Post on 03-Jan-2016
RESUME TENTANG ALAT BUKTI DALAM HUKUM ACARA PERDATA
Diajukan untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Hukum Acara Perdata
Oleh :
Miasari Maharta Dewi 110110110198
Andi Dini Tenri Liu 110110110200
Nadya Clara Marcheleim 110110110201
Vega Nidia Atmawijaya 110110110202
Galura Wirayudanto 110110110203
Rio Wirananda 110110110204
Dosen :
Dr. H. Isis Ikhwansyah, S.H., M.H., CN.
Pupung Faisal, S.H., M.H.
FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG2013
1. ALAT BUKTI TERTULISAlat bukti tertulis yang berisi keterangan tentang suatu peristiwa, keadaan, atau hal-
hal tertentu. Dalam hukum acara perdata dikenal beberapa macam alat bukti tertulis
diantaranya sebagai berikut.Pertama adalah surat ialah sesuatu yang memuat tanda-tanda
bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah
pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.
Menurut Dr. Sudikno Mertokusumo, SH, berpendapat bahwa alat bukti surat atau
tulisan adalah : “segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk
mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai
pembuktian”.1
Surat sebagai alat bukti tertulis dibedakan menjadi dua, yaitu:
- Akta, adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang
menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja
untuk pembuktian
- Bukan akta
Sedangkan akta itu sendiri ada dua macam, yaitu :
- Akta otentik
- Akta dibawah tangan
Sedangkan menurut UU No.5 / 1986 pasal 101 bahwa surat sebagai alat bukti terdiri
atas tiga jenis,2 yaitu :
(1) Akta otentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum,
yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat ini dengan
maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa hukum yang
tercantum di dalamnya
1Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, cet. I., Yogyakarta : 1972, hal. 1002Pasal 101 UU No.5/1986
(2) Akta dibawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditanda tangani oleh pihak-
pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti
tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya
(3) Surat-surat lain yang bukan akta.
Akta otentik ada dua macam, yaitu :
a. Akta yang dibuat oleh pejabat (Ambtelijk Akten)
b. Akta yang dibuat dihadapan pejabat (Partij Akten)
2. Perbedaan antara Ambtelijk Akten dan Partij Akten3
NO Aspek/Unsur Ambtelijk Akten Partij Akten
1 Inisiatif dari Perjabat bersangkutan karena
jabatannya
Para pihak karena
kepentingannya
2 Isi akta Ditentukan oleh pejabat yang
bersangkutan berdasarkan
UU
Ditentukan oleh para
pihak
3 Ditanda tangani oleh Pejabat itu sendiri tanpa
pihak lain
Para pihak dan pejabat
yang bersangkutan
4 Kekuatan bukti Tidak dapat digugat kecuali
palsu
Dapat digugat dengan
pembuktian sebaliknya
Bila mana salah satu pihak yang bersengketa membantah keaslian alat bukti surat
yang diajukan oleh pihak lawan, maka hakim dapat melakukan pemeriksaan terhadap
bantahan itu dan kemudian mempertimbangkan dalam putusan akhir mengenai nilai
pembuktiannya. Apabila dalam pemeriksaan persidangan ternyata ada alat bukti tertulis
tersebut ada pada badan atau pejabat TUN, maka hakim dapat memerintahkan badan atau
pejabat TUN tersebut untuk segera menyediakan alat bukti tersebut. Masing-masing alat
3Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, hal. 149
bukti yang berupa surat atau tulisan itu mempunyai bobot kekuatan pembuktian sendiri-
sendiri dan hakim yang akan menentukan bobot atau nilai pembuktian tersebut.4
Pada prinsipnya, kekuatan bukti suatu alat bukti surat terletak pada akta aslinya.
Tindasan, foto copy, dan salinan akta yang aslinya masih ada, hanya dapat dipercaya apabila
tindasan, foto copy dan salinan itu sesuai dengan aslinya. Dalam hubungan ini, hakim dapat
memerintahkan kepada para pihak agar memperlihatkan aslinya sebagai bahan perbandingan,
tetapi apabila lawan mengakui atau tidak membantahnya maka tindasan, foto copy, dan
salinan akta tersebut mempunyai kekuatan pembukti seperti yang asli.5
*AKTA OTENTIK
Diatur dalam pasal 1868 KUHPer yang berbunyi
“suatu akta otentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang undang
oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang unutk itu ditempat akta dibuat”6
Dalam penjelasan pasal ini akta otentik dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang
berwenang yang disebut pejabat umum,apabila yang membuatnya tidak cakap atau tidak
berwenang atau bentuknya cacat maka menurut pasal 1869 KUHper :
-akta tersebut tidka sah atau tidak memenuhisyarat formil sebagai akta otentik,oleh sebab itu
tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik.
-Namun akta yang demikian mempunyai nilai kekuatan sebagai akta dibawah tangan
dengan syarat apabla akta tersebut ditanda tanganni oleh kedua pihak.
Nilai kekuatan pembuktian akta otentik
1.bila terpenuhi syarat fomil dan materill maka:
a.pada dirinya lansung mencakupi batas minimal pembuktian tanpa bantuan alat bukti
lain.
4Yos Johan Utama, Kiat Berperkara di Peradilan Tata Usaha Negara, Badan Penerbbit UNDIP Semarang, t.th., hal. 485Teguh Samudera, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Bandung, 1992, hal. 576KUHPER pasal 1868
b.Lansung sah sebagai alat bukti otentik
c.Lansung melekat nilai kekuatan pembuktian,sempurna,mengikat,
d.Hakim wajib terikat,menganggap akta otentik tersebut benar dan sempurna.
2.Kualitas kekuatan pembuktian akta otentik tidak bersifat memaksa terhadapnya dapat
diajukan bukti lawan.
*AKTA BAWAH TANGAN
Diatur dalam pasal 1874 KUHPer pasal 286 RGB:
-tuilsan atau akta yang ditanda tangani dibawah tangan
-tidak dibuat dan ditanda tanganni dihadapan pejabat yang berwenang,dibauat sendiri oleh
para pihak.
-secara umum terdiri dari segala jenis tulisan yang tidak dibuat oleh atau dihadapan pejabat
meliputi surat-surat,register register.
Segala bentuk tulisan atau akta yang bukan akta otentik adalah akta bawah
tangan,akan tetap dari segi hukum pembuktian agar suatu tulisan bernilai sebagai akta bawah
tangan diperlukan persyratan pokok :
1.surat atau akta tersebut ditanda tangani
2.isi yang diterangkan didalamnya menyangkut perbuatan hukum.
3.sengaja dibuat untuk dijadikan bukti dari perbuatan hukum yang disebut ddalmnya.7
2. BUKTI SAKSI – SAKSI DAN SAKSI AHLI
Mengenai alat bukti kesaksian diatur dalam pasal 139-152, 168-172 HIR (ps. 165-179
RBg), 1895 dan 1902-1912 BW. Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di
persidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan
dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil di
7Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, hal. 26
persidangan.8 Jadi, keterangan yang diberikan oleh saksi harus tentang peristiwa atau
kejadian yang dialaminya sendiri, sedang pendapat atau dugaan yang diperoleh secara
berfikir tidaklah merupakan kesaksian. Keterangan saksi haruslah diberikan secara lisan dan
pribadi di persidangan, jadi harus diberitahukan sendiri dan tidak diwakilkan serta tidak boleh
dibuat secara tertulis. Terhadap saksi yang telah dipanggil dengan patut dan tidak dating
diberi sanksi dan terhadap saksi yang telah dating di persidangan enggan memberi keterangan
dapat diberi sanksi juga.9
Yang dapat didengar sebagai saksi adalah pihak ketiga dan bukan salah satu pihak
yang berperkara (ps. 139 ayat 1 HIR). Baik pihak formil maupun materiil tidak boleh
didengar sebagai saksi. Dalam Hukum Acara Perdata pembuktian dengan saksi sangat
penting artinya, terutama untuk perjanjian – perjanjian dalam hukum adat, dimana pada
umumnya karena adanya saling percaya – mempercayai tidak dibuat sehelai surat pun.10
Dapat tidaknya seorang saksi dipercaya tergantung pada banyak hal yang harus
diperhatikan oleh hakim sebagaimana dinyatakan dalam pasal 172 HIR bahwa dalam
mempertimbangkan nilai kesaksian hakim harus memperhatikan kesesuaian atau kecocokan
antara keterangan para saksi, kesesuaian kesaksian dengan apa yang diketahui dari segi lain
tentang perkara yang disengketakan, pertimbangan yang mungkin ada pada saksi untuk
menuturkan kesaksiannya, cara hidup, adat istiadat serta martabat para saksi dan segala
sesuatu yang sekiranya mempengaruhi tentang dapat tidaknya dipercaya seorang saksi.
Dalam setiap kesaksian harus disebut segala sebab pengetahuan saksi (ps. 171 ayat 1
HIR , 1907 BW). Tidaklah cukup kalau saksi hanya menerangkan bahwa ia mengetahui
peristiwanya. Kesaksian hanyalah dibolehkan dalam pemberitahuan dari orang yang
mengetahui dengan mata kepala sendiri (ratio sciendi). Keterangan saksi yang bukan
merupakan pengetahuan dan pengalaman sendiri tidak dapat membuktikan kebenaran
8 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, hlm. 1689 Sudikno Mertokusumo, Ibid. hlm. 16910 Retnowulan Sutantio et. al, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, hlm. 70
persaksiannya. Mengenai keterangan seorang saksi yang diperoleh dari pihak ketiga atau
testimonium de auditu, pada umumnya tidak diperkenankan karena keterangan itu tidak
berhubungan dengan peristiwa yang dialami sendiri. Dengan demikian, saksi de auditu bukan
merupakan alat bukti dan tidak perlu dipertimbangkan.11
Keterangan seorang saksi saja tanpa alat bukti lainnya tidak dianggap sebagai
pembuktian yang cukup seperti dalam asas yang ada pada pasal 169 HIR yaitu seorang saksi
bukan saksi atau unus testis nullus testis. Dalam hal dua orang saksi atau lebih yang memberi
keterangan tentang kejadian yang berlainan tidaklah merupakan unus testis karena
berdasarkan arrest HR 25 November 1948 mengatakan bahwa dua keterangan saksi
mengenai dua peristiwa yang berbeda bersama – sama merupakan bukti yang cukup. Akan
tetapi penilaian mengenai hal tersebut kembali diserahkan kepada penilaian hakim.
Pada asasnya setiap orang yang bukan salah satu pihak dapat didengar sebagai saksi
dan apabila telah dipanggil oleh pengadilan wajib memberi kesaksian. Kewajiban untuk
memberi kesaksian serta sanksi – sanksi yang diancamkan apabila mereka tidak
memenuhinya diatur dalam pasal 139 HIR. Walaupun setiap orang dapat menjadi saksi, tetapi
terdapat pula golongan orang yang dianggap tidak mampu untuk bertindak menjadi saksi,
dibedakan menjadi :
a. Mereka yang tidak mampu secara mutlak (absolute), hakim dilarang untuk mendengar
mereka sebagai saksi, mereka ini ialah :
1) Keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut keturunan yang lurus dari salah
satu pihak (ps. 145 ayat 1 HIR).
2) Suami atau isteri dari salah satu pihak meskipun sudah bercerai (ps. 145 ayat 1)
b. Mereka yang tidak mampu secara nisbi (relative), adalah mereka yang boleh didengar
tetapi tidak sebagai saksi diantaranya :
1) Anak – anak yang belum mencapai umur 15 tahun (ps. 145 ayat 1 jo. Ayat 4 HIR)
11 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hlm 172
2) Orang gila meskipun kadang ingatannya sehat (ps. 145 ayat 1 HIR)
Selain golongan yang telah disebut di atas, terdapat pula golongan yang atas
permintaan mereka sendiri dibebaskan dari kewajibannya untuk memberi kesaksian. Mereka
ini adalah :
a. Saudara laki – laki dan perempuan serta ipar laki – laki dan perempuan dari salah satu
pihak.
b. Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dan saudara laki – laki dan
perempuan dari suami atau isteri salah satu pihak.
c. Semua orang yang karena martabat, jabatan atau hubungan kerja yang sah diwajibkan
mempunyai rahasia. Hak mengundurkan diri ini diberikan kepada dokter, advocaat,
notaris dan polisi.
Seorang saksi mempunyai kewajiban tertentu diantaranya kewajiban untuk
menghadap, kewajiban untuk bersumpah dan kewajiban untuk memberi keterangan.
SAKSI AHLI
Merupakan keterangan dari pihak ketiga yang obyektif dan bertujuan untuk
membantu hakim dalam pemeriksaan guna menambah pengetahuan hakim sendiri.12 Pada
umumnya hakim menggunakan keterangan seorang ahli agar memperoleh pengetahuan yang
lebih mendalam tentang sesuatu yang hanya dimiliki oleh seorang ahli tertentu, misalnya
tentang hal – hal yang bersifat teknis. Bahkan mengenai hukum pun hakim dapat meminta
bantuan seorang ahli, misalnya untuk mengetahui hukum adat setempat, kepala adat atau
suku dapat didengar sebagai ahli.
Keterangan ahli diatur dalam pasal 154 HIR, tetapi mengenai siapa atau apa yang
disebut ahli tidak ditegaskan oleh pasal tersebut, sehingga dengan demikian tentang ahli atau
tidaknya seseorang tidak ditentukan oleh pengetahuannya atau keahliannya yang khusus,
12 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hlm. 197
tetapi ditentukan oleh pengangkatannya oleh hakim.13 Laporan seorang ahli yang telah
diangkat dapat diberikan baik secara lisan maupun tulisan yang diteguhkan dengan sumpah.
Lalu antara saksi dan saksi ahli yang menjadi perbedaannya diantarannya :
Kedudukan seorang ahli dapat diganti dengan ahli lain untuk memberikan
pendapatnya. Sedangkan saksi pada umumnya tidak diperbolehkan demikian karena
saksi tidak boleh diganti dengan saksi lain.
Apabila dalam saksi kita mengenal asas satu saksi bukan saksi (unus testis nullus
testis), tidak demikian dengan ahli. Satu ahli cukup untuk didengar mengenai satu
peristiwa.
Seorang ahli pada umumnya mempunyai keahlian tertentu yang berhubungan dengan
peristiwa yang disengketakan, sedangkan saksi tidak memerlukan keahlian tertentu.
Seorang saksi memberi keterangan yang dialaminya sendiri sebelum terjadi proses,
sedangkan ahli memberikan pendapat atau kesimpulannya tentang suatu peristiwa
yang disengketakan selama terjadinya proses.
Saksi harus memberikan keterangan secara lisan, keterangan saksi yang ditulis
merupakan alat bukti tertulis, sedangkan keterangan ahli yang ditulis tidak termasuk
dalam alat bukti tertulis.
Hakim terikat untuk mendengar saksi yang akan memberikan keterangan tentang
peristiwa yang relevan, sedangkan mengenai ahli, hakim bebas untuk mendengar atau
tidak.14
Apabila saksi maupun ahli didengar di persidangan, maka keterangan maupun apa
yang terjadi di persidangan yang relevan harus dicatat dalam berita acara persidangan dan
kalaupun keterangan ahli yang telah dicatat dalam berita acara tidak digunakan oleh hakim
maka alasannya mengapa tidak digunakan harus dimuat dalam putusannya.
13 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hlm. 19814 Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hlm. 199
3. PERSANGKAAN
Apabila dalam suatu pemeriksaan perkara perdata sukar untuk mendapatkan saksi
yang melihat,mendengar atau merasakan sendiri maka peristiwa hukum yang harus
dibuktikan diusahakan agar dapat dibuktikannya dengan persangkaan-persangkaan. Kata-kata
“Persangkaan” dalam pasal 163 HIR dirasa kurang tepat, seharusnya adalah persangkaan-
persangkaan karena satu persangkaan saja tidak cukup untuk membuktikan sesuatu,
dibutuhkan banyak persangkaan.15
Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang dianggap telah
terbukti, lalu peristiwa yang dikenal, karena suatu peristiwa yang belum terbukti. Yang
menarik kesimpulan tersebut adalah hakim atau undang-undang. Persangkaan Hakim adalah
sehubungan dengan adanya gugatan, perceraian yang didasarkan atas perzinahan. Adalah
sukar sekali untuk menemukan saksi-saksi yang melihat sendiri waktu perzinahan tersebut
terjadi. Oleh karena itu sudah menjadi yurisprudensi tetap, bahwa apabila dua orang pria dan
wanita dewasa yang bukan suami-isteri itu tidur bersama satu kamar yang hanya mempunyai
satu tempat tidur maka untuk perbuatan perzinahan telah terdapat satu persangkaan hakim.
Persangkaan Hakim sebagai alat bukti mempunyai kekuatan bukti bebas, dengan perkataan
lain terserah kepada penilaian hakim yang bersangkutan, kekuatan bukti apa yang akan
diberikan kepada persangkaan hakim tertentu itu, apakah akan dianggap sebagai alat bukti
yang berkekuatan sempurna atau sebagai bukti permulaan atau tidak diberi kekuatan apapun
juga.16
Bab keempat buku keempat BW, tegasnya pasal 1915 dan seterusnya mengatur
tentang persangkaan-persangkaan. Selain persangkaan hakim, dikenal juga persangkaan
undang-undang. Menurut pasal 1916 BW, persangkaan undang-undang ialah persangkaan
15 Retnowulan Sutantio & Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam teori dan praktik,Bandung : Mandar Maju, 2009, hlm. 7716 Retnowulan Sutantio et. al, Ibid. hlm. 77
yang berdasarkan suatu ketentuan khusus undang-undang, dihubungkan dengan perbuatan
tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu.
Persangkaan – persangkaan semacam itu diantaranya17 :
1. Perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan batal, karena semata-mata demi sifat
dan wujudnya dianggap telah melakukan untuk menyelundupi suatu ketentuan
undang-undang
2. Hal-hal dimana oleh undang-undang diterangkan bahwa hak milik atau pembebasan
utang disimpulkan dari keadaan-keadaan tertentu
3. Kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada pengakuan atau kepada sumpah
salah satu pihak
4. Kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada suatu putusan hakim yang telah
memperoleh kekuatan mutlak
Sehubungan dengan macam-macam persangkaan undang-undang tersebut yang dikenal
dalam BW harus dikemukakan bahwa karena BW hanya berlaku untuk golongan-golongan
tertentu saja, maka persangkaan-persangkaan undang-undang tersebut diatas dalam hukum
acara perdata kita harus anggap sebagai bahan perbandingan saja, yang oleh hakim masih
harus dipertimbangkan apakah dalam suatu kasus tertentu, berlaku ketentuan-ketentuan
tersebut.18
Dalam persoalan adat waris, sering dipergunakan persangkaan hakim, bahwa oleh karena
penggugat sudah dua puluh tahun lebih tinggal diam tanpa ada sesuatu alasan yang sah hal itu
memberi persangkaan hakim yang beralasan, bahwa penggugat sesungguhnya tidak berhak
atas sawah/tanah yang dipersengketakan lagi.
Pasal 164 HIR, 284 Rbg, 1866 BW menyebut sebagai alat bukti sesudah saksi adalah
persangkaan-persangkaan. Pada hakekatnya yang dimaksud dengan persangkaan tidak lain
17 Burgerlijk Wetboek, Pasal 191618 Ibid, op.cit., hlm. 79
adalah alat bukti yang bersifat tidak langsung. Misalnya, pembuktian daripada ketidakhadiran
seseorang pada suatu waktu di tempat tertentu dengan membuktikan kehadirannya pada
waktu yang sana di tempat lain. Dengan demikian maka setiap alat bukti dapat menjadi
persangkaan. Bahkan hakim dapat menggunakan peristiwa prosesuil maupun peristiwa notoir
sebagai persangkaan.19
Ada 2 bentuk persangkaan menurut undang-undang :
1. Praesumptiones juris tantum, yaitu persangkaan berdasarkan hukum yang
memungkinkan adanya pembuktian lawan
2. Praesumptiones juris et de jure, yaitu persangkaan berdasarkan hukum yang tidak
memungkinkan pembuktian laan.
Persangkaan diatur dalam Pasal 172 HIR, Pasal 310 RBg, Pasal 1915-1922 BW.
4. PENGAKUAN
Dibedakannya antara pengertian hukum perdata materiil dengan hukum perdata
formal (hukum acara perdata) dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa keduanya memang
berbeda secara substansial.Hukum perdata materiil merupakan kumpulan kaidah hukum yang
mengatur atau berisi hak-hak dan kewajiban- kewajiban para subjek hukum. Sedangkan
hukum acara perdata adalah kumpulan kaidah hukum yang berisi tentang pengaturan
bagaimana cara-cara mempertahankan hak-hak dan kewajiban-kewajiban apabila dilanggar
subjek hukum lain.
Kebutuhan terhadap hukum acara merupakan tuntutan dari hukum materiil itu sendiri.
Hal itu disebabkan tanpa ada hukum acara tentu saja perselisihan atau sengketa yang timbul
diantara para subjek hukum yang mengadakan hubungan hukum akan sangat sulit dipulihkan.
Oleh karena itu keberadaan hukum acara pada dasarnya adalah sebagai jaminan atas
penegakan hak atau kewenangan subjek hukum terhadap objek hukum tertentu.Pada akhirnya
tujuan dari adanya hukum acara adalah simultan dengan tujuan hukum secara keseluruhan
19 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty, 2009, hlm 179
yakni terciptanya ketertiban dan ketenteraman masyarakat.
Hukum perdata materiil juga berbeda dengan hukum acara perdata, karena hukum
perdata materiil adalah hukum privat sedangkan hukum acara perdata adalah hukum publik.
Pembedaan ini pun terjadi karena adanya perbedaan kepentingan yang dilindungi. Hukum
perdata materiil berisi kaidah yang mengatur kepentingan individu atau perorangan
(mengandung sifat keperdataan) sedangkan hukum acara perdata sebagai kaidah yang
mengatur tentang bagaimana mempertahankan hukum materiil jika hukum materiil itu
dilanggar, ini menyangkut kepentingan umum (mengandung sifat publik).
Hukum acara perdata di samping mengandung sifat-sifat sebagai hukum publik, juga
mengandung sifat-sifat keperdataan. Sifat keperdataan itu tampak dalam hal kaidah-kaidah
yang mengatur tentang hak dan wewenang yang dilakukan oleh para pihak untuk
mempertahankan kepentingannya. Sedangkan sifat publiknya tampak dalam kaidah yang
mengatur tentang tata cara hakim sebagai aparatur negara menjalankan tugasnya dan terdapat
ketentuan-ketentuan yang harus dilakukan oleh hakim yang harus ditaati.
Ketentuan-ketentuan yang bersifat publik tersebut tidak boleh dikesampingkan.
Umpamanya saja, kaidah tentang tata cara mengajukan gugatan, batas waktu mengajukan
banding maupun kasasi, tentang kekuatan alat-alat bukti yang diajukan para pihak di depan
sidang pengadilan, dan lain-lain.
Menyangkut masalah kekuatan pembuktian, mengingat kekuatan pembuktian dari
alat-alat bukti merupakan sifat publik dari hukum acara perdata, maka hakim diharuskan
percaya kepada kekuatan alat bukti yang diajukan para pihak. Dengan demikian hakim
perdata tidak boleh memeriksa secara mendalam tentang latar belakang pernyataan para
pihak di persidangan. Tentang apakah pengakuan yang dikemukakan itu palsu atau tidak,
demikian pula apakah sumpah yang diucapkan itu palsu atau tidak, itu semua merupakan
tugas dan wewenang hakim pidana.
Sebagai alat bukti, Pengakuan mempunyai dasar hukum sebagaimana diatur dalam
pasal 174,175 dan 176 HIR, 311,312 dan 313 R.Bg dan pasal 1923-1928 BW. Menurut Prof.
MR.A.Pitlo sebagaimana yang dikutip oleh Teguh Samudera,SH mengemukakan bahwa:
Pengakuan adalah keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam suatu perkara, dimana ia
mengakui apa- apa yang dikemukakan oleh pihak lawan.
Pengakuan masih diperselisihkan oleh para ahli hukum sebagai alat bukti. Prof. R.
Subekti,SH mengatakan bahwa tidak tepat memasukkan pengakuan sebagai alat bukti, karena
justru apabila dalil-dalil yang dikemukakan oleh pihak lain, maka yang mengemukakan dalil
itu dibebaskan dari pembuktian, sedangkan Prof. Schoeten dan Load Enggens berpendapat
bahwa pengakuan sebagai alat bukti merupakan hal yang tepat, karena suatu pengakuan di
muka hakim bersifat suatu pernyataan oleh salah satu pihak yang berperkara dalam proses
persidangan. Pengakuan merupakan pernyataan kehendak (wisverlaring) dari salah satu pihak
yang berperkara.Dengan demikian semua pernyataan yang bersifat pengakuan di muka hakim
merupakan suatu perbuatan hukum (rechtshadeling) dan setiap perlawanan hukum itu
merupakan suatu hal yang bersifat menentukan secara mutlak
(berchikkingshandeling).Demikian juga dengan pengakuan yang diucapkan oleh salah satu
pihak dalam persidangan, misalnya terhadap hal- hal kebendaan (vermogensrechten) yang
dimiliki sendiri perbuatan yang dilakukan sendiri olehnya.
Oleh karena dalam pasal 174-176 HIR, pasal 311-313 R.Bg. dan pasal 1923-1928 KUH
Perdata telah ditetapkan bahwa “pengakuan” merupakan alat bukti, maka demi kepastian
hukum harus dinyatakan bahwa pengakuan itu merupakan alat bukti yang sah menurut
hukum.
A. Faktor-faktor yang Mendukung Timbulnya Pengakuan
Hakim sebagai organ pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan
mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.20Dalam menyelesaikan setiap sengketa
yang diajukan kepadanya, hakim memerlukan pembuktian terhadap peristiwa yang diajukan
para pihak.
Membuktikan dalam arti yuridis tidak lain berarti memberi dasar-dasar yang cukup
kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang
kebenaran peristiwa yang diajukan.21
Menurut sifatnya alat bukti dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: Pertama,
bukti yang berasal dari diri para pihak (pengakuan dan sumpah). Kedua, alat-alat bukti yang
berasal dari luar diri para pihak (surat-surat, persangkaan hakim, dan keterangan para saksi).
Alat bukti yang berasal dari diri para pihak dan diberikan berdasarkan atas kejujuran
maka dapat dianggap terbukti sebagai suatu peristiwa tertentu. Sedangkan alat bukti yang
berasal dari luar para pihak kadang-kadang masih perlu didukung oleh alat-alat bukti lain,
terutama apabila peristiwanya tidak dapat dianggap terbukti. Umpamanya saja, hanya
terdapat satu orang saksi.Padahal diketahui dari adagium bahwa "satu saksi itu bukan saksi"
(Unus testis nullus testis).Keterangan seorang saksi tidak dianggap sebagai suatu kesaksian
yang kuat di dalam hukum.Hal itu terutama untuk menghindari adanya kelemahan-kelemahan
yang terkandung di dalam kesaksian itu.Kelemahan yang dimaksud, baik yang berasal dari
iktikad buruk orang yang memberi kesaksian itu maupun kelamahan yang tidak
disengaja.Sebagai contoh umpamanya, diajukan saksi seseorang yang kurang ingatannya.
Atau dapat juga saksi yang keterangannya diperoleh dari orang lain (kesaksian de auditu).
Padahal kesaksian de auditu tidak dapat dianggap sebagai alat bukti kesaksian.
Demikian pula halnya dengan alat bukti surat yang kemungkinannya masih harus
dibebani dengan alat bukti lain, jika peristiwanya masih belum dianggap terbukti. Ukuran
20Pasal 14 ayat (1) U.U. No. 14 Tahun 1970.Lihat pula penjelasan pasal tersebut.
21R.M. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara PerdataIndonesia. Yogyakarta:Liberty, 1985,halaman 107.
perbedaan kekuatan sebagai alat bukti adalah karena besar atau kecilnya kemungkinan
mendekati kepada kebenaran.Akta otentik umpamanya, lebih besar kemungkinan mendekati
kepada kebenaran, karena telah dikuatkan oleh pejabat yang berwenang.Oleh karena itu
barangsiapa yang mengajukan akta otentik sebagai alat bukti di persidangan, maka akta
otentik tersebut mempunyai kekuatan bukti yang sempurna.Sebagai kon sekuensinya,
barangsiapa yang membantah keabsahan dari akta otentik itu harus membuktikan bahwa akta
tersebut tidak benar.Sebaliknya, menyangkut akta di bawah tangan, jika akta di bawah tangan
dibantah kebenarannya, maka barangsiapa yang mengajukan akta di bawah tangan tersebut
sebagai alat bukti, maka yang bersangkutan harus mebuktikan kebenarannya.
Kemudian menyangkut masalah bukti persangkaan hakim, untuk alat bukti ini masih
memerlukan adanya bukti-bukti lain. Ini disebabkan persangkaan hakim itu timbul
berdasarkan adanya bukti atau dalil-dalil lain yang diajukan para pihak.
a) Faktor Keinsyafan Batin Manusia"...Pengakuan di muka hakim di persidangan
(gerechtelijke bekentenis)merupakan keterangan sepihak, baik tertulis maupun lisan yang
tegas dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam perkara di persidangan, yang
membenarkan baik seluruhnya atau sebagian dari suatu peristiwa, hak atau hubungan
hukum yang diajukan oleh lawannya, yang mengakibatkan pemeriksaan lebih lanjut oleh
hakim tidak perlu lagi...".22
Dari batasan di atas dapat difahami bahwa pengakuan merupakan pernyataan
dari salah satu pihak di persidangan, yang timbul atas dorongan naluriah manusia.Naluri
manusia-lah yang mengarahkan untuk mewujudkan cita-cita kebenaran.Oleh karena itu maka
pengakuan yang jujur merupakan pernyataan dari salah satu pihak untuk mengemukakan
yang benar, walaupun merugikan dirinya sendiri.
O. Notohamidjojo,23dalam bukunya mengemukakan antara lain bahwa: "...keinsyafan
22R.M. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara... Op. Cit., halaman 107.
23O. Notohamidjojo, Demi Keadilan dan Kemanusiaan, Beberapa Bab dalam Filsafat Hukum. Jakarta: BPK
batin atau nurani manusia adalah sebagai alat pengontrol dalam diri manusia untuk memihak
kepada yang baik dalam menghadapi suatu keadaan antara yang baik dan yang buruk, antara
salah dan benar...".
Pembahasan tentang pengakuan pada hakikatnya merupakan suatu tinjauan tentang
kepribadian manusia itu sendiri.Hal itu karena pengakuan timbul berdasarkan dorongan
keinsyafan batin manusia.Pengakuan itu berarti membenarkan tentang suatu hal atau
kejadian.Oleh karena itu maka pengakuan yang patut dihargai adalah pengakuan yang jujur
atau yang benar-benar timbul dari keinsyafan batin para pihak yang berperkara. Pengakuan
yang timbul karena keinsyafan batin ini tidak diragukan lagi bahwa akan selaras dengan
kebenaran, atau telah sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya telah terjadi.
b) Faktor Pemikiran yang Logis
Untuk menentukan kebenaran terhadap suatu kejadian atau peristiwa tertentu
diperlukan akal, sementara akal itu dimiliki oleh setiap orang.Akal itulah yang menjadi hakim
dalam diri seseorang yang senantiasa memberikan pertimbangan dalam menjatuhkan suatu
keputusan atas setiap kejadian.
Faktor pikiran logis ini merupakan pendukung bagi para pihak untuk memberikan
pengakuan yang jujur, sebab akal yang ada padanya dapat menentukan pilihannya, untuk
melakukan yang sesuai dengan kebenaran sebagai yang diharapkan. Untuk dapat menentukan
pilihannya itu maka ia berpedoman kepada kaidah-kaidah tentang apa yang harus dilakukan
dalam kehidupan sehari-hari.
Soedjono Dirdjosisworo,24mengemukakan bahwa masalah kepatuhan hukum itu
menyangkut kemampuan individu dalam menghayati aturan hukum yang dibentuk.
Menghayati benar atau tidak kaidah hukum yang dihadapinya akan menetapkan pilihan sikap
Gunung Mulia, 1975, halaman 21.
24Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar tentang Psikologi Hukum. Bandung: Alumni, 1983, halaman 75.
untuk patuh atau menyeleweng dari patokan kaidah yang ada. Kesadaran seseorang untuk
melakukan perilaku yang sesuai dengan hukum, berkaitan dengan penilaian yang diberikan
untuk melakukan perilaku tersebut.Penilaian tersebut timbul oleh karena manusia di dalam
menentukan kehendaknya sangat ditentukan oleh keserasian antara pikiran dengan
perasaannya.
Dalam HIR ketentuan yang mengatur perihal pengakuan adalah pasal-pasal 174, 175,
dan 176. Ada 2 (dua) macam pengakuan yang dikenal dalam hukum acara perdata, yaitu:
1. Pengakuan yang dilakukan di depan sidang
Menurut ketentuan pasal 174 HIR, bahwa pengakuan yang diucapkan di depan
hadapan hakim menjadi bukti yang cukup untuk memberiatkan orang yang mengaku itu, baik
pengakuan itu diucapkan sendiri, baik pun diucapkan oleh seorang yang istimewa dikuasakan
untuk melakukannya. Pengakuan yang dilakukan di depan sidang mempunyai kekuatan bukti
yang sempurna. Untuk pengakuan yang dilakukan di depan sidang mempunyai kekuatan
bukti yang sempurna. Untuk pengakuan yang dilakukan di depan sidang, hakim harus
menganggap bahwa dalil-dalil yang telah diakui itu adalah benar, meskipun sesungguhnya
belum tentu benar, akan tetapi karena adanya pengakuan tersebut, gugatan yang didasarkan
atas dalil-dalil itu harus dikabulkan. Pengakuan di depan sidang tidak boleh ditarik kembali.
Pengecualian terhadap azas itu ialah, apabila pengakuan itu merupakan suatu kekhilafan
mengenai hal-hal yang terjadi. Suatu pengakuan di depan sidang dalam proses tertulis,
dilakukan tertulis dalam surat jawaban, di mana kekuatan pembuktiannya dipersamakan
sebagai suatu pengakuan secara lisan di depan sidang. Apabila ditinjau dari Burgerlijk
Wetboek, pengakuan yang dikemukakan di depan sidang merupakan persangkaan undang-
undang. Salah satu persangkaan undang-undang yang disebut dalam ketentuan pasal 1916
BW adalah pengakuan di depan sidang.
2. Pengakuan yang dilakukan di luar persidangan
Dalam pasal 175 HIR diatur perihal pengakuan yang dilakukan diluar sidang yang
berbunyi, bahwa diserahkan kepada pertimbangan dan awasan hakim, akan menentukan
kekuatan mana akan diberikannya kepada suatu pengakuan dengan lisan yang diperbuat di
luar hukum. Mengenai pengakuan di luar sidang perihal penilaian terhadap kekuatan
pembuktiannya, diserahkan kepada kebijaksanaan hakim, atau dengan lain perkataan
merupakan bukti bebas. Hal itu berarti, bahwa hakim leluasa untuk memberi kekuatan
pembuktian, atau pula, hanya menganggap sebagai bukti permulaan.Bagi pengakuan di luar
sidang yang dilakukan secara lisan, apabila dikehendaki agar dianggap terbukti adanya
pengakuan semacam itu, masih harus dibuktikan lebih lanjut dengan saksi atau alat-alat bukti
lainnya.
Di samping pengertian pengakuan bulat atau pengakuan yang murni, di mana semua
dalil yang dikemukakan oleh pihak lawan diakui sepenuhnya, dalam hukum acara perdata
dikenal pula apa yang dinamakan pengakuan berembel-embel. Tentang pengakuan berembel-
embel ada 2 macam, yaitu:
1. Pengakuan dengan klausula
Contohnya: Benar saya berhutang, akan tetapi hutang tersebut sudah saya bayar. Benar saya
telah membelinya dan pula barangnya sudah saya terima, akan tetapi saya
sudah membayarnya harga barang tersebut.
2. Pengakuan dengan kualifikasi
Contohya: Benar saya membelinya, akan tetapi setelah dicoba dan saya setuju (di sini
ada syarat tangguh).
Pengakuan dengan kualifikasi ini menunjukkan, bahwa hubungan hukum antara
kedua belah pihak lain daripada yang menjadi dasar gugatan.
Pasal 176 HIR memuat azas “onsplitbaar aveu”, pengakuan yang tidak boleh dipisah-
pisah. Hal ini berarti kalau seperti dalam contoh di atas tadi seorang telah mengakui bahwa ia
benar berhutang akan tetapi sudah membayar, maka itu berarti bukan suatu pengakuan bahwa
ia berhutang. Suatu pengakuan dengan embel-embel tadi berarti, bahwa ia menyangkal masih
berhutang; perihal adanya hutang masih harus dibuktikan. Maksud dari azas ini adalah untuk
melindungi pihak yang jujur, yang secara terus terang mengemukakan segala hal yang telah
terjadi dengan sebenarnya, oleh karena itu ia, sebagai orang yang jujur itu, harus dilindungi.
(Putusan Mahkamah Agung tertanggal 25 November 1976 No. 22 K/Sip/1973 yang
menyatakan: “Dalam hal ada pengakuan yang terpisah-pisah, hakim bebas untuk
menentukan berdasarkan rasa keadilan pada siapa harus dibebankan pembuktian”, termuat
dalam Yurisprudensi Indonesia 1978 – II, halaman 273).
Bagian terakhir dari pasal 176 HIR tersebut menyatakan, bahwa larangan memisah-
misahkan suatu pengakuan tidak berlaku lagi, apabila tergugat dalam pengakuannya tadi,
guna membebaskan dirinya telah mengemukakan peristiwa-peristiwa yang ternyata palsu.
Hal ini berarti, bahwa apabila penggugat bisa membuktikan, bahwa dalil-dalil yang
dikemukakan oleh tergugat sebagai pembebasan adalah palsu, maka pengakuan berembel-
embel tadi oleh hakim dapat dianggap sebagai pengakuan yang murni.
B. Nilai Pembuktian Pengakuan dalam Persidangan.
1. Nilai pembuktian pengakuan murni dan bulat.Batas minimal pembuktian pengakuan
murni dapat merujuk pada ketentuan pasal 174 HIR, 311 R.Bg dan 1925 BW:
a. Pengakuan murni mengandung nilai pembuktian yang:
sempurna (volledeg)
mengikat (bindend), dan
menentukan atau memaksa (beslisend, dwingend)
b. Oleh karena itu, alat bukti pengakuan murni dan bulat, dapat berdiri sendiri sebagai
alat bukti, dan tidak memerlukan tambahan atau dukungnan dari alat bukti yang lain.
c. Dengan demikian pada diri alat bukti pengakuan yang murni dan bulat, sudah
dengan sendirinya tercapai batas minimal pembuktian.
2. Nilai pembuktian pengakuan bersyarat:
a. Tidak mempunyai nilai yang sempurna, mengikat dan menentukan.
b. Oleh karena itu tidak dapat berdiri sendiri,
c. Harus dibantu sekurang-kurangnya dengan salah satu alat bukti yang lain.
Maka nilai kekuatan pembuktiannya menjadi bersifat berkekuatan pembuktian
bebas.Pada kesempatan ini dapat juga ditambahkan bahwa Pencabutan atau
penarikan kembali pengakuan hanya dimungkinkan apabila:
Karena kekeliruan terhadap kenyataan peristiwa (dwaling).
Pencabutan diganti dengan keterangan yang dapat dibuktikan kebenarannya
dengan dalil baru.
Sebagai salah satu alat bukti di dalam hukum acara perdata, pengakuan tetap perlu
dipertahankan.Ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pengakuan dapat menyelesaikan
suatu persoalan atau sengketa dengan menetapkan hak atau hukumnya antara para pihak yang
bersangkutan.Akan tetapi untuk menghindari pengakuan palsu dari salah satu pihak, maka
penggugat masih perlu dibebani dengan beban pembuktian, kendati sudah ada pengakuan dari
pihak lawan.
Kedua, Perkembangan yurisprudensi menunjukkan antara lain bahwa pengakuan
sebagai alat bukti tidak selalu mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Oleh karena
itu untuk menilai kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada kebijaksanaan hakim.Ini
berarti peranan pengakuan sebagai alat bukti dalam hukum acara perdata sangat tergantung
kepada kasusnya masing-masing.
Ketiga, Ketentuan tentang pengakuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan (onsplitsbare
aveu) tetap perlu dipertahankan. Namun perlu diberi kebebasan kepada hakim untuk memberi
kekuatan pembuktian ini sebagai alat bukti yang sempurna atau tidak, tergantung pada
keadaan yang bersangkutan. Hal ini perlu diperhatikan tidak lain untuk melindungi kedua
belah pihak secara proporsional.
Keempat, Dalam memeriksa perkara perdata, hakim seyogianya mengutamakan
kepentingan para pihak, daripada sifat formalnya hukum acara perdata. Artinya hakim perlu
menyelaraskan kaidah-kaidah hukum acara perdata dengan perkembangan masyarakat yang
menghendakinya.
Kelima, Dalam hukum acara perdata, hakim juga seyogianya tidak hanya mencari kebenaran
formal semata-mata, melainkan harus senantiasa berusaha mencari dan menemukan
kebenaran material.
Keenam, Mempercepat proses pemeriksaan dalam pembuktian adalah tugas hakim
dalam rangka mewujudkan proses pemeriksaan perkara yang sederhana, cepat, dan biaya
ringan.
5. SUMPAH
Pada hakekatnya sumpah merupakann tindakan yang bersifat religius yang digunakan
dalam pengadilan. Pada umunya sumpah adalah suatu pernyataan yang khidmat yang
diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat akan
sifat mahakuasa daripada Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau
janji yang tidak benar akan dihukum olehNya.25
Terdapat 2 (dua) macam sumpah yaitu sumpah promisoir dan sumpah assetoir atau
sumpah confirmatoir. Sumpah promisoir adalah sumpah untuk berjanji melakukan atau tidak
melakukan sesuatu. Yang termasuk sumpah promisoir yaitu sumpah saksi dan sumpah (saksi
ahli). Sumpah assetoir atau sumpah confimatoir adalah sumpah untuk memberi keterangan
guna mneguhkan bahwa sesuatu itu benar demikian atau tidak. Yang dimaksud sumpah
promissoir yaitu sumpah sebagai alat bukti.
25 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, hlm.189
Alat bukti sumpah diatur dalam pasal 155-158 dan 177 HIR, pasal 182-185 dan 314
Rbg, pasal 1929-1945 BW. Yang disumpah ialah salah satu pihak, penggugat atau tergugat,
oleh karena itu yang menjadi alat bukti adalah keterangan salah satu pihak yang dikuatkan
dengan dengan sumpah dan bukannya sumpah itu sendiri.26
Di dalam HIR disebutkan 3 (tiga) macam sumpah sebagai alat bukti:27
1) Sumpah Suppletoir
Sumpah suppletoir diatur dalam pasal 155 HIR, 182 Rbg, 1940 BW. Sumpah suppletoir
atau sumpah pelengkap ialah sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya
kepada salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa
sebagai dasar putusannya.
Tanpa adanya bukti sama sekali hakim tidak boleh memerintahkan atau membebani
sumpah suppletoir, demikian juga apabila alat buktinya cukup lengkap. Hakim yang
mempunyai inisiatif untuk membebani sumpah. Yang harus dipertimbangkan oleh hakim
ialah pihak manakah yang dengan bersumpah suppletoir itu sekiranya akan menjamin
kebenaran peristiwa yang menjadi sengketa. Pihak yang diperintahkan oleh hakim untuk
bersumpah suppletoir tidak boleh mengabaikan sumpah suppletoir tersebut kepada lawannya,
ia hanya dapat menolak atau menjalankannya.
2) Sumpah Penaksiran
Sumpah penaksiran diatur dalam pasal 155 HIR, pasal 182 Rbg, pasal 1940 BW. Sumpah
penaksiran ialah sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada penggugat
untuk menentukan jumlah uang ganti kerugian.
Hakim karena jabatan dapat mengabulkan sejumlah uang yang harus dibayar oleh pihak
tergugat, besarnya kerugian akan ditetapkan atau ditaksir oleh pengadilan.28 Kekuatan
26 Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, hlm.8527 Sudikno Mertokusumo, Op.cit, hlm.18928 Retnowulan Sutantio, Op.Cit, hlm.89
sumpah penaksiran ini sama dengan sumpah suppletoir yang dimana bersifat sempurna dan
masih memungkinkan pembuktian lawan.
3) Sumpah Decisoir
Sumpah decisoir diatur dalam pasal 156 HIR, 183 Rbg, 1930 BW. Sumpah decisoir
adalah sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak kepada lawannya. Sumpah
decisoir menentukan siapa yang harus dikalahkan dan siapa yang harus dimenangkan. Pihak
yang meminta lawannya mengucapkan sumpah disebut deferent, sedangkan pihak yang harus
bersumpah disebut delaat.
Sumpah decisoir dapat dibebankan atau diperintahkan meskipun tidak ada pembuktian
sama sekali, pembebanan sumpah decisoir ini dapat dilakukan setiap saat selama pemeriksaan
persidangan.
Akibat dari mengucapkan sumpah decisoir ini ialah bahwa kebenaran peristiwa yang
dimintakan sumpah menjadi pasti dan pihak lawan tidak boleh membuktikan bahwa sumpah
itu palsu, tanpa mengurangi wewenang jaksa untuk menuntut berdasarkan sumpah palsu
(pasal 242 KUHP), sehingga merupakan alat bukti yang bersifat menetukan. Menolak untuk
mengucapkan sumpah decisoir akan mengakibatkan dikalahkannya delaat. Siapa yang
dibebani sumpah decisoir tetapi menolak dan tidak juga mengembalikan sumpah kepada
deferent atau siapa yang memerintahkan pihak lawan untuk bersumpah, tetapi dikembalikan
oleh delaat kemudian deferent menolak untuk bersumpah, haruslah dikalahkan.
Tidak setiap sumpah decisoir dapat dikembalikan. Sumpah decisoir baru dapat
dikembalikan oleh delaat apabila sumpah itu bagi deferent berhubungan dengan perbuatan
yang dilakukannya sendiri dan bukan dilakukan bersama-sama, dengan pihak lawan (pasal
1933 BW). Sumpah decisoir dapat berupa sumpah pocong, sumpah mimbar (sumpah di
gereja) dan sumpah klenteng.
Sumpah harus dilakukan dipersidangan, kecuali karena alas an-alasan yang sah
penyumpahan tidak dapat dilangsungkan dipersidangan, dan hanya dapat dilakukan di
hadapan lawannya (pasal 158 HIR, 185 Rbg, 1944-1945 BW)29
6. BUKTI ELEKTRONIK
Dengan berlakunya pengaturan tentang dokumen perusahaan, dapat dikatakan hukum
Indonesia sudah mulai menjangkau bukti elektronik, karena telah memberi kemungkinan
kepada dokumen perusahaan yang telah diberi kedudukan sebagai alat bukti tertulis otentik
untuk diamankan melalui penyimpanan dalam bentuk mikro film.30 Selanjutnya dokumen
tersebut dapat dijadikan alat bukti yang sah seandainya kelak terjadi sengketa ke pengadilan.
Dalam perkembangannya, UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik melalui Pasal 5 mengatur tentang bukti elektronik, yang mengatakan bahwa :
(1) Informasi dan atau dokumen elektronik dan atau hasil cetaknya merupakan alat bukti
yang sah dan memiliki akibat hukum yang sah.
(2) Informasi dan atau dokumen elektronik dan atau hasil cetaknya sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) merupakan perluasaan dari alat bukti yang sah sesuai dengan
hukum acara yang berlaku di Indonesia.
(3) Informasi dan atau dokumen elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem
Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang – Undang ini.
(4) Ketentuan mengenai informasi dan/atau dokumen elektronik sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) tidak berlaku untuk :
a. Surat yang menurut undang – undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
b. Surat beserta dokumennya yang menurut undang – undang harus dibuat dalam
bentuk akta notaries atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
29 Sudikno Mertokusumo, Op.cit, hlm.19430 Efa Laela Fakhriah, Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata, hlm. 29
Selanjutnya dalam pasal 6 mengatur bahwa dalam kaitannya dengan ketentuan yang
mengatur suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, untuk informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya
dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga
menerangkan suatu keadaan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa secara umum bentuk alat bukti
elektronik itu adalah informasi elektronik, dokumen elektronik dan keluaran computer
lainnya. Di samping itu, dalam praktik terjadinya pula pemeriksaan saksi sebagai alat bukti
dengan menggunakan perangkat elektronik yang dinamakan video conferences (atau
pemeriksaan saksi melalui teleconference). Hal ini dilakukan manakala saksi yang akan
diperiksa tidak dapat hadir secara fisik di persidangan karena berada di luar negeri, sementara
kesaksiannya sangat diperlukan dalam persidangan yang sedang berlangsung di pengadilan.
Pemeriksaan saksi jarak jauh ini dalam praktik pernah dilakukan pada perkara pidana,
tentunya hal ini dapat saja dilakukan dalam pemeriksaan sengketa perdata di pengadilan.31
Dalam bukunya, Efa Laela, menyatakan bahwa pemeriksaan saksi melalui
teleconference tidaklah bertentangan dengan hukum acara yang berlaku (HIR/RBg) yang
menentukan bahwa saksi harus memberikan keterangannya secara lisan dan pribadi langsung
di muka persidangan (sebagaimana tersirat dalam pasal 140 HIR/166 RBg ayat 1), hanya
terdapat perbedaan dalam hal tempat keberadaan saksi antara dunia maya dan nyata.
DAFTAR PUSTAKA
31 Efa Laela Fakhriah, Ibid. hlm. 31
Efa Laela Fakhriah, Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata. Bandung : Alumni,
2009
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
1996
O. Notohamidjojo, Demi Keadilan dan Kemanusiaan, Beberapa Bab dalam Filsafat Hukum.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975
Retnowulan Sutantio et. al, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek. Bandung :
Mandar Maju, 2009
R. Soepomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri. Jakarta : Pradnya Paramita, 1994
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar tentang Psikologi Hukum. Bandung: Alumni, 1983
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara PerdataIndonesia. Yogyakarta:Liberty, 1985
Teguh Samudera, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata. Bandung : Alumni, 1992
Yos Johan Utama, Kiat Berperkara di Peradilan Tata Usaha Negara, Badan Penerbit UNDIP
Semarang, t.th