Post on 24-Apr-2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kedudukan akhlak dalam kehidupan manusia menempati tempat yang
penting, sebagai individu maupun masyarakat dan bangsa, sebab jatuh bangunnya
suatu masyarakat tergantung kepada bagaimana akhlaknya. Apabila akhlaknya
baik, maka sejahteralah lahir batinnya, apabila akhlaknya rusak, maka rusaklah
lahir dan batinnya.
Ilmu akhlak merupakan bagian dari ilmu agama yang perlu dipelajari dan
dikuasai. Berangkat dari keingintahuan tentang berbagai aliran akhlak maka kami
menulis makalah berjudul “Aliran Akhlak Universalistik dan Hedonisme”. Kami
memilih judul ini karena aliran dalam akhlak ini sangat banyak macamnya.
B. Tujuan
Makalah ini dimaksudkan untuk membahas tentang berbagai aliran dalam
akhlak dan juga untuk memenuhi tugas mata kuliah akhlak.
1
BAB IIPEMBAHASAN
A. Aliran Universalistik
Universalistic hedonism yang menyatakan bahwa yang menjadi tolok ukur
apakahsuatu perbuatan itu baik atau buruk adalah mengacu kepada akibat
perbuatan itu melahirkan kesenangan atau kebahagiaan kepada seluruh makhluk.
Aliran ini mendasarkan ukuran dan buruk pada “kebahagiaan umum”. Aliran
ini mengharusakan agar manusia dalam hidupnya mencari kebahagiaan yang
sebesar-besarnya untuk sesama manusia dan bahkan pada sekalian mahkluk yang
berperasaan. Jadi baik buruknya sesuatu didsarkan atas ada keseangan atau
tidaknya sesuatu itu bagi umat manusia. Kalau memang sesuatu itu lebih banyak
kelezatannya dan membawa kemanfaatan maka hal itu baik tapi sebaliknya kalau
membawa akibat penderitaan maka hal itu berarti buruk
B. Aliran Hedonisme
Dalam filsafat Yunani Kuno ditemukan bahwa Hedonisme sudah muncul
sekitar 433-355SM oleh Aristippos dari Kyrene, salah seorang murid Socrates.
Menurut paham ini banyak yang disebut perbuatan yang baik adalah perbuatan
yang banyak mendatangkan kelezatan, kenikmatan, dan kepuasan nafsu biologis.
Aliran ini tidak mengatakan bahwa semua perbuatan mengandung kelezatan,
melainkan adapula yang mendatangkan kepedihan, dan apabila ia disuruh
memilih manakah perbuatan yang harus dilakukan, maka yang dilakukan adalah
2
yang mendatangkan kelezatan. Maka apabila terjadi keraguan dalam memilih
sesuatu perbuatannya, harus diperhitungkan banyak sedikitnya kelezatan dan
kepedihannya dan sesuatu itu baik apabila diri seseorang yang melakukan
perbuatan mengarah kepada tujuan
Istilah ”hedonisme”, termasuk dalam konteks madzhab etika, secara
etimologis berasal dari bahasa Yunani hedone, yang berarti kesenangan, atau
kenikmatan dan kepuasan rasa. Dari sini kemudian dapat dikatakan bahwa secara
kebahasaan, sesungguhnya kata hedone, dalam istilah hedonisme, dapat diartikan
sebagai kesenangan, kenikmatan, kelezatan dan kepuasan rasa, serta terhindar dari
segala penderitaan. Di dalam madzhab hedonisme, rasa puas atau kepuasan rasa
—yang berarti juga kesenangan, kenikmatan, kelezatan—sebagaimana dikatakan
oleh Poejawijatno, diidentikkan dengan kebahagiaan, yang kemudian hal ini
mendatangkan sejumlah kritik; karena ternyata dalam kenyataannya, tidak semua
kesenangan atau kepuasan mesti mendatangkan kebahagiaan, bahkan tidak jarang
yang terjadi justru sebaliknya bahwa kepuasan itu justru mendatangkan
kegelisahan.
Relevan dengan makna kebahasaan di atas, hedonisme menempatkan hedone
sebagai satu-satunya parameter untuk menentukan tindakan baik. Itulah sebabnya
ada pendapat yang mendefinisikan hedonisme, dalam kapasitasnya sebagai salah
satu madzhab etika, sebagai pandangan yang menempatkan kenikmatan sebagai
tujuan satu-satunya dari tindakan manusia dan kunci menuju hidup baik (bersama
dengan usaha menghindari penderitaan).
Sepanjang sejarah barangkali tidak ada filsafat moral yang lebih mudah
dimengerti dan akibatnya tersebar lebih luas seperti hedonisme ini. Maka tidak
mengherankan kalau pandangan ini sudah timbul pada awal sejarah filsafat. Atas
pertanyaan ”apa yang menjadi hal yang terbaik bagi manusia”, pada hedonis
menjawab ”kesenangan”, sesuai dengan asal kata hedonisme itu sendiri yakni dari
bahasa Yunani hedone. Demikian dapat dikatakan bahwa, adalah baik apa yang
memuaskan keinginan kita, apa yang meningkatkan kuantitas kesenangan atau
3
kenikmatan dalam diri kita. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hedonisme
adalah pandangan bahwa kenikmatan merupakan tujuan satu-satunya dari
kegiatan manusia dan kunci menuju hidup baik (bersama dengan usaha
menghindari usaha menghindari penderitaan). Oleh karena itu, ketika ditanyakan
mengenai ”apa yang terbaik bagi manusia”, maka kaum hedonis pasti menjawab
dengan menyebut ”kesenangan” (kenikmatan); yang baik adalah apa yang
memuaskan rasa kesenangan atau kenikmatan kita, apa yang meningkatkan
kuantitas kesenangan atau kenikmatan dalam diri kita. Dengan demikian bagi
hedonisme, yang bisa dikatakan baik hanyalah hal-hal yang dapat mendatangkan
kenikmatan dan kelezatan, dan sebaliknya yang buruk adalah hal-hal yang tidak
mendatangkan kenikmatan, atau bahkan mengakibatkan penderitaan. Maka orang
yang bermoral (atau berakhlak dalam terminologi Islam) adalah orang yang
berbuat untuk mendatangkan kenikmatan dan atau keksenangan, dan sekaligus
menghindarkan diri dari penderitaan
Pandangan hedonisme tersebut bukan tanpa alasan, sehingga wajar kalau
kemudian diketahui hingga sekarang masih banyak penganutnya. Dalam konteks
ini kaum hedonis mengemukakan argumen berupa realitas empiris seputar
kehidupan manusia. Aristippos, tokoh pertama hedonisme, mengatakan bahwa
sudah diketahui bersama, bahwa sejak masa kecilnya manusia senantiasa merasa
tertarik dengan kesenangan dan bila tercapai ia tidak mencari sesuatu yang lain
lagi. Sebaliknya, manusia selalu berusaha menjauhkan dirinya dari
ketidaksenangan, atau penderitaan. Dengan demikian memang harus diakui
bahwa memang banyak perbuatan manusia diorientasikan untuk mencapai
kepuasan atau kenikmatan, meskipun harus dikatakan bahwa ini bukan
merupakan satu-satunya faktor. Bahkan sampai ada ahli psikologi yang
berpendapat bahwa semua tindakan manusia berdasarkan atas kecenderungan
yang tak disadari yakni untuk mencapai kepuasan semata, yang oleh Freud
dinamakan libido seksualitas, atau cenderung untuk mencapai kepuasan dalam
meiliki kekuasaan dalam teori Adler.
4
Sebagai mazhab etika, hedonisme dapat dikatakan sudah berusia relatif tua.
Dalam sejarah filsafat Yunani, hedonisme sudah ditemukan pada Aristipos dari
Kyrene (sekitar 433-355 sM), seorang murid Sokrates, yang dikenal dengan
mazhab Cyrenicnya. Pada suatu saat, Sokrates bertanya tentang tujuan akhir bagi
kehidupan manusia atau apa yang sungguh-sungguh baik bagi manusia, tetapi ia
sendiri tidak memberikan jawaban yang jelas atas pertanyaan itu dan hanya
mengkritik jawaban-jawaban yang dikemukakan oleh orang lain. Aristippos
menjawab, ”yang sungguh baik bagi manusia adalah kesenangan”. Bagi Aristipos,
kesenangan yang dimaksudkan di sini adalah kesengan yang memiliki tiga
karakteristik pokok sebagai berikut ini. Pertama, kesenangan itu adalah bersifat
”badani atau material belaka”, karena hakikatnya tidak lain daripada gerak dalam
badan. Mengenai gerak itu ia membedakan tiga kemungkinan: gerak yang kasar
dan itulah ketidaksenangan, misalnya, rasa sakit; gerak yang halus dan itulah
kesenangan; sedangkan tiadanya gerak merupakan suatu keadaan netral, misalnya
jika ia tidur. Kedua, kesenangan bersifat badani itu adalah kesenangan ”aktual”;
bukan kesenangan masa lampau (karena hal ini tak lebih sebagai sebuah ingatan
atas kesenangan) dan bukan pula di masa mendatang (karena ini tak lebih sebagai
antisipasi atas kesenangan itu). Yang baik dalam arti kenikmatan sebenarnya
adalah kenikmatan ”kini” (sekarang). Dan ketiga, kesenangan dalam hedonisme
yang bersifat badani dan aktual (kini) adalah kesenangan ”di sini”, sehingga
kesenangan yang dimaksudkan adalah kesenangan individual—bukan kesenangan
kolektif. Apabila ditinjau dari parameter egoistis hedonisme dan universal
hedonisme, maka hedonisme versi Aristippos ini masuk kategori egoistis
hedonisme, dimana orang dikatakan bermoral apabila mampu berbuat
mendatangkan kenikmatan untuk dirinya sendiri, bukan seperti universalisme
hedonisme Itulah sebabnya K. Bertens menegaskan bahwa kalau dilihat secara
keseluruhan dapat disimpulkan bahwa kesenangan atau kenikmatan yang
dimaksudkan oleh Aristippos, sang maestro hedonisme, adalah kesenangan
sebagai yang berkarakteristik ”badani, aktual dan individual”.
5
Apabila ditinjau dari parameter ”egoistis hedonisme” dan ”universalistis
hedonisme”, maka model hedonisme versi Aristippos ini masuk ke dalam kategori
egoistis hedonisme (hedonisme individu). Sesuai dengan makna harfiahnya,
bahwa egoistis hedonisme lebih memberikan penekanan pada kenikmatan yang
bersifat individual (bukan kolektif), sehingga menurutnya orang yang bermoral
adalah orang yang mampu melakukan suaty perbuatan demi mewujudkan
kenikmatan (menghindarkan penderitaan) hanya untuk kepentingan dirinya
sendiri saja, sama sekali bukan untuk kepentingan orang lain. Pandangan seperti
ini jelas kontras dengan konsepsi universalistis hedonisme yang lebih
memberikan penekanan pada kenikmatan dalam arti kenikmatan bersama
(kolektif), sehingga orang dikatakan bermoral, dalam pandangannya, adalah
apabila orang itu mampu berbuat untuk mendatangkan sesuatu yang dapat
dinikmati secara bersama, atau kenikmatan yang bersifat kolektif; dan
universalistis hedonisme inilah yang kelak dinamakan madzhab utilitarianisme
dalam etika.
Di samping hal tersebut di atas, kemudian hedonisme mempunyai dua model
penafsiran (interpretasi) yang berbeda (bahkan bertolak belakang), yakni
hedonisme psikologis dan hedonisme etis. Hedonisme psikologis berpadangan
bahwa semua tindakan manusia senantiasa diarahkan untuk mencapai atau
mewujudkan suatu kenikmatan dan sekaligus menghindari, dan bahkan
menjauhkan dirinya dari penderitaan. Sedangkan menurut hedonisme etis, semua
tindakan manusia ”harus” ditujukan pada upaya pencapaian kenikmatan atau
kesenangan dan sekaligus menghindari adanya penderitaan. Tesis yang pertama
sering diposisikan sebagai dasar bagi tesis yang kedua, dengan alasan bahwa
apabila semua tindakan manusia adalah hedonistis, tentu saja bersifat mustahil
bila kita dianjurkan harus berbuat sebaliknya.
Dalam pandangan hedonisme, ada sejumlah batasan-batasan dalam mencapai
kenikmatan itu. Sebagaimana dijelaskan oleh Aristippos, bahwa dalam
pencapaian kenikmatan itu diperlukan adanya pengendalian diri bagi manusia,
6
sebagai juga telah diajarkan oleh gurunya yakni Sokrates. Dalam pada itu
pengakuan perlunya pendendalian diri tidak identik dengan meninggalkan
kenikmatan; yang penting adalah mempergunakan kesenangan dengan baik dan
tidak membiarkan diri terbawa olehnya, sebagaimana mengendalikan kuda atau
perahu tidak berarti meninggalknannya, tetapi menguasainya menurut kehendak
kita. Konon, kepada para pengkritiknya karena hubungannya dengan seorang
wanita penghibur kelas tinggi bernama Lais, Aristippos menjawab: ”Saya
memiliki Lais, bukan ia memiliki saya”.
Filosof Yunani lainnya yang melanjutkan hedonisme adalah Epikuros (341-
270 sM). Meskipun Epikuros melihat hedone sebagai tujuan dan kunci baik
kehidupan manusia, namun baginya pengertian kesenangan jauh lebih kompleks
dibandingkan dengan konsep Aristippos di atas. Bagi Epikuros, cakupan
kenikmatan itu selain bersifat badani (material) juga ada kenikmatan ruhani
(spiritual), dan bahkan jenis yang terakhir (kenikmatan ruhani) merupakan
kenikmatan yang lebih mulia. Perihal pengakuan Epikuros atas adanya
kenikmatan ruhani, sebagai tercermin dalam sebuah suratnya kepada Menokeous
berikut ini: ”Bila kami mempertahankan bahwa kesenangan adalah tujuannya,
kami tidak maksudkan kesenangan inderawi, tapi kebebasan dari nyeri dalam
tubuh kita dan kebebasan dari keresahan dalam jiwa
Dan lebih dari itu, dengan beranjak dari keberadaan kesenangan ruhani
sebagai yang lebih mulia, Epikuros tidak hanya membatasi kesenangan ruhani
sebagai bersifat aktual semata (sekarang), melainkan juga kesenangan masa
lampau dan masa akan datang.
Biarpun pada dasarnya setiap kesenangan bisa dinilai baik, namun itu tidak
berarti setiap kesenangan harus dimanfaatkan. Dalam konteks ini penting
dikemukanan pembagian Epikuros tentang keinginan atas tiga macam: keinginan
alamiah yang perlu (seperti makanan), keinginan alamiah yang tidak perlu (seperti
makanan yang enak) dan keinginan yang sia-sia (seperti kekayaan). Hanya
keinginan pertama harus dipuaskan dan pemuasannya secara terbatas
7
menghasilkan kesenangan paling besar, karena itu Epikuros menganjurkan
semacam ”pola hidup sederhana”. Orang bijak akan berusaha semaksimal
mungkin hidup terlepas dari keinginan, sehingga manusia akan mencapai
ataraxia, ketenangan jiwa atau keadaan jiwa seimbang yang tidak membiarkan
diri terganggu oleh hal-hal yang lain. Bagi Epikuros ataraxia sangat penting,
sehingga ia mengapresiasinya juga sebagai tujuan kehidupan manusia (di samping
kesenangan). Tujuan etik Epikuros dalam hal ini tidak lain adalah pendidkan jiwa
jiwa guna menghadapi segala kondisi, agar manusia selalu tangguh menghadapi
kehidupun di dunia ini
C. Pandangan Islam Terhadap Paham Universalistik dan Hedonisme
Agama Islam melarang setiap pemeluknya untuk mementingkan dirinya
sendiri tanpa mau memperdulikan keadaan masyarakat sekelilingnya; dan
demikian pula sebaliknya, agama Islam juga melarang para pemeluknya untuk
mementingkan urusan masyarakat dengan jalan menelantarkan kepentingan
pribadinya. Jadi agama Islam tidak sejalan dengan faham "egoistic hedonism"
yang menyatakan bahwa kebenaran itu ialah apa yang menyenangkan diri pribadi
meskipun menyengsarakan orang banyak. Dan juga tidak sependapat dengan
aliran "universalistic hedonism" yang berfaham bahwa kebenaran itu adalah yang
membahagiakan masyarakat banyak meskipun dirinya sendiri mengalami
kesengsaraan. Tetapi agama Islam adalah menengahi antara keedua faham dalam
aliran filsafat tersebut (egoistic hedonism dan universalistic hedonism). Dalam hal
ini Nabi Besar Muhammad saw. telah bersabda dalam hadits-hadits beliau yang
antara lain:
ار� ض�ر� � و�ال ر� �ض�ر� ال
8
"Tidak boleh membuat kesengsaraan dirinya sendiri dan juga tidak boleh
membuat kesengsaraan orang lain"
. �م �ح�اك ال و�اه ر� �ه� �ب ن ج� �ل�ى ا �ع� ائ ج� ه و�ج�ار �ع ب �ش� ي �ذ�ى� ال �مؤ�م�ن ال �س� �ي ل
�ه�ق�ي$ �ي �ب و�ال
"Bukanlah orang yang beriman, orang yang kenyang, sedangkan tetangga
di sebelahnya kelaparan".
�ان� ك و�م�ن� �ه، ل ظ�ه�ر� � ال م�ن� ع�ل�ى �ه� ب �عد� �ي ف�ل ظ�ه�ر1 ف�ض�ل �د�ه ن ع� �ان� ك م�ن�
او�ى . ( ر� �د1 ع�ي س� و� ب� أ ق�ال� �ه� ل اد� ز� � ال م�ن� ع�ل�ى �ه� ب �عد� �ي ف�ل اد1 ز� ف�ض�ــل �د�ه ن ع�
: ( �اف� ص�ن� أ م�ن� �م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل الله ص�ل�ى الله� و�ل س ر� �ر� ف�ذ�ك �ث� الح�د�ي
و�اه . ر� �ف�ض�ل� ال م�ن� �ا م�ن �ح�د1 أل �ح�ق � ال ـــــه �ـ �ن أ �ا �ن �ي أ ر� �ى ح�ت �ر� ذ�ك م�ا �م�ال� ال
د�اود� و� ب� و�أ �ح�م�د و�أ �م� ل مس�
"Barangsiapa yang mempunyai kelebihan tempat duduk di kendaraannya,
maka hendaklah dia memberikan kepada orang yang sama sekali tidak mendapatkan
kendaraan. Dan barangsiapa yang mempunyai kelebihan bekal, maka hendaklah dia
memberikan kepada orang yang sama sekali tidak mempunyai bekal. Abu Sa'id
(perawi hadits) berkata: Kemudian Rasulullah saw. menuturkan jenis-jenis harta
sebagaimana yang telah beliau tuturkan, sehingga kami (para sahabat) berpendapat
bahwa sesungguhnya sama sekali tidak ada hak pakai bagi salah seorang dari kita
terhadap kelebihan".
Hadits di atas memberi petunjuk kepada kita sekalian akan hal-hal berikut:
Saling membantu dalam memenuhi tuntutan hidup dan keperluan-
keperluannya adalah tiang utama dalam agama Islam, sehingga semua muslim
9
diwajibkan untuk saling membantu dan masing-masing dari kita diwajibkan
memberikan kelebihan yang dimilikinya kepada saudaranya sesama muslim yang
memerlukannya.
Agama Islam menjamin setiap manusia akan hak hidupnya, makanan,
minuman, pakaian, tempat tinggal, pendidikan dan pengobatan. Barangsiapa yang
tidak mampu untuk mendapatkan hak-hak hidup tersebut, maka wajib bagi orang
yang mampu untuk membantu mendapatkannya dan memberinya apa yang lebih dari
hajatnya sendiri.
Agama Islam memerangi penimbunan dengan segala macam bentuknya;
karena dalam penimbunan tersebut terdapat pengkhianatan bagi kelebihan harta
benda yang tidak dibenarkan oleh syari'at Islam. Islam juga memerangi perbuatan
riba, karena perbuatan riba itu bukanlah pertolongan, bahkan riba (pinjaman dengan
bunga) itu sesungguhnya merupakan pengkhia-natan yang jelek sekali bagi hajat
manusia. Islam memerangi perjudian, lotre dan gadai dengan bunga. Karena harta
yang dipergunakan dalam hal-hal tersebut adalah kelebihan dari pemi-liknya,
sedangkan seseorang tidak berhak untuk mempergunakan kelebihan yang dimilikinya
selain memberikan kepada orang yang berhak mempergunakannya.
Agama Islam mewajibkan pemberian upah pekerja pada batas minimal yang
tidak boleh kurang dari batas tersebut, yaitu jumlah yang dapat menjamin karyawan
dan keluarganya pada kehidupan yang normal.
Jadi menurut agama Islam, orang mu'min yang sejati ialah orang yang telah
merasakan dirinya sebagai anggauta mesyarakat, sehingga kebahagiaan masyarakat
adalah kebahagiaan bagi dirinya dan kesengsaraan masyarakat adalah kesengsaraan
bagi dirinya.
Karena agama Islam itu mengatur hubungan setiap muslim dengan:
10
Tuhannya yang telah menciptakan dirinya dan menganugerahinya dengan
berbagai macam kenikmatan yang tidak dapat dihitung jumlah dan macamnya.
Hubungan ini harus dilakukan dengan baik, yaitu dengan jalan beribadah dan
menyembah hanya kepadaNya, men-taati segala macam perintah dan larangan-Nya
dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu-pun.
Dirinya sendiri, dengan jalan memberikan makanan halal agar jiwanya dapat
merasakan ketenangan dan ketenteraman; dan makanan yang bergizi agar badannya
selalu sehat, serta harus mengobatinya apabila sakit. Agama Islam melarang setiap
muslim merusak jiwanya dengan makanan yang haram misalnya dan merusak
jasmaninya dengan minuman arak.
Sesama manusia yang dalam hal ini dibedakan antara seseorang dengan orang
tuanya, dengan orang lain yang lebih tua, dengan keluarganya, dengan teman sebaya,
dan dengan orang yang lebih muda, dengan tetangganya dan lain sebagainya.
Dengan sesama makhluk yang bernyawa. Agama Islam memperbolehkan
menyembelih binatang yang dagingnya boleh dimakan, akan tetapi dalam
menyembelih tersebut tidak boleh dilakukan dengan menyiksa binatang yang akan
disembelih. Demikian pula agama memperbolehkan membunuh binatang buas yang
membahayakan dan binatang-binatang yang merusak/mengganggu, namun tidak
boleh dilakukan dengan jalan menyiksa.
Alam semesta dan lingkungan hidupnya. Agama Islam mempersilahkan setiap
orang untuk memanfa'akan apa saja yang diciptakan Allah di alam semesta ini, akan
tetapi pemanfaatan tersebut tidak boleh dilakukan dengan mendatangkan pencemaran
bagi lingkungan hidup, lebih-lebih dengan jalan yang mendatangkan kerusakan bagi
eko system dari alam semesta ini.
Dalam surat Al 'Ashr ayat 1 - 3 Allah swt. berfirman:
11
. . . ــــــو�ا ـ آم�ن �ن� ـذ�ي �ـ ال � �ال إ ر1 خس� �ف�ى ل ان� �س� �ن اإل ��ن إ �ع�ص�ر� و�ال الرحيم الرحمن الله بسم
�ر� . �ال�ص�ــــــب ب �و�اص�و�ا و�ت Mح�ق� �ال ب �و�اص�و�ا و�ت �ح�ات� الص�ال و�ا و�ع�م�ل
"Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Demi masa.
Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan saling menasehati supaya mentaati
kebenaran dan saling menasehati supaya menetapi kesabaran".
Yang dimaksud dengan mengerjakan amal saleh di sini adalah berbuat baik
kepada Allah swt, diri sendiri, sesama manusia, sesama makhluk hidup dan alam
semesta seperti tersebut di atas
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Universalistic hedonism yang menyatakan bahwa yang menjadi tolok ukur
apakahsuatu perbuatan itu baik atau buruk adalah mengacu kepada akibat
perbuatan itu melahirkan kesenangan atau kebahagiaan kepada seluruh makhluk.
Istilah ”hedonisme”, termasuk dalam konteks madzhab etika, secara
etimologis berasal dari bahasa Yunani hedone, yang berarti kesenangan, atau
kenikmatan dan kepuasan rasa. Dari sini kemudian dapat dikatakan bahwa secara
kebahasaan, sesungguhnya kata hedone, dalam istilah hedonisme, dapat diartikan
sebagai kesenangan, kenikmatan, kelezatan dan kepuasan rasa, serta terhindar dari
segala penderitaan. Di dalam madzhab hedonisme, rasa puas atau kepuasan
B. Saran
Demikianlah makalah ini saya buat dengan semaksimal mungkin. Saya
menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan
kekurangan baik dalam segi penulisan maupun materi yang disajikan. Dengan
demikian kritik dan saran dari dosen pembimbing dan teman-teman sekalian
sangat saya harapkan demi perbaikan dalam pembuatan makalah selanjutnya.
Atas kritik dan saran nantinya saya ucapkant terima kasih.
13
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................
KATA PENGANTAR......................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................1
B. Tujuan.............................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Aliran Universalistik .....................................................................2
B. Aliran Hedonisme .........................................................................2
C. Pandangan Islam Terhadap Paham Universalitik-hedonisme........ 8
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan...........................................................................................13
B. Kritik dan Saran ...................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA
14
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah Penyusun Panjatkan Kehadirat Allah SWT, karena
dengan Rahmat dan Karunia-Nya Penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan
judul “Aliran Universalistik dan Hedonisme”
Salawat beserta salam penyusun sampaikan kepada Reformator dunia yaitu
Baginda Rasulullah SAW yang telah menghijrahkan umatnya minal kufri ilal iman,
kecintaannya kepada umat melebihi cintanya pada dirinya sendiri..
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penyusun mengakui masih banyak
terdapat kejanggalan- kejanggalan dan kekurangan dalam makalah ini. Hal ini
disebabkan kurangnya ilmu pengetahuan dan pengalaman yang penyusun miliki, oleh
karena itu, kritik dan saran yang konsruktif sangat penyusun harapkan demi
kesempurnaan makalah ini dimasa yang akan datang.
Penyusun juga berharap makalah ini mudah-mudahan berguna dan
bermamfaat bagi kita semua. Amin Ya Rabbal ‘Alami
Bengkulu, 2012
Penyusun
15
ii
i
i
AKHLAKAliran Akhlak Universalistik dan Hedonisme
Oleh :
Luti HerliLipi ermayani
Dosen Pembing :
Drs. M. Nur Ibrahim, M.Pd
JURUSAN TARBIYAHPENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERISTAIN (BENGKULU)
2012
16
DAFTAR PUSTAKA
Solihin dan Rosyid Anwar.2005.Aklak Tasawuf: Manusia, Etika, Dan Makna
Hidup.Bandung:Nuansa
Mustofa,1997.Akhlak-Tasawuf.Bandung:Pustaka Setia
Abdullah,Yatimin,2007.Studi Akhlak Dalam Perspektif Al-Quran.Jakarta : Amzah
17