Post on 07-Aug-2015
description
CapitaSelekta
Allah Mencukupi Orang yang Bertawakal
“Allah Mencukupi Orang yang Bertawakal” ketegori Muslim. Allah Akan Mencukupi
Semua Urusan Orang Yang Bertawakal Kepada-Nya
Dr. Abdullah bin Umar Ad-Dumaiji
Hal ini berdasarkan dari firman Allah yang berbunyi : “Dan barangsiapa yang bertawakal
kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan nya”. yaitu yang mencukupinya. Ar-Robi‟
bin Khutsaim berkata : Dari segala sesuatu yang menyempitkan manusia.
Ibnul Qayyim berkata : Allah adalah yang mencukupi orang yang bertawakal kepadanya dan
yang menyandarkan kepada-Nya, yaitu Dia yang memberi ketenangan dari ketakutan orang
yang takut, Dia adalah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong dan barangsiapa yang
berlindung kepada-Nya dan meminta pertolongan dari-Nya dan bertawakal kepada-Nya,
maka Allah akan melindunginya, menjaganya, dan barangsiapa yang takut kepada Allah,
maka Allah akan membuatnya nyaman dan tenang dari sesuatu yang ditakuti dan
dikhawatirkan, dan Allah akan memberi kepadanya segala macam kebutuhan yang
bermanfa‟at.
Dan ini adalah ganjaran yang paling besar, yaitu Allah Subhanahu wa Ta‟ala akan
menjadikan diri-Nya sendiri sebagai yang memenuhi segala kebutuhan orang yang
bertawakal kepada-Nya, dan sungguh Allah telah banyak menyebutkan kebaikan dan
keutamaan yang menjadi ganjaran untuk orang-orang yang bertawakal kepada Allah, antara
lain.
Firman Allah.
“Artinya : Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya
jalan keluar”.
“Artinya : Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menghapus
kesalahan-kesalahan dan akan melipat gandakan pahala baginya”.
“Artinya : Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya
kemudahan dalam urusannya”.
“Artinya : Dan barangsiapa yang menta‟ati Allah dan Rasul, mereka itu akan bersama-sama
dengan orang-orang yang dianugrahi nikmat oleh Allah, yaitu; Nabi-nabi, para hiddiqiin,
orang-orang yang mati syahid dan orang-orang yang shaleh. Dan mereka itulah teman yang
sebaik-baiknya”.
Sedangkan ayat yang menyebutkan sikap tawakal adalah firman Allah : “Dan barangsiapa
yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan nya”.
Ibnu Al-Qayyim berkata : Perhatikanlah ganjaran-ganjaran yang akan diterima oleh orang
yang bertawakal yang mana ganjaran itu tak diberikan kepada orang lain selain yang
bertawakal kepada-Nya, ini membuktikan bahwa tawakkal adalah jalan terbaik untuk menuju
ke tempat di sisinya dan perbuatan yang amat dicintai Allah.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu „anhu berkata. “Bersabda Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam : Jika seseorang keluar dari rumah, maka ia akan disertakan oleh dua orang malaikat
yang selalu menemaninya. Jika orang itu berkata Bismillah , kedua malaikat itu berkata :
Allah telah memberimu petunjuk, jika orang itu berkata : Tiada daya dan upaya dan kekuatan
kecuali kepada Allah, kedua malaikat itu berkata : Engkau telah dilindungi dan dijaga, dan
jika orang itu berkata : Aku bertawakal kepada Allah, kedua malaikat itu berkata : Engkau
telah mendapatkan kecukupan”. 1}
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam bab Zuhud yang disanadkan kepada Amru bin „Ash
yang mengangkat hadits ini kepada Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam beliau bersabda :
“Sesungguhnya di dalam hati anak Adam terdapat celah-celah, dan barangsiapa yang
mengabaikan Allah pada setiap celah di dalam hatinya maka ia akan binasa, dan barangsiapa
yang bertawakal kepada Allah, maka Allah akan mencukupi celah-celah yang ada dalam
hatinya itu”. di dalam Az-Zawaid dikatakan bahwa hadist ini lemah sanadnya, dan di dalam
Al-Mizan dikatakan bahwa hadits ini tertolak}
Sebagaimana diriwayatkan pula bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
“Barangsiapa yang memutuskan gantungannya selain kepada Allah Subhanahu wa Ta‟ala,
maka Allah akan mencukupi baginya segala kebutuhannya, dan Allah akan mendatangkan
rezeki baginya dari yang tak terduga”.
Yang memberi kecukupan hanyalah Allah saja, sebagaimana firman-Nya : “Hai Nabi,
cukuplah Allah bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu”. , artinya;
cukuplah Allah bagi kamu, dan cukuplah bagimu orang-orang yang beriman mengikutimu ,
maka kalian semua tak akan membutuhkan seseorang jika kalian bersama Allah, ini adalah
pendapat dari Abu Shaleh Ibnu Abbas, dan juga berpendapat Ibnu Zaid, Muqatil . Asy-Sya‟bi
dan lain-lainnya, dan Ibnu Katsir tak menyebutkan selain pendapat ini . Ada juga yang
mengatakan bahwa artinya adalah : cukuplah bagimu Allah, dan cukuplah bagimu orang-
orang yang beriman, yaitu pendapat yang diriwayatkan dari Al-Hasan dan diikuti oleh An-
Nuhas.
Ibnu Al-Jauzy berkata : Bahwa yang benar adalah pendapat yang pertama , hal itu berdasar
pada petunjuk bukti kajian bahwa sesungguhnya yang bisa memberi kecukupan hanyalah
Allah Subhanahu wa Ta‟ala.
Ibnu Al-Qayyim berkata : Ini begitu juga dengan pendapat sebagian orang adalah suatu
kesalahan yang nyata, tidak boleh mengartikan ayat ini seperti ini , dan bahwa sesungguhnya
yang bisa memberi kecukupan hanyalah Allah semata, begitu juga dengan tawakal, taqwa dan
penyembahan hanyalah kepada Allah, dan Allah Subhanahu wa Ta‟ala telah berfirman dalam
Al-Qur‟an yang artinya : “Dan jika mereka bermaksud hendak menipu, maka sesungguhnya
cukuplah Allah . Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan para
mukmin”.
Lalu dia membedakan antara memberi kecukupan dengan memberi kekuatan. Yang bisa
memberi kecukupan hanyalah Allah Subhanahu wa Ta‟ala semata, sementara yang bisa
memberi kekuatan adalah hanyalah Allah dengan membantunya dan juga bersama hamba-
hamba Allah lainnya, Allah telah memuji kepada orang-orang yang bertauhid serta orang-
orang yang bertawakal di antara hamba-hambanya, yang mana Allah mengkhususkan mereka
untuk mendapat kecukupan dari Allah Subhanahu wa Ta‟ala, maka Allah berfirman: ” orang-
orang yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: „Sesungguhnya manusia telah
mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka‟, maka
perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab : „Cukuplah Allah menjadi
Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung”. , dan mereka tidak pernah
mengatakan : cukuplah Allah bagi kami dan Rasulnya.
Jika mereka berpendapat seperti ini dan Allah memuji mereka seperti itu, maka bagaimana
mungkin Allah mengatakan kepada utusan-Nya dengan mengatakan : Allah dan pengikut-
pengikutmu akan memberimu kecukupan, sementara para pengikut Muhammad Shallallahu
„alaihi wa sallam telah menjadikan Allah satu-satunya yang memberi kecukupan, dan mereka
tidak pernah men-sekutu-kan Allah dengan Rasul-Nya dalam masalah memberi kecukupan,
bagaimana mungkin mereka melakukan hal seperti ini ?! ini adalah kemustahilan yang paling
Mustahil dan Kesesatan yang paling sesat.
Hal yang serupa dengan bahasan ini adalah firman Allah yang berbunyi : “Jikalau mereka
sungguh-sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan
berkata. „Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami sebahagian dari
karunia-Nya dan demikian Rasul-Nya, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap
kepada Allah‟, “.
Maka perhatikanlah, bagaimana Alllah menjadikan kewajiban untuk mematuhi diri-Nya dan
Rasul-Nya, sebagaimana firman-Nya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah
dia”. , dan menjadikan kecukupan itu hanya dengan diri-Nya semata, Allah tidak pernah
mengatakan : dan mereka berkata : cukuplah Allah dan Rasul-Nya bagi kami, akan tetapi
Allah menjadikan diri-Nya sendiri satu-satunya yang bersifat memberi kecukupan, seperti
fiman Allah : “Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berharap kepada Allah”. , dan
Allah tidak pernah mengatakan : “dan kepada Rasul-Nya”, akan tetapi Allah menjadikan
berharap hanya kepada-Nya semata, sebagaimana firman Allah : “Maka apabila kamu telah
selesai , kerjakanlah dengan sungguh-sungguh yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah
hendaknya kamu berharap”.
Maka berharap, bertawakal, berlindung dan memberi kecukupan hanyalah kepada Allah
semata, sebagaimana bahwa ibadah, taqwa dan sujud hanyalah milik Allah semata, begitu
juga dengan sumpah dan bernadzar tidak diperbolehkan kecuali hanya kepada Allah semata.
Dan yang serupa dengan ayat ini adalah firman Allah yang berbunyi : “Bukankah Allah
cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya”. . Maka yang mencukupi berarti Dia pula yang
melindungi, di sini Allah mengabarkan bahwa hanya Dia seoranglah yang memberi
perlindungan kepada hamba-Nya, sekali lagi bagaimana mungkin Allah menjadikan
hambanya para pengikut Nabi bersama Allah sebagaimana yang memberi kecukupan ?!,
dalil-dalil yang membuktikan kesesatan penafsiran yang merusak ini lebih banyak lagi untuk
disebutkan.
Footnote :
Hadits Riwayat At-Tirmidzi bab do‟a 3426 dan ia juga mengatakan bahwa hadits ini adalah
: hadits baik, benar dan asing, kami tak mengetahuinya kecuali dengan ungkapan seperti ini.
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah bab do‟a 3886 , ia berkata di dalam Kitab Az-Zawaid : Bahwa
di dalam sanad hadits ini terdapat Harun bin Abdullah, ia adalah seorang yang lemah.
Diriwayatkan oleh Abu Daud dari hadits Anas bab Adab 5073 , Ahmad dalam Musnadnya
yang lebih sempurna dari ungkapan ini. Hadits ini dibenarkan oleh Al-Albani sebagaimana
dalam shahih Al-Jami Ash-Shagir 513, 227 .
Disalin dari buku At-Tawakkul „Alallah wa „Alaqatuhu bil Asbab oleh Dr Abdullah bin
Umar Ad-Dumaiji dengan edisi Indonesia Rahasia Tawakal Sebab Akibat hal. 84 - 89 Bab
Buah Tawakal, terbitan Pustaka Azzam Penerjemah Drs. Kamaluddin Sa‟diatulharamaini dan
Farizal Tirmidzi.
Sumber Allah Mencukupi Orang yang Bertawakal : http://www.salaf.web.id
Tawakal yang Sebenarnya Sebagian orang menganggap bahwa tawakal adalah sikap pasrah tanpa melakukan usaha
sama sekali. Contohnya dapat kita lihat pada sebagian pelajar yang keesokan harinya akan
melaksanakan ujian. Pada malam harinya, sebagian dari mereka tidak sibuk untuk
menyiapkan diri untuk menghadapi ujian besok namun malah sibuk dengan main game atau
hal yang tidak bermanfaat lainnya. Lalu mereka mengatakan, “Saya pasrah saja, paling
besok ada keajaiban.”
Apakah semacam ini benar-benar disebut tawakal?! Semoga pembahasan kali ini dapat
menjelaskan pada pembaca sekalian mengenai tawakal yang sebenarnya dan apa saja faedah
dari tawakal tersebut.
Tawakal yang Sebenarnya
Ibnu Rajab rahimahullah dalam Jami‟ul Ulum wal Hikam tatkala menjelaskan hadits no. 49
mengatakan, “Tawakal adalah benarnya penyandaran hati pada Allah „azza wa jalla untuk
meraih berbagai kemaslahatan dan menghilangkan bahaya baik dalam urusan dunia maupun
akhirat, menyerahkan semua urusan kepada-Nya serta meyakini dengan sebenar-benarnya
bahwa „tidak ada yang memberi, menghalangi, mendatangkan bahaya, dan
mendatangkan manfaat kecuali Allah semata„.”
Tawakal Bukan Hanya Pasrah
Perlu diketahui bahwa tawakal bukanlah hanya sikap bersandarnya hati kepada Allah semata,
namun juga disertai dengan melakukan usaha.
Ibnu Rajab mengatakan bahwa menjalankan tawakal tidaklah berarti seseorang harus
meninggalkan sebab atau sunnatullah yang telah ditetapkan dan ditakdirkan. Karena Allah
memerintahkan kita untuk melakukan usaha sekaligus juga memerintahkan kita untuk
bertawakal. Oleh karena itu, usaha dengan anggota badan untuk meraih sebab termasuk
ketaatan kepada Allah, sedangkan tawakal dengan hati merupakan keimanan kepada-
Nya. Sebagaimana Allah Ta‟ala telah berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang
beriman, ambillah sikap waspada.” (QS. An Nisa [4]: 71). Allah juga berfirman (yang
artinya), “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi
dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang.” (QS. Al Anfaal [8]: 60). Juga firman-
Nya (yang artinya), “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka
bumi; dan carilah karunia Allah” (QS. Al Jumu‟ah [62]: 10). Dalam ayat-ayat ini terlihat
bahwa kita juga diperintahkan untuk melakukan usaha. Sahl At Tusturi mengatakan, “Barang
siapa mencela usaha (meninggalkan sebab) maka dia telah mencela sunnatullah (ketentuan
yang Allah tetapkan -pen). Barang siapa mencela tawakal (tidak mau bersandar pada Allah,
pen) maka dia telah meninggalkan keimanan. (Lihat Jami‟ul Ulum wal Hikam)
Burung Saja Melakukan Usaha untuk Bisa Kenyang
Dari Umar bin Al Khaththab radhiyallahu „anhu berkata, bahwa Nabi shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda, “Seandainya kalian betul-betul bertawakal pada Allah, sungguh Allah akan
memberikan kalian rezeki sebagaimana burung mendapatkan rezeki. Burung tersebut pergi
pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.”
(HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Al Hakim. Dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam
Silsilah Ash Shohihah no. 310)
Imam Ahmad pernah ditanyakan mengenai seorang yang kerjaannya hanya duduk di rumah
atau di masjid. Pria itu mengatakan, “Aku tidak mengerjakan apa-apa sehingga rezekiku
datang kepadaku.” Lalu Imam Ahmad mengatakan, “Orang ini tidak tahu ilmu (bodoh). Nabi
shallallahu „alaihi wa sallam telah bersabda, “Allah menjadikan rezekiku di bawah bayangan
tombakku.” Dan beliau shallallahu „alaihi wa sallam juga bersabda (sebagaimana hadits
Umar di atas). Disebutkan dalam hadits ini bahwa burung tersebut pergi pada waktu pagi dan
kembali pada waktu sore dalam rangka mencari rizki. (Lihat Umdatul Qori Syarh Shohih Al
Bukhari, 23/68-69, Maktabah Syamilah)
Al Munawi juga mengatakan, “Burung itu pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan
kembali ketika sore dalam keadaan kenyang. Namun, usaha (sebab) itu bukanlah yang
memberi rezeki, yang memberi rezeki adalah Allah ta‟ala. Hal ini menunjukkan bahwa
tawakal tidak harus meninggalkan sebab, akan tetapi dengan melakukan berbagai sebab yang
akan membawa pada hasil yang diinginkan. Karena burung saja mendapatkan rezeki dengan
usaha sehingga hal ini menuntunkan pada kita untuk mencari rezeki. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi
bisyarhi Jaami‟ At Tirmidzi, 7/7-8, Maktabah Syamilah)
Tawakal yang Termasuk Syirik
Setelah kita mengetahui pentingnya melakukan usaha, hendaknya setiap hamba tidak
bergantung pada sebab yang telah dilakukan. Karena yang dapat mendatangkan rezeki,
mendatangkan manfaat dan menolak bahaya bukanlah sebab tersebut tetapi Allah ta‟ala
semata.Imam Ahmad mengatakan bahwa tawakal adalah amalan hati yaitu ibadah hati semata
(Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim, 2/96). Sedangkan setiap ibadah wajib ditujukan kepada
Allah semata. Barang siapa yang menujukan satu ibadah saja kepada selain Allah maka
berarti dia telah terjatuh dalam kesyirikan. Begitu juga apabila seseorang bertawakal dengan
menyandarkan hati kepada selain Allah -yaitu sebab yang dilakukan-, maka hal ini juga
termasuk kesyirikan.
Tawakal semacam ini bisa termasuk syirik akbar (syirik yang dapat mengeluarkan seseorang
dari Islam), apabila dia bertawakal (bersandar) pada makhluk pada suatu perkara yang tidak
mampu untuk melakukannya kecuali Allah ta‟ala. Seperti bersandar pada makhluk agar dosa-
dosanya diampuni, atau untuk memperoleh kebaikan di akhirat, atau untuk segera
memperoleh anak sebagaimana yang dilakukan oleh para penyembah kubur dan wali. Mereka
menyandarkan hal semacam ini dengan hati mereka, padahal tidak ada siapapun yang mampu
mengabulkan hajat mereka kecuali Allah ta‟ala. Apa yang mereka lakukan termasuk tawakal
kepada selain Allah dalam hal yang tidak ada seorang makhluk pun memenuhinya. Perbuatan
semacam ini termasuk syirik akbar. Na‟udzu billah min dzalik.
Sedangkan apabila seseorang bersandar pada sebab yang sudah ditakdirkan (ditentukan) oleh
Allah, namun dia menganggap bahwa sebab itu bukan hanya sekedar sebab (lebih dari sebab
semata), seperti seseorang yang sangat bergantung pada majikannya dalam keberlangsungan
hidupnya atau masalah rezekinya, semacam ini termasuk syirik ashgor (syirik kecil) karena
kuatnya rasa ketergantungan pada sebab tersebut.
Tetapi apabila dia bersandar pada sebab dan dia meyakini bahwa itu hanyalah sebab semata
sedangkan Allah-lah yang menakdirkan dan menentukan hasilnya, hal ini tidaklah mengapa.
(Lihat At Tamhiid lisyarhi Kitabit Tauhid, 375-376; Syarh Tsalatsatil Ushul, 38; Al Qoulul
Mufid, 2/29)
Penutup
Ingatlah bahwa tawakal bukan hanya untuk meraih kepentingan dunia saja. Tawakal bukan
hanya untuk meraih manfaat duniawi atau menolak bahaya dalam urusan dunia. Namun
hendaknya seseorang juga bertawakal dalam urusan akhiratnya, untuk meraih apa yang Allah
ridhai dan cintai. Maka hendaknya seseorang juga bertawakal agar bagaimana bisa teguh
dalam keimanan, dalam dakwah, dan jihad fii sabilillah. Ibnul Qayyim dalam Al Fawa‟id
mengatakan bahwa tawakal yang paling agung adalah tawakal untuk mendapatkan hidayah,
tetap teguh di atas tauhid dan tetap teguh dalam mencontoh/mengikuti Rasul shallallahu
„alaihi wa sallam serta berjihad melawan ahli bathil (pejuang kebatilan). Dan beliau
rahimahullah mengatakan bahwa inilah tawakal para rasul dan pengikut rasul yang
utama.
Kami tutup pembahasan kali ini dengan menyampaikan salah satu faedah tawakal.
Perhatikanlah firman Allah Ta‟ala (yang artinya), “Barang siapa bertakwa kepada Allah
niscaya Dia akan memberikan jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak
disangka. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan)nya.” (QS. Ath Thalaaq [65]: 2-3). Al Qurtubi dalam Al Jami‟ Liahkamil Qur‟an
mengatakan, “Barang siapa menyerahkan urusannya sepenuhnya kepada Allah, maka
Allah akan mencukupi kebutuhannya.”
Nabi shallallahu „alaihi wa sallam pernah membaca ayat ini kepada Abu Dzar. Lalu beliau
shallallahu „alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Seandainya semua manusia mengambil
nasihat ini, sungguh hal ini akan mencukupi mereka.” Yaitu seandainya manusia betul-
betul bertakwa dan bertawakal, maka sungguh Allah akan mencukupi urusan dunia dan
agama mereka. (Jami‟ul Ulum wal Hikam, penjelasan hadits no. 49). Hanya Allah-lah yang
mencukupi segala urusan kami, tidak ada ilah yang berhak disembah dengan hak kecuali Dia.
Kepada Allah-lah kami bertawakal dan Dia-lah Rabb „Arsy yang agung.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Muroja‟ah: Ustadz Aris Munandar
Artikel www.muslim.or.id
Antara Tawakkal dan Usaha
Mencari Rizki yang Halal
Syariat Islam yang agung sangat menganjurkan kaum muslimin untuk melakukan usaha halal
yang bermanfaat untuk kehidupan mereka, dengan tetap menekankan kewajiban utama untuk
selalu bertawakal (bersandar/berserah diri) dan meminta pertolongan kepada Allah Ta‟ala
dalam semua usaha yang mereka lakukan.
Allah Ta‟ala berfirman,
وثشا لعل اروشا للا اتتغا مه فضل للا لج فاوتششا ف السض ىم تفلحن{}فئرا لضت الص
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi (untuk mencari
rezki dan usaha yang halal) dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak
supaya kamu beruntung” (QS al-Jumu‟ah:10).
Dalam ayat lain Allah Ta‟ala berfirman,
له{ و حة المت إن للا ل على للا و }فئرا عضمت فت
“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah,
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal (kepada-Nya)” (QS Ali
„Imraan:159).
Dan Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,
أحة “ ش ي خ ال تعج المؤمه الم استعه تالل ش احشص على ما ىفعه فى ول خ عف، مه المؤمه الض ”ض إلى للا
“Orang mukmin yang kuat (dalam iman dan tekadnya) lebih baik dan lebih dicintai oleh
Allah daripada orang mukmin yang lemah, dan masing-masing (dari keduanya) memiliki
kebaikan, bersemangatlah (melakukan) hal-hal yang bermanfaat bagimu dan mintalah
(selalu) pertolongan kepada Allah, serta janganlah (bersikap) lemah…”[1].
Makna Tawakkal yang Hakiki
Imam Ibnu Rajab al-Hambali berkata, “Tawakkal yang hakiki adalah penyandaran hati yang
sebenarnya kepada Allah Ta‟ala dalam meraih berbagai kemaslahatan (kebaikan) dan
menghindari semua bahaya, dalam semua urusan dunia maupun akhirat, menyerahkan semua
urusan kepadanya dan meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa tidak ada yang dapat
memberi, menghalangi, mendatangkan bahaya serta memberikan manfaat kecuali Allah
(semata)”[2].
Tawakkal adalah termasuk amal yang agung dan kedudukan yang sangat tinggi dalam agama
Islam, bahkan kesempurnaan iman dan tauhid dalam semua jenisnya tidak akan dicapai
kecuali dengan menyempurnakan tawakal kepada Allah Ta‟ala. Allah Ta‟ala berfirman,
ول{ فاتخزي المغشب ال إل إال }سب المششق
“(Dia-lah) Rabb masyrik (wilayah timur) dan maghrib (wilayah barat), tiada Ilah (yang
berhak disembah) melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung” (QS al-
Muzzammil:9)[3].
Merealisasikan tawakkal yang hakiki adalah sebab utama turunnya pertolongan dari Allah
Ta‟ala bagi seorang hamba dengan Dia mencukupi semua keperluan dan urusannya. Allah
Ta‟ala berfirman,
و مه ت ث ال حتسة، شصل مه ح جعل ل مخشجا. مه تك للا حسث{} ف ل على للا
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan baginya jalan ke
luar (bagi semua urusannya). Dan memberinya rezki dari arah yang tidada disangka-
sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan
mencukupkan (segala keperluan)nya” (QS ath-Thalaaq:2-3).
Artinya: Barangsiapa yang percaya kepada Allah dalam menyerahkan (semua) urusan
kepada-Nya maka Dia akan mencukupi (segala) keperluannya[4].
Salah seorang ulama salaf berkata: “Cukuplah bagimu untuk melakukan tawassul (sebab
yang disyariatkan untuk mendekatkan diri) kepada Allah adalah dengan Dia mengetahui
(adanya) tawakal yang benar kepada-Nya dalam hatimu, berapa banyak hamba-Nya yang
memasrahkan urusannya kepada-Nya, maka Diapun mencukupi (semua) keperluan hamba
tersebut”. Kemudian ulama ini membaca ayat tersebut di atas[5].
Usaha yang Halal Tidak Bertentangan dengan Tawakkal
Di sisi lain, agama Islam sangat menganjurkan dan menekankan keutamaan berusaha mencari
rezki yang halal untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Bahkan Rasulullah shallallahu „alaihi
wa sallam secara khusus menyebutkan keutamaan ini dalam sabda beliau r:
جل مه وسث إن أطة ما أول الش
“Sungguh sebaik-baik rizki yang dimakan oleh seorang laki-laki adalah dari usahanya
sendiri (yang halal)” [6].
Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan bersungguh-sungguh mencari usaha
yang halal dan bahwa usaha mencari rezki yang paling utama adalah usaha yang dilakukan
seseorang dengan tangannya sendiri[7].
Berdasarkan ini semua, maka merealisasikan tawakal yang hakiki sama sekali tidak
bertentangan dengan usaha mencari rezki yang halal, bahkan ketidakmauan melakukan usaha
yang halal merupakan pelanggaran terhadap syariat Allah Ta‟ala, yang ini justru
menyebabkan rusaknya tawakal seseorang kepada Allah.
Oleh karena itulah, Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam menggambarkan kesempurnaan
tawakal yang tidak mungkin lepas dari usaha melakukan sebab yang halal, dalam sabda
beliau,
“Seandainya kalian bertawakal pada Allah dengan tawakal yang sebenarnya, maka sungguh
Dia akan melimpahkan rezki kepada kalian, sebagaimana Dia melimpahkan rezki kepada
burung yang pergi (mencari makan) di pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore
harinya dalam keadaan kenyang”[8].
Imam al-Munawi ketika menjelaskan makna hadits ini, beliau berkata: “Artinya: burung itu
pergi di pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali waktu petang dalam keadaan perutnya
telah penuh (kenyang). Namun, melakukan usaha (sebab) bukanlah ini yang mendatangkan
rezki (dengan sendirinya), karena yang melimpahkan rezki adalah Allah Ta‟ala (semata).
Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam mengisyaratkan bahwa tawakal
(yang sebenarnya) bukanlah berarti bermalas-malasan dan enggan melakukan usaha (untuk
mendapatkan rezki), bahkan (tawakal yang benar) harus dengan melakukan (berbagai)
macam sebab (yang dihalalkan untuk mendapatkan rezki).
Oleh karena itu, Imam Ahmad (ketika mengomentari hadits ini) berkata: “Hadits ini tidak
menunjukkan larangan melakukan usaha (sebab), bahkan (sebaliknya) menunjukkan
(kewajiban) mencari rezki (yang halal), karena makna hadits ini adalah: kalau manusia
bertawakal kepada Allah ketika mereka pergi (untuk mencari rezki), ketika kembali, dan
ketika mereka mengerjakan semua aktifitas mereka, dengan mereka meyakini bahwa semua
kebaikan ada di tangan-Nya, maka pasti mereka akan kembali dalam keadaan selamat dan
mendapatkan limpahan rezki (dari-Nya), sebagaimana keadaan burung”[9].
Imam Ibnu Rajab memaparkan hal ini secara lebih jelas dalam ucapannya: “Ketahuilah
bahwa sesungguhnya merealisasikan tawakal tidaklah bertentangan dengan usaha untuk
(melakukan) sebab yang dengannya Allah Ta‟ala menakdirkan ketentuan-ketentuan (di alam
semesta), dan (ini merupakan) ketetapan-Nya yang berlaku pada semua makhluk-Nya.
Karena Allah Ta‟ala memerintahkan (kepada manusia) untuk melakukan sebab (usaha)
sebagaimana Dia memerintahkan untuk bertawakal (kepada-Nya), maka usaha untuk
melakukan sebab (yang halal) dengan anggota badan adalah (bentuk) ketaatan kepada-Nya,
sebagaimana bertawakal kepada-Nya dengan hati adalah (perwujudan) iman kepada-Nya.
Sebagaimana firman Allah Ta‟ala,
ا الزه آمىا خزا حزسوم{ }ا أ
“Hai orang-orang yang beriman, bersiapsiagalah kamu” (QS an-Nisaa‟:71).
Dan firman-Nya,
ل{ مه ستاط الخ ج ا لم ما استطعتم مه ل أعذ {
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari
kuda-kuda yang ditambat untuk berperang” (QS al-Anfaal:60).
Juga firman-Nya,
وثشا لعل اروشا للا اتتغا مه فضل للا لج فاوتششا ف السض ىم تفلحن{}فئرا لضت الص
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi (untuk mencari
rezki dan usaha yang halal) dan carilah karunia Allah, dan ingatlah Allah banyak-banyak
supaya kamu beruntung” (QS al-Jumu‟ah:10) [10].
Makna inilah yang diisyaratkan dalam ucapan Sahl bin Abdullah at-Tustari[11]:
“Barangsiapa yang mencela tawakal maka berarti dia telah mencela (konsekwensi) iman, dan
barangsiapa yang mencela usaha untuk mencari rezki maka berarti dia telah mencela sunnah
Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam”[12].
Tawakkal yang Termasuk Syirik dan yang Diperbolehkan
Dalam hal ini juga perlu diingatkan bahwa tawakkal adalah salah satu ibadah agung yang
hanya boleh diperuntukkan bagi Allah Ta‟ala semata, dan mamalingkannya kepada selain
Allah Ta‟ala adalah termasuk perbuatan syirik.
Oleh karena itu, dalam melakukan usaha hendaknya seorang muslim tidak tergantung dan
bersandar hatinya kepada usaha/sebab tersebut, karena yang dapat memberikan manfaat,
termasuk mendatangkan rezki, dan menolak bahaya adalah Allah Ta‟ala semata, bukan
usaha/sebab yang dilakukan manusia, bagaimanapun tekun dan sunguh-sungguhnya dia
melakukan usaha tersebut. Maka usaha yang dilakukan manusia tidak akan mendatangkan
hasil kecuali dengan izin Allah Ta‟ala[13].
Dalam hal ini para ulama menjelaskan bahwa termasuk perbuatan syirik besar (syirik yang
dapat menyebabkan pelakuknya keluar dari Islam) adalah jika seorang bertawakkal
(bersandar dan bergantung hatinya) kepada selain Allah Ta‟ala dalam suatu perkara yang
tidak mampu dilakukan kecuali olah Allah Ta‟ala semata.
Adapun jika seorang adalah jika seorang bertawakal (bersandar dan bergantung hatinya)
kepada makhluk dalam suatu perkara yang mampu dilakukan oleh makhluk tersebut, seperti
memberi atau mencegah gangguan, pengobatan dan sebagainya, maka ini termasuk syirik
kecil (tidak menyebabkan pelakunya keluar dari Islam, tapi merupakan dosa yang sangat
besar), karena kuatnya ketergantungan hati pelakunya kepada selain Allah Ta‟ala, dan juga
karena perbuatan ini merupakan pengantar kepada syirik besar, na‟uudzu bilahi min dzalik.
Sedangkan jika seorang melakukan usaha/sebab tanpa hatinya tergantung kepada sebab
tersebut serta dia meyakini bahwa itu hanyalah sebab semata, dan Allah-lah yang
menakdirkan dan menentukan hasilnya, maka inilah yang diperbolehkan bahkan dianjurkan
dalam Islam[14].
Penutup
Tawakkal yang sebenarnya kepada Allah Ta‟ala akan menumbuhkan dalam hati seorang
mukmin perasaan ridha kepada segala ketentuan dan takdir Allah, yang ini merupakan ciri
utama orang yang telah merasakan kemanisan dan kesempurnaan iman, sebagaimana sabda
Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam, “Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang
yang ridha dengan Allah Ta‟ala sebagai Rabb-nya dan islam sebagai agamanya serta (nabi)
Muhammad shallallahu „alaihi wa sallam sebagai rasulnya”[15].
Semoga Allah Ta‟ala memudahkan kita semua untuk mencapai kedudukan yang agung ini
dan semoga Dia senantiasa melimpahkan taufik-Nya kepada kita semua untuk memiliki sifat-
sifat mulia dan terpuji dalam agama-Nya.
صلى للا سلم تاسن على وثىا محمذ آل صحث أجمعه، آخش دعاوا أن الحمذ لل سب العالمه
Kota Kendari, 19 Rabi‟ul Tsani 1431 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
Zuhud dan Tawakal di 06:20
Diposkan oleh Riwayat Attubani
Pembelajaran Riwayat-Materi pembelajaran
1. Penegertian Zuhud
Secara bahasa kata zuhud berasal dari bahasa Arab – - berarti “meninggalkan”.Orang yang
zuhud disebut Zahid.
Menurut istilah zuhud didefenisikan dalam kalimat yang berbeda-beda namun tetap dalam arti yang
sama.
a. berpaling dan meninggalkan sesuatu yang disayangi bersifat material dan kemawahan duniawi
dengan mengharapkan sesuatu yang lebih baik dan bersifat spritual berupa kebahagiaan ukhrawi.
b. Menurut Imam al-Qusyairi Zuhud adalah tidak merasa bangga kemewahan dunia yang dimiliki dan
tidak merasa sedih ketika kehilangan harta
c. Menurut Imam Gazali, Zuhud adalah mengurangi keinginan untuk menguasai kemewahan dunia
sesuai dengan kadar kemampuannya
d. menurut Ali Bin abi Thaib zuhud berarti membatasi ambisi-ambisi duniawi, syukur setiap anugrah
dan menghindari apa yang telah haramkan oleh Allah swt.
Dari pendapat diatas dapat diambil pengertian bahwa Zuhud berarti suatu sikap hidup dimana
seseorang tidak terlalu mementingkan dunia dan harta kekayaan. Materi dan dunia ini hanya
merupakan sarana dan alat untuk mencapai tujuan yang hakiki yaitu kehidupan akhirat
Dengan demikian zuhud tidak berarti membuang harta benda dan menolak apa yang dibolehkan
akan tetapi zuhud berarti kita tidak boleh beranggapan bahwa apasaja yang kita miliki adalah lebih
utama dari pada apa yang ada disisi Allah swt.
2. Dalil yang terkait dengan bersikap Zuhud
Firman Allah swt.:
ط ) : 131)
Artinya:
“Dan janganlah engkau tunjukkan pandangan matamu kepada kenikmatan yang telah Kami berikan
kepada beberapa golongan dari mereka, (sebagai) bunga kehidupan dunia agar Kami uji mereka
dengan (kesenangan) itu. Karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal”.(Qs.Thaha : 131)
3. Contoh perilaku Zuhud
a. Senantiasa mensyukuri ni’mat yang diberikan Allah swt.
b. Senantisa merasa cukup meskipun harta yang dimiliki sekedar untuk memenuhi kebutuhan.
c. Orang yang memiliki kemampuan untuk hidup mewah, tetapi mereka tidak mau, sebab mereka
selalu membelajakan hartanya di jalan Allah swt. untuk mendaptkan keridhaan-Nya.
d. Tidak mencintai dunia secara berlebihan. Maksudnya adalah mencintai dunia sehingga melupakan
cintanya kepada Allah swt dan Rasul-Nya.
e. Tidak meninggalkan kehidupan dunia secara total namun Menjadikan kehidupan dunia menjadi
sarana yang menentukan kehidupan di akhirat.
Firman Allah swt.:
س ء ) :77)
Artinya:
“katakanlah kesenangan didunia ini hanya sebentar (sidikit) dan akhirat itu lebih baik bagi orang-
orang yang bertakwa.” (Qs. an-Nisa’: 77).
4. Upaya untuk membiasakan sifat zuhud
Seseorang yang ingin memiliki sifat zuhud setidaknya ia harus:
a. Jangan menjadikan dunia sebagai`tujuan hidup, jadikanlah dunia sebagai sarana atau alat untuk
mencapai tujuan hidup yang utama,karena kehidupan dunia bukanlah kehidupan yang hakiki tetapi
hanyalah kehidupan senda gurau dan sementara. Kehidupan dunia yang berlebih-lebihan dapat
mengantarkan manusia ke dalam kebinasaan.
Firman Allah swt.:
Artinya:
“Dan kehidupan dunia ini hanyalah senda gurau dan perainan. Dan sesungguhnya negeri akhirat
itulah kehidupan yang sebenarnya, sekiranya mereka mengetahui’.(Qs.al-Ankabut : 64)
b. Menyadari tugas manusia di dunia sebagai kekhalihan di permukaan bumi, yang akan diminta
pertanggung jawabannya di akhirat. Dengan demikian kita akan selalu menjadikan dunia sebagai
sarana untuk bebuat baik dan beribadah kepada Allah swt.
c. Selalu membiasakan diri untuk tidak meminta sesuatu yang berlebihan, menerima dengan lapang
dada hasil dari apa yang diuasahakan.
B. TAWAKAL
1. Pengertian tawakal
Menurut bahasa berasal dari bahasa arab wakkala yang artinya menyerahkan atau mempercayakan.
Menurut istilah, tawakkal didefenisikan dalam kalimat yang berbeda-beda namun tetap dalam arti
yang sama.
a. Menyerahkan segala perkara, ikhtiar dan usaha yang dilakukannya serta diri sepenuhnya untuk
mendapat manfaat atau menolak mudharat dari Allah swt.
b. Berserah diri kepada kehendak Allah swt.dan percaya dengan sepenuh hati atas keputusan-Nya.
c. Membebaskan hati dari segala ketergantungan kepada selain Allah swt. dan menyerahkan
keputusan segala sesuatu kepada-Nya.
d. Berserah diri kepada Allah swt dengan penuh keikhlasan baik dalam penderitaan, cobaan, maupun
kebahagiaan.
2. Dalil tentang tawakkal
س طال ) : 3)
Artinya :
“Dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.
Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang(dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah
mengadakan bagi tiap-tiap sesuatu.”(QS.At-Thalaq:3).
Hadist Nabi, artinya:
( ي ) ط ، ط ...
Artinya:
“Jikalau kamu tawakal kepada Allah dan berserah diri sepenuhnya, maka kamu akan mendapat rizki
seperti rizki burung-burung yang diwaktu pagi berada dalam keadaan lapar dan kembali sore dengan
perut kenyang.”(HR.Turmuzi).
3. Tingkatan tawakkal
Berdasarkan tingkatannya tawakkal dibagi menjadi beberapa tingkatan, diantaranya adalah:
a. Tawakkalul wakil, artinya sesorang yang mempercayakan urusannya kepada sang wakil yaitu Allah
swt. tawakkal seperti ini dilakukan oleh mukmin biasa.
b. Tawakkal Taslim, artinya seseorang ysng tidak membutuhkan sesuatu selain Allah swt. tingkatan
tawakkal seperti ini adalah tawakkalnya para Nabi/Rasul.
4. Contoh perilaku tawakkal
a. Selalu mempersiapkan diri terhadap kemungkinan yang terjadi pada dirinya. seperti bersyukur
apabila mendapat karunia ,jika tidak ia akan bersabar.
b. Tenang dalam menjalankan kehidupan, tidak pernah berkeluh resah dan gelisah.
c. Selalu giat bekerja dan ikhtiar, karena ia berprinsip bahwa langit tidak akan pernah menurunkan
hujan emas dan perak.
d. Selalu giat berdo’a kepada Allah
e. Menerima segala ketentuan Allah swt. dengan ridho terhadap dirinya dan keadaannya.
f. Berusaha memperoleh sesuatu yang dapat memberikan manfaat kepada orang lain.
5. Membiasakan diri berperilaku tawakal.
a. Membaca sejarah para Nabi dan Rasul Allah swt.sebagai suri tauladan dalam kehidupan kita.
Seperti kesabaran Nabi Ayyub as. Dari cobaan yang ditimpakan kepadanya dll.
b. Selalu giat bekerja, ikhtiar dan berdo’a.
c. Melatih kesabaran dengan memperbanyak ibadah sunah sesudah ibadah wajib.
d. Selalu memiliki sifat optimis dan tidak putus asa, dengan prinsip hidup tidak datu jalan keroma.
Kesimpulan
1. Zuhud dan tawakkal termasuk sifat yang terpuji.
2. Zuhud adalah mengurangi keinginan untuk menguasai kemewahan dunia sesuai dengan kadar
kemampuannya
3. Tawakkal adalah Berserah diri kepada kehendak Allah swt.dan percaya dengan sepenuh hati atas
keputusan-Nya.
Tawakal dalam menghadapi musibah
Pemakaian kata yang berasal dari bahasa lain sering kali mengalami pengurangan, penambahan atau
pergeseran makna. Distorsi atau pergeseran makna juga berlangsung ketika sejumlah kata atau
istilah dalam bahasa Alquran (Arab) masuk ke dalam khazanah Bahasa Indonesia.
Pemakaian kata tawakal misalnya telah mengalami unsur pejoratif sehingga terjadi reduksi,
depresiasi dan degradasi makna yang terkandung di dalamnya. Kata tawakal acap kali dipahami dan
dimaknai sebagai sikap pasrah dan menyerah atas suatu peristiwa atau keadaan. Ketika seorang
menengok sahabatnya yang sedang terkena musibah dan dia menganjurkan untuk bersabar dan
tawakal maka yang dimaksudkan pastilah saran untuk pasrah menerima kenyataan yang sedang
disandangnya. Tawakal juga sering dikaitkan dengan sikap putus harapan, frustrasi dan kehabisan
akal.
Pemahaman seperti di atas jelas menyesatkan karena tawakal mengandung arti yang lebih luas dan
mendalam daripada sekadar pasrah, menyerah dan bertentangan dengan sikap putus asa.
Dalam sebuah kesempatan Rasulullah menyatakan: �kalau kalian benar-benar bertawakal kepada
Allah, niscaya Allah akan memberi kalian rezeki sebagaimana burung-burung diberi rezeki; pagi-pagi
meninggalkan sarang dalam keadaan lapar dan sore pulang dalam keadaan kenyang� (HR Tirmidzi).
Pernyataan Rasulullah ini mengandung pesan bahwa kita tidak boleh berpangku tangan soal rezeki
tetapi harus berusaha mendapatkannya. Manusia hidup haruslah berusaha atau bekerja seperti
halnya burung-burung yang meninggalkan sarang mencari makan.
Tawakal bukanlah pasrah dan Apatis tetapi aktif berusaha dengan tenaga dan pikiran yang
dimilikinya.
Rasulullah suatu kali memberikan petunjuk dengan amat jelas tentang makna tawakal kepada orang
yang keliru memahaminya. Ketika ada orang yang membiarkan untanya tanpa diikat di tonggak atau
pohon dengan alasan tawakal kepada Allah, maka kemudian Rasulullah segera mengingatkan:
�ikatlah lebih dulu untamu itu baru kemudian engkau bertawakal� (HR Tirmidzi dan Ibnu Majjah).
Ketika musibah beruntun terjadi di negeri ini, baik darat, laut maupun udara, maka yang perlu
diupayakan ialah �menambatkan unta lebih dahulu� yakni secara preventif mencegah
kemungkinan terjadinya kecelakaan transportasi sebagai bagian dari sikap tawakal. Setiap orang
mengetahui bahwa benda yang dipakai dengan frekuensi tinggi dan dalam jangka waktu yang lama
pasti akan cepat menjadi aus. Demikian halnya dengan pesawat terbang, kapal laut, kereta api dan
bus yang setiap hari tidak pernah berhenti beroperasi pasti cepat aus komponen-komponennya
sehingga memerlukan perawatan dan pengawasan yang ketat. Disiplin dan kontrol yang ketat
terhadap kendaraan maupun manusianya mutlak dilakukan: apakah sebuah kendaraan laik jalan,
apakah sopir, masinis, nakhoda atau pilot siap menjalankan kewajibannya, dan seterusnya. Banyak
kecelakaan bus disebabkan rem blong atau sopir teler. Berkali-kali kereta Anjlog karena rel dan
bantalannya lapuk dimakan usia. Kesadaran yang sama hendaknya juga dimiliki penumpang untuk
membeli karcis dan tidak memaksakan diri ketika kendaraan telah melewati daya tampung dan daya
angkut.
Lebih jauh, kata tawakal dengan berbagai derivasinya disebut sebanyak 43 kali dalam Alquran.
Sebagian dari jumlah tadi bergandengan dengan kata sabar, salah satunya dalam surah An-Nahl ayat
42 yang berbunyi: �Yaitu orang-orang yang sabar dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal.�
Maka, kata tawakal bergandengan dengan sabar mengandung pesan agar ulet, tekun dan sungguh-
sungguh dalam mengupayakan segala sesuatu agar terhindar dari berbagai musibah yang dapat
mengancam dirinya.
Bagaimana dengan musibah yang diakibatkan gempa bumi, angin topan dan sebagainya? Marilah
kita simak firman Allah yang berbunyi: �Tiada suatu bencana pun yang ada di bumi dan pada dirimu
sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang
demikian itu mudah bagi Allah, agar kamu tidak sampai berputus asa ketika mendapat kecelakaan
dan jangan pula terlalu gembira atas keberuntungan yang kamu peroleh, sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang berlebih-lebihan.� (QS 57: 22-23). Barangkali sebagian peristiwa di muka
bumi ini memang menjadi rahasia dan kehendak Allah yang tidak dapat terjangkau akal pikiran ini
manusia yang demikian terbatas.
Namun satu hal yang pasti ialah bahwa setiap muslim wajib mempersiapkan masa depan yang lebih
baik. Dan dalam perspektif yang lebih luas setiap individu sesungguhnya, dalam batas-batas
tertentu, memiliki peluang untuk �menentukan� hari esok yang lebih baik tadi. Bukankah Allah
mempersilakan manusia untuk memilih jalan kebajikan atau jalan kejahatan sebagaimana firman-
Nya, �Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan?� (QS 90:10). Dan Allah pula yang
berpesan: �....dan janganlah kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.� (QS:3: 102).
Berdasarkan uraian di atas, setiap muslim wajib bertawakal dalam pengertian berusaha dan berdoa
agar terhindar dari beragai bencana atau musibah. Adapun peristiwa yang telah berlalu adalah
kehendak Allah yang tidak seorang pun mengetahui sebelumnya. Semua itu hendaknya menjadi
pelajaran bagi setiap muslim agar dapat mengendalikan diri, baik ketika keberuntungan datang
maupun ketika kemalangan menimpa. Allah tidak suka orang-orang yang berlebih-lebihan, baik di
kala suka maupun duka. Wallahu'alam bish shawab. - A Dahlan Rais, Dosen UNS, sekretaris PP
Muhammadiyah
Keimanan kepada Allah SWT Melalui
Pemahaman Sifat-Sifat-Nya
Pembelajaran Riwayat.net-
A. Pengertian Iman Kepada Allah
Secara bahasa iman berarti percaya atau yakin. Menurut istilah iman adalah meyakini dalam hati,
mengucapkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan perbuatan. Sebagian ulama merumuskan
iman adalah:
س
Arinya:
Iman adalah dibenarkan dengan hati, diucapkan dengan lidah, dan dibuktikan dengan perbuatan.
Dengan demikian ada tiga unsur pengertian iman, yaitu hati, lisan dan amal perbuatan. Namun, di
antara ketiga indikator tersebut, iman lebih menekankan pada aspek qalbu (hati) lalu akan tercermin
dalam perkataan dan perbuatan.
Iman kepada Allah adalah meyakini sepenuh hati bahwa Allah itu benar-benar ada dan Dialah yang
menciptakan, memelihara dan mengatur alam semesta.
Untuk meningkatkan iman kepada Allah, kita perlu mengenal Allah. Adapun cara mengenal Allah
adalah dengan mengenal sifat-sifat-Nya.
B. Sifat-sifat Allah
Secara garis besar, sifat Allah ada tiga, yaitu:
a. Sifat wajib, yaitu sifat kesempurnaan yang pasti dimiliki Allah. Jumlah sifat ini ada 13.
b. Sifat mustahil, yaitu sifat-sifat yang tidak mungkin atau mustahil ada pada Allah. Sifat ini
merupakan lawan atau kebalikan dari sifat wajib.
c. Sifat jaiz, yaitu sifat mungkin bagi Allah untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Sifat ini
merupakan hak peroregatif Allah. Jumlahnya hanya satu, yaitu wewenang Allah untuk berbuat atau
tidak menurut kehendak-Nya. Misalnya menciptakan jenis pepohonan, jenis binatang, dan
sebagainya.
C. Klasifikasi sifat wajib bagi Allah
Sifat wajib bagi Allah itu dapat diklasifikasikan menjadi empat macam, yaitu:
1. Nafsiyah artinya diri atau dzat, yaitu sifat hakikat dzat Allah itu sendiri mutlak ada.
2. Salbiyah artinya bertentangan, yaitu sifat yang hanya ada pada Allah semata dan bertentangan
dengan sifat makhluk yang Dia ciptakan.
3. Ma’ani artinya hakikat, yaitu hakikatnya sifat Allah, tetapi sebagian kecil darinya dianugerahkan
Allah kepada makhluk-Nya.
4. Ma’anawiyah artinya hakikat yang sempurna, yaitu sifat ke-maha-an yang mutlak milik Allah
semata tanpa diberikan kepada makhluk-Nya.
D. Sifat Wajib dan Mustahil
Sifat wajib dan mustahil bagi Allah yang wajib diketahui ada 13, yaitu:
No Sifat Wajib Sifat Mustahil Keterangan
Sifat Arti Sifat Arti
1 Ada Tiada Sifat Nafsiyah
2 Terdahulu Baru Sifat Salbiyah
Binasa ء Kekal ء 3
4 Berbeda dengan makhluk Serupa dengan makhluk
Berdiri sendiri Membutuhkan bantuan lain س 5
6 Esa Berbilang
7 Kuasa Lemah Sifat Ma’ani
8 Berkehendak Terpaksa
9 Mengetahui Bodoh
10 Hidup Mati
Mendengar Bisu س 11
12 Melihat Buta
ال 13 Berfirman Bisu
Ulama lain ada yang menambahkan tujuh sifat lain dan digolongkan ke dalam sifat maknawiyah,
sehingga sifat wajib Allah tersebut berjumlah dua puluh. Ketujuh sifat itu adalah:
No Sifat Wajib Sifat Mustahil Keterangan
Sifat Arti Sifat Arti
1 Maha Kuasa Maha Lemah Sifat Maknawiyah
2 Maha Berkehendak Maha Terpaksa
3 Maha Mengetahui ال Maha Bodoh
4 Maha Hidup Maha Mati
Maha Mendengar Maha Tuli س 5
6 Maha Melihat Maha Buta
7 Maha Berfirman Maha Bisu
D. Sifat-sifat Allah dan Dalilnya
1. Wujud
Allah itu bersifat wujud artinya Dia mutlak ada. Adanya makhluk merupakan salah satu bukti adanya
Allah. Jadi mustahil Allah itu tiada. Dalilnya surat ad-Dukhan/44 ayat 7 – 8:
. س
Artinya:
Tuhan Yang memelihara langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, jika kamu adalah
orang yang meyakini. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menghidupkan
dan Yang mematikan (Dialah) Tuhanmu dan Tuhan bapak-bapakmu yang terdahulu.
2. Qidam
Allah itu bersifat terdahulu atau tidak berawal, dan mustahil ia baru atau berawal. Buktinya, segala
sesuatu yang ada ini memiliki asal. Asal mula dari segala sesuatu itu adalah atas ciptaan yang Maha
Pencipta, Dialah Allah yang terdahulu dari segala sesuatu dan ada-Nya tersebut tidak berawal.
Sebab, jika ia berawal, lalu siapa pula yang mengawali Dia?. Ingat, jangan samakan Allah dengan
makhluk, termasuk kita sendiri yang memiliki asal dan berawal dari sesuatu. Oleh karena itu, sifat ini
disebut salbiyah, karena berlainan dengan sifat makhluk-Nya.
Dalil naqlinya surat al-hadid/57 ayat 3:
ء ط
Artinya:
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir dan Yang Bathin ; dan Dia Maha Mengetahui segala
sesuatu.
3. Baqa’
Allah itu kekal, dan mustahil binasa. Semua makhluk, seperti gunung, manusia, hewan, tumbuhan,
termasuk bumi ini pasti akan binasa. Hanya Allah yang kekal, sebab Dialah yang akan menentukan
akhir dari segala-galanya.
Dalilnya surat ar-Rahman/55: 26 – 27:
ال .
Artinya:
Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran
dan kemuliaan.
4. Mukhalafatu lil hawadits
Allah itu berbeda dengan makhluk-Nya, sebab Dialah yang menciptakan makhluk itu sendiri. Allah
sebagai khaliq pasti tidak sama dengan makhluk (ciptaan-Nya). Dengan demikian, mustahil Allah
serupa dengan makhluk-Nya.
Dalilnya surat as-Syura’/42 ayat 11:
ء س
Artinya:
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.
5. Qiyamuhu bi nafsihi
Allah itu berdiri sendiri dan tidak membutuhkan suatu apa pun dalam mengurus makhluk-Nya, sebab
segala sesuatu selain Dia adalah makhluk (ciptaan)-Nya. Berbeda dengan manusia, pasti
membutuhkan bantuan dan pertolongan pihak lain dalam kehidupannya. Jadi, mustahil Allah
membutuhkan pertolongan pihak lain.
Dalilnya surat Ali Imran/3 ayat 255:
Artinya:
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang hidup kekal lagi terus menerus
mengurus makhluk-Nya.
6. Wahdaniyah
Allah itu Esa dan mustahil Dia berbilang. Ke-esa-an Allah menunjukkan kesempurnaan-Nya. Sebab
jika tuhan lebih dari satu, pastilah ia tidak sempurna. Agama lain juga mengakui adanya tuhan yang
maha esa, tetapi konsep keesaan tuhan mereka masih mengandung unsur syirik, sebab adanya
kekuatan lain selain tuhan, apakah itu berbentuk ”anak”, ”dewa”, dan sebagainya. Sementara
konsep ke-Esa-an dalam Islam adalah Allah mutlak Esa, tidak ada kekuatan apa pun yang ada apalagi
yang setara dengan-Nya, sebab selain Dia disebut makhluk, yaitu ciptaan-Nya sendiri. Oleh karena
itu, jangan pernah mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun. Kemudian, Dia juga tidak
beranak dan tidak pula diperanakkan.
Dalilnya surat al-Ikhlas/112 ayat 1 – 4
٤ ٣ ٢ ١
Artinya:
Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala
sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara
dengan Dia".
7. Qudrat
Allah itu bersifat kuat atau berkuasa dan mustahil Ia lemah. Terjadinya alam semesta, berbagai
keindahan alam yang kita saksikan, dan berbagai keajaiban yang menakjubkan dalam pandangan
mata merupakan bukti bahwa Allah itu berkuasa atas segala sesuatu. Lalu kita merasa kuat dan
berkuasa dalam melakukan pekerjaan, hal ini juga dapat terjadi karena Allah memberikan qudrat
kepada manusia.
Dalilnya surat al-Baqarah/2 ayat 20:
ء
Artinya:
Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.
8. Iradat
Allah bersifat berkehendak atas segala sesuatu yang Dia perbuat, dan mustahil Dia terpaksa.
Kehendak Allah itu tidak bisa dipengaruhi oleh pihak lain. Namun kehendak Allah itu sangat adil.
Dalilnya surat Yasin/36: 82
Artinya:
Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya:
"Jadilah!" maka terjadilah ia.
9. Ilmu
Allah itu maha mengetahui, mustahil ia bodoh. Buktinya, keindahan alam semesta, berbagai
fenomena yang muncul dan beragam jenis makhluk yang ada merupakan sebagian bukti akan
pengetahuan Allah. Ilmu Allah itu tidak tergantung kepada masa dan tempat. Kapan dan dimana pun
Allah pasti mengetahui segala sesuatu, masa lalu, sekarang dan yang akan datang pasti diketahui
Allah. Bahkan sekecil apapun yang terniat di hati kita Dia pasti mengetahuinya.
Dalilnya surat al-Hujurat/49: 16
ء س
Artinya:
Katakanlah: "Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu, padahal Allah
mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu?"
10. Hayat
Allah bersifat hidup, dan mustahil ia mati. Buktinya, segala yang hidup di muka bumi ini pastilah ada
yang menghidupkan. Dengan demikian, Allah itu hidup lagi menghidupkan dan akan tetap hidup
selamanya. Sementara manusia dan makhluk lainnya juga hidup tetapi dihidupkan dan
kehidupannya pasti akan berakhir dengan kematian.
Dalilnya surat al-Baqarah/2 ayat 255:
س
Artinya:
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus
mengurus (makhluk-Nya). tidak mengantuk dan tidak tidur.
11. Sama’
Allah itu bersifat mendengar dan mustahil Dia tuli. Pendengaran Allah tidak terhalang oleh jarak,
waktu, dan tempat tertentu. Oleh karena itu, Allah senantiasa mendengar segala gerak-gerik, ucapan
dan bisikan makhluk-Nya, termasuk ucapan dalam hati.
Dalilnya surat al-Anbiya’/21: 4
س س ء
Artinya:
Berkatalah Muhammad (kepada mereka): "Tuhanku mengetahui semua perkataan di langit dan di
bumi dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".
12. Bashar
Allah itu bersifat melihat dan mustahil Dia buta. Penglihatan Allah juga tidak terhalang oleh tempat,
waktu dan masa. Meskipun semut hitam berada di atas batu hitam di tengah malam kelam, Allah
juga pasti melihat. Demikian juga setiap perbuatan makhluk-Nya, Allah pasti melihatnya.
Dalilnya surat al-An’am/6 ayat 103:
ط
Artinya:
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan
Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.
13. Kalam
Allah itu bersifat kalam atau berfirman. Buktinya, Allah menurunkan kitab kepada nabi-Nya,
termasuk al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman dan petunjuk bagi umat
Muhammad yang ingin hidupnya selamat dunia dan akhirat. Dengan demikian mustahil Allah itu
bisu.
Dalilnya surat an-Nisa’/4 ayat 164:
س
Artinya:
Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung.
E. Perilaku yang ditampilkan sebagai cerminan keyakinan akan sifat Allah
Banyak pelajaran hal yang dapat kita petik dari adanya keyakinan terhadap sifat-sifat Allah sehingga
mempengaruhi perilaku kita. Seperti sifat nafsiyah, yaitu wujud, mengajarkan kepada kita bahwa
hanya Allah yang mutlak ada. Adanya alam ini, termasuk adanya diri kita sendiri tentulah karena
adanya Allah. Pada hakekatnya yang ada hanyalah dua, yaitu: khaliq (Sang Pencipta), dan makhluq
(yang diciptakan). Adanya khaliq tidak berawal dan tidak berakhir, sementara adanya makhluq
karena diciptakan oleh sang khaliq. Dengan keyakinan seperti itu, maka setiap mukmin mestinya
merasakan bahwa Allah senantiasa ada kapan dan dimana pun ia berada.
Sifat salbiyah menunjukkan bahwa Allah tidak sama dengan makhluk-Nya serta membuktikan bahwa
Allah adalah Tuhan yang benar dan berhak untuk disembah secara meyakinkan dan rasional. Dia ada
dengan sendiri-Nya dan kekal selama-lamanya. Dia juga Esa (wahdaniyah) dan ke-esa-an Allah itu
berbeda dengan konsep ke-esa-an dalam agama/kepercayaan di luar Islam. Dengan sifat
wahdaniyah, tidak satu pun sekutu Allah, baik dalam bentuk anak, teman, atau tandingannya.
Bahkan kekuatan sekecil apapun tidak akan pernah ada selain apa yang telah diciptakan Allah. Dia
tidak pernah membutuhkan yang lain karena Dia berdiri dengan sendiri-Nya (qiyamuhu bi nafsihi).
Maka perilaku yang mencerminkan keyakinan ini adalah adanya keimanan yang kuat tanpa adanya
keraguan sedikit pun terhadap kebenaran Allah sebagai Tuhan yang menciptakan dan memelihara
alam semesta, termasuk diri kita sendiri. Kemudian jangan pernah memohon pertolongan kepada
sesuatu kecuali hanya kepada Allah.
Demikian pula sifat mukhalafatu lilhawadis menunjukkan bahwa Allah itu berbeda dengan makhluk-
Nya, sebab Dia-lah yang menciptakan makhluk itu. Oleh karena itu, setiap mukmin tidak boleh
membayangkan bentuk Allah, sebab bentuk apapun yang ada dalam pikiran dan yang dikenal
manusia adalah makhluk, sementara Allah berbeda dengan makhluk.
Adapun sifat ma’ani menunjukkan bahwa Allah sangat menyayangi makhluk-Nya terutama manusia.
Salah satu buktinya adalah Dia lengkapi manusia dengan berbagai potensi, termasuk potensi ma’ani,
yaitu manusia memiliki kekuatan, kehendak, pengetahuan, hidup, pendengaran, pengliahatan dan
mampu berbicara. Oleh karena itu, setiap mukmin tidak boleh sombong. Kita bisa berilmu karena
Allah yang memberikan kita ilmu, kita kuat karena Allah yang memberikan kekuatan, kita hidup
karena Allah yang menghidupkan, kita bisa mendengar karena Allah yang memberikan pendengaran,
begitu seterusnya. Kita juga harus mempertanggungjawabkan potensi-potensi itu di hadapan Allah
dengan cara memanfaatkannya sebagaimana yang diperintahkan Allah.
Selain itu, sifat ma’ani juga menunjukkan bahwa Allah senantiasa mengawasi dan memelihara
makhluk-Nya. Maka jangan pernah melupakan Allah kapan dan dimana pun kita berada, sebab apa
pun yang kita kerjakan tidak pernah terlepas dari pengawasan Allah yang nantinya akan dibalasinya
sesuai dengan amal perbuatan kita.
Sementara sifat maknawiyah menunjukkan bahwa Allah memiliki sifat Maha Sempurna. Meskipun
Allah memberikan berbagai potensi kepada manusia, seperti kekuatan, kehendak, pengetahuan,
hidup, mendengar, melihat, dan berbicara, namun pada hakekatnya semua itu ada pada milik Allah
secara sempurna. Dengan demikian, manusia tidak boleh menganggap diri paling baik apalagi
sempurna. Manusia harus senantiasa taat kepada aturan Allah secara ikhlas dengan kesadaran diri
sebagai hamba dan ciptaan-Nya.
Musibah Pelebur Dosa
musibah gempa
Dalam sebuah hadis disebutkan, kelak pada hari kiamat akan didatangkan seorang penduduk
dunia yang paling mendapatkan nikmat dari penghuni neraka. Lalu ia dicelupkan ke dalam
neraka dengan sekali celupan. Kemudian ditanya, “Wahai anak keturunan Adam, apakah
kamu pernah melihat kebaikan? Apakah kamu pernah mendapatkan kenikmatan?” la
menjawab, “Tidak, demi Allah, wahai Tuhanku.”
Lantas didatangkan seorang yang paling menderita di dunia dari penduduk surga, lalu ia
dicelupkan ke dalam surga sekali celupan. Lantas ditanya, “Wahai anak keturunan Adam,
pernahkah kamu melihat penderitaan? Pernahkah kamu merasakan kesengsaraan?”
la pun menjawab, “Tidak demi Allah, wahai Tuhanku. Tidak pernah aku mengalami
penderitaan dan tidak pernah melihat kesengsaraan.” (HR Muslim).
Secara kasat mata, ada segolongan manusia yang menderita secara fisik karena baru saja
ditimpa bencana serta kehilangan harta benda yang dimiliki. Tapi, bagi manusia beriman,
cobaan fisik seperti itu tak membuatnya sakit berkepanjangan.
Musibah yang menimpa tidak menjadikannya berputus asa dari karunia-Nya. Ujian yang
diterima justru dijawab dengan tetap beribadah kepada-Nya, bahkan semakin mendekatkan
diri kepada-Nya.
Dengan sikap tawakal dan sabar, insya Allah, dia tak akan merasakan sakitnya musibah
ketika hidup di dunia, karena Allah SWT menggantinya dengan kenikmatan tiada tara.
Sebagai balasan atas keimanannya kepada Yang Maha kuasa, dia akan tetap dapat bertahan di
tengah cobaan hidup yang bertubi-tubi.
Kadar iman dan takwa mendorongnya untuk mengatakan kepada Sang Pencipta, Innaa
lillaahi wa innaa ilaihi raaji‟uun, “Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nyalah
kami kembali.” (QS. Al-Baqarah [2]: 156).
Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah menyebutkan, orang-orang beriman ketika tertimpa
musibah dan cobaan, akan berusaha mengobati sendiri. Caranya, pertama, menyadari
sepenuhnya dunia adalah tempatnya ujian, petaka, dan musibah.
Kedua, melihat sekelilingnya bahwa masih banyak musibah lain yang jauh lebih besar dari
musibah yang menimpa orang lain. Ketiga, menyerahkan kepada Allah SWT seraya
mengharap pahala atas musibah yang menimpanya, serta meminta ganti yang lebih baik
hanya kepada-Nya.
Keempat, meyakini bahwa cobaan dan musibah sebagai pelebur dari dosa-dosanya yang
telah lalu. Rasululah SAW bersabda, “Senantiasa cobaan menimpa laki-laki dan perempuan
yang beriman pada tubuhnya, harta, dan anaknya, sehingga ia berjumpa dengan Allah SWT
dalam keadaan tidak memiliki dosa.” (HR Ahmad dan At-Tirmidzi)
MENGAKTIFKAN INDERA KEENAM
UNTUK MELIHAT ALLAH SWT
Dan barang siapa di dunia ini buta hatinya, maka di akhirat nanti juga akan buta,
dan lebih sesat lagi jalannya.
(QS. Al-Israa‟ [17]: 72)
Mendengar kata „indera keenam‟ pasti yang terbayang dalam benak kita adalah orang-
orang sakti yang memiliki ilmu kanuragan tinggi, sakti mandraguna, bisa melihat apa yang
orang lain tidak bisa lihat, dan bisa merasakan apa yang orang lain tidak rasakan. Manusia
sebenarnya memiliki enam indera. Namun yang kita tahu selama ini hanyalah lima indera
saja atau yang biasa disebut „panca indera‟. Fungsi dan mekanisme kerja indera keenam dan
panca indera sangat berbeda.
Panca indera terdiri dari mata, telinga, hidung, lidah dan kulit. Mata, digunakan untuk
melihat. Hanya dapat melihat sesuatu apabila ada cahaya. Secara fisika, benda dapat kita lihat
karena benda tersebut memantulkan cahaya ke mata kita. Jika tidak ada pantulan cahaya,
meskipun di depan kita ada suatu benda, benda tersebut tidak akan bisa kita lihat. Misalnya
dalam kegelapan, kita bahkan tidak akan mampu melihat tangan kita sendiri. Maka
bersyukurlah kepada Allah SWT karena diberikannya sinar atau cahaya.
Indera penglihatan ini memiliki keterbatasan. Ia hanya mampu melihat jika ada pantulan
cahaya pada frekuensi 10 pangkat 14 Hz. Mata tidak bisa melihat benda yang terlalu jauh.
Tidak bisa melihat benda yang terlampau kecil seperti sel-sel ataupun bakteri. Tidak bisa
melihat benda yang ada dibalik tembok. Bahkan mata kita sering „tertipu‟ dengan berbagai
kejadian. Misalnya pada siang hari yang terik, dari kejauhan terlihat air yang mengeluarkan
uap di atas jalan beraspal. Namun apabila kita mendekat ternyata yang kita lihat tidak benar
adanya. Ini yang kita sebut fatamorgana. Tipuan lain adalah pembiasan benda lurus dalam air,
sehingga benda tersebut kelihatan bengkok. Bintang yang kita lihat di langit sangat kecil
ternyata sungguh sangat besar, dan lebih besar dari bumi yang kita tempati.
Penglihatan oleh mata kita sangat kondisional, seringkali tidak „menceritakan‟ keadaan
yang sesungguhnya pada otak kita. Bukti-bukti di atas memberikan gambaran bahwa indera
mata kita mengalami distorsi alias penyimpangan yang sangat besar. Namun, mata inilah
yang kita gunakan untuk melihat dan memahami dunia nyata yang ada di luar diri kita.
Matapun tidak bisa melihat apa yang ada dalam diri kita dan yang ada dalam diri orang lain.
Apa yang orang lain pikirkan dan rasakan tidak bisa dilihat oleh mata. Mata sungguh sangat
terbatas.
Namun keterbatasan ini harus pula kita syukuri. Bayangkan saja apabila mata kita bisa
melihat benda yang ukurannya mikroskopis seperti bakteri ataupun jamur. Maka kita tidak
akan bisa makan dengan tenang dan nikmat, sebab semua makanan yang kita makan
mengandung bakteri dan jamur yang bentuknya sangat menyeramkan. Satu menit saja kita
menyimpan makanan dalam keadaan terbuka maka jamur dan bakteri sudah ada pada
makanan tersebut. Atau seandainya mata kita tidak terbatas, maka kita akan bisa melihat
setan-setan dan jin-jin yang berkeliaran di sekitar kita, dapat melihat orang di balik tembok,
dapat melihat proses pencernaan yang terjadi dalam tubuh kita sendiri sehingga menjadi
kotoran. Sungguh kehidupan kita akan sangat menyeramkan.
Indera selanjutnya adalah telinga. Ia merupakan organ tubuh yang digunakan untuk
mendengarkan suara. Telinga hanya bisa mendengar suara pada frekuensi 20 s/d 20 ribu Hz.
Suara yang memiliki frekuensi tersebut akan menggetarkan gendang telinga kita, untuk
kemudian diteruskan ke otak oleh saraf-saraf pendengar. Hasil dari interpretasi otak, suara
dapat ditandai dan dikerahui. Apabila suara getarannya dibawah 20 Hz maka suara tidak bisa
didengar, dan apabila melebihi 20 ribu Hz maka suarapun tidak akan mampu didengar dan
bahkan gendang telinga akan pecah alias rusak.
Pada intinya telinga kitapun memiliki keterbatasan layaknya mata. Allah SWT
memberikan batasan pendengaran pada kita sebagai karunia dan rahmat yang harus pula kita
syukuri. Bayangkan saja jika pendengaran kita tidak dibatasi, maka kita akan bisa
mendengarkan suara-suara binatang malam, juga kita bisa mendengarkan suara jin sedang
bercakap-cakap, dan lain sebagainya, maka hidup kitapun tidak akan tenang.
Indera yang ketiga adalah hidung. Indera ini digunakan untuk merasakan bau. Di dalam
rongga hidung terdapat saraf-saraf yang akan menerima rangsangan bau yang masuk.
Selanjutnya saraf menghantarkannya ke otak untuk diterjemahkan. Sebagaimana mata dan
telinga, hidung juga memiliki keterbatasan kemampuan. Misalnya, apabila hidung kita
menerima aroma makanan yang terlalu pedas maka kita akan bersin-bersin. Apabila hidung
sering merasakan bau busuk maka kepekaannya terhadap bau busuk akan hilang. Misalnya
kita tinggal di lingkungan yang banyak sampah berbau busuk. Awalnya kita amat terganggu
dan tidak tahan dengan bau tersebut, namun lama kelamaan kita tidak akan merasakan bau
busuk tersebut.
Indera keempat dan kelima adalah indera pengecap dan peraba, yakni lidah dan kulit.
Lidah digunakan untuk mengecap rasa, sedangkan kulit untuk merasakan kasar, halus, panas,
dingin, dan lain-lain. Kedua indera inipun memiliki keterbatasan dalam memahami fakta
yang ada di luar dirinya. Kalau kulit kita dibiasakan dengan benda kasar terus dalam kurun
waktu yang lama, maka kepekaan kulit kita untuk memahami benda yang halus juga akan
berkurang. Begitu juga dengan kemampuan lidah kita. Dalam kondisi tertentu, misalnya kita
terbiasa dengan makanan pedas, maka lidah tidak akan merasakan enaknya makanan yang
tidak terasa pedas.
Dengan berbagai penjelasan di atas tidak diragukan lagi bahwa lima indera yang kita
miliki semuanya serba terbatas, kondisional, dan seringkali tertipu oleh hal-hal yang
sebenarnya jelas namun terinterpretasi secara tidak jelas. Sebenarnya manusia memiliki
indera yang lebih hebat lagi dibandingkan dengan panca indera. Itulah indera keenam. Setiap
orang memiliki indera keenam yang bisa berfungsi melihat, mendengar, merasakan, dan
membau sekaligus. Indera tersebut yakni hati kita. Akan tetapi beberapa potensi fungsi hati
di atas tidak pernah mampu kita maksimalkan. Kenapa? karena memang kita tidak pernah
melatihnya.
Manusia terlahir sudah memiliki indera keenam yang berfungsi dengan baik. Karena itu
seorang bayi dapat melihat „dunia dalamnya‟. Ia menangis dan tertawa sendiri karena melihat
ada „dunia lain‟. Seorang anak pada masa balitanya bisa melihat dunia jin misalnya. Akan
tetapi seiring dengan bertambahnya waktu, kemampuan indera keenam tersebut menurun
drastis. Sebabnya adalah orang tua kita tidak melatih indera keenam kita. Mereka lebih
melatih panca indera kita untuk memahami dunia luar. Orangtua kita sangat risau apabila kita
tidak bisa menggunakan panca indera kita dengan baik. Namun sebenarnya kemampuan
penginderaan hati kita jauh lebih dahsyat.
Hati kita bisa merasakan, melihat, dan mendengar apa yang tidak dirasakan, dilihat, dan
didengar oleh panca indera. Kita bisa „kenalan‟ dengan Allah SWT hanya dengan cara
mengaktifkan fungsi hati kita dengan baik. Kita bisa melihat Allah hanya dengan hati kita,
bukan dengan mata. Kita bisa merasakan adanya Allah bukan dengan kulit kita, namun
dengan hati. Allah SWT sudah mengingatkan kita dalam Alqur‟an akan pentingnya
menghidupkan hati, dalam Alqur‟an surat Al-Israa‟ [17] ayat 72 disebutkan:
“dan barang siapa di dunia ini buta hatinya, maka di akhirat nanti juga akan buta, dan
lebih sesat lagi jalannya”.
Rasulullah SAW pernah mengingatkan para sahabat akan pentingnya mengedepankan
fungsi hati sebagai raja bagi kehidupan. Apabila kita menjadikan akal kita sebagai raja dan
hati menjadi pengawalnya, maka tunggulah kehancuran hidup kita. Hati kita akan tertutup
dengan bercak hitam sehingga kita tidak mampu mengenal Allah. Akal menjadi raja untuk
diri kita karena kita membiasakan diri menilai kebahagiaan hidup hanya melalui apa yang
dirasakan di dunia ini saja. Yang dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dirasakan oleh lidah
dan kulit, semuanya diinterpretasikan di otak (akal). Sehingga kitapun lebih memercayai rsio,
logika dan nalar kita untuk mengukur kebahagiaan hidup. Pola ini akan membawa kita pada
pola hidup yang mengandalkan akal dan mengesampingkan hati nurani. Banyak orang yang
pintar dan cerdas dalam menguasai suatu ilmu namun kering akan ruhani ketuhanan. Mereka
tidak mampu melihat sesuatu yang metafisik, sesuatu dibalik segala ciptaan yang tak terbatas.
Mereka akhirnya juga tidak mampu mereguk nikmatnya ibadah dan tidak mampu merasakan
kehadiran Allah SWT.
Berbeda halnya apabila hati kita yang menjadi raja bagi diri kita. Kita akan bisa
merasakan kehadiran Allah SWT dalam hidup kita. Dalam kehidupan sosial, kita juga bisa
merasakan apa yang orang lain rasakan (peka). Oleh karena itu jadikanlah hati sebagai raja
bagi diri kita.
Orang yang tidak melatih hatinya saat hidup di dunia – sehingga hatinya tertutup – maka
mereka akan dibangkitkan oleh Allah SWT di akhirat nanti dalam keadaan buta. Dalam surat
Thahaa [20] ayat 124 disebutkan:
“Barangsiapa yang berpaling dari peringatanKu, maka sesungguhnya baginya
penghidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan
buta”.
Lalu, bagaimanakah cara melatih hati kita untuk bisa „melihat‟ Allah SWT? Mari kita
menuntut ilmu demi mengharap ridha Allah SWT, bekerja karena Allah SWT, sholat, puasa,
bersedekah, dzikir, do‟a, dan semua bentuk ibadah adalah karena Allah SWT, dengan hati
yang tulus dan ikhlas. Insya Allah kita akan bisa melihat Allah SWT di dunia ini dan juga di
akhirat kelak. Wallahu a‟alam bi showab.
Muhammad Nizaar
Pengurus Takmir Masjid Baitul Qohhar UII Cik Ditiro\
Sifat-sifat Roh (Hati)
Roh yang ada di dalam diri kita ini terlalu abstrak (seni). Sifatnya sensitif, selalu berubah-
ubah, sekejap baik dan sekejap jahat. Perubahan ini berlaku terlalu cepat sekali sehingga
susah untuk kita mengesannya. Ini menyebabkan banyak sifat-sifat yang baik telah terabai
dan sifatsifat yang buruk (jahat) dibiarkan bermaharajalela dalam diri sama ada disengaja
atau tidak, disedari atau tidak.
Sifat-sifat roh terbahagi kepada dua iaitu:
1. Sifat-sifat mahmudah (sifat positif atau sifatsifat yang baik) 2. Sifat-sifat mazmumah (sifat negatif atau sifatsifat yang keji)
Pertama: Sifat-sifat mahmudah
antaranya: a) jujur b) ikhlas c) tawadhuk d) amanah e) taubat f) sangka baik g) pemaaf h)
pemurah i) syukur j) zuhud k) tolak ansur (timbang rasa) l) sabar m) redha n) berani o) lapang
dada p) lemah lembut q) kasih sayang r) selalu ingat mati s) tawakal t) takut Allah
Kedua: Sifat-sifat mazmumah
di antaranya:
1. riyak 2. ujub 3. sum’ah 4. takabur atau sombong 5. hasad dengki 6. pemarah 7. dendam 8. bakhil 9. penakut 10. cinta dunia 11. gila pangkat 12. gila puji 13. jahat sangka 14. putus asa 15. tamak
Kajian terhadap sifat-sifat mahmudah dan mazmumah ini sangat penting kerana dengan
adanya ilmu ini memudahkan seseorang itu mengenal hakikat dirinya. Yakni, kenal sungguh
tentang sifat batinnya. Bila sifat baik dan sifat jahat sudah dikenal pasti ada dalam diri
seseorang itu maka tindakan yang perlu dilakukan ialah:
1. Sifat-sifat yang terpuji (mahmudah) itu hendaklah kita pertahankan, suburkan, pertajamkan dan kekalkan kerana sifat-sifat ini dikehendaki dan diperintahkan oleh Allah dan Rasul serta digemari oleh manusia seluruhnya, yang mana itulah bunga diri pada seseorang.
2. Sifat-sifat yang terkeji (mazmumah) pula hendaklah ditumpaskan, dikikis, dibuang, dihapus dan dicabut. Ini perlu dilakukan melalui proses mujahadatun nafsi (melawan hawa nafsu). Yakni melalui latihan terus-menerus terhadap nafsu (riadatun nafsi). Wajib dicabut buang sifat-sifat keji ini kerana sifat-sifat ini sangat dibenci oleh Allah dan rasul serta dibenci oleh manusia seluruhnya.
Untuk mendapat akhlak yang baik (terpuji) macamlah proses mendapatkan buah yang baik
dan manis. Ia didapati setelah ditanam daripada benih-benih yang baik dan manis. Begitulah
juga untuk melahirkan perbuatan dan tindakan yang baik serta akhlak yang baik itu adalah
dengan menanam benih-benih yang baik di dalam roh (hati). Yakni benih-benih sifat-sifat
mahmudah seperti kasih sayang, rasa simpati, rasa malu, sukakan ilmu pengetahuan,
pemurah, pemaaf, sabar dan lain-lain lagi.
Buah yang masam adalah hasil ditanam benih yang masam. Begitulah perbuatan atau
tindakan yang buruk atau akhlak yang buruk (keji) adalah berpunca daripada ditanam benih-
benih yang keji (mazmumah) di dalam roh (hati).
Adapun benih-benih mahmudah dan benih-benih mazmumah yang wujud dalam roh (hati)
hanya dapat dikesan oleh mata hati yang dibantu oleh ilmu mengenainya. Bukan dengan mata
kepala yang sifatnya tidak dapat menjangkau dan merasainya. Yakni roh melihat roh. Hanya
roh yang dapat mengenali atau mengesan roh.
Ini bererti, mengesan sifat-sifat roh ini mestilah melalui kepekaan pandangan mata hati serta
dibantu oleh ilmu. Perjalanan roh ini laju dan sentiasa berubah-ubah, sensitif dan berbolak-
balik dari detik ke detik. Kalau kita tidak peka dalam mengesannya setiap saat, kita akan rugi.
Tidak peka dalam mengesan sifat-sifat yang baik bererti kita telah mengabaikan sifat-sifat roh
yang baik atau perasaan-perasaan yang baik. Maka sifat baik tadi jadi tidak subur. Macam
menanam pokok tanpa disiram air, tanpa diberi baja, tanpa dijaga, walaupun pokok itu boleh
tumbuh tetapi daunnya kuning, kering, akhirnya mungkin mati. Yang baiknya, perlu ada guru
mursyid yang memberi pimpinan atau didikan (yang dapat memimpin hati kita, asalkan kita
sanggup mentaatinya).
Tidak peka dalam mengesan sifat-sifat mazmumah (jahat) bererti kita biarkan mazmumah itu
berada dalam diri. Dari hari ke hari mazmumah itu kian subur bersama suburnya jasad lahir.
Akhirnya ia menguasai diri dan kehidupan kita. Ketidakpekaan tadi menyebabkan
mazmumah itu tetap bersarang di dalam hati (roh), tidak ditumpaskan, dikikisbuangkan dan
dicabut. Akhirnya hati yang jahat itu mendorong untuk melakukan perbuatan atau tindakan-
tindakan jahat atau akhlak-akhlak jahat. Yang kerananya akan merosakkan pergaulan dan
menerjunkan kita ke Neraka.
Bagaimanakah kaedah untuk mengesan kelajuan perubahan sifat-sifat roh yang sentiasa
berubah-ubah dan berbolak-balik ini? Cara mengesan benih-benih sifat-sifat roh (hati) ialah
roh melihat roh atau roh meneropong roh. Diteropong, dikaji dan diselidiki sebaik-baiknya
dengan dibantu oleh ilmunya untuk memastikan di kala mana berlaku sifat-sifat yang baik
dan di waktu mana berlaku sifat-sifat jahat. Bila didapati roh (hati) bersifat baik maka
hendaklah disuburkan. Di waktu roh (hati) bersifat jahat maka dikekang dan dilawan, serta
ditahan.
CONTOH SIFAT-SIFAT MAHMUDAH: 1. Sifat kasih sayang
Dengan pandangan mata hati (mata roh) kita akan dapat mengesan adanya benih kasih sayang
dalam hati. Ia adalah fitrah semula jadi yang murni. Yakni hati terasa terhutang budi kepada
orang yang membantu atau berjasa kepada kita. Mengikut istilah syariat dikatakan rasa
syukur atau rasa hendak balas budi. Ini sifat baik (positif). Apabila didapati ada sifat-sifat ini
dalam hati hendaklah disuburkan, dipertajamkan dan dikekalkan serta dilaksanakan supaya
kita jadi orang yang berterima kasih pada manusia. Lebih-lebih lagi bersyukur kepada Allah
kerana nikmat-Nya yang tidak pernah putus-putus.
Rasa kasih sayang ini diperintahkan oleh Allah dan Rasul. Rasulullah bersabda:
Maksudnya: “Barang siapa yang tidak mengasihi sesama manusia maka dia tidak dikasihi
Allah.” (Riwayat Tirmizi)
Hadis ini menyuruh kita untuk berkasih sayang. Ia mendorong kita untuk saling mengasihi
antara manusia dan makhluk Allah yang lain. Suburkan dan tajamkan lagi sehingga matang
bersama matangnya jasad lahir kita. Lakukan bermacam-macam cara untuk suburkan sifat
kasih sayang ini.
2. Rasa simpati, timbang rasa atau tolak ansur
Benih rasa simpati atau timbang rasa ini dapat dikesan ada dalam hati bila berhadapan dengan
orang yang mendapat kesusahan. Walaupun kita tidak dapat menolong dan membantunya
tetapi secara automatik timbul rasa belas kasihan atau simpati itu. Setelah dikesan didapati
ada sifat baik ini maka mestilah disuburkan dan dikekalkan. Ini supaya mendorong kita
menolong orang yang susah atau sanggup bersusah payah untuk berkhidmat dan berbakti
pada orang lain.
Syariat juga menyuruh kita bersimpati atau bertimbang rasa atau bertolak ansur pada orang.
Sabda Rasulullah SAW: Maksudnya: “Sebaik-baik manusia ialah manusia yang dapat
memberi manfaat kepada manusia lain.” (Riwayat Qudha‟i dari Jabir)
3. Rasa malu
Benih rasa malu dapat dikesan wujudnya dalam hati, lebih-lebih lagi bila kita berbuat salah.
Rasa malu bila orang lain tahu. Ini mesti disuburkan supaya dapat membendung kita daripada
berbuat salah, sekalipun kesalahan-kesalahan dosa kecil, apatah lagi dosa besar. Ini juga
mendorong kita segera bertaubat apabila bersalah. Seterusnya ia akan menyuburkan sifat
jujur (berlaku benar), ikhlas dan amanah terhadap Allah dan Rasul serta manusia seluruhnya.
4. Rasa sukakan ilmu pengetahuan
Benih rasa sukakan ilmu pengetahuan dapat dikesan ada dalam hati bila ada perasaan ingin
tahu, ingin pandai, ingin menyiasat, ingin memiliki ilmu sepertimana orang yang sudah ada
ilmu, ingin amalkan, ingin membaca, mengkaji, menilai dan prihatin pada satu-satu perkara
atau ingin mencari pengalaman sebanyak- banyaknya. Bila didapati benih sifat baik ini ada
dalam hati maka suburkan dan dorong lagi supaya kecintaan kepada ilmu bertambah. Ini
bersesuaian dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Sabda Rasulullah SAW:
Maksudnya: “Tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahad.”
Maksudnya: “Tuntutlah ilmu hingga ke negeri China, menuntut ilmu itu wajib bagi setiap
orang Islam.” (Riwayat Ibnu Abdul Bar dari Anas)
Bertambahnya ilmu dan pengetahuan memberi kesan lahiriah yang baik pada akhlak dan
perbuatan seseorang itu seperti berani, pandai, berwibawa, cakapnya bernas, hidup tidak
buntu, kreatif dan lain-lain lagi.
Perlu diingat bahawa sifat-sifat yang baik yang disebut di atas tadi dan banyak lagi sifat-sifat
mahmudah lainnya itu, ia wujud bersama dengan jasad lahir. Rasa-rasa itu semuanya tidak
perlu dipelajari dan tidak ada guru yang mengajarinya. Ia adalah perasaan semula jadi yang
murni yang ada dalam hati. Cuma waktu kecil ia tidak subur. Tetapi ia ikut dewasa bersama
dewasanya tubuh kasar.
Benih-benih sifat-sifat mahmudah tersebut mesti dikenal pasti dengan menggunakan
teropong mata hati serta dibantu oleh ilmunya. Kemudian sifat-sifat baik ini hendaklah
disuburkan, dipertajamkan dan didorong lagi supaya kita dapat mengekalkan sifat-sifat
mahmudah itu dalam diri. Dengan itu lahirlah akhlak-akhlak yang baik, tindakan-tindakan
yang mulia dan perbuatan-perbuatan yang terpuji dalam kehidupan kita.
CONTOH SIFAT-SIFAT MAZMUMAH:
1. Rasa tidak senang (berdendam)
Benih-benih mazmumah rasa tidak senang atau tidak redha atau berdendam dapat dikesan ada
dalam hati di waktu kita diuji atau ditimpa bala. Sama ada ujian-ujian itu berbentuk lahiriah
atau maknawiah (batiniah). Umpamanya:
Terasa tidak senang bila dikata nista, dihina, diumpat, difitnah. Hati rasa marah, rasa dendam, rasa ingin hinakan orang itu semula. Ini sangat merbahaya. Boleh mencetuskan pecah ukhwah, pecah belah, huru-hara dan pergaduhan dalam masyarakat.
Terasa tidak senang atau menderita bila tidak ada duit, tidak ada pangkat atau harta. Terasa tidak senang bila diuji dengan sakit atau kematian orang yang dikasihi. Terasa tidak senang atau kecewa apabila orang-orang yang dikasihi membuat ragam atau
tidak bertanggungjawab.
Terasa tidak senang atau tidak redha dengan takdir Allah. Ini dapat dikesan bila kehendak-
kehendak atau hajat-hajat hati tidak tercapai. Katalah kita hendak begian, dapat begian.
Hendak banyak, dapat sikit. Hendak pandai, tidak pandai-pandai juga. Hendak pangkat,
jawatan, pujian tapi tidak dapat-dapat. Barangkali kalau didorong sifat keji ini akan timbul
bimbang terhadap masa depan. Hati makin susah sebelum susah yang sebenarnya menimpa.
Misalnya hati merasa, “Bagaimana nanti kalau aku sakit? Bagaimana kalau aku miskin?
Kalau aku tak kahwin? Kalau aku tak dapat anak? Kalau aku tak ada rumah? Kalau tak ada
kebun selepas pencen? Dan macam-macam hajat yang tak tercapai.”
Bila rasa tidak senang ini disuburkan, ia boleh membawa kepada iri hati atau hasad dengki
pada orang lain. Dia tidak akan senang melihat ada orang yang dapat lebih nikmat atau lebih
senang daripadanya.
Setelah dikesan adanya rasa tidak senang atau tidak redha dengan ketentuan Allah ini
mestilah dikikisbuangkan, ditumpas dan dicabut. Jika sifat-sifat ini tidak dibuang dan
dibendung sebaliknya disuburkan, ia akan jadi lebih parah lagi. Dia sentiasa keluh-kesah atau
gelisah bila berhadapan dengan sebarang ujian atau kesusahan. Ia menjadi seorang yang
pemarah, pendendam, tidak senang dan putus asa hingga timbul akhlak-akhlak yang buruk
atau perbuatan-perbuatan atau tindakan-tindakan yang buruk yang merosakkan dirinya dan
masyarakat. Maka hilanglah kebahagiaan hidup.
Sebab itu dalam Islam disuruh redha dengan ketentuan Allah. Sifat tidak redha ini sangat
dibenci Allah dan Rasul serta seluruh manusia. Untuk membendungnya ingatlah
perintahperintah Allah SWT.
Firman-Nya dalam Al Quran:
Maksudnya: “Hendaklah kamu katakan semua itu datang daripada Allah.” (An Nisaa‟: 78)
Maksudnya: “Janganlah kamu berputus asa daripada nikmat Allah.” (Yusuf: 87)
Ingatlah setiap perkara yang berlaku sama ada baik atau buruk, hakikatnya daripada Allah. Ia
ada hikmahnya yang tersendiri, yang tersembunyi, untuk kebaikan dan manfaatnya pada diri
kita kalau kita pandai menerimanya.
Sebenarnya ada rahsia yang kita tidak tahu. Mungkin kalau kita dapat apa yang kita
kehendaki, kita tidak bersyukur. Tentulah ini berdosa. Boleh jadi ada orang lain pula yang
hasad dengki dengan apa yang kita dapat itu. Bukankah itu membahayakan diri kita? Kalau
kita sedar hakikat ini tentulah kita rasa bertuah dengan apa yang ada atau apa yang Allah
berikan. Walaupun tidak memenuhi hajat kita namun tidaklah sampai rasa tidak senang, yang
mana bererti kita tidak senang dengan Allah, Tuhan yang Maha Adil itu. Bila rasa tidak
senang ertinya kita kufur dengan nikmat. Itulah penzaliman terhadap diri yang kita lakukan
setiap saat. Oleh itu sifat keji ini hendaklah dikikisbuangkan. Kalau tidak, ia akan menjadi
dosa dan menerjunkan kita ke Neraka, wal‟iyazubillah.
2. Rasa ujub
Benih rasa ujub ini dapat dikesan bila kita dapat nikmat lebih sama ada lebih ilmu, lebih
pangkat, lebih harta, lebih cantik, lebih pandai, lebih bijak dan lain-lain kelebihan lagi. Waktu
itu hati terasa istimewa, terasa hairankan diri. Bila didorong lagi sifat keji ini akan menjadi
sifat riyak. Yakni timbul rasa ingin menunjuk-nunjuk. Seterusnya bila disuburkan lagi
berubah kepada sifat keji yang lain pula iaitu sifat sombong. Yakni rasa bermegah-megah,
rasa diri superman atau superwoman, rasa hebat diri dan suka menghina orang lain.
Sifat keji ini bila didapati wujud dalam hati, maka mestilah ditumpaskan dan dikikisbuangkan
melalui proses mujahadatunnafsi. Ini kerana sifat sombong atau takabur atau membesarkan
diri sangat dimurkai Allah. Yang mana ia merupakan pakaian Allah SWT yang tidak
dibolehkan bersekutu pada mana-mana makhluk-Nya.
Sombong ini boleh menimbulkan hilang ukhwah, hilang kasih sayang dan benci-membenci.
Akhirnya bergaduh dan timbul perpecahan, krisis, tegang dan jatuh-menjatuhkan. Masyarakat
jadi haru-biru dan porak-peranda serta hilang kebahagiaan dan keamanan.
3. Rasa tamak atau bakhil
Benih rasa tamak ini dapat dikesan ada di hati bila kita melihat atau ternampak nikmat.
Waktu itu rasa hendak memiliki nikmat itu untuk jadi hak milik sendiri. Iri hati kalau nikmat
itu dipunyai oleh orang lain. Rasa tamak dan haloba menyerang hati. Walau apa cara
sekalipun dia akan usahakan untuk memilikinya tanpa mengira halal atau haram.
Rasa hati di waktu itu rakus, gelojoh dan ganas. Dia tidak peduli sama ada menyusahkan
orang lain atau tidak. Melanggar hak asasi kemanusiaan atau tidak. Pokoknya dia dapat walau
apa cara sekalipun. Sifat keji ini tersangat merbahaya. Ia boleh bertindak merampas, menipu,
mencuri, merompak, rasuah, merogol, berzina, bergaduh dan akhirnya berperang. Penyakit
ini perlu ditumpaskan dari awal lagi.
Bila dikesan ada rasa tamak, ia hendaklah ditumpaskan dan dikikisbuangkan melalui proses
mujahadatunnafsi. Ia sangat dibenci dan menjadi musuh Allah dan Rasul-Nya serta seluruh
manusia. Kemudaratannya bukan setakat di dunia bahkan di Akhirat akan dicampak ke
Neraka, wal‟iyazubillah.
4. Rasa takut
Benih rasa takut dapat dikesan wujud dalam hati bila berhadapan dengan makhluk yang lebih
berkuasa, lebih kaya, lebih berpangkat, lebih berpengaruh atau yang berbudi padanya dan
lain-lain lagi. Boleh jadi rasa takut ini juga disebabkan oleh inferiority complex dengan
makhluk.
Bila takut menguasai diri, dia akan hilang kebebasan dan kemerdekaan diri. Kalau disuburkan
rasa takut ini, tanpa sedar dia akan menganggap makhluk lebih berkuasa daripada Tuhan.
Terjebak dengan mentuhankan makhluk tanpa sedar. Ini termasuk syirik khafi. Sifat keji ini
tersangat merbahaya. Ia mengakibatkan orang ini sanggup melanggar syariat Allah dan Rasul
serta menafikan kuasa Allah. Walaupun mulutnya mengatakan Allah-lah yang berkuasa tetapi
pada realitinya makhluklah tempat dia rujuk, patuhi, taati dan takuti.
Ertinya, dia sudah mentuhankan makhluk atau mentuhankan manusia. Contohnya, dia
sembahyang, puasa, naik haji tetapi tunduk dengan „tuan‟nya bila disuruh jual atau beli atau
minum arak. Katalah dia tidak minum arak, cuma jual atau beli arak, tetapi kerana „tuan‟nya
memberinya gaji, maka dia taat dan patuh. Walhal dia tahu perbuatan ini jelas melanggar
syariat Allah. Ertinya dia lebih takutkan arahan manusia melebihi suruhan Allah SWT.
Oleh itu sifat keji ini hendaklah dihapus dan ditumpaskan daripada bersarang di hati kita.
Kalau perkara ini tidak dikaji dan diteliti, sudah tentu tidak diketahui. Kikiskanlah dengan
menanam rasa takut hanya pada Allah. Rasakanlah Allah Maha Berkuasa, Maha Besar dan
Allah-lah Maha Kuat dan Maha Gagah daripada segala-galanya. Semua makhluk ini sama-
sama lemah di sisi Tuhan yang Maha Perkasa itu. Kalaupun makhluk itu kuat atau berkuasa,
hanya kerana dia diberi nikmat yang lebih sedikit saja daripada orang lain. Tetapi dia tetap
lemah dan tetap dalam kuasa Tuhan yang Maha Berkuasa. Allah telah mendidik kita agar
hanya pada-Nya kita wajib takut dan menghinakan diri. Ini kerana Allah-lah yang Maha
Mencipta, Maha Menganugerah, Maha Pemberi, Yang Menghidupkan dan Yang Mematikan.
Allah-lah yang mengadakan dan mentiadakan sesuatu. Allah-lah yang menentukan nasib
makhluk. Allah-lah yang muassir (memberi bekas). Selain-Nya semuanya tidak lebih gagah,
tidak lebih besar dan tidak memberi bekas apa-apa. Walaupun makhluk itu lahirnya kita
nampak besar dan hebat, gagah dan berkuasa tapi hakikatnya semua makhluk itu tetap dalam
genggaman Allah SWT. Hanya empat sifat mazmumah saja yang kita kaji secara terperinci di
sini, yang merupakan sebahagian daripada sifatsifat mazmumah yang banyak itu. Perlu
diingat juga bahawa sifat-sifat yang jahat ini semuanya sudah wujud bersama lahirnya tubuh
kasar. Rasa-rasa itu tidak perlu dipelajari dan tidak ada guru yang mengajarinya. Cuma waktu
kecil ia tidak subur. Tetapi ia ikut dewasa bersama dewasanya tubuh kasar. Oleh itu benih-
benih sifat mazmumah dalam hati ini mesti dikenal pasti di awal-awal lagi.
Dengan menggunakan teropong mata hati dengan dibantu oleh ilmunya, sifat-sifat jahat ini
mesti ditumpaskan dan dikikisbuangkan melalui proses mujahadatunnafsi (yang akan kita
bincangkan dalam bab akan datang). Barulah sifat mazmumah ini dapat dikekang dan
dikosongkan, yang akhirnya sifat mahmudah dapat diisi dalam hati.
Di sinilah pentingnya mengkaji dan mengesan sifat-sifat roh (hati). Supaya setelah kedua-
duanya dikesan, yang mahmudahnya dapat disuburkan dan yang mazmumahnya dapat
dihapuskan. Barulah manusia itu kembali kepada hakikat dirinya. Yakni hakikat manusia itu
sendiri. Ini kerana nilai diri manusia itu adalah pada sifat roh (hati)nya. Ia jadi penentu yang
mencorak kehidupannya dan manusia seluruhnya.
Roh ini dikekalkan untuk ditanya dan dipertanggungjawabkan di Akhirat nanti. Roh inilah
yang mukalaf. Ia yang akan merasai nikmat atau azab. Roh inilah juga yang akan ke Syurga
ADA BEBERAPA LANGKAH
YANG MEMILIKI PENGARUH POSITIF TERHADAP KECERMERLANGAN CAHAYA BATHIN MANUSIA YAITU :
1. Zikir
2. Do'a
3. Shalawat Nabi
4. Makanan Halal dan Bersih
5. Berpantang Dosa Besar
6. Berhati Ikhlas dan Berpantang Tamak
7. Bersedekah ( Dermawan )
8. Mengurangi Makan dan Tidur
9. Zikir Kalimah Toyyibah
10. Mengenakan Wewangian
Beberapa hal tersebut diatas apabila di amalkan, Insya Allah seseorang akan memiliki cahaya / kekuatan batin yang kuat sehingga apa yang terprogram dalam hati akan cepat terlaksana.
1. Zikir
Zikir memiliki pengaruh yang kuat terhadap kecemerlangan cahaya batin. Hati yang selalu terisi dengan Cahaya Zikir akan memancarkan Nur Allah dan keberadaannya akan mempengaruhi perilaku yang serba positif.
Kebiasaan melakukan zikir dengan baik dan benar akan menimbulkan ketentraman hati
dan menumbuhkan sifat ikhlas. Hikmah zikir amatlah besar bagi orang yang ingin
membangkitkan kekuatan indera keenamnya ( batin ). Di tinjau dari sisi ibadah, zikir
merupakan latihan menuju Ikhlasnya hati dan Istiqomah dalam berkomunikasi dengan Al
Khaliq ( Sang Pencipta ).
Ditinjau dari sisi kekuatan batin, zikir merupakan metode membentuk dan memperkuat
Niat Hati, sehingga dengan izin Allah SWT, apa yang terdapat dalam hati, itu pula yang akan di kabulkan oleh Allah SWT. Dengan kata lain, zikir memiliki beberapa manfaat, di antaranya : Membentuk, Memperkuat Kehendak, Mempertajam Batin, sekaligus bernilai Ibadah.
Dengan zikir berarti membersihkan dinding kaca batin, ibarat sebuah bohlam lampu yang tertutup kaca yang kotor, meyebabkan cahaya-sinarnya tidak muncul keluar secara maksimal. Melalui zikir, berarti membersihkan kotoran yang melekat sehingga kaca menjadi bersih dan cahaya-sinarnya bisa memancar keluar.
Sampai di sini mungkin timbul suatu pertanyaan. Apakah zikir memiliki pengaruh
terhadap kekuatan batin ? untuk menjawab pertanyaan ini, kiranya perlu diketahui bahwa hal
tersebut merupakan bagian dari karunia Allah SWT.
Dalam sebuah Hadist. Bahwa dengan selalu mengingat Allah menyebabkan Allah
membalas ingat kepada seorang hamba-Nya " Aku selalu menyertai dan membantunya,
selama ia mengingat Aku " karena itu, agar Allah senantiasa mengingat Anda, perbanyaklah
mengingat-Nya dengan selalu berzikir.
2. Do'a
Seseorang yang ingin memiliki kekuatan Rohani pada dirinya,
hendaklah memperbanyak do'a kepada orang lain, di samping untuk diri sendiri dan keluarganya. Caranya, cobalah anda mendo'akan seseorang yang anda kenal dimana orang itu sedang mengalami kesulitan.
Menurut para Ahli Hikmah, seseorang yang mendoa'kan sesamanya maka reaksi do'a
itu akan kembali kepadanya, contohnya : Anda mendo'akan si "A" yang sedang di rundung
duka agar Allah berkenan mengeluarkan dari kedukaan, maka yang pertama kali merasakan
reaksi do'a itu adalah orang yang mendo'akan, baru setelah itu reaksi do'anya untuk orang
yang dituju.
Karena itu semakin banyak anda berdo'a untuk kebaikan sahabat, guru anda, orang
yang dikenal/ tidak di kenal, siapa pun juga, maka akan semakin banyak kebaikan yang akan
anda rasakan. Sebaliknya jika anda berdo'a untuk kejelekan si "A" sementara si "A" tidak patut
di do'akan jelek maka reaksi do'a tersebut akan kembali kepada Anda. Contohnya : Anda
berdo'a agar si "A" jatuh dari sepeda motor, maka boleh jadi anda akan jatuh sendiri dari
sepeda motor, setelah itu baru giliran si "A".
Tetapi dalam sebuah Hadist di sebutkan, Seseorang yang berdo'a untuk kejelekan
sesamanya maka do'a itu melayang-layang di Angkasa, jika orang yang dido'akan jelek itu
orang zalim maka Allah SWT akan memperkenankan do'anya, sebaliknya jika orang yang
dituju itu orang baik-baik, maka do'a itu akan kembali menghantam orang yang berdo'a.
Dari sini lalu timbul konsep " Saling Do'a men Do'akan " seperti guru memberikan atau
menghadiahkan do'a berupa surat Al Fatehah kepada muridnya. Sebaliknya murid pun
berdo'a untuk kebaikan gurunya. Lalu siapa yang patut disebut guru ? guru adalah orang yang
memberikan informasi pengetahuan akan suatu ilmu. Dimana ilmu itu selanjutnya kita
amalkan dan bermanfaat.
Dalam Hadist yang lain di sebutkan bahwa do'a yang mudah di kabulkan adalah do'a
yang diucapkan oleh seorang sahabat Secara Rahasia, Mengapa ?? ini di sebabkan karena do'a
itu diucapkan secara Ikhlas. Keikhlasan memiliki nilai ( kekuatan ) yang sangat tinggi.
Karena itu perbanyaklah berdo'a atau mendo'akan sesama yang sedang dirundung
duka. Insya Allah reaksi dari do'a itu akan anda rasakan terlebih dahulu, selanjutnya baru
orang yang anda do'akan, semoga .
Di samping itu, mendo'akan seseorang memiliki nilai dalam membentuk kepribadian
lebih peka terhadap persoalan orang lain. Jika hal ini dikaitkan dengan janji Allah ; Bahwa
barang siapa yang mengasihi yang dibumi maka yang dilangit akan mengasihinya, berlakulah
hukum timbal balik. Siapa menanam kebajikan ia akan menuai kebajikan juga, sebaliknya jika
ia menanam kezaliman maka ia pun akan menuai kezalimannya juga.
3. Shalawat Nabi
Mungkin sudah sering / pernah mendengar nasihat dari orang-orang tua
kita bahwa kalau ada bahaya, kita disarankan salah satunya adalah untuk
memperbanyak Shalawat kepada Nabi Muhammad SAW.
Konon dengan mendo'akan keselamatan kepada Nabi, Allah SWT akan mengutus para malaikat
untuk ganti mendo'akan keselamatan kepada orang itu. Dalam beberapa hadist Rasullullah SAW
banyak kita temukan berbagai keterangan tentang Afdalnya bershalawat. Diantaranya "Setiap do'a itu
Terdindingi, sampai dibacakan Shalawat atas Nabi " ( HR. Ad- Dailami ).
Pada hadist yang lain yang diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa'I dan Hakim, Rasullullah SAW
bersabda, " Barang siapa membaca Shalawat untuk Ku sekali, maka Allah membalas Shalawat
untuknya sepuluh kali dan menanggalkan sepuluh kesalahan darinya dan meninggikannya sepuluh
derajat " .
Yang berkaitan dengan urusan kekuatan batin, terdapat dalam Hadist yang diriwayatkan Ibnu Najjar dan Jabir, " Barangsiapa ber-Shalawat kepada Ku dalam satu hari seratus kali, maka Allah SWT memenuhi seratus hajatnya, tujuh puluh daripadanya untuk kepentingan akhiratnya dan tiga puluh lagi untuk kepentingan dunianya".
Berdasarkan hadist-hadist itu, benarlah adanya jika orang-orang tua kita menyuruh anak-
anaknya untuk memperbanyak shalawat kepada anak cucunya. Karena selain merupakan
penghormatan kepada junjungannya juga memiliki dampak yang amat menguntungkan dunia dan
akhirat.
4. Makanan Halal dan Bersih
Seseorang yang ingin memiliki kekuatan batin bersumber dari tenaga Ilahiyah harus memperhatikan makanannya. Baginya pantang kemasukan makanan yang haram karena keberadaannya akan mengotori hati. Makanan yang haram akan membentuk jiwa yang kasar dan tidak religius. Makanan
yang haram disini bukan hanya dilihat dari jenisnya saja ( Misal ; Babi, bangkai, dll. ), tapi juga dari cara dan proses untuk mendapatkan makanan tersebut.
Efek dari makanan yang haram ini menyebabkan jiwa sulit untuk diajak menyatu
dengan hal-hal yang positif, seperti : dibuat zikir tidak khusuk, berdo'a tidak sungguh-sungguh
dan hati tidak tawakal kepada Allah.
Daging yang tumbuh dari makanan yang haram selalu menuntut untuk diberi makanan
yang haram pula. Seseorang yang sudah terjebak dalam lingkaran ini sulit untuk
melepaskannya, sehingga secara tidak langsung menjadikan hijab atau penghalang seseorang
memperoleh getaran/ cahaya Ilahiyah.
Disebutkan, setitik makanan yang haram memberikan efek terhadap kejernihan hati.
Ibarat setitik tinta yang jatuh diatas kertas putih, semakin banyak unsur makanan haram yang
masuk, ibarat kertas putih yang banyak ternoda tinta. Sedikit demi sedikit akan hitamlah
semuanya.
Hati yang gelap menutupi hati nurani, menyebabkan tidak peka terhadap nilai-nilai
kehidupan yang mulia. Seperti kaca yang kotor oleh debu-debu, sulitlah cahaya menembus
nya. Tapi dengan zikir dan menjaga makanan haram, hati menjadi bersih bercahaya.
Begitu halnya jika anda menghendaki dijaga para malaikat Allah, jangan kotori diri anda
dengan darah dan daging yang tumbuh dari makanan yang haram. Inilah mengapa para ahli
Ilmu batin sering menyarankan seorang calon siswa yang ingin suatu ilmu agar memulai suatu
pelajaran dengan laku batin seperti puasa.
Konon, puasa itu bertujuan menyucikan darah dan daging yang timbul dari makanan
yang haram. Dengan kondisi badan yang bersih, diharapkan ilmu batin lebih mampu
bersenyawa dengan jiwa dan raga. Bahkan ada suatu keyakinan bahwa puasa tidak terkait
dengan suatu ilmu. Fungsinya hanya untuk mempersiapkan wadah yang bersih terhadap ilmu
yang akan diwadahinya.
5. Berpantang Dosa Besar
Berpantang melakukan dosa-dosa besar juga dalam upaya membersihkan
rohani. Di mana secara umum kemudian dikenal pantangan Ma-Lima yaitu :
Main, Madon, Minum, Maling dan Madat, yang artinya berjudi, zina, mabuk-
mabukan, mencuri dan penyalahgunaan narkotika.
Walau lima hal ini belum mencakup keseluruhan dosa besar tetapi kelimanya diyakini
sebagai biang dari segala dosa. Judi umpamanya, seseorang yang sudah terlilit judi andaikan
ia seorang pemimpin maka cendrung korup dan hanya kecil kejujuran yang masih tersisa
padanya.
Begitu halnya dengan perbuatan seperti zina, mabuk-mabukan, mencuri, dan
menyalahgunakan narkotika diyakini sebagai hal yang mampu menghancurkan kehidupan
manusia. Karena itu orang yang ingin memiliki kekuatan batin yang hakiki hendaknya mampu
menjaga diri dari lima perkara ini.
Seseorang yang sudah " Kecanduan " satu diantara yang lima perkara ini bukan hanya
rendah di pandang Allah, di pandangan manusia biasa pun ikut rendah. Nurani yang kotor
menyebabkan do'a-do'a tidak terkabul.
Beberapa langkah apabila dilakukan secara konsekuen, Insya Allah menjadikan manusia
"Sakti" Dunia Akhirat. Getaran batinnya kuat, ibarat voltage pada lampu yang selalu di
tambah getarannya sementara kaca yang melingkari lampu itu pun selalu di bersihkan melalui
laku-laku yang positif.
Hikmah suatu amalan ( bacaan ) biasanya terkait dengan perilaku manusianya. Dalam
hadistnya Turmudzi meriwayatkan, " Seseorang yang mengucapkan Laa ilaha illallah dengan
memurnikan niat, pasti dibukakan untuknya pintu-pintu langit, sampai ucapannya itu dibawa
ke Arsy selagi dosa-dosa besar dijauhi ".
Hadist ini bisa ditafsiri bahwa suatu amalan harus diimbangi dengan pengamalan.
Adanya keselarasan antara ucapan mulut dengan tindakan menyebabkan orang itu mencapai
hakikatnya " Kekuatan-Kesaktian".
6. Berhati Ikhlas Berpantang Tamak
Seseorang yang memiliki hati ikhlas, tidak rakus dengan dunia lebih memiliki kepekaan dalam menyerap pelajaraan ilmu batin. Secara logika, orang yang berhati ikhlas lebih mudah memusatkan konsentrasinya pada satu titik tujuan, yaitu persoalan yang di hadapinya.
Disebutkan bahwa orang yang berhati ikhlas diperkenankan Allah SWT untuk :
Berbicara, Melihat, Berpikir dan Mendengar bersama dengan Lidah, Mata, Hati dan Telinga
Allah ( baca hadist Thabrani ).
Hati yang ikhlas identik dengan ketiadaan rasa tamak. Orang yang memiliki sifat ikhlas
dan tidak tamak amat di sukai manusia. Rasullullah SAW pernah didatangi seorang sahabat
yang ingin meminta resep agar disukai Allah SWT dan disukai sesama manusia. Rasullullah
bersabda : " Jangan rakus dengan Harta Dunia, tentu Allah akan menyenangimu, dan jangan
tamak dengan hak orang lain, tentu banyak orang yang menyenangi mu ".
Hadist ini jika dikaitkan dengan kehidupan para spiritualis mereka memiliki power pertama kali disebabkan karena kharismanya, jika seseorang itu banyak disukai sesamanya maka apa yang di ucapkan pun akan di percaya. Sebaliknya walau orang itu berilmu tinggi tetapi kalau tidak di sukai sesamanya maka apa yang di ucapkannya pun tidak akan ada yang menggubris.
7. Bersedekah ( Dermawan )
Bersedekah selain untuk tujuan ibadah sosial juga memiliki pengaruh terhadap menyingkirnya bahaya. Banyak hadist membahas masalah sedekah berkaitan dengan tolak-balak. Dengan banyak bersedekah, seseorang akan memperoleh limpahan rezeki dan kemenangan.
Rasullullah SAW bersabda : "Wahai Manusia !! Bertobatlah Kamu kepada Allah sebelum
mati, segeralah Kamu beramal saleh sebelum Kamu sibuk, sambunglah hubungan dengan
Tuhanmu dengan memperbanyak zikir dan memperbanyak amal sedekah dengan rahasia
maupun terang-terangan. Tuhan akan memberi Kamu rezeki, pertolongan dan kemenangan"(
HR Jabir RA ).
Dalam kehidupan bermasyarakat kita bisa melihat hikmah dari sedekah ini. Seseorang
yang memiliki jiwa dermawan amat di sukai sesamanya. Logikannya jika orang itu di sukai
banyak orang maka ia jauh dari bahaya.
Kisah nyata terjadi pada suatu daerah. Dua orang yang sama-sama memiliki ilmu batin
memiliki kebun mangga. Ketika hampir musim panen, mangga dari seorang dermawan itu
tidak ada yang mencurinya, sebaliknya kebun mangga yang milik orang bakhil itu banyak
dicuri anak-anak muda.
Disnyalir, pencurian itu terjadi karena unsur "Tidak Suka " dengan pemilik kebun.
Sedangkan anak-anak muda itu mengapa tidak mau mencuri kebun milik sang dermawan,
rata-rata mereka mengutarakan keengganannya " Ah dia orang baik kok kita kerjain "
katanya, nah anda ingin menang dan sakti dunia akhirat ?? perbanyaklah sedekah.
8. Mengurangi Makan dan Tidur
Sebuah laku tirakat yang universal yang berlaku untuk seluruh makhluk hidup adalah puasa. Ulat agar bisa terbang menjadi kupu-kupu harus berpuasa terlebih dahulu, ular agar bisa ganti kulit harus puasa terlebih dahulu dan ayam agar bisa beranak pun harus puasa terlebih dahulu.
Secara budaya banyak hal yang dapat diraih melalui puasa. Orang-orang terdahulu
tanpa mempermasalahkan sisi ilmiahnya aktivitas puasa telah berhasil mendapatkan segala
daya linuwih atau keistimewaan melalui puasa yang lazim disebut tirakat.
Para spiritualis mendapatkan Wahyu maupun Wisik ( Petunjuk ghoib melalui puasa
terlebih dahulu ). Dan tradisi itu masih terus dilestarikan orang-orang zaman sekarang. Intinya
sampai kapanpun orang tetap meyakini dengan mengurangi makan dalam hal ini adalah
puasa, seseorang akan memperoleh inspirasi baru, intuisi.
Tradisi kita, ketika secara budaya sudah tiada lagi tempat untuk bertanya, melalui
puasa seseorang bisa mendapatkan telinga yang baru dan ketika ia tak lagi mampu berkata,
dengan puasa seseorang mampu memperoleh mulut yang baru.
Secara logika, puasa adalah bentuk kesungguhan yang di wujudkan melalui melaparkan
diri. Hanya orang-orang yang sungguh-sungguh saja yang sanggup melakukannya. Aktivitas ini
jika ditinjau dari sisi ilmu batin, menunjukan bahwa kesungguhan memprogram niat itu yang
akan menghasilkan kelebihan-kelebihan.
Hati yang diprogram dengan singguh-sungguh akan menghasilkan seseuatu yang luar
biasa. Karena itu dalam menempuh ilmu batin, aktivitas puasa mutlak dibutuhkan. Karena
didalam puasa itu tidak hanya bermakna melaparkan diri semata. Lebih dari itu, berpuasa
memiliki tujuan manonaktifkan nafsu syaithoni.
Non aktifnya nafsu secara tidak langsung meninggikan taraf spiritual manusia, sehingga
orang-orang yang berpuasa do'a nya makbul dan apa yang terusik dalam hatinya sering
menjadi kenyataan.
Menurut Imam Syafi'i dengan berpuasa seseorang terhindar dari lemah beribadah,
berat badanya, keras hatinya, tumpul pikirannya dan kebiasaan mengantuk. Dari penyelidikan
ilmiah puasa diyakini memiliki pengaruh terhadap kesehatan manusia.
Orang-orang terdahulu memiliki ketajaman mata batin dan manjur Ilmu kanuragannya
karena kuatnya dalam Laku Melek atau mengurangi tidur malam hari. Bahkan burung hantu
yang dilambangkan sebagai lambang ilmu pengetahuan pun disebabkan karena
kebiasannya "Tafakur" pada malam hari.
Dalam filosofi ilmu batin, memperbanyak tafakur malam hari menyebabkan seseorang
memiliki "Mata Lebar", yaitu ketajaman dalam melihat dan membaca apa-apa yang tersirat
dibalik kemisterian alam semesta ini.
Bahkan ketika agama Islam datang pun membenarkan informasi sebelumnya yang
dibawa oleh agama lain. Hanya Islam yang menginformasikan bahwa dengan ber-Tahajud
ketika orang lain terlelap dalam tidur, menyebabkan orang itu akan ditempatkan Allah SWT
pada tempat yang terpuji.
Pada keheningan malam terdapat berbagai hikmah. Melawan "Nafsu" tidur menuju
ibadah kepada Allah SWT dan dalam suasana hening itu konsentrasi mudah menyatu. Saat
inilah Allah SWT memberikan keleluasaan kepada hamba-hamba-Nya guna memohon apa
saja yang diinginkan.
Banyak para spiritualis yang memiliki keunikan dalam ilmu batin bukan karena
banyaknya ilmu dan panjangnya amalan yang di bacanya, melainkan karena laku prihatin pada
malam harinya. Insya Allah seseorang yang membiasakan diri tafakur dan beribadah pada
malam hari, maka Allah SWT akan memberikan keberkahan dalam ilmu-ilmunya.
9. Zikir Kalimah Toyyibah
Ada hal-hal yang tersembunyi dibalik zikir kalimah Toyyibah " La ilaha illallah " pertama, zikir ini di sebut sebagai sebaik-baiknya zikir, berdasarkan hadist riwayat Nasa'i, Ibnu Majjah, Ibnu Hibban, dan Hakim " Afdhaluzd dzikri La ilaha Illallaahu " yang artinya : sebaik-baik zikir adalah La ilaha illallah.
Kemudian pada hadist yang lain disebutkan bahwa dengan zikir kalimah Toyyibah ini menyebabkan pintu langit terbuka, selagi yang membaca kalimah itu orang yang menjauhi dosa-dosa besar. Sedangkan dengan mengamalkan zikir kalimah ini, sepanjang zikir ini diamalkan secara tulus ikhlas mengharap ridho Allah SWT, justru Allah yang akan mengatur potensi manusia. Dalam hadist Qudsy tersurat : " Barang siapa disibukkan zikir kepada-Ku sehingga tidak sempat memohon dari-Ku maka Aku akan memberikan yang terbaik dari apa saja yang Ku berikan "
Artinya : hikmah dari zikir kalimah Toyyibah itu, seseorang akan diberi karunia oleh Allah SWT walau jenis karunia itu tidak di mintanya. Ini Yang disebut dengan rezeki yang tak terduga-duga.
Hikmah lain, dari membiasakan diri berzikir kalimah " La ilaha illallah ", secara tidak langsung berarti merekam kalimat itu pada alam bawah sadar manusia. Seseorang dalam kondisi kritis, kalimat yang reflek muncul dari alam bawah sadarnya adalah kalimat yang paling akrab dengan lidah dan hatinya.
Maka, seseorang yang istiqomah dalam zikir kalimah " La ilaha illallah ", bila saat
sakaratul maut hendak menjemput, Insya Allah kalimat itu yang akan muncul dari mulutnya.
Dengan demikian berlakulah janji Allah SWT bahwa seseorang yang diakhir hayatnya
mengucapkan kalimat " La ilaha illallah ", maka sorgalah balasannya.
Menyimak hal-hal dibalik kalimah Toyyibah ini, ada dua keuntungan yang bisa kita raih. Pertama keuntungan dunia berupa ketenangan hati akibat bias dari aktivitas zikir, juga keuntungan dunia berupa datangnya karunia yang dilimpahkan yang lebih baik dibanding hamba lain yang meminta.
Sedangkan pahala akhiratnya adalah menemui kematian dengan Khusnul Khotimah. Semoga kita termasuk hamba-hamba Allah yang memperoleh keuntungan dunia akhirat. Amin.
10. Memakai Wewangian
Kalau kekuatan fisik seseorang di tentukan dari ototnya. Kekuatan ilmu batin ditentukan dari roh. Memperkuat roh, salah satu caranya dengan wewangian. Karena itu orang yang sedang mempelajari ilmu batin atau ingin melestarikan kekuatan ilmu batin dalam jiwa raganya, ia di tuntut selalu mengenakan wewangian.
Disebutkan, wewangian amat dibenci setan dan di sukai para malaikat. Pengertian "Wangi " di sini bukan sekedar wangi karena bau minyak wangi. Wangi yang hakiki adalah wanginya kepribadian, dan itu berarti Ahlakul Karimah. Tentu saja, melengkapi antara syareat dan hakikat itu seseorang memang disunahkan memakai wewangian sekaligus menghiasi diri dengan Ahlak yang baik.