Post on 16-Oct-2021
183
FASIES DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN FORMASI TALANG AKAR, CEKUNGAN JAWA BARAT UTARA
Mochammad Fahmi Ghifarry
1*, Ildrem Syafri
1, Febriwan Mohamad
1, Mualimin
2
1Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjajaran
2PT Pertamina EP
*Korespondensi: fahmghifarry@yahoo.com
ABSTRAK Lapangan ‘MFG’ adalah salah satu lapangan penghasil hidrokarbon yang terletak pada Cekungan Jawa
Barat Utara. Cekungan Jawa Barat Utara merupakan cekungan belakang busur yang berada di bagian
barat laut Pulau Jawa. Objek penelitian berada Formasi Talang Akar, Lapangan ‘MFG’, Cekungan Jawa
Barat Utara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fasies dan lingkungan pengendapan. Data – data
yang digunakan adalah data wireline log pada 2 sumur dan data serbuk bor. Penelitian ini diawali dengan
penentuan litofasies didasarkan pada deskripsi data serbuk bor. Batuan inti yang telah dideskripsi
divalidasi terhadap log gamma ray. Pola dari log gamma ray dianalisis untuk mengetahui elektrofasies
sehingga lingkungan pengendapan dari objek penelitian dapat diinterpretasikan. Fasies yang terbentuk
pada daerah penelitian adalah Fasies Interbedded Shale – Coal, Fasies Estuary Shale, Fasies Estuary
Sandstone, Fasies Channel Sandstone, Fasies Estuary Mouth Sandstone, dan Fasies Lagoonal Limestone.
Paleoenvironment objek penelitian merupakan estuary.
Kata Kunci: Fasies, Lingkungan Pengendapan, Formasi Talang Akar, Cekungan Jawa Barat Utara
ABSTRACT 'MFG' Field is one of the producing field which is located on the North West Java Basin. North West
Java Basin is back arc basin on the north west of Java Island. Research area is located at Talang Akar
Formation, 'MFG' field, North West Java Basin. This research propose to know how facies and
depositional environment. The data which used are wireline logs data on 2 wells and cuttings data. The
first step is lithofacies analysis based on cutting data. Next step is electrofacies analysis from gamma ray
log. Electrofacies needed to interpreted depositional environment from wireline log. Facies that occur on
research area are Interbedded Shale – Coal Facies, Estuary Shale Facies, Estuary Sandstone Facies,
Channel Sandstone Facies, Estuary Mouth Sandstone Facies, and Lagoonal Limestone Facies.
Paleoenvironment on research area is estuary.
Keywords: Facies, Depositional Environment, Talang Akar Formation, North West Java Basin
1. PENDAHULUAN
Minyak dan gas bumi menjadi sumber
energi yang paling dibutuhkan di dunia
dikarenakan nilai kalornya yang tinggi, sifat
fluidanya yang mudah disimpan dan
didistribusikan, serta menjadi bahan baku
keperluan lain (Koesomadinata, 1980).
Kebutuhan akan minyak dan gas bumi yang
terus meningkat perlu diimbangi dengan
produksi yang terus meningkat pula.
Formasi Talang Akar pada Cekungan Jawa
Barat Utara merupakan formasi yang
berperan penting dalam play petroleum
system yang ada. Formasi ini berperan
sebagai source rock yang baik karena
mengandung material organik yang cukup
untuk menghasilkan hidrokarbon. Selain
itu, Formasi Talang Akar juga berperan
sebagai reservoir rock karena formasi ini
tersusun atas batuan sedimen silisiklastik
yang memiliki porositas yang baik.
Analisis fasies dan lingkungan
pengendapan merupakan salah satu upaya
Padjadjaran Geoscience Journal. Vol.01, No. 03, Desember 2017: 183-191
184
yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
produksi hidrokarbon. Hasil akhir dari
analisis ini adalah model fasies. Model
fasies ini sangat diperlukan untuk
membantu geologist mengidentifikasi
persebaran batuan yang berpotensi menjadi
reservoir rock. Model fasies yang telah
dibuat tersebut akan menunjang dalam
pencarian lapangan migas baru ataupun
pengembangan lapangan migas yang sudah
ada agar produksinya dapat meningkat
untuk memenuhi kebutuhan minyak dan gas
bumi nasional.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Cekungan Jawa Barat Utara yang
merupakan salah satu rangkaian cekungan
belakang busur (back-arck basin) di
Indonesia bagian Barat. Cekungan ini
merupakan cekungan yang terbentuk dari
sistem zona subduksi antara Lempeng
Mikro Sunda dan Lempeng Australia.
Cekungan Jawa Barat Utara dikontrol oleh
sistem sesar normal berarah utara – selatan .
Sesar normal tersebut mengakibatkan
terbentuknya horst yang merupakan daerah
tinggian, graben yang merupakan daerah
rendahan, serta membagi cekungan ini
menjadi beberapa sub cekungan. Pada saat
ini Cekungan Jawa Barat Utara terbagi
menjadi tiga sub cekungan, yaitu (dari barat
ke timur) Sub Cekungan Ciputat, Sub
Cekungan Pasir Putih, dan Sub Cekungan
Jatibarang.
Stratigrafi regional Cekungan Jawa Barat
Utara terdiri atas beberapa formasi (Gambar
1), yaitu:
1. Batuan Dasar
Litologi batuan dasar di Cekungan Jawa
Barat Utara adalah batuan beku berumur
Kapur Tengah – Kapur Akhir dan batuan
metamorf berumur Tersier. Batuan
metasedimen derajat rendah (filit, sekis)
hadir sebagai produk dari subduksi yang
berasosiasi dengan busur Meratus yang
aktif pada waktu Kapur.
Gambar 1. Stratigrafi Regional
Cekungan Jawa Barat Utara
2. Formasi Jatibarang
Formasi Jatibarang terdiri dari litologi tuf
dengan perselingan batulempung serpih
dan andesit porfiri (Doust & Noble, 2008).
Formasi ini berumur Eosen Akhir-Oligosen
Awal dan memiliki hubungan tidak selaras
dengan batuan dasar. Kehadiran Formasi
Jatibarang di Cekungan Jawa Barat utara
merupakan suatu pertanda bahwa cekungan
berada dekat dengan pusat vulkanisma,
sehingga dapat diinterpretasikan bahwa
pada saat Formasi Jatibarang diendapkan,
Fasies Dan Lingkungan Pengendapan Formasi Talang Akar, Cekungan Jawa Barat Utara (M. Fahmi Ghifarry)
185
posisi cekungan berada pada jalur gunung
api (intra arc basin).
3. Formasi Talang Akar
Formasi Talang Akar bagian bawah terdiri
dari perselingan batulempung serpih
karbonan serta batupasir dengan sisipan
batulanau dan batubara . Sedimen-sedimen
tersebut diendapkan secara tidak selaras di
atas Formasi Jatibarang. Formasi Talang
Akar bagian bawah terbentuk pada fase
tektonik syn-rift. Formasi ini diendapkan
pada Oligosen Akhir di lingkungan
pengendapan lacustrine hingga fluvial-
deltaic (Noble dkk, 1997). Formasi Talang
Akar Atas terdiri dari perselingan
batugamping, serpih dan batupasir,
diendapkan dengan siklus transgresif
Oligosen Akhir - Miosen Awal pada
lingkungan deltaic - laut dangkal (Noble
dkk, 1997). Formasi Talang Akar Atas
merupakan sedimen awal post-rift pada
Cekungan Jawa Barat Utara.
4. Formasi Baturaja
Formasi Baturaja diendapkan secara selaras
di atas Formasi Talang Akar. Formasi ini
terdiri dari litologi batugamping dengan
perselingan tipis dolomite, batulempung
serpih, napal, dan batugamping terumbu
pada daerah tinggian. Formasi ini berumur
Miosen Awal dan diendapkan pada
lingkungan pengendapan laut dangkal.
Pengendapan Formasi Baturaja yang
berkembang luas pada Cekungan Jawa
Barat Utara menandai kondisi tektonik yang
relatif stabil.
5. Formasi Cibulakan Atas
Formasi Cibulakan Atas diendapkan pada
Miosen Tengah terdiri dari serpih yang
dominan dengan perselingan batupasir dan
batugamping klastik serta batugamping
terumbu yang berkembang secara lokal
Ponto dkk. (1987) menginterpretasikan dua
sistem pengendapan utama yang
mengontrol sedimentasi di Formasi
Cibulakan Atas , yaitu sistem pengendapan
delta dan laut dangkal. Formasi Cibulakan
Atas secara selaras diendapkan di atas
Formasi Baturaja dan di atas Formasi
Cibulakan Atas diendapkan secara selaras
pula Formasi Parigi. Berdasarkan studi.
Formasi Cibulakan Atas dibagi menjadi
tiga anggota, yaitu : Anggota Massive,
Main dan Pre-Parigi.
6. Formasi Parigi
Formasi Parigi dicirikan oleh dominasi
batugamping dengan sisipan dolomit,
batugamping pasiran dan batulempung
gampingan. Sejak Miosen Tengah hingga
Miosen Akhir terjadi siklus transgresi
kedua pada siklus sedimentasi Neogen yang
mengendapkan batugamping Formasi Parigi
yang melampar hampir ke seluruh wilayah
cekungan. Berdasarkan studi foraminifera
planktonik dan bentonik, umur Formasi
Parigi adalah Miosen Akhir dan diendapkan
pada lingkungan pengendapan laut dangkal
yang relatif stabil (Wahab dan Martono,
1985).
7. Formasi Cisubuh
Formasi Cisubuh diendapkan pada Miosen
Akhir hingga Plio - Pleistosen. Formasi ini
dicirikan oleh batulempung pada bagian
bawah dan secara berangsur diendapkan
batupasir serta konglomerat pada bagian
atas. Formasi Cisubuh bagian bawah
diendapkan pada lingkungan inner-neritic
dan bergradasi ke atas menjadi litoral-
paralik. Hal ini mengindikasikan adanya
perubahan lingkungan ke arah yang lebih
dangkal akibat pengangkatan selama Plio -
Pleistosen. Di atas Formasi Cisubuh secara
tidak selaras diendapkan endapan Kuarter.
3. METODE
Pada penelitian ini, dilakukan beberapa
analisis dan interpretasi data agar fasies dan
lingkungan pengendapan Formasi Talang
Akar Cekungan Jawa Barat Utara dapat
diketahui. Analisis dan interpretasi data
yang dilakukan diantaranya penentuan
litologi dan deskripsi data serbuk bor,
analisis litofasies, analisis elektrofasies dan
analisis lingkungan pengendapan.
Penentuan litofasies didasarkan pada data
serbuk bor. Analisis litofasies dilakukan
untuk menunjang dalam mengetahui
lingkungan pengendapan pada daerah
penelitian. Analisis elektrofasies dilakukan
melalui pengamatan pola gamma ray log
untuk menginterpretasikan lingkungan
pengendapan pada suatu interval penelitian
yang tidak terdapat data serbuk bor
Padjadjaran Geoscience Journal. Vol.01, No. 03, Desember 2017: 183-191
186
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Litofasies
Penentuan litofasies didasarkan pada data
serbuk bor (cutting) yang telah dideskripsi
oleh wellsite geologist. Walaupun data
serbuk bor memiliki ketidakakuratan dalam
hal kedalaman karena adanya lack time,
data ini merupakan yang dapat membantu
peneliti dalam menentukan litofasies pada
interval penelitian Sumur MFG 1 karena
data batuan inti tidak tersedia. Data serbuk
bor tersebut perlu ditunjang oleh data
wireline log dalam menentukan jenis
litologi dari interval penelitian. Log yang
digunakan dalam menentukan litologi
diantaranya log gamma ray, log densitas,
log neutron, dan log photo electric factor
(PEF).
Batubara (coal) memiliki karakter yang
khas dalam data wireline log. Nilai log
gamma ray pada batubara umumnya sangat
rendah. Hal ini disebabkan kandungan
radioaktifnya tidak ada atau sangat sedikit.
Selain itu, densitas dari batubara pun sangat
rendah sehingga pada log densitas batubara
akan menunjukkan nilai yang rendah. Lalu,
batulempung akan cenderung memiliki nilai
gamma ray yang tinggi. Hal ini disebabkan
kandungan radioaktif di dalam
batulempung tersebut. Batulempung
merupakan batuan yang mudah menyerap
suatu fluida. Apabila suatu fluida
mengandung kandungan radioaktif, maka
radioaktif tersebut akan terserap pula oleh
batulempung. Selain itu, batulempung akan
menunjukkan nilai log neutron densitas
yang besar karena batulempung mudah
menyerap fluida. Densitas dari batuan ini
pun cukup besar sehingga dapat teramati
dengan mudah pada log. Nilai log Photo
Electric Factor (PEF) pada batulempung
umumnya bernilai 2 – 4 sehingga log PEF
dapat membantu mengidentifikasi
batulempung.
Batugamping akan memiliki nilai gamma
ray yang rendah jika dibandingkan dengan
shale base line. Hal ini disebabkan karena
batugamping tidak mengandung unsur
radioaktif atau mengandung sedikit unsur
radioaktif. Pada log densitas, nilai yang
ditunjukkan akan sangat besar, lebih besar
dibandingkan dengan batubara,
batulempung, dan batupasir. Akan tetapi,
nilai densitas pada batugamping dapat saja
bernilai kecil karena batuan ini sangat
mudah larut jika terkena fluida. Nilai log
neutron pada batugamping dapat bernilai
besar dan dapat pula bernilai kecil. Hal ini
diasumsikan perbedaan nilai neutron
dipengaruhi oleh kandungan fluida dalam
batuan. Jika batuan terisi oleh air, maka
nilai pada log neutron akan bernilai besar.
Namun, jika batuan terisi oleh fluida berupa
hidrokarbon, maka nilai pada log neutron
akan bernilai kecil karena jumlah atom
hidrogen pada hidrokarbon lebih sedikit
dibandingkan atom hidrogen pada air. Pada
data log, batupasir akan memiliki nilai yang
lebih kecil dibandingkan dengan shale base
line. Hal ini diasumsikan bahwa batupasir
tidak mengandung atau mengandung sedikit
kandungan radioaktif. Selain itu, nilai pada
log photo electric factor (PEF)
menunjukkan nillai 1,5 – 2,5 dengan asumsi
batupasir tersebut tersusun atas mineral
kuarsa dan feldspar.
Fasies pertama yang diidentifikasi adalah
Fasies Estuary Sandstone. Pada fasies ini,
penentuan fasies adanya kandungan
karbonat yang mengindikasikan fasies ini
terbentuk pada lingkungan pengendapan
transisi ataupun laut dangkal. Berdasarkan
pola log gamma ray, fasies ini memiliki
bentuk bell shaped, dalam hal ini pola bell
shaped dapat diasumsikan adanya
perubahan ukuran butir yang menghalus ke
atas fining upward.
Selain Fasies Estuary Sandstone,
fasies selanjutnya adalah Fasies Estuary
Shale yang terbentuk pada sub lingkungan
pengendapan tidal flat. Fasies ini dicirikan
dengan batulempung sisipan batugamping.
Pada beberapa titik, terdapat sisipan
batubara. Tidal flat merupakan suatu
wilayah pada lingkungan pengendapan
estuary yang terbentuk ketika air laut
cenderung (transgresi). Salah satu ciri dari
adanya kenaikan muka air tersebut adalah
adanya batulempung. Batulempung
merupakan batuan sedimen klastik yang
terendapkan saat energi suatu media (dalam
hal ini air) sedang rendah. Data serbuk bor
Fasies Dan Lingkungan Pengendapan Formasi Talang Akar, Cekungan Jawa Barat Utara (M. Fahmi Ghifarry)
187
yang terdapat pada fasies ini hanyalah
batulempung.
Fasies yang teridentifikasi selanjutnya
adalah Fasies Estuary Mouth. Fasies ini
merupakan fasies yang berada pada mulut
sungai sebelum air sungai menuju ke
lingkungan pengendapan transisi. litologi
dari penyusun dari fasies ini adalah
batupasir. Pola yang terbentuk pada fasies
ini adalah coarsening upward karena
adanya progradasi pada mulut sungai.
Selain progradasi, penciri lain dari fasies ini
adalah ditemukannya kuarsa. Kuarsa
merupakan mineral yang umum dijumpai
dalam endapan yang masih dekat dengan
lingkungan darat. Selain itu, adanya pirit
pun dapat menjadi petunjuk dalam
membantu menentukan fasies pada interval
ini. Pirit merupakan mineral yang terbentuk
pada zona reduksi. Zona ini umumnya
berada pada lingkungan yang resistif
terhadap pengaruh dari air laut seperti
estuary yang dibatasi oleh barrier island.
Oleh karena itu, peneliti
menginterpretasikan bahwa fasies ini
terbentuk pada fasies estuary mouth yang
merupakan bagian dari lagoon.
Fasies selanjutnya yang ditemukan pada
interval penelitian adalah Fasies Channel
Sandstone yang termasuk ke dalam
lingkungan pengendapan darat atau
kontinental. Fasies ini tersusun atas
dominasi batupasir dengan pola fining
upward. Pola fining upward tersebut
merupakan penciri endapan channel karena
adanya penurunan energi. Peneliti
menginterpretasikan fasies ini termasuk ke
dalam lingkungan pengendapan darat
karena tidak ditemukan mineral atau fossil
penciri lingkungan pengendapan transisi
atau lingkungan pengendapan laut.
Setelah itu, fasies selanjutnya yang
ditemukan adalah Fasies Lagoonal
Limestone. Fasies ini didominasi oleh
batugamping wackstone – packstone sisipan
batulempung dan batupasir. Gary Nichols
(2009) mengklasifikasikan bahwa
batugamping wackstone – packstone
termasuk ke dalam lingkungan
pengendapan lagoon (Gambar 2). Peneliti
menyimpulkan interval ini terendapkan
pada lingkungan pengendapan lagoon
karena batugamping ini termasuk ke dalam
batugamping wackstone – packstone
(Dunham, 1961). Selain itu, adanya
kandungan pirit menandakan bahwa fasies
ini terbentuk pada zona reduksi. Umumnya
zona reduksi terdapat pada wilayah yang
resistif terhadap gangguan dari lingkungan
luar misalnya lagoon.
Gambar 2 Distribusi Fasies Batuan Karbonat (Nichols, 2009)
Padjadjaran Geoscience Journal. Vol.01, No. 03, Desember 2017: 183-191
188
Gambar 3. Penampang Stratigrafi pada Sumur MFG 1
Fasies Dan Lingkungan Pengendapan Formasi Talang Akar, Cekungan Jawa Barat Utara (M. Fahmi Ghifarry)
189
Gambar 4. Penampang Stratigrafi pada Sumur MFG 2
Padjadjaran Geoscience Journal. Vol.01, No. 03, Desember 2017: 183-191
190
Adanya kandungan karbonat dan koral pun
merupakan penciri bahwa fasies ini
terbentuk pada lingkungan laut. Koral
tersebut dapat berasal dari lingkungan
transisi atau lingkungan laut dangkal.
Petunjuk lain yang menandakan bahwa
interval ini merupakan bagian dari fasies
lagoon adalah adanya pecahan (broken)
fossil. Pecahan fossil tersebut
merepresentasikan dua kemungkinan pada
keterbentukannya dan atau dapat menjadi
petunjuk bahwa batugamping pada fasies
ini terendapkan secara ex-situ. Artinya,
batugamping yang dimaksud telah
mengalami transportasi dari batu gamping
yang terbentuk secara in-situ. Kemungkinan
kedua adalah batugamping tersebut berasal
dari lingkungan pengendapan lagoon itu
sendiri. Karena adanya pengaruh arus
ombak pada air laut tersebut menyebabkan
batugamping yang tumbuh pada daerah
lagoon tererosi dan terendapkan kembali di
daerah lagoon.
Setelah Fasies Lagoonal Limestone
terbentuk, fasies yang terbentuk selanjutnya
adalah Fasies Estuary Mouth Sandstone
yang memiliki ciri yang sama dengan
Fasies Estuary Mouth Sandstone
sebelumnya. Lalu, fasies terakhir yang
berada pada interval penelitian adalah
Fasies Lagoonal Limestone yang memiliki
karakeristik yang sama dengan Fasies
Lagoonal Limestone sebelumya.
4.2 Analisis Elektrofasies
Tabel 1 Elektrofasies pada Daerah
Penelitian
Setelah litofasies ditentukan, selanjutnya
dilakukan analisis elektrofasies guna
membantu mengetahui lingkungan
pengendapan yang tidak memiliki data
batuan inti atau data serbuk bor. Jenis log
yang digunakan dalam analisis elektrofasies
adalah log gamma ray. Log gamma ray
merupakan log yang dapat mengidentifikasi
litologi. Pada Fasies Estuary Sandstone,
elektrofasies yang dibentuk adalah bell
shaped. Pola ini diinterpretasikan adanya
perubahan ukuran butir menghalus ke atas.
Lalu, pada Fasies Estuary Shale,
elektrofasies yang dibentuk adalah funnel
shaped. Elektofasies berupa funnel shaped
diasumsikan adanya perubahan ukuran butir
yang mengkasar ke atas (coarsening
upward). Kemudian pada Fasies Estuary
Mouth Sandstone, elektrofasies yang
dibentuk adalah funnel shaped.
Elektrofasies berupa fuunel shaped
merepresentasikan adanya perubahan
litologi yang mengkasar ke atas pula
(coarsening upward). Pada Fasies
ChannelSandstone, elektrofasies yang
dibentuk adalah bell shaped. Pola ini
diinterpretasikan adanya perubahan ukuran
butir menghalus ke atas. Pada Fasies
Lagoonal Limestone, elektrofasies yang
dibentuk merupakan blocky (Gambar 4.22).
Fasies ini merupakan fasies yang
didominasi oleh batugamping. Berdasarkan
analisis elektrofasies, elektrofasies pada
Sumur MFG 1 terdiri atas bell shaped,
funnel shaped, dan blocky (Tabel 1).
5. KESIMPULAN
Fasies yang terdapat pada daerah
penelitian adalah Fasies Interbedded Shale
– Coal, Fasies Estuary Shale, Fasies
Estuary Sandstone, Fasies Channel
Sandstone, Fasies Estuary Mouth
Sandstone, dan Fasies Lagoonal
Limestone. Paleoenvironment pada derah
penelitian adalah estuary.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima banyak kasih
kepada Pembimbing Penulis yang telah
membimbing penelitian ini. Selain itu,
penulis ucapkan terima kasih pula kepada
Fakultas Teknik Geologi Universitas
Litofasies Elektrofasies
Estuary Sandstone Bell Shaped
Estuary Shale
Funnel
Shaped
Estuary Mouth
Sandstone
Funnel
Shaped
Channel Sandstone Bell Shaped
Lagoonal Limestone Blocky
Fasies Dan Lingkungan Pengendapan Formasi Talang Akar, Cekungan Jawa Barat Utara (M. Fahmi Ghifarry)
191
Padjajaran dan PT Pertamina EP yang telah
membantu dan mengizinkan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Bishop, Michele. 2000. Petroleum Systems
of The Northwest Java Provinence,
Java and Offshore Southeast
Sumatra, Indonesia. Colorado:
USGS.
Boggs, S. 2006. Principle of Sedimentology
and Stratigraphy 4th ed. New Jersey:
Upper Saddle River.
Harsono, A. 1997. Evaluasi Formasi dan
Aplikasi Log Edisi 8. Jakarta:
Schlumberger Oilfields Services.
IBS. 2006. Indonesia Basin Summaries
(IBS). Jakarta: PT. Patra Nusa Data –
Indonesia Metadata Base (Inameta)
Series.
Koesomadinata, R.P. 1980. Geologi Minyak
dan Gas Bumi. Bandung: Institut
Teknologi Bandung.
Nichols, Gary. 2009. Sedimentology and
Stratigraphy. Wiley-Blackwell.
Rider, M. 1996. The Geological
Interpretation of Well Logs.
Sutherland, Scotlandia: Rider-
French Consulting Ltd.,.
Sulistyono. 2012. Aplikasi Multiatribut
Seismik Untuk Mengidentifikasi
Fasies PaleochannelFormasi
Talang Akar Bagian Atas. Jakarta:
Universitas Indonesia.
Selley, Richard C. 1985. Ancient
Sedimentary Environments And
Their Sub-Surface Diagnosis
Third Edition. London: Chapman
and Hall Ltd.
Van Wagoner, J. C., Mitchum, R. M.,
Campion, K. M., & Rahmanian, V.
D. 1990. Siliciclastics Sequence
Stratigraphy in Well Logs, Cores
& Outcrops : Concepts for High
Resolution Correlation of Time &
Facies. Tulsa: American Association
of Petroleum Geologists.
Walker, R. G., dan James, N. P. 1992.
Facies Models : Response to Sea
Level Change. Geological
Association of Canada, Canada.