Post on 22-Apr-2019
ANALISIS HERMENEUTIKA TEKS PIDATO HAMKA:
‘ISLAM SEBAGAI DASAR NEGARA’
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwan dan Ilmu Komunikasi untuk Memenuhi
Salah Persyaratan Memeroleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh:
Enny Khurniasari
NIM: 108051000002
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H./2013 M.
ANALISIS HERMENEUTIKA TEKS PIDATO HAMKA:
‘ISLAM SEBAGAI DASAR NEGARA’
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Untuk Memenuhi Persyaratan Memeroleh
Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh:
Enny Khurniasari
NIM:108051000002
Pembimbing
Dr. Arief Subhan, MA
NIP.1966011101993031004
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H./2013 M.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi ini berjudul, “ANALISIS HEMENEUTIKA TEKS PIDATO
HAMKA: ISLAM SEBAGAI DASAR NEGARA”, telah diujikan dalam Sidang
Munaqasah di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada 21 Mei 2013. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat untuk memeroleh gelar sarjana program strata 1 (S.1)
pada bidang Komunikasi dan Penyiaran Islam.
Ciputat, 21 Mei 2012
Sidang Munaqasah
Ketua Sekretaris
Drs. Wahidin Saputra, MA Umi Musyarrofah, MA
NIP: 197009031996031001 NIP: 197108161997032002
Anggota
Penguji 1 Penguji 2
Prof. Dr. Andi Faisal Bakti, MA Drs. S. Hamdani, MA
NIP: 196212311988031032 NIP: 195503091994031001
Pembimbing
Dr. Arief Subhan, MA
NIP: 1966011101993031004
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memeroleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau melakukan hasil penjiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanki yang berlaku Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Ciputat, 20 Mei 2012
Enny Khurniasari
i
ABSTRAK
Enny Khurniasari
108051000002
Analisis Hermeneutika Teks Pidato Hamka: Islam Sebagai Dasar Negara
Menciptakan dasar negara Indonesia amat sulit karena terdiri dari berbagai
macam perbedaan. Para pendiri bangsa ini memiliki perbedaan pemikiran dalam
menetapkan dasar negara. Kelompok pemikiran itu terpecah menjadi nasionalis
muslim dan nasionalis sekuler. Perdebatan pendapat tersebut berpadu pada sidang
Konstituante dari tahun 1956-1959. Dari kelompok Islam Hamka adalah salah
satu pembicara penting dari Masyumi.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah: Apa saja nilai-nilai Islam yang menjadi dasar negara pada
teks pidato Hamka yang berjudul Islam sebagai dasar negara?
Teks pidato Hamka tidak seutuhnya menyebutkan nilai Islam secara jelas
yang dapat dijadikan sebagai dasar negara. Dalam pidatonya lebih banyak
menggunakan analogi, contoh dan simbol-simbol yang mengandung nilai-nilai
Islam.
Melalui paradigma interpretif, penelitian ini menggunakan metode
kualitatif deskriptif. Sumber data diperoleh melalui dua cara yakni primer, diambil
dari teks naskah pidato Hamka pada sidang Konstituante. Kedua data sekunder
didapatkan dari berbagai sumber literatur yang mendukung.
Adapun metode kualitatif adalah meneliti objek-objek yang tidak dapat
diukur secara eksak atau angka-angka. Penelitiannya bersifat deskriptif berupa
kutipan-kutipan kalimat dan cenderung menggunakan analisis.
Analisis penelitian ini menggunakan teori hermeneutika dari Paul Ricoeur.
Cara kerja hermeneutika ini melalui dua tahap, pertama penjelasan yakni
membedah struktur teks yang disebut dengan semiologi struktural. Tahap kedua
pemahaman yakni memahami teks melalui apropriasi peneliti.
Pidato Hamka mengandung nilai-nilai Islam sebagai dasar negara
adalah:teks pertama manyatakan bahwa nilai keimanan yang berbentuk sikap
nasionalisme merupakan dasar utama yang diungkapkan melalui kalimat Allahu
Akbar; pegertian yang lebih spesifik dari teks pertama tertuang pada teks kedua
yang menyatakan bahwa Islam dan nasionalisme merupakan ideologi; teks ketiga
negara berdasar Islam mengambil hukum dari al-Quran sebagai rujukan utama,
namun non-muslim dan muslim juga dapat menciptakan konsensus untuk mencari
hukum; teks keempat menyatakan bahwa nilai Islam sebagai dasar negara
memberikan garansi kebebasan bagi kaum non-muslim; teks kelima menyatakan
kebebasan melahirkan sistem keadilan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai Islam yang
dijadikan dasar negara oleh Hamka pada pidatonya adalah nilai keimanan,
nasionalisme, hukum al-Quran dan konsensus, kebebasan, dan keadilan.
Kata Kunci: Hermeneutika, Islam, Dasar Negara, Konstintuante, Hamka.
ii
KATA PENGANTAR
Terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas janji-janji Mu yang
terbukti dan selalu coba penulis buktikan, atas nikmat-nikmat Mu yang tak pernah
Kau syaratkan, atas kesempatan yang Engkau berikan pada manusia untuk
menciptakan peradaban di bumi meski Engkau didebat oleh malaikat-malaikat
Mu. Sembah sujud atas segala kesombongan yang pernah terlintas pada diri
penulis, karya ini tidak sampai secuil ilmu yang penulis dapatkan dari Sang Maha
Berilmu. Alhamdulillah.
Serta kepada kekasih Mu, Muhammad Saw yang tidak pernah mengiba
dengan segala kesulitan yang ia hadapi saat mendakwahkan agama Mu. Rindu
syafaatmu duhai kekasih Sang Pencipta tetap berada pada urat nadi ini.
Setelah berdebat dengan diri sendiri bahwa hakikat mencari ilmu bukanlah
urusan waktu, akhirnya dengan kesabaran itu karya ini menjadi sebuh tongkat
estafet eksistensi ilmu. Meski penulis sadari, karya ini belum mencapai
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis membuka dengan lebar kritik dan saran
para pembaca.
Penulisan karya ini juga tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk
itu penulis ucapkan terima kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi sekaligus
pembimbing penulis, Dr. Arif Subhan, MA. Telah berbagi pandangan dan
pemikiran aplikatif dan filosofis meskipun diberikan secara singkat. Pudek
I Drs. Wahidin Saputra, MA, Pudek II Drs. Mahmud Jalal, MA, Pudek III
Drs. Studi Rizal LK, MA.
iii
2. Ketua dan Sekretaris Jurusan Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Drs.
Jumroni, M.Si, Ibu Umi Musyarofah, MA.
3. Terima Kasih kepada jajaran dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, atas kontribusi, memberikan pandangan, motivasi, dan tentu
ilmunya selama ini.
4. Seluruh staf Perpustakan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
perpustakan Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, perpustakaan Sekolah
Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan Universitas
Budi Luhur, perpustakan Universitas Indonesia, dan perpustakan
Nasional.
5. Kepada orang tua penulis, Bapak H.Bari yang tidak henti menyebutkan
nama penulis disetiap sujudnya. Serta kepada Mamak Misrini yang
diberikan waktu sembilan tahun oleh Tuhan untuk menemani penulis,
semoga Allah mengampuni dosanya. Terima kasih atas pelajaran
kesederhanaan, pelajaran penganalogian dan pelajaran demokrasi.
6. Terima kasih kepada keempat kakak penulis beserta keluarga, yang tak
lain menjadi tempat meletakkan kejenuhan. Menjadi orang-orang terdepan
saat penulis tak mampu memopang ketika kehidupan tidak setuju dengan
idealisme.
7. Kepada sahabat-sahabat KPI A 2008 yang melukis sejarah kehidupan
penulis dengan tinta pemikiran, ideologi, ambisi, mimpi, marah, malu,
takut, tidak percaya diri, pemberani, malas, rajin, pujian, hinaan,
bertanggungjawab, apatis, keteguhan, pemberontakan adalah seperti
tumpukkan dokumen yang menjadi mata kuliah berharga bagi penulis.
iv
8. Terima kasih kepada Asia Moslem Charity Foundation telah memberikan
kesempatan penulis untuk belajar tanpa persyaratan materil serta teman-
teman satu tapak perjuangan.
9. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang membantu
yang tidak dapat disebutkan satu persatu, seluruh bantuan dari berbagai
pihak tetap terpatri tanpa tinta.
Ciputat, 20 Mei 2012
Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ iii
DAFTAR DIAGRAM DAN TABEL ..................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .............................................................. 5
C. Tujuan Penelitian..................................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian .................................................................................. 6
E. Tinjauan Pustaka .................................................................................... 7
F. Metodologi Penelitian ............................................................................ 9
1. Paradigma Penelitian ......................................................................... 9
2. Metode Penelitian .............................................................................. 10
3. Kerangka Pemikiran .......................................................................... 12
4. Teknik Pengumpulan Data ................................................................ 13
5. Teknik Analisis Data ......................................................................... 13
G. Sistematika Penulisan ............................................................................. 14
BAB II LANDASAN TEORI ................................................................................ 16
A. Komunikasi ........................................................................................... 16
1. Pengertian Komunikasi ................................................................... 16
2. Unsur-unsur Komunikasi ................................................................ 17
B. Hermeunitika ........................................................................................ 18
1. Pengertian ........................................................................................ 18
2. Sejarah dan Perkembangan ............................................................. 18
C. Hermeunitika dalam Komunikasi ........................................................ 22
D. Hermeunitika Paul Ricouer .................................................................. 23
1. Pengertian ........................................................................................ 23
2. Teks dan Cakrawala Teks ............................................................... 24
3. Distansi Teks ................................................................................... 26
4. Apropriasi ......................................................................................... 28
5. Penjelasan dan Pemahaman ............................................................ 29
E. Wacana Pancasila Sebagai Dasar Negara ..................................................... 32
F. Wacana Negara Islam ................................................................................... 33
BAB III GAMBARAN UMUM ............................................................................. 38
A. Biografi Hamka .................................................................................... 38
B. Karya-karya Hamka ............................................................................. 43
C. Sidang Konstintuante ........................................................................... 45
D. Gambaran Umum Pidato Hamka : Islam Sebagai Dasar Negara ....... 47
E. Kronologi Lahirnya Pancasila ............................................................. 51
BAB IV ANALISIS DAN TEMUAN DATA ........................................................ 52
A. Teks Pidato Hamka Sebagai Wacana ................................................... 52
B. Penjelasan dan Pemahaman .................................................................. 52
1. Teks Pertama .................................................................................. 52
1.1. Penjelasan dengan Semiologi Struktural .............................. 54
1.2. Pemahaman dengan Apropriasi ............................................ 55
2. Teks Kedua ..................................................................................... 60
2.1. Penjelasan dengan Semiologi Struktural .............................. 60
2.2. Pemahaman dengan Apropriasi ............................................ 62
3. Teks Ketiga ..................................................................................... 65
3.1. Penjelasan dengan Semiologi Struktural ............................. 65
3.2. Pemahaman dengan Apropriasi ........................................... 66
4. Teks Keempat ................................................................................. 69
4.1. Penjelasan dengan Semiologi Struktural ............................ 69
4.2. Pemahaman dengan Apropriasi .......................................... 70
5. Teks Kelima .................................................................................... 73
5.1. Penjelasan dengan Semiologi Struktural .............................. 73
5.2. Pemahaman dengan Apropriasi ............................................ 74
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan .......................................................................................... 77
B. Saran .................................................................................................... 78
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 80
LAMPIRAN ............................................................................................................. 84
viii
DAFTAR DIAGRAM DAN TABEL
Diagram 1 : ...................................................................................................................... 12
Diagram 2 : ...................................................................................................................... 30
Diagram 3 : ...................................................................................................................... 31
Tabel 1 : ...................................................................................................................... 43
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap bangsa memiliki nilai-nilai sebagai landasan utama.
Landasan itu dibangun berdasarkan pemikiran, fondasi, jiwa, dan hasrat
mendalam yang lahir melalui proses pemikiran panjang. Kemudian
dipegang dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Indonesia
memplokamirkan kemerdekaan 17 Agustus 1945. Sebagai negara yang
merdeka sudah sepatutnya memiliki landasan guna menyatukan bangsa
yang majemuk dan menunjukkan jati diri bangsa.
Seperti yang kita ketahui, landasan bangsa Indonesia adalah
Pancasila. Setiap 1 Juni diperingati sebagai hari Pancasila, mengenang
pidato Soekarno di depan sidang BPUPKI (Badan Penyidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia).1 Di balik gegap gempita peringatan
tersebut, terselip perhatian peneliti bagaimana proses terbentuknya
Pancasila. Secara empiris Pancasila tidak serta merta lahir secara
“normal”, proses terbentuk dan lahirnya melewati perdebatan cukup
panjang dan keras pada subtansi maupun implementasi.
Setelah Pancasila disepakati pada sidang BPUPKI, isu sensitif
mengenai ideologi negara muncul kembali ketika Soekarno berpidato di
Amuntai pada 27 Januari 1953. Soekarno secara terang-terangan
mempropagandakan Pancasila sebagai ideologi pemersatu dan menentang
1 A.M.W Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila (Jakarta: Centre For
Strategic and International Studies, 1985), h. 52.
2
Islam.2 Akibatnya para tokoh agama gusar dan khawatir mengenai
ideologisasi tersebut.
Babak selanjutnya setelah pemilu 1955 untuk pertama kali, dihelat
sidang Konstituante sebagai upaya permusyawarahan pembentukan
undang undang dasar menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara.3
Babak ini menjadi babak fundamental bagi perjalanan hukum Islam di
Indonesia selanjutnya. Salah satu dari topik pembahasan sidang tersebut
adalah mengenai dasar negara. Pada pembahasan ini menemui banyak
kendala, terjadi perbedaan argumen antar masing-masing kelompok.
Konflik ideologi tersebut terungkap secara jelas, dikotomi yang
paling kentara adalah Nasionalis-Sekuler dengan Nasionalis Muslim.4
Partai-partai berbasis Islam menawarkan Islam sebagai dasar negara,
sedangkan kelompok nasionalis bersikukuh mempertahankan Pancasila
sebagai dasar negara. Ideologi Barat Modern Sekuler tampak dari
pendapatnya yang menginginkan sosial ekonomi sebagai dasar negara
serta menolak Pancasila maupun Islam sebagai dasar negara. Ideologi
kebangsaan mempertahankan Pancasila. Perpecahan ideologi ini dikenal
dengan Ideologi Tripolar.5
Percaturan politik ini menimbulkan perdebatan yang tidak dapat
dielakkan. Masing-masing kelompok saling menyerang usulan yang dalam
pandangan mereka tidak cocok untuk dijadikan ideologi negara.
2As’ad Said Ali, Negara Pancasila: Jalan Kemashlahatan Berbangsa (Jakarta:
Pustaka LP3ES, 2009), h. 169. 3Ibid,. h. 171.
4Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama (Yogyakarta: Kreasi
Wacana, 1999), h. vii. 5Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila, h. 295.
3
Argumen-argumen politis yang dipadukan dengan kekuatan retorika dan
sentimen keagamaan, mendominasi perdebatan politik dalam Sidang
Konstituante.
Dari pihak Islam, Masyumi menjadi salah satu partai Islam
terdepan dalam mengkampanyekan Islam sebagai ideologi bagi negara
Indonesia. Untuk mencapai cita-cita tersebut, golongan ini menginginkan
Islam sebagai dasar negara dan menyerukan penolakan terhadap paham
Komunis. Salah satu tokoh utama yang berpidato mewakili Masyumi pada
sidang Konstituante adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih
dikenal dengan nama Hamka. Beliau berkesempatan menyampaikan
pidatonya yang berisi sebuah tawaran Islam untuk dijadikan sebagai dasar
negara.
Hamka merupakan salah satu ulama di Indonesia yang menguasai
berbagai bidang ilmu keislaman mulai dari hadits, akidah, filsafat, fiqh,
tasauf, sastra, kebudayaan Islam, tafsir. Karya monumental beliau adalah
Tafsir Al-Azhar yang sebagian penelitiannya diselesaikan ketika beliau
ditahan pada masa Orde Lama. Secara umum Hamka di samping dikenal
sebagai seorang ulama, pujangga, sejarawan, jurnalis dan sastrawan.
Beliau juga dikenal sebagai organisator, yang memangku jabatan-jabatan
seperti ketua bagian Taman Pustaka, Ketua Tabligh Muhammadiyah,
Majelis Pimpinan Muhammadiyah. Hingga akhirnya dipercaya sebagai
ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 1975 hingga 1981.6
6 Herry Mohammad, dkk., Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20
(Depok: Insani Press, 2006), h. 97.
4
Karirnya mulai merambah pada dunia politik dan bergabung pada
partai politik Sarekat Islam. Setelah Sarekat Islam dibubarkan oleh
pemerintah Jepang, pada tanggal 7 November 1945 Masyumi berdiri
sebagai federasi dari empat organisasi Islam yakni Nahdatul Ulama (NU),
Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam
Indonesia dan Hamka menjadi anggotanya.7
Pidato Hamka mengandung berbagai macam gaya yang diracik
menjadi sebuah argumen, sindirin, keyakinan, harapan. Gaya bahasa ini
tentu dipengaruhi cara berfikir Hamka, yang dikenal sebagai seorang
ulama besar dan kaya dengan berbagai disiplin ilmu. Retorika pada pidato
adalah salah satu cara guna memengaruhi pemikiran orang lain, dimana
pesan menjadi hal penting. Pesan-pesan dalam pidato Hamka bukan
semata-mata untaian kalimat biasa, keseluruhan pidato tersebut
mengandung sejarah, pantun, dalil, analogi, yang keseluruhannya
mengandung pesan. Namun, pada tiap bait kalimat yang beliau sampaikan
tidak seluruhnya mengandung nilai Islam sebagai dasar negara. Oleh
karena itu peneliti tertarik mencari pesan yang mengandung nilai-nilai
Islam sebagai dasar negara menurut konsep Hamka.
Penelitian ini dimaksudkan mencari nilai yang seperti apa yang
ditawarkan Hamka melalui pidatonya pada saat sidang Konstituante.
Karena berpidato adalah salah satu bentuk komunikasi, penggunaan
bahasa dalam komunikasi merupakan bentuk simbol-simbol yang
7Ibid,. h. 64.
5
merepresentasikan apa yang dimaksud teks melalui interpretasi atas
simbol-simbol tersebut.
Keadaan tersebut menempatkan peneliti menjadi interpreter yang
mengkreasi dan menstruktur berdasarkan penafsiran subjektif, dalam arti
peneliti berinteraksi langsung dengan teks tanpa pengarang. Interaksi
melalui hermeneutika, yang memberi ruang bagaimana konstruksi pesan
dilakukan. Sehingga bahasa dalam pidato tersebut menjadi kunci utama
dalam pencarian nilai-nilai Islam yang ditawarkan Hamka. Oleh karena itu
penelitian ini berjudul “Analisis Hermeneutika Teks Pidato Hamka:
Islam Sebagai Dasar Negara.”
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Penelitian ini dibatasi hanya pada pidato Hamka Islam sebagai
Dasar Negara, yang disampaikan pada sidang Konstituante pada 11
November 1957 di Bandung. Fokus yang akan diteliti adalah nilai-nilai
Islam dalam pidato tersebut dilihat dari perspektif hermeneutika Paul
Ricouer.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan permasalahan di atas, penelitian ini
dirumuskan dalam pertanyaan mayor dan minor:
1. Apa saja nilai-nilai Islam yang menjadi dasar negara pada teks
pidato Hamka yang berjudul Islam sebagai Dasar Negara?
6
2. Bagaimana penerapan analisis semiologi struktural dan apropriasi
peneliti pada teks pidato Hamka yang berjudul Islam sebagai
Dasar Negara?
3. Bagaimana penerapan analisis apropriasi peneliti pada teks pidato
Hamka yang berjudul Islam sebagai Dasar Negara?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini merupakan eksplorasi interpretatif dengan tujuan
untuk mengetahui makna nilai-nilai Islam sebagai dasar negara pada
naskah pidato Hamka Islam Sebagai Dasar Negara pada sidang
Konstituante.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan Ilmu Komunikasi. Serta dapat memperluas kajian
hermeneutika sebagai metode penelitian komunikasi, khususnya
komunikasi pesan. Serta aplikasinya terhadap proses interpretasi dan
pemahaman teks.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para praktisi
komunikasi dan masyarakat secara luas. Dapat membuka pandangan
pembaca secara luas mengenai perbedaan pendapat tentang dasar
negara, serta nilai-nilai Islam yang ditawarkan sebagai dasar negara
yang termaktub pada naskah pidato Hamka.
7
E. Tinjauan Pustaka
Pada penelitian ini, peneliti melakukan penelusuran ke beberapa
Perpustakaan yakni Perpustakan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Perpustakan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Perpustakaan
Universitas Indonesia, Perpustakaan ISIP Jakarta, dan Perpustakaan
Universitas Budi Luhur. Berdasarkan penelusuran tersebut peneliti
menemukan beberapa penelitian tentang hermeneutika yang
dipergunakan sebagai metodologi untuk meneliti ideologi.
Penelitian yang berkaitan langsung dengan hermeneutika dan
Pancasila dilakukan oleh Leo Budiman, Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Budi Luhur tahun 2010, dengan judul “Pancasila Menurut
Soekarno (Analisis Hermeneutika Wilhem Dilthey pada Pidato Lahirnya
Pancasila 1 Juni 1945).” Pada penelitian ini mengeksplorasi teks pidato
Soekarno untuk mencari konsep Pancasila melalui teks tersebut memakai
hermeneutika Wilhem Dilthey, memahami teks dengan menggunakan
autobiografi Soekarno. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa
konsep Pancasila yang diusung Soekarno merupakan hasil penggalian
terhadap kebudayaan bangsa Indonesia sejak masa kejayaan Sriwijawa
dan Majapahit.
Penelitian berikutnya, yang mengaitkan Islam dengan
hermeneutika dilakukan oleh Dr. Solatun Ibnu Muhammad Djamil
dalam tesisnya yang berjudul “Islam dan Etika Komunikasi”. Magister
Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran bandung tahun 1999.
8
Penelitiannya telah diterbitkan menjadi salah satu judul penelitian dalam
buku yang berjudul Metode Penelitian Komunikasi. Penelitian ini
mengeksplorasi teks-teks Al-Qur’an menggunakan teknik hermeunitik
dengan fokus penelitian komunikasi antaragama. Hasil dari penelitian ini
menemukan pendekatan etis dalam komunikasi antaragama menurut
sudut pandang Islam tekstual, merupakan suatu pendekatan dengan mana
orang-orang berbeda agama saling berkomunikasi dalam segala urusan
dan menjadikan dasar etikalitas sebagai takaran yang menunjukkan
derajat komunikasi yang etis atau tidak etis.
Komunikasi antaragama etis jika isi pesan yang disampaikannya;
metode penyampaiannya; argumen pendukungnya; cara komunikator
mengekspresikan seluruh sikap personalnya; pengaruh yang ditimbulkan
pada lawan komunikasi yang berbeda agama yaitu ditimbulkannya rasa
simpatik, senang, bersahabat, dan hormat.
Penelitian yang mengaitkan hermeneutika dengan wacana
feminisme dilakukan oleh Fitria Lestari Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Budi Luhur dengan judul “Wacana Feminisme dalam Novel
Ayu Manda (Studi Analisis Hermeneutika).” Metode penelitian ini
menggunakan Hermeneutika dari Paul Ricoeur. Hasil penelitian yang
diperoleh adalah novel ini menggambarkan bagaimana budaya patriarki
telah melahirkan ketidakadilan gender terhadap perempuan, serta posisi
perempuan Bali yang direpresentasikan lewat tokoh utama yakni Ayu
Manda.
9
“Kedai Tiga Nyonya Sebagai Representasi Budaya Peranakan
Cina-Jawa” skripsi yang ditulis oleh Lisa Andriani Fakultas Ilmu
Komunikasi Budi Luhur tahun 2009. Penelitian ini juga menggunakan
teori representasi Hermeneutika Wilhelm Dilthey, dengan pendekatan
kualitatif dan metode etnografi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan
bahwa Kedai Tiga Nyonya merepresentasikan budaya sesuai dengan
riwayat hidup pemilik kedai. Kedai ini membentuk ruang-ruang sosial
dan simbolik, sebagai sebuah “ruang” yang menjadi refleksi dari
perancang dan masyarakat yang hidup di dalamnya.
Dari beberapa tinjauan penelitian terdahulu berbeda dengan
penelitian ini, menggunakan naskah pidato Hamka yang berjudul Islam
Sebagai Dasar Negara sebagai subjek penelitian. Serta menggunakan
hermeneutika dari Paul Ricoeur sebagai teknik penelitian untuk mencari
nilai-nilai Islam sebagai dasar negara yang terkandung pada naskah
tersebut.
F. Metodologi Penelitian
1. Paradigma Penelitian
Dalam penelitian ini menerapkan paradigma besar dalam penelitian
komunikasi yakni paradigma interpretif. Pandangan dasar perspektif
ini bahwa kebenaran itu bukan realitas tunggal, melainkan jamak.
Paradigma ini mewarnai penelitian komunikasi melalui beberapa
prinsip dasar, yakni: “(1) pengalaman subjektif (2) kreasi intersubjektif
10
dalam makna (3) pemahaman sebagai tujuan akhir dalam riset sosial,
dan (4) hubungan antara yang tahu dan yang diketahui”8
Perlu ditekankan pada prinsip yang ketiga sebagai tujuan akhir dari
penelitian paradigma interpretif adalah pemahaman bukan generalisasi.
Demikian pula dengan penelitian ini terarah di jalan paradigma
interpretif. Teks yang diteliti akan melahirkan makna pemahaman
melalui intersubjektif.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini menerapkan studi kepustakaan atau library research,
yaitu penelitian yang dilaksanakan dengan sumber utama berupa
literatur (kepustakaan), baik berupa buku, jurnal, artikel, penelitian
terdahulu dan sumber-sumber literatur yang menunjang penelitian ini.9
Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif, yakni metode
yang menyelidiki objek-objek yang tidak dapat diukur secara eksak.
Penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai penelitian yang bersifat
deskriptif dan cenderung menggunakan analisis. Conny R. Semiawan
menyatakan penelitian kualitatif adalah mencari pengertian yang
mendalam tentang suatu gejala, fakta atau realita yang tidak dapat
dipahami bila peneliti menelusuri hanya terbatas pada permukaan
saja.10
8Elvinaro Erdianto dan Bambang Q-Anees, Filsafat Komunikasi (Bandung: Simbiosa
Rekatama Media, 2007), h. 137. 9M. Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2002), h. 11. 10
Conny R. Semiawan, Metode Penelitian Kualitatif Jenis, Karakteristik dan
Keunggulannya (Jakarta: Raja Grasindo, 2001), h. 1-2.
11
Melalui strategi interpretatif dan menggunakan teknik hermeunitik,
yakni suatu metode untuk menafsirkan simbol-simbol berupa teks atau
sesuatu yang diperlakukan sebagai teks untuk dicari arti dan
maknanya (dalam hal ini teks yang dimaksud adalah pidato Hamka).
Metode penelitian komunikasi hermeneutika memiliki dua jenis, yaitu
hermeneutika sebagai perangkat memahami teks (text hermeneutics)
dan hermeneutika sebagai perangkat memahami kebudayaan
hermeneutika sosial (social/cultural hermeunitics). Adapun penelitian
ini menggunakan text hermeunitics, teks dipahami sebagai setiap
artefak yang dapat diteliti dan diinterpretasi.11
Melalui analisis hermeneutika, tentu teks-teks yang menjadi subjek
penelitian bersifat polisemis, yaitu mengandung banyak makna
bergantung pada peneliti dengan latar belakang budayanya. Pada
penelitian ini menggunakan metode hermeneutika Paul Ricoeur untuk
menjelaskan nilai-nilai Islam pada naskah Pidato Hamka Islam
sebagai Dasar Negara.
Hermeneutika Paul Ricouer memiliki dua model, disebut lingkaran
hermeneutika yang dapat diterapkan dalam penelitian teks adalah
sebagai berikut:
a. Pertama adalah “penjelasan” diakui sebagai posisi objektif dari
penelitian hermeneutika, melalui semiologi struktural yang mencoba
membedah struktur-struktur intern teks, tanpa melihat hubungan pada
dunia yang ada diluar teks. Peneliti berusaha menginterpretasikan teks
11
Stephen W. Littejohn dan Karen A. Foss, Teori Komunikasi (Jakarta: Salemba
Humanika, 2008), h. 193.
12
yang terdapat dalam naskah tersebut. Berdasarkan teknik penelitian ini,
maka peneliti menggunakan pendekatan kualitatif sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kutipan-kutipan
kalimat.
b. Kemudian analisis kedua disebut dengan “pemahaman”, merupakan
analisis dengan melihat rujukan yang ada diluar teks yang disebut
sebagai makna kontekstual yang didapatkan melalui apropriasi.
Pemahaman sepenuhnya diperantai oleh seluruh prosedur penjelasan
yang mendahului dan mengiringinya.12
3. Kerangka Pemikiran
Supaya penelitian ini lebih terarah serta mudah dipahami, di bawah
ini merupakan gambaran kerangka pemikiran peneliti:
Diagram 1: Kerangka Pemikiran
12
Paul Ricoeur, Hermeneutika Sosial. Penerjemah Muhammad Syukri (Yogyakarta:
Kreasi Wacana, 2006), h. 293.
Teks Pidato Hamka sebagai Wacana
Dunia Internal Teks
Penjelasan 'Semiologi Struktural'
Dunia Peneliti
Pemahaman
'Apropriasi Peneliti'
Nilai-Nilai Islam sebagai Dasar
Negara
13
4. Teknik Pengumpulan Data
Pada teknik pengumpulan data, peneliti memerlukan sejumlah
data yang dapat mendukung dan memperkuat hasil penelitian. Peneliti
menggunakan dua macam teknik, yaitu:
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari
subjek yang diteliti yakni naskah pidato Hamka yang disampaikan
pada sidang Konstituante tanggal 12 November 1957 di Bandung, dan
telah dibukukan dengan judul Tentang Dasar Negara Republik
Indonesia dalam Sidang Konstituante.13
2. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh dengan cara studi
kepustakaan (library research), pengumpulan data melaui sumber-
sumber bacaan dari berbagai literatur seperti teks-teks, buku, artikel,
majalah, yang berkaitan dengan penelitian serta mendukung proses
penelitian ini.
5. Teknik Analisa Data
Dalam penelitian ini bentuk teknik analisisnya adalah analisis
deskriptif yakni data yang dikumpulkan adalah berupa kata, kalimat, atau
teks, dan menggunakan pendekatan kualitatif. Selain itu, semua yang
dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap suatu yang
13
Tentang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Konstituante Jilid III (T.tp, T.pn,
1958), h. 56-79.
14
diteliti.14
Dengan demikian laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan
data dan pengolahan data untuk memberikan gambaran penyajian laporan
tersebut.
Data-data tersebut kemudian diolah dengan alat bantu teori yakni
lingkaran hermeunitik Ricoeur. Penjelasan berarti dekonstektualisasi atau
analisis secara bahasa. Kemudian pada pemahaman atau kontekstualisasi
yang merupakan analisis dengan melihat rujukan yang ada di luar teks.
Pemahaman sepenuhnya diperantai prosedur penjelasan yang mendahului
dan mengiringinya.
Pada prakteknya analisis dilakukan dengan mencari simbol-simbol
verbal yang tersembunyi tentang nilai-nilai Islam sebagai dasar negara
dalam naskah pidato Hamka. Sebelum peneliti melakukan analisis,
pertama yang peneliti lakukan adalah mengorganisasikan data berupa
potongan bait atau paragraf yang mengandung nilai-nilai Islam sebagai
dasar negara menjadi suatu data yang dapat dikelola. Kemudian peneliti
mengumpulkan data sekunder yang menjadi bahan analisis berikutnya
sebagai upaya kontekstualisasi pada tahap analisis pemahaman.
G. Sistematika Penulisan
Penelitian ini mengacu pada buku Pedoman Akademik pada Bab
Pedoman Penelitian Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) oleh
CeQda (Center for Quality Develompent and Assurance) Universitas Islam
14
Moelong, Metode Penelitian Kualitatif, h. 11.
15
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2007. Penelitian dibagi dan dirinci
hingga lima bab, dengan sistematika terdiri dari:
Bab 1 yaitu Pendahuluan merupakan penjelasan dari latar belakang
permasalahan penelitian skripsi ini. Didalamnya juga dijelaskan batasan
dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan
pustaka, metodologi penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis
data, dan terakhir sistematika penelitian.
Bab 2 berisi tentang Kajian Teori yang menguraikan tentang
Pengertian Komunikasi, uraian singkat mengenai retorika, Pancasila
sebagai dasar negara, dasar negara berasaskan Islam, penjelasan mengenai
hermeneutika serta perkembangannya, hermeneutika dalam komunikasi,
serta hermeneutika Paul Ricoeur.
Bab 3 membahas Gambaran Umum yang menguraikan tentang
Biografi Hamka serta karya-karya beliau, kemudian penjelasan mengenai
sidang Konstituante tahun 1956 hingga 1958, dilanjutkan dengan
gambaran umum pokok penelitian ini yaitu pidato Hamka Islam Sebagai
Dasar Negara, dan yang terakhir adalah gambaran kronologis lahirnya
Pancasila.
Bab 4 Pembahasan dan Analisis Data. Pada bab ini terdiri
membahas analisis lingkaran hermeneutika Paul Ricouer yang terdiri dari
analisis struktural sebagai upaya dari penjelasan, dilanjutkan pada proses
pemahaman melalui apropriasi.
Bab 5 kesimpulan dan saran akan menjadi butir-butir pada bab
kelima sebagai penutup.
16
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Komunikasi
1. Pengertian Komunikasi
Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication
berpangkal dari kata Latin communicatio, yang berasal lagi dari kata
communis memiliki arti “sama makna”. Jadi komunikasi adalah proses
pertukaran pesan yang menimbulkan atau memiliki efek sama makna
antara sumber dan penerima begitu pula sebaliknya.1
Berbeda dengan pemikiran Frank Dance yang dijabarkan oleh
Littlejohn, memilih tidak mendefinisikan komunikasi secara kolektif.
Frank menjadikan tiga poin penting yang membentuk dimensi dasar
komunikasi:
Pertama, tingkat pengamatan atau keringkasan. Definisi
komunikasi bagian ini bersifat luas dan bebas. Sebagai contoh definisi
komunikasi yang umum yakni “...Komunikasi sebagai proses yang
menghubungkan bagian-bagian yang terputus...”. Definisi lain yaitu
“...Komunikasi sebagai sistem, semisal telepon untuk menyampaikan
informasi...” definisi ini bersifat terbatas.2
Kedua, berkenaan dengan tujuan. Berikut definisi komunikasi
hanya memasukkan pengiriman dan penerimaan pesan dengan maksud
tertentu, “...Situasi-situasi tersebut merupakan sebuah sumber yang
mengirimkan sebuah pesan kepada penerima dengan tujuan tertentu
1Onong Uchjana, Komunikasi Teori dan Praktek (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007),
h. 9. 2Stephen W. Littejohn dan Karen A. Foss, Teori Komunikasi (Jakarta: Salemba
Humanika,2008), h. 4.
17
untuk memengaruhi perilaku penerima...” Sedangkan definisi yang
tidak menyebutkan tujuan seperti: “...Komunikasi merupakan sebuah
proses menyamakan dua atau beberapa hal mengenai kekuasaan
terhadap orang atau beberapa orang...”3
Ketiga, penilaian normatif yang membedakan definisi
komunikasi. Pada bagian ini definisi yang menyatakan pernyataan
keberhasilan, keefektifan atau ketepatan. Definisi yang tidak
mencantumkan secara lengkap. Sebagai contoh “...Komunikasi
merupakan pertukaran pikiran atau gagasan...” Asumsi definisi ini
komunikasi terjadi apabila pikiran dan gagasan telah tertukarkan.
Selain itu definisi yang tidak menilai tentang hasil adalah:
“...Komunikasi adalah penyampaian informasi...” Asumsinya
informasi tersampaikan tidak penting diterima atau dipahami.4
2. Unsur-Unsur Komunikasi
Harold D.Laswell dikutip oleh Onong Uchjana, memiliki
paradigma sendiri dalam menjelaskan unsur komunikasi. Melalui
pertanyaan berikut ini, maka unsur komunikasi terjawab: Who, Says
What, in Which Channel, To Whom, With What Effect?5
Paradigma Laswell tersebut menunjukkan bahwa komunikasi
memiliki lima unsur, yakni:
a. Komunikator (communicator, source, sender)
b. Pesan (message)
c. Media (channel)
3Ibid., h. 4.
4Ibid., h. 5.
5Onong Uchjana, Komunikasi Teori dan Praktek, h. 10.
18
d. Penerima (communicant, receiver)
e. Efek (effect, influence)
Hakikatnya komunikasi adalah proses penyampaian pikiran atau
perasaan oleh seseorang kepada orang lain. Pikiran dapat berupa
gagasan, informasi, opini, dan lain-lain. Perasaan dapat berupa
keyakinan, kepastian, keragu-raguan, kekhawatiran, kemarahan,
kegembiraan, dan lain sebagainya.6
B. Hermeneutika
1. Pengertian
Secara etimologis, kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani
hermeneuein yang berarti menafsirkan. Benny H. Hoed
mendefinisikan hermeneutika sebagai:
“Ilmu yang mengembangkan pemahaman makna melalui
interpretasi, bahkan secara tegas hermeneutika mempunyai
tujuan untuk pemahaman. Hermeneutika memahami teks
sebagai karya serta menghubungkannya dengan pemroduksi
teks. Oleh karena itu, hermeneutika bersifat polisemis karena
cakrawala pemahaman dan latar belakang pembaca berbeda-
beda.”7
2. Sejarah dan Perkembangan
Dalam sejarah Yunani, hermeneutika berasal dari nama tokoh
mitologis Hermes, yaitu seorang utusan yang mempunyai tugas
menyampaikan pesan Jupiter kepada manusia. Tugas Hermes adalah
menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus ke dalam
6Ibid., h. 11.
7Benny, H. Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya (Depok: Komunitas Bambu,
2011), h. 92.
19
bahasa yang dapat dimengerti manusia. Oleh karena itu Hermes
mampu menginterpretasi sebuah pesan ke dalam bahasa yang dapat
dimengerti pendengarnya.8
Sepintas, hermeneutika tampaknya berasal dari tradisi keagamaan,
utamanya tradisi Kristiani. Namun hermeneutika sendiri berasal dari
bahasa Yunani, beberapa abad sebelum menjelma menjadi kata Latin
di dunia Barat pada abad pertengahan. Dalam buku Hermeneutika
Teori Baru Mengenai Interpretasi, Richard Palmer mengemukakan
enam definisi modern hermeneutika:
(1) Teori eksegesis Bibel; (2) Metodelogi filologis; (3) Ilmu
pemahaman linguistik; (4)Metodologisgeisteswissenschaften
(semua disiplin yang dapat memfokuskan pada pemahaman
seni, aksi, dan tulisan manusia); (5) Fenomenologi eksistensi
dan eksistensial; (6) Sistem interpretasi baik reloktif maupun
iconoclastic.9
Pertama, “hermeneutika sebagai teori penafsiran kitab suci
atau eksegesis Bibel, pelopornya adalah J.C. Dannhauer. Teori ini
merujuk pada prinsip-prinsip interpretasi Bibel, dan hal tersebut
memasuki penggunaan modern sebagai suatu kebutuhan yang muncul
dalam buku-buku yang menginformasikan kaidah-kaidah eksegesis
kitab suci.”10
Kedua, “hermeneutika sebagai metode filologis, menyatakan
bahwa metode interpretasi yang diaplikasikan terhadap Bibel juga
8Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif (Jakarta: Raja Grafindo, 2003), h. 23.
9Richard Palmer, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi. Penerjemah Husnur
Hery dan Damanhury Muhammed (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003) cet. ke-1, h. 38. 10
Ibid., h. 39.
20
dapat diaplikasikan terhadap buku yang lain. Perkembangan ini dipicu
oleh perkembangan rasionalisme.”11
Ketiga, “hermeneutik sebagai ilmu pemahaman linguistik.
Hermeneutika berubah menjadi teori pemahaman atas dasar linguistik.
Hermeneutika menjadi modal untuk semua interpretasi teks, yang
prinsipnya dapat digunakan berbagai jenis interpretasi teks.
Hermeneutika ini menyatakan bahwa sebuah teks yang dihadapi tidak
sama sekali asing dan tidak sepenuhnya biasa bagi penafsir.
Keasingan suatu teks diatasi dengan membuat rekonstruksi imajinatif
atas situasi dan kondisi pengarang. Hermeneutik ini juga dapat
dikatakan sebagai, sejumlah kaidah dan berupaya membuat
hermeneutika sistematis-koheren, sebagai ilmu yang mendeskripsikan
kondisi-kondisi pemahaman dalam suatu dialog.”12
Keempat, “hermeneutika geisteswissenshacften yaitu semua
disiplin yang dapat memfokuskan pada pemahaman seni, aksi, dan
tulisan manusia. Hermeneutika difungsikan sebagai interpretasi
ekspresi manusia, apakah itu hukum, sastra, maupun kitab suci yang
membutuhkan tindakan historis. Pelopornya adalah Wilhelm Dilthey
yang mengarahkan hermeneutika sebagai ilmu humaniora.”13
Kelima, “hermeneutika sebagai fenomenologi eksistensi dan
eksistensial, pada konteks ini mengacu pada ilmu interpretasi teks bagi
geisteswissenschaften, penjelasan pada fenomenologisnya tentang
keberadaan manusia itu sendiri. Hermeneutika ini difungsikan sebagai
11
Ibid., h. 43. 12
Ibid., h. 44. 13
Ibid., h. 45.
21
penafsiran untuk melihat fenomena keberasaan manusia itu sendiri
melalui bahasa.”14
Keenam, “hermeneutika sebagai sistem interpretasi. Disini
hermeneutika difungsikan sebagai seperangkat aturan penafsiran
dengan cara menghilangkan segala misteri yang menyelimuti simbol,
yaitu dengan membuka selubung yang menutupinya. Tokohnya adalah
Paul Ricoeur yang berusaha menarik hermeneutika ke wilayah
penjelasan dan pemahaman teks. Teks sebagai penghubung bahasa
isyarat dan simbol-simbol dapat membatasi ruang lingkup
hermeneutik karena bahasa oral (ucapan) dapat dipersempit.”15
Definisi di atas merupakan pergeseran dari hermeneutika klasik ke
hermeneutika modern. Dalam hal ini sama dengan istilah Ricouer
yang menyebutnya “...upaya regional sebagai memaksudkan
hermeneutika yang “baru” ke wilayah tertentu...” Gerakan ini
mengangkat hermeneutika regional kepada hermeneutika universal,
atau disebut dengan de-regionalisasi.16
Objek kajian hermeneutika adalah teks, hermeneutik tidak
membatasi pada pemaknaan teks tertulis, tapi juga segala sesuatu yang
terekam, baik secara tulisan, elektronik, fotografi, dan lain lain. Teks
merupakan hasil atau produk praktis bahasa. Oleh karena itu,
hubungan antara teks dan bahasa sangat dekat. Sebagai perangkat
interpretasi, tentunya hermeneutik merambah ke beberapa disiplin
14
Ibid., h. 46. 15
Ibid., h. 47. 16
Ricoeur, Hermeneutika Sosial, h. 58.
22
ilmu dari filsafat, sastra, antropologi, psikologi, sosiologi, hingga
komunikasi.
C. Hermeneutika dalam Komunikasi
Basrowi Sukidin dalam bukunya Metode Penelitian Perspektif
Mikro menyatakan bahwa:
“Hermeneutik adalah suatu pendekatan yang mewarnai
bagaimana kita memperlakukan fenomena komunikasi. Lebih lanjut
bahwa dengan menggunakam metode hermeneutik, maka fenomena
komunikasi diperlakukan sebagai teks. Sehingga penelitian
komunikasi merupakan fenomena komunikasi yang direncanakan.
Dengan demikian, dengan lensa hermeneutik akan tampak bahwa
proses interpretasi dalam penelitian merupakan kegiatan yang
melibatkan telaah terhadap teks yang lebih luas.”17
Selain itu ilmuwan komunikasi Littlejohn membagi tradisi-tradisi
komunikasi dan memasukkan hermeneutik menjadi salah satu tradisi
dalam penelitian pesan.18
Sementara dalam buku Filsafat Komunikasi,
Elvinaro dan Bambang mengungkapkan pentingnya hermeneutika dalam
penelitian komunikasi dapat diringkas menjadi beberapa sentral:
Pertama, bahwa hermeneutika muncul sebagai bentuk upaya
mencari tahu lebih dari penjelasan, oleh karena itu “...Hermeneutika
menegaskan pentingnya sebuah pemahaman sebagai sebuah oposisi dari
penjelasan...”. Kedua, peristiwa-peristiwa yang terjadi secara sosial
merupakan objek kajian penelitian “...Hermeneutika menekankan konsep
sentral teks dan berusaha meyakinkan bahwa pelbagai perilaku objek-
objek yang terbentuk dalam kehidupan sosial dapat dimaknai sebagai
17
Basrowi Sukidin, Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro (Surabaya: Insan
Cendekia, 2002), h. 156. 18
Lihat Stephen W. Littejohn dan Karen A. Foss dalam bukunya Teori Komunikasi
memasukkan teori hermeneutika dalam ilmu komunikasi.
23
sebuah teks...” Ketiga, “...pemahaman pada intinya merupakan kerangka
rujukan antara pengamat dan objek yang diamati...”19
Lebih lanjut Elvinaro juga menjelaskan bagaimana hermeneutika
mewarnai kajian komunikasi dilihat dari segi ontologi, epistimologi, serta
aksiologi:
“Studi hermeneutika juga memiliki prinsip-prinsip dasar
sebagai ilmu yang dapat menjawab kemampuan hermeneutika dalam
komunikasi. Secara ontologi kebanyakan teoritisi interpretatif
menyoroti gagasan bahwa realitas tidak akan bisa dimengerti tanpa
mempertimbangkan proses sosial dan mental yang terus menerus
membangun realitas tersebut. Implikasi ini mengarah pada segi
epistemologi yang mengajukan dasar epistemologi subjektif. Karena
tidak ada hukum universal yang bisa dijadikan kesimpulan mengenai
dunia sosial. Realitas itu diciptakan melalui pemahaman yang
dicapai dari pandangan pelaku realitas tersebut. Untuk mendapatkan
pemahaman ini, para pakar interpretatif mencoba mengurangi jarak
antara subjek yang meneliti dan objek pengetahuan. Sementara
pada term aksiologi dapat diambil kesimpulan bahwa teorisi
interpretatif menjauhkan diri dari dugaan bahwa realitas sosial dapat
dipisahkan dari nilai-nilai subjek peneliti.”20
Sederhananya menurut penulis metode hermeneutika
menyanggah asumsi positivistik yang menganggap bahwa peneliti
dapat objektif.
D. Hermeneutika Paul Ricoeur
1. Pengertian
Paul Ricoeur mendefinisikan hermeneutika sebagai “...teori
pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi
19
Elvinaro Erdianto dan Bambang Q-Anees, Filsafat Komunikasi (Bandung: Simbiosa
Rekatama Media, 2007), h. 131-135. 20
Ibid., h. 138-139.
24
dari teks...” 21
Lebih lanjut menurutnya interpretasi adalah upaya
untuk membongkar lipatan-lipatan dari tingkat makna yang terkandung
dalam lipatan-lipatan teks. Teks sendiri menurut Ricoeur adalah
sebuah wacana yang dibakukan lewat tulisan. Melalui wacana ini teks
bukan susunan tanda bahasa yang membentuk pengertian, tetapi
merupakan sebuah simbol yang memiliki makna dan intensi yang
tersembunyi.22
Dalam mengambangkan teori hermeneutik, Ricouer menjelaskan
asumsi-asumsi dasarnya yang terdiri dari: cakrawala, distansi teks,
dialektika menjelaskan dan memahami. Namun sebelumnya yang perlu
diketahui adalah makna teks menurut Ricouer.
2. Teks dan Cakrawala Teks
Hal yang paling dasar teori hermeneutika Ricouer adalah
pandangannya mengenai teks dan konsep tentang distansi teks. Teks
pada dasarnya bersifat otonom. Otonomi teks ada tiga macam, yaitu
intensi pengarang, situasi kultural dan kondisi pengadaan teks, dan
kepada siapa teks ditujukan. Seperti yang telah disinggung di atas
bahwa teks adalah wacana yang dibakukan lewat tulisan. Apa yang
dibakukan lewat tulisan adalah wacana yang dapat diucapkan. Sebuah
teks baru menjadi teks apabila membubuhkan apa yang dimaksudkan
oleh sebuah wacana ke dalam huruf-huruf tertulis.23
Wacana adalah sebuah peristiwa yang memiliki makna, peristiwa
artinya wacana yang direalisasikan waktu dan masa kini. Jika tanda
21
Paul Ricoeur, Hermeneutika Sosial, h. 220. 22
Ibid., h. 220. 23
Ibid., h. 197.
25
leksikal adalah unit dasar bahasa, maka kalimat adalah unit dasar
wacana. Lalu apa yang dibakukan oleh tulisan adalah bukan ujaran
atau speaking, melainkan yang diujarkan atau maksud dari ujaran
tersebut, dimana yang diujarkan dapat dipahami sebagai intensional
yang membentuk tujuan wacana.24
Lalu yang membedakan makna tulisan dengan makna ucapan yang
dianggap sebagai teks adalah bahwa ucapan merupakan hubungan
dialogis interlokutor yakni antara komunikator dengan komunikan dan
sebaliknya. Sedangkan tulisan yang dianggap sebagai teks, tidak
menempati posisi dialogis antara penulis dengan pembaca, melainkan
antara teks dengan pembaca. Karena pembaca tidak melakukan dialog
dengan penulis.25
Oleh karena itu apabila kita membaca teks akan menghadirkan
dunia imajiner yang disebut oleh Ricoeur sebagai “horizon atau
cakrawala. Setiap orang memiliki cakrawala yang berbeda yang
dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal yang terbentuk dalam
perjalanan hidupnya. Begitu pula dengan teks yang memiliki
cakrawala sendiri terlepas dari intensi pengarang. Artinya teks
memiliki dunianya sendiri. Argumen Ricouer ini sejalan dengan apa
yang dikatakan oleh Ferdinand de Saussure, bahwa ucapan (parole)
merupakan pengejawantahan dari bahasa (langue). Oleh karena itu apa
24
Ibid., h. 270. 25
Ibid., h. 197.
26
yang dikatakan teks lebih penting dari pada apa yang ingin
disampaikan oleh pengarangnya.”26
Cakrawala yang ada dalam individu merupakan gambaran dunia
pengalaman yang telah dialaminya akan menentukan pemaknaan
terhadap sesuatu yang terjadi. Hal ini adalah wujud kesadaran atau
juga dapat disebut sebagai bagian dari cakrawala. Jadi dapat dibedakan
teks memiliki cakrawala sendiri yang menghadirkan dunia historis
teks, dan cakrawala pembaca berisi segala informasi, pengetahuan,
serta prasangka yang dimilikinya.27
Proses pemahaman hermeneutik
merupakan penyatuan antara dua cakrawala, cakrawala peneliti dan
cakrawala pembaca.
3. Distansi Teks
Secara etimologi distansi berasal dari bahasa Inggris distance yang
berarti jarak. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa teks
adalah wacana yang dibakukan lewat tulisan, hal ini menekankan
pentingnya karakteristik pengalaman yakni komunikasi dan
pengambilan jarak. Ricouer menyatakan pemisahan teks dari situasi
sebagai pembedaan (distanciation). Teks memiliki makna yang
berbeda dari pengarangnya, dengan kata lain pembaca teks dapat
memahaminya meski berada pada situasi yang berbeda.28
Ricouer
menyatakan terdapat lima tema fungsi distansi yang membentuk
kriteria teks, yaitu:
26
Ibid., h. 272.
28
Littlejohn, Teori Komunikasi, h. 195.
27
a. Realisasi bahasa sebagai wacana
“Ricouer mendefinisikan wacana sebagai peristiwa bahasa.
Bahasa mengutamakan kondisi komunikasi yang memberikan
kode-kode, sementara wacana mempertukarkan semua pesan.
Bahasa diaktualisasikan dalam wacana menjadi suatu sistem
sebagai peristiwa yang memiliki makna.” 29
b. Wacana sebagai karya
“Sebuah karya membentuk susunan yang diterapkan pada
komposisinya sendiri serta mentransformasikan wacana dalam
suatu karya.” 30
c. Relasi ucapan dan tulisan
“Ketika wacana beralih dari ucapan ke tulisan, maka teks
menjadi otonom terlepas dari pembuat teks. Dengan demikian teks
terbuka bagi pembacaan secara luas, tiap-tiap pembacaan berada
pada kondisi sosial dan budaya yang berbeda. Teks harus mampu
keluar dari konteks ketika ia diciptakan sehingga dapat bawa pada
kondisi yang baru.” 31
d. Dunia teks
“Dalam pemahaman ini dunia teks adalah bentuk distansi
yang disebut distansi nyata, menunjukkan kepada suatu paham
realitas. Sifat teks yang otonom menghadirkan dunia imajiner,
29
Ricoeur, Hermeneutika Sosial, h. 177. 30
Ibid., h. 182. 31
Ibid., h. 186.
28
artinya teks menghilangkan dunia sekitar dan menggantikannya
dengan dunia semu.” 32
e. Pemahaman diri terhadap karya
“Teks merupakan medium untuk memahami diri,
pemahaman diri seperti apropiasi teks, cara penggunaannya adalah
dengan menghadirkan situasi pembaca. Apropriasi dihubungkan
dengan objektifasi struktural teks, tidak membaca maksud pembuat
karya melainkan maksud yang ingin disampaikan karya itu.” 33
4. Apropriasi
Apropriasi secara etimologi berasal dari bahasa Inggris yang
berarti „to appropriate‟ yang berarti mengambil untuk menjadi milik
sendiri. Benny H. Hoed menyatakan bahwa:
“Apropriasi membuat hubungan antara subjek dengan
objek (teks) yang pada awalnya terpisah menjadi tanpa jarak.
Apropriasi juga dapat dikatakan sebagai pemahaman. Jadi untuk
melakukan pemahaman dibutuhkan cakrawala peneliti.
Pemahaman teks harus dipahami dengan pemroduksi teks,
lingkungannya, serta intertekstualitas (mempunyai kaitan secara
sistemis dengan teks yang lain). Makna teks dipahami dalam
konteks dialog antara pembaca dan teks yang dibacanya.”34
Apropriasi dapat dikatakan mengambil teks menjadi milik kita,
ketika interpretasi apropriasi dilakukan untuk menemukan makna teks,
teks tidak lagi asing dan menjadi familiar. Konsep dialektika antara
apropriasi dan distansi yakni mencoba membuka makna yang
tersembunyi. Interpretasi mengijinkan aktualisasi makna teks yang
32
Ibid., h. 188. 33
Ibid., h. 190. 34
Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya, h. 94.
29
meurut Ricouer terjadi melalui apropriasi. Teks yang menjadi milik
peneliti akan membuka cakrawala (pengetahuan atau kesadaran)
sehingga dapat mengerti dirinya sendiri.35
5. Penjelasan dan Pemahaman
Pembahasan tema ini dimulai dari melakukan pembacaan teks
yang bersifat otonom. “Otonomi teks menghadirkan dunia imajiner,
artinya teks membuka diri dan melepaskan dari intensi pengarang.
Tipe ini dengan menahan atau menunda semua relasi dengan dunia
yang dapat dijelaskan. Karena teks mempunyai dunianya sendiri yang
terlepas dari intensi penulis. Jadi teks diperlakukan sebagai objek tanpa
pengarang, dalam hal ini teks dijelaskan dalam konteks hubungan
internalnya yakni struktur-strukturnya tanpa dipengaruhi oleh
intertekstualitas subjektif. Objektivasi melalui struktur merupakan
upaya menunjukkan hubungan-hubungan intern dalam teks. Dengan
demikian hal ini memungkinkan hal ini menuju penjelasan (eksplanasi)
yang berkenaan dengan teks.”36
Menjelaskan makna struktur dari teks yakni menghubungkan
ketergantungan yang bersifat internal yang menyusun kebakuan teks,
peneliti diarahkan oleh teks mengikuti alur pikiran menempatkan pada
rute dan menuju arah teks.37
Penjelasan merupakan analisis struktur
dengan melihat hubungan dunia yang terdapat dalam teks, sehingga
langkah ini menjadi objektif.
35
A. Ghasemi, et al., “Ricouer‟s Theory of Interpretation: A Methode for Understanding
Text (Course Text),” World Aplied Science Journal 15 (2011): h, 1626. 36
Ricoeur, Hermeneutika Sosial, h. 205-206. 37
Ibid., h.218.
30
Proses kedua yakni pemahaman melalui interpretasi apropriasi,
yakni dengan “...Mengasumsikan teks sebagai wacana yang
menghasilkan cakralawa yang dihadirkan oleh teks, yang berfusi
dengan cakrawala pembaca dalam hal ini berarti peneliti...”38
Sehingga
teks menjadi milik pembaca dan dipahami juga sesuai konteks
pembacanya.
Oleh sebab itu, hermeneutika berkembang bukan bertujuan
merekonstruksi pesan. Sebaliknya hermeneutika mengembangkan atau
mengkonstruksi pemahaman makna dari teks sesuai dengan konteks
pembacanya. Hermeneutik yang mengkonstruksi pemahaman baru
terlepas dari andil „pemilik teks‟ dapat digambarkan sebagai berikut:
Diagram 2 : Hermeneutika Konstruktif
Dapat disimpulkan bahwa dialektika cara pembacaan “Pertama
yakni penjelasan dilakukan dengan membedah teks dari unsur-unsur
internalnya untuk menjaga otonomi teks supaya terlepas dari intensi
pengarang Sehingga teks membuka diri dari kemungkinan-kemungkinan
38
Ibid., h. 218.
Penulis Teks Peneliti
Latar Belakang
Tujuan
Konteks
31
dibaca secara luas. Sedangkan pemahaman atau kontekstualisasi bersifat
sintesis, digunakan untuk kejadian-kejadian yang berhubungan dengan
keseluruhan penafsiran.”39
Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa hermeneutika bukan
mencari makna dibalik teks, namun mengarahkan perhatiannya kepada
makna objektif dari teks, terlepas dari maksud subjektif si pengarang
ataupun orang lain. Untuk itu menginterpretasikan sebuah teks bukannya
mengatakan suatu relasi subjektifitas pengarang atau subjektifitas
pembaca, melainkan hubungan antara diskursus teks dan diskursus
interpretasi.40
Untuk lebih jelasnya peneliti menggambarkan diagram penjelasan
dan pemahaman sebagai berikut:
39
Ibid., h. 195. 40
Acep Iwan Saidi, “Hermeneutika Sebuah Cara Memahami Teks,” Jurnal Sosioteknologi
Edisi 13 Tahun 7 (April 2008): h. 377.
Teks:
Bahasa/ Wacana
Penjelasan
Pemahaman
Proses Analisis
Semiologi Struktural
Proses Pemahaman
Apropriasi Peneliti
32
Diagram 3: Hermeneutika Paul Ricouer
E. Wacana Pancasila Sebagai Dasar Negara
Untuk menggambarkan pluralitas masyarakat dan budaya
Indonesia, para pendiri Republik tahun 1945 telah mengumandangkan
motto nasional, Bhinneka Tunggal Ika, yang diambil dari formulasi
pujangga Empu Tantular, seorang pemikir cemerlang pada zaman kerajaan
Hindu Majapahit. Indonesia juga memiliki Pancasila sebagai dasar
filosofis dan ideologi nasional negara, dan sebagai pandangan hidup
masyarakat Indonesia. Darji menjelaskan Pancasila sebagai berikut:
“Secara harfiah Pancasila berarti lima prinsip yang berasal dari
bahasa Sanskerta; panca yang berarti lima, dan sila berarti prinsip. Istilah
Pancasila telah digunakan oleh Empu Prapanca dalam bukunya yang
sangat terkenal Negarakertagama, dan Empu Tantular dalam bukunya
Sutasaoma. Ketika itu Pancasila berfungsi sebagai lima prinsip bimbingan
etika dari penguasa dan rakyat agar tidak melakukan kekerasan, mencuri,
dendam, berbohong, dan meminum minuman keras.”41
Kelima prinsip moral tersebut sangat dekat dengan etika
Budhisme, yang isinya:
1) Panatipata Veramami Sikhapadham Sandiyami (kami
berjanji untuk tidak membunuh)
2) Adimadana Veramami Sikhapadam Sandiyani (kami
berjanji untuk tidak mencuri)
41
Darji Darmodiharjo, Pancasila Suatu Orientasi Singkat (Jakarta: Ariess Lima, 1984), h.
23.
33
3) Kamesu Miccharaca veramami Sikhapadam Samadiyami
(kami berjanji untuk tidak melakukan zina)
4) Mussawada Veramam Sikhapadam Samadiyami (kami
berjanji untuk tidak berbohong)
5) Sura Meraya Majja Parmadhatama Sikhapadam
Samadiyami (kami berjanji untuk tidak mabuk-
mabukkan).42
Jadi istilah kelima prinsip Pancasila pada mulanya berfungsi
sebagai bimbingan moral dan etika, yang kemudian ditransformasikan
menjadi konsep politik dalam konteks pemikiran politik Indonesia
menjadi:
1) Ketuhanan yang Maha Esa
2) Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
3) Persatuan Indonesia
4) Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan Perwakilan
5) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.43
F. Wacana Negara Islam
Para ilmuwan Islam mempunyai berbagai pemikiran dalam
mendefinisikan apa itu negara Islam. Hasbi memetakan pengelompokan
tersebut dalam beberapa kelompok. Pertama, pendapat antara apakah ada
atau tidak negara Islam. Maksudnya apakah Islam mengajarkan masalah
42
Faisal Islami, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama (Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 1999), h. 5-6. 43
Ibid., h. 6.
34
kenegaraan atau tidak. Pandangan ini terpecah menjadi tiga pendapat,
kelompok pertama menyatakan dengan tegas ada, kelompok lain
menyatakan tidak ada, dan pendapat terakhir tidak diajarkan secara tuntas.
Kedua, kelompok ini menyatakan adanya negara Islam, baik itu yang
berpendapat Islam sebagai negara dan agama. Negara Islam itu memang
harus ada walaupun bukan merupakan sebuah perintah dalam Islam, akan
tetapi lebih merupakan keharusan demi menjaga pengembangan atau
pelestarian agama.44
Fazlur Rahman seorang ilmuwan Islam mendefinisikan negara
Islam sebagai “...organisasi yang dibentuk oleh masyarakat muslim dalam
rangka memenuhi keinginan mereka dan tidak untuk kepentingan lain...”45
Dari definisi tersebut, menurut penulis rumusannya fleksibel tanpa
memberi ketentuan-ketentuan tertentu. Keyakinan pendirian negara
berdasarkan Islam didasarkan atas prinsip-prinsip tertentu menurut Al-
Quran dan Sunnah. Sejalan dengan pemikiran berikut ini:
“Pertama, bahwa seluruh kekuasaan semesta ada pada Allah
karena Ia yang menciptakannya. Maka menurut keimanan orang muslim,
hanya Allah yang harus ditaati. Kedua, bahwa hukum Islam telah
ditetapkan dalam Al-Quran dan Sunnah. Melalui prinsip-prinsip ini
sebagian kelompok kaum muslim memahami bahwa mereka harus
44
M. Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman (Yogyakarta: UII
Press, 2000), h. 81. 45
Ibid., h. 83.
35
melaksanakan peraturan yang telah ada dalam segala bidang kehidupan
mereka, bukan menciptakan hukum-hukum baru.”46
Konsep lain tentang negara Islam yakni dari Hamka, yang
memiliki pendapat bahwa negara dan agama adalah dua hal yang tidak
dapat dipisahkan. Beliau banyak menggambarkan konsep negara Islam
mengacu pada sejarah, seperti keberhasilan Nabi Muhammad melalui
agama Islam yang dibawanya dapat mempersatukan masyarakat dalam
kesatuan suku yang terpecah belah.47
Kendatipun Nabi Muhammad tidak
pernah menyatakan dirinya sebagai pemimpin negara, tetapi ia telah
menjadikan negara sebagai sebuah alat bagi Islam untuk menyebarkan dan
mengembangkan agama.
Dalam buku Falsafah Hidup karya Hamka yang dikutip
Shobahussurur, Hamka menjelaskan bahwa Islam meliputi seluruh
kegiatan hidup manusia, Islam bukan hanya membahas masalah ibadah
makhluk kepada Tuhannya, tidak pula membahas antara seorang dengan
masyarakat, Islam bukan pula hanya urusan ulama. Islam meliputi seluruh
aspek kehidupan.48
Ini artinya Islam juga mengajarkan konsep tentang
negara.
Lebih lanjut menurut Hamka, masyarakat Islam dalam hal ini dapat
juga berarti negara Islam yang memiliki cita-cita tinggi dan memahami
agamanya secara baik. Pemeluk yang taat pada agamanya adalah mereka
yang bercita-cita untuk perjuangan negara, supaya hukum Allah berjalan
46
Mumtaz Ahmad, ed., Masalah-Masalah Teori Politik Islam (Bandung: Mizan, 1996), h.
57. 47
Hamka, Islam Revolusi (Pustaka Panjimas, 1984), h. 89. 48
Shobahussurur, “Relasi Islam dan Kekuasaan Perspektif Hamka,” Jurnal Asy-Syir‟ah V
43, no. 1 (2009): h. 3.
36
di bumi. Tidak sempurna Islamnya, jika undang-undang dan kehidupannya
tidak diatur dengan aturan yang didasarkan pada Tuhan. Selaras dengan
ayat berikut:49
“Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sehingga mereka
menjadikan engkau sebagai hakim terhadap perkara yang
mereka perselisihkan, kemudian tidak ada rasa keberatan dalam
hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka
menerima dengan sepenuhnya” (Q.S an-Nisaa: 65).
Konsep pemerintahan Islam di suatu negara atau wilayah, ialah
menurut bentuk pertumbuhan dan kecerdasan masyarakat itu.
Sebagaimana fungsi diciptakannya manusia sebagai khalifah di bumi,
manusia diberi kebebasan berfikir dan bertanggungjawab. Negara Islam
yang ditawarkan Hamka lebih mengedepankan musyawarah dalam berbagi
macam permasalahan, apapun konsep negara Islam yang paling penting
syura atau musyawarah harus tetap ada.
Ijtihad lain yang lebih luas mengenai negara Islam bukan hanya
sekedar simbol-simbol distinkitif seperti negara Islam atau negara
berasaskan hukum Islam. Namun, yang lebih penting adalah bagaimana
asas-asas doktrin yang berhubungan dengan masalah kenegaraan
ditransformasikan ke dalam rumusan-rumusan umum atau undang-undang
yang menggambarkan nilai-nilai Islam. Mohammad Natsir berpendapat
suatu negara akan bersifat Islam bukan karena secara formal disebut
49
Ibid., h. 90.
37
“negara Islam”, melainkan disusun sesuai dengan ajaran-ajaran Islam baik
secara teori maupun praktik.50
Azyumardi Azra berpendapat tidak ada satupun model negara
Islam yang dapat dijadikan prototipe negara Islam. Menurut Azra negara
Islam pada masa dahulu yang tidak dapat diimplementasikan masa
sekarang karena:
“Tidak adanya model negara Islam yang konkret menimbulkan
kebingungan. Sebabnya, seperti negara Madinah dibawah pimpinan Nabi
dan empat khalifah, tidak menawarkan rincian yang bisa dijadikan model
penerapannya di era kontemporer. Kedua, praktek kekhalifahan
selanjutnya Ummayah dan Abbasiyah, hanya menyediakan sistem
lembaga politik saja. Terakhir, kegagalan secara penuh negara Islam
mengarah para perumusan cita-cita ideal dan hubungan antara agama dan
negara menjadi subjek beragam interpretasi selama berabad-abad.”51
50
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme Politik Partai Islam
(Jakarta: Paramadina, 2009), h. 205. 51
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam; Dari Fundamentalisme, Modernisme,
hingga Posmodernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 22.
38
BAB III
GAMBARAN UMUM
1. Biografi Hamka
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan
sebutan Hamka, lahir pada tanggal 16 Februari 1908 di Kampung Molek,
Maninjau, Sumatera Barat, dan wafat pada 24 Juli 1981. Hamka
merupakan keturunan tokoh-tokoh ulama di Minangkabau. Kakek Hamka
Syaikh Muhammad Amrullah merupakan penganut tarekat mu’tabarah
naqsabandiyah yang sangat dihormati. Syaikh Muhammad Amrullah
mengikuti jejak ayahnya Tuanku Syaikh Pariaman dan saudaranya Tuanku
Syaikh Gubug Katur. Ayah Hamka Syeikh Abdul Karim bin Amrullah
atau dikenali sebagai Haji Rasul, adalah tokoh pembaharu di Tanah
Minang menolak prakek-praktek ibadah yang dilakukan oleh ayah dan
kakeknya. Garis keturunannya hingga berlanjut pada sebuah nama besar
lainnya, yakni Abdullah Arif salah seorang pahlawan dimasa Perang
Paderi.1
Riwayat pendidikan formal Hamka sangat rendah, pada usia tujuh
tahun ia memulai pendidikan formal di sekolah desa hingga kelas dua.
Ketika usianya sepuluh tahun, ia belajar di diniyah school dan Tawalib di
Padang Panjang dan Parabek tahun 1916 hingga 1923 merupakan sekolah
yang didirikan ayahnya.
1 Akmal Sjafril, Buya Hamka: Antara Kelurusan Aqidah dan Pluralisme (Depok: Indie
Publishing, 2012), h. 10.
39
Dalam dunia sastra, Hamka sangat produktif melahirkan karya
sastra baik novel maupun cerpen. Beberapa novelnya seperti Di Bawah
Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck menjadi
salah karya penting dalam sejarah kesastraan Indonesia. Selain itu, beliau
juga aktif di duni ajurnalistik. Sejak tahun 1920-an, Hanka menjadi
wartawan di beberapa media seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang
Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, Hamka menjadi
editor majalah Kemajuan Masyarakat, Al-Mahdi, Pedoman Masyarakat,
dan Gema Islami.2
Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi, politik dari sumber
Islam atau Barat. Dengan kemahiran Bahasa Arabnya yang tinggi, beliau
juga dapat menyelidiki karya ulama serta pujangga besar di Timur Tengah
seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al Manfaluti
dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya
ilmuwan dari Perancis, Inggris, dan Jerman seperti Albert Toynbee, Jean
Paul Satre, Karl Marx, Sigmund Freud. Hamka juga rajin membaca dan
bertukar pikiran dengan tokoh-tokoh di Indonesia seperti HOS
Tjokroaminoto, Raden Mas Surjopranoto, Haji Oemar Said, Ki Bagus
Hadi Kusumo, dan Haji Fakhrudin. Disana ia mendapat kursus pergerakan
bertempat di gedung Abdi Dharmo Pakualam Yogyakarta, sambil
mengasah bakatnya sehingga menjadi ahli pidato.3
2 Ibid., h. 19.
3“Buya Hamka Sosok Teladan.” Artikel diakses tanggal 02 Juli 2012 pukul 22.27 dari
kemenag.go.id.file/dokumenn/HAMKA/pdf.
40
Kota Yogyakarta memiliki arti penting dalam kehidupan dan
pemikiran Hamka, ia menyebutkan bahwa di kota itu, Islam sebagai
sesuatu yang hidup, menawarkan pendirian dan perjuangan yang dinamis.4
Di Yogyakarta juga, ia lebih banyak menginternalisasikan ilmu-ilmu yang
lebih berorientasi pada memerangi kebodohan, kelatarbelakangan,
kemiskinan, serta bahaya kristenisasi yang mendapat sokongan dari
Belanda. Hal ini berbeda dengan pendidikan selama ia masih di kampung
halaman yang berorientasi pada pembersihan akidah.5
Meskipun tidak pernah mengecap pendidikan sampai perguruan
tinggi, ia memeroleh gelar Doktor Honoris Causa pada tahun 1955 dari
Universitas Al Azhar Kairo, dan pada tahun 1976 dari Universitas
Kebangsaan Malaysia.6
Hamka memulai peran dan aktivitas organisasinya di
Muhammadiyah sebagai ketua atau pengurus, maupun sebagai delegasi
antar negara. Aktivitas organisasi dan dakwah Hamka lebih terlihat setelah
kepulanggannya dari Mekah tahun 1927. Secara umum perannya sebagai
berikut: 1) menjadi guru agama di perkebunan Tebing Tinggi Medan
(1927); 2) menjadi guru agama di Padang Panjang (1929); 3) dilatik
sebagai dosen di Universitas Islam Jakarta dan Universitas
Muhammadiyah Padang Panjang (1957-1958); 4) dilantik sebagai Rektor
Perguruan Tinggi Islam Jakarta dan Profesor Universitas Moestopo
4 Herry Mohammad, dkk., Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20 (Depok: Insani
Press, 2006), h. 101. 5Ibid,. h. 102.
6M. Yunan Yusuf, dkk., Ensiklopedi Muhammadiyah (Jakarta: Disdakmen, 2005), h. 134.
41
Jakarta; 5) dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai
pegawai tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia.7
Hamka menjadi peserta pertama muktamar Muhammadiyah tahun
1928 dan sejak saat itu ia hampir tidak pernah absen hingga akhir
hayatnya. Hamka memiliki jabatan penting sebagai ketua Taman Pustaka,
kemudian ketua Tabligh Muhammadiyah, hingga ketua Muhammadiyah
cabang Padang Panjang. Menjadi mubaligh di Bengkalis dan Padang
Panjang, Majelis Konsul di Muhammadiyah Sumatera Tengah, Ketua
Majelis Pimpinan Muhammadiyah Daerah Sumatera Barat, hingga terpilih
menjadi anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah sejak tahun 1953 hinga
1971.8
Hamka yang organisatoris pernah mendapatkan kesempatan
melakukan kunjungan ke manca negara. Pertama Arab Saudi tahun 1950,
kemudian tahun 1952 berkunjung ke Amerika Serikat. Semenjak itulah
Hamka sering mendapat undangan dan menjadi delegasi Negara Indonesia
untuk menghadiri acara-acara internasional keagamaan, khususnya
dibidang politik.
Karir politik Hamka dimulai dari menjadi anggota Partai Serikat
Islam tahun 1925. Hingga tahun 1945 ia membantu perjuangan melawan
kolonial melalui pidato-pidato dan menyertai kegiatan gerilya di hutan
belantara Medan. Kemudian dilantik menjadi ketua Front Pertahanan
Nasional Indonesia (1947). Kemudian menjadi anggota Konstituante
mewakili daerah pemilihan Jawa Tengah. Konstituante dibubarkan tahun
7Floriberta Aning, 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Narasi,
2005), h. 66. 8M. Yunan Yusuf, dkk., Ensiklopedi Muhammadiyah, h.135.
42
1958, berakhirnya juga dengan dibubarkannya Masyumi pada tahun 1960
oleh Soekarno.9
Dalam gerakan politiknya, Hamka merasakan penjara pada rezim
Soekarno atas tuduhan makar anti Soekarno (GAS: Gerakan Anti
Soekarno). Ia dipenjara di daerah Rawamangun Jakarta, dengan Mr.
Kasman, Ghazali Sahlan, Dalari Umar, dan Yusuf Wibisono. Ketika
dipenjara itu ia meneruskan hasil karya ilmiah terbesarnya Tafsir al-Azhar.
Hamka dibebaskan pada 23 mei 1966. Sebelumnya rekan-rekan Hamka
seperti: Mohammad Natsir, Syafruddin Prawira Negara, Syahrir,
Mohammad Roem, Prawoto, Yunan Nasution dan Isa Anshori pada tahun
1962 karena tuduhan pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia).10
Pada tahun 1957 ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) terbentuk,
ia terpilih menjadi ketua umum pertama dan juga periode kedua pada
tahun 1980. Namun sebelum berakhir ia mengundurkan diri dari
jabatannya sebagai ketua umum, hal ini dikarenakan bertentangan dengan
pemerintah dalam perayaan Natal bersama. Ia mengeluarkan fatwa MUI
yang mengharamkan umat Islam melakukan perayaan Natal bersama.11
Ketokohan Hamka dikenal bukan hanya di Indonesia, namun juga
di Timur Tengah dan Malaysia. Perdana Menteri Malaysia Tun Abdul
Razak pernah mengatakan Hamka bukan hanya milik Indonesia, namun
9Floriberta Aning, 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia, h. 75.
10Ibid,. h. 75.
11“Buya Hamka Sosok Teladan.” Artikel diakses tanggal 02 Juli 2012 pukul 22.27 dari
kemenag.go.id.file/dokumenn/HAMKA/pdf.
43
juga bangsa-bangsa Asia Tengara. Hamka meninggalkan karya yang
sangat banyak, sekitar puluhan karya beliau ciptakan.
2. Karya Karya Hamka
No Judul Kategori Tahun
1 1001 kehidupan
1950
2 Adat Minangkabau & Agama Islam Nonfiksi
3 Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi Nonfiksi 1946
4 Agama dan Perempuan Nonfiksi 1939
5 Arkanul Islam Nonfiksi 1932
6 Ayahku Biografi 1950
7 Bohong di Dunia Nonfiksi
8 Dari Perbendaharaan Lama Nonfiksi 1963
9 Di Bawah Lindungan Ka'bah Fiksi 1936
10 Di Dalam Lembah Kehidupan Cerpen 1939
11 Di Tepi Sungai Dajlah Fiksi 1950
12 Dibantingkan Ombak Masyarakat Nonfiksi 1946
13 Dijemput Mamaknya Fiksi 1939
14 Doa-doa Rasulullah Nonfiksi 1974
15 Ekspansi Ideologi Nonfiksi 1963
16 Empat Bulan di Amerika Nonfiksi 1953
17 Fakta dan Khayal Tuanku Rao Nonfiksi 1970
18 Falsafah Hidup Nonfiksi 1939
19 Falsafah Ideologi Islam Nonfiksi 1950
20
Hak Asasi Manusia Dipandang dari Segi
Islam Nonfiksi 1968
21 Hikmat Isra Mi'raj Nonfiksi 1929
22 Himpunan Khutbah-Khutbah Nonfiksi
44
23 Islam dan Demokrasi Nonfiksi 1946
24 Islam dan Kebatinan Nonfiksi 1972
25 Keadilan Ilahi Fiksi 1939
26 Keadilan Sosial dalam Islam Nonfiksi 1950
27 Kedudukan Perempuan dalam Islam Nonfiksi 1973
28 Kenangan-kenangan Hidup 1-4 Autobiografi 1908
29 Kepentingan Melakukan Tabligh Nonfiksi 1929
30 Khotibul Ummah Nonfiksi
31 Laila Majnun Fiksi 1932
32 Lembaga Budi Nonfiksi 1940
33 Lembaga Hidup Nonfiksi 1940
34 Lembaga Hikmat Nonfiksi 1953
35 Mandi Cahaya di Tanah Suci Fiksi 1950
36 Margaretta Gauthier Terjemah 1940
37 Mati Mengandung Malu Nonfiksi 1934
38 Menunggu Beduk Berbunyi Fiksi 1949
39 Merantau Ke Deli Fiksi 1940
40 Muhammadiyah di Minangkabau Nonfiksi
41 Muhammadiyah Melalui 3 Zaman Nonfiksi 1946
42 Negara Islam Nonfiksi 1946
43 Pandangan Hidup Muslim Nonfiksi 1960
44 Pedoman Mubaligh Islam Nonfiksi 1937
45 Pelajaran Agama Islam Nonfiksi 1956
46 Pembela Islam Nonfiksi 1929
47
Perkembangan Tasawuf dari Abad ke
Abad Nonfiksi 1952
48 Pribadi Nonfiksi 1950
49 Revolusi Agama Nonfiksi 1946
45
50 Revolusi Pikiran Nonfiksi 1946
51 Ringkasan Tarikh Umat Islam Nonfiksi 1929
52 Sayid Jamaluddin Al-Afhany Nonfiksi 1965
53 Sejarah Islam di Sumatera Nonfiksi
54 Sesudah Naskah Renville Nonfiksi 1947
55 Si Sabariah Fiksi 1928
56 Studi Islam Nonfiksi 1973
57 Tafsir Al-Azhar Juz 1-30 Tafsir
58 Tasawuf Modern Nonfiksi 1939
59 Tenggelamnya Kapal Van Der Wick Fiksi 1937
60 Tuan Direktur Fiksi 1939
61 Urat Tunggang Pancasila Nonfiksi
3. Sidang Konstituante
Pada tahun 1955 tidak kurang dari 36 partai mengikuti pemilu yang
dilaksanakan secara dua tahap. Pertama untuk memilih yang berlangsung
pada 29 September 1955 dan untuk memilih anggota Konstituante pada
15 Desember 1955. Tingkat partisipasi pemilu ini sangat tinggi, diikuti
oleh 39 juta rakyat Indonesia. Selanjutnya Majelis Konstituante dibentuk
seperti yang diamanatkan UUDS 1955 bahwa:
Konstituante (Sidang pembuatan Undang-Undang Dasar)
bersama pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan
undang-undang dasar sementara ini.12
12
Nanang Surahman, “Pancasila Versus Islam: Konflik Tentang Dasar Negara Antara
PKI-Masyumi pada Sidang Konstituante 1956-1959,” (Tesis S2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Indonesia, 2002), h. 110.
46
Dalam pelaksanaan tugasnya Konstituante dipimpin oleh seorang
ketua dengan lima orang wakil ketua. Sejak pelantikan anggota pada 10
November 1956. Hingga sidang berakhir pada 2 Juni 1959, telah
berlangsung tujuh kali sidang pleno dengan urutan sebagai berikut: satu
kali pada 1956, tiga kali pada 1957, dua kali pada 1958, dan satu kali pada
1959. Adapun pembahasan mengenai dasar negara berlangsung pada masa
sidang kedua tahun 1957, dari tanggal 11 November 1957 hingga 6
Desember 1957. Dengan dua kali sesi sidang yang masing-masing
menampilkan 47 orang pembicara pada sidang pertama dan 54 pembicara
pada sidang berikutnya.13
Dari sekian agenda sidang yang dimiliki Majelis ini, perdebatan
yang paling alot yakni pada permasalahan dasar negara. Total lima ratus
empat belas kursi di Konstituante terbagi menjadi tiga golongan.
Mainstream politik ini pertama pendukung Pancasila terdiri dari PNI
(Partai Nasionalis Indonesia), PKI (Partai Komunis Indonesia), PRN
(Partai Rakyat Nasional), Parkindo (Partai Kristen Indonesia), Partai
Katolik, Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia),
dan beberapa partai kecil lainnya, dengan total suara dua ratus tujuh puluh
tiga. Pendukung Islam Masyumi (Majelis Syuro Indonesia), NU
(Nahdhatul Ulama), PSII (Partai Serikat Islam Indonesia), Perti (Persatuan
Tarbiyah Islamiyah) dan parpol Islam kecil lainnya, dengan total suara
dua ratus tiga puluh. Dan yang terakhir pendukung Sosial-Ekonomi dari
13
Ibid,. h. 111
47
Partai Buruh, Murba, dan Acoma (Angkatan Comunis Muda). dengan total
suara sembilan.14
Bagi golongan Islam Majelis Konstituante adalah kesempatan yang
perlu dimaksimalkan untuk kembali memperjuangkan Islam sebagai dasar
negara, karena Majelis belum menetapkan dasar negara secara permanen,
sehingga mereka berfikir bahwa hal ini sah adanya. Masyumi menjadi
salah satu partai besar Islam pada sidang pleno ini pembicara utamanya
adalah Natsir dan Hamka.
Golongan Islam tidak mudah meyakinkan para anggota, begitu
pula sebaliknya, golongan pendukung Pancasila juga sulit meyakinkan
golongan Islam bahwa Pancasila tidaklah sekuler. Perbedaan ideologi
mengenai falsafah dasar negara ini menjadi perdebatan yang berlarut dan
tidak kunjung usai. Untuk keluar dari kebuntuan tersebut sejumlah partai
politik akhirnya mendesak Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 yang mengakhiri riwayat Majelis Konstituante.
4. Gambaran Umum Pidato Hamka “Islam Sebagai Dasar Negara”
Hamka sebagai salah satu dewan dari Masyumi, menguraikan
pentingnya Islam sebagai Dasar Negara. Bahwa semangat Islam melalui
kalimat “Allahu Akbar”, dapat digunakan sebagai pemicu bagi perjuangan
membebaskan bangsa dari penjajahan. Yang menjiwai terwujudanya
proklamasi kemerdekaan bukan Pancasila, tapi semangat menegakkan
kalimat Allah. Semangat api para pejuang bukanlah Pancasila, karena
14
Faisal Ismail, Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama, h. 63-64.
48
Pancasila belum dikenal saat itu. Melainkan api semangat juang Islam.
Bangsa Indonesia yang notabenenya sembilan puluh persen beragama
Islam menginginkan kemerdekaan dengan semangat Islam.
Mewujudkan cita-cita para pejuang kemerdekaan. Bahwa para
pejuang ingin membebaskan bangsa ini dari penjajahan, dengan cita-cita
terbentuknya negara berdasarkan Islam. Hamka menyebutkan nama-nama
Pahlawan Nasional seperti Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku
Tjik Ditiro, Teuku Umar, Pangeran Antasari, Sultan Hassanuddin, Sultan
Malaka, Iskandar Muda, Raja Aji, Tjokroaminoto guru Bung Karno.
Semua pahlawan tersebut bercita-cita terwujudnya negara berdasarkan
Islam. Sultan Abdul Hamid Diponegoro yang bergelar Khalifatul
Muslimin dan Amirul Mukminin, secara terang-terangan menentang
Gubernur Jenderal de Kock bahwa beliau akan mendirikan sebuah
kerajaan Islam di Tanah Jawa. Imam Bonjol yang bernama asli Ahmad
Syahab adalah seoarang Ulama Besar dan Pemimpin dalam peperangan di
Bonjol, bercita-cita membentuk masyarakat dan negeri berdasarkan Islam
di tanah Minangkabau. Teuku Cik Ditiro berjuang atas nama Islam.
Hasanuddin dari Makasar berjuang untuk menegakkan kalimatullah.
Semua pejuang itu belum mengenal Pancasila, karena Pancasila
dipopulerkan beberapa tahun terakhir. Maka mendirikan negara Islam
sejalan dengan cita-cita nenek moyang dengan cakupan lebih besar dan
lebih rasional.
Islam adalah agama yang dianut mayoritas penduduk Indonesia.
Islam telah mengakar dalam kehidupan dan kepribadian bangsa Indonesia
49
selama berabad-abad lamanya. Islam telah menjadi rahasia kekuatan yang
sebenarnya dalam hati sanubari bangsa Indonesia. Pancasila tidak
memiliki dasar sejarah di Indonesia, sementara Islam, telah berkembang di
seluruh kepulauan Indonesia sejak 600 tahun lalu. Oleh karenanya
perjuangan menuntut Islam sebagai dasar negara adalah perjuangan yang
mengakar. Perjuangan untuk kesejahteraan bangsa, bukan hanya untuk
partai-partai Islam.
Kekhawatiran akan terjadi diskriminasi bila Islam dijadikan dasar
negara adalah sangat berlebihan. Sebab dasar politik pertahanan negara
berdasarkan Islam adalah menjunjung tinggi kesucian nama Tuhan. Bila
negara berdasarkan Islam ini telah terbentuk, maka yang akan
merumuskan dan mengatur undang-undang dasarnya bukanlah partai-
partai Islam saja, tetapi seluruh partai, termasuk PNI, Katolik, Parkindo,
seluruh partai dan golongan yang konsekuen percaya kepada Tuhan. Maka
tidak ada diskriminasi karena semua keputusan dihasilkan melalui
musyawarah. Negara berdasarkan Islam tidak dimaksudkan menjadi
penganut agama lain atau bangsa kelas kedua.
Islam memiliki toleransi tinggi, ayat Al-Quran yang menjadi dasar
politik pertahanan, sama dengan bunyi kawan sefraksi Hamka yang
berbunyi: “Kalau tidaklah ada pertahanan manusia atas manusia, niscaya
akan diruntuhkan oranglah biara, gereja, synagog dan mesjid”. Meski
masjid disebutkan terakhir, bukanlah suatu masalah karena itu
sesungguhnya lambang jiwa. Dasar politik yang menjunjung kesucian
nama Ilahi.
50
Islam dan Kristen tidak ada persoalan yang musykil dan tidak
bertentangan. Pangkalan tempat berfikir dan satu tujuan seruan jiwa satu.
Asal hati dapat terbuka, segala persoalan dapat diselesaikan. Kekacauan
diantara keduanya telah dibuat Belanda. Menjajah tanah air dan selalu
menyalahgunakan penyiaran agama Kristen untuk menekan Islam, dengan
menanamkan perasaan curiga terhadap umat Islam.
Layaknya negara Mesir yang mayoritas penduduknya Islam
dipimpin oleh presiden muslim, penduduknya dapat dengan leluasa
menjalankan ibadah menurut kepercayaannya seperti kristen Koptik.
Amerika Serikat yang dikenal sebagai negara dengan tingkat
demokrasinya tinggi juga masih menggunakan sistem agama untuk para
presidennya dengan kepercayaan Protestan tidak boleh Katolik, juga
dengan Perancis yang mengamanatkan kepala negara adalah orang
Katolik.
Pidato ini ditutup dengan pernyataan bahwa Indonesia adalah hasil
dari perjuangan hinggga berdarah-darah. Setiap diri manusia mempunyai
iman yang berada pada tiap-tiap hati mereka, sehingga tidak boleh
dinafikan keberadaannya. Karena sesungguhnya negara yang berdasarkan
agama adalah panggilan jiwa itu sendiri.
51
5. Kronologi Lahirnya Pancasila15
No Tanggal Peristiwa
1 29 Mei-1 Juni 1945 BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia)
diselenggarakan, namun menemui jalan
buntu tentang landasan filosofi negara.
Kemudian dibentuk Panitia Sembilan yang
diwakili nasionalis muslim dan nasionalis
sekuler, untuk mencari jalan tengah.
2 22 Juni 1945 Tercipta kesepakatan antara Panitia
Sembilan dan mendapatkan jalan tengah
mengenai landasan filosofi bangsa yang
disebut dengan Piagam Jakarta.
3 18 Agustus 1945 Piagam Jakarta dirombak oleh Panitia
Kemerdekaan Indonesia.
4 29 September 1955 Dihelat Pemilihan Umum tahap pertama
untuk memilih anggota DPR, pemilu
diikuti 29 Partai dan individu.
5 15 Desember 1955 Pemilihan Umum tahap dua untuk
memilih anggota Konsituante.
6 1956-1959 Sidang Konstituante digelar, dan
berlangsung tujuh kali sidang pleno.
Adapun mengenai dasar negara
berlangsung pada masa sidang kedua dari
tanggal 11 November hingga 6 Desember
1957. Mengenai hal ini para anggota
terpecah menjadi tiga kubu. Nasionalis
Islam, Nasionalis Sekuler, dan Sosial
Ekonomi berdebat panjang mengenai
dasar negara. Sidang ini tidak
membuahkan hasil.
7 5 Juli 1959 Dikeluarkan Dekrit Presiden yang
menegaskan kembali ke UUD 1945
15
Dhurorudin Mashad, Akar Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2008) h.56-58, dan Nanang Surahman, Pancasila Versus Islam: Konflik Tentang Dasar Negara
Antara PKI-Masyumi pada Sidang Konstituante 1956-1959, h. 110-111.
52
BAB IV
ANALISIS DAN TEMUAN DATA
A. Teks Pidato Hamka Sebagai Wacana
Dalam sidang Konstituante Hamka menyampaikan pidato sebagai salah
satu perwakilan kelompok Islam. Pidato sebagai sebuah karya yang
mengandung wacana yang mempertukarkan pesan antara para anggota
sidang. Ketika pidato tersebut disampaikan pada sidang Konstituante oleh
Hamka, lalu dibukukan, maka relasi antara yang diucapkan dan yang
dituliskan telah terlepas. Teks yang dituliskan telah terlepas dari pembuat
teks yakni Hamka, teks tersebut mempunyai dunianya sendiri yang dapat
dibaca secara luas. Hal ini yang disebut makna objektif dari teks.
B. Penjelasan dan Pemahaman
Keinginan kuat kalangan muslim yang secara gigih memperjuangkan
Islam sebagai dasar negara merupakan bentuk kecemasan bahwa Indonesia
akan menjadi negara sekuler. Tindakan yang dilakukan oleh kelompok Islam
adalah meyakinkan kelompok-kelompok lain bahwa Islam menjadi rumusan
yang tepat bagi Indonesia.
Sebelum dasar negara itu ditetapkan secara permanen, maka
kesempatan kaum nasionalis muslim untuk memperjuangkan Islam seoptimal
mungkin sebagai dasar negara. Hamka meskipun bukan ketua dari Partai
Masyumi, namun memiliki peranan penting dan mempunyai kesempatan
untuk mengajukan konsep tersebut.
53
Berikut ini penulis akan menjelaskan melalui dua tahap mengenai
analisis dalam penelitian ini. Pertama dengan penjelasan menggunakan
semiologi struktural dan menggambarkan cakrawala teks, kedua
pemahaman dari apropiasi peneliti terdapat penyatuan antara cakrawala
pembaca dan cakrawala teks pidato Hamka. Dengan mengambil potongan-
potongan teks dan menganalisanya dengan menggunakan hermeunitika
dari Paul Ricouer yang telah dijelaskan. Analisisnya adalah sebagai
berikut:
1. Teks Pertama
Pada bagian pertama ini peneliti menjelaskan beberapa teks yang
menyebutkan kalimat Allahu Akbar, beberapa teks tersebut adalah:
Bagian pertama: “Tidak ada tempat takut melainkan Allah!
,,Allahu Akbar’’! Hanja Allah Jang Maha Besar, jang lain ketjil
belaka! La-ilaha-illallah, tidak Tuhan tempat menjembah, tempat
takut, tempat memohon, tempat berlindung melainkan Allah!”1
Bagian Kedua: “Itulah jang kami kenal, djiwa atau jang
mendjiwai proklamasi tanggal 17 Agustus, bukan Pantja Sila.
Sungguh Saudara Ketua. Pantja Sila itu belum pernah dan tidak
pernah, karena keistimewaan hidupnja dijaman Belanda itu
menggentarkan hati dan tidak pernah dikenal, tidak populer dan
belum pernah terdengar! Jang terdengar hanja sorak ,,Allahu
Akbar”. Dan api jang njala didalam dada ini sekarang, Saudara
Ketua, bukanlah Pantja Sila, tetapi ,,Allahu Akbar!”2
Bagian Ketiga: “Allahu Akbar jang tertulis dalam dada
Saudara itulah sekarang jang kami mohon direalisasikan. Allahu
Akbar, jang didalamnja terkandung segala matjam sila, baik
pantja, atau sapta, atau ika, atau dasa. Allahu Akbar jang
mendjadi pertahanan Saudara ketika saudara pernah menghadapi
bahaya besar! Allahu Akbar yang mendjadi pertahanan Saudara
disaat maut telah melajang-lajang di atas kepala Saudara. Allahu
Akbar jang kepada-Nja putera Saudara jang tertjinta Saudara
1 Tentang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Konstituante, h. 57.
2 Ibid., h.57.
54
serahkan! Allahu Akbar jang dengan dia Saudara disambut waktu
lahir dari perut ibu!”3
1.1. Penjelasan dengan Semiologi Struktural
Kalimat Allahu Akbar yang dalam bahasa Arab tertulis (اهلل اكبر)
dalam bahasa Indonesia berarti Allah Maha Besar. Allah (اهلل)
merujuk pada Dzat yang disembah oleh umat muslim, Dzat yang
tidak dapat dilihat atau dirasakan oleh pancaindera manusia.
Sementara „Akbar‟ (اكبر) dalam tata bahasa Arab termasuk pada
kategori isim tafdhil yang menunjukkan makna superlatif. Jadi kata
Akbar bermakna paling besar. Namun untuk menyatakan keagungan
yang tidak tertandingi kata paling digantikan oleh „maha‟ yang
memiliki posisi lebih tinggi maknanya dari „paling‟. Jadi Allahu
Akbar diartikan Allah Maha Besar. Penanda Allahu Akbar menjadi
petanda bagi Tuhan umat Islam yang Maha Segalanya.
Pada pidato ini Hamka menyebutkan Allahu Akbar sebanyak
tujuh belas kali. Pada bagian pertama menggambarkan cakrawala
yang lebih luas dari pada teks berikutnya, bahwa Allah yang Maha
Besar tidak ada yang dapat menandingi-Nya. Sebagai hamba yang
kecil, manusia harus patuh dan taat, karena hanya Allah tempat
menyembah, tempat takut, dan tempat memohon.
Pada teks bagian kedua menggambarkan cakrawala kalimat
Allahu Akbar lebih dulu hadir dan dikenal dari pada Pancasila.
Allahu Akbar yang menyala dalam hati membangkitkan semangat
Proklamasi, bukanlah Pancasila. Demikian ini kaitannya dengan
3Ibid,. h. 58.
55
cakrawala teks bagian ketiga, cakrawala teks dalam konteks kalimat
yang utuh menggambarkan bahwa kalimat Allahu Akbar pada
hakikatnya terdapat pada setiap hati muslim, tidak melihat apapun
latar belakangnya dan siapa orangnya, kalimat tersebut merupakan
jiwa yang sebenarnya. Sehingga dalam kondisi pertama lahir ke
bumi atau hendak meninggalkan bumi, tetap kalimat Allahu Akbar
yang diteriakkan. Oleh karena itu, bukan Pancasila yang menjadi
hakikat jiwa namun kalimat Allahu Akbar .
1.2. Pemahaman dengan Apropriasi
Pada teks bagian pertama, frasa Allahu Akbar muncul dalam
tuturan menjadi kata kunci yang menimbulkan kesan tertentu. Kesan
yang timbul bahwa Allah menjadi “paket yang utuh”. Allahu Akbar
sebagai penanda Allah Maha Besar atas segala sesuatu. Sebagai
petanda bahwa Allah adalah Tuhan yang disembah oleh orang Islam
mempunyai sifat keagungan yang mutlak.
Dalam wacana histori, Allahu Akbar adalah formula untuk
menstimulus semangat juang yang diteriakkan oleh pasukan-pasukan
muslim pada saat menghadapi perang. Baik ketika peperangan
bertujuan melakukan ekspansi atau mempertahankan wilayah
teritorial.
Terlepas bahwa perang menjadi solusi terakhir untuk
mempertahankan Islam. Kandungan dari kalimat Allahu Akbar
sendiri dalam peristiwa-peristiwa itu menggambarkan semangat
nasionalisme. Ekspresi nasionalisme ini muncul pada periode
56
penaklukan Islam di bawah pemerintahan Khalifah Umar Bin
Khattab. Orang-orang non muslim saat itu tergugah oleh rasa
nasionalisme Arab dan ikut serta dalam perang melawan bangsa
Romawi.
Dalam satu kisah ketika pasukan muslim dipukul mundur dari
Irak, bangsa Arab menganggapnya sebagai penghinaan terhadap
suku-suku Arab. Salah seorang dari Kristen Arab, Shibli Nu‟mani
menceritakan saat sedang berlangsung pertemuan antara orang-orang
muslim, ia berkata “Hari ini bangsa Arab dipermalukan oleh bangsa
non-Arab („ajam). Dalam ekspedisi nasional kita ini, kami ikut
bersama Tuan”4
Dalam konteks ke-Indonesiaan ketika masa-masa bangsa ini
dibawah tekanan kolonialisme, bermunculan para anak bangsa yang
„gerah‟ melihat tanahnya dijajah. Banyak perlawanan dari tokoh-
tokoh daerah di Nusantara yang menjadi pejuang untuk mengusir
penjajah dari tanah mereka. Mulai dari wilayah barat Indonesia yang
terkenal dengan tokoh pejuang seperti Cut Nyak Dien dan suaminya
Teuku Umar, Cut Nyak Meutia, Imam Bonjol di Minangkabau,
semakin ke timur bertemu dengan Pangeran Diponegoro, Antasari.
Masa berikutnya seperti Soetomo yang memetik api perjuangan
masyarakat Surabaya yang kemudian diperingati sebagai hari
pahlawan.
4Adhyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme cet ke-2 (Jakarta: Yadaul, 2006), h. 23.
57
Mereka berperang sebagai tindakan atau respon aktif dalam
menghadapi kolonialisme. Kondisi mereka yang secara teknologi
dan kualitas jauh di bawah lawan, sehingga efek simplisitasnya
membawa pada kondisi ketakutan. Namun para pemimpin
perjuangan itu dapat menggugah semangat rakyat dengan cara
menimbulkan kepercayaan diri melalui jargon Allahu Akbar untuk
membangkitkan rasa nasionalisme. Sehingga makna dari Allahu
Akbar adalah nasionalisme untuk menyatukan seluruh kehendak
menjadi satu dengan merujuk pada ketentuan-ketentuan Allah SWT.
Ketika perang di Aceh sekitar abad ke 19 semua orang
berperang dengan alasan atas dasar jihad melawan kafir, meskipun
motivasinya bermacam-macam. Perlawanan pada komunisme berkat
ideologi jihad itu, meskipun ada efek-efek negatif dari ideologi jihad
namun semua luntur dengan ideologi tersebut. Pada tahun-tahun
1945-1949 ideologi jihad ditandai dengan terbentuknya laskar
Hisbullah.5 Demikian pernyataan Hamka pada pidatonya: “ Maka
menggemalah pekik Allahu Akbar pada Tentara Nasional Indonesia,
Siliwangi dan pada Hizbullah, dan kitapun Alhamdulillah terlepas
dari bahaja.”6
Itulah mengapa kemudian Allahu Akbar digambarkan
sebagai jargon yang diteriakkan ketika berperang. Allahu Akbar
tidak sebatas sebagai jargon saja, akan tetapi mengandung
keutuhan hukum Allah yang dapat menyanggah Pancasila yang
5 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Jakarta: Penerbit Mizan, 1997), h. 194.
6 Tentang Dasar Negara Republik Indonesia, h. 58.
58
hanya memiliki lima butir sila. Dengan kata lain hukum Allah itu
mempersiapkan tuntunan yang lengkap melebihi Pancasila untuk
dijadikan landasan negara, dengan menekankan melebihi pantja
yang berarti lima, sapta berarti tujuh, ika berarti satu, dan dasa
berarti sepuluh.
Seperti gerakan Islam modern yang terkenal dengan istilah
Islam adalah Al-din wa Al-Daulah (agama dan negara).7 Wacana
kebangsaan Islam timbul masa Jamaluddin Al-Afghani dengan
upaya mewujudkan persatuan dikalangan Islam sebagai semangat
perlawanan berbasis kesadaran Islam.8 Yang akhirnya berdampak
juga ke Indonesia, meskipun wacana ini telah lebih dahulu berada
di Indonesia melalui ideologi jihad yang telah dijelaskan di atas.
Islam bukan hanya urusan agama saja yang mengatur ritual-
ritual ibadah atau hubungan antara manusia dengan Tuhannya,
namun agama juga mengatur hubungan antar manusia, yang di
dalamnya termasuk juga masalah kenegaraan. Islam adalah suatu
agama yang serba lengkap. Oleh karenanya dalam bernegara umat
Islam hendaknya merujuk pada sistem ketetanegaraan Islam. Ini
sama dengan implementasi dari keimanan. Juga sebagai
kepercayaan kepada hukum-hukum Islam yang dianggap
mengatur hubungan ketetanegaraan dengan tujuan cinta tanah air.
Perasaan cinta tanah air diwujudkan melalui rasa
nasionalisme yang diungkapkan melalui Allahu Akbar, peneliti
7 John L. Esposito dan John O.Voll, Demokrasi di Negara-negara Muslim. Penerjemah
Rahmani Astuti (Jakarta: Penerbit Mizan, 1999), h. 2. 8 Adhyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme, h. 30.
59
menyebutnya sebagai posesifisme. Ini merupakan ideologi yang
menjadi pandangan politik Islam. Seorang muslim yang hidup di
dunia sepenuhnya untuk merealisasikan cita-cita menjadi hamba
Allah dengan sepenuhnya baik abadi (akhirat) maupun temporal
(dunia). Berlandaskan kalimat dalam Al-Qur‟an:
“Dan Aku jadikan Jin dan manusia itu, hanyalah untuk
mengabdi kepada-Ku” (Q.S: Adz-Dzariyat: 56).
Nasionalisme secara terbuka diterima oleh kelompok politik
Islam yang ingin terlepas dari kolonialisme dan imprealisme
dengan tujuan untuk mencapai tingkat penghambaan yang utuh.
Agama menjadi formula utama sebagai wujud aplikasi perintah
Allah, sementara negara sebagai alat bantunya.
Ini artinya terbentuknya sebuah negara terkait dengan
ketaatan kepada Sang Pencipta. Sebagai muslim yang
mempercayai keberadaan Allah yang memiliki sifat wujud yang
berarti ada. Bentuk nasionalisme atau tindakan posesif itu, adalah
bentuk keimanan yang diimplementasikan dengan optimal
keberbagai segi kehidupan, termasuk menata suatu negara
berdasarkan Islam sebagai wujud loyalitas kepada Allah. Sikap ini
merupakan pengakuan kekuasaan bahwa bumi dan segala
kehidupannya adalah Allah yang mengatur.
60
2. Teks Kedua
Setelah tonggak utama nilai Islam sebagai dasar negara
adalah rasa nasionalisme untuk lepas dari penjajahan sebagai
bagian dari iman pada Allah Swt karena sifat keberadaan-Nya.
Pada bagian ini Hamka menyebutkan tentang lambang-lambang
nasional bangsa Indonesia.
Bagian Pertama: “Kami mengenal pemimpin-pemimpin
yang didjadikan lambang-lambang Nasional kita sekarang,
sebagai jang memulai perdjalanan ini, Pangeran Diponegoro,
Imam Bondjol, Teuku Tjik Ditiro, Teuku Umar Djohan
Pahlawan, Pangeran Antasari, Sultan Hasanuddin Makasar dan
Maulana Hasanuddin Batam, Sultan Chairun dan Babullah di
Ternate, Radja Ali yang tewas di Malaka, Iskandar Muda
Mahkota Alam di Atjeh”9
Bagian Kedua: “Kami kadang-kadang tersenjum Saudara
Ketua, bagaimana usaha hendak menjelimuti kebenaran dengan
mendustai sedjarah, jang kadang-kadang sangat mentjolok
mata. Misalnja, dalam gambar-gambar Pangeran Diponegoro
naik kuda, pada pelana kuda beliau kelihatan djelas tanda
,,bulan sabit”. Maka ada pelukis Pantja Sila jang sengadja
menghapus ,,bulan sabit” itu dari pelana.”10
Bagian Ketiga: “Dan baru-baru ini saja melihat pula
lukisan Imam Bondjol, kepunjaan Kementrian Penerangan,
sebagai propagandis Pantja Sila, gambar beliau jang biasa
terkenal ialah ditangannja ada seuntai tasbih, maka di gambar
Kementrian Penerangan itu ditjopot tasbihnja. Itulah Saudara
Ketua, rahasia dari kedangkalan berfikir setjara Pantja Sila.”11
2.1. Penjelasan dengan Semiologi Struktural
Lambang berarti merujuk pada suatu tanda yang
menyatakan suatu hal yang mengandung maksud tertentu atau
9Ibid,. h. 59.
10Ibid,. h. 60.
11Ibid,. h. 60.
61
berkaitan dengan simbol. Ricouer tidak membatasi makna simbol,
menurutnya kata-kata juga simbol yang merepresentasikan
sesuatu. Lambang berlaku sebagai simbol. Simbol merupakan
suatu tanda yang memiliki makna tertentu.12
Dalam hal ini lambang nasional adalah sebagai penanda dari
para pahlawan yang disebutkan di atas. Pahlawan-pahlawan tersebut
merupakan penanda dari petanda simbol-simbol Islam. Karena
Pangeran Dipoengoro, Imam Bonjol, Teuku Cik Ditiro, Pangeran
Antasari, Teuku Umar Johan Pahlawan, Sultan Hasanuddin, dan
Maulana Hasanuddin adalah pejuang-pejuang muslim.
Selanjutnya simbol bulan sabit secara murni diartikan dengan
bulan separuh yang biasa muncul pada malam hari. Penanda kata
„bulan‟ dirujukkan pada salah satu satelit atau bisa saja dirujukkan
pada perhitungan tahun. Sedangkan penanda „sabit‟ menunjukkan
sebuah alat pertanian yang berbentuk melengkung. Jika penanda
„bulan sabit‟ maka kata ini menandai satelit bulan yang berbentuk
separuh seperti sabit.
Sementara dalam teks di atas menyebutkan tasbih yang di
bawa oleh Imam Bonjol. Berbicara mengenai tasbih maka ada dua
hal yang dapat diartikan. Pertama, tasbih memiliki arti mensucikan
nama Allah. Kedua, tasbih merujuk pada benda yang terbuat dari
potongan kayu atau batu atau benda-benda keras yang dikaitkan
12
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga (Jakarta: Balai
Pustaka,2007), h. 1066.
62
menjadi lingkaran digunakan untuk berdzikir. Penanda tasbih ini
memiliki petanda relijiusitas.
Cakrawala teks bagian pertama mengenai lambang-lambang
Nasional berarti menunjukkan ide atau gagasan yang merujuk pada
objek tertentu, yakni para pahlawan seperti Pangeran Diponegoro,
Imam Bonjol, Teuku Cik Ditiro, Teuku Umar Johan Pahlawan,
Pangeran Antasari, Sultan Hasanuddin dari Makassar, Maulana
Hasanuddin dari Batam, Sultan Khoirun, Raja Ali, dan Iskandar
Muda.
Pada cakrawala teks bagian kedua merupakan bentuk
sindiran kepada yang tidak percaya pada sejarah dan dengan sengaja
menutupi kebenaran, mengenai dihapusnya gambar bulan sabit di
lukisan pelana kuda Pangeran Diponegoro.
Sama halnya pada teks bagian ketiga memiliki cakrawala
yang menggambarkan bahwa lukisan Imam Bonjol yang berada di
Kementrian Penerangan tidak seperti seharusnya, lukisan Imam
Bonjol yang biasanya digambarkan memegang seuntai tasbih juga
dihilangkan, karena yang menghapusnya mendukung Pancasila.
2.2. Pemahaman dengan Apropriasi
Hamka menyebutkan pemimpin-pemimpin yang dianggap
sebagai pejuang yang berkontribusi banyak dalam sejarah berdirinya
Indonesia, yakni mengusir penjajahan dari bangsa ini. Antara lain
seperti Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Umar Djohan
63
Pahlawan, Teuku Cik Ditiro, Pangeran Antasari, Sultan Hasanuddin,
Maulana Hasanuddin, Sultan Chairun, Radja Ali.
Pahlawan Nasional adalah gelar yang disematkan untuk
orang-orang yang berjasa pada suatu negara.Oleh karena itu
penyebutan kata „Pahlawan Nasional‟ dan rentetetan nama yang
disebutkan setelahnya memiliki makna referensial. Nama-nama yang
disebutkan oleh Hamka sebagai Pahlawan Nasional merupakan
pahlawan dari golongan muslim, seperti Teuku Cik Ditiro
merupakan pejuang dari Aceh yang lama belajar agama Islam di
Arab Saudi. Beliau memimpin perang Sabil untuk melawan
penjajahan Belanda. Sultan Hasanuddin Makasar yang notabene-nya
juga beragama Islam. Teuku Umar Johan Pahlawan merupakan
suami dari pejuang Aceh Cut Nyak Dien.
Teks ini mencoba memungut nilai sejarah sebagai referensi
tonggak lepasnya Indonesia dari benalu penjajahan. Pahlawan-
pahlawan tersebut dianggap mewakili Islam yang memberikan
kontribusi besar dalam menentang imprealisme pada bangsa ini.
Karena imprealisme adalah salah satu bentuk dari kezhaliman. Itulah
makna referensial dari penyebutan Pahlawan Nasional dan nama-
nama yang disebutkan pada teks di atas.
Selanjutnya simbol bulan secara struktural dijelaskan sebagai
tanda satelit bulan berbentuk separuh. Dalam konteks ini, bulan sabit
yang terdapat pada lukisan di pelana Pangeran Diponegoro
digambarkan sebagai simbol keislaman. Islam biasa diasosiasikan
64
dengan Ka‟bah, bulan sabit dan bintang, atau hal-hal yang relatif
dengan warna hijau. Simbol-simbol ini menandakan sebuah
keyakinan, kepercayaan, keimanan, cara pandang yang kuat terhadap
Islam. Sebagai contoh seperti partai Islam atau institusi-institusi
Islam menggunakan logo yang kurang lebih akan bergambar Ka‟bah,
bulan sabit, atau bernuansa hijau. Semisal juga, di Indonesia Islam
diidentikkan dengan peci, sorban, atau sarung. Meski kadang ada
segi budaya yang memengaruhi, namun Islam sangat dekat dari hal-
hal tersebut.
Imam Bonjol dan Pangeran Diponegoro merupakan
Pahlawan Nasional dan muslim. Pada dasarnya nenek moyang
Hamka masih berhubungan dengan Imam Bonjol yang memimpin
perang Paderi, yang kental mewarnai perjalanan dan pemikiran
Hamka. Imam Bonjol adalah ulama dari Minangkabau yang
mempertahankan kaum Padri, yakni kelompok yang mendukung
tegaknya syariat Islam.
Lukisan Imam bonjol dengan petanda „tasbih‟ pada konteks
kalimat di atas menggambarkan potongan kayu atau semacamnya
yang berbentuk bulat digunakan oleh orang-orang muslim untuk
berdzikir. Itulah mengapa Imam Bonjol digambarkan sebagai
pahlawan dengan seuntai tasbih, yakni untuk menunjukkan sikap
nasionalis dan tetap relijius. Sementara Diponegoro digambarkan
sedang menunggangi kuda dengan pelana bergambar bulan sabit.
65
Sama halnya dengan Imam Bonjol, gambar Diponegoro menjelaskan
korelasi antara keimanan dan cinta tanah air.
Gambaran simbol di atas adalah gambaran yang lebih
spesifik dari teks sebelumnya. Jika kepercayaan negara berdasar
Islam, maka dalam teks ini pada tahap praktiknya. Diambilnya Imam
Bonjol dan Pangeran Diponegoro sebagai contoh menggambarkan
praktik yang disebut penulis sebagai tindakan posesif, artinya
keimanan dan nasionalisme diwujudkan. Keduanya bukanlah hal
yang bertentangan, namun merupakan ideologi. Pahlawan-pahlawan
tersebut juga menggambarkan „wajah asli‟ Indonesia yang
memunyai rasa memiliki tanah air namun tetap memiliki
kepercayaan dalam diri mereka sebagai seorang muslim.
3. Teks Ketiga
Pada teks ketiga ini, teks yang dipilih hanya satu . Jadi tidak
dibutuhkan untuk dibagi kebeberapa bagian. Teks ketiga ini adalah:
“Adat bersendi sjara, sjara bersendi Kitabullah.”13
3.1. Penjelasan dengan Semiologi Struktural
Makna leksikal kata „adat‟ berarti kebiasaan. Kebiasaan-
kebiasaan yang terjadi dan disetujui dalam masyarakat disebut
dengan adat. Pengambilan diksi „bersendi‟ memiliki makna
„berujung‟, berhenti pada yang paling dasar yakni Kitabullah atau
13
Ibid,. h. 59.
66
Al-Quran. Jadi cakrawala teks ini menggambarkan adat itu merujuk
pada hukum syariat, dan hukum syariat bersumber pada Al-Quran.
Pada dasarnya teks ketiga ini diambil dari kepercayaan
masyarakat Minang yang meyakini bahwa adat perlu bersumber dari
Al-Quran. Tindakan-tindakan yang terikat dengan hukum adat,
bersandar pada hukum agama, hukum agama bersandar pada Al-
Quran dan Hadits.
Dasar ini digunakan oleh pemerintah Kesultanan Serdang di
Sumatera Timur (Sumatera Utara) pada masa pemerintahan Sultan
Ainan Johan Alamsyah yang bertahta pada periode 1767-1817. Sang
Sultan berusaha menjembatani antara hukum adat dengan hukum
Islam.14
Perang Paderi merupakan peperangan yang terjadi antara
kaum adat dan kaum agama. Para kaun agama disebut juga kaum
tajdid atau pembaharu berupaya melakukan pembenahan-
pembenahan yang terjadi di tanah Minangkabau dari adat-adat yang
bertolak dengan syariat agama Islam. Sehingga muncul pepatah
tersebut.
3.2. Pemahaman dengan Apropriasi
Dalam Islam ada ketentuan bahwa manusia harus
menetapkan hukum berlandaskan hukum Allah. Jika tidak Al-Quran
menyebutnya dengan sebagai kaum dzalim. Itulah yang menjadi
dasar keinginan mendirikan negara Islam dan Al-Quran dipakai
14
Iswara NR. Adat Melayu Bersendikan Hukum Syara, artikel diakses pada tanggal 14
Januari 2013 pukul 17.54 dari www.melayuonline.com.
67
menjadi sumber hukum. Hukum dibuat untuk mengatur berbagai
kepentingan dimualai dari hak individu dan kepentingan-
kepentingan kelompok dalam masyarakat supaya tidak terjadi
benturan.
Islam sebagai agama bersifat syamil (menyeluruh), kamil
(sempurna) dan muktamil (menyempurnakan), pada konteks ini
sebagai upaya realisasi perasaan iman dan takwa kepada Allah Swt,
sehingga di dalam mengatur kehidupan menjadikan Al-Quran acuan
tertinggi sebagai medium untuk meningkatkan kehidupan manusia
lahir dan batin.
Tujuan utamanya untuk mencapai tingkatan yang mulia yakni
keseimbangan abadi dan temporal. Sebagai hamba, berlaku aturan-
aturan yang berhubungan dengan interaksi sesama manusia
(muamalah). Aturan-aturan diberikan secara garis besar melalui
kaidah yang berkenaan dengan interaksi antar individu kepada
masyarakat dan sebaliknya masyarakat terhadap individu, serta
tentang urusan kenegaraan.
Teks ketiga ini menyebutkan hukum adat. Apabila hukum
adat yang memunyai implikasi terhadap hukum syariat, maka hukum
itu mencerminkan kaidah yang baik. Namun jika tidak hukum adat
itu akan ditinggalkan seiring dengan berkembangnya jaman.
Sedangkan di ranah Minang, dikenal dengan keislaman yang sangat
kental. Sehingga adat-adat yang berada biasanya merujuk pada nilai-
nilai keislaman yang kental.
68
Teks di atas menginginkan negara ini perlu memiliki hukum-
hukum yang disesuaikan dengan kondisi negara namun hukum
tersebut bersumber pada Al-Quran dan Hadits. Nilai-nilai yang
diajarkan Islam perlu diejawantahkan melalui hukum yang
disepakati di Indonesia. Artinya ayat-ayat Al-Quran menjadi
landasan yang lentur untuk dijadikan hukum yang sesuai melalui
ijtihad yang akhirnya sama dengan produk manusia, namun tetap
disandarkan pada hukum utama. Meskipun perbedaan terletak pada
prosedur bukan pada hakikat.
Seperti yang penulis jelaskan dibagian pertama bahwa negara
adalah instrumen. Artinya instrumen itu diperlukan untuk
memberlakukan hukum-hukum, dalam hal ini adalah hukum Islam.
Dalam ajaran Islam petunjuk-petunjuk mengenai ketatanegaran tidak
disebutkan secara jelas. Islam hanya mengatur pokok-pokoknya
saja, yang akhirnya diperlukan ijtihad sesuai dengan zamannya.
Dalam konteks ini instrumen tadi diperlukan untuk menjamin supaya
perintah-perintah dan hukum-hukum Islam dijalankan.
Kuntowijoyo mengenalkan istilah objektivikasi sebagai
rumusan masuknya hukum Islam ke dalam hukum nasional.15
Melalui pijakan objektivikasi sebagai upaya pembangunan hukum di
Indonesia, nilai-nilai Islam harus diterjemahkan dalam kategori-
kategori objektif sehingga dapat diterima semua pihak. Disebut
objektif apabila dinilai oleh orang non-Islam sebagai perbuatan yang
15
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, h. 68.
69
natural, objektif. Dengan demikian orang Islam akan memandangnya
sebagai ibadah.
Artinya orang non-Islam juga diberi ruang untuk
menciptakan konsensus melalui memberikan pandangan, menuaikan
pikiran, menyatakan keinginannya, menghindari sekulerisme, negara
yang bebas berpendapat, menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusia, berbudi pekerti luhur, negara yang bermoral, dimana
konsep-konsep ini diajarkan dalam Islam. Hukum Islam dianggap
mencerminkan norma-norma bangsa, ditambah lagi mayoritas
penduduk beragama Islam. Hukum Islam tidak hanya mengikat
manusia sebagai makhluk sosial, lebih lagi berhubungan dengan
keyakinan Allah yang Maha Besar.
4. Teks Keempat
Teks di bawah ini mengenai dasar politik negara yakni sebagai
berikut: “Dasar politik negara kami adalah mendjundjung tinggi
kesutjian nama Ilahi, jang dipudja dalam biara, geredja, synagog, dan
mesdjid!”16
4.1. Penjelasan dengan Semiologi Struktural
Kata „menjunjung‟ berarti mengangkat. „Menjunjung‟ pada teks
ini berkaitan dengan makna kontekstual dari teks. Karena setelahnya
disebutkan Ilahi sebagai dzat yang disembah. Artinya menjunjung di
sini yakni mengagungkan, bukan mengangkat. Pemilihan Ilahi biasanya
16
Tentang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Konstituante, h. 73.
70
disebutkan untuk hal-hal yang bersifat sastrawi. Dengan begitu kata
Ilahi lebih menunjukkan ketekunan, kepasrahan, dan pengagungan.
Sementara biara, gereja, sinagoge, dan masjid adalah tempat-
tempat ibadah dan pemujaan. Masing-masing memiliki petanda yang
berbeda-beda. Tempat ibadah kaum budha adalah biara, tempat ibadah
nasrani adalah gereja, tempat pemujaan kaum yahudi adalah sinagoge,
tempat ibadah kaum muslim adalah masjid.
Cakrawala yang digambarkan pada teks tersebut adalah bahwa
perbedaan-perbedaan yang ditandai dengan rumah-rumah ibadah seperti
biara, gereja, sinagoge dan masjid merupakan tempat yang
menyebutkan (mengagungkan) nama Tuhan.
4.2. Pemahaman dengan Apropriasi
Tidak ada yang mutlak di dunia ini, perbedaan-perbedaan
diantara manusia adalah sebuah keniscayaan hidup. Teks di atas
menyebutkan biara sebagai tempat ibadah untuk umat budha, gereja
untuk umat kristiani, synagog untuk umat yahudi, dan masjid untuk
umat Islam. Artinya penyebutan ini memiliki makna paling dasar yaitu
perbedaan. Perbedaan ini merupakan suatu keniscayaan.
Terlebih di Indonesia yang dihuni berbagai macam suku dengan
perbedaan bahasa, ras dan agama. Baik itu Islam, Kristen, Budha, Kong
Hu Chu mengimani kepercayaan masing-masing. Perbedaan ini bukan
dipandang sebagai hal negatif, namun merupakan bentuk
71
keseimbangan. Keseimbangan itu akan berjalan melalui kepercayaan.
Kepercayaan akan menimbulkan sikap saling pengertian.
Tempat ibadah menggambarkan identitas suatu umat beragama,
simbol keagamaan yang bernilai sakral. Penekanan simbol-simbol ini
tidak hanya menggambarkan perbedaan, namun juga bagaimana
seharusnya interaksi antar pemeluk.
Diberikan keleluasaan meyakini suatu agama sebagai aktualisasi
diri sama dengan prinsip demokrasi. Indikasinya Islam dianggap
bersifat demokratis, karena perbedaan dalam satu wilayah
memungkinkan hubungan antarwarga. Kuntowijoyo berpendapat ada
kaidah-kaidah dalam hubungan tersebut yakni ta’aruf (saling
mengenal), syura (musyawarah), ta’awun (kerja sama), mashlahah
(menguntungkan masyarakat), dan „adl (adil).17
Prinsip ta’aruf, syura, dan ta’awun lebih dekat dengan proses
komunikasi dan interaksi. Pengertian dasar komunikasi adalah
komunikasi terjadi apabila antara komunikator dan komunikan terjadi
sama makna, sama persepsi. Komunikolog De Vito menyatakan
komunikasi terjadi ada kesempatan untuk melakukan umpan balik.18
Proses komunikasi yang dialogis ini bertujuan tidak ada dominasi dari
salah satu pihak. Tujuannya adalah menciptakan masyarakat yang adil.
Sehingga proses ta’aruf dan syura juga melibatkan komunikasi yang
dialogis.
17
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, h. 91. 18
Joseph A.Devito, Komunikasi Antar Manusia Edisi Kelima (Jakarta: Professional
Books, 1997), h. 23.
72
Untuk mencapai pada tingkat keadilan yang dilatarbelakangi
dengan perbedan-perbedaan, kaidah-kaidah tersebut di atas menjadi
langkah sentral. Bagaimana interaksi antar pemeluk menciptakan
kondisi yang adil merata dengan cara saling mengenal, lebih jauh
mengenal aspirasi masing-masing. Interaksi dapat berbentuk
musyawarah yang bersifat institusional dengan maksud saling
menguntungkan.
Untuk mencapai hal tersebut sudah barang tentu terdapat banyak
perbedaan. Oleh karena itu, musyawarah menjadi salah satu cara
membuka diri terhadap perbedaan. Ketika perbedaan itu diterima secara
besar hati, maka yang akan timbul adalah sikap toleransi, tidak
membenarkan saling mengintimidasai telebih kepada kaum minoritas.
Kebebasan berfikir, berpendapat, membentuk perkumpulan, adalah hal
yang diperbolehkan untuk menunjang terbentuknya negara yang
seimbang dalam perbedaan.
Jadi yang mendasari negara berdasarkan Islam adalah prinsip
persaudaraan, persamaan, dan kebebasan yang harus terpenuhi dalam
komunitas negara. Prinsip-prinsip itulah yang pada dasarnya
melahirkan toleransi, juga mencakup kebebasan mendasar bagi
individu. Sama halnya dengan prinsip demokrasi.
Peran interaksi sosial dalam mendirikan Islam sebagai dasar
negara tentu menjadi hal yang penting. Interaksi langsung antara
perbedaan itu membutuhkan kelapangan dada karena menyangkut
73
perbedaan identitas. Kelapangan ini dibutuhkan juga dalam
menyampaikan perbedaan berpendapat.
Di negara Indonesia yang memiliki keanekaragaman budaya,
ras, dan yang paling vital adalah agama. Teks di atas Hamka mencoba
memberikan garansi kebebasan bagi non-muslim dan menghilangkan
ketakutan dan kekhawatiran mereka dibawah naungan negara
berdasarkan Islam.
5. Teks Kelima
Di bawah ini teks dibagi dalam dua bagian. Bagian pertama dan
bagian kedua, teksnya sebagai berikut:
Bagian Pertama: “Saudara lebih baik memilih negara
berdasar Islam. Karena bagi Saudara tuntut djaminan atau tidak
dituntut, namun djaminan itu akan dituliskan dalam Undang-
undang Dasar, kalau djadi negara berdasar Islam. Sehingga ada
hitam atas putih, jang kalau dilanggar, kami kena kutuk Kalam
Allah.”19
Bagian Kedua: “Mengapa saja berkata demikian? Sebab
dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ada tersebut, bahwa dalam
Negara berdasar Islam, hendaklah orang Kristen mendjalankan
indjilnja:
Artinya: “Hendaklah keluarga Indjil menghukum dengan apa jang
diturunkan Allah didalamnja.”20
5.1. Penjelasan dengan Semiologi Struktural
Pada teks bagian pertama menyatakan hitam di atas putih.
Penanda warna hitam sebagai warna hitam-gelap, sebagai petanda
19
Tentang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Konstituante, h.71. 20
Ibid,. h.71.
74
dari tinta. Putih sebagai warna putih-terang sebagai petanda dari
kertas. Sehingga hitam diatas putih sebagai petanda sebuah
perjanjian yang tertulis, mempunyai nilai tinggi yang dapat dituntut
atau menuntut antara pembuat perjanjian biasa digunakan sebagai
jaminan. Sementara arti kutuk sama dengan laknat. Artinya doa atau
kata-kata yang mengakibatkan bencana kepada seseorang.
Teks bagian kedua merupakan bagian dari surat Al-Maidah
ayat 40, kata keluarga Injil berarti kaum Nasrani. Menghukum dalam
konteks ini bukan berarti memberi hukuman. Melainkan
melaksanakan ajaran-ajaran yang terdapat dalam injil.
Cakrawala teks kelima di bagian pertama ini menggambarkan
bahwa Islam memberi keluasan bagi agama lain. Jika Islam sebagai
dasar negara, maka umat selain Islam bebas menjalankan apa yang
dianjurkan dalam kitabnya yang akan disepakati bersama, sehingga
umat selain Islam tidak perlu menuntut jaminan, karena akan tertulis
dalam undang-undang. Sementara pada bagian kedua merupakan bagian
al-Quran surat Al-Maidah ayat ke empat puluh tujuh, menggambarkan
hendaklah kaum Nasrani menggunakan Injil sebagai pedoman sesuai
dengan apa yang ditentukan di dalamnya.
5.2. Pemahaman dengan Apropriasi
Insiden kekerasan atau peperangan dibeberapa negara antara
muslim dan non-muslim kerap terjadi. Di India minoritas Islam di
tengah-tengah umat Hindu juga memiliki hubungan yang panas. Di
75
Filipina minoritas Islam juga mengalami pengucilan, sama halnya
muslim minoritas di Myanmar.
Sementara di Indonesia golongan minoritas baik Kristen, Hindu,
atau Budha tidak mengalami hal yang sama seperti beberapa negara di
atas. Artinya potensi tingkat toleransi yang tinggi dilihat oleh Hamka
sebagai indikator, dapat tercipta negara berdasarkan Islam. Selain
konsep-konsep Islam telah dianggap memadai untuk membentuk negara
Islam, didukung juga oleh situasi dan kondisi.
Teks ini jelas menyatakan bahwa kaum Nasrani diperbolehkan
menjalankan apa yang diperintah dalam kitabnya, artinya secara
langsung mereka tidak dipaksakan untuk mengimani agama lain.
Prinsip kebebasan beragama yang diajarkan dalam Islam, juga
dimaksudkan sebagai sendi dasar hak manusia tertera pada Q.S Al-
Baqarah 256, “Tidak ada paksaan untuk memasuki agama (Islam).”
Teks kelima ini menyempurnakan teks-teks sebelumnya, bahwa
al-Quran sebagai fondasi dan rujukan umum Islam telah mencakup
permasalahan perbedaan yang dilindungi oleh hukum Islam itu sendiri.
Islam memberikan jaminan kebebasan bagi nonmuslim umumnya dan
kaum Nasrani khususnya. Supaya mereka dapat menjalankan apa yang
diimaninya. Bukan hanya menjamin kebebasan dalam beriman, Islam
juga menjamin pemenuhan kebutuhan manusia yang paling dasar.
Dalam paham ajaran Islam, Allah menjadikan kita selaku
khalifah-Nya di bumi dan kualitas mendasar yang dianugerahkan
kepada manusia tadi adalah kebebasan. Kebebasan menggandeng unsur
76
tanggungjawab demi kesejahteraan dan kemaslahatan bersama. Di sini,
komitmen tindakan posesif sebagai rasa nasionalisme semakin kuat
apabila dari dalam komunitas agama mendapatkan kebebasan yang
membuka ruang bagi kesejahteraan bersama. Hal ini juga menjadi
penguat komitmen kebangsaan.
Prinsip kebebasan ini secara tidak langsung juga akan melepas
sistem kediktatoran. Kedudukan ini sama halnya dengan kebebasan
kontemporer yang terkenal dengan istilah demokrasi. Juga telah
dijelaskan di atas mengenai prinsip demokrasi. Prinsip kebebasan dapat
melahirkan keadilan dalam sistem hukum. Hal ini mengindikasikan
semua elemen berhak berpartisipasi dalam politik melalui musyawarah
konstitusi untuk mencapai prinsip keadilan. Dan yang terpenting prinsip
keadilan tersebut mengandung tujuan tertinggi yakni amr ma’ruf nahi
munkar.
77
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa nilai-nilai Islam yang
terkandung dalam teks pidato Hamka adalah nilai-nilai nasionalisme,
ideologi, hukum al-Quran, kebebasan dan keadilan. Poin-poin ini
dinyatakan dalam analisis semiologi struktural dan apropriasi peneliti yang
dapat disimpulkan bahwa:
1. Teks pertama, manyatakan bahwa nilai keimanan yang berbentuk
sikap nasionalisme atau penulis menyebutnya dengan posesifisme,
merupakan dasar utama yang diungkapkan melalui kalimat Allahu
Akbar;
2. Teks kedua, merupakan pegertian yang lebih spesifik dari teks pertama
menyatakan bahwa Islam dan nasionalisme merupakan ideologi, yang
digambarkan Hamka melalui simbol-simbol pada lukisan Pangeran
Diponegoro dengan gambar bulan sabit pada pelananya dan lukisan
Imam Bonjol yang memengang tasbih;
3. Teks ketiga, negara berdasar Islam mengambil hukum dari al-Quran
sebagi rujukan utama, namun non-muslim dan muslim juga dapat
menciptakan konsensus untuk mencari hukum, ditunjukkan melalui
pepatah orang Minang bahwa adat bersendi syara;
4. Teks keempat, menyebutkan rumah-rumah ibadah seperti masjid,
gereja, sinagog dan biara. Hal ini mengindikasikan bahwa nilai Islam
78
sebagai dasar negara memberikan garansi kebebasan bagi kaum non-
muslim;
5. Teks kelima, mengenai kebebasan bagi non muslim untuk dapat
menciptakan hukum sesuai dengan apa yang dipercayainya. Artinya
teks ini menyatakan kebebasan yang memiliki unsur tanggung jawab
dapat melahirkan sistem keadilan.
2. Saran
Setelah melakukan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Islam
sangat memberikan pengaruh positif bagi umat Islam Indonesia pada
masa-masa kemerdekaan. Namun perlu diperhatikan pula bahwa:
1) Islam sebagai ideologi negara akan mengakibatkan Islam setara
dengan ideologi-ideologi lainnya, seperti Pancasila, Demokrasi,
Sosialisme, dan Komunisme. Islam seharusnya lebih tinggi dari
ideologi-ideologi itu. Artinya Islam seharusnya ditempatkan sebagai
sumber bagi ideologi-ideologi yang telah ada, bukan menjadikan
Islam setara dengan ideologi tersebut. Dengan menjadikan Islam
sebagai ideologi justru akan merendahkan Islam apabila negara
tersebut melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan ajaran
Islam. Bagi kelompok-kelompok secara yang secara
2) Bagi para muslim perlu mengenali bagaimana Islam diejawantahkan
melalui nilai-nilai yang dinamis tanpa kerangka formal negara Islam.
Dengan tidak menyebutkan secara formal sebagai negara Islam, maka
nilai-nilai Islam dapat diterima oleh semua golongan dan pemeluk
79
agama lainnya tanpa harus merasa bahwa mereka telah melaksanakan
nilai-nilai Islam. Dengan demikian tidak perlu ada lagi kelompok-
kelompok ilegal yang ingin mendirikan negara Islam dengan cara
‘kaderisasi ilegal’ yang dapat merugikan masa depan anak bangsa.
80
DAFTAR PUSTAKA
Literatur
Ahmad, Mumtaz, ed. Masalah-Masalah Teori Politik Islam. Bandung: Mizan,
1996.
Amiruddin, M. Hasbi. Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman.
Yogyakarta: UII Press, 2000.
Aning, Floriberta. 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia. Yogyakarta: Penerbit
Narasi, 2005.
As’ad, Said Ali. Negara Pancasila Jalan Kemashlahatan Berbangsa. Jakarta:
LP3ES, 2009.
Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam; Dari Fundamentalisme,
Modernisme, hingga Posmodernisme. Jakarta: Paramadina, 1996.
Bungin, Burhan. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2010.
_____________ Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2007.
Chaer, Abdul. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta, 2012.
Dault, Adhyaksa. Islam dan Nasionalisme, cet ke 2. Jakarta: Yadaul, 2006.
DeVito, Joseph A. Komunikasi Antar Manusia. Jakarta: Professional Books, 1997.
Erdianto, Elvinaro dan Q-Anees, Bambang. Filsafat Komunikasi. Bandung:
Simbiosa Rekatama Media, 2007.
Esposito, John L dan O.Voll, John. Demokrasi di Negara-negara Muslim. Jakarta:
Penerbit Mizan, 1999.
81
Ghasemi, A. et.al. “Ricouer’s Theory of Interpretation: A Methode for
Understanding Text (Course Text).” World Apllied Science Journal 15
(2011): h. 1623-1629.
Grondin, Jean. Sejarah Hermeunitik. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010.
Hamka. Ayahku. Jakarta: Uminnda, 1982.
______ Islam Revolusi. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.
______ Studi Islam. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
______ Tafsir Al-Azhar Juz 1. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
______ Tafsir Al-Azhar Juz 17. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
______ Urat Tunggang Pancasila. Jakarta: Pustaka Panjimas, 2001.
Hasan, M. Iqbal. Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya.
Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002.
Hoed, Benny H. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas
Bambu, 2011.
Iwan Saidi, Acep. “Hermeneutika Sebuah Cara Memahami Teks.” Jurnal
Sosioteknologi Edisi 13, Tahun 7 (April 2008): h. 376-382.
Ismail, Faisal. Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama: Wacana Ketegangan
Kreatif antara Islam dan Pancasila. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya,
1999.
Kuntowijoyo. Identitas Politik Umat Islam. Jakarta: Penerbit Mizan, 1997.
Littlejohn, Stephen W. Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba Humanika, 2008.
Ma’arif, Ahmad Syafi’i. Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara. Jakarta:
LP3ES, 2006.
82
Madjid, Nurcholish. Cita-cita Politik Islam Era Reformasi. Jakarta: Paramadina,
1999.
Mahendra, Yusril Ihza. Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam.
Jakarta: Paramadina, 1999.
Mashad, Dhurorudin. Akar Konflik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2008.
Mohammad, Herry. dkk. Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20. Depok:
Insani Press, 2006.
Mufid, Moh. Politik dalam Perspektif Islam. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004.
Mulyana, Deddy. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarta,
2008.
Palmer, Richard. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2003.
Piliang, Yasraf Amir. Semiotika dan Hipersemiotika. Bandung: Matahari, 2012.
Pranarka, A.M.W. Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila. Jakarta: Centre For
Strategic and International Studies, 1985.
Ricoeur, Paul. Hermeunitika Sosial. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2006.
Semiawan, Conny R. Metode Penelitian Kualitatif Jenis, Karakteristik, dan
Keunggulannya. Jakarta: Raja Grasindo. 2001.
Shobahussurur. “Relasi Islam dan Kekuasaan Perspektif Hamka.” Jurnal Asy-
Syir’ah V 43, no.1 (2009): h. 1-15.
Sjafril, Akmal. Buya Hamka: Antara Kelurusan Aqidah dan Pluralisme. Depok:
Indie Publishing, 2012.
83
Sukidin, Basrowi. Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro. Surabaya: Insan
Cendekia, 2002.
Surahman, Nanang. “Pancasila Versus Islam: Konflik Tentang Dasar Negara
Antara PKI-Masyumi Di Majelis Konstituante 1956-1959.” Tesis S2
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2002.
Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga. Jakarta: Balai
Pustaka, 2007.
Uchjana, Onong. Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya,
2007.
Waat, W. Montgomery. Islamic Political Thought. Great Britain: Edinburgh
University Press. 1968.
Yusran, R. ed. Debat Dasar Islam dan Pancasila. Jakarta: Pustaka Panjimas,
2001.
Yusuf, M. Yunan. dkk. Ensiklopedi Muhammadiyah. Jakarta: Dikdasmen, 2005.
Internet
Iswara, NR. “Adat Melayu Bersendikan Hukum Syara.” Artikel diakses pada
tanggal 14 Januari 2013 dari www.melayuonline.com
“Buya Hamka Sosok Teladan.” Artikel diakses pada tanggal 02 Juli 2012 dari
kemenag.go.id.file/dokumenn/HAMKA/pdf.
84
NASKAH PIDATO
Nama : H. Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka)
Fraksi : Masyumi
No Anggota : 485
Tanggal : 11 November 1957
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh!
Saudara Ketua, bebas dari rasa takut terlepas dari serba ragam intimidasi,
telah tiga minggu lamanja kita memperbintjangkan apa yang baik buat mendjadi
Dasar dari negara kita ini. Negara jang kita tjintai, negara yang telah kita tegakkan
dengan darah dan air mata. Kita keluarkan segenap jang terasa, kita njatakan
pikiran dan kita adu, semoga dapat kita padu. Kita bertemu dalam satu titik
pertemuan, jaitu tjinta tanah air. Kita tidak akan bersempit paham mendengar
pendapat orang lain, jang berbeda dengan pendapat kita.
Kami dari pihak Islam umumnja, dari Fraksi Madjelis Sjuro Muslimin
Indonesia (Masjumi) chususnja mendengarkan dengan hati-hati keterangan-
keterangan jang dikemukakan oleh pihak yang mempertahankan Pantja Sila dan
Saudara-saudara jang mempertahankan Pantja Sila-pun telah mendengarkan pula
pendirian kami.
Mungkin didalam mentjari, menjaring dan memperdjuangkan pendapat,
ada jang kadang-kadang terdorong oleh rasa, sehingga tersinggung tepi pagar,
namun hal itu sudah lumrah. Pajung pandji demokrasi memberikan perlindungan
kepada djalan musjawarah kita; sebut apa jang terasa, katakan apa jang teringat!
Djangan sampai sebagai pepatah:’,,Api padang puntung berasap, rumah
sudah dapat berbunji’. Hendaklah,, berkata sehabis rasa menggaruk sehabis
saung”. ,,Gajung disambut, kata didjawab”, namun hakekat kebenaran hanja satu.
Itulah pula titik pertemuan kita jang kedua, jaitu sama-sama mentjari jang benar!
Saudara Ketua, Anggota-anggota jang terhormat, jang mempertahankan
Pantja Sila selalu menjebut ,,Semangat Proklamasi 17 Agustus”. Mereka berkata
itulah hakekatnya Pantja Sila! Kamipun mengakui, sekali-kali tidak membantah
akan adanja ,,Semangat Proklamasi 17 Agustus”, tetapi kami tidak dapat
menerima kalau sekiranja semangat itu disandarkan kepada Pantja Sila! Semangat
jang sebenarnja dari Proklamasi tanggal 17 Agustus, ialah semangat Merdeka,
semangat tidak mau didjadjah lagi.
Pekik merdeka itukah jang bersipongang sendjak dari Sabang sampai
Merauke! Pekik merdeka, dibawa oleh udara Radio keseluruh pelosok tanah air,
sampai kegunung, kelurah, kedarat, dan kepulau. Merdeka tidak mau didjadjah
lagi! Dibawah kilatan kalimat itu timbul sendirinja persatuan dan perpaduan kita.
Baik dia Islam atau dia Kristen, atau Perbegu dan Permalim, atau Hindu Bali dan
Kaharingan.
85
Maka semangat Merdeka, semangat tidak mau didjadjah lagi itu, oleh
masing-masing kita ditjari sandarannja, ditjari alat untuk mendjiwainja. Kita ingin
merdeka, kita tidak mau didjadjah lagi! Sehingga pada permulaan Revolusi
terkenallah satu sembojan ,,Merdeka atau Mati!”. Kita tahu bahwa perdjuangan
itu minta darah, minta air-mata, minta njawa dan minta mati! Sebab pada ketika
itu hanja kekuatan semangat sadja, sedang musuh kita kuat dengan alat sendjata.
Perjuangan waktu itu artinja: ,,Esa hilang, dua terbilang! Biarlah mati
berkalang tanah, dari pada hidup bertjermin bangkai!” Instinc kita takut terhadap
mati! Tapi kita hendak memberi nilai jang sebenarnja dari kematian itu. Hidup
mendjadi budak, lebih hina dan rendah harganja, dari pada mati, karena
memperdjuangkan tjita. Pada saat itu bergunalah kepertjajaan, atau iman atau
aqidah! Maka masing-masing golongan mentjari sandaran penilaian mati itu
dalam adjaran agamanja. Masing-masing daerah bergerak sendiri, memakai
inisiatif sendiri dan kebidjaksanaan sendiri! Menghadapi mati, untuk merdeka!
Dan Pantja Sila lama kemudian, baru dipropagandakan di Amuntai.
Tidak mau didjadjah lagi itulah jang menjebabkan kita bersatu. Pekik
merdeka melupakan jang lain. Jang masih rindu kepada Belanda memekikkan
merdeka keras-keras, karena takut dibunuh.
Orang Islam, Saudara Ketua, dengan tidak mengingat apakah dia sekarang
telah djadi Madjelis Sjuro Muslimin Indonesia (Masjumi) atau Partai Nasional
Indonesia (P.N.I), Nahdlatul Ulama (N.U), atau Sosialis, Persatuan Tarbijah
Islamijah (Perti) atau Partai Buruh, mendjiwai djiwa semangat proklamasi
kemerdekaan tanggal 17 Agustus tahun 1945 itu dengan adjaran agamanja! Orang
rela melihat bangkai puteranja dibawa pulang berlumur darah, tidak bernjawa lagi,
karena spontan terasa bahwa putera jang tewas itu adalah mati sjahid!
Tidak ada tempat takut melainkan Allah! ,,Allahu Akbar’’! Hanja Allah
Jang Maha Besar, jang lain ketjil belaka! La-ilaha-illallah, tidak Tuhan tempat
menjembah, tempat takut, tempat memohon, tempat berlindung melainkan Allah!
Bila seorang ajah menerima kabar putera harapanja tewas dimedan perang, maka
jang ditanjakan lebih dahulu, dari manakah masukknya pelor, dari
punggungnjakah atau dari hadapannja? Karena kalau dari punggung mungkin dia
mati sedang menyelamatkan diri, maka diraguilah sjahidnja! Tetapi kalau dari
muka, tandanja dia mati berdjuang! Dan salah satu dari tudjuh dosa besar ialah
Tawalla jaumaz zahf, memalingkan muka disaat bertempur!
Itulah jang kami kenal, djiwa atau djang mendjiwai proklamasi tanggal 17
Agustus, bukan Pantja Sila. Sungguh Saudara Ketua. Pantja Sila itu belum pernah
dan tidak pernah, karena keistimewaan hidupnja dijaman Belanda itu
menggentarkan hati dan tidak pernah dikenal, tidak populer dan belum pernah
terdengar! Jang terdengar hanja sorak ,,Allahu Akbar”. Dan api jang njala didalam
dada ini sekarang, Saudara Ketua, bukanlah Pantja Sila, tetapi ,,Allahu Akbar!”.
Bahkan sebagian besar dari pembela Pantja Sila sekarang ini, ketjuali orang-orang
86
Partai Komunis Indonesia (P.K.I), jang njala dalam hati sanubarinja sampai saat
sekarang inipun, pada hakekatnya adalah ,,Allahu Akbar”.
Djika saja tanjakan pada hati ini, kepada salah seorang pembela Pantja
Sila, apakah jang terasa dalam hatinja ketika puteranja jang ditjintainja tewas dan
diantarkannja kepusara, Pantja Silakah atau Allahu Akbar? Nistjaja dia akan
mendjawab: ,,Allahu Akbar!”. Dengan demikian baru hatinja akan puas. Hati
sanubari yang tidak pernah berdusta!
Allahu Akbar jang tertulis dalam dada Saudara itulah sekarang jang kami
mohon direalisasikan. Allahu Akbar, jang didalamnja terkandung segala matjam
sila, baik pantja, atau sapta, atau ika, atau dasa. Allahu Akbar jang mendjadi
pertahanan Saudara ketika Saudara pernah menghadapi bahaya besar! Allahu
Akbar yang mendjadi pertahanan Saudara disaat maut telah melajang-lajang di
atas kepala Saudara. Allahu Akbar jang kepada-Nja putera Saudara jang tertjinta
Saudara serahkan! Allahu Akbar jang dengan dia Saudara disambut waktu lahir
dari perut ibu!
Janganlah ada jang mendustai keadaan, karena masih merah tanah bekas
darah tertumpah, belum berlalu puluhan tahun, baru 12 tahun sadja! Dokumentasi
masih tjukup, bundelan surat-surat kabar masih dapat ditengok!berapa kali sudah,
kekuatan Republik kita ini di udji. Satu diantara ujian itu ialah di Madiun. Maka
menggemalah pekik Allahu Akbar pada Tentara Nasional Indonesia, Siliwangi
dan pada Hizbullah, dan kitapun Alhamdulillah terlepas dari bahaja.
Semangat Proklamasi tanggal 17 Agustus tahun 1945, bukanlah Pantja
Sila, Saudara Ketua. Bung Karno, seorang ahli pikir Negara terbesar didjaman ini,
nistjaja akan menjebut Pantja Sila dalam Proklamasi tanggal 17 Agustus, kalau
Pantja Sila itu memang telah ada pada waktu itu. Padahal beliau adalah seorang
tjerdik pandai jang tidak lengah mentjari kata berpadu jang dapat menimbulkan
semangat.
Jang ada dalam Proklamasi hanja merdeka dan merdeka itu disambut oleh
golongan umat Indonesia jang terbesar, yang 90% dengan dorongan Allahu
Akbar. Baik dia Majelis Sjuro Muslimin Indonesia (Masjumi) atau dia Partai
Nasional Indonesia (P.N.I). Bahkan mahasiswa peladjar Sekolah Tinggi jang
terdidik berpikir setjara Barat, datang kepada seorang kijai meminta tuah
kebesaran Allahu Akbar.
Maka mengatakan bahwa Semangat Proklamasi tanggal 17 Agustus itu
adalah Pantja Sila, amatlah djauh dari kebenaran. Dan dalam kata kasarnja ialah
dusta. Dusta yang pernah dikatakan oleh Abraham Lincoln; ,,Dusta hanja laku
untuk satu masa bagi satu golongan, dan dusta tidak laku buat semua masa dan
semua golongan!”.
Dan dusta jang paling besar ialah mendustai suara hati sanubari kita
sendiri. Kalau dibawa merenung agak lama, lepas dari empuknja kursi dan
bagusnya mobil, pendustaan itu bisa membawa penjakit djiwa.
87
Saudara Ketua, adapula Anggota jang terhormat berkata: ,,Barang siapa
jang hendak menukar Pantja Sila dengan dasar lain, adalah dia berchianat kepada
arwah pemimpin jang telah terdahulu”.
Maka inginlah saja bertanja Saudara Ketua, dari hati kehati, minta beliau
tundjukkan pemimpin jang terdahulu, jang manakah jang kami chianati, karena
kami memperdjuangkan Islam sebagai Dasar Negara ini?
Kami mengenal pemimpin-pemimpin yang kita didjadikan lambang
Nasional kita sekarang, sebagai jang memulai perdjalanan ini, Pangeran
Diponegoro, Imam Bondjol, Teuku Tjik Ditiro, Teuku Umar Djohan Pahlawan,
Pangeran Antasari, Sultan Hasanuddin Makasar dan Maulana Hasanuddin
Bantam, Sultan Chairun dan Babullah di Ternate, Radja Ali yang tewas di
Malaka, Iskandar Muda Mahkota Alam di Atjeh! Tjoba tundjukkan agak seorang,
jang mana diantara mereka jang kami chianati? Truno Djoyo dan Karaeng
Galesongkah, Untung Surapati atau jang lain, tundjukkan agak seorang, katakan
baik-baik jang mana jang kami chianati? Djika ada dan dapat saudara
menundjukkan buktinja, dari segi sedjarah dan ilmiah, kami akan kembali
kepangkalan dan surut kepada kebenaran.
Apakah jang kami chianati itu, Sultan Abdul Hamid Diponegoro, yang
bergelah Chalifatul Muslimin dan Amirul Mu’minin jang terang-terang dihadapan
Gubernur Djendral de Kock menjatakan bahwa beliau hendak mendirikan sebuah
Keradjaan Islam ditanah Djawa ini?
Apakah kami menghianati tuanku Imam Bondjol, jang nama ketjilnya
Ahmad Sjahab dan gelar waktu mudanja Peto Sjarif dan diwaktu tuanya Mu’allim
Besar dan Imam dalam peperangan di Bondjol, jang ingin hendak membentuk
masjarakat dan negeri berdasar Islam di alam Minangkabau; ,,Adat bersendi sjara,
sjara bersendi Kitabullah”.
Apakah jang kami chianti Teuku Tjhik Ditiro, jang menamai tentara
Gerilja menentang penjajahan Belanda dengan nama Muslimin dan
memerintahkan seorang anggota stafnja mengarang sjair Perang Sabil, lalu
disjiarkan diseluruh Atjeh, dan memberikan semangat bagi perlawanan Teuku
Omar Djohan Pahlawan?
Pemimpin jang mana jang kami chianati, Saudara Ketua, apakah Sultan
Hasanuddin Makasar jang pernah berkirim surat pada Djendral Speelman:
,,Lautan luas ini adalah anugerah Ilahi bagi manusia, maka djanganlah hendak
Tuan kuasai sendirian sadja!”.
Pemimpin jang mana jang kami chianati, Saudara Ketua, apakah Radja
Adji, yang tewas bertempur dengan Belanda di pantai Malaka, jang seketika tewas
itu kitab ,,Dala-ilul Chairat”, pudjaan kepada Rasulullah ada dalam tangan beliau
jang kiri dan badik Bungis ada ditangan kanandja?
Apakah kami chianati Tjokroaminoto, Guru dari Bung Karno, pemimpin
jang mula-mula mengadakan Kongres Nasionalis di Bandung ini? Barangkali jang
menuduh kami berchianat itu ketika saja bitjara ini, melajang pikirannja kepada
88
pahlawan kita di Maluku Pattimura. Maka bertanjalah saja kepada jang menuduh
kami chianat itu, dapatkah dia menjingkirkan guru dari Pattimura, laksana Kijai
Modjo guru dari Diponegoro, jaitu Said? Perintah beliaulah jang selalu
menghembuskan semangat sjahid kedalam telinga Pattimura, walaupun Pattimura
belum djelas seorang Islam dan sama-sama naik tiang gantungan berdua!
Barangkali melajang pula pikirannja kepada si Singamangaradja di tanah
Batak, kalau-kalau beliau memperdjuangkan Pantja Sila. Bagaimana Saudara lari
kesana, Saudara tidak akan bertemu Pantja Sila. Jang bertemu adalah kerangka
atau bengkalai Islam jang belum selesai, jaitu agama Permalim, jang sampai
sekarang mantra dukunnja masih tetap dimulai dengan Bismillah! Dikiri kanannja
berdiri pula beberapa orang Ulama pembantunja dari Aceh dan dari Minangkabau.
Terang Saudara Ketua jang terhormat, disitu tidak berdjumpa Pantja Sila.
Sebab Pantja Sila barulah dipopulerkan 10 tahun jang achir ini, dengan maksud
hendak menentang tjita-tjita kami yang asli kami terima dari nenek moyang, jaitu
melandjutkan tjita-tjita mereka mendirikan Negara berdasar Islam dikepulauan
Indonesia ini, lebih besar lebih bersifat Nasional dari jang mereka telah mulai
waktu itu.
Kalau boleh saja memakai kata-kata yang lebih djitu, dapatlah saja
memastikan dengan penuh tanggung-djawab, dihadapan Allah dan dihadapan
sedjarah, bahwa kami inilah, seluruh Fraksi Islam jang menerima baik pusaka
pemimpin-pemimpin jang telah lalu itu.
Kamilah yang meneruskan wasiat mereka dan dapat pulalah Saudara
Ketua mengetahui kemana mestinja udjung logika dari perkataan saja ini.
Mungkin dikatakan bahwa jang mengkhianati roch nenek mojang pemimpin jang
terdahulu, ialah jang menukar perdjuangan mereka dengan Pantja Sila. Tetapi
Saudara Ketua, saja tidak mau menjampaikan konklusi kesana, sebab kita
sekarang adalah tengah mengadu pikiran untuk mem-padu! Bahkan sebagai
Muslim, saja beri maaf orang-orang jang menuduh kami pengchianat, karena kami
tahu bahwa ilmunja tentang sedjarah nenek mojangnja masih sangat perlu
ditambah.
Kami kadang-kadang tersenjum Saudara Ketua, bagaimana usaha hendak
menjelimuti kebenaran dengan mendustai sedjarah, jang kadang-kadang sangat
mentjolok mata. Misalnja, dalam gambar-gambar Pangeran Diponegoro naik
kuda, pada pelana kuda beliau kelihatan djelas tanda ,,bulan sabit”. Maka ada
pelukis Pantja Sila jang sengadja menghapus ,,bulan sabit” itu dari pelana.
Dan baru-baru ini saja lihat pula lukisan Imam Bondjol, kepunjaan
Kementrian Penerangan, sebagai propagandis Pantja Sila, gambar beliau jang
biasa terkenal ialah ditangannja ada seuntai tasbih, maka di gambar Kementrian
Penerangan itu ditjopot tasbihnja. Itulah Saudara Ketua, rahasia dari kedangkalan
berfikir setjara Pantja Sila.
Tidakkah mereka mengetahui apa rahasia ,,bulan sabit” jang ada di pelana
kuda sang Pangeran Amirul Mu’minin Abdul Hamid Diponegoro? Itulah lambang
89
dari kejakinan bahwa usaha Belanda hendak merebut Imam bangsa Djawa, adalah
sia-sia belaka, walaupun mereka menang dalam persendjataan. Belanda
menaklukan Djawa hanya dapat merampas harta, tetapi tidak dapat merampas
Iman. Sikap Belanda ini hanjalah: ,,Laksana si punguk rindukan bulan”;
Tengadahlah kelangit, engkau sangka mudah memegang bulan dengan tanganmu.
Naiklah kepuntjak Semeru jang tinggi sekalipun hendak mendjolok bulan sabit
itu, namun usahamu akan tetap sia-sia. Itulah tafsir lambang bulan sabit pada
pelana Sang Amirul Mu’minin Diponegoro!
Tetapi saudara Ketua, agak sedikit dapat juga dimengerti kesalahan
menghapuskan itu dan saja tidak memakai kata ,,ketjurangan’’, sebab terlalu kasar
bunjinja. Dapat juga dimengerti jaitu karena pengaruh sentimen jang dangkal atau
gelap mata, sebab kebetulan dua partai Islam, Partai Sjarikat Islam Indonesia
(P.S.I.I) dan Madjelis Sjuro Muslimin Indonesia (Masjumi) telah memakai
lambang bulan sabit dalam perdjuangannja.
Tetapi mentjopotkan atau merenggutkan tasbih dari tangan Imam Bondjol,
pada sebuah lukisan kepunjaan Kementrian Penerangan adalah satu tekanan djiwa
dari lapis tak sadar, onderbewustzin jang masih melekat dalam hati, karena
pengaruh didikan Belanda jang mendjadjah tanah ini 350 tahun lamanja. Padahal
gambar-gambar atau lukisan itu adalah orang Belanda sendiri jang membuatnja,
jang pada mereka rupanja masih ada djiwa sateria, mengakui kenjataan dan
rahasia kekuatan jang ada pada musuhnja.
Padahal kalau orang Indonesia sadar akan kepribadiannja, tidaklah dia
hendak merenggutkan tasbih itu, karena hanja menolak Islam. Sebab disanalah
terletak rahasia kekuatan Tuanku Imam menentang Belanda, jang kita akui
sebagai pelopor Nasional kita. Untaian tasbih adalah tiga kali tiga puluh tiga. Tiga
puluh tiga kali mengutjapkan Subhanallah, artinja Maha Sutji Allah, tiga puluh
tiga kali mengutjapkan Alhamdulillah, artinja Segala Pudji bagi Allah, tiga puluh
tiga kali mengutjapkan Allahu Akbar! Hanja Allah yang Maha Besar. Itulah
pangkalan tempat mulai bertolak di dalam menghadapi segala kesulitan dalam
hidup ini. Dan bila dikumpulkan tiga kali tiga puluh tiga mendjadilah dia
sembilan puluh sembilan, itulah Asmaul Husna, sembilan puluh sembilan nama
Tuhan, jang dengan Dia alam ini dikendalikan, termasuk didalamnja tanah air kita
Indonesia, jang disana kita dilahirkan dan disana kita berdjuang dan dari sana kita
mengambil kekuatan!
Tidak suka menerima Islam sebagai Dasar Negara, padahal itulah dasar
jang asli ditanah air kita, jang kuat dan jang sebahagian besar penduduk Indonesia
menganutnja dan pribadi sedjati Bangsa Indonesia. Sehingga sudah mulai
mendustai sedjarah, sehingga lukisannja pun sudah mulai dirusakkan.
Mungkin satu waktu kelak, serban Sentot dikutar dengan petji, djubah
Kijai Modjo ditukar dengan badju pelopor, sadarilah Tuanku Nan Rentjeh ditukar
dengan dasi. Lalu kami tegor karena menyalahi jang sebenarnja. Maka kamipun
didamprat dengan tuduhan; ,,Hai kamulah berchianat!” Saudara Ketua, saja adjak
90
yang mempertahankan Pantja Sila supaja kembali kepada kebenaran, insjaflah
bahwa Pantja Sila tidak mempunjai dasar sedjarah di Indonesia.
Dan kami berdjuang menuntut Islam sebagai Dasar Negara, bukanlah
untuk kami. Bukan untuk Madjelis Sjuro Muslimin Indonesia (Masjumi), Partai
Sjarikat Islam Indonesia (P.S.I.I), Persatuan Tarbijah Islamijah (Perti), Aksi
Kemenangan Umat Islam (Akui), Partai Politik Tharikat Islam (P.P.T.I) bukan;
tetapi untuk seluruh umat Islam, jang saudara-saudara jang masuk partai lain,
itupun termasuk didalamnja, untuk anak tjutju kita bersama. Jang disudut hati
saudara-saudara masih tersimpan sekelumit tjahaja iman itu, jang dalam diri
saudara mengalir darah itu, jang perdjuangan nenek mojang kita dalam Islam
itulah pangkalan permulaan langkah, sehingga kita sampai kepada jang seperti
sekarang ini. Dan dalam dada saudara Kristen pun ada pula djiwa itu, dalam
susunan kalimat jang lain.
Saudara Ketua, ada diantara Anggota jang terhormat didalam ajun kata
berirama, membawa angin sepoi-sepoi basah, tetapi penuh dengan sindiran halus:
apakah negara Islam yang kami tjitakan itu sebagai Negara Pakistan? Padahal
Pakistan itu adalah hasil politik petjah belah Inggeris, yang hendak
memetjahbelahkan anak benua India, supaja senantiasa lalu djuga djarum Inggeris
di negeri itu, walaupun dia telah berangkat.
Saudara Ketua, Anggota jang amat saja hormati itu menolak Dasar Islam
buat Indonesia dengan mentjela negara Pakistan, dan tjelaan kepada Pakistan itu
diambilnja dari pada musuh Pakistan sendiri jaitu India.
Mereka sampai sekarang masih belum berbaik benar, sebab urusan
Kasjmir. Maka selalu lah propaganda India mengesankan bahwa Republik
Pakistan itu adalah bikinan pendjadjah. Tjara-tjara jang seperti ini hanja biasa
dilakukan oleh kaum Komunis terhadap Negara, atau pribadi jang tidak mau
tunduk ke bawah tjerpu telapak kaki Kremlin. Negara-negara jang ingin bebas itu
dituduh agen imprealis, kaki tangan Amerika, a-nasional, diributkannja dunia
menuduh orang lain, supaja tersembunyi keadaan sebenarnja, bahwa mereka lah
jang agen imprealis Rusia.
Kalau dilandjutkan logika menuduh Negara Pakistan itu adalah buatan
Inggeries, menurut tjara-tjara Komunis, nistjaya kami yang dengan ichlas
memperdjuangkan agar Indonesia berdasar Islam dapat pula dituduh agen negara
asing, a-nasional, subversif, kaki tangan Imprealis,. Bukankah baru beberapa hari
jang lalu telah mulai disiarkan tuduhan dari Komunis India, melalui Peking untuk
membantu propaganda Komunis Indonesia, menuduh Saudara-saudara
Moh.Natsir, St.Sjahrir, bahkan Bung Hatta dan Brigadir Jenderal Gatot Subroto
telah sengkokol dengan Duta Besar Amerika di Indonesia hendak menggulingkan
pemerintahan Soekarno?
Sajang, dengan tidak sadar, Anggota jang amat saja hormati itu telah
memakai tjara-tjara Komunis buat menentang kami, padahal beliau saja kenal
adalah orang Islam jang baik dan seorang Nasionalis jang setia kepada
91
kejakinannja. Maka belumlah saja putus asa Saudara Ketua, karena barang kali
tidaklah beliau sengadja akan sampai demikian.
Oleh sebab itu berharaplah saja kepada beliau supaja beliau sudi
menambah penjelidikan beliau tentang Pakistan, dengan mempelajari back-ground
sedjarah pertentangan Hindu dan Muslim, karena pandangan hidup jang berbeda.
Sudilah beliau memakai pepatah: ,,berhukum kedjengat, berbenar kehati; rasai
awak, rasai diorang”.
Maka sebagai seorang Islam tjobalah beliau rasakan, akan amankah
pergaulan orang jang makan daging sapi sebagai makanan setiap hari, sedang
tangganja memandang bahwa penjembelihan sapi itu adalah berarti menjembelih
Tuhannja. Mungkin diantara orang seperti Gandhi dan Ali jinnah dapat tolerans,
atau diantara Nehru dengan Suhrawardi, sebab mereka adalah intelektuil jang
telah luas dada. Tetapi bagaimana dengan rakjat djelata sebagai massa terbanjak?
Padahal merekalah jang inti negara.
Hal ini pajah mendamaikannja, walaupun ada Inggeries atau tidak ada
Inggeries. Lebih-lebih lagi golongan jang terlebih besar dalam negara itu adalah
Hindu. Kalau India Merdeka, orang Islam jang memotong kepala Tuhan mereka
itu nistjaja akan dihadjar. Dan banjak lagi sebab-sebab jang lain, jang
menjebabkan supaja djangan berkelahi terus menerus, orang Islam lebih baik
memisahkan diri. Pemimpinja membawa kaumnja berkumpul kedalam daerah
mereka sendiri, jang lebih banjak orangnja disana. Semoga dengan tjara demikian,
tidak lagi akan terdjadi ribut karena urusan perbedaan pandangan hidup.
Oleh sebab itu Saudara Ketua, lebih tepat dan objektiflah apa yang
dikemukakan oleh Anggota jang terhormat Arnold Mononutu tentang sebab
Pakistan memisahkan diri, jaitu karena orang Islam, Umat Monotheisme jang
ketjil jumlahnja, senantiasa ditindas oleh golongan Hindu jang besar djumlahnja,
sebagai penganut Polyhteisme. Dan sjukurlah di Indonesia tidak pernah terjadi
huru-hara jang demikian diantara Islam dan Kristen, sebab sama-sama
Monotheisme, orang Islam Iman pula kepada Indjil, dan Iman pula kepada Nabi
Isa Al-masih ‘alahisissalam.
Saudara Ketua, ada pula Saudara Anggota jang terhormat menanjakan
apakah kami akan mentjontoh Negara Saudi Arabia. Untuk menolak Islam
ditjelanja negeri Saudi Arabia, bahkan dengan bebas merdeka Anggota jang
terhormat itu menjebut bahwa disana banjak terdapat perzinaan.
Saudara Ketua, kalau didalam menimbang-nimbang dan membitjarakan
hendak mentjari Dasar Negara, lalu kita mengemukakan bahwa disatu negara ada
perzinaan, maka tidaklah ada di dunia ini satu negarapun jang dapat dijadikan
tjontoh, baik dia negara Islam atau negeri Kristen, bahkan negara Calvinisme jang
keras disebelah Scandinavia sekalipun, atau dia negeri Israel jang didirikan
dengan dasar ke-Jahudi-an jang fanatik, atau negara Pantja Sila ini sendiripun.
Kalau kesana kita berfikir, kesudahannja kita tidak djadi mentjari Dasar Negara,
92
atau mentjari suatu tjontoh, sebab tidak ada satu negerapun di dunia ini jang sunji
dari perzinaan.
Laporan seperti ini hanjalah laporan wartawan tjanggung, jang bila
melawat kesebuah negeri, jang terlihat olehnja terlebih dahulu dalam negeri itu
ialah buruknja; disana ada pentjuri, disana ada tindasan jang kuat atas jang lemah,
ada pelapor jang muda-muda terutama sekali melihat disana ada perzinaan. Lalu
mereka pulang ketanah air, setelah melawat sehari dua dinegeri orang itu,
membuat karangan artikel, kadang-kadang serie-artikel, melukiskan pengetahunja
,,jang amat mendalam” dinegeri jang dilawatnja itu dalam tinjauan tiga hari.
Orang luar negeripun kerap kali demikian sehabis melawat tiga hari dalam
negara kita. Seorang wartawan Turki jang singgah di Indonesia tiga hari, pernah
menulis serie-artikel di sebuah Harian di Istambul, tentang perlawatannja ke
Indonesia tiga hari itu. Katanja, ada satu hal jang gandjil di Indonesia, djaitu
setiap orang akan sebahjang Djum’at, dibunjikan terlebih dahulu bunji-bunjian
genderang dengan suara bertalu-talu. Setelah selesai dipukul genderang itu,
barulah orang Adzan. (padahal jang ditjeritakan jaitu ialah beduk dan memang
diluar Indonesia tidak ada beduk).
Dan ada pula penulis luar negeri jang singgah dua tiga hari itu mengukur
Indonesia kita dengan perempuan mandi di Tjiliwung, dan ada pula jang
mentjeritakan tukang betja membawa perempuan malam-malam, dan ada pula
jang menjeritakan orang tidur dibawah djembatan, padahal orang-orang besar
Negaranja hidup mewah dan besar dan Presidennja kalau melawat kemana-mana
memakai pengiring sampai 40 orang, laksana Radja-radja didalam ,,1001
malam’’.
Saja djengkel membatja berita itu, apatah lagi ada pula penulis luar negeri
itu jang begitu lantjang menghubung-hubungkan kedjelekannja jang dilihatnja
dengan kata; ,,Katanja negara itu berdasarkan Pantja Sila!”. Meskipun saja tidak
menerima Pantja Sila sebagai Dasar Negara, dan meskipun kadang-kadang
pandangan politik saja menentang pandangan politik Presiden, namun kalau orang
luar negeri mentjelanja, telinga saja merah djuga dan saja tidak mau menerima.
Pada hemat saja Saudara Ketua, pandangan dangkal tentang negeri orang
jang kita lihat sehari dua, atau negeri kita dilihat orang sehari dua, tidaklah pantas
mendjadi alasan buat menolak dasar Islam. Tidaklah lajak dikemukakan dalam
Majelis Konstituante ini, sebab hal jang demikian, bukanlah memperkuat Pantja
Sila, hanjalah menunjukkan bahwa Saudara-saudara, jang mempertahankan Pantja
Sila telah kehabisan daja betul. Panggilan djiwa jang asli telah menerima
kebenaran jang berkata dalam hati sanubari telah menerima, berpikir jang
rasionilpun telah menerima Islam sebagai dasar. Tetapi amat sukar melepaskan
perasaan.
Maka buat Saudara-saudara jang berat melepaskan pengaruh perasaan itu,
saja ulanglah filsafat Schopenhaurer; ,,hidup itu adalah kamauan, keraskanlah
kamauanmu, berdjuanglah melawan perasaanmu dan marilah naik keatas!”.
93
Marilah naik keatas, kedasar jang paling hakekatnja ada dalam djiwa
Saudara sendiri-sendiri; Islamlah!
Kemudian itu besar pula hati saja, karena ada diantara pembela Pantja
Sila, beragama Islam menguraikan tarich perdjuangan Nabi kita Muhammad
salallhualaihi wassalam. Terdengarlah analisa jang gandjil sekali, jang belum
pernah dilakukan oleh ahli sedjarah manapun di dunia ini. Jaitu ketika
menguraikan dari hal kematian tiga sahabat Nabi, jaitu Umar, Usman, dan Ali.
Pembitjara mengambil kesan bahwa ketiga sahabat itu mati terbunuh, karena
kesalahan-kesalahan memegang pemerintahan, sehingga oleh sebab itu, lebih baik
djanganlah Islam sebagai Dasar Negara.
Saudara Ketua, selalu kedjadian bahwa orang-orang besar jang
melantjarkan suatu tjita-tjita mulia, mendjadi korban dari pada tangan
pengchianat. Tetapi itu bukanlah berarti lantas kita tolak pokok tjita-tjita jang
mulia. Mengapa pembitjara jang terhormat itu tidak mentjela dan memburukkan
tjita-tjita pemerintahan Republik India, padahal Gandhipun sebagai pendasar
republik itu dengan adjaran Satriagraha, Ahimsa, dan Swadeshi, mati terbunuh
oleh tangan pengchianat?
Mengapa pembitjara hanja mengurungkan Dasar Islam karena ketiga
orang sahabat Nabi mendjadi korban? Mengapa pembitjara tidak menolak
semboyan Demokrasi Amerika jang terkenal: ,,Pemerintahan dari rakjat, dengan
rakjat, untuk rakjat. Padahal Abraham Lincoln-pun sebagai pentjiptanja mati
dibunuh pengchianat? Bahkan bagi saudara yang beragama Kristen, jang
mempertjajai kematian Nabi Isa Al-Masih diatas kaju palang, adalah kesaksian
jang murni atas kebenaran adjaran beliau, sekali-kali bukan tanda dari keburukan
adjarannja.
Sajang sekali Saudara Ketua, banjak Anggota-anggota jang terhormat jang
mempertahankan Pantja Sila, didalam menolak Dasar Islam mempertjampur
adukkan pembitjaraan tentang dasar dengan pembitjaraan tentang bentuk. Jang
kita bitjarakan sekarang baru dasar, belum bentuk negara. Kami memperjuangkan
Dasar Islam lalu timbul pertanjaan: ,,Apakah jang Saudara-saudara perdjuangkan
itu Negara sematjam Afghanistan, atau sematjam Saudi Arabia, atau sematjam
Jaman?” sebenarnja sesudah bitjarakan Dasar, nanti dihari jang lain kita
membitjarakan bentuknja. Sudah terang pendirian kami, bahwa negara itu
berbentuk Republik, bukan berbentuk monarchi serupa Jaman atau Saudi Arabia.
Dan ada pula jang bertanja: ,,Apakah negara berdasa Islam jang Saudara-
saudara Fraksi-fraksi Islam kehendaki itu serupa di djaman Ali atau Muawijah,
pemerintahan Islam 1300 tahun jang lalu?”. Kalau sekiranja mereka tidak terburu-
buru apriori hendak menolak Dasar Islam sadja, tentulah pertanjaannja tidak akan
sampai sematjam itu. Tentu mereka maklum bahwa sedjarah itu berkembang
terus. Tentang bentuk Negara Islam lama itu, sedangkan pemilihan Abu Bakar
tidak sama bentuknja dengan pemilihan Umar, apalagi perubahan bentuk Negara
dari pemilihan bersama kepada monarchi sebagai diperbuat Muawijah. Bentuk
94
biasa berubah-ubah, karena ruang dan waktu Saudara Ketua, tetapi dasar tetap,
jaitu Islam.
Saudara Ketua, kami meminta Dasar Islam, karena itulah jang mendjadi
rahasia kekuatan jang sebenarnja dalam hati bangsa kita, sebagaimana jang tadi
saja terangkan. Djanganlah hanja ingat akan keadaan pada hari ini, setelah
perdjuangan bersendjata berlalu. Djanganlah disangka bahwa keadaan akan
seperti ini sadja. Berpikirlah agak djauh kemuka.
Begini hebat perdjuangan dan pertarungan dunia jang kita hadapi dan
alami dikiri kanan kita diwaktu sekarang. Peluru kendali, sputnik dan segala
matjam senjata berbahaja jang dipergunakan untuk membunuh sesama manusia.
Negara kita perlu dipertahankan djangan sampai diganggu kedaulatannja
oleh bangsa lain. Apakah orang menjangka Saudara Ketua, bahwa dengan
menjediakan beberapa kapal udara jang telah tua, dengan menambah djumlah
meriam dan bedil sadja, dengan membeli sendjata baru, kadang-kadang tjampur
sendjata jang telah ditinggalkan djaman. Dibelakang sendjata itu semuanja
Saudara Ketua, harus ada pertahanan djiwa jang kuat dan kokoh.
Pantja Sila tidak sanggup menimbulkan pertahanan djiwa jang kokoh itu,
hanja Islam. Sedjarah membuktikan itu. Entah kalau ada maksud, kalau terdjadi
bahaja apa-apa dibudjuk lagi umat Islam dengan sorak Allahu Akbar, supaja
mereka berani menentang maut, berani sjahid fi Sabilillah, tetapi setelah berhasil
lalu dimungkiri dan dikatakan itu adalah semangat Pantja Sila. Golongan jang
kecil Saudara tenggang dan Saudara djaga hatinja djangan sampai tersinggung,
sedang golongan jang besar hendak Saudara kurbankan untuk itu. Apakah ini
tidak akan menimbulkan dendam bangsa jang mudlaratnja amat besar dan bisa
turun menurun puluhan tahun?
Anggota jang terhormat Karkono meniadakan kekuatan Islam itu, oleh
karena menurut analisa beliau Umat Islam di Indonesia itu sebahagian besar hanja
namanja sadja Islam. Sebahagian jang lebih terbesar masih hidup dalam alam
animisme. Hanja nikah dan do’a selamatan sadja jang Islam, jang lainnja adalah
adat istiadat dan kebudajaannja jang asli, sehingga pengaruh Islam itu hanja
sedikit sekali.
Oleh sebab itu Saudara jang terhormat itu tidak dapat menerima Dasar
Islam dan Pantja Silalah jang patut. Saudara Ketua kalau kita berbitjara hendak
menuruti logika jang sehat, kalau Dasar Islam ditolak karena umatnja masih
banjak jang belum mengerti Islam, padahal Islam telah berkembang di seluruh
kepulauan Indonesia sedjak 600 tahun, nistjaja Pantja Silalah jang tidak dapat
didjadikan Dasar Negara, sepuluh kali lebih tidak dapat dipertanggungdjawabkan,
karena sepuluh kali lebih tidak dimengerti oleh bangsa kita jang terbanjak, sebab
Pantja Sila baru digali-gali dari bumi Ibu Pertiwi belasan tahun jang lalu, dekat-
dekat Djepang akan jatuh. Satu diantara Sila itu jang belum dimengerti sampai
sekarang ialah sila kebangsaan, sebab kebangsaan itu masih sangat muda umurnja.
Sehingga kalau kita pergi ketengah-tengah tanah Makassar, masih ada orang
95
mendjawab djika ditanja; Saudara bangsa apa? Mereka akan segera mendjawab,
tanpa berpikir, bahwa ia adalah bangsa Bugis. Dan dikaki-kaki gunung di Djawa,
masih ada jang mendjawab ,,Kulomeniko tijang Djawi”.
Sudikah Saudara Karkono, kita usulkan kepada pimpinan Konsitutante ini,
agar kita Anggota mengadakan panitia, lalu mengadakan research ilmiah,
manakah jang lebih dikenal oleh rakjat umum, Pantja Silakah atau Islam?
Bahkan disebahagian terbesar rakjat kita di kepulauan Riau dan Tarempah,
masih heran mengapa maka dengan Kebangsaan Pantja Sila ini, satu pulau jang
jauh letaknja bernama Irian Barat, harus disorak-sorakkan, bahwa dia mesti
kembali ketangan kita dan itulah bangsa kita, padahal 2 miliun rakjat
disemenandjung tanah Melaju, menurut kebangsaan ala Pantja Sila itu bukanlah
bangsa kita. Sudah lain negaranja dengan kita dan tidak ada hubungan kita dengan
mereka. Padahal petji sama, kopiah sama, sarung sama, rupa sama, rambut sama-
sama tidak keriting, kebudajaanpun sama dan agama jang lebih besar
pemeluknjapun sama.
Tetapi Saudara Ketua, tidaklah saja menolak sama sekali kebenaran
perkataan jang terhormat anggota Karkono. Sebahagian ada djuga benarnja, jaitu
dalam penjelidikannja, didaerah tempat beliau berdiam. Ahli-ahli penjelidik
memang mengakui bahwa disana belum mendalam benar pengaruh Islam dan
masih sedikit golongan mengerti Islam. Tetapi kalau Saudara sudi menjelidik
kedaerah lain, sekurang-kurangnja agak sedikit, tentu akan berubah juga
pandangan beliau itu. Padahal beliau sebagi seorang Partai Nasional Indonesia
(P.N.I), tidaklah akan mengukurkan badju jang dipakai untuk seluruh Indonesia
dengan ukuran badju dari tempat beliau datang.
Dalam pembitjaraan anggota jang terhormat Atmodarminto di Babak
Pertama Saudara Ketua, beliau ada membawa-bawa sedikit sedjarah djaman
peralihan, seketika kemunduran Madjapahit dan muntjulnya agama Islam. Beliau
menerangkan menurut sedjarah, bahwa agama Islam didjalankan oleh Radja-radja
Islam dengan paksaan, banjak orang dibunuh kalau tidak mau turut perintah Islam
dan ada orang berlainan paham dihukum mati, dengan menjebut nama-nama
mereka.
Saudara Ketua, Anggota jang terhormat Atmodarminto tidak adil
menguraikan sedjarah. Mengapa maka hanja tengahnja jang disebut dan
pangkalnja ditinggalkan? Hanja disebut setelah Islam berkuasa ditanah Djawa,
lalu memaksa orang memeluk Islam, sehingga radja-radja Islam itu tidak sanggup
menguasai djiwa orang Djawa. Mengapa tidak dimulai dengan betapa kejamnya
Gadjah Mada, sebagai ,,Bismarck model kuno” jang hendak mempersatukan
seluruh kepulauan kita, dan semenandjung tanah Melaju kebawah tjerpu telapak
kaki Ratu Madjapahit yang beragama Hindu itu, lalu mendjarah mendjadjah
sampai kemana-mana. Ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara,
sehingga tersebut dalam sedjarah bahwa negeri-negeri yang dimasukinja itu
laksana ,,negeri dialahkan garuda”, mendjadi ,,padang tekukur”. Mengapa tidak
96
disebutkan bagaimana pertingkahannja dengan Sang Prabu Siliwangi? Mengapa
tidak disebutkan bagaimana beliau menjerang berapa Kerajaan Islam, sebagai
Pasai di Atjeh, Trenggano, dan Kelantan di Semenanjung, Kerajaan Siak Sri
Indrapura di Pesisir Timur, dekat Riau?
Kalau Saudara jang terhormat itu adil, nistjaja dari sanalah dimulainja
memapar sedjarah itu, sehingga kita mendapat pandangan jang luas, tentang sebab
dan akibat, mengapa demikian keras dendam agama jang ada pada masa itu.
Madjapahit dengan Gadjah Madanja menjerang Pasai hingga hanguslah negeri itu
djadi abu. Tetapi ulamanja dan saudagarnja meninggalkan negeri itu, lalu
menjerang ke Djawa, ke daerah Madjapahit, bukan dengan sendjata, melainkan
dengan iman dan tauhid. Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishak, bahkan Sunan
Gunung Djati penjiar Islam di Djawa Barat adalah datang dari Pasai Atjeh.
Bahkan Sunan Ngampel, diserahkan lebih dahulu ke Pasai sebelum mendjadi
Muballigh Islam terbesar di Djawa. Rentetan sedjarah ini haruslah kita ketahui,
sehingga kita tahu mengapa sampai ada paksa memaksa, bunuh membunuh.
Karena akibat jang kemudian adalah sebab dari jang dahulu.
Dan lagi Saudara Ketua, didjaman kesatuan bangsa kita dalam Republik
Indonesia jang kita proklamasikan tanggal 17 Agustus tahun 1945 itu, sangatlah
keberatan daerah-daerah jang luas di Indonesia ini kalau didalamnja masih ada
tersimpan agak sedikitpun semangat Gadjah Mada dan Madjapahit. Haruslah kita
peladjari dengan seksama, apakah sebabnja maka orang Djawa Barat kemudiannja
lebih suka menerima Islam jang dibawa oleh Sunan Gunung Djati, atau Falatehan,
sehingga lebih tjepat tersiarnja, apakah tidak ada salah satu diantara sebabnja itu,
orang Djawa Barat lebih senang kepada Islam, dari pada kepada Hindu
Madjapahit jang pernah mengetjewakan mereka?
Sedianja lebih baik jang terhormat Saudara Atmodarminto tidak membuka
sedjarah lama itu, karena kebangsaan kita sekarang, kita bina bersama dan bukan
kedjengkelan atas djatuhnya Madjapahit. Atau memimpikan Madjapahit.
Adapun kisah Sjech Siti Djenar adalah semata-mata dongeng. Penjelidik
jang ahli telah mentjari hakekat dari kisah itu, rupanja tidak lain dari dongeng
sadja, saduran kisah Al-Halladj di Baghdad. Dr. Rasjidi, anak Djawa Tengah
tulen, dalam thesisnja tentang ,,Evolusi Islam di Indonesia” jang dikemukakannja
di bulan April tahun 1956 di Universitas Sorbonn menjatakan bahwa Siti Djenar
tidak ada di Bantam, Tjirebon dan Tanah Sunda, ada djuga Kijai Lemah Abang,
artinja sama jaitu tanah merah!
Tentang ada jang menjebut bahwa Raden Fattah keturunan Tionghoa. Bagi
kami umat Islam adalah kemuliaan, adalah bukti kemurnian adjaran Islam.
Sampai sekarangpun djika ada peranakan Tionghoa, sudi berdjuang dan membuat
sedjarah untuk kegemilangan Islam, kami akan hitung itu salah satu kebanggaan
kami pula, dengan tidak ada beda. Asli tidak asli bagi kami dalam Islam, hanjalah
soal sementara. Manusia bernilai karena djasanya.
97
Dan Angkatan Communis Indonesia (Acoma), jang dipimpin oleh Saudara
Ibnu Parna, penulis buku tentang Rd. Fattah itu djangan lupa bahwa Stalin adalah
orang Georgia, bukan asli Rusia.
Sekarang terhadap teman setanah air jang beragama Kristen pula. Terlebih
dulu sebelum saja mendjawab beberapa kekuatiran, sesalan dan ketjemasan
Saudara, hendak saja ulangkan sekali lagi, utjapan Anggota sefraksi saja
Moh.Natsir, jang djuga sebagai Ketua Umum partai kami. Saudara itu telah
menjatakan, berdasar kepada ajat Quran jang kami Imani, bahwa tidak ada
diantara kita soal jang musjkil, kita tidak bertentangan. Pangkalan tempat kita
berpikir satu tudjuan seruan djiwa kita satu. Asal hati sama terbuka, segala soal
dapat kita selesaikan.
Kalau tidak ada katjauan dari orang lain, hubungan bertetangga kita tetap
baik. Pengatjau itu selama ini ialah Belanda jang didalam mendjadjah tanah air
kita ini selalu menjalahgunakan penjiaran agama Kristen untuk menekan kami.
Dibuatnja Saudara sebagai anak kandung dan kami sebagai anak tiri.
Dimasukanja kepada Saudara perasaan tjuriga kepada kami.
Kami mengakui terus terang didjaman pendjadjahan kadang-kadang kami
tidak pula dapat membedakan antara Belanda dengan orang Kristen Indonesia.
Tetapi setelah mereka pergi, kita telah berbaik kembali. Dan sedjak kita sama-
sama berdjuang menegakkan bangsa dan tanah air ini, kita telah hidup sebagai
pepatah orang Melaju ,,Selapik ketiduran, sebatang sekalanghulu”.
Apabila tidak ada gangguan dari orang lain, Iman dan kepertjajaan kita
berkembang baik. Iman kita dalam agama kita telah membentuk pribadi kita.
Bahkan sebelum Belanda pergipun ditanah Maluku telah terdapat adat Pela, bukan
adat Pantja Sila. Tetangga baik, bantu membantu, tolong menolong diantara
kampung Islam dengan kampung Kristen. Kampung Islam membantu kampung
Kristen mendirikan geredja. Kampung Kristen membantu kampung Islam
mendirikan masdjid. Dan adat ini telah lama sekali, meskipun kadang-kadang
dihasut djuga oleh Belanda, agar rusak persahabatan itu. Di Sipirok tanah Batak
berdampingan Masdjid Islam dengan Geredja Kristen. Disana ada Domine
Harahap, disana ada Burhanuddin Harahap. Dan di Indonesia bagian Timur
umumnja, diakui sendiri oleh jang terhormat Anggota Arnold Mononutu. Bahkan
sampai sekarang ini djika Saudara jang terhormat itu datang ke Ternate misalnja,
lebih tenteram hatinja djika dia menginap dirumah pemimpin-pemimpin Islam.
Gangguan orang lain jang saja maksudkan ialah gangguan bangsa-bangsa
Kristen Barat jang datang mendjadjah ke negeri-negeri Timur karena tekanan
fanatik agama, sisa pusaka djaman Perang Salib. Merekalah jang selalu
merusakkan hubungan kita. Rasa tjuriga Saudara sekaranag inipun sebahagian
besar adalah karena bekas hasutan itu.
Hubungan kita jang baik tidaklah akan murni, kalau lantaran Pantja Sila.
Melainkan atas buah Iman agama kita sendiri. Kami orang Islam mentjintai
Saudara karena selalu kami batja dalam Al-Qur’an, bahwa diantara banjak
98
pemeluk agama, maka pemeluk Kristenlah jang paling dekat kepada kami. Kami
tidak pernah ragu akan isi Al-Qur’an, meskipun praktek jang kami rasai 350 tahun
menudjukkan bahwa Kristen Belanda itulah jang paling membentji kami. Maka
sekarang bertambah kembalilah Iman kepada Al-Qur’an, naik setingkat lagi,
karena telah pergi mereka dan tinggalah Saudara sebangsa dan senenek mojang
dengan kami.
Saudara Kristen sendiripun sempatlah sekarang mentjintai kami, menurut
Sabda Indjil, sebab Indjil itu sudah saudara sendiri jang memahamkannja, bukan
menurut paham Kolonialisme Belanda bahwasanja Indjil memerintahkan pula
bagi Saudara buat menjebarkan tjinta dalam Alam ini; Tjinta walaupun kepada
orang jang berlainan agama. Tjinta kami kepada Saudara, dan tjinta Saudara
kepada kami, lebih teguh uratnja ke bumi, lebih tinggi petundjuknja kelangit,
karena dasar agama jang kita peluk, bukan tjinta camouflace Pantja Sila jang kita
bikin.
Itulah sebenarnja, bukan Pantja Sila jang menjebabkan hati Saudara
Anggota jang terhormat Arnold Mononutu tertambat kepada Saudaranja kaum
muslimin Indonesia bagian Timur, sehingga kemana-mana djadi kenangandja.
Tjinta karena susunan agama itulah jang menjebabkan Umat Islam didesa-desa di
Djawa Tengah didjaman revolusi menjambut Saudara Prowoto Mangkusasmito
dan Saudara Zainul Arifin. Bersama-sama dibuatkan badju, bersama-sama
dihidangkan nasi. Sehingga sampai sekarang seorang Katholiek Indonesia jang
besar, Saudara Kasimo masih djadi kenangan pemuda Islam didesa itu dan
dipandang sebagai guru mereka djuga.
Saudara Oevaang Oeray tjemas kalau-kalau terulang lagi kekedjaman-
kekedjaman djaman purba, semasa Radja-radja Islam berkuasa, terhadap suku-
suku bangsa Indonesia jang masih terbelakang. Sajang sekali Saudara itu tidak
mengemukakan satu bukti sedjarah apakah kesalahan radja-radja Islam itu kepada
suku bangsa Indonesia jang masih terbelakang di Kalimantan mislanja. Sedjarah
jang dapat dipertanggungdjawabkan. Kalau ada tentu dapat kita kadji bersama-
sama. Sebab sedjarah keburukan radja-radja itu, kebanjakan hanja ditulis oleh
penulis Belanda. Kadang-kadang hanja buruknja sadja yang nampak, padahal
sebab-sebab dia berbuat buruk tidak dikatakan. Hampir sama dengan Saudara jang
terhormat Atmodarminto mengisahkan keburukan Islam dan kebaikan
Madjapahit, dengan melupakan perkembangan sedjarah dari bermula.
Menurut sedjarah jang mereka adjarkan, radja-radja Islam itu berlaku
kejam pada kami, hai suku bangsa jang terbelakang, sedang kami adalah
membawa perdaban dari bagimu. Padahal pada hakekatnja ialah bahwa baik radja-
radja itu, Saudara suku jang dinamai terbelakang itu dibudjuk, diraju masuk
Kristen. Untuk membudjuk itu tentulah kami jang dibusukkan; orang Selam
(Islam) djahat, orang Selam (Islam) memperbudak kamu. Dan berita
perbandingan tidak Saudara dapat dari pihak kami, sebab apriori bentjilah jang
tertanam lebih dahulu.
99
Saudara jang masuk Kristen memang dibantu, diasuh, diberi pendidikan
jang tinggi disekolahkan, bahkan mendapat pangkat jang tinggi-tinggi, sampai
kedjaman Republik inipun.
Tetapi sungguhpun demikian, Saudara Ketua, jang terhormat Saudara
Oevaang Oeray-pun tentu akan mengakui bahwasanja jang masih terbelakang itu
hanja masih tinggal 30% dari penduduk Kalimantan Tengah jang 60% telah
memeluk Agama Islam, dengan sukarelanja sendiri, lama sesudah radja-radja
Bandjar dan Kalimantan Barat tidak berdaulat lagi. Dan jang memeluk Kristen
hanja 10%; tetapi Saudaralah jang lebih nampak, sebab Saudara lebih pintar dan
lebih banjak sekolah.
Saudara Ketua, berkenaan dengan bilangan jang njata dari umat Islam di
Kalimantan itu, jang telah djelas setelah Indonesia terlepas dari pendjadjahan
Belanda, maka dengan sendirinja timbullah keraguan kita tentang berita Belanda
jang masih menduduki Irian Barat dengan tjara tidak sah itu.
Laporan Belanda jang dibawa oleh Anggota jang terhormat Binanga
Siregar, bahwa diantara 700.000 penduduk asli, 200.000 telah memeluk Kristen
dan umat Islam masih sedikit sekali. Kami tidak pertjaja lagi akan laporan itu, dan
diharap Saudara Binanga Siregar tak usah mempertanjainja pula.
Sebab di Maluku, Saudara Ketua, semasa Belanda masih berkuasa orang
mendapat kesan bahwa golongan jang terbesar disana ialah Kristen dan orang
Islam sedikit sekali. Setelah kita merdeka dari pendjadjahan Belanda, ternjatalah
bahwa djumlah jang lebih banjak disana ialah pemeluk agama Islam. Tjuma oleh
karena orang Kristen banyak pintar-pintar, dapatlah mereka menduduki tempat-
tempat jang penting, dan kami orang Islam tidaklah nampak.
Saudara Oevaang Oeray menjatakan bahwa golongan ketjil Kristen dan
Katholiek, Kaharingan dan Hindu Bali tidak akan menuntut djaminan atas
golongan ketjil kalau negara berdasarkan Pantja Sila. Kalau begitukan Saudara
lebih baik memilih negara berdasar Islam. Karena baik Saudara tuntut djaminan
atau tidak dituntut, namun djaminan itu akan dituliskan dalam Undang-undang
Dasar, kalau djadi negara berdasar Islam. Sehingga ada hitam atas putih, jang
kalau dilanggar, kami kena kutuk Kalam Allah. Orang jang tak mementingkan
agama, tidak tahu bagaimana hebatnja udjung perkataan ini bagi hati kami.
Mengapa saja berkata demikian? Sebab dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah
ada tersebut, bahwa dalam Negara berdasar Islam, hendaklah orang Kristen
mendjalankan indjilnja:
,,Hendaklah keluarga Indjil menghukum dengan apa jang diturunkan Allah
didalamnja”.
100
Dengan itu positiflah djaminan Islam atas Kristen dan bukan orang Islam
jang mengurusnja, tetapi pemeluk Kristen sendiri bebas mendjalankannja,
mengaturnja, menjiarkanja, menurut tata tertibnja sendiri.
Saudara Ketua, saja heran ketika Saudara jang terhormat itu membawakan
berita, bahwa Pemerintah Mesir telah berbuat kesalahan, sebab dia telah
memerintahkan rakjatnja jang beragama Islam supaja taat mengerdjakan
sembahjang dan rakjatnja jang Kristenpun supaja taat pula mengerdjakan upatjara
agamanja. Mengapa ini dipandang salah? Apakah hendaknja pemerintah itu diam
sadja? Apakah pemerintah itu meski masa bodoh? Kalau satu pemerintah jang
sadar akan kewadjibannja, nistjaja dianjurkannja rakjatnja taat beragama, sebab
bahaya atheis dan bahaya krisis moral mendjadi-djadi dimana-mana sekarang,
termasuk di Mesir djuga.
Apatah lagi kalau pemerintah turut pula memberi sokongan kepada
keagamaan dengan uang beribu paund, sebagai di Mesir itu. Tentu ada pula
haknja meminta kepada pemimpin-pemimpin agama menggiatkan usahanja.
Sebagai di Indonesiapun demikian pula; bermiliun-miliun uang setiap tahun, 12
miliun untuk Katholiek, 6 miliun untuk Kristen diberikan bantuan, apakah tidak
ada hak bagi pemerintah Indonesia menjerukan supaja pemimpin-pemimpin
agama itu bergiat bekerdja membangun moral umatnja? Saja harap Saudara Ketua
djanganlah kita serba salah. Agama tidak dibantu, salah! Pemerintah
memerintahkan supaja semua pemeluk agama kuat memengang agamnja; salah!
Pemerintah tidak mau turut tjampur agama sama sekali, hanja memberikan uang
sadja, hasilnja masa bodoh, salah!
Saudara jang terhormat Anggota Binanga Siregar ketika dia berbitjara
sajapun turut terharu, sebab beliau berbitjara dari hati kehati. Menjatakan
ketakutan Indonesia akan petjah kalau Islam djadi Dasar Negara. Bahkan seakan-
akan tersebut, ,,Kilat beliung ke kaki, kilat tjermin kemuka”, kaum Kristen akan
memisahkan diri. Bahkan Anggota jang terhormat Nur St.Iskandar memberi
peringatan bahwa daerah-daerah jang didiami orang Nasrani adalah strategis. Hal
ini pun disinjalir sedikit oleh Saudara Anggota jang terhormat Ds.W.J. Rumambi.
Sekarangpun saja hendak mendjawab dari hati kehati; sampi hatikah Saudara akan
menarik diri, padahal pekerdjaan kita belum selesai? Sampai hatikah akan
memisahkan diri, kalau benar strategis daerah Saudara itu djadi tumpuan? Sebagai
diisjaratkan oleh Anggota jang terhormat Nur Suttan Iskandar?
Kasih Jesus Kristus pada hakekatnja tidaklah membiarkan Saudara buat
meninggalkan kami disaat pekerdjaan sedang kita susun. Kami tahu akan strategis
itu; Maluku dan Irian Barat dekat dari Australia, Minahasa dekat dari Pilipina.
Tanah Batak dekat dari daerah Seato. Dan kami bagaimana? Pakistan djauh dari
Indonesia dan Umat Islam Indonesia lebih banjak dari Pakistan. Tanah Arab lebih
djauh lagi dari Indonesia dan bilangan umat Arab hanja separuh bilangan umat
Islam di Indonesia. Dan selama njawa masih dikandung badan, kami tidak akan
meminta perlindungan kepada Rusia. Akan minta bantuan kepada Amerika,
101
nistjaja jang akan dibantunja jang seagama dengan dia. Kemana kami pergi lagi?
Tentu kepada pustaka tadi pula; Allahu Akbar! Tidak ada kami tempat
melindungkan diri dan memohon kekuatan, melainkan kepada Engkau ja Allah,
Engkaulah tali jang tidak pernah putus!
Padahal kalau tjita kami tercapai, negara ini berdasar Islam, kami ingin
kita laksanakan bersama, Saudara Ketua inti ajat Al-Qu’ran buat mendjadi dasar
politik pertahanan negara kita. Maksud bunji ayat itu berkali-kali diulang oleh
kawan sefraksi dan seideologi dengan saja; ,,Kalau tidaklah ada pertahanan
manusia atas manusia, nistjaja akan diruntuhkan oranglah biara, geredja, synagog
dan mesdjid”. Saudara Ketua kami tidak djengkel menerima ketentuan ajat itu,
mesdjid diachirkan. Sebab itu adalah lambang djiwa kami, mendahulukan kawan,
dan tidak berebut hendak diletakkan dimuka. Maka kalau isi dunia ini bertanja
kelak, apakah dasar politik Negara tuan? Nistjaja kita jawab bersama-sama; Dasar
politik negara kami adalah mendjundjung tinggi kesutjian nama Ilahi, jang
dipudja dalam biara, geredja, synagog, dan mesdjid! Mereka bertanya lagi,
,,Mengapa begitu?” Kita djawab bersama: ,,Sebab Negara kami berdasarkan
Islam!”.
Demi kebenaran jang diperjuangkan oleh para Rasul dan Nabi Saudara
Ketua, Pantja Sila tidaklah mempunjai konsepsi setegas itu. Dan dalam mengatur
Undang-undang Dasar selandjutnja Saudara Ketua, djika Negara berdasar Islam,
bukanlah Madjelis Sjura Muslimin Indonesia (Masjumi), Nahdalatul Ulama
(N.U.), Persatuan Tarbijjah Islamijah (Perti), Partai Sjarikat Islam Indonesia
(P.S.I.I.), Aksi Kemenangan Umat Islam (Akui), dan Partai Politik Tharikat Islam
(P.P.T.I.) sadja jang akan mengerdjakannja, tapi kita seluruh; Partai Nasional
Indonesia (P.N.I.), Katholiek, Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan seluruh
partai dan golongan jang konsekwen pertjaja kepada Tuhan.
Saudara Ketua, dengan penuh perhatian pula kami mengikuti pembitjaraan
Saudara Anggota jang terhormat Arnold Mononutu. Seakan-akan ketika beliau itu
bitjara, djarum djatuhpun kedengaran, demikian kami mengikuti pembitjaraan
beliau. Sebahagian dari pembitjaraan itu sadja jang akan mendjawabnja Saudara
Ketua dan sebagian lagi Saudara sefraksi saja Moh. Natsir. Dari suara hati
sanubari beliau bertanja: ,,Tidakkah kami orang Kristen akan mendjadi umat kelas
dua, djika Indonesia berdasar Islam?”.
Karena hendak berdjuang mentjapai kedudukan sama rendah dan tegak
sama tinggi, sama-sama duduk dikelas satu itulah, dengan negara berdasar Islam,
maka umat Islampun memilih orang tua-tuanja, sehingga ada jang telah berusia
100 tahun, datang kedalam Konstituante ini dengan hendak berdjuang dengan
setjara sah parlementer, agar Negara berdasar Islam.
Mereka datang dari pondok-pondok djauh terpentjil. Ada diantara orang
tua-tua itu jang baru sekali ini masuk kedalam Madjelis jang semulia ini.
Disangkanja tidak akan menjinggung perasaan orang kalau dia berbitjara
102
membatja ajat, hadits dan do’a dengan bahasa jang bisa dipakianja, jaitu Sjech
Sulaiman Rasuli.
Tiba-tiba dengan tidak sadar, entah karena merasa bahawa orang tua-tua
itu adalah deradjat kelas empat, tidak patut ketengah membawa ajat-ajat, maka
Anggota jang terhormat Binanga Siregar menjatakan ketjewanja atas batjaan itu
dalam pidato jang istimewa. Apa keluh orang tua itu setelah mendengar suara
demikian? Ah, sehingga membatja pembukaan dalam bahasa Al-Quran jang kita
pertjajaipun kita tidak disenangi orang!
Saudara Ketua, ini pun adalah ratapan hati! Tidak Saudara Arnold
Mononutu jang amat saja hormati, kami tidak hendak menurunkan deradjat
Saudara pemeluk agama Nasrani, baik Kristen, Protestannja, atau Katholieknja
dari pada kedudukan kelas satu jang telah ditjapainja dalam masjarakat Indonesia
sedjak djaman Belanda sampai kepada djaman Republik Indonesia sekarang ini.
Dan tidak ada dalam hati kami rasa iri hati melihat kedudukan kelas satu
Saudara-saudara. Kami hanja ingin hendak naik keatas, kedalam tingkat kelas satu
jang telah Saudara duduki, djangan dikelas empat, entah kelas tiga belum tentu
kelas dua, dalam djaman sekarang ini.
Karena bantuan pemerintah jang dahulu, dengan Bijzondere Onderwijs-
nja, walaupun golongan Saudara sedikit, sudah lebih tinggi kelas Saudara dari
kami; Saudara tinggi dalam pendidikan, dalam Sosial dan setelah Republik
Indonesia berdiripun, lantaran ketjerdasan Saudara-saudara, maka Saudara
mendapat kedudukan djauh lebih banjak dalam hitungan keseimbangan dari pada
jang kami dapat. Maka kalau Negara berdasar Islam, memang, terus terang kami
katakan, kami ingin dalam djalan jang sah, hendak duduk kedekat Saudara-
saudara. Dan Saudara tak usah pergi meninggalkan tempat itu, sebab tempat
masih lapang buat kita bersama.
Saudara jang terhormat Arnold Mononutu, inipun adalah suara hati dari
umat Islam, Saudaraku. Saja pertjaja bahwa djiwa Saudara-saurdaraku setanah air,
tidaklah akan demikian ketjil, buat menolak kawannja untuk duduk sama rendah
tegak sama tinggi dengan dia, sebagaimana jang diharapkan oleh Saudara Lokollo
pula. Lalu Saudara Anggota jang terhormat Arnold Mononutu mengatakan, djika
Negara berdasar Islam, nistjaja sudah terang Presidennja mesti orang Islam
bahkan menteri-menterinja tentu mesti orang Islam dan djabatan-djabatan jang
pentingpun mestinja tentu orang Islam, sedang dalam negara Pantja Sila tidak
begitu.
Saudara Ketua, tentang Kepala Negara mesti seorang Islam, memanglah
sudah logis. Bahkan dinegara-negara Kristen sendiripun, sebagai Amerika Kepala
negara mesti orang Protestan dan tidak boleh orang Katholiek. Di negara Parantjis
hanja sekali orang Protestan dan itu membuat susah, sehingga tidak terulang lagi,
terus orang Katholiek.
Tetapi menteri-menteri orang Islam, tidaklah menurut logika, sebab
apabila tampuk kekuasaan jaitu Presiden sudah seorang Islam, dia harus memiliki
103
ketjakapan dan keahlian warga negara, walaupun apa agama jang dipeluknja.
Keahlian itulah logika. Dalam negara-negara Islam banjak sekali kedjadian orang
Nasrani dan Jahudi memegang djabatan jang penting-penting, sampai mendjadi
Perdana Menteri, karena keahliannja. Baik pada pemerintahanan di Timur djaman
Baghdad, atau dalam pemerintahan di Andalusia.
Beberapa Saudara jang mempertahankan Pantja Sila berkata: ,,Hanja
dalam Negara berdasar Pantja Sila sadjalah orang-orang selain Islam akan
mendapat tempat jang lajak menurut ketjakapannja”. Saudara Ketua, ini adalah
sematjam chauvenisme lagi, jang sekarang memang agak merata tumbuh di
negara kita ini. Bahkan karena chauvenisme itu, ada jang berkata, bahwa bendera
Merah Putih sudah 6000 tahun usianja, djadi lebih tua dari Socrates di Junani,
lebih tua dari Ramses di Egypt, lebih tua dari Nabi Musa, Nabi Isa dan Nabi
Muhammad. Dan toleransi hanja ada di Indonesia, karena Pantja Sila. Faktor
Islam, Nasrani dan jang lain ditiadakan. Jang terhormat Anggota Arnold
Mononutu tidaklah seorang chauvenis saja lebih bebas bertjakap dari hati kehati
dengan beliau.
Di negara Mesir jang agama resminja Islam dan mempunjai penduduk
Kopti, terkenal ahli politik jang besar Makram Obaid, seorang Kopti tangan kanan
dari pemerdeka Mesir Saad Zaglul, laksana Arnold Mononutu tangan kanan Bung
Karno dan Bung Hatta. Negeri Mesir itu adalah Negara Islam, bukan Negara
Pantja Sila.
Di negara Siria jang berdasar Qur’an dan Hadits, ada seorang politikus
besar, Faris Al-Chouri, pernah mendjadi Ketua Dewan Keamanan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (P.B.B.) dan membela kepentingan Indonesia, beliau adalah
seorang Kristen. Siria bukan Negara Pantja Sila.
Maka djika seorang dari Mesir bertanja: ,,Adakah Tuan mempunjai
Pujangga Kristen sebagai kami mempunjai Chalil Mathran?” tentu akan kita
djawab; kami mempunjai J.E Tatengkeng. Djika orang Siria bertanja: ,,Adakah
Tuan mempunjai diplomat besar sebagai kami mempunjai Faris Al-Choiri itu?
Nistjaja kita djawab, kamipun mempunyai diplomat besar lebih dari seorang”.
,,Kami mempunjai Arnold Mononutu, L.N. Palar, Mr. A.A Maramis sadjapun dua
orang”.
,,Djika orang Mesir bertanja adakan politikus Kristen pada Tuan? Sebab
Negara Tuan berdasar Islam, padahal kami mempunjai Mokram Obaid?” Nistjaja
kita djawab: ,,Kami mempunjai Kasimo, Leimena, Rumambi, Tambunan dan
banjak lagi jang lain, jang mutunja tidak kurang didalam membela tanah air kami
orang Islam!”
Tjontoh jang saja kemukakan itu bukanlah contoh dari Andalusia sebelum
orang Arab diusir dari sana dan bukan tjontoh di Baghdad, semasa Radja Harun
Al-Rasjid mengangkat seorang tabib Kristen mendjadi Menteri Kesehatan. Tetapi
tjontoh di jaman sekarang dalam Negara berdasar Islam.
104
Mungkin logika jang dikatakan oleh Saudara jang terhormat Arnold
Mononutu itu, karena praktek jang dipegang oleh kekuasaan majoriti Kristen
didalam negara tetangga kita Pilipina. Disana orang Islam jang bilangnja hampir 3
milliun memang sangat buruk nasibnja, sesudah kelas-IV mendjadi minoritet pula,
sehingga seorang kawan saja diplomat Kristen Indonesia pernah mengakui terus
terang akan toleransinja umat Islam Indonesia terhadap umat Kristen ditanah-
airnja.
Saudara Ketua, logika itu memang mempunjai praemisse pertama dan
kedua mempunjai konklusi. Tetapi kesulitanja ialah seketika menyusun praemisse
itu, karena pintunja tidak boleh hanja satu. Sekali lagi saja ulang filsafat
Schopenhauer; ,,Hidup itu ialah kemauan”. Maka bangkitlah kemauanmu
Saudaraku setanah air jang tertjinta dan marilah kita naik ketingkat hidup
kerochanian jang lebih tinggi. Amin!
Saudara Ketua, sudah hampir habis bitjara saja ini. Utjapan terima kasih
saja utjapkan kepada Sutan Takdir Alisjahbana, jang tidak dapat membantah
potensi kekuatan jang ada dalam Islam. Hanja Anggota jang terhormat itu minta
kaum Islam menunda untuk masa 30 tahun. Dia sebagai seorang Sardjana jang
besar dan Pudjangga jang ulung, karena selalu mentjari kebenaran, tidak
mendapati bukti keburukan Islam. Sebab itu disuruh undurnja perdjuangan kami
untuk 30 tahun.
Memang Saudara Ketua, saja mengenal pikiran Takdir sedjak sebelum
perang, dia pernah mengatakan bahwa Islam adalah dinamis, berpikir teratur,
sesuai dengan berpikir Eropah Modern. Maka usulnja supaja kami undur 30 tahun
lagi itu, bukan suara Takdir sebagai Pudjangga dan Sardjana, melainkan suaranja
dalam Konstituante sebagai wakil dari Fraksi Partai Sosialis Indonesia (P.S.I.).
dan sebagai Sardjana pula dan sebagai Pudjangga pula, dia pernah mengakui
paradox-nja Pantja Sila. Tetapi partainja memutuskan menerima Pantja Sila
dengan tafsiran sendiri dan tidak keberatan pula ditambah. Mengingat hubungan
persahabatan kami jang telah bertahun-tahun, seakan-akan saja merasai
bagaimana beratnja beban seorang Pudjangga dan Sardjana jang berpikiran
merdeka, memikul tugas jang dibebankan partainja.
Jang pada hakekatnja berlawanan dengan hasil renung pikiranja. Adapun
meminta kami undur 30 tahun lagi, karena orang Islam belum lagi siap, samalah
dengan kata-kata didjaman djadjahan dahulu, Kemerderkaan Indonesia belum
matang sebab itu belum masanja sekarang. Lalu Bung Karno mendjawab: ,,Kami
mau Indonesia Merdeka, sekarang!”. ,,Soal 30 tahun, 200 tahun. 1000 tahun dan
sekarang, adalah soal yang relative……..”.
Dan saja taffakur mendengar uraian beliau jang mendalam, sehingga
karena dalamnja, timbullah ragu beliau atas keteguhan dasar Islam dan dasar
Pantja Silapun. Sebab itu saja namai keterangan beliau karangan jang mendalam.
Saudara ketua, terima kasih saja atas kedjujuran Prof. Abidin, jang dengan
djiwa besar dan netral mengakui bahwa Madjelis Sjuro Muslimin Indonesia
105
(Masjumi) telah mengemukakan konsepsi Dasar Islam dan pembela Pantja Sila
belum! Sjukur perkataan itu keluar dari Saudara jang menuntut Negara berdasar
Sosial-Ekonomi.
Djadi bukan karena memperdjuangkan Dasar Islam! Sjukur karena dalam
Negara masih ada orang djudjur sebagai Saudara. Kami tidak memaksa Saudara
untuk pindah sadja ke dalam dasar Islam. Bantuan moril begitupun tjukuplah bagi
kami. Bertukar benar dengan edjekan selama ini jang mengatakan: ,,mana
konsepsi Islam? Mana?”
Adapun suara dari wakil Partai Komunis Indonesia (P.K.I.), pengikut
History-Materialisme Marx, jang mengakui beragama Kristen dan berasal dari
Irian Barat, tidaklah saja ladeni, meskipun Anggota jang terhormat itu menjebut
nama partai saja dengan adres jang buruk. Meskipun pandangan hidupnja sebagai
anggota Partai Komunis Indonesia (P.K.I.) didasarkan bentji kepada sja dan partai
saja, namun pandangan hidup saja sebagai seorang Islam menjebabkan saja
kasihan kepadanja,sehingga saja tidak sampai hati meladeninja, dia naik podium
sebagai wakil Partai Komunis Indonesia (P.K.I) lalu menjebutnja Kristen pula dan
datang dari Irian Barat, daerah jang sangat kita rindui. Saja kasihan melihat
Anggota jang terhormat itu membantja konsep pidatonja dengan tertegun, rupanja
bukan terbit dari pikirannja sendiri.
Saja tjuma menjerukan kepada kawan jang terhormat itu supaja sebelum
menjebut nama Madjelis Sjuro Muslimin Indonesia (Masjumi) dengan adres yang
buruk, ambilah dahulu kursus lebih mendalam, sehingga njata djalan jang akan
Saudara tempuh, mendjadi Marxis, atau mendjadi pengikut Kristen. Demikian
djuga terhadapa Anggota jang terhormat K.H Dasuki Siradj, jang disamping
membatja ajat-ajat, djuga mengatakan bahwa di Pemandangan Umum Babak
Pertama muntjul juga kera-kera. Sudah lama rupanja terdesak Islamnja oleh
Komunisnja, sehingga kesopanan Komunis jang dipakainja, bukan kesopanan
Islam.
Sekarang tiba gilirannja kami pula menjebut ketjemasan djika Pantja Sila
ini terus-terusan berlaku. Sebagai Anggota jang terhormat; Oevaang Oeray tjemas
kalau agama mendjadi supernasional, karena pemerintah Mesir mengandjurkan
rakjatnja taat dalam agamanja masing-masing. Uratnja tidak teguh kebumi, dasar
imanja tidak tentu dan kadang-kadang mendjadi djelmaan dari sematjam hal jang
mengarah agama sendiri.
Sampai ada beberapa tahun jang lalu orang mendakwakan bahwa Bung
Karno adalah Nabi, jang mendapat wahju Pantja Sila. Kemudian datangnya
upatjara-upatjara kenegaraan jang menjerupai agama sendiri. Karena resminja,
pajah untuk tidak menghadirinja, padahal bagi seorang beragama dan beriman,
tidak dapat diterima. Maka taffakurlah beliau-beliau dimakam pahlawan Semaki,
menjampaikan hadjat dan memohon rawuh pangestu dari orang jang telah mati.
Maka dibakarlah obor pukul 12 malam, disaat pergantian hari kemarin dengan
106
esoknja, mengutjapkan sumpah setia, entah kepada siapa. Maka dibawalah obor
dengan penuh chidmat ke Kalibata, mengheningkan tjipta.
Kalau ini terus-terusan dan besar benar kemungkinan akan terus-terusan,
bukan kepertjajaan Islam sadja jang terantjam, bahkan kepertjajaan Kristen pun.
Pajahlah seorang resmi, sebagai Menteri Prawira jang teguh iman dan agamanja
masing-masing menjelesaikan djiwanja menghadapi hal seperti ini. Tidak akan
hadir, awak orang resmi akan hadir, melanggar dengan kepertjajaan jang
konsekwen dalam agama.
Ketika salah satu perkumpulan Islam, jaitu persatuan Islam bergantung
kepada kebebasan menjatakan pikiran, mempergunakan kebebasan itu, lalu
menjatakan kepada umum bahwa perbuatan itu mendekati kepada sjirik dan pajah
orang Islam menerimanja. Datanglah pertanjaan dari pihak Ketentaraan kepada
beberapa orang Ulama, meminta fatwa supaja membolehkan, sebab itu hanjalah
upatjara tentara semata-mata, dan diakui oleh pelbagai pemeluk agama. Orang
jang takut antjaman S.O.B tentu tidak berani memberikan fatwa jang sebenarnja.
Belum lagi timbulnja berpuluh Pak Nabi Baru selama 12 tahun ini, sebagai
terdjadi di Djakarta baru-baru ini. Pak Nabi membawa Saptamarga; katanja beliau
telah mendapat wahju cakraningrat, beliau telah dipanggil kelangit. Beliau
mendapat bahwa Pantja Sila wadjib dipertahankan. Nabi-nabi begitu sekarang
sudah agak banjak dan minta agamanja masing-masing diakui oleh Pemerintah.
Itulah akibat dari pemikiran ke-Pantja Silaa-an. Akan terus pada seculerisme
betul-betul, tidak pula mau upatjara-upatjara jang bersifat mistik, jang gaib
dilakukan djuga, tetapi tidak mau masuk kedalam daerah agama jang ada. Maka
sampai kepada achirja kelak, Pantja Sila akan tetap djadi rentetan darei keragu-
raguan hidup. Itu lah ketjemasan saja pertama!
Ketjemasan jang kedua Saudara Ketua, ialah dengan bersemangatnja kaum
Komunis menjokong orang jang memperdjuangkan Pantja Sila, padahal pokok
pendirian mereka tidaklah mengakui adanja Tuhan. Kalau Komunis sudah sudi
berbuat gandjil, mengakui Tuhan, padahal pokok pendirian mereka tidaklah ber-
Tuhan, maka orang jang arif bijaksana lekas mengerti. Djanganlah Saudara
berbesar hati karena mereka telah membantu, djanganlah tertawa. Saja kasihan
kalau tertawa Saudara hari ini akan peot dibelakang hari, dalam masa jang tidak
lama.
Kawan Saudara jang sejati, ialah jang sudi berkata terus terang kepada
Saudara, walaupun katanja itu pahit. Pahit karena kasih, lebih baik dari mulut
manis untuk mendjerumuskan Saudara. Pengalaman-pengalaman dimasa-masa
jang telah kita lalui dalam 12 tahun menundjukkan bahwa kami jang
memperdjuangkan Islam inilah kawan Saudara jang sebenarnja. Kalau tidak
dengan Madjelis Sjuro Muslimin Indonesia (Masjumi), tentu Saudara memerintah
bersama Nahdlatul Ulama (N.U.), namun bertjerai tidak dapat. Sebab itu bukalah
pintu Saudaraku kaum Nasionalis. Bukalah pintu buat menerima Islam sebagai
Dasar Negara ini; inilah kawanmu sedjati, bukan orang jang tidak ber-Tuhan.
107
Saudara Ketua, bitjara saja sudah hampir habis. Sudah tiga minggu kita
perbintjangkan, pikiran diadu untuk dipadu! Saja lihat bagaimana beratnja
Saudara-saudara menerima Islam sebagai Dasar Negara dan bagaimana beratnja
pula Saudara melepaskan Pantja Sila. Kami pihak yang memperdjuangkan Tjita
Islam ini tidaklah marah kepada Saudara dan tidaklah bentji karena tolakan jang
demikian keras.
Jang kami lihat dalam sidang ini bukanlah Saudara, tetapi akibat dari
rentetan sedjarah 350 tahun. Dahulunja masjarakat ini seluruhnja adalah
masjarakat Islam. Belanda mengatur bagaimana supaja masjarakat jang kuat
Islamnja ini mendjadi lemah. Lalu mereka adakan Departement Onderwijs en Ere
Dienst, diadakannja Openbare Onderwijs.
Dari hari pertama, sedjak dari sekolah Holands Inlandse School (H.I.S.),
dalam Openbare Onderwijs itu didjauhkanlah Saudara dari pangkalan pikiran
pusaka jang asli. Sehari selembar benang, lama-lama mendjadi sehelai kain. Islam
jang Saudara pelajari adalah keterangan orang lain. Keterangan Snouck
Hourgronje dan Younbull. Otak di isi dengan ilmu, tetapi rochani kehilangan
dasar!
Adapun dengan Eere Dienst, dimadjukannya Zending dan Missie. Maka
timbullah apa jang dikatakan bijzondere onderwijs, jang terdidik otaknja dengan
ilmu jang tinggi, dan djiwanja dengan adjaran Kristen. Sebab itu mereka lebih
kuat memegang agamanja daripada jang dididik dalam Openbare Onderwijs jang
bernama ,,Neutraal” itu.
Adapun sisa kekuatan Islam itu, tidaklah ada perhatian apa-apa, bahkan
dihalangi, dihambat, diikat oleh pelbagai Ordonansi, diantaranja Ordonansi Guru
tahun 1905 dan tahun 1925. Maka timbullah golongan Islam jang kian lama kian
mendjadi tumpukkan segala kebentjian.
Dan keduanja tadi, baik jang Openbare Onderwijs atau jang Bijzondere
Onderwijs, keduanja sama merasa bentji kepada Islam tadi dengan pandangan
jang telah dididikkan bertahun-tahun itu. Kijai tengik, santri plutuk, lebai malang,
jang hanja berguna untuk mengurus djenazah kalau Saudara kematian dan
berguna djadi kaju api kalau ada rovolusi, berguna untuk membatjakan do’a kalau
ada selamatan dalam resepsi.
Sekarang baru kita berdjumpa, membuka rasa hati masing-masing.
Sekarang Saudara telah tahu bahwa kami ini sebahagian dari Saudara djuga, jang
telah ratusan tahun berpisah rasa, meskipun berdekat badan, sehingga tidak kenal
mengenal lagi sebab tebal dinding jang dipasang oleh orang lain diantara kita.
Meskipun dimadjelis ini Saudara ingkari perdjuangan kami, kami pertjaja
bahwa dirumah Saudara sudah mulai berpikir: Saudara sudah lama kehilangan.
Kami bawa barang jang hilang itu kembali kehadapan Saudara, tetapi ada sesuatu
jang masih menghalangi Saudara buat mengambilnja.
Saja belum tahu Saudara Ketua, entah bagaimana achir keputusan jang
akan kita ambil kelak. Entah kami disuruh pulang dengan tangan kosong, entah
108
Pantja Sila akan dipertahankan dengan kekerasan, karena tidak ada djalan lain lagi
dan Islam ditolak mentah-mentah, karena dinding jang dipasang orang lain tadi
masih tebal, namun satu perkara tidaklah pernah lepas dari hati saja jaitu;
,,Walaupun bagaimana kerasnja tolakan atas perdjuangan kami jang benar, adil
dan logis ini, semua jang menolak itu adalah Saudara kami, semuanja adalah
bangsa kami, kawan setanah air, jang telah pernah menghadapi suka-duka
sedjarah selama 12 tahun, sama bergelimang darah, sama berkuah air-mata”. Sang
Merah Putih berkibar diatas kepala kita semuanja.