebih
diatasi dengan adanya sudetan di kali Kedunglarangan. Untuk mengetahui tingkat efektifitas pembuatan
sudetan di kali Kedunglarangan dalam menanggulangi permasalahan genangan di wilayah studi, maka
akan dilaksanakan permodelan dengan memperhitungkan efek pembuatan sudetan di kali
Kedunglarangan pada kondisi eksisting saat ini dan pada kondisi setelah adanya normalisasi.
Permasalahan lain muncul akibat adanya bencana alam lumpur panas di Porong telah berlangsung
selama 4 tahun terakhir. Untuk mengatasi timbulnya wilayah genangan lumpur semakin meluas,
pemerintah berencana membuang lumpur panas tersebut ke arah kali Porong. Apabila lumpur panas
benar-benar dialirkan ke arah kali Porong, maka kinerja kali Porong sebagai saluran drainase akan terganggu. Solusi yang dipandang dapat ditempuh untuk mengatasi tidak berungsinya kali Porong sebagai
saluran drainase adalah dengan memfungsikan kembali Kali Bangiltak untuk mengalirkan debit 390
m3/dtk yang seharusnya dialirkan menuju Kali Porong.
Dialirkannya kembali aliran air dari kali Porong menuju kali Bangitak hulu dengan debit sebesar 390
m3/detik tentu saja berpengaruh terhadap aliran kali Wrati dan kondisi di titik perpotongan antara kali
Bangiltak dan kali Kedunglarangan. Segala pengaruh perubahan tinggi muka air beserta kemungkinan
terjadinya backwater di wilayah tersebut peru mendapat perhatian lebih lanjut. Aliran sebesar ini nantinya
akan pula melewati daerah perpotongan antara kali Bangiltak, kali Kedunglarangan dan kali Kuntulan.
Tentunya hal ini berpotensi akan meningkatkan tinggi muka air di wilayah studi sehingga menyebabkan
timbulnya permasalahan genangan baru. Oleh sebab itu dalam studi ini akan pula dilaksanakan
permodelan dengan memperhitungkan pengaruh dialirkannya debit sebesar 390 m3/detik ke arah kali
Bangiltak pada kondisi setelah adanya sudetan di kali Kedunglarangan, baik apabila dilaksanakan pada kondisi eksisting maupun pada kondisi setelah adanya normalisasi.
Program SMS akan digunakan untuk memecahkan model matematika yang dibangun berdasarkan
konsep gerak air dan gerak sedimen yang secara matematis dipecahkan dengan elemen hingga (finite
elemen) melalui pendekatan dua dimensi horisontal. Diharapkan dengan melaksanakan permodelan
menggunakan SMS, perubahan tinggi muka air sungai dapat diprediksi dengan baik.
Oleh sebab pentingnya penelitian kondisi tinggi muka air di daerah perpotongan antara kali
Bangiltak, Kedunglarangan dan Kuntulan hingga Kali Kuntulan yang berbatasan dengan desa
Kedungpandan, maka penulis mengajukan peneltian berjudul “Studi Kondisi Tinggi Muka Air pada
Pertemuan Kali Bangiltak, Kali Kedunglarangan dan Kali Kuntulan untuk Mengatasi Permasalahan
Genangan di Kabupaten Pasuruan”
1.2. Perumusan Masalah
Dari permasalahan di atas dapat dirumuskan sebagai berikut :
Lokasi
studi
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-11
1. Bagaimanakah kondisi eksisting tinggi muka air di daerah titik perpotongan Kali Bangiltak, Kali
Kuntulan, dan Kali Kedunglarangan hingga Kali Kuntulan yang berbatasan dengan desa
Kedungpandan?
2. Bagaimanakah kondisi tinggi muka air setelah adanya normalisasi di Kali Bangiltak, kali Kuntulan,
dan kali Kedunglarangan?
3. Bagaimanakah pengaruh pembuatan sudetan (shortcut) di Kali Kedunglarangan terhadap elevasi
muka air di daerah titik perpotongan Kali Bangiltak, Kali Kuntulan, dan Kali Kedunglarangan hingga
sebelum titik pertemuan antara kali Kuntulan dan kali Avur Bawean baik apabila diterapkan pada
kondisi eksisting maupun pada kondisi setelah normalisasi, dan apakah pembuatan sudetan tersebut
efektif dalam menanggulangi genangan yang saat ini terjadi?
4. Bagaimanakah pengaruh difungsikannya kembali aliran sungai dari Kali Porong ke arah Kali Bangiltak terhadap kondisi tinggi muka air di daerah titik perpotongan hingga sebelum titik
pertemuan antara kali Kuntulan dan kali Avur Bawean, pada kondisi setelah adanya sudetan di Kali
Kedunglarangan, baik apabila diterapkan pada kondisi eksisting maupun pada kondisi setelah
normalisasi ?
1.3. Batasan Masalah
Adapun batasan masalah dari studi penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Wilayah studi ini hanya akan difokuskan pada lokasi titik perpotongan antara Kali Bangiltak, Kali
Kuntulan, dan Kali Kedunglarangan hingga Kali Kuntulan yang berbatasan dengan desa
Kedungpandan .
2. Dasar Teori
2.1 Permodelan Menggunakan Program SMS
Bagian pokok dari SMS yang akan digunakan pada penelitian ini adalah RMA- 2 (Resources
Management Associates-2). RMA-2 inti dari SMS, merupakan program elemen hingga dua dimensi untuk
menyelesaikan masalah hidrodinamika. RMA-2 dapat digunakan untuk menghitung elevasi muka air dan
kecepatan aliran pada titik node dalam suatu mesh elemen hingga yang mewakili badan air seperti sungai,
kolam, estuari atau pelabuhan.(SMS, 2002)
Sebagai persamaan pengatur, RMA2 menggunakan persamaan konservasi massa dan momentum yang
diintegrasikan terhadap kedalaman.
Persamaan konservasi massa :
0
y
hv
x
hu
y
v
x
uh
t
h
…………………………………...…………… ...........(2.1)
Persamaan konservasi momentum:
arah x
0sin 2cos
486.1
22/122
26/1
2
2
2
2
2
vhVvu
h
gun
x
h
x
agh
y
uE
x
uE
h
y
uhv
x
uhu
t
uh
a
xyxx
…...(2.2)
arah y
0sin 2sin
486.1
22/122
26/1
2
2
2
2
2
vhVvu
h
gvn
y
h
y
agh
y
vE
x
vE
h
y
vhv
x
vhu
t
vh
a
yyyx
….....(2.3)
Persamaan konservasi massa dan momentum tersebut di atas diselesaikan dengan metode elemen hingga
dengan mengunakan Metode sisa berbobot (weighted residuals) Galerkin.
Kelebihan-kelebihan yang lain dari RMA2:
a. RMA2 khusus dirancang untuk mensimulasi perubahan elevasi dan distribusi kecepatan aliran pada
sungai, muara sungai, estuari, atau bahkan perairan teluk yang terbuka ke laut lepas.
b. Mampu mensimulasi bermacam-macam jenis material perairan seperti pasir, lumpur, rawa-rawa
(swamp), dan bantaran rawa (marsh). c. Mampu mensimulasi berbagai kondisi fisik perairan seperti kering, basah, atau terendam sesuai
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-12
dengan kekasaran dasar/tebing perairan.
d. Memperhitungkan turbulensi fluida sesuai dengan sifat-sifat pengalirannya.
e. Memperhitungkan pengaruh perputaran bumi dan tegangan geser akibat angin.
f. Dapat memodelkan sampai 5 tipe struktur kontrol aliran yang berbeda.
g. Menyediakan petunjuk untuk penghitungan yang dapat diatur oleh pengguna seperti :
Parameter wet/ dry, Kontrol iterasi,dan Koreksi dalam suatu langkah waktu
h. Koefisien dapat dimasukkan oleh pengguna seperti koefisien turbulensi, koefisien kekasaran Manning,
suhu, dll:
i. Beberapa macam kondisi batas berikut dapat dimodelkan: Elevasi permukaan air (langgeng maupun
tak langgeng), Debit atau kecepatan aliran (langgeng maupun tak langgeng), Kecepatan dan arah
angin, Fluktuasi debit terhadap elevasi, Karakteristik material
2.2 Kondisi Batas Pemodelan
Ada dua macam kondisi batas yang dapat diaplikasikan pada modul RMA2 ini, yaitu debit (kecepatan
aliran) dan perubahan elevasi muka air (head). Pada umumnya, debit digunakan pada batas dimana air
mengalir masuk ke model dan perubahan elevasi muka air digunakan pada batas sisi berlawanan model.
RMA-2 dapat digunakan untuk menghitung kasus aliran langgeng (steady) dan aliran tidak langgeng
(dinamis). Aliran langgeng adalah suatu aliran dimana kecepatan dan tinggi muka air tidak berubah dalam
waktu, sedangkan aliran tidak langgeng adalah suatu aliran yang berubah dalam waktu, misalnya aliran
akibat pasang surut, banjir dan sebagainya. Disini dapat menentukan kondisi batas (debit atau perubahan
elevasi muka air) konstan atau berubah terhadap waktu sesuai dengan kondisi yang terjadi di lapangan.
Pemilihan kondisi batas tersebut biasanya tergantung dari ketersediaan data, kebutuhan dan besarnya
pengaruh terhadap model yang disimulasikan. Selain kondisi batas di atas, diperlukan juga sifat material untuk membentuk model hidrodinamika.
Setiap elemen dalam mesh elemen hingga diberi suatu pengenal (ID) matrerial merupakan indeks dari
suatu daftar sifat material. Setiap material mempunyai lima koefisien yang menentukan sifat material
yaitu empat koefisien pertukaran turbulen ( ) dan satu koefisien kekasaran Manning (n). Kelima
koefisien material tersebut dapat dimasukkan sama secara keseluruhan mesh atau berbeda-beda untuk
bagian yang berbeda dalam mesh. a. Koefisien Pertukaran Turbulen
Koefisien pertukaran turbulen juga dikenal sebagai „viskositas eddy‟. SMS memerlukan empat nilai
koefisien pertukaran turbulen, yaitu masing- masing :
Koefisien pertukaran turbulen normal pada sumbu x ( xx )
Koefisien pertukaran turbulen tangensial pada sumbu x (xy )
Koefisien pertukaran turbulen normal pada sumbu y ( yx )
Koefisien pertukaran turbulen tangensial pada sumbu y (yy )
Tabel 2.1 menunjukkan nilai-nilai koefisien pertukaran turbulen yang dapat digunakan secara praktis.
Tabel tersebut dimaksud hanya untuk sebagai petunjuk dalam memberi nilai awal.
b. Koefisien Kekasaran (n)
Koefisien kekasaran Manning diberi berdasarkan sifat fisik dari material dasar dan pertimbangan
tertentu geometris.
Tabel 2.1 Nilai Koefisien Pertukaran Turbulen
Kondisi Nilai (N.sec /m2)
Sungai dangkal (aliran lamban) 240-1200
Sungai dangkal (aliran cepat) 1200-2400
Muara dalam (elemen kecil) 2400-4800
Muara dalam (elemen besar) 9500-14400
Rawa basah dan kering oleh pasut 4800-9500
Perpisahan aliran sekitar struktur 50-240
Sumber:Brigham Young University, 1992
2.3 Stabilitas dan Akurasi
Faktor yang mempengaruhi stabilitas model mencakup:
a. Desain Mesh
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-13
Desain mesh merupakan aspek terpenting dalam pembentukan model numeric karena secara fisik
membentuk daerah yang akan dimodelkan dan juga menentukan, apabila kepadatan mesh memadai, akan
adanya kesalahan yang menentukan dalam penghitungan.
b. Kemiringan Pada Dasar
Jika kemiringan dasar diukur dalam arah sejajar dengan garis aliran lebih dari 10:1, asumsi bahwa
kemiringan landai dari persamaan dasar telah dilanggar dan solusi dapat menjadi tidak akurat. Selain itu,
perubahan kedalaman searah aliran dari node ke node harus ditahan kurang dari 20% dengan alasan
stabilitas, walaupun kemiringan landai.
c. Waktu Basah dan Waktu Kering
Suatu node pada RMA 2 dikatakan kering bila hasil perhitungan elevasi muka air dibawah elevasi node.
Bila satu saja node-yang termasuk dalam satu elemen- dikategorikan kering, maka semua elemen tersebut termasuk elemen kering. Batasan kering dan basah yang dihitung oleh RMA-2 dapat ditayangkan oleh
SMS.
d. Kondisi Batas
Kondisi batas umumnya diberi dengan elevasi muka air pada hilir dan debit atau kecepatan aliran pada
hulu. Kondisi batas tidak boleh ditempatkan dekat lokasi yang akan ditinjau.
3. Metodologi Penelitian
3.1 Perumusan Ide
Gambar 3.1 menunjukkan upaya yang ditempuh dalam mengetahui dan memprediksi perubahan
tinggi muka air yang terjadi pada pertemuan kali Bangiltak, kali Kedunglarangan, dan kali Kuntulan di
Kabupaten Pasuruan. Untuk itu dibutuhkan studi literatur, data primer dan sekunder, serta pembuatan skematik model.
Perkiraan tinggi muka air dengan menggunakan SMS RMA-2 akan dilaksanakan dengan cara
melakukan simulasi aplikasi pada saat kondisi existing di lapangan, dimana belum dibuat sudetan di kali
Bangiltak dan di kali Kedunglarangan. Setelah hasil RMA-2 divalidasi dengan melihat kondisi dan data
yang diperoleh dari lapangan, selanjutnya akan dilaksanakan pula simulasi permodelan SMS RMA-2
pada kondisi setelah adanya normalisasi. Dengan memperkirakan kedua hasil permodelan sungai
diharapkan dapat diperoleh hasil analisa yang lebih tajam untuk mengetahui pengaruh normalisasi sungai
dalam mengurangi genangan banjir. Langkah selanjutnya akan dilaksanakan simulasi aplikasi saat
sudetan telah dibuat pada kondisi eksisting maupun kondisi setelah adanya normalisasi sungai. Dengan
simulasi aplikasi ini dapat diketahui pengaruh pembuatan sudetan di kali Bangiltak dan kali
Kedunglarangan terhadap titik pertemuan di antara kali Bangiltak, kali Kedunglarangan, dan kali Kuntulan tersebut. Sebagai simulasi terakhir akan dilaksanakan pula permodelaan pada saat sudetan telah
dibuat dan debit sebesar 390m3/detik telah dialirkan dari kali Porong menuju kali Bangiltak. Adapun
secara skematik simulasi aplikasi permodelan yang akan dilaksanakan adalah sebagaimana nampak pada
Gambar 3.2
Perkiraan bentuk dasar sungai akan dilaksanakan dengan menggunakan program SMS sebab daerah
yang ditinjau dititik beratkan pada daerah pertemuan antara kali Bangiltak, kali Kedunglarangan, dan kali
Kuntulan yang tidak terlalu luas.
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-14
Gambar. 3.1 Diagram Alir Pelaksanaan Penelitian
Gambar 3.2 Simulasi Aplikasi Permodelan
3.2 Pengumpulan Data
Pengumpulan data terdiri dari 2 bentuk data yaitu : data Sekunder dan data primer.
3.2.1. Data primer dilakukan pada 4 lokasi yaitu :
- Di hilir kali Bangiltak, sebelum pertemuan Bangiltak, Kuntulan dan Kedunglarangan
- Di hilir kali Kedunglarangan, sebelum pertemuan Bangiltak, Kuntulan dan Kedunglarangan
- Di hulu kali Kuntulan, sesudah pertemuan kali Bangiltak, Kuntulan dan Kedunglarangan
- Di titik sebelum pertemuan antara kali Kuntulan dan kali Avur Bawean
Mulai
Pengumpulan Data: Primer: - Data geometri sungai Kali Wrati, Bangiltak dan Kedunglarangan - Sedimen dan kecepatan aliran
Sekunder: - Peta topografi, debit rencana, potongan
Skematik model
RMA-2 Kondisi eksisting (sebelum adanya Normalisasi, sudetan,
dan aliran dari kali Porong)
Validasi
Model
Parameter pada RMA-2 - Koef kekasaran
- Debit dan kecepatan
aliran
- Fluktuasi debit terhadap
elevasi
- Karakteristik material
- butiran sedimen
Tidak
Ya
Kesimpulan
Selesai
RMA-2 Sesudah ada Normalisasi, sudetan, dan aliran dari K. Porong
Analisa dan Pembahasan Sebelum dan sesudah adanya normalisasi,
sudetan, dan aliran dari kali Porong
Start
Normalisasi
Sudetan Tanpa
Sudetan
Tanpa 390 m
3/dtk
+ 390 m
3/dtk
Tanpa 390 m
3/dtk
+ 390 m
3/dtk
Eksisting
Sudetan Tanpa
Sudetan
Tanpa 390 m
3/dtk
+ 390 m
3/dtk
Tanpa 390 m
3/dtk
+ 390 m
3/dtk
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-15
Pengukuran dilaksanakan dalam kondisi tidak hujan
3.3.2 Data sekunder
Data sekunder dalam kegiatan penelitian ini diperoleh dari Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Propinsi
Jawa timur dan Konsultan PT. Citra Surya Wahana. Data sekunder yang dibutuhkan meliputi :
a. Peta topografi.
b. Pengukuran Memanjang dan Melintang
c. Data Debit Rencana
d. Hasil dari studi morfologi kali Wrati , kali Bangiltak, dan Kedunglarangan.Perubahan morfologi,
jumlah sedimen yang dialiran.
e. Hasil perkiraan perhitungan angkutan sedimen dan kecepatan aliran akibat pengaruh pembuatan dua buah sudetan di kali Wrati dan satu sudetan di kali Kedunglarangan.
3.4 Validasi
Validasi merupakan pencocokan hasil yang diperoleh dari model dibandingkan dengan kondisi asli
dilapangan. Diharapkan dari hasil model dapat diketahui pola sedimentasi di dasar sungai. Selanjutnya
hasil dicocokan dengan kondisi dilapangan dari hasil pengukuran yang telah dilakukan. Diharapkan
model menghasilkan output yang tidak jauh beda dengan kondisi asli dilapangan.
4. Hasil Dan Diskusi
Hasil penelitian sementara mengungkapkan bahwa terjadi penumpukkan sedimen pada titik
perpotongan antara kali Wrati, kali Kedunglarangan, dan kali Kuntulan sebagaimana nampak pada Gambar 4.1
Gambar 4.1 Kondisi penampang pada titik pertemuan kali Wrati, kali Kedunglarangan dan kali Kuntulan
Besarnya sedimentasi utamanya akibat besarnya aliran dari arah kali Wrati. Berdasarkan pengukuran
di lapangan, debit dari arah kali Wrati adalah sebesar 0,542 m3/dtk. Debit kali Wrati ini berasal dari
cathment area kali Wrati dengan total seluas 69,25 km Besarnya debit dari arah kali Wrati ini juga mengakibatkan aliran dari arah kali Kudunglarangan tidak dapat mengalir dengan lancer menuju kali
Kuntulan. Pertemuan dua aliran ini menyebabkan terjadinya pusaran air di daerah perpotongan, sehingga
debit yang mengalir dari arah kali Kedunglarangan terbilang kecil apabila dibandingkan dengan debit dari
kali Wrati, yaitu hanya sebesar 0,076 m3/dtk.
Dengan munculnya permasalahan sedimentasi akibat besarnya debit dari kali Wrati, maka apabila
rencana pengaliran debit sebesar 390 m3/detik dari kali Porong benar-benar dilaksanakan tanpa adanya
perubahan penampng saluran, maka tentu saja hal ini akan memperparah kondisi sedimentasi di titik
pertemuan dan kondisi aliran dari kali Kedunglarangan
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-16
Hasil perhitungan menggunakan program SMS dengan debit sebagaimana hasil pengukuran diatas
menunjukkan adanya daerah dengan kecepatan aliran sangat tinggi yang rawan mengakibatkan gerusan
dan perlu dilaksanakan penelitian lebih lanjut.
5. Kesimpulan
Beberapa kesimpulan sementara yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Kondisi eksisting pada titik pertemuan antara kali Wrati, kali Kedunglarangan dan kali Kuntulan
menunjukkan terjadinya penumpukan sedimentasi dan adanya pusaran air di wilayah tersebut akibat
besarnya aliran dari kali Wrati
2. Kondisi saluran eksisting tidak cukup mampu menampung debit limpasan rencana dari kali Porong
sebesar 390 m3/detik. 3. Perlu adanya peninjauan kembali penampang sungai apabila debit limpasan dari kali Porong sebesar
390 m3/detik benar-benar dialirkan kea rah kali Wrati
6. Daftar Pustaka
Anggrahini .1997. Hidrolika Saluran Terbuka . Surabaya : Penerbit CV. Citra Media.
Chow Ven Te. 1992. Hidrolika saluran Terbuka. Jakarta, Penerbit : Erlanggas
De Vries. Rivers and River Engineering. Delft University of Technology
Froehlich David. Finete Element Surface-Water Modeling System: Two-Dimensional Flow in a
Horizontal Plane Version 2 Draft User’s Manual.Virginia: Penerbit US Department of
Transportation
Jansen, Bendegon, Berg, Vries dan Zanen. 1979. Principle of River Engineering The Non-Tidal Aluvial River, Delft Uitgevers Maatsschappij.
Lensley, Ray K dan Franzini, Joseph B. 1991. Teknik Sumber Daya Air Jilid II diterjemahkan oleh Djoko
Sasongko. Surabaya : Penerbit.
PT. Cipta Surya Wahana . 2009. SID Normalisasi Kali Bangiltak, Kali wrati dan Kali kedunglarangan di
Kabupaten Pasuruan.
SMS. 2002. Surface Water Modeling System Tutorials Version 8.0 Penerbit: Bringham Young University
Soejadi Bambang. Sediment Transport. Diktat kuliah FTSP Teknik Sipil ITS
Triatmojo Bambang .2008. Hidrologi Terapan. Yogyakarta: Penerbit Beta Offset.
Rijn, Leo C. Van. 1990. Principles of Fluid Flow and Surface Wafes in Rivers, Estuaries, Seas, and
Oceans. Amsterdam: Penerbit Aqua Publication
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-17
STUDI KOMPARASI PEMAKAIAN MODEL TRANSPORTASI
DAN FUZZY INTEGER TRANSPORTATION PROBLEM
UNTUK OPTIMASI DISTRIBUSI AIR MINUM PDAM
Imam Suprayogi
Laboratorium Plumbing dan Mekanika Fluida
Fakultas Teknik, Universitas Riau, Pekanbaru 28293
E-mail : drisuprayogi@yahoo.com
ABSTRAK Pengembangan wilayah merupakan salah satu permasalahan yang sering dihadapi oleh PDAM yang
diakibatkan terjadinya pertambahan jumlah penduduk yang sangat pesat di daerah perkotaan, sedangkan
jumlah air relatip terbatas untuk dapat melayani akan kebutuhan air bersih. Pengambilan keputusan
dalam upaya pengembangan wilayah pelayanan air bersih, memerlukan analisa yang cermat. Model yang
harus dikembangkan adalah model yang mengakomodasi pola hubungan antara alokasi distribusi air
minum dengan alokasi biaya yang dimiliki oleh PDAM.
Metode pendekatan yang digunakan dalam proses optimasi distribusi air minum PDAM dari reservoir di
Gemawang, Gedong Kuning dan Tegalrejo ke daerah pelayanan di Jogyakarta Utara, Jogyakarta Selatan,
Jogyakarta Barat dan Jogyakarta Selatan adalah menggunakan studi komparasi antara model transportasi
dan fuzzy integer transportation problem.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya yang dikeluarkan oleh PDAM Jogyakarta menggunakan pendekatan model fuzzy integer transportation problem sebesar Rp. 1.591.320 (lebih hemat Rp.8.680),
sedangkan menggunakan Model Transportasi adalah sebesar Rp.1.605.000 (lebih boros Rp. 5.000) dari
anggaran biaya yang disediakan sebesar Rp.1600.000,00 oleh PDAM Jogyakarta.
Kata kunci : optimasi, distribusi air minum, model transportasi, fuzzy integer transportation problem
1. PENDAHULUAN
Pemodelan sumberdaya air atau analisa sistem sumberdaya air merupakan suatu cara atau prosedur
untuk memprediksi perilaku dimasa mendatang dari suatu sumberdaya air yang ada sekarang atau sistem
yang akan diusulkan. Modeling sumberdaya air dituangkan dalam bentuk persamaan matematik yang menggambarkan sistem yang di modelkan, misalnya tujuan sistem yang akan dicapai, parameter yang
mempengaruhi baik yang sudah ada maupun yang ingin dicapai, batasan sistem yang ada maupun yang
dikehendaki (Qomariyah, 1995).
Lebih lanjut Qomariyah (1995) memaparkan bahwa model optimasi merupakan salah satu model
analisa sistem yang diidentikkan dengan operation research. Teknik ini digunakan untuk menganalisa
suatu sistem yang diuraikan ke dalam bentuk persamaan matematik yang terdiri dari fungsi sasaran/tujuan
(objective function) yaitu tujuan sistem yang ingin dicapai, parameter penentu (decision variable) yang
merupakan variabel yang mempengaruhi dalam mencapai tujuan dari sistem tersebut, serta kendala atau
batasan (constraint) yang merupakan faktor pembatas dari sistem yang dimodelkan. Dimyati (1994)
menuturkan bahwa model transportasi adalah suatu model khusus dari programa linier. Keunggulan dari
model transportasi adalah bisa dipergunakan untuk menyelesaikan masalah pendistribusian suatu
komoditas, atau produk, dari sejumlah sumber (supply) kepada sejumlah tujuan (destination demand), dengan tujuan meminimumkan ongkos pengangkutan yang terjadi.
Menurut Indriyani (2004) bahwa pengembangan wilayah merupakan salah satu permasalahan yang
sering dihadapi oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang diakibatkan terjadinya pertambahan
jumlah penduduk yang sangat pesat di daerah perkotaan, sedangkan jumlah air relatip terbatas untuk
dapat melayani akan kebutuhan air bersih. Pengambilan keputusan dalam upaya pengembangan wilayah
pelayanan air bersih, memerlukan analisa yang cermat. Model yang harus dikembangkan adalah model
yang mengakomodasi pola hubungan antara alokasi distribusi air minum dengan alokasi biaya yang
dimiliki oleh PDAM.
Pada dekade sekarang bahwa softcomputing yang dicetuskan oleh Prof. Lofti Ahmad Zadeh dari
Departemen Listrik dan Komputer Universitas Barkeley, USA, adalah metode yang mampu mengolah
data dengan baik walaupun di dalamnya terdapat ketidakpastian, ketidakakuratan dan kebenaran parsial untuk mencapai ketahanan, bisa ditelusuri dan biaya murah (Suyanto, 2008; Nugroho, 2007). Masih
dikatakan Zadeh dalam Suyanto (2008) bahwa metode softcomputing dapat dikategorikan ke dalam tiga
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-18
kategori besar yaitu jaringan syaraf tiruan (artificial neural networks), logika fuzzy (fuzzy logic) dan
algoritma genetika (genetic algorithm). Karakteristik ini menempatkan softcomputing sebagai salah satu
solusi yang dapat dipakai untuk memecahkan berbagai masalah yang terdapat pada domain dunia nyata.
Solusi berbagai masalah pada domain ini tidak mudah dihitung dengan berbagai model analitik yang ada.
Tujuan utama dari penelitian ini adalah membandingkan model distribusi air minum PDAM
menggunakan pendekatan model transportasi dengan model fuzzy integer transportation problem (FITP).
2. TINJAUAN PUSTAKA
Suprayogi, dkk (2010) telah melakukan penelitian optimasi distribusi air bersih PDAM di wilayah
Jogyakarta menggunakan Model Transportasi Program Bantu Lingo 8.0. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa biaya yang dikeluarkan oleh PDAM Jogyakarta menggunakan pendekatan model transportasi sebesar Rp. 1.605.000, atau lebih mahal Rp.5.000 dari anggaran biaya yang disediakan sebesar
Rp.1600.000,00 oleh PDAM Jogyakarta.
Algoritma FITP
Menurut Channas dalam Kusumadewi (2004) bahwa formulasi secara umum FITP adalah sebagai berikut
:
Minimumkan :
Z = ij
n
j
ij
m
i
XC 11
Pembatas :
iij
m
i
AX 1
, untuk i = 1,2,.....,m
jij
n
i
BX 1
, untuk j = 1,2,..,n
0ijX untuk seluruh i dan j
Misalkan A adalah sembarang interval. Simbol [A] menotasikan interval terbesar yang bernilai integer :
[a,b], dengan:
A = min ( t/t A, A: integer), B = min ( t/t B, B: integer)
Selanjutnya diselesaikan menggunakan persamaam 4, 5 dan 6 seperti di bawah ini:
Minimumkan :
Z (X) = ij
n
j
ij
m
i
XC 11
Pembatas :
iij
n
i
AX 1
, untuk i = 1,2,..., n.
iij
m
i
BX 1
, untuk j =1,2,....,m ,
0ijX , integer
Masalah persamaan 4 untuk 1 merupakan minimal ekstension dari masalah persamaan 4 untuk
1 identik dengan masalah persamaan 4 untuk * dengan :
* = maks {maks Ai (t), 1 im, t
iA , maks Ai (t), 1 im, t iA }
Masih menurut Channas dalam Kusumadewi (2002) bahwa algoritma FITP adalah sebagai berikut :
1. Tetapkan (1) = 0 dan (2) = 1
2. Selesaikan persamaan 6,7 dan 8 untuk = )1(
Jika masalah tersebut feasible dan c(x( )1( )1(G , ke langkah 3.
Jika tidak, berhenti. Masalah (1) infeasible ( D (x) = 0 untuk setiap X).
3. Selesaikan persamaan 6,7 dan 8 untuk = )2(
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-19
Jika masalah tersebut feasible dan c(x( )2( )2(G berhenti untuk X( ))2( , adalah solusi
optimal untuk persamaan 2, 3 dan 4 dengan D (x) = 1. Jika tidak ke langkah 4.
4. Hitung 2/))2()1(()( half ke langkah 5.
5. Selesaikan masalah persamaan 6,7 dan 8 untuk )(half
6. Jika masalah infeasible, maka tetapkan )()2( half ke langkah 6, dan jika tidak kerjakan :
Jika ))((())((( halfXhalfX cG , maka ))((( halfX adalah solusi optimal untuk
masalah persamaan 2, 3 dan 4 dan berhenti.
Jika ))((())((( halfXhalfX cG , maka ))((()1( halfXC maka ke
langkah 6.
Jika ))((())((( halfXhalfX cG , maka ))((()2( halfXC atau jika
))((()2( halfXC , maka ))((()2( halfXC ke langkah 6.
7. Jika )1()2( , ke langkah 4. Jika tidak, cek apakah masalah persamaan 6,7 dan 8
untuk = )1( adalah minimum ekstension dan masalah persamaan 6,7 dan 8 untuk =
)2( . Jika tidak ke langkah 4. Jika ya, berhenti, salah satu solusi yaitu X ))1((
X ))2(( adalah solusi optimal untuk masalah persamaan 2, 3 dan 4. Jika masalah dari
persamaan di bawah ini:
Maksimum : dengan
Pembatas : Z (X) G ,
iij
n
i
AX 1
, untuk i = 1,2,......., n.
iij
m
i
BX 1
, untuk j = 1,2,....., m.
0ijX , integer dan >0
Infeasible untuk = )2( maka X( )1( ) adalah solusi optimal untuk persamaan 2, 3 dan 4
maka nilai biasanya berkisar antara 1.005.0 .
3. METODE PENELITIAN
1.Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di PDAM Jogyakarta, adapun lokasi reservoir terletak di Gemawang (R1),
Gedong Kuning (R2) dan Tegalrejo (R3). Daerah tujuan pelayanan distribusi air bersih meliputi
Jogyakarta Utara (JU), Jogyakarta Selatan (JS), Jogyakarta Barat (JB) dan Jogyakarta Timur (JT).
Data Penelitian
Data penelitian adalah bersumber dari data sekunder dari PDAM Jogyakarta yang meliputi :
1. Kapasitas Reservoir Kapasitas reservoir Gumawang (R1) mampu mensuplai kebutuhan air bersih sebesar 16.000.000 liter
dengan toleransi kurang dari 15.500.000 liter dan tidak lebih dari 16.500.000 liter, kapasitas reservoir
Gedong Kuning (R2) sebesar 19.000.000 liter dengan toleransi kurang dari 18.500.000 liter dan tidak
lebih dari 19.500.000 liter, kapasitas reservoir Tegalrejo (R3) sebesar 17.500.000 liter dengan
toleransi kurang dari 17.000.000 liter dan tidak lebih dari 18.000.000 liter.
2. Kebutuhan Air Bersih Daerah Pelayanan.
Daerah yang harus dipasok oleh PDAM adalah daerah Jogyakarta Utara (JU) sebesar 10.000.000 liter,
Jogyakarta Selatan (JS) sebesar 12.000.000 liter, Jogyakarta Barat (JB) sebesar 14.000.000 liter dan
Jogyakarta Timur (JT) sebesar 16.000.000 liter.
3. Biaya Anggaran PDAM Jogyakarta
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-20
Anggaran yang tersedia dari PDAM setempat untuk keperluan operasi berkisar Rp. 1.500.000,00 dan
penambahan hanya dimungkinkan maksimal sebesar Rp. 100.000,00 sehingga total biaya yang di
sediakan PDAM Jogyakarta untuk mendistribusikan air bersih sebesar Rp. 1.600.000,00.
4. Biaya Operasi Di Setiap Daerah Pelayanan.
Biaya operasi di setiap daerah pelayanan keempat wilayah meliputi Jogyakarta Utara (JU),
Jogyakarta Selatan (JS), Jogyakarta Barat (JB) dan Jogyakarta Timur (JT) seperti Tabel 1 di bawah
ini:
Tabel 1 : Biaya Operasi Di Setiap Daerah Layanan Setiap 1000 Liter
Pasokan JU J S JB JT
Gemawang 30 45 60 75
Gedong Kuning 45 30 75 30
Tegalrejo 60 15 30 45
Sumber : Kusumadewi (2004)
Formulasi Matematika Distribusi Air Bersih dari Reservoir ke Daerah Pelayanan PDAM
Jogyakarta Menggunakan Algoritma FITP Masih bersumber dari Gambar. 1 di atas, maka dapat disusun struktur model pola hubungan antara
kapasitas reservoir, alokasi dana terhadap pasokan air untuk PDAM di Jogyakarta yang disusun dalam
formulasi program linier sebagai berikut:
Minimumkan
Z = C11 X11 + C12 X12 + C13 X13 + C14 X14 + C21 X21 + C22X22 + C23X23 + C24 X24 +
C31X 31+ C32X32 + C33X34.
Dengan Cij adalah biaya yang harus dikeluarkan PDAM dari reservoir i ke daerah pelayanan j dimana
untuk i : 1, 2 dan 3 dan j : 1, 2, 3 dan 4.
C11 : biaya yang harus dikeluarkan dari reservoir Gumawang ke daerah pelayanan Jogyakarta Utara. C12 : biaya yang harus dikeluarkan dari reservoir Gumawang ke daerah pelayanan Jogyakarta Selatan.
C13 : biaya yang harus dikeluarkan dari reservoir Gumawang ke daerah pelayanan Jogyakarta Barat.
C14 : biaya yang harus dikeluarkan dari reservoir Gumawang ke daerah pelayanan Jogyakarta Timur.
C21 : biaya yang harus dikeluarkan dari reservoir Gedong Kuning ke daerah pelayanan Jogyakarta Utara.
C22 : biaya yang harus dikeluarkan dari reservoir Gedong Kuning ke daerah pelayanan Jogyakarta
Selatan.
C23 : biaya yang harus dikeluarkan dari reservoir Gedong Kuning ke daerah pelayanan Jogyakarta Barat.
C24 : biaya yang harus dikeluarkan dari reservoir Gedong Kuning ke daerah pelayanan Jogyakarta Timur.
C31 : biaya yang harus dikeluarkan dari reservoir Tegalrejo ke daerah pelayanan Jogyakarta Utara.
C32 : biaya yang harus dikeluarkan dari reservoir Tegalrejo ke daerah pelayanan Jogyakarta Selatan.
C33 : biaya yang harus dikeluarkan dari reservoir Tegalrejo ke daerah pelayanan Jogyakarta Barat. C34 : biaya yang harus dikeluarkan dari reservoir Tegalrejo ke daerah pelayanan Jogyakarta Timur.
C11 : biaya yang harus dikeluarkan dari reservoir Gumawang ke daerah pelayanan Jogyakarta Utara.
C12 : biaya yang harus dikeluarkan dari reservoir Gumawang ke daerah pelayanan Jogyakarta Selatan.
C13 : biaya yang harus dikeluarkan dari reservoir Gumawang ke daerah pelayanan Jogyakarta Barat.
C14 : biaya yang harus dikeluarkan dari reservoir Gumawang ke daerah pelayanan Jogyakarta Timur.
X11 : kebutuhan air yang harus dipasok dari reservoir Gumawang ke daerah pelayanan Jogyakarta Utara.
X12 : kebutuhan air yang harus dipasok dari reservoir Gumawang ke daerah pelayanan Jogyakarta
Selatan
X13 : kebutuhan air yang harus dipasok dari reservoir Gumawang ke daerah pelayanan Jogyakarta
Barat.
X14 : kebutuhan air yang harus dipasok dari reservoir Gumawang ke daerah pelayanan Jogyakarta
Timur. X21 : kebutuhan air yang harus dikeluarkan dari reservoir Gumawang ke daerah pelayanan Jogyakarta
Utara.
X22 : kebutuhan air yang harus dikeluarkan dari reservoir Gumawang ke daerah pelayanan Jogyakarta
Selatan.
X23 : kebutuhan air yang harus dikeluarkan dari reservoir Gumawang ke daerah pelayanan Jogyakarta
Barat.
X24 : kebutuhan air yang harus dikeluarkan dari reservoir Gumawang ke daerah pelayanan Jogyakarta
Timur.
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-21
X31 : kebutuhan air yang harus dikeluarkan dari reservoir Gumawang ke daerah pelayanan Jogyakarta
Utara.
X32 : kebutuhan air yang harus dikeluarkan dari reservoir Gumawang ke daerah pelayanan
Jogyakarta Selatan.
X33 : kebutuhan air yang harus dikeluarkan dari reservoir Gumawang ke daerah pelayanan Jogyakarta
Barat.
X34 : kebutuhan air yang harus dikeluarkan dari reservoir Gumawang ke daerah pelayanan Jogyakarta
Timur.
Batasan Sumber
X11 + X12 + X13 + X14 a1
X11 + X12 + X13 + X14 a2 X11 + X12 + X13 + X14 a3
Dengan a1 a2 dan a3 adalah berturut - turut kapasitas reservoir Gumawang, Gedong Kuning dan Tegalrejo
dalam lt.
Batasan Tujuan
X11 + X21 + X31 = b1
X12 + X22 + X23 = b2
X13 + X23 + X33 = b3
X14 + X24 + X34 = b4
X11, X12,X13, X14,X21, X22, X23,
X24, X31, X32, X33 dan X34 0 dan integer Dengan b1 b2 b3 dan b4 adalah berturut - turut kebutuhan air bersih PDAM untuk daerah pelayanan
Jogyakarta Utara, Jogyakarta Selatan, Jogyakarta Barat dan Jogyakarta Timur.
4. ANALISA DAN PEMBAHASAN
Selanjutnya pengembangan model FITP untuk distribusi air minum didiskripsikan dalam pola
hubungan antara kapasitas reservoir, alokasi dana terhadap daerah pelayanan seperti yang disajikan
seperti pada Gambar. 1 di bawah ini :
30R1
R2
R3
YU
YS
YB
YT
45
60
75
45
30
75
30
15
30
45
60
10.000
12.000
14.000
16.000
15.500 16.000 16.500
18.500 19.000 19.500
16.500 17.000 17.500
0
1
0
1
0
1
1.500.000 1.600.0000
1
µ4
j=1 3jA3[ ]X
µG[ ]XC( )
µ4
j=1 2jA2[ ]X
µ4
j=1 1jA1[ ]X
Gambar 1. Pola Hubungan Antara Kapasitas Reservoir, Alokasi Dana
Terhadap Pasokan Air Untuk Daerah Pelayanan di PDAM Jogyakarta.
Keterangan dari Gambar.1 :
Sumber : sumber pasokan air yang berasal dari reservoir Gumawang (Gm), Reservoir Gedong
Kuning (Gk) dan Tegalrejo (Tr).
Tujuan : tujuan daerah distribusi pelayanan air bersih yang meliputi Jogyakarta Utara (JU), Jogyakarta
Selatan (JS), Jogyakarta Barat (JB) dan Jogyakarta Selatan (JS).
Minimumkan
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-22
Z = 30.X11 + 45.X12 + 60. X13 + 75.X14 + 45.X21 + 30.X22 + 75.X23 + 30.X24
+ 60.X 31+ 15.X32 + 30.X33+ 45.X34
Batasan Sumber
X11 + X12 + X13 + X14 (16.000, 16.000, 500, 500)L-L
X11 + X12 + X13 + X14 (19.000, 19.000, 500, 500)L-L
X11 + X12 + X13 + X14 (17.000, 17.000, 500, 500)L-L
Batasan Tujuan
X11 + X21 + X31 = 10.000
X12 + X22 + X23 = 12.000
X13 + X23 + X33 = 14.000
X14 + X24 + X34 = 16.000
X11, X12,X13, X14,X21, X22, X23, X24,X31, X32, X33 dan X34 0 dan integer
Fuzzy goal ditentukan sebagai
G = (0, 1500.000, 0, 100.000)L-L
-cut untuk nilai fuzzy pasokan air bersih (supply) dan daerah pelayanan (demand), serta fuzzy goal
sesuai dengan bentuk L-L, dimasukkan ke dalam algoritma fuzzy integer transportation problem.
1A = )1(500000.16),1.(500000.16 ;
2A = )1(500000.19),1(500000.19 ;
3A = )1(500000.17),1(500000.17 ;
G = )1(000.100000.500.1,0 ;
-cut untuk nilai fuzzy pasokan air bersih (supply) dan daerah pelayanan (demand), serta fuzzy goal
sesuai dengan bentuk L-L, dimasukkan ke dalam algoritma fuzzy integer transportation problem.
1A = )1(500000.16),1(500000.16 ;
2A = )1(500000.19),1(500000.19 ;
3A = )1(500000.17),1(500000.17 ;
G = )1(000.100000.500.1,0 ;
Langkah penyelesaian Distribusi Air Minum PDAM di Jogyakarta menggunakan pendekatan algoritma
FITP adalah sebagai berikut :
1. Langkah 1 : (1) = 0 dan (2) = 1
2. Langkah 2
(1) = 0 ; diperoleh solusi
Z = 1.590.000 000.000.16,0
(2) = 1; diperoleh solusi
Z = 1.605.000 [infeasible]
3. Langkah 3 : problem 6,7 dan 8 infeasible untuk = 1
4. Langkah 4 :
2/))2()1(()( half = (0+1)/2=0.5;
5. )(half = 0.5; Z = 1.597.500 000.550.1,0 [infeasible]
6. Langkah 6 : )1()2(( = 0.5 – 0 = 0.5 > 0.07
Berdasarkan hasil perhitungan dari langkah 6 di atas, nilai hasil 0.5 > 0.07, maka dilakukan proses
iterasi dari langkah 4 dan langkah 5 dengan memberi nilai )(half yang berbeda.
Dengan melakukan serangkaian kegiatan pengulangan proses iterasi akan diperoleh nilai masukan
086.0)1( yang merupakan minimal extension 08725.0)2( , selanjutnya akan diperoleh
2/))2()1(()( half = (0.084+0.08725)/2=0.085625, Hal ini berarti bahwa x(0.086) dan
x(0.08725) merupakan solusi optimal. K
serta nilai hasil dari Z= 1.591.290 437.591.1,0 .
Nilai x:
X11 = 10.000; X12 = 5,544; X13 = 0; X14 = 0; X21 = 0;
X22 = 3.000; X23 = 0; X24 = 16.000; X31 = 0; X32 = 3.456;
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-23
X33 = 14.000; X34 = 0;
5. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisa di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Hasil optimasi distribusi air minum PDAM menggunakan pendekatan model transportasi paket
program bantu Lingo 8.0 akan didapatkan biaya distribusi reservoir ke empat daerah pelayanan
wilayah Jogyakarta yang meliputi Jogyakarta Utara (JU), Jogyakarta Selatan (JS), Jogyakarta
Barat (JB) dan Jogyakarta Timur (JT) sebesar Rp.1.605.000,00.
2. Hasil optimasi distribusi air minum PDAM menggunakan pendekatan model Fuzzy Integer
Transportation Problem (FITP) akan didapatkan biaya distribusi reservoir ke empat daerah
pelayanan wilayah Jogyakarta yang meliputi Jogyakarta Utara (JU), Jogyakarta Selatan (JS), Jogyakarta Barat (JB) dan Jogyakarta Timur (JT) sebesar Rp.1.591.320,00.
3. Biaya yang harus dikeluarkan PDAM lebih hemat sebesar Rp.8.680,00 menggunakan Model
FITP. Adapun volume air yang didistribusikan dari reservoir dari Gemawang sebanyak 15.000
liter, dari reservoir Gedong Kuning sebanyak 19.500 liter dan reservoir Tegalrejo sebanyak
17.500 liter.
6. UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menghaturkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Nadjadji Anwar, MSc dan Prof. Dr.Techn. M.
Isa Irawan, MT dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya atas segala sumbang saran
keilmuan untuk penulisan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Hatmoko,W. (1999). Model Alokasi Air Untuk Mendukung Pengusahaan Sumberdaya Air Yang
Adil Dan Berkesinambungan. Proseding Seminar Nasional Desentralisasi Pengelolaan
Sumberdaya Air Di Indonesia. ITB, Hal 54- 63.
Kusumadewi, S. (2004), Aplikasi Logika Fuzzy Untuk Pendukung Keputusan, PT. Graha Ilmu,
Jogyakarta.
Labadie, J.W. (2001). Reservoir System Optimization Models. Water Resources Update, United State
of America.108: 83-110. Lund, J.R. (1996). Operating Rule Optimization for Missouri River Reservoir System Journal of
Water Resources Planning and Management.122(4) : 287-295.
Nugroho, A.S. (2007). Menggairahkan Riset Softcomputing Di Indonesia, Keynote Speaker Seminar
Nasional Riset Teknologi Informasi STMIK AKAKOM, Jogyakarta 7 Juli 2007.
Rispiningtati,. (2008). Model Alokasi dan Nilai Air Pada Sistem Sungai Multi Waduk, Jurnal Agritek
ISSN 0852-5426 Universitas Brawijaya, Malang Volume16 No.12 Desember 2008 Hal.2408-
2429.
Suprayogi, I, Joleha, dan Hasibuan, S. (2010). Model Transportasi Distribusi Air Minum PDAM
Jogyakarta Menggunakan Program Bantu Lingo 8.0, Jurnal Sains dan Teknologi (JST)
Fakultas Teknik, Universitas Riau Edisi Oktober Hal. 19-28.
Suyanto.(2008). Softcomputing Membangun Mesin Ber-IQ Tinggi, PT.Informatika, Bandung. Indryani, R, Suprayitno, H, dan Astana, I.N.Y.(2004). Model Transportasi Untuk Pengembangan Air
Bersih di Kabupaten Badung, Provinsi Bali, Jurnal Teknologi dan Rekayasa Sipil Jurusan
Teknik Sipil Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya Edisi Maret Hal. 19-28.
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-24
Halaman ini sengaja dikosongkan
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-25
PENYEDIAAN AIR BERSIH DI KECAMATAN DARUL MAKMUR DAN KECAMATAN TADU
RAYA KABUPATEN NAGAN RAYA PROVINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM
Kustamar 1
, I Wayan Mundra2 , dan Daim Triwahyono
3
1Dosen Jurusan Teknik Sipil, FTSP., Institut Teknologi Nasional Malang, Telp 0341-551431, email:
kustamar@yahoo.co.id 2Dosen Jurusan Teknik Sipil, FTSP., Institut Teknologi Nasional Malang, Telp 0341-551431, email:
wmundra@yahoo.com 3Dosen Jurusan Teknik Arsitektur, FTSP., Institut Teknologi Nasional Malang, Telp 0341-551431, email:
daimtri@gmail.com
ABSTRAK
Pertumbuhan suatu kawasan ditandai dengan meluasnya kawasan-kawasan terbangun yang
berdampak pada meningkatnya kebutuhan air bersih. Secara umum kebijakan penyediaan air bersih dibagi menjadi lima kelompok arahan sebagai dasar untuk memenuhi sasaran MDG baik jangka pendek
maupun jangka panjang, yaitu: Peningkatan cakupan dan kualitas air bersih bagi seluruh masyarakat
Indonesia, Pengembangan pendanaan untuk penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM)
dari berbagai sumber secara optimal, Pengembangan kelembagaan, peraturan dan perundang-undangan,
Peningkatan penyediaan Air Baku secara berkelanjutan, Peningkatan peran dan kemitraan dunia usaha,
swasta dan masyarakat. Nagan Raya merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Aceh yang beribukota
di Suka Makmue, merupakan wilayah pemekaran dari Kabupaten Aceh Barat yang secara geografis
berada di pantai barat Pulau Sumatera. Kabupaten Nagan Raya terdiri dari 8 Kecamatan, 27 mukim dan
222 desa, terbagi dalam 4 (empat) Satuan Wilayah Pengembangan (SWP). Alue Bilie merupakan pusat
SWP IV yang melayani wilayah Kecamatan Darul Makmur dan Kecamatan Tadu Raya.
Pelayanan air bersih penduduk Kecamatan Darul Makmur dan Kecamatan Tadu Raya pada awalnya
direncanakan dipenuhi SPAM Ibu Kota Kecamatan (IKK) Alue Bilie. Namun hingga saat ini, tidak pernah dioperasikan karena lokasinya yang kurang bagus, yaitu: tidak terdapat sumber air baku dengan
kuantitas dan kualitas yang mencukupi, serta lokasi instalasi pengolah air (IPA) jauh dari permukiman
sehingga dibutuhkan biaya pemasangan pipa yang mahal. Dalam penelitian ini, penyediaan air bersih
diupayakan melalui 2 jenis sistem, yaitu sistem perpipaan dan non-perpipaan.
Penyediaan air bersih dengan sistem perpipaan dilakukan dengan memanfaatkan air sungai Tripa
sebagai air baku, yang kemudian ditingkatkan kualitasnya dengan IPA yang lengkap, dan didistribusikan
ke penduduk dengan sistem pipa distribusi. Penduduk yang bermukim pada wilayah yang tidak
terjangkau sistem perpipaan dilayani dengan meningkatkan kualitas air sumur dengan sistem penyaringan
dan pengendapan sederhana, baik pada sumur individu maupun kelompok.
Kata kunci: Air bersih, Darul Makmur dan Tadu Raya, Nagan Raya, NAD
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pertumbuhan dan perkembangan suatu kawasan ditandai dengan meluasnya kawasan-kawasan
terbangun yang berdampak pada meningkatnya kebutuhan air bersih. Sektor air bersih sebagai bagian dari
infrastruktur saat ini tidak lagi hanya dipandang sebagai barang konsumsi publik, air bersih juga
dibutuhkan untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi terutama di wilayah perkotaan. Secara umum
kebijakan penyediaan air bersih dibagi menjadi lima kelompok arahan sebagai dasar untuk memenuhi
sasaran MDG baik jangka pendek maupun jangka panjang, yaitu: Peningkatan cakupan dan kualitas air
bersih bagi seluruh masyarakat Indonesia, Pengembangan pendanaan untuk penyelenggaraan SPAM dari
berbagai sumber secara optimal, Pengembangan kelembagaan, peraturan dan perundang-undangan,
Peningkatan penyediaan Air Baku secara berkelanjutan, Peningkatan peran dan kemitraan dunia usaha,
swasta dan masyarakat. Nagan Raya merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Aceh yang beribukota di Suka Makmue,
merupakan wilayah pemekaran dari Kabupaten Aceh Barat yang secara geografis berada di pantai barat
Pulau Sumatera. Kabupaten Nagan Raya terdiri dari 8 Kecamatan, 27 mukim dan 222 desa, dengan
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-26
topografi daerah bagian utara cenderung berbukit dan bagain tengah hingga ke pantai selatan cederung
datar.
Hingga saat ini, penyediaan air bersih dengan perpipaan di Kabupaten Nagan Raya terdapat 3 (tiga)
unit instalasi kecil tingkat kecamatan (IKK), yaitu: IKK Jeuram, IKK Simpang Peut dan IKK Alue Bili.
IKK Akue Bilie melayani kebutuhan air bersih penduduk Kecamatan Darul Makmur dan Kecamatan
Tadu Raya, yang berpusat di Alue Bilie. Dari ketiga IKK tersebut, IKK Alue Bilie sama sekali tidak
pernah dioperasikan mulai saat dibangun. Hal tersebut dikarenakan lokasinya yang kurang bagus, yaitu:
tidak terdapat sumber air baku yang mencukup (hanya mengandalkan cekungan/bukan sungai), dan
penempatan instalasi pengolah air (IPA) jauh dari permukiman sehingga dibutuhkan biaya pemasangan
pipa yang mahal. Penduduk memenuhi kebutuhan airnya secara mandiri melalui sumur dangkal maupun
dari sungai.
Maksud, Tujuan Dan Sasaran
Maksud dari penelitian ini ialah penyusunan strategi dan program penyediaan air bersih di Kecamatan
Alue Bilie Kabupaten Nagan Raya Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Sedangkan tujuannya adalah
membuat garis besar perencanaan strategis penyediaan air bersih di Kecamatan Darul Makmur dan
Kecamatan Tadu Raya, yang berpusat di Alue Bilie hingga 15 tahun mendatang sesuai dengan target
Millenium Development Goals (MDGs).
Lingkup Bahasan
Lingkup bahasan dalam tulisan ini dibatasi sebagai berikut:
a) Membuat kajian kondisi penyediaan air bersih dan tingkat pelayanannya saat ini, meliputi:
karakteristik wilayah pelayanan, cakupan pelayanan, tingkat pelayanan, jenis-jenis pelayanan, dan
kebutuhan dasar air penduduk. b) Membuat proyeksi kebutuhan air bersih hingga akhir tahap perencanaan baik kebutuhan air
domestik maupun non-domestik.
c) Membenahi zona pelayanan sesuai kecenderungan perkembangan kota.
2. KAJIAN PUSTAKA
Penelitian Yang Pernah Dilakukan
Aspek Kependudukan Dan Sosial Budaya
Penduduk sebagai salah satu sumber daya pembangunan memegang dua peranan penting dalam
pembangunan yaitu sebagai subyek/perilaku sekaligus sebagai obyek dari pembangunan. Hasil registrasi
penduduk menunjukkan bahwa penduduk Kabupaten Nagan Raya mengalami kenaikan dari tahun ke
tahun.
Arahan Pengembangan Wilayah Berdasarkan dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Kabupaten Nagan Raya dibagi menjadi 4
(empat) Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) yaitu:
SWP I : Meliputi wilayah Kecamatan Seunagan dan Suka Makmue dengan pusat
pengembangannya adalah Jeuram, diarahkan untuk: a) Tanaman padi, Pendidikan di
Jeuram dan b) Industri, Perdagangan dan Perkantoran di Suka Makmue.
SWP II : Meliputi wilayah Kecamatan Seunagan Timur dan Beutong dengan pusat
pengembangannya di Kota Babussalam, diarahkan untuk: a) Budidaya ikan air tawar, b)
Perkebunan kelapa sawit, c) Tanaman pangan lahan basah dan tanaman buah-buahan dan
d) Peternakan kerbau.
SWP III : Meliputi wilayah Kecamatan Kuala, Kuala Pesisir dan Tadu Raya dengan pusat
pengembangannya di Ujong Fatihah, diarahkan untuk: a) Tanaman pangan dan tanaman buah-buahan, b) Perkebunan kelapa sawit dan c) Industri, perdagangan dan jasa di
kawasan menuju Bandar udara Cut Nyak Dien.
SWP IV : Meliputi wilayah Kecamatan Darul Makmur dengan pusat pengembangannya di Alue
Bilie, diarahkan untuk: a) Tanaman pangan dan tanaman buah-buahan, dan b) Perkebunan
kelapa sawit.
Landasan Teori
Standar Konsumsi/ Pemakaian Air
Domestik
Kegiatan domestik adalah kegiatan yang dilakukan didalam rumah tangga. Standar konsumsi pemakaian domestik ditentukan berdasarkan rata-rata pemakaian air perhari yang diperlukan oleh setiap
orang.
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-27
Non-domestik
Kegiatan non-domestik adalah kegiatan penunjang kota terdiri dari kegiatan komersial berupa
industri, perkantoran, perniagaan dan kegiatan sosial seperti sekolah, rumah sakit dan tempat ibadah.
Penentuan kebutuhan air non domestik didasarkan pada faktor jumlah penduduk pendukung dan jumlah
unit fasilitas yang dimaksud. Fasilitas perkotaan tersebut antara lain adalah fasilitas umum, industri dan
komersil.
Proyeksi kebutuhan air bersih untuk memenuhi sistem penyediaan air bersih non domestik di
Kabupaten Nagan Raya ditentukan sebesar 20% dari kebutuhan domestik. Hal ini didasarkan kepada
kriteria desain Ditjen Cipta Karya, yaitu berkisar antara 20% - 30%.
Kehilangan Air
Kehilangan air fisik dialokasikan agar mendekatai 20%, dengan komponen utama penyebab kehilangan atau kebocoran air adalah: a. kebocoran pada pipa transmisi dan pipa distribusi induk, b.
kebocoran dan luapan pada tangki reservoir, dan c. kebocoran pada pipa distribusi skunder hingga meter
pelanggan.
3. PENDEKATAN DAN METODE
Pengumpulan Data
Data Sekunder
Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan mencari data pada instansi yang terkait dengan
penyusunan pekerjaan ini. Pengumpulan data sekunder dilakukan untuk mendapatkan data-data sebagai
berikut: 1. Data peta cakupan wilayah layanan
2. Data kondisi fisik dasar, meliputi topografi, hidrologi, geologi , klimatologi dan penggunaan lahan
yang dilengkapi dengan peta. Serta data kependudukan yang meliputi jumlah dan perkembangan
penduduk di Kabupaten Nagan Raya.
3. Data studi terdahulu yang meliputi :
- Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Nagan Raya
- Data eksisting sarana dan prasarana pelayanan air bersih.
- Bangunan penunjang dan SPAM yang sudah ada.
4. Peraturan dan perundang-uandangan yang berlaku dan yang relevan.
Data Primer
1. Data-data yang menyangkut aspirasi dan apresiasi masyarakat. Mencari data dari instansi terkait dalam pengelolaan air bersih dengan mengisi kuisioner yang disediakan.
2. Peninjauan lapangan mengenai sumber air baku, dilakukan untuk menyelaraskan antara data-data
yang telah didapat dengan kondisi yang ada di lapangan, disertai dengan pengambilan gambar
berupa foto-foto untuk memperkaya bahan analisa.
3. Melakukan pengamatan terhadap sistem penyediaan air bersih eksisting.
Analisa Data
Tahap analisa data terdiri dari kegiatan: a). Analisa kondisi eksisting penyediaan air berih, jumlah
pelanggan maupun sebarannya, serta kapasitas pelayanan yang tersisa. b). Zonasi daerah layanan. c).
Prediksi kebutuhan air, berdasarkan proyeksi kebutuhan penduduk, standard kebutuhan air tiap
pelanggan, dan target persentase layanan, serta alokasi kebocoran. d). Potensi air baku, baik debit maupun
kualitasnya, serta lokasinya.
Penyususunan Rencana Kegiatan penyusunan rencana berupa pengembangan penyelenggaraan penyediaan air bersih yang
mencangkup semua aspek, yaitu: aspek fisiografi, aspek sosial-ekonomi, aspek teknis, identifikasi
potensi sumber daya air dan pemanfaatannya serta melakukan evaluasi sistem penyediaan air bersih
eksisting.
4. HASIL DAN DISKUSI
Rencana Penyediaan Air Bersih Dengan Sistem Perpipaan
Zonasi Daerah Pelayanan
Berdasarkan dokumen RTRW Kabupaten Nagan Raya 2009-2028, terdapat beberapa lokasi rencana
pengembangan yang perlu mendapat prioritas dalam perencanaan air bersih, yaitu:
A. Pusat pengembangan Satuan Wilayah Pengembangan (SWP). B. Pusat Industri, Perdagangan, Perkantoran, yaitu di Suka Makmue
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-28
C. Pusat Pendidikan, terletak di Jeuram
D. Perdagangan dan jasa, yaitu kawasan di sepanjang jalan menuju bandara.
Potensi Air Baku
Potensi Air Baku di Kabupaten Nagan Raya yang akan dijadikan sebagai mata air berasal dari air
permukaan. Hal ini dikarenakan keberadaan sungai lebih potensial jika dibandingkan dengan penggunaan
sumber mata air yang berada sangat jauh dari permukiman penduduk dan berada diluar batas administratif
Kabupaten nagan Raya.
Sebagai sumber air baku untuk memenuhi kebutuhan air bersih di Kecamatan Alue Bilie dipilih air
sungai Krueng Tripa. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan: lokasi dan elevasi, debit dan kualitas
airnya.
Unit Produksi
Karena air yang digunakan sebagai air baku dalam penyediaan air bersih adalah air permukaan/ air
sungai, maka penyediaan air harus melalui pengolahan yang lengkap. Dalam perencanaan System
Penyediaan Air Bersih Alue Bilie direncanakan membuat system penyediaan secara lengkap, yang terdiri
dari unit air baku, unit transmisi, unit produksi, dan unit distribusi. Berikut adalah rincian perencanaan
pada tiap tahap perencanaan.
Unit Distribusi
Rencana sistem transmisi dan distribusi meliputi perencanaan sistem jaringan transmisi dan jaringan
distribusi umum (JDU). Sistem distribusi meliputi reservoir, jaringan pipa distribusi dan tata letak, baik untuk SPAM jaringan perpipaan maupun SPAM bukan jaringan perpipaan.
Kebutuhan Air
Kebutuhan air pada tiap pelayanan diasumsikan sebesar 130 liter/orang/hari. Persentase penduduk
terlayani dari total jumlah penduduk setiap tahunnya adalah 3,2%. Sehingga prosentase pelayanan
penduduk sampai tahun proyeksi 2028 sebesar 70%.
1. Kebutuhan Air Domestik
Asumsi dan dasar perhitungan yang digunakan dalam analisa kebutuhan air domestik adalah sebagai
berikut:
a) Sesuai dengan standar kriteria pelayanan air bersih untuk wilayah pelayanan berpenduduk antara 100.000 - 500.000 orang, konsumsi air bersih diasumsikan sebesar 150 l/org/hari dan untuk wilayah
pelayanan berpenduduk antara 20.000 - 100.000 orang, konsumsi air bersih diasumsikan sebesar 130
l/org/hari. Sedangkan untuk daerah yang memiliki jumlah penduduk kurang dari 20.000 orang,
konsumsi air bersih diasumsikan sebesar 100 l/org/hr.
b) Konsumsi air bersih pada kondisi eksisting sampai tahun 20128ditetapkan sebesar 130 l/org/hr
(berdasar rata–rata pemakaian air melalui sambungan rumah).
2. Kebutuhan Air Non Domestik
Asumsi dan dasar perhitungan yang digunakan dalam analisa kebutuhan air non-domestik adalah sebagai
berikut:
a) Konsumsi air bersih dalam analisa perhitungan kebutuhan air non domestik berdasarkan standar
kriteria pelayanan air bersih dan kondisi pemakaian air eksisting. b) Besarnya kebutuhan air non domestik dan prosentase kebutuhan airnya terhadap kebutuhan air
domestik disesuaikan dengan kondisi eksisting.
3. Kehilangan Air
Faktor kehilangan air secara teknis bisa karena adanya kebocoran pipa, adanya pengambilan secara illegal
dari pipa yang sudah terpasang, dan ketidakakurasian alat pencatat meter air. Sedangkan secara non teknis
bisa diakibtakan adanya pengambilan air yang tidak tertata. Dalam perencanaan ini diasumsikan untuk
factor kehilangan sebesar 30% dari total kebutuhan.
4. Prediksi Kebutuhan Air
Hasil prediksi kebutuhan air untuk daerah layanan kecamatan Darul Makmur dan Kecamatan Tadu Raya adalah sebagai berikut:
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-29
Tabel 1. Kebutuhan Air
No Kecamatan Kebutuhan Air (l/hari)
2009 2013 2018 2023 2028
1. Darul Makmur 521,894 1,267,900 2,234,203 3,234,187 4,271,583
4. Tadu Raya 100,935 169,359 257,771 349,387 444,205
Sumber : Hasil perhitungan
Rencana Sistem Jaringan Air Bersih
Rangkaian sistem jaringan air bersih Alue Blie terdiri dari sistem perpipaan dan bangunan
pendukung. Sistem perpipaan terdiri dari Pipa Transmisi dan Pipa Distribusi. Pipa transmisi berfungsi
mengantarkan air baku dari yang diambil dari Sungai Tripa melalui Intake sampai dengan bangunan
Instalasi Pengolah Air (IPA), yang dialirkan dengan bantuan pompa. Sistem perpipaan distribusi,
berfungsi mendistribusikan air bersih yang sudah diproduksi IPA dan ditampung sementara dalam
Tandon air. Bangunan keairan sebagai pendukung pada sistem permpipaan adalah berupa: Intake, Pompa, IPA,
dan Tandon Air. Bangunan Intake berupa pengambilan bebas yang dilengkapi dengan sumur penangkap
air untuk menjamin kelancaran suplai air baku. Sumur pengkap air dilengkapi dengan sistem penyaring
sampah terapung agar penghisapan air tidak terganggu jika air membawa sampah, terutama saat banjir.
Pompa air yang dipilih terdiri dari 4 buah pompa dengan kapasitas masing-masing berkisar 150 l/detik,
dan dengan kemampuan mengalirkan air pada beda tinggi 15 m. Pompa dipasang pada rumah pompa
yang terletak di dekat lokasi Intake.
Bangunan IPA berupa sistem pengolah air lengkap, terdiri dari: sarngan cepat, saringan lambat,
pengendap, dan flokulan. Sedangkan pemberian gas chloor disarankan dalam bentuk injektor yang
dipasang pada pipa distribusi utama di dekat tandon. Tandon air dipilih berjenis tandon bawah tanah
(ground reservoir) agar konstruksi lebih murah. Sistem jaringan utama dipilih model bercabang, dengan harapan setiap cabang akan terbentuk zona
layanan sehingga mempermudah dalam lokalisasi jika terjadi permasalahan. Sedangkan sistem jaringan
pipa distribusi dalam zona layanan disarankan untuk menggunakan model melingkar, untuk menunjang
pengkondisian kontinyuitas layanan.
Analisa kebutuhan diameter pipa didasarkan pada: debit dan tekanan yang ditargetkan, serta elevasi
dan panjang pipa. Skema sistem jaringan dilihatkan pada Gambar 1, dan dengan program bantu, diperoleh
hasil yang menunjukkan kebutuhan pipa dan tekanan seperti terlihat pada Tabel 2 dan Tabel 3.
Gambar 1. Skema Rencana Jaringan Pipa
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-30
Rencana Penyediaan Air Bersih Non-Perpipaan
Sumber air baku yang banyak digunakan sebagai air bersih penduduk setempat adalah air tanah,
yang diambil dengan jalan membuat sumur dangkal. Mayoritas tanah berjenis dolomite sehingga air
tanah berupa kekuning-kuningan, dan mengandung banyak logam (Fe). Oleh karenanya diperlukan
proses penyaringan lambat dengan pasir halus dan pengendapan. Proses penyaringan dan pengendapan
dapat dilakukan di dalam sumur maupun di alam tandon.
Penyaringan di dalam sumur dilakukan dengan memasang saringan pasir halus di sekeliling dinding
sumur maupun dasar sumur. Sedangkan penyaringan di tandon dilakukan dengan pemasangan saringan
lambat di dalam tandon.
Tabel 2. Desain Pipa
Sumber: hasil perencanaan
ID PIPADIAMETER
(mm)
MATERIA
L
PANJANG
(m)ID PIPA
DIAMETER
(mm)
MATERIA
L
PANJANG
(m)
P-77 300 BESI 196.59 AB16 100 PVC 529.89
P-78 300 BESI 10.00 AB17 100 PVC 1814.35
P-79 300 BESI 3.00 AB18 100 PVC 918.17
AB1 300 PVC 7109.86 AB19 100 PVC 504.63
AB2 300 PVC 12648.13 AB20 100 PVC 732.47
AB3 300 PVC 976.43 AB21 100 PVC 736.40
AB45 300 PVC 2531.84 AB24 100 PVC 409.13
AB47 300 PVC 718.89 AB27 100 PVC 362.54
AB49 300 PVC 380.48 AB29 100 PVC 283.62
AB50 300 PVC 501.54 AB32 100 PVC 2543.83
AB58 300 PVC 382.84 AB33 100 PVC 678.84
AB59 300 PVC 249.66 AB35 100 PVC 587.68
AB60 300 PVC 1800.72 AB36 100 PVC 708.19
AB66 300 PVC 307.64 AB37 100 PVC 241.36
AB67 300 PVC 321.17 AB38 100 PVC 143.78
AB71 300 PVC 625.55 AB39 100 PVC 399.42
AB75 300 PVC 21890.36 AB40 100 PVC 540.46
AB4 250 PVC 959.12 AB41 100 PVC 736.34
AB5 200 PVC 3029.34 AB42 100 PVC 659.83
AB76 200 PVC 10850.25 AB43 100 PVC 816.26
AB11 150 PVC 2396.78 AB44 100 PVC 105.48
AB12 150 PVC 2954.08 AB46 100 PVC 801.64
AB13 150 PVC 395.10 AB48 100 PVC 463.86
AB15 150 PVC 1369.25 AB51 100 PVC 512.87
AB22 150 PVC 314.18 AB52 100 PVC 462.69
AB23 150 PVC 227.35 AB53 100 PVC 187.10
AB25 150 PVC 1815.57 AB54 100 PVC 246.06
AB26 150 PVC 1352.23 AB55 100 PVC 209.49
AB28 150 PVC 217.81 AB56 100 PVC 514.25
AB30 150 PVC 1752.36 AB6 100 PVC 752.08
AB34 150 PVC 2200.47 AB61 100 PVC 432.77
AB57 150 PVC 121.32 AB62 100 PVC 270.64
AB69 150 PVC 636.81 AB73 100 PVC 832.94
AB7 150 PVC 668.88 AB74 100 PVC 252.70
AB70 150 PVC 6226.19 AB77 100 PVC 2681.25
AB72 150 PVC 5620.83 AB78 100 PVC 1649.77
P-76 150 PVC 10.00 AB79 100 PVC 593.52
AB10 100 PVC 347.29 AB8 100 PVC 70.14
AB14 100 PVC 998.50 AB9 100 PVC 2298.97
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-31
Tabel 3. Tekanan Air di Titik Simpul Hasil Model
ID nodeElevasi
(m)
Demand
(l/s)
Pressure
(m H2O)ID node
Elevasi
(m)
Demand
(l/s)
Pressure
(m H2O)
135 63.97 0 15 74 25 0.31 22.179
134 37.5 7.15 29.463 138 25 0.64 22.171
133 47.58 12.72 18.038 113 33.26 0.32 25.116
132 33.69 1.77 28.507 112 32.25 0.23 25.745
131 34.64 0.96 25.545 111 30.41 0.41 27.562
130 37.5 3.05 16.911 110 37.5 1.36 18.53
129 37.5 0.76 16.819 108 37.5 1.83 18.323
128 35.98 0.67 14.877 107 37.5 0.29 18.317
127 25 2.31 23.616 109 36.55 0.36 19.468
126 35.59 0.07 13.398 106 29.59 1.76 20.648
125 35.8 0.35 13.18 105 25.74 0.6 23.02
124 25 2.41 15.605 104 25 0.68 23.687
114 26.31 2.97 13.67 102 30.34 2.21 17.496
123 25 0.4 15.071 101 26.33 0.59 21.457
122 25 1 14.866 100 29.12 0.11 18.386
121 25 1.38 13.772 99 27.15 0.71 20.275
120 25 0.92 13.611 98 27.63 0.24 19.358
119 25 0.53 12.125 96 27.18 0.14 19.633
118 25 1.82 10.997 94 25.79 0.4 20.787
117 24.89 0.51 11.864 92 25 0.54 21.544
116 24.2 0.74 12.47 97 25 0.74 21.895
115 23.82 0.74 12.847 95 25 0.66 21.75
91 25 2.55 32.558 93 25 0.82 21.464
89 25 0.72 31.381 103 25 2.56 20.779
87 25 0.38 30.783 81 25 0.25 27.519
84 25 0.5 30.149 83 25.3 0.52 29.822
90 25 0.81 32.447 73 23.09 6.26 19.096
88 25 0.47 31.358 136 25 0.32 21.876
86 25 0.47 28.487 137 25 0 21.604
85 25 0.19 28.485 72 25 0.63 21.022
80 25 0.21 27.517 71 26.4 5.65 14.146
82 25 0.12 25.832 70 29.05 0.84 11.38
79 25 0.39 25.284 69 28.52 0.25 12.021
78 25 0.44 25.264 68 5.65 22.07 26.277
77 25 0.25 24.937 67 7.31 8.03 17.914
76 25 0.27 24.932 66 12.5 1.98 10.788
75 25 1.81 22.482 65 7.31 1.22 17.424 Sumber: hasil perhitungan
5. KESIMPULAN
Penyediaan air bersih untuk masyarakat di Kecamatan Darul Makmur dan Tadu Raya dilayani
melalui 2 sistem, yaitu: sistem perpipaan dan Non-perpipaan.
1) Pelayanan air bersih sistem perpipaan terdiri dari: unit pengambilan air menggunakan pompa, unit
pengolah kualitas air lengkap, dan unit distribusi model bercabang.
2) Pelayanan air bersih sistem non-perpipaan dilakukan dengan memanfaatkan sumur dangkal sebagai
sumber air baku, dengan sistem saringan sederhana baik yang dipasang di dalam sumur maupun di
tandon air.
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-32
DAFTAR PUSTAKA
1. Djoko Sasongko, (1989), Teknik Sumber Daya Air Jilid I dan Jilid II, Edisi Ketiga, Terjemahan,
Pernerbit Erlangga, Jakarta.
2. Haestad, (2001), User`s Guide WaterCad v 4 for Windows, Haestad Press, Waterburry CT, USA
3. Kamulyan B, (2000), Perkiraan Kebutuhan Air, Jurusan Sipil Fakultan Teknik Gajah Mada,
Yogyakarta.
4. Menteri Pekerjaan Umum. (2007). Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 18/Prt/M/2007
Tentang Penyelenggaraan Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum. 5. Pemerintah Kabupaten Nagan Raya. (2008). Laporan Akhir Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Nagan Raya. Tidak diterbitkan. Suka Makmue
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-33
PENGENDALIAN SEDIMEN PADA INFRASTRUKTUR AIR DENGAN MENGGUNAKAN
DERET BENDA APUNG SEBAGAI PEMBANGKIT ALIRAN TURBULEN
Mamok Suprapto
Dosen Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret, Jl. Ir. Sutami No. 36A, Surakarta, Telp.
O271-647069, e-mail: mamokuns@gmail.com
ABSTRAK
Peningkatan sedimentasi dapat mengurangi kapasitas/kinerja infrastruktur air. Untuk mengatasi
masalah sedimen dilakukan pengerukan lebih sering dan adakalanya harus menggunakan alat khusus. Alternatif lain adalah dengan mengubah dimensi infrastruktur yang ada. Upaya tersebut jelas
memerlukan biaya yang cukup besar. Agar infrastruktur air dapat berfungsi secara berkelanjutan, perlu
solusi yang tepat dan murah. Penelitian ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sedimentasi dengan
membangkitkan aliran turbulen menggunakan deret benda apung (Debapung).
Penelitian dilakukan di laboratorium dengan menggunakan open flume dan pelimpah model Ogee.
Open flume diberi aliran hingga aliran stabil. Setelah itu pasir diameter 2,36 mm, (lolos saringan no.8),
ditaburkan pada aliran. Proses terjadinya sedimen diamati hingga relatif stabil. Awal formasi sedimen
diukur dari ujung hilir model pelimpah. Pengukuran meliputi panjang dan ketebalan sedimen pada titik-
titik tertentu. Setelah pengukuran selesai dilakukan, Debapung ditempatkan di permukaan aliran di hilir
pelimpah. Debapung diikat dengan tali agar tidak terbawa aliran tetapi masih bisa mengikuti flukuasi aras
(level) muka air. Air dialirkan kembali dengan debit yang sama dan pasir ditaburkan dan selanjutnya dilakukan pengukuran. Demikian perlakuan dan pengukuran formasi sedimen tersebut diulang dengan
bedslope dari open flume yang berbeda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ruas open flume yang berada di bawah dan di hilir Debapung
dapat terbebas dari sedimentasi. Debapung dapat berfungsi dengan baik dalam membangkitkan aliran
turbulen pada beragam kecepatan aliran. Bila Debapung ditempatkan pada ruas saluran yang sering
mengalami sedimentasi, maka Debapung dapat menjadi alternatif yang tepat dan murah. Infrastruktur air
dapat dijaga agar dapat menjamin hasil produksi dan keberlanjutan fungsi. Namun Debapung hanya
efektif dan efisien digunakan bila penampang saluran berbentuk segi empat.
Kata Kunci: Debapung, infrastruktur-air, sedimen, turbulen.
1. LATAR BELAKANG Fenomena alam yang merugikan sering terjadi beberapa tahun terakhir. Fenomena ini ditengarai
sebagai dampak dari perubahan iklim [14][16][18]. Dampak langsung terhadap kinerja infrastruktur air
adalah terjadinya peningkatan sedimentasi yang pada akhirnya mengurangi kapasitas infrastruktur air [5].
Untuk mengatasi sedimentasi pada infrastruktur air yang ada, umumnya dilakukan pengerukan. Namun,
karena jumlah sedimen terlalu banyak, maka pengerukan harus dilakukan lebih sering dan adakalanya
harus menggunakan alat berat atau peralatan khusus. Alternatif lain adalah dengan melakukan modifikasi
bentuk dan dimensi infrastruktur air yang ada. Upaya-upaya tersebut jelas memerlukan biaya yang lebih
besar. Sebaliknya, pengendapan yang terjadi tidak bisa dibiarkan terjadi secara terus menerus, karena
sedimen akan menjadi lebih banyak dan lebih padat.
Agar infrastruktur dapat berfungsi secara berkelanjutan, perlu dicari solusi untuk mengatasi masalah
sedimen, yaitu solusi yang tidak memerlukan biaya besar, baik dalam hal pengadaan, pemasangan,
operasinal, maupun pemeliharaan. Penelitian dilakukan untuk mencegah proses terjadinya sedimentasi secara alami, yaitu dengan cara membangkitkan arus turbulen. Arus turbulen dibangkitkan dengan cara
menempatkan deret benda apung (Debapung) di permukaan aliran. Percobaan dilakukan di laboratorium,
menggunakan open flume dan Debapung yang terbuat dari kayu, berpenampang lingkaran.
2. MATERI DAN METODE PENELITIAN
Aliran turbulen
Aliran turbulen memiliki sifat yang khas. Butir-butir air bergerak menurut lintasan yang tidak teratur
dan tidak tetap, membentuk aliran yang berputar-putar, namun tetap menunjukkan gerak maju [19]. Arah
aliran selalu berubah sehingga sulit untuk digambarkan atau diprediksi [2][6]. Ilustrasi lintasan aliran
turbulen dan laminer dapat diperiksa pada Gambar-1a dan transisi antara kedua jenis aliran tersebut
ditunjukkan dalam Gambar-1b.
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-34
Sumber: [9] Sumber: [12]
(a) (b)
Gambar-1. Lintasan aliran turbulen dan laminer (a) dan transisi (b)
Hubungan diameter sedimen dengan kecepatan aliran serta proses kejadiannya dapat dijelaskan dengan
hukum Hjulstrom, seperti yang diterangkan dalam Gambar-2.
Sumber:[12]
Gambar-2. Kondisi butiran pada beragam diameter dan kecepatan aliran.
Sifat aliran turbulen yang tidak menentu, jelas tidak memungkinkan bagi butiran sedimen (diameter
tertentu) untuk mengendap di lokasi sepanjang terjadinya aliran turbulen. Aliran turbulen umumnya
terjadi bila ada perubahan kecepatan pada aliran laminer. Perubahan kecepatan bisa terjadi karena adanya
perubahan penampang aliran [4].
Saluran irigasi
Saluran irigasi merupakan salah satu contoh dari saluran terbuka yang mengambil air sungai melalui
intake di bangunan bendung. Saluran ini direncana untuk tidak mengangkut sedimen yang dapat
mengendap di sepanjang saluran pembawa, agar saluran pembawa tetap berfungsi dengan baik. Saluran
irigasi direncana dengan dimensi dan kemiringan dasar saluran tertentu, sehingga memenuhi syarat agar tidak terjadi endapan maupun penggerusan [3].
Untuk maksud tersebut, pada bagian awal saluran (hilir intake), umumnya dibuat saluran penangkap
pasir agar butiran sedimen tertentu dapat mengendap di ruas saluran ini dan tidak terbawa ke hilir. Namun
karena angkutan sedimen yang terbawa aliran sungai telah berubah baik secara kuantitas maupun kualitas,
maka saluran penangkap pasir menjadi lebih cepat terisi endapan. Pada akhirnya, saluran penangkap pasir
menjadi tidak dapat berfungsi dengan baik sebelum jadwal waktu pembilasan tiba. Dengan demikian, bila
pola operasional dan pemeliharan saluran irigasi tidak diubah, maka endapan yang terjadi di saluran
penangkap pasir menjadi mengeras dan sulit dilakukan pembilasan secara alami. Contoh kejadian ini
dapat ditemukan di lapangan, salah satunya adalah saluran penangkap pasir di bendung Jati, Kali Madiun.
Bentuk saluran penangkap pasir pada bendung Jati dibuat dibuat 3 (tiga) alur seperti ditunjukkan dalam
Gambar-3. Adapun tujuannya adalah bila aliran mengecil, tidak semua alur diaktifkan, sehingga aliran masih memiliki kecepatan tertentu.
Sumber:[8]
Gambar-3. Saluran penangkap pasir bendung Jati, kali Madiun.
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-35
Sedimen
Kecepatan angkut sedimen merupakan fungsi dari kecepatan aliran air dan dimensi butir sedimen.
Butir berukuran kecil dapat diangkut aliran air dalam bentuk wash load. Sedangkan butiran yang lebih
besar, antara lain pasir, cenderung bergerak dengan cara melompat. Partikel yang lebih besar dari pasir
(bed load), misalnya kerikil, bergerak dengan cara menggelinding di dasar saluran [15][17]. Gerak
butiran ditampilkan dalam bentuk 3 (tiga) dimensi seperti ditunjukkan pada Gambar-4. Secara empiris,
gerak butiran dapat diprediksi berdasarkan bilangan Froude, seperti yang ditampilkan dalam Tabel-1.
Kecepatan geser untuk menggerakan butiran dapat didekati dengan persamaan:
SRgu ..* (1)
dengan:
*u =kecepatan geser (m/dt), g=gravitasi (m/dt2), R=jejari hidraulik (m), S=bedslope.
Berdasarkan kecepatan geser tersebut, bilangan Reynold dapat diperkirakan bila diketahui ukuran
butiran sedimen dan viskositas airnya berdasarkan persamaan:
s
e
DuR
. (2)
dengan:
Re=bilanganReynolds, *u =kecepatan geser (m/dt), Ds=diameter butiran sedimen (m), υ=viskositas
(m2/dt).
Sumber: [10]
Gambar-4. Gerak butiran dalam aliran air
Tabel-1. Beragam gerak butiran sesuai dengan bilangan Froude.
Sumber: [11]
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-36
Bilangan Reynolds dapat digunakan untuk menentukan dimensi tegangan geser ( F ) dengan
menggunakan diagram Shields seperti ditunjukkan pada Gambar-5a atau untuk menentukan faktor geser
(friction factor) sesuai dengan nilai kekasaran relatif (relative roughness) butiran dengan menggunakan
grafik Moody seperti yang ditampilkan pada Gambar-5b.
Sumber: [10] Sumber:[13]
(a) (b)
Gambar-5. Diagram Shield (a) dan Moody (b)
Tegangan geser non dimensi dapat diketahui dengan menggunakan persamaan berikut:
ss
c
DF
).(
(3)
dengan:
F =tegangan geser non dimensi, c =tegangan geser kritis (kg/m2), γs=berat jenis butiran sedimen
(kg/m3), γ=berat jenis air (kg/m3), Ds=diameter butiran sedimen (m).
Adapaun tegangan geser diperoleh dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
SRgw ...0 (4)
dengan:
τ0=tegangan geser (kg/m2), g=gravitasi (m/dt2), ρw=massa jenis air (kg/m3), R=jari-jari hidraulik (m), S=
kemiringan dasar saluran.
Awal gerak butiran sedimen tergantung besarnya tegangan geser yang terjadi dibandingkan dengan
tegangan geser kritis. Apabila τ0>τc, maka butiran bergerak, τ0=τc, maka butiran mulai bergerak (kondisi
kritis), dan τ0<τc , maka butiran diam.
Benda Apung
Gaya yang bekerja ke bawah pada permukaan atas benda lebih kecil dari gaya ke atas pada
permukaan bawah benda. Perbedaan antara gaya tekanan ke atas dan ke bawah adalah gaya apung pada
benda [1]. Dalam penelitian dipilih benda apung berpenampang bulat (diameter=3cm, panjang=7cm),
yang memiliki berat jenis tertentu, sehingga posisi titik berat benda (G) berada pada posisi di bawah aras
muka air dengan jarak yang cukup, seperti yang ditunjukkan pada Gambar-6.
d
D
H
O
B
G
Gambar-6. Benda apung
Percobaan di laboratorium
Benda apung yang sudah dibentuk, diberi lubang pada bagian as. Lubang ini untuk keperluan
pengikatan, agar benda apung tidak terbawa arus, namun masih bisa mengikuti fluktuasi aras (level) muka
air. Benda apung yang sudah terikat untuk selanjutnya disebut sebagai Deret benda apung (Debapung).
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-37
Sebelum pengamatan dimulai, model pelimpah Ogee dari kayu dipasang pada open flume. Bentuk model
pelimpah Ogee yang digunakan seperti ditunjukkan pada Gambar-7.
Gambar-7. Model pelimpah
Selanjutnya air dialirkan dalam open flume hingga aliran stabil. Langkah berikutnya adalah menaburkan
butiran pasir yang lolos ayakan no. 8 (diameter 2,36 mm), diatas puncak model pelimpah. Setelah formasi
endapan yang terbentuk stabil, dilakukan pengukuran jarak dan ketebalannya. Selanjutnya, Debapung dipasang, air dialirkan, pasir ditaburkan, dan dilakukan pengukuran lagi terhadap formasi endapan.
Percobaan ini dilakukan berulang kali dengan kemiringan dasar open flume atau kecepatan aliran yang
berbeda.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Formasi endapan yang terbentuk sebelum dan setelah dipasang Debapung dapat dicermati pada
Gambar-8. Tampak dalam gambar adanya agihan (distribution) endapan setelah adanya Debapung pada
kondisi kecepatan aliran tertentu.
Gambar-8. Formasi endapan sebelum dan setelah ada Debapung
Karakteristik Sedimen
Penelitian ini menggunakan pasir seragam ukuran 2,36 mm (lolos ayakan no. 8), bersih, halus, dan non-
cohesive. Berat jenis sedimen diketahui melalui percobaan Specific Gravity Picnometer. Dari 3 (tiga) kali
pengujian, mempertimbangkan faktor koreksi suhu, dan menggunakan persamaan, maka berat jenis spesifik sedimen yang dipakai dalam penelitian ini diketahui sebesar 2,6559 gr/cm3 yaitu termasuk jenis
pasir.
Aliran Turbulen
Aliran turbulen dibangkitkan dengan Debapung yang memiliki berat jenis 605,7 kg/m3. Debapung terdiri
dari 5 (lima) buah potongan kayu yang diikat dengan tali, sehingga tidak terbawa oleh aliran. Jarak antar
Debapung ± 3 cm. Keseimbangan dari Debapung dalam air dihitung untuk mengetahui letak
metasentrum. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa metasentrum berada di bawah titik berat sejauh
0,111 cm. Sketsa letak metasentrum dapat diperiksa pada Gambar-7.
Kecepatan aliran
Currentmeter yang telah dikalibrasi digunakan untuk mengukur debit. Debit aliran yang digunakan dalam
penelitian adalah Q1=2,55x10-4m3/s dan Q2=2,84x10-4m3/s. Dengan hasil pengukuran ketebalan air di open flume, dan dengan menggunakan persamaan sederhana, Q=A.V, kecepatan aliran pada tiap kondisi
dapat diketahui. Kecepatan aliran sebelum dan setelah ditempatkan Debapung untuk beragam bedslope
dengan 2 (dua) macam debit disajikan dalam Tabel-2. Tampak dalam tabel bahwa keberadaan Debapung
dapat meningkatkan kecepatan aliran pada debit yang sama.
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-38
Tabel-2. Kecepatan aliran
Perc S
(%)
H
(m)
V (m/s)
sebelum Debapung
V (m/s)
Setelah Debapung
Q=2,55x10-4 (m3/s)
1 0,0 0,044 0,07 0.43
2 0,5 0,031 0,10 0.45
3 1,0 0,010 0,33 0.46
4 1,5 0,008 0,39 0.49
Q= 2,84x10-4 (m3/s)
5 0,0 0,041 0,09 0.28
6 0,5 0,028 0,13 0.32
7 1,0 0,009 0,21 0.36
8 1,5 0,007 0,27 0.39
Gerak Sedimen
Dengan menggunakan persamaan yang digunakan dalam analisis sedimen dan grafik Shield, awal gerak
butiran sedimen dapat diketahui. Hasil analisis ditampilkan dalam Tabel-3. Hasil menunjukkan bahwa
pada kondisi debit yang berbeda, dengan bedslope yang bervariasi, semua butiran bergerak.
Tabel-3. Awal gerak butiran sedimen
S (%) τ0 (kg/m2) τc (kg/m2) Ket
Q=2,55x10-4 (m3/s)
0,5 0,85 0,17 Butir sedimen bergerak
1,0 0,78 0,16 Butir sedimen bergerak
1,5 1,02 0,16 Butir sedimen bergerak
Q=2,84x10-4 (m3/s)
0,5 0,80 0,16 Butir sedimen bergerak
1,0 0,71 0,16 Butir sedimen bergerak
1,5 0,91 0,15 Butir sedimen bergerak
Awal formasi endapan dari hilir model pelimpah
Model pelimpah hanya digunakan sebagai titik awal pengukuran jarak mulainya formasi endapan.
Formasi endapan diukur, baik jarak maupun ketebalannya. Gambar-9 menunjukkan contoh pengamatan jarak dan ketebalan formasi endapan. Hasil pengukuran jarak disajikan pada Tabel-4. Dalam tabel
ditunjukkan dengan jelas bahwa awal formasi endapan menjadi lebih jauh setelah adanya Debapung.
40.5
0.90 1.001.23
9.00 2.7033.00
3.18
1.40
15.00 6.30
17.30
Gambar-9. Ilustrasi pengukuran jarak dan tebal formasi endapan
Tabel-4. Awal formasi endapan
No. V
(m/s)
L (cm)
Sebelum
Debapung
Setelah
Debapung
Q=2,55x10-4 (m3/s)
1 0,07 5,5 10
2 0,10 40,5 45,7
3 0,33 176,5 247,5
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-39
4 0,38 276,5 306,2
Q=2,84x10-4 (m3/s)
5 0,09 11,5 14,8
6 0,13 59,5 89,8
7 0,41 211,5 275,5
8 0,49 286,5 312,2
Panjang endapan
Panjang endapan yang terjadi sebelum dan setelah adanya Debapung juga diamati, pada debit Q1 dan
pada debit Q2. Contoh pengamatan untuk panjang sedimen dapat dilihat pada Gambar-10. Panjang
endapan hasil pengamatan disajikan pada Tabel-5. Dengan adanya Debapung, formasi endapan menjadi
lebih panjang. Hasil ini menunjukkan bahwa, walaupun endapan masih terjadi setelah adanya Debapung,
ketebalan endapan relatif kecil karena teragih memanjang, kecuali di formasi paling ujung. Dengan
berkurangnya ketebalan formasi sedimen, maka penurunan kapasitas atau fungsi infrastruktur air dapat
diminimalkan. Ilustrasi formasi endapan yang diakibatkan oleh enerji rendah dan enerji tinggi seperti
yang ditampilkan pada Gambar-11.
Stream Power
Stream power merupakan karakter aliran yang menunjukkan kemampuan aliran untuk mengangkut butiran sedimen [20]. Stream power tergantung pada debit dan bedslope, Ω =γ.Q.S. Hasil perhitungan
stream power dengan nilai γ= 9810 N/m3, untuk berbagai kondisi disajikan dalam Tabel-6.
(a) (b)
Gambar-10. Formasi endapan pada kecepatan rendah (a) dan tinggi (b)
Sumber:[7]
Gambar-11. Formasi endapan pada enerji berbeda
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-40
Tabel-5. Panjang formasi endapan
V
(m/s)
L
Sebelum
Debapung
(cm)
Setelah
Debapung
(cm)
Q=2,55x10-4 (m3/s)
1 0,07 17,7 23,0
2 0,10 34,3 23,3
3 0,33 41,0 36,0
4 0,38 46,0 41,5
Q=2,84x10-4 (m3/s)
5 0,09 21,0 29,0
6 0,13 39,5 33,5
7 0,41 40,0 35,0
8 0,49 41,5 36,0
Tabel-6. Stream Power dan panjang formasi sedimen
S (%) Ω (N/s)
L
Sebelum
Debapung (cm)
Setelah
Debapung (cm)
Q=2,55x10-4 (m3/s)
0,5 0,01 40,5 45,67
1,0 0,02 176,5 247,5
1,5 0,03 276,5 306,17
Q=2,84x10-4 (m3/s)
0,5 0,01 59,5 89,83
1,0 0,03 211,5 275,5
1,5 0,04 286,5 312,17
4. UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada saudara Yushar Yahya dan Ferdian Agung atas kontribusinya
dalam kegiatan penelitian ini.
5. KESIMPULAN
a. Jarak awal sedimen dari kaki pelimpah menjadi lebih panjang dengan adanya Debapung, pada
kondisi Q Q=2,84x10-4 (m3/s) dan Q=2,55x10-4 (m3/s) b. Tebal formasi sedimen berkurang dengan adanya Debapung
c. Semakin besar stream power yang dimiliki aliran, semakin panjang jarak awal sedimen sari kaki
pelimpah.
d. Debapung mampu membangkitkan aliran turbulen pada beragam kecepatan
e. Debapung mampu menghambat proses sedimentasi
f. Debapung hanya bermanfaat secara efekti dan efisien bila diterapkan pada saluran terbuka
berpenampang segi empat
6. DAFTAR PUSTAKA
1. Bambang Triatmodjo (1996), Hidraulika Jilid I dan II, Yogyakarta, Beta Offset.
2. Chow, V.T., Maidment, D.R., dan Mays, L.W. (1988), Applied Hydrology, Mcgraw Hill, New York.
3. DitJen Pengairan (1986), KP-03 Standar Perencanaan Irigasi, Departemen Pekerjaan Umum RI,
Bandung , CV. Galang Persada. 4. Gravemeir, V. (2003), The Variational Multiscale Method Debapungr Laminar and Turbulent
Incompressible Flow, Germany: Stutgart University
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-41
5. Guo, Y., Keith W. BedDebapungrd, and David Welsh (2003), Storm Impacts on Sediment
Deposition at a River-Coastal Confluence, ASCE Conf. Proc. 145, 64, DOI:10.1061/40734(145)64
6. Henderson, F. M. (1996), Open Channel Flow, New York, Mcmillan Company.
7. http://farm6.static.flickr.com/2010
8. http://muzlimacmal.files.wordpress.com/2010
9. http://oilindonesia.files.wordpress.com/2010
10. http://t1.gstatic.com/2010
11. http://upload.wikimedia.org/2010
12. http://weiminhan.files.wordpress.com/2010
13. http://www.coolit.co.za/2010
14. Kaini, P., John W. Nicklow, J. W., dan Schoof, J. T. (2010), Impact of Climate Change Projections and Best Management Practices on River Flows and Sediment Load , ASCE Conf. Proc. 371, 234,
DOI:10.1061/41114(371)234
15. Kironoto, B.A. (2003), Hidraulika Transpor Sedimen, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
16. Lebel, L, Tira Debapungran, Po Garden, Jesse B. Manuta (2009), Adaptation To Climate Change
And Social Justice: Chalenges Debapungr Flood And Disaster Management In Thailand, Climate
Change Adaptation In The Water Sector, Sterling, Earthscan, p.125-141
17. Liu, Z. (2001), Sediment Transport, Aalborg University
18. Ludwig, L dan Jacob D. (2009), The Impact Of Climate Change On Water, Climate Change
Adaptation In The Water Sector, Sterling, Earthscan, p.35-50
19. Recktenwald, G. (2007), Head Loss in Pipe Systems Laminar Flow and Introduction to Turbulent
Flow, Portland: Mechanical and Materials Engineering Department Portland State University 20. Worthy, M. (2005), High-Resolution Stream Power Estimates Debapungr The Cotter River,
Namadgi National Park, Australian Capital Teritory, Canberra: Australian National University
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-42
Halaman ini sengaja dikosongkan
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-43
KAJIAN PENGEMBANGAN SISTEM JARINGAN DISTRIBUSI AIR BERSIH
MENGGUNAKAN PROGRAM EPANET V.2 PADA ZONA 4 (DAERAH PELAYANAN
SUMBERAYU KECAMATAN MUNCAR KABUPATEN BANYUWANGI)
Nanang Saiful Rizal2
1Dosen Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Jember, Telp 0331-336728,
email:rizal.nanang@yahoo.co.id
ABSTRAK
Penyediaan air bersih yang layak sangat diperlukan bagi kelangsungan kehidupan manusia, maka dengan
peningkatan pertumbuhan penduduk akan mengakibatkan kebutuhan akan air bersih semakin bertambah. Adapun perencanaan sistem distribusi air bersih yang kurang baik menyebabkan terjadinya kehilangan air
pada saat pendistribusian, hal ini juga dapat disebabkan kurang memperhatikan peningkatan pola
kebutuhan konsumen.
Jaringan air bersih di wilayah Zona-4 cukup luas, maka untuk menganalisa jaringan air bersih eksisting
dan proyeksi tahun 2019 diperlukan bantuan program EPANET V.2 Setelah dilakukan analisa bisa dilihat
bagaimana kinerja jaringan eksisting. Jika kinerja jaringan kurang baik, maka dilakukan perubahan
jaringan, penambahan valve dan perubahan diameter pipa.
Setelah dilakukan analisa menggunakan program EPANET V.2 diperoleh hasil bahwa kondisi perpipaan
eksisting untuk proyeksi sampai dengan tahun 2019 kurang layak, sebab dalam waktu jangka panjang
dapat menyebabkan kebocoran pada jaringan perpipaan dan dapat menyebabkan terjadinya penyumpatan
pada jaringan perpipaan. Setelah dilakukan simulasi dengan memasang valve dan memperkecil diameter pipa pada beberapa jaringan perpipaan, kondisi jaringan sudah lebih baik hal ini dapat dilihat dari tekanan
pada titik simpul lebih kecil dari 100 mH2O dan kecepatan aliran pada pipa sudah lebih besar dari 0,1
m/s.
Kata Kunci : Proyeksi, Jaringan, Pipa, EPANET
1. LATAR BELAKANG
Air sebagai salah satu sumber daya alami sangat diperlukan bagi kelangsungan kehidupan mahluk
hidup baik itu manusia, hewan, maupun tumbuhan. Sejalan dengan peningkatan pertumbuhan penduduk
maka mengakibatkan kebutuhan akan air bersih semakin bertambah. Adapun kendala umum yang
dihadapi sekarang ini adalah bagaimana cara pendistribusian air bersih ke daerah layanan, jumlah atau
ketersediaan sumber daya air baku dan cara pengelolaan air baku menjadi air bersih sehingga air tersebut layak dikonsumsi masyarakat dan memenuhi satndar kelayakan baik dalam hal kualitas, kuantitas dan
kontinuitas air bersih. Perencanaan sistem distribusi air bersih yang kurang baik menyebabkan terjadinya
kehilangan air pada saat pendistribusian. Hal ini juga dapat disebabkan perencanaan yang kurang
memperhatikan peningkatan pola kebutuhan konsumen. PDAM selaku BUMD yang berwenang dalam
pelayanan kebutuhan air bersih kepada masyarakat pada lingkup wilayah tertentu harus dapat mengatasi
masalah tersebut di atas.
Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan penggunaan sistem jaringan
distribusi air bersih yang dinamakan Sistem Zona. Dari sistem zona ini diharapkan dapat mempermudah
pengoperasian kebutuhan air bersih, meratakan tekanan, dan mendeteksi letak kebocoran pipa di
lapangan. Pada tahap pengembangan selanjutnya, kebutuhan air tersebut diproyeksikan pada setiap titik
simpul yang ada dan dilakukan simulasi dengan kondisi tidak permanen dengan bantuan program
EPANET v.2.0. Tujuan dari kajian ini adalah untuk merencanakan jaringan air bersih PDAM Muncar untuk wilayah
Zone-4 ditinjau dari segi hidrolika dan sistem operasinya pada kondisi eksisting dan proyeksi 10 tahun
mendatang. Hal tersebut berkaitan dengan usaha pemenuhan target kebutuhan, peningkatan kuantitas, dan
kualitas pelayanan konsumen PDAM Muncar. Selain itu juga untuk menambah wawasan tentang program
EPANET dalam aplikasinya untuk menganalisis sistem jaringan air bersih, serta manfaatnya sebagai
bahan pertimbangan bagi PDAM Muncar dalam upaya memenuhi dan meningkatkan penyediaan air
bersih di wilayah Muncar dengan corak kebutuhan yang bervariasi sepanjang waktu secara baik dan benar
ditinjau dari segi kualitas dan kuantitas tanpa mengesampingkan aspek pelestariannya.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perkembangan Penduduk
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-44
Perkembangan penduduk merupakan salah satu faktor penting dalam perencanaan air bersih. Dalam
studi ini, proyeksi jumlah penduduk digunakan sebagai dasar untuk menghitung tingkat kebutuhan air
bersih pada masa mendatang. Perkiraan jumlah penduduk di suatu daerah pada tahun tertentu dapat
dilakukan apabila diketahui tingkat pertumbuhan penduduknya. Perkiraan jumlah penduduk di masa
mendatang dapat dihitung menggunakan Metode Geometrik dengan menggunakan formula sebagai
berikut (Muliakusuma, 1981) :
Pn = Po(1 + r)n (1)
dengan :
Pn = jumlah penduduk pada akhir tahun ke-n (jiwa)
Po = jumlah penduduk pada tahun yang ditinjau (jiwa)
r = angka pertumbuhan penduduk tiap tahun ( %) n = jumlah tahun proyeksi (tahun)
2.2. Kebutuhan Air Bersih
Kebutuhan air bersih adalah jumlah air yang diperlukan secara wajar untuk keperluan pokok manusia
(domestik) dan kegiatan-kegiatan lainnya yang memerlukan air (non domestik). Kebutuhan domestik
merupakan kebutuhan air bersih yang digunakan untuk keperluan rumah tangga dan kran umum yang
jumlah kebutuhannya ditentukan dari data kota atau daerah yang bersangkutan berdasarkan karakteristik
dan perkembangan konsumen pemakai air bersih dalam penggunaan air bersih.
Tabel 1 : Nilai Kebutuhan Air Bersih Untuk Bangunan Tempat Tinggal
Kategori
Kota
Keterangan Jumlah Penduduk Keb. Air Bersih
(lt/org/hari)
Kategori I
Kategori II
Kategori III
Kategori IV
Kategori V
Kategori VI
Kota Metropolitan
Kota Besar
Kota Sedang
Kota Kecil
Desa
Desa Kecil
>1.000.000
500.000 s.d 1.000.000
100.000 s.d 500.000
20.000 s.d 100.000
10.000 s.d 20.000
3000 s.d 10.000
190
170
150
130
100
60
Sumber : Pedoman Kebijaksanaan Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu (P3KT) Repelita V,
Ditjen Cipta Karya
Kebutuhan non domestik merupakan semua kebutuhan yang termasuk penyediaan air untuk sarana
sosial seperti rumah sakit, sekolah, tempat ibadah, dan juga keperluan komersial seperti industri, hotel, perdagangan, serta untuk pelayanan jasa umum. Kebutuhan non domestik untuk kota kecil dan sedang
tidaklah seberapa besar, namun pada kota-kota besar atau metropolitan kebutuhan air untuk keperluan air
untuk keperluan non domestik dapat mencapai 15 % dari kebutuhan domestik.
Besarnya pemakaian air bersih oleh masyarakat pada suatu daerah tidaklah konstan, namun terjadi
fluktuasi pada jam-jam tertentu bergantung aktifitas keseharian masyarakatnya. Hal tersebut berlangsung
setiap hari dan membentuk suatu pola penggunaan air yang relatif sama. Pada saat-saat tertentu terjadi
peningkatan aktifitas penggunaan air sehingga memerlukan pemenuhan air bersih lebih banyak dari
kondisi normal, sementara saat-saat tertentu juga tidak terdapat aktifitas yang memerlukan air.
Gambar 1 : Grafik Fluktuasi Pemakaian Air Sumber : Ditjen Cipta Karya Departemen PU, Anonim, 1987
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-45
2.3. Hidraulika Aliran Dalam Sistem Jaringan Distribusi Air Bersih
Beberapa jenis teori yang berhubungan dengan perhitungan hidraulika aliran dalam pipa, yaitu
(Dirjen Cipta Karya, 1987) :
2.3.1. Prinsip Kontinuitas
Yang dimaksud dengan prinsip kontinuitas adalah jumlah air yang masuk dalam suatu sistem
perpipaan adalah sama dengan jumlah air yang keluar dari sistem perpipaan tersebut.
Q1 = Q2 + Q3
A1.V1 = (A2.V2) + (A3.V3) (2)
dengan :
Q = debit aliran air (m3/dt) A = luas penampang (m2)
V = kecepatan aliran (m/dt)
2.3.2. Prinsip Bernoulli
Persamaan Bernoulli dapat ditulis sebagai berikut (Triatmojo, 1993) :
h1 +
w
P
1 +
g
v
2
2
1 = h2 +
w
P
2 +
g
v
2
2
2+ hL (3)
dengan :
w
P
1 ,
w
P
2 = tinggi tekanan dititik 1 dan 2 (m)
g
v
2
2
1,
g
v
2
2
2 = tinggi kecepatan dititik 1 dan 2 (m)
P1, P2 = tekanan dititik 1 dan 2 (kg/m2)
w = berat jenis air (kg/m3)
v1, v2 = kecepatan aliran dititik 1 dan 2 (m/dt)
g = percepatan gravitasi (m/dt)
h1, h2 = tinggi elevasi dititik 1 dan 2 dari garis yang ditinjau (m)
hL = kehilangan tinggi tekan dalam pipa (m)
2.3.3. Kehilangan Tinggi Tekan Pada Aliran Didalam Pipa
Kehilangan tinggi tekan pada pipa dibagi 2, yaitu Major Losses dan Minor losses. Major Losses
dapat dihitung menggunakan persamaan Hazen-Williams. Persamaannya ditulis dalam bentuk (Priyantoro, 1991) :
V = 0,3454 Chw D0,63 S0,54 (4)
ki = 87,485,1 .
67,10
DC
L
hw
(5)
hf = 85,1.Qki (6)
dengan :
V = kecepatan aliran pada pipa (m/dt)
Chw = koefisien kekasaran hazen-williams.
D = diameter pipa (m)
S = kemiringan garis energi
Q = debit aliran pada pipa (m3/dt)
L = panjang pipa (m) hf = kehilangan tinggi tekan mayor (m)
Minor losses yang terjadi pada suatu sistem perpipaan disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya
adalah (Priyantoro, 1991) :
1. Kehilangan tinggi akibat pengecilan
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-46
2. Kehilangan tinggi akibat pembesaran
3. Kehilangan tinggi akibat belokan
4. Kehilangan tinggi melalui katup
2.4. Analisa Program EPANET versi 2.0
2.4.1. Komponen Pemodelan EPANET versi 2.0 Komponen fisik model EPANET versi 2.0 dalam sistem distribusi air merupakan penghubung (links)
dan node. Links adalah penghubung antara node yang ada. Link merupakan gambaran dari pipa, pompa,
atau katup kontrol, sedangkan node merupakan gambaran dari junction, tank, atau reservoir.
Gambar 2 : Komponen Fisik Dari EPANET
Komponen non fisik EPANET versi 2.0 menggunakan tiga tipe objek informasi untuk membantu
komponen fisik, yaitu: kurva, pola, dan kontrol melukiskan tingkah laku dan aspek operasi pada sistem
distribusi. Kurva terdiri atas :Kurva pompa, Kurva efisiensi, Kurva volume, Kurva kehilangan tekanan
(Headloss)
2.4.2. Input Data Dan Output Dalam EPANET v 2.0
Input data yang dibutuhkan dalam program Epanet v.2.0 diantaranya adalah peta jaringan,
node/junction/titik dari komponen, elevasi, panjang pipa distribusi, diameter dan jenis pipa yang
digunakan, spesifikasi pompa (bila menggunakan pompa), Bentuk dan ukuran reservoir, beban masing-
masing node dan faktor fluktuasi pemakaian air
Output yang dihasilkan diantaranya : hidrolik head masing-masing titik, tekanan dan kualitas air, kecepatan aliran dan demand.
3. METODOLOGI PENELITIAN
Data yang digunakan dalam penelitian yang berhubungan dengan sistem distribusi air bersih
berdasarkan data PDAM Muncar yang direkap tiap satu bulan sekali. Langkah-langkah penelitian adalah
sebagai berikut :
1. Mengumpulkan data-data yang diperlukan sebagai berikut :
a. Data primer adalah data elevasi jaringan distribusi air bersih di wilayah Zona 4.
b. Data sekunder antara lain :
Peta jaringan sistem distribusi air bersih
Data jumlah penduduk.
Data kebutuhan air bersih 2. Melakukan evaluasi jaringan eksisting sistem distribusi air bersih menggunakan program EPANET
versi 2.0.
3. Melakukan proyeksi jumlah penduduk untuk 10 tahun yang akan datang.
4. Menganalisa jumlah kebutuhan air bersih untuk 10 tahun yang akan datang.
5. Merencanakan pengembangan sistem distribusi air bersih di wilayah Zona-4 dengan menggunakan
program EPANET versi 2.0.
6. Menganalisa sistem jaringan distribusi air bersih setelah dilakukan perencanaan pengembangan.
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-47
Gambar 3 : Diagram alir metodologi kajian
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Daerah kajian secara geografis terletak pada 1130 53‟- 1140 38‟ Bujur Timur dan 070 43‟- 080 46‟
Lintang Selatan. Dengan luas wilayah 9,43 km2. Dari kondisi topografi, daerah ini terletak pada
ketinggian 3 m di atas permukaan laut.
Gambar 3 : Peta daerah layanan air bersih Zona-4
Untuk memenuhi kebutuhan air bersih selama ini memanfaatkan 2 sumur bor sebagai sumber mata
air dengan kapasitas debit sumber 116 liter/detik. Seiring dengan perkembangan jumlah penduduk pada
Data Jumlah Penduduk Thn
2005-2009
Data Ketersediaan
Air Baku
Peta Dan Data Teknis Jaringan
Distribusi (Existing) Data Pelanggan
PDAM Thn 2009
Data elevasi Data
pengembangan jaringan
distribusi air
bersih
Proyeksi Jumlah
Penduduk Thn 2019
Menghitung Debit Pembebanan Titik Simpul
Melakukan Pemodelan Sistem Jaringan Distribusi Air
Bersih (Existing) Dengan Epanet v 2.0
Melakukan Simulasi Sistem Jaringan Distribusi Air Bersih (Existing) Dengan
Epanet v 2.0
Merencanakan Perbaikan Sistem
Jaringan Distribusi Air Bersih (Existing)
Perhitungan Air Bersih
Hingga Thn 2019
Menghitung Prosentase Jumlah Penduduk
Terlayani Hingga Thn
2019
Menghitung Prosentase
Penduduk Terlayani
Analisa Kinerja Sistem Jaringan Distribusi Air
Bersih (Existing)
Analisa Kinerja
Sistem Jaringan
Distribusi Air Bersih
Perencanaan Pengembangan Sistem Jaringan Distribusi Air Bersih Hingga Thn 2019
Menghitung Debit Pembebanan Titik Simpul
Melakukan Simulasi Pengembangan Sistem Jaringan Distribusi Air Bersih Dengan
Epanet v 2.0
Merencanakan Perbaikan Pengembangan Sistem
Jaringan Distribusi Air Bersih
Kesimpulan Dan Saran
Selesai
Tidak
Ya
Mulai
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-48
masa mendatang perlu ada pengembangan jaringan distrubusi. Adapun hasil proyeksi penduduk dengan
metode geometrik, pertambahan penduduk terlayani dan kebutuhan air bersih pada saat kondisi existing
tahun 2009 dan kondisi pengembangan tahun 2019 disajikan pada tabel 2.
Tabel 2 : Proyeksi jumlah penduduk terlayani dan kebutuhan air wilayah zona-4
No Uraian Kondisi Existing
2009
Kondisi pengembangan
2019
1 Jumlah penduduk (jiwa) 16816 21798
2 Jumlah penduduk terlayani
(jiwa)
155 10899
3 Kebutuhan air (liter/detik) 0,269 26,129
Dalam pengembangan jaringan distribusi ini ketersediaan debit dari sumber air cukup untuk proyeksi
sampai dengan tahun 2019, sehingga yang dilakukan adalah pengembangan jaringan distribusi agar dapat
meningkatkan manfaat dari kapasitas sumber daya air. Pengembangan jaringan distribusi dilakukan
dengan tetap memanfaatkan jaringan dalam kondisi eksisting yang selanjutnya dilakukan analisa
menggunakan program EPANET V.2. Hasil yang diperoleh menunjukkan pada hampir semua titik
simpul memiliki tekanan yang cukup besar diatas 100 m H2O dan kecepatan aliran pada beberapa pipa kurang dari 0,1 m/s. Pipa jenis PVC hanya mampu menahan tekanan maksimum 100 H2O, sedangkan
standar kecepatan aliran minimum pada jaringan perpipaan minimal adalah 0,1 m/s.
23
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
1
22
23
2
34
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
2021
1
22
Gambar 4 : Skema node dan link Zona-4
Maka berdasarkan uraian diatas, perlu dilakukan simulasi untuk menurunkan tekanan pada beberapa
titik simpul dan meningkatkan kecepatan pada beberapa pipa dengan jalan menambah valve pada
beberapa section pipa selanjutnya dilakukan analisa menggunakan program EPANET V.2. Hasil yang
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-49
diperoleh menunjukkan pada semua titik simpul tekanan kurang dari 100 m H2O namun kecepatan aliran
pada beberapa pipa masih kurang dari 0,1 m/s.
Untuk menaikkan kecepatan aliran pada beberapa section pipa dilakukan dengan memperkecil
diemeter pipa selanjutnya dilakukan analisa menggunakan program EPANET V.2. Hasil yang diperoleh
menunjukkan pada hampir semua jaringan pipa kecepatan aliran sudah lebih dari 0,1 m/s.
5. KESIMPULAN
1. Kebutuhan domestik dan non domestik pada kondisi pengembangan (2019) yang total keseluruhan
hanya sebesar 26,129 lt/dtk, dapat tercukupi dengan kapasitas 2 pompa yang dapat menghasilkan
debit air 20 lt/dtk dan 15 lt/dtk. Jadi tidak perlu ada penambahan pompa lagi.
2. Pemanfaatan jaringan perpipaan aksisting untuk proyeksi sampai dengan tahun 2019 kurang layak, sebab sebagian besar tekanan pada titik simpul lebih besar dari 100 m H2O sehingga dalam waktu
jangka panjang dapat menyebabkan kebocoran pada jaringan perpipaan. Adapun kecepatan aliran
pada beberapa pipa masihkurang dari 0,1 m/s sehingga dalam waktu jangka panjang dapat
menyebabkan terjadinya penyumpatan pada jaringan perpipaan.
3. Setelah dilakukan simulasi dengan memasang valve dan memperkecil diameter pipa pada beberapa
jaringan perpipaan, kondisi jaringan sudah lebih baik hal ini dapat dilihat dari tekanan pada titik
simpul lebih kecil dari 100 m H2O dan kecepatan aliran pada pipa sudah lebih besar dari 0,1 m/s.
6. DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim, 1987, Buku Utama Sistem Jaringan Pipa. Jakarta : DPUD Jenderal Cipta Karya Direktorat Air Bersih.
2. Anonim, 2000, User Manual EPANET 2. Jakarta : EKAMITRA Engineering.
3. Priyantoro, Dwi. (1991). Hidrolika Saluran Tertutup. Malang : Fakultas Teknik Universitas
Brawijaya.
4. Triadmodjo, B. (1993). Hidraulika I. Yogyakarta : Beta Offset.
5. Triadmodjo, B. (1993). Hidraulika II. Yogyakarta : Beta Offset.
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-50
Halaman ini sengaja dikosongkan
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-51
PEMODELAN HUJAN-DEBIT MENGGUNAKAN MODEL HEC-HMS
DI DAS SAMPEAN BARU
Nur Azizah Affandy1 dan Nadjadji Anwar
2
1Mahasiswa S2 MRSA Jurusan Teknik Sipil- FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo Surabaya, Telp.
08113407073, email : nurazizah_5@yahoo.com 2Dosen Jurusan Teknik Sipil- FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo Surabaya, Telp. 0811329039, email :
Nadjadji@ce.its.ac.id
ABSTRAK
Banjir yang terjadi pada suatu wilayah DAS, disebabkan karena berkurangnya luas daerah resapan air akibat perubahan tata guna lahan yang tidak terencana dan terpola dengan baik serta tidak berwawasan
lingkungan, sehingga akibat dari perubahan tata guna lahan itu mengakibatkan bertambahnya volume
debit banjir rancangan yang terjadi pada DAS tersebut.
Oleh sebab itu permodelan hujan-debit merupakan satuan untuk mendekati nilai-nilai hidrologis
proses yang terjadi di lapangan. Kemampuan pengukuran hujan-debit aliran sangat diperlukan untuk
mengetahui potensi sumberdaya air di suatu wilayah DAS. Model hujan-debit dapat dijadikan sebuah alat
untuk memonitor dan mengevaluasi debit sungai melalui pendekatan potensi sumberdaya air permukaan
yang ada. Suatu wilayah DAS dibagi menjadi sub–sub DAS untuk mendapatkan informasi dan hasil
running yang lebih terperinci. Dalam studi ini DAS Sampean Baru dibagi menjadi 10 sub DAS dengan
luas total 718, 896 km2 dengan outlet AWLR Kloposawit. Dalam studi ini menggunakan model HEC-
HMS karena dalam HEC-HMS terdapat fasilitas kalibrasi, kemampuan simulasi model dengan data terdistribusi, model aliran kontinyu dan kemampuan GIS.
Hasil dari pemodelan tahun 2003-2007 ini, didapatkan besarnya debit puncak (peak flow) adalah
sebesar 101.4 m3/det yang diakibatkan hujan yang terjadi pada tanggal 28 Februari 2003 sedangkan debit
puncak dilapangan sebesar 242.78 m3/det yang diakibatkan hujan yang terjadi pada tanggal 27 Februari
2003. Sedangkan Analisa Kalibrasi dengan metode RMSE pada tahun 2005 memberikan nilai RMSE
terkecil 3.7 sedangkan dengan metode Nash tahun 2006 memberikan nilai terkecil -0.2 dengan parameter
karakteristik DAS Sampean baru yang berpengaruh adalah : Nilai CN, Initial Loss, Imperviousness, Time
lag dan Muskingum Routing nilai K dan nilai X.
Kata kunci : Pemodelan, Hujan, Debit, HEC-HMS
1. PENDAHULUAN
Banjir yang terjadi pada suatu wilayah DAS, disebabkan karena berkurangnya luas daerah resapan air
akibat perubahan tata guna lahan yang tidak terencana dan terpola dengan baik serta tidak berwawasan
lingkungan, sehingga akibat dari perubahan tata guna lahan itu mengakibatkan bertambahnya volume debit banjir rancangan yang terjadi pada DAS tersebut
Pemodelan hujan-debit merupakan satuan untuk mendekati nilai-nilai hidrologis proses yang terjadi
di lapangan. Kemampuan pengukuran hujan-debit aliran sangat diperlukan untuk mengetahui potensi
sumberdaya air di suatu wilayah DAS. Model hujan-debit dapat dijadikan sebuah alat untuk memonitor
dan mengevaluasi debit sungai melalui pendekatan potensi sumberdaya air permukaan yang ada. Suatu
wilayah DAS dibagi menjadi sub–sub DAS untuk mendapatkan informasi dan hasil running yang lebih
terperinci. Dalam studi ini membahas suatu analisa model hubungan hujan dan debit dari data curah hujan
harian dan data curah hujan jam-jaman pada DAS Sampean Baru dengan membagi DAS menjadi 10 sub
DAS dengan luas total 718, 896 km2 dengan outlet AWLR Kloposawit dan menguji keandalan model
tersebut.
Dalam studi ini menggunakan model HEC-HMS karena dalam HEC-HMS terdapat fasilitas kalibrasi, kemampuan simulasi model dengan data terdistribusi, model aliran kontinyu dan kemampuan
GIS.
2. DASAR TEORI
Salah satu model transformasi hujan menjadi aliran khususnya untuk aliran rendah (lowflow) adalah
model HEC-HMS. Model ini merupakan model hidrologi numerik yang dikembangkan oleh Hydrologic
Engineering Centre (HEC) dari US Army Corps Of Engineers. Program HEC-HMS merupakan program
komputer untuk menghitung transformasi hujan dan proses routing pada suatu sistem DAS. Model ini
dapat digunakan untuk menghitung volume runof, direct runoff, baseflow dan channel flow. Seperti yang
dijelaskan dalam buku ”Hydrologic Modeling System (HECHMS) Technical Reference Manual”,
program HEC-HMS ini merupakan program komputer untuk menghitung pengalihragaman hujan dan
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-52
proses routing pada suatu sistem DAS. Software ini dikembangkan oleh Hydrologic Engineering Centre
(HEC) dari US Army Corps Of Engineers. Dalam software HEC-HMS terdapat fasilitas kalibrasi maupun
simulasi model distribusi, model menerus dan kemampuan membaca data GIS.
TABEL 2. 1. FASILITAS KOMPUTASI DAN MODEL YANG TERDAPAT DALAM HEC-HMS
Komputasi Model
Precipitation User hyetograph
User gage weighting
Inverse distance gage weights
Gridded precipitation
Frequency storm
Standard project storm
Volume runoff Initial and Constant rate
SCS curve number (CN)
Gridded SCS CN
Green and Ampt Deficit and constant rate
Soil moisture accounting (SMA)
Gridded SMA
Direct runoff (overland flow
dan interflow)
(overland flow dan interflow)
User-spesified unit hydrograph
Clark’s UH
Snyder’s UH
SCS UH
Modclark
Kinematic wave
Baseflow Constant monthly
Exponential recession
Linier reservoir
Channel flow Kinematic wave
Lag
Modified Puls Muskingum
Muskingum-Cunge Standard Section
Muskingum-Cunge 8-point Section
Sumber : Technical Refence Manual HEC-HMS 2000
2.1. Metode Perhitungan Volume Limpasan Dengan Hec Hms
Lapisan kedap air adalah bagian dari DAS yang memberikan kontribusi berupa limpasan langsung
tanpa memperhitungakn infiltrasi, evaporasi ataupun jenis kehilangan volume lainnya. Sedangkan
jatuhnya air hujan pada lapisan yang kedap air juga merupakan limpasan.
Didalam pemodelan HEC-HMS ini, terdapat beberapa metode perhitungan limpasan (runoff) yang
dapat kita gunakan, yaitu (HEC-HMS Technical Reference Manual, 2000:38):
1. The initial and constant-rate loss model,
2. The deficit and constant-rate loss model,
3. The SCS curve number (CN) loss model (composite or gridded), dan
4. The Green and Ampt loss model.
Karena keterbatasan ketersediaan data lapangan yang dibutuhkan didalam penggunaan metode-
metode perhitungan tersebut diatas, maka penulis memilih metode SCS curve number (CN) yang dianggap paling mudah di aplikasikan dalam perhitungan.
2.1.1. Limpasan Scs Curve Number (Cn)
Metode perhitungan dari Soil Conservation Service (SCS) curve number (CN) beranggapan bahwa
hujan yang menghasilkan limpasan merupakan fungsi dari hujan kumulatif, tata guna lahan, jenis tanah
serta kelembaban. Model perhitungannya adalah sebagai berikut (HEC-HMS Technical Reference
Manual, 2000:40):
SIP
IPP
a
a
e
2
..........................................................................................................(2 - 1)
dengan : Pe = Hujan kumulatif pada waktu t
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-53
P = Kedalaman hujan kumulatif pada waktu t
Ia = Kehilangan mula-mula (initial loss)
S = Kemampuan penyimpanan maksimum
Hubungan antara nilai kemampuan penyimpanan maksimum dengan nilai dari karakteristik DAS
yang diwakili oleh nilai CN (curve number) adalah sebagai berikut :
CN
CNS
.101000 (English Unit) .......................................................................... (2 - 2)
CN
CNS
.25425400 (Metric Unit) ........................................................................... (2 - 3)
Nilai dari CN (curve number) bervariasi dari 100 (untuk perumukaan yang digenangi air) hingga
sekitar 30 (untuk permukaan tak kedap air dengan nilai infiltrasi tinggi).
2.2. Metode Perhitungan Hidrograf Satuan Sintetis
Dalam pemodelan menggunakan HEC-HMS ini, disediakan beberapa pilihan metode yang dapat
digunakan untuk perhitungan hidrograf satuan. Metode-metode yang ada antara lain adalah (HEC-HMS
Technical Reference Manual, 2000:56) :
1. Hidrograf satuan sintetis Snyder 2. Hidrograf satuan SCS (Soil Conservation Service)
3. Hidrograf satuan Clark
4. Hidrograf satuan Clark modifikasi
5. Hidrograf satuan Kinematic Wave
2.2.1. Hidrograf Satuan Scs
Model SCS Unit Hidrograf adalah suatu Unit Hidrograf yang berdimensi, yang dicapai puncak
tunggal Unit Hidrograf. SCS menyatakan bahwa puncak Unit Hidrograf dan waktu puncak Unit
Hidrograf terkait oleh:
………………………………….……………………………………. (2 - 4)
di mana A = daerah aliran air; dan C = konversi tetap (208 di SI dan 484 di dalam sistem kaki). Waktu
puncak (juga yang dikenal sebagai waktu kenaikan) terkait kepada jangka waktu unit dari kelebihan hujan, seperti :
…………………………………………………………….…….. (2 - 5)
di mana t = jangka waktu kelebihan hujan dan tlag = perbedaan waktu antara pusat massa dari kelebihan
curah hujan dan puncak dari Unit Hidrograf. Perlu dicatat bahwa untuk t, yang kurang dari 29% dari tlag harus digunakan (USACE, 1998).
Ketika waktu keterlambatan tersebut ditetapkan, HEC-HMS memecahkan persamaan untuk
menemukan waktu dari puncak Unit Hidrograf dan untuk menemukan puncak Unit Hidrograf.
2.3. Metode Perhitungan Baseflow
HEC-HMS menyediakan tiga macam metode didalam penentuan baseflow yang akan digunakan
dalam perhitungan selanjutnya. Ketiga metode tersebut adalah (HEC-HMS Technical Reference Manual,
2000:75) :
1. Metode konstan bulanan
2. Metode penurunan eksponensial (exponential recession model) 3. Metode volume tampungan linear (linear-reservoir volume accounting model)
Dalam perhitungannya, penulis menggunakn metode konstan bulanan didalam penentuan besaran
baseflow. Hal ini karena ketiadaan data sekunder yang dapat digunakan jika ingin akan menggunakan
metode yang lainnya.
2.4. Kriteria Kalibrasi Model
Dalam proses kalibrasi ini, kita diharapkan dapat menentukan nilai parameter-parameter dari
karakteristik DAS daerah studi kita seperti nilai CN (Curve Number), resapan awal (Initial abstraction),
luasan daerah kedap air (imperviousness) atau nilai baseflow sehingga akhirnya mendapatkan hasil yang
paling mendekati dengan kondisi di lapangan. Parameter yang digunakan sebagai acuan dalam proses
kalibrasi ini adalah nilai dari debit banjir pada outlet dari DAS daerah studi kita. Nilai debit banjir yang biasanya kita dapatkan dari pencatatan AWLR (Automatic Water Level recorder) atau alat pencatat debit
otomatis ini akan kita cek dengan nilai debit banjir yang dihasilkan oleh perhitungan HEC-HMS. Sebaran
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-54
dari kedua nilai inilah yang perlu diperhatikan. Semakin kecil sebarannya, maka semakin baik kualitas
pemodelan yang telah kita lakukan.
Tabel 2.2. Nilai Parameter Untuk Kalibrasi Model HEC-HMS
Model Parameter Min Max
SCS Loss Initial abstraction
Curve number
0 mm
1
500 mm
100
SCS UH Lag 0.1 min 30000 min
Baseflow Initial baseflow
Recession factor
Flow-to-peak ratio
0 m3/s
0.000011
0
100000 m3/s
-
1
Muskingum Routing K
X
Number of steps
0.1 hr
0
1
150 hr
0.5
100
Sumber : Panduan HEC-HMS (Suhartanto, 2008)
2.12. Kriteria Penampilan Model
Kriteria Kalibrasi model adalah salah satu cara mengkaji model untuk mengetahui parameter-parameter yang dipakai model dapat diterapkan pada kondisi lapangan atau kondisi rencana. Hasil
pengukuran AWLR debit sungai Sampean digunakan sebagai data (measurement data) yang akan
dibandingkan dengan hasil simulasi.
Adapun metode untuk menentukan criteria penampilan atau kalibrasi model terhadap hasil
pengamatan dilapangan sebagai berikut. (G. Drogue, A.El Idrissi, L.Pfister, T. Leviandier, J.F. Iffly, and
L. Hoffmann).
1. Root Mean Square Errors (RMSE)
RMSE bertujuan untuk mempresentasikan rata-rata kuadrat simpangan (selisih) antara nilai keluaran
model terhadap nilai pengukuran atau target. Nilai Root Mean Square Errors (RMSE) mensyaratkan
mendekati satu (1).
…………………………………(2 - 24)
Dimana : Qobs = debit hasil pengamatan dilapangan (m3/dt)
Qsim = debit hasil pemodelan (m3/dt)
2. Nash
Metode kalibrasi dengan menggunakan Nash ini adalah dengan membandingkan kuadrat selisih debit
hasil simulasi dan debit hasil pengamatan dengan kuadrat selisih debit pengamatan dan rata-rata debit
pengamatan. Metode Nash mensyaratkan pemodelan dikatakan valid jika nilainya mendekati nol (0).
Nash memberikan persamaan sebagai berikut :
…………………………………………(2 - 25)
Dimana : Qobs = debit hasil pengamatan dilapangan (m3/dt)
Qsim = debit hasil simulasi (m3/dt)
= rata-rata debit hasil pengamatan dilapangan (m3/dt)
3. METODOLOGI PENELITIAN
Dalam penyusunan studi ini diperlukan data- data yang mendukung baik itu data primer maupun data
sekunder.
Pada tahap analisa akan dilakukan proses memasukkan parameter-parameter yang diperlukan dalam
model HEC-HMS dari berbagai data yang telah ada. Dalam analisa data input yang digunakan ada dua
yaitu : Data hujan harian dan data hujan jam-jaman. Setelah semua parameter dimasukkan dalam model,
maka langkah selanjutnya proses simulasi model yang hasilnya diharapkan akan sesuai dengan kenyataan
dilapangan.
Pada tahap kesimpulan dan saran diberikan ulasan mengenai hasil simulasi yang merupakan pokok dari studi. Dari hasil simulasi akan diketahui sejauh mana keandalan dari model HEC-HMS tersebut dan
diberikan kesimpulan mengenai hasil simulasi serta saran untuk pengembangan studi selanjutnya.
4. HASIL
4.1. Lokasi Studi
Sungai Sampean adalah salah satu sungai yang berada di daerah kabupaten Bondowoso, dengan oulet
pada Sta AWLR Kloposawit yang memiliki luas wilayah 718.896 km2 yang secara geografis berada pada
koordinat antara 113°60′10″ - 113°12′26″ BT dan 7°70′10″ - 8°00′41″ LS. Kabupaten Bondowoso
memiliki suhu udara yang cukup sejuk berkisar 15,40 0C - 25,10 0C,
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-55
4.2. Analisa Hidrologi
4.2.1. Data Curah hujan
Di lokasi studi terdapat 33 stasiun hujan manual dan tiga stasiun ARR, dalam penelitian ini diambil
tiga stasiun penakar hujan ARR mewakili 10 subdas yaitu Stasiun Sentral, Stasiun Maesan dan Stasiun
Tlogo dengan outlet pada Stasiun AWLR Kloposawit. Data hujan yang digunakan dalam analisa tersebut
meliputi data curah hujan harian dengan periode pengamatan tahun 2003 sampai dengan tahun 2007.
4.2.2. Curah Hujan Harian Maksimum Data curah hujan harian maksimum yang terjadi di DAS Sampean dapat dilihat pada Tabel 4.1
Tabel 4.1. Curah Hujan Harian Maksimum Sub DAS Sampean Baru
No Tahun Curah Hujan Harian Maksimum
1 2003 65 83 70
2 2004 96 104 68
3 2005 108 103 68
4 2006 118 101 67
5 2007 75 81 83
Sumber : Hasil Analisa
4.3. Metode Poligon Thiessen Tabel 4.2. Koefisien Thiessen DAS Sampean Baru
Nama Stasiun Luas (km²) Bobot
Sentral 296.904 0.413
Maesan 94.894 0.132
Tlogo 327.098 0.455
Jumlah 718.896 1.000
Sumber : Hasil perhitungan
Gambar 4.1. Pengaruh Stasiun Hujan pada tiap SubDas pada DAS Sampean
4.4. Pemodelan dengan HEC-HMS
4.4.1. Penentuan Batas DAS dan Pembuatan DEM AVSWAT 2000
Gambar 4.2. Tampilan Hasil Batas DAS dan Pembagian subdas dengan outlet di Kloposawit
4.5. Input Data HEC-HMS
4.5.1. Basin Model Attributes
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-56
Gambar 4.3. Tampilan Hasil Pemodelan DAS Proses HEC-HMS
4.5.2. Input Data Meteorologic Model
Pada toolbar Component melalui perintah Meteorologic Model dengan pilihan new akan
mengidentifikasikan stasiun hujan yang terdekat pada masing-masing subbasin. Dalam studi ini
menggunakan metode Gage Weight karena stasiun hujan dimodelkan karena penggaruh polygon
Thiessen.
Tabel 4.3. Meteorologic model stasiun hujan Sub Das Sampean Baru
No Sub Das Stasiun Bobot
1 Sub Das 1
Sentral 0.00002
0.09725 Maesan 0.01550
Tlogo 0.08173
2 Sub Das 2 Sentral 0.04402
0.14038 Maesan 0.09636
3 Sub Das 3 Sentral 0.00001 0.00001
4 Sub Das 4
Sentral 0.02028
0.04542 Maesan 0.01944
Tlogo 0.00570
5 Sub Das 5 Sentral 0.16604 0.16604
6 Sub Das 6 Sentral 0.00738
0.01181 Tlogo 0.00443
7 Sub Das 7
Sentral 0.00036
0.24180 Maesan 0.00117
Tlogo 0.24027
8 Sub Das 8 Sentral 0.00109
0.00175 Tlogo 0.00066
9 Sub Das 9 Sentral 0.11041
0.11042 Tlogo 0.00001
10 Sub Das 10 Sentral 0.06344
0.18511 Tlogo 0.12167
Jumlah 1.00
Sumber : Hasil Analisa
4.5.3. Input Data hujan
Data Hujan dari stasiun yang terdapat di DAS Sampean Baru adalah Sentral, Maesan dan Tlogo.
Adapun data hujan yang digunakan adalah tahun 2003 -2007 karena data debit AWLR Kloposawit tahun 2003-2007 adalah yang paling lengkap.
4.5.4. Parameterisasi Basin Model
a. Parameter Basin Loss Rate (SCS Curve Number)
Tabel 4.4. Nilai Parameter SCS Curve Number
No Sub basin Initial Loss CN impervious
1 Sub basin 1 11.223 81.905 1.229
2 Sub basin 2 13.465 79.047 0.135
3 Sub basin 3 13.466 79.047 0.217
4 Sub basin 4 18.228 73.594 21.213
5 Sub basin 5 13.984 78.415 0.509
6 Sub basin 6 13.504 78.999 0.593
7 Sub basin 7 13.207 79.366 0.779
8 Sub basin 8 14.046 78.339 0.159
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-57
9 Sub basin 9 13.594 78.890 1.533
10 Sub basin 10 13.210 79.362 3.237
Sumber : Hasil Perhitungan
b. Parameter Basin Transform (SCS Unit Hydrograph)
Tabel 4.5. Nilai Lag Time
No Sub basin Lag Time
1 Sub basin 1 86.569
2 Sub basin 2 127.980
3 Sub basin 3 94.825
4 Sub basin 4 0.250
5 Sub basin 5 279.295
6 Sub basin 6 105.698
7 Sub basin 7 168.410
8 Sub basin 8 526.575
9 Sub basin 9 130.320
10 Sub basin 10 41.689
Sumber :Hasil Perhitungan
c. Penelusuran Banjir
Untuk penelusuran banjir menggunakan metode Muskingum, nilai Muskingum-Routing
Tabel 4.6. Nilai Muskingum Routing
No Reach Name Muskingum K (hrs) Muskingum X Number of Reach
1 Reach-1 80 0.2 5
2 Reach-2 85 0.2 4
3 Reach-3 90 0.2 3
4 Reach-4 95 0.2 2
5 Reach-5 100 0.2 1
Sumber : Hasil Analisa
4.6. Hasil Pemodelan HEC-HMS
4.6.1. Pemodelan Tahun 2003
Jan Mar May Jul Sep Nov
2003
Flow
(M3/
S)
0
50
100
150
200
250
Junction "Outlet" Results for Run "Run 1"
Run:RUN 1 Element:OUTLET Result:Observ ed Flow Run:Run 1 Element:OUTLET Result:Outf low
Run:Run 1 Element:Reach-5 Result:Outf low Run:Run 1 Element:Subbasin-10 Result:Outf low
Gambar 4.4. Grafik Debit HEC-HMS Tahun 2003 dan Hasil Kalibrasi
Dari Hasil Analisa Peak Flow Pemodelan = 101.4 m3/dt Akibat hujan yang terjadi pada tanggal 28 Februari 2003.dengan Base flow 0.2 m3/dt. . Sedangkan Peak Discharge = 242.78 m3/dt terjadi pada
tanggal 27 Februari 2003
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-58
4.6.2. Pemodelan Tahun 2004
Jan Mar May Jul Sep Nov
2004
Flo
w (
M3/S
)
5
10
15
20
25
30
35
40
45
Junction "Outlet" Results for Run "Run 1"
Run:RUN 1 Element:OUTLET Result:Observ ed Flow Run:RUN 1 Element:OUTLET Result:Outf low
Run:Run 1 Element:Reach-5 Result:Outf low Run:Run 1 Element:Subbasin-10 Result:Outf low
Gambar 4.5. Grafik Debit HEC-HMS Tahun 2004 dan Hasil Kalibrasi
Dari Hasil Analisa Peak Flow = 40.3 m3/dt Akibat hujan yang terjadi pada tanggal 27 Desember 2004.
Base flow 0.6 m3/dt. Sedangkan Peak Discharge = 40.44 m3/dt tanggal 23 Januari 2004
4.6.3. Pemodelan Tahun 2005
Jan Mar May Jul Sep Nov
2005
Flo
w (
M3
/S)
0
5
10
15
20
25
30
Junction "Outlet" Results for Run "Run 1"
Run:RUN 1 Element:OUTLET Result:Observ ed Flow Run:RUN 1 Element:OUTLET Result:Outf low Run:Run 1 Element:Reach-5 Result:Outf low
Run:Run 1 Element:Subbasin-10 Result:Outf low
Gambar 4.14. Grafik Debit HEC-HMS Tahun 2005 dan Hasil kalibrasi
Dari Hasil Analisa Peak Flow = 28.7 m3/dt Akibat hujan yang terjadi pada tanggal 30 Desember 2005.
Base flow 0.75 m3/dt. Sedangkan Peak Discharge = 21.85 m3/dt tanggal 30Desember 2005.
4.6.4. Pemodelan Tahun 2006
Jan Mar May Jul Sep Nov
2006
Flo
w (
M3
/S)
0
5
10
15
20
25
30
Junction "Outlet" Results for Run "Run 1"
Run:RUN 1 Element:OUTLET Result:Observ ed Flow Run:RUN 1 Element:OUTLET Result:Outf low Run:Run 1 Element:Reach-5 Result:Outf low
Run:Run 1 Element:Subbasin-10 Result:Outf low
Gambar 4.15. Grafik Debit HEC-HMS Tahun 2006 dan Hasil Kalibrasi
Dari Hasil Analisa Peak Flow = 26.2 m3/dt Akibat hujan yang terjadi pada tanggal 01 April 2006. Base
flow 0.6 m3/dt. Sedangkan Peak Discharge =24.14 m3/dt pada tanggal
31 Maret 2006
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-59
4.6.5. Pemodelan Tahun 2007
Jan Mar May Jul Sep Nov
2007
Flo
w (
M3/
S)
0
5
10
15
20
Junction "Outlet" Results for Run "Run 1"
Run:RUN 1 Element:OUTLET Result:Observ ed Flow Run:Run 1 Element:OUTLET Result:Outf low
Run:Run 1 Element:Reach-5 Result:Outf low Run:Run 1 Element:Subbasin-10 Result:Outf low
Gambar 4.16. Grafik Debit HEC-HMS Tahun 2007
Dari Hasil Analisa Peak Flow = 20.1 m3/dt Akibat hujan yang terjadi pada tanggal 25 Desember 2007.
Base flow 0.2 m3/dt. Sedangkan Peak Discharge = 22.78 m3/dt pada tanggal 07 Maret 2007.
4.7. Kriteria Penampilan Model
Tabel. 4.7. Hasil Kalibrasi Pemodelan Das Sampean Baru
Tahun Metode Kalibrasi
RMSE Nash
2003 20.09 0.3
2004 6.63 -0.3
2005 3.794 -0.6
2006 4.473 -0.2
2007 4.149 -0.8
5. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan diatas, maka dapat diambil kesimpulan, antara lain :
1. Besarnya debit banjir maksimum pada Das Sampean berdasarkan data historis tahun 2003-2007
menggunakan HEC-HMS adalah :
No Tahun Debit Max (m3/dt) Tanggal Terjadi
1. 2003 101.4 28 Februari 2003
2. 2004 40.3 27 Desember 2004
3. 2005 28.7 30 Desember 2005
4. 2006 26.2 01 April 2006
5. 2007 20.1 25 Desember 2007
2. Uji keandalan model menggunakan Metode RMSE memberikan hasil bahwa pemodelan pada
tahun 2005 mempunyai nilai RMSE (Root Mean Square Error) paling kecil yaitu 3.7 mendekati satu
sedangkan tahun 2006 mempunyai nilai Nash = 0.2 mendekati 0.
Daftar Pustaka
Asdak, Chay. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta. Gadjah Mada
University Press. Chow, Ven Te. 1997. Hidrolika Saluran Terbuka. Erlangga. Jakarta.
Harto, Sri. 1993. Analisis Hidrologi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Soemarto, C. D. 1987. Hidrologi Teknik. Jakarta. Erlangga Suhartanto, Ery. 2998. Panduan HEC-HMS dan Aplikasinya di Bidang Teknik Sumber Daya Air. Malang.
CV Citra. USACE. 2000. Hydrologic Modelling System HEC HMS Technical Reference Manual. Maret 2000.
http://www.hec.usace.army.mil.
USACE. 2002. Hydrologic Modelling System HEC HMS Applications Guide. Desember 2002.
http://www.hec.usace.army.mil.
USACE. 2000. Geospatial Hydrologic Modelling Extension HEC GeoHMS Users Manual. Juli 2000.
http://www.hec.usace.army.mil.
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-60
Halaman ini sengaja dikosongkan
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-61
STUDI SEDIMENT DELIVERY RATIO MENGGUNAKAN AVSWAT-X DI DAERAH ALIRAN
SUNGAI WADUK PACAL BOJONEGORO
Zulis Erwanto1)
, Nadjadji Anwar2)
, dan Bambang Sarwono3)
1) Mahasiswa Program Magister Teknik Sipil, Jurusan Manajemen & Rekayasa Sumber Air, FTSP ITS
Surabaya (e-mail : zulis_erwanto.mrsa09@yahoo.co.id) 2) Professor, Dosen Jurusan Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Kampus ITS Sukolilo
Surabaya, Telp 031-5946094 (e-mail : nadjadji@ce.its.ac.id) 3) Dosen Jurusan Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Kampus ITS Sukolilo Surabaya,
Telp 031-5946094 (e-mail : bbsarwono@gmail.com)
ABSTRAK
Akhir-akhir ini anak-anak sungai di DAS Waduk Pacal mengalami peningkatan banjir, baik
frekuensi maupun kuantitas debitnya serta angkutan sedimennya (debit solid). Hal tersebut
menyebabkan pendangkalan dan berkurangnya tampungan di dasar Waduk Pacal karena
sedimen yang terus bertambah setiap tahunnya akibat kerusakan lahan dan pengikisan tanah di
daerah hulu. Penelitian ini bertujuan untuk memodelkan laju erosi dan menentukan besarnya
Sediment Delivery Ratio (SDR) yang terendapkan di Waduk Pacal sebagai titik kontrol erosi
yang terjadi di DAS Waduk Pacal Kabupaten Bojonegoro.
Untuk menganalisis hal tersebut diperlukan suatu model yang berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG) yaitu menggunakan alat bantu software ArcView SWAT-X. Dengan bantuan
SIG ini diharapkan mempermudah untuk menginterpretasikan suatu analisis data dalam bentuk
peta zonasi laju erosi.
Dari hasil analisa spasial SIG, total tingkat laju erosi di DAS Waduk Pacal sebesar 198,46
ton/ha/th (18,04 mm/th), dengan luas lahan kategori tingkat bahaya erosi rendah sebesar 62,89%
dan kategori tingkat bahaya erosi sedang sebesar 37,11% dari total area DAS Waduk Pacal yaitu
sebesar 81,8 Km2. Sedangkan besarnya Sediment Delivery Ratio (SDR) DAS Waduk Pacal
adalah sebesar 0,506 (50,6%), sehingga diperoleh hasil sedimen (sediment yield) rata-rata
pertahunnya adalah sebesar 100,37 ton/ha/th (9,12 mm/th) atau sama dengan 747.254 m3/th.
Dari hasil ini diharapkan adanya pemeliharaan DAS Waduk Pacal dengan berbagai tindakan
seperti konservasi dan rehabilitasi lahan dan hutan.
Kata kunci : ArcView SWAT-X, DAS Waduk Pacal, Laju Erosi, Sediment Delivery Ratio.
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Variabel penyebab terjadinya banjir adalah kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) yang kritis, seperti
terjadinya perubahan atau penyimpangan tata guna lahan. Dari pengamatan di lapangan diketahui bahwa
perubahan penggunaan lahan mayoritas akibat penebangan hutan dan pembukaan lahan baru untuk
perladangan, persawahan dan pemukiman. Secara hidrologis, dampak yang terjadi adalah meningkatnya
aliran limpasan permukaan, menurunnya laju infiltrasi, tererosinya lahan dan terjadinya banjir, sehingga
memerlukan upaya penanganan dan pengelolaan lebih lanjut untuk mencegah kerusakan yang terjadi di
daerah aliran sungai tersebut.
Potensi banjir dan kerusakan daerah aliran sungai itupun dikhawatirkan terjadi di Daerah Aliran Sungai Pacal Kabupaten Bojonegoro. Saat ini kondisi kapasitas tampungan Waduk Pacal berdasarkan
pengamatan dari UPT. Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai Bengawan Solo Bojonegoro telah
berkurang dari 41.550.000 m3 menjadi 21.500.000 m3. Berkurangnya tampungan Waduk Pacal ini
diakibatkan adanya pendangkalan di dasar waduk karena sedimen yang terus bertambah setiap tahunnya
akibat kerusakan lahan dan pengikisan tanah di daerah hulu. Akhir-akhir ini pula anak – anak sungai di
DAS Waduk Pacal juga mengalami peningkatan banjir, baik frekuensi maupun kuantitas debitnya serta
angkutan sedimennya (debit solid).
Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan studi Sediment Delivery Ratio (SDR) dari fenomena
tingginya curah hujan yang menyebabkan terjadinya banjir dan pendangkalan Waduk Pacal akibat laju
erosi yang tinggi. Dengan menggunakan permodelan yang berbasis Sistem Informasi Geografis yaitu
menggunakan alat bantu software ArcView SWAT-X. Dengan bantuan Sistem Informasi Geografis ini
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-62
diharapkan mempermudah untuk menginterpretasikan suatu analisis data dalam bentuk peta zonasi laju
erosi.
1.2 Permasalahan
Bagaimanakah analisis laju erosi di DAS Waduk Pacal Kabupaten Bojonegoro dengan alat bantu
program ArcView SWAT-X dan berapa Sediment Delivery Ratio (SDR) yang dihasilkan di Waduk Pacal
sebagai titik kontrol erosi yang terjadi di DAS Waduk Pacal Kabupaten Bojonegoro ?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah : Menganalisis besarnya laju erosi lahan pada DAS Waduk Pacal
Kabupaten Bojonegoro dengan alat bantu program ArcView SWAT-X, dan mengetahui persentase
Sediment Delivery Ratio (SDR) yang terendapkan di Waduk Pacal sebagai titik kontrol erosi yang terjadi di DAS Waduk Pacal Kabupaten Bojonegoro.
2. DASAR TEORI
2.1 Perkiraan Laju Erosi
Wischmeier dan Smith (1978) merumuskan proses besarnya erosi yang terjadi dalam bentuk
Persamaan Umum Kehilangan Tanah (PUKT), atau dikenal dengan nama “Universal Soil Loss Equation
(USLE)”, yaitu (Arsyad, 2000 : 248):
A = R . K . LS . C . P (2.1)
dengan :
A = Banyaknya tanah tererosi (ton/ha/th)
R = Indeks erosivitas hujan dan aliran permukaan, tahunan (KJ/ha) K = Faktor erodibilitas tanah (ton/KJ)
LS = Faktor Topografi terdiri dari Faktor Panjang Lereng (L) dan Faktor Kemiringan Lereng (S)
C = Faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman
P = Faktor tindakan khusus konservasi tanah
2.2 Indeks Bahaya Erosi, IBE
Indeks bahaya erosi dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan rumus berikut (Hammer,
1981 dalam Arsyad, 2000 : 274) :
)//(
)//()(
thhatonEdp
thhatonPotensialErosiIBEErosiBahayaIndeks (2.2)
dengan :
Erosi potensial = R . K . LS (ton/ha/th)
Edp = Erosi yang masih diperbolehkan (ton/ha/th)
Penentuan kategori (harkat) hasil perhitungan indeks bahaya erosi pada masing-masing satuan lahan di
suatu DAS dapat ditentukan dengan cara memasukkan pada klasifikasi Indeks Bahaya Erosi seperti Tabel
2.1 berikut.
Tabel 2.1 Klasifikasi Indeks Bahaya Erosi
No. Indeks Bahaya Erosi (IBE) Kategori/Harkat
1. < 1,00 Rendah
2. 1,01 – 4,00 Sedang
3. 4,01 – 10,00 Tinggi
4. > 10,01 Sangat Tinggi
Sumber : Arsyad, 2000 : 275
2.3 Sediment Delivery Ratio (SDR)
Nisbah jumlah sedimen yang betul-betul terbawa oleh sungai dari suatu daerah terhadap jumlah tanah
tererosi dari daerah tersebut, disebut Nisbah Pelepasan Sedimen (NPS) atau Sediment Delivery Ratio
(SDR).
Menurut Asdak, untuk menentukan besarnya SDR adalah dengan menggunakan persamaan berikut :
(Asdak, 2004 : 408)
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-63
A
SYSDR
(2.3)
dengan : SDR = Sediment Delivery Ratio
SY = Sediment Yield yang di peroleh di outlet DAS/sub DAS
A = Erosi total yang berasal dari daerah tangkapan air (termasuk erosi parit, erosi kulit, dan erosi
alur) yang berlangsung di bagian atas outlet
Berdasarkan Pusat Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Lembaga Penelitian IPB,
Penelitian Hidro-orologi di Proyek Bendungan Karangkates merumuskan suatu hubungan fungsional
seperti berikut :
1
1
..502
.10
0
Ans
AsSDR
(2.4)
dengan :
SDR = Angka perbandingan sedimen suatu DAS, 0 < SDR < 1
A = Luas DAS, Ha
s = Kemiringan lereng rata-rata permukaan DAS, %
n = Koefisien kekasaran Manning ρ0 = 0,8683216132
ρ1 = - 0,2018621338
Berikut adalah diagram hubungan variabel – variabel antara Sediment Delivery Ratio dengan erosi tanah
didalam proses mencari hasil sedimen (Sediment Yield).
Gambar 2.1 Diagram Proses Hasil Sedimen (Sediment Yield) Dengan Metode RUSLE (Da Ouyang, 2001)
2.4 Model Pendugaan Erosi
2.4.1 ArcView SWAT-X (Soil and Water Assessment Tool)
SWAT yaitu suatu model skala lembah sungai (river basin), atau DAS (watershed) yang dikembangkan oleh Dr. Jeff Arnold untuk USDA Agricultural Research Service (ARS). AVSWAT-X
adalah sebuah extension dari Arcview dan graphical user interface. SWAT merupakan model skala yang
dikembangkan untuk memprediksi dampak dari praktek pengelolahan lahan terhadap limpasan air,
sedimen dan bahan kimia agrikultur di DAS yang besar dan komplek dengan kondisi tanah, tata guna
lahan dan pengelolaan yang bervariasi (Di Luzio, 2002 : 1).
Gambar 2.2 Proses dan Display ArcView SWAT-X (Di Luzio, M., 2002)
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-64
2.4.2 Metode Perhitungan Besarnya Erosi Dengan AVSWAT-X
Untuk memperkirakan besarnya erosi melalui SWAT menggunakan metode MUSLE (Modified
Universal Soil Loss Equation). Metode MUSLE merupakan modifikasi dari USLE (Universal Soil Loss
Equation) yang dikembangkan oleh Williams (1995) (SWAT Theoretical Documentation 2000, 2002 :
216).
CFRGLSPCKareaqQsed USLEUSLEUSLEUSLEhrupeaksurf ........8,1156,0
(2.5)
dengan :
sed = Hasil sedimen per hari (ton)
Qsurf = Volume aliran limpasan permukaan (mm/ha)
qpeak = Debit puncak limpasan (peak runoff rate) (m3/dt)
areahru = Luas HRU (Hydrologic Response Unit) (ha)
KUSLE = Faktor erodibilitas tanah USLE
CUSLE = Faktor (pengelolaan) cara bercocok tanam USLE
PUSLE = Faktor praktek konservasi tanah (cara mekanik) USLE
LSUSLE = Faktor topografi USLE
CFRG = Faktor pecahan batuan kasar
3. METODOLOGI
3.1 Pengumpulan Data
Dalam studi ini hanya menggunakan data sekunder. Data sekunder diperoleh dari pengumpulan data-
data yang berasal dari BBWS Bengawan Solo, UPT PSDA WS Bengawan Solo Kabupaten Bojonegoro,
dan Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bojonegoro, antara lain : data curah hujan, debit, klimatologi
harian dari tahun 2003-2009, data volume sedimen dari beberapa tahun yang terukur, peta digital
topografi skala 1 : 25.000 dari BAKOSURTANAL, peta digital kelerengan, tata guna lahan, jenis tanah,
dan kedalaman tanah (solum tanah), dan data monografi lokasi studi tahun 2009/2010.
3.2 Flowchart Langkah – Langkah Pengerjaan Studi
Gambar 3.1 Bagan Alir Pengerjaan Studi
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum DAS Waduk Pacal
Waduk Pacal terletak di Dukuh Tretes, Desa Kedungsumber, Kecamatan Temayang, Kabupaten
Bojonegoro atau tepatnya berjarak ± 34 Km dari Ibukota Kabupaten Bojonegoro, ke arah selatan
melewati Kecamatan Dander dan Kecamatan Temayang atau bila melewati arah Timur melalui
Kecamatan Balen, Kecamatan Sugihwaras, dan Kecamatan Temayang.
Secara geografis Waduk Pacal terletak di 070 23‟ 25” LS dan 1110 55‟ 00” BT. Sedangkan secara
administratif Waduk Pacal dibatasai oleh :
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-65
Sebelah Utara : Desa Kedungsumber, Kecamatan Temayang, dan Desa Sumberrejo,
Kecamatan Bubulan.
Sebelah Timur : Desa Gondang dan Desa Kalimati, Kecamatan Temayang.
Sebelah Barat : Gunung Kitiran dan Gunung Dimoro.
Sebelah Selatan : Desa Gondang dan Desa Senganten, Kecamatan Bubulan.
Daerah Aliran Sungai (DAS) Waduk Pacal adalah seluas ± 84 Km2 meliputi wilayah besar
Kecamatan Bubulan, dan sebagian Kawasan Temayang, yang sebagian besar merupakan kawasan hutan
di bawah pengelolaan Administratur Perhutani Bojonegoro. Waduk Pacal itu sendiri menampung Kali
Pacal dengan anak-anak sungainya.
Gambar 4.1 Lokasi DAM dan Waduk Pacal (Dok. Survey, 23 April 2010)
Gambar 4.2 Peta DAS Dan Pembagian Sub DAS Waduk Pacal (Hasil Analisa, 2011)
4.2 Faktor Topografi
Kemiringan rata-rata untuk daerah genangan adalah 0,0015 sampai dengan 0,0085 dan dalam
kemiringan inilah genangan Waduk Pacal mampu menampung air ± 41.558.450 m3.
Tabel 4.1 Nilai Faktor LS Di DAS Waduk Pacal
No. Kelerengan Kelas
Lereng Kondisi
Luas (Km2)
Faktor LS
% Luas
Nilai LS Per Area
1 0 - 2 % I Datar 45.1 0.05 55.12 0.027
2 2 - 15 % II Landai 29.2 0.08 35.71 0.027
3 15 - 25 % III Agak Curam 6.3 0.17 7.71 0.013
4 25 - 40 % IV Curam 1.0 0.38 1.20 0.005
5 > 40 % V Sangat Curam 0.2 0.65 0.26 0.002
Total 81.8 100
Nilai LS Rata-Rata 0.26 0.015
Sumber : Hasil Perhitungan dan Analisa GIS, 2011
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-66
Gambar 4.3 Peta Topografi Dan Kemiringan Lereng DAS Waduk Pacal (Hasil Analisa, 2011)
4.3 Faktor Geologi
Jenis tanah di wilayah genangan Waduk Pacal rata-rata adalah Litosol berwarna coklat kehitaman
dengan dataran alluvial hingga pertemuan kali Pacal dan Bengawan Solo, dengan rata-rata nilai
erodibilitas tanahnya sebesar 0,08.
Tabel 4.2 Nilai Erodibilitas Tanah Di DAS Waduk Pacal
No. Jenis
Tanah
Tekstur
Tanah Nilai K
Tingkat
Erodibilitas
Luas
(Km2)
%
Luas
Nilai K
Per Area
1 Andosol Ringan 0.09 Sangat Rendah 5.5 6.72 0.01
2 Litosol Berat 0.29 Agak Tinggi 50.6 61.82 0.18
3 Regosol Ringan 0.16 Agak Rendah 25.8 31.46 0.05
Total 81.8 100
Nilai K Rata-Rata DAS 0.08
Sumber : Hasil Perhitungan dan Analisa GIS, 2011
Gambar 4.4 Peta Jenis Tanah Dan Polygon Thiessen DAS Waduk Pacal (Hasil Analisa, 2011)
4.4 Faktor Hidrologi Curah hujan rata-rata tahunan di DAS Waduk Pacal adalah sebesar 1411 mm, dengan temperatur
rata-rata tahunan sebesar 28,260C dan evapotranspirasi rata-rata tahunannya adalah sebesar 40 mm/tahun
yang diukur dari pos klimatologi Padangan, dan stasiun hujannya antara lain di stasiun Tretes, Sugihan,
Gondang dan Sukun.
Tabel 4.3 Nilai Erosivitas Hujan Dan Koefisien Thiessen Di DAS Waduk Pacal
No. Stasiun
Hujan Kode
EI30 Rerata
Tahunan
Luas Thiessen
(Km2)
Koefisien Thiessen
(%)
1 Sukun 55a 303.87 25.8 0.315
2 Sugihan 55b 1,020.06 23.2 0.284
3 Gondang 55c 338.83 26.9 0.329
4 Tretes 60a 809.35 6.0 0.073
Total 81.9 1
Sumber : Hasil Perhitungan dan Analisa GIS, 2011
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-67
4.5 Penggunaan Lahan
Berikut merupakan kondisi penggunaan lahan di DAS Waduk Pacal.
Tabel 4.4 Nilai Faktor C Dan P Pada Tata Guna Lahan Di DAS Waduk Pacal
No. Tata Guna Lahan Nilai
C
Nilai
P
Luas
(Km2)
%
Luas
Nilai CP
Per Area
1 Danau 0.003 0.004 1.8 2.26 0.00003
2 Hutan 0.200 0.300 4.9 5.94 0.357
3 Kebun 0.235 0.348 45.8 55.95 4.569
4 Ladang 0.400 0.600 3.1 3.81 0.913
5 Pemukiman 0.010 1.000 2.6 3.14 0.032
6 Sawah Irigasi 0.075 0.050 4.3 5.21 0.020
7 Sawah Tadah Hujan 0.080 0.119 10.9 13.28 0.126
8 Semak Belukar 0.300 0.450 6.8 8.29 1.119
9 Sungai 0.048 0.072 0.3 0.36 0.001
10 Tanah Kosong/Padang Rumput 0.825 0.901 1.4 1.76 1.311
Total 81.8 100
Nilai CP Rata-Rata 0.845
Sumber : Hasil Perhitungan dan Analisa GIS, 2011
Gambar 4.6 Peta Tata Guna Lahan Beserta Kondisi Penggunaan Lahan DAS Waduk Pacal (Hasil Analisa
Dan Dok. Survey, 23 April 2010)
4.6 Hasil Analisa Laju Erosi Dan Hasil Sedimen
Secara umum kondisi DAS di Waduk Pacal terjadi penurunan daya dukung daerah tangkapan air
yang diawali dari kerusakan hutan, beralih fungsinya lahan sehingga mengurangi luas areal hutan, karena
tidak sesuai dengan prinsip konservasi tanah dan air, pengelolaan tata ruang yang lebih berorientasi pada
keuntungan semata daripada ramah lingkungan.
Permasalahan ini berkembang dengan terjadinya peningkatan kejadian erosi, longsoran tebing, dan
sedimentasi pada anak-anak sungai yang masuk kedalam waduk, yang lama-kelamaan mengurangi kapasitas daya tampung air di waduk. Hal ini terbukti dengan adanya sedimentasi waduk yang terus
mengalami peningkatan disetiap tahunnya.
Berdasarkan hasil analisa spasial Sistem Informasi Geografis, nilai total tingkat laju erosi yang terjadi di
DAS Waduk Pacal adalah sebesar 198,46 ton/ha/th atau sama dengan 18,04 mm/th atau setara dengan
1.477.579 m3/th.
Dengan menggunakan persamaan (2.4) dari Pusat Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan, Lembaga Penelitian IPB, dimana kemiringan lereng rata-rata permukaan DAS Waduk Pacal
adalah sebesar 26% dan koefisien kekasaran Manning diambil 0,048, sehingga diperoleh Sediment
Delivery Ratio (SDR) sebesar 0,506 (50,6%). Jadi hasil sedimen (Sediment Yield) rata-rata setiap
tahunnya yang terendapkan di Waduk Pacal adalah sebesar 100,37 ton/ha/th atau sama dengan 9,12
mm/th atau setara dengan 747.254 m3/th.
Hasil ekstrapolasi data volume tampungan Waduk Pacal antara tahun 2007 sampai 2010 didapatkan hasil endapan sedimen lapangan sebesar 640.684 m3/th. Jadi tingkat kesalahan model (error) adalah
sebesar (747.254 – 640.684 m3/th) / 640.684 m3/th = 0,166 (16,6%) dan tingkat keakurasian model adalah
sebesar 83,4%.
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-68
Gambar 4.7 Peta Laju Erosi Dan Tingkat Bahaya Erosi DAS Waduk Pacal (Hasil Analisa, 2011)
Tabel 4.5 Luas Lahan Kritis Berdasarkan Tingkat Bahaya Erosi Di DAS Waduk Pacal
TBE Luas (m2) Luas (Km2) Luas (Ha) % Luas
Rendah 51,474,815.05 51.5 5147.5 62.89
Sedang 30,369,695.92 30.4 3037.0 37.11
Total 81,844,510.97 81.8 8184.5 100
Sumber : Hasil Perhitungan dan Analisa GIS, 2011
Berdasarkan analisa spasial, di DAS Waduk Pacal hanya mengalami 2 tingkatan kategori lahan kritis
yaitu rendah dan sedang. Persentase luas lahan tingkat bahaya erosi kategori rendah sebesar 62,89% dan
kategori sedang sebesar 37,11% dari total area DAS Waduk Pacal.
Gambar 4.8 Kondisi Outlet Waduk Pacal Yang Penuh Dengan Sedimen
(Dok. Survey, 7 Agustus 2010)
Gambar 4.9 Kondisi Kekritisan Lahan Pegunungan Di DAS Waduk Pacal
(Dok. Survey, 7 Agustus 2010)
5. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Total tingkat laju erosi yang terjadi di DAS Waduk Pacal adalah sebesar 198,46 ton/ha/th (18,04 mm/th) atau setara dengan 1.477.579 m3/th.
2. Pendekatan nilai SDR (Sediment Delivery Ratio) eksisting untuk DAS Waduk Pacal dengan luas 81,8
km2 adalah sebesar 0,506 (50,6%) didapat hasil sedimen rata-rata tahunan (sediment yield) sebesar
100,37 ton/ha/th atau sama dengan 9,12 mm/th atau setara dengan 747.254 m3/th.
3. Persentase luas lahan Tingkat Bahaya Erosi kategori rendah sebesar 62,89% dan kategori sedang
sebesar 37,11% dari total area DAS Waduk Pacal. Tingkat Bahaya Erosi (TBE) DAS Waduk Pacal
dapat digunakan untuk memantau kerusakan lahan secara dini dan mengetahui faktor penyebabnya
serta mengambil tindakan alternatif penanggulangan bahaya erosi, yaitu dengan tindakan konservasi
dan rehabilitasi lahan dan hutan.
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-69
4. Untuk menekan laju erosi, sebaiknya daerah yang kritis pada zona proteksi dilakukan forestrisasi atau
reboisasi dengan beberapa kombinasi tanaman dan menanam tanaman yang bersifat covering dengan
kerapatan yang tinggi.
6. DAFTAR PUSTAKA
1. Arsyad, Sitanala. 2000. Konservasi Tanah Dan Air. Bogor : IPB Press.
2. Asdak, Chay. 2004. Hidrologi Dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.
3. Neitsch, S. L. et al. 2005. Soil and Water Assessment Tool Theoretical Documentation Version 2005.
Texas : USDA Agricultural Research Service.
4. Ouyang, Da. et al. 1997. Predicting Sediment Delivery Ratio In Saginaw Bay Watershed. Michigan State University : Institute of Water Research.
5. Ouyang, Da. et al. 2005. Assessing Sediment Loading From Agricultural Croplands in The Great
Lakes Basin. The Journal of American Science. http://www.americanscience.org
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-70
Halaman ini sengaja dikosongkan
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-71
DEGRADASI FUNGSI EMBUNG KECIL SEBAGAI PENYEDIA AIR DI DARATAN TIMOR
Denik Sri Krisnayanti3
ABSTRAK
Sebagian daerah Nusa Tenggara Timur terutama P. Timor mempunyai zona yang mempunyai curah hujan
rendah dan sering mengalami kekeringan setiap tahun sehingga embung menjadi sarana yang tepat untuk
menanggulangi kelangkaan akan air bersih. Embung merupakan salah satu alternatif bangunan penyedia
air bagi masyarakat di daratan Timor. Namun bangunan embung yang ada beberapa diantaranya berfungsi
dengan baik, akan tetapi beberapa buah lainnya mengalami penurunan fungsi.
Untuk menganalisis penurunan / degradasi fungsi embung dilakukan identifikasi permasalahan mencakup bangunan phisik embung, masyarakat sebagai pengguna embung dan pengelolaan operasional
pemeliharaan embung. Analisis dilakukan pada 68 buah embung kecil di daratan Timor dengan usia
bangunan > 8 tahun.
Hasil analisis didapatkan bahwa penurunan fungsi embung disebabkan karena kerusakan pada
instrumen embung rata-rata lebih dari 55%, sedimentasi sebesar 53% dan kerusakan pada spillway
sebesar 40%. Sedangkan yang disebabkan karena konflik horizontal pada masyarakat sebesar 19%.
Adapun dalam meningkatkan kinerja embung agar optimum fungsinya maka diperlukan perencanaan
yang baik dalam pembangunan embung, pemeliharaan dan perawatan yang memadai dengan melibatkan
unsur masyarakat sebagai pengguna embung dan pihak terkait sebagai pengelola operasional embung.
Kata Kunci : embung, degradasi
1. PENDAHULUAN
Sebagian daerah Nusa Tenggara Timur terutama P. Timor mempunyai zona curah hujan yang
rendah dan sering mengalami kondisi kekeringan setiap tahun sehingga embung menjadi sarana yang
tepat untuk menanggulangi kelangkaan akan air bersih,terutama kebutuhan air di pedesaan.
Terdapat sekitar 500 buah embung yang telah dibangun tersebar diseluruh wilayah kota/kabupaten
di Propinsi Nusa Tenggara Timur dan beberapa diantaranya berfungsi dengan baik, akan tetapi beberapa
buah lainnya mengalami penurunan fungsi. Malahan ada embung yang tidak berfungsi lagi, sementara
bangunan tersebut diharapkan oleh masyarakat untuk dapat menjamin kelangsungan hidup mereka terutama jaminan akan adanya air bersih.
Beberapa faktor yang menyebabkan fungsi embung menurun /mengalami degradasi atau kinerja
embung menurun antara lain : 1) terdapat beberapa elemen bangunan/peralatan tidak berfungsi secara
benar atau mekanisme kerja sudah tidak sesuai dengan perencanaan semula; 2) kegiatan operasionalisasi
dan pemeliharaan/perawatan embung tidak dilakukan dengan semestinya; 3) pengguna embung kurang
memperhatikan atau rendahnya pemahaman mengenai sistim kinerja embung dan tidak menaati aturan
pemakaian air embung.
Ketiga aspek tersebut diatas dianalisis sehingga didapatkan hasil yang bisa dijadikan bahan masukan bagi pihak terkait untuk dapat membuat kebijakan yang tepat demi kesinambungan fungsi
pelayanan embung untuk dipertahankan ataupun ditingkatkan.
2. METODE PENELITIAN
Dalam analisis ini, metode yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Melakukan inventarisasi embung kecil dengan usia pembangunan > 8 tahun di daratan Timor.
2. Melakukan identifikasi kerusakan embung dan permasalahan yang terjadi dalam penggunaan air
embung di masyarakat.
3. Menetapkan dan menganalisis parameter degradasi fungsi embung meliputi bangunan phisik dan
masyarakat sebagai pengguna.
4. Merumuskan rekomendasi untuk perbaikan embung ke depan sehingga embung bisa berfungsi secara optimum bagi masyarakat setempat.
5. Menyusun kesimpulan dari hasil analisis yang didapat.
3. ANALISIS DEGRADASI FUNGSI EMBUNG
3.1. Bangunan Phisik Embung
a. Spillway/Pelimpah
3 Dosen Jurusan Teknik Sipil, Fak. Sains dan Teknik, Universitas Nusa Cendana Kupang, Jl. Adi Sucipto
– Penfui Kupang, Telp.0380-881559/08123794142, email : denik219@yahoo.com
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-72
Spillway merupakan bagian dari konstruksi embung yang berfungsi untuk membuang kelebihan air
dari tampungan yang disebabkan karena tingginya curah hujan, sehingga kapasitas tampungan tidak
terlampaui dan tidak melimpah ke tubuh embung yang menyebabkan kerusakan. Spillway juga harus
mampu mengalirkan kelebihan air tersebut secara cepat.
Pada beberapa embung mempunyai bangunan spillway pada hulu dibuat dengan dasar
tanah,begitu ditemui topologi curam maka spillway tidak lagi saluran tanah tetapi lebih mirip dengan got
miring dan biasanya dimulai dari pertengahan saluran sampai dengan ujung saluran spilway.
Kondisi di lapangan menunjukkan bagian spillway embung banyak mengalami kerusakan karena
terjadi gerusan (scouring).Hal ini terjadi selain karena aliran yang cukup besar pada saat curah hujan
tinggi, juga karakteristik tanah sebagai dasar konstruksi spillway yang melemah pada saat tanah jenuh,
selanjutnya akan tergerus.
Gambar 1. Bentuk spillway embung yang mengalami kerusakan
b. Erosi Daerah Aliran dan Sedimentasi
Erosi adalah proses terkikisnya tanah permukaan akibat akibat aliran air.Sedangkan sedimentasi
adalah mengendapnya butiran tanah hasil erosi yang terbawa aliran air limpasan hujan masuk ke kolam
embung. Proses sedimentasi terkait erat dengan proses erosi, besar sedimentasi berbanding lurus dengan
erosi. Perkecualian pada fenomena longsor,terjadi erosi yang dipercepat.
Penanaman pada bagian hulu embung juga mengakibatkan laju erosi semakin tinggi.Fenomena
terjadi secara alami karena dengan adanya air, masyarakat memanfaatkan lahan di bagian hulu untuk
meningkatkan penghasilannya.Akan tetapi tanpa disadari hal tersebut secara teknis juga menganggu ketahanan tubuh embung.
c. Kerusakan pada Instrumen Embung
Instrumen embung adalah unit peralatan kelengkapan sistim transmisi untuk mengalirkan air dari
kolam embung ke tempat pelayanan. Instrumentasi tersebut adalah:
Pelampung, untuk mengapungkan pipa intake agar dapat mensuplai air.Karena pelampung sifatnya
bisa menyesuaikan permukaan air maka pipa intake akan mengikuti fluktuasi permukaan air.Hanya
disayangkan apabila air mencapai dasar maka pada pengisian kolam saat hujan tiba,pipa akan terisi
lumpur dan akhirnya tersumbat. Dari kasus gagalnya fungsi pelampung mencapai sekitar 60 %.
Pipa distribusi, merupakan pipa utama untuk membawa air ke konsumen.Pada saat
pipa tersumbat,maka sulit bagi masyarakat untuk membersihkan kembali karena pipa yang cukup
panjang tidak mampu membersihkan kotoran yang menyumbat. Bak air untuk minum penduduk, kebanyakan penggunaan kurang maksimal artinya bak biasanya
difasilitasi kran,dan banyak kran yang rusak mengakibatkan air mengalir secara menerus.
Gambar 2. Bak penampung
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-73
Saringan pasir cepat, merupakan sistim penyaringan air sederhana agar air yang keruh mengandung
partikel-partikel halus dari embung tersaring pada bak saringan pasir cepat dan diharapkan secara
phisik air bisa diminum setelah dimasak.
Pagar pengaman kolam,diperuntukkan sebagai batas pengamanan kolam agar tidak terganggu oleh
pencemaran kotoran.Akan tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa hampir seluruh pagar
embung sudah rusak atau hilang,sehingga hewan ternak dengan leluasa bebas masuk dan minum
sambil membuang kotorannya.
Hal tersebut ternyata membawa dampak psikologis yang mengakibatkan masyarakat tidak mau
memanfaatkan sebagai air minum,apalagi ada yang memanfaatkan untuk mandi dan cuci.Disini
embung beralih fungsi dari peruntukan air minum menjadi air sekedar untuk kebutuhan lain
Ada pula masyarakat membuat sumuran ditepi kolam untuk mendapatkan air bersih dan jernih untuk dikonsumsi air minum.
Gambar 3. Kolam embung yang tanpa pagar pengaman
Alat ukur duga air, merupakan pedoman untuk mengetahui berapa kedalaman air pada saat
itu.Umumnya alat ini masih terdapat di beberapa embung saja.
Bak kebun dan bak minum hewan, umumnya tidak terisi air karena tersumbatnya pipa distribusi.
3.2. Perubahan Kondisi Fisik Luasan Penutup Lahan (landcovering) DAS
Perubahan luasan penutup lahan DAS adalah berubahnya prosentase penutup lahan oleh vegetasi di DAS tersebut. Jika angka prosentase penutupan lahan oleh vegetasi menjadi besar berarti retensi aliran
di DAS cukup untuk konservasi, tetapi jika angka prosentase berubah menjadi kecil maka dapat diartikan
terjadi kerusakan DAS.
Hasil survei menunjukkan adanya indikasi bahwa dengan adanya air embung, masyarakat
berkebun di daerah hulu kolam embung (DAS) yang dikuatirkan adanya erosi yang cukup
signifikan,apalagi tanaman singkong,kacang tanah merupakan tanaman yang cukup potensial merusak
struktur lahan karena tanah menjadi gembur akibat lahan olahan tersebut.
3.3. Vegetasi Pada Tubuh Embung
Di tubuh bendung tidak boleh ada tumbuhan pohon menahun,karena adanya tumbuhan tersebut
yang mempunyai akar tunjang yang dalam akan menciptakan pipa-pipa pada zona perakaran.Akar
tersebut pada saat tumbuhan tersebut mati akan menimbulkan pipa/rongga.Apabila hujan turun,air memasuki rongga pipa tersebut,yang berakibat terjadinya sliding/longsoran.Tubuh bendung seharusnya
ditanami dengan gebalan rumput untuk mengurangi erosi yang tidak merusak struktur inti tubuh bending.
Hasil survey menunjukkan bahwa banyak tumbuhan yang tumbuh pada badan embung/tanggul embung
bahkan sengaja ditanami tanaman pangan.
3.4. Kependudukan / Demografi Masyarakat
Aspek kependudukan akan memberikan masalah pada tingkat pelayanan dan kinerja embung jika
pertambahan penduduk terjadi begitu besar pada suatu saat. Penduduk baru pada saat itu mempunyai
mentalitas mempertahankan hidup dan mencari rasa aman, sehingga tanpa disadari perilaku penduduk
dengan sikap mental tersebut mencemari/merusak embung sebagai sumber air bersih penduduk, dampak
yang terjadi adalah embung kehilangan fungsi pelayanan air bersih karena air menjadi kotor masyarakat sudah tidak menggunakan lagi air embung.
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-74
3.5. Konflik Horisontal di Masyarakat
Konflik horisontal yang terjadi ditengah-tengah warga pemakai air dipicu karena pembagian air
yang tidak merata, diantara sesama pemakai air embung atau antara masyarakat pemakai air dengan
masyarakat yang tidak mendapatkan jatah air. Faktor ini biasanya menjadikan suasana kehidupan
masyarakat menjadi tidak rukun, kecemburuan ini sering menyebabkan timbulnya konfrontasi dan yang
menjadi sasaran adalah embung itu sendiri / fasilitas umum yang lain. Hal tersebut bisa terjadi antara lain
karena tingkat pendidikan masyarakat setempat, masalah kepemilikan tanah yang dijadikan lahan
embung, ketersediaan air embung yang mencukupi dan lokasi embung di pemukiman penduduk.
3.6. Kultur dan Perilaku Masyarakat.
Kultur dan akar budaya mempengaruhi perilaku masyarakat sehari-hari. Dalam upaya mempelajari perilaku budaya masyarakat, tingkat pendidikan hanya merupakan aspek kecil menyangkut tingkat
pemahaman masyarakat, akan tetapi ada aspek lain yang lebih dominan yang bisa membantu
mengeliminir tingkat pendidikan (IQ), aspek tersebut adalah kemauan dan daya juang (EQ). Aspek lain
yang harus diperhatikan adalah kepercayaan masyarakat yang bersifat adikodrati – gaib, berakibat dalam
perilaku kehidupan bermasyarakat masih banyak hal yang bersifat tabu dan banyak aturan pada apa yang
boleh atau tidak boleh dilakukan (pamali). Adat kepercayaan ini berlangsung turun temurun dan tertanam
kuat di hati dan pikiran masyarakat bahkan sampai saat ini.
Tidak semua embung dapat diterima dengan baik oleh masyarakat. Tak jarang banyak embung
yang bergeser fungsi dan manfaatnya dari tujuan awal embung tersebut dibuat. Semula tujuan utama
embung untuk penyediaan air bersih buat masyarakat tetapi pada kenyataan ada yang bergeser hanya
digunakan untuk peternakan dan perkebunan (sayur). Jadi dalam kasus diatas unsur sugesti dan kepercayaan adat tentang daerah-daerah pamali (angker)
berperan besar, perbaikan / upaya agar bisa embung bisa dimanfaatkan lagi memerlukan pendekatan yang
bersifat budaya pula.
3.7. Penggunaan air embung aktual
Karakteristik masyarakat di Pulau Timor dalam pemanfaatan air sebagian besar hanya untuk
kepentingan air minum, sedangkan untuk kebutuhan mandi mereka mencoba menggunakan sumber air
yang lain.
Selama ini didalam masyarakat yang mempunyai inisiatif penggunaan air sisa dalam bak
digunakan untuk mengupayakan lahan pekarangan, tetapi hal ini menimbulkan dampak negatif yaitu
mempertajam kecemburuan sebagian masyarakat yang tidak terlayani air embung. Kenyataan aktual diatas dapat dijadikan dasar kebijakan pengembangan embung di masa
mendatang salah satunya dengan memenuhi permintaan sebagian masyarakat untuk penambahan bak air,
agar terjadi pemerataan dan mengurangi potensi konflik horisontal diantara masyarakat.
3.8. Rekapitulasi Permasalahan di Lapangan
Hasil kajian dari beberapa aspek seperti sudah diuraikan diatas, kerusakan yang terjadi pada
embung-embung di lima kabupaten se daratan Timor digolongkan berdasarkan kerusakan yang terjadi
dan dilakukan rekapitulasi untuk mengetahui prosentase permasalahan / kerusakan yang terjadi.
Gambar 4. Rekapitulasi Permasalahan Embung di P Timor
16%
40%34%
53%
88%
73%
60%55%
90%
19%
62%
0
10
20
30
40
50
60
70
80
tanggul
spilway
air di ta
mpungan
sedimen
pelampung
pipa dugaintake
bak distribusi
pagar
koflik horis
ontal
tdk fungsi air m
inum
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-75
Berdasarkan grafik diatas terlihat bahwa kerusakan paling banyak dialami pada instrumen embung
yang rata-rata lebih dari 55%, dan diikuti masalah pada sedimentasi sebesar 53% dan Kerusakan pada
Spillway sebesar 40%. Hal tersebut diatas mengakibatkan sasaran pembangunan embung menjadi
bergeser, dari semula tujuan pokok untuk penyediaan air bersih masyarakat saat ini hanya digunakan
sebagai air minum ternak (biasanya langsung dari kolam embung) dan menyiram sayuran.
Angka diatas tidak berdiri sendiri-sendiri atau tidak bisa dianalisa tiap-tiap permasalahan embung
tanpa mengaitkan dengan permasalahan yang lain, hal ini didasari adanya kerusakan salah satu bagian
embung yang sebabkan oleh masalah yang terjadi di bagian yang lainnya misalnya kerusakan pipa
distribusi disebabkan oleh pengrusakan masyarakat karena adanya konflik horisontal atau kerusakan
intake dapat terjadi karena pelampung yang hilang dan sebagainya. Jadi besar prosentase kerusakan harus
dibaca dan dianalisa lebih hati-hati.
4. REKOMENDASI DALAM OPTIMASI FUNGSI EMBUNG
4.1. Bangunan Fisik Embung dan Instrumen Embung
a. Tanggul Embung secara teknis harus terhindar dari vegetasi, untuk mencegah kapilarisasi dari tubuh
embung oleh karenanya pada embung yang tanggulnya banyak ditumbuhi vegetasi harus dibersihkan
b. Spillway merupakan bangunan untuk membuang kelebihan air pada kolam embung secara cepat, oleh
karenanya pembuatan spillway harus lurus atau kalau kondisi terpaksa harus membentuk lengkung,
maka harus diberi perkuatan tebing. Spillway dari tanah diusahakan tetap berupa saluran, jika
kemiringan curam maka spillway harus dari pasangan.
c. Sedimentasi merupakan hasil erosi yang mengendap pada dasar kolam untuk mengurangi laju sedimentasi perlu:
bangunan penahan erosi pada alur inflow
pencegahan/pelarangan pengolahan lahan (untuk pertanian) dibagian hulu embung
Penanaman/reboisasi pada daerah tangkapan hujan embung
Apabila memungkinkan dilakukan pengerukan sedimen
d. Pipa intake harus dilengkapi dengan penguras tidak terlalu jauh dari bagian hilir tubuh embung
e. Perlunya pembuatan pagar kawat untuk melindungi kolam embung dari pencemaran kotoran ternak.
f. Perbaikan secara kontinyu pada instrument embung termasuk bangunan pelengkap embung.
g. Saat pembangunan fisik / rehabilitasi hendaknya melibatkan masyarakat setempat
4.2. Operasional dan Pemeliharaan Embung a. Dalam proses pembangunan prasarana fisik dikenal dengan S-I-D-La-C-O-M, dari rangkaian proses
tersebut jelas sangat memerlukan adanya kegiatan operasi dan pemeliharaan demi kesinambungan
fungsi prasarana embung tersebut yang dibutuhkan oleh masyarakat didaerah terpencil dan sulit air
b. Oleh karena itu embung merupakan bangunan penyedia air yang memerlukan kesinambungan
perawatan. Diperlukan :
a. Panduan operasional dan pemeliharaan embung
b. Pelatihan pelaksana OP
c. Dana perawatan dan operasional yang memadai
Gambar 5. O & P dalam pemanfaatan embung yang berkelanjutan
Operasional
&
Pemeliharaan
- Diambil dari masyarakat
. setempat
- Diadakan pelatihan
Petugas O/P
UU SDA No.7 Th 2004
Bab X Pembiayaan
Ps 77, ayat 1
Pembiayaan pengelolaan
SDA ditetapkan
berdasarkan kebutuhan
nyata
Ayat 2.
Jenis pembiayaan
pengelolaan SDA :
- biaya sistem informasi
- biaya perencanaan
- biaya pelaksanaan
. konstruksi
- biaya operasi dan
. pemeliharaan
- biaya pemantauan,
. evaluasi dan
. pemberdayaan
. masyarakat
Dasar Hukum
Pemanfaatan
embung yang
berkelanjutan
- Pengaturan tugas &
. tanggung jawab pemakai
. air embung dari instansi
. terkait
- Pemberdayaan
. pemakai air embung
- Pengaturan pembiayaan
Pengelolaan
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-76
Dari upaya pendalaman aspek budaya masyarakat dapat diungkapkan satu alur berpikir tentang cara
penyampaian nilai di dalam komunitas masyarakat tradisional, yaitu sangat pentingnya budaya lisan/tutur
yang diulang-ulang dalam beberapa kesempatan dalam mentransferkan ide/pesan moral/sejarah sehingga
masyarakat bisa menerima dan menjadikan hal tersebut sebagai naluri dalam kehidupan sehari-hari.
Aspek pengajaran dengan metode ini menjadi sangat penting untuk menjembatani kemampuan
sumberdaya masyarakat di Pulau Timor yang masih masuk kategori kurang/rendah.
5. KESIMPULAN
a. Degradasi fungsi bangunan embung disebabkan antara lain:
- Kerusakan pada instrumen embung yang rata-rata lebih dari 55%, sedimentasi sebesar 53% dan
kerusakan pada spillway sebesar 40%. Sedangkan yang diakibatkan konflik horizontal masyarakat sebesar 19%. Kerusakan pada bangunan phisik juga disebabkan karena faktor perencanaan yang
kurang tepat dalam desain bangunan (tubuh embung, spillway ) serta bangunan pelengkap (pipa
intake, pagar pengaman, saringan pasir, bak air) yang tidak diperhitungkan secara teliti terhadap
kondisi geologi tanah setempat.
- Kurangnya sosialisasi penggunaan embung bagi masyarakat setempat dan pemberian penyuluhan
yang kontinyu dari pihak terkait dalam pengoperasian serta pemeliharaan embung.
- Tidak adanya panduan O/P menyebabkan pemeliharaan embung tidak dilakukan oleh masyarakat.
b. Rekomendasi dalam mengoptimalkan fungsi embung dilakukan dengan cara :
- Perencanaan yang tepat dan teliti untuk bangunan utama dan bangunan penunjang sesuai dengan kondisi geologi serta topografi setempat.
- Saat pembangunan fisik / rehabilitasi hendaknya melibatkan masyarakat setempat
- Dalam proses pembangunan prasarana fisik dikenal dengan S-I-D-La-C-O-M, dari rangkaian proses tersebut jelas sangat memerlukan adanya kegiatan operasi dan pemeliharaan demi
kesinambungan fungsi prasarana embung tersebut yang dibutuhkan oleh masyarakat didaerah
terpencil dan sulit air.
6. DAFTAR PUSTAKA 1. , (1994), Pedoman Kriteria Desain Embung Kecil untuk Daerah Semi Kering Di
Indonesia, B-4, Bandung, Direktorat Jenderal Pengairan Departemen Pekerjaan Umum.
2. , (2007) , Studi Evaluasi Kinerja Embung Kecil Di Lima Kabupaten Sedaratan Timor,
Laporan Akhir, Kupang, CV. Hatari Gesit Mandiri, Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah,
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur.
3. , (2010), Pengumpulan Data/Informasi Kebutuhan Penyusunan Dokumen Perencanaan
Bid. SDA & Irigasi (Pembangunan Embung dan Jaringan Irigasi), Laporan Akhir, Kupang,
CV.Techno21, Dinas Pekerjaan Umum, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-77
ADAPTASI PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DALAM MENGHADAPI
PERUBAHAN IKLIM DI JAWA TIMUR
Hadi Moeljanto1 dan Ainur Rofiq
2
1 PNS, Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Provinsi Jawa Timur,Ahmad Yani 152 A Surabaya ,Telp 031-
8299585, email :hadimoeljanto@ymail.com 2 PNS, Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Provinsi Jawa Timur,Ahmad Yani 152 A Surabaya ,Telp 031-
8299585, email :ainur.ri@gmail.com
ABSTRAK
Melihat kondisi cuaca akhir akhir ini sering berubah cepat karena adanya pergeseran /pergantian cuaca
sebagai hasil perubahan iklim yang diakibatkan pemanasan global sehingga mengakibatkan gelombang
tinggi,angin kencang,Banjir atau kekeringan serta merebaknya hama tanaman .Dari sisi sumber daya air
Perubahan iklim mengakibatkan musim hujan datang lebih lambat,lebih singkat namun curah hujan lebih
intensif sehingga meningkatkan resiko banjir serta perubahan pola hujan saat musim hujan periode
musim hujan lebih pendek jumlah hari hujan berkurang tetapi tetapi dengan intensitas lebih tinggi
akibatnya banjir sering terjadi seperti pada Wilayah Sungai (WS) Bengawan Solo di Kab.
Bojonegoro,Lamongan,Gresik serta WS. Brantas Kab.Trenggalek,Mojokerto,Jombang dengan permasa
lahan seperti rusaknya tanggul dan tebing,Penurunan dasar sungai, Perubahan bentuk sungai. Mengingat UU SDA No. 7 tahun 2004 bahwa pengelolaan sumber daya air dalam pengertian luas
mencakup lima kegiatan pokok, yaitu: Konservasi SDA, Pendayagunaan SDA ,Pengendalian Daya Rusak
Air,Penyediaan sistem informasi SDA dan Pemberdayaan dan Peningkatan peran masyarakat,Swasta dan
Pemerintah , Dengan mengingat pengelolaan sumberdaya air terhadap perubahan iklim diperlukan
langkah Adaptasi yaitu upaya untuk mengatasi perubahan iklim baik yang sifatnya reaktif maupun
antisipatif termasuk pengurangan resiko bencana yang dilakukan bersama dengan koordinasi antar sektor
dan antar wilayah .
Akibat dampak perubahan iklim seperti banjir,kekeringan serta pemasalahan lainnya diperlukan
upaya dengan melakukan inventarisasi dan optimasi infrastruktur SDA,perbaikan jaringan
hidrologi,peningkatan daya dukung DAS ,pengembangan sungai berdasar ekohidraulik ,mengatur pola
operasi waduk dan penelitian geohidrologi dengan melibatkan seluruh stakeholder termasuk masyarakat. untuk mengurangi dampak/resiko yang berorientasi sumber daya air dengan mempertimbangkan faktor
kondisi fisik infrastruktur ,sumber daya ekologi dan tidak lepas pada keharmonisan antara masyarakat
dan lingkungannya .
Kata kunci : Perubahan iklim,Pengelolaan SDA.
1. PENDAHULUAN
Dengan terjadinya pemanasan global, mengakibatkan kondisi iklim akan terganggu sehingga secara
jangka panjang akan mengalami perubahan yang bersifat menetap. Pemanasan global mengakibatkan
perubahan iklim yang terlihat dengan musim hujan yang datang lebih lambat, lebih singkat, sehingga
meningkatkan resiko kekeringan seperti kelangkaan air yang merupakan ancaman serius pada sektor pertanian,perkebunan karena minus air sedangan kejadian curah hujan yang terjadi lebih intensif
(intensitas tinggi), sehingga meningkatkan resiko kejadian banjir.Selain itu Dampak perubahan iklim
mengimbas ke sumber daya air yang berakibat kekeringan bertambah parah ,air tanah semakin berkurang
disamping itu kelangkaan sumber daya air bisa terjadi pada provinsi jawa timur seperti meningkatnya
jumlah penduduk juga akan memberikan tekanan pada penyediaan air terutama daerah perkotaan .saat ini
sudah banyak penduduk yang mengalami kesulitan untuk mendapatkan air bersih seperti demo
masyarakat pasuruan masalah pengambilan air PDAM untuk kota Surabaya ,Sidoarjo selain kabupaten
Pasuruan dari sumber air umbulan kabupaten Pasuruan yang merupakan cadangan air tanah lintas
kabupaten Pasuruan dan Probolinggo ,penutupan sumber air PDAM dari sumber air desa
bumiharjo,kecamatan Glenmore Banyuwangi .
Saat ini kondisi daerah aliran sungai di Jawa Timur menurun. Hal itu terindikasi dengan meningkatnya bencana Banjir di wilayah DAS Brantas , seperti Banjir Bandang kecamatan Pujon
Kabupaten Malang 24 Pebruari 2010 ,longsor dan banjir di blitar,Kediri,Malang ,Bojonegoro 28 April
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-78
2010 ,banjir dan longsor di Trenggalek dan tulungagung dan sedimentasi pada beberapa waduk besar di
DAS Brantas. Meningkatnya kepadatan penduduk di sekitar DAS, meningkat pula
pemanfaatan/eksploitasi sumberdaya alam secara intensif dan alhasil dapat dipastikan DAS mengalami
penurunan kondisi.
Sementara itu penyebab permasalahan ini yang terjadi umumnya akibat adanya Perubahan
iklim dan degradasi lingkungan yang berdampak pada rusaknya DAS bagian hulu serta belum
maksimalnya kegiatan penanganan reboisasi daerah tangkapan air, oleh karena itu untuk mengurangi
dampak tersebut diperlukan strategi jangka panjang untuk mengatasi perubahan iklim terutama
pengelolaan sumber daya air baik melalui mitigasi dan adaptasi tetapi dalam makalah lebih ditekankan pada Manajemen Adaptasi
Diharapkan dalam menerapkan melibatkan masyarakat lokal yang terkena dampak ,perencanaan
pengelolaan SDA yang tepat ,Pengelola baik lahan dan SDA saling berkoordinasi ,memperhatikan
kuantitas dan kualitas SDA ,Pendayagunaan SDA yang memperhatikan keseimbangan air permukaan dan
air tanah dan pertimbangan perubahan iklim.
2. DASAR TEORI
Perubahan iklim yang menyebabkan terjadinya banjir ,kekeringan serta kejadian lainnya dengan
menggunakan adaptasi dengan pengertian suatu proses yang menentukan bagaimana suatu strategi yang
bertujuan menekan,menyesuaikan dan mampu mengambil manfaat dari suatu dampak kejadian iklim diperluas ,dikembangkan dan diterapkan/upaya yang dapat menjamin pengelolaan sumber daya air yang
berdasar pengalaman masa lalu maupun yang diperkirakan kedepan .
Dengan mengkaji bahaya ,kerentanan dan resiko yang dilanjutkan strategi adaptasi serta program kegiatan
dan lokasi dengan pendekatan untuk memandu intervensi dalam menghadapi ketidakpastian dengan
menggunakan kebijakan dan informasi ilmiah berdasar data yang akurat dan pengetahuan untuk
perencanaan dan pembangunan kapasitas serta penyesuaian terhadap proses ekologi.
3. METODOLOGI
Metodologi yang digunakan dalam menghadapi perubahan iklim dari sisi pengelolaan sumber daya
air dengan melalui sesuai pendekatan prinsip konsep adaptasi yang merupakan proses lingkaran iteratif
atau lingkaran siklus atas identifikasi masalah,pelaksanaan adaptasi dan evaluasi manfaat yang akan
memberikan umpan balik padatiaplangkahnya: :
Gambar 1. Urutan tujuh langkah dalam Proses Adaptasi
7 Monitor&
Evaluasi
Adaptasi
1 Keterlibatan
Stakeholder
3 Kajian kapasitas
adaptasi
4 Identifikasi
pilihan adaptasi
5
Evaluasi opsi
adaptasi&me
milih aksi
6
Implementa
si adaptasi
7 Monitor&
Evaluasi
Adaptasi
2
Menentukan
sasaran
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-79
1. Menentukan SDM yang terlibat melalui proses partisipasi (keterlibatan stakeholder) dalam
pengelolaan sumber daya air untuk menghadapi perubahan iklim untuk menciptakan kepercayaan
dan kepemilikan bersama.
2. Tentukan langkah permasalahan dengan memasukkan resiko terkini maupun potensial dimasa
mendatang (misal perubahan waktu dan keragaman iklim) dan saling komunikasi dalam penyelesaian
akibat perubahan iklim.
3. Kaji kapasitas adaptasi dan diukur secara sosial ,pendidikan,kelembagaan ,lokasi dan faktor lain
4. Identifikasi pilihan adaptasi dengan mengumpulkan teknologi alternatif,kegiatan atau kebijakan
pengelolaan dalam rangka mengatasi dan antisipasi dampak perubahan iklim.
5. Evaluasi pilihan adaptasi dan memilih aksinya dengan kriteria yang meliputi keuntungan ,manfaat
,tujuan pembangunan,biaya ,dampak lingkungan,dampak samping ,kemampuan pelaksanaan serta hambatan.
6. Melaksanakan adaptasi dengan merekomendasikan bahwa suatu rencana pelaksanaan dengan
komponen rencana strategis,perkiraan kebutuhan penguatan kapasitas dan rencana pelatihan,rencana
pembiayaan,rencana komunikasi, rencana keberlanjutan dan rencana pengawasan adaptasi.
7. Evaluasi yang terus menerus terhadap efektifitas pelaksanaan adaptasi sedangkan kriteria evaluasi
dan indikator yang dipilih stakeholder(biaya,mudah dilaksanakan,manfaat yang didapat ,dampak
yang merugikan) dalam enam langkah sebagai bagian rencana pengawasan dan kinerja
Bahwa Adaptasi bertujuan mengurangi dampak negatif memaksimalkan peluang dan konsekuensi yang
muncul dari perubahan iklim.
Metodologi yang digunakan pada penulisan makalah ini berdasar kajian pustaka, dan pengalaman
memberikan ilustrasi aplikasi metode pada beberapa kasus banjir dan kekeringan akibat perubahan iklim.
4. HASIL DAN ANALISA
Untuk mengatasi berbagai persoalan banjir , kekeringan serta lainnya akibat perubahan iklim dengan
melakukan adaptasi melalui Pengelolaan SDA dengan beberapa strategi serta kegiatan yang dilaksanakan
.
Untuk Peran stakeholder sektor Sumber Daya Air di Jawa Timur disarankan Dewan SDA Provinsi
sedangkan TK.PSDA WS untuk wilayah sungai sehingga ada Regulator (Gubernur) ,pengembang
(BBWS) ,Operator (Dinas,BBWS dan PJT 1),pemanfaat pengguna (petani,kota,industri,Pakar,LSM)
untuk mempercepat pengambilan keputusan Oleh karena iu dilakukan adaptasi Pengelolaan Sumber data
air sesuai langkah ke 6 dengan langkah Melaksanakan adaptasi dengan rencana aksi dapat dilihat pada
tabel terlampir. Adapun dalam menghadapi banjir ditekankan pada bagaimana mengurangi potensi banjir akibat
perubahan iklim serta pengelolaan DAS dengan Strategi : Mengendalikan banjir melalui penataan
ruang dan pengelolaan DAS dengan Program Kegiatan :sebagai berkut :
1. Meningkatkan daya dukung DAS dengan mencegah kerusakan dan memperbaiki daerah tangkapan
air sebagai daerah resapan air melalui upaya konservasi lahan dan RTRW berpedoman UU no. 26
tahun 2007 tentang penataan ruang,
2. Membangun waduk /Embung baru dan mengeruk sedimen pada waduk /embung yang sudah ada
sebagai sarana penyimpan air di musim hujan dan dimanfaatkan pada musim kemarau.
3. Mengubah pola operasi dan pemeliharaan waduk dan bangunan pelengkap sesuai dengan
peningkatan intensitas hujan dan berkurangnya curah hujan .
Sedang untuk menghadapi kekeringan dilakukan strategi Menjamin keseimbangan neraca air serta
meningkatkan kapasitas DAS dan penghematan air yang berfokus pada ketersediaan air melalui
pengelolaan daerah tangkapan air. dengan Program Kegiatan sebagai berikut :
1. Membangun waduk/Embung baru dan mengeruk sedimen pada waduk/embung yang sudah ada
sebagai sarana penyimpan air di musim hujan dan dimanfaatkan pada musim kemarau.
2. Melaksanakan gerakan hemat air untuk segala keperluan seperti untuk air minum
,domestik,pertanian ,industri.
3. Mengembangkan dam parit yang dibangun pada alur sungai untuk menambah kapasitas tampung
sungai ,memperlambat laju aliran dan meresapkan air kedalam tanah karena secara teknis dapat
menampung volume air dalam jumlah relatif besar dan dapat dibangun berseri.
4. Mengadakan penelitian geohidrologi untuk mengetahui cekungan cekungan air tanah
5. Mengadakan inventarisasi tempat pengambilan air baku untuk air minum dan daerah irigasi yang akan terkena kenaikan muka air laut
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-80
Dalam menghadapi pencemaran dilakukan strategi Meningkatkan kualitas air pada DAS serta
mengoptimalkan efisiensi penggunaanya. dengan Program Kegiatan sebagai berikut :
1. Menginventarisasi DAS yang mengalami pencemaran dan tingkat penggunaan airnya sangat
tinggi .
Strategi yang digunakan untuk data dan informasi yaitu Meningkatkan kapasitas data dan informasi
SDA dalam menghadapi perubahan iklim. dengan Program Kegiatan sebagai berikut :
1. Memperbaiki jaringan hidrologi di tiap wilayah sungai sebagai pendeteksi peru bahan
ketersediaan air dan sebagai perangkat pengelolaan air dan sumber air.
5. KESIMPULAN .
Dengan adanya penanganan dengan antisipasi terhadap perubahan iklim pada bidang sumber daya air
dalam menangani banjir dan kekeringan serta lainnya dapat disimpulkan :
1. Perlunya koordinasi antar sektor dan antar wilayah dalam menghadapi perubahan iklim .
2. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menanggulangi dampak perubahan iklim.
3. Untuk menekan degradasi lingkungan dilakukan peningkatan daya dukung DAS.
4. Menetapkan daerah rentan dan resiko tinggi terkena dampak perubahan iklim sebagai prioritas untuk
melakukan adaptasi.
5. Persediaan Sumber Daya Air (SDA) yang terbatas sehingga perlu di konservasi serta mempertahankan
persediaan air tanah yang berkelanjutan
6. Perlu penataan ulang pengelolaan sumber daya air untuk kegiatan yang mengarah penghilangan retensi atau pengurangan kemampuan retensi sungai terhadap alirannya.
6. DAFTAR PUSTAKA.
1. Agus Maryono (2005) Banjir ,Kekeringan dan Lingkungan ,Gadjah Mada University Press.
2. Hira Jhamtani,Agung Wardana,Kadek Lisa (2005) Berubah atau Diubah ,INSIST Press ,Yogyakarta.
3. Subandono Diposaptono, Budiman, Firdausgung (2005), Menyiasati Perubahan Iklim, PT Sarana
Komunikasi UtamaAgus Maryono (2005), Menangani Banjir, kekeringan dan Lingkungan, Gajah
Mada University Press, Yogyakarta.
4. Sarwoko Mangkoedihardjo,Ganjar Samudro (2010),Fitoteknologi Terapan ,Graha ilmu.
5. Brigitta Isworo (2010), Perlukah Menunggu Bencana Besar,Laporan akhir tahun ,Kompas .
6. Nawa Tunggal (2010), Mengintip Potensi Bencana 2011,Laporan akhir tahun ,Kompas . 7. FAO (2005), Hutan dan Banjir Tenggelam dalam suatu fiksi,atau berkembang dalam fakta ? ,RAP
Publication.
8. Harianto (2010),Peran Pengelolaan Sumber Daya Air Di Wilayah Perum Jasa Tirta I Untuk
Menjamin Kecukupan Produksi Pangan,Raker Dinas.
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
E-81
Lampiran Tabel Rencana Aksi Adaptasi Pengelolaan Sumber Daya Air di Provinsi Jawa Timur
NO STRATEGI ADAPTASI KEGIATAN
A. Strategi : Mengendalikan Banjir Melalui Penataan Ruang dan Pengelolaan DAS
1. Meningkatkan daya dukung DAS
dengan mencegah kerusakan dan
memperbaiki daerah tangkapan air
sebagai daerah resapan air melalui
upaya konservasi lahan dan RTRW
berpedoman UU no. 26 tahun 2007
tentang penataan ruang .
Beberapa upaya konservasi antara lain Perum Jasa Tirat I
melakukan reboisasi pada DAS di Wilayah Sungai Brantas
dengan menanam ± 860.000 pohon yang dibagi pada 4 lokasi
yaitu pada DAS Hulu di desa Sukowilangun Kec. Kalipare
Kabupaten Malang, pada DAS Tengah di Desa Mrican
Kecamatan Gampengrejo Kabupaten Kediri, pada DAS Hilir
di desa Bleberan Kec. Jatirejo Kabupaten Mojokerto. Dan
kegiatan reboisasi tersebut akan diupayakan meningkat 50%
setiap tahunnya.
Penanaman pohon di DAS- DAS kritis di wilayah kerja 9
(Sembilan) UPT PSAWS di Dinas PU Pengairan Provinsi Jawa Timur.
Melalui program One Man One Tree (OMOT) yang digagas
oleh Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur dengan target 45
juta pohon yang akan ditanam di hutan-hutan yang telah rusak
± 700.000 Ha (dari total luas hutan di Jawa Timur 1.357.206
Ha)
Melalui program Lembaga Masyarakat Desa Hutan di Kota
Batu (ESP – USAID), membangun kebun pembibitan dengan
kapasitas 445.100 bibit pohon dan merehabilitasi lahan kritis
di wilayah hulu DAS Brantas seluas 3.887 Ha.
Untuk DAS bagian hilir, khususnya pada kawasan permukiman / perkotaan dengan membuat sumur – sumur
resapan.
2. Membangun waduk/Embung baru
dan mengeruk sedimen pada
waduk/embung yang sudah ada
sebagai sarana penyimpan air di
musim hujan dan dimanfaatkan pada
musim kemarau.
Pengerukan sedimentasi menjadi ancaman fungsi
pengendali banjir dan penyediaan air baku seperti waduk
sengguruh (sisa tamp. 36,4 % -2005), waduk harian wlingi
(sisa tamp. 38,6 % -2006), waduk harian lodoyo (sisa
tamp.65% -2006), waduk sutami (sisa tamp. 57,7% -2004),
waduk lahor (sisa tamp. 85,2% -2002), waduk selorejo (sisa
tamp. 71 % -2003).
Pembangunan waduk waduk / Embung seperti waduk
kresek(Madiun , tamp .efektif:4,549x106m3)waduk bendo
(Ponorogo,tamp. efektif: 42,70 x 106 m3), waduk gonggang
(Magetan,tamp.efektif: 2,273 x 106 m3), Bendung gerak Sembayat (Lamo ngan dan gresik, 7 x 106 m3), waduk
kedungbendo(Pacitan, tamp. Efektif :41,25 x106m3), waduk
gongseng (Bojonegoro , tamp.efektif:6,0x106m
3), waduk
pejok(Bo jonegoro , tamp.efektif: 6,0x106m3), wa duk Nipah
(Sampang , tamp.efektif: 5,04 x106 m3),
Beberapa embung yang telah selesai pembangunannya oleh BBWS Brantas antara lain ;
Embung Potoan Laok Kab. Pamekasan, Embung Larangan
Pereng Kab. Sumenep, Embung Guluk – Guluk Kabupaten
Sumenep, Embung Campor Kabupaten Bangkalan, Embung
Pilang Kerep Kabupaten Probolinggo, Embung Kertosari Kabupaten Pasuruan, Embung Gading Kabupaten Sumenep,
Embung Kulak Seceng Kabupaten Nganjuk, Embung Oro-
Oro Embo Kabupaten Nganjuk, Embung Ngepeh Kabupaten
Trenggalek, Embung Grojogan Kabupaten Jombang.
3. Mengubah pola operasi dan
pemeliharaan waduk dan bangunan
Langkah adaptasi karena meningkatnya frekuensi dan
besaran kejadian banjir.
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-82
Lampiran Tabel Rencana Aksi Adaptasi Pengelolaan Sumber Daya Air di Provinsi Jawa Timur
NO STRATEGI ADAPTASI KEGIATAN
pelengkap sesuai dengan peningkatan
intensitas hujan dan berkurangnya
curah hujan.
Penurunan muka air Waduk saat intensitas hujan
cenderung tinggi dan elevasi waduk sudah diatas pola.
Contoh:Sutami dari El 269 ke El 267 (11 Nopember
2010).
Meninjau kembali dan Menetapkan control water level
disetiap waduk tahunan, contoh:Elevasi Waduk Wonogiri
dijaga pada Control Water Level (CWL) El 135,3.
Mengaktifkan kembali fungsi retarder area sebagai
tempat parkir banjir sementara.
Langkah Adaptasi Menghadapi Dampak Kekeringan . Memperhatikan prakiraan awal musim kering dari
BMKG.
Monitoring muka air waduk dan ketersediaan pada
sumber air.
Pengaturan alokasi air.
Efisiensi penggunaan air (misal melalui pengembangan
sistem intensifikasi padi).
Pencegahan terjadinya pengambilan air secara illegal.
Modifikasi cuaca, jika kondisi sangat kritis (sesuai Ps. 38
UU No. 7 Th. 2004).
Pemanfaatan Cadangan Kekeringan (Drought Water Bank)
Cadangan kekeringan yang hanya digunakan ketika musim kemarau kering panjang (drought year, sekali dalam 5
tahun) merupakan potensi yang tidak optimal dimanfaatkan
selama musim kemarau normal (4 tahun). Cadangan
kekeringan Waduk Sutami (EL 260 – EL 246 = 57,8 juta m3
setara dengan Waduk Kedungwarak (Inv. Cost: USD 99
mill, O&M Cost: USD 2.1 mill/year)
Idle capacity tsb dapat dimanfaatkan untuk diberikan
kepada pemanfaat baru bila tersedia sumber cadangan lain
ketika musim kemarau kering panjang. Cadangan tsb. dapat
berada pada kelompok petani pemegang ijin bila ybs secara
sukarela mengembalikan sebagian ijinnya (bersifat sementara) kepada pemerintah melalui Badan Pengelola.
Kepada kelompok petani tsb. Badan Pengelola akan
memberikan insentif kompensasi untuk membiayai O&P
sistem irigasinya.
Badan Pengelola atas seijin pemerintah memanfaatkannya
untuk menutup defisit air selama musim kemarau panjang
tsb.
B. Strategi : Menjamin Keseimbangan Neraca Air Serta Meningkatkan Kapasitas DAS Dan
Penghematan Air Yang Berfokus Pada Ketersediaan Air Melalui Pengelolaan Daerah Tangkapan
Air
1. Membangun waduk/Embung baru
dan mengeruk sedimen pada
waduk/embung yang sudah ada sebagai sarana penyimpan air di
musim hujan dan dimanfaatkan pada
musim kemarau.
Pengerukan sedimentasi menjadi ancaman fungsi
pengendali banjir dan penyediaan air baku seperti waduk
Sengguruh (sisa tamp. 36,4 % -2005), waduk harian Wlingi (sisa tamp. 38,6 % -2006), waduk harian Lodoyo (sisa
tamp.65% -2006), waduk Sutami (sisa tamp. 57,7% -2004),
waduk Lahor (sisa tamp. 85,2% -2002), waduk Selorejo (sisa
tamp. 71 % -2003).
Pembangunan waduk waduk / Embung seperti waduk
Kresek (Madiun, tamp .efektif:4,549x106m3) waduk Bendo
(Ponorogo,tamp. efektif: 42,70 x 106 m3), waduk Gonggang
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-83
Lampiran Tabel Rencana Aksi Adaptasi Pengelolaan Sumber Daya Air di Provinsi Jawa Timur
NO STRATEGI ADAPTASI KEGIATAN
(Magetan,tamp.efektif: 2,273 x 106 m3), Bendung gerak
Sembayat (Lamo ngan dan Gresik, 7 x 106 m3), waduk
Kedungbendo (Pacitan, tamp. Efektif :41,25 x106m3), waduk
Gongseng (Bojonegoro, tamp.efektif:6,0x106m3), waduk
Pejok (Bo jonegoro, tamp.efektif: 6,0x106m3), waduk Nipah
(Sampang, tamp.efektif: 5,04 x106 m3),
Beberapa embung yang telah selesai pembangunannya oleh BBWS Brantas antara lain ;
Embung Potoan Laok Kab. Pamekasan, Embung Larangan
Pereng Kab. Sumenep, Embung Guluk – Guluk Kabupate Sumenep, Embung Campor Kabupaten Bangkalan, Embung
Pilang Kerep Kabupaten Probolinggo, Embung Kertosari
Kabupaten Pasuruan, Embung Gading Kabupaten Sumenep,
Embung Kulak Seceng Kabupaten Nganjuk, Embung Oro-
Oro Embo Kabupaten Nganjuk, Embung Ngepeh Kabupaten
Trenggalek, Embung Grojogan Kabupaten Jombang.
2. Melaksanakan gerakan hemat air
untuk segala keperluan seperti untuk
air minum ,domestik,pertanian
,industri
Melaksanakan upaya peningkatan efisiensi dapat
dilakukan antara lain dengan cara:
Pemberian air berselang-seling (intermittent), mencukupi
kebutuhan minimum optimal
Penggunaan kembali air buangan (water re-use) Mengadopsi pemanfaatan air secara conjuctive, saling
melengkapi antara penggunaan air pemukaan, hujan, air
tanah, dsb
Pembuatan waduk lapangan (embung)
Saluran pasangan (canal lining)
Teknologi baru pemberian air, antara lain metode SRI
(System of Rice Intensification)
Meningkatkan kedisiplinan petani dalam mentaati jadwal tanam dan aturan pemberian air.
Memberantas pengambilan air liar (illegal offtake)
Melaksanakan konsep efisiensi air irigasi melalui insentif
kompensasi Peningkatan penggunaan air selama ini berasal dari
peningkatan efisiensi supply management (pemberian air
tepat waktu saat diperlukan).
Irigasi merupakan pengguna air terbesar dengan tingkat
efisiensi yang rendah karena tidak dibebani biaya jasa
pengelolaan SDA. Perlu instrumen ekonomi untuk meningkatkan efisiensi
air irigasi melalui insentif kompensasi. Kompensasi dapat
digunakan untuk meningkatkan ketersediaan biaya OP
irigasi.
Penerapan Water Pricing Reform saat kelangkaan air.
Dalam kondisi SDA sudah krisis, penerapan Water
Pricing yang tepat dapat menjadi alternatif solusi yang
menjanjikan.
Dalam kebijakan penerapan Water Pricing, perlu
dilakukan hal-hal sbb:
- Menyusun aturan nasional/sub nasional sebagai
prioritas. - Menyusun secara jelas obyektifitas water pricing.
- Melakukan justifikasi, menetapkan target dan
melakukan transparansi kebijakan subsidi.
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-84
Lampiran Tabel Rencana Aksi Adaptasi Pengelolaan Sumber Daya Air di Provinsi Jawa Timur
NO STRATEGI ADAPTASI KEGIATAN
- Menyiapkan strategi dan metode penerapannya.
- Melibatkan user dan stakeholder dalam proses formulasi
water pricing.
- Dilaksanakan dengan menggunakan pilot project
terlebih dahulu.
3. Mengembangkan dam parit yang
dibangun pada alur sungai untuk
menambah kapasitas tampung sungai
,memperlambat laju aliran dan
meresapkan air kedalam tanah karena
secara teknis dapat menampung volume air dalam jumlah relatif besar
dan dapat dibangun berseri.
Melaksanakan pembangunan dengan konsep ekohidraulik
seperti fiktoteknologi(penerapan ilmu dan teknologi untuk
mengkaji dan menyiapkan solusi masalah lingkungan dengan
menggunakan tumbuhan) bantaran sungai melalui Pola
penguatan dengan menggunakan tumbuhan yang bisa
mengurangi kecepatan aliran sungai dan tidak menyebabkan pendangkalan sungai dibanding menggunakan plengsengan
atau struktur buatan sejenisnya tidak fungsional untuk
memperbaiki mutu air sungai dan sempadan sungai .
4. Mengadakan penelitian geohidrologi
untuk mengetahui cekungan
cekungan air tanah
Meskipun pemanfaatan air bawah tanah di daerah Provinsi
Jawa Timur telah memberikan sumbangan yang cukup berarti
dalam memasok kebutuhan air untuk berbagai sektor
pembangunan (industri dan pertanian), namun di sisi lain
dapat menimbulkan dampak buruk terhadap sumberdaya itu
sendiri maupun terhadap lingkungan hidup di sekitarnya,
seperti menyusutnya cadangan air bawah tanah dan
menurunnya tinggi permukaan air tanah (water table) serta
mutu / kualitas air tanahnya akibat adanya intrusi air laut maupun pengaruh polusi lainnya.
Di Jawa Timur dibagi dalam 12 CAT, yang meliputi CAT
Brantas 6.186 Km2, CAT Bulukawang 618 Km2, CAT
Sumber Bening 715 Km2, CAT Pasuruan 1.596 Km2, CAT
Probolinggo 1.639 Km2, CAT Jember Lumajang 3.865 Km2,
CAT Besuki 469 Km2, CAT Bondowoso Situbondo 2.358
Km2, CAT Wonorejo 543 Km2, CAT Banyuwangi 1.737
Km2, CAT Blambangan 413 Km2, CAT Bangkalan 398 Km2,
CAT Ketapang 631 Km2, CAT Sampang Pamekasan 1.200
Km2, CAT Sumenep 478 Km2, CAT Turanggo 101 Km2.
Pada CAT –CAT yang teridentifikasi telah dilakukan eksploitasi secara intensif, (dengan banyaknya sumur-sumur
dalam) perlu dilakukan pembatasan-pembatasan pengambilan
debit air tanah, sehingga keseimbangan air tanah akan tetap
terjaga, hal ini dilakukan dengan instrument hukum berupa
peraturan daerah, dan sebagai leading sektornya adalah Dinas
ESDM Provinsi Jawa Timur.
Untuk mengurangi timbulnya berbagai dampak buruk
tersebut, maka upaya pendayagunaan sumberdaya air bawah
tanah tersebut harus dilakukan secara terencana, rasional,
optimal dan bertanggungjawab serta sesuai dengan daya
dukungnya dengan memperhatikan kelestarian, fungsi dan
keseimbangan lingkungan hidup bagi pembangunan berkelanjutan.
5. Mengadakan inventarisasi tempat
pengambilan air baku untuk air
minum dan daerah irigasi yang akan
terkena kenaikan muka air laut
Mempercepat pembangunan Bendung gerak Sembayat di
kabupaten Gresik utara dan Lamongan utara yang digunakan
untuk water treatment plan dengan debit maksimum 2 m3/det
,untuk irigasi di kabupaten gresik 883 Ha ,industri rumah
tangga 1,446 m3 /det, tambak sekitar 3,990 m3/det dan
mencegah instrusi air laut,mengoptimalkan bendung karet
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-85
Lampiran Tabel Rencana Aksi Adaptasi Pengelolaan Sumber Daya Air di Provinsi Jawa Timur
NO STRATEGI ADAPTASI KEGIATAN
sudetan plang woot (Lamongan), Pembangunan Waduk
Bajulmati (Banyuwangi utara), Waduk Nipah (Sampang),
Rehab Bendung Sampean lama dan Sampean baru,
C. Strategi : Meningkatkan kualitas air pada DAS serta mengoptimalkan efisiensi penggunaanya
1. Menginventarisasi DAS yang
mengalami pencemaran dan
penggunaan airnya sangat tinggi
1). DAS Brantas hilir untuk sawah seluas 34.892 Ha
kebutuhan airnya 32,34 m3/det, (DI. Jatimlerek 2.050 Ha
kebutuhan airnya 1,83 m3/det, Menturus 3.392 Ha
kebutuhan airnya 4,04 m3/det, Jatikulon 619 Ha
kebutuhan airnya 0,66 m3/det, Delta Brantas 27.362 Ha
kebutuhan airnya 1,83 m3/det, DI.Surabaya 1.469 Ha
kebutuhan airnya 0,83 m3/det), Kebutuhan Industri 4,74 m3/det, Kebutuhan air baku untuk 5 Kab/Kota sebesar
26,87 m3/det (Gresik : 1,91 m3/det, Sidoarjo : 8,02
m3/det, Surabaya : 12,19 m3/det, Mojokerto : 4,45
m3/det, Kota Mojokerto : 0,30 m3/det) dan Kebutuhan
Tambak 19,59 m3/det (Sidaorajo : 10,01 m3/det, Surabaya
Selatan : 2,05 m3/det, Surabaya Utara : 2,00 m3/det,
Porong : 5,53 m3/det)
2). DAS lain di Jawa Timur yang mengalami pencemaran dan
penggunaan airnya tinggi adalah ; DAS Rejoso, DAS
Grindulu, DAS Pasiraman, DAS Sampean dan DAS
Sarokah
D. Strategi : Meningkatkan kapasitas data dan informasi SDA dalam menghadapi perubahan iklim
1. Memperbaiki jaringan hidrologi di
tiap wilayah sungai sebagai pendeteksi perubahan ketersediaan air
dan sebagai perangkat pengelolaan air
dan sumber air
Terkait dengan terbatasnya sarana (stasiun pos penakaran
hujan yang masih layak) dan sumber daya manusia (operator lapangan), maka untuk mendapatkan data base curah hujan
yang akurat diperlukan kegiatan rasionalisasi stasiun hujan.
Sehingga akan didapatkan data yang akurat (tepat dan teliti
serta kontinyu). Selain itu, pada daerah-daerah yang rawan
bencana (banjir dan kekeringan) digunakan stasiun hujan yang
real –time yang terintergrasi dengan data debit,sehingga
dalam penanganan bencana akan lebih cepat pada tahun 2010
telah dilaksanakan kajian neraca air berdasar data
hujan.seluruh WS di Jawa Timur yang bisa diupload oleh
UPT PSAWS sehingga didapat data ketersediaan air dan
kebutuhan air .
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-86
PETA RAWAN
BANJIR
DI PROVINSI
JAWA TIMUR
S A M U D E R A I N D O N E S I AS A M U D E R A I N D O N E S I AS A M U D E R A I N D O N E S I AS A M U D E R A I N D O N E S I AS A M U D E R A I N D O N E S I AS A M U D E R A I N D O N E S I AS A M U D E R A I N D O N E S I AS A M U D E R A I N D O N E S I AS A M U D E R A I N D O N E S I A
L A U T J A W AL A U T J A W AL A U T J A W AL A U T J A W AL A U T J A W AL A U T J A W AL A U T J A W AL A U T J A W AL A U T J A W A
S E L A T M A D U R AS E L A T M A D U R AS E L A T M A D U R AS E L A T M A D U R AS E L A T M A D U R AS E L A T M A D U R AS E L A T M A D U R AS E L A T M A D U R AS E L A T M A D U R A
S E L A T B A L IS E L A T B A L IS E L A T B A L IS E L A T B A L IS E L A T B A L IS E L A T B A L IS E L A T B A L IS E L A T B A L IS E L A T B A L I
S E L A T M A D U R AS E L A T M A D U R A
L A U T J A W AL A U T J A W A
SELAT BALISELAT BALI
S A M U D E R A I N D O N E S I AS A M U D E R A I N D O N E S I A
430 HA430 HA430 HA430 HA430 HA430 HA430 HA430 HA430 HA430 HA
793 HA793 HA793 HA793 HA793 HA793 HA793 HA793 HA793 HA793 HA
15.433 HA15.433 HA15.433 HA15.433 HA15.433 HA15.433 HA15.433 HA15.433 HA15.433 HA15.433 HA
668 HA668 HA668 HA668 HA668 HA668 HA668 HA668 HA668 HA668 HA
56 HA56 HA56 HA56 HA56 HA56 HA56 HA56 HA56 HA56 HA
2.094 HA2.094 HA2.094 HA2.094 HA2.094 HA2.094 HA2.094 HA2.094 HA2.094 HA2.094 HA
2.715 HA2.715 HA2.715 HA2.715 HA2.715 HA2.715 HA2.715 HA2.715 HA2.715 HA2.715 HA
1.946 HA1.946 HA1.946 HA1.946 HA1.946 HA1.946 HA1.946 HA1.946 HA1.946 HA1.946 HA
971 HA971 HA971 HA971 HA971 HA971 HA971 HA971 HA971 HA971 HA
1.146 HA1.146 HA1.146 HA1.146 HA1.146 HA1.146 HA1.146 HA1.146 HA1.146 HA1.146 HA
67 HA67 HA67 HA67 HA67 HA67 HA67 HA67 HA67 HA67 HA
897 HA897 HA897 HA897 HA897 HA897 HA897 HA897 HA897 HA897 HA 284 HA284 HA284 HA284 HA284 HA284 HA284 HA284 HA284 HA284 HA
3.166 HA3.166 HA3.166 HA3.166 HA3.166 HA3.166 HA3.166 HA3.166 HA3.166 HA3.166 HA
930 HA930 HA930 HA930 HA930 HA930 HA930 HA930 HA930 HA930 HA
4.169 HA4.169 HA4.169 HA4.169 HA4.169 HA4.169 HA4.169 HA4.169 HA4.169 HA4.169 HA
2.522 HA2.522 HA2.522 HA2.522 HA2.522 HA2.522 HA2.522 HA2.522 HA2.522 HA2.522 HA
21.713 HA21.713 HA21.713 HA21.713 HA21.713 HA21.713 HA21.713 HA21.713 HA21.713 HA21.713 HA
15.101 HA15.101 HA15.101 HA15.101 HA15.101 HA15.101 HA15.101 HA15.101 HA15.101 HA15.101 HA
2.227,422.227,422.227,422.227,422.227,422.227,422.227,422.227,422.227,422.227,42
2.749 HA2.749 HA2.749 HA2.749 HA2.749 HA2.749 HA2.749 HA2.749 HA2.749 HA2.749 HA
950 HA950 HA950 HA950 HA950 HA950 HA950 HA950 HA950 HA950 HA
2.724 HA2.724 HA2.724 HA2.724 HA2.724 HA2.724 HA2.724 HA2.724 HA2.724 HA2.724 HA
PAMEKASANPAMEKASANPAMEKASANPAMEKASANPAMEKASANPAMEKASANPAMEKASANPAMEKASANPAMEKASANPAMEKASAN
KEDIRIKEDIRIKEDIRIKEDIRIKEDIRIKEDIRIKEDIRIKEDIRIKEDIRIKEDIRI
BOJONEGOROBOJONEGOROBOJONEGOROBOJONEGOROBOJONEGOROBOJONEGOROBOJONEGOROBOJONEGOROBOJONEGOROBOJONEGORO
LAMONGANLAMONGANLAMONGANLAMONGANLAMONGANLAMONGANLAMONGANLAMONGANLAMONGANLAMONGAN
TRENGGALEKTRENGGALEKTRENGGALEKTRENGGALEKTRENGGALEKTRENGGALEKTRENGGALEKTRENGGALEKTRENGGALEKTRENGGALEK
TULUNGAGUNGTULUNGAGUNGTULUNGAGUNGTULUNGAGUNGTULUNGAGUNGTULUNGAGUNGTULUNGAGUNGTULUNGAGUNGTULUNGAGUNGTULUNGAGUNG
MALANGMALANGMALANGMALANGMALANGMALANGMALANGMALANGMALANGMALANG
BLITARBLITARBLITARBLITARBLITARBLITARBLITARBLITARBLITARBLITAR
JOMBANGJOMBANGJOMBANGJOMBANGJOMBANGJOMBANGJOMBANGJOMBANGJOMBANGJOMBANG
NGANJUKNGANJUKNGANJUKNGANJUKNGANJUKNGANJUKNGANJUKNGANJUKNGANJUKNGANJUK
SURABAYASURABAYASURABAYASURABAYASURABAYASURABAYASURABAYASURABAYASURABAYASURABAYA
SIDOARJOSIDOARJOSIDOARJOSIDOARJOSIDOARJOSIDOARJOSIDOARJOSIDOARJOSIDOARJOSIDOARJO
MOJOKERTOMOJOKERTOMOJOKERTOMOJOKERTOMOJOKERTOMOJOKERTOMOJOKERTOMOJOKERTOMOJOKERTOMOJOKERTO
PASURUANPASURUANPASURUANPASURUANPASURUANPASURUANPASURUANPASURUANPASURUANPASURUAN
PROBOLINGGOPROBOLINGGOPROBOLINGGOPROBOLINGGOPROBOLINGGOPROBOLINGGOPROBOLINGGOPROBOLINGGOPROBOLINGGOPROBOLINGGO
LUMAJANGLUMAJANGLUMAJANGLUMAJANGLUMAJANGLUMAJANGLUMAJANGLUMAJANGLUMAJANGLUMAJANG
JEMBERJEMBERJEMBERJEMBERJEMBERJEMBERJEMBERJEMBERJEMBERJEMBER
SITUBONDOSITUBONDOSITUBONDOSITUBONDOSITUBONDOSITUBONDOSITUBONDOSITUBONDOSITUBONDOSITUBONDO
BONDOWOSOBONDOWOSOBONDOWOSOBONDOWOSOBONDOWOSOBONDOWOSOBONDOWOSOBONDOWOSOBONDOWOSOBONDOWOSO
BANYUWANGIBANYUWANGIBANYUWANGIBANYUWANGIBANYUWANGIBANYUWANGIBANYUWANGIBANYUWANGIBANYUWANGIBANYUWANGI
NGAWINGAWINGAWINGAWINGAWINGAWINGAWINGAWINGAWINGAWI
MAGETANMAGETANMAGETANMAGETANMAGETANMAGETANMAGETANMAGETANMAGETANMAGETAN
PONOROGOPONOROGOPONOROGOPONOROGOPONOROGOPONOROGOPONOROGOPONOROGOPONOROGOPONOROGO
PACITANPACITANPACITANPACITANPACITANPACITANPACITANPACITANPACITANPACITAN
MADIUNMADIUNMADIUNMADIUNMADIUNMADIUNMADIUNMADIUNMADIUNMADIUN
TUBANTUBANTUBANTUBANTUBANTUBANTUBANTUBANTUBANTUBAN
GRESIKGRESIKGRESIKGRESIKGRESIKGRESIKGRESIKGRESIKGRESIKGRESIK
BANGKALANBANGKALANBANGKALANBANGKALANBANGKALANBANGKALANBANGKALANBANGKALANBANGKALANBANGKALAN SAMPANGSAMPANGSAMPANGSAMPANGSAMPANGSAMPANGSAMPANGSAMPANGSAMPANGSAMPANG
SUMENEPSUMENEPSUMENEPSUMENEPSUMENEPSUMENEPSUMENEPSUMENEPSUMENEPSUMENEP
JAWA T
ENGAH
JAWA T
ENGAH
JAWA T
ENGAH
JAWA T
ENGAH
JAWA T
ENGAH
JAWA T
ENGAH
JAWA T
ENGAH
JAWA T
ENGAH
JAWA T
ENGAH
JAWA T
ENGAH
BALIBALIBALIBALIBALIBALIBALIBALIBALIBALI
PETA RAWAN
KEKERINGAN
DI PROVINSI
JAWA TIMUR
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-87
ESTIMASI TEGANGAN GESER DASAR
UNTUK GELOMBANG IRREGULER
Taufiqur Rachman1 dan Suntoyo
2
1Dosen Program Studi Teknik Kelautan, Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin, Kampus UNHAS
Tamalanrea Makassar, Telp 0411-585637, email: ocean_d321@yahoo.com 2Dosen Jurusan Teknik Kelautan, Fakultas Teknologi Kelautan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember,
Kampus ITS Sukolilo Surabaya, Telp 031-5936852, email: suntoyo@oe.its.ac.id
ABSTRAK
The bottom shear stress of the turbulent bottom boundary layer under irregular wave over rough bed has been examined through two methods. The first is to fit logarithmic velocity profile to the measured
velocity in an oscillating wind tunnel, and the second is a calculation method based on a quadratic of free
stream velocity. However, an investigation of a more reliable calculation method to estimate the time-
variation of bottom shear stress has not been fully dealt with. In the present study, the new method for
calculating the instantaneous bottom shear stress under irregular waves proposed. The bottom shear
stress of experimental result will be examined with both calculation method of bottom shear stress -based
on incorporating velocity and acceleration terms all at once- and existing calculation methods. The
calculation method gives a good agreement with the bottom shear stress under irregular waves from
experimental results. Therefore this method can be used to an input sediment transport model under rapid
acceleration in a practical application.
Keywords: turbulent bottom boundary layer, bottom shear stress, irregular wave
1. PENDAHULUAN
Lapis batas turbulen (turbulent boundary layer) yang disebabkan oleh gelombang permukaan melalui
dasar kasar telah mendapat banyak perhatian para ahli insinyur pesisir dan kelautan. Meskipun ketebalan
lapis batas gelombang turbulen sangat kecil dibandingkan dengan kedalaman air, namun masih
memainkan peran yang sangat penting dalam penentuan laju transport sedimen, laju disipasi energi
gelombang, dan besaran tegangan geser dasar yang terkait dengan besar skala arus yang berubah secara
lambat menuju pantai. Karenanya, pemahaman kuantitatif dari mekanisme gelombang yang disebabkan
lapis batas dasar adalah paling penting dalam memprediksi proses morfologi pantai [1].
Pada dasarnya, gelombang di lingkungan pantai adalah irreguler dan memiliki karakteristis lapis batas gelombang yang berbeda dengan gelombang sinusoidal. Oleh karena itu dibutuhkan keakuratan perilaku
lapis batas gelombang irreguler untuk mencapai estimasi tegangan geser dasar yang paling representatif
dalam proses transportasi sedimen pantai.
Kajian yang berkaitan dengan wave boundary layer dan kaitannya dengan transportasi sedimen untuk
gelombang irregular sangat jarang sekali dilakukan, meskipun ada namun kebanyakan dibatasi untuk
kondisi dasar halus (smooth bed) misalkan [2] dan [3], yang mana sangat berbeda dengan kondisi nyata di
dasar pantai yang memiliki kekasaran dasar. Kajian tentang tegangan geser dasar dengan kondisi dasar
kasar untuk gelombang irregular telah dilakukan melalui pengujian di laboratorium dan mengusulkan
metode untuk estimasi tegangan geser dasar [4], namun begitu hasilnya masih kurang sesuai dengan hasil
percobaan. Baru-baru ini juga telah dilakukan studi tegangan geser pada gelombang irreguler tetapi lebih
cenderung menekankan terhadap metode percobaan untuk kondisi dasar halus dan kasar [5]. Selain itu, prediksi pemodelan morfologi pantai adalah lebih efisien jika menggunakan pendekatan
perhitungan tegangan geser dasar untuk keperluan praktis daripada pendekatan yang lebih komplek
dengan pemodelan dua fase [6]. Estimasi tegangan geser dasar adalah merupakan langkah yang paling
penting yang diperlukan sebagai input untuk pemodelan transportasi sedimen untuk keperluan praktis.
Oleh karena itu estimasi tegangan geser dasar yang digunakan berdasarkan pendekatan gelombang
sinusoidal dan non-linier perlu dievaluasi dengan melibatkan pengaruh ketidakteraturan dari bentuk
gelombang irregular yang biasa terjadi di perairan pantai.
Kajian ini bertujuan untuk menguji tegangan geser dasar baik melalui eksperimen osilasi wind tunnel
kondisi dasar kasar melalui gelombang irreguler dengan Laser Doppler Velocimeter (LDV) untuk
mengukur distribusi kecepatan, maupun secara numerik dengan pemodelan aliran turbulen boundary
layer gelombang irreguler. Metode estimasi baru tegangan geser dasar melalui gelombang irreguler
diusulkan yang didasarkan penggabungan efek kecepatan dan percepatan dalam perhitungan kecepatan
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-88
gesekan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan metode baru yang lebih akurat untuk
perhitungan tegangan geser dasar akibat gelombang irregular.
2. DASAR TEORI
1. Pembangkitan gelombang irreguler eksperimen
Keacakan gelombang laut adalah akibat adanya sejumlah komponen gelombang dengan perbedaan
amplitudo dan frekuensi yang terkandung dalam spektrum gelombang. Profil gelombang irreguler yang
digunakan seperti yang diajukan oleh Nielsen [7]. Sketsa definisi gelombang irreguler ditampilkan pada
Gambar 1. Dalam gelombang irreguler ada dua definisi yang mungkin dari tinggi gelombang, sesuai
dengan gelombang individu yang dibatasi oleh zero upcrossings atau zero downcrossings berikutnya.
Pengukuran dari lembah ke puncak berikutnya adalah tinggi zero downcrossing, dH , sedangkan
pengukuran dari puncak ke lembah berikutnya adalah tinggi zero upcrossing, uH , dengan periode
gelombang masing-masing dT dan uT . Rata-rata adalah invarian yang berhubungan dengan pilihan
upcrossing versus downcrossing: uH = dH dan uT = dT .
Dalam analisis ini kerapatan spektral elevasi permukaan air gelombang irreguler, fS dihitung
dengan menggunakan formula kerapatan spektral Bretschneider-Mitsuyasu [2]:
4
3/1
5
3/13/1
2
3/1 03.1exp257.0
fTfTTHfS (1)
dimana, 3/1H , dan 3/1T adalah tinggi dan periode gelombang signifikan, dan f adalah frekuensi
gelombang. Simulasi kecepatan aliran bebas gelombang irreguler yang dilakukan untuk menghasilkan
time series kecepatan cukup panjang untuk memfasilitasi perhitungan parameter spektrum. Input
parameter untuk simulasi gelombang irreguler adalah tinggi dan periode gelombang signifikan, dan
kedalaman air. Pilihan segmen hasil time series disajikan sebagai waktu non-dimensi, t1/3 (dimana,
3/11/3 /2 T ). Tinggi permukaan air ( ) dan kecepatan aliran bebas (U ) telah dinormalisasi
dengan 2/1/3H dan hasil data kecepatan aliran bebas signifikan ( 1/3U ). Tingkat keakuratan irregularitas
pada hasil elevasi permukaan air dan kecepatan aliran bebas dapat diamati.
Gambar 1: Sketsa definisi gelombang irreguler
2. Metode-metode estimasi tegangan geser dasar (bottom shear stress)
3. Logarithmic-law
Tegangan geser dasar dari hasil eksperimen bisa diestimasi dengan menggunakan hubungan secara
logaritmik antara friction velocity, *U , dan variasi kecepatan terhadap kedalaman air sebagai berikut:
oz
zUu ln
*
(2)
/*
oU ; zyz (3)
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-89
Dimana, u adalah kecepatan aliran didalam boundary layer yang diukur dengan LDV di dalam oscillating
wind tunnel, adalah konstanta von Karman‟s (=0.4), z adalah jarak yang melintas aliran dari
theoretical bed level zyz . *U adalah kecepatan gesek yang dikaitkan dengan tegangan geser
dasar ** UUo dan adalah kekentalan fluida Dengan memplot nilai u terhadap ozz /ln ,
garis lurus tergambarkan melalui data percobaan dan selanjutnya nilai kecepatan gesekan, *U bisa
diperoleh dari kemiringan garis ini.
4. Metode perhitungan tegangan geser dasar
Metode perhitungan tegangan geser dasar yang sudah ada digunakan yaitu, metode 1 diusulkan oleh
Tanaka dan Samad (2006) yang merupakan pendekatan tegangan geser dasar dari gelombang harmonik
yang dimodifikasi dengan beda fase antara tegangan geser dasar dan kecepatan aliran bebas sebagai
berikut [3]:
tUtUft wo
2
1
(4)
Disini, to , variasi tegangan geser dasar, t adalah waktu, adalah frekuensi angular, tU adalah
variasi waktu dari kecepatan aliran bebas, adalah beda fase antara tegangan geser dasar dan free
stream velocity (kecepatan aliran bebas) dan wf adalah koefisien gesekan gelombang.
Metode 2 merupakan metode baru tegangan geser dasar, dengan mengadopsi metode yang diusulkan oleh
Suntoyo [8]. Dalam metode ini diusulkan koefisien akselerasi, ca , yang digunakan untuk
mengekspresikan efek kecondongan gelombang irreguler dan ditentukan secara empiris dari data
percobaan dan hasil SST k model. Kecepatan gesekan diekspresikan dengan:
t
tUatUftU c
w
2/*
(5)
tUtUto
** (6)
Disini, harga koefisien percepatan ca diperoleh dari harga rata-rata tac yang dihitung dari hasil
percobaan tegangan geser dasar dan pemodelan numerik dengan menggunakan persamaan:
t
tUf
tUftU
taw
w
c
2/
2/*
(7)
5. Faktor gesekan gelombang dan beda fase
Koefisien gesekan gelombang dan beda fase yang digunakan dalam metode perhitungan tegangan
geser dasar [9], yaitu:
100.0
07.853.7expo
mw
z
af (8)
2
3/13/1
3/1
TUam (9)
derajatC
CCS 563.0
357.0153.0
127.01
00279.014.42
(10)
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-90
o
mw
z
afC
2
1
; kondisi dasar kasar (11)
Variabel amplitudo orbit partikel fluida ma disesuaikan dengan gelombang signifikan, yakni 3/1ma ,
yang diberikan dengan Persamaan (9) untuk memperoleh koefisien gesek Persamaan (8). Variabel s
adalah beda fase antar kecepatan aliran bebas dan tegangan geser dasar, hasil penelitian terhadap
gelombang sinusoidal [9].
3. METODOLOGI
Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama, merupakan tahap pemodelan turbulence
boundary layer untuk gelombang irregular dengan menggunakan shear stress transport (SST) k
turbulence model. Tahap kedua, dilakukan analisa eksperimen dengan menggunakan data percobaan yang
diberikan dalam Tanaka [4]. Analisa ekperimen ini dilakukan sebagai validasi terhadap pemodelan
numerik, untuk selanjutnya menentukan metode baru perhitungan tegangan geser dasar dengan
memasukkan variabel batas kecepatan dan percepatan dalam perhitungannya, seperti pendekatan serupa
diberikan untuk gelombang asymmetric [10] dan saw tooth [8].
1. Eksperimen Turbulence Boundary Layer Gelombang Irreguler
Percobaan aliran turbulen untuk gelombang irreguler dilakukan di dalam oscillating wind tunnel,
kecepatan diukur pada bagian tengah terowongan diambil 20 titik kearah vertikal dengan menggunakan
LDV. Set-up eksperimen ditunjukkan pada Gambar 2, sedangkan kondisi percobaan diberikan pada Tabel
1 untuk mencapai suatu rezim turbulen.
Gambar 2: Diagram skematik sistem eksperimen
Tabel 1: Kondisi eksperimen
3/1T (s) 3/1U (cm/s) (cm2/s) RE S kS/yh
3.0 392.3484 0.148 496619,1 18.73 0.657
Dimana, 3/1T dan 3/1U adalah periode gelombang signifikan dan kecepatan aliran bebas signifikan,
masing-masing, tinggi gelombang kinematis, Sk dan tinggi kekasaran setara Nikuradse's, hy : jarak
dari dasar ke sumbu simetri terowongan, RE: (= 2// 3/11/3 TU ) bilangan Reynolds dan S:
(= hyTU 2// 3/11/3 ) Strouhal Number. Kekasaran dasar eksperimen berbentuk bola alluminium
Measuring Section
90 90 5.0
m
A
A
20
10
Section A-A (Dim. in cm)
Wind Tunnel
Input Signal through
a PC
DA Converter
Signal Controller
Servo Motor
Piston Servo Motor Driver to Wind
Tunnel
Potentiometer
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-91
dengan diameter 1,0 cm, ditempelkan pada permukaan dasar wind tunnel sesuai Gambar 3 (tinggi
kekasaran, rH =10 mm). Elemen kekasaran menonjol melalui viskos sub-layer pada bilangan Reynolds
yang tinggi. Hal ini menyebabkan arus ikut (wake) di balik setiap elemen kekasaran, dan tegangan geser
ditransmisikan ke dasar oleh tekanan drag pada elemen kekasaran, sehingga distribusi kecepatan didekat
dasar adalah logaritmik. Fenomena ini dapat menjelaskan bahwa log-law bisa digunakan untuk estimasi
tegangan geser dasar diatas dasar kasar [11].
Gambar 3: Sketsa definisi kekasaran
2. Deskripsi model turbulen secara numerik
Model turbulen bisa digunakan untuk memprediksi properti turbulen akibat gerakan berbagai macam
gelombang. Shear stress transport (SST) k model juga merupakan bentuk gabungan antara formula
penyempurnaan k model di daerah dekat-dinding dengan k model dalam lapis batas terluar
yang diusulkan oleh Menter [12]. SST k model diklaim lebih akurat dan diandalkan untuk
klasifikasi aliran yang lebih luas daripada k model standar sebaik k model original, termasuk
memperbaiki prediksi kerugian gradien tekanan aliran. Dalam SST k model, pendefinisian
viskositas Eddy dimodifikasi dengan memperhitungkan prinsip efek transport dari tegangan geser
turbulen.
Persamaan non linier boundary layer untuk model turbulen diselesaikan secara numerik dengan
menggunakan Crank-Nicolson type implicit finite-difference scheme. Untuk mencapai akurasi yang lebih
baik didekat dasar, jarak grid diijinkan meningkat secara eksponensial. Tiap 1 periode gelombang
digunakan langkah 100 dalam ruang dan 7200 dalam waktu. Konfergen dicapai melalui dua tahap, tahap
pertama konfergen yang didasarkan pada nilai dimensionless dari u, k dan pada setiap waktu selama
satu siklus gelombang. Tahap kedua konfergen didasarkan pada harga maksimum wall shear stress dalam
satu siklus gelombang. Batas konfergen ditetapkan pada nilai 1x10-6 untuk kedua tahapan tersebut.
Penjelasan lengkap tentang teknik pemodelan numerik disediakan dalam [8] dan [13].
4. HASIL DAN DISKUSI
Pemodelan numerik aliran turbulen –dengan metode SST k model- pada kondisi dasar kasar
dan gelombang irreguler telah dilakukan. Analisa hasil percobaan dilakukan terhadap hasil eksperimen
Tanaka et.al. [4] dengan kondisi aliran dan gelombang yang sama. Selain sebagai validasi pemodelan numerik, analisis hasil percobaan ini akan menampakkan analisis lebih rinci tentang perilaku karakteristik
lapis batas turbulen. Hasilnya akan diterapkan dalam estimasi tegangan geser dasar.
Perbandingan variasi kecepatan rata-rata antara data eksperimen dengan pemodelan numerik yang
didasarkan pada tinggi gelombang signifikan eksperimen ditunjukkan pada Gambar 4. Nampak
kesesuaian sepanjang lintasan antara variasi kecepatan pemodelan numerik (USST k–ω model) dan kecepatan
eksperimen di wind tunnel, meskipun masih terdapat nilai over-estimasi dan under-estimasi di bagian
puncak dan lembah, namun pemodelan numerik yang dihasilkan valid.
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-92
0 10 20 30
Time (s)
-500
0
500
U
(cm
/s)
Umodel
0 10 20 30
-500
0
500 Ueksperimen
Gambar 4: Perbandingan variasi kecepatan rata-rata hasil eksperimen dan pemodelan numerik (USST k–ω
model )
Tegangan geser dasar diperoleh dengan fitting logaritmik distribusi kecepatan terhadap pengukuran
kecepatan, sesuai Persamaan (2) dan (3) serta Gambar 5.
1 4 1 5 1 6 1 7 1 8
-4 00
-2 00
0
2 00
4 00
U(c
m/s
)
time (s)
i jk
l
mn
op
5
1 0- 1
2
5
100
2
5
101
z(c
m)
ij
kl m
n o
p
-4 00 -2 00 0 2 0 0 40 0
u (cm/s)
5
1 0- 1
5
100
5
101
z(c
m)
Gambar 5: Fitting logarithmik untuk estimasi bottom shear stress
Perbandingan estimasi tegangan geser dasar hasil eksperimen, metode SST k turbulence model,
metode Tanaka dan Samad (metode 1) dan metode 2 dapat dilihat pada Gambar 6. Baik metode SST
k turbulence model dan metode 1 ini tidak menunjukkan kesesuaian yang baik terhadap hasil
estimasi tegangan geser dasar eksperimen sepanjang siklus gelombang irregular. Keduanya memberikan
nilai over-estimasi dan under-estimasi tegangan geser dasar pada bagian puncak dan lembah hasil
eksperimen. Berdasarkan perbandingan estimasi tegangan geser dasar tersebut maka dibutuhkan metode
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-93
baru untuk estimasi tegangan geser dasar akibat pergerakan gelombang irregular, yang lebih mendekati
estimasi tegangan geser dasar hasil eksperimen.
0 10 20 30
Time (s)
-2000
0
2000
o/
(c
m2/s
2)
Metode 1
Metode 2
Eksperimen
Model SST
-500
0
500
U
(cm
/s)
Gambar 6: Perbandingan bottom shear stress hasil eksperimen, metode SST k turbulence model,
metode Tanaka dan Samad (metode 1) dan metode yang diusulkan (metode 2)
Estimasi metode baru tegangan geser dasar ini ditentukan secara empiris dari data percobaan dan hasil
SST k model dan diperoleh koefisien akselerasi sebesar ca = 0,485 yang digunakan untuk
mengekspresikan efek kecondongan gelombang irreguler. Perbandingan estimasi tegangan geser dasar metode baru dengan koefisien akselerasi ditampilkan sebagai metode 2 pada Gambar 6. Metode baru ini
telah menunjukkan persetujuan yang paling baik dengan data eksperimen. Metode baru dapat
dipertimbangkan sebagai metode handal untuk perhitungan tegangan geser dasar pada gelombang
irreguler. Sehingga dapat disimpulkan bahwa metode baru yang diusulkan untuk perhitungan tegangan
geser dasar akibat gelombang irreguler memiliki akurasi yang cukup.
5. KESIMPULAN
Metode baru untuk estimasi tegangan geser dasar akibat pergerakan gelombang irregular dengan
kondisi dasar kasar telah diusulkan. Penggabungan efek percepatan telah secara signifikan memperbaiki
perhitungan tegangan geser dasar untuk gelombang irreguler. Sehingga bisa dipertimbangkan bahwa
metode baru tegangan geser dasar ini bisa digunakan untuk pemodelan laju transportasi sedimen akibat
gelombang yang memiliki akselerasi tinggi dan dapat diterapkan dalam aplikasi praktis, dengan demikian diharapkan nantinya bisa memperbaiki keakuratan dalam pemodelan morfologi pantai dalam kondisi
sebenarnya.
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-94
6. DAFTAR PUSTAKA
1. Hsu, T.W and Ou, S.H (1997) Wave boundary layers in rough turbulent flow. Ocean
Engineering, Elsevier. Vol. 24, No. 1, pp. 25-43.
2. Samad, M.A and Tanaka, H (1999) Estimating instantenous turbulent bottom shear stress under
irregular wave. Journal of Hydroscience and Hydraulic Engineering, 17(2), 107126.
3. Tanaka, H, and Samad, M.A (2006) Prediction of instantaneous bottom shear stress for turbulent
plane bed condition under irregular wave. Journal of Hydraulic Research, Elsevier, 44 (1), 94-
106.
4. Tanaka, H, Suzuki, T, Suntoyo and Yamaji, H (2002) Time-variation of bottom shear stress under
irregular waves over rough bed. Journal of Hydroscience and Hydraulic Engineering, 25(2), 217-
225. 5. Huo, G, Wang, Y, Yin, B and You, Z. (2007) The study of the bed shear stress on the irregular
waves. 17th 2007 International Offshore and Polar Engineering Conference, ISOPE 2007. Lisbon:
1 July 2007 through 6 July 2007. Code 70675.
6. Hsu, T.J and Hanes, D.M (2004) Effects of wave shape on sheet flow sediment transport. Journal
of Geophysical Research Vol. 109, C05025.
7. Nielsen, P (2009) Coastal and estuarine processes. Advanced Series on Ocean Engineering –
Volume 29. Singapure. Word Scientific Publishing Co. Pte. Ltd.
8. Suntoyo, Tanaka, H and Sana, A (2008) Characteristics of turbulent boundary layers over a rough
bed under saw-tooth waves and its application to sediment transport. Coastal Engineering,
Elsevier, 55 (12), 1102-1112.
9. Tanaka, H, and Thu, A (1994) Full-range equation of friction coefficient and phase difference in a wave-current boundary layer. Coastal Engineering, Vol.22, 237-254.
10. Suntoyo, 2006. Study on Turbulent bottom boundary layers under non-linier waves and its
application to sediment transport, PhD Thesis, Tohuku University, Japan.
11. Hino, M, Kashiwayanag, M, Nakayama, A and Nara, T (1983) Experiments on the turbulence
statistics and the structure of a reciprocating oscillatory flow. Jurnal Fluid Mechanic, Vol. 131,
263.
12. Menter, F.R (1994) Two-equation eddy-viscosity turbulence models for engineering applications.
AIAA Journal, Vol.32, No.8, 1598-1605.
13. Suntoyo, Tanaka, H (2009) Effect of bed roughness on turbulent boundary layer and net sediment
transport under asymmetric waves. Coastal Engineering, Elsevier, 56(9), 960-969.
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-95
HIDROLOGI INSPEKSI BENDUNGAN
SEBAGAI UPAYA PENGENDALIAN DAYA RUSAK AIR
Manyuk Fauzi
Dosen Pengajar Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Riau, Kampus Bina Widya Km 12,5
Simpang Baru, Pekanbaru 28293, email:graperia@gmail.com
ABSTRAK
Pengertian pengendalian daya rusak air tertuang dalam UU No. 7 Tahun 2004 pasal 51 ayat (1) yaitu
mencakup upaya pencegahan, penanggulangan dan pemulihan. Penjelasan rinci tentang pengendalian daya rusak air melalui bendungan beserta waduknya tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 30
Tahun 2010 pasal 117. Pengendalian daya rusak air melalui bendungan beserta waduknya merupakan
kegiatan yang meliputi a). pengendalian terhadap keutuhan fisik dan keamanan bendungan dan b).
pengendalian terhadap fungsi bendungan beserta waduknya. Menyangkut penyelenggara keamanan
bendungan diuraikan pada pasal 138 hingga pasal 143 dalam PP yang sama. Penyelenggara keamanan
bendungan meliputi a). evaluasi keamanan bendungan, b). pemantauan dan pemeriksaan terhadap kondisi
bendungan, dan c). penyelenggaraan inspeksi bendungan. Penyeleggaraan inspeksi bendungan meliputi
kegiatan penelitian terhadap kondisi fisik bendungan dan bangunan pelengkapnya dan pengecekan
instrumen bendungan. Uraian tersebut di atas menunjukkan pentingnya peranan hidrologi jika
dihubungkan dengan keberlangsungan fungsi bendungan. Analisa hidrologi dalam inspeksi bendungan
sangat dibutuhkan dalam 2 hal yaitu a). verifikasi dan kalibrasi data yang tersedia guna keperluan evaluasi banjir dan ketersedian air, dan b). analisa erosi serta sedimentasi waduk.
Analisa hidrologi dalam kajian ini menggunakan prosedur yang ditetapkan di dalam Panduan
Perencanaan Bendungan Urugan yang dikeluarkan oleh Kementrian Pekerjaan Umum RI, meliputi
analisa penelusuran banjir (flood routing) dan tinggi maksimum tanggul. Dalam analisa tersebut juga
dikaji tingkat resiko waduk (situ) berdasarkan data teknis hasil kajian.
Hasil kajian hidrologi saat kejadian menunjukkan bahwa tinggi muka air di atas pelimpah 1,03 m atau
elevasi + 99,03. Dengan elevasi tanggul excisting + 100,00 m maka untuk kesimpulan keruntuhan akibat
overtopping secara teoritis tidak terjadi. Dengan tujuan menurunkan tingkat resiko waduk/situ maka
harus dilakukan analisa lebih lanjut.
Kata kunci : hidrologi, inspeksi bendungan, pengendalian daya rusak air
1. PENDAHULUAN
Apresiasi perlu disampaikan kepada Subandrio [1] selaku Direktur Sungai dan Pantai Kementrian
Pekerjaan Umum atas pernyataannya bahwa “proyek ini (rehabilitasi situ Gintung) semestinya selesai
pertengahan tahun 2011, tapi saya minta sampai akhir tahun ini saja. Ini merupakan proyek rekonstruksi
tercepat di dunia, mulai dari runtuh, pembangunan, sampai jadi”. Pernyataan Direktur Sungai dan Pantai
tersebut berhubungan dengan rehabilitasi situ Gintung yang jebol pada 27 Maret 2009, kemudian mulai
dibangun kembali pada Desember 2009. Proyek rehabilitasi situ seluas 26,5 hektar itu ditargetkan selesai
pada 31 Desember 2010. Kendati demikian, akibat cuaca yang tidak menentu, pembangunannya belum
100% rampung.
Berdasarkan data Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC), situ Gintung
dibangun oleh pemerintah Belanda pada tahun 1932-1933 dengan luas 31 hektar dan kapasitas
penyimpanan air/waduk (storage) ± 2,1 juta meter kubik. Namun, pada tahun 2008, luas situ tinggal 21,4
hektar dan kapasitas waduk air berkurang menjadi ± 1,5 juta meter kubik. Hal tersebut menjadi indikator terjadinya perubahan tata guna lahan dan sedimentasi, yang cukup signifikan merubah keseimbangan air
di situ Gintung. Semula situ ditujukan sebagai sumber air irigasi untuk persawahan,namun demikian,
areal persawahan tersebut secara bertahap berubah fungsi menjadi perumahan. Fungsi situ pun berubah,
tidak lagi berfungsi sebagai sumber air irigasi, tetapi sekarang lebih berfungsi sebagai pengendali banjir,
tempat wisata, dan perikanan. Akibat perubahan tersebut, asumsi-asumsi teknis di awal perencanaan
dimungkinkan sudah tidak sesuai lagi untuk kondisi saat ini. Secara teknis, keruntuhan bendungan dapat
disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut [2] :
1. Erosi akibat mengalirnya air melalui lubang-lubang/pondasi (piping) suatu bendungan penyebab
utama kerusakan bendungan di dunia, dibandingkan dengan sebab-sebab yang lain kecuali peluapan di
atas tubuh bendungan (overtopping), bila air dari waduk merembes melalui tubuh atau pondasi
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-96
bendungan urugan yang terdiri atas material tanah yang dipadatkan, maka tekanan hidrolisnya akan
didistribusikan terhadap tegangan pori yang merupakan pengikat antar butiran material. Jenis
kegagalan ini terjadi pada bendungan Solorejo, Kedung Sengon dan Kaliulo.
2. Kerusakan akibat retakan (crack), retakan sering kali menjadi penyebab kebocoran pada bendungan
yang berkembang menjadi erosi buluh dan akhirnya menyebabkan kerusakan bendungan. Retakan
yang patut diwaspadai adalah retakan dengan lebar lebih dari ¼ inchi. Retakan yang paling bahaya
yakni jenis melintang as bendungan, sebab retakan ini berpotensi menjadi alur buluh yang menembus tubuh bendungan dan disebabkan konsolidasi yang tak seragam pada tubuh bendungan atau pondasi.
Hal tersebut juga dapat mengindikasikan tidak memadainya proses pemadatan pada saat konstruksi.
Jenis kerusakan ini terjadi pada bendungan Kedung Ombo dan Kedung Bendo di Provinsi Jawa
Tengah.
3. Longsoran (slide) pada bendungan urugan disebabkan karena penyebab yang sama yakni kejadian
longsoran pada tebing atau lereng yang biasa ketika gaya yang bekerja pada suatu bidang geser
melampui batas gaya yang dapat ditahan. Terdapat tiga jenis longsoran yakni longsoran selama
konstruksi, longsoran pada lereng timbunan sebelah hilir sebelum waduk dioperasikan dan longosorang lereng timbunan sebelah hulu. Jenis kerusakan ini terjadi pada bendungan Way Curug di
Provinsi Lampung dan Kedung Sengon di Provinsi Jawa Tengah.
4. Peluapan (overtopping) yakni peristiwa meluapnya air waduk melalui puncak bendungan yang terjadi
karena banjir besar melebihi kapasitas dan gelombang tinggi melampaui puncak bendungan yang
diakibatkan gempa tektonik atau kelongsoran pada dinding waduk. bendungan beton pada umumnya
tahan peristiwa ini namun peluapan sangat fatal pada bendungan urugan, sebab aliran yang melampaui
puncak bendungan urugan sedemikian derasnya dan mampu menggerus puncak bendungan urugan,
baik tanah maupun batu, sehingga keruntuhan total hampir selalu terjadi. Di Indonesia, peristiwa semacam ini pernah terjadi satu kali, yakni di anak bendungan (urugan batu) Waduk Sempor
Jawa Tengah.
5. Gempa Bumi, siaga gempa bumi terjadi apabila gempa bumi terasa dan membawa akibat pada
bangunan-bangunan utama di daerah bendungan/embung. Akibat terjadinya gempa bumi sangat
tergantung pada besar kecilnya gempa. Guncangan gempa bumi yang membahayakan
bendungan/embung adalah jika :
a. lebih dari 4 MMI (Modified Marcalli Intensity)
b. lebih dari 15–18 detik pada frekuensi 3 Hz dan akselerasi lebih dari 0,12 gal
c. terdapat gempa bumi dengan kekuatan : Lebih dari 4 Skala Riechter dalam radius < 50 km
Lebih dari 5 Skala Riechter dalam radius < 80 km
Lebih dari 6 Skala Riechter dalam radius < 80 km
Lebih dari 7 Skala Riechter dalam radius < 80 km
Tingkat frekuensi kerusakan yang telah diuraikan diatas dapat dilihat tabel di bawah ini.
Tabel 1: Tingkat Frekuensi Penyebab Kerusakan Bendungan di Dunia
No Faktor Penyebab Mekanisme Terjadinya Prosentase
1 Limpasan (overtopping) banjir 30%
2 Piping/aliran buluh atau longsoran pada timbunan
atau pondasi
rembesan dan erosi
pada bagian dalam 25%
3 Kebocoran pipa saluran bervariasi 13%
4 Kerusakan pada lapisan permukaan timbunan
bagian hulu bervariasi 5%
5 Ketidakstabilan lereng timbunan bervariasi 15%
6 Penyebab lain (gempa, liquefaction, sabotase dan
lain-lain) bervariasi 12%
Sumber : Dam Safety Guidelines, Washington Departemen of Ecology 2005 [2]
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-97
Tabel 2: Tingkat Frekuensi Penyebab Kerusakan Bendungan Ditinjau dari Usia Bendungan
Waktu Penyebab Keruntuhan (%) Rerata
Setelah Pengisian Overtopping Kebocoran saluran Rembesan Gelincir (%)
0 - 1 9 23 16 29 19
1 - 5 17 50 34 24 31
5 - 10 9 9 13 12 11
10 - 20 30 9 13 12 16
20 - 50 32 9 24 23 22
50 - 100 3 0 0 0 1
Sumber : Dam Safety Guidelines, Washington Departemen of Ecology 2005 [2]
Sesuai Tabel 2 untuk bendungan dengan usia lebih dari 10 tahun, overtopping menjadi penyebab
keruntuhan paling dominan. Dalam banyak kasus di struktur bendungan, overtopping selalu dihubungkan
dengan kapasitas peluapan dari pelimpah. Besarnya debit banjir sangat dipengaruhi oleh curah hujan yang efektif menjadi limpasan langsung. Perubahan lahan dari kondisi vegetasi menjadi perumahan
menyebabkan peningkatan volume limpasan langsung (run off). Dengan asumsi hidrograf banjir saat
kejadian runtuhnya tanggul situ Gintung dijadikan data terkini dalam kerangka kegiatan inspeksi
bendungan, maka penelitian ini bertujuan memperoleh elevasi tanggul maksimum rencana. Diharapkan
dengan elavasi maksimum tersebut, kejadian overtopping dapat dihindari apabila situ Gintung
difungsikan kembali. Kajian berpedoman pada Buku Panduan Perencanaan Bendungan Urugan,
Departemen Pekerjaan Umum, tahun 1999.
2. INSPEKSI BENDUNGAN
Metode ini dimaksudkan sebagai acuan dan pegangan dalam kegiatan desain, konstruksi, eksploitasi,
pemeliharaan dan penghapusan bendungan serta pengawasan kegiatan, untuk menjamin keamanan bendungan. Desain mencakup antara lain [3], mengenai desain hidrologi dan hidraulik, desain struktur,
pemantauan, perencanaan dan desain waduk, petunjuk inspeksi keamanan, rencana darurat dan tata cara,
aspek keamanan desain yang berkaitan dengan sungai perbatasan dan pengesahan desain.
Pelaksanaan konstruksi meliputi aspek pelaksanaan terhadap desain, penampang sungai dan
pengisian waduk, tindakan pencegahan dalam keadaan darurat, dan resiko lingkungan serta perbaikan
bendungan dan waduk yang ada. Eksploitasi dan pemeliharaan meliputi pengendalian debit banjir,
kemampuan dalam operasional, pemantauan dan inspeksi serta klasifikasi kerawanan tentang peristiwa
dan musibah. Penghapusan bendungan berisikan persetujuan menghentikan kegiatan, pemugaran keadaan
alamiah dan pengawasan terhadap bendungan yang dihapus. Desain hidrologi dan hidraulik mencakup
metode dan patokan desain, debit banjir desain, kondisi air hilir, penggenangan di hilir. Desain struktur
mencakup tentang metode, patokan, rancangan desain, beban dan faktor keamanan, stabilitas pondasi,
rembesan, deformasi bangunan, kemerosotan mutu dan kegempaan. Pemantauan meliputi sistem pengamatan hidrologi, pemantauan struktur dan pemantuan seismik.
Perencanaan dan desain waduk membahas tentang pengamanan banjir, kemantapan tebing waduk,
pengendapan di waduk dan keamanan lingkungan. Petunjuk inspeksi keamanan memuat tentang jadwal
inspeksi, metode dan tata cara pengawasan. Aspek pelaksanaan konstruksi terhadap desain meliputi
perubahan konstruksi terhadap desain, metode konstruksi dan peralatan, supervisi dan inspeksi
konstruksi. Eksploitasi dan pemeliharaan kekokohan struktural dan keamanan operasional meliputi
pembebanan dan deformasi bangunan, pemeriksaan visual bendungan, penyelidikan di bawah air,
rembesan dan drainase, pondasi dan tebing tumpuan.
Inspeksi bendungan merupakan salah satu syarat utama dalam usaha menentukan tingkat keamanan
dari suatu bendungan. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.72 tahun 1997
tentang Keamanan Bendungan pada Bagian Kedua mengenai Inspeksi Bendungan, Pasal 17 "penyelenggaraan inspeksi bendungan dilakukan oleh Unit Keamanan Bendungan sekurang-kurangnya
sekali dalam 5 (lima) tahun atau ditentukan lain oleh Komisi Keamanan Bendungan”. Secara garis besar,
ada tiga macam inspeksi yang perlu dilakukan, yaitu [4]:
1. inspeksi tahunan
2. inspeksi besar (setiap lima tahun)
3. inspeksi luar biasa (seteiah kejadian luar biasa berupa gempa, banjir dan lain-lain)
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-98
Dengan demikian, jelas bahwa inspeksi berkala merupakan sesuatu yang mutlak dilakukan oleh semua
pemilik bendungan untuk memenuhi ketentuan yang berlaku di Indonesia. Hal ini tentunya terkait dengan
kenyataan bahwa bendungan memiliki potensi bahaya disamping berbagai manfaat untuk energi primer,
air baku, irigasi, pengendalian banjir, penampung limbah tambang dan sebagainya.
3. PENELUSURAN BANJIR
Penelusuran banjir lewat waduk ini bertujuan mendapatkan hubungan antara pengeluaran (outflow)
dan elevasi muka air waduk yang dimulai dari elevasi ambang pelimpah. Penelusuran banjir lewat waduk
didasarkan pada persamaan kontinuitas sebagai berikut (Hidrologi Teknik, 1995:176):
I – O = dt
ds (3-1)
dengan I = aliran yang masuk ke waduk (m3/det), O = aliran yang keluar dari waduk (m3/det), dan dt
ds =
perubahan tampungan tiap periode (m3/det).
Penjabaran rumus diatas adalah sebagai berikut :
2
O
t
S
2
O
t
S
2
II 221121
(3-2)
jika,
2
O
t
S 11 (3-3)
2
O
t
S 22 (3-4)
maka,
2
21 II (3-5)
dengan I1 = inflow pada awal t, I2 = inflow pada akhir t, O1 = outflow pada awal t, O2 =
outflow pada akhir t, S1 = tampungan pada awal t, S2 = tampungan pada akhir t, dan t = periode penelusuran banjir.
Penelusuran banjir lewat waduk dihitung untuk kondisi banjir yang melimpas di atas pelimpah. Besarnya
aliran yang menjadi limpasan (over flow) melalui pelimpah didekati dengan rumus Q = C.L.H3/2, dengan
Q = debit (m3/dt), C = koefisien limpasan, L = lebar efektif bendung (m), dan H = total tinggi tekanan air
di atas mercu (m).
4. EVALUASI ELEVASI PUNCAK TANGGUL
Dalam inspeksi bendungan, analisa berdasarkan data terbaru harus dilakukan guna melakukan
evaluasi kondisi struktur saat ini. Dalam kasus penelitian ini, difokuskan kepada evaluasi elevasi puncak
tanggul, hal ini dikarenakan berkembang persepsi bahwa kejadian runtuhnya situ Gintung akibat overtopping.
Penetapan elevasi puncak tanggul berdasarkan urutan skenario perhitungan kapasitas tampungan
optimal waduk, ditambah kebutuhan tinggi untuk volume banjir dengan tinggi jagaan. Dari perhitungan
kapasitas tampungan optimum didapatkan muka air normal, sedangkan dari routing melalui pelimpah
akan didapatkan muka air banjir.
a. Tinggi Jagaan (Hj)
Berdasarkan Buku Panduan Perencanaan Bendungan Urugan, Departemen Pekerjaan Umum, tahun
1999, halaman 34, tinggi jagaan yang diperhitungkan terdiri dari :
Tinggi gelombang karena angin (wave height = Hw)
Formula Molitor untuk menghitung tinggi gelombang karena angin adalah sebagai berikut :
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-99
212
1
41
21
41
21
)(032.0 )(17.0
km 32 miles 20
27.075.0).(032.0 5.2).(17.0
km 32 miles 20
UFHUFH
FFUntuk
FFUHFFUH
FFUntuk
ww
ww
(4-1)
dengan Hw = tinggi gelombang, dalam feet atau meter, U = kecepatan angin, dalam miles/hours atau km/jam dan F = panjang fetch.
Peningkatan tinggi muka air karena angin (wind set up = Hs)
Dihitung menggunakan dengan persamaan ZuiderZee formula :
cos1400
2
D
FVHs (mile)
D
FVHs
63000
cos..2 (m) (4-2)
dengan Hs = peningkatan tinggi muka air karena angin (m), V = kecepatan angin (km/jam), F =
panjang fetch (km atau miles), D = kedalaman air rata-rata sepanjang fetch efektif (m), = sudut
antara bidang tegak lurus as bendungan dengan arah gelombang.
Tinggi rayapan gelombang (wave run up = Hr)
Dihitung dengan menganggap bahwa gesekan di lereng bendungan kecil,
g
VHr
g
2
2
(4-3)
Hr = tinggi rayapan gelombang, feet
Vg = kecepatan gelombang, feet/second
persamaan Gaillard : Vg = 5 + 2Hd
Hd = tinggi gelombang karena angin (wave height, unit: feet) = 1,3 Hw
g = gravitasi, 32,15 ft/sec2
Tinggi gelombang akibat gempa (He)
Dihitung menggunakan dengan persamaan :
Hoge
..
= he
dengan he = tinggi ombak (m), e = intensitas gempa horisontal, = siklus gempa, Ho =
kedalaman air di dalam waduk (m).
Tinggi cadangan (Hu)
Tinggi cadangan (Hu) = 1,00 m untuk muka air normal
Tinggi cadangan (Hu) = 0,50 m untuk muka air banjir
5. ANALISA DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan analisis curah hujan untuk kawasan di sekitar Situ Gintung, curah hujan yang terukur
pada stasiun hujan terdekat yaitu stasiun Ciputat, curah hujan mencapai 113,2 mm/hari. Dari radar cuaca
Pondok Betung BMKG, curah hujan tersebut terjadi selama 2 kali, yaitu pada pukul 13.00-16.00 dengan
hujan normal, dan pada pukul 17.00-18.30 dengan hujan ekstrim mencapai 70 mm/jam.
Dibandingkan dengan kejadian hujan pada waktu sebelumnya maka disekitar Situ Gintung pernah terjadi hujan dengan tebal hujan yang lebih besar dari pada saat bencana. Pada 1 Februari 2007, saat
Jakarta mengalami banjir besar, hujan di daerah sekitar Situ Gintung mencapai 275-300 mm/hari. Namun
tanggul tidak jebol meski hujan terjadi sangat besar. Dengan demikian curah hujan yang terjadi
menjelang jebolnya tanggul Situ Gintung bukan merupakan faktor utama. Namun sebagai pemicu
(trigger) karena volume air mengalami kenaikan secara cepat sehingga limpas dari spillway. BMKG
(4-4)
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-100
Ciputat juga mencatat hidrograf banjir saat terjadinya keruntuhan tanggul situ Gintung sebagaimana
gambar 1 atau tabel 3.
Gambar 1: Hidrograf Banjir Saat Kejadian
Tabel 3: Inflow Banjir
Sumber : BMKG Ciputat
Tabel 4: Luas DAS
Sumber : Neraca Air Kali Angke , 2007
No Sub DAS Luas (km2)
1 Pesanggrahan 1 1 75,15
2 Pesanggrahan 2 20,52
3 Grogol 31,01
4 Pesanggrahan 3 12,14
5 Angke 1 107,53
6 Angke 2 118,74
7 Sepak 30,54
8 Mookervart Canal 63,69
Hidrograf Banjir Saat Kejadian
t Inflow t Inflow
( jam ) ( m3/dt) ( jam ) ( m3/dt)
0.00 0.70 6.25 3.80
0.25 0.75 6.50 3.00
0.50 0.80 6.75 2.40
0.75 0.85 7.00 2.00
1.00 1.00 7.25 1.70
1.25 1.10 7.50 1.50
1.50 1.50 7.75 1.30
1.75 2.50 8.00 1.20
2.00 5.00 8.25 1.19
2.25 10.75 8.50 1.18
2.50 16.50 8.75 1.17
2.75 22.25 9.00 1.16
3.00 28.00 9.25 1.15
3.25 33.00 9.50 1.14
3.50 36.60 9.75 1.13
3.75 35.80 10.00 1.12
4.00 32.00 10.25 1.11
4.25 27.00 10.50 1.10
4.50 22.00 10.75 1.09
4.75 17.00 11.00 1.08
5.00 12.50 11.25 1.07
5.25 9.50 11.50 1.06
5.50 7.50 11.75 1.05
5.75 6.00 12.00 1.04
6.00 4.80 12.25 1.03
Gambar 2: DAS Ciliwung
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-101
Situ Gintung sendiri masuk ke dalam sistem DAS Pesanggrahan 2 dengan luas DAS 20,52 km2. Tabel 2
menunjukkan besaran banjir maksimum saat kejadian runtuhnya tanggul yaitu 36,60 m3/dt. Dengan luas
DAS 20,52 km2 (DAS Pesanggrahan 2), pemerintah Belanda melakukan desain pelimpah (spillway) situ
Gintung untuk kala ulang 100 tahun. Tabel 3 menunjukkan bahwa besarnya banjir maksimum saat
kejadian runtuhnya tanggul situ Gintung mencapai 36,60 m3/dt. Analisa banjir berbagai kala ulang untuk
DAS Pesanggrahan 2 ditunjukkan tabel 5. Jika dilihat informasi hidrograf banjir saat kejadian dengan
hasil analisa banjir rencana, maka secara teoritis pelimpah situ Gintung masih sanggup melewatkan debit banjir saat kejadian. Kata „sanggup‟ yang dimaksud sebelumnya berarti tinggi air yang melimpas di atas
pelimpah tidak mungkin melampui elevasi tanggul atau overtopping. Guna membuktikan ini lebih lanjut
dilakukan analisa penelusuran banjir lewat waduk, yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 6 dan tabel 7.
Penelusuran banjir dilakukan berdasarkan data lengkung kapasitas waduk (gambar 3a) dan hubungan
antara variabel tampungan, elevasi dan debit yang melimpas di atas pelimpah.
Tabel 5 : Banjir Berbagai Kala Ulang DAS Pesanggrahan 2
DAS Kala Ulang
2 5 10 20 25 50 100
Pesanggrahan 2 10.40 17.71 22.77 28.39 31.20 35.70 41.32
Sumber : Neraca Air Kali Angke , 2007
Tabel 6 : Hubungan Elevasi-Tampungan-Debit Hubungan Elevasi-Tampungan-Debit
Elevasi H Q S S/t Q/2 Y
( m ) ( m ) ( m3/dt) (m3) (m3/dt) ( m3/dt) ( m3/dt) ( m3/dt)
98.0 0.0 0.0 - 0.0 0.0 0.0 0.0
98.1 0.1 0.6 751,981.2 835.5 0.3 835.2 835.8
98.2 0.2 1.8 764,519.9 849.5 0.9 848.6 850.3
98.3 0.3 3.3 777,132.8 863.5 1.7 861.8 865.2
98.4 0.4 5.3 789,817.1 877.6 2.7 874.9 880.2
98.5 0.5 7.6 802,570.1 891.7 3.8 887.9 895.6
98.6 0.6 10.3 815,388.7 906.0 5.1 900.8 911.1
98.7 0.7 13.3 828,270.1 920.3 6.6 913.7 926.9
98.8 0.8 16.5 841,211.1 934.7 8.3 926.4 942.9
98.9 0.9 20.1 854,208.7 949.1 10.0 939.1 959.2
99.0 1.0 23.9 867,259.7 963.6 11.9 951.7 975.6
99.1 1.1 27.9 880,361.0 978.2 14.0 964.2 992.2
99.2 1.2 32.3 893,509.1 992.8 16.1 976.7 1008.9
99.3 1.3 36.8 906,700.9 1007.4 18.4 989.0 1025.9
99.4 1.4 41.6 919,932.9 1022.1 20.8 1001.3 1042.9
99.5 1.5 46.6 933,201.7 1036.9 23.3 1013.6 1060.2
99.6 1.6 51.8 946,503.8 1051.7 25.9 1025.8 1077.6
99.7 1.7 57.3 959,835.7 1066.5 28.6 1037.9 1095.1
99.8 1.8 62.9 973,193.9 1081.3 31.4 1049.9 1112.8
99.9 1.9 68.7 986,574.6 1096.2 34.4 1061.8 1130.6
100.0 2.0 74.7 999,974.2 1111.1 37.4 1073.7 1148.4 Sumber : Hasil Analisa
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-102
84
86
88
90
92
94
96
98
100
0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1.0
Elev
atio
n (m
)
Volume ( 106 m3)
Kurva Waduk
[Hubungan Elevasi Dengan Tampungan]
0
5
10
15
20
25
30
35
40
0 1 2 3 4 5 6 7
Hidrograf Inflow-Outflow
Gambar 3a: Lengkung Kapasitas Waduk Gambar 3b: Hidrograf Banjir Hasil Routing
Kondisi elevasi tanggul saat kejadian adalah el. +100,0 m serta elevasi crest spillway +98,0 m. Dengan
lebar efektif pelimpah ±11,20 m maka dapat dihitung hubungan antara tampungan-elevasi-debit
sebagaimana tabel 6. Hasil penelusuran banjir dengan menggunakan persamaan (3-2) hingga persamaan
(3-5) ditunjukkan tabel 7. Nilai maksimum tinggi air di atas spillway adalah elevasi +99,04 m atau tinggi
air rencana, Hd = 1,04 meter dengan debit yang melimpas keluar ±25,39 m3/dt (lihat gambar 3b). Elevasi air maksimum yang melimpas di atas spillway secara teoritis masih dibawah elevasi tanggul eksisting
(+99,04 m < +100,0).
Tabel 7: Penelusuran Banjir Lewat Waduk Situ Gintung
[jam] [m3/dt] [m3/dt] [m3/dt] [m3/dt] [m3/dt] [m] [m]
0.00 0.70 0.70 0.70 0.17 98.17
0.25 0.75 0.73 836.44 837.16 0.70 0.11 98.11
0.50 0.80 0.78 836.46 837.24 0.71 0.11 98.11
0.75 0.85 0.83 836.53 837.35 0.72 0.11 98.11
1.00 1.00 0.93 836.64 837.56 0.73 0.11 98.11
1.25 1.10 1.05 836.83 837.88 0.76 0.11 98.11
1.50 1.50 1.30 837.12 838.42 0.80 0.12 98.12
1.75 2.50 2.00 837.62 839.62 0.90 0.13 98.13
2.00 5.00 3.75 838.72 842.47 1.13 0.16 98.16
2.25 10.75 7.88 843.35 851.22 1.85 0.21 98.21
2.50 16.50 13.63 849.37 863.00 3.12 0.29 98.29
2.75 22.25 19.38 859.88 879.26 5.19 0.39 98.39
3.00 28.00 25.13 874.07 899.19 8.26 0.52 98.52
3.25 33.00 30.50 890.93 921.43 12.23 0.67 98.67
3.50 36.60 34.80 909.20 944.00 16.75 0.81 98.81
3.75 35.80 36.20 927.25 963.45 21.06 0.93 98.93
4.00 32.00 33.90 942.39 976.29 24.05 1.00 99.00
4.25 27.00 29.50 952.24 981.74 25.39 1.04 99.04
4.50 22.00 24.50 956.35 980.85 25.17 1.03 99.03
4.75 17.00 19.50 955.67 975.17 23.79 1.00 99.00
5.00 12.50 14.75 951.39 966.14 21.69 0.94 98.94
5.25 9.50 11.00 944.45 955.45 19.25 0.88 98.88
5.50 7.50 8.50 936.20 944.70 16.90 0.81 98.81
5.75 6.00 6.75 927.79 934.54 14.81 0.75 98.75
6.00 4.80 5.40 919.73 925.13 12.92 0.69 98.69
6.25 3.80 4.30 912.21 916.51 11.30 0.63 98.63
6.50 3.00 3.40 905.21 908.61 9.86 0.58 98.58
6.75 2.40 2.70 898.74 901.44 8.64 0.54 98.54
7.00 2.00 2.20 908.55 910.75 7.98 0.61 98.61
t I Q H El. MAW2
21 II 2
21 II
Sumber : Hasil Analisa
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-103
Hasil analisa menunjukan bahwa kejadian overtopping secara teoritis tidak terjadi. Fakta di lapangan
menujukkan bahwa sebagian lahan permukiman yang telah berkembang di hilir tanggul memiliki beda
ketinggian mencapai sekitar 15 meter. Dengan melihat bekas-bekas jebolnya tanggul, maka diduga
adanya erosi buluh (piping) sudah berlangsung cukup lama yang ditandai dengan adanya mata air
dibawah tanggul. Erosi buluh tersebut menyebabkan deformasi struktur spillway. Pada saat muka air situ
naik dengan cepat dan melimpas di spillway, maka terjadi gaya dorongan massa air yang lebih besar
sehingga terjadi landsliding (longsoran) pada badan tanggul. Makin lama makin menggerus bagian dasar
tanggul sehingga mencapai sekitar 20 meter [5].
Sementara itu, terhadap elevasi maksimum tanggul eksisiting masih harus dilakukan analisa kembali
dengan menggunakan standar yang berlaku saat ini. Sesuai dengan Buku Panduan Perencanaan
Bendungan Urugan, Departemen Pekerjaan Umum (1999) maka besarnya tinggi jagaan sebagaiman ditampilkan tabel 8.
Tabel 8 menunjukkan kebutuhan tinggi jagaan sebesar 2,81 m, dengan demikian tinggi tanggul yang
harus ditetapkan adalah elevasi crest spillway + tinggi air maksimum di atas pelimpah + tinggi jagaan
atau +98,00 + 1,04 + 2,81 = +101,85 m ≈ +102,00 m. Jika nilai +102,00 m merupakan kebutuhan riil,
yang dihitung berdasarkan kondisi saat ini sebagai hasil inspeksi bendungan, maka elevasi tersebut
menjadi rekomendasi yang sangat penting. Hal tersebut mengingat elevasi puncak tanggul eksisting
berada pada +100,00 m.
Tabel 8 : Analisa Tinggi Jagaan (freeboard)
Data Teknis :
Fetch = 0.67 miles
Koef. Gempa = 0.17
Periode = 1.00 detik
Kedalaman Muka Air Normal = 14.00 m
Kecepatan Angin = 100.00 miles/hours
Elevasi crest spillway = 98.00 m
Tinggi Jagaan Besaran (m) Keterangan
akibat wave height 0.68
akibat wind set up 0.03
akibat wave run up 0.77
akibat gempa 0.32
tinggi cadangan 1.00 asumsi kedalaman air normal
Total Tinggi Jagaan 2.81
He
Hu
Variabel
¾Hw
Hs
Hr
Sumber : Hasil Analisa
Terdapat beberapa hal yang harus ditetapkan dalam tahap rehabilitasi atau perencanaan ulang yang
berhubungan dengan elevasi tanggul eksisting :
a. Meninggikan elevasi tanggul menjadi +102,00 m, hal ini tentunya menaikkan tingkat resiko waduk
menjadi lebih besar [3].
b. Merencanakan penambahan lebar efektif pelimpah (lebih dari 11,20 m), jika mempertahankan elevasi
tanggul yang ada saat ini yaitu +100,00 m. Dengan melakukan analisa secara sederhana diperkirakan
kebutuhan minimum lebar efektif pelimpah adalah 20,00 m. Penambahan lebar efektif tersebut harus
disertai dengan penetapan elevasi crest spillway yang lebih rendah dari sebelumnya yaitu menjadi
+97,00 m atau turun 1,00 meter dari kondisi eksisting (+98,00 m). Memperhatikan kondisi di
lapangan maka harus direncanakan desain pelimpah dengan lebar efektif lebih besar namun tidak terlalu banyak membutuhkan tempat/lahan.
6. KESIMPULAN
Guna mempertahankan fungsi dan keamanan bendungan maka inspeksi bendungan merupakan
kebutuhan yang sangat penting. Hasil rekomendasi dari inspeksi bendungan mencakup hal-hal berikut :
a). evaluasi tinggi muka air waduk/situ, b). evaluasi curah hujan, c). evaluasi pemantauan tekanan air pori,
d). evaluasi pemantauan debit tembesan (V-notch) dan bocoran (RD & RG, Bouchon, dan Ascenceur), e).
evaluasi pergerakan internal : vertikal (settlement point), horisontal (inclinometer) serta perbedaan
penurun-an inti dan filter, f). evaluasi pergerakan eksternal : vertikal (surface momment), horisontal serta
pergerakan sambungan blok beton (joint). Hasil penelitian berdasarkan pada kondisi curah hujan
menunjukkan bahwa curah hujan yang terjadi menjelang jebolnya tanggul Situ Gintung bukan merupakan
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-104
faktor utama. Namun sebagai pemicu (trigger) karena volume air mengalami kenaikan secara cepat dan
limpas lewat spillway.
DAFTAR PUSTAKA
1. Subandrio, P (2010) Bendungan Gintung Diisi Maret 2011. Kompas Edisi 22 Desember 2010
2. Azdan, D. (2008) Kritisnya Kondisi Bendungan di Indonesia, Seminar Nasional Bendungan Besar,
Surabaya
3. SNI 03-1731-1989 (1999) Tata Cara Keamanan Bendungan.
4. Firman, A. F., (2008) Peran Inspeksi Berkala Bendungan Besar Dalam Optimalisasi Sumber Energi
Primer. Seminar Nasional Bendungan Besar, Surabaya
5. Anonim (2009), Analisis Jebolnya Situ Gintung, BPPT
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-105
INVENTARISASI PERMASALAHAN OPERASI DAN PEMELIHARAAN IRIGASI
Anton Dharma PM 1) dan Hadi Moeljanto 2)
1) PNS, UPT PSAWS Bondoyudo Mayang di Lumajang- Dinas PU Pengairan Propinsi Jawa Timur,
Jl.Sultan Agung 3 Lumajang, mailantondp@gmail.com
2) PNS, Dinas PU Pengairan Propinsi Jawa Timur, Jl.Ahmad Yani 152A Surabaya,
hadimoeljanto@ymail.com
ABSTRAK
Sejarah irigasi tidak pernah lepas dan selalu memegang peranan penting bagi masyarakat Indonesia
yang merupakan negara agraris. Bahkan di jaman kolonial Belanda, dengan politik etisnya pada era 1900-an, irigasi menjadi salah satu program baik untuk peningkatan pendapatan perkebunan Belanda
maupun untuk areal sawah bangsa pribumi. Sejarah ini sedikit dilupakan oleh bangsa Indonesia sendiri.
Sangat kontras dengan demikian pentingnya irigasi sebagai pendukung produksi padi yang merupakan
bahan makanan pokok bangsa Indonesia. Karena dari sejarah itu kita bisa berkaca, bagaimana naik
turunnya produksi padi. Bagaimana perananan pemerintah dalam pengelolaan dan bagaimana nasib
petani sebagai pelaku utamanya.
Paper ini menginventarisasi permasalahan-permasalahan yang ada dalam kegiatan pengelolaan
operasi dan pemeliharaan irigasi, baik dalam level manajerial hingga di lapangan, serta di pihak
pemerintah maupun di pihak petani pemanfaat irigasi. Inventarisasi tersebut didapatkan dengan metode
pustaka, wawancara dengan pelaku bidang irigasi dan pengamatan langsung di lapangan pada beberapa
daerah irigasi di Jawa Timur. Dari pembahasan terlihat bahwa pengelolaan irigasi memasuki fase baru dengan adanya UU7/2004
dan PP20/2006 yang pada dasarnya adalah sebuah produk hukum yang berusaha menata pengelolaan
irigasi pada kondisi yang lebih baik. Pada kenyataannya produk hukum baru ini membawa konsekuensi
pada permasalahan baru yang timbul maupun permasalahan lama yang belum juga terselesaikan.
Setidaknya terdapat 5(lima) bidang permasalahan yaitu Kewenangan Pengelolaan Irigasi, Operasi Irigasi,
Pemeliharaan Irigasi, Petani Pemakai Air dan Lahan Irigasi.
Keyword: operasi dan pemeliharaan, irigasi
1. PENDAHULUAN
Sejarah irigasi teknis di Indonesia adalah sesuatu hal yang sedikit dilupakan oleh bangsa Indonesia
sendiri. Sangat kontras dengan demikian pentingnya irigasi sebagai pendukung produksi padi yang merupakan bahan makanan pokok bangsa Indonesia. Karena dari sejarah itu kita bisa berkaca, bagaimana
naik turunnya produksi padi. Bagaimana perananan pemerintah dalam pengelolaan dan bagaimana nasib
petani sebagai pelaku utamanya.
Dipandang dari sisi pengelolaan irigasi di Indonesia, dapat dibagi dalam 3(tiga) fase perkembangan
(Effendi P, 2003) yaitu (1) fase masyarakat petani, yang diperkirakan telah berkembang semenjak 16
abad sebelum masehi, dimana masyarakat petani sendiri yang membangun dan mengelola irigasi
pertanian. Hal ini masih dapat dilihat pada irigasi subak di Bali. (2) fase koeksistensi masyarakat petani
dan pemerintah, pada fase ini ditandai dengan dibangunnya irigasi teknis pada awal abad 19 oleh
pemerintahan kolonial Belanda, sementara masyarakat petanni tetap membangun dan mengelola irigasi
milik mereka sendiri. (3) fase dominasi pemerintah, yaitu terutama dimulai pada masa orde baru yang
melakukan investasi besar-besaran pada kegiatan irigasi dengan tujuan untuk mewujudkan swasembada
pangan. Pada masa sekarang, sejak diterbitkannya UU no 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan PP no
20 tahun 2006 tentang Irigasi, fase dominasi pemerintah nampaknya tetap berlanjut namun mulai
diterapkan kebijakan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat petani dalam pengelolaan irigasi
terutama di jaringan tersier sedangkan pada jaringan utama primer dan sekunder masih dikelola oleh
pemerintah.
Lalu bagaimana keadaan pengelolaan irigasi teknis dengan adanya produk hukum yang baru tersebut,
seharusnya menjadi pertanyaan besar bagi kita. Karena secara logika maupun fakta di lapangan, tentu
saja banyak permasalahan yang memerlukan pemikiran dan ide-ide alternatif sebagai solusi.
2. DASAR TEORI
Kebijakan irigasi sangat diperlukan dengan mengingat peranan irigasi sebagai pendukung ketahanan
pangan nasional dan peningkatan kesejahteraan petani. Dalam hal ini kebijakan terdapat tiga jenis kegiatan dalam rangka pengelolaan irigasi yaitu operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi. (Direktorat
Irigasi, 2007).
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-106
Kebijakan operasi yang disarankan meliputi: (1) pedoman penyusunan organisasi tingkat lapangan di
daerah irigasi dibawah lingkungan Dinas PU Kabupaten/ Kota, (2) pengelolaan sistem informasi
ketersediaan debit (dependable flow) yang akurat tetapi juga dimengerti dan dipahami oleh petani, (3)
penerapan sistem golongan dalam rangka memanfaatkan kondisi debit awal musim hujan yang cenderung
naik dalam rangka meningkatkan efisiensi, (4) pelaksanaan pemberian air secara intermitten pada daerah
irigasi yang didukung waduk, tetapi pelaksanaan pemberian air secara intermitten tersebut cukup antar
jaringan irigasi tersier, (5) penerapan teknologi System of Rice Intensification (SRI). (Direktorat Irigasi,
2007).
Kabijakan yang disarankan dalam pemeliharaan: (1) peningkatan partisipasi masyarakat di daerah
tangkapan air, untuk menjaga kelestarian hutan, dalam rangka mengurangi erosi, yang berarti mengurangi
lumpur yang masuk ke jaringan irigasi, (2) peningkatan partisipasi masyarakat di daerah irigasi, untuk menjaga kebersihan di saluran primer dan sekunder agar terbebas dari sampah, terutama sampah plastik,
karena akan mempercepat pendangkalan saluran, yang berarti mengurangi kapasitas saluran, (3)
peningkatan partisipasi petani pemakai air dalam pelaksanaan kegiatan pemeliharaan jaringan irigasi, baik
dalam bentuk sumbangan pikiran, sampai dengan kontribusi dalam bentuk tenaga, bahan dan dana untuk
keperluan pemeliharaan jaringan irigasi (Direktorat Irigasi, 2007).
Kebijakan tentang rehabilitasi jaringan irigasi adalah segera melakukan inventarisasi, pemeriksaan
dan penilaian terutama pada bendung-bendung dan jaringan irigasi, yang mungkin perlu segera
direhabilitasi kembali mengingat waktu pelaksanaan pembangunan awal sudah cukup lama (lebih dari 25
tahun). (Direktorat Irigasi, 2007).
3. METODOLOGI
Inventarisasi permasalahan dalam pengelolaan irigasi dalam makalah ini didapatkan dengan metode pustaka berbagai tulisan ilmiah dan wacana yang berkembang di dalam internal pemerintahan baik Pusat,
Provinsi dan Kabupaten.
4. TUJUAN
Berbagai permasalahan yang ada diseputar pengelolaan irigasi sementara ini bergulir dalam wacana
para operator irigasi yaitu pemerintah. Sehingga tidak memunculkan alternatif untuk solusi penyelesaian
dikarenakan sistem pemerintahan yang hanya sedikit memberi peluang pada ide-ide dari bawah dan lebih
banyak sumber-sumber solusi muncul dari atas (pimpinan). Dengan tidak menutup mata bahwa telah
banyak tulisan ke-irigasian namun diharapkan tulisan ini (sebagai mana tulisan ilmiah di bidang
keirigasian lainnya) akan menjadi salah satu pendorong bagi munculnya alternatif-alternatif solusi
permasalahan irigasi terutama melalui pemikiran ilmiah dari akademisi dan peneliti lainnya.
5. HASIL ANALISA
5.1. Kewenangan Pengelolaan Irigasi
Dengan berlakunya UU 7/2004 tentang Sumber Daya Air dan diperkuat dengan PP 20/2006 tentang
irigasi, maka pengelolaan irigasi berubah. Semula sesuai dengan otonomi daerah maka pengelolaan
irigasi merupakan bidang yang diotonomikan, dimana seluruh kegiatan pengelolaan irigasi dilaksanakan
oleh Pemerintah Kabupaten/ Kota. Dengan produk hukum yang baru, pengelolaan irigasi terbagi yaitu:
- Pelaksanaan O&P sistem irigasi Primer dan Sekunder menjadi wewenang dan Tanggung Jawab
Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya. (pasal 64 ayat 6 huruf a)
- Pengelolaan irigasi Primer dan Sekunder (penjelasan pasal 41 ayat 2)
- DI luas< 1.000ha (DI Kecil) dan berada dalam satu kab./kota menjadi wewenang dan tanggung
jawab pemerintah kabupaten /kota.
- DI luas 1.000 ha s/d 3.000 ha (DI Sedang), atau DI Kecil lintas kab/kota menjadi wewenang dan
tanggung jawab pemerintah provinsi. - DI luas >3.000 ha, atau (DI besar) Lintas Prov menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah
Pusat.
- Pelaksanaan O&P sistem irigasi tersier menjadi hak dan tanggung jawab masyarakat petani pemakai
air. (pasal 64 ayat 6 huruf b)
Permasalahan-permasalahan yang muncul adalah perubahan ini merupakan perubahan yang cukup drastis.
Sehingga muncul permasalahan di lapangan terutama untuk Daerah Irigasi Pusat dan Provinsi dimana
irigasi tersebut semula dikelola oleh Kabupaten/ Kota. Wacana yang muncul adalah:
1. Tepatkah pembagian kewenangan daerah irigasi berdasarkan luas areal? dalam hal ini beberapa
Pemerintah Kabupaten/ Kota telah melakukan pengelolaan irigasi dengan baik, walaupun tidak
sedikit juga yang bisa dikatakan tidak berhasil.
2. Pendanaan untuk areal irigasi >3000 oleh Pemerintah Pusat dapat dikatakan layak dengan pendanaan sekitar Rp.150.000/ ha, namun pelaksanaannya di tugas pembantuankan kepada provinsi
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-107
sementara petugas lapangannya tetap dari Kabupaten/ Kota. Dapat dikatakan Pemerintah Pusat
sebagai pemilik kewenangan daerah irigasi memiliki dana tetapi tidak memilik SDM di lapangan.
3. Struktur pelaksana lapangan irigasi adalah pegawai dari Kabupaten/ Kota, menjadi permasalahan
tersendiri bahwa mereka tidak pernah mendapatkan diklat mengenai irigasi sebagai bekal mereka
bekerja, dan bahkan beberapa kasus tercatat background yang tidak sesuai seperti sarjana bidang
nonteknis dan bahkan pekerja dari bidang kesehatan dipekerjakan di lapangan irigasi.
5.2. Operasi Irigasi
Operasi irigasi, sistem yang digunakan pada areal irigasi teknis saat ini adalah sistem yang diadopsi
dari kolonial Belanda yang membangun sebagian besar areal irigasi teknis. Bahkan areal irigasi yang
baru dibangun pun tetap mengadopsi sistem operasi dari kolonial Belanda. Beberapa hal yang
dipertanyakan menjadi masalah adalah: 1. Sistem Centralistik pada operasi irigasi. Pada operasi irigasi teknik merupakan sebuah sistem yang
centralistik dimana pengelolaan terpusat, terkendali dan terkomando di kantor pusat. Sebuah sistem
yang sangat ditentang oleh penggelut bidang pertanian yang menganggap sistem ini adalah sistem
kolonial dan seharusnya sistem irigasi terpusat pada petani di lapangan dalam hal ini mereka
merefrensi pada sistem irigasi “Subak” di Bali yang mengendalikan operasi irigasi secara mandiri
oleh petani.
2. Operasi irigasi sangat tergantung pada pemerintah. Dalam hal ini baik pendanaan maupun SDM
pengoperasian irigasi.
3. Operasi irigasi terlalu teknis dan tidak mudah ditularkan untuk dilaksanakan oleh petani pengguna
air irigasi.
4. Sistem operasi dalam skala besar ternyata sudah mulai ditinggalkan karena kurangnya pembinaan pada masa otonomi daerah. Akibat dari UU baru, maka penerapan sistem ini mulai dilaksanakan
kembali.
5. Pencurian air merupakan permasalahan tersendiri. Berbeda dengan jaman Orde baru, dimana petani
akan takut terhadap petugas irigasi, maka pada era ini petugas tidak memiliki wibawa untuk
menindak tegas para pelaku pencurian air.
5.3. Pemeliharaan Irigasi
Dengan adanya UU baru, secara drastis mengakibatkan adanya perhatian khusus kepada pendanaan
bagi pemeliharaan jaringan irigasi. Beberapa sumber dana yaitu dari APBN untuk daerah irigasi
kewenangan pemerintah Pusat, dari DAK (Dana Alokasi Khusus) bagi daerah irigasi kewenangan
Provinsi dan Kabupaten/ Kota, disamping pendanaan APBD Provinsi dan Kabupaten/ Kota. Beberapa
permasalah yang ada yaitu: 1. Pendanaan bidang irigasi di beberapa Kabupaten/ Kota kurang mendapatkan perhatian. Hal ini
terjadi karena beberapa alasan, contohnya adalah (a) kurang berhasilnya pihak eksekutif untuk
meyakinkan pihak legislatif untuk meloloskan anggaran untuk irigasi, (b) kurang pahamnya pihak
eksekutif sendiri terhadap pentingnya irigasi sehingga tidak mengusulkan anggaran irigasi
2. Paradigma terhadap investasi irigasi menjadi wacana juga. Terdapat pertanyaan bagaimana nilai
ekonomis investasi irigasi. Sebagai contoh apabila APBD diinvestasikan pada pembangunan jalan,
maka nilai ekonomisnya dapat dengan jelas dan langsung diperhitungkan. Sementara untuk irigasi,
secara ekonomis kegiatan pemeliharaan tidak berdampak langsung sehingga perlu ada pemikiran
secara intens untuk menjelaskan dengan gamblang terhadap bagaimana pentingnya irigasi pada segi
ekonomi.
3. Permasalahan aset pintu irigasi menjadi permasalahan nasional. Diperkirakan 80-90% pintu hilang
sehingga mengganggu kegiatan operasi irigasi. Terdapat beberapa wacana untuk solusi yaitu (1) mengganti bahan morhes pada pintu yang terbuat dari kuningan dengan bahan lain agar tidak
menarik untuk dicuri, (2) membangun pintu dengan konstruksi lain, seperti rangka dari beton, telah
dicoba di daerah irigasi di Bondowoso, (3) menyerahkan pengamanan pintu kepada perangkat desa,
telah dicoba di Sidoarjo, (4) melakukan buka tutup pintu dengan bantuan katrol yang mobile, dicoba
di Jember.
5.4. Petani Pemakai Air
Partisipasi masyarakat pengguna air irigasi merupakan salah satu item kebijakan operasi irigasi.
Namun dalam pelaksanaannya terdapat berbagai kendala yaitu:
1. Organisasi HIPPA (Himpunan Petani Pengguna Air) sebagian besar belum mandiri secara organisasi
dan masih merupakan pekerjaan panjang untuk menciptakan HIPPA yang mandiri.
2. Paradigma HIPPA yang ingin menjadi pelaksana pekerjaan fisik bukannya berfokus kepada pelaksanaan kegiatan operasi irigasi.
Seminar Nasional VII 2011 Teknik Sipil ITS Surabaya
Penanganan Kegagalan Pembangunan dan Pemeliharaan Infrastruktur
ISBN 978-979-99327-6-1 E-108
3. Terdapat kesimpangsiuran karena adanya dua organisasi di petani yaitu HIPPA dan kelompok tani,
terdapat wacana bahwa organisasi itu nantinya hanya ada satu yaitu Kelompok Tani yang dibina
oleh Departemen Pertanian.
5.5. Lahan Irigasi
Alih guna lahan pertanian sawah irigasi menjadi permasalahan yang cukup pelik. Di satu sisi, ada
permasalahan ketahanan pangan yang memerlukan perluasan areal irigasi atau areal pertanian, namun di
sisi lain perkembangan perkotaan menuntut pembangunan sarana dan prasarana baru yang pada akhirnya
memakan areal irigasi teknis.
6. KESIMPULAN
Dari pembahasan terlihat bahwa pengelolaan irigasi memasuki fase baru dengan adanya UU7/2004 dan PP20/2006 yang pada dasarnya adalah sebuah produk hukum yang berusaha menata pengelolaan
irigasi pada kondisi yang lebih baik. Pada kenyataannya produk hukum baru ini membawa konsekuensi
pada permasalahan baru yang timbul maupun permasalahan lama yang belum juga terselesaikan.
Setidaknya terdapat 5(lima) bidang permasalahan yaitu Kewenangan Pengelolaan Irigasi, Operasi Irigasi,
Pemeliharaan Irigasi, Petani Pemakai Air dan Lahan Irigasi.
7. DAFTAR PUSTAKA
1. Sigit Supadmo A, dkk, 2009, Pengembangan Konsep Sistem Operasi Dan Pemeliharaan (O&P)
Daerah Irigasi Multiguna Dengan Membangun Komitmen Untuk Berbuat Konsensus Antar Pelaku :
Sebuah Kasus Di Jawa Timur, UGM, Yogyakarta.
2. Effendi Pasandaran, 2003, Politik Ekonomi reformasi Irigasi di Indonesia, Balitbang Pertanian, Jakarta.
3. Anonim, 2007, Pokok-Pokok Kebijakan Irigasi, Direktorat Irigasi, Jakarta.