Post on 23-Jan-2017
DETEKSI WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIAR
PADA PEROKOK DAN NON PEROKOK DENGAN UJI
SAKHARIN
Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA KEDOKTERAN
DISUSUN OLEH
Ahmad Muslim Hidayat Tamrin
1111103000091
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/2014 M
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah
memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan penelitian ini. Shalawat dan salam semoga selalu
tercurahkan kepada junjungan kita, Baginda Nabi Besar Rasulullah SAW, yang
telah menjadi contoh teladan bagi penulis dalam menjalankan kehidupan,
termasuk dalam menyelesaikan laporan ini. Laporan penelitian ini dapat
terselesaikan tepat pada waktunya karena adanya dukungan, bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Prof. Dr (hc). dr. M.K Tadjudin,Sp. And selaku Dekan FKIK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan arahan kepada penulis selama
menempuh pendidikan di PSPD FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. dr. Witri Ardini, M.Gizi, Sp.GK selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Dokter atas bimbingan yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan
di PSPD FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. dr. Ibnu Harris Fadillah, Sp.THT-KL selaku pembimbing 1 yang telah
meluangkan waktu, pikiran dan tenaga untuk membimbing penulis dari awal
melakukan penelitian hingga menyusun dan menyelesaikan laporan penelitian
ini.
4. drg. Laifa Annisa Hendarrmin, Ph.D selaku pembimbing 2 yang telah
memberikan masukan dalam penulisan proposal penelitian dan telah
mencurahkan waktu, pikiran dan tenaga untuk membimbing penulis dalam
menyusun dan menyelesaikan laporan penelitian ini.
5. dr. Flori Ratnasari, Ph.D selaku penanggung jawab modul riset yang selalu
memberikan arahan dan mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan
penelitian ini.
6. Teman-teman dan kerabat yang telah bersedia untuk mengikuti penelitian ini.
vi
7. Perawat dan pegawai di RS THT Proklamasi BSD yang telah membantu
dalam proses pengambilan data.
8. Papa dan Mama, atas seluruh apa yang telah diberikan selama ini, yang
sungguh penulis tidak dapat menyebutkan satu persatu. Namun yang selalu
teringat adalah doa dan nasihat dari beliau.
9. Ica, Lala, dan adinda Amma yang selalu menjadi penyemangat kakak untuk
menyelesaikan riset ini. Semoga kakak dapat menjadi contoh yang baik bagi
kalian semua.
10. Teman-teman satu kelompok penelitian, Andhika, Bimo, Dimas, dan Madina.
Terima kasih atas kerjasama, semangat pantang menyerah, serta dukungan
selama melakukan penelitian ini bersama-sama.
11. Teman-teman, kakak-kakak, dan adik-adik PSPD UIN yang tidak bisa penulis
sebutkan satu-persatu, terima kasih atas kebersamaan dan semangatnya dalam
menempuh dunia mahasiswa kedokteran ini.
Penulis menyadari bahwa laporan penelitian ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan ritik dari berbagai
pihak. Demikian laporan penelitian ini penulis susun, semoga dapat bermanfaaat
dengan baik.
Ciputat, 15 September 2014
Penulis
vii
ABSTRAK
Ahmad Muslim Hidayat Tamrin. Program Studi Pendidikan Dokter. Deteksi
Waktu Transportasi Mukosiliar antara Perokok dan Non Perokok dengan
Uji Sakharin.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui waktu transportasi mukosiliar
pada perokok dan non perokok, perbedaannya, serta pengaruh derajat beratnya
merokok terhadap waktu transportasi mukosiliar. Metode: Penelitian ini
melibatkan 12 subjek penelitian yang dibagi rata menjadi dua kelompok, 6 pria
perokok dan non-perokok, sebagai kontrol. Seluruh subjek diwawancarai oleh
peneliti, dilakukan pemeriksaan fisik THT dan diuji waktu transportasi
mukosiliarnya dengan uji sakharin. Hasil: Rerata waktu transportasi mukosiliar
pada kelompok non-perokok yaitu 5,12 ± 1,39 menit dan 7,42 ± 2,16 menit pada
kelompok perokok. Didapatkan juga hasil rerata waktu transportasi mukosiliar
kelompok perokok ringan adalah 6,40 ± 1,84 menit dan 9,47 ± 7,54 menit pada
kelompok perokok berat. Namun karena kurangnya jumlah sampel pada penelitian
ini, tidak dapat dilakukan uji analitik statistik pada hasil tersebut. Kesimpulan:
Didapatkan perbedaan rerata waktu transportasi mukosiliar pada non perokok dan
perokok di mana waktu transportasi mukosiliar perokok lebih lambat (5,12 ± 1,39
menit pada non perokok dan 7,42 ± 2,16 menit pada perokok). Namun hasil ini
tidak dapat dianalisa secara statistik karena kurangnya jumlah sampel.
Kata kunci: merokok, waktu transportasi mukosiliar, uji sakharin.
ABSTRACT
Ahmad Muslim Hidayat Tamrin. Medical Education Study Program.
Detection of Mucociliary Transport Time in Smokers and Non Smokers with
Saccharin Test.
Objective: This study purpose to know about mucociliary transport time in
smokers and non smokers, the difference within the 2 groups, and the influence of
degree of smoking to mucociliary transport time. Methods: The study comprised
of 12 male subjects divided equally, 6 subjects in smokers group and 6 subjects in
non-smokers group, as a control group. All participants completed the interview,
ear-nose and throat physical examination and mucociliary transport time count
with saccharin test. Results: mean of mucociliary transport time in non smokers is
5,12 ± 1,39 minutes and 7,42 ± 2,16 minutes in smokers. mean of mucociliary
transport time in light smokers is 6,40 ± 1,84 minutes and 9,47 ± 7,54 minutes in
heavy smokers. But because the sample size is too little, we can‟t analyze the
result with analytical statistic test.Conclusions: Thereusions:thence in mean
mucociliary transport time between smokers and non smokers group, which the
smokers group‟s mean mucociliary transport time is delayed (5,12 ± 1,39 minutes
in non smokers and 7,42 ± 2,16 minutes in smokers). But we canminutes in non
smokers and test to this result because the sample sixe is too little..
Key words: smoking, mucociliary transport time, saccharin test
viii
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR JUDUL ................................................................................ i
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ............................. ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................. iv
KATA PENGANTAR ........................................................................... v
ABSTRAK ............................................................................................ vii
ABSTRACT .......................................................................................... vii
DAFTAR ISI ......................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ................................................................................. x
DAFTAR GAMBAR ............................................................................ xi
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................ xii
DAFTAR SINGKATAN .......................................................................... xiii
BAB 1. PENDAHULUAN ..................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................. 3
1.3 Hipotesis .............................................................................. 3
1.4 Tujuan Penelitian ............................................................... 3
1.4.1 Tujuan Umum .......................................................... 3
1.4.2 Tujuan Khusus ......................................................... 3
1.5 Manfaat Penelitian ............................................................. 3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... 5
2.1 Landasan Teori ................................................................... 5
2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung ................................... 5
2.1.1.1 Anatomi Hidung ............................................ 5
2.1.1.2 Fisiologi Hidung ............................................ 8
2.1.2 Sistem Mukosiliar Hidung dan Sinus Paranasal ...... 8
2.1.2.1 Struktur dalam Sistem Mukosiliar ................ 9
2.1.2.2 Peran Sistem Mukosiliar dalam Pernapasan . 13
2.1.2.3 Transportasi Mukosiliar .................................. 14
2.1.1.4 Pemeriksaan Fungsi Mukosiliar .................... 14
2.1.2.5 Faktor yang Mempengaruhi TMS .................. 15
2.1.3 Rokok ....................................................................... 19
2.1.3.1 Kandungan Rokok dan Dampaknya ............... 19
2.1.3.2 Pengaruh Rokok thd Sel Manusia .................. 21
2.1.3.3 Pengaruh Rokok thd Sel Epitel Respiratorik .. 23
2.1.3.4 Pengaruh Rokok thd Palut Lendir .................. 23
2.1.3.5 Pengaruh Rokok thd TMS .............................. 24
2.1.3.6 Indeks Merokok .............................................. 25
2.1.4 Uji Sakharin ............................................................... 27
2.2 Kerangka Teori ...................................................................... 28
2.3 Kerangka Konsep ............................................................... 29
2.4 Identifikasi Variabel ........................................................... 30
ix
2.5 Definisi Operasional .......................................................... 30
Bab 3. METODE PENELITIAN ........................................................ 35
3.1 Desain Penelitian ............................................................... 35
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ............................................. 35
3.3 Kriteria Subjek Penelitian ..................................................... 35
3.4 Besar Sampel Penelitian .................................................... 37
3.5 Alat dan Bahan Penelitian ..................................................... 39
3.6 Cara Kerja Penelitian ............................................................ 39
3.7 Manajemen dan Analisis Data ............................................. 44
3.8 Alur Penelitian ................................................................... 45
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................... 46
4.1 Hasil Penelitian ..................................................................... 46
4.1.1 Karakteristik Subjek Penelitian ............................... 46
4.1.2 Waktu Transportasi Mukosiliar Subjek Penelitian ... 47
4.2 Pembahasan........................................................................... 50
4.3 Aspek Keislaman .................................................................. 52
4.4 Keterbatasan Penelitian ......................................................... 53
BAB 5. SIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 54
5.1 Simpulan ............................................................................ 54
5.2 Saran .................................................................................. 54
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 55
LAMPIRAN ............................................................................................. 60
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Struktur Hidung Eksterna. ..................................................... 6
Gambar 2.2. Struktur Traktus Respiratorius Bagian Atas .......................... 7
Gambar 2.3. Struktur Silia ......................................................................... 11
Gambar 2.4. Proses Bergeraknya Silia ....................................................... 12
Gambar 2.5. Kerusakan Sel Akibat Radikal Bebas .................................... 22
Gambar 3.1. Wawancara Subjek ................................................................ 40
Gambar 3.2. Pemeriksaan Fisik THT pada Subjek ..................................... 40
Gambar 3.3. Nasoendoskopi pada Subjek................................................... 41
Gambar 3.4. Gambaran Nasoendoskopi pada Subjek di Monitor .............. 41
Gambar 3.5. Alat Nasoendoskopi dan Papan Kendalinya .......................... 42
Gambar 3.6. Sakharin yang akan Diujikan pada Subjek ............................. 42
Gambar 3.7. Peletakan Sakharin ................................................................ 43
Gambar 3.8. Posisi Subjek Saat Uji Sakharin ............................................ 43
Gambar 4.1 Waktu Transportasi Mukosiliar pada Subjek Penelitian .......... 47
Gambar 4.2. Grafik Waktu Transportasi Mukosiliar antara Non Perokok
dan Perokok ........................................................................... 48
Gambar 4.3. Waktu Transportasi Mukosiliar pada Subjek Non Perokok,
Perokok Ringan dan Perokok Berat dalam Klasifikasi
oleh Proenca dkk. ................................................................... 49
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Karakteristik Dasar Demografis Subjek Penelitian ..................... 46
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Riwayat Penulis ..................................................................... 60
xiii
DAFTAR SINGKATAN
APBN = Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
ADHD = Attention Deficit and Hyperactivity Disorder
Riskesdas = Riset Kesehatan Dasar
THT = Telinga, Hidung dan Tenggorok
TMS = Transportasi Mukosiliar
USU = Universitas Sumatera Utara
WHO = World Health Organization
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Merokok adalah suatu kebiasaan yang sudah mewabah di Indonesia. Data dari
Departemen Kesehatan menunjukkan bahwa lebih dari setengah populasi laki-
laki dewasa di Indonesia adalah perokok aktif. Sebuah angka yang besar
mengingat negara ini adalah negara dengan pendapatan per kapita yang masih
tergolong menengah dan kualitas pelayanan kesehatan yang masih rendah, terlihat
dari anggaran kesehatan di APBN yang belum pernah menyentuh angka 5%
sepanjang sejarah.1-3
Sudah menjadi rahasia umum bahwa rokok memiliki banyak dampak negatif
dari segi kesehatan. Data menunjukkan peningkatan kasus kanker paru sejak awal
abad ke 20 berbanding lurus dan setara dengan peningkatan angka perokok di
seluruh dunia. Dan bukan rahasia lagi, bahkan kita sering melihat di berbagai
media, baik media cetak maupun elektronik, bahwa angka kematian yang
disebabkan oleh penyakit akibat rokok baik di Indonesia maupun di seluruh dunia
sangatlah besar. Menurut data dari WHO, setiap menit, ada sekitar 10 orang yang
meninggal karena rokok, dan hampir semua berkaitan dengan penyakit yang
berhubungan dengan sistem respirasi.1,4
Berdasar data di atas, jelas bahwa rokok memiliki dampak yang berbahaya
bagi kesehatan. Sebetulnya sudah terlalu banyak penelitian dan riset yang
berkaitan dengan bahaya rokok. Namun, tetap saja, jumlah perokok tetap
meningkat. Menarikya, Indonesia termasuk dari 2 negara dengan prevalensi pria
dewasa perokok terbesar yaitu 57%, di bawah tetangga kita Timor Leste (61%).
Di negara-negara lain, terutama di negara maju dengan tingkat pendidikan
masyarakat yang lebih tinggi, jumlah perokok dari tahun ke tahun terus
menurun.1,5
2
Penulis memilih melakukan penelitian tentang perbedaan waktu transporta
si mukosiliar antara perokok dan bukan perokok karena transportasit mukosiliar m
enggambarkan kekuatan pertahanan garis pertama di saluran napas, yaitu sistem
mukosiliar. Sistem mukosiliar berperan untuk menyapu kotoran yang masuk bersa
ma udara pernapasan untuk keluar dari saluran napas. Namun, seperti yang telah u
mum diketahui, rokok berpengaruh besar dalam fungsi sel, termasuk sel mukosa s
aluran napas yang berperan dalam sistem mukosiliar. Jika sistem mukosiliar rusak
, maka benda asing dari udara di lingkungan akan dengan mudah masuk ke salura
n pernapasan. 6
Berbagai penelitian di seluruh dunia, termasuk penelitian di Indonesia, telah
menunjukkan bahwa terjadi perlambatan waktu transportasi mukosiliar pada
perokok. Contohnya, penelitian oleh Stanley dkk di Amerika Serikat pada tahun
1986 yang mengungkapkan bahwa pada penelitian yang melibatkan 29 perokok
lama (lebih dari 5 tahun dan lebih dari atau sama dengan 10 batang rokok per
hari) menunjukkan perlambatan bermakna waktu transportasi mukosiliar perokok
dibanding non perokok. Hal yang sama juga diungkapkan Proenca dkk di Brazil
tahun yang menunjukkan perlambatan bermakna waktu transportasi mukosiliar
perokok dibanding kelompok non perokok. Penelitian ini juga menunjukkan
bahwa makin tinggi derajat beratnya merokok, makin besar perlambatan waktu
transportasi mukosiliar. 7,8
Untuk di Indonesia, penelitian tentang pengaruh merokok terhadap
transportasi mukosiliar ini masih sangat sedikit. Namun penelitian ini pernah
dilakukan oleh dr. Rahmad Dermawan SpTHT-KL di Medan tahun 2010, dan
juga menunjukkan perlambatan bermakna waktu transportasi mukosiliar perokok
dibanding kelompok non perokok. Oleh karena itu penulis berminat untuk
melakukan penelitian ini untuk memperkuat dugaan tersebut. Selain itu, penulis
ingin melihat pengaruh lama merokok dengan waktu transportasi mukosiliar. 9
3
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang, peneliti dapat merumuskan
pertanyaan penelitian sebagai berikut.
Bagaimana perbedaan waktu transportasi mukosiliar antara perokok dan
bukan perokok?
1.3 Hipotesis
Peneliti mengambil hipotesis bahwa:
Terjadi perbedaan waktu transportasi mukosiliar antara perokok dan bukan
perokok. Perokok dihipotesiskan mengalami perlambatan waktu
transportasi mukosiliar.
1.4 Tujuan
1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui waktu transportasi mukosiliar pada perokok dan bukan perkok.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui perbedaan rata-rata waktu transportasi mukosiliar antara perokok
dan bukan perokok.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Peneliti
Menjadi syarat untuk mendapatkan gelar sarjana kedokteran
4
Menambah pengetahuan, khususnya tentang bahaya merokok dan
sistem mukosiliar pada hidung dan sinus paranasal
1.5.2 Bagi Masyarakat
Menambah pengetahuan tentang bahaya merokok, terutama efeknya
terhadap sistem mukosiliar di hidung dan sinus paranasal
1.5.3 Bagi Civitas Akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sebagai sumber referensi dan rujukan untuk para civitas akademika
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada umumnya, dan bagi peneliti
selanjutnya yang berminat untuk melanjutkan penelitian ini pada
khususnya
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung
2.1.1.1 Anatomi Hidung
Hidung merupakan bagian yang menonjol di garis axial bagian frontal
kepala yang terletak di bagian wajah. Hidung terbagi menjadi 2 bagian, yaitu
hidung eksternal dan hidung internal. Hidung eksternal adalah bagian yang
prominen di wajah yang terdiri dari kerangka tulang dan kerangka
kartilago.kerangka tulang terdiri dari os. Maxillae, os. Nasalis dan os. Frontalis.
Sedangkan kerangka kartilago terdiri dari kartilago septum nasi yang merupakan
bagian depan septum nasi, kartilago nasi lateralis yang terletak inferior dari os.
Nasalis dan kartilago alar yang membentuk dinding dari nostril atau lubang
hidung. Karena terbentuk dari kartilago yang lentur, maka bagian hidung yang
disusun kartilago ini juga menjadi lebih fleksibel dibanding bagian yang disusun
kerangka tulang.di permukaan bawah hidung eksternal terdapat nares eksternum
atau nostril atau biasa disebut dengan lubang hidung yang merupakan jalur
masuknya udara dari lingkungan masuk ke sistem pernapasan.6
6
Gambar 2.1 Struktur Hidung Eksternal
(dikutip dari: Tortora, 2011)
Bagian internal atau dalam dari hidung merupakan rongga yang besar yang
berada di bagian anterior dari kranium, inferior dari os. Nasalis dan superior dari
mulut. Bagian internal hidung dilapisi oleh otot dan membran mukosa. Di bagian
anterior hidung internal berhubungan dengan hidung eksternal dan dibagian
posterior, hidung berhubungan dengan faring melalui 2 bukaan, yaitu choanae
atau yang juga disebut naris interus. Duktus-duktus dari sinus paranasal dan
duktus nasolakrimalis bermuara ke hidung internal. Karena memiliki bukaan ke
hidung internal, lapisan mukosa dari sinus paranasal juga sama dengan lapisan
mukosa dari hidung. Dinding lateral dari hidung internal dibentuk oleh os.
Ethmoid, os. Maxillae, os. Lakrimalis, os. Palatina, dan os. Konka nasalis inferior.
Bagian atap dibentuk oleh os. Ethmoid. Sedangkan bagian lantai hidung internal
dibentuk oleh prosesus palatina os. Maxillae yang membentuk palatum durum
yang merupakan lantai dari hidung internal.6Ruang di dalam hidung internal
disebut cavum nasi atau rongga hidung. Bagian anteriornya yang masih ditutupi
langsung oleh hidung eksternal disebut vestibulum nasalis. Septum nasalis
membagi cavum nasi menjadi sisi kiri dan sisi kanan. Di dalam rongga hidung
juga terdapat 3 penonjolan berbentuk seperti rumah kerang, yaitu konka nasalis
superior, media dan inferior yang menonjol dari dinding lateral hidung internal.
7
Konka ini membagi rongga hitung menjadi 3 meatus, yaitu meatus superior,
media dan inferior.6
Di bagian dalam hidung juga ada regio yang disebut regio olfaktori yang
terletak di bagian superior dari hidung dalam, tepatnya di lapisan membran konka
nasalis superior dan septum di sekitarnya yang disebut epitelium olfaktori.
Inferior dari eptelium olfaktori adalah membrana mukosa yang mengandung
kapiler darah dan juga epitel torak berlapis semu bersilia dan sel goblet yang akan
mensekresikan mukus.6
Gambar 2.2 Struktur Traktus Respiratorius Bagian Atas, Potongan Sagital Sisi
Kiri Kepala dan Leher
8
2.1.1.2 Fisiologi Hidung
Fungsi hidung luar adalah untuk estetika dan sebagai jalur masuknya udara
dari lingkungan ke dalam sistem pernapasan yang bermula di dalam rongga
hidung. Bagian dalam hidung berfungsi untuk:6
Menghangatkan dan menyaring udara yang masuk. Udara yang masuk ke
hidung akan diturbinasi oleh meatus dan konka pada hidung internal. Sembari
mengalami turbinasi, udara tersebut akan dihangatkan oleh kapiler yang
berada di dinding hidung dalam. Sel goblet di membrana mukosa hidung
internal akan menagkap kotoran dan partikel asing sehingga udara yang
masuk ke saluran napas bagian bawah menjadi lebih bersih. Kotoran ini
nantinya akan disapu oleh silia pada epitel torak berlapis semu bersilia yang
berada di membrana mukosa hidung yang melapisi rongga hidung. Kotoran
ini disapu ke bagian faring untuk ditelan, dibatukkan atau diludahkan, untuk
mengeluarkan partikel tersebut dari traktus respiratorius. Sistem pembersihan
oleh mukus dari sel goblet dan sapuan silia epitel torak berlapis semua
bersilia ini yang disebut dengan sistem mukosiliar.
Mendeteksi stimulus olfaktori (penciuman) yang dilakukan oleh sel-sel di
regio olfaktori hidung internal.
Membantu proses berbicara, ketika suara melewati bilik resonansi di bagian
dalam rongga hidung, vibrasi dari gelombang suara akan berubah.
2.1.2 Sistem Mukosiliar Hidung dan Sinus Paranasal
Sistem mukosiliar adalah sistem pertahanan tubuh lokal yang terdapat di
saluran napas atas, di dalam rongga hidung dan sinus paranasal. Sistem ini
berfungsi sebagai pelindung lapis pertama saluran napas atas terhadap partikel
asing seperti virus, bakteri, debu dan lain sebagainya.6,10-14
9
Seluruh saluran napas kecuali orofaring dan laringofaring ditutupi oleh
epitelium bersilia. Epitelium bersilia ini dilapisi oleh lapisan cairan mukus yang
disebut palu lendir. Palut lendir terdiri dari dua lapisan yang berbeda tingkat
kepekatannya, yaitu lapisan superfisial yang terletak dia atas dan lapisan perisiliar
yang sesuai namanya, terletak lebih di dalam di sekitar silia. 6,10-14
2.1.2.1 Struktur yang Berperan dalam Sistem Mukosiliar
Ada dua unsur penting yang berperan dalam sistem mukosiliar itu sendiri,
sesuai dengan namanya, yang pertama adalah palut lendir (mukus) yang
merupakan cairan kental yang dihasilkan sel goblet di lapisan epitel di saluran
napas atas yang berperan untuk memerangkap partikel asing yang ditangkap.
Struktur penting yang kedua adalah silia itu sendiri, yang merupakan silia dari sel
epitel torak bersilia yang berfungsi untuk menyapu partikel yang tertangkap
bersama palut lendir tersebut ke arah nasofaring untuk ditelan atau diludahkan.
Kedua struktur ini merupakan bagian dari lapisan mukosa hidung manusia.6,10-14
a. Palut Lendir atau Mukus
Palut lendir merupakan lembaran cairan yang tipis lengket dan liat yang
disekresikan oleh sel goblet, kelenjar seromukosa dan kelenjar lakrimal. Sel
goblet dan kelenjar seromukosa terdapat pada lapisan mukosa hidung manusia.
Komposisi dari palut lendir ini adalah: 95% air, 2.5-3% musin, 1-2% garam, dan
juga IgA, albumin, laktoferin, lisosom, serta protein lainnya. 12,14,15
Palut lendir terdiri dari dua lapisan, yaitu lapisan yang menyelimuti batang
silia dan mikrovili sel epitel torak besilia, yang disebut lapisan perisiliar dan
lapisan yang terletak lebih di permukaan yaitu lapisan superfisial. 14-16
Lapisan perisiliar bersifat kurang lengket dan lebih tipis yang mengandung
glikoprotein mukus, protein serum, dan protein sekresi lainnya yang memiliki
berat molekul rendah, sehingga menyebabkan lapisan ini lebih tipis dan kurang
10
kental. Lapisan ini sangat penting dalam pegerakan dari silia karena sebagian
besar pergerakan silia terjadi pada lapisan ini. Oleh sebab itu, lapisan ini menjadi
kurang kental, sebab jika sangat kental, maka pergerakan silia akan terganggu.
Ketinggian lapisan ini dipengaruhi oleh keseimbangan elektrolit yang diatur oleh
natrium (Na+) yang berperan dalam penyerapan lapisan ini serta klorida (Cl-)
yang berperan dalam sekresi lapisan perisiliar. Kedalaman lapisan ini sangat
berperan dalam pergerakan silia. Jika lapisan perisiliar terlalu rendah, maka silia
akan tenggelam di dalam lapisan superfisial yang kental dan akan susah bergerak.
Keadaan yang sama terjadi pada saat lapisan perisiliar terlalu tinggi dan nantinya
akan membuat ujung silia tidak mencapai lapisan superfisial sehingga lapisan
superfisial tidak dapat tersapu dengan baik ke arah nasofaring. 14,16,17
Lapisan kedua adalah lapisan superfisial yang lebih tebal dan kental karena
mengandung lebih banyak mukoglikoprotein. Fungsi dari mukoglikoprotein ini
adalah untuk menangkap partikel asing, menginaktifkan virus, dan juga berfungsi
untuk melindungi membrana mukosa hidung dari temperatur dingin serta
kelembaban yang rendah. 6,12,14,15
b. Sel Epitel Torak Bersilia
Sel epitel torak bersilia adalah sel epitel pada lapisan mukosa rongga
hidung dan nasofaring yang berbentuk seperti silinder dan mengandung 50-200
silia atau rambut-rambut kecil per sel. Karena susunannya yang tidak teratur dan
seakan-akan membentuk lapisan (padahal sesungguhnya hanya satu lapis),
susunan sel ini disebut epitel torak berlapis semu bersilia. Tidak semua sel pada
mukosa hidung adalah sel epitel torak bersilia, ada juga beberapa sel yang tidak
bersilia dan sel goblet serta sel sekretorik lainnya yang berperan dalam produksi
palut lendir. 6,14,15
Silia pada sel epitel torak bersilia terletak di bagian permukaan dan
menghadap ke arah rongga hidung. Silia pada manusia memanjang sekitar 5
mikrometer di atas permukaan sel dan lebarnya sekitar 0.3 mikrometer. Silia
11
tertanam pada badan basal yang terletak tepat di bawah permukaan sel. Dari badan
basal memanjang fibrin yang terhubung ke sitoplasma apical sel dan disini disebut
sebagai tempat akar. Di silia tertanam dengan kuat dan mungkin tempat akar ini
meneruskan impuls saraf ke silia di sebelahnya sehingga menimbulkan irama
yang selaras.12-15,18
Struktur silia terdiri dari 2 mikotubulus tunggal di tengah yang dikelilingi
oleh 9 pasang mikrotubulus ganda di luar, konfigurasi yang dikenal dengan
sebutan 9+2. Antar kompleks mikrotubulus ganda dihubungkan oleh protein
penghubung silang yang berbentuk seperti cincin di bagian dalam yang disebut
nexin. Nexin juga terhubung dengan mikrotubulus tunggal melalui jari-jari radial
yang melekat dari nexin ke mikrotubulus tunggal, sehingga dapat menghubungkan
mikrotubulus tunggal dengan kompleks mikrotubulus ganda di luar, sehingga
terbentuk seperti velg roda.12-15,18,19
Gambar 2.3. Struktur Silia
(dikutip dari: Campbell, 2007)
12
Mekanisme bergeraknya silia didasari oleh adanya protein yang terdapat di
mikrotubulus ganda yang disebut dynein. Lengan dynein tertanam pada salah satu
mikrotubulus ganda dan kepalanya menyambung ke mikrotubulus lainnya. Sifat
dynein mirip dengan protein myosin pada otot, sehingga ketika dirangsang dengan
ATP, dynein akan memecah ATP (karena terdapat ATPase padanya) dan
menggunakan hasil reaksi pemecahan tersebut sebagai energi untuk bergerak
dengan gerakan meluncur sepeti sliding filament pada otot. Bedanya, pada
mikrotubulus silia takkan terjadi gerakan meluncur karena adanya nexin, sehingga
gerakan yang terjadi adalah gerakan menunduk atau menyapu ke arah tertentu.
12,18
Gambar 2.4. Proses Bergeraknya Silia
(Dikutip dari: Campbell, 2007)
13
Dalam hal pergerakan silia, terdapat 2 fase yang terjadi, yaitu fase efektif
yang berlangsung dengan kekuatan penuh dengan tujuan menyapu palut lendir ke
arah tertentu dan fase pemulihan yang berlangsung lebih lambat dan lemah. Rasio
waktu fase efektif dan fase pemulihan adalah 1:3. Frekuensi gerakan silia terjadi
sebanyak 10-20 kali per detik atau 700-1000 kali per menit. Belum diketahui apa
yang mengontrol gerak silia, namun dipastikan sesuai gambar di atas ATP adalah
sumber energi utama untuk pergerakan silia eukariot. 12,13,18,20
Pergerakan silia pada manusia diatur oleh adanya kontrol saraf lokal yang
involunteer. Hal ini dibuktikan dengan silia yang dapat bergerak terus menerus
walaupun dipisahkan dengan tubuh. Silia masih terus berdenyut hingga 72 jam
setelah orang meninggal. 12,15
Sel-sel basal pada mukosa hidung manusia berpotensi untuk menggantikan
sel epitel bersilia maupun sel goblet yang telah rusak dan mati. Sel epitel saluran
napas beregenerasi setiap 4-8 minggu, dengan rincian 2-4 hari untuk pembentukan
dasar epitel tipis dan sekitar 4 minggu untuk regenerasi secara sempurna. 15
2.1.2.2 Peran Sistem Mukosiliar Hidung dan Sinus Paranasal dalam
Menyaring Udara Inspirasi
Dalam proses inspirasi, ketika udara inspirasi mulai memasuki rongga
hidung, akan terjadi perlambatan arus udara inspirasi yang masuk ke dalam
rongga hidung dan juga arus balik udara inspirasi. Hal ini disebabkan oleh karena
anatomi rongga hidung yang ireguler, karena terdapat banyaknya tonjolan (konka)
dan saluran sempit (meatus). Perlambatan arus udara inspirasi yang masuk dan
adanya arus balik atau turbinasi udara inspirasi ini akan menyebabkan partikel
yang ikut bersama udara inspirasi menjadi melambat dan mudah terperangkap di
palut lendir. Hal ini menimbulkan penimbunan partikel yang terperangkap di
rongga hidung dan nasofaring. Partikel berukuran 5-6 mikrometer hampir
semuanya (85-90%) akan disaring oleh palut lendir di rongga hidung dan
nasofaring. Partikel yang lebih besar akan disaring oleh bulu hidung dan partikel
14
yang lebih kecil akan masuk ikut bersama palut lendir atau langsung ke traktus
respiratorius bagian bawah. Molekul kecil yang dapat larut dalam air seperti
formaldehid akan larut di dalam lapisan palut lendir dan disapu ke arah
nasofaring. Sedangkan materi yang sukar larut akan langsung menuju paru-paru.
12-15
2.1.2.3 Transportasi Mukosiliar (TMS)
TMS adalah sistem pembersihan mukosiliar yang mengandalkan fungsi
dari palut lendir atau mukus yang disekresikan sel goblet pada membrana mukosa
hidung interna untuk menangkap partikel asing dan fungsi dari silia dari epitel
torak berlapis semu bersilia untuk menyapu partikel asing yang tertangkap
bersama silia ke arah nasofaring lalu ke orofaring untuk ditelan atau diludahkan.
6,12-17,19,20
Transportasitasi mukosiliar harus terus bergerak aktif karena jika tidak,
maka partikel asing yang terperangkap dalam palut lendir akan dapat menembus
mukosa hidung dan dapat menimbulkan gangguan baik secara lokal maupun
sistemik jika partikel tersebut masuk ke sistem peredaran limfe atau darah.6,12-
17,19,20
2.1.2.4 Pemeriksaan Fungsi Mukosiliar
Pemeriksaan fungsi mukosiliar sering dilakukan baik untuk kepentingan
penelitian maupun medis. Pemeriksaan fungsi mukosiliar dapat dilakukan dengan
memeriksa ultrastruktur silia dengan menggunakan mikroskop elektron,
pemeriksaan komposisi dan kekentalan palut lendir, dan pemeriksaan fungsi
gerakan silia.
Dalam penelitian dan pemeriksaan medis, fungsi gerakan silia cukup
sering diperiksa karena dapat menggambarkan dengan tepat waktu pembersihan
mukosiliar yang nantinya dapat merepresentasikan transportasit mukosiliar
seseorang. Pemeriksaan ini menggunakan bahan terlarut, seperti sakharin, obat
15
topikal, maupun gas inhalasi, ataupun tak larut seperti lamp back, colloid sulfur,
dan partikel radioaktif yang nantinya akan dicatat dengan kamera gamma. Salah
satu pemeriksaan termudah dan tersering dilakukan adalah uji sakharin. Uji
sakharin sangat sering dilakukan pada kasus klinis maupun penelitian karena
murah, mudah, aman dan meberikan hasil yang cukup konsisten. Waktu dan/atau
kecepatan yang ditemukan dalam pemeriksaan tersebut disebut waktu/kecepatan
transportasi mukosiliar (TMS). 10,15,17,20-34
2.1.2.5 Faktor yang Mempengaruhi TMS
Rautiainen17
menyatakan bahwa beberapa faktor penting yang
mempengaruhi sistem mukosiliar adalah fungsi silia, struktur epitel, sifat dan
kualitas dari palut lendir, serta struktur anatomis hidung dan sinus. Sedangkan
Waguespack15
menuliskan keadaan yang mempengaruhi TMS adalah faktor
fisiologis/fisik, polusi udara/rokok, kelainan kongenital, rhinitis alergi, infeksi
virus/bakteri, obat-obat topical, obat-obat sistemik, bahan pengawet dan tindakan
operasi. Penulis sendiri merangkum faktor-faktor yang mempengaruhi sistem
transportasi mukosiliar tersebut menjadi:
a. Kelainan Kongenital
Diskinesia silia primer dapat disebabkan karena tidak adanya lengan dynein,
jari-jari radial, translokasi pasangan mikrotubulus, panjang silia abnormal, sel-sel
basal abnormal atau aplasia silia. Kelainan ini jarang dijumpai, dengan
perbandingan 1 dalam 15.000-30.000 kelahiran. Uji sakharin pada pasien ini
menunjukkan waktu sakharin lebih dari 60 menit. 14,20
Sindrom Kartagener merupakan kelainan kongenital dengan kelainan
bronkiektasis, sinusitis dan situs inversus. Penyakit ini merupakan contoh dari
dyskinesia silia primer dengan kekurangan lengan dinein baik sebagian maupun
secara keseluruhan. Kelainan ini menyebabkan infeksi saluran napas yang
berulang yang menyebabkan sinusitis berulang dan bronkiektasis. Dengan
16
mekanisme gangguan serupa, dapat terjadi infertilitas pada pasien laki-laki karena
gangguan motilitas ekor sperma. 12-15,17,35
Fibrosis kistik dan sindroma Young juga merupakan kelainan kongenital
yang juga dikaitkan dengan sinusitis kronis. Yang unik pada kedua penyakit ini,
struktur dan frekuensi denyut silia terlihat normal namun karena adanya
peningkatan viskositas palut lendir, maka akan terjadi pemanjangan waktu TMS.
12-15,17,35
b. Lingkungan
Lingkungan dapat mempengaruhi kerja silia. Lingkungan yang kering akan
dapat dengan cepat merusak silia. Silia juga harus terjaga untuk bekerja dalam
lingkungan dengan pH 7-9. Di luar pH tersebut akan terjadi penurunan fekuensi.
Faktor lain yang mempengaruhi TMS yang berasal dari lingkungan adalah
hiperoksia, hipoksia ekstrim dan hiperkarbia. Suplai oksigen yang kurang akan
memperlambat gerakan silia dan suplai oksigen yang tinggi akan meningkatkan
frekuensi denyut silia (frekuensi denyut silia) hingga 30-50%. 12,15,17,23,35
Asap rokok pada binatang percobaan dapat dengan efektif merugikan
frekuensi denyut silia, tapi kesimpulan ini gagal dibuktikan pada manusia. Debu
tidak berpengaruh pada frekuensi denyut silia kecuali jika ada zat berbahaya yang
menempel pada permukaan debu tersebut, seperti zat kimia yang digunakan pada
industri kayu dan kulit. Gangguan fungsi mukosiliar biasanya juga terjadi pada
kasus metaplasia sel skuamosa, terutama pada bagian depan hidung di mana
perubahan ini dapat terjadi dengan pengaruh paparan lingkungan. Namun, pada
beberapa sumber disebutkan bahwa interaksi rokok dan debu merupakan interaksi
2 hal yang saling berkaitan. 9,12,14,15,17,23,35
17
c. Fisiologis/Fisik
Dari pemeriksaan dengan mikroskop elektron, tidak ditemukan perbedaan
TMS berdasarkan umur, jenis kelamin atau posisi saat tes. Namun penelitian Ho
dkk19
Menyatakan adanya perlambatan yang signifikan pada orang dengan usia
diatas 40 tahun. Penelitian oleh Soedarjatni29
terhadap penderita diabetes mellitus
menunjukkan adanya perbedaan TMS yang bermakna yakni 10.51 mm/menit,
lebih cepat dibanding kelompok kontrol/pasien normal yaitu 16.39 mm/menit.
Pengaruh olahraga belum jelas, tapi bebebrapa penelitian menyatakan bahwa
terjadi perlambatan TMS setelah olahraga dan malam hari. 23
d. Obat-obatan
Kebanyakan obat tetets hidung dan glukokortikoid yang mengandung bahan
penstabil seperti benzalconium chloride, chlorbutol, thiomesal dan EDTA terbukti
membahayakan epitel pernapasan dan sangat siliotoksik. Obat dekongestan
topical juga terlihat dapat menghambat fungsi silia. Flunisolide sebagai steroid
topikal dihubungkan dengan penurunan bermakna TMS, sedangkan
beclometasone tidak mempengaruhi TMS sampai pemakaian 36 bulan. 15,17
Gosepath dkk33
melakukan penelitian tentang pengaruh obat topikal yaitu
antibiotik (ofloxacin), antiseptik (betadine dan H2O2) serta antijamur
(amphotericin B, itrakonazol dan klotrimazol) terhadap frekuensi denyut silia.
Hasilnya, frekuensi denyut silia pada penggunaan ofloxacin 5% menurun hingga 8
Hz (normal 12-15 Hz) dan terhenti setelah 7 jam. Sedangkan pada ofloxacin 50%
didapatkan frekuensi denyut silia sebesar 7,5 Hz dan berhenti setelah 6 jam 30
menit. Aktivitas silia masih ditemukan pada itrakonazol 0.25% hingga 8 jam,
namun pada konsentrasi 1%, aktivitas silia hanya bertahan 30 menit.
Larutan betadine lebih siliotoksik dibandingkan H2O2. Pada betadine 5%,
didapatkan frekuensi denyut silia 7 Hz dan masih terlihat aktivitas silia hingga 1
jam 30 menit. Sedangkan pada betadine 10% terlihat frekuensi denyut silia 4.5 Hz
dengan aktivitas silia yang terlihat hanya 30 menit. Pada H2O2 1% ditemukan
18
frekuensi denyut silia sebesar 7 Hz selama lebih dari 8 jam, sedangkan pada
H2O2 3% ditemukan frekuensi denyut silia 6 Hz selama 5 jam 30 menit. Hasil ini
menunjukkan obat-obat topikal antibiotik, antiseptik dan antijamur, khususnya
pada dosis tinggi dapat merusak fungsi pembersihan mukosiliar. 33
Beberapa obat oral juga dapat menurunkan TMS seperti golongan
antikolinergik, narkotik, dan etil alkohol. Obat golongan beta adrenergic tidak
mempengaruhi aktivitas silia, namun dapat merangsang pembentukan palut lendir.
Obat kolinergik dan methilxantine merangsang aktivitas denyut silia dan
pembentukan palut lendir. 15
e. Infeksi
Dari pemeriksaan mikroskop elekton pada silia yang terpapar virus, terlihat
virus menempel pada permukaan silia. Penempelan virus dapat menyebabkan
kematian silia dan udem pada struktur mukosa hidung. Selain itu virus dapat
meningkatkan kekentalan mukus. Banyak hipotesis menyatakan bahwa udem
pada ostium sinus akan menyebabkan hipoksia dan memicu pertumbuhan bakteri
dan disfungsi silia. 12,15,17,35,36
Bakteri atau infeksi dapat menyebabkan degenerasi dan pembengkakan
mukosa, terlepasnya sel-sel radang dan perubahan pH yang dapat mempengaruhi
aktivitas mukosiliar secara langsung. Berbagai endotoksin dari bakteri dan enzim
proteolitik dari netrofil terbukti dapat menurunkan TMS dan frekuensi denyut
silia. B. pertussis dan P. aeruginosa terbukti dapat menyebabkan gangguan
bermakna pada TMS. H. influenza dapat menyebabkan penurunan frekuensi
denyut silia. 15,17,35,36
Penelitian Czaja dkk37
menunjukkan ternyata sinusitis kronis pada binatang
dapat meningkatkan frekuensi denyut silia secara bermakna. Sedangkan
Sakakura18
melaporkan TMS pada sinusitis kronis mengalami waktu perlambatan
yang sangat bermakna jika dibandingkan dengan kontrol normal. Kecepatan TMS
19
pada pasien dengan sinusitis kronis adalah 1.8 mm/manit, sedangkan pada oang
normal mencapai 5.8 mm/menit. Pada pasien dengan sinusitis konis ditemukan
peningkatan ion Na+ pada palut lendir sehingga ditemukan peningkatan
viskoelastisitas palut lendir.
Penelitian tentang penurunan TMS pada pasien dengan sinusitis kronis juga
dilakukan oleh Torkkeli dkk28
. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa 13 dari 19
pasien yang dijui dengan metode radioisotop menunjukkan kecepatan TMS yang
menurun hingga di bawah 3 mm/menit (mean 1.8 mm/menit). Kelainan
ultrastruktur silia banyak ditemukan pada pasien dengan TMS rendah, seperti
lengan dynein pendek, penyatuan silia, anomali tubular dan disorientasi. Hal yang
senada ditunjukkan penelitian Joki dkk32
yang menunjukkan penurunan frekuensi
denyut silia bermakna pada pasien sinusitis kronis yang rekuren. Bahkan dari 44
subjek penelitian, 8 percontoh tidak menunjukkan aktivitas silia sama sekali.
f. Struktur dan Anatomi Hidung
Kelainan struktur/anatomi hidung juga dapat bepengaruh ke TMS.
Permukaan mukosa yang saling mendekat dan bertemu, seperti pada kasus septum
deviasi, polip dan konka bulosa serta kelainan lain di daerah osteomeatal dan
ostium sinus dapat menurunkan aktivitas silia, bahkan sampai terhenti. Hal ini
disebabkan karena adanya gesekan antar gerakan silia sehingga gaya yang
ditimbulkan gerakan silia dari masing masing sisi dapat saling menegatifkan.
Rongga hidung yang terlalu besar juga dapat meningkatkan aliran udara yang
masuk dan dapat merusak epitel bersilia dan akhirnya menganggu TMS secara
bermakna.14,17,35
2.1.3 Rokok
2.1.3.1 Kandungan Rokok dan Dampaknya Terhadap Kesehatan
Rokok sudah sangat sering dikaitkan dengan berbagai masalah kesehatan,
terutama masalah pernapasan. Berbagai penelitian menunjukkan bahaya rokok
20
bagi kesehatan, tak terkecuali kesehatan sistem transportasitasi mukosiliar.
Rokok mengandung sekitar 4000 bahan kimia yang berbahaya bagi tubuh
(toksin), antara lain: 38-40
Benzene, yang juga terkandung dalam bahan bakar (bensin)
Tar, yaitu partikel padat yang nantinya dapat melapisi bagian dalam paru-paru
dan dapat menginduksi terjadinya kanker.
Formaldehid, merupakan zat pengawet mayat yang terkandung di dalam
rokok. Zat ini dapat menyebabkan inflamasi sel yang terkena.
Arsen, yaitu bahan yang terkenal terkandung pada racun hewan pengerat
(tikus)
Hidrogen Sianida
Karbon Monoksida, gas yang dapat mengikat Hb hingga 200x lebih kuat dari
oksigen, menyebabkan kemampuan angkut oksigen oleh darah menurun.
Dan banyak lagi zat berbahaya lainnya.
Selain itu, setiap batang rokok yang dibakar juga mengandung 1017
molekul oksidan radikal bebas. Seeprti yang kita ketahui, toksin dan radikal
bebas dapat berpengaruh buruk ke jaringan tubuh manusia dan sel manusia secara
spesifik. Rokok telah dikaitkan dengan kasus kanker paru, di mana 90% kanker
paru dikaitkan dengan rokok. Selain itu, rokok juga dikaitkan dengan berbagai
penyakit lain seperti pneumonia, leukemia mieloid akut, kanker lambung, kanker
pankreas dan banyak penyakit lainnya. Rokok juga dikaitkan dengan keguguran,
berat bayi lahir rendah, sudden infant death pada ibu hamil dan janin serta
attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) pada anak. 41,42
21
2.1.3.2 Pengaruh Rokok Terhadap Sel Manusia
Kandungan rokok termasuk berbagai toksin seperti akrolein,
formaldehinda, karbon monoksida, nikotin, kotinin, astaldehin, fenol dan
potassium sianida terbukti sangat toksik terhadap sel tubuh manusia, termasuk
epitel respiratorik. Kerusakan sel juga ditimbulkan karena jejas sel yang
ditimbulkan oleh radikal bebas yang banyak terdapat dalam rokok. 43-45
a. Kerusakan Sel Karena Zat Kimia pada Rokok
Mekanisme kerusakan sel yang disebabkan oleh zat kimiawi sudah sangat
jelas. Ada 2 mekanisme umum yang mungkin terjadi akibat pajanan zat kimiawi.
Mekanisme pertama adalah penggabungan langsung zat kimia toksik dengan
komponen molecular kritis atau organel sel yang penting. Mekanisme kedua
adaah zat kimia toksik tersebut tidak aktif secara intrinsik, namun harus
dikonversi oleh metabolit aktif yang merupakan toksik reaktif. Peruabahn zat
kimia ini menjadi metabolit toksik aktif dapat terjadi dengan bantuan enzim
tubuh, termasuk enzim di hati. Melihat sifat dari toksin yang menyebabkan efek
kerusakan pada sel epitel respiratorik yang bersifat langsung, maka kemungkinan
besar mekanisme keruskan yang diakibatkan zat kimia terjadi secara langsung
(mekanisme pertama). 43,45
b. Kerusakan Sel Karena Radikal Bebas pada Rokok
Mekanisme kerusakan sel karena paparan rokok lainnya adalah jejas sel
karena radikal bebas yang banyak terdapat dalam rokok. Kerusakan yang
disebabkan radikal bebas disebabkan oleh 3 reaksi utama, yaitu:44,45
Reaksi pertama adalah peroksidasi lipid membrane, yang menyebabkan
kerusakan pada ikatan rangkap pada lemak tidak jenuh pada membrane yang
menyebabkan terbentuknya lemak peroksida. Lemak peroksida yang tidak
stabil dan reaktif ini dapat menyebabkan reaksi autokatalitik yang
menyebabkan kerusakan menyeluruh pada membran sel.
22
Fragmentasi DNA. Reaksi radikal bebas dengan timin DNA mitokondria dan
nuklear dapat menimbulkan rusaknya untai tunggal. Kerusakan rantai DNA
tersebut menimbulkan implikasi pada pembunuhan sel secara apoptosis
maupun perubahan sel menjadi ganas.
Ikatan silang protein. Radikal bebas mencetuskan ikatan seilang protein yang
diperantarai sulfigidril yang menyebabkan kelainan struktu protein. Kelainan
struktur ini menyebabkan peningkatan kecepatan degradasi atau hilangnya
aktivitas enzimatik. Reaksi radikal bebas secara langsung juga dapat
menyebabkan fragmentasi polipeptida.
Gambar 2.5 Kerusakan Sel Akibat Radikal Bebas
(dikutip dari: Robbins: 2007)
23
2.1.3.3 Pengaruh Rokok Terhadap Sel Epitel Torak Bersilia
Penelitian yang dilakukan oleh Lan dkk46
menunjukkan bahwa sel epitel
torak bersilia yang dikultur kemudian dipaparkan dalam berbagai konsentrasi
ekstrak rokok sigaret menunjukkan adanya penurunan waktu hidup sel yang
berkorelasi dengan lamanya paparan dan konsentrasi ekstrak. Sel tersebut secara
morfologis menunjukkan tanda tanda ke arah apoptosis.
Penelitian lain menunjukkan bahwa kotinin, zat yang ditemukan dalam
rokok menurunkan frekuensi denyut silia secara langsung. Penelitian ini diperkuat
dengan hasil penelitian oleh Tamashiro dkk47
yang menunjukkan penurunan
frekuensi denyut silia pada kultur sel epitel bersilia yang dipaparkan terhadap asap
rokok.
Selain berpengauh terhadap sel sepitel bersilia yang sudah berdiferensiasi,
rokok juga berpengaruh terhadap proses siliogenesis. Penelitian yang dilakukan
oleh Tamashiro dkk47
juga menunjukkan bahwa adanya reduksi dalam persentasi
pertumbuhan silia ketika adanya paparan asap rokok dan hasil ini berkorelasi
positif dengan peningkatan dosis paparan asap rokok.
2.1.3.4 Pengaruh Rokok Terhadap Palut Lendir
Berbagai penelitian menunjukkan peningkatan produksi mukus yang
berkaitan dengan paparan asap rokok. Peningkatan produksi mukus ini disebabkan
karena peningkatan ukuran dan jumlah sel goblet yang berperan dalam produksi
mukus di saluran napas atas.
Penelitian yang dilakukan oleh Tamashiro dkk47
dan Kreindler dkk48
menunjukkan bahwa paparan asap rokok secara in vitro berpengaruh terhadap
fungsi transportasit klorida di sel epitelial. Paparan asap rokok akan menginhibisi
transportasit klorida di sel epithelial yang nantinya meningkatkan viskoelastisitas
mukus yang secara patofisiologis mirip dengan keadaan pada kasus fibrosis kistik.
24
2.1.3.5 Pengaruh Rokok Terhadap Waktu TMS
Setelah pembahasan di atas, tampaknya cukup jelas bahwa rokok akan
berpengaruh terhadap transportasitasi mukosiliar. Berbagai penelitian telah
menunjukkan pengaruh rokok terhadap transportasitasi mukosiliar.
Salah satu penelitian yang terkenal dan sering menjadi bahan rujukan
adalah penelitian oleh Stanley dkk7 yang dilakukan di tahun 1986. Penelitian ini
menjadi dasar bagi penelitian lain, karena penelitian ini termasuk penelitian
pertama yang menggambarkan secara rinci efek merokok sigaret terhadap TMS
dan frekuensi denyut silia.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketika pemeriksaan TMS
menggunakan metode skaharin yang dimodifikasi oleh Rutland dan Cole pada
subjek yang merokok lama (minimal 5 tahun, sebanyak lebih dari 10 batang per
hari) terdapat perbedaan yang bermakna dalam TMS dibanding dengan pasien
yang tidak merokok aktif selama hidupnya. Mean dari TMS subjek perokok
berkisar pada 20.8 menit yang secara signifikan lebih lama dibanding subjek non-
perokok yang mean TMS-nya berkisar pada 11.1 menit.7
Hasil untuk pemeriksaan frekuensi denyut silia cukup mengejutkan karena
tidak terdapat perbedaan frekuensi denyut silia yang bermakna ketika pemeriksaan
frekuensi denyut silia dengan teknik fotometrik. Hal ini mengindikasikan bahwa
penurunan TMS kemungkinan disebabkan oleh penurunan jumlah silia atau
perubahan pada komposisi dan viskoelastisitas dari palut lendir. 7
Selain itu penelitian ini juga menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh dari
paparan akut asap rokok terhadap waktu transportasit mukosiliar. Hal ini
dibuktikan dengan percobaan yang dilakukan terhadap 10 relawan yang belum
pernah merokok aktif seumur hidupnya. Para relawan diminta untuk merokok
sigaret sebanyak 2 batang kemudian diukur waktu sakharinnya serta frekuensi
denyut silia-nya. Rupanya tidak ditemukan perbedaan bermakna pada hasil
25
sebelum merokok dan setelah merokok. Hal ini mengindikasikan bahwa pengaruh
rokok terhadap TMS terjadi setelah paparan yang bersifat kronik.7
Penelitian lain juga dilakukan oleh Proenca dkk8 di Brazil. Ketika hasil
penelitian tersebut menunjukkan orang dengan klasifikasi perokok ringan
mengalami perlambatan waktu transportasi mukosiliar namun tidak bermakna
secara statistik. Sedangkan perlambatan waktu transportasi mukosiliar yang
bermakna terjadi pada perokok sedang dan berat.
Sedangkan untuk penelitian lokal, dilakukan oleh dr. Rachmad Dermawan9
dari USU. Dari hasil penelitian beliau, tampak bahwa terdapat perbedaan waktu
yang signifikan ketika dilakukan penghitungan waktu sakharin antar perokok dan
bukan perokok dengan mean waktu sakharin pada perokok sebesar 17,81 menit
dan 10,23 menit untuk non perokok.
2.1.3.6 Indeks Merokok
Indeks merokok adalah perhitungan yang digunakan untuk menghitung derajat
beratnya merokok. Ada banyak metode untuk menghitung indeks merokok,
namun ada 2 perhitungan yang cukup sering digunakan secara luas, yaitu:
a. Indeks Brinkman
Indeks Brinkman digunakan secara luas untuk menghitung derajat
beratnya merokok. Indeks ini menggunakan jumlah batang rokok yang dihisap
per hari dan lama merokok dalam tahun sebagai variabel. Sehingga rumusnya
akan ditampilkan sebagai berikut:49
(Jumlah Batang Rokok yang Dikonsumsi per hari) X (Lama Merokok dalam
Tahun)
Penggolongan Indeks Brinkman sangatlah bervariasi. Namun yang kini
sering dipakai secara luas adalah sebagai berikut:
26
0-199 = perokok ringan
200-599 = perokok sedang
≥ 600 = perokok berat
b. Pack-Years of Smoking
Pack-Years of Smoking adalah cara lain untuk menghitung derajat beratnya
merokok. Dasarnya hampir sama dengan indeks brinkman. Jika indeks Brinkman
mengalikan batang rokok yang dikonsumsi per hari dengan lama merokok per
tahun, maka pack-years of Smoking menghitung jumlah bungkus rokok yang
dikonsumsi per hari dan dikalikan dengan lama merokok dalam tahun. Dalam
perhitungan ini, 1 bungkus rokok diasumsikan memuat 20 batang rokok, seperti
halnya yang lazim di negara-negara barat. Sehingga perhitungannya adalah
sebagai berikut:50
(Jumlah batang rokok yang dikonsumsi per hari) / 20 X (Lama Merokok
dalamTahun)
Seperti Indeks Brinkman, Pack-Years of Smoking juga tidak memiliki
klasifikasi yang spesifik. Namun pada beberapa penelitian yang melibatkan
penghitungan waktu TMS dengan uji sakharin menggunakan pembagian sebagai
berikut:50
0-20 = perokok ringan
20-30 = perokok sedang
>30 = perokok berat
c. Klasifikasi Proenca dkk.
Klasifikasi ini digunakan Proenca dkk dalam penelitiannya tentang pengaruh
derajat beratnya merokok terhadap waktu TMS. Klasifikasi ini menggunakan
jumlah rokok yang dihisap per hari ssebagai dasar pembagiannya, yaitu sebagai
berikut:8
27
0-15 batang per hari = perokok ringan
16-25 batang per hari = perokok sedang
>25 batang per hari = perokok berat
2.1.4 Uji Sakharin
Uji sakharin merupakan metode uji untuk mengetahui kecepatan dan
waktu transportasi mukosiliar. Uji ini merupakan uji yang cukup sering digunakan
karena sederhana, tidak mahal, tidak invasif dan merupakan gold standard untuk
uji perbandingan. Pemilihan sakharin sebagai bahan uji karena sakharin mudah
larut, kemampuan karsinogeniknya sangatlah rendah. Selain itu, sakharin
memiliki tingkat kemanisan hingga 700x manisnya gula biasa (sukrosa). Sakharin
sendiri adalah pemanis buatan non kalori yang sudah sering dipakai sebagai
pemanis non kalori baik di luar negeri maupun di industri makanan dalam
negeri.9,51
Pada uji sakharin, pasien dites dalam lingkungan standar dan
diinstruksikan untuk tidak menghirup, makan, minum, batuk ataupun bersin.
Pasien duduk dan posisi kepala fleksi 10 derajat. Setengah mm sakharin
diletakkan 1 cm di belakang batas anterior konka inferior pasien. Pasien kemudian
disuruh menelan dalam periode tertentu (biasanya 1 menit) dan waktu tersebut
dicatat sampai pasien merasakan manis yang menandakan sakharin telah
mencapai faring atau rongga mulut. Waktu TMS normal dengan uji sakharin atau
biasa juga disebut waktu sakharin sangatlah bervariasi, rata – rata adalah 12-15
menit dan di bawah 30 menit masih dianggap normal. 9
28
2.2 Kerangka Teori
Pengeluaran endotoksin oleh bakteri serta enzim proteolitik
serta mediator inflamasi oleh sel imun
Edema pada mukosa hidung
Gesekan antar silia karena permukaan mukosa yang mendekat
dan bertemu
Aktifitas saraf otonom mempengaruhi persarafan lokal
mukosa hidung
Kelainan struktur dan anatomi rongga hidung yang menyebabkan penyempitan rongga hidung yang signifikan (septum deviasi berat, konka bulosa, dsb)
Infeksi pada saluran nafas atas
Berolahraga
Paparan zat berbahaya dari asap rokok pada sel di sistem mukosiliar
Zat kimia toksik Radikal bebas
Bergabung dengan komponen molekular kritis
Kerusakan organel penting pada sel
Kerusakan membran sel, fragmentasi DNA dan ikatan silang protein
Kerusakan Fungsi Sel Secara Menyeluruh
Kerusakan sel epitel torak bersilia
Kerusakan sel goblet penghasil palut lendir
Penurunan frekuensi denyut silia torak bersilia
Apoptosis sel epitel
Inhibisi transport klorida pada membran sel goblet
Peningkatan viskositas mukus
Penurunan kemampuan transportasi mukosiliar secara menyeluruh
Paparan zat berbahaya dari debu industri kulit dan kayu di sistem
mukosiliar
Kandungan zat sitotoksik terhadap sel epitel torak bersilia
pada obat tetes hidung dan topikal
Penggunaan obat tetes hidung dan topikal hidung
Lingkungan: tinggal di sekitar industri kayu dan kulit
Merokok
Penurunan Waktu Transportasi Mukosiliar
29
2.3 Kerangka Konsep
= variabel yang diteliti/ terikat
= variabel bebas
= variabel perancu
Merokok
Paparan Kandungan
Asap Rokok
Kerusakan sel
epitel torak bersilia
dan apoptosis sel
epitel torak bersilia
Peningkatan jumlah dan
viskositas mukus yang
disekresi kan sel goblet
penghasil palut lendir
Waktu
Transportasi
Mukosiliar
Berolahraga sebelum pengambilan
sampel, radang saluran napas atas < 2-3
minggu sebelum pengambilan data,
penggunaan obat tetes dan topikal hidung
2-3 minggu sebelum pengambilan data,
paparan debu industri kulit dan kayu,
kelainan struktur dan anatomi yg
mempersempit rongga hidung secara
signifikan
30
2.4 Identifikasi Variabel
Variabel–variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Variabel bebas atau independen, yaitu status merokok subjek
Variabel terikat atau dependen, yaitu waktu transportasi mukosiliar
Variabel perancu pada penelitian ini, yaitu berolahraga sebelum pengambilan
sampel, radang saluran napas atas < 2-3 minggu sebelum pengambilan data,
penggunaan obat tetes dan topikal hidung 2-3 minggu sebelum pengambilan
data, paparan debu industri kulit dan kayu, kelainan struktur dan anatomi yg
mempersempit rongga hidung secara signifikan
2.5 Definisi Operasional
No. Variabel Definisi Pengukur Alat Ukur Cara Ukur Skala
Pengukuran
1.
Waktu
Transportasi
Mukosiliar
Kecepatan sistem
mukosiliar untuk
menghantarkan
suatu benda di
permukaan palut
lendir
Peneliti dan
Pembimbing
Sakharin dan
Stopwatch
Sakharin
dimasukkan ke 1
cm dari batas
anterior konka
inferior, sampel
disuruh menelan
tiap 1 menit.
Waktu dihitung
dari ketika
sakharin
diletakkan
hingga sampel
Numerik rasio
Numerik
rasio
31
merasakan
manis pertama
kali
2. Status
Merokok
Dikatakan
merokok jika
merokok lebih
dari 5 tahun dan
minimal 10
batang rokok per
hari. Sedangkan
dikatakan tidak
merokok bila
tidak pernah
merokok aktif
secara reguler
seumur hidupnya
Peneliti Kuesioner Wawancara Kategorik
Nominal
3. Indeks
Merokok
Jumlah rokok
yang dikonsumsi
dan lama
merokok
Peneliti Wawancara Kuesioner Numerik
Rasio dan
Kategorik
Ordinal
4. Status
Paparan
Debu
Industri
Kayu dan
Kulit
Dikatakan
„terpapar‟ jika
tinggal atau
sering beraktifitas
di sekitar daerah
industri kayu dan
kulit. Sedangkan
dikatakan „tidak
terpapar‟ jika
tidak tinggal atau
beraktifitas secara
reguler di sekitar
Peneliti Kuesioner Wawancara Kategorik
Nominal
32
daerah industri
kayu dan kulit
5. Status
Berolahraga
Dikatakan
„berolahraga‟ jika
berolahraga
dalam jangka
waktu1 jam
sebelum uji
sakharin, dan
dikatakan „tidak
berolahraga‟ jika
tidak berolahraga
minimal 1 jam
sebelum uji
sakharin
Peneliti Kuesioner wawancara Kategorik
Nominal
6. Status
Penggunaan
Obat yang
Pengaruhi
TMS
Dikatakan
„menggunakan
obat‟ jika
menggunakan
obat yang
mempengaruhi
TMS dalam 1
bulan minggu
sebelum
pengambilan data.
Dikatakan „tidak
menggunakan
obat‟ jika tidak
menggunakan
obat yang
mempengaruhi
TMS dalam 1
Peneliti Kuesioner Wawancara Kategorik
Nominal
33
bulan sebelum
pengambilan data
7. Radang
Saluran
Napas Atas
Dikatakan
„mengalami
peradangan‟ jika
subjek mengalami
peradangan pada
saluran napas atas
2-3 minggu
sebelum
pengambilan data
dan dikatakan
„tidak mengalami
peradangan‟ jika
tidak mengalami
peradangan
saluran napas atas
2-3 minggu
sebelum
pengambilan data
Peneliti dan
pembimbing
Kuesioner
dilanjutkan
dengan
Nasoendoskopi
Wawancara lalu
dilanjutkan
dengan
nasoendoskopi
untuk melihat
ada atau
tidaknya tanda
peradangan pada
mukosa hidung
(hiperemis,
sekret, dsb)
Kategorik
Nominal
8. Kelainan
Struktur dan
Anatomi
Rongga
Hidung
Dikatakan
„kelainan yang
mengganggu‟ jika
ditemukan
kelainan struktur
yang
menyempitkan
rongga hidung
secara bermakna
hingga kedua
permukaan
mukosa hidung
Peneliti dan
Pembimbing
Nasoendoskopi Melakukan
nasoendoskopi
pada subjek
untuk melihat
keadaan rongga
hidung, apakah
terdapat
kelainan
struktural atau
tidak
Kategorik
Nominal
34
mendekat hingga
hampir bertemu.
Dikatakan „tidak
ada kelainan/
kelainan tidak
mengganggu‟ jika
kelainan struktur
tersebut tidak
menyempitkan
rongga hidung
hingga 2
permukaan
mukosa hidung
hampir bertemu
atau tidak ada
kelainan
struktural pada
rongga hidung.
35
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain penelitian
potong lintang.
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
3.2.1 Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan selama bulan Agustus 2014 – September 2014
3.2.2 Tempat Penelitian
Uji sakharin pada subjek penelitian dilakukan di Rumah Sakit Khusus
THT Proklamasi BSD, Kota Tangerang. Sedangkan wawancara dilakukan di
lingkungan sekitar kampus
3.3 Kriteria Subjek Penelitian
Kriteria inklusi umum:
1. Laki-laki
2. Usia 17-50 tahun
3. Tidak sedang mengalami infeksi saluran napas akut dalam 2-3 minggu
sebelum pengambilan data
36
4. Saat 1 bulan sebelum hingga pengukuran waktu transport mukosilier,
partisipan bersedia untuk tidak meminum obat yang mempengaruhi waktu
transport mukosilier, antara lain: steroid topikal dan obat dekongestan topikal;
obat tetes hidung dan glukokortikoid yang mengandung bahan penstabil;
antibiotik, antiseptik dan antijamur topikal; dan obat oral seperti
antikolinergik, narkotik, etil alkohol, beta adrenergic, kolinergik dan
metilxanthine.
5. Tidak memiliki kelainan kongenital yang dapat mengganggu TMS seperti
diskinesia silia primer, sindrom Kartagener, fibrosis kistik dan sindroma
Young.
6. Tidak mengalami sinusitis kronis atau rekuren
7. Tidak bekerja atau tinggal di sekitar industri kayu dan kulit. Terbukti debu
dari industri kayu dan kulit dapat menyebabkan penurunan signifikan waktu
TMS.
37
8. Bersedia untuk tidak berolahraga di hari pengambilan data (sebelum
pengambilan data
9. Kriteria partisipan perokok:
Telah menjadi perokok sejak minimal 5 tahun yang lalu
Merokok dengan jumlah minimal 10 batang setiap hari
10. Kriteria partisipan non-perokok:
Tidak pernah merokok aktif
11. Bersedia menyetujui informed consent
Kriteria eksklusi umum:
1. Sedang berpuasa pada saat pengukuran waktu transpor mukosilier
2. Mengalami peradangan saluran napas atas yang dipastikan pada saat
pemeriksaan nasoendoskopi
3. Tidak dapat berpartisipasi karena keadaan psikologis yang buruk (gadug
gelisah, agitasi)
4. Mengalami gangguan struktur rongga hidung yang dapat mengganggu
aktivitas trasnportasi mukosiliar seperti septum deviasi, polip, dan konka
bulosa yang juga dipastika saat dilakukan nasoendoskopi.
3.4 Besar Sampel
Perkiraan besar sampel dihitung dengan rumus sebagai berikut:
38
Keterangan:
Zα = kesalahan tipe I sebesar 5% = 1,645
Zβ = kesalahan tipe II sebesar 10% = 1,282
(X1 – X2) = selisih minimal yang dianggap bermakna = 2,00
S = Sg = standar deviasi, diperoleh dengan rumus:
Sg = standar deviasi gabungan
S1 = standar deviasi kelompok 1 pada penelitian sebelumnya
n1 = besar sampel kelompok 1 pada penelitian sebelumnya
S2 = standar deviasi kelompok 2 pada penelitian sebelumnya
n2 = besar sampel kelompok 2 pada penelitian sebelumnya
Sehingga perhitungan besar sampel yang dibutuhkan adalah sebagai berikut:
(Sg)2= (1,37
2 x 14 + 0,69
2 x 14)
30-2
= 26,776 + 6,6654
28
Sg = √1,1765
Sg = 1.0846658472
Sg dimasukkan ke dalam rumus utama sampel
N = 2 [(1,645 + 1,282) x 1.0846658472]2
(2,00)2
N = 2 x 2,50937281
N = 5,02
39
Dengan memperhitungkan resiko drop out sebesar 10%, maka untuk jumlah
sampel sesuai rumus sampel penelitian analitik numerik adalah 6
Namun jika dihitung dengan rumur rule of 10, yaitu dengan mengalikan
jumlah faktor yang mempengaruhi TMS yang tidak bisa diekslusi dengan 10,
maka akan didapatkan 2 faktor yang tidak bisa diekslusi (status merokok dan
indeks merokok) lalu dikalikan dengan 10 maka hasilnya adalah 20. Dengan
memperhitungkan resiko drop out sebesar 10%, maka jumlah sampel untuk
penelitian ini sesuai rumus rule of 10 adalah 23 orang.
Karena jumlah sampel yang diambil sebaiknya adalah yang terbesar, maka
jumlah sampel untuk penelitian ini adalah 23 orang untuk masing-masing
kelompok subjek.
3.5 Alat dan Bahan
3.5.1 Bahan Penelitian
Pemanis buatan, sakharin padat, berdiameter 0,5-1 mm
3.5.2 Alat Penelitian
Pinset yang telah ditandai 1 cm
Head lamp untuk rhinoskopi dan otoskopi
Stopwatch
Nasoendoskopi rigid
Kursi untuk pemeriksaan THT
1.7 Cara Kerja Penelitian
1. Menentukan subjek penelitian sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi
40
2. Melakukan informed consent kepada subjek penelitian dan menjelaskan cara
melakukan uji sakharin serta melakukan wawancara untuk mengetahui status
merokok dan derajat beratnya merokok
Gambar 3.1. Wawancara Subjek
3. Melakukan pemeriksaan fisik THT meliputi inspeksi, palpasi, dan rhinoskopi
untuk melihat keadaan rongga hidung, keadaan telinga dan juga tenggorokan.
Pemeriksaan dilakukan oleh pembimbing dan dicatat oleh peneliti
Gambar 3.2. Pembimbing Melakukan Pemeriksaan Fisik THT
4. Melakukan nasoendoskopi untuk menilai keadaan rongga hidung secara
keseluruhan, termasuk menilai sempit atau tidaknya rongga hidung.
41
Gambar 3.3. Pembimbing Melakukan Nasoendoskopi kepada Subjek
Gambar 3.4. Gambaran Nasoendoskopi Subjek di Monitor
42
Gambar 3.5. Alat Nasoendoskopi dan Papan Kendalinya
5. Melakukan uji sakharin (dibantu oleh pembimbing) dengan menaruh sakharin
menggunakan bantuan pinset dan nasoendoskopi untuk memastikan letaknya.
Sakharin diletakkan di dalam rongga hidung, 1 cm dari batas anterior konka
inferior. Posisi kepala subyek penelitian fleksi 10 derajat
Gambar 3.6. Sakharin Padat yang akan Diujikan kepada Subjek
43
Gambar 3.7 Sakharin diletakkan 1 cm dari batas anterior konka inferior dengan
penanda 1 cm berupa plester putih
Gambar 3.8. Posisi Pasien Saat Uji Sakharin
6. Menghitung waktu saat mulai ditaruhnya sakharin di dalam rongga hidung
subjek sampai subjek merasakan rasa manis di lidah posterior yang
menandakan sakharin sudah sampai di pangkal lidah dan dinding faring
posterior. Selama penghitungan, subyek penelitian diinstruksikan untuk tidak
44
bersin, batuk, menghirup, mengubah posisi kepala dan berbicara. Selama
penghitungan, subyek diinstruksikan juga untuk menelan tiap 1 menit dan
tidak boleh menelan selain saat diinstruksikan.
3.8. Manajemen dan Analisis Data
Data yang didapatkan dicatat pada formulir berkas pasien, kemudian
dimasukkan ke dalam komputer. Analisis data secara statistik dan melakukan uji
statistik dilakukan dengan program SPSS v16. Awalnya data demografi subjek
penelitian dianalisa secara deskriptif untuk mengetahui karakteristik subjek
penelitian.
Penulis lalu melakukan analisa secara deskriptif untuk mengetahui gambaran
waktu transportasi mukosiliar rata-rata seluruh sampel, gambaran waktu
transportasi mukosiliar pada perokok dan non perokok, dan gambaran waktu
transportasi mukosiliar pada perokok dengan klasifikasi perokok Proenca. Penulis
memilih klasifikasi Proenca ini karena klasifikasi ini merupakan klasifikasi
pertama yang digunakan dalam penelitian yang melihat pengaruh derajat beratnya
merokok terhadap waktu transportasi mukosiliar.
45
3.9 Alur Penelitian
Pembuatan Proposal
Pemilihan Subjek Penelitian
Informed Consent
Wawancara Subjek dan
Uji Sakharin pada Subjek
Penelitian
Pengolahan Data
46
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Karakteristik Subjek Penelitian
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan 12 subjek penelitian karena
keterbatasan biaya dan waktu. Masing-masing kelompok (perokok dan non
perokok) berjumlah 6 subjek. Data demografi dasar subjek penelitian yang
digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
Tabel 4.1 Karakteristik Dasar Demografis Subjek Penelitian
Karakteristik Non Perokok Perokok
Jenis Kelamin
Laki-laki 6 6
Perempuan
0 0
Kelompok Usia
17-24 tahun 6 3
25-34 tahun 0 2
35-44 tahun 0 1
Pendidikan
SD 0 0
SMP 0 2
SMA 6 10
Perguruan Tinggi
0 0
Pekerjaan
Pelajar/Mahasiswa 6 3
Buruh 0 1
Satpam 0 1
Tukang Parkir
0 1
Proenca dkk
Classification of
Smokers
Non perokok 6 0
Perokok Ringan 0 4
Perokok Sedang 0 0
Perokok Berat 0 2
47
Dari data yang didapatkan, ditemukan bahwa subjek penelitian berkisar
antara 18 – 39 tahun, dengan rerata usia 23,42 ± 6,735 tahun. Sedangkan median
usia perokok adalah 25 (18-39) tahun. Rerata usia perokok lebih rendah, yaitu
20,67 ± 0,51 tahun. Pekerjaan subjek penelitian sebagian besar adalah
pelajar/mahasiswa, sebanyak 9 dari 12 orang (6 orang non perokok dan 3 orang
perokok). Pendidikan subjek penelitian rata-rata adalah SMA (10 dari 12 orang) di
mana seluruh responden non perokok berpendidikan SMA/sederajat dan 4 dari 6
orang dari subjek penelitian non perokok berpendidikan SMA/sederajat. Dalam
klasifikasi Proenca dkk, 4 dari 6 responden adalah perokok ringan dan sisanya
merupakan perokok berat.
4.1.2 Gambaran Waktu Transportasi Mukosiliar pada Subjek Penelitian
Hasil gambaran waktu transportasi mukosiliar pada subjek adalah sebagai
berikut:
Gambar 4.1 Waktu Transportasi Mukosiliar pada Subjek penelitian
48
Rerata waktu transportasi mukosiliar pada 12 subjek penelitian adalah 6,27
± 2,11 menit dengan waktu tercepat adalah 3,87 menit yang didapatkan pada
subjek non perokok dan terlama adala 10,00 menit yang didapatkan pada subjek
perokok.
Sedangkan hasil pengukuran waktu transportasi mukosiliar pada subjek
penelitian yang terbagi dalam kelompok perokok dan non perokok adalah sebagai
berikut:
Gambar 4.1 Waktu Transportasi Mukosiliar pada Perokok dan Non Perokok
Rerata waktu transportasi mukosiliar pada 6 orang subjek non-perokok
yaitu 5,12 ± 1,39 menit dan pada 6 orang subjek perokok dan 7,42 ± 2,16 menit.
Namun karena kurangnya jumlah sampel pada penelitian ini, peneliti tidak dapat
melakukan uji statistik pada rerata waktu transportasi mukosiliar kedua kelompok.
Sedangkan untuk melihat gambaran waktu transportasi mukosiliar pada
perokok yang telah dibagi dalam indeks derajat beratnya merokok, peneliti
49
mencoba melihat gambaran waktu transportasi mukosiliar jika diklasifikasikan
dalam klasifikasi Proenca:
Gambar 4.3. Waktu Transportasi Mukosiliar pada Subjek Non Perokok, Perokok
Ringan dan Perokok Berat dalam Klasifikasi oleh Proenca dkk.
Rerata waktu transportasi mukosiliar subjek non perokok adalah 5,12 ±
1,39 menit. Sedangkan rerata waktu transportasi mukosiliar subjek perokok ringan
adalah 6,40 ± 1,84 menit. Pada kelompok subjek perokok berat ditemukan rerata
waktu transportasi mukosiliar hingga 9,47 ± 7,54 menit. Waktu tercepat untuk
kelompok non perokok dari 6 subjek adalah 3,87 menit dan waktu terlama adalah
7,33 menit. Sedangkan untuk kelompok perokok ringan, dari 4 subjek didapatkan
waktu tercepat adalah 5,10 menit dan terlama 9,08 menit. Untuk kelompok
perokok berat, dari 2 subjek didapatkan waktu transportasi mukosiliar selama 8,93
menit dan 10,00 menit. Namun sekali lagi, karena kurangnya jumlah sampel,
maka peneliti tidak dapat melakukan uji statistik pada rerata waktu transportasi
mukosiliar ketiga kelompok di atas
50
4.2 Pembahasan
Penelitian ini menggunakan 12 laki-laki sebagai subjek penelitian sesuai
dengan rata Riset kesehatan dasar (Riskesdas) yang dilakukan Kementrian
Kesehatan tahun 2010, di mana proporsi perokok terbanyak memang didominasi
oleh para laki-laki. Kemudian data usia menunjukkan bahwa subjek perokok
terbanyak pada kelompok usia 17 -24 tahun (50%). Hal ini sedikit berbeda dengan
hasil Riskesdas 2010 di mana perokok terbanyak ditemukan pada usia 25-34. Hal
ini mungkin berkaitan dengan jumlah sampel yang sedikit dan pengambilan
sampel perokok yang memang hampir sepaket dikarenakan sulitnya mencari
sampel perokok secara perorangan. Sedangkan untuk data kelompok usia non
perokok, sesuai dengan Riskesdas 2013, yaitu semuanya berasaldari kelompok
usia 17-24 tahun. Untuk taraf pendidikan subjek, sesuai dengan data Riskesdas
yang menunjukkan kecenderungan untuk merokok lebih besar pada orang dengan
taraf pendidikan yang rendah. Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa 31,9%
perokok adalah tidak tamat SD dan yang tamat SMP hanya 26% dari jumlah
perokok. Sedangkan perokok yang tamat SMA dan tingkat yang lebih tinggi
hanya sekitar 32% dari perokok nasional. Hal ini sesuai dengan data demografi
subjek penelitian di mana semua subjek non perokok adalah lulusan SMA dan 2
dari 6 subjek perokok adalah tamatan SMP. 41
Hasil penghitungan waktu transportasi mukosiliar pada subjek perokok
adalah 6,27 ± 2,11 menit. Hal ini sesuai dengan berbagai penelitian, termasuk
penelitian Stanley, Proenca dan Rahmad Dermawan yang menyatakan bahwa
rerata waktu transportasi mukosiliar sampel tidak melebihi angka 30 menit. 7-9
Untuk hasil rerata waktu transportasi mukosiliar pada 6 orang subjek
perokok yaitu 5,12 ± 1,39 menit dan 7,42 ± 2,16 menit pada kelompok perokok.
Perbedaan rerata yang didapatkan cukup jauh, yaitu 2,3 menit, di mana waktu
transportasi mukosiliar perokok cenderung lebih lambat daripada kelompok non
perokok. Hasil ini sesuai dengan penelitian Proenca dkk, Stanley dkk, dan
Rahmad Dermawan yang menunjukkan adanya perbedaan rerata waktu
51
transportasi mukosiliar antara kelompok perokok dan non perokok di mana
kelompok yang menunjukkan perlambatan pada semua penelitian tersebut adalah
kelompok perokok. Penelitian Stanley dkk menunjukkan perbedaan rerata waktu
transportasi mukosiliar sebesar 9,7 menit, penelitian Proenca dkk menunjukkan
perbedaan rerata waktu transportasi mukosiliar sebesar 2 menit, dan penelitian
Rahmad Dermawan menunjukkan perbedaan rerata waktu transportasi mukosiliar
sebesar 7,58 menit. Hal ini sesuai dengan teori bahwa rokok memiliki efek buruk
terhadap sistem mukosiliar hidung sehingga pada perokok ditemukan perlambatan
waktu transportasi mukosiliar.7-9
Sedangkan pada hasil rerata waktu transportasi mukosiliar pada 6 subjek
non perokok dan 6 subjek perokok yang telah dibagi dalam klasifikasi Proenca
dkk (4 perokok ringan dan 2 perokok berat) menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan rerata waktu transportasi mukosiliar pada ketiga kelompok tersebut
(non perokok, perokok ringan dan perokok berat). Kelompok non perokok
menunjukkan angka rerata waktu transportasi mukosiliar tercepat, yaitu 5,12 ±
1,39 menit. Rerata ini berbeda tidak jauh dengan 4 subjek perokok ringan dengan
rerata waktu transportasi mukosiliar 6,40 ± 1,84 menit, yang berarti didapatkan
perbedaan rerata antara kelompok non perokok dan perokok sebesar 1,28 menit.
Hal ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Proenca sebelumnya di mana
didapatkan perbedaan waktu transportasi mukosiliar antara kelompok non
perokok dan perokok ringan sebesar 1 menit.
Sedangkan 2 subjek perokok berat memiliki rerata waktu transportasi
mukosiliar paling lama (9,47 ± 7,54 menit). Rerata waktu transportasi mukosiliar
pada 2 subjek perokok berat ini berbeda 4,35 menit dengan rerata waktu
transportasi mukosiliar 6 subjek non perokok dan berbeda 3,07 menit dengan 4
subjek dalam kelompok perokok ringan. Hasil ini juga sesuai dengan penelitian
Proenca dkk di mana subjek non perokok dan perokok berat memiliki perbedaan
rerata waktu transportasi mukosiliar sebesar 4 menit dan antara subjek perokok
ringan dan berat berbeda rerata waktu transportasi mukosiliarnya sebesar 3 menit,
di mana perlambatan rerata ditemukan lebih besar pada perokok dengan kategori
52
yang lebih berat. Hal ini juga sesuai dengan teori bahwa makin besar derajat
merokok/makin sering paparan asap rokok terhadap sistem mukosiliar, makin
parah derajat kerusakannya. 8
4.3 Aspek Keislaman
Penurunan waktu transportasi mukosiliar pada subjek perokok nantinya akan berdampak buruk, karena
kerusakan sistem transportasi mukosiliar akan membuat benda asing yang masuk ke saluran napas akan dengan mudah
menginvasi saluran napas, karena sistem transportasi mukosiliar sebagai garis pertama pertahanan saluran napas yang
seharusnya menyapu benda asing tersebut keluar dari saluran napas telah rusak. Efeknya, benda asing tersebut akan dapat
menimbulkan masalah, baik itu infeksi, inflamasi, atau aktivitas sitotoksik dan karsinogenik pada saluran napas sehingga
meningkatkan resiko terjadinya penyakit pada saluran napas. Oleh karena itu, saran terbaik bagi subjek perokok pada
penelitian ini adalah berhenti atau mengurangi merokok untuk menghilangkan/mengurangi dampak buruk dari asap rokok
terhadap sistem transportasi mukosiliar yang nantinya akan berpengaruh ke kesehatan saluran napas. Hal ini juga telah
disampaikan Allah SWT dalam firman-Nya pada surat Al-Baqarah ayat 195:
Artinya: “Dan belanjakanlah harta bendamu di jalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke alam kebinasaan..”
Jelas sekali dalam ayat di atas Allah SWT memerintahkan kita untuk
membelanjakan harta benda di jalan Allah SWT, tentunya untuk hal yang
bermanfaat dan untuk tidak melakukan tindakan yang dapat merugikan diri
sendiri, contohnya rokok. Seperti yang telah dibahas di atas, rokok nantinya akan
menimbulkan banyak masalah yang merugikan, salah satunya yang dibahas
khusus pada bagian ini adalah kerusakan pada sistem transportasi mukosiliar yang
akan merugikan kesehatan perokok itu sendiri.
4.4 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki keterbatasan antara lain:
Jumlah sampel penelitian
53
Jumlah sampel dalam penelitian ini sangat sedikit yaitu 6 perokok dan 6 non
perokok karena keterbatasan dana dan waktu penelitian, sehingga data tidak
bisa dianalisis dengan analisa statistik
Asal populasi penelitian
Asal populasi penelitian tidak menggambarkan populasi apapun, sehingga
memungkinkan terjadinya bias dan tidak menggambarkan suatu populasi
Metode pengambilan data
Pengambilan data dilakukan dengan uji sakharin saja, tanpa menggunakan
pewarna pada sakharin tersebut sehingga ada kemungkinan terjadi bias ketika
pasien merasakan manis. Peneliti tidak bisa mengetahui apakah sakharin telah
betul-betul sampai ke dinding faring posterior/pangkal lidah karena tidak ada
tanda lain selain rasa manis yang dirasakan pasien.
54
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Didapatkan rerata waktu transportasi mukosiliar pada kelompok subjek
perokok adalah 5,12 ± 1,39 menit dan 7,42 ± 2,16 menit pada kelompok
subjek non perokok.
Hasil tersebut tidak dapat dianalisa secara statistik karena kurangnya
jumlah sampel.
5.2 Saran
Penelitian ini adalah penelitian ke-3 di Indonesia mengenai hubungan
rokok dan waktu transportasi mukosiliar, sehingga masih dibutuhkan
penelitian lanjutan yang lebih baik untuk perbaikan ke depannya.
Dibutuhkan penelitian lanjutan dengan jumlah sampel yang lebih banyak,
minimal sesuai dengan penelitian yang bermakna sebelumnya, agar tidak
terjadi kesulitan dalam perhitungan statistik. Penulis juga menyarankan
sebaiknya jumlah per kategori perokok untuk penelitian selanjutnya
disesuaikan perbandingannya dengan hasil Riskesdas terbaru untuk
menunjukkan hasil yang lebih sesuai dengan demografi masyarakat
Indonesia.
Saat uji sakharin sebaiknya sakharin yang akan diberikan ke pasien telah
dicelupkan ke methylen blue agar ketika pasien merasakan manis, peneliti
dapat memastikan dengan mengecek warna biru dari methylen blue pada
dinding faring posterior untuk menghindari bias.
55
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization [Internet]. Tobacco, Key Facts. WHO Media Centre;
[updated July 2013; cited 2013 July 3]. Available from:
http://www.who.int/mediacentre
2. Badan Pusat Statistik [internet]. Per Capita Gross Domestic Product, Per Capita
Gross National Product and Per Capita National Income, 2000-2013 (Rupiahs);
[updated 2013; cited 2014 September 10]. Available from: http://www.bps.go.id
3. Departemen Keuangan Republik Indonesia [internet]. Seputar APBN, Anggaran
Kesehatan 2009-2014; [updated 2014; cited 2014 September 10]. Available from:
http://www.anggaran.depkeu.go.id
4. Cancer Research UK [internet]. Lung Cancer Key Facts; [updated 29 May 2014;
cited 2014 September 10]. Available from:
http://cancerresearchuk.org/cancerinfo/cancerstats
5. Marie Ng, Michael KF, Thomas DF, et.al. Smoking Prevalence and Cigarette
Consumption in 187 Countries, 1980-2012. Journal Am Med Association. 2014
Jan 8;311(2): 183-192
6. Tortora GJ, Derrickson BM. Principles of Anatomy and Physiology. 12th
Edition.
US: John Wiley & Sons, Inc; 2009. 875-878 p.
7. Stanley PJ, Wilson R, Greenstone MA, et al. Effect of Cigarette Smoking on
Nasal Mucociliary Clereance and Ciliary Beat Frequency. Thorax 1986;
41(7):519-23
8. Proenca M, Pitta F, Kovelis D, et.al. Mucociliary Clearance and its Relation With
the Level of Physical Activity in Daily Life in Healthy Smokers and
Nonsmokers. Revista Por de Pneumologia 2012; 18:233-8
9. Dermawan R. Perbedaan Waktu Transportasi Mukosiliar Hidung pada Perokok
dan Bukan Perokok. Medan: FK USU, 2010: hal. 1-55
10. Jorissen M, Willems T, Boeck KD. Diagnostic Evaluation of Mucociliary
Transport: From Sympoms to Coordinated Cilliary Activity after Cilliogenesis in
Culture. Am J Rhinnol 2000;14:345-52
56
11. Nizar NW, Wardani RS. Anatomi Endoskopik Hidung-Sinus Paranasal dan
Patofisiologi Sinusitis. Dalam: kumpulan naskah lengkap kursus, pelatihan dan
demo bedah sinus endoskopik fungsional. Makasar: FK Unhas; 2000: hal.1-12
12. Ballenger JJ, Snow JB, editors. Otolaryngology Head and Neck Surgery. 15th ed.
Baltimore, Philadelpia, Hongkong, London, Munich, Sydney, Tokyo: Williams &
Wilkins; 1996: 3-18 p.
13. Heilger PA. Applied Anatomy and Physilogy of the Nose. In: Adam GL, Boeis
LR, Heilger PA, editors. Fundamentals of Otolaryngology. 6th ed. Philadelpia,
London, Toronto, Montreal, Sydney, Tokyo: WB Saunders Ca; 1989: 177-95 p.
14. Scott Brown, Weir N, Golding-Wood DG. Infective Rhinitis and Sinusitis. In:
Mackay IS, Bull TR, editors. Scott-Brown‟s Otolaryngology (Rhinology). 6th ed.
Oxford, Boston, Johannesburg, Melbourne, New Delhi, Singapore: Butterworth-
Heinemann; 1997: 1-49p.
15. Waguespack R. Mucociliary Clearance Patterns Following Endoscopic Sinus
Surgery. Laryngoscope (supplement) 1995;105:1-40
16. Sakakura Y, Majima Y, Takeuchi K. A rule of periciliary fluid in nasal
mucociliary clearance. Am J Rhinol 1994;5:277-8
17. Rautiainen M. Impaired mucociliary function in nose. Am J Rhinol 1994;5:276-7
18. Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG. BIOLOGY. 7th ed. San Fransisco:
Benjamin Cummings; 2007: 178-182
19. Ho JC, Chan KN, Hu WH, et.al. The effect of aging on nasal mucociliary
clearance, beat frequency, and ultrastructure of respiratory cilia. Am J Resir Crit
Care Med 2001;163:983-8
20. Al-Rawi MM, Edelstein DR, Erlandson RA. Changes in Nasal Epithelium in
Patients with Severe Chronic Sinusitis: A Clinicopathologic and Electron
Microscopic Study. Laryngoscope 1998;108:1816-23
21. Stierna P. Physiology, Mucociliary Clearance and Neural Control. In: Kennedy
DW, Bolger WE, Zinreich SJ, editors. Diseases of Sinuses Diagnosis and
Management. London: BC Decker Inc; 2001: 35-38p.
57
22. Kane KJ. Recirculation of Mucus as a Cause of Persistent Sinusitis. Am J Rhinol
1997;11:361-9
23. Benninger MS. Nasal Mucociliary Transport after exposure to swimming pool
water. Am J Rhinol 1994;8:207-9
24. Talbot AR, Herr TM, Pasrons DS. Mucociliary Clearance and Buffered
Hypertonic Saline Solution. Laryngoscope 1997;107:500-3
25. Hafner S, Darvis S, Riechelmann H, et al. Endonasal Sinus Surgery improves
mucociliary transport in severe chronic sinusitis. Am J Rhinol 1997;11:271-4
26. Sakakura Y. Mucociliary Transport in Rhinologic Disease. In: Bunnag C,
Muntarbhorn K, editors. ASEAN Rhinological Practice. Bangkok: Siriyot
Co.,Ltd; 1997: 137-43p.
27. Elynawati N, Roestiniadi, Hupetomo. The Influence of Air Polutant of
Mucociliary Transport in Wood Factory Worker. 7th ARSR; 2002:119
28. Torkelli T, Rautiainen M, Nuutinen J. Ciliary Ultrastructure and Mucociliary
Transport in Upper Respiratory Tract Infections. Am J Rhinol 1994;8:211-5
29. Soedarjtani, Djoko SS. Nasal Mucociliary Clearance (NMC) dan nasal pH pada
30 Penderita Diabetes Melitus (NIDDM tipe II WHO). Dalam: Kumpulan
Naskah Ilmiah PIT Perhati Bukittinggi; 1993: hal.760-66
30. Penitilla MA, Rautiainen MEP, Koskinen MO, et al. Mucociliary clearance of the
maxillary sinuses in patients with recurrrent or chronic sinusitis. Am J Rhinol
1994;8:285-90
31. Jorissen M. Correlations among mucociliary transpot, cilliari function, and
cilliary structure. Am J Rhinol 1998;12:53-8
32. Joki S, Toskala E, Saano V. Correlation Between Cilliary Beat Frequency and
The Structure of Ciliated Epithelia in Pathologic Human Nasal Mucosa.
Laryngoscope 1998;108:426-30
33. Gosepath J, Grebneva N, Mossikhin S, Mann WJ. Topical Antibiotic, Antifungal
and Antiseptic Solution Decrease Cilliary Activity in Nasal Respiratory Cells.
Am J Rhinol 2002;16:25-31
58
34. Scadding GK, Lund VJ, Darby YC. The effect of Long Term antibiotic therapy
upon ciliary beat frequency in chronic rhinosinusitis. J Laryngo-Otol
1995;109:24-6
35. Clerico DM. Medical treatment of chronic sinus disease. In: Kennedy DW,
Bolger WE, Zinreich SJ, editors. Diseases of Sinuses Diagnosis and
Management. London: BC Decker Inc; 2001: 155-8p.
36. Cauwenberge PV, Ingels K. Effects of viral and bacterial infection on nasal and
sinus mucosa. Acta Otolaryngol (Stockh) 1996;116:316-21
37. Czaja JM, McCaffrey TV. Reversibility of abnormal mucociliary clearance in
experimental chronic sinusitis. AM J Rhinol 1996;10:281-9
38. Samsuri Tirtosastro [Internet]. Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak
Industri: Kandungan kimia tembakau dan rokok. [updated 2009; cited 2013 July
3]. Available from: http://balittas.litbang.deptan.go.id/
39. Tri-Country Cessation Center [Internet]. Cigarette Ingredients: Chemicals in
Tobacco Smoke. Dutches, Sullivan, Ulster; [updated 2013; cited 2013 July 3].
Available from: http://www.tricountycessation.org
40. Cedars-Jebel Ali International Hospital. E-bulletin Smoking and its Ill Effects.
April 2011.
41. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Depkes RI; 2013:hal.169-175.
42. Mirsa, et al. Black tea prevents cigarette smoke induced oxidative damage of
protein in guinea pigs. J Nutrition 2003;22:208
43. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi 7. Jakarta:
EGC; 2007: hal.2-33
44. Leanderson P, Tagesson C. Cigarette Smoke-induced DNA damage in cultured
human lung cells: role of hydroxyl radicals and endonuclease activation. Chem
Bio Interact 1992;81(1-2):197-208
45. Pickett G, Seagrave JC, Boggs S. Effects of10 cigarette smoke condensates on
primary human airway epithelial cells by comparative gene and cytokine
expressions studies. Toxicological Sciences 2010;114(1):79-89
59
46. Lan MY, Ho CY, Lee TC, Yang AH. Cigarette smoke extract induces cytotoxicity
on human nasal epithelial cells. Am J Rhinol 2007;21(2):218-23
47. Tamashiro E, Cohen NA, Palmer JN. Lima WTA. Effects of Cigarette Smoking
on Respiratry Epithelium and Its Rile in the Pathogenesis of Chronic
Rhinosinusitis. Braz J Otorhinolaryngol 2009;75(6):
48. Kreindler JL, Jackson AD, Kemp PA. Inhibition of Chloride Secretion in Human
Bronchial Epithelial Cells By Cigarette Smoke Extract. AM J Physiol Lung Cell
Mol Physiol 2005;288(5):894-902
49. Nungtijk AK, Mangunnegoro H, Yunus F. Efikasi Pemberian Kombinasi Inhalasi
Salmeterol dan Flutikason Propionat Melalui Alat Diskus pada PPOK.Maj
Kedokt Indon 2010;60(12):546-53
50. Indrayan A, Kumar R, Dwivedi S. A Simple Index of Smoking. COBRA
2008;40:1-20
51. Office Technology of Assessment. Cancer Testing Technology and Saccharin.
USA: Congress of The United States. 1977:19-35p.
60
LAMPIRAN
Lampiran 1
Riwayat Penulis
Identitas :
Nama : Ahmad Muslim Hidayat Tamrin
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat, Tanggal Lahir : Pinrang, 12 Januari 1993
Agama : Islam
Alamat : Jl. Cempaka F1/15, Sumasang, Soroako, Sulawesi
Selatan
E-mail : ahmadmuslimhidayat@yahoo.co.id
amhtamrin@gmail.com
Riwayat Pendidikan :
1998 – 2000 : TK YPS Singkole
2000 – 2006 : SD YPS Lawewu
2006 – 2009 : SMP YPS Singkole
2009 – 2011 : SMAN 17 Makassar
2011- sekarang : Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta