Post on 18-Mar-2019
ANALISIS PENCAPAIAN PROGRAM SWASEMBADA BERAS
PADA TAHUN 2017 DI INDONESIA
RAHAYU
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Pencapaian
Program Swasembada Beras pada Tahun 2017 di Indonesia adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016
Rahayu
NIM H44120031
ABSTRAK
RAHAYU. Analisis Pencapaian Program Swasembada Beras Pada Tahun 2017 di
Indonesia. Dibimbing oleh ADI HADIANTO dan FITRIA DEWI RASWATIE.
Tanaman pangan khususnya beras menjadi fokus utama dalam target
swasembada pangan pada tahun 2017. Meningkatnya konsumsi beras domestik
menyebabkan permintaan terhadap impor tetap dilakukan untuk mencapai kondisi
ketahanan pangan, Indonesia harus dapat mengurangi ketergantungan terhadap
impor melaui swasembada beras. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis
perkembangan produksi dan konsumsi beras di Indonesia. Menganalisis faktor-
faktor apa saja yang mempengaruhi produksi padi dan konsumsi beras di
Indonesia, kemudian memproyeksikan produksi dan konsumsi beras domestik
tahun 2017 untuk melihat target pencapaian swasembada beras di Indonesia, serta
menyusun strategi kebijakan dan implikasinya dalam upaya pencapaian
swasembada tersebut. Hasil analisis menyatakan bahwa produksi dan konsumsi
beras domestik pada tahun 1985-2014 meningkat sebesar 2,13% dan 1,4% per
tahun, dimana faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi adalah luas areal
panen dan harga riil pupuk urea, sedangkan faktor yang mempengaruhi konsumsi
beras domestik yaitu populasi, dan PDB riil Indonesia. Hasil proyeksi produksi
dan konsumsi beras pada tahun 2015-2017 mengalami peningkatan sebesar 1,72%
dan 0,55% pertahun. Proyeksi produksi beras domestik tahun 2017 sebesar
46.790,7 ribu ton sedangkan konsumsinya sebesar 39.006,1 ribu ton, maka
swasembada yang dicanangkan oleh pemerintah melalui RPJMN tahun 2015-2019
dapat tercapai pada tahun 2017. Oleh karena itu, rekomendasi kebijakan untuk
meningkatkan produksi padi sebaiknya melanjutkan kebijakan yang sudah
diterapkan oleh pemerintah.
Kata kunci: beras, konsumsi, produksi, swasembada
ABSTRACT
RAHAYU. Achievement Analysis of Rice Self Sufficiency Program in 2017 in
Indonesia. Supervised by ADI HADIANTO and FITRIA DEWI RASWATIE.
Food crops especially rice became the main focus on food self-sufficiency
target in 2017. Domestic rice consumption increasing means that demand for
imports still occur, in order to achieve food security conditions, Indonesia should
be able to reduce its dependency on imports through rice self-sufficiency. The
purpose of research are to analyze the development of rice production and
consumption in Indonesia. Analyze the factors that influence rice production and
consumption in Indonesia, and then projecting domestic rice production and
consumption in 2017 to see a target of achieving self-sufficiency in rice in
Indonesia, and to compile strategies and policy implications in efforts to achieve
self-sufficiency. The results of this research are domestic rice production and
consumption in 1985-2014 increased by 2.13% and 1.4% per annum, which
factors influence the production of rice is harvest area and the real price of urea
fertilizer, while the factors which affect domestic rice consumption is population
and real GDP in Indonesia. The projection result of production and consumption
of rice in 2015-2017 increased by 1,71% and 0,55% per year. Projected domestic
rice production in 2017 amounted to 46.790,7 thousand tons, while consumption
amounted to 39.006,1 thousand tons, so the self-sufficiency proclaimed by the
government through RPJMN for 2015-2019 can be achieved in 2017. Therefore,
policy recommendations that has been implemented to increase rice production
should be continue by the government.
Key words: consumption, production, rice, self-sufficiency
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ekonomi Sumberdaya dan lingkungan
ANALISIS PENCAPAIAN PROGRAM SWASEMBADA BERAS
PADA TAHUN 2017 DI INDONESIA
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
RAHAYU
PRAKATA
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penulis
menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bimbingan dan
dukungan banyak pihak. Penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua (Iman dan Lilis Diana), Kakak (Lukman Hakim dan Agung
Surya Permana), Adik (Muhammad Billal) atas segala dukungan, doa, dan
kasih sayang yang diberikan.
2. Adi Hadianto, SP, MSi selaku doesn pembimbing I dan Fitria Dewi Raswatie,
SP, MSi selaku dosen pembimbing II atas bimbingan, bantuan, dan waktu
yang telah diberikan.
3. Rizal Bahtiar, SP, MSi sebagai dosen penguji I dan Ibu Arini Hardjanto, SE,
MSi sebagai dosen penguji II atas masukan dan sarannya.
4. Prof. Dr. Ir. Bonar M Sinaga, MA selaku wali akademik selama penulis
menjalani perkuliahan.
5. Staf Pegawai di Pusat Data dan Informasi Kementerian Pertanian, dan Badan
Pusat Statistik yang telah membantu dan mendukung selama pengumpulan
data.
6. Direktorat Kemahasiswaan yang telah memberikan beasiswa pendidikan
selama menjalani perkuliahan di IPB.
7. Sahabat (Hidayati, Ratih, Menthia, Tania, Wiwit, Gope, 28’SHS, Boomers,
Asbunawa, dan Klaces).
8. Prihatin Abimanyu atas motivasi yang diberikan
9. Keluarga besar ESL 49 IPB
10. REESA IPB Kabinet Biru Muda
11. Rekan satu bimbingan skripsi (Linda, Desi, Tiwi, Astrid, Bunga, dan Dita).
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna, sehingga
kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan, semoga skripsi ini
bermanfaat.
Bogor, Agustus 2016
Rahayu
NIM H44120031
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiv
I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................ 1
1.2 Perumusan Masalah ................................................................................ 5
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................... 7
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................................. 7
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ...................................................................... 8
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 9
2.1 Beras ....................................................................................................... 9
2.2 Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia .................. 10
2.3 Kebijakan Swasembada Beras di Indonesia ........................................... 12
2.4 Metode Penelitian ................................................................................... 14
2.5 Penelitian Terdahulu ............................................................................... 15
III. KERANGKA PEMIKIRAN ...................................................................... 25
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis .................................................................. 25
3.1.1 Produksi dan Konsumsi Beras ...................................................... 25
3.1.2 Teori Penawaran dan Permintaan ................................................. 28
3.1.3 Metode Analisis Statistik Deskriptif Kuantitatif .......................... 29
3.1.4 Model Regresi Linear Berganda ................................................... 30
3.1.5 Metode Peramalan Box Jenkins atau ARIMA (Autoregressiv
Integrated Moving Average) ......................................................... 30
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional .......................................................... 32
IV. METODE PENELITIAN........................................................................... 35
4.1 Jenis dan Sumber data ............................................................................ 35
4.2 Metode Analisis dan Pengolahan Data ................................................... 35
4.2.1 Metode Analisis Deskriptif Kuantitatif ........................................ 36
4.2.2 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi dan
Konsumsi Beras Domestik ........................................................... 37
4.2.3 Model Persamaan Regresi Linear Berganda ................................ 38
4.2.4 Metode ARIMA (Autoregressive Integrated Moving Average) ... 43
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................... 49
5.1 Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia .................. 49
5.1.1 Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia
Periode 1985-1994 ....................................................................... 51
5.1.2 Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia
Periode 1995-2004 ....................................................................... 52
5.1.3 Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia
Periode 2005-2014 ....................................................................... 54
5.2 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Padi dan
Konsumsi Beras Domestik ..................................................................... 56
5.2.1 Model Produksi Padi Domestik.................................................... 56
5.2.2 Model Konsumsi Beras Domestik................................................ 60
5.3 Hasil Proyeksi Produksi dan Konsumsi Beras Domestik ....................... 64
5.3.1 Analisis Hasil Proyeksi Produksi dan Konsumsi Beras
Domestik ...................................................................................... 65
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 67
6.1 Kesimpulan ............................................................................................. 67
6.2 Saran........................................................................................................ 68
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 71
LAMPIRAN ........................................................................................................ 77
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................. 95
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia atas dasar harga konstan 2000
menurut lapangan usaha tahun 2013-2014 (Triliun Rupiah) ........................ 1
2. Rata-rata konsumsi beras lima negara terbesar di dunia, Tahun
2013/2014-2014/2015 .................................................................................... 2
3. Luas areal panen di Jawa dan luar Jawa (Ha) serta produktivitas padi
(Kw/Ha) pada tahun 2010-2014 .................................................................... 6
4. Matriks penelitian terdahulu ......................................................................... 17
5. Matriks analisis data...................................................................................... 35
6. Aturan keputusan uji d Durbin-Watson ........................................................ 41
7. Luas panen, produktivitas dan produksi padi di Indonesia periode
1985-1994 ..................................................................................................... 52
8. Luas panen, produktivitas dan produksi padi di Indonesia periode
1995-2004 ..................................................................................................... 53
9. Luas panen, produktivitas dan produksi padi di Indonesia periode
2005-2014 ..................................................................................................... 55
10. Hasil analisis model regresi produksi padi domestik dengan
Minitab 16 ..................................................................................................... 57
11. Hasil analisis model regresi konsumsi beras domestik dengan
Minitab 16 .................................................................................................... 61
12. Kesenjangan hasil proyeksi antara produksi dan konsumsi beras
domestik tahun 2015-2017 ........................................................................... 65
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Pertumbuhan penduduk Indonesia tahun 2005-2014 .................................... 3
2. Konsumsi beras domestik tahun 2005-2014 .................................................. 3
3. Jumlah volume impor beras di Indonesia pada tahun 2005-2014 ................. 4
4. Fungsi Produksi Fisik Total (TPP), Produk Fisik Marginal (MPP) dan
Produk Fisik Rata-rata (APP) ....................................................................... 26
5. Diagram metodologi Box-Jenkins ................................................................ 32
6. Kerangka pemikiran operasional .................................................................. 34
7. Produksi dan konsumsi beras di Indonesia periode 1985-1994 ................... 52
8. Produksi dan konsumsi beras di Indonesia periode 1995-2004 ................... 53
9. Produksi dan konsumsi beras di Indonesia periode 2005-2014 ................... 55
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Data yang digunakan dalam model ekonometrika ....................................... 77
2. Hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi
domestik dengan Minitab 16 ......................................................................... 81
3. Hasil analisis regresi produksi padi domestik .............................................. 83
4. Hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi beras
domestik dengan Minitab 16 ......................................................................... 84
5. Hasil regresi konsumsi beras domestik ....................................................... 86
6. Hasil uji time series plot untuk melihat tren dalam menentukan
kestasioneran data produksi beras dengan Minitab 16 .................................. 87
7. Hasil uji time series untuk melihat kestasioneran data produksi beras
dengan first difference dengan Minitab 16.................................................... 87
8. Hasil uji time series untukmelihat kestasioneran data produksi beras
dengan second difference dengan Minitab 16 ............................................... 87
9. Hasil analisis plot ACF dan PACF data produksi beras domestik
dengan Minitab 16......................................................................................... 87
10. Hasil analisis plot ACF dan PACF data produksi beras domestik pada
first difference dengan Minitab 16 ................................................................ 88
11. Hasil analisis plot ACF dan PACF data produksi beras domestik pada
second difference dengan Minitab 16 ........................................................... 88
12. Hasil analisis estimasi model ARIMA untuk data produksi beras
domestik dari tahun 1985-2014 dengan Minitab 16 (Ribu Ton)................... 89
13. Hasil times series plot untuk melihat trend dalam menentukan
kestasioneran data konsumsi beras dengan Minitab 16 ................................ 91
14. Hasil uji times series untuk melihat trend kestasioneran data
konsumsi beras dengan first difference dengan Minitab 16 .......................... 91
15. Hasil analisis plot ACF dan PACF data konsumsi beras domestik
dengan Minitab 16 ......................................................................................... 91
16. Hasil analisis plot ACF dan PACF data konsumsi beras domestik
pada first difference dengan Minitab 16 ........................................................ 91
17. Hasil estimasi model ARIMA untuk data konsumsi beras domestik
dari tahun 1985-2014 dengan Minitab 16 (Ribu Ton) ................................... 92
18. Hasil analisis plot ACF dan PACF data produksi beras domestik
pada seccond difference dengan Minitab 16.................................................. 94
19. Hasil analisis plot ACF dan PACF data konsumsi beras domestik
pada first difference dengan Minitab 16 ........................................................ 94
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara agraris dimana sektor pertanian memegang
peranan penting bagi perekonomian secara menyeluruh. Sektor pertanian
merupakan penyerap tenaga kerja terbesar yaitu 30,2% dari jumlah tenaga kerja
Indonesia seluruhnya (Kementerian Pertanian, 2015). Pembangunan sektor
pertanian memiliki beberapa tujuan, yaitu: (1) Meningkatkan hasil dan mutu
produksi; (2) Meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani, peternak dan
nelayan; (3) Memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha; (4)
Menunjang pembangunan industri; dan (5) Meningkatkan eskpor, sehingga perlu
adanya usaha diversifikasi, intensifikasi dan ekstensifikasi (Wardojo, 1988).
Tujuan tersebut dapat dilakukan secara merata disesuaikan dengan kondisi tanah,
air, dan iklim, dengan tetap memelihara kelestarian kemampuan sumber alam dan
lingkungan hidup serta memperhatikan pola kehidupan masyarakat setempat.
Berikut ini tabel 1 produk domestik bruto menurut lapangan usaha tahun 2012-
2014.
Tabel 1 Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia atas dasar harga konstan 2000
menurut lapangan usaha tahun 2013-2014 (Triliun Rupiah)
No Lapangan Usaha Tahun
2012 2013* 2014**
1. Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan
Perikanan 328,3 339,6 350,7
2. Pertambangan dan Penggalian 193,1 195,9 195,4
3. Industri Pengolahan 670,2 707,5 741,8
4. Listrik, Gas, dan Air Bersih 20,1 21,3 22,4
5. Bangunan 170,9 182,1 194,1
6. Perdagangan, Hotel, dan Restoran 473,2 501,0 524,0
7. Pengangkutan dan Komunikasi 265,4 291,4 318,5
8. Keuangan, Persewaan dan Jasa
Perusahaan 253,0 272,1 288,4
9. Jasa-jasa 244,8 258,2 273,5
Total 2.619,0 2.769,1 2.909,2 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2016a
Keterangan: * Angka sementara
** Angka sangat sementara
Berdasarkan data pada tabel 1, sektor pertanian memiliki kontribusi yang
besar terhadap pembangunan nasional. Menurut data BPS (2016), sektor pertanian
menyumbang sebesar 339,6 triliun rupiah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)
Indonesia pada tahun 2013 dan meningkat menjadi 350,7 triliun rupiah pada tahun
2014. Kontribusi ini menempatkan sektor pertanian pada posisi kedua setelah
industri pengolahan yang menyumbang sebesar 707,5 triliun rupiah pada tahun
2013 dan meningkat sebesar 741,8 triliun rupiah pada tahun 2014. Keberhasilan
dalam sektor pertanian tidak akan berkembang tanpa adanya dukungan dari sektor
non-pertaniann sehingga perlu adanya dukungan dari sektor lain untuk
memajukan sektor pertanian.
Sektor pertanian terbagi menjadi tiga sub sektor yaitu tanaman pangan,
hortikultura, dan perkebunan. Sub sektor tanaman pangan memiliki peranan yang
penting selain memiliki kontribusi yang paling besar diantara sub sektor lainnya,
sub sektor ini juga berperan dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan
nasional seperti kontribusi dari tanaman padi, jagung dan kedelai dalam rangka
memenuhi kebutuhan makanan pokok masyarakat Indonesia. Indonesia
merupakan negara dengan konsumsi beras terbesar ketiga setelah China dan India,
hal didukung dengan lebih dari 90% masyarakat Indonesia mengonsumsi beras
setiap harinya sehingga ketidakstabilan dalam masalah penanganan pangan
khususnya beras akan berdampak pada berbagai aspek kehidupan seperti kondisi
sosial, stabilitas ekonomi, lapangan pekerjaan, dll (Kementerian Pertanian, 2015).
Rata-rata konsumsi beras lima negara terbesar di dunia dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2 Rata-rata konsumsi beras lima negara terbesar di dunia, tahun 2013/2014-
2014/2015 (Ribu Ton)
No Negara Tahun
2013/2014 2014/2015
1. China 146.300 148.400
2. India 99.180 99.351
3. Indonesia 38.500 38.600
4. Bangladesh 34.900 35.300
5. Vietnam 22.000 21.900
Lainnya 86.898 87.233
Dunia 478.138 482.447 Sumber: Kementerian Pertanian, 2015a
Besarnya konsumsi beras di Indonesia disebabkan juga oleh tingginya
jumlah penduduk Indonesia (gambar 1), dimana peningkatan penduduk di
Indonesia menyebabkan konsumsi beras di Indonesia terus meningkat (gambar 2).
Tingginya konsumsi beras di Indonesia menyebabkan impor beras tidak bisa
dihentikan sehingga sampai saat ini Indonesia masih mengimpor beras dari negara
luar. Dampak negatif dari hal ini adalah beras merupakan barang thin market
sehingga ketika ketersediaan beras dunia menipis maka akan mengganggu
ketahanan pangan Indonesia. Pertumbuhan penduduk dan perkembangan
konsumsi beras domestik dapat dilihat pada gambar 1 dan 2.
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2012b
Gambar 1 Pertumbuhan penduduk Indonesia tahun 2005-2014
Sumber: Kementerian Pertanian, 2015b
Gambar 2 Konsumsi beras domestik tahun 2005-2014
Terlihat jelas pada gambar 3 bahwa Indonesia masih menggantungkan
pangannya dari negara luar, untuk mencapai kondisi ketahanan pangan, Indonesia
harus dapat mengurangi ketergantungannya terhadap impor melalui pencapaian
swasembada pangan khususnya beras yang merupakan bahan pokok yang sangat
penting bagi masyarakat Indonesia. Ketahanan pangan di Indonesia ditegaskan
dalam Undang-Undang nomor 18 tahun 2012 tentang pangan yaitu “kondisi
terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin
dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman,
210000
215000
220000
225000
230000
235000
240000
245000
250000
255000
260000
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Jumlah Penduduk (Ribu Jiwa)
33000
34000
35000
36000
37000
38000
39000
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Konsumsi Beras (Ribu Ton)
beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama,
keyakinan, budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat aktif dan produktif secara
berkelanjutan” (DJPP, 2012)
Sumber: Kementerian Pertanian, 2015c
Gambar 3 Jumlah volume impor beras di Indonesia pada tahun 2005-2014
Beras merupakan bahan pangan utama sebagian besar masyarakat
Indonesia. Menurut Kasryono dan Pasandaran (2004) terdapat tiga pesan untuk
menghadapi masalah dan tantangan ekonomi padi dan perberasan di masa yang
akan datang, yaitu: (1) Pendekatan bersprektum luas serta terpadu dalam
pendekatan wilayah, pengetahuan, teknologi, dan komunitas, meliputi prespektif
kebijakan, pola pendekatan produksi dan usaha tani, pengelolaan sumberdaya,
inovasi teknologi, serta berbagai faktor yang mempengaruhi konsumsi dan
perdagangan beras; (2) Pendekatan yang memperhatikan kelestrarian lingkungan
dan keseimbangan ekosistem; dan (3) Pendekatan yang berbasis ilmu pengetahuan
dan teknologi (Iptek). Beras merupakan komoditi yang strategis dan politis, selain
bernilai strategis dari sisi ekonomi, beras juga penting sebagai instrumen untuk
menjaga kestabilan keamanan pangan rakyat Indonesia. Beras juga sangat
berpengaruh bagi golongan menengah kebawah (Amang dan Sawit, 1999).
Sejarah telah membuktikan bahwa ketidakstabilan persediaan pangan khususnya
beras telah memicu terjadinya kerusuhan dan tindak kriminal pada periode awal
reformasi, sehingga peran dan campur tangan pemerintah dalam hal ini menjadi
perlu dalam hal mencukupi kebutuhan beras dalam negeri dan menjaga
ketersediaan beras sepanjang tahun dengan distribusi yang merata dan harga beras
yang stabil.
0
500000
1000000
1500000
2000000
2500000
3000000
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Impor Beras (Ton)
Swasembada beras merupakan salah satu program yang tertuang dalam
rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) tahun 2015-2019,
dimana selama lima tahun kedepan Kementerian Pertanian tetap menempatkan
padi, jagung, dan kedelai sebagai komoditas utama. Sehubungan dengan itu, target
Kementerian Pertanian selama lima tahun tersebut adalah pencapaian swasembada
dan swasembada berkelanjutan. Target pemerintah untuk swasembada
berkelanjutan untuk beras akan mampu dicapai pada tahun 2017 sebesar
79.370.274 Ton untuk produksi padi. Tahun 1984 Indonesia mampu mencapai
swasembada beras. Menurut Hafsah dan Sudaryanto (2004), keberhasilan
swasembada beras pada tahun 1984 disebabkan oleh dukungan politik pemerintah
yang memprioritaskan pembangunan pertanian disertai kebijakan ekonomi makro
yang mendukung, terobosan teknologi baru (Revolusi Hijau) budidaya padi sawah
dan kebijakan intensifikasi pertanian (Bimas) yang mengatur penerapan paket
teknologi secara sentralistik. Kurangnya dukungan politik pada pembangunan
pertanian menyebabkan swasembada beras ini gagal dipertahankan. Oleh karena
itu, penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan agar dapat meramalkan
pencapaian target swasembada berkelanjutan untuk beras pada tahun 2017 yang
akhirya dapat memberikan gambaran mengenai faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi peningkatan produksi padi domestik sehingga dapat memberikan
alternatif strategi kebijakan guna mendukung tercapainya swasembada beras pada
tahun 2017.
1.2 Rumusan Masalah
Padi merupakan tanaman pangan utama bagi Indonesia selain jagung dan
kedelai. Ketersediaan padi dalam hal ini menjadi perlu guna memenuhi kebutuhan
konsumsi pangan bagi masyarakat, rumah tangga dan perseorangan secara
berkelanjutan. Indonesia merupakan negara konsumsi beras ketiga terbesar di
dunia, sehingga ketersediaan beras merupakan aspek penting dalam mewujudkan
ketahanan pangan. Menurut Lantarsih, et al (2011) sebagian provinsi di Indonesia
tidak mampu mencukupi kebutuhan konsumsi beras wilayahnya sendiri. Terdapat
11 provinsi yang mengalami defisit beras dan sebanyak 22 provinsi mengalami
surplus beras dengan memperhitungkan besarnya cadangan pangan ideal dan sisa
stok bulog tahun 2008. Oleh karena itu, untuk memenuhi defisit beras sebesar
2,09 juta ton diperlukan biaya distribusi sebesar Rp 1,016 milyar sehingga
distribusi dari daerah surplus ke daerah defisit perlu didukung dengan sarana dan
prasarana distribusi yang memadai untuk mendukung kelancaran distribusi beras.
Luas arel panen di Jawa dan luar Jawa serta produktivitas padi dapat dilihat pada
tabel 3.
Tabel 3 Luas areal panen di Jawa dan luar Jawa (Ha) serta produktivitas padi
(ku/ha) pada tahun 2010-2014
No Tahun Luas Panen ( 000 Ha) Produktivitas padi
(Ku/Ha) Jawa Luar Jawa
1. 2010 6.358,5 6.894,9 50,15
2. 2011 6.165,1 7.038,6 49,80
3. 2012 6.467,5 7.260,0 51,36
4. 2013 6.467,1 7.368,2 51,52
5. 2014 6.400,0 7.397,3 51,35 Sunber: Kementerian Pertanian, 2015d
Berdasarkan tabel 3, Produksi padi di Indonesia antara tahun 2010-2014
meningkat rata-rata sebesar 1,63%/tahun. Peningkatan produksi padi dipicu oleh
peningkatan luas areal panen seluas 540 ribu ha dan produktivitas sebesar 1,20
ku/ha. Pertumbuhan padi di Jawa sekitar 0,20 %/tahun sedangkan diluar Jawa
sekitar 1,76 %/tahun (Kementerian Pertanian, 2015). Berdasarkan gambar 1,
peningkatan pertumbuhan penduduk menyebabkan konsumsi beras domestik terus
mengalami peningkatan. Hal ini berdampak pada impor beras masih dilakukan
(gambar 3). Oleh karena itu untuk mengatasi masalah tersebut pemerintah
melakukan upaya melalui program swasembada pangan untuk dapat memenuhi
kebutuhan beras domestik.
Swasembada pangan di Indonesia khususnya padi telah tertuang dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) mengenai
swasembada berkelanjutan. Swasembada beras ini dicanangkan harus tercapai
pada tahun 2017 sebesar 79.370.274 ton untuk produksi padi. Hal yang telah
disiapkan pemerintah dalam mewujudkan swasembada padi tersebut tertuang
dalam Strategi Utama Penguatan Pembangunan Pertanian untuk Kedaulatan
Pangan (P3KP), yaitu: (1) Peningkatan ketersediaan dan pemanfaatan lahan; (2)
Peningkatan infrastruktur dan sarana pertanian; (3) Pengembangan dan perluasan
logistik benih/bibit; (4) Penguatan kelembagaan petani; (5) Pengembangan dan
penguatan pembiayaan pertanian; (6) Pengembangan dan penguatan bioindustri
dan bioenergi; dan (7) Penguatan jaringan pasar produk pertanian. Berdasarkan
hal tersebut yang masih menjadi pertanyaan adalah apakah swasembada beras
seperti yang diinginkan akan tercapai sedangkan masih banyak faktor-faktor yang
kurang mendukung dalam pencapaian swasembada beras. Sehingga penelitian ini
menjadi perlu untuk dikaji guna mendukung program swasembada beras tersebut.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka perumusan masalah yang akan
dikaji dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana perkembangan produksi dan konsumsi beras domestik?
2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi dan konsumsi
beras domestik?
3. Berapakah besarnya produksi dan konsumsi beras domestik tahun 2017
untuk melihat target pencapaian swasembada beras di Indonesia, serta
bagaimana strategi kebijakan dan implikasi dalam upaya pencapaian
swasembada tersebut?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang diuraikan di atas, penelitian ini secara
umum bertujuan untuk menganalisis target pencapaian program swasembada
beras di Indonesia tahun 2017. Secara spesifik tujuan dilaksanakaanya penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis perkembangan produksi dan konsumsi beras domestik.
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi dan
konsumsi beras domestik.
3. Memproyeksikan produksi dan konsumsi beras domestik tahun 2017 untuk
melihat target pencapaian swasembada beras di Indonesia, serta menyusun
strategi kebijakan dan implikasinya dalam upaya pencapaian swasembada
tersebut.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terhadap
perkembangan pengetahuan terutama yang berkaitan dengan kebijakan ekonomi
pada komoditas beras dan dampaknya terhadap kesejahteraan produsen dan
konsumen beras di Indonesia. Manfaat lain dari penelitian ini diantaranya:
1. Penelitian ini diharapkan berfungsi sebagai bahan informasi bagi
pemerintah dalam suatu pengambilan keputusan atau kebijakan yang
mampu melindungi kesejahteraan masyarakat, khususnya petani padi serta
mengurangi ketergantungan impor beras di Indonesia.
2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan bagi akademisi dan
peneliti lain untuk penelitian-penelitian selanjutnya.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan suatu kajian terhadap permasalahan yang sedang
dihadapi di bidang pertanian khususnya komoditas beras. Penelitian ini dimulai
dengan menganalisis perkembangan produksi dan konsumsi beras domestik di
Indonesia hingga tahun 2014, lalu menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
produksi dan konsumsi beras domestik, kemudian melakukan proyeksi terhadap
produksi dan konsumsi beras sehingga didapatkan ramalan target produksi yang
harus dipenuhi agar swasembada beras tahun 2017 dapat tercapai. Keterbatasan
penelitian ini adalah data yang digunakan adalah data tahunan sehingga model
yang dirumuskan tidak menggambarkan fluktuasi bulanan ataupun musiman.
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Beras
Beras berperan peting bagi Indonesia karena sebagian besar masyarakat
Indonesia mengkonsumsi beras setiap harinya. Terdapat berbagai macam jenis
komoditas beras di Indonesia yaitu Blang Bintang, Jongkong IR 64, IR-42 Solok,
Sokan, Dolog, IR 64, IR II, IR Kw II, Irri-I, Hanyar, IR-II/64, dan R-64/II
(Kementerian Pertanian, 2015). Menurut Dawe (1997) dan Tsujii (1998) dalam
Sawit (1999) karakteristik beras sebagai berikut: (1) 90% produksi dan konsumsi
beras dilakukan di Asia, hal ini berbeda dengan gandum dan jagung yang
diproduksi oleh banyak negara di dunia; (2) Beras yang diperdagangkan di pasar
dunia tipis (thin market) yaitu antara 4-5% dari total produksi, beda sekali dengan
sejumlah komoditas lainnya seperti gandum (20%), jagung (15%), dan kedelai
(30%). Pada umumnya volume beras yang diperdagangkan merupakan sisa dari
konsumsi di suatu negara. Semakin tidak stabilnya harga beras dunia maka
semakin besar tingkat self-sufficiency beras yang dianut oleh suatu negara,
demikian juga rumah tangga tani di Asia, mereka menyimpan lebih banyak bila
harga beras tidak stabil guna mengurangi resiko ketahanan pangan rumah tangga;
(3) Harga beras amat tidak stabil dibandingkan dengan komoditas pangan lainnya
misalnya gandum; (4) 80% perdagangan beras dikuasai oleh 6 negara yaitu
Thailand, AS, Vietnam, Pakistan, Cina, dan Myanmar. Oleh karena itu, harga
beras di pasar internasional adalah tidak sempurna, harga beras akan ditentukan
oleh kekuatan oligopoli tersebut; (5) Indonesia merupakan negara net importer
terbesar beras, karena pada tahun 1998 Indonesia mengimpor berasnya hingga
31% dari total beras yang ada diperdagangkan di pasar dunia sehingga apabila
Indonesia masuk dalam pasar beras internasional maka harga beras naik dan dapat
memikul negara miskin yang net importer beras; (6) Hampir banyak negara di
Asia, memperlakukan beras sebagai wage goods dan political goods.
Padi dihasilkan oleh 18 juta petani pangan, 49% diataranya adalah petani
sempit yaitu menguasai lahan kurang dari 0,24 ha/keluarga (Wardojo, 1993). Padi
mampu menyumbang pendapatan antara 40% sampai 60% terhadap pendapatan
negara sehingga pembangunan sub sektor pangan khususnya padi mampu
mengurangi jumlah orang miskin yang signifikan di pedesaan Jawa,
meningkatknya pendapatan di komoditas ini telah menarik sektor lain untuk
berkembang di desa baik yang terkait dengan padi misalnya penggilingan padi dan
perdagangannya, tetapi juga dapat meningkatnya daya beli masyarakat sehingga
mendorong sektor lain berkembang seperti perdagangan, warung, transportasi dan
sebagainya di pedesaan. Sawit (2005) menyatakan bahwa sumbangan industri
beras terhadap GDP pertanian mencapai 28,8% pada tahun 2005 dengan
penyerapan tenaga kerja mencapai 28,79% dari total penyerapan tenaga kerja di
sektor pertanian (agriculture employment) atau setara dengan 12,05 juta orang.
Oleh karena itu untuk mendukung komoditas padi salah satunya adalah instrumen
kebijakan untuk peningkatan produktivitas petani padi dan produksi beras
nasional melalui: (1) Pengembangan infrastruktur untuk mendukung usaha padi;
(2) Peningkatan akses petani terhadap sarana produksi dan sumber permodalan;
(3) Peningkatan mutu intensifikasi usaha padi dengan menggunakan teknologi
maju; (4) Ekstensifikasi lahan pertanian di lahan kering, rawa pasang surut, lebak,
dan daerah bukaan baru; dan (5) Peningkatan akses petani terhadap sarana
pengolahan pascapanen dan pemasaran (Wardojo, 1998).
2.2 Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia
Sejak zaman penjajahan Belanda, Pulau Jawa adalah penghasil berbagai
komoditas pangan dan tebu, Sumatera dan Kalimantan penghasil tanaman
perkebunan, Sulawesi dan Maluku penghasil tanaman rempah, dan Nusa Tenggara
sebagai sentra peternakan (Kasryno, et al, 2004). Berdasarkan data BPS mengenai
perkembangan pangsa sentra produksi maka produksi padi Indonesia tahun 1970-
2003 menunjukkan adanya perubahan sumber pertumbuhan. Secara agregat
pangsa areal panen dan produksi terus naik dari 1970 sampai 2002. Kenaikan
produksi yang spektakuler terjadi karena kenaikan produktivitas padi akibat
Revolusi Hijau. Laju kenaikan produksi padi nasional terutama berasal dari
kenaikan produksi padi di luar Jawa. Tahun 1970 pulau Jawa menyumbang 60%
dari produksi padi nasional, namun akhir-akhir ini hanya menyumbang sebesar
55,3%. Lambatnya perluasan areal pertanaman padi di Jawa antara lain
disebabkan laju perluasan sawah irigasi lebih lambat dibandingkan dengan
penyusutan luas lahan sawah karena dikonversi untuk penggunaan non pertanian.
Tahun 1970 sampai tahun 2002 luas areal padi di Jawa turun dari 53,2% menjadi
48,4%, penurunan ini selain disebabkan oleh konservasi juga diversifikasi. Luar
Jawa, khususnya Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi mengalami kenaikan areal
panen. Hal tersebut disebabkan oleh perluasan areal tanam dan peningkatan
intensitas tanam sehingga sentra produksi padi masa depan adalah Sumatera dan
Kalimantan dengan tantangan untuk pengembangan padi adalah ketersediaan
teknologi sistem komoditas padi untuk ekosistem lahan rawa dan lahan kering,
selain itu adalah kualitas sarana dan prasarana komunikasi dan transportasi yang
memadai dengan pengembangan sarana irigasi dan pembukaan areal tanam baru.
Strategi yang harus dilakukan untuk jangka pendek dan menengah adalah
mengupayakan sistem irigasi yang lebih fleksibel dengan rehabilitasi sarana dan
prasarana tata air persawahan pasang surut untuk persawahan lahan rawa di
Sumatera dan Kalimantan, rehabilitasi mencapai areal 610.000 ha. Strategi jangka
menengah dan panjang diperlukan investasi bagi perluasan areal pertanian dan
pengembangan sarana dan prasarana irigasi baru yang fleksibel di Sumatera,
Sulawesi, dan Kalimantan. Potensi pengembangan persawahan pasang surut di
Sumatera dan Kalimantan mencapai 2,7 juta ha. Hal ini perlu dilakukan
mengingat permintaan beras yang diperkirakan masih akan terus meningkat
dengan laju diatas 1,0%-1,3% per tahun karena pertumbuhan penduduk yang terus
meningkat setiap tahunnya sebesar 1,3% sedangkan konsumsi per kapita
diperkirakan sudah menurun antara 0,2%-0,35%. Apabila tidak ada terobosan
kebijakan maka Indonesia akan tetap menjadi importir beras terbesar di dunia.
Konsumsi beras di Indonesia dihitung melaui berbagai pendekatan, antara
lain melaui pendekatan konsumsi beras per kapita per tahun. Perhitungan ini hasil
survei Susenas oleh BPS setiap tahun. Besaran hasil konsumsi beras hasil survei
Susenas tersebut merupakan konsumsi beras di tingkat rumah tangga atau
konsumsi langsung, sementara konsumsi beras di luar rumah tangga tidak dicakup
dalam survei tersebut. Konsumsi beras di tingkat rumah tangga atau konsumsi
langsung tersedia antara langsung tersedia antara tahun 1981 hingga tahun 2015,
rata-rata konsumsi beras di tingkat rumah tangga per penduduk Indonesia
cenderung mengalami penurunan sebesar 1,13% per tahun atau rata-rata konsumsi
beras per penduduk sebesar 101,62 kg/kapita pertahun yaitu di tahun 1981
konsumsi beras per orang sebesar 116,75 kg/kapita dan turun hingga sebesar
85,19 kg/kapita pada tahun 2015. Sementara perkembangan konsumsi beras di
tingkat rumah tangga untuk lima tahun kedepan diperkirakan masih mengalami
penurunan sebesar 1,12% per tahun yaitu perkiraan konsumsi beras di tingkat
rumah tangga per penduduk Indonesia mencapai rata-rata 86,59 kg/kapita atau
mencapai 89,48 kg/kapita di tahun 2011, dan sebesar 85,19 kg/kapita di tahun
2015 (Kementerian Pertanian, 2015).
Tren konsumsi beras secara umum antara tahun 1981 hingga 2013 di
tingkat rumah tangga cenderung mengalami penurunan kecuali tahun 1987, 1990,
1994, 1995, 2003, dan 2008 yang mengalami peningkatan cukup signifikan antara
0,31% hingga 9,41%. Penurunan konsumsi perkapita beras tingkat rumah tangga
paling tinggi terjadi tahun 1996 yaitu sebesar 11,45% atau sebesar 111,06
kg/kapita dari tahun sebelumnya mencapai 125,42 kg/kapita. Peningkatan
pertumbuhan konsumsi beras tingkat rumah tangga tertinggi di tahun 1987 yaitu
sebesar 9,41%, sedangkan secara absolut konsumsi beras tingkat rumah tangga
tertinggi tahun 1995 yaitu sebesar 125,42 kg/kapita. Adanya tren penurunan
konsumsi beras secara langsung ini diduga adanya peningkatan kesejahteraan
masyarakat dan kesadaran tentang kesehatan sehingga mengalihkan konsumsi
karbohidrat yang berasal dari beras dengan makanan pengganti beras yang lebih
sehat.
2.3 Kebijakan Swasembada Beras di Indonesia
Swasembada beras adalah suatu keadaan tercukupinya kebutuhan
konsumsi beras dalam negeri oleh produksi beras nasional. Swasembada beras
yang dicapai sejak tahun 1984 dalam berbagai kesempatan telah dijadikan analisa,
terutama untuk mempertajam keabsahannya. Menurut Amang dan Sawit (1999)
terdapat makna swasembada dari berbagai sudut pandang, antara lain: (1)
Swasembada absolut yaitu selisih penawaran dan permintaan akan beras sama
dengan nol; dan (2) Swasembada sub sektoral pangan yaitu ekspor bahan pangan
dapat membiayai impor pangan. Swasembada sektoral sebelum tahun 1984
sebenarnya sudah tergolong swasembada sebab nilai ekspor komoditas pertanian
Indonesia sangat mampu, bahkan surplus untuk mengimpor pangan sejak 1983.
Tahun 1984 produksi beras mengikuti garis kecenderungan konsumsi jadi
adakalanya Indonesia harus mengimpor bila kekurangan dan mengekspor ketika
cadangan beras melimpah sehingga lebih mudah untuk mengkategorikan
“swasembada relatif” yang ditandai dengan “surplus” atau “defisit” pada waktu
yang berbeda. Menurut Nainggolan (2008) Peningkatan produktivitas usaha tani
padi dapat ditempuh melalui dua cara yaitu: (1) Peningkatan hasil potensial dan
aktual varietas padi; (2) Percepatan dan perluasan diseminasi serta adopsi inovasi
teknologi. Peningkatan ini mungkin terjadi dengan dukungan pengembangan
varietas unggul dan kesiapan teknologi padi di Badan Litbang Pertanian.
Kebijakan beras adalah upaya yang dilakukan oleh berbagai instansi atau
lembaga pemerintah untuk mempengaruhi keputusan tiga pelaku utama dalam
sektor perberasan yaitu produsen padi atau beras, pelaku distribusi atau pemasaran
padi atau beras dan konsumen beras (Sawit, 1999). Kebijakan tersebut dilakukan
untuk mempertahankan ketahanan pangan suatu negara. Kebijakan mengenai
perberasan nasional pada dasarnya mencakup lima instrumen kebijakan yaitu: (1)
Peningkatan produksi; (2) Diversifikasi; (3) Kebijakan harga, dimana dapat
dipandang sebagai instrumen kebijakan dalam promosi agribisnis; (4) Kebijakan
impor; dan (5) Distribusi beras untuk keluarga miskin (Raskin) yang merupakan
kebijakan untuk melindungi petani dan konsumen dari dampak negatif
perdagangan beras internasional. Oleh karena itu pemerintah sebenarnya telah
menerapkan kebijakan untuk mengembangkan ekonomi perberasan nasional
(Suryana, 2004). Kebijakan perberasan nasional tertuang dalam Inpres No.9
Tahun 2002 tentang penetapan kebijakan perberasan yaitu sebagai berikut:
1. Memberikan dukungan bagi peningkatan produktivitas petani padi dan
produksi beras nasional.
2. Memberikan dukungan bagi diversifikasi kegiatan ekonomi petani padi
dalam rangka meningkatkan pendapatan petani.
3. Melaksanakan kebijakan harga dasar pembelian gabah dan beras oleh
pemerintah.
4. Menetapkan kebijakan impor beras dalam rangka memberikan
perlindungan kepada petani dan konsumen.
5. Memberikan jaminan bagi persediaan dan penyaluran beras dan atau bahan
pangan bagi kelompok masyarakat miskin dan atau rawan pangan.
Menurut Rencana Strategi Kementerian Pertanian (2015), sasaran
pembangunan pertanian ke depan perlu disesuaikan terkait dengan cangkupan
pembangunan pertanian yang lebih luas dan skala yang lebih besar guna
meningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani yang tertuang dalam SIPP
2015-2045, maka sasaran strategis Kementerian Pertanian tahun 2015-2019
adalah (1) Pencapaian swasembada padi, jagung dan kedelai serta peningkatan
produksi gula dan daging; (2) Peningkatan diversifikasi pangan; (3) Peningkatan
komoditas bernilai tambah dan berdaya saing dalam memenuhi pasar ekspor dan
substitusi impor; (4) Penyediaan bahan baku bioindustri dan bioenergi; (5)
Peningkatan pendapatan keluarga petani; serta (6) Akuntibilitas kinerja aparatur
pemerintah yang baik. Oleh karena itu Kementerian Pertanian menyusun dan
melaksanakan 7 Strategi Utama Penguatan Pembangunan Pertanian untuk
Kedaulatan Pangan (P3KP) meliputi (1) Peningkatan ketersediaan dan
pemanfaatan lahan; (2) Peningkatan infrastruktur dan sarana pertanian; (3)
Pembangunan dan perluasan logistik benih atau bibit; (4) Penguatan kelembagaan
petani; (5) Pengembangan dan penguatan pembiayaan; (6) Pengembangan dan
penguatan bioindustri dan bioenergi; serta (7) Penguatan jaringan pasar produk
pertanian.
2.4 Metode Peramalan
Peramalan merupakan metode yang dapat memperkirakan secara
sistematis dan pragmatis atas data relevan pada masa lalu, dengan demikian
metode peramalan dapat memberikan objektivitas yang lebih besar. Peramalan
yang baik menekankan pada peramalan kuantitatif. Berikut ini merupakan
langkah-langkah dalam menentukan peramalan yaitu:
1. Menganalisa data yang lalu, tahap ini dilakukan untuk melihat pola data
masa lalu. Dilakukan dengan cara membuat tabulasi dari data yang lalu,
dengan tabulasi data maka terlihat pola data tersebut.
2. Menentukan metode yang dipergunakan. Masing-masing metode akan
memberikan hasil peramalan yang berbeda. Metode yang baik akan
menghasilkan penyimpangan antara hasil peramalan dengan nilai
kenyataan yang sekecil mungkin.
3. Memproyeksikan data masa lalu dengan metode yang digunakan, dengan
mempertimbangkan adanya beberapa faktor perubahan. Faktor tersebut
dapat berupa faktor kebijakan yang mungkin terjadi seperti penemuan baru
dll.
Metode peramalan kuantitatif dapat dibedakan menjadi: (1) Metode
peramalan yang didasarkan atas pola hubungan antara variabel yang akan
diperkirakan dengan variabel waktu (time series); dan (2) Metode peramalan yang
didasarkan atas pola hubungan antara variabel yang diperkirakan dengan variabel
lain yang mempengaruhinya atau sebab akibat (causal methods). Metode
peramalan dengan menggunakan pola hubungan antara variabel yang akan
diperkirakan dengan variabel waktu, yaitu: (1) Metode smoothing; (2) Metode
Autoregressive Integrated Average (ARIMA); dan (3) Metode dengan proyeksi
trend dengan regresi. Metode peramalan dengan menggunakan analisa pola
hubungan antara variabel yang diperkirakan dengan variabel lain yang
mempengaruhi, yang bukan waktu (sebab akibat), terdiri dari: (1) Metode regresi
dan korelasi; (2) Metode ekonometrik yang didasarkan atas peramalan sistem
persamaan regresi; dan (3) Metode input-output (Assauri, 1984).
2.5 Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai pangan telah dilakukan oleh beberapa peneliti
sebelumnya, diantaranya: (1) Nainggolan (2008) meneliti mengenai Ketahanan
dan stabilitas pasokan, permintaan, dan harga komoditas pangan; (2) Rachman
dan Arini (2008) meneliti mengenai Penganekaragaman konsumsi pangan di
Indonesia: permasalahan dan implikasi untuk kebijakan dan program; (3) Azhari
(2008) meneliti mengenai Membangun kemandirian pangan dalam rangka
meningkatkan ketahanan nasional; (4) Hadi (2013) meneliti mengenai Analisis
produksi dan konsumsi kedelai domestik dalam rangka mencapai swasembada
kedelai di Indonesia; (5) Saptana et al. (2013) meneliti mengenai Evaluasi
kebijakan tujuh gema revitalisasi dalam pembangunan pertanian; (6) Hardono
(2014) meneliti mengenai Strategi pengembangan diversifikasi pangan lokal; dan
(7) Adillah (2014) meneliti mengenai Proyeksi produksi dan konsumsi kedelai di
Indonesia.
Penelitian mengenai komoditas beras telah dilakukan oleh beberapa
peneliti sebelumnya, diantaranya: (1) Agustin dan Syafaat (2003) meneliti
mengenai Pengamanan produksi padi pada tahun 2003; (2) Ambarinanti (2007)
meneliti mengenai Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan
ekspor beras di Indonesia; (3) Pratiwi (2008) meneliti mengenai Efektivitas dan
perumusan strategi kebijakan beras nasional; (4) Hessie (2009) meneliti mengenai
Analisis produksi dan konsumsi beras dalam negeri serta implikasinya terhadap
swasembada beras di Indonesia; (5) Lantarsih et al. (2011) meneliti mengenai
Sistem ketahanan pangan nasional: kontribusi ketersediaan dan konsumsi energi
serta optimalisasi distribusi beras; (6) Maulana (2012) meneliti mengenai Prospek
implementasi kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) multikualitas gabah
dan beras di Indonesia; dan (7) Zakaria dan Nurasa (2013) meneliti mengenai
Strategi penggalangan petani untuk mendukung program peningkatan produksi
padi berkelanjutan.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah data yang
digunakan dalam penelitian ini lebih terbaru, yaitu data tahun 1985 hingga tahun
2014. Tujuan dalam penelitian ini didasarkan pada rencana strategis Kementerian
Pertanian untuk swasembada beras berkelanjutan yang akan dicapai pada tahun
2017. Analisis perkembangan produksi dan konsumsi beras domestik, tidak hanya
dideskripsikan namun juga menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
produksi padi dan konsumsi beras domestik. Peramalan swasembada beras tahun
2017 tidak hanya sebatas meramalkan, namun juga menganalisis implikasi
kebijakan yang digunakan untuk pencapaian swasembada beras. Rekomendasi
yang diberikan berupa rekomendasi teknis dalam menjalankan peranan
pemerintah daerah. Tinjauan penelitian terdahulu dapat dilihat pada tabel 4
33
Tabel 4 Matriks penelitian terdahulu
No Peneliti/Judul Penelitian Tujuan Metode Hasil
1. Nama : Kaman Nainggolan
Tahun : 2008
Judul : Ketahanan dan stabilitas
pasokan, permintaan, dan harga
komoditas pangan
1. Menganalisis pembangunan
ketahanan pangan nasional
1. Analisis
Deskriptif
1. Kemandirian pangan di tingkat rumah tangga
merupakan pilar dan dasar dari kemandirian
pangan wilayah dan nasional
2. Pembangunan ketahanan pangan yang berbasis
dari sumberdaya dan kearifan lokal perlu digali
dan ditingkatkan mengingat penduduk yang
terus bertambah dan aktifitas ekonomi pangan
terus berkembang
3. Pembangunan ketahanan pangan memerlukan
kerjasama yang efektif antara berbagai
pemangku kepentingan yang meliputi
pemerintah, lembaga non pemerintah, lembaga
masyarakat bahkan masyarakat sebagai
individu
2. Nama : Handewi P.S, Rachman dan
Mewa Ariani
Tahun : 2008
Judul : Penganekaragaman
konsumsi pangan di Indonesia :
permasalahan dan implikasi untuk
kebijakan dan program
1. Menganalisis pencapaian
tingkat penganekaragaman
(diversifikasi) konsumsi
pangan di Indonesia dan
permasalahannya serta
implikasi kebijakan
1. Analisis
Deskriptif
1. Upaya penganekaragaan konsumsi pangan
sampai saat ini masih belum berjalan sesuai
harapan. Pola pangan lokal cenderung
ditinggalkan dari berubah ke pola beras dan mie
2. Implikasinya adalah diperlukan penjabaran
strategi khusus seperti upaya dalam
penganekaragaman konsumsi pangan
3. Nama : Delima Hasri Azhari
Tahun : 2008
Judul : Membagun kemandirian
pangan dalam rangka meningkatkan
ketahanan pangan nasional
1. Menganalisis pencapaian
ketahanan pangan di
Indonesia
1. Analisis
Deskriptif
1. Supaya dapat mencapai kemandirian pangan
pemerintah harus mengambil langkah
keberpihakan dan kebijakan yang kondusif serta
intervensi melalui optimalisasi peran Bulog
sebagai BUMN yang melakukan fungsi operasi
pasar, penyangga stok, distribusi, impor, dan
ekspor
17
No Peneliti/Judul Penelitian Tujuan Metode Hasil
4. Nama : Abida Hadi
Tahun : 2013
Judul : Analisis produksi dan
konsumsi kedelai domestik dalam
rangka mencapai
swasembada kedelai di Indonesia
1. Menganalisis perkembangan
produksi dan konsumsi
kedelai domestik
2. Memproyeksikan produksi
dan konsumsi kedelai
domestik untuk melihat
target pencapaian
swasembada kedelai tahun
2014 di Indonesia, serta
menyusun strategi kebijakan
dan implikasinya dalam
upaya pencapaian
swasembada tersebut
1. Analisis
Deskriptif
2. Metode
ARIMA
1. Berdasarkan perkembangan yang terjadi selama
tahun 1981-2011, konsumsi kedelai di
Indonesia lebih besar dibandingkan produksi
kedelai dalam negeri. Rendahnya pertumbuhan
produksi kedelai domestik menjadi salah satu
pemicu ketergantungan Indonesia terhadap
impor kedelai
2. Berdasarkan proyeksi produksi dan konsumsi
kedelai menggunakan ARIMA bahwa
Indonesia belum mampu untuk swasembada
kedelai pada tahun 2014
3. Strategi kebijakan untuk mengatasi masalah
ketergantungan impor adalah kebijakan
peningkatan produksi kedelai melalui program
perluasan areal tanam dan atau peningkatan
produktivitas
5. Nama : Saptana, Muhammad Iqbal,
dan Ahmad Makky Ar-Rozi
Tahun : 2013
Judul : Evaluasi kebijakan tujuh
gema revitalisasi dalam
pembangunan pertanian
1. Menganalisis kebijakan tujuh
gema revitalisasi dalam
pembangunan pertanian
1. Analisis
Deskriptif
1. Target pembangunan pertanian meliputi
revitalisasi lahan, revitalisasi benih dan
pembibitan, revitalisasi sumberdaya pertanian,
revitalisasi pembiayaan, revitalisasi
kelembagaan petani, dan revitalisasi di bidang
teknologi dan industri hilir. Kebijakan ini harus
ada konsistensi antara yang diformulasikan
dalam rumusan kebijakannya dengan
implementasinya di lapangan diiringi dengan
kesadaran dan tanggung jawab bersama dari
pihak masayarakat maupun pihak pemerintah
18
No Peneliti/Judul Penelitian Tujuan Metode Hasil
6. Nama : Gatoet S. Hardono
Tahun : 2014
Judul : Strategi pembangan
diversifikasi pangan lokal
1. Menganalisis pencapaian
diversifikasi konsumsi
pangan
2. Menyusun strategi
pengembangan diversifikasi
pangan berbasis lokal
1. Analisis
Deskriptif
2. Analisis
SWOT
1. Telah terjadi penurunan konsumsi pangan lokal,
termasuk di wilayah yang sebelumnya
mempunyai pola pangan pokok berbasis pangan
lokal seperti Maluku dan Papua. Sebaliknya,
telah terjadi peningkatan konsumsi terigu dan
turunannya. Pengembangan diversifikasi pangan
sebagai bagian untuk mewujudkan kedaulatan
pangan hendaknya dilakukan oleh semua
kalangan
2. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan
menyusun dan implementasi strategi kebijakan
terkait optimalisasi pemanfaatan potensi lahan
dan kebiasaan mengkonsumsi pangan lokal,
serta pengembangan produksi, industri, dan
konsumsi pangan lokal. Selain itu, upaya
dilakukan melalui pengembangan teknologi
pengolahan pangan, menyelaraskan kebijakan
produksi dan industri pangan dengan kebijakan
konsumsi pangan; promosi pangan lokal yang
sehat, komperhensif dan terus menerus.
Penciptaan pasar pangan lokal di tingkat
nasional dan wilayah; serta diikuti penyediaan
produk pangan lokal yang mampu bersaing
dengan produk asing
19
No Peneliti/Judul Penelitian Tujuan Metode Hasil
7. Nama : Rizma Adillah
Tahun : 2014
Judul : Proyeksi produksi dan
konsumsi kedelai di Indonesia
1. Menganalisis perkembangan
pola produksi dan konsumsi
kedelai nasional
2. Menganalisis respon areal
dan produktivitas kedelai
1. Analisis
Persamaan
Simultan
1. Produksi hingga tahun 2020 meningkat rata-rata
sebesar 6,8% per tahun, dan konsumsi
meningkat rata-rata sebesar 2,1% per tahun,
tetapi defisit menunjukkan penurunan rata-rata
sebesar 0,98% per tahun. Hal itu dikarenakan
terdapat perluasan areal tanaman kedelai di
masa yang akan datang, dimana hal tersebut
dutunjukkan dengan peningkatan tiga kali lipat
dari pertumbuhan konsumsi rata-rata. Sehingga
Indonesia berpeluang berswasembada kedelai
dimasa yang akan datang, dengan
mempertahankan pertumbuhan produksi lebih
besar dari pada pertumbuhan konsumsi
8. Nama : Nur Khoiriyah Agustin dan
Zizwar Syafa’at
Tahun : 2003
Judul : Pengamanan produksi padi
tahun 2003
1. Memprediksi neraca
ketersediaan beras nasional
tahun 2003 yang dipenaruhi
oleh sisi produksi dan
konsumsi beras
1. Analisis
Deskriptif
1. Berdasarkan penelitian maka produksi padi
pada tahun 2003 diproyeksikan sekitar 53,54
juta ton atau meningkat sebesar 3,76% bila
dibandingkan tahun 2002
9. Nama : Marissa Ambarinanti
Tahun : 2007
Judul : Analisis faktor-faktor yang
mempengaruhi produksi dan ekspor
beras di Indonesia
1. Faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi produksi
beras di Indonesia
2. Faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi ekspor beras
di Indonesia
1. Analisis
Regresi
Linear
Berganda
(OLS)
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi
beras Indonesia terdiri dari luas areal panen
padi di Indonesia, harga dasar gabah, pupuk
urea, dan curah hujan
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi volume
ekspor beras Indonesia terdiri dari produksi
beras Indonesia, nilai tukar rupiah terhadap
dollar, harga beras eceran, dan konsumsi beras
per kapita
20
No Peneliti/Judul Penelitian Tujuan Metode Hasil
10. Nama : Purdiyanti Pratiwi
Tahun : 2008
Judul : Efektifitas dan perumusan
strategi kebijakan beras nasional
1. Mendeskripsikan
perkembangan kebijakan
beras nasional
2. Mengevaluasi hasil
kebijakan beras nasional
yang sudah berjalan
3. Merumuskan strategi dan
program kebijakan
perberasan nasional
1. Analisis
Deskriptif
2. Analisis
Kuantitatif
(Analisis
lingkungan
internal dan
eksternal,
SWOT,
QSPM)
3. Metode
AHP
1. Perkembangan mengenai Kebijakan
peningkatan produksi diintervensi pemerintah
melalui berbagai program peningkatan produksi
padi (P4) seperti program Bimas (1965), Insus
(1798) dan Program P2BN (2007). Keempat
kebijakan tersebut dalam pelaksanaanya
mengalami berbagai hambatan baik yang
berasal dari internal maupun eksternal sehingga
belum mencapai sasaran yang diharapkan.
Keempat kebijakan yang ada, kebijakan
distribusi adalah kebijakan yang paling efektif
dibandingkan kebijakan lainnya
2. Prioritas strategi kebijakan pengembangan
perberasan nasional adalah mengkombinasikan
kebijakan protektif dengan kebijakan promotif
untuk melindungi beras dalam negeri
3. Prioritas pertama program peningkatan
produksi padi adalah dengan membangun
sarana irigasi berkoordinasi dengan Pemda
terkait
21
No Peneliti/Judul Penelitian Tujuan Metode Hasil
11. Nama : Rethna Hessie
Tahun : 2009
Judul : Analisis produksi dan
konsumsi beras dalam negeri serta
implikasinya terhadap swasembada
beras di Indonesia
1. Menganalisis perkembangan
dan konsumsi beras di
Indonesia
2. Menganalisis faktor-faktor
yang mempengaruhi
produksi dan konsumsi beras
di Indonesia
3. Memperoyeksikan produksi
dan konsumsi beras di
Indonesia dalam lima tahun
mendatang (2009-2013),
serta implikasinya terhadap
swasembada beras di
Indonesia
1. Metode
Analisis
Deskriptif
2. Metode
Simultan
1. Perkembangan produksi dan konsumsi beras di
Indonesia dari tahun ke tahun berfluktuasi
dengan kecenderungan mengalami peningkatan
tiap tahunnya. Selama kurun waktu 37 tahun
Indonesia masih belum dapat menutupi
konsumsi beras total, sehingga pemerintah
masih mengimpor beras
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi
(yang direpresentasikan dari luas areal panen
dan produktivitas) padi adalah rasio harga riil
gabah di tingkat jumlah penggunaan pupuk
urea, luas areal intensifikasi dan trend waktu
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi
beras adalah harga beras dan populasi,
sedangkan harga beras hanya dipengaruhi
secara nyata oleh harga riil beras tahun
sebelumnya. Hasil Proyeksi produksi dan
konsumsi beras di Indonesia tahun 2009-2013
menunjukan bahwa Indonesia defisit beras
hingga tahun 2010 sehingga untuk menutupi
kebutuhan akan beras pemerintah dapat
mengimpor beras dalam jangka pendek atau
meningkatkan luas areal panen pada tahun 2009
seluas 195,20 ribu Ha. dan pada tahun 2010
seluas 77,40 ribu Ha. Pada tahun 2011
Indonesia mencapai swasembada beras
22
No Peneliti/Judul Penelitian Tujuan Metode Hasil
12. Nama : Retno Lantarsih, et al
Tahun : 2011
Judul : Sistem ketahanan pangan
nasional : kontribusi ketersediaan
dan konsumsi energi serta
optimalisasi distribusi beras
1. Meninjau ketahanan pangan
wilayah dari ketersediaan
energi, dan kontribusi beras
dalam ketersediaan energi
2. Menganalisis ketahanan
pangan tingkat rumah tangga
dan kontribusi konsumsi
energi yang bersumber dari
beras terhadap konsumsi
energi total
3. Menganalisis keragaan
wilayah provinsi di
Indonesia berdasarkan
ketersediaan dan konsumsi
beras
4. Menganalisis optimalisasi
distribusi beras antar daerah
di Indonesia
1. Analisis
Deskriptif
1. Dilihat dari ketersediaan energi, ketahanan
pangan wilayah adalah tahan pangan terjamin,
dengan kontribusi ketersediaan energi yang
bersumber dari beras sebesar 46,24 persen untuk
Indonesia
2. Meskipun dari aspek ketahanan pangan
berdasarkan ketersediaan energi dalam kondisi
tahan pangan terjamin, masih terdapat rumah
tangga yang tergolong rawan pangan
3. Ketahanan pangan wilayah menjadi prasyarat
terwujudnya ketahanan pangan pada tingkat
rumah tangga, namun demikian ketahanan
pangan wilayah belum menjamin terciptanya
ketahanan pangan rumah tangga
4. Berdasarkan produksi dan konsumsi beras, tidak
semua provinsi di Indonesia mampu mencukupi
kebutuhan konsumsi beras. Terdapat 11 provinsi
yang mengalami defisit beras dan sisanya
sebanyak 22 provinsi mengalami surplus beras
dengan memperhitungkan cadangan pangan
ideal dan sisa stok bulog tahun 2008
13. Nama : Mohamad Maulana
Tahun : 2012
Judul : Prospek implementasi
kebijakan harga pembelian
pemerintah (HPP) multikualitas
gabah dan beras di Indonesia
1. Mendeskripsikan Kebijakan
HPP gabah dan beras dan
prospek alternatif kebijakan
HPP multikualitas gabah
dan beras
1. Analisis
Deskriptif
1. Kebijakan HPP multikualitas pada gabah
diperkirakan mampu meningkatkan produksi
gabah dengan kualitas lebih dan adanya intensif
petani meningkatkan kualitas gabahnya dari
kualitas medium ke premium
2. Kebijakan HPP diyakini mampu mendorong
pedagang atau penggiling untuk meningkatkan
produksi beras
23
No Peneliti/Judul Penelitian Judul Metode Hasil
14. Nama : Amar K. Zakaria dan
Tjetjep Nurasa
Tahun : 2013
Judul : Strategi penggalangan petani
untuk mendukung program
peningkatan produksi padi
berkelanjutan
1. Mengevaluasi kinerja
penggalangan petani dan
untuk mengetahui partsipasi
petani dalam mendukung
program peningkatan
produksi padi
1. Analisis
Deskriptif
1. Strategi penggalangan petani menjadi faktor
kunci untuk meningkatkan partisipasi petani
dalam penerapan inovasi teknologi budidaya
padi
24
25
III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka pemikiran teoritis berisi teori dan konsep kajian ilmu sebagai
acuan alur berfikir dalam melakukan penelitian. Teori dan konsep yang
digunakan dalam penelitian ini antara lain konsep analisis statistika deskriptif,
analisis regresi linear berganda, dan metode Box-Jenkins (ARIMA).
3.1.1 Produksi dan Konsumsi Beras
Produksi didefinisikan sebagai proses menciptakan barang atau jasa
ekonomi dengan menggunakan dua macam barang atau jasa lainnya dimana untuk
menghasilkan produk-produk pertanian biasanya dibutuhkan faktor produksi.
Faktor produksi tersebut biasanya disebut input untuk menghasilkan sebuah
output dimana dalam hal ini berupa output pertanian. Hubungan input dengan
output secara teknis menurut ahli ekonomi disebut fungsi produksi (Halcrow,
1992). Fungsi produksi secara umum dituliskan dalam model matematis berupa:
Y = f (X1, X2, …, Xn)
Dimana:
Y = Produk atau variabel yang dipengaruhi oleh faktor produksi, X, dan
X1,.,Xn = Faktor produksi atau variabel yang mempengaruhi Y.
Fungsi produksi dalam pertanian menurut Soekartawi (1990), Y dapat berupa
Produksi pertanian dan X berupa faktor produksi seperti input-input produksi
yaitu lahan pertanian, tenaga kerja, modal, dan manajemen, namun dalam hal ini
faktor produksi belum mampu menjelaskan Y, sehingga perlu pemahaman
mengenai proses produksi.
Menurut Daniel (2002) faktor produksi misalnya untuk tanaman padi
seluas satu hektar, supaya produksi maksimum bisa dicapai melalui masukan yang
diberikan (modal) seperti jumlah bibit, pupuk, dan obat-obatan harus sesuai
dengan yang dibutuhkan tanaman padi. Cara pemberian, waktu pemberian, dan
dosis atau takaran tiap pemberian juga harus tepat ditambah dengan pemilihan
bibit, penyemaian, pengolahan tanah, penyiangan, pemupukan, dan lain-lainnya
yang lebih lazim disebut dengan teknologi. Teknologi berperan dalam
menentukan saling keterkaitan antar faktor produksi seperti luas tanah yang
digunakan satu hektar, maka berapa jumlah modal dan tenaga kerja yang
dibutuhkan dapat ditentukan dengan menetapkan teknologi yang diterapkan.
begitu juga dengan modal yang tersedia terbatas atau ditentukan maka luas usaha
tani juga harus mengikuti.
Fungsi produksi digambarkan oleh kurva total produksi. Fungsi produksi
tersebut dapat diihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Fungsi Produksi Fisik Total (TPP), Produk Fisik Marginal (MPP) dan
Produk Fisik Rata-rata (APP)
Keterangan:
a : PM maksimum X : Faktor Produksi
b : e = 1, PR maksimum Y : Produksi
c : e = 0 PT : Produk Total
0-b : Daerah I (EP > 1) PR : Produk Rata-Rata
b-c : Daerah II (0 < EP < 1) PM : Produk Marginal.
c >> : Daerah III (EP < 1)
Sumber: Soekartawi, 1990
Berdasarkan gambar 4, terlihat bahwa fungsi produksi digambarkan oleh
kurva total produksi dimana akan maksimum saat produk marginal sama dengan
Y c
b
a PT
0 X
Y
PR
X
PM 0
nol. Hubungan fungsi produksi dengan daerah produksi menurut Halcrow (1992)
dijelaskan sebegai berikut :
1. Daerah I, (EP > 1) merupakan daerah irrasional dimana bagi seorang
produsen yang membatasi penggunaan faktor produksi merupakan
tindakan yang tidak menguntungkan. Produksi rata-rata dapat dinaikkan
dengan menambah jumlah input variabel.
2. Daerah II, (0 < EP < 1) merupakan daerah rasional dimana penggunaan
input tetap dan input variabel akan dapat mencapai keuntungan maksimal,
tetapi kita tidak dapat menentukan pada tingkat produksi mana akan
diperoleh keuntungan yang maksimal tanpa mengetahui informasi harga
input dan harga output.
3. Daerah III, (EP < 1) merupakan daerah irrasional dimana pengurangan
input dapat meningkatkan output total. Hal ini untuk menggambarkan
perbedaan antara input tetap dan input variabel.
Konsumsi adalah suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau
menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa untuk
memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung (Nicholson, 1995). Konsumsi
merupakan sejumlah barang yang digunakan langsung oleh masyarakat untuk
memenuhi kebutuhannya. Konsumsi pada saat ini hampir bisa diprediksi dengan
sempurna dari konsumsi periode sebelumnya ditambah sedikit pertumbuhan.
Keynes menyatakan bahwa konsumsi sangat bergantung pada pendapatan
sekarang. Oleh karena itu, ekonom menyatakan bahwa konsumen memahami
kalau mereka menghadapi keputusan antar waktu. Konsumen menatap sumber
daya dan kebutuhan masa depan mereka, yang dinyatakan dalam fungsi konsumsi
yang lebih kompleks dibanding fungsi konsumsi yang Keynes berikan. Keynes
menyatakan bentuk fungsi konsumsi:
Konsumsi = ƒ(pendapatan sekarang),
Sedangkan studi terbaru menyatakan:
Konsumsi = ƒ(pendapatan sekarang, kekayaan, pendapatan masa depan
yang diduga, tingkat bunga, dan harga barang)
dengan kata lain pendapatan sekarang hanya merupakan salah satu determinan
dari konsumsi agregat (Mankiw, 2007).
Fungsi konsumsi berasal dari teori permintaan. Menurut Wardojo (2014)
untuk memproyeksikan konsumsi beras maka diperlukan beberapa hal, yaitu: (1)
Informasi mengenai elastisitas pendapatan untuk konsumsi beras; (2) Elastisitas
harga sendiri; (3) Jumlah penduduk tahun dasar dan laju pertumbuhan penduduk;
(4) Perkiraan pertumbuhan pendapatan per kapita masyarakat; dan (5) Perkiraan
perubahan harga pada tahun mendatang. Terdapat dua pendekatan dalam
melakukan proyeksi konsumsi beras per kapita. Pertama, mengingat tingkat
konsumsi beras pada tahun 1999 dipandang tidak mencerminkan kondisi normal,
maka dalam melakukan proyeksi konsumsi ke depan (2002-2004) tingkat
konsumsi tahun 1996 digunakan sebagai tahun dasar tahun 1999. Alternatif kedua
adalah, tetap menggunakan tingkat konsumsi per kapita tahun 1999 sebagai tahun
dasar, tetapi menggunakan asumsi peningkatan pendapatan yang lebih tinggi dan
kenaikan harga beras yang lebih rendah. Asumsi ini sejalan dengan tekat
pemerintah dalam mengontrol harga beras sehingga dapat terjangkau oleh rumah
tangga miskin, misalnya dengan melakukan pembatasan impor beras.
3.1.2 Teori Penawaran dan Permintaan
Permintaan dan penawaran atas barang-barang atau komoditas produk
pertanian berkaitan erat dengan perkembangan harga, ketika harga naik maka
permintaan akan turun dan apabila harga turun maka permintaan akan naik.
Sebaliknya, jika penawaran naik maka harga akan turun dan bila penawaran turun
maka harga akan naik. Keadaan ini akan selalu berputar sedemikian rupa sehingga
menjadikan sebuah mekanisme yang disebut sebagai mekanisme pasar. Harga
akan diatur oleh ketersediaan barang namun hukum ini bisa tidak berlaku saat
terjadi kebijakan penetapan harga atas suatu komoditas yang berkaitan dengan
komoditas yang diperdagangkan (Daniel, 2002).
Menurut Halcrow (1992), penawaran didefinisikan sebagai daftar yang
menunjukkan variasi jumlah yang dapat diproduksi dan dijual di pasar pada
masing-masing tingkat harga, pada kondisi dan periode waktu tertentu. Konsep
penawaran selain dapat diterapkan pada penawaran produksi juga dapat
diterapkan pada penawaran faktor produksi yang digunakan dalam proses
produksi. Kurva penawaran harus menunjukkan kondisi tertentu pada pasar
tertentu dan dalam periode waktu tertentu. Faktor-faktor yang mempengaruhi
penawaran adalah: (1) Teknologi produksi; (2) Harga input yag digunakan dalam
proses produksi; (3) Harga barang-barang substitusi; (4) Harga yang diharapkan;
(5) Jumlah penjual dalam pasar; (6) Pajak dan subsidi yang dikaitkan dengan
jumlah produksi. Perubahan salah satu faktor di atas dapat menyebabkan
pergeseran kurva penawaran ke kiri atau ke kanan.
Permintaan didefinisikan sebagai jadwal yang menunjukan berbagai
jumlah produk yang akan dibeli dengan berbagai tingkat pada kondisi dan periode
waktu tertentu. Hukum permintaan menyatakan bahwa terdapat hubungan terbalik
antara harga dan jumlah yang diminta. Menurut Halcrow (1992) faktor-faktor non
harga yang mempengaruhi permintaan dapat berupa: (1) Selera dan prefensi
konsumen; (2) Jumlah konsumen dalam pasar; (3) Pendapatan atau kesejahteraan
konsumen; (4) Harga barang-barang lainnya; (5) Ekspektasi konsumen terhadap
harga dan pendapatan di masa yang akan datang.
3.1.3 Metode Analisis Statistika Deskriptif Kuantitatif
Analisis statistik deskriptif adalah teknik statistik yang memberikan
informasi hanya mengenai data yang dimiliki dan tidak bermaksud untuk menguji
hipotesis dan kemudian menarik kesimpulan yang digeneralisasikan untuk data
yang lebih besar atau populasi. Statistik deskriptif hanya dipergunakan untuk
menyajikan dan menganalisis data agar lebih bermakna dan komunikatif dan
disertai perhitungan-perhitungan sederhana yang bersifat lebih memperjelas
keadaan dan atau karakteristik data yang bersangkutan (Nurgiantoro et al, 2009).
Analisis deskriptif dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
perkembangan produksi dan konsumsi beras nasional dalam upaya pencapaian
program swasembada beras pemerintah tahun 2017. Analisis ini meliputi deskripsi
dari hasil kuantitatif data BPS mengenai jumlah produksi padi (ribu ton/tahun)
dan konsumsi beras (ribu ton/tahun). Hasil analisis ini diperoleh berdasarkan
ketersediaan data series yang mencangkup indikator produksi dan konsumsi beras
domestik.
3.1.4 Model Regresi Linear Berganda
Model regresi linear berganda adalah model untuk memeriksa hubungan
antar satu variabel yang disebut variabel tak bebas atau variabel yang dijelaskan
dengan satu atau lebih variabel lain yang disebut dengan variabel bebas atau
variabel penjelas (Gujarati, 2006). Model ini memungkinkan penggunaan lebih
dari satu variabel bebas yang mungkin mempengaruhi variabel tak bebas. Model
ini sering disebut juga metode kuadrat terkecil biasa (Ordinary Least
squere/OLS). Model ini bukan hanya mudah digunakan namun memiliki beberapa
sifat teoritis yang kokoh yang dijelaskan dalam teorema Gauss-Markov. Teorema
ini menyatakan bahwa berdasarkan asumsi-asumsi dari model regresi linear
klasik, penaksiran OLS memiliki variansi yang terendah diantara penaksir-
penaksir lainnya. Penaksir OLS dalam hal ini disebut sebagai penaksir tak bias
linear terbaik (Best Linear Usbiased Estimatory/ BLUE). Asumsi dalam model ini
adalah:
1. Memiliki parameter yang bersifat linear dan model ini ditentukan secara
tepat.
2. Faktor kesalahan mempunyai nilai rata-rata sebesar nol.
3. Tidak adanya autokorelasi dalam setiap variabel dalam model.
4. Asumsi homoskedastisitas atau penyebaran yang sama.
5. Tidak terdapat multikolinearitas yang berarti tidak terdapat hubungan
linear yang pasti antara variabel bebas, serta
6. Pengujian hipotesis, faktor kesalahan mengikuti distribusi normal dengan
rata-rata sebesar nol dan homoskedatisitas.
3.1.5 Metode Peramalan Box Jenkins atau ARIMA (Autoregressive
Integrated Moving Average)
Model Autoregressive Integrated Moving Average (ARIMA) merupakan
metode yang secara intensif dikembangkan oleh George Box dan Gwilym
Jenkins. Metode ARIMA sebenarnya adalah teknik untuk mencari pola yang
paling cocok dari sekelompok data (curve-fitting). Dengan demikian metode
ARIMA memanfaatkan sepenuhnya data masa lalu dan data sekarang untuk
menghasilkan peramalan jangka pendek yang akurat. Metode ARIMA berbeda
dengan metode peramalan lainnya karena metode ini tidak mensyaratkan suatu
pola data tertentu supaya model dapat bekerja dengan baik. Metode ARIMA juga
tidak memerlukan penjelasan mengenai mana variabel dependen atau mana
variabel independen (Santoso, 2009). Dengan begitu metode ARIMA dapat
digunakan untuk semua tipe pola data.
Metode ini merupakan gabungan dari metode penghalusan, metode
regresi, dan metode dekomposisi (Aritongan, 2009). Langkah-langkah yang harus
diambil dalam menganalisis data dengan menggunakan teknik Box-Jenkins secara
detil dapat dijelaskan sebagai berikut:
Langkah 1. Identifikasi model. Langkah pertama kita mencari nilai p, d, dan
q dengan menggunakan correlogram.
Langkah 2. Estimasi Parameter. Setelah mendapatkan nilai p dan q, maka
selanjutnya kita mengestimasi parameter model ARIMA yang kita
pilih pada langkah pertama, estimasi parameter dapat dilakukan
melalui metode kuadrat terkecil atau metode estimasi yang lain
seperti maximum likelihood namun kini sudah banyak cara cepat
dalam mengestimasi model ARIMA ini.
Langkah 3. Uji Diagnosis. Setelah mendapatkan estimasi model ARIMA
selanjutnya memilih model yang mampu menjelaskan data dengan
baik. Caranya adalah memilih apa residual bersifat random
sehingga merupakan residual yang relatif kecil. Jika tidak kita
harus kembali kelangkah pertama untuk memilih model yang lain.
Pada langkah ini diperlukan keahlian khusus untuk memilih model
ARIMA yang tepat.
Langkah 4. Prediksi. Setelah model sudah didapatkan maka tahap selanjutnya
adalah kita bisa menggunakan model tersebut untuk memprediksi.
Beberapa kasus meramalkan prediksi jangka pendek model ini
lebih baik dari pada model ekonometrika tradisional.
Gambar 5 Diagram metodologi Box-Jenkin
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional
Indonesia merupakan pengonsumsi beras terbesar ke-3 setelah China dan
India yaitu sebesar 38.650.000 Ton (Kementerian Pertanian, 2015) hal ini
dikarenakan beras merupakan bahan pangan utama masyarakat Indonesia.
Konsumsi beras nasional yang terus meningkat akibat peningkatan jumlah
penduduk menyebabkan pemerintah harus melakukan berbagai strategi guna
mengatasi ketimpangan beras yang terjadi. Melihat permasalahan ini, pemerintah
sudah memiliki rencana mengenai program perberasan nasional yang tertuang
dalam RPJPN tahun 2005-2025 tentang swasembada beras berkelanjutan.
Program swasembada beras ini perlu didukung guna tercapainya ketahanan
pangan di Indonesia.
Berdasarkan rencana tersebut tahap pertama yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah menganalisis perkembangan produksi dan konsumsi beras di
Indonesia menggunakan analisis deskriptif. Penelitian ini dilakukan untuk
memberikan kemudahan kepada pemerintah atau khalayak umum dalam
mendapatkan informasi mengenai kondisi komoditas beras di Indonesia, apabila
produksi lebih besar dari pada konsumsi beras maka swasembada yang
diharapkan pemerintah dapat tercapai namun jika produksi lebih kecil dari pada
konsumsi beras maka swasembada yang diharapkan oleh pemerintah belum dapat
tercapai sehingga kita masih perlu melakukan impor beras guna mencukupi
kebutuhan konsumsi beras dalam negeri. Kemudian yang kedua adalah
Identifikasi Model
Pemilihan p, d, q secara tentatif
Estimasi parameter model
Uji Diagnosis
Prediksi
Tidak Ya
mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan konsumsi beras
domestik menggunakan model persamaan regresi linear berganda, variabel yang
diidentifikasi diharapkan dapat memberikan alternatif kebijakan bagi pemerintah
dalam mengambil kebijakan apa yang harus dilakukan guna meningkatkan
produksi beras domestik dan menurunkan konsumsi beras domestik supaya dalam
program ini swasembada dapat tercapai. Tahap selanjutnya adalah
memproyeksikan peramalan produksi beras domestik guna melihat target
pencapaian swasembada beras berkelanjutan pada tahun 2017. Peramalan ini
dilakukan untuk menjawab apakah pada tahun tersebut Indonesia dapat mencapai
swasembada beras berkelanjutan seperti yang telah ditargetkan oleh pemerintah.
Jika hasil ramalan menunjukkan konsumsi lebih besar dibandingkan produksi,
maka swasembada beras tersebut belum dapat tercapai. Namun, apabila hasil
ramalan menunjukkan produksi sama dengan atau lebih besar dari pada konsumsi,
maka swasembada beras dapat tercapai.
Tahap yang terakhir adalah mengimplementasikan hasil ramalan untuk
pengupayaan swasembada beras sampai tahun 2017. Jika hasil peramalan berhasil
maka pemerintah melanjutkan kebijakan yang sudah ada secara berkelanjutan, dan
apabila hasil ramalan belum tercapai maka dilakukan perumusan strategi
kebijakan dan mengidentifikasi implikasinya. Sehubungan dengan hal ini untuk
mempermudah penelitian maka dibuat alur pemikiran yang akan menerangkan
apa saja yang menjadi ruang lingkup pada penelitian ini. Berikut alur penelitian
lebih jelas disajikan dalam bentuk diagram alur kerangka berfikir yang dapat
dilihat pada gambar 6.
Gambar 6 Kerangka pemikiran operasional
Indonesia merupakan
pengonsumsi beras
terbesar ke-3 setelah
China dan India
Masalah dalam
ketahanan pangan
Perlu upaya Pemerintah
dalam menjaga ketahanan
pangan
Perkembangan
produksi dan
konsumsi beras di
Indonesia (Analisis
Deskriptif)
Proyeksi peramalan
produksi dan konsumsi
beras di Indonesia
tahun 2015-2017
“peramalan target
pencapaian program
swasembada (metode
peramalan ARIMA)“
Peningkatan hasil produksi padi domestik (beras
yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat
Indonesia)
Program swasembada pangan
untuk menjaga kestabilan pangan
di Indonesia
Hasil dan rekomendasi kebijakan terhadap
pencapaian swasembada beras di Indonesia
Faktor-faktor yang
mempengaruhi
produksi dan
konsumsi beras di
Indonesia (Analisis
Regresi Linear
Berganda )
IV METODE PENELITIAN
4.1 Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini mengkaji mengenai kondisi produksi dan konsumsi beras
domestik. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder.
Data yang digunakan terdapat pada tabel 5. Data diperoleh dari Badan Pusat
Statistik, Kementerian Pertanian, World Bank, buku ataupun artikel yang terkait
dengan penelitian ini dan media lain seperti internet. Data berupa data time series
yaitu tahun 1985 – 2014.
4.2 Metode Analisis dan Pengolahan Data
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan metode dan analisis yang
sesuai.
Tabel 5 Matriks analisis data
No Tujuan Penelitian Data yang Dibutuhkan Metode
Analisis Data
1. Menganalisis
perkembangan produksi
dan konsumsi beras
domestik
Data time series tahunan produksi
dan kosumsi beras di Indonesia tahun
1985-2014
Analisis
Deskriptif
2. Menganalisis faktor-
faktor yang
mempengaruhi
produksi padi dan
konsumsi beras
domestik
Data time series tahunan data luas
areal panen padi, produktivitas padi,
produksi padi, produksi beras,
konsumsi beras, jumlah impor-ekspor
beras, PDB riil Indonesia, harga riil
jagung, harga riil gabah, harga riil
pupuk urea, tingkat riil upah TK,
varietas unggul benih padi, curah
hujan, dan jumlah penduduk
Indonesia tahun 1985-2014
Analisis
Regresi Linear
Berganda
menggunakan
software
Minitab 16
3. Memproyeksikan
produksi dan konsumsi
beras domestik untuk
melihat target
pencapaian
swasembada beras
tahun 2017
Data time series tahunan produksi
dan kosumsi beras di Indonesia tahun
1985-2014
Metode
ARIMA
menggunakan
software dan
Minitab 16
Sumber: Penulis 2016
4.2.1 Metode Analisis Deskriptif Kuantitatif
Analisis deskriptif pada penelitian ini digunakan untuk menganalisis
perkembangan produksi dan konsumsi beras di Indonesia pada 30 tahun terakhir
yaitu dari tahun 1985-2014. Analisis deskriptif pada penelitian ini dijelaskan
berdasarkan tabulasi data dengan bantuan tabel dan gambar untuk mempermudah
dalam penjelasan. Gambar yang ditampilkan merupakan plot data terhadap waktu
pada periode penelitian. Gambar tersebut akan ditambah dengan keterangan lain
sesuai kondisi serta hal yang terjadi pada data yang dianalisis. Produksi dan
konsumsi padi domestik yang digunakan berdasarkan perhitungan yang telah
diolah oleh Kementerian Pertanian. Berikut ini merupakan perhitungan dalam
melakukan proyeksi produksi dan konsumsi beras domestik.
Produksi padi pada tahun ke-t (PPt) merupakan perkalian antara luas areal
panen (LAPt) dengan produktivitas padi pada tahun tersebut (PVt). Persamaan
produksi padi dirumuskan sebagai berikut:
PPt = LAPt x PVt
Dimana:
PPt = Produksi padi pada tahun ke-t (Ribu Ton)
LAPt = Luas areal panen padi tahun ke-t (Ribu Ha)
PVt = Produktivitas padi tahun ke-t (Ton/Ha)
Produksi beras (PBt) merupakan perkalian antara konversi atau tingkat
rendemen pengolahan dari padi menjadi beras (Kt) dan produksi padi pada tahun
tersebut (PPt). Secara empiris persamaan produksi beras dirumuskan sebagai
berikut:
PBt = Kt x PPt
Dimana:
PBt = Produksi beras pada tahun ke-t (Ribu Ton)
Kt = Angka konversi padi ke beras sebesar 0,627
PPt = Produksi padi pada tahun ke-t (Ribu Ton)
Konsumsi beras total Indonesia pada tahun ke-t (KBt) merupakan
perkalian antara kebutuhan beras per kapita per tahun dikali dengan jumlah
penduduk Indonesia pada tahun tersebut ditambah dengan kebutuhan benih/bibit
ditambah dengan kebutuhan untuk pakan, bahan baku industri bukan makanan
dan tercecer.
Sedangkan, nilai laju yang digunakan dalam menganalisa data produksi
dan konsumsi beras di Indonesia yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
Laju produksi atau konsumsi =
x 100%
Keterangan:
Laju produksi atau konsumsi = Persen (%)
Nilai selisih produksi atau konsumsi = (Pt – Pt-1) atau (Kt – Kt-1)
Nilai lag produksi atau konsumsi = (Pt-1) atau (Kt-1)
P dan K = Produksi dan Konsumsi
t = Produksi atau konsumsi pada tahun ke-t
t-1 = Lag (Produksi atau konsumsi pada satu
tahun sebelumnya)
4.2.2 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Konsumsi
Beras Domestik
Analisis ini dilakukan dengan menggunakan model regresi linear
berganda. Persamaan yang diestimasi dalam penelitian ini adalah model
ekonometrika dengan persamaan tunggal. Persamaan yang dirumuskan dalam
penelitian ini dirumuskan dari beberapa penelitian terdahulu yang terdapat dalam
kerangka pemikiran teoritis, persamaan yang diduga yaitu: (1) Produksi padi
domestik; dan (2) Konsumsi beras domestik. Proses analisis model ekonometrika
terdiri dari:
1. Produksi Padi Domestik
Produksi padi di Indonesia diduga dipengaruhi oleh luas areal panen padi,
harga riil gabah, harga riil pupuk urea, tingkat riil upah tenaga kerja, jumlah
varietas unggul padi, dan curah hujan. Persamaan produksi beras di Indonesia
dapat dituliskan sebagai berikut:
PPt = c0 + c1LAPt + c2HGt + c3HPUt + c4UBTt + c5JVUPt + c6CCt + et
Dimana:
PPt = Produksi padi pada tahun ke-t (Ribu Ton)
LAPt = Luas areal panen padi pada tahun ke-t (Ribu Ha)
HGt = Harga riil gabah pada tahun ke-t (Rp/Kg)
HPUt = Harga riil pupuk urea pada tahun ke-t (Kg/Ha)
UBTt = Tingkat riil upah TK pada tahun ke-t (Rp/HOK)
JVUPt = Jumlah varietas Unggul Padi pada tahun ke-t (Jenis)
CHt = Curah Hujan pada tahun ke-t (Mm)
c0 = Intersep
c1 = Parameter yang diduga (i=1,2,3,..,8)
et = Error
Nilai dugaan yang diharapkan: c3<0; c1,c2, c4, c5, c6>0
2. Konsumsi Beras Domestik
Konsumsi beras di Indonesia diduga dapat dipengaruhi oleh harga riil
beras, jumlah penduduk Indonesia, PDB rill Indonesia dan harga riil jagung
sebagai salah satu subsitusi pangan pengganti beras. Persamaan konsumsi beras di
Indonesia dapat dituliskan sebagai berikut:
KBt = c0 + c1HBt + c2POPt + c3PDBt + c4HJt + et
Dimana:
KBt = Konsumsi beras pada tahun ke-t (Ribu Ton)
HBt = Harga riil beras pada tahun ke-t (Rp/Kg)
POPt = Jumlah penduduk pada tahun ke-t (Ribu Jiwa)
PDBt = PDB riil Indonesia tahun ke-t (RP.T)
HJt = Harga riil jagung pada tahun ke-t (Rp/Kg)
c0 = Intersep
c1 = Parameter yang diduga (i=1,2,3,4)
et = Error
Nilai dugaan yang diharapkan: c1, c3<0; c2,c4>0
4.2.3 Model Persamaan Regresi Linear Berganda
Model dapat dikatakan baik apabila hasil estimasi model regresi yang telah
didapatkan kemudian di uji. Pengujian tersebut dilakukan melalui uji statistik, uji
ekonometrika, dan uji ekonomi.
1. Uji statistik
Uji statistik digunakan pada model pendugaan melalui uji-F dan uji
koefisien determinasi, sedangkan parameter-parameter regresi dapat diuji melalui
uji-t.
a. Uji-F
Uji F dilakukan untuk mengetahui bagaimana pengaruh peubah bebas
terhadap peubah tidak bebas secara keseluruhan. Pengujian ini dilakukan dengan
cara membandingkan probabilitas nilai F statistik (p-value) dengan probabilitas
taraf ntara (α) yang digunakan. Analisa pengujian Uji-F adalah sebagai berikut:
1. Pengujian Hipotesis
H0 : b1 = b2 = … = bi = 0
H1 : Miminal ada satu bi > 0
Jika seluruh nilai sebenarnya dari parameter regresi sama dengan nol,
dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang linear antara variabel terikat
dengan variabel bebas.
2. Penentuan penerimaan atau penolakan H0, Apabila:
P-value > α, maka H0 diterima, artinya minimal ada salah satu dari
variabel independen yang dapat mempengaruhi secara nyata terhadap variabel
dependennya. P-value < α, maka H0 ditolak, artinya variabel independen tidak
berpengaruh nyata terhadap variabel dependennya.
b. Uji-t
Uji t dilakukan untuk mengetahui apakah variabel independen secara
individu memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen.
1 Pengujian Hipotesis
H0 : bi > 0
H1 : bi < 0
i : 1,2,3…..
2 Penetuan penerimaan atau penolakan H0, Apabila:
Probabilistik t-statistik (p-value) < α, maka implikasinya tolak H0, artinya
variabel indipenden berpengaruh nyata terhadap variabel dependen. Probabilistik
t-statistik (p-value) > α, maka implikasinya terima H0, artinya variabel indipenden
tidak berpengaruh nyata terhadap variabel dependen.
3 Uji Koefisien Determinasi
Apabila nilai koefisien determinasi mendekati 1, maka model yang
digunakan semakin baik. Hal ini mengidentifikasikan semakin banyak keragaman
variabel tidak bebas yang dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Rumus
menghitung koefisien determinasi (Juanda 2009) adalah:
R2
=
JKR = ∑ ̂ 2
JKT = ∑ 2
Keterangan:
R2 = Koefisien determinasi ̂ = Nilai Variabel Terkait Dugaan
JKR = Jumlah Kuadrat Regresi Yi = Nilai Variabel Terkait Aktual
JKT = Jumlah Kuadrat Total ̅ = Nilai Rata-rata Variabel Terkait
2. Uji ekonometrika
Uji ekonometrika ini diantaranya adalah uji autokorelasi, uji
multikolinearitas, uji heteroskedastisitas, dan uji normalitas.
a. Uji Autokorelasi
Penelitian ini akan menggunakan uji Durbin-Watson untuk mendeteksi
adanya autokorelasi. Berikut ini langkah-langkah uji hipotesis Durbin-Watson
(Firdaus, 2004):
1. Tentukan hipotesis nol dan alternatifnya. Hipotesis nol adalah variabel
gangguan tidak mengandung autokorelasi dan hipotesis alternatifnya
adalah variabel gangguan mengandung autokorelasi
2. Hitung besarnya nilai statistik DW dengan rumus:
d =∑
∑
Keterangan:
et = Residu/error pada selang waktu t
3. Bandingkan nilai statistik DW dengan nilai teoritik DW sebagai berikut:
ρ > 0 (autokorelasi positif):
1) Bila DW ≥ du (dengan df n – K – 1); K adalah banyaknya variabel
bebas yang digunakan; H0 diterima jadi ρ = 0 berarti tidak ada
autokorelasi pada model itu
2) Bila DW ≤ dL (dengan df n – K – 1), H0 ditolak, jadi ρ ≠ 0 berarti ada
autokorelasi positif pada model itu
3) Bila dL < DW < du; Uji itu hasilnya tidak konklusif, sehingga tidak
dapat ditentukan apakah terdapat autokorelasi atau tidak pada model
itu
ρ < 0 (autokorelasi negatif):
1) Bila (4 – DW) ≥ du; H0 diterima jadi ρ = 0 berarti tidak ada
autokorelasi pada model itu
2) Bila (4 – DW) ≤ dL; H0 ditolak, jadi ρ ≠ 0 berarti ada autokorelasi
negatif pada model itu
3) Bila dL < (4 – DW); Uji itu hasilnya tidak konklusif, sehingga tidak
dapat ditentukan apakah terdapat autokorelasi atau tidak pada model
itu
distribusi DW terletak di antara dua distribusi, dL dan du, dL adalah batas bawah
nilai DW sedangkan du adalah batas atas nilai DW. Nilai-nilai tersebut telah
disusun dalam tabel Durbin Watson dan dikenal sebagai tabel Durbin Watson
untuk derajat keyakinan 95% dan 99%. Berikut ini merupakan tabel yang dapat
digunakan sebagai ketentuan berikut:
Tabel 6. Aturan keputusan Uji d Durbin-Watson
DW Kesimpulan
Kurang dari 1,10 Ada autokorelasi
1,10 dan 1,54 Tanpa Kesimpulan
1,55 dan 2,46 Tidak ada autokorelasi
2,46 dan 2,90 Tanpa Kesimpulan
Lebih dari 2,91 Ada autokorelasi
Sumber: Gujarati, 2006
b. Uji Multikolinearitas
Uji untuk menemukan ada tidaknya multikolinearitas melalui nilai faktor
varians (Variance Inflation Factor, VIF), apabila nilai ini lebih dari 10 maka tidak
akan ada masalah dalam multikolinearitas yang kuat. Rumus VIF (Gujarati, 2006)
yaitu:
VIF =
Keterangan:
= Koefisien determinasi dari regresi variabel bebas ke-j dengan variabel
bebas lainnya.
c. Uji Heteroskedastisitas
Penelitian menggunakan uji Glejser sebagai deteksi terhadap masalah
heteroskedastisitas dengan meregresikan nilai absolut residual terhadap variabel
bebas. Rumus uji-Glejser (Gujarati 2006) yaitu:
| ei | = B1 + B2 Xi + vi
Keterangan:
| ei | = Nilai absolut residual
Xi = Variabel independen
vi = Faktor residu
Hipotesis yang digunakan dalam pengujian heteroskedastisitas adalah:
H0 : Tidak terdapat heteroskedastisitas (homoskedastisitas)
H1 : Terdapat heteroskedastisitas
Kriteria Pengujian:
p-value uji Glejser < taraf nyata (α), maka tolak H0, sehingga terdapat
heteroskedastisitas;
p-value uji Glejser > taraf nyata (α), maka terima H0, sehingga tidak terdapat
heteroskedastisitas.
Taraf nyata (α) yang digunakan dalam pengujian ini ada sebesar 0.05 (5%)
Kesimpulan dalam uji ini jika variabel independen dalam persamaan signifikan
secara statistik mempengaruhi variabel dependen (nilai absolute residual), maka
ada indikasi heteroskedastisitas.
d. Uji Normalitas
Penelitian ini akan menggunakan uji Jarque-Bera untuk menguji
kenormalitasan data. Rumusnya sebagai berikut (Gujarati 2006):
JB =
[s
2 +
]
Keterangan:
n = Jumlah pengamatan
S = Koefisien Skewness
K = Koefisien Kurtosis
Hipotesis pada uji normalitas adalah sebagai berikut:
H0 = Error term terdistribusi normal
H1 = Error term tidak terdistribusi normal
Kriteria pengujian:
p-value uji JB > α maka terima H0, artinya error term terdistribusi normal;
p-value uji JB < α maka tolak H0, artinya error term tidak terdistribusi normal.
Taraf nyata (α) yang digunakan dalam pengujian ini sebesar 0.05 (5%)
3. Uji ekonomi
Uji secara ekonomi dilakukan berdasarkan tanda yang ada pada setiap
variabel bebas dalam model yang diduga. Terdapat variabel yang diduga memiliki
tanda positif dan negatif. Tanda positif dalam pendugaan ini artinya penambahan
satu variabel independent akan meningkatkan produksi padi dan konsumsi beras
di Indonesia. Sedangkan tanda negatif artinya ketika adanya penambahan satu
variabel indipendent maka akan mengurangi produksi padi atau konsumsi beras di
Indonesia. Variabel yang diduga memiliki tanda positif yaitu luas areal panen
padi, harga riil gabah, tingkat riil upah TK, jumlah varietas unggul padi, curah
hujan, jumlah penduduk, dan harga riil jagung, sedangkan tanda yang diduga
memiliki tanda negatif yaitu harga riil pupuk urea, harga riil beras, dan PDB riil
Indonesia.
4.2.4 Metode ARIMA (Autoregressive Intergrated Moving Average)
Peramalan dalam penelitian ini menggunakan metode ARIMA, metode
ARIMA ini dilakukan melalui lima tahap, yaitu (1) Tahap pemeriksaan
kestasioneran data; (2) Pengidentifikasian model; (3) Pengestimasian parameter
model; (4) Pengujian model; (5) dan Penggunaan model untuk peramalan.
Kestasioneran data pada tahap satu harus dipersiksa data runtut waktunya (apakah
rata-rata dan variasinya konstan, homogenitas dari waktu ke waktu) karena data
yang dianalisis pada ARIMA adalah data yang stasioner. Pemeriksaan itu
dilakukan berdasarkan analisis otokorelasi dan otokorelasi parsial (dibicarakan
kemudian) atas datanya. Jika data sudah stasioner, kemudian dilanjutkan ke tahap
dua namun bila data belum stasioner maka datanya harus ditransformasi dengan
metode tertentu hingga menjadi stasioner.
Data yang tebukti tidak stasioner maka dapat diatasi melalui proses
tertentu. Cara pertama ketika data itu tidak stasioner adalah melakukan
differencing. Kemudian cara kedua adalah melakukan transformasi data ke bentuk
tertentu, misalnya logaritma. Pada ARIMA, proses dilakukan dengan differencing,
yakni selisih antara data tertentu dengan data sebelumnya. Jika differencing
berorder satu, persamaan adalah:
Y’t = Yt – Yt-1
Dimana:
Y’t = Selisih data order Satu
Yt = Data pada waktu t
Yt-1 = Data pada waktu t-1
Beberapa kasus, differencing order satu masih belum menghasilkan data yang
stasioner, untuk itu dapat dilakukan differencing order kedua:
Y’’
t = Y’t – Y
’t-1
Dimana:
Y’’
t = Selisih order ke dua
Y’t-1 = Selisih data order satu pada waktu t-1
Walaupun dimungkinkan untuk melakukan differencing order ketiga, keempat dan
seterusnya, namun untuk ilmu sosial proses differencing (jika ada) hanya
dilakukan sampai dua kali saja.
Model umum dari ARIMA adalah ARIMA (p,d,q), ketika model sudah
stasioner maka tahap selanjutnya mengidentifikasi bentuk model yang akan
digunakan. Tahap ini disebut identifikasi model tentatif; disebut tentatif karena
model masih dapat diubah-ubah lagi, misal dari ARIMA (1,0,0) menjadi (0,0,1)
atau lainnya. Proses identifikasi atau memilih model tentatif dapat pula dilakukan
dengan meilhat pola bar yang ada pada ACF serta PACF; kemudian pola tersebut
dibandingkan dengan pola data yang ada pada model-model rujukan, untuk
memilih pola rujukan mana yang cocok dengan pola ACF dan PACF dari cara
demikian kemudian dari satu model tentatif yang dipilih, dilakukan proses
pembuatan persamaan untuk mulai melakukan forecasting. Proses ini disebut
dengan estimasi. Model ARIMA untuk p adalah order untuk bagian persamaan
AR, d untuk order differencing, dan q adalah order untuk bagian persamaan MA.
Model ARIMA (p,d,q) dapat dinyatakan sebagai berikut jika model yang
dianggap tepat untuk melakukan prediksi:
1. Hanya memuat Autoregressive (AR) saja, maka model disebut ARIMA
(p,0,0). Misal model yang tepat adalah AR(1), maka disebut ARIMA
(1,0,0).
2. Hanya memuat Moving Average (MA) saja, maka model disebut ARIMA
(0,0,q), misal model yang tepat adalah MA(1), maka disebut ARIMA
(0,0,1)
3. Memuat gabungan MA dan AR, namun data telah stasioner, sehingga
tidak memerlukan proses differencing. Pada kondisi tersebut, model
disebut ARIMA (p,0,q) atau dapat juga disebut ARMA (p,q). missal
model yang tepat adalah AR(1) digabung dengan MA(2), maka disebut
ARIMA (1,0,2) atau ARMA (1,2).
4. Memuat gabungan MA, AR, dan proses differencing. Pada kondisi
tersebut, model disebut ARIMA (p,d,q). Misal model yang tepat adalah
AR(2) digabung dengan MA(1) pada kondisi differencing order satu, maka
disebut ARIMA (2,1,1)
Pada tahap dua, model untuk data yang stasioner diidentifikasi
berdasarkan hasil analisis otokorelasi dan otokorelasi parsial atas dasar data yang
stasioner atau data yang sudah di stasionerkan. Hasil identifikasi tersebut akan
dihasilkan model data berupa model AR (Autoregressive), I (Integrated), MA
(Moving Average) atau kombinasi dari dua (ARI, IMA, ARMA) atau tiga
(ARIMA) komponen model itu. Setelah model data diidentifikasi, kemudian
dilakukan pengestimasian parameter modelnya. Parameter model AR diestimasi
dengan analisis regresi melalui pendekatan kuadrat terkecil yang linier. Bila
model mencakup MA, walaupun modelnya ditulis dalam bentuk linier, namun
cara menghitungnya dilakukan dengan cara tertentu yang berbeda dari analisis
regresi linier dengan kuadrat terkecil tersebut. Caranya bermacam-macam, tetapi
yang lazim melalui metode nonlinier dan biasanya melalui dua tahapan, yaitu
estimasi awal dan estimasi lanjutan sehingga dihasilkan estimasi akhir, namun
dalam parameter akhir biasanya hasilnya tergolong sulit dan biasanya dilakukan
dengan bantuan komputer.
Model Moving Average (MA) adalah model untuk memprediksi Yt sebagai
fungsi dari kesalahan prediksi di masa lalu (past forecast error) dalam
memprediksi Yt, dimana model ditentukan oleh suatu konstanta e ditambah
pergerakan rata-rata nilai sekarang dan periode sebelumnya dari e disebut first-
order Moving Average atau MA (1) (Santoso, 2009), yaitu:
Yt = e - W1 et-1 – w2 et-2 - … - wq et-q
Dimana:
Yt = Nilai MA yang diprediksi
et = Error yang menjelaskan efek dari variabel yang tidak dijelaskan
oleh model
W1,2,…,q = Koefisien atau bobot (weight)
et-1, t-2, ..,t-q = Nilai tahun sebelumnya
Model Autoregressive (AR) adalah model untuk memprediksi Yt sebagai fungsi
dari data di masa yang lalu, yakni t-1, t-2, .., t-n. Persamaan AR:
Yt = A1Yt-1 + A2Yt-2 + …. + ApYt-p + et
Dimana:
Yt = Nilai AR yang diprediksi
Ap = Koefisien
Yt-1,Yt-2,..,Yt-p = Nilai lag dari time series
et = Error yang menjelaskan efek dari variabel yang tidak dijelaskan
oleh model
Model Campuran (ARMA) berisi gabungan persamaan AR dan MA:
Yt = AtYt-1 + A2Yt-2 + ... + ApYt-p + et + (-W1et-1 ) – W2et-q
Model tentatif tersebut ketika sudah didapatkan model terbaik kemudian
dievaluasi apakah telah memenuhi syarat untuk digunakan. Proses ini dinamakan
diagnosik. Menurut Firdaus (2011) Pengujian diagnosik dilakukan melalui enam
kriteria yaitu: (1) Residual atau error bersifat random; (2) Model bersifat
parsimonius; (3) Parameter yang dietimasi berbeda nyata dengan nol; (4)
Koefisien invertibilitas ataupun stasioneritas terpenuhi; (5) Proses iterasi harus
convergence; (6) Model harus memliki MSE yang kecil. Jika model tidak lolos
saat diagnosa, model akan diperbaiki, yang dapat berpeluang pada proses
estimasi. Namun jika model telah dianggap layak, proses dapat dilanjutkan
dengan malakukan kegiatan prediksi menggunakan model yang telah dipilih
tersebut. Proses ini dinamakan forecasting (prediksi).
Tahap selanjutnya adalah penggunaan model untuk peramalan. Peramalan
dalam penelitian ini yaitu tentang produksi dan konsumsi beras domestik. Setalah
model yang sesuai diperolah maka dapat membuat peramalan untuk satu atau
beberapa periode mendatang. Namun semakin jauh peramalan maka interval
keyakinan semakin besar dan dalam penelitian ini dilakukan peramalan mengenai
produksi dan konsumsi beras domestik hingga tiga tahun kedepan yaitu hingga
tahun 2017. Peramalan dan interval dihitung dengan program Box-Jenkins.
Kemudian semakin banyak data yang tersedia, model yang sama dapat digunakan
untuk mengubah peramalan dengan cara memilih waktu awal yang lain. Data
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dalam kurun waktu tiga puluh tahun
terakhir yaitu 1985-2014 dimana dalam kurun waktu ini telah menjawab
peralaman yang akan dilakukan.
V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia
Perkembangan produksi dan konsumsi beras di Indonesia menunjukkan
kondisi yang berfluktuasi setiap tahunnya (lampiran 1). Pertumbuhan produksi
dan konsumsi pada tahun 1985-2014 rata-rata sebesar 2,1% dan 1,4% dengan
rata-rata produksi sebesar 33.083,45 ribu ton dan 32.483,98 ribu ton. Peningkatan
produksi beras yang terjadi di Indonesia diakibatkan oleh peningkatan
produktivitas dan luas areal panen padi setiap tahunnya, sedangkan peningkatan
konsumsi beras diakibatkan pertumbuhan penduduk yang terus meningkat.
Komoditas beras masih dipandang sebagai produk kunci dalam perekonomian
Indonesia sehingga kekurangan persediaan merupakan ancaman bagi kestabilan
ekonomi dan politik. Perkembangan kebijakan padi dan perberasan nasional
sebenarnya telah dimulai pada abad ke-20 saat pemerintah kolonial Belanda
mendeklarasikan kebijakan mengenai “politik etika” dengan trilogi instrumen
kebijakan yaitu irigasi, edukasi, dan migrasi dengan tujuan meningkatkan
produksi tanaman pangan terutama beras.
Menurut Hafsah dan Sudaryanto (2004) sejarah telah mencatat Indonesia
pernah mencapai swasembada beras pada tahun 1984. Keberhasilan swasembada
beras ini disebabkan oleh dukungan politik pemerintah yang memprioritaskan
pembangunan pertanian disertai kebijakan ekonomi makro yang mendukung,
terobosan teknologi baru (Revolusi Hijau) budi daya padi sawah, dan kebijakan
intensifikasi pertanian (Bimas) yang mengatur penerapan paket teknologi secara
sentralistik. Swasembada beras pada tahun 1984 telah diakui oleh dunia dan
mendapat penghargaan besar dari Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO)
dimana Indonesia ditunjuk sebagai contoh negara berkembang yang berhasil
memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Tahun 1968-1984 laju produktivitas
padi meningkat sebesar 5% per tahun dan saat itu tertinggi di Asia Tenggara dan
Asia Selatan.
Sejarah intensifikasi padi telah dimulai pada masa kemerdekaan dimana
upaya untuk meningkatkan produksi pertanian dimulai dengan adanya Rencana
Kasimo yang merupakan rencana 3 tahunan (1948-1950) dengan mendirikan
Balai Pendidikan Masyarakat Desa (BPMD). Selanjutnya pada bulan Desember
1949, pemerintah memulai usaha pembangunan pertanian yang lebih sistematis
yaitu menggabungkan Rencana Kasimo dengan Rencana Wisaksono menjadi
Rencana Kesejahteraan Istimewa (RKI). Rencana ini diwujudkan dengan
perbanyak benih unggul, perbaikan dan perluasan pengairan, penggunaan pupuk
fosfat dan nitrogen pada padi, pemberantasan hama tanaman, pengendalian
bahaya erosi, intensifikasi tanah kering, serta pendidikan masyarakat desa.
Strategi intensifikasi yang digelar sejak awal adalah strategi pembelajaran
dengan tujuan supaya petani menjadi mandiri. Program intensifikasi ini
menerapkan teknologi panca usaha tani yang sebenarnya tidak terlalu berbeda
dengan teknologi yang diterapkan dalam RKI. Setahun kemudian yaitu tahun
1959 mulai dilakukannya gerakan peningkatan produksi pangan dengan
membentuk Badan Perusahaan Produksi Bahan Makanan dan Pembukaan Tanah
(BPMT) dengan tujuan mencapai swasembada beras selama tiga tahun, namun
program ini gagal karena tidak mencapai swasembada pada tahun yang
ditentukan. Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 1963 juga berperan dalam
membantu meningkatkan produksi beras melalui pilot proyek (action research)
yang dilaksanakan di Karawang dan mampu meningkatkan hasil panen dua kali
lipat dari sebelumnya. Teknologi yang digunakan pada proyek tersebut meliputi
penggunaan bibit unggul bermutu, pemupukan sesuai rekomendasi, pengendalian
hama penyakit, pembibingan dan penyuluhan intensif kepada petani. Keberhasilan
program ini kemudian ditindaklanjuti dengan Program Demonstrasi Massal
(Demas) yang dilaksanakan di beberapa kabupaten di Indonesia.
Tahun 1967, Bimas dikembangkan melalui Keputusan Menteri Pertanian
untuk lebih meningkatkan kinerja pelaksanaan intensifikasi pada beberapa sentra
produksi padi. Bersamaan dengan itu ditemukannya teknologi terobosan baru
berupa benih unggul padi sawah yang sangat responsif terhadap pemupukan dan
teknik budi daya, yaitu IR5 dan IR8 (PB5 dan PB8) oleh International Rice
research Institute (IRRI). Program Bimas ternyata memerlukan biaya yang besar
dan sebagian besar sarana produksi berupa pupuk kimia dan pestisida harus
diimpor sehingga untuk mengatasi masalah tersebut dilakukan kerjasama dengan
perusahaan asing penghasil pestisida atau pupuk kimia. Kerjasama ini dinamakan
program Bimbingan Massal Gotong Royong (Bimas GR) namun konsumsi
pestisida dan pupuk kimia dalam program ini menjadi meningkat pesat dan
berdampak negatif pada kerusakan lingkungan. Menyadari dampak buruk tersebut
maka dikeluarkannya keputusan pelanggaran 52 jenis pestisida pada tanaman
padi, dan mulai mengendalikan program pengendalian hama terpadu (HPT).
Program ini berhasil mengurangi jumlah penggunaan pestisida. Tanggal 1
Desember 1969, program Bimas disempurnakan menjadi program Bimas
Nasional dengan dibentuknya Badan Pengendali Bimas melalui Keppres nomor
95 tahun 1969 dengan menyediakan kredit bunga rendah serta pupuk kimia, bibit
unggul, dan pestisida melalui harga yang disubsidi oleh pemerintah.
Program Bimas kemudian dikembangkan menjadi Intensifikasi Khusus
(Insus) dimana program dilaksanakan oleh petani sehamparan secara berkelompok
guna memanfaatkan sumber daya secara optimal. Kelompok tani ini juga dibentuk
untuk mempermudah penyaluran kredit dan sarana produksi serta penyuluhan
yang terorganisir. Upaya selanjutnya yang dilakukan pemerintah adalah investasi
prasarana irigasi, perluasan areal persawahan, dan investasi penelitian dan
pengembangan pertanian dengan membentuk Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian (BPPP) pada tahun 1974, berbagai program intensifikasi
tersebut akhirnya memberikan hasil dengan tercapainya swasembada beras pada
tahun 1984.
5.1.1 Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia Periode
1985-1994
Perkembangan produksi dan konsumsi beras di Indonesia pada periode
1985-1994 menunjukkan kondisi yang berfluktuasi. Peningkatan produksi pada
tahun 1985-1988 dikarenakan tersedianya cukup banyak varietas baru pada pelita
III, program intesifikasi berjalan lancar, disamping Insus (Intensifikasi Khusus)
untuk daerah berpengairan baik, dan Opsus (Operasi Khusus) untuk daerah yang
memiliki hambatan dalam program intensifikasi. Peningkatan produksi padi
sebesar 2,5% pada tahun 1985-1988 ternyata belum mampu menutupi konsumsi
beras pada tahun tersebut. Hal ini dikarenakan peningkatan konsumsi beras
domestik lebih besar dari pada produksinya sehingga tahun 1985-1988 Indonesia
masih mengimpor beras dalam jumlah yang cukup besar dengan rata-rata pertahun
sebesar 392 ribu ton. Tahun 1989-1990 konsumsi beras domestik lebih kecil
dibanding produksinya. Hal ini dikarenakan terjadinya peningkatan produktivitas
sebesar 1,41%. Produksi kembali menurun pada tahun 1991 sebesar 1,1%
sehingga pada tahun ini Indonesia kembali mengalami defisit beras sebesar 628
ribu ton. Peningkatan produksi terbesar terjadi pada tahun 1992. Hal ini
dikarenakan terjadi peningkatan luas areal panen padi sebesar 8,07% dari tahun
sebelumnya, sehingga produksi padi dapat ditingkatkan sebesar 8% pada tahun
tersebut. Tahun 1994 terjadi penurunan produksi yang sangat pesat sebesar
3,18%. Hal ini disebabkan penurunan luas areal panen sebesar 2,51% akibat El
Nino.
Tabel 7 Luas panen, produktivitas dan produksi padi di Indonesia periode 1985-
1994
Tahun Areal panen
(000 Ha)
Pert.
(%)
Produktivitas
(Ton/Ha)
Pert.
(%)
Produksi padi
(000 Ton)
Pert.
(%)
1985 9.902,29 - 3,94 - 39.032,95 -
1986 9.988,45 0,87 3,98 0,89 39.727,12 1,78
1987 9.902,86 -0,86 4,04 1,66 40.036,14 0,78
1988 10.120,88 2,20 4,11 1,76 41.638,92 4,00
1989 10.505,57 3,80 4,25 3,38 44.685,13 7,32
1990 10.464,65 -0,39 4,31 1,41 45.132,64 1,00
1991 10.256,02 -1,99 4,35 0,88 44.621,36 -1,13
1992 11.083,94 8,07 4,35 -0,05 48.205,35 8,03
1993 10.993,92 -0,81 4,38 0,67 48.129,35 -0,16
1994 10.717,73 -2,51 4,35 -0,69 46.598,38 -3,18
Rata-rata 10.393,63 0,93 4,21 1,10 43.780,74 2,05
Sumber: Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pertanian, 2015
Sumber: Kementerian Pertanian, 2015 (diolah)
Gambar 7 Produksi dan konsumsi beras di Indonesia periode 1985-1994
5.1.2 Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia Periode
1995-2004
Perkembangan produksi beras pada tahun 1995-1996 kembali meningkat
dari tahun sebelumnya. Hal ini dikarenakan terjadinya peningkatan luas areal
0
5000
10000
15000
20000
25000
30000
35000
1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994
Produksi Beras (Ribu Ton) Konsumsi Beras (Ribu Ton)
panen padi sebesar 6,56%. Tahun 1997 Indonesia mengalami kembali
mengalami defisit beras hal ini dikarenakan terjadinya El-Nino yang
berkepanjangan sehingga produksi beras mengalami penurunan yang cukup
tajam dan terparah sepanjang perkembangan beras di Indonesia setelah
kemerdekaan yaitu sebesar 3,3%. Dampak dari hal ini adalah terjadinya
peningkatan volume impor dalam jumlah yang cukup besar yaitu sebesar 1,3 juta
ton pada tahun 1998.
Tabel 8 Luas panen, produktivitas dan produksi padi di Indonesia periode 1995-
2004
Tahun Areal panen
(000 Ha)
Pert.
(%)
Produktivitas
(Ton/Ha)
Pert.
(%)
Produksi padi
(000 Ton)
Pert.
(%)
1995 11.420,68 6,56 4,35 0,09 49.697,44 6,65
1996 11.550,05 1,13 4,42 1,56 51.048,89 2,72
1997 11.126,39 -3,67 4,43 0,32 49.339,09 -3,35
1998 11.716,45 5,30 4,19 -5,30 49.199,84 -0,28
1999 11.963,20 2,11 4,25 1,26 50.866,39 3,39
2000 11.793,58 -1,42 4,40 3,50 51.898,85 2,03
2001 11.489,99 -2,57 4,39 -0,20 50.460,78 -2,77
2002 11.521,17 0,27 4,47 1,75 51.489,69 2,04
2003 11.488,03 -0,29 4,54 1,54 52.137,60 1,26
2004 11.922,97 3,79 4,54 -0,04 54.088,38 3,74
Rata-rata 11.599,25 1,12 4,39 0,45 51.022,69 1,54
Sumber: Badan Pusat Statistik dan Kemeterian Petanian (2015)
Sumber: Kementerian Pertanian (2015) diolah
Gambar 8 Produksi dan konsumsi beras di Indonesia periode 1995-2004
Semenjak terjadinya kemarau panjang El-Nino produksi beras di Indonesia
terus mengalami defisit beras hingga tahun 2004. Hal yang dilakukan pemerintah
adalah melakukan kebijakan untuk meningkatkan produksi padi melalui
peningkatan produktivitas padi sehingga pada tahun 1999 produktivitas mampu
meningkat hingga mencapai 3,5% dan produksi padi berhasil meningkat sebesar
28000
29000
30000
31000
32000
33000
34000
35000
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Produksi Beras (Ribu Ton) Konsumsi Beras (Ribu Ton)
3,4% pada tahun 1999 namun produksi beras belum mampu menutupi konsumsi
beras domestik hingga tahun 2004. Dampak dari hal ini adalah impor beras
masih dilakukan hingga tahun 2004 dengan rata-rata pertahun sebesar 581 ribu
ton.
5.1.3 Perkembangan Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia Periode
2005-2014
Perkembangan produksi padi pada tahun 2005-2009 terus mengalami
peningkatan. Luas areal panen padi yang menurun pada tahun 2005-2006 sebesar
0,26% ternyata tidak berdampak pada produktivitas padi dimana produktivitas
padi tetap meningkat di tahun ini. Peningkatan produksi beras berimplikasi pada
tercapainya swasembada beras relatif pada tahun 2008 karena pada tahun ini
produksi beras melebihi konsumsi beras. Tahun 2011 akibat kemarau panjang El
Nino produksi beras kembali menurun sebesar 1,1% dari tahun sebelumnya.
Penurunan yang terjadi pada konsumsi beras di tahun ini juga diakibatkan oleh
penurunan pola konsumsi langsung untuk pangan sebesar 2,59% per kapita. Hal
ini dikarenakan terjadinya diversifikasi pangan dari beras ke non beras,
meningkatnya kesejahteraan masyarakat menyebabkan pola konsumsi berubah ke
pola makanan alternatif seperti gandum, kentang, jagung, umbi-umbian dan
lainnya. Penurunan konsumsi beras menunjukkan keberhasilan diversifikasi
pangan di Indonesia sehingga diharapakan akan berimplikasi pada penurunan
ketergantungan bangsa Indonesia terhadap beras.
Penurunan produksi beras yang terjadi tidak berimplikasi pada krisis beras
karena konsumsi beras juga mengalami penurunan sehingga produksi beras masih
mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Impor yang masih terjadi
diakibatkan distribusi beras yang masih sulit dilakukan untuk daerah terpencil,
stok beras (cadangan beras pemerintah) yang harus tersedia di akhir tahun
minimal sebesar 1,25 juta ton mengakibatkan beras harus tersedia di dalam negeri
kapanpun dimanapun (Bulog, 2010). Oleh karena itu, impor tetap boleh dilakukan
dengan tujuan mengantisipasi masalah kekurangan pangan, gejolak harga,
keadaan darurat akibat bencana dan kerawanan pangan serta memenuhi
kesepakatan Cadangan Beras Darurat ASEAN (ASEAN Emergency Rice Reserve,
AERR).
Tabel 9 Luas panen, produktivitas dan produksi padi di Indonesia periode 2005-
2014
Tahun Areal panen
(000 Ha)
Pert.
(%)
Produktivitas
(Ton/Ha)
Pert.
(%)
Produksi padi
(000 Ton)
Pert.
(%)
2005 11.839,06 -0,70 4,57 0,84 54.151,09 0,12
2006 11.786,43 -0,44 4,62 1,01 54.454,94 0,56
2007 12.147,64 3,06 4,71 1,84 57.157,44 4,96
2008 12.327,43 1,48 4,89 4,02 60.325,93 5,54
2009 12.883,58 4,51 4,99 2,15 64.398,89 6,75
2010 13.253,45 2,87 5,02 0,32 66.469,39 3,22
2011 13.203,64 -0,38 4,98 -0,70 65.756,90 -1,07
2012 13.445,52 1,83 5,14 3,13 69.056,13 5,02
2013 13.835,25 2,90 5,15 0,31 71.279,71 3,22
2014 13.797,31 -0,27 5,14 -0,33 70.846,47 -0,61
Rata-rata 12.851,93 1,49 4,92 1,26 63.389,69 2,77
Sumber: Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pertanian (2015)
Sumber: Kementerian Pertanian (2015) diolah
Gambar 9 Produksi dan konsumsi beras di Indonesia periode 2005-2014
Konsumsi beras jika dihitung per musim tanam produksi padi yaitu per 4
bulan asumsi tahun 2014 yaitu sebesar 12 juta ton dimana impor dilakukan untuk
menjaga stok tersedia pada awal tahun, jika pada awal tahun terjadi kegagalan
panen maka ketersediaan beras dari sisaan padi pada tahun 2014 ditambah impor
beras akan mampu menutupi kekurangan beras selama 4 bulan sehingga harga
beras tetap stabil namun kondisi volume impor yang dilakukan hingga akhir tahun
2014 menyebabkan pemerintah menetapkan program swasembada beras pada
tahun 2017 dengan tujuan menjaga produksi beras dalam negeri dan
ketergantungan Indonesia terhadap impor. Program ini diharapkan dapat
terealisasikan melalui berbagai kebijakan penunjang lainnya yang mendukung
program ini. Berikut ini perkembangan produksi dan konsumsi beras di Indonesia.
0
10000
20000
30000
40000
50000
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Produksi Beras (Ribu Ton) Konsumsi Beras (Ribu Ton)
5.2 Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Padi dan
Konsumsi Beras Domestik
Pendugaan model menggunakan metode regresi berganda dengan fungsi
linear dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi produksi
padi dan konsumsi beras domestik. Hal ini dilakukan untuk mendukung program
swasembada beras yang ada di Indonesia. Alat yang digunakan dalam
pembentukan model ini yaitu software Minitab versi 16. Data yang digunakan
merupakan data 30 tahun terakhir yaitu dari tahun 1985 hingga 2014 dengan
periode tahunan. Pembentukan model produksi padi dilakukan dengan
menggunakan satu variabel dependen dan enam variabel independen sedangkan
pembentukan model konsumsi beras dilakukan dengan menggunakan satu
variabel dependen dan empat variabel independen. Model terbaik yang dihasilkan
sudah memenuhi kriteria pengujian yang telah ditentukan sebelumnya (lampiran 2
dan 4).
5.2.1 Model Produksi Padi Domestik
Fungsi produksi padi domestik didapatkan dengan memasukkan variabel-
variabel independen yang diestimasi mempengaruhi produksi padi domestik
dalam persamaan regresi linear berganda. Hasil estimasi parameter pada produksi
padi dapat dilihat pada tabel 10. Berdasarkan tabel 10, fungsi produksi padi
domestik memiliki R-sq (adj) sebesar 0,972. Artinya keragaman produksi padi
domestik dapat dijelaskan oleh variabel-variabel independen sebesar 97%,
sedangkan sisanya 3% dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak terdapat
dalam persamaan. Hasil estimasi fungsi produksi padi domestik diketahui bahwa
Pvalue untuk uji statistik-F yaitu 0,000 yang lebih kecil dari taraf nyata α = 0,05.
Hal ini menunjukkan bahwa seluruh variabel indipenden bersama-sama mampu
menjelaskan produksi padi domestik pada selang kepercayaan 95%. Uji-t
dilakukan dengan melihat nilai probabilitas pada variabel independen. Jika nilai
probabilitas variabel independen lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan,
maka variabel independen berpengaruh terhadap variabel dependen.
Tabel 10 Hasil analisis model regresi produksi padi domestik
Variabel Koefisien Standar Error T-Hitung P-Value VIF
Constant -40953 4870 -8,41 0,000 NA
LAP 7,6720 0,4498 17,05 *0,000 3,190
HG 0,1719 0,7482 0,23 0,820 3,644
HPU -0,8605 0,5515 -1,56 *0,132 1,380
UBT 0,1354 0,1077 1,26 0,221 1,614
JVUP -17,69 28,400 -0,62 0,539 1,249
CH 0,8149 0,6733 1,21 0,238 1,280
R-Sq = 97,8%
R-Sq(adj) = 97,2%
P-Value, Uji DW = 1,31 , P-Value, Uji Run Test = 0,265
F = 167,49
P-Value model = 0,000
Sumber : Data Sekunder Diolah (2016)
Keterangan : *Nyata pada taraf α = 0,05
**Nyata pada taraf α = 0,15
Berdasarkan tabel 10, maka fungsi produksi padi domestik adalah sebagai berikut:
PP = - 40953 + 7,67 LAP + 0,172 HG – 0,681 HPU + 0,0,135 UBT – 17,7
JVUP + 0,815 CH + et
Keterangan:
PP = Produksi beras (Ribu Ton)
LAP = Luas areal panen (Ribu Ha)
HG = Harga riil gabah (Rp/Kg)
HPU = Harga riil pupuk urea (Rp/Kg)
UBT = Tingkat riil upah TK (Rp/HOK)
JVUP = Jumlah varietas unggul padi (Jenis)
CH = Curah hujan (Mm)
Berdasarkan tabel 10, fungsi produksi padi domestik menunjukkan bahwa
probabilitas variabel luas areal panen memiliki nilai lebih kecil dari taraf nyata α
= 0,05 yang berarti bahwa variabel tersebut positif berpengaruh signifikan
terhadap produksi padi domestik pada taraf nyata 5% sedangkan harga pupuk urea
memiliki nilai lebih kecil dari taraf nyata α = 0,15 yang berarti bahwa variabel
tersebut positif berpengaruh signifikan terhadap produksi padi domestik pada taraf
nyata 15%. Variabel harga riil gabah, tingkat riil upah tenaga kerja, jumlah
varietas unggul benih padi, dan curah hujan memiliki nilai lebih besar dari taraf
nyata α = 0,15, artinya variabel tersebut positif berpengaruh tetapi tidak signifikan
terhadap produksi padi domestik.
Suatu fungsi harus memenuhi uji ekonomi klasik dan uji ekonomi. Uji
ekonomi klasik meliputi pengujian asumsi-asumsi dasar dengan melihat masalah
autokorelasi, multikolinieritas, heteroskedastisitas dan normalitas. Uji ekonomi
klasik yang digunakan untuk melihat pelanggaran asumsi dalam persamaan adalah
sebagai berikut:
1. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi menggunakan uji Durbin-Watson. Aturan dalam
mengambil keptusan Uji DW terlihat pada tabel 6 dimana fungsi produksi padi
domestik memiliki nilai DW sebesar 1,31 atau berada diantara 1,10 dan 1,54 yang
berarti tidak dapat diketahui apakah terjadi autokorelasi atau tidak (tanpa
kesimpulan) sehingga diperlukan uji Run-Test untuk melihat apakah fungsi
produksi padi terjadi autokorelasi atau tidak. Jika Pvalue pada uji ini lebih besar
dari taraf nyata α = 0,05 maka fungsi produksi padi tidak terjadi autokorelasi.
Pvalue pada Uji Run-Test sebesar 0,265, artinya lebih besar dari taraf nyata 5%
sehingga tidak terjadi masalah autokorelasi pada fungsi produksi padi.
2. Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas untuk memastikan tidak adanya hubungan linear
antara variabel independen. Uji multikolinearitas dalam fungsi produksi beras
domestik dilihat dari nilai Variance Inflation Factor (VIF) pada masing-masing
variabel independen. Apabila nilai VIF kurang dari sepuluh, maka variabel
independen tersebut tidak mengalami masalah multikolinearitas yang serius,
sedangkan jika nilai VIF lebih dari sepuluh maka variabel independen pada fungsi
produksi mengalami masalah multikolinearitas yang serius. Tabel 10
menunjukkan bahwa nilai VIF semua variabel independen pada fungsi konsumsi
beras domestik lebih kecil dari 10 yaitu antara 1,249 sampai dengan 3,644. Hal ini
menunjukkan bahwa antara variabel independen satu dengan variabel lainnya
yang berada di dalam fungsi produksi beras domestik tidak terdapat masalah
multikolinearitas yang serius.
3. Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas menggunakan uji Glejser, jika nilai Pvalue lebih
besar dari taraf nyata yang digunakan, maka tidak terdapat masalah
heteroskedastisitas. Jika nilai Pvalue lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan,
maka terdapat masalah heteroskedastisitas pada model produksi padi domestik.
Berdasarkan lampiran 2, nilai Pvalue sebesar 0,127 atau nilai probabilitas lebih
besar dari taraf nyata α = 0,05, artinya tidak terdapat masalah heteroskedastisitas
pada fungsi produksi padi domestik.
4. Uji Normalitas
Uji normalitas menggunakan metode Jarque-Bera. Jika probabilitas lebih
besar dari taraf nyata yang digunakan, maka residual tersebar normal. Jika nilai
probabilitas lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan, maka residual tidak
tersebar normal. Fungsi produksi padi domestik memiliki probabilitas sebesar
0,097 atau lebih besar dari taraf nyata α = 0,05 (lampiran 2), artinya residual
tersebar normal atau tidak terjadi masalah normalitas pada fungsi produksi padi.
Sedangkan uji ekonomi dilihat melalui hipotesis awal penelitian pada
persamaan produksi padi domestik dengan melihat tanda pada koefisien variabel
independen dalam fungsi produksi. Variabel yang diduga tidak sesuai dengan
hipotesis yang diharapkan adalah varietas unggul benih padi. Hal ini
menunjukkan bahwa variabel varietas unggul benih padi pada fungsi produksi
padi domestik tidak memenuhi kriteria ekonomi. Hal ini dikarenakan varietas
unggul padi memiliki harga yang relatif tinggi dibandingkan varietas lokal
sehingga tidak semua petani menggunakan varietas unggul dalam proses
produksinya. Menurut Wardojo (1993) Padi dihasilkan oleh 18 juta petani pangan,
49% diataranya adalah petani sempit yang menguasai lahan kurang dari 0,24
ha/keluarga, dimana rata-rata petani ini hanya menggunakan varietas lokal dalam
proses produksinya.
1. Luas Areal panen padi
Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa luas areal panen padi
berpengaruh nyata terhadap produksi padi domestik. Hal ini dapat dilihat bahwa
nilai Pvalue sebesar 0,000 atau kurang dari taraf nyata 0,05. Adapun koefisien luas
areal panen padi adalah 7,67 (bernilai positif) yang artinya peningkatan luas areal
panen akan meningkatkan produksi padi domestik. Setiap penambahan rata-rata
luas areal panen sebesar 1 ribu ha maka akan meningkatkan produksi padi
domestik sebesar 7,67 ribu ton dengan faktor lain dianggap tetap (cateris
paribus). Hal ini dikarenakan ketika petani menambah luas lahan panen padi
maka otomatis produksi padi akan bertambah diakibatkan 1 ha produksi padi akan
menghasilkan rata-rata 6-7 ton padi gabah kering (Kementerian Pertanian).
2. Harga Riil Pupuk Urea
Berdasarkan hasil estimasi diketahui bahwa harga riil pupuk urea
berpengaruh secara nyata terhadap produksi padi domestik. Hal ini dapat dilihat
bahwa nilai Pvalue sebesar 0,132 lebih besar dari taraf nyata 0,15. Adapun
koefisien harga riil pupuk urea adalah -0,861 (bernilai negatif) yang artinya ketika
terjadi peningkatan harga riil pupuk urea maka akan menurunkan produksi padi
domestik. Setiap peningkatan rata-rata harga riil pupuk urea sebesar 1 Rp/kg maka
akan menurunkan produksi padi sebesar 0,861 ribu ton dengan faktor lain
dianggap tetap (cateris paribus). Hal ini dikarenakan ketika harga riil pupuk urea
naik maka petani akan mengurangi jumlah penggunaan pupuk urea dimana akan
berdampak pada penurunan produksi padi.
5.2.2 Model Konsumsi Beras Domestik
Berdasarkan hipotesis penelitian fungsi konsumsi beras domestik
didapatkan dengan mamasukkan variabel-variabel independen yang diestimasi
mempengaruhi konsumsi beras domestik ke dalam persamaan regresi linear
berganda. Hasil estimasi fungsi konsumsi beras dapat dilihat pada tabel 11.
Berdasarkan tabel 11, maka fungsi konsumsi beras domestik adalah sebagai
berikut:
Ln (KB) = 3,70 – 0,000004 HB + 0,000006 POP – 0,000015 PDB + 0,000005 HJ
Keterangan:
KB = Konsumsi beras (Ton)
HB = Harga riil beras (Rp/Kg)
POP = Jumlah penduduk Indonesia (Ribu Jiwa)
PDB = PDB riil Indonesia (Rp.T)
HJ = Harga riil jagung (Rp/Kg)
Berdasarkan tabel 11, fungsi konsumsi beras domestik memiliki R-sq (adj)
sebesar 0,968. Artinya keragaman konsumsi beras domestik dapat dijelaskan oleh
variabel-variabel independen sebesar 97%, sedangkan sisanya 3% dijelaskan oleh
variabel-variabel lain yang tidak terdapat dalam persamaan. Hasil estimasi fungsi
konsumsi beras domestik diketahui bahwa nilai Pvalue untuk uji statistik-F yaitu
0,000 yang lebih kecil dari taraf nyata α = 0,05 (tabel 11). Hal ini menunjukkan
bahwa seluruh variabel independen secara bersama-sama mampu menjelaskan
konsumsi beras domestik pada selang kepercayaan 95%.
Tabel 11 Hasil analisis model regresi konsumsi beras domestik
Variabel Koefisien Standar Error T-Hitung P-Value VIF
Constant 3,70406 0,02804 132,11 0,000 -
HB -0,000005 0,000005 -0,93 0,361 2,658
POP 0,000006 0,0000004 12,79 *0,000 8,117
PDB -0,000015 0,000005 -2,79 *0,010 8,267
HJ 0,000005 0,0000067 0,73 0,471 3,687
R-Sq = 97,3%
R-Sq(adj) = 96,8%
P-Value, Uji DW = 1,815
F = 212,29
P-Value model = 0,000
Sumber : Data Primer Diolah (2016)
Keterangan : *Nyata pada taraf α = 0,05
Uji-t dilakukan dengan melihat nilai probabilitas pada variabel
independen. Jika nilai probabilitas variabel independen lebih kecil dari taraf nyata
yang digunakan maka variabel independen berpengaruh terhadap variabel
dependen. Berdasarkan tabel 11, fungsi konsumsi beras domestik menunjukkan
bahwa probabilitas variabel jumlah penduduk dan PDB riil Indonesia lebih kecil
dari taraf nyata α = 0,05 yang berarti bahwa variabel tersebut positif berpengaruh
signifikan terhadap konsumsi beras domestik, sedangkan variabel harga riil beras
dan harga riil jagung menunjukkan probabilitas yang lebih besar dari taraf nyata α
= 0,05, artinya variabel tersebut positif berpengaruh tetapi tidak signifikan
terhadap konsumsi beras domestik.
Suatu fungsi harus memenuhi kriteria uji ekonomi klasik dan uji ekonomi.
Uji ekonomi klasik meliputi pengujian asumsi-asumsi dasar dengan melihat
masalah autokorelasi, multikolinieritas, heteroskedastisitas dan normalitas. Uji
ekonomi klasik yang digunakan untuk melihat pelanggaran asumsi dalam
persamaan adalah sebagai berikut:
1. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi menggunakan uji Durbin-Watson. Jika nilai DW lebih
dari 1,55 sampai dengan 2,46 maka kesimpulannya tidak terjadi autokorelasi.
Fungsi konsumsi beras domestik memiliki nilai DW sebesar 1,815 atau berada
diantara 1,55 sampai 2,46, artinya tidak terjadi masalah autokorelasi pada fungsi
konsumsi beras.
2. Uji Multikolinieritas
Uji multikolinearitas untuk memastikan tidak adanya hubungan linear
antara variabel independen. Uji multikolinearitas dalam fungsi konsumsi beras
domestik dilihat dari nilai Variance Inflation Factor (VIF) pada masing-masing
variabel independen. Apabila nilai VIF kurang dari sepuluh, maka variabel
independen tersebut tidak mengalami masalah multikolinearitas yang serius,
sedangkan jika nilai VIF lebih dari sepuluh maka variabel independen pada fungsi
konsumsi mengalami masalah multikolinearitas yang serius. Tabel 11
menunjukkan bahwa nilai VIF semua variabel independen pada fungsi konsumsi
beras domestik lebih kecil dari 10 yaitu antara 2,658 sampai dengan 8,267. Hal ini
menunjukkan bahwa antara variabel independen satu dengan variabel lainnya
yang berada di dalam fungsi konsumsi beras domestik tidak terdapat masalah
multikolinearitas yang serius.
3. Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas menggunakan uji Glejser, jika nilai Pvalue lebih
besar dari taraf nyata yang digunakan, maka tidak terdapat masalah
heteroskedastisitas. Apabila nilai Pvalue lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan,
maka terdapat masalah heteroskedastisitas pada model konsumsi beras domestik.
Berdasarkan lampiran 4, nilai Pvalue sebesar 0,124 atau nilai Pvalue lebih besar dari
taraf nyata α = 0,05, artinya tidak terdapat masalah heteroskedastisitas pada fungsi
produksi padi domestik.
4. Uji Normalitas
Uji normalitas menggunakan metode Jarque-Bera. Apabila nilai
probabilitas lebih besar dari taraf nyata yang digunakan maka residual tersebar
normal, jika nilai probabilitas lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan, maka
residual tidak tersebar normal. Fungsi konsumsi beras domestik memiliki nilai
probailitas sebesar 0,102 atau lebih besar dari taraf nyata α = 0,05 (lampiran 4),
artinya residual tersebar normal atau tidak terjadi masalah normlalitas pada fungsi
konsumsi beras domestik.
Sedangkan uji ekonomi dilihat melalui hipotesis awal penelitian pada
persamaan konsumsi beras domestik dengan melihat tanda pada koefisien variabel
independen dalam fungsi konsumsi beras domestik. Tanda pada koefisien variabel
indipenden dalam fungsi konsumsi beras domestik sesuai dengan hipotesis yang
diharapkan. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi konsumsi beras domestik
memenuhi kriteria ekonomi.
1. Jumlah Penduduk Indonesia
Berdasarkan hasil estimasi diketahui bahwa jumlah penduduk Indonesia
berpengaruh secara nyata terhadap konsumsi beras domestik. Hal ini dapat dilihat
bahwa nilai Pvalue sebesar 0,000 lebih kecil dari taraf nyata 0,05. Adapun koefisien
jumlah penduduk Indonesia adalah 0,0000055 (bernilai positif) yang artinya
ketika terjadi peningkatan jumlah penduduk Indonesia maka akan meningkatkan
konsumsi beras domestik. Setiap peningkatan rata-rata jumlah penduduk
Indonesia sebesar 1 jiwa maka akan meningkatkan konsumsi beras sebesar 0,55
persen dengan faktor lain dianggap tetap (cateris paribus). Hal ini karena ketika
jumlah penduduk Indonesia meningkat maka dapat dipastikan jumlah konsumsi
beras total juga akan meningkat karena akan semakin banyak orang
mengkonsumsi beras.
2. PDB Riil Indonesia
Berdasarkan hasil estimasi diketahui bahwa PDB riil Indonesia
berpengaruh secara nyata terhadap produksi padi domestik. Hal ini dapat dilihat
bahwa nilai Pvalue sebesar 0,010 lebih kecil dari taraf nyata 0,05. Adapun koefisien
PDB riil Indonesia adalah -0,000015 (bernilai negatif) yang artinya ketika terjadi
peningkatan PBR riil Indonesia maka akan menurunkan konsumsi beras domestik.
Setiap peningkatan rata-rata PDB riil Indonesia sebesar 1 Rp.Milyar maka akan
menurunkan konsumsi beras sebesar 1,5 persen dengan faktor lain dianggap tetap
(cateris paribus). Hal ini karena ketika PDB riil Indonesia meningkat maka
otomatis disebabkan karena peningkatan pendapatan masyarakat Indonesia, ketika
pendapatan masyarakat Indonesia meningkat maka masyarakat Indonesia akan
lebih memperhatikan pola pangan harapan dengan mengurangi jumlah karbohidrat
dan menggantikaannya dengan protein atau sesuai dengan kebutuhan gizi sehari
hari sehingga ketika PDB riil Indonesia meningkat maka akan menurunkan
konsumsi beras total.
5.3 Hasil Proyeksi Produksi dan Konsumsi Beras Domestik
Berdasarkan hasil pengolahaan data menggunakan ARIMA, didapatkan
model terbaik untuk produksi dan konsumsi beras domestik berturut-turut adalah
ARIMA (0,2,1) tanpa kosntanta dan ARIMA (1,1,0) tanpa konstanta (lampiran 12
dan 17). Hasil menunjukkan bahwa dari kedua model tersebut sudah memenuhi
syarat kriteria model terbaik, yaitu model relatif sudah merupakan model yang
memiliki bentuk yang paling sederhana, nilai Pvalue kurang dari 0,05 (taraf nyata),
jumlah koefisien AR atau MA kurang dari 1, kemudian pernyataan relative
change in each estimate less than 0,001, model memiliki MSE terkecil. PACF
dari residual menunjukkan pola damped exponential pada produksi beras dan
ACF dari residual menunjukkan pola exponential pada konsumsi beras (lampiran
11 dan 16). Persamaan fungsi ARIMA (0,2,1) tanpa konstanta untuk proyeksi
produksi beras domestik adalah:
(Yt – Yt-1 – Yt-2) = 0,9488(Yt-1 – Yt-2 – Yt-3) + εt
Yt = 1,9488Yt-1 + 0,0512Yt-2 + 0,9488Yt-3 + εt
sedangkan persamaan fungsi ARIMA (1,1,0) tanpa konstanta untuk proyeksi
konsumsi beras domestik adalah:
(Yt – Yt-1) = 0,6329 (Yt-1 – Yt-2 – Yt-3) + εt
Yt = 1,6329Yt-1 – 0,6329Yt-2 – 0,6329Yt-3+ εt
Berdasarkan persamaan fungsi ARIMA (0,2,1) tanpa konstanta untuk
proyeksi produksi beras domestik, hasil menunjukkan bahwa produksi beras
nasional selama tahun 2015 hingga 2017 akan mengalami pertumbuhan positif.
Pertumbuhan produksi rata-rata mencapai 1,72% dan hasil proyeksi konsumsi
melalui ARIMA (1,1,0) tanpa konstanta menunjukan hasil yang juga positif
selama periode 2015 hingga 2017 yaitu sebesar 0,55%. Berikut tabel kesenjangan
hasil produksi dan konsumsi beras domestik dengan Minitab 16.
Tabel 12 Kesenjangan hasil proyeksi antara produksi dan konsumsi beras
domestik tahun 2015-2017
Tahun Hasil Proyeksi
Senjang (Ton) Produksi (Ton) Konsumsi (Ton)
2015 45.229,6 38.747,5 6.482,1
2016 46.010,1 38.905,8 7.104,3
2017 46.790,7 39.006,1 7.784,6
5.3.1 Analisis Hasil Proyeksi Produksi dan Konsumsi Beras domestik
Analisis pada hasil proyeksi dengan ARIMA, peningkatan produksi
diduga akibat adanya peningkatan pada luas areal panen padi dan produktivitas
yang secara umum memiliki kecenderungan terus meningkat. Jika dilihat secara
rinci pada tabel 9 luas areal panen padi selama kurun waktu 5 tahun terakhir yaitu
2010 hingga 2014 masih mengalami peningkatan. Selama periode waktu tersebut,
peningkatan luas panen cukup signifikan hanya terjadi dua kali yaitu 2012 dan
2013, masing-masing sebesar 1,83% dan 2,90%. Peningkatan luas panen selama
kurun waktu tersebut diakibatkan oleh peningkatan luas areal panen di luar Jawa
yaitu rata-rata sebesar 2,68% sementara peningkatan luas areal panen di Jawa
hanya sebesar 0,31% (tabel 3). Komponen pendukung lainnya adalah
produktivitas. Tahun 2010 hingga 2014 produktivitas juga mengalami
peningkatan sebesar 0,54%. Peningkatan yang cukup signifikan hanya terjadi
pada tahun 2012 saja yaitu 3,13%.
Analisis hasil proyeksi ARIMA menyatakan bahwa peningkatan konsumsi
diduga akibat terjadi peningkatan kebutuhan konsumsi untuk bibit, sektor industri,
tercecer, pakan, restoran, rumah makan, rumah sakit, dll. Kebutuhan untuk rumah
tangga dan non rumah tangga selama kurun waktu lima tahun terakhir yaitu 2010
hingga 2014 mengalami penurunan hal ini diakibatkan oleh berhasilnya program
diversifikasi pangan, beralihnya makanan pokok dari beras ke non beras yang juga
diakibatkan oleh peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Penurunan
konsumsi untuk kebutuhan rumah tangga sebesar 0,79% atau 98,11
kg/kapita/tahun pada tahun 2014 dan 100,75 kg/kapita/tahun pada tahun 2010.
Penurunan konsumsi juga terjadi di luar rumah tangga sebesar 38,4
kg/kapita/tahun dan turun menjadi 34,87 kg/kapita/tahun pada tahun 2014.
Hasil proyeksi produksi dan konsumsi beras domestik menunjukkan
bahwa Indonesia mampu untuk swasembada beras pada tahun 2017. Hal ini
ditujukkan oleh produksi beras domestik melebihi konsumsi beras domestik
terlihat pada tabel 12. Oleh karena itu rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan
produksi padi sebaiknya melanjutkan kebijakan yang sudah diterapkan oleh
pemerintah melalui: 1) Perluasan areal tanam, seperti: (a) Mengatasi masalah
yang ditimbulkan oleh konversi lahan; (b) Percetakan lahan sawah baru terutama
diluar Jawa seperti Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, dan Sumatera Selatan yang
menjadi sentra produksi beras, karena diperkirakan terdapat sekitar 10 juta hektar
lahan tidur yang sebagian besar terdapat di luar Jawa terutama di daerah-daerah
sentra yang mempunyai kondisi lahan yang sesuai dengan lahan pertanaman padi
dapat dilihat pada tabel 3; (c) Optimalisasi lahan dan peningkatan indeks
pertanaman; (d) Memperbaiki sistem pemberian Insentif pada petani agar tepat
sasaran; 2) Jumlah penduduk dan PDB riil Indonesia, peningkatan jumlah
penduduk dan kesejahteraan masyarakat menyebabkan kebutuhan terhadap jenis
dan kualitas produk makanan juga semakin meningkat dan beragam. Pengendalian
konsumsi dari jumlah penduduk ini dapat didekati dengan pengaturan konsumsi
per kapita. Oleh karena itu salah satu target kementerian pertanian konsumsi dapat
turun 1,5% per tahun yang diimbangi dengan peningkatan konsumsi umbi-
umbian, pangan hewani, buah-buahan dan sayuran; 3) Menambah dan
memperbaiki infrastruktur irigasi; dan 4) Meningkatkan produktivitas dan inovasi
teknologi.
VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Perkembangan produksi dan konsumsi beras di Indonesia cenderung
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Selama kurun waktu 30
tahun (1985-2014) pertumbuhan produksi beras di Indonesia sebesar
2,1% per tahun. Angka ini lebih besar dari pada pertumbuhan
konsumsi beras di Indonesia sebesar 1,4% per tahun. Pertumbuhan
produksi beras dan konsumsi beras rata-rata sebesar 33.083,45 ribu ton
dan 32.483,98 ribu ton. Oleh karena itu secara umum produksi beras
tahun 1985-2014 mampu menutupi konsumsi beras di Indonesia,
sedangkan kebijakan impor beras yang saat ini masih dilakukan
dikarenakan untuk memastikan stok beras (cadangan beras
pemerintah) dalam negeri di akhir tahun tersedia minimal sebesar 1,25
juta ton untuk mengantisipasi masalah kekurangan pangan, gejolak
harga, keadaan darurat akibat bencana dan kerawanan pangan serta
memenuhi kesepakatan Cadangan Beras Darurat ASEAN (ASEAN
Emergency Rice Reserve, AERR) sehingga pemerintah melalui Perum
Bulog membiarkan Indonesia tetap mengimpor beras dari negara luar
sepereti Vietnam.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi (yang diinterpresentasikan
dari luas areal panen dan produktivitas) padi adalah luas areal panen
padi, dan harga riil pupuk urea. Sementara itu, faktor yang
mempengaruhi konsumsi beras adalah populasi, dan PDB riil
Indonesia.
3. Hasil proyeksi produksi dan konsumsi beras dalam waktu tiga tahun
kedepan (2015-2017) mengalami peningkatan dengan laju
pertumubuhan sebesar 1,71% dan 0,55%. Peningkatan produksi
dikarenakan terjadinya peningkatan produktivitas padi sebesar 1,26%
pada tahun 2005-2014 sehingga produksi padi meningkat sebesar
2,8%, sedangkan peningkatan konsumsi beras terjadi karena
meningkatnya laju pertumbuhan penduduk pada tahun 2005-2014
sebesar 1,1%. Peningkatan jumlah penduduk mengakibatkan
meningkatnya total konsumsi langsung beras, disisi lain meningkatnya
kebutuhan untuk pakan, bibit, industri non makanan, dll menyebabkan
total konsumsi beras juga mengalami peningkatan, namun peningkatan
konsumsi masih lebih kecil dibandingkan peningkatan produksi beras
sehingga pada tahun 2017 diproyeksikan produksi beras masih lebih
besar dari pada konsumsi beras sehingga swasembada beras pada
tahun 2017 dapat tercapai, namun produksi beras yang diproyeksikan
tahun 2017 ternyata belum mampu mencapai target Kementerian
Pertanian sehingga perlu adanya kebijakan dari pemerintah untuk
dapat meningkatkan produksi padi domestik.
4. Kebijakan mengenai peningkatan produksi dapat melalui: (1)
Peningkatan luas areal panen berupa peningkatan luas areal tanam dan
peningkatan intensitas tanam di Luar Jawa khususnya Sumatera,
Kalimantan, dan Sulawesi dengan tantangan peningkatan ketersediaan
teknologi untuk komoditas padi untuk sistem lahan rawa dan lahan
kering; dan (2) Pemberian insentif bagi petani misalnya, melalui
subsidi pupuk dan benih sehingga biaya input di tingkat petani dapat
ditekan serendah mungkin guna menghindari tingginya biaya produksi
bagi petani, namun pada kasus ini perlu adanya penataan ulang dalam
sistem pemberian insentif sehingga kebijakan yang ditetapkan dapat
tepat sasaran.
6.2 Saran
1. Kebijakan mengenai penurunan konsumsi dapat melalui: (1)
Memperbaiki pola pangan harapan yang ideal di Indonesia dengan
komposisi pangan yang seimbang, sehingga konsumsi beras/kapita
dapat ditekan.
2. Mengembangkan penelitian dibidang pertanian terus-menerus seperti
teknologi baru yang dapat meningkatkan hasil produksi padi, sehingga
pelandaian produktivitas pertanian akibat terobosan teknologi yang
stagnan tidak terus terjadi.
3. Penulis menyarankan untuk pihak yang ingin melanjutkan penelitian ini
sebaiknya meneliti mengenai kebijakan impor beras di Indonesia dan
dampaknya terhadap swasembada beras di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Agustin NK, Syafaat N. 2003. Pengamanan Produksi Padi Tahun 2003. Jurnal
Pertanian. 2003 Feb 14; Bogor Indonesia. Bogor (ID): Pusat Penelitian
dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Bogor. Hlm 1-13.
Amang B, Sawit MH. 1999. Kebijakan Beras dan Pangan Nasional. Bogor (ID):
IPB Press.
Aldillah R. 2014. Proyeksi Produksi dan Konsumsi Kedelai Indonesia. Analisis
Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. 8(1): 9-23.
Ambarinanti M. 2007. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan
ekspor beras di Indonesia. [Skripsi]. Bogor. Fakutlas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Aritongan LR. 2009. Peramalan Bisnis. Jakarta (ID): Ghalia Indonesia.
Assauri S. 1984. Teknik dan Metode Peramalan. Jakarta (ID): Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia.
Azahari DH. 2008. Membangun Kemandirian Pangan Dalam Rangka
Meningkatkan Ketahanan Nasional. Analisis Kebijakan Pertanian.
6(2):174-195.
Badan Litbang Pertanian. 2016. Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. [Internet].
[Diunduh 2016 Mei 04]; Tersedia pada:
http://www.litbang.pertanian.go.id/buku/ekonomi-padi-beras/.
Badan Litbang Pertanian. 2016. Hasil Riset Varietas Unggu Padi. [Internet].
[Diunduh 2016 Mei 19]; Tersedia pada:
http://www.litbang.pertanian.go.id/varietas/?l=300&k=305&n=&t=2012&
sv=&d= .
Badan Pusat Statistik. 2015a. Produk Domestik Bruto Indonesia Menurut
Lapangan Usaha. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Badan Pusat Statistik. 2015b. Pertumbuhan Penduduk Indonesia Tahun 1990 –
2015. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Baharsjah S, Kasryno F, dan Darmawan DH. 1988. Kedudukan Padi dalam
Perekonomian Indonesia. Di dalam: Ismunadji M, Partohardjono S, Syam
M, Widjono A. 1988. Maret: Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Hlm 1.
Bulog. 2010. Cadangan Beras Pemerintah. BUMN. [Internet]. [Diunduh 2016 Juli
22]; Tersedia pada: www.bulog.co.id/sekilas_cbp.php.
Daniel M. 2002. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta (ID): PT Bumi Aksara.
Direktorat Jendral Perundang-undangan. 2012. Undang-undang Nomor 18 Tahun
2012. Kementerian Hukum dan HAM. [Internet]. [Diunduh 2016 Mei 19];
Tersedia pada: www.peraturan.go.id/uu/nomor-18-2012.html .
Farida Y. 2014. Produksi dan Konsumsi Komoditas Pangan Strategis Serta
Implikasinya terhadap Swasembada Nasional. [Skripsi]. Bogor (ID).
Institut Pertanian Bogor.
Firdaus M. 2006. Analisis Deret Waktu Satu Ragam, Arima, Sarima, Arch-Garch.
Bogor: IPB Press.
Gujarati DN. 2006. Dasar-Dasar Ekonometrika. Ed ke-3. Mulyadi JA,
penerjemah. Jakarta (ID): Erlangga. Terjemahan dari: Essentials of
Econometrics.
Hadi A. 2013. Analisis produksi dan konsumsi kedelai domestik dalam rangka
mencapai swasembada kedelai di Indonesia. [Skripsi]. Bogor (ID).
Fakultas Ekonomi Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Hafsah MJ, Sudaryanto T. 2004. Sejarah Intensifikasi Padi dan Prospek
Pengembagannya. Di dalam: Kasryono F, Pasandaran E, dan Fadi AM.
Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. 2004 Nov; Jakarta, Indonesia. Jakarta
(ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hlm 17.
Halcrow HG. 1992. Ekonomi Pertanian. Penerjemah; Sudiyono A, editor.
Malang: Aditya Media. Terjemahan dari: Economic of Agriculture.
Internasional Student Edition.
Hardono GS. 2014. Strategi Pengembangan Diversifikasi Pangan Lokal. Analisis
Kebijakan Pertanian. 12(1):1-17.
Hessie R. 2009. Analisis produksi dan konsumsi beras dalam negeri serta
implikasinya terhadap swasembada beras di Indonesia. [Skripsi]. Bogor
(ID). Fakultas Ekonomi Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Kasryno F, Pasandaran E. 2004. Reposisi Padi dan Beras dalam Perekonomian
Nasional. Di dalam: Kasryono F, Pasandaran E, dan Fadi AM. Ekonomi
Padi dan Beras Indonesia. 2004 Nov; Jakarta, Indonesia. Jakarta (ID):
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hlm 3.
Kementerian Pertanian. 2015a. OUTLOOK Komoditas Pertanian Tanaman
Pangan Padi. Jakarta: Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. Hlm 85.
Kementerian Pertanian. 2015b. Rancangan Strategis Kemeterian Pertanian 2015-
2019. Jakarta: Kemeterian Pertanian.
Kementerian Pertanian. 2015c. OUTLOOK Komoditas Pertanian Tanaman
Pangan Padi. Jakarta: Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. Hlm 87.
Kementerian Pertanian. 2015d. OUTLOOK Komoditas Pertanian Tanaman
Pangan Padi. Jakarta: Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. Hlm 77
Lains, A. 2003. Ekonometrika Teori dan Aplikasi Jilid 1. Jakarta (ID): Pustaka
LP3ES Indonesia, anggota IKAPI.
Lantarsih R, Widodo S, Darwanto DH, Lestari SB, dan Paramita S. 2011. Sistem
Ketahanan Pangan Nasional : Kontribusi Ketersediaan dan Konsumsi
Energi serta Optimalisasi Distribusi Beras. Analisis Kebijakan Pertanian.
9(1):33-49.
Mankiw, N. Gregory. 2007. Macroeconomics 6th
edition. New York: Worth
Publiser.
Maulana M. 2012. Prospek Implemetasi Kebijakan Harga Pembelian Pemerintah
(HPP) Multikualitas Gabah dan Beras Di Indonesia. Analisis Kebijakan
Pertanian. 10(3): 211-223.
Nainggolan K. 2008. Ketahanan dan Stabilitas Pasokan, Permintaan, dan Harga
Komoditas Pangan. Analisis Kebijakan Pertanian. 6(2):114-139.
Nicholson, Walter. 1995. Teori Mikroekonomi; Prinsip Dasar dan Perluasan,
Jilid I. Jakarta (ID): Binarupa Aksara.
Nurgiantoro et al. 2009. Statistik Terapan. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada
University Press.
Pratiwi P. 2008. Efektivitas dan perumusan strategi kebijakan beras nasional.
[Skripsi]. Bogor (ID). Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Rachman HPS dan Ariani M. 2008. Penganekaragaman Konsumsi Pangan Di
Indonesia: Permasalahan dan Impilkasi Untuk Kebijakan dan Program.
Analisis Kebijakan Pertanian. 6(2):140-154.
Santoso S. 2009. Bisnis Forecasting: Metode Peramalan Bisnis Masa Kini
dengan Minitab dan SPSS. Jakarta (ID): PT Elex Media Komputindo.
Saptana, Iqbal M, dan Ar-Rozi AM. 2013. Evaluasi Kebijakan Tujuh Gema
Revitalisai Dalam Pembangunan Pertanian. Analisis Kebijakan Pertanian.
11(2):107-127.
Soekartawi. 2002. Teori Ekonomi Produksi dengan Pokok Bahasan Analisis
Fungsi Cobb-Douglas. Jakarta (ID): CV. Rajawali.
Suryana A dan Hermanto. 2004. Kebijakan Ekonomi Perberasan Nasional dalam
Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Jakarta (ID): Badan Litbang
Pertanian.
Timmer CP. 1996. Does Bulog Stabilize Rice Prices in Indonesia? Should it Try?
Bulletin of Indonesian Rconomic Studies. 32(2).
Wardojo. 1988. Kedudukan Sektor Pertanian untuk Memantapkan Swasembada
Pangan dan Meningkatkan Produksi Hasil Pertanian Lainnya. Di dalam:
Moerdiono. Peranan Pembangunan Pertanian dalam Perluasan
Kesempatan Kerja dan Meningkatkan Pendapatan Petani; 1988 Jun 18.
Bogor (ID): Yayasan Pembangunan Pertanian dan Teknologi Indonesia
Bogor. Hlm 27.
World Bank. 2016. Indeks Harga Konsumen. [Internet]. [Diunduh 2016 Juni 02];
Tersedia pada: http://data.worldbank.org/indicator/FP.CPI.TOTL.
World Bank. 2016. Indeks Harga Produsen. [Internet]. [Diunduh 2016 Juni 02];
Tersedia pada: http://data.worldbank.org/indicator/FP.WPI.TOTL.
World Bank. 2016. Indeks Harga Produsen. [Internet]. [Diunduh 2016 Juni 02];
Tersedia pada: http://data.worldbank.org/indicator/SP.POP.TOTL.
Zakaria AK dan Nurasa T. 2013. Strategi Penggalangan Petani Untuk Mendukung
Program Peningkatan Produksi Padi Berkelanjutan. Analisis Kebijakan
Pertanian. 11(2):75-87.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data yang digunakan dalam model ekonometrik.
Tahun
Luas Areal Produktivitas Produksi
Padi
Jumlah
Varietas
Unggul Padi
Harga Riil
Konsumen
Beras
(2010=100)
LAPt PVt PPt JVUPt HKBt
(000 Ha) (Ton/Ha) (000 Ton) (Jenis) (Rp/Kg)
1985 9.902,29 3,94 39.032,95 21 3.601,36
1986 9.988,45 3,98 39.727,12 15 3.672,38
1987 9.902,86 4,04 40.036,14 10 3.751,22
1988 10.120,88 4,11 41.638,92 4 4.224,84
1989 10.505,57 4,25 44.685,13 15 4.199,32
1990 10.464,65 4,31 45.132,64 0 4.102,77
1991 10.256,02 4,35 44.621,36 10 4.031,79
1992 11.083,94 4,35 48.205,35 6 4.056.41
1993 10.993,92 4,38 48.129,35 2 3.625.23
1994 10.717,73 4,35 46.598,38 6 3.724,60
1995 11.420,68 4,35 49.697,44 3 4.002,06
1996 11.550,05 4,42 51.048,89 6 4.226,36
1997 11.126,39 4,43 49.339,09 2 4.784,17
1998 11.716,45 4,19 49.199,84 1 5.959,68
1999 11.963,20 4,25 50.866,39 15 6.281,81
2000 11.793,58 4,40 51.898,85 54 6.281,81
2001 11.489,99 4,39 50.460,78 33 5.506,59
2002 11.521,17 4,47 51.489,69 16 5.169,11
2003 11.488,03 4,54 52.137,60 12 5.146,60
2004 11.922,97 4,54 54.088,38 3 4.759,95
2005 11.839,06 4,57 54.151,09 1 5.065,52
2006 11.786,43 4,62 54.454,94 2 5.402,24
2007 12.147,64 4,71 57.157,44 7 6.085,64
2008 12.327,43 4,89 60.325,93 6 5.827,00
2009 12.883,58 4,99 64.398,89 13 5.997,69
2010 13.253,45 5,02 66.469,39 20 6.755,68
2011 13.203,64 4,98 65.756,90 26 7.003,61
2012 13.445,52 5,14 69.056,13 12 6.551,98
2013 13.835,25 5,15 71.279,71 6 7.192,71
2014 13.797,31 5,14 70.846,47 6 7.172,60
Sumber BPS
Kementan
BPS
Kementan
BPS
Kementan Kementan
BPS
Diolah
Tahun
Harga Riil
Konsumen
Jagung
(2010=100)
Harga Riil
Pupuk Urea
(2010=100)
Indeks Harga
Konsumen
(2010=100)
Indeks Harga
Produsen
(2010=100)
PDB Riil
Indonesia
(2010=100)
(HKJt) (HPUt) (IHKt) (IHPBt) (PDBt)
(Rp/Kg) (Rp/Kg) (Rp.T)
1985 1.860,26 1.553,64 8,83 6,45 1.479,28
1986 1.924,73 1.601,97 9,34 6,59 1.568,31
1987 2.194,42 1.664,53 10,21 7,81 1.651,03
1988 2.269,17 1.754,18 11,03 8,38 1.755,76
1989 2.254,09 1.919,64 11,74 8,96 1.915,08
1990 2.290,91 2.109,53 12,65 9,86 2.088,46
1991 2.295,66 2.266,15 13,84 10,37 2.275,36
1992 2.179,25 2.282,31 14,89 10,91 2.438,48
1993 2.147,76 2.458,15 16,33 11,35 2.615,37
1994 2.339,73 2.533,56 17,72 11,92 2.812,75
1995 2.570,71 2.507,53 19,39 13,28 3.049,36
1996 2.522,68 2.716,48 20,94 14,32 3.281,66
1997 2.518,75 2.857,18 22,24 15,61 3.436,42
1998 3.092,45 3.237,41 35,22 31,54 2.986,77
1999 3.255,28 3.350,52 42,44 34,75 3.009,05
2000 3.330,30 3.528,77 44,02 39,09 3.157,13
2001 3.558,64 3.350,52 49,08 44,62 3.354,36
2002 3.645,88 3.528,77 54,91 45,88 3.317,85
2003 2.968,79 3.403,80 58,53 46,83 3.440,41
2004 2.733,45 3.200,87 62,18 50,83 3.692,23
2005 2.760,13 2.814,98 68,68 59,29 4.039,43
2006 2.784,84 2.717,86 77,69 66,67 4.298,13
2007 3.182,45 2.434,62 82,67 76,48 4.779,11
2008 3.936,91 1.972,82 90,75 97,12 5.453,09
2009 4.154,63 2.066,90 95,12 95,36 5.893,82
2010 4.616,27 2.028,00 99,99 100,00 6.447,49
2011 4.636,48 1.941,68 105,36 107,43 7.041,75
2012 5.007,28 1.900,29 109,86 112,93 7.492,19
2013 4.898,64 1.846,00 116,91 119,91 7.772,88
2014 5.786,00 1.737,14 124,39 124,39 8.115,55
Sumber
BPS
Kementan
Diolah
BPS
Diolah
World Bank
Diolah
World Bank
Diolah
BPS
Diolah
Tahun
Harga Riil
Upah TK
(2010=100)
Harga Riil
Gabah
(2010=100)
Populasi Curah
Hujan
Volume
Impor Beras
(UBTt) (HGt) (POPt) (CHt) (I)
(Rp/HOK) (Rp/Kg) (Ribu Jiwa) (Mm) (Ton)
1985 28.912,80 2.148,70 165.012 2.227 1.164.984
1986 29.518,20 1.790,90 168.402 2.461 394.497
1987 30.342,80 1.809,30 171.729 2.266 9.429
1988 31.196,74 1.104,08 175.001 2.752 2.158
1989 32.427,60 2.276,92 178.233 2.904 54.830
1990 31.723,32 2.364,27 181.437 2.411 21.710
1991 31.026,01 2.194,36 184.615 2.169 262.101
1992 33.807,92 1.907,66 187.762 1.938 6.378
1993 34.047,76 1.995,28 190.873 2.178 168.933
1994 34.627,54 2.369,13 193.939 1.512 566.441
1995 36.761,22 2.231,82 196.958 1.698 3.093
1996 39.641,83 2.379,75 199.927 1.846 268.802
1997 44.060,25 4.195,19 202.854 1.551 1.306.218
1998 31.415,67 3.503,98 205.753 1.875 2.149.758
1999 29.460,01 2.546,80 208.644 1.536 345.090
2000 32.379,55 2.592,00 211.540 1.821 2.894.658
2001 33.982,89 2.557,05 214.448 3.095 4.741.80
2002 31.826,33 2.850,12 217.369 2.750 1.375.498
2003 34.147,00 2.741,84 220.308 1.470 649.488
2004 34.558,76 2.614,99 223.269 2.359 1.811.988
2005 33.882,18 2.638,32 226.255 1.266 1.437.757
2006 32.149,85 3.105,93 229.264 1.296 246.256
2007 32.328.09 3.280,51 232.297 2.391 195.015
2008 31.446,83 3.168,04 235.361 2.206 439.782
2009 38.716,36 3.384,27 238.465 2.392 1.396.599
2010 38.044,80 3.636,36 241.613 2.206 289.274
2011 37.161,16 3.950,27 244.808 2.283 250.276
2012 36.684,87 4.139,81 248.038 2.278 687.583
2013 35.835,26 4.997,95 251.268 2.542 2.744.261
2014 35.804,33 3.882,95 254.455 2.804 1.927.563
Sumber
BPS
Kementan
Diolah
BPS
Kementan
Diolah
BPS BMKG Kementan
Tahun
Produksi
Beras (Ribu
Ton)
Pert. (%)
Konsumsi Beras
Total (Ribu
Ton)
Pert. (%) Selisih
(Ribu Ton)
1985 24.489,27 - 25.528,77 - -1.039
1986 24,924,80 1,8 26.046,15 2,0 -1.121
1987 25.118,67 0,8 26.529,43 1,9 -1.411
1988 26.124,26 4,0 27.090,15 2,1 -965
1989 28.035,45 7,3 27.740,24 2,4 295
1990 28.316,22 1,0 28.215,51 1,7 101
1991 27.995,44 -1,1 28.624,10 1,4 -628
1992 30.244,04 8,0 29.297,74 2,4 946
1993 30.196,35 -0,2 29.725,64 1,5 471
1994 29.235,82 -3,2 30.051,57 1,1 -816
1985-1994 27.468,03 2,0 27.884,93 1,8 -417
1995 31.180,18 6,7 30.675,50 2,1 505
1996 32.028,08 2,7 31.177,53 1,6 851
1997 30.955,34 -3,3 31.472,36 0,9 -517
1998 30.867,98 -0,3 31.866,60 1,3 -999
1999 31.913,57 3,4 32.378,50 1,6 -465
2000 32.561,34 2,0 32.849,39 1,5 -288
2001 31.659,09 -2,8 33.159,45 0,9 -1.500
2002 32.304,63 2,0 33.633,58 1,4 -1.329
2003 32.711,13 1,3 34.085,16 1,3 -1.374
2004 33.935,05 3,7 34.625,49 1,6 -690
1995-2004 32.011,64 1,54 32.592,36 1,4 -581
2005 33.974,40 0,1 35.045,12 1,2 -1.071
2006 34.165,03 0,6 35.483,80 1,3 -1.319
2007 35.860,57 5,0 36.083,60 1,7 -223
2008 37.848,49 5,5 36.718,36 1,8 1.130
2009 40.403,86 6,8 37.418,18 1,9 2.986
2010 41.702,90 3,2 37.992,41 1,5 3.711
2011 41.255,88 -1,1 36.879,66 -2,9 4.376
2012 43.325,81 5,0 37.526,19 1,8 5.799
2013 44720,89 3,2 38.101,97 1,5 6.619
2014 44.449,07 -0,6 38.497,28 1,0 5.952
2005-2014 39.770,69 2,8 36.974,66 1,1 2.796
Rata-rata 33.083,45 2,1 32.483,98 1,4 599
Sumber BPS
Kementan (Diolah)
BPS
Kementan
(Diolah)
(Diolah)
BPS
Kementan
(Diolah)
Lampiran 2
Hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi domestik dengan
Minitab 16
Regression Analysis: Produksi Padi versus luas areal p, harga riil g, ... The regression equation is
Produksi Padi (Ribu ton) = - 40953 + 7.67 luas areal panen (000 Ha)
+ 0.172 harga riil gabah (Rp/kg)
- 0.861 Harga riil pupuk urea (Rp/Kg)
+ 0.135 Tingkat riil upah TK (Rp/HOK)
- 17.7 Jumlah Varietas Unggul padi
+ 0.815 Curah Hujan (mm)
Predictor Coef SE Coef T P VIF
Constant -40953 4870 -8.41 0.000
luas areal panen (000 Ha) 7.6720 0.4498 17.05 0.000 3.190
harga riil gabah (Rp/kg) 0.1719 0.7482 0.23 0.820 3.644
Harga riil pupuk urea (Rp/Kg) -0.8605 0.5515 -1.56 0.132 1.380
Tingkat riil upah TK (Rp/HOK) 0.1354 0.1077 1.26 0.221 1.614
Jumlah Varietas Unggul padi -17.69 28.40 -0.62 0.539 1.249
Curah Hujan (mm) 0.8149 0.6733 1.21 0.238 1.280
S = 1551.08 R-Sq = 97.8% R-Sq(adj) = 97.2%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 6 2417721226 402953538 167.49 0.000
Residual Error 23 55334241 2405837
Total 29 2473055467
Source DF Seq SS
luas areal panen (000 Ha) 1 2395991494
harga riil gabah (Rp/kg) 1 2670339
Harga riil pupuk urea (Rp/Kg) 1 11614702
Tingkat riil upah TK (Rp/HOK) 1 3737467
Jumlah Varietas Unggul padi 1 183567
Curah Hujan (mm) 1 3523657
Unusual Observations
luas areal Produksi
panen (000 Padi (Ribu
Obs Ha) ton) Fit SE Fit Residual St Resid
13 11126 49339 49863 1389 -524 -0.76 X
14 11716 49200 53747 765 -4548 -3.37R
R denotes an observation with a large standardized residual.
X denotes an observation whose X value gives it large leverage.
Durbin-Watson statistic = 1.30737
Residual Plots for Produksi Padi (Ribu ton)
Lampiran 2 lanjutan
Regression Analysis: [RESI1] versus luas areal p, harga riil g, ... The regression equation is
[RESI1] = 6840 - 0.110 luas areal panen (000 Ha)
+ 0.536 harga riil gabah (Rp/kg) + 0.149 Harga riil pupuk
urea (Rp/Kg)
- 0.136 Tingkat riil upah TK (Rp/HOK)
- 22.8 Jumlah Varietas Unggul padi - 0.755 Curah Hujan (mm)
Predictor Coef SE Coef T P
Constant 6840 2866 2.39 0.026
luas areal panen (000 Ha) -0.1099 0.2648 -0.41 0.682
harga riil gabah (Rp/kg) 0.5360 0.4403 1.22 0.236
Harga riil pupuk urea (Rp/Kg) 0.1491 0.3246 0.46 0.650
Tingkat riil upah TK (Rp/HOK) -0.13576 0.06337 -2.14 0.043
Jumlah Varietas Unggul padi -22.81 16.71 -1.36 0.185
Curah Hujan (mm) -0.7547 0.3963 -1.90 0.069
S = 912.874 R-Sq = 33.0% R-Sq(adj) = 15.5%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 6 9425042 1570840 1.88 0.127
Residual Error 23 19166797 833339
Total 29 28591839
Source DF Seq SS
luas areal panen (000 Ha) 1 114117
harga riil gabah (Rp/kg) 1 476644
Harga riil pupuk urea (Rp/Kg) 1 183244
Tingkat riil upah TK (Rp/HOK) 1 2223812
Jumlah Varietas Unggul padi 1 3404675
Curah Hujan (mm) 1 3022550
Unusual Observations
luas areal
panen (000
Obs Ha) [RESI1] Fit SE Fit Residual St Resid
13 11126 524 1095 817 -571 -1.40 X
14 11716 4548 1997 450 2550 3.21R
R denotes an observation with a large standardized residual.
X denotes an observation whose X value gives it large leverage.
Residual Plots for [RESI1]
Runs Test: RESI1 Runs test for RESI1
Runs above and below K = -7.27596E-12
The observed number of runs = 13
The expected number of runs = 16
15 observations above K, 15 below
P-value = 0.265
Lampiran 3
Hasil analisis regresi produksi padi domestik
400020000-2000-4000
99
90
50
10
1
Residual
Pe
rce
nt
70000600005000040000
2000
0
-2000
-4000
Fitted Value
Re
sid
ual
20000-2000-4000
12
9
6
3
0
Residual
Fre
que
ncy
30282624222018161412108642
2000
0
-2000
-4000
Observation Order
Re
sid
ua
l
Normal Probability Plot Versus Fits
Histogram Versus Order
Residual Plots for Produksi Padi (Ribu ton)
40003000200010000-1000-2000-3000-4000-5000
99
95
90
80
70
60
50
40
30
20
10
5
1
RESI1
Pe
rce
nt
Mean -7.27596E-12
StDev 1381
N 30
KS 0.146
P-Value 0.097
Probability Plot of RESI1Normal
Lampiran 4
Hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi beras domestik dengan
Minitab 16
The regression equation is
ln(Y)* = 3.70 - 0.000004 X1* + 0.000006 X2* - 0.000015 X3* + 0.000005 X4*
29 cases used, 1 cases contain missing values
Predictor Coef SE Coef T P VIF
Constant 3.70406 0.02804 132.11 0.000
X1* -0.00000407 0.00000437 -0.93 0.361 2.658
X2* 0.00000552 0.00000043 12.79 0.000 8.117
X3* -0.00001457 0.00000522 -2.79 0.010 8.267
X4* 0.00000497 0.00000678 0.73 0.471 3.687
S = 0.00822537 R-Sq = 97.3% R-Sq(adj) = 96.8%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 4 0.057451 0.014363 212.29 0.000
Residual Error 24 0.001624 0.000068
Total 28 0.059074
Source DF Seq SS
X1* 1 0.029390
X2* 1 0.027530
X3* 1 0.000494
X4* 1 0.000036
Unusual Observations
Obs X1* ln(Y)* Fit SE Fit Residual St Resid
27 2943 4.17779 4.20541 0.00349 -0.02763 -3.71R
R denotes an observation with a large standardized residual.
Durbin-Watson statistic = 1.81457
Keterangan :
Ln(Y) = Konsumsi beras domestik (Ribu Ton)
X1* = Harga riil beras (Rp/Kg)
X2* = Jumlah penduduk (Ribu Jiwa)
X3* = PDB riil Indonesia (Rp.T)
X4* = Harga riil jagung (Rp/Kg)
Lampiran 4 lanjutan
Regression Analysis: abs(RESI4) versus X1*, X2*, X3*, X4* The regression equation is
abs(RESI4) = 0.0230 + 0.000001 X1* - 0.000000 X2* + 0.000004 X3* +
0.000004 X4*
29 cases used, 1 cases contain missing values
Predictor Coef SE Coef T P
Constant 0.02298 0.01798 1.28 0.214
X1* 0.00000130 0.00000280 0.47 0.646
X2* -0.00000040 0.00000028 -1.43 0.167
X3* 0.00000446 0.00000335 1.33 0.196
X4* 0.00000445 0.00000435 1.02 0.316
S = 0.00527560 R-Sq = 25.1% R-Sq(adj) = 12.7%
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 4 0.00022444 0.00005611 2.02 0.124
Residual Error 24 0.00066797 0.00002783
Total 28 0.00089240
Source DF Seq SS
X1* 1 0.00010291
X2* 1 0.00000215
X3* 1 0.00009016
X4* 1 0.00002922
Unusual Observations
Obs X1* abs(RESI4) Fit SE Fit Residual St Resid
27 2943 0.027626 0.009858 0.002239 0.017768 3.72R
R denotes an observation with a large standardized residual.
Lampiran 5
Hasil analisis regresi konsumsi beras domestik
0.020.00-0.02
99
90
50
10
1
Residual
Pe
rce
nt
4.244.204.164.124.08
0.01
0.00
-0.01
-0.02
-0.03
Fitted Value
Re
sid
ual
0.010.00-0.01-0.02-0.03
12
9
6
3
0
Residual
Fre
que
ncy
30282624222018161412108642
0.01
0.00
-0.01
-0.02
-0.03
Observation Order
Re
sid
ua
l
Normal Probability Plot Versus Fits
Histogram Versus Order
Residual Plots for ln(Y)*
0.020.010.00-0.01-0.02-0.03
99
95
90
80
70
60
50
40
30
20
10
5
1
RESI4
Pe
rce
nt
Mean -4.16525E-15
StDev 0.007615
N 29
KS 0.148
P-Value 0,102
Probability Plot of RESI4Normal
Lampiran 6
Hasil time series plot untuk melihat trend dalam menentukan kestasioneran data
produksi beras dengan Minitab 16
Lampiran 7
Hasil uji time series untuk melihat kestasioneran data produksi beras dengan first
difference dengan Minitab 16
Lampiran 8
Hasil uji time series untuk melihat kestasioneran data produksi beras dengan
second difference dengan Minitab 16
Lampiran 9
Hasil analisis plot ACF dan PACF data produksi beras domestik dengan Minitab
16
30272421181512963
45000
40000
35000
30000
25000
Index
Pro
du
ksi b
era
s (
Rib
u t
on
)
Time Series Plot of Produksi beras (Ribu ton)
30272421181512963
3000
2000
1000
0
-1000
Index
Dif
fere
nce
1
Time Series Plot of Difference 1
30272421181512963
3000
2000
1000
0
-1000
-2000
-3000
Index
Dif
fere
nce
2
Time Series Plot of Difference 2
282624222018161412108642
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0
Lag
Au
toco
rre
lati
on
Autocorrelation Function for Produksi beras (Ribu ton)(with 5% significance limits for the autocorrelations)
282624222018161412108642
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0
Lag
Pa
rtia
l A
uto
co
rre
lati
on
Partial Autocorrelation Function for Produksi beras (Ribu ton)(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)
Lampiran 10
Hasil analisis plot ACF dan PACF data produksi beras domestik pada first
difference dengan Minitab 16
Lampiran 11
Hasil analisis plot ACF dan PACF data produksi beras domestik pada second
difference dengan Minitab 16
282624222018161412108642
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0
Lag
Au
toco
rre
lati
on
Autocorrelation Function for Difference 1(with 5% significance limits for the autocorrelations)
282624222018161412108642
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0
Lag
Pa
rtia
l A
uto
co
rre
lati
on
Partial Autocorrelation Function for Difference 1(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)
2624222018161412108642
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0
Lag
Au
toco
rre
lati
on
Autocorrelation Function for Difference 2(with 5% significance limits for the autocorrelations)
2624222018161412108642
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0
Lag
Pa
rtia
l A
uto
co
rre
lati
on
Partial Autocorrelation Function for Difference 2(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)
Lampiran 12
Hasil estimasi model ARIMA untuk data produksi beras domestik dari tahun 1985-
2014 dengan Minitab 16 (Ribu Ton)
ARIMA Model: Produksi ARIMA (0,2,1) Tanpa Konstanta
Estimates at each iteration
Iteration SSE Parameters
0 53475099 0.100
1 48319362 0.250
2 43292772 0.400
3 38715788 0.550
4 34836807 0.700
5 31802500 0.850
6 30695695 0.919
7 30423205 0.942
8 30399467 0.949
9 30399310 0.949
Relative change in each estimate less than 0.0010
Final Estimates of Parameters
Type Coef SE Coef T P
MA 1 0.9488 0.0917 10.34 0.000
Differencing: 2 regular differences
Number of observations: Original series 30, after differencing 28
Residuals: SS = 30254744 (backforecasts excluded)
MS = 1120546 DF = 27
Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic
Lag 12 24 36 48
Chi-Square 14.4 32.8 * *
DF 11 23 * *
P-Value 0.214 0.085 * *
Forecasts from period 30
95% Limits
Period Forecast Lower Upper Actual
31 45229.6 43154.4 47304.8
32 46010.1 42999.4 49020.9
33 46790.7 43009.5 50571.9
34 47571.2 43096.0 52046.4
35 48351.7 43225.7 53477.8
36 49132.2 43381.8 54882.7
37 49912.8 43554.9 56270.7
38 50693.3 43738.7 57647.9
Lampiran 12 Lanjutan
ARIMA Model: Produksi ARIMA (0,2,2) Tanpa Konstanta
Estimates at each iteration
Iteration SSE Parameters
0 48432856 0.100 0.100
1 39858004 0.219 0.250
2 33600266 0.349 0.400
3 31122858 0.418 0.475
4 30949425 0.435 0.486
5 30939229 0.438 0.478
6 30936854 0.443 0.475
7 30935585 0.447 0.471
8 30934701 0.450 0.468
9 30934096 0.452 0.465
10 30933647 0.455 0.463
11 30933319 0.457 0.461
12 30933071 0.458 0.460
13 30932885 0.460 0.458
14 30932742 0.461 0.457
15 30932632 0.462 0.456
16 30932547 0.463 0.455
17 30932480 0.464 0.454
18 30932428 0.464 0.454
19 30932386 0.465 0.453
20 30932353 0.466 0.452
21 30932326 0.466 0.452
Relative change in each estimate less than 0.0010
Final Estimates of Parameters
Type Coef SE Coef T P
MA 1 0.4661 0.1881 2.48 0.020
MA 2 0.4520 0.1884 2.40 0.024
Differencing: 2 regular differences
Number of observations: Original series 30, after differencing 28
Residuals: SS = 30728799 (backforecasts excluded)
MS = 1181877 DF = 26
Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic
Lag 12 24 36 48
Chi-Square 14.1 35.9 * *
DF 10 22 * *
P-Value 0.169 0.031 * *
Forecasts from period 30
95% Limits
Period Forecast Lower Upper Actual
31 44786.6 42655.4 46917.8
32 45566.6 41664.1 49469.1
33 46346.6 41141.9 51551.3
34 47126.6 40787.7 53465.4
35 47906.5 40519.5 55293.5
36 48686.5 40301.5 57071.5
37 49466.5 40114.2 58818.8
38 50246.5 39946.1 60546.9
Lampiran 13
Hasil time series plot untuk melihat trend dalam menentukan kestasioneran data
konsumsi beras dengan Minitab 16
Lampiran 14
Hasil uji time series untuk melihat kestasioneran data konsumsi beras dengan first
difference dengan Minitab 16
Lampiran 15
Hasil analisis plot ACF dan PACF data konsumsi beras domestik dengan Minitab
16
Lampiran 16
Hasil analisis plot ACF dan PACF data konsumsi beras domestik pada first
difference dengan Minitab 16
30272421181512963
40000
37500
35000
32500
30000
27500
25000
Index
Ko
nsu
msi b
era
s (
Rib
u t
on
)
Time Series Plot of Konsumsi beras (Ribu ton)
30272421181512963
500
0
-500
-1000
Index
Dif
fere
nce
1
Time Series Plot of Difference 1
282624222018161412108642
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0
Lag
Au
toco
rre
lati
on
Autocorrelation Function for Konsumsi beras (Ribu ton)(with 5% significance limits for the autocorrelations)
282624222018161412108642
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0
Lag
Pa
rtia
l A
uto
co
rre
lati
on
Partial Autocorrelation Function for Konsumsi beras (Ribu ton)(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)
282624222018161412108642
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0
Lag
Au
toco
rre
lati
on
Autocorrelation Function for Difference 1(with 5% significance limits for the autocorrelations)
282624222018161412108642
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0
Lag
Pa
rtia
l A
uto
co
rre
lati
on
Partial Autocorrelation Function for Difference 1(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)
Lampiran 17
Gambar hasil estimasi model ARIMA untuk data konsumsi beras domestik dari
tahun 1985-2014 dengan Minitab 16 (Ribu Ton)
ARIMA Model: Konsumsi ARIMA (0,1,1) Tanpa Konstanta
Estimates at each iteration
Iteration SSE Parameters
0 9894100 0.100
1 8174232 -0.050
2 7157175 -0.200
3 6639246 -0.350
4 6569349 -0.489
5 6548173 -0.429
6 6546218 -0.450
7 6545888 -0.442
8 6545842 -0.445
9 6545835 -0.444
10 6545834 -0.444
Relative change in each estimate less than 0.0010
Final Estimates of Parameters
Type Coef SE Coef T P
MA 1 -0.4441 0.1760 -2.52 0.018
Differencing: 1 regular difference
Number of observations: Original series 30, after differencing 29
Residuals: SS = 6518583 (backforecasts excluded)
MS = 232807 DF = 28
Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic
Lag 12 24 36 48
Chi-Square 8.2 12.2 * *
DF 11 23 * *
P-Value 0.698 0.968 * *
Forecasts from period 30
95% Limits
Period Forecast Lower Upper Actual
31 38665.2 37719.3 39611.1
32 38665.2 37003.7 40326.6
33 38665.2 36514.3 40816.0
34 38665.2 36117.3 41213.1
35 38665.2 35774.2 41556.1
36 38665.2 35467.8 41862.6
37 38665.2 35188.3 42142.1
38 38665.2 34929.6 42400.8
Lampiran 17 Lanjutan
ARIMA Model: Konsumsi ARIMA (1,1,0) Tanpa Konstanta
Estimates at each iteration
Iteration SSE Parameters
0 7693715 0.100
1 6563139 0.250
2 5802877 0.400
3 5412930 0.550
4 5357276 0.622
5 5356324 0.631
6 5356305 0.633
7 5356304 0.633
Relative change in each estimate less than 0.0010
Final Estimates of Parameters
Type Coef SE Coef T P
AR 1 0.6329 0.1482 4.27 0.000
Differencing: 1 regular difference
Number of observations: Original series 30, after differencing 29
Residuals: SS = 5292029 (backforecasts excluded)
MS = 189001 DF = 28
Modified Box-Pierce (Ljung-Box) Chi-Square statistic
Lag 12 24 36 48
Chi-Square 7.7 13.8 * *
DF 11 23 * *
P-Value 0.743 0.931 * *
orecasts from period 30
95% Limits
Period Forecast Lower Upper Actual
31 38747.5 37895.2 39599.8
32 38905.8 37273.9 40537.8
33 39006.1 36625.6 41386.6
34 39069.5 35992.8 42146.2
35 39109.7 35392.5 42826.9
36 39135.1 34829.6 43440.6
37 39151.2 34303.6 43998.7
38 39161.4 33812.0 44510.7
Lampiran 18
Hasil analisis plot ACF dan PACF data produksi beras domestik pada second
difference dengan Minitab 16
Lampiran 19
Hasil analisis plot ACF dan PACF data konsumsi beras domestik pada first
difference dengan Minitab 16
7654321
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0
Lag
Au
toco
rre
lati
on
ACF of Residuals for Produksi beras (Ribu ton)(with 5% significance limits for the autocorrelations)
7654321
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0
Lag
Pa
rtia
l A
uto
co
rre
lati
on
PACF of Residuals for Produksi beras (Ribu ton)(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)
7654321
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0
Lag
Au
toco
rre
lati
on
ACF of Residuals for Konsumsi beras (Ribu ton)(with 5% significance limits for the autocorrelations)
7654321
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
-0.2
-0.4
-0.6
-0.8
-1.0
Lag
Pa
rtia
l A
uto
co
rre
lati
on
PACF of Residuals for Konsumsi beras (Ribu ton)(with 5% significance limits for the partial autocorrelations)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 23 September 1994 di Jakarta. Penulis
merupakan anak ke tiga dari empat bersaudara, dari keluarga Bapak Iman dan Ibu
Lilis Diana.
Penulis menempuh pendidikan dasar di SD Negeri Cisauk pada tahun
2000 sampai tahun 2006. Pada tahun 2006 sampai dengan tahun 2009 penulis
melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 1 Serpong. Pada tahun 2009 penulis
melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 28 Kabupaten Tangerang dan lulus pada
tahun 2012. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Institut
Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan (SNMPTN). Kemudian diterima di
Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi dan
Manajemen. Selama menjadi mahasiswa IPB penulis aktif dalam berbagai
kegiatan kepanitiaan dan organisasi Resource and Environmental Economic
Student Association (REESA) sebagai staf Campus Social Responsibility (CSR)
periode 2015.