Post on 29-Jun-2015
KETERLIBATAN AKTOR-AKTOR DALAM PROSES KEBIJAKAN PUBLIK
Oleh: SRIYANA, S.Sos
Abstraksi
Dalam membicarakan proses kebijakan publik adalah penting untuk melihat siapakah aktor-aktor yang terlibat di dalam proses perumusan kebijakan tersebut. Setelah masalah-masalah publik diidentifikasi, maka langkah selanjutnya, bagaimana kebijakan publik harus dirumuskan dan siapa yang merumuskan. Karena aktor dalam proses kebijakan publik akan menentukan bentuk dari perumusan kebijakan publik sampai pada tingkat implementasi dan evalusi kebijakan publik
Keyword : Keterlibatan, Aktor, Proses, Kebijakan, Publik
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia sebagai sebuah negara besar dengan kekayaan yang melimpah
baik dari segi human resources maupun natural resources. Dari segi human
resources Indonesia mempunyai potensi yang luar biasa dengan jumlah
penduduk ± 230 juta orang, terbesar kelima sedunia. Sedangkan dari natural
resources, Indonesia memiliki potensi alam yang luar biasa baik dari segi hutan
maupun hasil tambang yang ada di perut bumi Indonesia.
Dengan begitu besarnya sumber daya yang dimiliki Indonesia seharusnya
Indonesia bisa memakmurkan dan mensejahterakan rakyatnya. Namun
1
kenyataannya dalam tahun-tahun belakangan ini, Indonesia mengalami banyak
persoalan-persoalan yang sedemikian komplek akibat krisis multidimensional.
Hal ini ditandai dengan krisis ekonomi pada tahun 1998 dengan adanya
pergantian rezim dari rezim orde baru ke rezim reformasi.
Dengan adanya pergantian rezim pemerintahan diharapkan terjadinya
perubahan yang signifikan terhadap kehidupan rakyat Indonesia. Namun
kenyataannya justru berbalik, di mana tingkat kemiskinan semakin meningkat,
pada masa orde baru tingkat kemiskinan Indonesia sebesar 11%, sedangkan pada
masa reformasi justru meningkat menjadi 23%.
Kondisi ini jelas membutuhkan penanganan yang cepat dan akurat agar
krisis yang dihadapi bangsa Indonesia dapat segera diatasi. Kondisi ini pada
akhirnya menempatkan pemerintah dan lembaga tinggi negara lainnya pada
pilihan-pilihan kebijakan yang sulit. Kebijakan yang diambil tersebut terkadang
membantu pemerintah dan rakyat Indonesia keluar dari krisis, tetapi dapat juga
sebaliknya, yakni justru mendelegitimasi pemerintah itu sendiri.
Guna mengatasi kondisi tersebut maka perlu adanya kebijakan pemerintah
atau yang sering disebut dengan kebijakan publik. Menurut Anderson (dalam
Winarno, 2005:14) bahwa: “istilah kebijakan (policy) dipergunakan untuk
menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok,
maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang
kegiatan tertentu”. Sedangkan kebijakan publik menurut Eyestone (dalam
2
Winarno, 2005:15) bahwa: “secara luas kebijakan publik bisa didefinisikan
sebagai hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya”. Selain itu
menurut Dye (dalam Winarno, 2005:15) bahwa: “kebijakan publik adalah
apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan”.
Sementara itu Eulau dan Kenneth Prewitt (1973:265) mendefinisikan
kebijakan publik “sebagai keputusan tetap yang dicirikan dengan konsistensi dan
pengulangan (repetisi) tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari mereka
yang mematuhi keputusan tersebut”. Sedangkan Richard Rose (dalam Agustino,
2006:7) mendefinisikan kebijakan publik sebagai “sebuah rangkaian panjang
dari banyak atau sedikit kegiatan yang saling berhubungan dan memiliki
konsekuensi bagi yang berkepentingan sebagai keputusan yang berlainan”.
Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
dalam kebijakan itu adanya aturan, kegiatan, pemerintah atau sekelompok orang.
Hal ini sesuai dengan pendapat Friedrich (dalam Winarno, 2005:16) bahwa,
“kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang,
kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, yang memberikan
hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap kebijakan yang
diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu
tujuan, atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu”.
Dalam proses pembuatan kebijakan (policy making) tentu tidak lepas dari
peran aktor dan faktor bukan pemerintah seperti misalnya kelompok-kelompok
3
penekan (pressure groups) maupun kelompok-kelompok kepentingan (interst
groups). Keterlibatan aktor-aktor dalam perumusan kebijakan ini menjadi ciri
khusus dalam kebijakan publik. Ini disebabkan oleh kenyataan bahwa kebijakan
publik diformulasikan oleh apa yang dikatakan oleh Easton (dalam Winarno,
2005:18), “sebagai penguasa dalam suatu sistem politik yaitu para sesepuh
tertinggi suku, anggota-anggota eksekutif, legislatif, yudikatif, administrator,
penasehat, raja dan semacamnya”.
Keterlibatan aktor-aktor dalam proses kebijakan ini tentu saja mempunyai
maksud dan kepentingan-kepentingan tertentu, baik secara individual, organisasi
maupun kelompok. Keterlibatan akator-aktor ini diwujudkan dalam bentuk
tuntutan kebijakan maupun tekanan-tekanan politik. Tuntutan-tuntutan tersebut
berupa desakan agar pejabat-pejabat pemerintah mengambil tindakan atau tidak
mengambil tindakan mengenai suatu masalah tertentu. Biasanya tuntutan-
tuntutan itu diajukan oleh berbagai kelompok dalam masyarakat dan mungkin
berkisar antara desakan secara umum bahwa pemerintah harus berbuat sesuatu
sampai usulan agar pemerintah mengambil tindakan tertentu mengenai suatu
persoalan. Sebagai contoh adalah kasus PT Inti Indorayon Utama yang
menimbulkan dampak yang tidak diinginkan (unintended consquencies) yakni
kerusakan lingkungan berupa pembabatan hutan seluas 50.000 ha, merusak 30
hektar sawah dan 6 hektar ladang dan pencemaran lingkungan. Kondisi ini
mendorong beberapa elemen masyarakat seperti masyarakat Porsea, LSM,
4
mahasiswa dan forum internasional (CGI) menuntut pemerintah untuk segera
mengambil sikap terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi.
Seharusnya aktor-aktor dalam proses kebijakan memperjuangkan dan
mendesakkan segala tuntutan masyarakat, masalah-masalah sosial, dan
kepentingan-kepentingan umum. Namun kenyataannya banyak aktor-aktor yang
terlibat dalam proses kebijakan publik hanya mementingkan kebutuhan sesaat
yang cenderung bersifat individual kelompok daripada untuk kepentingan
publik.
Hal itu menunjukkan betapa besarnya peran aktor-aktor dalam proses
perumusan kebijakan yang akan dibuat oleh pemerintah. Oleh karena itu ada
keinginan dari penulis untuk membahas permasalahan tersebut dalam makalah
yang berjudul : Keterlibatan Aktor-Aktor Dalam Proses Kebijakan Publik.
B. Perumusan Masalah
Menurut Suryabrata (2000:65), dikatakan bahwa : ”dalam perumusan
masalah disarankan agar (a) masalah hendaknya dirumuskan dalam bentuk
kalimat tanya, (b) rumusan itu hendaklah padat dan jelas, dan (c) rumusan itu
hendaknya memberi petunjuk tentang kemungkinannya mengumpulkan data
guna menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terkandung dalam rumusan itu”.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dalam penulisan ini
perumusan masalahnya adalah :
1. Siapakah aktor-aktor yang terlibat dalam proses kebijakan publik ?
5
2. Bagaimanakah keterlibatan aktor-aktor dalam proses kebijakan publik ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan aktor-aktor yang terlibat dalam
proses kebijakan publik.
2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan keterlibatan aktor-aktor dalam
proses kebijakan publik.
6
BAB II
PEMBAHASAN
A. Aktor-Aktor Yang Terlibat Dalam Proses Kebijakan Publik
Dalam membahas pemeran serta atau aktor-aktor dalam proses perumusan
kebijakan, ada perbedaan yang cukup penting yang perlu diperhatikan antara
negara-negara berkembang (negara Dunia Ketiga) dengan negara maju. Di
negara berkembang, struktur pembuatan kebijakan cenderung lebih sederhana
dibandingkan dengan negara-negara maju. Kecenderungan struktur pembuatan
keputusan di negara-negara maju adalah lebih kompleks karena kualitas hidup
sudah menjadi isu utama (main isue) dalam pembuatan kebijakan (policy
making).
Perbedaan ini disebabkan salah satunya adalah oleh aktor-aktor yang
terlibat dalam perumusan kebijakan. Di negara berkembang di mana perumusan
kebijakan lebih dikendalikan oleh elit politik dengan pengaruh massa rakyat
yang sedikit, sedangkan di negara-negara Eropa Barat dan Amerika di mana
setiap warga negara mempunyai kepentingan terhadap kebijakan publik
negaranya, maka kondisi ini akan mendorong struktur yang semakin kompleks.
Pembahasan mengenai siapa yang terlibat dalam proses kebijakan publik
menurut Anderson (1979), Lindblom (1980) maupun Lester dan Joseph Stewart,
Jr (2000) bahwa “aktor-aktor atau pemeran serta dalam proses kebijakan publik
7
dapat dibagi dalam dua kelompok, yakni para pemeran serta resmi (inside of
government) dan para pemeran serta tidak resmi (ourside of government)”. Yang
termasuk ke dalam pemeran serta resmi adalah agen-agen pemerintah (birokrasi),
presiden (eksekutif), legislatif, dan yudikatif. Sedangkan yang termasuk dalam
kelompok pemeran serta tidak resmi meliputi kelompok-kelompok kepentingan
(interest group), partai politik dan warga negara individu.
Namun menurut Moore ( dalam Badjuri dan Teguh Yuwono, 2003:24)
bahwa, “secara umum aktor ini dapat dikelompokkan dalam tiga domain utama
yaitu aktor publik, aktor privat dan aktor masyarakat (civil society)”. Ketiga
aktor ini saling berperan dalam sebuah proses penyusunan kebijakan publik.
Secara sederhana ketiga aktor ini dapat dideskripsikan sebagai berikut :
Untuk di Indonesia aktor publik biasa disebut dengan aktor-aktor lembaga
eksekutif dan legislatif. Pada aspek aktor privat terdiri dari pressure groups dan
interest groups misalnya asosiasi kedokteran seperti IDI, IDGI dan IAGI.
Sedangkan pada aspek civil society meliputi banyak pihak yang bersifat
8
AktorPrivat
CivilSociety
AktorPublik
asosiasional maupun lingkup kecil misalnya lembaga swadaya masyarakat
(LSM), paguyuban dan kerukunan-kerukunan kelompok masyarakat.
Jadi berdasarkan uraian di atas, maka aktor-aktor yang terlibat dalam proses
kebijakan publik adalah aktor inside of government dan outside of government
atau aktor publik, aktor privat dan aktor civil society.
B. Keteribatan Aktor-Aktor Dalam Proses Kebijakan Publik
1. Badan-badan Administrasi (agen-agen pemerintah)
Adanya perbedaan dalam karakteristik-karakteristik dalam sistem
administrasi seperti ukuran dan kerumitan, organisasi, struktur hierarki dan
tingkat otonomi akan mempengaruh tingkat pelayanan di suatu negara.
Walaupun doktrin mengatakan bahwa badan-badan administrasi dianggap
sebagai badan pelaksana telah diakui secara umum dalam ilmu politik dan
pemerintahan, namun bahwa ilmu politik dan administrasi telah bercampur aduk
menjadi satu juga telah menjadi aksioma yang diakui kebenarannya.
Selain itu, saat ini badan-badan administrasi sering terlibat dalam
pengembangan kebijakan publik. Hal ini dikarenakan dengan pemahaman
kebijakan sebagai apa yang dilakukan oleh pemerintah mengenai masalah
tertentu (policy is whatever of government do to solve the problem). Dengan
pemahaman yang demikian, maka keterlibatan badan-badan administrasi
sebagai agen pemerintah (government agent) dalam ikut menentukan kebijakan
menjadi semakin terbuka. Badan-badan administrasi dalam hal ini dapat
9
membuat atau melanggar undang-undang atau kebijakan yang ditetapkan
sebelumnya.
Sementara itu, kerumitan administrasi di Indonesia juga menjadi faktor
yang cukup penting bagi kurang efektifnya kebijakan publik dijalankan. Dengan
demikian, badan-badan administrasi telah menjadi aktor yang penting dalam
proses pembuatan kebijakan dan keberadaannya perlu mendapat perhatian dari
pemerhati kebijakan publik. Dalam masyarakat yang mempunyai kompleksitas
yang tinggi, badan-badan administrasi sering membuat banyak keputusan yang
mempunyai konsekuensi-konsekuensi politik dan kebijakan yang luas. Hal ini
selain disebabkan oleh kompleksitas masyarakat, juga disebabkan oleh alasan-
alasan teknis, banyaknya masalah kebijakan, kebutuhan untuk melestarikan
kontrol serta kurangnya waktu dan informasi dari para anggota legislatif
sehingga banyak sekali wewenang yang didelegasikan.
Selain itu, badan-badan administrasi (government agent) juga menjadi
sumber utama mengenai usul-usul pembuatan undang-undang dalam sistem
politik seperti di Amerika dan Inggris. Badan-badan tersebut secara langsung
tidak hanya menyarankan undang-undang, tetapi juga secara aktif melakukan
lobi dan menggunakan tekanan-tekanan dalam penetapan undang-undang.
Misalnya masalah aturan ekspor beras, dimana Menteri Perdagangan dan
Perindustrian ikut aktif dalam membuat aturan ekspor beras.
10
2. Presiden (eksekutif)
Presiden sebagai kepala eksekutif mempunyai peran penting dalam
perumusan kebijakan. Keterlibatan presiden dalam perumusan kebijakan dapat
dilihat dalam komisi-komisi presidensial atau dalam rapat-rapat kabinet. Selain
keterlibatan secara langsung yang dilakukan oleh presiden dalam merumuskan
kebijakan publik, kadangkala presiden membentuk kelompok-kelompok atau
komisi-komisi penasehat yang terdiri dari warga negara swasta maupun pejabat-
pejabat yang ditujukan untuk menyelidiki kebijakan tertentu dan
mengembangkan usul-usul kebijakan. Misalnya Dewan Pertimbangan Presiden
dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Di Indonesia, presiden dan pembantu-pembantunya yang tergabung dalam
kabinet mempunyai peran yang penting dalam proses pembuatan kebijakan tidak
perlu disangsikan lagi. Hal ini dikarenakan sistem konstitusi yang memberikan
wewenang (authority) yang besar kepada eksekutif untuk menjalankan
pemerintahan.
3. Lembaga Legislatif
Lembaga legislatif bersama-sama dengan pihak eksekutif (presiden dan
pembantu-pembantunya), memegang peran yang cukup krusial di dalam
perumusan kebijaksanaan. Setiap undang-undang menyangkut persoalan-
persoalan publik harus mendapatkan persetujuan dari lembaga legislatif.
Misalnya kebijakan menyangkut askeskin. Selain itu, keterlibatan lembaga
11
legislatif dalam perumusan kebijakan juga dapat dilihat dari mekanisme dengar
pendapat, penyelidikan-penyelidikan dan kontak-kontak yang mereka lakukan
dengan pejabat-pejabat administrasi, dan kelompok-kelompok kepentingan.
Lembaga legislatif bersama-sama dengan lembaga eksekutif memegang
peran krusial dalam pembuatan keputusan kebijakan. Suatu undang-undang baru
akan sah bila telah disahkan oleh lembaga legislatif.
4. Kelompok-Kelompok Kepentingan (interest groups)
Di samping para pembuat keputusan kebijakan yang resmi, kita juga sering
menemukan para pemeran serta yang tidak resmi. Mereka biasanya berpartisipasi
di dalam proses pembuatan kebijakan. Kelompok-kelompok ini dikatakan tidak
resmi karena meskipun mereka terlibat aktif di dalam perumusan kebijakan, akan
tetapi mereka tidak mempunyai kewenangan yang sah untuk membuat keputusan
yang mengikat.
Menurut Budiardjo (2000:162) bahwa “kelompok kepentingan bertujuan
untuk memperjuangkan sesuatu kepentingan dan mempengaruhi lembaga-
lembaga politik agar mendapatkan keputusan yang menguntungkan atau
menghindarkan keputusan yang merugikan”. Kelompok kepentingan tidak
berusaha untuk menempatkan wakil-wakilnya dalam DPR, melainkan cukup
mempengaruhi satu atau beberapa partai di dalamnya atau instansi pemerintah
atau menteri yang berwenang.
12
Kelompok kepentingan merupakan pemeran serta tidak resmi yang
memainkan peran penting dalam pembuatan kebijakan di hampir semua negara.
Perbedaan yang mungkin ada bergantung pada apakah negara-negara tersebut
demoktratik ataukah otoriter, modern atau berkembang. Perbedaan tersebut
menyangkut keabsahan serta hubungan antara pemerintah dengan kelompok-
kelompok tadi. Dengan demikian, dalam sistem politik demokratik, kelompok-
kelompok kepentingan akan lebih memainkan peran yang penting dengan
kegiatan yang lebih terbuka dibandingkan dengan sistem otoriter. Hal ini terjadi
karena dalam sistem demokrasi, kebebasan berpendapat dilindungi, serta
warganegara lebih mempunyai keterlibatan politik.
Kelompok-kelompok kepentingan berfungsi mengartikulasikan
kepentingan yaitu mereka berfungsi menyatakan tuntutan-tuntutan dan
memberikan alternatif-alternatif tindakan kebijakan. Selain itu, kelompok ini
juga sering memberikan informasi kepada para pejabat publik dan memberikan
informasi yang bersifat teknis mengenai sifat serta konsekuensi-konsekuensi
yang mungkin timbul dari usul-usul kebijakan yang diajukan. Dengan demikian,
kelompok kepentingan telah memberikan sumbangan yang berarti bagi
rasionalitas pembuatan kebijakan.
Pengaruh kelompok kepentingan terhadap keputusan kebijakan tergantung
pada banyak faktor yang menyangkut ukuran-ukuran keanggotaan kelompok,
keuangan dan sumber-sumber lain, kepanduannya, kecakapannya dari orang
13
yang memimpin kelompok tersebut, ada tidaknya persaingan organisasi, tingkah
laku para pejabat pemerintah, dan tempat pembuatan keputusan dalam sistem
politik. Selain itu, pengaruh kelompok kepentingan dalam pembuatan keputusan
ditentukan pula oleh pandangan yang ditujukan terhadap kelompok tersebut.
Suatu kelompok kepentingan yang dianggap baik dan besar cenderung
efektif dalam mempengaruhi keputusan kebijakan dibandingkan dengan
kelompok yang dipandang sebaliknya. Berdasarkan faktor-faktor yang telah
disebutkan tadi, maka suatu kelompok kepentingan akan efektif mempengaruhi
keputusan kebijakan tertentu, namun mereka cenderung tidak efektif di dalam
mempengaruhi bidang kebijakan yang lain. Misalnya suatu kelompok yang
terdiri dari para dokter akan efektif dalam mempengaruhi kebijakan kesehatan
atau menyangkut kesejahteraan dokter, namun kelompok ini belum tentu efektif
dalam mempengaruhi kebijakan yang berhubungan dengan kaum buruh.
Dalam suatu studi yang dilakukan oleh Zeigler dan Van Dallen (dalam
Agustino, 2006:37) mengenai kuatnya kepompok kepentingan (interest groups)
dan kelompok penekan (pressure groups), “menitik beratkan pada tiga variabel
penting yaitu kuatnya kompetisi kepartaian (strongly of party competition),
kohesi legislatif/kekuatan partai di legislatif (legislative cohetion) dan variable
sosio ekonomi dari pendapatan per kapita, populasi manusia dan pekerjaan
industri”. Dari kondisi itu akan menimbulkan dua pola, pertama, kelompok
kepentingan dan kelompok penekan yang kuat memiliki kecenderungan
14
berkolaborasi dengan partai politik yang lemah, populasi manusia yang rendah,
pendapatan per kapita yang rendah, dan pekerjaan non-industri dengan tarif yang
lebih tingi (pertanian, perikanan dan kehutanan). Sedangkan, kedua, kelompok
kepentingan dan kelompok penekan yang moderat atau bahkan lemah akan
bekerjasama dengan partai politik yang kuat dan kompetitif, pendapatan per
kapita yang tinggi, populasi manusia yang tinggi dan pekerjaan industri dengan
tarif yang lebih tinggi. Hal ini membuktikan sejauhmana pengaruh kelompok
kepentingan dan kelompok penekan dalam mempengaruhi kebijakan publik.
5. Partai politik (Political party)
Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok
yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan
cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan
politik dan merebut kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitusional
untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka.
Menurut Carl J. Friedrich (dalam Budiardjo, 2000:161) bahwa “partai
politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan
merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi
pimpinan partainya, dan berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada
anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil (A political
party is a group of human beings, stably organized with the objective of securing
or mainting for its leaders the control of a government, with the further objective
15
of giving to members of the party, through sucg control ideal and material
benefits and adventages)”. Sedangkan menurut R.H Soltau (dalam Budiardjo,
2000:161) bahwa “partai politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit
banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang
dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih dan bertujuan menguasai
pemerintahan dan melaksanakan kebijakan umum mereka (A group of citizens
more or les organized, who act as a political unit and who, by the use of their
voting power, aim to control the government and carry out their general
policies)”.
Menurut Budiardjo (2000:163-164), dalam negara demokratis partai politik
menyelenggarakan beberapa fungsi yaitu :
1) Partai sebagai sarana komunikasi politik;
Salah satu tugas dari partai politik adalah menyalurkan aneka ragam pendapat
dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga
kesimpangsiuran pendapat dalam masyarakat berkurang. Pendapat atau
aspirasi seseorang atau suatu kelompok harus ditampung dan digabung
dengan pendapat dan aspirasi orang lain yang senada, proses ini dinamakan
penggabungan kepentingan (interest agregation). Sesudah digabung,
pendapat dan aspirasi itu diolah dan dirumuskan dalam bentuk yang teratur,
proses ini dinamakan perumusan kepentingan (interest articulation).
Selanjutnya partai politik merumuskannya sebagai usul kebijakan.
16
2) Partai sebagai sarana sosialisasi politik;
Sosialisasi politik (political socialization) berarti sebagai proses melalui
mana seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap phenomena politik,
yang umumnya berlaku dalam masyarakat di mana ia berada. Biasanya
proses sosialisasi berjalan secara berangsur-angsur dari masa kanak-kanak
sampai dewasa. Proses sosialisasi politik diselenggarakan melalui ceramah-
ceramah penerangan, kursus kader, kursus penataran, dan sebagainya.
3) Partai sebagai sarana rekrutmen politik;
Partai politik juga berfungsi mencari dan menajak orang yang berbakat untuk
turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai (political
recruitment). Dengan demikian partai politik ikut memperluas partisipasi
politik (political participation).
4) Partai politik sebagai sarana pengatur konflik (confilct management)
Dalam suasana demokrasi, persaingan dan perbedaan pendapat dalam
masyarakat merupakan soal yang wajar. Jika sampai terjadi konflik, partai
politik berusaha untuk mengatasinya.
Dalam negara yang menggunakan sistem demokrasi, partai-partai politik
memegang peranan penting. Partai politik digunakan sebagai alat untuk meraih
kekuasaan. Hal ini berarti bahwa partai-partai politik pada dasarnya lebih
berorientasi kepada kekuasaan dibandingkan dengan kebijakan publik. Namun
17
demikian, kita tidak dapat mengabaikan begitu saja pengaruh mereka dalam
proses pembuatan kebijakan.
Peran partai politik dalam masyarakat modern seringkali melakukan
agregasi kepentingan. Partai-partai politik tersebut berusaha untuk mengubah
tuntutan-tuntutan (demands) tertentu dari kelompok-kelompok kepentingan
menjadi alternatif kebijakan. Ukuran partai politik yang bersangkutan akan
menentukan cara partai politik tersebut dalam mengagregasikan kepentingan.
Pada umumnya, walaupun partai-partai politik ini mempunyai jangkauan
yang lebih luas dibandingkan dengan kelompok-kelompok kepentingan, naum
mereka lebih cenderung bertindak sebagai perantara daripada sebagai pendukung
kepentingan-kepentingan tertentu dalam pembentukan kebijakan. Bahkan
kemajuan dan kehancuran negara bisa disebabkan oleh partai politik dimana
partai politik sebagai supplier daripada calon pemimpin negara ini.
6. Warga negara individu
Peran warga negara individu dalam proses kebijakan publik memang tidak
nampak secara langsung, artinya bahwa warga negara secara individu tidak bisa
langsung memberikan masukan dalam proses pembuatan kebijakan. Peran warga
negara individu hanya akan nampak saat pemilihan umum yang merupakan
tanggapan tidak langsung dari individu terhadap tuntutan-tuntutan warga negara.
Karena pemilihan umum merupakan suatu metode yang penting dari pengaruh
warganegara dalam pembuatan kebijakan, karena hal itu memungkinkan warga
18
negara untuk memilih para pejabat dan sedikit banyak menginstruksikan pejabat-
pejabat ini mengenai kebijakan tertentu. Oleh karena itu keinginan warga negara
perlu mendapat perhatian oleh para pembuat kebijakan. Untuk itu suara dan
tuntutan warga negara berhak untuk didengar dan para pejabat mempunyai tugas
untuk mendengarkannya.
Dalam sistem otoriter maupun dalam sistem demokrasi para warga negara
mempunyai peluang untuk terlibat secara aktif dalam pembuatan keputusan
(decision making). Di negara-negara yang mendasarkan diri pada sistem otoriter,
kepentingan-kepentingan dan keinginan-keinginan para warganya biasanya
merupakan akibat dari kebijakan-kebijakan publik. Para diktator dalam sistem
otoriter tetap akan menaruh perhatian terhadap apa yang menjadi keinginan
rakyat, agar kekacauan sedapat mungkin diminimalisir.
Sementara itu, di negara-negara demokratis pemilihan umum barangkali
merupakan tanggapan tidak langsung terhadap tuntutan-tuntutan warga negara.
Dalam hal ini Charles Lindblom (dalam winarno, 2002:92) menyatakan bahwa
“perbedaan yang paling menonjol antara rezim otoriter dengan rezim demokratik
adalah bahwa dalam rezim demokratik para warganegaranya memilih para
pembuat kebijakan puncak dalam pemilihan-pemilihan murni”. Oleh karena itu
keinginan para warganegara perlu mendapatkan perhatian oleh para pembuat
kebijakan dalam merumuskan kebijakan.
19
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan di atas maka dapat ditarik suatu kesimpulan,
bahwa :
1. Aktor yang terlibat dalam proses kebijakan publik adalah aktor
publik, aktor privat dan aktor manusia atau bisa disebutkan pemeran serta
resmi dan pemeran tidak resmi.
2. Keterlibatan aktor-aktor dalam proses kebijakan publik cenderung
tergantung dari tujuan dan kepentingannya masing-masing bukan untuk
kepentingan umum (public).
B. Saran-Saran
1. Guna lebih mengefektifkan dalam memperjuangkan tuntutan, maka
sebaiknya aktor-aktor yang terlibat dalam proses kebijakan publik
mempunyai grand issue yang sama.
2. Keterlibatan aktor-aktor dalam proses kebijakan publik seharusnya lebih
mengutamakan kepentingan umum, sedangkan kepentingan kelompok atau
organisasi merupakan efek samping dari pencapaian tujuan umum.
20
DAFTAR PUSTAKA
Agustino, Leo. 2006. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.
Badjuri, Abdulkahar dan Teguh Yuwono.Kebijakan Publik, Konsep dan
Strategis. Semarang: Universitas Diponegoro Press.
Budiardjo, Miriam. 2000. Dasa-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama
Eulau, Heinz, and Kenneth Prewitt. 1973. Labyrinths of Democracy.
Indianapolis: Bobbs-Merrill.
Suryabrata, Sumadi. 2000. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada.
Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media
Presindo.
21